Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 158

Buku 158

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Iapun melihat meskipun sekilas, bagaimana tukang-tukang satang yang ternyata adalah anak-anak muda dari barak itu menghadapi lawan-lawannya.

Namun sebagaimana juga dikatakan oleh Agung Sedayu, bahwa kemampuan mereka masih belum setingkat dengan lawan-lawan mereka. Karena menurut Agung Sedayu Ki Tumenggung Prabadaru juga hadir di pertempuran itu, maka kemungkinan terbesar dari antara lawan mereka terdapat para prajurit dari pasukan khusus di Pajang. Sehingga dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bahwa pasukan khusus di Pajang masih selapis lebih baik dari pasukan khusus yang disusun di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Dalam pada itu, karena agaknya Sekar Mirah masih termangu-mangu, Agung Sedayu menjelaskan, “Sekar Mirah, untuk memberikan bimbingan kepada sekelompok pengawal memang agak berbeda dengan menempa satu atau dua orang murid. Kiai Gringsing misalnya, atau Ki Sumangkar. Dengan segenap perhatiannya atas murid-muridnya secara pribadi, mereka dapat menempa muridnya itu. Tetapi agak berbeda dengan memberikan latihan kepada orang yang jumlahnya terlalu banyak seperti yang akan kau hadapi sekarang ini.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa menghadapi para pengawal memang diperlukan satu cara yang berbeda dengan sekedar menghadapi dua atau tiga orang murid.

Dalam pada itu, maka latihan-latihan sebagai ancang-ancang itu telah dilakukan dengan baik. Sejenak Agung Sedayu memberikan mereka kesempatan untuk beristirahat, sambil menunjuk satu di antara kelompok-kelompok kecil itu untuk menerima langsung latihan-latihan yang akan diberikan.

Seperti biasanya Agung Sedayu memang menunjuk satu kelompok di antara kelompok yang besar itu berganti-ganti. Dengan jumlah yang kecil, maka Agung Sedayu akan dapat memberikan latihan-latihan yang lebih terperinci, sementara kelompok-kelompok yang lain akan menyaksikan latihan-latihan itu dengan memutari arena.

Demikianlah, Sekar Mirah telah melihat bagaimana Agung Sedayu membimbing para pengawal dari pasukan khusus itu. Cara yang ditempuh oleh Agung Sedayu memang mungkin tidak sama dengan cara yang ditempuh oleh para pelatih yang lain. Tetapi menurut Agung Sedayu, cara itulah yang paling baik yang dapat ditempuhnya. Sementara dalam waktu-waktu khusus Agung Sedayu masih juga memberikan latihan-latihan tersendiri kepada para pemimpin kelompok yang terdiri dari anak-anak muda yang mendahului memasuki barak itu sebelum kawan-kawannya yang lain datang. Mereka sudah mempunyai bekal melampaui kawan-kawannya. Namun sebagaimana dipesankan oleh Raden Sutawijaya, bahwa mereka harus selalu ditingkatkan, sehingga para pemimpin kelompok itu akan tetap memiliki kelebihan dari kawan kawannya, yang akan dapat menunjang kewibawaan kepemimpinannya

Pada hari pertama, Sekar Mirah tidak berbuat sesuatu. Ia hanya menyaksikan apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Dengan demikian ia sudah memiliki gambaran, apa yang dapat dilakukannya jika ia pada suatu saat benar-benar harus tampil.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah telah terjadi satu persoalan yang sudah diduga sebelumnya. Beberapa orang anak muda mulai membicarakan perempuan cantik, istri Agung sedayu itu. Meskipun mereka tidak ingin berbuat sesuatu, karena mereka mengerti bahwa Agung Sedayu adalah orang yang luar biasa, namun mereka tidak dapat mengelakkan diri dan perhatian mereka terhadap perempuan itu. Terutama anak-anak muda yang bukan dari Sangkal Putung. Karena bagaimanapun juga Ki Lurah Branjangan memilih, maka di setiap kelompok tidak ada yang utuh terdiri dari anak-anak muda yang berasal dari satu daerah.

Anak-anak muda Sangkal Putung sendiri tidak senang mendengar kelakar yang dapat membuat telinga mereka panas. Namun beberapa orang di antara mereka telah berbicara yang satu dengan yang lain tentang Sekar Mirah.

“Aku tidak sependapat bahwa Sekar Mirah ikut serta memberikan latihan-latihan kanuragan di barak ini,” berkata salah seorang di antara anak-anak muda Sangkal Putung itu.

“Ya,“ desis yang lain, “kehadirannya dapat menimbulkan sikap yang menyakitkan hati. Aku sebenarnya kurang dapat menahan diri mendengar gurau yang kurang mapan itu.”

“Agaknya karena kita mengenal siapakah Sekar Mirah itu,“ sahut yang lain lagi. “Bagi kita, Sekar Mirah adalah anak pimpinan tertinggi dari kademangan kita.”

Anak-anak Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Sebenarnya mereka sependapat. Tetapi mereka tidak dapat menyampaikannya kepada Agung Sedayu, apalagi kepada Sekar Mirah sendiri, karena merekapun mengenal, siapakah Sekar Mirah itu dengan segala sifat dan sikapnya.

Yang lebih menyakitkan bagi anak-anak muda Sangkal Putung itu adalah anggapan, bahwa sebenarnya Sekar Mirah tidak akan dapat berbuat banyak. Kehadirannya semata-mata tergantung sekali dengan kebesaran nama Agung Sedayu.

Sekali-sekali anak-anak muda Sangkal Putung itu juga berusaha untuk menjelaskan, bahwa Sekar Mirah adalah murid Ki Sumangkar. Bahkan anak-anak yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh, yang juga sudah mengetahui serba sedikit tentang Sekar Mirah yang memiliki kemampuan olah kanuragan seperti Pandan Wangi, serta mereka yang kebetulan menyaksikan Sekar Mirah bertempur di tepian, sudah berusaha untuk meyakinkan mereka tentang kemampuan Sekar Mirah. Namun agaknya masih ada juga di antara anak-anak muda itu yang kurang mempercayainya. Bahkan ada yang beranggapan bahwa anak-anak Sangkal Putung itu hanya sekedar ingin menunjukkan salah seorang perempuan yang aneh dari kademangan mereka.

“Nampaknya memang diperlukan pembuktian seperti saat pasukan ini pertama kali dibentuk,“ berkata seorang anak muda Sangkal Putung yang menjadi pemimpin sebuah kelompok. Lalu, “Pada saat itu, seorang diantara kita yang ditempa di sini meragukan kemampuan Agung Sedayu. Sehingga akhirnya Agung Sedayu harus membuktikannya.”

Ternyata bahwa hal yang serupa telah dirasakan pula oleh Sekar Mirah. Meskipun ia diam saja dan seolah-olah tidak melihat sikap beberapa orang anak muda, namun Sekar Mirah sebenarnya melihat, bagaimana satu dua orang memandanginya dengan tatapan mata yang kurang sewajarnya.

Demikianlah ketika keduanya pulang dari barak, menjelang matahari semakin rendah di atas bukit. Sekar Mirah berkata kepada suaminya, “Kau lihat sikap-sikap yang aneh itu Kakang?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu singkat, “hal seperti itulah yang sudah kami bicarakan.”

“Kami siapa?“ bertanya Sekar Mirah.

“Aku, Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Ki Lurah Branjangan, serta para perwira Mataram di barak itu,“ jawab Agung Sedayu.

“O, mereka juga meragukan kemampuanku?“ bertanya Sekar Mirah.

“Tidak. Bukan kemampuanmu. Tetapi kemungkinan timbulnya sikap itu. Bukankah aku sudah pernah menyinggungnya?“ bertanya Agung Sedayu.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dipandanginya sawah yang luas terhampar di hadapannya. Sawah yang hijau segar. Parit-parit yang mengalir ternyata telah dapat menjangkau sampai kotak sawah yang paling dekat dengan kaki bukit.

Namun ternyata jawab Sekar Mirah mendebarkan jantung Agung Sedayu, “Bukankah hal itu wajar Kakang? Anak-anak muda itu tentu merasa aneh bahwa seorang perempuan yang sebaya dengan mereka telah hadir di barak pengawal khusus. Tidak sebagai juru masak, tetapi hadir untuk memberikan bimbingan dan latihan kanuragan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Hal itu memang agak aneh.”

“Tetapi jika hal seperti ini sudah terbiasa, maka tentu bukan merupakan satu keanehan lagi,” jawab Sekar Mirah. Namun tiba-tiba Sekar Mirah itu bertanya, “Atau mungkin mereka meragukan kemampuanku?”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia teringat pada saat-saat ia berhadapan dengan anak-anak muda itu iapun harus membuktikan bahwa ia memang mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dari anak-anak itu.

“Memang ada dua kemungkinan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “mungkin mereka menganggap bahwa Sekar Mirah sebagai seorang perempuan tentu kurang memiliki bekal untuk ikut serta menempa anak-anak muda itu. Tetapi mungkin juga, justru karena Sekar Mirah adalah seorang perempuan yang masih muda. Hampir sebaya dengan anak-anak yang berada di dalam barak itu.”

Namun tiba-tiba Agung Sedayu pun berpikir, mungkin ada baiknya bagi Sekar Mirah untuk menunjukkan kemampuannya. Baik bagi mereka yang meragukan, maupun yang melihatnya sebagai perempuan cantik. Jika mereka sudah melihat kemampuan Sekar Mirah yang sebenarnya, maka mereka akan menjadi segan terhadapnya.

Tetapi Agung Sedayu tidak segera mengatakannya.

Mungkin jika tidak dipaksa oleh keadaan, Agung Sedayu tidak akan berbuat demikian bagi kepentingan sendiri saat ia memasuki barak itu. Tetapi justru karena sikap anak-anak muda itu terhadap Sekar Mirah, maka niat untuk memberikan bukti kemampuan istrinya itu tumbuh di dalam hatinya.

Dalam pada itu, kedua orang suami istri muda itu masih berjalan menyusuri jalan-jalan bulak menuju ke induk padukuhan. Mereka sengaja tidak melangkah dengan cepat, meskipun matahari menjadi semakin rendah. Rasa-rasanya langkah-langkah mereka dalam silirnya angin di sore hari terasa segar sekali.

Sekali-sekali Agung Sedayu harus menjawab sapa seorang petani yang kebetulan bekerja di sawah. Mereka mengenal Agung Sedayu dengan baik sebagaimana mereka mengenal anak-anak Tanah Perdikan itu sendiri.

Langkah Agung Sedayu dan Sekar Mirah tertegun ketika mereka bertemu dengan tiga orang anak muda yang memanggul cangkulnya meloncati parit di pinggir jalan, langsung menunggu Agung Sedayu dan Sekar Mirah lewat.

“He,“ berkata salah seorang anak muda itu, “kau jarang sekali nampak di gardu di malam hari sekarang Agung Sedayu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sementara seorang yang lainpun menyambung, “Ada perubahan pada dirimu Agung Sedayu. Apakah gardu-gardu itu tidak menarik lagi di malam hari?” Ketiga anak muda itu tertawa. Agung Sedayu pun kemudian tersenyum pula. Tetapi Sekar Mirah menundukkan kepalanya meskipun ia juga menahan senyum.

“Tugasku di barak semakin bertambah,“ berkata Agung Sedayu, “aku merasa terlalu letih akhir-akhir ini. Tetapi itu tidak akan lama. Beberapa hari lagi, aku akan berada di gardu di malam hari.”

“Jangan,” desis anak muda yang bertubuh tinggi, “kau masih mempunyai banyak waktu. Gardu-gardu itu tidak akan lari. Gardu-gardu itu akan menunggu.”

Agung Sedayu tertawa sebagaimana anak-anak muda itu, sementara Sekar Mirah melemparkan pandangan matanya membentur pegunungan yang menjadi pudar karena matahari mulai bertengger di ujung pepohonan di atas bukit.

“Sudahlah,“ berkata salah seorang dari anak-anak muda itu, “kami akan beristirahat. Malam nanti aku meronda di padukuhan Induk. Bukankah kau juga akan beristirahat setelah hampir sehari penuh berada di barak?”

“He, aku tidak mengerti?“ sahut Agung Sedayu.

“Bukankah kau berada di barak sehari penuh? Dan itu tentu sangat melelahkan. Kau memerlukan waktu untuk beristirahat,” yang lain menjelaskan.

“Aku dapat beristirahat semalam penuh,” jawab Agung Sedayu.

Anak-anak muda itupun tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita akan bersama-sama beristirahat.”

“Kita pulang bersama-sama,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Kami akan mengambil jalan pintas lewat pematang,“ jawab salah seorang.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti, bahwa anak-anak muda itu tentu segan berjalan bersamanya, karena ia justru bersama Sekar Mirah.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah. Silahkan. Aku akan berjalan menyusuri jalan ini. Perlahan-lahan. Mungkin kalian tidak akan telaten berjalan bersama kami.”

Anak-anak muda itu tersenyum. Merekapun kemudian minta diri dan kemudian meloncati parit di pinggir jalan, dan maniti pematang di bulak panjang.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang menyusuri jalan itu perlahan-lahan. Banyak yang mereka bicarakan di sepanjang jalan tentang barak dan penghuninya.

Akhirnya Sekar Mirah berkata, “Aku harus membuktikan kepada anak-anak muda itu bahwa aku memang berhak untuk hadir di barak itu sebagai pelatih mereka.”

“Apa yang akan kau lakukan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Menunjukkan kepada mereka, bahwa aku mampu melakukan apa yang tidak mampu mereka lakukan,“ jawab Sekar Mirah.

“Aku kira hal itu tidak perlu dilakukan secara khusus,“ berkata Agung Sedayu, “pada suatu saat mereka akan menyadari bahwa kau memang memiliki kemampuan yang diperlukan untuk memberikan bimbingan kepada mereka.”

“Tetapi hal yang demikian itu akan membuang waktu yang lama. Waktu yang tersia-sia. Jika aku menempuh jalan yang pendek, maka mereka akan segera menyadari kesalahan penilaian mereka,” berkata Sekar Mirah.

“Mungkin mereka tidak meragukan kemampuanmu,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi kehadiranmu di barak itu.”

“Hal itupun akan dapat dihentikan dengan meyakinkan kepada mereka, bahwa mereka tidak berhak berbuat demikian. Jika mereka melihat bahwa aku memang pantas untuk mereka hormati, maka dengan sendirinya mereka akan menaruh hormat kepadaku,“ berkata Sekar Mirah kemudian.

Agung Sedayu termangu-mangu. Ia mengerti, bahwa cara itu memang dapat ditempuh. Tetapi cara itu kurang sesuai dengan perasaannya. Namun demikian, Agung Sedayu tidak dengan segera dapat menolak pendapat itu. Ia melihat kebenarannya. Tetapi ia merasa kurang dapat untuk melaksanakannya.

Sejenak keduanya saling berdiam diri. Keduanya berjalan di silirnya angin pegunungan. Matahari sudah menjadi semakin rendah. Namun cahayanya masih tersangkut di bibir mega. Kemerah-merahan.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi tergesa-gesa. Keduanya masih saja berjalan dengan langkah-langkah lamban. Meskipun langit kemudian menjadi semakin suram.

Mereka memasuki padukuhan induk setelah lampu-lampu di setiap rumah mulai dinyalakan. Beberapa buah pintu rumah masih nampak terbuka. Namun sebagian dari pintu-pintu rumah itu sudah tertutup.

Jalan-jalanpun menjadi sepi, sementara gardu-gardu masih belum terisi. Anak-anak muda sebagian baru saja pulang dari sawah. Mereka masih harus mandi dan kemudian makan sebelum mereka pergi ke gardu.

Ketika Sekar Mirah dan Agung Sedayu memasuki halaman rumahnya, maka malampun menjdi semakin gelap. Sebelum mereka membuka pintu, Agung Sedayu telah mengambil batu thithikan dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian dengan thithikan itu iapun telah membuat api.

Sekar Mirah yang mengambil segenggam belarak kering dan kemudian metelakkan sejumput emput gelugut aren pada ujungnya. Sambil menghembus amput aren itu. Sekar Mirah menunggu Agung Sedayu yang mengambil oncor di sudut rumahnya. Oncor yang terbuat dari biji jarak kepyar.

Sejenak kemudian, maka Sekar Mirah pun telah berhasil menyalakan segenggam blaraknya. Dengan api belarak itu, Agung Sedayu menyalakan oncor jaraknya.

Baru kemudian keduanya masuk ke dalam rumahnya. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah menyalakan lampu-lampu minyak di ruangan-ruangan rumah mereka.

“Anak itu tentu baru pulang,“ desis Sekar Mirah.

“Ya. Biarlah ia pulang. Nanti ia akan datang sebelum anak-anak keluar ke gardu-gardu,“ berkata Agung Sedayu.

Tetapi Sekar Mirah menjadi tidak begitu senang. Pembantunya terlalu sering meninggalkan rumahnya, pulang kepada orang tuanya tanpa mengenal waktu. Kapan saja ia ingin pulang, maka iapun pulang.

“Ia masih terlalu kanak-kanak,” berkata Agung Sedayu, “jika ia sudah terbiasa terpisah dari orang tuanya, maka ia akan tidak terlalu sering pulang.”

Sebenarnyalah, seorang anak laki-laki yang masih terlalu muda telah datang justru setelah semua lampu dinyalakan. Ada niat Sekar Mirah memarahinya. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak sependapat. Bahkan Agung Sedayu bertanya dengan lunak, “Kau baru saja pulang, Sukra?”

“Ya Kakang,“ jawab anak itu, “aku mengambil gasing kayu sawo. Sore tadi gasinganku pecah, ketika aku bermain pathon.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Agung Sedayu berdesis ketika Sukra telah pergi ke belakang, “Anak-anak sebayanya memang senang bermain gasing di halaman sebelah. Aku tidak sampai hati melarangnya.

“Tetapi ia harus berlatih mengerjakan pekerjaannya di rumah ini,“ berkata Sekar Mirah.

“Ya. Ia sudah mulai melakukannya meskipun belum mapan,” jawab Agung Sedayu. Lalu tiba-tiba saja ia berkata, “Seandainya anak itu mempunyai kawan di sini, mungkin ia akan kerasan tinggal di rumah ini.”

“Siapa?“ bertanya Sekar Mirah.

“Aku berpikir untuk membawa Glagah Putih ke rumah ini,“ jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah merenung sejenak. Tiba-tiba ia berkata, “Aku sependapat. Glagah Putih adalah seorang anak yang rajin, cerdas dan memiliki banyak kelebihan. Tetapi ia terlalu besar bagi Sukra.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang Glagah Putih agak lebih tua dari Sukra, anak tetangga yang ikut pada keluarga baru itu. Tetapi jika Glagah Putih berada di Tanah Perdikan Menoreh, bukan berarti bahwa ia hanya akan mengawani Sukra, anak tetangga Agung Sedayu itu.

Setelah mereka membersihkan diri, mandi dan kemudian makan malam, maka pembicaraan tentang kemungkinan untuk mengambil Glagah Putih itupun dilanjutkan.

“Ambillah anak itu Kakang,“ berkata Sekar Mirah, “semakin cepat semakin baik. Menilik kemampuannya ketika ia berada di tepian, maka ia sudah bukan anak-anak lagi. Ia memiliki kemampuan yang mengejutkan dibanding dengan anak-anak muda sebayanya. Bahkan anak-anak dari antara mereka yang berada di barak itupun tidak akan dapat menyamainya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah. Jika ia berada bersama kita, maka ia akan dapat mengembangkan ilmunya. Mudah mudahan bermanfaat bagi masa depannya dan bagi lingkungannya. Apalagi bagi Tanah tercinta ini.”

“Ambillah Kakang. Kau akan dapat minta waktu untuk pergi ke Jati Anom. Aku akan menyertaimu.” berkata Sekar Mirah.

“Tetapi tentu tidak segera Sekar Mirah. Baru beberapa hari ini aku memasuki tugasku, setelah aku mendapat waktu beberapa lama meninggalkan barak,” jawab Agung Sedayu.

“Aku sudah rindu Sangkal Putung,“ desis Sekar Mirah.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Sekar Mirah tentu sudah rindu kepada orang tuanya, kepada saudaranya dan kepada kawan-kawannya bermain. Berbeda dengan Agung Sedayu yang sudah terpisah dari keluarganya sejak masa mudanya. Namun sudah tentu bahwa Agung Sedayu tidak dapat dalam waktu dekat minta ijin lagi untuk meninggalkan barak. Meskipun ia dapat berbuat demikian tanpa ada yang dapat menghalangi, tetapi ia sendiri merasa segan untuk melakukannya.

Namun dalam pada itu. Agung Sedayu pun menjawab, “Sekar Mirah. Aku mengerti bahwa kau tentu merindukan keluargamu, karena kau jarang sekali berpisah untuk waktu yang lama. Tetapi kau harus melatih berbuat demikian. Akhirnya kau akan terbiasa.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kakang, aku akan mencobanya. Aku akan berusaha meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku tidak boleh terikat kepada kerinduan seperti itu. Meskipun demikian, sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa Glagah Putih secepatnya dapat kau ambil dan seterusnya tinggal bersama kita di sini. Kita akan lebih tenang meninggalkan rumah kita. Dan kitapun akan merasa mempunyai satu kewajiban terhadap keluarga kita. Karena dengan hadirnya Glagah Putih kita akan terpaksa berbuat sesuatu sebagaimana sebuah keluarga. Jika kita hanya berdua saja, maka kita akan kurang memperhatikan keadaan rumah tangga ini, karena kita akan sering pergi berdua di siang hari.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun sesuatu telah menyentuh perasaannya. Sekar Mirah terlalu yakin, bahwa ia akan menjadi salah seorang di antara para pelatih di barak itu.

Ketika malam kemudian menjadi semakin dalam, maka keduanyapun mulai dihinggapi oleh perasaan mengantuk. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara kentongan. Tetapi tidak seperti biasanya, Agung Sedayu malam itu tidak pergi ke gardu, sebagaimana dilakukan sejak ia kembali dari saat-saat perkawinannya.

“Anak-anak muda itu menunggu kehadiranmu,“ desis Sekar Mirah.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu berkata, “Merekapun harus belajar berbuat sendiri. Biarlah di saat lain aku akan berada di gardu-gardu itu lagi.”

Demikianlah, ketika matahari mulai membayang, seperti biasanya Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun telah bangun. Adalah kebiasaan Agung Sedayu sejak ia berada di padepokannya ia sendiri turun ke halaman dan membersihkannya dengan sapu lidi.

“Lihat aku,“ berkata Agung Sedayu kepada Sukra, “lakukanlah sambil berjalan mundur. Bekas sapu lidimu akan nampak bersih. Telapak kakimu tidak akan membekas sama sekali.”

Sukra memperhatikan cara yang ditempuh oleh Agung Sedayu. Kemudian iapun mencoba menirukannya.

Agung Sedayu memperhatikan anak itu dengan saksama. Dengan cepat anak itu mengerti yang dimaksudkannya dan langsung melakukannya.

Agung Sedayu teringat kepada Glagah Putih. Pada saat-saat permulaan ia membimbingnya dalam olah kanuragan. maka ia melatih anak itu membuat ikatan-ikatan bagi dirinya sendiri. Ternyata kemudian bahwa Glagah Putih dalam waktu yang terhitung singkat, telah menguasai ilmu kanuragan dari cabang ilmu Ki Sadewa.

Anak yang bernama Sukra itupun telah menunjukkan suatu sikap yang nampaknya cukup mapan menurut tingkat umur dan kemampuan yang ada padanya.

“Tangannya trampil,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Demikianlah, Sukra telah membersihkan halaman dan kebun di sekitar rumah Agung Sedayu bersama Agung Sedayu sendiri, sementara Sekar Mirah membersihkan bagian dalam rumahnya sambil menjerang air di dapur dan merebus jagung muda.

Agung Sedayu sendiri hari itu tidak terlalu tergesa-gesa pergi ke barak, ia tidak mulai dengan latihan-latihan terlalu pagi.

Baru setelah matahari memanjat langit, bersama dengan Sekar Mirah iapun pergi ke barak pasukan khusus yang disusun oleh Mataram itu.

Seperti di hari sebelumnya, maka masih saja ada beberapa orang anak-anak muda yang memandang Sekar Mirah dengan cara yang tidak sewajarnya. Namun Sekar Mirah berusaha menahan diri. Meskipun sebenarnya ia mempunyai satu keinginan untuk menunjukkan kemampuannya kepada anak-anak muda itu, agar dengan demikian mereka menjadi yakin, dengan siapa mereka berhadapan.

Namun Sekar Mirah masih belum menemukan cara yang baik untuk melakukan niatnya.

Justru karena itu, ketika mereka berjalan pulang, Sekar Mirah berkata kepada Agung Sedayu, “Kakang, apakah kau dapat menyetujui pendapatku, yang barangkali akan dapat menghentikan mereka?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun dengan jantung yang berdebaran ia bertanya juga, “Apakah pendapatmu itu?“

Sekar Mirah menarik nafas dalam dalam. Kemudian katanya, “Berilah mereka satu latihan pada tataran baru yang sulit. Jika tidak seorangpun yang dapat melakukannya, maka biarlah aku melakukan hal itu.”

Agung Sedayu tertegun sejenak, sehingga langkahnya justru terhenti.

Sekar Mirah pun ikut berhenti pula. Dipandanginya wajah Agung Sedayu. Tetapi Sekar Mirah tidak segera mengerti, apakah tanggapan suaminya atas pendapatnya itu.

Namun kemudian Agung Sedayu pun melangkahkan kakinya lagi diikuti oleh Sekar Mirah. Dengan nada datar ia berkata, “Ada juga baiknya.”

“Kau setuju?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku setuju. Besok kita akan membuat satu permainan. Permainan yang tidak merugikan orang lain, tetapi kau berhasil meyakinkan mereka.”

“Baiklah Kakang. Besok aku akan bersiap. Carilah satu cara yang paling baik untuk menunjukkan kepada mereka, bahwa aku memang memiliki kemampuan yang cukup untuk mengajar mereka berolah kanuragan,“ jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu sependapat. Tetapi ia kurang mapan mendengar cara Sekar Mirah mengucapkannya. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak menegurnya.

Demikianlah, ketika keduanya sudah berada di rumah, serta setelah mereka membersihkan diri dan makan malam, maka kedua orang suami istri itu mulai mencari cara yang paling baik untuk menunjukkan kemampuan Sekar Mirah.

“Yang dilakukan oleh seorang demi seorang,“ desis Agung Sedayu.

“Ya, sehingga tidak akan menimbulkan kesan kalah dan menang,” sahut Sekar Mirah.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Mirah, aku pernah bermain-main dengan anak-anak muda itu di atas patok-patok batang kelapa untuk meningkatkan keseimbangan mereka. Karena itu. maka aku akan mulai dengan patok-patok yang lebih kecil. Aku akan mulai dengan patok-patok bambu. Jika ada di antara mereka yang mampu melakukannya, maka biarlah kau tidak usah mencobanya, kita akan mencari cara yang lain, suatu latihan yang lebih sulit.”

Sekar Mirah mengangguk nngguk. Katanya, “Baiklah Kakang, aku tidak akan mengalami kesulitan dengan patok-palok bambu itu.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu memang sudah berniat untuk melakukannya. Kadang-kadang ia memang merasa aneh, bahwa tiba-tiba saja ia ingin menunjukkan satu kelebihan yang ada pada dirinya. Kelebihan dari kebanyakan orang, bahwa istrinya adalah seorang perempuan yang memiliki kemampuan luar biasa.

“Bukan satu sikap sombong,” Agung Sedayu mencoba untuk memantapkan sikapnya, “semata-mata untuk menghindarkan satu anggapan yang kurang baik dari anak-anak muda itu, seolah-olah istriku bukan orang yang berhak ikut serta membina mereka.”

Ketika keduanya di hari berikutnya berada di barak. maka iapun membawa anak-anak muda dari pasukan khusus itu ke lapangan yang lain dari yang biasa mereka pergunakan sebelumnya. Di atas lapangan itu sudah terdapat patok-patok bambu yang tidak terlalu tinggi. Patok-patok itu memang sudah ada sejak anak-anak muda yang mendahului kawan-kawannya berada di tempat itu.

Para pemimpin kelompok yang terdiri dari anak-anak muda yang mendahului kawan-kawannya memasuki barak itu telah pernah melakukan latihan-latihan yang berat di atas patok-patok bambu itu. Sebagian besar dari mereka telah berhasil mancapai satu tingkat kemampuan yang memungkinkan keseimbangan mereka menjadi semakin mantap.

Karena itu, merekapun segera mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu.

Namun seorang pemimpin kelompok telah berbisik kepada seorang kawannya, “Nampaknya Agung Sedayu agak tergesa-gesa. Latihan-latihan dengan patok-patok batang kelapa itupun rasa-rasanya masih belum mulai. Hari ini Agung Sedayu akan mulai dengan patok-patok bambu.”

“Agak berbeda dengan pemantapan latihan di saat kita melakukannya,” sahut kawannya. “Tetapi mungkin itu merupakan satu percobaan dari Agung Sedayu untuk mempercepat peningkatan kemampuan anak-anak itu.”

Sejenak kemudian, anak-anak muda dari pasukan pengawal itu sudah berada di seputar patok-patok bambu yang tidak terlalu tinggi, tetapi berjajar membujur dalam dua baris yang berjarak selangkah lebih sedikit seperti juga jarak antara patok yang satu dengan patok yang lain disetiap baris.

“Kita akan mulai dengan latihan-latihan berikutnya,“ berkata Agung Sedayu. “Kita sudah berlatih dengan patok-patok batang pohon kelapa. Maka sekarang kita akan meningkat pada patok-patok bambu. Tidak banyak bedanya jika keseimbangan kalian telah mantap, maka apakah kalian berada di atas patok-patok batang kelapa, atau patok-patok bambu, tidak akan banyak berbeda. Pada suatu saat kalian akan berlatih berloncatan di atas patok-patok yang lebih kecil lagi, sekaligus untuk melatih ketrampilan kaki.”

Anak-anak muda dari pasukan khusus itu memandang patok-patok bambu yang berjajar dua baris itu. Nampaknya memang tidak terlalu banyak berbeda dengan patok-patok batang kelapa.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun mulai dengan beberapa petunjuk untuk meniti patok-patok itu dari ujung sampai ke ujung. Dua orang bersama-sama pada barisan patok-patok yang berjajar dua itu.

Setelah mengatur anak-anak muda itu dalam barisan berjajar dua-dua, maka Agung Sedayu pun mulai dengan dua orang pertama yang akan meniti patok-patok bambu itu. Berjalan cepat atau berlari.

Beberapa langkah anak-anak muda itu masih mampu menguasai keseimbangan mereka. Namun ternyata bahwa pada suatu saat, keduanya telah mengalami kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan mereka, sehingga akhirnya keduanyapun harus meloncat turun.

Demikianlah, berturut-turut anak-anak muda itu harus meniti patok-patok bambu itu sambil berjalan atau berjalan cepat.

Tetapi ternyata tidak seorangpun di antara mereka yang dapat menyelesaikan sampai ke patok yang paling akhir. Pada langkah-langkah ketiga dan keempat, keseimbangan mereka mulai goyah.

“Kalian harus lebih banyak berlatih,“ berkata Agung Sedayu, “sebenarnya latihan ini bukan latihan yang berat. Nah kalian akan dapat melihat, bagaimana seharusnya kalian melakukan latihan ini.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu. Sementara itu Agung Sedayu berkata terus, “Kalian akan melihat, bagaimana seharusnya kalian melakukannya.”

Anak-anak muda itupun kemudian melihat Sekar Mirah berjalan ke ujung patok bambu itu. Dengan pakaian khususnya Sekar Mirah siap untuk melakukannya. Ia akan memperlihatkan kemampuannya pada satu tingkat lebih baik dari anak-anak muda itu.

“Nah. Lihatlah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “Sekar Mirah akan melakukannya.”

Sekar Mirah pun kemudian meloncat pada patok yang pertama. Kemudian dengan langkah cepat, ia meniti dari patok yang satu ke patok yang lain. Dengan keseimbangan yang mapan, Sekar Mirah akhirnya sampai pada patok yang terakhir.

Tetapi Sekar Mirah tidak segera meloncat turun. Tetapi iapun berputar dan sekali lagi meniti patok-patok itu ke arah yang berlawanan, sehingga akhirnya ia sampai patok yang pertama.

Ketika ia meloncat turun, maka anak-anak muda yang menyaksikan itupun bertepuk tangan. Yang mula-mula memulainya adalah anak-anak muda dari Sangkal Putung sendiri.

Namun demikian, ternyata sebagaimana diduga oleh Agung Sedayu, ada saja orang yang tidak mau menerima hal itu tanpa menunjukkan gejolak perasaannya. Seorang anak muda bertubuh tinggi yang kebetulan telah dikirim mendahului kawan-kawannya dari Mangir melangkah maju sambil berkata, “Bukankah latihan-latihan seperti itu pernah kami lakukan sebelum kawan-kawan kami datang kemudian? Latihan yang tidak ada kesulitan apa pun juga itu dapat aku lakukan pada latihanku yang pertama. Aku langsung dapat meniti patok itu saat pertama kali aku naik.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Baik. Kau memang dapat melakukannya. Aku ingat benar akan hal itu. Tetapi contoh ini diberikan kepada anak-anak muda yang datang kemudian.”

“Contoh seperti itu dapat aku lakukan,“ jawab anak muda bertubuh tinggi itu.

“Bagus,” sahut Sekar Mirah, “lakukanlah. Tetapi sudah tentu bahwa kemampuan seseorang mempunyai tataran dan unda usuk. Lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Kemudian kita akan melakukan bersama. Mungkin kita akan dapat menunjukkan ketrampilan kaki dan keseimbangan kita masing-masing dengan cara kita masing-masing.”

Anak muda bertubuh tinggi itu tersenyum. Namun agaknya ia masih merasa segan terhadap Agung Sedayu. Ketika ia memandanginya dengan tatapan mata yang bimbang, maka Agung Sedayupun mengangguk sambil berkata, “Lakukanlah. Mungkin akan bermanfaat bagi kawan-kawanmu.”

Anak muda itupun kemudian melangkah ke ujung jajaran patok-patok bambu itu. Sejenak ia memandang kawan-kawannya, para pemimpin kelompok-kelompok kecil yang datang bersamanya mendahului kawan-kawannya.

Kemudian. setelah memperhatikan patok-patok itu dengan saksama, maka ia mulai meloncat naik ke atas patok yang pertama. Kemudian iapun langsung meniti patok-patok itu sampai ke patok terakhir. Tetapi seperti yang dilakukan oleh Sekar Mirah, maka ia tidak langsung meloncat turun. Tetapi iapun kemudian berbalik seperti yang dilakukan oleh Sekar Mirah, sehingga sampai ke patok yang pertama.

Ketika ia meloncat turun, maka kawan-kawannyapun telah bertepuk tangan pula justru lebih riuh dari yang pertama.

“Ternyata kau mampu juga melakukannya,“ berkata Sekar Mirah, “tetapi marilah. Kita akan naik bersama-sama. Apakah kau dapat menunjukkan, bahwa kita mempunyai cara berlatih dengan alat ini dengan cara yang lebih baik dari hanya meniti saja.”

Agung Sedayu mulai menegang. Kemudian iapun mendekati Sekar Mirah sambil berdesis, “Sudah cukup.”

“Belum,” jawab Sekar Mirah, “dengan demikian anak-anak itu belum melihat satu tataran yang lebih baik dari mereka sendiri.”

Agung Sedayu merasa ragu-ragu juga. sehingga Sekar Mirah mengulangi kata-katanya, “Marilah bersama-sama kita menunjukkan cara-cara yang lebih baik dari sekedar berlari-lari meniti patok-patok itu.”

Anak muda itu sekali lagi memandang Agung Sedayu, dan sekali lagi Agung Sedayu mengangguk.

“Silahkan,“ berkata Sekar Mirah kemudian.

Anak muda bertubuh tinggi itu mengerti, bahwa ia harus melakukan latihan-latihan ketrampilan kaki lebih dari berjalan cepat atau berlari-lari saja di atas patok-patok itu. Tetapi Ia harus menunjukkan kemampuannya bermain-main dengan patok itu.

Anak muda bertubuh tinggi itu merasa bahwa ia pernah melakukan latihan-latihan yang berat dengan patok-patok seperti itu. Karena itu maka iapun dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, akan melakukannya.

Sejenak kemudian anak muda itu telah meloncat ke patok yang pertama. Kemudian loncatan-loncatan berikutnya adalah gerak yang tidak saja menunjukkan kemampuan keseimbangannya, tetapi juga kecepatan gerak kakinya. Ia meloncat beberapa langkah maju, kemudian berputar dan meloncat ke arah yang berlawanan. Sekali lagi ia berputar, dan dengan cepat ia meniti patok-patok itu hampir sampai ke patok yang terakhir. Tetapi anak muda itu berhenti. Sekali lagi berbalik dan mengulangi langkah-langkahnya yang cepat.

Pada saat itu, maka Sekar Mirah pun telah meloncat pula. Ia mengikuti dan menirukan langkah-langkah anak muda bertubuh tinggi itu beberapa lamanya. Jika anak muda itu maju, Sekar Mirah pun meloncat maju. Jika anak muda itu berputar, maka Sekar Mirah pun berputar pula.

“Tidak ada kelebihan apa-apa,” berkata anak-anak muda yang memperhatikan keduanya dengan saksama. Apalagi anak-anak muda yang datang mendahului kawan-kawannya di barak itu.

Demikianlah, keduanya memang nampak tidak berbeda. Keduanya berdiri pada deretan patok yang berbeda. Namun mereka melakukan tata gerak yang sama karena Sekar Mirah memang menirukan anak muda bertubuh tinggi itu.

Beberapa saat lamanya mereka berloncatan. Sementara itu. anak-anak muda yang menyaksikannya kurang mengerti, apakah arti kedua gerakan yang sama itu.

Agung Sedayu memandang Sekar Mirah dengan dada yang berdebar-debar. Sekar Mirah ingin menunjukkan kelebihannya tanpa mengalahkan orang lain. Tetapi dengan caranya itu ia sudah akan memberikan kesan mengalahkan orang lain.

“Sulit untuk mengekangnya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, anak muda bertubuh tinggi itupun akhirnya merasa cukup. Iapun tidak melihat Sekar Mirah berbuat sesuatu yang mengherankan, melampaui permainannya. Sekar Mirah tidak menunjukkan kelebihan ketrampilan kakinya dan tidak menunjukkan kecepatan geraknya.

“Apa kelebihannya?“ bertanya anak muda bertubuh tinggi itu.

Karena itu, setelah ia mempertunjukkan hasil latihan-latihannya yang berat dengan permainan yang mendebarkan, maka akhirnya iapun meloncat turun.

Sekali lagi kawan-kawannya bertepuk dengan riuhnya. Namun dalam pada itu, anak-anak Sangkal Putung masih juga bertanya-tanya, apakah maksud Sekar Mirah yang sebenarnya.

Ketika anak muda itu sudah meloncat turun, maka Sekar Mirah pun bertanya, “Tidak adakah di antara kalian yang memiliki kemampuan bermain di atas patok ini melampaui seorang anak muda yang lincah ini?”

Pertanyaan itu benar-benar mendebarkan. Bahkan Agung Sedayu pun menjadi berdebar-debar, meskipun karena alasan yang berbeda.

Karena tidak ada seorangpun yang menjawab, maka Sekar Mirah pun berkata, “Baiklah. Jika tidak ada lagi yang ingin bermain patok, aku sajalah. Aku sudah menirukan setiap gerak anak muda bertubuh tinggi ini. Dengan demikian, maka di antara kami berdua memang tidak nampak tataran kemampuan. Tetapi yang telah aku lakukan, menirukan tata gerak anak muda bertubuh tinggi itu, bukannya kemampuan puncakku. Karena itu, baiklah aku akan memberikan permainan yang sedikit berbeda dengan yang sudah ditunjukkan. Sedikit dari kemampuan yang ada padaku.”

Wajah-wajah menjadi tegang, Agung Sedayu pun menegang. Ia tidak pernah mempergunakan cara yang langsung seperti Sekar Mirah. Ketika ia mencoba marah dan menghukum anak-anak muda yang bersalah, maka keringatnya telah mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Namun sementara itu, Sekar Mirah dengan tanpa kesan apapun telah menyatakan dirinya sebagai seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi.

“Aku juga pernah mencobanya,“ berkata Agung Sedayu dalam hatinya untuk mengurangi kegelisahannya, “aku juga pernah terpaksa bersikap sombong untuk menertibkan sikap anak-anak yang bengal itu.”

Sebenarnyalah Sekar Mirah telah bersiap untuk melakukan satu permainan yang akan dapat menyentuh perasaan anak-anak muda itu. Yang paling berdebar-debar adalah anak-anak muda Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, mereka masih dipengaruhi oleh hubungan di antara mereka dengan Sekar Mirah, anak perempuan pemimpin kademangan mereka.

Sekar Mirah memang masih berada di atas patok bambu. Ia berdiri di atas satu kakinya yang beralaskan sebatang patok. Untuk sesaat Sekar Mirah berdiam diri sambil memandangi patok-patok itu. Namun sejenak kemudian, maka iapun mulai dengan permainannya.

Ketika Sekar Mirah mulai dengan langkah-langkah pertamanya, anak-anak muda itu tidak terkejut karenanya. Bahkan mereka menganggap bahwa Sekar Mirah hanya akan membuang-buang waktu saja, karena yang dilakukan tidak lebih sulit dari anak muda bertubuh tinggi.

Namun langkah Sekar Mirah semakin lama menjadi semakin cepat. Anak-anak itu terkejut ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah meloncat dari deret yang satu kederet yang lain. Kemudian meloncat lagi ke deret yang pertama.

Anak-anak muda itu mulai menjadi berdebar-debar. Ternyata gerak Sekar Mirah menjadi kian cepat. Langkahnya menjadi semakin ringan, sehingga anak-anak muda itu menjadi berdebar debar ketika mereka menyaksikan Sekar Mirah berloncatan di atas patok itu dalam putaran yang cepat dan loncatan-loncatan segi tiga di atas kedua deret patok bambu itu.

Agung Sedayu menyaksikan tiap gerak Sekar Mirah dengan hati yang berdebar-debar pula. Apalagi ketika Sekar Mirah benar-benar telah menunjukkan kemampuannya. Tubuhnya bagaikan tidak lagi mempunyai bobot. Pada ujung kakinya menyentuh patok-patok itu, kemudian melenting ke patok yang lain. Bahkan kadang-kadang Sekar Mirah tidak meloncat dari patok yang satu ke patok berikutnya, tetapi kadang-kadang ia meloncati satu patok dan hinggap pada patok berikutnya untuk melenting lagi ke patok yang lain.

Ketegangan menjadi semakin memuncak. Sekar Mirah mulai menari di atas patok-patok itu. Dengan satu gerak yang tidak disangka-sangka, Sekar Mirah bagaikan dilontarkan dari deretan patok yang satu ke deretan yang lain. Demikian pula sebaliknya.

Anak-anak muda itu bagaikan membeku diam di tempatnya sambil menarik nafas. Mereka tidak dapat membayangkan, bagaimana mungkin seorang perempuan akan dapat berbuat demikian.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu ternyata telah menangkap sesuatu yang mendebarkan. Ternyata Sekar Mirah telah sampai pada satu sikap yang dapat menumbuhkan kegelisahan. Ia tidak saja menunjukkan ketrampilan kakinya bergerak di atas patok-patok bambu, tetapi ia sudah merambah pada kekuatan dan kemampuan Ilmunya yang mendebarkan.

Tidak ada orang lain yang melihatnya. Baru Agung Sedayu sajalah yang dapat menangkap niat Sekar Mirah untuk membuat pangeram-eram.

“Mirah, jangan,” minta Agung Sedayu sambil mendekati Sekar Mirah yang berputaran dan berloncatan di atas patok-patok bambu itu.

Sekar Mirah seolah-olah tidak mendengar suara Agung Sedayu itu. Ia masih saja berloncatan. Semakin lama menjadi semakin cepat. Dan menurut penglihatan Agung Sedayu, Sekar Mirah benar-benar ingin menunjukkan sesuatu yang tidak akan diduga sebelumnya oleh anak-anak muda itu.

Tetapi sekali lagi Agung Sedayu berkata, “Cukup Mirah. Aku minta kau mendengarkannya.”

Namun agaknya Sekar Mirah benar-benar ingin mengguncang perasaan anak-anak muda itu. Karena itu. maka ia sama sekali tidak menghiraukan peringatan Agung Sedayu. Bahkan ia telah mengerahkan kemampuannya, sehingga yang ingin dilakukannya itupun terjadi semakin cepat.

Agung Sedayu menjadi berdebar debar. Ia tidak ingin membiarkan Sekar Mirah melakukannya. Tetapi agaknya Sekar Mirah sama sekali tidak menghiraukannya.

Karena itu. Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain kecuali mencegahnya dengan caranya.

Beberapa langkah Agung Sedayu justru bergeser surut untuk mengambil jarak. Kemudian iapun telah mengetrapkan ilmunya yang memancar dari sorot sepasang matanya. Namun dalam lapisan yang sengat lemah.

Dengan hati-hati ia mengetrapkan ilmunya itu diarahkan kepada ujung kaki Sekar Mirah yang sedang menari-nari. Sekilas-sekilas saja, bukan serangan yang sungguh-sungguh yang dapat melumpuhkan kaki itu. Namun sentuhan ilmu Agung Sedayu yang lemah itu bagaikan sentuhan api yang menjilat kaki Sekar Mirah.

Sekar Mirah terkejut. Kakinya benar-benar merasakan sentuhan-sentuhan panas. Sekilas lalu hilang. Tetapi sesaat kemudian perasaan panas itu telah menyentuhnya pula.

Jantung Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Iapun sadar bahwa perasaan panas itu bukan karena sentuhan kakinya dengan patok-patok bambu itu, tetapi tentu ada sebab lain. Dan Sekar Mirah pun menyadari, justru karena Agung Sedayu telah memperingatkannya, tetapi tidak dihiraukannya.

Ternyata Sekar Mirah tidak dapat mengabaikan peringatan Agung Sedayu. Ia tidak tahu, bagaimana cara Agung Sedayu melakukannya. Tetapi dengan demikian Sekar Mirah sadar, bahwa Agung Sedayu memang seorang yang memiliki ilmu yang lain, yang tidak kasat mata dan yang jarang dimiliki oleh orang lain.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun tidak mempunyai pilihan. Ia harus memperhatikan peringatan Agung Sedayu yang sudah menunjukkan kepadanya, satu kemampuan ilmu yang tidak dapat dimengertinya.

“Tetapi kemampuan ini tidak banyak berarti dalam benturan olah kanuragan,“ berkata Sekar Mirah yang masih berpijak di atas harga dirinya. “Dalam pertempuran yang sebenarnya, seseorang akan bertempur pada jarak jangkau tangan-tangan mareka atau senjata-senjata yang mereka pergunakan. Dengan demikian apakah Kakang Agung Sedayu akan berkesempatan melontarkan serangan dengan permainan panas sepert ini?”

Namun pada kaki Sekar Mirah terasa sentuhan-sentuhan perasaan panas itu. Karena itulah, maka permainan Sekar Mirah pun telah mengendor, sehingga geraknya tidak lagi menjadi bertambah cepat, dan yang mendebarkan jantung Agung Sedayu adalah pangeram-eram yang akan dilakukannya.

Tetapi dalam pada itu. Sekar Mirah yang pada dasarnya memiliki ketajaman penglihatan dan panggraita itu-pun dapat menduga, bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan melontarkan satu jenis ilmu lewat sorot matanya. Kemampuan yang pernah didengarnya, tetapi secara pasti belum pernah dapat dibuktikannya.

“Tetapi jika kemampuan itu adalah kemampuan yang begini, maka ilmu yang lain ini bukannya ilmu pamungkas yang nggegirisi,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.

Dengan kecewa Sekar Mirah pun kemudian terpaksa mengakhiri permainannya. Dengan tangkasnya Sekar Mirah kemudian meloncat dari patok-patok bambu itu, turun dan berjejak di atas tanah.

Demikian ia meloncat turun, maka anak-anak muda itupun telah bertepuk dengan gemuruh, seakan-akan telah memecahkan langit. Terutama anak-anak Sangkal Putung. Meskipun sebenarnya Sekar Mirah ingin menunjukkan lebih dari sekedar berloncatan saja. Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu mendekatinya, maka Sekar Mirah pun bertanya sambil berbisik, “Kenapa kau mencegahnya Kakang?”

“Belum waktunya kau perlihatkan sekarang,“ jawab Agung Sedayu.

“Kakang salah,” jawab Sekar Mirah, “mereka belum melihat sesuatu yang dapat mereka kagumi. Karena itu, mereka tentu masih ada yang akan menuntut lebih banyak.”

“Aku kira sudah cukup Mirah. Mereka sudah puas,” jawab Agung Sedayu pula.

“Belum. Dan Kakang selalu ragu-ragu dan berbuat setengah-setengah. Kenapa tidak kita lakukan sampai tuntas?” jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kemudian dipandanginya patok-patok bambu itu. Agaknya patok-patok itu telah membenam lebih dalam dari semula, hampir setebal jari. Jika Agung Sedayu tidak mencegahnya, maka Sekar Mirah tentu akan melakukannya, sehingga patok-patok itu akan membenam lebih dalam kira-kira sejengkal dari semula. Dengan demikian, ia memang akan berhasil mengguncang hati anak-anak muda itu. Tetapi itu adalah sikap yang sangat sombong.

Dalam pada itu. anak-anak muda itupun benar-benar telah dicengkam oleh kekaguman melihat ketangkasan Sekar Mirah. Mereka tidak sempat melihat, apa yang telah dilakukan lebih jauh oleh Sekar Mirah itu, karena Sekar Mirah baru memulainya. Mereka belum melihat bahwa patok-patok bambu itu mulai membenam lebih dalam.

Namun dalam pada itu, dugaan Sekar Mirah-lah yang lebih mendekati kebenaran. Yang dilihat oleh anak-anak muda itu baru ketrampilan kaki, keseimbangan dan kecepatan bergerak saja.

Karena itu, maka kekaguman anak-anak muda, terutama anak-anak muda yang tidak berasal dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, semata-mata hanyalah pada tata gerak saja. Belum melihat kedalaman ilmu yang menggetarkan jantung.

Karena itulah, maka anak-anak muda yang mendahului memasuki lingkungan pasukan khusus itu dan mendapat tempaan yang berat, masih belum dapat melihat kelebihan yang mendalam pada Sekar Mirah itu. Bahkan seorang anak muda yang memiliki tingkat kemampuan melampaui kawan-kawannya berkata, “Sungguh luar biasa. Tetapi sekedar permainan kaki dalam kecepatan gerak, sehingga apakah ketrampilan kaki itu akan banyak memberikan arti dalam benturan ilmu yang sebenarnya?”

Ternyata anak muda itu dengan sengaja telah memancing perhatian Sekar Mirah, karena kata-kata itu seolah-olah memang diperdengarkan kepada perempuan itu.

Jantung Sekar Mirah menjadi berdebaran. Dengan nada tajam ia berkata kepada Agung Sedayu, “Kau lihat Kakang, bagaimana tanggapan anak-anak itu atas permainan yang tidak berarti apa-apa itu. Mereka menuntut sesuatu yang dapat menggetarkan jantung mereka sebagai anggota satu pasukan khusus. Yang mereka perlukan adalah satu pameran ilmu, bukan sekedar tarian di atas patok-patok bambu.”

Jantung Agung Sedayu pun menjadi berdebar-debar pula. Ternyata ia keliru menilai. Ia menganggap bahwa pengaruhnya terhadap anak-anak muda itu cukup kuat untuk mendorong mereka menghargai Sekar Mirah sebagai istrinya.

Tetapi ternyata anak-anak itu menghendaki lain. Mereka ingin melihat Sekar Mirah itu sebagai Sekar Mirah. Seorang perempuan cantik yang masih muda. yang menempatkan dirinya sebagai salah seorang di antara para pembimbing dalam pasukan khusus itu. Pasukan yang bekerja keras untuk membentuk diri mereka sebagai satu pasukan yang dapat dipercaya di segala medan peperangan, menghadapi segala macam lawan dari segala tataran.

Satu dua orang di antara mereka yang sempat melihat Sekar Mirah bertempur di tepian, tidak mempunyai banyak pengaruh atas pendapat anak-anak muda itu. Apalagi di antara mereka yang menyelubungi diri mereka dengan ujud tukang-tukang satang itu sebagian besar adalah anak-anak Tanah Perdikan Menoreh sendiri, yang memang sudah mengenal Sekar Mirah.

Tetapi anak-anak muda dari Mangir, dari Pasantenan, dari Mataram sendiri, masih belum tahu pasti kemampuan Sekar Mirah yang dengan berani menempatkan dirinya di dalam deretan nama para pembimbing.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Aku tidak menghendaki perbandingan langsung untuk mengetahui takaran ilmu. Tetapi Kakang agaknya telah menyudutkan aku untuk berbuat demikian. Jika aku harus menjawab tantangan anak-anak muda itu, bukankah berarti bahwa aku harus berkelahi? Bukankah Kakang sendiri tidak sependapat dengan cara itu?”

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menutup mata dan telinganya. Ia melihat wajah-wajah yang kurang percaya akan kemampuan Sekar Mirah. Dan iapun sudah mendengar tanggapan anak-anak muda itu terhadap kemampuan Sekar Mirah yang seakan-akan hanya pandai bermain kejar-kejaran dan keseimbangan saja.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba masih juga terdengar seorang anak muda yang lain berkata, “Kami memang ingin melihat satu kedalaman ilmu sebagaimana telah ditunjukkan oleh Agung Sedayu. Sejak pertama kali ia memberikan latihan-latihan kepada kami, kami sudah mengetahui, bahwa sebilah pisau yang tajam tidak mampu mengoyak kulitnya.”

Wajah Agung Sedayu menegang. Ia teringat kepada seorang anak muda Pasantenan yang telah menjajagi ilmunya di tepian. Yang telah menaburkan pasir ke matanya dan kemudian menusuknya.

Karena itulah. maka akhirnya Agung Sedayupun mengambil satu kesimpulan. Katanya kepada diri sendiri, “Hal-hal semacam itu memang perlu. Ternyata anak-anak ini sekarang juga membutuhkannya.”

Tetapi Agung Sedayu tidak ingin membiarkan Sekar Mirah membenturkan ilmunya dengan anak-anak muda itu, meskipun ia akan melawan sepuluh orang sekaligus. Dengan demikian, mungkin Sekar Mirah akan melakukan satu pameran kekuatan yang akan dapat menyulitkan keadaan anak-anak muda itu, justru karena Sekar Mirah merasa terhina karenanya.

Karena itu, maka Agung Sedayu agaknya terpaksa kembali kepada cara yang akan ditempuh oleh Sekar Mirah, yang semula telah dicegahnya.

“Baiklah Sekar Mirah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “lakukanlah permainan yang ingin kau lakukan. Aku kira itu akan lebih baik daripada kau harus menunjukkan kemampuanmu dengan diperbandingkan langsung atas anak-anak muda itu.”

Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sambil tersenyum kecil. Katanya hampir berbisik di telinga Agung Sedayu, ”Baru beberapa hari aku berada di sini. Ternyata aku lebih mengenal jiwa mereka daripada kau. Karena kau sendiri terlalu ragu-ragu dan banyak pertimbangan, sehingga langkahmu kadang-kadang patah di tengah oleh keragu-raguanmu itu. Ilmu yang tertimbun di dalam dirimu, agaknya akan kurang bermanfaat bagi lingkunganmu jika kau selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan ketidak percayaan kepada perhitungan sendiri.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Sebelum Sekar Mirah menjadi istrinya, ia sudah sering mendengar tanggapannya atas sikapnya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak membantah lagi.

Dalam pada itu, maka Sekar Mirah pun kemudian menghadap langsung kepada anak-anak muda itu. Katanya, “Permainanku belum selesai. Kakang Agung Sedayu-lah yang menganggap bahwa permainanku sudah selesai. Namun akhirnya kalian hanya melihat satu permulaan yang tidak bernilai, selain sekedar mempertunjukkan ketangkasan kaki dan kecepatan gerak. Memang tidak lebih. Tetapi baiklah, aku akan melanjutkan permainanku atas ijin Kakang Agung Sedayu. Bukan sikap sombong seperti yang disangka oleh Kakang Agung Sedayu. Tetapi sekedar memenuhi keinginan kalian untuk melihat kedalaman ilmu yang ada padaku. Jika permainan ini masih juga tidak memberikan kepuasan, maka aku akan menyerahkan persoalannya kepada kalian, apakah yang kalian kehendaki dariku untuk membuktikan bahwa aku memang memiliki ilmu itu.”

Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah memang tidak banyak berbeda dari kakaknya, Swandaru. Karena itu, maka ia dengan terbuka mengatakan apa yang terpikirkan olehnya. Bahkan menurut ukuran Agung Sedayu, sikap itu memang sudah diwarnai oleh sikap sombong.

Anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar. Permainan apalagi yang akan dipertunjukkan oleh Sekar Mirah dengan patok-patok bambu itu selain meloncat-loncat, berputar-putar dan melenting dari deretan yang satu ke deret yang lain, kemudian kembali lagi ke deretan yang semula.

Sejenak anak-anak muda itu menunggu. Mereka melihat Sekar Mirah meloncat naik. Kemudian yang terjadi tidak banyak berbeda dari yang dilakukannya terdahulu. Semakin lama semakin cepat. Perempuan itu berloncatan dari satu patok ke patok yang lain. Melenting, berputar di udara dan gerak-gerak yang mendebarkan. Tetapi anak-anak muda yang datang mendahului kawan-kawannya di barak itu, telah melakukan latihan seperti itu, meskipun agaknya mereka masih belum sampai pada tingkat ketrampilan Sekar Mirah.

Tetapi bagi mereka, ketrampilan kaki bukan keputusan terakhir untuk menilai kemampuan seseorang. Apalagi dalam benturan olah kanuragan. Ketrampilan yang demikian hanya dapat dikagumi sebagai tata permainan yang mendebarkan.

Beberapa lama Sekar Mirah telah melakukannya, tetapi anak-anak muda itu masih belum melihat sesuatu yang benar-benar mampu mengguncang jantung mereka, selain debar-debar yang menggelitik karena kecepatan gerak Sekar Mirah.

Beberapa saat kemudian, gerak Sekar Mirah menjadi semakin mengendor, meskipun tampak semakin mantap. Tetapi kakinya tidak lagi terlalu cepat menari di atas patok-patok bambu itu. Semakin lama semakin lambat, sehingga akhirnya Sekar Mirah hanya melakukan loncatan-loncatan biasa saja dengan langkah-langkah yang jauh, berbeda dengan langkah-langkah kakinya semula. Jika semula perempuan itu seolah-olah tidak memiliki berat sama sekali oleh lontaran-lontaran kakinya, maka kemudian kakinya justru nampak menjadi sangat berat, seperti dibebani timah.

“Ia sudah sangat lelah,“ berkata salah seorang anak muda, ”tetapi ia masih belum berhenti.”

Namun anak muda itu tidak usah menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian, Sekar Mirah memang sudah berhenti. Iapun kemudian meloncat turun dari patok-patok bambu itu. Sambil tersenyum ia berpaling ke arah Agung Sedayu, kemudian memandangi anak-anak muda itu dengan wajab tengadah.

Sesaat anak-anak muda itu kurang mengerti apa yang terjadi. Namun mereka melihat wajah Agung Sedayu yang bersungguh-sungguh. Dengan kerut di dahi Agung Sedayu memandangi patok-patok bambu itu.

“Kenapa dengan patok-patok bambu itu?” desis seorang anak muda.

Tiba-tiba seorang anak muda berdesis dengan wajah tegang, “He, kau lihat itu?”

“Apa?“ bertanya kawannya.

“Patok-patok itu menjadi semakin pendek. He, apakah bagitu?” jawabnya dengan ragu-ragu.

Kawannya mulai memperhatikan patok-patok itu. Ternyata patok-patok itu sudah tidak rampak lagi. Ada yang lebih pendek dari patok di sebelahnya, hampir sejengkal.

“Patok-patok itu,” yang lain menggamit kawannya sambil berbisik.

Akhirnya anak-anak muda itupun melihat satu kenyataan yang benar-benar telah mengguncang hati mereka. Patok-patok itu sebagian besar telah membenam semakin dalam. Bahkan ada di antara patok-patok itu yang membenam sejengkal lebih.

“Bukan main,” anak-anak muda itu saling berbisik. Tetapi mereka masih dicengkam oleh getar kekaguman sehingga seolah-olah mereka tidak dapat mengatakannya.

“Apa yang kalian lihat?“ bertanya Sekar Mirah.

Anak muda yang bertubuh tinggi. yang semula kecewa karena ia hanya dapat melihat kecepatan gerak dan keseimbangan itupun selangkah maju. Hampir di luar sadarnya ia mengangguk hormat sambil berkata, “Memang luar biasa. Kami sekarang sudah melihat kelebihan yang sukar dicari bandingnya. Karena itulah maka kalian berdua telah menempatkan diri sebagai pembimbing kami. Dengan ikhlas kami akan menerima Sekar Mirah di antara mereka yang berhak menentukan arah kemampuan kami.”

“Terima kasih,” sahut Sekar Mirah, “aku kira hal seperti ini memang perlu. Dengan demikian kalian tidak akan ragu-ragu dengan siapa kalian berhadapan. Agaknya Kakang Agung Sedayu mempunyai cara yang lain untuk menyatakan kelebihannya. Kalian sudah pernah mendengar bahwa Kakang Agung Sedayu tetah berhasil membunuh Ajar Tal Pitu, dan yang terakhir Kiai Mahoni. Tanpa menunjukkan apapun juga kalian sudah dapat membuat takaran, betapa tinggi ilmunya. Tetapi terhadap aku kalian memang perlu melihat langsung seperti sekarang ini. Apalagi aku seorang perempuan.”

“Kami sudah menyaksikannya,” jawab anak muda itu.

Sekar Mirah tersenyum. Lalu katanya, “Kalianpun akan dapat melakukannya, jika kalian berlatih dengan sungguh-sungguh. Aku tidak berkeberatan bersama kakang Agung Sedayu untuk mencapai satu tingkat tertentu. Kalian harus berlatih bertahun-tahun. Bukan hanya tiga empat bulan.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu berkata, “Yang kalian lihat adalah kekuatan tenaga cadangan di dalam diri seseorang. Sebenarnyalah untuk dapat mengungkit seluruh kekuatan tenaga cadangan diperlukan waktu yang sangat panjang.”

“Kami akan menunggu kesempatan untuk dapat mengetahuinya serba sedikit. Yang sudah kami mulai, ternyata masih sangat dangkal,” jawab anak muda bertubuh tinggi itu.

“Ya. Tetapi kalian sudah memulainya,” jawab Agung Sedayu, “karena itu. diperlukan ketekunan dan kesungguhan.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Beberapa orang di antara mereka yang telah terlanjur menganggap permainan Sekar Mirah sebagai sekedar permainan keseimbagan, menjadi malu. Ternyata perempuan itu mampu melakukan sesuatu di luar dugaan mereka.

Namun dalam pada itu, yang tidak diduga-duga ternyata telah terjadi. Pada saat-saat beristirahat dan apalagi di saat-saat menjelang tidur di malam hari, peristiwa itu telah berkembang dari mulut ke mulut. Bukan saja anak-anak muda Sangkal Putung yang dengan bangga menceritakan apa yang dapat dilakukan oleh Sekar Mirah, namun anak-anak muda yang datang dari daerah lainpun telah menceritakan kemampuan Sekar Mirah itu dengan penuh gairah. Mereka menganggap bahwa di samping Agung Sedayu sendiri, Sekar Mirah adalah pembimbing terbesar di dalam barak itu.

Hal itulah yang ternyata telah menimbulkan persoalan. Ternyata seorang senapati muda dari Mataram yang telah ditunjuk menjadi salah seorang pemimpin dan sekaligus pembimbing dalam barak itu telah merasa tersinggung oleh cerita yang kemudian tersebar di seluruh barak.

“Omong kosong,” geram senapati muda itu, “aku tidak percaya akan pendapat ngayawara itu. Mungkin Sekar Mirah memang dapat membuat pangeram-eram dengan menekan patok-patok itu lebih dalam. Tetapi itu bukan ukuran olah kanuragan yang sebenarnya. Seorang yang memiliki kekuatan seekor gajah, belum tentu dapat menangkap seekor kijang. Karena itu, kekuatan kaki perempuan itu tidak menjamin kemampuannya yang sebenarnya di dalam olah kanuragan.”

“Perempuan itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Tenaga cadangan di dalam dirinya telah berhasil dikuasainya. Di samping kekuatannya, ia mampu bergerak dengan kecepatan tatit dan keseimbangan yang utuh. Ia memang mempunyai unsur-unsur yang diperlukan dalam olah kanuragan.”

“Yang kau lihat adalah sebuah pertunjukan,” jawab senapati itu, “bukan sebenarnya benturan ilmu dalam olah kanuragan.”

Anak-anak muda yang mendengar pendapat senapati itu mengangguk-angguk. Merekapun mulai berpikir, bahwa yang dilihatnya itu adalah sebuah pertunjukan.

“Di dalam benturan ilmu, tata gerak kita tidak akan dapat diatur menurut urutan yang kita biasakan sebelumnya. Dalam pertempuran kita dituntut untuk mempergunakan nalar dan kecepatan menentukan sikap, itulah yang penting. Bukan kecepatan menari dan kekuatan kaki sebagaimana kau lihat dalam pertunjukan tari.”

Anak-anak muda itu masih mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka masih berkata, “Tetapi ia adalah istri Agung Sedayu. Dari Agung Sedayu perempuan itu tentu mendapat banyak tuntunan. Apalagi menurut anak-anak Sangkal Putung, ia adalah satu-satunya murid Sumangkar, salah seorang gegedug Jipang pada saat Arya Penangsang masih berkuasa.”

Tetapi Senapati itu tertawa. Katanya, “Kau menghubungkan kemampuan seseorang dengan nama-nama orang lain. Yang penting adalah Sekar Mirah itu sendiri. Bukan suaminya, bukan gurunya dan bukan kakek neneknya.”

Anak-anak muda itu tidak berani membantah lagi. Mereka menyadari bahwa senapati muda itu telah mulai menjadi marah.

Namun anak-anak muda itu sama sekali tidak menduga bahwa senapati muda itu tidak hanya sekedar menolak anggapan anak-anak mada itu. Tetapi terbersit di dalam angan-angannya untuk menjajagi kebenaran anggapan anak-anak muda itu.

“Perempuan itu bukan orang terbaik di barak ini,“ berkata senapati itu kemudian. Dan anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar ketika senapati itupun kemudian berkata, “Aku akan membuktikannya, bahwa ia bukan orang terbaik. Bahkan Agung Sedayu pun bukan. Ia memang dapat mengalahkan Ajar Tal Pitu. Tetapi bagiku itu bukan ukuran. Kita tidak tahu dengan pasti. sampai tingkat yang manakah kemampuan Ajar Tal Pitu itu sendiri.” Bagaimanapun juga, anak-anak muda di dalam barak itu menjadi gelisah. Mereka tidak menyangka bahwa seorang di antara para pemimpin di barak itu masih belum dapat berpikir dewasa. Senapati itu memang masih muda, tetapi lebih tua dari anak-anak muda di dalam barak itu pada umumnya. Dan lebih tua dari Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Ketika senapati itu kemudian pergi, maka anak-anak muda itupun saling berbisik di antara mereka.

“Kenapa senapati itu marah?” desis salah seorang dari mereka.

“Entahlah. Tetapi senapati itu tidak mau bahwa Sekar Mirah dianggap lebih besar dari dirinya atau senapati-senapati yang lain.”

“Tetapi sebenarnya ia tidak perlu bersikap seperti itu. Tidak sedap bagi kita semuanya yang berada di barak ini,” berkata yang lain lagi.

“Bagaimana sikap Ki Lurah Branjangan yang untuk sementara menjadi Panglima pasukan khusus ini?” bertanya anak muda yang pertama.

“Entahlah. Tetapi jika Ki Lurah mengetahui, ia akan dapat mengambil tindakan pencegahan,“ jawab yang lain.

Tetapi anak-anak muda itu berharap tidak terjadi sesuatu, dan mereka telah membuat kegelisahan tanpa alasan.

Tetapi sebenarnyalah bahwa senapati itu benar-benar telah menjadi sakit hati. Sebelum kehadiran Sekar Mirah, senapati itu telah merasa iri melihat kedudukan Agung Sedayu. Apalagi kemudian kedatangan Sekar Mirah telah merampas perhatian anak-anak muda dalam pasukan khusus itu, karena perempuan itu sudah membuat pangeram-eram.

Bagi senapati yang lain dan bagi Ki Lurah sendiri, cerita tentang Sekar Mirah itu telah mereka tanggapi dengan baik. Justru dengan demikian anak-anak muda dan pasukan khusus itu akan berlatih dengan sungguh-sungguh, justru karena mereka menganggap bahwa orang yang memberikan latihan adalah orang yang terbaik.

Namun ada juga orang yang ternyata mempunyai pendapat yang lain. Sehingga dengan demikian maka pendapat yang berbeda itu akan dapat menimbulkan persoalan yang tersendiri.

Dalam pada itu, kegelisahan anak-anak muda di barak itu menjadi semakin meningkat, ketika mereka seolah-olah telah mendapatkan satu keyakinan, bahwa senapati itu benar-benar ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kelebihan dari Sekar Mirah. Bahkan Agung Sedayu.

Karena itu, seolah-olah mereka telah berjanji untuk selalu mengamati keadaan. Jika terjadi sesuatu, adalah menjadi kewajiban mereka untuk melaporkannya kepada Ki Lurah Branjangan.

Tetapi dalam satu dua hari ternyata tidak terjadi sesuatu, sehingga anak-anak muda di lingkungan pasukan khusus yang pernah mencemaskan terjadinya sesuatu yang tidak mereka inginkan itu menjadi agak lapang.

Namun pada suatu hari, anak-anak muda yang hampir melupakan persoalan yang timbul di hati senapati muda itu telah menjadi berdebar. Ketika matahari telah condong ke barat, dan pada saatnya Agang Sedayu dan Sekar Mirah meninggalkan barak karena tugas mereka telah selesai, mereka telah melihat senapati muda itu telah berkemas pula.

“Apa yang akan dilakukannya?“ desis seorang anak muda yang berkumis tipis.

“Entahlah,” sahut anak muda yang bertubuh tinggi, “tetapi agaknya iapun akan meninggalkan barak ini.”

“Aku menjadi curiga. Apakah ia akan menyusul Agung Sedayu?“ bertanya yang berkumis.

“Apakah ia berani berbuat demikian?“ sahut yang lain.

Anak-anak muda itu menjadi semakin gelisah. Sejenak kemudian mereka melihat senapati itu sudah menuntun seekor kuda, diikuti oleh tiga orang pemimpin kelompok dari antara anak-anak muda Mangir dan Pasantenan.

“He,“ anak muda bertubuh tinggi itu berusaha mendekati anak muda dari Mangir, “kemana?”

“Aku akan mengikuti senapati,“ jawab anak muda dari Mangir itu.

“Ya, kemana?” desak anak muda yang bertubuh tinggi.

“Aku tidak tahu,” jawabnya.

Anak muda bertubuh tinggi itu tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Sejenak kemudian senapati itupun telah meninggalkan halaman barak di atas punggung kudanya, diikuti oleh tiga orang pemimpin kelompok.

“Memang agak mencurigakan,“ desis seorang anak muda yang menyaksikan kepergian senapati itu.

“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Kita memang terlalu banyak dibayangi oleh prasangka dan kecurigaan,” berkata yang lain.

Namun bagaimanapun juga, ternyata bahwa anak-anak muda itu masih tetap gelisah. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Apakah sebaiknya kita melaporkannya kepada Ki Lurah Branjangan. Jika sesuatu terjadi, bukan lagi menjadi tanggung jawab kita sepenuhnya, karena Ki Lurah sudah mengetahuinya, atau dianggap sudah mengetahuinya.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Kita menghadap Ki Lurah Branjangan. Rasa-rasanya hati ini tidak tenang. Kita melihat Agung Sedayu dan istrinya meninggalkan barak ini. Biasanya mereka hanya berjalan kaki. Sementara itu. senapati yang mengiringnya itu telah keluar pula dari barak ini berkuda dengan tiga orang dari Mangir dan Pasantenan. Apakah dengan demikian kita tidak dapat mengambil satu kesimpulan bahwa senapati itu telah menyusul Agung Sedayu untuk membuat satu perhitungan?”

Kawan-kawannya ternyata telah menyetujuinya. Sehingga karena itu maka merekapun telah menugaskan dua orang di antara mereka untuk bertemu dengan Ki Lurah Branjangan dan mengatakan apa yang pernah mereka ketahui.

Dalam pada itu, ketika dua orang di antara anak-anak muda itu telah menghadapnya, Ki Lurah memang menjadi cemas pula. Karena itu maka katanya, “Apakah tidak lebih baik kalau kalian melihat, apa yang terjadi di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk? Bukankah biasanya Agung Sedayu selalu langsung pulang ke rumahnya? Seandainya ia singgah, maka ia akan singgah di sawahnya yang terletak di pinggir jalan itu pula.”

“Tetapi apa arti kami semuanya?“ jawab salah seorang anak muda itu, “Kami tidak akan dapat memberikan pengaruh apa-apa atas sikap seorang senapati yang memimpin kami dan langsung membimbing kami, jika benar terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan.”

Ki Lurah pun berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan segera bersiap. Tetapi pada saat yang demikian ini, senapati berkuda itu tentu sudah berhasil menyusul Agung Sedayu. Tetapi mudah-mudahan dugaan kalian keliru. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.”

Meskipun demikian, Ki Lurah itupun segera bersiap-siap. Tetapi ia sengaja tidak membawa anak-anak muda di barak itu. Ia akan pergi bersama senapati yang lain, yang ikut serta memimpin barak itu. Ia menduga bahwa jika terjadi sesuatu, biarlah bukan anak-anak dari pasukan khusus itu yang menyaksikannya, kecuali yang dibawa oleh senapati muda itu sendiri.

Sejenak kemudian, Ki Lurah bersama seorang senapati telah meninggalkan barak itu. Kepada petugas di regol ia mengatakan bahwa ada keperluan yang harus segera diselesaikan di luar barak.

Tetapi para penjaga regol itupun sudah dijalari oleh kecemasan pula tentang kepergian senapati muda yang hanya berselang beberapa saat dari kepergian Agung Sedayu, serta dugaan-dugaan yang timbul di antara anak-anak muda dalam pasukan khusus itu.

Sebenarnyalah, ketika orang-orang di barak sedang menduga-duga dengan cemas apa yang akan terjadi, senapati muda itu telah menyusul perjalanan Agung Sedayu dan menghentikannya di tengah-tengah jalan di pinggir pategalan.

“Aku mempunyai sedikit persoalan, Agung Sedayu,“ berkata senapati muda itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia merasa aneh bahwa senapati muda itu telah menyusulnya dan menyatakan dirinya mempunyai persoalan.

Dalam kebimbangan, Agung Sedayu melihat senapati muda bersama tiga orang anak-anak muda dari pasukan khusus itu meloncat turun dari kudanya.

“Kami ingin berbicara dengan kalian tanpa diganggu oleh orang lain,” berkata senapati muda itu.

“Apakah maksudmu agar kami berdua kembali lagi ke barak?“ bertanya Agung Sedayu.

“Tidak. Aku dapat berbicara berdua saja. Juga dapat di tengah-tengah pategalan itu,” jawab senapati muda itu.

“Apakah kau mendapat pesan dari Ki Lurah?“ bertanya Agung Sedayu pula.

“Tidak. Aku sama sekali tidak memberitahukan persoalan itu kepada Ki Lurah Branjangan,“ jawab senapati muda itu.

“Aku tidak mengerti,” desis Agung Sedayu.

“Kau memang tidak mengerti. Tetapi jika benar bahwa kalian berdua adalah pembimbing terbaik dari barak kita, maka kalian tentu dapat menerima ajakanku kali ini. Marilah kita masuk ke dalam pategalan ini.”

Agung Sedayu menjadi semakin kurang mengerti. Sejenak ia saling berpandangan dengan Sekar Mirah.

Namun kemudian Sekar Mirah itupun berkata, “Sebaiknya kita terima ajakannya itu Kakang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi bukankah setiap persoalan dapat kita selesaikan bersama Ki Lurah Branjangan. Jika persoalan itu menyangkut hubungan antara kita di dalam lingkungan barak itu?”

“Aku memang tidak ingin menyelesaikan persoalan ini bersama Ki Lurah. Aku ingin mendapat penilaian yang wajar. Jika Ki Lurah ikut campur, maka persoalannya tidak akan dapat dinilai dengan tuntas,“ jawab senapati itu.

“Apa sebenarnya yang ingin kau persoalkan itu?“ bertanya Sekar Mirah yang menjadi tidak sabar lagi.

“Sudah aku katakan. Aku ingin membicarakannya tanpa diganggu oleh orang lain. Juga tidak oleh orang-orang yang pulang dari sawahnya,“ jawab Senapati itu, “tetapi tergantung kepada kalian. Jika kalian menolak. maka akupun tidak akan memaksa. Tetapi anak-anak ini sengaja aku bawa untuk menjadi saksi, bahwa kalian bukan orang terbaik di barak pasukan khusus itu,“ jawab senapati itu.

“Aku kurang mengerti,“ Agung Sedayu berdesis.

“Aku mengerti,“ potong Sekar Mirah, “kau ingin menguji kami. apakah kami benar-benar pantas menjadi seorang pembimbing dan pelatih dalam lingkungan barak pasukan khusus itu?”

Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku minta kita memasuki pategalan ini. Kita akan berbicara dengan bebas tanpa diganggu oleh siapapun seperti yang sudah aku katakan beberapa kali.”

“Baik,“ jawab Sekar Mirah, “aku terima ajakan itu.”

Agung Sedayu tidak sempat berbuat banyak. Sekar Mirah telah melangkah memasuki pategalan yang rimbun oleh pohon buah-buahan dan pohon jagung yang sudah mendekati masa panen.

Senapati itu menjadi berdebar-debar melihat sikap Sekar Mirah. Ternyata perempuan itu bersikap lebih keras dari Agung Sedayu. Justru Agung Sedayu masih saja ragu-ragu untuk melangkah memasuki pategalan, Sekar Mirah sudah berada di tengah-tengah batang jagung, menyusuri pematang yang sempit.

Namun senapati itupun kemudian telah menuntun kudanya memasuki pategalan itu pula, diikuti oleh tiga orang anak muda dari pasukan khusus itu.

Ketika mereka sampai di tempat yang agak luas, karena dib eberapa kotak pategalan jagung sudah dipetik beberapa hari yang lewat, Sekar Mirah pun berhenti.

“Suatu persoalan yang mendebarkan,“ desis Agung Sedayu.

“Bukan salah kita,” jawab Sekar Mirah, “di sini kita dapat berbuat apa saja menurut kehendak senapati itu. Pemilik pategalan ini tentu tidak akan segera datang pada saat begini, apalagi jagungnya sudah tidak memerlukan pemeliharaan sama sekali.”

“Ya. Aku tidak menggelisahkan pemilik pategalan yang jarang sekali melihat tanamannya, kecuali pada saat memetik,” jawab Agung Sedayu, “tetapi justru persoalan yang kita hadapi sekarang ini.”

“Tidak apa-apa, kita memang harus menghadapinya,” jawab Sekar Mirah. Namun kemudian, “Tetapi pemilik pategalan ini akan heran nanti melihat bekas-bekas kaki kuda yang memasuki pategalannya. Meskipun demikian mereka tidak akan merasa kehilangan, sebagaimana daerah ini adalah daerah yang paling aman sekarang. Tanpa ada orang yang mencuri hasil sawah dan pategalan. Dan kitapun tidak akan memetik jagung yang sudah tua itu.”

Keduanya tidak berbicara lebih jauh, karena senapati dan ketiga anak-anak muda itu sudah mendekat.

Sambil menambatkan kudanya, maka senapati muda itu berkata, “Agung Sedayu. biarlah anak-anak muda dari pasukan khusus ini bercerita tentang kalian berdua.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Katakan.”

Keiga orang anak-anak muda yang sudah menambatkan pula kuda mereka itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Aku ingin mengatakan yang sebenarnya.”

“Ya. Katakan yang sebenarnya,“ sahut Agung Sedayu.

“Anak-anak dari pasukan khusus di barak itu telah bercerita tentang Sekar Mirah yang membuat pangeram-eram. Dengan demikian anak-anak di barak itu menganggap bahwa Sekar Mirah dan Agung Sedayu adalah orang terbaik di antara para pelatih yang ada. Para senapati yang memimpin dan sekaligus menjadi pembimbing dan pelatih itu merasa kurang senang atas anggapan itu. Dengan demikian maka akan memperkecil arti dari para senapati. Seolah-olah para senapati itu bukan pembimbing dan pelatih yang baik,“ berkata anak muda itu.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Mereka memang sudah menduga. Persoalannya tentu berkisar pada harga diri.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu dan Sekar Mirah hanya saling berpandangan. Mereka tidak dapat segera mengambil sikap. Yang dapat mereka lakukan adalah menunggu, apa yang akan dikatakan oleh senapati muda itu.

Dalam pada itu. maka senapati muda itupun kemudian berkata, “Sekar Mirah telah berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai seorang yang terbaik. Tetapi bukan itu saja. Yang dilakukan telah menyesatkan pendapat anak-anak dari pasukan khusus itu. Mereka menganggap bahwa pangeram-eram yang demikian adalah sejalan dengan kemampuan dalam olah kanuragan dan ilmu kesaktian. Padahal yang mereka lihat tidak lebih dari satu pertunjukkan yang mengasyikkan.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia masih berusaha untuk menahan diri. Ia sadar, bahwa ia masih dalam tataran permulaan. Jika ia berbuat kesalahan, maka kemungkinannya untuk berbuat lebih banyak lagi akan dapat tertutup karenanya.

“Ki Sanak,“ Agung Sedayu-lah yang kemudian menjawab, “kami sama sekali tidak berniat untuk membuat pangeram-eram. Tetapi yang kami lakukan semata-mata untuk kepentingan tugas kami. Sekar Mirah menunjukkan kemampuannya dengan niat yang baik. Dengan demikian maka anak-anak muda dari pasukan khusus itu tidak akan ragu-ragu lagi. Apalagi ia seorang perempuan. Tanpa kepercayaan dari anak-anak muda yang akan dilatih dan dibimbingnya, maka ia bukan seorang pelatih yang berwibawa. Itulah sebabnya maka ia menunjukkan kepada anak-anak muda yang khusus di bawah bimbingan kami dalam putaran ini, bahwa mereka tidak usah ragu-ragu akan kemampun pelatihnya.”

“Omong kosong,“ jawab Senapati itu, “sejak kehadiranku di sini aku sudah melihai gejala itu padamu Agung Sedayu. Kau menghisap semua perhatian anak-anak muda di barak ini. Seolah-olah orang-orang lain yang mendapat tugas langsung dari Senapati ing Ngalaga itu berada di bawah tataran ilmumu. Kau mendapat tempat yang baik di sini meskipun kau bukan salah seorang dari kami, para pemimpin barak itu. Bahkan satu kesalahan dari Ki Lurah Branjangan adalah, Ki Lurah itu terlalu memanjakanmu.“ Senapati itu berhenti sejenak. Lalu, “Kemudian kau datang dengan membawa istrimu. Kau suruh istrimu membuat pangeram-eram. Dengan demikian kau sengaja memperkecil arti orang lain di dalam barak itu. Bahkan Ki Lurah Branjangan sendiri.”

“Kau orang yang termasuk baru di dalam barak itu,” jawab Agung Sedayu, “bertanyalah kepada Ki Lurah Branjangan, apa yang sudah aku kerjakan di dalam barak itu. Bahkan bertanyalah kepada anak-anak muda yang sekarang bersamamu. Ia datang mendahului kawan-kawannya, ia tahu apa yang terjadi sejak semula. Sejak kau belum mendapat tugas di barak itu.”

“Aku sudah mendengar semuanya. Kau termasuk salah satu calon pemimpin di barak itu. Tetapi ternyata sampai sekarang kau tidak diangkat, sehingga kau menjadi sakit hati dengan berusaha menarik perhatian anak-anak muda itu dengan caramu sendiri. He, apakah kau dan istrimu ingin menjadi pemimpin tertinggi atau Panglima dari pasukan khusus ini?“ bertanya senapati itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia menjawab. Sekar Mirah sudah mendahuluinya. “Sekarang apa yang kau kehendaki, Ki Sanak?”

“Aku ingin membuktikan bahwa anggapan tentang kalian berdua itu tidak benar. Bahwa anggapan Sekar Mirah adalah orang terbaik dari antara para pelatih di barak itu sama sekali tidak masuk akal. Bahkan juga tidak Agung Sedayu sendiri. Aku mengajak tiga orang pemimpin kelompok untuk menjadi saksi, siapakah di antara kita orang terbaik di barak itu.”

“Ah,” desah Agung Sedayu, “kau terlalu jauh menangkap persoalan yang sebenarnya.”

“Tidak. Aku memang sudah memikirkannya masak-masak. Kita akan menguji diri kita masing-masing. Terserah kepada kalian, apakah Sekar Mirah yang kini menjadi kembang lambe, atau kau sendiri. Tetapi mungkin juga kau ingin menunjukkan kepadaku, bahwa Sekar Mirah memang memiliki kemampuan. Bukan karena ia seorang perempuan muda yang cantik maka setiap anak muda di dalam barak itu menyebut namanya.”

“Cukup,“ hampir berbareng Agung Sedayu dan Sekar Mirah memotong.

“Kau jangan berkata begitu,“ berkata Agung Sedayu, “kau dapat menyebut apa saja tentang diriku. Tetapi jangan menyinggung persoalan yang dapat menyangkut harga diri sebuah keluarga.”

“Jika demikian, apa yang akan kau lakukan?“ bertanya senapati itu.

Agung Sedayu memang merasa tersinggung, namun Sekar Mirah tidak dapat menahan dirinya lagi. Wajahnya menjadi merah dan telinganya menjadi rasa-rasanya telah menyentuh bara api. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Aku terima tantanganmu. Aku akan membuktikan bahwa aku bukan sekedar seorang perempuan yang menjajakan kecantikan di antara mereka yang berada dalam satu lingkungan pasukan khusus. Pasukan yang dibentuk untuk satu tujuan perjuangan yang mrantasi. Akan aku buktikan bahwa kehadiranku di barak itu berlandaskan pada bekal ilmu kanuragan. Bukan untuk mengajari anak-anak muda itu bersolek siang dan malam.”

Senapati itu justru tersenyum. Senyum yang sangat menyakitkan hati.

Tetapi Sekar Mirah yang muda itu sudah mencapai tingkat kedewasaannya dalam olah kanuragan. Karena itu, iapun mulai mencari keseimbangan perasaan dan nalarnya. Ia tidak mau terseret dalam arus kemarahannya, sehingga ia tidak lagi dapat menilai keadaan dengan sewajarnya.

“Baiklah Sekar Mirah,“ berkata Senapati itu, ”kita akan bertaruh nama. Siapakah yang pantas disebut pelatih terbaik di barak itu. Kau, aku atau Agung Sedayu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara ketiga orang pemimpin kelompok itu menjadi tegang. Mereka mengetahui bahwa sebenarnya Agiung Sedayu memiliki ilmu yang tiada taranya. Mereka tahu, bahwa sebilah pisau yang tajamnya melampui ujung duri pandan tidak dapat melukai kulitnya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu sendiri menjadi bimbang. Tetapi iapun sadar, jika pada saat itu senapati muda itu tidak mendapatkan ukuran yang sebenarnya, maka ia tidak akan menjadi puas. Ia akan tetap melakukan usaha penjajagan. Kapan dan dengan cara yang mungkin berbeda.

Pada saat barak itu baru saja dibuka, Agung Sedayu-pun mengalami hal yang serupa. Tetapi dari salah seorang anak muda yang ikut serta mengalami penempaan. Tetapi yang terjadi saat itu agak berbeda. Yang ingin menjajagi kemampuan ilmu Sekar Mirah, bukan anak-anak muda yang harus dilatihnya, tetapi justru dari seorang pelatih dan pembimbing yang lain.

Sementara itu, Sekar Mirak sudah mempersiapkan diri menghadapi senapati muda itu. Sedangkan senapati muda itupun telah melepaskan pedangnya dan menyerahkannya kepada salah seorang dari anak-anak muda yang mengikutinya.

“Kita akan menentukan sampai kita meyakininya,” berkata senapati muda itu.

“Baiklah,” jawab Sekar Mirah, “aku sudah siap.”

“Kau menjadi saksi sekarang ini Agung Sedayu,“ berkata senapati muda itu, “nanti pada saatnya, kita berdualah yang akan menguji diri.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengangguk juga sambil menjawab, “Aku akan berusaha menjadi saksi yang baik. Selanjutnya tergantung kepadamu, apakah kau masih perlu meyakinkan kemampuanmu dihadapkan kepada kemampuanku.”

“Persetan,“ geram Senapati muda itu, “jangan terlalu sombong.”

“Itulah kesulitanku,” jawab Agung Sedayu, “jika aku menghindar, kau anggap aku pengecut. Jika aku menerima tantanganmu, kau anggap aku sombong.”

Senapati itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun Sekar Mirah-lah yang berkata, “Sekarang kau berhadapan dengan aku. Persoalanmu dengan Kakang Agung Sedayu dapat kau bicarakan nanti, setelah kau mengetahui tingkat kemampuanmu ditandingkan dengan kemampuanku. Jika kemampuanmu melampaui kemampuanku, baru kau dapat berbicara dengan Kakang Agung Sedayu.”

“Bersiaplah. Ternyata kau tidak kalah sombongnya dari suamimu,“ jawab senapati muda itu.

Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Senapati muda itupun segera menempatkan dirinya. Selangkah ia bergeser. Namun tiba-tiba saja senapati muda itu telah meloncat menyerang.

Sekar Mirah telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka iapun dengan tangkasnya telah menghindari serangan yang pertama. Namun senapati muda itu telah memburunya dengan serangan berikutnya.

Sekar Mirah bergeser perlahan. Tetapi kecepatan geraknya mampu mendahului serangan lawannya, sehingga untuk kedua kalinya Sekar Mirah berhasil menghindar.

Selanjutnya Sekar Mirah tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawannya dan sekedar meloncat-loncat menghindar. Karena itu, maka iapun justru telah bersiap untuk menyerang.

Ketika lawannya kemudian bersiap-siap untuk meloncat menyerang, maka Sekar Mirah telah mendahuluinya. Tangannya tiba-tiba saja telah terjulur mengarah kening. Namun karena serangan Sekar Mirah tidak begitu cepat, maka lawannyapun dengan mudahnya menarik kepalanya sejengkal surut pada kakinya yang sedikit bergeser. Namun tiba-tiba saja Sekar Mirah telah meloncat dengan serangan kakinya yang terjulur lurus ke depan mengarah dada.

Lawannya tidak menduga, bahwa serangan Sekar Mirah datang begitu cepat. Namun senapati muda itu masih sempat bergeser ke samping. Bahkan ia sudah siap memukul kaki Sekar Mirah dengan sisi telapak tangannya.

Namun ternyata Sekar Mirah menarik serangannya. Di atas kakinya yang kemudian diletakkan di tanah maka ia telah berputar. Kakinya yang lain menyambar lambung dengan setengah putaran.

Senapati muda itu terkejut. Begitu cepatnya, sehingga ia tidak sempat lagi menghindar. Karena itu, maka iapun telah merendah dan berusaha untuk melindungi lambungnya dengan sikunya.

Sekar Mirah melihat gerak lawannya. Tetapi ia sudah tidak ingin menarik serangannya, ia justru ingin menjajagi kemampuan senapati muda itu.

Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah memang agak lebih mapan. Ialah yang menyerang dengan kakinya.

Karena itu. maka ayunan kakinya akan dapat membantu mendorong kekuatannya. Tetapi Sekar Mirah tidak mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih belum mempergunakan tenaga cadangannya. Kekuatan yang terlontar pada serangan kakinya, adalah kekuatan wajarnya, meskipun kekuatan wajar Sekar Mirah adalah kekuatan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Sejenak kemudian, maka telah terjadi benturan yang keras antara kekuatan yang terlontar pada serangan kaki Sekar Mirah dengan kekuatan tangan senapati muda yang sedang menjajagi kemampuan Sekar Mirah itu.

Ternyata bentaran itu telah mengejutkan Sekar Mirah. Senapati muda yang menangkis serangan Sekar Mirah dengan sikunya itu berhasil mendorong Sekar Mirah. Hampir saja Sekar Mirah kehilangan keseimbangan. Untunglah ia sempat meloncat, dan kemudian berhasil menguasai kembali keseimbangannya. Namun dengan demikian ia telah terdorong beberapa langkah surut.

Senapati muda itu tetap berdiri di tempatnya. Ketika Sekar Mirah kemudian dengan tangkas memperbaiki kedudukannya untuk bersiap melawan serangan yang diduganya akan memburunya, lawannya justru berdiri tegak sambil tersenyum.

“Marilah,” berkata Senapati muda itu, “kita masih mempunyai banyak kesempatan.”

Sekar Mirah memandanginya dengan tajamnya. Dari sorot matanya memancar gejolak di dalam dadanya, sementara Agung Sedayu yang berdiri di pinggir arena itu menarik nafas dalam-dalam.

Anak-anak muda yang menjadi saksi perkelahian itupun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat Sekar Mirah terdorong beberapa langkah dan harus berjuang memperbaiki keseimbangannya.

“Apakah ternyata bahwa senapati muda itu akan meyakinkan, bahwa ia memiliki kelebihan dari Sekar Mirah dan bahkan mungkin Agung Sedayu?“ pertanyaan itulah yang timbul di dalam hati mereka.

Namun dalam pada itu, Agung Sadayu telah berbisik di telinga Sekar Mirah, “Kendalikan perasanmu.”

Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu sekilas. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Aku sudah berusaha Kakang. Mudah-mudahan aku berhasil.”

Senapati muda itu mendengar jawaban Sekar Mirah. Tetapi ia tidak jelas mendengar apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Karena itu. maka ia telah salah mengartikan jawaban Sekar Mirah.

Karena itu. maka iapun justru berkata, “Kau masih mempunyai kesempatan untuk berusaha Sekar Mirah. Marilah. Kita teruskan permainan ini. Atau kau mengakui bahwa di dalam barak pasukan khusus itu, aku ternyata lebih baik daripadamu. Kau tidak usah mengatakannya kepada siapapun. Jika saat ini kau mengakui, maka ketiga anak muda itu akan mengatakannya kepada kawan-kawannya sehingga seisi barak itu akan mendengar pengakuanmu di sini.”

Tetapi Sekar Mirah masih juga tersenyum. Katanya, “Demikian cepatnya kau mengambil kesimpulan. Permainan kita baru mulai.”

“Ya. Meskipun demikian, kau sudah hampir kehilangan kesempatan untuk bertahan. Jika saat kau hampir kehilangan keseimbangan itu aku memburumu dengan sebuah serangan, maka kau benar-benar sudah tidak akan berdaya lagi. Kau akan jatuh berguling dan dengan serangan berikutnya, kesempatanmu sudah tertutup sama sekali,“ jawab senapati muda itu.

“O, begitu cepatnya,“ jawab Sekar Mirah, “aku menjadi kecewa sekali.”

“Kecewa tentang apa?“ bertanya senapati muda itu.

“Kecewa tentang kau,” jawab Sekar Mirah, “aku kira kau juga mempunyai pengamatan yang tajam atas ilmu kanuragan. Ternyata kau hanya mampu melihat kulitnya tanpa dapat menilai kedalaman ilmu sama sekali.“

Senapati muda itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya Sekar Mirah dengan tajamnya. Sementara itu Sekar Mirah masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

“Apa yang kau maksudkan?“ bertanya senapati muda itu, “Kau sudah terdorong beberapa langkah dalam benturan kekuatan. Kau hampir kehilangan kesempatan. Tetapi aku tidak memburumu dengan serangan.”

“Itulah yang aku katakan, bahwa pengamatanmu dangkal,” jawab Sekar Mirah, “kau tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Kau sangka aku benar-benar tidak mampu melawanmu dalam benturan kekuatan.”

“Jika demikian, kenapa kau terdorong surut beberapa langkah dan hampir saja kehilangan keseimbangan?“ bertanya senapati muda itu.

“Seharusnya kau mengetahui jawabnya,” sahut Sekar Mirah, “karena kau tidak mengetahuinya, maka aku kira pengamatanmu tentang olah kanuragan memang dangkal sekali.”

Wajah Senapati muda itu menjadi merah. Sementara Agung Sedayu pun menjadi berdebar-debar.

“Sekar Mirah,“ berkata Senapati itu, “yang penting bagi kita adalah kemampuan kita dalam olah kanuragan. Bukan kemampuan kita mengamati olah kanuragan. Karena itu, marilah. Jika kau masih merasa dirimu mempunyai kemampuan untuk mengimbangi kemampuanku, kita akan mulai lagi. Yang aku lakukan sampai saat ini, bukannya puncak dari kemampuanku.”

“Aku mengerti,” jawab Sekar Mirah, “karena itu, baiklah. Kita akan melanjutkan permainan ini. Aku kira bukannya kau tidak mampu mengamati olah kanuragan pada kedalamannya, tetapi kau sudah terlanjur memperkecil arti kemampuanku. Kau menganggap aku terlalu kecil.”

Senapati itu menggeram. Kemudian katanya, “Kita tidak perlu terlalu banyak berbicara. Marilah, kita akan mulai dengan permainan baru.”

Sekar Mirah pun tidak menjawab lagi. Sekilas dipandanginya Agung Sedayu yang termangu-mangu disamping anak-anak muda yang berdiri di sebelahnya.

Dalam pada itu, kedua orang itupun telah mempersiapkan diri. Senapati muda itu terpaksa menilai ucapan-ucapan Sekar Mirah. Iapun harus memperhatikan sikapnya. Seolah-olah Sekar Mirah sama sekali tidak mengalami kesulitan menghadapinya, meskipun satu kenyataan telah terjadi. Sekar Mirah terdorong surut ketika benturan itu tertadi.

“Apakah benar, bahwa aku terlalu menganggapnya kecil,“ bertanya Senapati itu kepada diri sendiri.

Tetapi Senapati itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Karena Sekar Mirah telah bergeser dan mulai menyerangnya. Namun serangan Sekar Mirah masih merupakan gerak sekedar untuk memancing lawannya dalam permainan yang akan menjadi lebih keras.

Senapati muda itu menjadi semakin berhati-hati. Ia melihat wajah Sekar Mirah yang sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. Justru karena itu, ia merasa wajib untuk menilainya kembali, apa yang sebenarnya telah terjadi.

Sejenak kemudian, maka perkelahian itupun telah menjadi semakin cepat. Sekar Mirah berloncatan dengan tangkasnya, namun berusaha untuk tidak lagi terdorong surut dalam benturan yang kurang mapan.

Tetapi Senapati itu agaknya ingin menyelesaikan perkelahian itu lebih cepat. Karena itu, maka iapun telah bertempur semakin cepat pula. Geraknya menjadi garang dan serangan-serangannya terasa semakin cepat.

Namun ternyata Sekar Mirah pun mampu mengimbanginya. Sekali-sekali ia memang berusaha menyentuh serangan lawannya untuk menjajagi, apakah lawannya mulai meningkatkan kekuatan dan kemampuannya.

Sebenarnyalah, bahwa senapati muda itu memang mulai meningkatkan kemampuannya. Tetapi agaknya ia masih terpengaruh oleh anggapannya, bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat mengimbangi kekuatannya.

Karena itu, maka peningkatan kekuatan dari Senapati muda itu tidaklah dengan tiba-tiba. Meskipun ia bertempur lebih cepat dan semakin garang, namun tataran kekuatannya hanya meningkat selapis demi selapis.

Sekar Mirah yang sekali-sekali menyentuh kekuatan lawannya meskipun tidak membenturnya, berusaha untuk mengimbanginya. Meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis.

Karena itu, maka senapati muda itu tidak segera dapat mengalahkannya. Meskipun ia telah bergerak semakin cepat dan garang. Sekar Mirah pun mampu bergerak semakin cepat pula.

“Inilah agaknya yang membuatnya seolah-olah tidak ada yang menggelisahkannya,“ berkata Senapati muda itu di dalam hatinya, “agaknya ia memang terlalu yakin akan dirinya.”

Namun justru karena itu, maka kejengkelan di hati Senapati muda itupun menjadi semakin memuncak. Ia tidak segera dapat menyelesaikan perempuan yang semula dikiranya sekedar seorang perempuan yang sombong.

“Aku harus bertindak lebih tegas,” berkata senapati muda itu di dalam hatinya, “jika ia sempat memberikan perlawanan terlalu lama, maka kesombongannya pun akan menjadi semakin memuncak. Dan besok ia akan bercerita seolah-olah ia telah mempermainkan aku di sini.”

Dengan demikian, maka senapati muda itu benar-benar telah mulai merambah kepada tenaga cadangannya. Ia tidak lagi sekedar mempergunakan tenaga wadagnya. Meskipun ia tidak ingin melemparkan Sekar Mirah sampai di luar pategalan atau membuatnya pingsan, namun ia tidak mempunyai pilihan lain.

Kekuatan senapati muda itu terasa menjadi semakin besar. Dalam sentuhan-sentuhan wadag yang terjadi, Sekar Mirah mulai merasa tekanan yang semakin berat. Namun dengan demikian Sekar Mirah menjadi semakin berbesar hati. Jika Senapati muda itu semakin meningkatkan tenaga cadangannya, maka ia akan mengetahui kemampuan Sekar Mirah sampai tingkat yang tidak akan diduganya sebelumnya.

Sebenarnyalah, senapati muda itu terkejut ketika ia sudah sampai kepada tingkat yang semakin tinggi dari pengerahan tenaga cadangannya. Pada saat yang demikian, ternyata Sekar Mirah masih mampu mengimbanginya.

Bahkan untuk meyakinkan lawannya, Sekar Mirah yang telah berhasil menjajagi tingkat tenaga cadangan yang dikerahkan oleh senapati muda itu, maka pada satu serangan yang keras Sekar Mirah mulai membenturkan kekuatannya secara langsung.

Serangan yang tiba-tiba datang dengan sambaran kaki yang mengarah lurus ke lambung, tidak dihindari oleh Sekar Mirah. Tetapi ia menangkis serangan itu dengan pukulan tangan ke samping. Namun agaknya senapati muda itu tidak melepaskannya. Ia memutar kakinya menurut arah dorongan tangan Sekar Mirah, namun demikan kakinya berjejak di tanah maka tubuhnya telah terputar pula bertumpu pada kakinya itu, sementara kakinya yang lain tiba-tiba saja telah terlontar menyerang dada. Tidak hanya sekedar ingin menyentuhnya, tetapi benar-benar satu serangan yang akan dapat memepatkan pernafasannya.

Namun Sekar Mirah memang sudah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Demikian kaki lawannya terjulur, maka Sekar Mirah telah menyilangkan tangannya di muka dadanya.

Sekali lagi telah terjadi benturan. Bukan sekedar benturan tenaga wajar kedua orang itu, tetapi yang berbenturan kemudian adalah tenaga yang dilambari dengan kekuatan cadangan di dalam tubuh mereka masing-masing. Tenaga yang dilontarkan oleh dua orang yang memiliki kekuatan ilmu yang mapan.

Karena itu, benturan itu telah terjadi dengan kerasnya. Benturan yang mendebarkan jantung.

Agung Sedayu yang menyaksikan perkelahian itupun menahan nafasnya. Perkelahian itu benar-benar telah meningkat menjadi semakin keras, dan benturan yang terjadi itu akan dapat menyulitkan keadaan.

Dugaan Agung Sedayu itu benar. Dalam benturan stu Senapati muda yang ingin menunjukkan kelebihannya itu terkejut bukan buatan. Ternyata tenaga Sekar Mirah seakan-akan menjadi sangat besar. Ketika benturan itu terjadi, maka kaki Senapati muda itu rasa-rasanya telah menyentuh dinding baja. Bahkan kemudian sebuah dorongan yang kuat seakan-akan telah melontarkannya. Senapati muda itulah yang kemudian harus meloncat surut. Keseimbangannya-lah yang terasa hampir tidak mampu dikuasainya lagi. Untunglah bahwa ia masih berhasil berdiri tegak pada jarak empat langkah dari Sekar Mirah.

Yang terjadi adalah sebaliknya. Sekar Mirah-lah yang kemudian berdiri tegak, memandanginya sambil tersenyum.

Wajah senapati muda itu menjadi tegang. Terasa darahnya bagaikan mendidih di dalam jantungnya. Perempuan itu seolah-olah justru telah memandanginya dengan sikap yang sangat sombong.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang melangkah maju sambil berkata, “Aku kira sudah cukup. Kalian masing-masing memiliki kemampuan yang seimbang. Aku menjadi saksi.”

Sekar Mirah tiba-tiba mengerutkan keningnya. Senyumnya bagaikan lenyap terhisap oleh kekecewaannya. Ia masih belum sampai kepada ketentuan terakhir yang mapan, sehingga tentu masih akan timbul persoalan di hari kemudian.

Namun yang menjawab adalah senapati muda itu, “Yang kau katakan bukan pengamatan yang tuntas seperti yang aku kehendaki. Agung Sedayu. Kau tidak perlu melindungi istrimu dari tingkat kemampuanku berikutnya. Kecuali jika ia menyatakan diri mengakui kelebihanku di hadapan saksi-saksi ini.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Sementara Sekar Mirah menyahut, ”Kita tidak akan berbuat tanggung-tanggung Kakang. Kita akan mengukur kemampuan kita dengan tuntas.”

Jantung Agung Sedayu terasa berdentang semakin cepat. Keadaan itu agaknya semakin sulit untuk dapat dikuasainya. Senapati muda yang ingin menunjukkan bahwa ia adalah orang terbaik di barak pasukan khusus itu tentu akan merasa semakin tersinggung karenanya, sementara Sekar Mirah sendiri akan sulit untuk dikendalikan sebelum ia berhasil dengan pasti memenangkan peniajagan itu.

Dalam pada itu, maka senapati muda itupun berkata, “Sekar Mirah. Ternyata bahwa kau sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kau menganggap dirimu terlalu kuat tanpa mengerti bahwa aku masih berbelas kasihan kepadamu.”

“Jangan membual,” Sekar Mirah mulai digelitik oleh perasaannya, “apapun yang terjadi, marilah kita tentukan dengan hasil penjajagan ini. Kita masing-masing harus menerima kenyataan jika kita ingin berbuat jantan. Kita bukan orang-orang cengeng yang hanya berbicara, merajuk dan basa-basi yang tidak ada artinya.”

Wajah Senapati muda itu menjadi tegang. Tetapi darahnyapun telah bergejolak di dalam jantungnya. Karena itu maka katanya, “Kita akan melihat.”

Agung Sedayu tidak dapat berbuat sesuatu. Ia merasa bahwa yang akan terjadi tentu menjadi semakin keras.

Sementara itu, anak-anak muda dari pasukan khusus itupun menjadi berdebar-debar pula. Mereka melihat keadaan berkembang menjadi semakin gawat. Kedua orang yang ingin menjajagi kemampuan masing-masing itu ternyata telah dibakar oleh perasaan mereka yang sulit dikendalikan lagi.

Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap. Sekar Mirah pun bertekad untuk menunjukkan kepada senapati muda itu, bahwa ia memang memiliki kelebihan. Sementara senapati muda itupun mengatakan kepada ketiga orang anak-anak muda dari pasukan khusus itu, bahwa ia lebih baik dari perempuan yang telah menggemparkan barak dengan tingkah-lakunya yang sombong di atas patok-patok bambu.

“Aku tidak dapat mencegah kalian,“ berkata Agung Sedayu, “tetapi aku berharap kalian menyadari bahwa kalian adalah orang-orang terpilih di Mataram, sehingga sikap dan tingkah laku kalian akan menjadi sorotan bukan saja oleh anak-anak muda dari pasukan khusus di barak itu, tetapi juga oleh Mataram. Oleh para pemimpin tertinggi dan oleh rakyat yang menumpukan kepercayaan mereka kepada orang-orang terpilih seperti kalian. Karena itu, maka kalian harus bersikap jantan.”

Wajah senapati itu menegang. Namun ucapan Agung Sedayu itu terasa menyentuh hatinya. Ia sadar akan maksudnya. Namun iapun percaya akan kemampuannya untuk dapat memaksa Sekar Mirah mengakui kelebihannya.

Sejenak kemudian, tanpa menjawab kata-kata Agung Sedayu, senapati muda itu telah bersiap. Dengan wajah tegang ia bergeser selangkah ke kiri.

Sekar Mirahpun telah bersiap pula. Bahkan iapun telah bersiap melakukan penjajagan yang lebih keras. Ia sudah siap dengan tenaga cadangannya sampai pada tingkat yang tertinggi.

Sejenak kemudian, senapati muda itu telah melenting menyerangnya. Bukan sekedar memaksa Sekar Mirah untuk mulai dengan menghindar dan bergeser. Tetapi serangan itu adalah serangan yang keras dan cepat.

Sekar Mirah menjadi tegang. Nampaknya ia benar-benar akan bertempur. Serangan itu adalah serangan yang benar-benar dapat membahayakannya.

Dengan tangkasnya Sekar Mirah mengelakkan serangan itu. Tetapi iapun sadar, bahwa serangan itu tentu akan disusul oleh serangan berikutnya. Senapati muda itu tidak akan hanya berdiri sambil tersenyum melihatnya meloncat menghindar.

Karena itulah, maka ketika Sekar Mirah mengelakkan serangan lawannya, ia sudah bersiap-siap untuk mengamati serangan berikutnya.

Seperti yang diperhitungkan, maka serangan berikutnyapun telah memburunya. Tidak kalah cepat dan kerasnya.

Sekali lagi Sekar Mirah mengelak, tetapi ia tidak lagi menunggu. Ketika serangan itu datang, maka Sekar Mirah meloncat selangkah ke samping. Namun demikian kedua kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba saja ia telah memutar tubuhnya setengah lingkaran pada tumit kaki kirinya, sementara kaki kanannya telah terlontar mengarah ke lambung lawannya yang siap memburunya.

Senapati muda yang sudah hampir meloncat itu terkejut. Ternyata Sekar Mirah dapat mengimbangi kecepatan geraknya. Bahkan ia berhasil mendahului serangannya dengan serangan kakinya.

Karena itu, justru senapati itulah yang bergeser. Ia harus mengurungkan serangannya, jika ia tidak ingin justru dihantam oleh kaki Sekar Mirah.

Namun demikian, kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Sekar Mirah. Sekali lagi ia berputar dengan serangan kaki mendatar terayun pada putaran tubuhnya yang bertumpu pada kakinya yang lain.

“Gila,“ geram senapati muda itu. Dengan tangkasnya ia bergeser surut. Ketika kaki Sekar Mirah terayun di sebelah tubuhnya, maka dengan keras ia memukul kaki itu dengan sisi telapak tangannya.

Tetapi Sekar Mirah melihat gerak tangannya. Karena itu, maka iapun dengan cepat menarik kakinya dan berdiri tegak siap menghadapi segala kemungkinan.

Senapati muda itu tidak mau kehilangan kesempatan. Dengan dorongan tenaga cadangannya yang besar, maka iapun kemudian menyerang. Tangannya terjulur lurus ke depan pada saat Sekar Mirah menempatkan kedua kakinya. Tetapi Sekar Mirah sudah bersiap, ia sempat memukul serangan itu ke kiri. Sambil merendah ia justru menyerang lawannya dengan siku pada lambungnya.

Tetapi lawannya bergeser mundur. Justru pada saat yang bersamaan, lawannya menghantam tengkuk Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah masih sempat melenting ke samping. Serangan itu sama sekati tidak menyentuhnya.

Ketiga orang anak muda dari pasukan khusus itu memperhatikan perkelahian itu dengan jantung berdebaran. Kekualan yang terlontar pada serangan-serangan itu bukannya sekedar tenaga kasar mereka. Tetapi keduanya telah mempergunakan tenaga cadangannya masing-masing.

Karena itulah, maka perkelahian itu terasa menjadi semakin keras dan semakin seru. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Senapati muda itu adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari Senapati ing Ngalaga untuk menempa anak-anak muda dalam satu kesatuan khusus yang akan menjadi sapu kawat dari kekuatan Mataram di samping para pengawal, sementara Sekar Mirah adalah murid Ki Sumangkar, orang yang memiliki ilmu yang khusus dan yang oleh sementara orang-orang Jipang dianggap mempunyai ilmu yang seolah-olah membuat nyawanya menjadi rangkap.

Karena itu, maka perkelahian yang kemudian adalah benar-benar perkelahian yang luar biasa. Serangan demi serangan menyusul. Tangan dan kaki yang terayun dan tidak mengenai sasarannya, tetapi sempat menyentuh pepohonan dan dahan-dahan telah berpatahan, sehingga pategalan itupun menjadi berserakan.

Agung Sedayu hanya dapat menahan nafas. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat mencegah keduanya. Jika ia berhasil membujuk Sekar Mirah, maka ia tentu tidak akan dapat menahan gejolak perasaan senapati muda itu.

Dengan demikian, maka yang dilakukannya adalah sekedar mengamati perkelahian itu. Jika keadaannya menjadi sangat berbahaya, maka ia tidak dapat membiarkannya berkepanjangan.

Namun dalam pada itu, jika kedua orang yang sedang berkelahi itu sedang mengambil ancang-ancang, maka di antara angin yang berhembus di pategalan itu, Agung Sedayu dengan telinganya yang tajam telah mendengar derap kaki kuda.

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia mempertajam pendengarannya, sehingga akhirnya ia benar-benar menangkap suara derap kaki kuda mendekati pategalan itu.

“Siapa?“ bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Sejenak perhatiannya terampas oleh derap kaki kuda itu. Semakin lama menjadi semakin dekat.

Tiba-tiba saja Agung Sedayu meloncat mendekati anak-anak muda yang mengikuti senapati itu. Dengan gelisah ia berkata, “Lihatlah, siapakah yang berkuda itu. Jika mereka mencari senapati muda itu, maka katakanlah bahwa ia ada di sini.”

“Tidak!” Senapati muda itu hampir teriak, “Aku tidak mau diganggu!”

“Dengar perintahku,” tiba-tiba saja suara Agung Sedayu menjadi keras. Lalu, “Pergi ke jalan. Lihat siapakah yang lewat. Aku dapat lunak seperti lumpur, tetapi aku dapat sekeras batu karang.”

“Aku juga berhak memerintahkannya!“ senapati muda itu hampir berteriak.

“Kau imbangi kemampuan istriku itu. Untuk itu kau masih harus berjuang mati-matian,“ sahut Agung Sedayu. Lalu, “Berangkat sekarang, aku akan akan memaksamu. Kau tahu, siapa aku?”

Anak-anak muda itu belum pernah melihat Agung Sedayu setegas itu, dan sorot matanya seolah-olah memancarkan bara yang membakar jantung.

Ketiga anak-anak muda itu mengerti, bahwa seorang kawannya dari Pasantenan yang ingin mencobanya, sama sekali tidak berhasil melukai Agung Sedayu dengan pisau belatinya. Dan yang lebih mendebarkan, Agung Sedayu pernah membunuh orang yang disebut Ajar Tal Pitu dan yang terakhir, di tepian ia telah membunuh Ki Mahoni.

Karena itu, ketiga orang itu tidak akan berani membantahnya. Apalagi Agung Sedayu termasuk salah seorang pembimbingnya yang paling disegani.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu itupun telah membentaknya dengan keras, “Aku menghitung sampai tiga!”

“Jangan lakukan!” teriak senapati itu.

“Diam kau,“ potong Sekar Mirah, “kau hadapi aku. Atau aku akan memukulmu sampai pingsan.”

Senapati muda itu memang tidak dapat berbuat apa-apa. Anak-anak muda itu akhirnya bangkit dan melangkah menuju ke tepi jalan, tanpa menghiraukan suara keras senapati muda yang mencegahnya.

Ketika mereka muncul di tepi jalan, sebenarnyalah mereka melihat dua ekor kuda. Tidak dari arah barak mereka, tetapi justru dari padukuhan induk Tanah Perdikan.

Tetapi anak-anak muda itu cepat mengenali, siapakah mereka.

“Ki Lurah,” desis seorang di antara anak-anak muda itu.

“Ki Lurahpun kemudian melihat anak-anak muda itu. Karena itu, maka iapun segera menarik kekang kudanya, sehingga Ki Lurah itupun berhenti beberapa langkah di hadapan anak-anak muda itu.

“Kenapa kalian berada di sini?“ bertanya Ki Lurah.

“Ki Lurah dari mana?” salah seorang anak muda itu bertanya.

“Aku menyusul Agung Sedayu. Tetapi aku sudah sampai di rumahnya tanpa menemukannya. Mungkin aku melalui jalan lain dari yang dilaluinya. Ketika aku kembali ke barak, aku mengambil jalan ini,” jawab Ki Lurah.

“Agung Sedayu selalu mengambil jalan ini,“ berkata seorang di antara anak-anak muda itu.

“Ya. Ternyata memang demikian. Aku mengambil jalan di sebelah itu,” jawab Ki Lurah.

“Itulah agaknya, kami tidak mendengar derap kaki kuda ketika Ki Lurah berangkat menyusul Agung Sedayu,“ gumam seorang di antara anak-anak muda itu.

“Tetapi sekarang dimana Agung Sedayu?” bertanya Ki Lurah, “Apakah kau mengetahuinya?”

Seorang dari anak-anak muda itupun kemudian mengatakan dengan singkat apa yang telah terjadi di pategalan itu.

“Nah,“ geram Ki Lurah, “bukankah benar dugaan kita.”

“Ya, Ki Lurah,” jawab senapati yang mengikutinya, “marilah, kita segera melihatnya.”

Ki Lurah pun segera meloncat turun dan menyerahkan kudanya kepada anak-anak muda itu. Demikian pula senapati yang mengikutinya. Kemudian dengan tergesa-gesa keduanya menuju ke tempat perkelahian antara senapati muda dan Sekar Mirah itu terjadi.

Dalam pada itu, maka perkelahian antara senapati muda dengan Sekar Mirah itu justru menjadi semakin meningkat. Bahkan rasa-rasanya keduanya telah mengerahkan segenap kemampuannya.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu, siapakah orang-orang berkuda itu. Ia berharap agar yang datang itu seseorang yang mempunyai cukup pengaruh untuk menghentikan perkelahian itu. Ki Gede Menoreh atau Ki Lurah Branjangan sendiri.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu tidak dapat meninggalkan kedua orang itu barang sekejap. Keduanya telah mulai merambah kepada sikap dan gerakan yang dapat membahayakan.

Sebenarnyalah, seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, maka yang kemudian muncul adalah Ki Lurah Branjangan. Dengan wajah tegang Ki Lurah itu meloncat mendekat sambil berdesis, “Apa yang telah terjadi?”

“Apakah anak-anak itu belum mengatakan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Aku sudah mendengar serba sedikit,“ jawab Ki Lurah.

“Nampaknya mereka sengaja mengerahkan segenap kemampuan agar Ki Lurah atau siapapun yang datang, dapat menyaksikan siapa yang menang dan siapa yang kalah,” berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah sejenak termangu-mangu. Kedua orang yang bertempur itu justru berusaha untuk sampai ke puncak kemampuannya, sehingga sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, saksi kemenangan itu adalah Ki Lurah sendiri.

Ki Lurah pun agaknya dapat melihat gejolak perasaan kedua orang yang berkelahi itu. Karena itu, maka katanya tiba-tiba, yang sama sekali tidak diduga oleh Agung Sedayu, “Baiklah. Aku ingin melihat, siapakah yang terbaik di antara kalian berdua. Meskipun yang terbaik itu tidak akan dapat disejajarkan dengan Agung Sedayu.”

“Ki Lurah menyebut-nyebut namaku,” desis Agung Sedayu.

“Tidak apa-apa,“ sahut Ki Lurah, “tetapi aku benar-benar ingin menyaksikan, siapakah yang akan menang dalam perkelahian ini, asal kedua-duanya berlaku jujur. Atas nama Senapati ing Ngalaga aku menjadi saksi.”

Senapati muda itu dan Sekar Mirah pun mendengar kata-kata Ki Lurah Branjangan. Tiba-tiba jantung mereka berdebaran. Yang mereka lakukan tentu akan menjadi laporan kepada Senapati ing Ngalaga.

Namun mereka telah terlanjur terlibat. Masing-masing sulit untuk mengorbankan harga dirinya, apapun yang akan terjadi. Sehingga karena itu, maka merekapun masih juga bertempur terus.

Dalam pada itu, masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu mereka. Sementara itu, perkelahian itupun menjadi semakin dahsyat.

Namun sebenarnyalah, bahwa Sekar Mirah masih memiliki satu kelebihan dari lawannya. Meskipun ia seorang perempuan, namun latihan-latihan yang mapan telah membuatnya seorang yang memiliki pengamatan yang sangat tajam. Dan sebagaimana selalu diperingatkan oleh gurunya, sebagai seorang perempuan yang pada dasarnya tidak memiliki kekuatan sebesar seorang laki-laki, maka Sekar Mirah harus mempergunakan bukan saja ilmu kanuragan, tetapi juga kemampuan penalaran dan mengurai keadaan dengan cepat dan cermat. Dengan demikian maka perhitungan merupakan satu di antara unsur-unsur yang akan menentukan.

Dengan demikian, maka Sekar Mirah pun berusaha untuk selalu dapat menghadapi lawannya dengan perhitungan yang mapan. Dengan ketrampilan dan kemampuannya bergerak cepat, maka ia sudah memancing lawannya untuk mengerahkan tenaganya. Namun dalam saat-saat yang tidak terduga, Sekar Mirah mengerahkan segenap kekuatan cadangannya untuk membenturkan kekuatannya.

Sebenarnyalah, bahwa usaha Sekar Mirah itu ternyata benar-benar mempengaruhi cara lawannya bertempur. Pada saat-saat yang paling menentukan, maka Sekar Mirah benar-benar telah sampai ke puncak ilmu yang diterimanya dari satu-satunya pewaris ilmu yang mengagumkan itu, sepeninggal Patih Matahun dan Macan Kepatihan dari Jipang.

Ki Lurah Branjangan yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Namun semakin lama iapun menjadi yakin, bahwa Sekar Mirah mulai menunjukkan kelebihan dan lawannya.

Tetapi Ki Lurah Branjangan tidak berbuat sesuatu, ia membiarkan keseimbangan itu semakin nyata bergerak. Senapati muda itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Sekar Mirah dengan kecepatannya bergerak dan dengan kekuatan ilmunya setiap kali membentur lawannya, maka pertahanan senapati muda itu menjadi goyah.

Ketika Agung Sedayu bergeser, Ki Lurah Branjangan berkata, “Biarlah mereka menyelesaikan persoalannya sampai tuntas. Jika tidak, maka salah satu di antara mereka akan memulainya lagi. Justru pada saat tidak ada seorang saksi yang akan dapat mengamatinya.” 

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Ki Lurah adalah orang tertinggi di barak itu untuk sementara, sehingga keputusannya tentu akan dipertanggung-jawabkannya.

Latihan-latihan yang berat, yang selalu dilakukan oleh Sekar Mirah bersama kakak dan kakak iparnya, ternyata berpengaruh pada sikap dan tenaganya, ia dapat memperhitungkan perimbangan antara waktu dan kemampuannya dengan cermat, sehingga meskipun ia mengerahkan puncak kemampuannya, namun ia tidak kehilangan perhitungan sehingga tenaganya dapat susut dengan cepat.

Karena itu, maka semakin lama menjadi semakin jelas. Senapati muda yang ternyata juga memiliki ilmu yang tinggi itu, tidak mampu mengimbangi kemampuan Sekar Mirah.

“Apalagi dalam pertempuran bersenjata,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Agung Sedayu tahu benar, bagaimana Sekar Mirah mampu mempermainkan tongkat baja putihnya.

Tetapi pertempuran tanpa senjata itupun ternyata telah memberikan kesan yang menggetarkan. Sentuhan tangan masing-masing benar-benar telah menyakiti lawannya. Namun daya tahan tubuh masing-masing nampaknya memang melampaui daya tahan tubuh orang kebanyakan.

Meskipun demikian, yang nampak kemudian adalah bahwa senapati muda itu benar-benar telah terdesak.

Ki Lurah Branjangan pun menjadi tegan. Iapun melihat bahwa senapati muda itu telah terdesak. Semakin lama menjadi semakin jelas. Seolah-olah ruang geraknya di ladang yang luas itu menjadi sangat terbatas, karena Sekar Mirah dengan cepat selalu memotong loncatan-loncatnn senapati muda itu.

“Bukan main,“ desis senapati muda itu di dalam hatinya, “perempuan ini benar-benar memiliki ilmu yang dahsyat.“

Tidak dapat diingkari lagi, bahwa akhirnya senapati muda itu harus mengakui kelebihan Sekar Mirah. Perempuan itu ternyata mampu bergerak lebih cepat dan memiliki landasan ilmu yang lebih mantap.

Ki Lurah Branjangan sama sekali tidak mencegah Sekar Mirah mendesak lawannya. Semakin lama senapati itu benar-benar menjadi semakin sulit menghadapi istri Agung Sedayu. Serangan-serangan Sekar Mirah menjadi semakin sering mengenai tubuhnya. Perasaan sakit mulai menjalari permukaan kulitnya. Sentuhan yang satu disusul oleh sentuhan yang lain. Bahkan kemudian susul-menyusul. Dalam pada itu, matahari telah hilang di balik pegunungan. Pategalan itu menjadi semakin buram. Dan senapati muda itupun menjadi semakin sulit menghadapi kenyataan yang tidak diduganya.

Ketika gelap malam mulai turun, barulah Ki Lurah Branjangan maju setapak sambil berkata, “Cukup. Aku kira sudah cukup.”

Senapati muda yang sudah menjadi merah biru oleh serangan-serangan Sekar Mirah itu meloncat mundur, sementara Sekar Mirah pun mulai mengekang serangannya, sehingga perkelahian itupun kemudian telah terhenti.

“Jika kalian berdua ingin menjajagi ilmu kalian masing-masing, maka aku kira semuanya sudah jelas,“ berkata Ki Lurah Branjangan.

Senapati muda itu memandang Sekar Mirah dalam keremangan ujung malam. Namun nafasnya sendirilah yang didengarnya berkejaran di lubang hidungnya.

“Apa katamu?” bertanya Ki Lurah kepada senapati muda itu. “Jawablah dengan jujur. Kau adalah seorang kesatria Mataram yang tidak akan mengingkari kenyataan. Karena itu, kenyataan yang kau hadapi sekarang inipun harus kau terima dengan lapang dada.”

Senapati muda itu menunduk. Namun akhirnya ia berkata, “Aku mengerti maksud Ki Lurah. Aku terima kenyataan ini. Aku kalah.”

Ki Lurah maju mendekatinya. Sambil menepuk bahunya ia berkata, “Kau adalah seorang laki-laki Mataram yang sebenarnya. Kau memang harus mengakuinya. Dengan demikian, maka persoalan ini benar-benar telah selesai. Tidak ada lagi masalah di antara kau dan Sekar Mirah. Ilmu Sekar Mirah sudah diketahui dengan pasti. Lebih baik dari ilmumu. Tetapi itu tidak berarti bahwa ilmumu adalah ilmu yang rendah. Ilmumupun ternyata adalah ilmu yang tinggi. Yang pantas bagi seorang pelatih dan pembina di barak pasukan khusus itu.

Senapati muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Terima kasih Ki Lurah. Agaknya aku telah didorong oleh satu keinginan yang kurang pada tempatnya.”

“Kau telah dibakar oleh gejolak darah mudamu yang belum dapat kau endapkan,” jawab Ki Lurah, “tetapi ambillah keuntungan dari sikapmu itu, meskipun pada saat yang lain tidak perlu kau ulangi.”

“Ya Ki Lurah,” jawab senapati muda itu.

“Dengan demikian kau mengetahui tentang dirimu sendiri dengan sebuah perbandingan. Dan kaupun kemudian yakin bahwa kawan barumu dalam memberikan bimbingan di barak itu adalah orang yang memang sudah sepantasnya,” berkata Ki Lurah kemudian.

Senapati muda itu menundukkan kepalanya. Sementara itu, Ki Lurah pun berkata kepada Sekar Mirah, “Sekar Mirah. Senapati muda ini sudah melihat kenyataan tentang dirimu dan tentang dirinya sendiri, ia sudah mengakui kenyataan itu dan iapun telah menerimanya dengan ikhlas.”

“Terima kasih Ki Lurah,“ jawab Sekar Mirah.

Sementara Agung Sedayu pun menyambung, “Mudah-mudahan kedua ilmu itu akan dapat saling mengisi dalam tugas masing-masing. Mungkin Sekar Mirah memiliki kelebihan dalam olah kanuragan, tetapi senapati muda itu memiliki kelebihan dalam ilmu perang dan pasang gelar.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia sudah mengenal Agung Sedayu. Dan iapun menyahut, “Kau benar Agung Sedayu. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Karena itu, kita tidak usah menjadi kecil hati jika kita melihat kekurangan dari satu segi dalam hidup kita.”

“Jika kita mengakui kenyataan itu Ki Lurah, maka hal itu tentu akan mendorong kita untuk berbuat lebih banyak. Belajar lebih tekun dan bekerja lebih keras,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Sementara itu, maka gelap pun menjadi semakin hitam. Karena itu maka Ki Lurah pun berkata, ”Kita akan kembali ke tempat kita masing-masing.”

“Tetapi kebun ini menjadi rusak,“ desis Agung Sedayu.

Ki Lurah berpaling kepada senapati yang mengikutinya. Katanya. “Hubungi pemilik pategalan ini. Katakan kepadanya, bahwa gladi perang dari anak-anak di dalam barak itu telah tersesat di dalam pategalan ini. Carilah keterangan, berapa kita harus mengganti kerugian yang diderita oleh pemilik pategalan ini.”

“Baik, Ki Lurah,“ jawab senapati itu.

“Kita tidak boleh merugikan para pemilik sawah dan pategalan. Karena itu, besok semuanya harus sudah diselesaikan,“ berkata Ki Lurah.

“Apakah aku yang harus menggantinya?” bertanya senapati muda yang harus melihat kenyataan tentang dirinya itu, “Akulah yang menyebabkan pategalan ini menjadi rusak.”

“Jika kau dapat menghargai pengalaman yang terjadi kali ini, maka itu sudah cukup bagimu. Biarlah persoalan itu aku selesaikan,“ jawab Ki Lurah Branjangan.

Senapati muda itu menunduk sambil bergumam, “Terima kasih Ki Lurah. Aku akan menilai ini dengan jujur.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka orang-orang yang berada di pategalan itupun segera berjalan keluar sambil menuntun kuda mereka masing-masing. Sementara itu malam telah menjadi semakin gelap.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang tidak membawa kuda itupun kemudian minta diri untuk melanjutkan perialanan mereka pulang. Sementara yang lain berkuda kembali ke barak pasukan khusus.

“Untunglah bahwa Ki Lurah dapat mengerti masalah ini sepenuhnya,“ berkata Agung Sedayu.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia harus mengerti.”

“Dan ia memang sudah mengerti,” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi ada juga baiknya bagi kita,“ berkata Sekar Mirah kemudian, “dengan demikian, maka kedudukanku menjadi semakin jelas bagi anak-anak di dalam barak itu. Bukan aku yang memulainya, tetapi senapati itu sendiri. Sedangkan hasilnya adalah pengukuhan, bahwa aku memang lebih baik daripadanya.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu memang benar. Tetapi yang terjadi itu bukan satu alasan untuk terlalu berbangga diri.

Namun demikian. Agung Sedayu tidak mengatakannya kepada Sekar Mirah, agar ia tidak menjadi sangat kecewa.

Keduanyapun kemudian tidak terlalu banyak berbicara lagi. Mereka berjalan semakin lama semakin cepat, karena malampun menjadi semakin gelap.

Namun keduanya menjadi kecewa ketika mereka sampai ke halaman rumah mereka. Ternyata rumah mereka masih gelap. Anak yang membantu di rumah itu agaknya belum juga datang dan belum juga menyalakan lampu.

“Anak ini memang keterlaluan,“ geram Sekar Mirah, “aku ingin memilin kupingnya.”

Tetapi Agung Sedayu menyahut, “Ia tentu ikut bersama kawan-kawannya ke sungai seperti kemarin dilakukannya. Anak-anak itu membuka pliridan menjelang malam. Nanti tengah malam atau sesudahnya, mereka akan menutupnya dan menangkap ikannya dengan icir.”

“Tetapi ia harus tahu kewajibannya,“ jawab Sekar Mirah, “ia harus menyalakan lampu lebih dahulu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia harus membuat api dengan batu titikan dan emput aren. Sementara Sekar Mirah mencari belarak kering di samping rumahnya.

Sementara itu, maka Ki Lurah Branjangan, kedua senapati dan tiga orang anak-anak muda telah berada di dalam barak mereka. Senapati muda itupun segera masuk ke dalam biliknya. Nampaknya ia tidak ingin berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

Namun dalam pada itu, tiga orang anak muda dari pasukan khusus itulah yang tidak dapat berdiam diri. Apalagi kawan-kawan mereka segera mengerumuninya untuk mendapat keterangan tentang sikap senapati muda yang membawa mereka menyusul Agung Sedayu.

“Kami tidak segera mengetahui maksudnya, ketika senapati muda itu membawa kami keluar barak ini,“ berkata salah seorang dari ketiga anak-anak muda itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar