Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 155

Buku 155

Dalam pada itu maka sebagaimana direncanakan, maka pada hari kelima pengantin itupun akan diboyong ke Jati Anom dalam upacara ngunduh pengantin. Widura-lah yang menyiapkan tempat dan perlengkapan upacara. Rumah Untara yang selama itu dipergunakan sebagai tempat tinggal beberapa orang perwira dan tempat kedudukan pimpinan pasukan Pajang di Jati Anom, telah dibersihkan dan benar-benar menjadi tempat tinggal Untara yang mewakili orang tua Agung Sedayu.

Meskipun upacara di Jati Anom itu tidak sebesar upacara di Sangkal Putung, namun malam sepasaran itu menjadi meriah juga di Jati Anom. Orang-orang tua dari Sangkal Putung telah mengantar pengantin berdua ke Jati Anom di bawah pengawalan pasukan Untara yang kuat. Namun dalam pada itu, seperti Untara yang tidak datang ke Sangkal Putung pada hari upacara pengantin, maka Ki Demang pun tidak dapat ikut upacara ngunduh pengantin. Baru di hari berikutnya ia akan datang mengunjungi anaknya di Jati Anom.

Dalam pada itu, bukan saja iring-iringan pengantin yang menuju ke Jati Anom selalu diamati oleh pasukan Pajang di Jati Anom, disamping kesiagaan para pengawal Sangkal Putung sendiri.

Dalam iring-iringan menuju ke Jati Anom telah ikut pula orang-orang penting yang sebenarnya menjadi sasaran perhatian Ki Tumenggung Prabadaru. Selain Agung Sedayu dan Sekar Mirah, terdapat Kiai Gringsing, Ki Widura, Ki Waskita, Swandaru dan Pandan Wangi. Mereka adalah orang-orang yang harus dihapus dari lingkungan kekuatan yang akan dapat berpihak kepada Mataram, sementara mereka adalah orang-orang yang dapat menyebarkan kemampuan mereka kepada orang-orang lain.

Tetapi sebagaimana sudah direncanakan, iring-iringan itupun sama sekali tidak diganggu oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Ki Tumenggung Prabadaru menyadari bahwa kekuatan prajurit Pajang akan dapat menggagalkan rencana mereka, apalagi jika benturan itu terjadi di daerah kekuasaan para prajurit Pajang di Jati Anom. Dengan isyarat bunyi yang menjalar dari padukuhun yang satu ke padukuhan yang lain, maka dalam waktu singkat pasukan berkuda Untara akan sudah berkumpul dan siap menghancurkan lawan mereka.

Dengan demikian, maka rencana orang-orang tua di Jati Anom dan Sangkal Putung itupun dapat berjalan dengan lancar. Tidak ada hambatan apapun juga. Demikian pula ketika di hari berikutnya orang-orang tua dari Sangkal Putung kembali ke kademangan, mereka diiringi oleh para pengawal dari Sangkal Putung dan beberapa orang prajurit Pajang di Jati Anom.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Widura dan Ki Waskita ternyata tinggal di Jati Anom. Tetapi Swandaru dan Pandan Wangi telah kembali bersama dengan orang-orang tua dari Sangkal Putung. Mereka akan berada di Sangkal Putung, selama ayahnya justru pergi ke Jati Anom menengok Sekar Mirah, sebagaimana telah direncanakan.

Demikianlah segala upacara dapat berlangsung sesuai dengan keinginan orang tua-tua. Upacara di Jati Anom pun berjalan rancak.

Namun dalam pada itu, di luar sadar pembicaraan mereka tentang rencana kepergian Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil disadap oleh orang yang menjalankan tugas sandi bagi Ki Tumenggung Prabadaru.

Meskipun masih perlu mendapat penjelasan, namun ternyata bahwa kepada Ki Demang, Agung Sedayu mengatakan bahwa ia akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh setelah beristirahat satu dua pekan di Jati Anom.

“Begitu cepat?“ bertanya Ki Demang.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Teringat pembicaraannya dengan Ki Lurah Branjangan yang semula agak berkeberatan memberikan ijin kepadanya untuk meninggakan barak itu sebulan lamanya. Namun ternyata bahwa iapun berada di Sangkal Putung dan Jati Anom hampir sebulan sebagaimana pernah direncanakan.

Tetapi bahwa ia akan dapat kembali sebelum sebulan, tentu akan lebih baik dalam hubungannya dengan Ki Lurah Branjangan.

Ternyata pembicaraan itu telah menjadi bahan persiapan Ki Tumenggung Prabadaru di hari berikutnya. Ia tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap iring-iringan Ki Demang yang kembali ke Sangkal Putung, namun yang menjadi sasarannya kemudian adalah iring-iringan itu dalam perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Tentu ada beberapa orang prajurit yang mengawal mereka,” berkata Ki Tumenggung Prabadaru, “tetapi itu bukan hambatan. Kita harus dapat menilai kekuatan mereka dalam keseluruhan. Baru kita akan bertindak. Sementara itu, petugas kita akan melaporkan tempat yang paling baik untuk menyergap mereka. Kecuali di tempat penyeberangan justru di sebelah barat Kali Praga, mungkin ada pilihan lain yang lebih menguntungkan.”

Beberapa orang pengikutnya mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tetapi merekapun sadar, bahwa laporan-laporan akan sangat menentukan keberhasilan usaha mereka. Jika mereka mendapat dasar perhitungan yang keliru, maka kegagalan akan terulang kembali.

Hari-hari pertama dari hidup kekeluargaan Agung Sedayu ternyata ditempuhnya di rumahnya sendiri, dir umah orang tuanya. Sekar Mirah tidak ingin pergi ke padepokan kecil di Jati Anom untuk berada di padepokan itu meskipun hanya sepekan. Sekar Mirah ternyata lebih senang tinggal di Jati Anom sebelum mereka berangkat menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika Agung Sedayu mengajaknya pergi ke padepokan kecil maka Sekar Mirah bertanya, “Bukankah kita tidak akan terlalu lama berada di padepokan itu?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia ingin berada di padepokan itu bersama istrinya untuk barang sepekan sebelum pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi agaknya Sekar Mirah tidak tertarik sama sekali.

Karena itu. maka Agung Sedayu pun kemudian membiarkan Kiai Gringsing untuk berada di padepokan itu bersama Ki Waskita, sementara Ki Widura hilir mudik antara padepokan kecil itu, Jati Anom dan Banyu Asri. Namun Glagah Putihlah tetap berada di padepokan kecil untuk beberapa lama sambil meningkatkan ilmunya. Sedangkan Agung Sedayu sendiri justru kadang-kadang saja menengok padepokan itu. Bahkan ia lebih sering pergi sendiri.

Ada semacam kepahitan yang terasa di dalam jantungnya ketika ia memandang padepokannya dari kejauhan, ketika ia menengoknya seorang diri. Padepokan yang dibangunnya dengan susah payah, dan yang sudah memberikan tempat dan ketenangan kepadanya. Namun yang pada suatu saat harus ditinggalkannya begitu saja. Istrinya ternyata sama sekali tidak tertarik kepada padepokan semacam itu. Tempat yang menurut Sekar Mirah terlalu sepi dan lengang.

Namun akhirnya Agung Sedayu tidak dapat bertahan. Iapun sadar, bahwa akhirnya iapun harus pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan rasa-rasanya ia memang tidak akan kembali lagi ke padepokan itu.

Karena itu, maka pada satu kesempatan Agung Sedayu telah menemui cantrik-cantriknya. Dengan berat hati ia mengatakan, bahwa kemungkinan terbesar ia akan meninggalkan padepokan itu untuk seterusnya.

“Jadi. dengan siapa kami tinggal?” bertanya seorang cantrik.

“Aku kurang tahu. Tetapi Guru, Kiai Gringsing, tentu akan senang berada di sini, jika ia tidak berada di Sangkal Putung. Bahkan mungkin sekali Kiai Gringsing akan tetap menetap di padepokan ini. Sementara Guru hanya akan sering-sering saja menengok Swandaru di Sangkal Putung,” jawab Agung Sedayu.

Cantrik-cantrik itupun merasa berat untuk berpisah dengan Agung Sedayu. Bahkan satu dua orang bekas pengikut Sabungsari yang telah memilih hidup di padepokan itupun merasa berat juga ditinggalkan Agung Sedayu, untuk tinggal di padepokan kecil itu.

Dalam pada itu. maka pembicaraan mengenai rencana keberangkatan Agung Sedayu pun mulai dilakukan. Ternyata hampir setiap orang di sekitar Agung Sedayu mengatakan untuk ingin ikut serta. Bahkan Ki Demang Sangkal Putung pun mengantar bersama Swandaru dan Pandan Wangi. Sementara mereka akan dapat minta perlindungan kepada Untara bagi keamanan Sangkal Putung.

Untara sendiri ternyata belum menentukan sikap, apakah ia akan ikut mengantarkan Agung Sedayu atau tidak. Untara masih akan melihat keadaan yang berkembang pada saat terakhir.

Namun dalam pada itu, sudah dapat dipastikan bahwa yang akan ikut serta bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah ke Tanah Perdikan Menoreh adalah Swandaru dan istrinya, Ki Widura sebagai pamannya. Ki Waskita dan Kiai Gringsing. Sementara Sabungsari dan Glagah Putih pun telah menyatakan ikut pula mengantar ke Tanah Perdikan Menoreh.

Bahkan Glagah Putih telah mulai mempunyai tuntutan tersendiri. Ia sudah beberapa kali mengatakan kepada ayahnya meskipun belum bersungguh-sungguh, bahwa ia ingin tinggal bersama Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh.

“Jika Ayah tidak mengijinkan aku tinggal di Tanah Perdikan Menoreh seterusnya bersama Kakang Agung Sedayu, setidak-tidaknya aku ingin mematangkan ilmuku. Aku ingin memiliki kemampuan yang mapan dan kemudian akan dapat menjadi alas Ilmu yang lain yang tidak bertentangan dengan watak ilmu yang ada pada diriku,” berkata Glagah Putih kepada ayahnya.

“Aku belum dapat mengatakan sesuatu Glagah Putih,” jawab ayahnya, “aku masih harus melihat perkembangan keadaan. Aku harus mengetahui pendapat Agung Sedayu sendiri dan Ki Gede Menoreh. Aku tahu bahwa dalam beberapa hal kau tidak sepaham dengan Prastawa. Bukankah hal itu akan dapat menjadi bibit yang kurang baik?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Agaknya Sabungsari telah mengatakannya kepada ayahnya tentang hubungan dengan Prastawa. Tetapi Glagah Putih tidak membantah. Bahkan katanya, “Prastawa mempunyai sikap yang aneh. Nampaknya ia tidak senang kepada Kakang Agung Sedayu.”

“Karena itu, aku masih harus memperhitungkan banyak hal sebelum aku dapat menjawab permintaanmu,“ berkata Widura kemudian.

Glagah Putih tidak mendesak. Ia memang harus menunggu, meskipun kadang-kadang ia tidak telalen menunggu sikap orang-orang tua.

Sebagaimana setiap pembicaraan tentang kepergian Agung Sedayu, maka rencana yang sudah mulai jelas itupun telah disadap pula oleh petugas-petugas sandi dari Pajang. Apa lagi agaknya Agung Sedayu sama sekali tidak berusaha untuk merahasiakannya di antara keluarganya dan keluarga Untara. Sementara di sekitar Untara terdapat orang-orang yang tidak diketahui warna jantungnya, meskipun ia berada di lingkungan keluarga Untara, termasuk para pengawal Untara sendiri.

Dengan demikian, maka gambaran siapa saja yang akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh telah diketahui oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

“Kita menunggu keputusan Untara, apakah ia akan pergi atau tidak,” berkata Tumenggung Prabadaru.

Berbeda dengan Agung Sedayu, maka Untara nampaknya bertindak lebih berhati-hati. Ia masih dibayangi oleh keterangan kawannya yang berada di Pajang serta peringatan yang diberikan oleh Pangeran Benawa kepada Agung Sedayu sendiri, sehingga karena itu maka ia harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang lebih mapan. Naluri keprajuritannya telah memperingatkannya, bahwa ia tidak dapat mempercayai setiap orang di sekitarnya tanpa saringan.

Demikianlah, pada saat yang semakin dekat dengan keberangkatan Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh, maka ternyata Untara dengan resmi mengatakan kepada adiknya dan orang-orang tua yang lain, bahwa ia tidak dapat pergi ke Tanah Perdikan itu.

“Aku harus mengawasi daerah selatan seluruhnya,“ berkata Untara, “apalagi karena Swandaru dan Pandan Wangi, lebih-lebih jika Ki Demang Sangkal Putung pergi juga ke Tanah Perdikan.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ada sedikit kekecewaan di hatinya karena kakaknya, pengganti orang tuanya, tidak dapat mengantarnya ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Biarlah Paman Widura saja yang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Untara kemudian.

Namun bagaimanapun juga Agung Sedayu dapat mengerti, betapa beratnya beban tugas Untara dalam keadaan yang kalut itu. Agung Sedayu dapat membayangkan, seandainya Untara pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, sementara orang-orang yang ada di lingkungan keprajuritan Pajang yang memusuhinya mengambil kesempatan untuk bertindak atas daerah ini, mana ia akan menanggung beban untuk mempertanggung jawabkannya.

Karena itu, maka akhirnya iapun tidak lagi memikirkannya lebih jauh atas keputusan yang diambil Untara itu.

Sementara itu, maka orang-orang yang akan pergi ke Tanah Perdikan itupun mulai bersiap-siap. Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang akan berada di Tanah Perdikan Menoreh untuk waktu yang tidak terbatas akan membawa bekal secukupnya. Berbeda dengan jika Agung Sedayu sendiri pergi ke Tanah Perdikan itu sebagaimana dilakukannya sebelumnya.

Selain orang-orang tua, Swandaru dan istrinya, disertai Glagah Putih dan Sabungsari, maka Swandaru pun akan membawa beberapa orang pengawal yang terpilih dari Sangkal Putung atas persetujuan Untara. Untara telah mengijinkan untuk mengawasi Sangkal Putung selama kademangan itu ditinggalkan pimpinannya. Selain para pengawal itu, ternyata beberapa orang cantrik dari padepokan kecil Agung Sedayu pun akan ikut pula mengantar mereka. Bukan cantrik kebanyakan yang ada di padepokan itu, tetapi mereka adalah bekas pengikut Sabungsari yang berada di padepokan itu, dan yang telah merubah jalan hidupnya sesuai dengan sikap Sabungsari sendiri.

Dengan demikian, maka iring-iringan yang disiapkan adalah iring-iringan yang sangat kuat, meskipun jumlahnya bukan segelar sepapan.

Keputusan Untara itu telah disambut oleh Ki Tumenggung Prabadaru dengan kecewa. Sebenarnya ia ingin menghancurkan orang-orang yang dianggapnya dapat merintangi jalan menuju ke Mataram. Meskipun Untara adalah prajurit Pajang, tetapi Tumenggung Prabadaru merasa bahwa orang-orang di Pajang sulit untuk dapat mengendalikannya.

“Aku tidak kecewa,“ berkata seorang pengikut Ki Tumenggung Prabadaru.

“Kenapa?“ bertanya Tumenggung itu.

“Tugas kita tidak akan menjadi sangat berat,“ jawab orang itu. “Jika Untara ikut serta, mungkin sekali ia akan membawa prajurit dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga bagaimanapun juga akan mempunyai pengaruh yang besar atas keseimbangan kekuatan itu.”

“Tetapi ia akan tetap menjadi rintangan di daerah selatan ini,“ berkata Ki Tumenggung.

“Ia tidak akan banyak berpengaruh,” jawab orang itu, “dalam perang terbuka, kita akan dapat mempergunakan jumlah orang yang tidak terbatas. Agak lain dengan usaha kita mencegat perjalanan mereka. Orang-orang yang akan kita persiapkan harus memperhitungkan jumlah, karena medan. Jika kita terlalu banyak mengerahkan orang-orang kita, maka orang-orang di sekitar medan yang kita pilih akan curiga dan dapat menjadi sumber kegagalan, karena sikap mereka yang dapat memberikan peringatan kepada iring-iringan yang kita cegat itu.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku akan mendengarkan pendapat banyak orang di antara kita. Baru aku akan mengambil kesimpulan.“

Orang yang memberikan pertimbangan itui tidak menjawab lagi. Ia yakin bahwa beberapa orang kawannya akan sependapat. Jika Untara tidak berangkat, maka yang perlu dikerahkan hanyalah orang-orang terpenting saja di antara mereka. Sementara beberapa orang prajurit dari lingkungan pasukan khusus yang tidak mempergunakan ciri-ciri keprajuritan akan menyertai mereka untuk menghadapi orang-orang yang akan mengawal iring-iringan itu. Mungkin para pengawal dari Sangkal Putung, atau prajurit Pajang di Jati Anom yang jumlahnya tentu sangat terbatas.

Demikianlah, hari-hari merambat terus. Waktu yang tersedia bagi Agung Sedayu menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya sepekan telah lewat dari hari-hari sepasarannya. Dengan demikian maka ia menganggap bahwa waktu istirahatnya sudah cukup. Karena itu. maka iapun telah bersiap-siap untuk segera berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.

Saat-saat yang demikian adalah saat-saat yang menegangkan bagi Glagah Putih yang menunggu keputusan ayahnya. Untuk mengisi kegelisahannya menunggu keputusan itu, maka seperti biasanya ia telah menenggelamkan diri di dalam sanggar. Apalagi Agung Sedayu telah membuka beberapa pengertian pada tingkat akhir dari ilmunya, sehingga dengan demikian maka Glagah Putih yang masih muda itu benar-benar telah menguasai satu perangkat ilmu yang utuh, meskipun masih harus dikembangkannya.

Adalah menjengkelkan sekali bahwa Ki Widura tidak segera memberi keputusan apakah ia akan diperbolehkan untuk tinggal di Tanah Perdikan Menoreh untuk waktu yang cukup baginya agar Ilmunya menjadi mekar. Dengan demikian maka ia akan dapat menempatkan dirinya di antara orang-orang yang memiliki ilmu yang diperhitungkan oleh orang lain. Meskipun ia sudah cukup mempunyai bekal dalam olah kanuragan, tetapi ia kadang-kadang masih merasa terlalu kecil berhadapan dengan Agung Sedayu.

Namun akhirnya ayahnya telah memanggilnya. Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ayahnya ingin berbicara dengannya disaksikan oleh Agung Sedayu.

“Glagah Putih,“ berkata Ki Widura, “biarlah aku menjawab pertanyaanmu yang sudah kau berikan beberapa hari yang lalu. Sudah barang tentu aku tidak dapat menjawab sendiri tanpa Agung Sedayu, karena yang akan tinggal di Tanah Perdikan Menoreh adalah kakakmu, Agung Sedayu.”

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya jantungnya menjadi semakin cepat berdentangan di dalam dadanya.

“Karena itu sebelum aku menentukan sikap, sebaiknya aku bertanya dahulu kepada kakakmu Agung Sedayu,” berkata Ki Widura kemudian.

Glagah Putih memandang ayahnya sekilas. Jika ia tidak segan kepada ayahnya, ia sudah membentaknya, “Cepat. Jika ingin bertanya, bertanyalah.”

Namun dalam pada itu, meskipun Glagah Putih tidak mengatakannya namun rasa-rasanya Ki Widura mengerti apa yang dipikirkannya. Karena itu katanya, “Sebaiknya aku memang segera bertanya. Tentu kau sudah menjadi tegang.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Baru kemudian Ki Widura bertanya kepada Agung Sedayu, “Agung Sedayu. Sejak beberapa hari yang lalu adikmu telah minta kepadaku agar ia diperbolehkan ikut ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Bukankah Glagah Putih memang akan ikut?“ Agung Sedayu ganti bertanya.

“Ya. Tetapi ia tidak sekedar ikut mengantarkanmu dan di hari berikutnya ikut pula kembali ke Jati Anom,“ jawab Ki Widura.

“Maksud Paman?“ bertanya Agung Sedayu pula.

Ki Widura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ia ingin berada di Tanah Perdikan Menoreh untuk beberapa lama. Ia ingin memekarkan ilmunya yang sudah kau buka sampai puncaknya itu. Tetapi rasa-rasanya masih belum tuntas, karena masih ada beberapa hal yang nampak kabur dalam pandangan Glagah Putih.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Meskipun demikian Glagah Putih sudah menjadi seorang yang pantas berada di antara orang-orang berilmu tinggi. Jika ia terisi dengan pengalaman yang cukup, maka ia akan menjadi seorang anak muda yang mumpuni.”

“Itulah yang akan dicarinya di Tanah Perdikan. Agaknya kau akan dapat memberinya petunjuk, bagaimana ia harus mematangkan ilmunya itu, sehingga ia benar-benar akan menjadi salah seorang dari jajaran orang-orang yang berilmu.”

Agung Sedayu memandang Glagah Putih sekilas. Namun anak muda itu telah menundukkan wajahnya.

“Paman,” berkata Agung Sedayu kemudian, “sebenarnya aku tidak akan menaruh keberatan apa-apa jika ia ingin berada di Tanah Perdikan. Tetapi Glagah Putih harus menyadari, bahwa aku tidak berada di tempatku sendiri. Aku berada di tanah Ki Gede Menoreh. Dengan demikian maka aku dan apalagi Glagah Putih harus menyesuaikan diri.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada Glagah Putih, “Nah. kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh kakakmu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Tetapi aku menunggu keputusan Ayah. Bukankah Ayah belum memberikan keputusan apa-apa?”

Ki Widura menarik napas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah Glagah Putih. Jika keras keinginanmu untuk ikut bersama kakakmu di Tanah Perdikan Menoreh, maka aku tidak akan berkeberatan. Tetapi segala sesuatunya masih akan tergantung kepada keadaan. Seandainya Ki Gede Menoreh tidak berkeberatan, namun kita akan melihat suasana terakhir dari Tanah Perdikan itu.”

“Jadi Ayah tidak berkeberatan?” bertanya Glagah Putih kemudian.

Tetapi jawab Ki Widura tidak memuaskan Glagah Putih meskipun ia tidak dapat mendesaknya lagi. Berkata Ki Widura, “Segala sesuatunya akan ditentukan oleh keadaan kelak.”

Tetapi Glagah Putih telah mengetahui, pada dasarnya ayahnya tidak berkeberatan. Tetapi agaknya ayahnya masih akan berbicara dengan Ki Gede Menoreh kelak.

Demikianlah, maka Glagah Putih sudah dapat sedikit kepastian. Iapun mengharap, bahwa Ki Gede tidak akan berkeberatan jika ia tinggal di Tanah Perdikan itu bersama Agung Sedayu untuk sementara.

Namun tiba-tiba teringat oleh Glagah Putih, seorang anak muda yang sulit dimengertinya, Prastawa. Kemenakan Ki Gede itu sendiri.

“Bagaimana jika anak itu berkeberatan?“ bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri.

Tetapi segalanya tentu tergantung kepada Ki Gede. Bahkan Agung Sedayu pun tentu akan ikut menentukan, apakah ia boleh tinggal atau tidak.

Dalam pada itu, maka Jati Anom mulai bersiap-siap. Agung Sedayu tidak akan menunggu sampai sebulan penuh. Karena itu maka iapun segera membicarakan dengan Untara, kapan sebaiknya mereka akan berangkat.

“Tergantung kepada kalian yang akan pergi ke Tanah Perdikan,” jawab Untara, “kapanpun tidak akan banyak bedanya bagiku. Bersiap-siap untuk meronda ke tempat-tempat yang rawan, termasuk Sangkal Putung yang akan ditinggalkan oleh Ki Demang, Swandaru dan istrinya, Pandan Wangi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Apakah Kakang tidak mempunyai pesan apapun tentang waktu itu?”

Untara menggelengkan kepalanya. Bahkan katanya kemudian, “Segalanya tergantung kepadamu, Agung Sedayu. Kami para prajurit Pajang di Jati Anom-lah yang harus menyesuaikan diri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Karena itulah maka ia harus berbicara dengan orang-orang tua. Terutama pamannya yang akan mengantarkan ke Tanah Perdikan Menoreh mewakili orang tuanya, karena Untara tidak akan ikut serta.

Ternyata orang-orang tua itupun tidak mempunyai keberatan apapun jika mereka segera berangkat. Apalagi Sekar Mirah sendiri berkeinginan untuk segera berangkat pula ke Tanah Perdikan, karena di rumah itu ia merasa hanya sekedar menumpang di rumah Untara, meskipun ia tahu bahwa rumah itu juga rumah Agung Sedayu.

“Lusa kita berangkat,” berkata Agung Sedayu kepada istrinya.

Sekar Mirah memangguk. Katanya, “Lebih cepat lebih baik Kakang. Di sini kita menjadi beban Kakang Untara dan istrinya.”

Sebenarnya Agung Sedayu tidak sesuai dengan perasaan Sekar Mirah itu. Untara sama sekali tidak merasa bahwa kehadiran mereka sebagai beban. Tetapi ia lebih senang tidak menjawab.

Malam itu, Agung Sedayu telah berbicara dengan orang-orang tua. Gurunya, pamannya dan Ki Waskita. Bagi mereka memang tidak ada keberatan apapun untuk segera berangkat. Dan merekapun tidak berkeberatan pula apabila besok lusa mereka bersama-sama pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Besok aku pergi ke Sangkal Putung,” berkata Kiai Gringsing, “aku akan memberitahukan rencana keberangkatan ini. Biarlah besok malam mereka sudah bermalam di sini, sehingga besok lusa pagi-pagi benar, kau dapat berangkat.”

Seperti yang telah direncanakan, maka atas persetujuan Untara pula, Kiai Gringsing di keesokan harinya telah pergi ke Sangkal Putung untuk menyampaikan keputusan Agung Sedayu, istrinya dan orang-orang tua di Jati Anom, bahwa di hari berikutnya mereka akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Begitu tiba-tiba,” berkata Ki Demang.

“Agung Sedayu sudah terlalu lama meninggalkan tugasnya,” berkata Kiai Gringsing.

Namun sebenarnya-lah Ki Demang, Swandaru dan Pandan Wangi sudah bersiap-siap sejak sebelumnya. Dengan demikian merekapun akan dapat berangkat setiap saat. Apalagi Swandaru sudah sejak sebelumnya pula mempersiapkan para pengawal. Yang akan dibawanya ke Tanah Perdikan Menoreh, maupun yang ditinggalkannya. Menilik sikap Untara sebelumnya, maka Swandaru pun mempercayakan pengamanan Sangkal Putung selain kepada para pengawal yang ditinggalkannya, juga kepada para praiurit Pajang di Jati Anom. Apalagi Untara telah menyatakan untuk tidak berangkat ke Sangkal Putung.

Sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Gringsing, maka pada hari itu segalanya telah disiapkan oleh Swandaru. Kecuali Swandaru berdua dan Ki Demang, maka ia telah membawa lima orang terbaik dari para pengawal di Sangkal Putung untuk ikut serta dalam iring-iringan ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika matahari condong ke barat, maka Ki Demang pun telah siap untuk meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Jati Anom. Di keesokan harinya mereka akan bersama-sama dengan sekelompak orang-orang yang telah menunggu di Jati Anom untuk berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.

Swandaru masih berpesan kepada para pengawal di Sangkal Putung dan menempatkan mereka di bawah perintah Ki Jagabaya.

“Segalanya aku serahkan kepada Ki Jagabaya,” berkata Ki Demang ketika mereka akan berangkat, “aku minta Ki Jagabaya selalu berhubungan dengan prajurit Pajang di sekitar Sangkal Putung. Angger Untara akan menempatkan sekelompok prajuritnya di ujung kademangan secara tetap.”

“Baik, Ki Demang,” jawab Ki Jagabaya, “mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di Sangkal Putung sepeninggal Ki Demang, dan tidak terjadi sesuatu di perjalanan Ki Demang ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Demikianlah, maka iring-iringan kecil telah meninggalkan Sangkal Putung. Dalam keadaan yang terhitung gawat, maka Pandan Wangi tidak mengenakan pakaian seorang perempuan yang pergi mengunjungi sepasang pengantin baru. Tetapi ia sudah siap dalam pakaian yang paling baik bagi sebuah perjalanan yang berbahaya, dengan sepasang pedang di lambungnya, sebelah-menyebelah.

Sebagaimana perjalanan orang-orang yang hilir mudik dari Jati Anom ke Sangkal Putung, maka perjalanan itu pun sama sekali tidak terganggu. Namun demikian, sebenarnya-lah beberapa orang telah mengamati iring-iringan itu dari kejauhan.

“Tidak banyak,“ desis yang seorang, “ternyata bahwa iring-iringan ke Tanah Perdikan Menoreh itu hanya terdiri dari beberapa orang saja. Dengan demikian tugas kami akan jauh lebih mudah dari rencana yang pernah disusun sebelumnya. Bukankah kita pernah merencanakan untuk memasuki jantung Sangkal Putung pada saat pengantin Agung Sedayu itu dipertemukan? Bukankah dengan demikian kita harus memperhitungkan pengawal Sangkal Putung segelar sepapan, sehingga kita akan mengerahkan semua orang di dalam pasukan khusus itu meskipun dalam ujud yang lain.“

“Orang-orang itu memang gila,” sahut yang lain, “apa artinya lima orang pengawal. Seandainya Untara memberikan lima orang prajurit akan berarti sepuluh orang. Benar-benar satu iring-iringan yang penuh kesombongan. Dan kesombongan itu akan ditebus dengan peristiwa yang paling pahit dari kehidupan mereka. Mereka akan kita hancurkan sampai ke orang terakhir.“

Orang-orang itu tertawa. Katanya, “Ternyata bahwa tugas kita tidak seberat yang kita duga.”

“Malam nanti kita akan membuat laporan. Kita sudah dapat memperhitungkan kekuatan mereka dengan pasti. Besok pagi segalanya akan dapat diselesaikan,” berkata yang seorang. “Nampaknya tempat yang sudah dipilih itu tidak akan berubah lagi. Justru di Tanah Perdikan Menoreh, sesaat selelah mereka turun dari penyeberangan.”

Dengan demikian, ketika iring-iringan dari Sangkal Putung itu lenyap, maka orang-orang itupun segera meninggalkan tempatnya pula.

Sebagaimana iring-iringan itu laju ke Sangkal Putung, maka orang-orang itupun segera pula pergi ke Pajang untuk melaporkan semua hasil pengamatannya. Sementara itu iapun mengerti, bahwa kawan-kawannya yang lain akan memberikan laporan dari segi pengamatan mereka masing-musing.

Demikianlah, maka malam itu Ki Tumenggung Prabadaru telah menerima beberapa orang petugas sandinya. Mereka melaporkan sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada mereka masing-masing. Dua orang di antara mereka telah memberikon laporan tentang kepastian keberangkatan Agung Sedayu.

“Kau pasti?” bertanya Ki Tumenggung.

“Ya. Aku pasti,” jawab salah seorang di antara mereka berdua.

Sementara itu, orang-orang yang melihat iring-iringan dari Sangkal Putung berkata, “Memang mungkin sekali. Orang-orang Sangkal Putung telah pergi ke Jati Anom sore ini.”

Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Sabdadadi telah bertanya, “Berapa orang yang ikut dalam iring-iringan itu seluruhnya ?”

“Itulah yang ingin aku laporkan,“ jawab salah seorang di antara mereka yang melihal iring-iringan itu, “ternyata jauh di luar dugaan.”

“Segelar sepapan?” desak Ki Sabdadadi.

“Tidak. Sama sekali tidak. Ki Demang Sangkal Putung diiringi oleh anak dan menantunya. Kemudian lima orang pengawal dari Sangkal Putung. Sudah tentu pengawal terpilih,“ jawab orang itu.

Ki Sabdadadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang kita persiapkan jauh melampaui yang kita butuhkan. Kita sudah mempersiapkan sebuah pasukan yang sangat kuat dengan orang-orang berilmu tinggi yang sudah diperhitungkan. Ternyata yang akan kita hadapi adalah sebuah iring-iringan kecil yang tidak berarti.”

Tetapi Ki Prabadaru menyahut, “Mungkin dalam perhitungan jumlah. Tetapi kita harus memikirkan tingkat kemampuan mereka masing-masing. Mereka adalah orang-orang yang pilih tanding.”

“Bukankah hal itu sudah kita perhitungkan? Bukankah kita sudah menghitung orang-orang berilmu tinggi di antara mereka? Selebihnya dari hitungan itu, kita sudah menyiapkan pasukan yang terdiri dari bagian pasukan khusus yang dipersiapkan, meskipun mereka tidak akan mengenakan ciri-ciri pasukan khusus dari Pajang itu,” jawab Ki Sabdadadi.

Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika demikian, Ki Sabdadadi yakin bahwa kali ini kita akan barhasil? Setelah kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi?”

“Mudah-mudahan Ki Tumenggung. Malam ini kita harus mengirimkan orang ke tempat yang sudah dipersiapkan itu,” berkata Ki Sabdadadi, “seperti yang sudah kita rencanakan. Namun demikian, Ki Tumenggung masih dapat memilih. Apakah kita akan menempatkan pasukan kita di sebelah timur atau di sebelah barat Kali Praga. Masing-masing mempunyai keuntungan dan kelemahannya. Kedudukan kita akan lebih baik jika kita berada di sebelah barat tempat penyeberangan. Kita akan menyambut mereka yang baru saja turun dari rakit-rakit yang menepi, dan mendorong mereka kembali ke dalam air. Tetapi kelemahan kita, jika orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sempat memberikan isyarat kepada para pengawal Tanah Perdikan, dan apalagi pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan.”

Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya, “Bagaimana jika di sebelah timur Kali Praga?”

“Kita akan menyerang mereka tepat pada saat mereka akan naik rakit-rakit dari tepi sebelah timur. Kita akan mendesaknya ke Kali Praga dan melemparkan mereka. Namun kedudukan mereka tidak selemah pada saat mereka akan naik, justru karena kita tidak dapat menyerang mereka pada saat mereka masih berada di atas rakit-rakit,” jawab Ki Sabdadadi.

Ki Tumenggung berpikir. Ia mulai membayangkan apa yang dapat dilakukan oleh orang-orangnya menghadapi iring-iringan dari Jati Anom itu. Iring-iringan yang akan terdiri dari orang-orang puncak yang dianggapnya akan dapat megganggu usahanya membersihkan Pajang, dan mereka yang menentang kehendak sekelompok orang yang akan memulihkan kejayaan Majapahit menurut citra mereka.

Baru sejenak kemudian Ki Tumenggung itu berkata, “Ki Sabdadadi. Menurut perhitungan kami, kekuatan kita melampaui kekuatan orang-orang yang akan kita hadapi. Karena itu, maka kita tidak akan memperhitungkan keadaan lawan sebagaimana kau katakan, saat-saat mereka turun atau justru naik ke atas rakit-rakit. Bahkan kapanpun dan dimanapun, kekuatan kita akan dapat menyapu mereka tanpa memperhatikan unsur-unsur lain di luar pasukan kita itu sendiri. Jika kita memilih tempat yang paling sepi, justru kita menghindari campur tangan Mataram atau Tanah Perdikan Menoreh. Bukan kelemahan pada saat-saat mereka turun dari rakit.”

Ki Sabdadadi pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti maksud Ki Tumenggung. Akupun berpendapat demikian. Karena itu, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa Ki Tumenggung memilih tepian di sebelah timur Kali Praga?”

“Ya,” jawab Ki Tumenggung, “kita akan membatasi kemungkinan terlibatnya orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, meskipun tepian itu tidak terlalu dekat dengan padukuhan. Tetapi jarak itu akan lebih jauh di sebelah timur Kali Praga. Karena di sebelah timur Kali Praga, sebelum daerah persawahan masih terbentang padang perdu dan sedikit tanah berawa-rawa.”

“Baiklah Ki Tumenggung,“ jawab Ki Sabdadadi, “malam ini kita akan mengirimkan petugas untuk mengatur segalanya. Aku sendiri akan pergi malam ini.”

“Pringgajaya ada di sana,“ berkata Ki Tumenggung, “aku akan menyusul lewat tengah malam.”

Demikianlah, maka Ki Sabdadadi pun telah menyiapkan beberapa orang pengikutnya untuk pergi ke Kali Praga mendahului orang-orang Jati Anom yang baru esok pagi akan berangkat. Ki Sabdadadi harus menyiapkan pasukan yang sudah disediakan untuk mencegat perjalanan Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Prabadaru masih menerima laporan terakhir dari petugas sandinya yang berada di dalam lingkungan prajurit Pajang di Jati Anom.

Dengan penuh keyakinan orang itu berkata, “Segalanya sudah aku ketahui. Jalan yang akan mereka tempuhpun sudah pasti.”

“Tentu jalan yang sudah kita perhitungkan,“ jawab Ki Tumenggung Prabadaru, “meskipun kau tidak memberikan laporan tentang jalan yang akan ditempuh, kami sudah dapat memastikannya.”

“Ya. Seperti yang sudah kita duga. Tetapi bukankah lebih baik mendengar sendiri dari mulut Untara yang bertanya kepada Agung Sedayu tentang jalan yang akan ditempuhnya?” jawab orang itu.

“Orang-orang Jati Anom memang orang-orang dungu. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan ini dapat terjadi, sehingga Untara, seorang perwira Pajang yang mendapat kepercayaan di daerah inipun dengan bodoh telah menjelaskan sesuatu yang seharusnya dirahasiakan,” berkata Ki Tumenggung Prabadaru.

“Mungkin iapun menganggap bahwa hal itu perlu dirahasiakan. Tetapi yang tidak diketahuinya adalah, bahwa di antara orang-orang terdekatnya telah membocorkannya,” berkata orang itu.

“Kau terlalu sombong. Kau sangka kau adalah orang yang dapat mendekatinya,” geram Ki Tumenggung, “yang sengaja dirahasiakan tentu kau tidak akan dapat menyadapnya, karena kedudukanmu bukan orang penting di samping Untara. Tetapi agaknya Untara memang dungu, sehingga hal yang gawat itu tidak dirahasiakannya.”

Orang yang datang dari Jati Anom itu tidak menjawab lagi. Ki Tumenggung Prabadaru tahu pasti kedudukannya di Jati Anom. Sebenarnya-lah bahwa yang diketahuinya itu adalah sesuatu yang nampaknya memang tidak terpikirkan oleh Untara untuk merahasiakannya. Bahkan ia telah memberikan beberapa pesan langsung kepada adiknya tentang jalan yang akan dilaluinya itu.

Namun dengan demikian, maka Ki Tumenggung pun menjadi semakin yakin akan keberhasilannya. Sebenarnya ia memang telah memikirkan kemungkinan bahwa Agung Sedayu akan mengambil jalan lain dari jalan yang terbiasa dilaluinya. Semata-mata bagi keamanannya. Tetapi ternyata bahwa ia telah menentukan jalan yang akan dilaluinya, bahkan dengan petunjuk dari Untara.

Dalam pada itu, maka semua pesan dan perintah telah disampaikannya kepada Ki Sabdadadi. Ia memang harus berhati-hati. Meskipun orang yang dipersiapkan melampaui kebutuhan, terutama dalam hal jumlah, karena semula mereka menyangka bahwa iring-iringan itu akan mendapat pengawalan yang kuat dari Untara, tetapi yang ternyata tidak. Namun demikian, orang-orang yang berada di dalam iring-iringan itu benar-benar orang pilihan. Meskipun Untara sudah menyatakan tidak ikut serta, dan jumlah pengawal yang diperintahkannyapun tidak lebih dari jumlah para pengawal dari Sangkal Putung, namun melawan iring-iringan itu, Ki Sabdadadi sama sekali tidak boleh lengah.

“Agung Sedayu sendiri telah mengalahkan Ajar Tal Pitu,” berkata Ki Tumenggung Prabadaru.

Tetapi Ki Sabdadadi berkata, “Ajar Tal Pitu bukan orang puncak di antara kami.”

“Menurut Ki Pringgajaya, ia sudah melengkapi laku terakhirnya, sehingga ilmunya sudah sempurna,” berkata Ki Tumenggung Prabadaru.

“Aku belum mendengarnya,” jawab Ki Sabdadadi. Kemudian, “Seandainya ia benar-benar telah menyelesaikan laku terakhirnya dengan baik sampai pada tingkat pati geni, namun pada dasarnya kesempurnaan ilmunya sangat terbatas.”

“Kau jangan menganggap lawanmu rendah,” berkata Ki Tumenggung Prabadaru, “Pringgajaya sendiri menyaksikan pertempuran itu. Karena itu, maka ia dapat menilai tingkat kemampuan Agung Sedayu.”

Ki Sabdadadi mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berhati-hati. Tetapi kau jangan menganggap jumlah pasukan yang banyak itu tidak berarti. Orang-orang dari pasukan khusus itu akan memberikan arti tersendiri.”

“Aku tidak menganggap mereka tidak berarti,” jawab Ki Tumenggung Prabadaru, “aku percaya dengan orang-orangku dalam pasukan khusus yang akan ikut dengan kalian. Tetapi aku minta kau tetap berhati-hati.”

Sekali lagi Ki Sabdadadi berkata, “Baiklah. Aku akan berhati-hati.”

Demikianlah, maka Ki Sabdadadi pun segera bersiap. Ia sendiri akan pergi ke Kali Praga. Dua orangnya telah dikirim lebih dahulu. Sementara Ki Sabdadadi akan pergi bersama empat orang pengawalnya. Di belakang mereka, Ki Tumenggung Prabaduru pun akan menyusul pula, tetapi lewat tengah malam. Namun demikian, menurut perhitungan Ki Tumenggung, ia tentu akan sampai di Kali Praga lebih dahulu dari orang-orang Jati Anom yang baru akan berangkat di keesokan harinya.

“Tentu mereka tidak berangkat pada dini hari,“ berkata Ki Tumenggung.

Sejenak kemudian, maka Ki Sabdadadi-lah yang berangkat lebih dahulu. Dalam jumlah yang kecil, maka iring-iringan itu tidak akan banyak menarik perhatian. Tetapi dalam jumlah besar, maka kemungkinan yang pahit akan mereka alami, apabila orang-orang yang melihat mereka, melaporkan kepada para peronda dari Jati Anom.

Tetapi mereka sudah memperhitungkannya, sehingga mereka telah menentukan jalan yang akan mereka lewati. Mereka tidak akan melalui jalur jalan yang dekat dengan Kademangan Sangkal Putung, karena menurut perhitungan mereka, pasukan Untara masih akan selalu meronda. Apalagi pada saat-saat Sangkal Putung sedang kosong.

Dengan perhitungan yang cermat, maka sebagaimana yang mereka kehendaki, maka perjalanan Ki Sabdadadi sama sekali tidak terganggu di sepanjang jalan.

Mereka melewati jalan-jalan yang membelah bulak-bulak panjang dan sekali-sekali melewati padukuhan. Tetapi padukuhan yang jauh dari Kademangan Sangkal Putung tidak mengalami penjagaan yang ketat, sehingga tidak seorangpun yang telah menyapa mereka.

“Kita harus menyiapkan pasukan secepatnya, agar mereka sempat beristirahat sebelum mereka harus bertempur melawan orang-orang sakti,” berkata Ki Sabdadadi.

Karena itulah, maka Ki Sabdadadi dengan para pengiringnya telah berusaha untuk secepatnya mencapai tujuan, meskipun sekali-sekali mereka hurus beristirahat dan memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk minum dan makan rerumputan segar.

Ternyata lewat tengah malam mereka sudah mendekati tujuan, sementara Ki Tumenggung Prabadaru dan pengiringnya telah menyusul iring-iringan yang terdahulu.

Menjelang dini hari selagi langit masih kelam, Ki Tumenggung Prabadaru telah melewati Sangkal Putung, meskipun seperti Ki Sabdadadi ia telah mengambil jarak dari kademangan itu. Saat-saat yang dapat dipastikan bahwa Agung Sedayu dan iring-iringan yang akan menyertainya belum berangkat dari Jati Anom. Bahkan ternyata bangunpun belum.

Di hutan perdu, di pinggir Kali Praga, ternyata sekelompak pasukan telah berkumpul. Ki Sabdadadi yang telah berada di antara mereka telah memberikan kesempatan untuk beristirahat menjelang tugas mereka yang berat. Beberapa orang segera menyeruak di antara semak-semak dan berbaring di atas pasir dan rerumpuun kering. Ternyata mereka masih sempat untuk tidur beberapa saat menjelang saat-saat yang mendebarkan.

Namun orang-orang itu seakan-akan telah dapat memastikan bahwa mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan cepat. Yang akan mereka hadapi tidak akan seberat sebagaimana mereka perhitungkan.

Namun dalam pada itu, Kiai Sabdadadi sendiri tidak berbaring seperti orang-orangnya. Ia duduk bersama beberapa orang yang akan memimpin pertempuran. Mereka adalah orang-orang yang akan dihadapkan kepada orang-orang terpenting dalam iring-iringan yang akan menyeberangi sungai dengan rakit.

“Apakah kalian sudah jelas?” bertanya Ki Sabdadadi. “Jika kalian tidak memerlukan keterangan lagi, maka kalian akan dapat tidur seperti kawan-kawan kalian. Menjelang matahari terbit, kalian akan kami bangunkan. Kalian akan dapat mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Makan pagi dan kemudian beristirahat lagi. Pada saat matahari terbit, maka mereka baru akan berangkat dari Jati Anom. Bukankah masih banyak waktu, sehingga beristirahatpun masih cukup. Bahkan jika kalian segan bangun pagi-pagi, kalian dapat tidur sambil berjemur pada saat matahari memanjat langit.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka adalah orang-orang berilmu yang sebagian bukan prajurit-prajurit Pajang. Juga bukan dari pasukan khusus yang sudah dipersiapkan pula.

Ki Pringgajaya yang ada di antara merekapun kemudian berkata, “Jika kalian tidak memerlukan keterangan lain, kita dapat beristirahat.”

Ternyata orang-orang yang berkumpul itu sependapat untuk beristirahat beberapa saat, agar mereka mendapat kesegaran untuk memulai dengan tugas mereka di hari mendatang.

Dalam pada itu, beberapa orang perwira dari pasukan khusus yang telah ditunjuk untuk ikut dalam rencana pencegatan itu merasa agak heran, bahwa untuk menghancurkan iring-iringan kecil itu telah dikerahkan sebuah pasukan yang besar.

“Coba hitung,” berkata salah seorang di antara mereka, “Agung Sedayu suami istri, Swandaru suami istri, Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Hanya enam orang.”

“Kenapa enam?” bertanya kawannya, “Apakah kau tidak menghitung Ki Widura, Glagah Putih dan mungkin pula pengiring yang lain?”

“Apakah artinya mereka. Termasuk lima orang pengawal dari Sangkal Putung, Ki Demang yang sudah pikun, mungkin yang menurut Ki Sabdadadi adalah pasti, lima orang prajurit Pajang terpilih dari Jati Anom, dan lima orang cantrik padepokan kecil itu. Apakah artinya semua itu. Dan apakah artinya seorang prajurit Pajang yang bernama Sabungsari,” geram orang yang pertama.

“Ki Sabdadadi tahu pasti. Bahkan terperinci. Tetapi apakah hal itu dapat dipercaya,” bertanya kawannya.

“Seandainya ada perubahan, namun kekuatan itu tidak akan bertambah besar,” jawab orang yang pertama. Lalu, “Karena itu sebenarnya Ki Sabdadadi dan Ki Tumenggung terlalu berhati-hati.”

Kawannya tidak menyahut. Namun orang yang berwajah bulat berkata, “Kita telah terjebak oleh kepercayaan seolah-olah orang-orang yang berada di dalam iring-iringan itu adalah orang-orang yang tidak terkalahkan. Tetapi juga karena kita memperhitungkan bahwa Untara akan membawa pasukan segelar sepapan. Ternyata yang kita hadapi adalah orang-orang tua yang pikun, dan anak-anak muda yang tidak tahu diri.”

“Jangan berkata begitu,” desis yang lain lagi, “Agung Sedayu sudah membunuh Ajar Tal Pitu. Kau tahu tingkat ilmu Ajar Tal Pitu?” bertanya orang berwajah bulat itu.

“Menurut Ki Pringgajaya. Ia melihat sendiri perkelahian itu,” jawab kawannya.

“Maksudnya agar kita berhati-hati. Karena itu, kemenangannya telah dibuat sangat mendebarkan jantung. Tetapi cerita itu adalah cerita ngaya-wara,” desis orang berwajah bulat itu.

Yang lain tidak menjawab lagi. Beberapa orang telah berbaring. Tetapi karena orang-orang itu masih ribut saja, akhirnya seorang yang bertubuh gemuk, berkumis tipis dan berambut jarang membentak, “Diam! Aku akan tidur.”

Orang-orang yang sedang berbantah itupun terdiam. Mereka tidak berani membantah orang bertubuh gemuk, berkumis tipis dan berambut jarang itu.

“Siapa yang ketakutan mendengar nama Agung Sedayu,” berkata orang itu, “pulang saja.”

Yang lain tidak menjawab. Tetapi orang bertubuh gemuk dan berambut jarang itu masih menggeram, “Serahkan anak itu kepadaku. Aku akan menghancurkannya. Bahkan seandainya ia bekerja bersama dengan Ajar Tul Pitu yang sombong dan tamak itu. Karena itu, jangan berbicara berlebihan tentang orang-orang yang bertualang di dunia olah kanuragan.”

Tidak ada lagi yang menjawab. Yang lainpun kemudian berbaring diam di sela-sela pohon perdu sambil menatap langit yang hitam.

Ki Sabdadadi pun ternyata telah berbaring pula. Namun ia masih menunggu kehadiran Ki Tumenggung Prabadaru. Orang yang akan memberikan beberapa perintah langsung untuk menghancurkan orang-orang yang dianggap akan dapat menjadi penghambat jalan ke Mataram.

“Mereka memang harus dihancurkan lebih dahulu,” berkata Ki Sabdadadi di dalam hatinya, “telah beberapa kali usaha untuk itu dilakukan. Tetapi selalu saja gagal. Tetapi jika mereka dibiarkan saja, maka berarti Mataram memiliki kemampuan yang cukup besar, ditambah dengan Ki Gede Menoreh dan pasukan pengawalnya. Sementara itu pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu tumbuh semakin kuat. Karena itu, memang tidak ada pilihan, menghancurkan orang-orang itu. Lalu menghancurkan pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Yang harus dilakukan kemudian adalah seperti memijat buah ciplukan. Mataram tidak mempunyai kekuatan lagi.”

Ki Sabdadadi menarik nafas dalam-dalam. Yang terkumpul di padang perdu itu adalah orang-orang dari tlatah Pajang. Seorang dari Jipang yang masih tetap mendendam Senapati Ing Ngalaga, telah menyatakan diri untuk ikut pula di antara mereka. Seorang dari perbatasan Demak. Seorang pertapa dari daerah Tuban, dan beberapa orang senopati dari pasukan khusus yang terkumpul dari beberapa daerah pula.

“Pasukan ini terlalu kuat,” berkata Ki Sabdadadi kepada diri sendiri, “lima kelompok prajurit dari pasukan khusus dalam ujud yang lain telah siap. Sementara yang akan dihadapi hanya lima belas kelinci kecil dari Sangkal Putung dan padepokan kecil di Jati Anom, disamping orang-orang terpenting di dalam iring-iringan itu yang sudah mendapat takarannya masing-masing.”

Namun dalam pada itu, akhirnya Ki Sabdadadi pun seperti yang lain-lain sempat tertidur menjelang pagi. Beberapa orang sajalah yang terjaga untuk mengamati keadaan. Namun karena mereka berada di tengah-tengah padang perdu yang tidak pernah di jamah kaki orang, maka para petugas itupun ternyata sempat pula duduk terkantuk-kantuk bersandar pokok perdu yang tidak berduri.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Prabadaru pun menjadi semakin dekat. Ketika matahari kemudian terbit, maka Ki Tumenggung telah membuat jarak dengan para pengiringnya agar tidak menarik perhatian. Namun jarak sudah terlalu dekat. Dan Ki Tumenggung pun tahu pasti, jalan manakah yang harus ditempuhnya. Karena petugasnya telah berhasil menyadap semua keterangan tentang perjalanan Agung Sedayu, termasuk jalur yang akan dilewatinya.

Sementara itu di Jati Anom, Agung Sedayu dan orang-orang yang akan mengikutinya ke Tanah Perdikan pun telah bersiap. Perjalanan itu akan diikuti oleh sekelompok orang dalam iring-iringan yang agak besar. Sebagaimana diketahui oleh Ki Sabdadadi, Untara memang memberikan lima orang prajurit yang paling baik yang ada di Jati Anom untuk mengikuti iring-iringan itu, di samping lima orang pengawal terbaik dari Sangkal Putung dan lima orang cantrik. Tetapi mereka bukannya cantrik kebanyakan. Mereka terdiri dari para pengikut Sabungsari yang telah menyatakan diri mencari jalan hidup sebagaimana ditempuh oleh Sabungsari sendiri, meskipun dengan demikian mereka memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri. Namun akhirnya mereka benar-benar berhasil hidup sebagai cantrik yang baik.

Di halaman, Untara dan beberapa orang tua mengantar mereka sampai ke regol bersama istrinya. Sambil menepuk pipi Sekar Mirah, istri Untara berpesan, “Berhati-hatilah. Kau baru mulai dengan satu kehidupan yang lain dari masa gadismu.”

“Terima kasih,” sahut Sekar Mirah sambil menunduk, “aku akan selalu mengingatnya.”

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itupun meninggalkan rumah Untara di Jati Anom menuiu ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sudah sepakat untuk menghindari Mataram, agar mereka tidak perlu singgah meskipun hanya beberapa saat. Meskipun iring-iringan itu bukan iring-iringan upacara ngunduh pengantin, tetapi rasa-rasanya hampir sama. Orang-orang yang ikut dalam iring-iringan itu seakan-akan memang sedang dalam perjalanan mengiringi upacara ngunduh pengantin, meskipun dalam iring-iringan itu tidak ada seorangpun yang berpakaian pengantin. Agung Sedayu telah mengenakan pakaian sebagaimana yang selalu dipakainya sehari-hari, sementara Sekar Mirah justru mengenakan pukaian khususnya sebagaimana Pandan Wangi. Bahkan di tangan kirinya telah tergenggam pula tongkat baja putihnya, sebagaimana Pandan Wangi mengenakan sepasang pedang di kedua lambungnya.

Demikian iring-iringan itu lepas dari Kademangan Jati Anom, muka kuda-kuda merekapun berlari lebih cepat, meskipun tidak terlalu cepat. Beberapa orang yang ada di sawah memang tertarik melihat sebuah iring-iringan orang berkuda. Tetapi karena orang-orang berkuda itu tidak menimbulkan kesan yang mencurigakan, maka merekapun mengira bahwa mereka adalah orang-orang dari satu padukuhan yang mempunyai kepentingan di padukuhan yang lain. Sementara dalam perjalanan yang panjang, sudah terbiasa orang membawa senjata untuk melindungi dirinya. Apalagi jika mereka melalui jalan di tepi hutan yang lebat. Sebab bagaimanapun juga, kadang-kadang masih juga ada orang-orang yang sering mengganggu ketenangan orang di perjalanan.

Ternyata udara yang segar membuat perlalanan itu terasa menyenangkan. Glagah Putih di samping Sabungsari banyak berbicara tentang sawah dan ladang yang hijau. Ternyata bahwa daerah yang mereka lalui masih belum dapat mengimbangi kemajuan Kademangan Sangkal Putung di banyak bidang.

“Kakang Swandaru memang seorang yang cakap,“ berkata Glagah Putih.

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Cakap dan tekun. Meskipun tubuhnya agak gemuk, tetapi ia cekatan dan tangkas. Biasanya orang-orang yang bertubuh gemuk mempunyai kebiasaan yang lamban dan bahkan ada keseganan untuk banyak bergerak.”

“Kakang Swandaru agak lain,” desis Glagah Putih. Sementara Swandaru sendiri justru berada di depan iring-iringan itu.

Ki Demang dan Pandan Wangi berada di belakang Swandaru, sementara itu di belakang mereka adalah Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Baru kemudian orang-orang tua yang mengikuti iring-iringan itu. disusul dengan para pengawal dari Sangkal Putung, para cantrik padepokan kecil di Jati Anom dan yang terakhir adalah lima orang pengawal terpilih di antara para prajurit Pajang di Jati Anom. Sedangkan Glagah Putih dan Sabungsari kadang-kadang berada di depan para pengawal, tetapi kadang-kadang justru berada di paling belakang. Agaknya Sabungsari lebih banyak mengikuti saja keinginan Glagah Putih yang kadang-kadang ingin di depan dan kadang kadang ingin di belakang.

Demikianlah perjalanan itu melaju di antara tanah persawahan. Mereka mengikuti jalan seperti yang telah direncanakan, justru menghindari kota Mataram, agar mereka tidak perlu singgah.

Jika sekali-sekali iring-iringan itu harus melalui padukuhan, kadang-kadang memang timbul kecemasan di antara mereka yang melihatnya. Namun karena setiap kali orang-orang itu melihat orang-orang berkuda itu tersenyum dan sama sekali tidak bertindak kasar, maka merekapun tidak menjadi cemas lagi.

Ketika iring-iringan dari Jati Anom itu masih di perjalanan, Ki Tumenggung Prabadaru telah sampai di tujuan. Dengan hati-hati Ki Tumenggung dan pengiringnya memasuki padang perdu dan seolah-olah hilang ditelan rerumputan yang liar.

Kehadiran Ki Tumenggung Prabadaru seolah-olah merupakan aba-aba agar mereka yang telah menunggu itupun bersiap. Sebenarnya-lah orang-orang itu telah sempat makan pagi dan justru menunggu dengan kurang sabar. Seolah-olah mereka telah menunggu berhari-hari sebelum mereka sempat menghancurkan iring-iringan dari Jati Anom itu.

Ki Tumenggung Prabadaru yang hadir di antara merekapun segera mengumpulkan orang-orang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Terutama orang-orang terpenting yang akan melawan mereka yang memiliki ilmu yang tinggi diantara orang-orang Jati Anom itu.

Dengan jelas Ki Tumenggung menyebut siapa yang akan mereka hadapi kemudian. Yang harus mendapat perhatian terbesar adalah Agung Sedayu. Kemudian Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Baru kemudian Swandaru, Pandan Wangi. Sekar Mirah dan Ki Widura. Di samping mereka masih ada seorang prajurit muda yang bernama Sabungsari dan adik Agung Sedayu yang bernama Glagah Putih. Tetapi mereka tidak akan segarang orang-orang yang telah disebut terdahulu.

“Serahkan Agung Sedayu kepadaku,” berkata orang bertubuh agak gemuk, berkumis tipis dan berambut jarang.

Ki Tumenggung memperhatikan orang itu. Lalu katanya, “Ki Sabdadadi tentu sudah membuat pertimbangan-pertimbangan bersama Pringgajaya.”

“Ya,” sahut Ki Sabdadadi, ”aku sedang meyakinkan orang itu, bahwa biarlah Agung Sedayu dihadapi oleh orang lain.”

“Apakah Ki Sabdadadi kurang percaya kepadaku?” bertanya orang itu, “Sebenarnya jika ada di sini, aku ingin bertemu langsung dengan Senapati ing Ngalaga.“

“Tidak ada waktu untuk membual,” geram Ki Sabdadadi, “dimana gurumu?”

Orang bertubuh gemuk itu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, beberapa langkah dari padanya duduk seorang tua sambil tersenyum.

“Kau memang seorang pembual yang baik,” berkata orang tua itu.

“Guru harus meyakinkan kepada mereka, bahwa aku siap menghadapi Senapati sekalipun. Dendamku kepadanya tidak akan dapat dipadamkan, sebelum aku dapat membunuhnya. Bagaimana mungkin saat itu ia mampu membunuh Arya Penangsang, jika tidak terjadi kecurangan. Sekarang biarlah aku membuktikan, bahwa sebenarnya ia bukan apa-apa bagi Arya Penangsang yang juga memiliki ilmu dari perguruanku.”

“Sudahlah,” berkata gurunya, “yang mengatur segalanya ialah Ki Tumenggung Prabandaru. Agar tidak tumpang suh, biarlah kita mengikuti rencananya. Jika kita masing-masing mempunyai rencana sendiri, maka segalanya tidak akan dapat diselesaikan.”

Orang bertubuh gemuk itu terdiam. Sementara itu, orang tua itupun bergeser maju sambil berkata, “Baiklah Ki Tumenggung menentukan, kami akan menjalankannya dengan sebaik-baiknya.”

“Terima kasih Kiai,“ jawab Ki Tumenggung Prabadaru, “bagaimana pendapat Ki Sabdadadi?”

“Ki Mahoni,” berkata Ki Sabdadadi, “kita tidak akan dapat melepaskan dendam dan menghukum langsung Senapati ing Ngalaga yang telah membunuh Arya Penangsang. Jika Kiai salah seorang di antara sekian banyak guru Arya Penangsang di dalam olah kanuragan. maka Kiai akan dapat menempuh cara sebagaimana kami tempuh.”

“Sudah aku katakan, aku akan menjalankan semua rencana,“ jawab Ki Mahoni, “aku tahu bahwa yang akan kita lakukan sekarang ini sekedar pendahuluan. Kita baru membersihkan jalan ke Mataram. Jika kita berhasil kali ini, maka kekuatan lawan akan jauh berkurang. Dengan demikian kita akan dengan mudah menyapu Mataram.”

“Demikianlah,” jawab Ki Tumenggung Prabadaru, “meskipun kita masih harus mengingat kemampuan Tanah Perdikan Menoreh di seberang Kali Praga, Mangir, dan terlebih lebih lagi kekuatan Pati, Pasantenan, yang menurut perhitungan tentu akan berpihak kepada Mataram.”

“Ah,“ desis Ki Mahoni, “beberapa orang Adipati yang lain telah siap jika saatnya telah tiba. Mataram akan digilas setelah kita menyelesaikan babak pendahuluan itu. Karena itu, kita harus berhasil kali ini.”

“Baiklah Ki Mahoni,” berkata Ki Sabdadadi kemudian, “sebagaimana kita pernah berbincang, agaknya Ki Mahoni akan dihadapkan kepada Agung Sedayu. Bukan maksud kami memperkecil arti Ki Mahoni, tetapi sebenarnya Kiai adalah guru Adipati Jipang waktu itu, tetapi bukan dalam keseluruhan. Sehingga karena itu, maka Ki Mahoni masih harus menguji kemampuan diri. Agung Sedayu pernah membunuh Ajar Tal Pitu di bawah pengamatan mata Ki Pringgajaya.”

Ki Mahoni mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang guru Arya Penangsang. Tetapi sebagaimana kau katakan, tidak dalam keseluruhan.”

Ki Sabdadadi dan Ki Tumenggung Prabadaru menunggu, apalagi yang akan dikatakan oleh Ki Mahoni yang dianggap orang yang memiliki ilmu yang tuntas. Tidak kalah dari ilmu yang dimiliki oleh Ki Ajar Tal pitu.

Namun dalam pada itu Ki Pringgajaya berkata, “Ki Mahoni. Ki Mahoni harus ingat. Agung Sedayu membunuh Ajar Tal Pitu setelah Ajar itu mesu diri dalam laku terakhir. Berpuasa empat puluh hari empat puluh malam, kemudian pati geni tiga hari tiga malam. Ilmunya tentu menjadi sempurna, sehingga ia merasa tidak seorangpun yang akan dapat mengalahkannya.”

“Memang sulit untuk menakar ilmu,“ jawab Ki Mahoni, “aku tidak akan pernah dapat mengatakan bahwa ilmuku setingkat atau bahkan lebih baik dari ilmu yang dimiliki oleh Ajar Tal Pitu. Apalagi setelah ia melakukan laku terakhirnya dalam mencapai puncak ilmunya. Namun jika aku mendapat kesempatan, aku akan mencobanya.”

“Maksudnya,” berkata Ki Prabadaru kemudian, “kita jangan terlalu terikat kepada harga diri, jika kita sudah turun ke gelanggang. Seolah-olah kita kesatria-kesatria yang sedang berperang tanding dalam sayembara memperebutkan seorang putri. Tetapi kita berada di medan perang untuk satu tujuan akhir yang besar. Sehingga karena itu, maka mungkin sekali kita harus mengorbankan harga diri kita. Jika perlu yang bertempur menghadapi seseorang bukan hanya seorang saja. Juga Ki Mahoni mungkin sekali akan disusul oleh seorang kawan yang lain di medan. Mungkin murid Kiai itu sendiri.”

Ki Mahoni mengangguk. Katanya, “Sudah aku katakan. Aku akan mengikuti segala rencana. Aku sama sekali tidak akan berpegang pada sikap perang tanding seperti seorang kesatria di medan sayembara. Dan akupun tidak pernah bermimpi untuk bersikap sebagai seorang kesatria. Senapati sendiri telah mempergunakan akal waktu membunuh Arya Penangsang. Bukan dengan sikap seorang kesatria yang bertempur beradu dada, seorang lawan seorang.”

“Baiklah,” berkata Ki Sabdadadi, “jika demikian maka kita sudah siap. Agung Sedayu tentu akan dapat dikalahkan. Jika perlu, tidak oleh seorang saja. Sementara yang lain telah kita bicarakan dengan masak. Siapakah yang akan menghadapi mereka.”

“Tetapi jangan abaikan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu,” berkata Ki Pringgajaya, “ia memiliki ilmu yang sukar bandingnya. Ia dapat menyerang pada jarak tertentu tanpa mendekati lawannya.”

“Kau terlalu berhati-hati,” berkata Ki Sabdadadi, “tetapi baiklah. Anak itu akan diperhatikan.” Lalu katanya kepada orang yang bertubuh gemuk murid Ki Mahoni, “Bagaimana jika kau lawan anak itu?”

“Aku sangat kecewa bahwa aku hanya diserahi tugas untuk melawan orang yang paling tidak berarti. Orang yang semula tidak termasuk di antara mereka yang diperhitungkan. Sebenarnya aku ingin melawan orang terbaik yang ada di antara mereka sesudah Guru,” jawab orang bertubuh gemuk itu.

“Sudahlah. Jangan gila,” berkata Ki Mahoni, “kau harus tunduk kepada setiap perintah. Kita semuanya sedang bergerak dalam satu putaran masa, sehingga pada suatu saat akan tersusun satu susunan keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang.”

Orang bertubuh gemuk itu tidak menjawab. Ki Mahoni adalah gurunya, sehingga ia harus tunduk kepadanya.

Dalam pada itu, maka Ki Sabdadadipun telah memperingatkan setiap orang di dalam pasukannya, apa yang harus mereka lakukan. Dengan nada tinggi ia berkata, “Aku akan menghadapi Ki Waskita. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, kita tidak terikat dalam perang tanding. Pasukan kita cukup besar, sehingga kita akan dapat menghancurkan mereka sampai lumat. Sebagaimana kita ketahui, lawan kita hanya membawa lima belas orang pengiring yang terdiri dari pengawal kademangan, para cantrik, dan yang harus diperhitungkan, lima orang prajurit pilihan dari Jati Anom. Tetapi meskipun demikian jangan lengah. Lima puluh orang yang kita siapkan akan menggilas lima belas orang itu dalam waktu dekat. Kemudian mereka dapat ikut beramai-ramai mencincang Agung Sedayu, atau adik seperguruannya, atau Kiai Gringsing, atau yang lain.”

“Kita terlalu banyak membuang tenaga,“ desis orang bertubuh gemuk itu.

“Mereka sudah dipersiapkan. Lebih baik mereka kita pergunakan daripada memerintahkan mereka untuk kembali,” berkata Ki Sabdadadi, “bukankah dengan demikian pekerjaan kita menjadi semakin ringan?”

“Kenapa tidak segelar sepapan. Bukankah Ki Tumenggung dapat mengerahkan seribu orang untuk menumpas mereka dengan mudah,“ desis orang yang gemuk itu.

“Kau terlalu banyak bicara,” potong Ki Mahoni, “menyingkirlah. Aku sudah terbiasa mendengar kau membual. Tetapi bagi mereka yang belum pernah mendengar sebelumnya, akan menjadi muak mendengar bualanmu itu.”

Orang yang bertubuh gemuk itu tidak berani lagi membantah. Ia tahu sifat gurunya. Karena itu maka ia lebih senang beringsut pergi.

“Baiklah,“ berkata Ki Tumenggung kemudian, “tidak lama lagi iring-iringan itu tentu akan lewat. Siapkan orang-orangmu. Mereka akan melalui jalan setapak di sebelah padang perdu ini, turun ke tepian. Saatnya tiba bagi kita untuk mendesak mereka dan mendorong mereka masuk ke dalam air Kali Praga yang cukup deras, karena agaknya di ujung sungai ini telah turun hujan.”

“Kita tidak akan mendorong mereka masuk ke dalam sungai. Mereka masih akan mendapat kesempatan jika mereka dapat berenang. Tetapi kita akan mendorong mayat-mayat mereka ke dalam arus air,“ desis Ki Sabdadadi.

Ki Tumenggung tersenyum. Namun dalam pada itu, cahaya matahari telah terasa menyengat kulit. Mereka masih mempunyai waktu sejenak untuk beristirahat, tersembunyi di balik pohon-pohonan perdu yang rimbun, namun cukup memberikan bayangan untuk berteduh sambil berbaring.

Dalam pada itu, iring-iringan dari Jati Anom pun maju terus meskipun tidak terlalu cepat. Mereka menempuh jalan yang tidak langsung masuk ke kota Mataram, karena mereka memang tidak ingin singgah. Mereka telah memilih jalan di luar kota yang langsung menuju ke tempat penyeberangan, sebagaimana telah diketahui oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

Ternyata bahwa iring-iringan itu memerlukan waktu yang lebih lama dari waktu yang direncanakan untuk sebuah kelompok kecil yang terdiri hanya tiga atau empat orang. Iring-iringan yang agak besar itu tidak dapat berpacu terlalu cepat. Apalagi jika mereka harus berhenti untuk memberi kesempatan kudanya minum dan beristirahat serta makan rerumputan di pinggir sungai, maka mereka memerlukan waktu yang lebih panjang, karena kadang-kadang mereka tidak dapat tepat bersama-sama bersiap untuk berangkat.

Karena itulah, maka kedatangan mereka agak lebih lambat dari perhitungan Ki Tumenggung Prabadaru. Bahkan beberapa orang sudah menjadi gelisah justru karena itu. Karena mereka mulai memikirkan lawan mereka, keteganganpun mulai timbul di antara orang-orang yang menunggu di pinggir Kali Praga dan terlindung di dalam padang perdu yang cukup luas.

Ketika matahari sudah mencapai puncak langit, ternyata iring-iringan itu belum mendekat. Maka seorang di antara mereka yang menunggu berdesis, “Nampaknya kita telah tertipu oleh keterangan-keterangan palsu.”

“Kita masih harus menunggu,” sahut yang lain, “mungkin mereka memang berangkat agak siang, atau barangkali mereka singgah di beberapa padukuhan. Bukankah yang akan lewat itu seorang pengantin baru.”

“Aku tidak sabar lagi,” jawab yang pertama, “jari-jariku sudah bergetar. Jika aku harus menunggu terlalu lama, maka gairahku untuk menebas leher lawan dan meneguk darahnya menjadi berkurang.”

“Jangan berkata begitu, aku menjadi ngeri,” desis kawannya.

“Pengecut,” geram orang yang pertama, “aku diajari oleh guruku untuk berbuat demikian. Menusuk sampai ke jantung, kemudian menjilat daun pedangku yang masih berdarah.”

“Kau kira ada gunanya,” bertanya kawannya.

“Tentu ada. Untuk membuat hati semakin tabah menghadapi peperangan yang manapun juga.”

Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi sebenarnya-lah iapun menjadi semakin jemu.

Namun dalam pada itu ternyata seorang pengawas telah datang berlari-lari. Dengan nafas terengah-engah ia langsung menghadap Ki Tumengung.

“Apa yang kau lihat?” bertanya Ki Tumenggung.

“Aku melihat dari dahan pohon nyamplung itu sebuah iring-iringan orang berkuda. Tentu orang-orang yang kita tunggu,“ jawab orang yang melapor itu.

“Berapa orang?” bertanya Ki Tumenggung pula.

“Sekitar dua puluh. Kurang atau lebih sedikit,” jawab orang itu.

Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu merekalah yang kita tunggu. Baik. Bersiaplah. Kita akan membiarkan mereka lewat dan menyerang mereka setelah mereka berada di tepian. Ambillah tempat yang paling baik untuk mengamati mereka.”

“Baik Ki Tumenggung,” jawab orang itu. Dengan tangkas iapun kemudian berkisar meninggalkan Ki Tumenggung untuk mengamati gerak iring-iringan yang baru datang.

“Beri aku laporan jika mereka lewat,” berkata Ki Tumenggung.

“Baik Ki Tumenggung.”

Demikian orang itu pergi, maka Ki Tumenggung telah memanggil Ki Sabdadadi, Ki Pringgajaya, Ki Mahoni dan orang-orang yang terpilih di antara mereka. Dengan singkat Ki Tumenggung memberi tahukan apa yang dilihat oleh pengamatnya.

“Sebentar lagi mereka akan lewat. Kita akan membiarkan mereka sampai ke tepian. Kita akan bertempur di atas pasir yang panas. Membunuh mereka dan melemparkan ke dalam air,” geram Ki Sabdadadi.

Ki Mahoni menarik nafas dalam-dalam. Sambil bangkit iapun berkata, “Aku akan melakukan tugas ini sebaik-baiknya. Mudah-mudahan aku berhasil.”

“Ingat,” berkata Ki Tumenggung, “kita tidak berperang tanding. Kita bertempur dalam kelompok kita. Dengan demikian maka Sepasang Alap-Alap dari Gunung Kendeng itu dapat bertempur berpasangan tanpa keharusan untuk berperang tanding, siapapun lawan kalian.” 

Dua orang anak muda yang disebut Alap-Alap dari Gunung Kendeng itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka sama sekali tidak menyahut.

Demikianlah, maka orang-orang yang sudah dipersiapkan bersama dengan sebagian dari prajurit yang tergabung dalam pasukan khusus itu sudah bersiap tanpa menunjukkan ciri-ciri prajurit, apalagi dari pasukan khusus.

Sementara itu, iring-iringan itupun menjadi semakin dekat. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam padang perdu itu bersembunyi sebuah pasukan yang kuat. Di sela-sela pepohonan perdu, dan kadang-kadang satu dua batang pohon yang rimbun dijalari dengan tumbuh-tumbuhun merambat, terdapat orang-orang yang telah menunggu mereka dengan hampir tidak sabar.

Seperti yang sudah direncanakan, mereka sama sekali tidak mengganggu iring-iringan yang mendekati tepian. Namun, demikian iring-iringan itu lewat, maka orang-orang yang berada di antara gerumbul-gerumbul perdu dan pepohonan yang rimbun di sela-sela semak belukar, mulai merangkak mendekati jalur jalan yang baru saja dilewati.

Pengawal yang bertugas telah menghadap Ki Tumenggung dan memberikan laporan yang lebih terperinci.

Sejenak kemudian orang-orang yang bersembunyi itu menunggu. Yang akan menjatuhkan perintah adalah Ki Tumenggung Prabadaru sendiri, yang berjongkok di sebelah Ki Sabdadadi, Ki Pringgajaya dan Ki Mahoni.

“Bagus,“ berkata Ki Tumenggung, “semuanya sebagaimana kita perhitungkan. Jumlah mereka memang hanya sedikit. Kita akan dapat menyelesaikan mereka dengan cepat.”

Sejenak Ki Tumenggung Prabadaru menunggu. Kemudian katanya kepada Ki Sabdadadi, “Jika benturan itu sudah mulai, maka segalanya akan berada di tangan Ki Sabdadadi. Sebagaimana kita bicarakan sebelumnya, juga atas pendapat Ki Sabdadadi. Aku sendiri tidak akan muncul dalam pertempuran itu, kecuali dalam keadaan memaksa. Baru kemudian, setelah semuanya selesai, aku akan mendekat.”

Ki Sabdadadi mengangguk-angguk. Ki Tumenggung pun kemudian menyambung, “Aku masih harus menghindari pengamatan orang lain. Mungkin masih ada satu dua orang di antara mereka yang sempat lolos, atau bahkan mungkin ada petugas sandi yang memperhatikan pertempuran itu. Jika demikian halnya maka orang-orang itu akan melihat aku langsung terlibat dalam pertempuran itu. Hal itu tidak akan menguntungkan kedudukanku maupun rencana kita dalam keseluruhan.”

“Aku mengerti Ki Tumenggung,“ jawab Ki Sabdadadi, “karena itu maka aku berpendapat seperti itu pula. Ki Tumenggung supaya tetap berada di tempat ini. Aku akan memimpin pasukan ini menghancurkan orang-orang Jati Anom itu.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Sementara Ki Mahoni nampaknya tidak menghiraukan pembicaraan itu. Ia sudah siap untuk bertempur, siapapun yang akan memimpin pasukan.

Sementara itu Ki Pringgajaya merasa kurang mendapat perhatian dari Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi ia sadar bahwa ia sudah membuat beberapa kesalahan sebelumnya. Rencana yang disusunnya dan dilaksanakannya, telah gagal sama sekali.

Karena itu, Ki Pringgajaya tidak menyatakan sesuatu. Untuk sementara ia harus menerima segalanya dengan lapang dada. Baru kemudian apabila ia berhasil menunjukkan satu sikap dan kemampuan yang meyakinkan, maka ia baru akan dapat menyatakan pendapatnya.

Dalam pada itu, iring-iringan orang-orang Jati Anom itu telah sampai ke tepian. Swandaru yang berada di paling depanpun kemudian meloncat turun disusul oleh beberapa orang yang lain. Di pinggir kali terdapat beberapa orang tukang satang dengan rakitnya yang menunggu orang-orang yang akan menyeberang.

“Hanya ada ampat atau lima rakit,“ desis Agung Sedayu.

“Cukup,“ jawab Sabungsari, “satu rakit dapat memuat lebih dari sepuluh orang.”

“Bersama kudanya?” bertanya Glagah Putih.

Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara Sabungsari tersenyum sambil menjawab. “Kau benar. Aku telah melupakan justru yang lebih berat dari kita sendiri.”

“Tetapi lima buah rakit aku kira sudah cukup,” berkata Swandaru kemudian, “masing-masing hanya akan membawa empat atau lima orang bersama kudanya. Jika pemilik rakit itu berkeberatan, biarlah dua atau tiga di antaranya mengambil kita yang akan menunggu di tepian ini.”

Kiai Gringsing kemudian berkata, “Marilah. Kita akan segera menyeberang. Kita akan berbicara dengan tukang satang itu.”

Swandaru pun kemudian melangkah di atas pasir tepian mendekati rakit yang tertambat, serta beberapa orang tukang satang yang berdiri di sebelah menyebelah rakit masing-masing.

Dalam pada itu, seorang pengamat telah memberikan laporan terakhir kepada Ki Tumenggung Prabadaru. “Orang-orang Jati Anom telah berada di tepian. Mereka justru telah mendekati tukang-tukang satang yang akan mereka minta untuk membawa mereka ke seberang.”

“Baik,” berkata Ki Tumenggung, “nampaknya semuanya sudah siap. Waktunya telah tiba. Marilah, kita akan menyelesaikan satu tugas yang penting. Membersihkan jalan ke Mataram.”

“Kami menunggu perintah,” desis Ki Sabdadadi.

Ki Tumenggung itu kemudian mengangkat tangannya. Satu pertanda bahwa mereka sudah dapat segera mulai menyergap orang-orang Jati Anom.

Ki Sabdadadi-lah yang kemudian dengan cepat berdiri. Ia tidak perlu bersembunyi lagi. Dengan lantang iapun berkata, “Marilah. Kita akan mulai.”

Orang-orang yang berada di dalam padang perdu itu pun segera bangkit berdiri. Namun agaknya rimbunnya gerumbul-gerumbul di padang perdu yang diselingi oleh pepohonan yang rimbun itu masih tetap melindungi mereka.

“Kita akan keluar dari padang ini, langsung menghadap ke tepian,“ perintah Ki Sabdadadi.

Orang-orang yang sudah siap pun segera bergerak. Mereka langsung menuju ke tepian. Dengan cepat mereka bergerak di antara gerumbul-gerumbul liar tanpa berusaha untuk berlindung sama sekali.

Suara Ki Tumenggung dan Ki Sabdadadi ternyata dapat didengar oleh orang-orang yang berada di tepian. Meskipun mereka belum melihat seorangpun, namun suara yang terdengar lamat-lamat itu telah menumbuhkan kecurigaan di antara mereka.

“Suara apa itu?” bertanya Swandaru kepada Kiai Gringsing yang berdiri di sebelahnya.

“Seseorang,“ jawab Kiai Gringsing, yang tiba-tiba saja ia melangkah mendekati seorang tukang satang, “apa yang kau ketahui tentang suara itu?”

Tukang satang itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Ada beberapa orang di padang perdu itu.”

“Siapa?” bertanya Kiai Gringsing pula.

“Kami tidak tahu,” jawab tukang satang itu.

“Banyak?” desak Kiai Gringsing.

“Kami juga tidak tahu,” jawab tukang satang itu pula.

Tiba-tiba saja Kiai Gringsing itupun berkata, “Bersiaplah. Tambatkan kuda kita masing-masing pada tonggak-tonggak untuk menambatkan rakit-rakit itu. Mungkin kita akan berbuat sesuatu.”

Orang-orang yang berada di tempat itu tidak menunggu kata-kata itu diulang. Mereka segera menangkap maksud Kiai Gringsing, berhubungan dengan suara yang mereka dengar.

Dengan tangkas merekapun segera mengikat kuda-kuda mereka tanpa minta ijin kepada tukang-tukang satang. Namun tukang-tukang satang itu tidak mencegahnya.

Sejenak kemudian, maka orang-orang dari Jati Anom itupun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun merekapun terkejut ketika mereka melihat sepasukan muncul dari padang perdu. Sepasukan dalam jumlah yang cukup besar.

“Gila,” geram Swandaru, “kita harus bertempur. Mereka tentu bukan orang-orang yang bermaksud menyambut dengan baik pengantin dari Jati Anom ini.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya kita juga sudah cukup berhati- hati. Kita telah membawa lima belas orang pengawal. Namun agaknya orang-orang Pajang itu telah berniat untuk menyelesaikan segala persoalan di tepian ini.”

“Apa boleh buat,” desis Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Demikianlah, orang-orang yang muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu dan dipimpin oleh Ki Sabdadadi itu menjadi semakin dekat. Mereka mulai menebar dan berusaha untuk membuat lingkaran tapal kuda di tepian untuk mengurung orang-orang Jati Anom. Satu-satunya jalan yang terbuka adalah masuk ke dalam air Kali Praga yang berwarna lumpur serta mengalir dengan derasnya. Agaknya Kali itu telah menampung air hujan terlalu banyak di bagian atas.

Ki Demang yang menjadi tegang mendekati anak perempuannya sambil berdesis, “Berhati-hatilah Sekar Mirah. Agaknya mereka tidak dapat diabaikan.”

Sekar Mirah menimang tongkat baja putihnya sambil berkata, “Aku sudah siap Ayah. Hal ini memang sudah dapat diduga sebelumnya. Namun yang tidak terduga adalah jumlah mereka yang terlalu banyak itu.”

Sementara itu Swandaru pun berkata kepada Pandan Wangi, “Ternyata jalan yang ditempuh Kakang Agung Sedayu memang terlalu banyak mengandung rintangan.”

Pandan Wangi mengangguk sambil menjawab, “Jumlah mereka memang terlalu banyak. Tetapi kita akan menghadapinya.”

Swandaru mengangguk kecil. Katanya, “Kita akan membuka medan yang sempit, justru karena jumlah kita yang tidak terlalu banyak.”

Pandan Wangi mengangguk pula. Ia sependapat dengan suaminya. Medan yang dibuka dalam benturan itu harus tidak terlalu luas.

Sementara itu, Ki Widura pun berkata, “Kita harus menyerahkan pimpinan kepada satu orang.”

“Biarlah Kiai Gringsing memimpin kita semuanya,“ desis Ki Waskita.

Tidak ada waktu untuk menolak dan memilih orang lain. Kiai Gringsing pun kemudian menebarkan pandangannya dari ujung sampai ke ujung pasukan yang mengepung mereka dan bergerak semakin dekat. Kemudian dengan isyarat tangannya Kiai Gringsing pun mempersiapkan orang-orang yang ada untuk melawan pasukan yang besar yang tentu akan menyergap mereka.

Namun dalam pada itu, ternyata dada Kiai Gringsing sendiri telah bergejolak. Di luar sadarnya ia telah meraba pergelangan tangannya. Di hadapan pasukan yang sangat kuat itu, terbersit satu niat di dalam hatinya.

Tetapi tiba-tiba saja Kiai Gringsing menggeleng. Katanya di dalam hatinya, “Aku tidak boleh menjadi kehilangan akal.” Namun di sudut hatinya ia berdesis, “Tetapi apakah aku akan membiarkan kelompok kecil ini tumpas?”

Dalam pada itu, orang-orang yang mengepung Kiai Gnrigsing dan kelompoknya telah menjadi semakin sempit. Seseorang di antara mereka yang berada di paling depan telah memberikan isyarat agar orang-orang itu berhenti.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Di antara mereka terdapat Ki Pringgajaya.

“Siapakah di antara kalian yang paling berhak untuk berbicara?“ tiba-tiba saja Ki Sabdadadi bertanya.

Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sekilas. Namun iapun kemudian melangkah maju sambil berkata, ”Biarlah aku yang mewakili kawan-kawanku, meskipun aku bukan pemimpin mereka.”

“Bagus,“ berkata Ki Sabdadadi kemudian, “siapapun kau, namun agaknya kau adalah orang yang paling berpengaruh di antara kawan-kawanmu.”

“Terima kasih,“ jawab Kiai Gringsing yang kemudian bertanya, “apakah sabenarnya maksud kalian menyusul perjalananku?”

“Kami tidak menyusul,“ jawab Ki Sabdadadi, “kami justru telah menunggumu di padang perdu.”

“Ya. Demikianlah kira-kira maksudku,” sahut Kiai Gringsing.

“Apakah kau kenal Ki Pringgajaya?” bertanya Ki Sabdadadi.

Kiai Gringsing mengangguk. Sementara itu Ki Sabdadadi melanjutkan, “Jika kau kenal orang itu, maka kau tentu tahu apa yang akan kami lakukan. Kami adalah orang-orang yang terkumpul dari berbagai daerah. Kami adalah orang-orang dari kadipaten yang termasuk lingkungan Pajang, yang tidak senang melihat sikap orang-orang Mataram. Kami telah menuduh kalian bekerja bersama orang-orang Mataram, sehingga karena itu maka kami berniat untuk menghancurkan kalian.”

“Kami memang sudah menduga,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi apakah kalian benar-benar telah bertindak atas nama Pajang? Atau justru kalian telah melanggar susunan kekuasaan di Pajang sendiri?”

“Jangan hiraukan itu,” jawab Ki Sabdadadi, “pokoknya kami ingin membunuh kalian. Tanpa alasan yang berbelit-belit. Mungkin kita lebih pandai berbicara tentang sikap Pajang, kadipaten-kadipaten lain, dan Mataram itu sendiri. Tetapi aku tidak peduli. Aku dan kawan-kawanku akan menjalankan tugas yang dibebankan kepada kami.” “Apakah kalian dapat menjalankan tugas yang demikian tanpa mengerti makna dari tugas kalian?” bertanya Kiai Gringsing.

“Jangan berusaha menggiring kami ke dalam pembicaraan yang berbelit-belit. Bersiaplah untuk mati. Itu saja,” jawab Ki Sabdadadi tegas.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia telah berhadapan dengan seseorang yang akan langsung bertindak tanpa dapat dipengaruhi dengan pembicaraan-pembicaraan. Karena itu, maka niatnya untuk berbicara telah diurungkannya. Dengan singkat pula Kiai Gringsing berkata, “Aku tidak sendiri Ki Sanak. Kami semuanya tentu lebih senang melawan.”

Ki Sabdadadi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang sudah menduga bahwa kalian akan melawan. Kalian tentu ingin mati sebagai laki-laki daripada mati sebagai seekor kambing yang menyerahkan lehernya untuk disembelih.”

“Begitulah Ki Sanak. Kami akan bertempur dengan kemampuan yang ada pada kami, meskipun jumlah kalian jauh lebih banyak,” jawab Kiai Gringsing.

“Baiklah,” jawab Ki Sabdadadi, “aku bukan orang yang suka berbasa basi. Aku akan langsung menunjuk orang-orang khusus yang akan bertempur melawan kalian.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara Ki Sabdadadi berkata, “Ki Mahoni, kau harus bertempur melawan Agung Sedayu. Kau mendapat kehormatan untuk melayani pengantin baru yang di Tanah Perdikan sudah mengalahkan Ki Ajar Tal Pitu dan bahkan membunuhnya. Aku akan melawan Ki Waskita dan Ki Pringgajaya akan melawan Kiai Gringsing. He, apakah kau sudah pernah bertempur melawannya?”

Ki Pringgajaya tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa Kiai Gringsing adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sementara itu Ki Sabdadadi berkata seterusnya, “Yang lain akan melawan Ki Widura. Ia adalah bekas seorang senapati. Tetapi kemampuannya tidak akan mengejutkan. Swandaru adalah saudara seperguruan Agung Sedayu. Aku tidak tahu pasti tingkat kemampuannya. Tetapi tentu tidak akan setingkat dengan Agung Sedayu. Yang lain adalah Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan tidak ada lagi yang perlu diperhitungkan.”

“Di sini ada Sabungsari,“ desis Ki Pringgajaya.

“Prajurit muda yang dapat menyerang dengan sorot matanya itu?” bertanya Ki Sabdadadi.

“Ya,” jawab Ki Pringgajaya.

“Permainan yang tidak berarti. Sudah aku katakan, kita tidak sedang berperang tanding. Jika ia memandang seseorang dengan ilmunya, biarlah ia ditikam oleh orang lain di lambungnya,” jawab Ki Sabdadadi.

“Licik,“ teriak Swandaru, “kenapa kalian mengatur lawan? Aku akan melawan siapa saja yang aku kehendaki. Kenapa orang yang bernama Ki Mahoni itu harus bertempur melawan Kakang Agung Sedayu. Atau kau harus melawan Guru. Aku akan bertempur melawan orang yang aku kehendaki. Aku akan melawan Ki Mahoni, atau kau, atau Ki Pringgajaya itu.”

Ki Sabdadadi mengerutkan keningnya, sementara Agung Sedayu dan orang-orang tua dari Jati Anom itu menjadi berdebar-debar. Mereka mengerti selisih yang jauh antara kedua murid Kiai Gringsing itu di dalam olah kanuragan. Jika seseorang sudah menempatkan diri melawan Agung Sedayu, maka orang itu tentu mempunyai perhitungan tentang kemampuan Agung Sedayu. Jika orang itu kemudian harus bertempur melawan Swandaru, maka nasib Swandaru akan menjadi kurang baik.

Tetapi sulit bagi Kiai Gringsing atau siapapun untuk mengatakan hal itu kepada Swandaru, karena mereka mengenal sifat anak muda itu.

Tetapi ternyata bahwa Ki Sabdadadi-lah yang menjawab, “Kau memang dapat memilih lawanmu. Tetapi Ki Mahoni tidak akan melawanmu. Ia akan bertempur melawan Agung Sedayu dan membunuhnya. Jika kau memaksa untuk menghadapinya, maka kau akan dihadang oleh orang lain. Mungkin seorang, mungkin dua orang dan bahkan mungkin kau akan dikeroyok oleh sepuluh orang dan mencincangmu sampai lumat.”

“Persetan!” Swandaru menjadi marah sekali. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat maju sambil menggeram, “Aku akan membunuhmu.”

Tetapi dalam pada itu seorang yang bertubuh gemuk, murid Ki Mahoni yang juga bertabiat panas, meloncat pula mendekatinya sambil berkata, “Aku murid terpercaya dari Ki Mahoni yang sudah mendapatkan segala ilmu yang ada padanya, sehingga aku tidak akan berselisih banyak dengan Ki Mahoni. Jika kau dapat mengalahkan aku, maka kau akan dapat melawan Ki Mahoni.”

Ternyata Swandaru tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah menyerang orang itu dengan garangnya. Meskipun ia belum bersenjata, tetapi serangan tangannya benar-benar berbahaya bagi lawannya.

Ki Sabdadadi terkejut. Ternyata bukan orangnya-lah yang telah mulai dengan pertempuran itu. Tetapi justru anak muda Sangkal Putung, murid Kiai Gringsing itu.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak begitu sesuai dengan sifat suaminya. Namun seperti orang lain, ia tidak dapat mencegahnya.

Yang ternyata mempunyai sifat yang mirip dengan Swandaru adalah adiknya, Sekar Mirah. Ia tidak telaten melihat sikap Kiai Gringsing. Ketika Swandaru sudah menyerang dan melibat orang gemuk itu di dalam pertempuran, maka iapun telah melangkah maju. Sejenak ia memperhatikan kedua orang yang kedua-duanya agak gemuk itu bertempur. Dalam waktu yang singkat, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang dahsyat.

Namun tiba-tiba Sekar Mirah tertegun ketika ia mendengar seseorang berkata, “Tongkat Ki Sumangkar.”

Sekar Mirah memandang orang itu, yang ternyata adalah Ki Mahoni.

“Kau mengenal Ki Sumangkar?” bertanya Sekar Mirah.

“Tentu. Ia adalah orang yang dihormati di Jipang. Ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang ngedab-edabi,” jawab Ki Mahoni.

“Aku adalah muridnya, satu-satunya muridnya,“ berkata Sekar Mirah.

Ki Mahoni menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Pringgajaya berkata, “Ia adalah pengantin perempuan itu. Istri Agung Sedayu.”

Ki Mahoni mengangguk-angguk. Namun katanya, “Biarlah ia mendapat lawan yang seimbang. Tongkat itu adalah penanda tingkat ilmu yang sulit mendapat tandingnya.”

“Seandainya kau sajalah yang berdiri berhadapan dengan aku,” tantang Sekar Mirah.

“Aku sudah mendapat tugas tersendiri, “jawab Ki Mahoni.

Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang menjadi cemas telah berkata, “Agung Sedayu, lawanmu telah siap.”

Agung Sedayu segera mempersiapkan diri. Sementara itu, semua orang yang berada di tepian itupun segera telah bersiap pula. Apalagi Swandaru telah mulai menyerang seorang di antara mereka yang telah mengganggu perjalanan iring-iringan pengantin dari Jati Anom itu.

Kecuali orang-orang tertentu, maka pasukan Ki Sabdadadi itupun telah bergerak semakin dekat. Mereka berada di segala arah. Sementara Swandaru dan lawannya yang juga bertubuh gemuk itu bertempur semakin seru.

Ki Mahoni tidak menunggu lebih lama lagi. Ia siap menghadapi Agung Sedayu yang telah membunuh Ki Ajar Tai Pitu. Meskipun ia telah mendengar, bahwa Ajar Tal Pitu adalah orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya, namun menilik umur Agung Sedayu maka Ki Mahoni menduga, bahwa Ajar Tal Pitu telah membuat satu kesalahan, sehingga ia telah mengalami nasib yang sangat buruk. Justru melawan anak-anak.

Kiai Gringsing, Ki Waskita dan orang-orang lain di dalam kelompoknya telah bersiap pula. Sementara itu, lima belas orang pengawal dari Sangkal Putung, Jati Anom dan padepokan kecil itu pun telah memencar.

Meskipun demikian, mereka menjadi berdebar-debar. Lawan mereka berjumlah jauh lebih banyak. Sekitar lima puluh orang, kecuali mereka yang akan memilih lawan di antara orang-orang berilmu tinggi.

“Kami harus mempercayakan kepada kemampuan kami sendiri,” berkata para pengawal dari Jati Anom itu di dalam hatinya.

Mereka tidak akan dapat mengharap bantuan dari orang-orang berilmu tinggi di antara iring-iringan mereka dari Jati Anom, karena masing-masing telah menghadapi lawan yang sudah diperhitungkan oleh Ki Sabdadadi, Ki Pringgajaya, dan Ki Tumenggung Prabadaru sendiri yang saat itu tidak menampakkan diri.

Demikianlah, maka sejenak kemudian kelima belas orang pengawal itu tidak dapat ingkar lagi. Dengan cepat, lawan-lawannya telah melibat mereka dalam pertempuran yang berat sebelah.

Di pinggir Kali, tukang-tukang satang yang sudah siap menyeberangkan iring-iringan dari Jati Anom itu tertegun. Mereka berjumlah cukup banyak. Setiap rakit dilayani oleh empat orang tukang satang. Sedangkan di tepian itu ada lima buah rakit.

Namun tukang-tukang satang itu hanya dapat berdiri tegak sambil memandangi pertempuran yang telah mulai menyala.

Kiai Gringsing, Ki Widura, Ki Waskita, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Swandaru dan Pandan Wangi telah mendapat lawan masing-masing. Sementara itu Ki Demang Sangkal Putung, Glagah Putih dan Sabungsari agaknya luput dari perhatian mereka, meskipun Ki Pringgajaya memperingatkan bahwa prajurit muda yang bernama Sabungsari itu adalah orang yang berbahaya.

Namun agaknya tiga orang lawan telah mendapat pesan khusus dari Ki Pringgajaya untuk bersama-sama melawan anak muda yang berbahaya itu.

Tetapi Sabungsari ternyata telah memilih caranya sendiri. Dalam kekalutan pertempuran yang meledak, ia sempat berbisik ke telinga Glagah Putih, “kita bertempur di antara para pengawal.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Baik, kita bertempur di antara para pengawal.”

Demikianlah, maka Sabungsari dan Glagah Putihpun kemudian telah membaurkan diri dengan para pengawal yang berjumlah lima belas orang itu untuk melawan orang dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dan yang lebih menyulitkan mereka adalah bahwa yang jumlahnya lebih besar itu adalah orang-orang yang terlatih baik. Bahkan sebagian dari mereka adalah prajurit dari pasukan khusus di Pajang.

Karena itulah, maka dalam waktu yang pendek para pengawal yang jumlahnya jauh lebih kecil itu segera mengalami kesulitan.

Ki Demang Sangkal Putung yang termangu-mangu sejenak, tiba-tiba telah menggeretakkan giginya. Sepasang pengantin baru yang ada di antara mereka adalah anak dan menantunya. Karena itu maka iapun telah bertekad untuk bertempur pula di antara para pengawal.

Dalam benturan kekuatan yang terjadi, ternyata orang-orang Pajang sempat tercengang melihat ketangkasan para pengawal. Mereka tidak heran bahwa lima orang prajurit terpilih dari Jati Anom yang ditugaskan oleh Untara mengawal adiknya itu mampu mengimbangi kemampuan prajurit dari pasukan khusus. Namun ternyata para pengawal pilihan dari Sangkal Putung pun memiliki kemampuan yang cukup untuk menghadapi lawan mereka. Bahkan orang-orang yang dikira cantrik-cantrik yang lemah itupun pada benturan pertama sempat membuat lawan mereka menjadi heran. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa orang-orang yang dianggapnya cantrik-cantrik yang lemah itu adalah para pengikut Sabungsari yang sudah mempunyai pengalaman tersendiri di dalam olah kanuragan. Meskipun demikian, kemampuan mereka itu memadai untuk bertempur seorang melawan seorang. Namun ketika mereka bertempur melawan jumlah yang lebih besar, maka merekapun segera mengalami kesulitan yang gawat.

“Kita harus menyelesaikan mereka dengan cepat,” teriak seorang bertubuh tinggi. Seorang yang memimpin para prajurit dari pasukan khusus di Pajang itu, namun dalam ujud penyamaran.

Aba-aba itu telah menggerakkan semua orang di dalam lingkungan mereka untuk bertempur semakin sengit. Mereka memang mempunyai kesempatan untuk dengan cepat mengalahkan lawan mereka. Membunuh, dan kemudian beramai-ramai membantu orang-orang terpenting yang bertempur menghadapi lawan-lawan yang khusus, seperti Ki Sabdadadi sendiri, Ki Mahoni, Ki Pringgajaya dan beberapa orang lainnya.

Sementara itu, Agung Sedayu telah bergeser menjauhi kawan-kawannya. Ia ingin bertempur melawan seorang saja di antara lawan yang banyak itu. Karena ia tahu, orang itu tentu memiliki Ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka ia akan dapat mengerahkan segenap kemampuannya tanpa diganggu oleh lingkungan.

“Mudah-mudahan aku berhasil,“ Agung Sedayu berdoa di dalam hatinya, “semoga aku mendapat perlindungan.”

Ki Mahoni agaknya mengerti maksud Agung Sedayu. Karena itu. maka iapun tidak segera menyerangnya. Iapun ikut bergeser sambil berdesis, ”Jangan takut bahwa aku akan bertempur dengan curang.”

“Aku mengerti,” jawab Agung Sedayu, “tetapi sebaiknya kita berada di tempat yang paling baik untuk bertempur sebagai seorang laki-laki.”

“Ternyata kau tidak segarang yang aku duga,“ desis Ki Mahoni, “kau sudah mulai menjadi cemas melihat keadaan. He, kenapa kau harus memisahkan dari kekalutan pertempuran itu, sementara kawanmu harus bertempur melawan jumlah yang jauh lebih banyak.”

“Aku ingin dengan cepat menyelesaikan tugasku,“ jawab Agung Sedayu, “dengan demikian aku akan dapat membantu kawan-kawanku.”

“O,” wajah Ki Mahoni menegang, “inikah anak muda yang disebut Agung Sedayu yang rendah hati itu? Ternyata kau adalah anak muda yang berhati kecil tetapi sombong sekali.”

“Mungkin aku terlalu sombong sekarang ini untuk mengatasi kekerdilan hatiku,” jawab Agung Sedayu, “tetapi sebenarnya-lah aku ingin berbuat sebaik-baiknya.”

Ki Mahoni mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi kau harus mengingat dua kemungkinan. Membunuh aku atau kaulah yang akan aku bunuh.”

“Apakah harus berakhir dengan kematian?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya,” jawab Ki Mahoni pendek.

Kematian bukan satu penyelesaian yang paling baik. Tetapi jika tidak ada pilihan lain, maka akupun akan siap menghadapi dua kemungkinan itu, meskipun aku masih mempunyai kemungkinan ketiga,” jawab Agung Sedayu.

“Kemungkinan apa?” bertanya Ki Mahoni.

“Mengalahkanmu tanpa membunuhmu,” jawab Agung Sedayu.

Ki Mahoni menggeretakkan giginya. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang terlalu sombong. Karena itu. maka iapun segera bersiap sambil berdesis, “Aku akan membunuhmu. Bukan kau yang membunuhku.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Sebenarnya-lah ia telah bersiap sepenuhnya, karena Ki Mahoni itupun tentu akan segera mulai menyerangnya.

Tetapi sebenarnya-lah bahwa Agung Sedayu tidak dapat melepaskan perhatiannya kepada seluruh kelompoknya. Ia benar-benar ingin melakukan seperti apa yang dikatakannya. Mengalahkan lawannya dan kemudian membantu kawan-kawannya yang berada dalam kesulitan, karena jumlah lawan yang jauh lebih banyak.

Sejenak kemudian, maka Ki Mahoni benar-benar telah mulai menyerang anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Tetapi ia masih bersikap berhati-hati. Meskipun ia tidak begitu menghiraukan cerita tentang Agung Sedayu yang telah membunuh Ajar Tal Pitu, namun ia juga tidak dapat mengabaikannya sama sekali. Namun dalam pada itu ia berdesis di dalam hati sebagaimana dilakukan beberapa kali, “Tentu Ajar Tal Pitu telah melakukan satu kekhilafan.”

Untuk beberapa saat lamanya keduanya berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya. Karena itu, maka keduanya ingin mengetahui kemampuan lawannya sebelum mempergunakan senjata masing-masing.

Dengan demikian maka keduanyapun telah bertempur dengan tangan mereka tanpa menggenggam senjata.

Sementara itu, tongkat baja putih Sekar Mirah pun telah berputar dengan dahsyatnya. Demikian cepatnya, seolah-olah ia telah menggenggam segumpal awan putih di tangannya.

Sebagaimana sikap lawan-lawannya, maka pertanda kebesaran Ki Sumangkar itu telah menarik perhatian. Murid Ki Sumangkar adalah tentu seorang yang memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan. Sehingga karena itu, maka seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan telah menempatkan diri sebagai lawannya.

“Aku bukan orang Jipang seperti Ki Mahoni,” berkata orang bertubuh tinggi itu.

Sekar Mirah tidak menghiraukannya. Ia menyerang lawannya dengan kecepatan yang mengejutkan, sehingga lawannya itupun telah terdesak surut.

“Kau luar biasa,” desis lawannya. Sebenarnya-lah ia heran melihat kecepatan gerak Sekar Mirah dengan tongkat baja putihnya.

Karena itu, maka orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu benar-benar harus bertempur dengan sepenuh kemampuannya.

“Jangan lengah,“ berkata seorang yang berkumis lebat, “lawanmu memiliki seluruh ilmu Ki Sumangkar. Jika kau tidak berhati-hati. maka namamu sajalah yang akan dikenang. Wiradrana yang bergelar Carang Ampel. Lurah dari para nelayan Kali Bengawan, dari pertapaan Pager Wesi, mati dibunuh seorang perempuan.”

“Gila!“ geram orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.

“Jangan mengumpat,“ orang berkumis itu tiba-tiba saja tertawa, “jika kau terdesak, beri saja isyarat. Kita kelebihan orang.”

Orang yang disebut bernama Wiradrana itu tidak menghiraukannya. Iapun kemudian telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengimbangi kecepatan gerak Sekar Mirah.

Di bagian lain dari pertempuran itu, Swandaru telah terlibat dalam pertempuran yang seru. Lawannya yang juga bertubuh gemuk itu ternyata tidak hanya mampu membual. Tetapi ia memang mempunyai kemampuan yang tinggi, sehingga karena itu maka pertempuran di antara kedua orang yang bertubuh gemuk itu menjadi semakin sengit.

Pandan Wangi tidak sempat memperhatikan suaminya terlalu lama, karena seseorang telah menempatkan diri sebagai lawannya. Dengan wajah yang garang seorang laki-laki bersenjata sebuah bindi bertanya kasar, “Kau bernama Pandan Wangi?”

“Ya,” jawab Pandan Wangi.

Orang itu tidak bertanya lagi. Bindinyalah yang kemudian terayun langsung mengarah ke kening Pandan Wangi.

“Gila,” geram Pandan Wangi sambil meloncat menghindar, Namun orang itu telah memburunya tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi. Senjatanya telah terangkat, dan sekali lagi terayun dengan derasnya.

Pandan Wangi terpaksa melocat sekali lagi menghindar. Terasa jantungnya berdebaran justru karena sikap lawannya.

Namun lawannya-lah yang kemudian tertegun. Dalam sekejap, Pandan Wangi telah menggenggam sepasang senjatanya. Dengan tangkasnya senjata yang sepasang itu berputaran. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran, tetapi iapun mulai dengan gerakan-gerakan ancang-ancang untuk menyerang kembali.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun telah mendapat lawannya masing-masing. Ki Widura telah pula bertempur dengan garangnya. Ternyata Ki Widura sempat memberikan kesan yang khusus kepada orang-orang Jati Anom sendiri, karena ternyata meskipun umurnya telah cukup tua, ia masih mampu meningkatkan ilmunya. Agaknya saat-saat ia berada di dalam goa bersama anaknya, Ki Widura mampu menyadap ilmu yang terpahat pada dindingnya. Dengan lambaran pengalaman yang ada padanya, maka ilmunyapun menjadi semakin mapan.

Demikianlah, pertempuran di tepian itu berkobar semakin sengit. Orang-orang terpenting dari Jati Anom sudah mendapat lawannya masing-masing. Dengan demikian, maka untuk sementara mereka sama sekali tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur seorang melawan seorang.

Namun dengan demikian Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Meskipun ia melihat Sabungsari dan Glagah Putih berada di antara para pengawal, tetapi beberapa orang ternyata telah melawannya secara khusus. Sementara yang lain dengan jumlah yang lebih banyak telah siap menghancurkan para pengawal dari Sangkal Putung, dan Jati Anom dan para cantrik.

Meskipun demikian mereka sempat terkejut melihat kemampuan para pengawal itu. Tetapi sejenak kemudian, kemarahan merekapun telah mendorong mereka bertempur semakin sengit.

Sebenarnya-lah tidak ada harapan lagi bagi para pengawal. Jumlah lawan mereka yang terlalu banyak itu telah melenyapkan segala harapan untuk dapat mempertahankan diri, sementara mereka menyadari bahwa orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi di dalam iring-iringan mereka dari Jati Anom mendapat lawannya masing-masing.

Karena itulah, maka orang-orang Pajang itupun menganggap bahwa mereka akan segera dapat menyelesaikan tugas mereka dengan sebaik-baiknya.

“Cepat!“ teriak orang yang bertubuh tinggi, “Jangan menunggu lebih lama lagi. Bunuh semua orang di dalam pasukan lawan.”

Serangan orang-orang Pajang itupun segera datang membadai. Sementara itu, para pengawal dari Jati Anom itupun menjadi semakin terdesak. Mereka bertempur tidak lagi untuk dapat mempertahankan hidup mereka, tetapi mereka telah dengan jantung yang bergejolak bertempur untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya menjelang maut di antara lawan-lawannya.

Ki Prabadaru yang sempat menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan dari sela-sela gerumbul perdu, tersenyum di dalam hati. Katanya kepada diri sendiri. “Kali ini kalian akan binasa.”

Namun dalam pada itu, ternyata ada yang dilupakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Ia sama sekali tidak memperhitungkan Untara yang tidak dilihatnya di arena, karena menurut keterangan yang didengarnya dari beberapa orang petugasnya, Untara memang tidak akan ikut serta di dalam iring-iringan itu.

“Seandainya Untara ikut pula di antara mereka, maka kemampuannya sama sekali tidak akan menggetarkan orang-orangku,” berkata Ki Tumenggung itu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah Untara memang tidak memiliki kemampuan ilmu kanuragan melampaui orang-orang terpenting dari Jati Anom yang berada di arena. Tetapi Ki Tumenggung lupa memperhatikan kemampuan berpikir Untara sebagai seorang senapati perang yang terpilih. Ia sendiri memang tidak hadir di peperangan itu. Tetapi kemampuannya memperhitungkan kemungkinan dalam benturan kekuatan itu, telah menentukan akhir dari pertempuran itu.

Dalam keadaan yang sulit itu, nampak sebuah rakit yang menyeberangi Kali Praga. Di atasnya terdapat lima orang penumpang dalam pakaian petani dengan empat orang tukang satang.

Rakit dan penumpang itu sendiri tidak terlalu menarik perhatian. Namun demikian, mereka tidak luput dari pengamatan orang-orang Pajang.

Karena itu, maka orang bertubuh tinggi di antara orang-orang Pajang, yang sebenarnya adalah prajurit dalam pasukan khusus itu, berteriak, “Berapa orang di antara kita dapat melepaskan dari pertempuran ini. Kita akan dengan cepat menyelesaikan kelinci-kelinci dari Jati Anom ini. Kalian harus mengamati orang-orang yang menyeberang dan tukang-tukang satang itu, agar mereka tidak meninggalkan tempat ini sebelum kita selesai, agar mereka tidak sempat memberitahukan peristiwa ini kepada siapapun juga.”

Perintah itu tidak perlu diulangi. Lima orang di antara orang-orang Pajang itupun kemudian memisahkan diri. Kekuatan mereka tidak akan terasa berkurang, dan merekapun akan dengan cepat dapat menyelesaikan pertempuran itu.

Tetapi dalam keadaan yang gawat, tepat pada saat orang-orang Pajang akan mulai dengan pembantaian, rakit yang menyeberangi Kali Praga itu mulai merapat. Para penumpangnya telah berloncatan ke tepian diikuti oleh para tukang satangnya. Mereka menambatkan rakit mereka dan kemudian merekapun telah berdiri di antara tukang-tukang satang yang terdahulu, yang berdiri di pinggir kali itu bagaikan membeku.

“Bagaimana?” tiba-tiba salah seorang penumpang itu bertanya.

“Sudah waktunya,” jawab seorang tukang satang.

Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jangan menunggu sampai korban yang pertama jatuh. Lima orang itu agaknya akan mengamati kita semuanya. Jangan hiraukan.”

Sesaat kemudian, terjadilah peristiwa yang mengejutkan bagi orang-orang Pajang. Tiba-tiba saja tukang-tukang satang dan lima orang penumpang rakit yang menyeberangi Kali Praga itupun telah bersiap. Seorang di antara mereka telah meneriakkan aba-aba dengan lantang, “Cepat! Kita akan melibatkan diri dalam pertempuran itu.”

Orang-orang yang semula berdiri membeku melihat pertempuran itupun segera mempersiapkan diri. Mereka telah menarik sesuatu dari satang-satang bambu mereka yang panjang. Ternyata merekapun kemudian telah menggenggam sebilah pedang.

“Gila,” geram satu di antara orang-orang Pajang yang mendapat tugas untuk mengawasi mereka, “siapa kalian sebenarnya, he?“

Tukang-tukang satang itu tidak menjawab. Tetapi mereka segera berlari-lari menuju ke arena. Seorang di antara mereka berteriak, “Aku berdiri di pihak orang-orang Jati Anom.”

Ternyata bukan saja orang Pajang yarg terkeiut. Tetapi orang-orang Jati Anom pun terkejut pula. Tetapi mereka tidak sempat membuat banyak pertimbangan, karena para prajurit dari pasukan khusus di Pajang itu telah menekan mereka dan goresan-goresan pertama dari senjata mereka telah mulai menyentuh tubuh para pengawal.

Tetapi yang kemudian hadir di arena adalah duapuluh orang tukang satang, ditambah dengan sembilan orang yang baru saja menyeberang dari arah barat. Sehingga jumlah itu menjadi cukup banyak untuk mengimbangi jumlah orang-orang Pajang yang hampir saja mulai dengan pembantaian yang mengerikan.

Ki Tumenggung Prabadaru terkejut pula menyaksikan hadirnya orang-orang di luar perhitungannya itu. Tentu bukan sekedar kebetulan. Nampaknya orang-orang itu memang sudah dipersiapkan untuk melakukan perlawanan.

“Siapa yang telah menjadi gila itu?” geram Ki Tumenggung Prabadaru.

Hampir saja Ki Tumenggung itu kehilangan kesabaran. Tetapi ia masih menahan diri. Ia ingin melihat perkembangan pertempuran itu lebih dahulu.

Sejenak kemudian pertempuran itupun menjadi semakin seru. Arena benturan kekuatan itu akhirnya menebar di sepanjang tepian, memanjang di pinggir Kali Praga.

Kehadiran tukang satang itu menjadikan jumlah kedua belah pihak menjadi hampir berimbang. Hanya terpaut beberapa orang saja. Namun orang-orang Pajang dari pasukan khusus itu jumlahnya masih lebih banyak.

Dalam pada itu, baik orang-orang Pajang maupun orang-orang Jati Anom masih belum tahu pasti, siapakah yang telah ikut serta dalam pertempuran itu. Namun dengan kehadiran mereka, maka rasa-rasanya para pengawal dari Jati Anom telah mendapat kesempatan untuk hidup kembali. Ternyata pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Orang-orang yang semula di sangka tukang-tukang satang itu mampu bertempur mengimbangi kemampuan orang-orang Pajang dalam pertempuran seorang lawan seorang. Sementara kelebihan jumlah yang sedikit dari orang-orang Pajang, ternyata telah dihisap oleh Sabungsari dalam pertempuran yang mendebarkan. Bahkan Glagah Putih pun sempat membuat lawannya menjadi kebingungan, karena ternyata anak muda itu telah memiliki seluruh landasan ilmu yang temurun dari Ki Sadewa, lewat Agung Sedayu dan pahatan pada dinding goa yang tersembunyi itu.

Ki Tumenggung Prabadaru yang menyaksikan pertempuran itu semakin lama menjadi semakin gelisah. Gejolak di dadanya rasa-rasanya hampir memecahkan jantungnya. Ia benar-benar tidak mengerti, apa yang sedang dihadapinya.

“Darimana kelinci-kelinci gila itu datang?“ bertanya Ki Tumenggung kepada diri sendiri.

Sementara itu, tukang-tukang satang yang bertempur itupun telah ikut menebar pula. Ketika seorang di antara mereka bertempur dekat Agung Sedayu, tiba-tiba saja Agung Sedayu dapat mengenalinya. Meskipun orang itu hanya bercelana pendek yang basah tanpa mengenakan baju sebagaimana kebanyakan tukang satang, namun ternyata bahwa orang itu memiliki ilmu pedang yang memadai untuk melawan prajurit dari pasukan khusus di Pajang yang dibentuk oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

“Kau,” desis Agung Sedayu.

Orung itu mengangguk sambil berdesis, “Ya. Aku dan beberapa orang kawan.”

“Bagaimana mungkin kau berada di sini?” bertanya Agung Sedayu.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia bertempur terus melawan seorang prajurit dari pasukan khusus di Pajang.

Dalam pada itu, Ki Mahoni yang bertempur melawan Agung Sedayu itupun bertanya, “Kau kenal orang itu?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu.

“Siapa?” desak Ki Mahoni.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sambil bertempur melawan Ki Mahoni yang nampaknya masih ingin menjajagi kemampuanya itu ia berkata, “Seandainya aku menyebutkan asalnya, kau juga tidak akan mengetahuinya.”

Ki Mahoni tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia mulai meningkatkan ilmunya, karena ternyata Agung Sedayu masih mampu mengimbanginya.

Pertempuran di tepian itu benar-benar telah berubah. Yang direncanakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru telah pecah. Yang terjadi itu sama sekali tidak dapat dimengerti. Namun satu-satunya kemungkinan menurut perhitungan Ki Tumenggung adalah bahwa rencananya telah diketahui oleh lawan, sehingga mereka telah membuat persiapan-persiapan seperlunya.

Namun tiba-tiba Ki Tumenggung itu berdesis, “Mungkin Untara telah melibatkan diri dalam perhitungan pertempuran ini.”

Ingatannya kepada Untara telah membuat Ki Tumenggung semakin berdebar-debar. Untara sendiri memang bukan orang yang memiliki tingkat ilmu kanuragan seperti Agung Sedayu. Tetapi ia mempunyai kelebihan yang lain sebagai seorang senapati.

“Gila,” geram Ki Tumenggung, “aku hampir pasti. Tentu Untara telah terlibat langsung.”

Ki Tumenggung mulai menerawang kembali ke saat-saat ia mengambil keputusan untuk mencegat iring-iringan dari Jati Anom itu. Segalanya nampaknya berjalan rancak. Untara telah memberitahukan tanpa tedeng aling-aling semua rencana perjalanan adiknya itu.

Dalam pada itu, pertempuran di tepian itu menjadi semakin sengit. Para prajurit Pajang dari pasukan khusus yang menyamar itu ternyata tidak dapat berbuat menurut rencana. Mereka tidak dapat membantai lawan dengan semena-mena, karena lawan mereka kini dapat memberikan perlawanan yang seimbang. Bahkan para cantrik dari Jati Anom pun mampu bertempur dengan kemampuan yang mengherankan lawan-lawan mereka.

Yang benar-benar mengejutkan adalah tukang-tukang satang. Ternyata mereka tentu bukan orang kebanyakan. Mereka memiliki ilmu pedang yang tinggi, sebagaimana para prajurit Pajang dari pasukan khusus itu.

Ki Tumenggung Prabadaru menggeram. Kemarahannya telah sampai ke ubun-ubunnya. Bahkan iapun telah memutuskan untuk turun ke arena. Kehadirannya tentu bukannya tidak berpengaruh.

“Aku akan membunuh tukang-tukang satang gila itu,” geram Ki Tumengung. “Aku masih mempunyai keyakinan tentang diriku sendiri. Aku tentu tidak akan berada di bawah kemampuan Kiai Gringsing.”

Karena itu, maka iapun telah bersiap untuk meloncat ke arena. Dengan melintasi tepi padang perdu, ia akan turun ke tepian dan langsung melibatkan diri ke dalam pertempuran.

Namun ketika ia sudah siap meloncat dan berlari, tiba-tiba terdengar seseorang mendehem di belakangnya. Demikian dekat tanpa diketahui, kapan orang itu datang. Desir langkah kakinya atau gemeresak dedaunan sama sekali tidak didengarnya.

Dengan sigap Ki Tumenggung berpaling. Namun betapa ia terkejut melihat orang yang berdiri di hadapannya. Lebih terkejut lagi dari pada saat ia melihat tukang-tukang satang itu melibatkan diri.

“Raden Sutawijaya,” desis Ki Tumenggung. Sebenarnya-lah yang berdiri di hadapannya itu adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga. Sambil tersenyum Raden Sutawijaya itu melangkah mendekat sambil berkata, “Beruntunglah kau Ki Tumenggung Prabadaru, bahwa kau sempat menyaksikan perang yang dahsyat itu.”

Ki Tumenggung memandang Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Kemudian iapun bertanya dengan nada datar, “Apa maksud Raden?”

“Kita berdua sama-sama beruntung dapat menyaksikan pertempuran itu. Dengan demikian kita akan dapat melihat, sampai seberapa jauh kemampuan orang-orang yang selama ini kurang kita kenal. Bukankah yang sedang bertempur itu Agung Sedayu dengan para pengiringnya, melawan Ki Sabdadadi dan para pengikutnya?” bertanya Raden Sutawijaya.

Lalu seolah-olah tanpa menghiraukan Ki Tumenggung, Raden Sutawijaya melangkah semakin maju sambil memandang ke tepian di antara dedaunan perdu yang tipis, “Marilah kita mendekat. Apa salahnya, asal kita tidak mencampuri persoalan mereka.”

Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Dengan geram ia bertanya, “Jadi tukang-tukang satang itu prajurit Mataram?”

“O, tidak,” jawab Raden Sutawijaya dengan serta merta, ”tidak. Aku tidak mencampuri pertempuran itu. Aku hanya menonton saja sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru sekarang ini.”

Wajah Ki Tumenggung Prabadaru menjadi merah. Namun ia harus menahan diri, ia sadar dengan siapa ia berhadapan. Setiap orang Pajang tahu pasti, betapa tingginya kemampuan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga. Hanya Pangeran Benawa sajalah yang akan dapat mengimbanginya. Dalam pada itu, Raden Sutawijayapun berkata, “Marilah Ki Tumenggung. Nampaknya pertempuran ini menjadi semakin seru.”

“Persetan,“ Ki Tumenggung menahan gejolak perasaannya, “aku tidak hanya akan sekedar menonton.”

“O,” Raden Sutawijaya mengangkat wajahnya. Dengan nada tinggi, “Apakah Ki Tumenggung akan melibatkan diri ?”

“Ya,“ jawab Ki Tumenggung.

“Bagus. Sebaiknya Ki Tumenggung membantu Agung Sedayu yang agaknya telah dirampok oleh sekelompok penyamun. Mungkin para perampok itu mengira, bahwa Agung Sedayu dan istrinya membawa barang perhiasan yang bernilai sangat tinggi, justru karena mereka adalah pengantin baru. Sungguh luar biasa bahwa perampok dengan jumlah yang sangat besar. Untunglah bahwa tukang-tukang satang itu mempunyai tanggung jawab yang tinggi. Meskipun iring-iringan dari Jati Anom itu belum menjadi penumpang rakit-rakit mereka, namun mereka merasa berkewajiban untuk membantu. Karena jika daerah penyeberangan ini menjadi ajang perampokan, maka mereka akan kehilangan tempat untuk mencari nafkah. Jalur ini akan menjadi sepi dan tidak seorangpun akan berani menyeberang lewat daerah ini.”

“Omong kosong!” bentak Ki Tumenggung.

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Ki Tumenggung membuat aku menjadi heran. Kenapa Ki Tumenggung membentak-bentak? Bukankah kewajiban seorang prajurit untuk melindungi orang yang dibayangi oleh bahaya yang gawat?”

“Aku bukan anak kecil lagi Raden,” berkata Ki Tumenggung, “sikap Raden Sutawijaya sangat meremehkan aku.”

“O, aku minta maaf Ki Tumenegung,“ jawab Raden Sutawijaya, “aku tidak tahu maksud Ki Tumenggung. Sebenarnya aku ingin berkata sesuai dengan pengamatanku. Tetapi agaknya Ki Tumenggung mempunyai tanggapan yang lain.”

“Aku pasti Raden, bahwa orang-orang yang menyamar sebagai tukang satang itu adalah orang-orang Mataram,” geram Ki Tumenggung.

“Aku tidak mengerti jalan pikiran Ki Tumenggung,“ jawab Raden Sutawijaya, “kenapa kau dapat menduga demikian?”

“Aku tidak peduli,” berkata Ki Tumenggung itu kemudian, “aku akan turun ke arena. Agaknya iring-iringan orang Jati Anom itu telah membuat gaduh di sini.”

Raden Sutawijaya tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Kau jangan mengada-ada. Seandainya demikian, serahkan kepadaku. Aku akan bertindak atas nama Mataram. Karena daerah ini adalah daerah wewenangku.”

“Tetapi daerah wewenang Raden masih tetap berada di bawah kekuasaan Pajang,” jawab Ki Tumenggung.

“Lalu apa artinya limpahan kekuasaan Ayahanda Sultan?” bertanya Raden Sutawijaya.

Wajah Ki Tumenggung menjadi semakin tegang. Namun ia tetap sadar bahwa Raden Sutawijaya adalah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi di luar jangkauan kemampuannya. Namun Ki Tumenggung itu berpikir, “Aku tidak harus melawannya seorang diri. Aku akan dapat benempur bersama satu atau dua orang yang berada di arena itu. Mereka akan dapat meninggalkan lawan mereka barang satu dua saat, sementara aku akan dengan cepat menyelesaikan Raden Sutawijaya.”

Tetapi bagaimanapun juga Ki Tumenggung masih ragu-ragu. Jika ia tidak berhasil, maka pertempuran seluruhnya akan menjadi kalut. Juslru karena satu atau dua orang yang harus membantunya.

Namun demikian ia masih ingin menjajagi niat kehadiran Raden Sutawijaya itu. Katanya, “Sebaiknya Raden tidak usah ikut campur. Aku akan menyelesaikan persoalan ini dengan caraku.”

Tetapi Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, “Jangan Ki Tumenggung. Jangan memaksa aku melibatkan diri secara langsung. Sebenarnya aku ingin berdiri di luar arena pertempuran. Tetapi jika Ki Tumenggung langsung ingin melibatkan diri. maka akupun tidak berkeberatan untuk mencegah Ki Tumenggung. Namun sebenarnya-lah aku masih menghormati Ki Tumenggung sebagai seorang Panglima dari satu pasukan khusus yang besar di Pajang. Jika aku berbuat sesuatu atas Ki Tumenggung, berarti bahwa pasukan khusus itu akan bergerak dalam waktu yang singkat. Terus terang. aku tidak siap menghadapi keadaan itu sekarang.”

Ki Tumenggung Prabadaru termenung sejenak. Namun iapun tidak akan dapat berbuat sesuatu jika benar-benar Senapati ing Ngalaga itu berdiri menjadi lawannya dalam perang itu.

Karena itu. maka Ki Tumenggung pun tidak meneruskan niatnya untuk turun ke arena. Namun dari tempatnya ia hanya dapat melihat. apa yang terjadi di tepian itu.

Dalam pada itu, pertempuran di tepian itupun telah berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang Pajang yang sebagian besar terdiri dari para prajurit dalam pasukan khusus itu telah menjadi marah. Ternyata mereka berhadapan dengan orang-orang yang ujud lahiriahnya sebagai tukang-tukang satang, namun memiliki Ilmu yang dapat mengimbangi mereka.

Seorang prajurit Pajang yang bertubuh tinggi berteriak, “He, tukang-tukang satang yang gila. Siapakah sebenarnya kalian?”

Pertanyaan itu lenyap tanpa jawaban. Tukang-tukang satang itu sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Namun mereka telah bertempur dengan gigihnya. Senjata mereka yang sebagian terbesar berupa pedang itu mampu melawan segala jenis senjata berupa apapun juga. Bindi, pedang, golok yang besar, trisula atau jenis-jenis yang lain.

Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Meskipun satu dua orang telah mulai tergores kulitnya, namun dalam keseluruhan, pertempuran itu masih nampak berimbang.

Sementara itu, Glagah Putih ternyata seolah-olah mendapat kesempatan untuk menguji ilmunya. Ilmu yang telah disadapnya dari Agung Sedayu, dilengkapi dengan pahatan pada dinding goa yang ditunjukkan juga oleh Agung Sedayu.

Ternyata bahwa Glagah Putih pun telah mengejutkan lawannya juga. Seorang prajurit dari pasukan khusus yang memiliki kemampuan melampaui prajurit biasa. Namun berhadapan dengan seorang anak yang masih sangat muda. ia telah mengalami kesulitan.

“Ilmu iblis manakah yang telah merasuk ke dalam anak ini?” geram prajurit itu.

Glagah Putih tidak senang mendengar umpatan lawannya. Karena itu maka katanya, “Kaulah yang berilmu iblis. He, siapakah sebenarnya kau? Aku tidak percaya bahwa kau adalah seorang petani sebagaimana nampak menurut tata pakaianmu.”

“Persetan,” geram orang itu.

Glagah Putih tidak bertanya lebih banyak lagi. Sebenarnya-lah ia menjadi heran, bahwa di tepian itu telah bertempur orang-orang yang saling menyamar. Lawannya yang muncul dari padang perdu itu tentu bukan orang kebanyakan sebagaimana nampak pada pakaian mereka. Tetapi tukang-tukang satang yang berpihak kepada Agung Sedayu itupun tentu bukan tukang satang biasa.

“Aneh,“ desis Glagah Putih, “bagaimana mungkin tukang-tukang satang itu tahu pasti, bahwa akan terjadi pertempuran di sini. Tidak di tempat lain.”

Namun Glagah Putih tidak sempat bertanya-tanya di dalam hatinya. Ia harus bertempur melawan seorang yang memiliki ilmu yang tangguh. Namun sebenarnya-lah bahwa ilmu orang itu tidak dapat mengimbangi ilmu Glagah Putih yang telah mulai mapan. Apalagi Glagah Putih telah mempelajari ilmunya sampai ke puncak, sebagaimana ditunjukkan oleh Agung Sedayu setelah ia menyelesaikan tingkat terakhir yang masih mungkin dipelajarinya pada dinding goa itu, yang justru pada puncaknya telah rusak karena perbuatan Agung Sedayu di luar kehendaknya sendiri.

Dengan demikian, ketika Glagah Putih mengerahkan kemampuannya, maka lawannyapun segera telah terdesak. Tetapi seorang yang lain tiba-tiba saja telah menempatkan dirinya untuk melawannya berpasangan, sehingga Glagah Putih itu harus bertempur melawan sepasang prajurit dari pasukan khusus yang dibanggakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

Sementara itu tidak jauh dari Glagah Putih, Sabungsari tengah menghadapi lawannya pula. Ternyata bahwa seperti Glagah Putih, maka Sabungsari tidak hanya berhadapan dengan seorang lawan. Tetapi justru tiga orang.

Namun ternyata bahwa Sabungsari juga seorang prajurit Pajan,g yang justru bukan dari pasukan khusus itu, mampu menghadapi tiga orang lawan sekaligus tanpa mengalami kesulitan yang gawat. Meskipun kadang-kadang Sabungsari terdesak, namun ia segera dapat mencapai keseimbangan kembali.

Tetapi sementara itu, Sabungsari masih berusaha untuk menahan diri. Sebelum keadaan memaksa, ia masih belum mempergunakan ilmunya yang khusus, yang mirip dengan ilmu yang dimiliki Agung Sedayu.

Apalagi ketika Sabungsari mengetahui bahwa keadaan tidak lagi terlalu gawat bagi iring-iringan dari Jati Anom itu.

Meskipun demikian, sebenarnya-lah bahwa Sabungsari juga digelitik oleh pertanyaan tentang tukang-tukang satang itu. Tentu ada yang telah mengatur mereka. Tanpa keterangan terperinci maka mereka tidak akan dapat menunggu di tempat yang tepat.

Tetapi Sabungsari tidak segera dapat menebak. Ia tidak mempunyai banyak waktu untuk berpikir. Lawan-lawannya telah menyerangnya beruntun, sehingga Sabungsari harus melayaninya dengan cepat dan tangkas. Apalagi lawan-lawannya para prajurit pilihan dari pasukan khusus di Pajang. Namun Sabungsari adalah seorang prajurit yang telah memiliki bekal yang cukup sejak ia memasuki lapangannya, sehingga karena itu maka ia tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Tetapi justru karena itu, ia masih belum merasa perlu untuk mempergunakan ilmu puncaknya.

Di bagian lain, Swandaru bertempur dengan dahsyatnya pula. Ternyata bahwa lawannyapun memiliki ilmu yang tinggi. Sebenarnya-lah bahwa murid Ki Mahoni itu telah menerima seluruh ilmu dari gurunya, meskipun ia masih harus mengembangkannya sesuai dengan tingkat pengalamannya.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka murid Ki Mahoni itupun telah mempergunakan senjatanya. Dengan lantang iapun kemudian berkata, “Swandaru, kita telah saling menjajagi. Sekarang tiba saatnya kita akan saling membunuh.”

“Persetan,” geram Swandaru.

“Baiklah. Kau tentu belum pernah mendengar bahwa orang yang digelari Elang Berparuh Pedang adalah aku,” berkata orang gemuk itu.

“Aku tidak peduli. Kau dapat menyebut dirimu Elang Berparuh Pedang, atau Pedang Bersayap Elang atau sebutan-sebutan gila lainnya. Tetapi sekarang aku akan membunuhmu,” sahut Swandaru lantang.

Orang itu mengumpat. Swandaru sama sekali tidak terpengaruh oleh gelar yang dibanggakannya. Namun dalam pada itu, orang yang menyebut dirinya Elang Berparuh Pedang itu telah mencabut pedangnya. Pedang yang tajam di kedua sisinya dan berujung runcing seperti duri ikan.

Namun pedang itu telah mendorong Swandaru untuk mengurai cambuknya, sehingga sejenak kemudian arena itu telah digetarkan oleh ledakan cambuknya yang mengguntur.

“Gila,” desis lawannya, “anak ini memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Ledakan cambuknya benar-benar telah menggetarkan isi dada.”

Tetapi lawannya telah menguasai ilmu pedang sebaik-baiknya. Karena itu, maka sejenak kemudian pedangnya telah berputar bagaikan gumpalan awan yang menyelubungi dirinya.

Tetapi senjata Swandaru adalah senjata lentur. Karena itu, maka sekali-sekali Swandaru sempat menyerangnya menyusup di sela-sela putaran pedang lawannya. Namun sulit bagi Swandaru untuk langsung dapat mengenai tubuh Elang Berparuh Pedang itu.

Meskipun demikian, maka sesaat kemudian pertempuran antara kedua orang yang bertubuh gemuk itu menjadi samakin dahsyat. Cambuk Swandaru meledak semakin sering dan semakin keras, sementara pedang lawannya pun berputar semakin cepat. Namun yang kadang-kadang mematuk dengan dahsyatnya, sementara di saat lain menebas mendatar dengan derasnya.

Di tengah arena, Ki Gringsing menghadapi lawannya yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Dengan pedang di tangan, Ki Pringgaiaya kadang-kadang membuat Kiai Gringsing harus berkisar surut. Kiai Gringsing sudah mengetahui bahwa Ki Pringgajaya memiliki ilmu yang mengagumkan. Ujung senjatanya mampu mendahului pengamatan Kiai Gringsing sehingga kadang-kadang senjata itu berhasil menyentuh meskipun baru lembar-lembar pakaiannya. Namun kemampuan dan pengalaman Kiai Gringsing ternyata telah mampu menempatkan dirinya dalam keadaan yang mantap.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar