Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 152

Buku 152

“Justru karena batangnya cukup lentur. Kecuali jika angin itu terlalu kencang di luar batas kemampuan ilalang itu. Dan hal yang demikian berlaku juga bagi ilmu yang betapapun tangguhnya.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Kaupun dapat melihat tingkah laku seekor binatang. Mereka tidak pernah mempelajari apapun juga, karena binatang tidak mempunyai akal budi. Namun secara naluriah mereka juga menghindar dari bahaya yang akan menimpanya. Nah, dengan dasar unsur gerak yang kau pelajari dalam susunan ilmumu, maka kau akan dapat berbuat lebih banyak lagi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin terbuka. Karena itu, maka sejenak kemudian, iapun mulai mencobanya. Sedikit demi sedikit. Namun yang sedikit itu telah menunjukkan, bahwa ia memang memiliki ketajaman nalar untuk melakukannya.

Demikianlah, keduanya berada di dalam sanggar untuk waktu yang cukup lama. Baru lewat tengah malam keduanya menyelesaikan latihan-latihan yang cukup berat bagi Glagah Putih. Selagi perasaan nyeri dan sakitnya masih terasa, ia sudah harus bekerja keras untuk mengikuti latihan-latihan khusus yang diberikan oleh Agung Sedayu bagi perkembangan ilmunya.

Meskipun waktunya tidak termasuk panjang, namun yang didapat oleh Glagah Putih adalah petunjuk-petunjuk yang harus dilakukannya sendiri. Untuk melakukannya itulah maka ia memerlukan waktu yang cukup panjang.

Malam yang tersisa masih dapat dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk beristirahat. Mereka masih dapat tidur nyenyak setelah bekerja keras di sanggar.

Di hari berikutnya, Agung Sedayu dan Ki Waskita telah bersiap-siap untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Dalam kesempatan yang singkat itu, Ki Waskita masih sempat menyampaikan pesan Ki Demang Sangkal Putung. Waktu untuk mempertemukan Agung Sedayu dan Sekar Mirah dalam upacara perkawinan mereka, sudah menjadi semakin dekat.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu adalah kemenakannya. Karena itu, maka adalah wajar sekali bahwa ia termasuk salah seorang yang berkewajiban untuk memikirkannya, di samping Untara.

Namun dalam pada itu, Ki Widura itupun berdesis perlahan, “Tetapi nampaknya kemelut antara Pajang dan Mataram menjadi semakin meningkat di saat-saat terakhir.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya memang agak mencemaskan. Mudah-mudahan rencana itu tidak terganggu. Jika terjadi sesuatu antara Pajang dan Mataram, maka Sangkal Putung berada di garis yang menghubungkan antara keduanya, meskipun ada jalur yang lebih dekat. Tetapi Kademangan Sangkal Putung yang subur itu akan menjadi perhatian dari kedua belah pihak.”

Ki Widura tidak menyahut lagi. Para perwira yang tinggal di padepokan itupun kemudian duduk bersama mereka pula. Demikian pula Sabungsari.

Namun dalam pada itu, setelah makan pagi, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita pun minta diri. Mereka harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mereka telah terlambat satu hari dibanding dengan rencana mereka saat mereka berangkat dari Tanah Perdikan Menoreh.

Sebenarnya para penghuni padepokan itu, terutama Glagah Putih dan Sabungsari, masih ingin menahan mereka barang sehari lagi. Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita terpaksa mengelak.

“Tidak lama lagi Agung Sedayu akan kembali untuk waktu yang cukup lama,“ berkata Ki Waskita.

“Tetapi dalam keadaan yang jauh berbeda,” sahut Glagah Putih.

“Ya. Dan jika Agung Sedayu kembali pada bulan terakhir mendatang, ia tidak akan mempedulikan kami lagi,“ Sabungsari menyambung.

Yang mendengar kelakar itu tertawa. Agung Sedayu sendiri juga tertawa. Tetapi ia tidak dapat menjawabnya. Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita pun segera bersiap untuk berangkat. Para penghuni padepokan itu mengantarnya sampai keluar regol padepokan. Di regol, Agung Sedayu masih sempat memberikan beberapa pesan kepada Glagah Putih. Sekedar untuk melengkapi pesan-pesannya semalam di sanggar.

Keduanya pun kemudian minta diri. Mereka meninggalkan regol padepokan sebelum matahari memanjat terlalu tinggi.

Kepada Ki Widura Agung Sedayu sudah berpesan, agar pamannya menyampaikan permintaan maafnya kepada Untara, karena ia tidak dapat singgah.

Demikianlah, keduanya pun kemudian meninggalkan padepokannya semakin jauh. Sementara itu, terasa panas matahari di pagi hari mulai menggatalkan kulit. Sementara burung-burung liar berterbangan di langit yang jernih.

Para petani nampak terbongkok-bongkok di antara tanaman padi yang hijau untuk mencabuti rerumputan yang tumbuh liar di antara batang-batangnya, sehingga apabila dibiarkan saja, akan dapat mengganggu perkembangan dan pertumbuhan batang-batang padi itu.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita berpacu semakin cepat, meskipun tidak terlalu kencang. Perjalanan yang sudah mereka tempuh berulang kali itu kadang-kadang masih terasa mendebarkan jantung, justru pada saat-saat yang rasa-rasanya menjadi semakin gawat.

Keduanya telah mengambil jalan di sebelah barat, sehingga mereka tidak perlu lagi melalui Kademangan Sangkal Putung. Kecuali mereka memang tidak ingin singgah, maka jalan menjadi bertambah pendek.

Sejenak kemiudian, maka keduanya mulai menyelusuri jalan di pinggir hutan yang tidak begitu lebat dan tidak begitu luas. Lewat hutan itu maka mereka akan memasuki jalan yang lebih besar menuju ke Mataram.

Namun merekapun tidak akan singgah di Mataram. Karena itu mereka sepakat untuk meninggalkan jalan itu setelah mereka mendekati kota Mataram, dan mengambil jalan memintas menuju ke jalur penyeberangan Kali Praga.

Dalam pada itu, selagi keduanya sedang berbincang untuk melupakan jarak perjalanan yang masih panjang, tiba-tiba di ujung hutan di hadapan mereka, nampak seorang penunggang kuda memacu kudanya sekencang-kencangnya, sehingga debu yang putih mengambur membatasi penglihatan.

Tetapi Ki Waskita dan Agung Sedayu merasa curiga. Penunggang kuda itu nampaknya tidak mampu lagi duduk dengan baik di punggung kudanya, sehingga seolah-olah ia telah meletakkan seluruh tubuhnya menelungkup.

Meskipun demikian orang itu masih dapat mengendalikan kudanya. Demikian orang itu sampai di ujung hutan, maka ia telah membelokkan kudanya memasuki hutan yang tidak terlalu lebat itu.

“Aneh,“ desis Agung Sedayu.

“Tentu telah terjadi sesuatu,“ sahut Ki Waskita.

“Rasa-rasanya ingin melihat, apa yang telah terjadi,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Ya. Marilah. Mungkin ia memerlukan pertolongan,“ jawab Ki Waskita.

Kedua orang itupun kemudian mempercepat laju kuda mereka. Seperti orang yang mencurigakan itu, maka keduanya pun segera memasuki hutan yang tidak begitu lebat itu pula.

Ternyata keduanya tidak begitu sulit untuk mengikuti jejak kuda itu. Beberapa ranting perdu telah berpatahan. Bahkan kadang-kadang jejak kaki kuda di tanah yang lembab itupun nampak dengan jelas.

Beberapa lama kedua orang itu mengikuti jejak kuda yang semakin dalam memasuki hutan itu. Namun tiba-tiba langkah kuda mereka terhenti ketika mereka melihat sesuatu bergeser menyusup ke dalam semak-semak.

“Orang itu telah turun dari kudanya,“ desis Agung Sedayu.

Agung Sedayu dan Ki Waskita pun kemudian meloncat turun pula. Dengan ragu-ragu keduanya menambatkan kudanya. Dengan nada datar Agung Sedayu berkata kepada orang yang bersembunyi di semak-semak, “Ki Sanak. Kami tidak bermaksud apa-apa. Karena kami melihat bahwa agaknya Ki Sanak berada dalam kesulitan, maka kami berusaha untuk mengikuti Ki Sanak.”

Beberapa saat lamanya tidak terdengar jawaban.

Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar orang di balik semak-semak itu berdesis, “Agung Sedayu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Ya, aku Agung Sedayu. Siapa kau?”

Orang itu ternyata telah berusaha keluar dari semak-semak. Demikian orang itu berdiri, maka nampaklah bajunya berlumuran darah.

Agung Sedayu dan Ki Waskita pun dengan tergesa-gesa mendekatinya. Dengan tegang Agung Sedayu berkata, “Duduklah. Kau terluka?”

Orang itu menahan nyeri pada lukanya. Namun iapun kemudian duduk dibantu oleh Agung Sedayu dan Ki Waskita.

“Kau pengawal Mataram?“ bertanya Agung Sedayu yang kurang mengenali orang itu, meskipun orang itu telah mengenalnya.

“Ya. Aku seorang pengawal Mataram,“ jawabnya.

“Aku sudah mengira, meskipun aku tidak mengenalmu dengan akrab. Tetapi dari siapa kau mengenal aku?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku sering melihat kau di Mataram. Mungkin kau tidak mengenal aku, karena aku salah seorang saja dari para pengawal yang sering bertugas di regol halaman rumah Senapati ing Ngalaga di saat-saat kau singgah.”

“Tetapi kenapa kau terluka?“ bertanya Agung Sedayu.

Orang itu telah berusaha untuk mengambil sehelai kain dari bawah bajunya. Katanya, “Aku titip kain ini. Serahkan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga.”

“Ikat kepala ini?“ bertanya Agung Sedayu.

“Bukan ikat kepala. Kau dapat melihatnya, karena aku percaya kepadamu. Tetapi cepat, tinggalkan tempat ini. Aku sedang dikejar oleh sekelompok orang-orang yang akan merebut kain itu,“ berkata pengawal itu.

“Kain apakah sebenarnya ini?“ desak Ki Waskita.

“Lihatlah. Tetapi cepat tinggalkan tempat ini, agar kain itu tidak jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, meskipun mereka sendiri yang membuatnya,“ jawab orang itu.

Ada semacam keinginan yang mendesak untuk melihat gambar pada kain yang diperebutkan itu. Tentu ada arti tersendiri, justru karena kain itu telah dipertahankan dengan darahnya.

Ketika kain itu kemudian dibentangkan, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita melihat, bahwa gambar pada kain itu sama sekali bukan gambar sebagaimana terdapat pada ikat kepala. Tetapi yang nampak jelas adalah batas-batas kota Mataram. Regol dan tempat-tempat penting. Sepintas nampaknya kain itu adalah ikat kepala batik seperti kebanyakan. Namun ternyata ikat kepala itu telah dibuat khusus untuk memberikan gambaran tentang kota Mataram yang sedang berkembang.

“Nah, kalian sudah melihatnya,“ berkata orang yang terluka itu, “sekarang cepat, tinggalkan tempat ini, dan usahakan menghapus jejak. Sebentar lagi mereka tentu akan datang.”

“Lalu kau?“ bertanya Agung Sedayu.

“Biarlah aku disini. Aku sudah melepaskan kudaku. Aku akan mencoba menahan mereka,“ jawab pengawal itu.

“Tidak mungkin. Kau sudah terluka,“ berkata Ki Waskita, “lebih baik aku berusaha untuk mengobati lukamu untuk sementara. Kemudian kita pergi bersama-sama. Kudamu tentu tidak akan lari jauh dari tempat ini. Sementara aku mengobatimu, Agung Sedayu akan mencari kudamu.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Itu tidak perlu. Aku masih dapat melawan mereka sementara kau sempat meninggalkan tempat ini. Mereka tidak akan mengejarmu. Aku berharap bahwa kain itu akan dapat di ketahui oleh Raden Sutawijaya atau Ki Juru Martani, sehingga mereka akan mendapat gambaran, bahwa di Mataram terdapat orang-orang yang dengan teliti mengamati perkembangan kota. Lebih dari pada itu, gambar itu menunjukkan segi-segi yang kuat dan yang lemah dari tata pertahanan Mataram.”

“Siapa yang mengejarmu?“ bertanya Ki Waskita.

“Pemilik kain itu,“ jawab pengawal yang terluka itu.

“Kami kurang mengerti,“ desis Agung Sedayu, “tetapi marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Mudah-mudahan kita bertiga tidak tertangkap.”

Orang itu merenung sejenak. Namun tiba-tiba terdengar derap kaki kuda di kejauhan.

“Mereka telah datang,“ desis orang itu, “cepat tinggalkan tempat ini. Tinggalkan aku di sini. Aku akan menahan mereka.”

“Kau terluka,“ berkata Agung Sedayu.

“Cepat. Jika kain itu dapat mereka rebut, maka Mataram akan terancam. Apalagi karena aku tidak dapat melaporkan apa yang terjadi. Orang-orang Mataram hanya menganggap aku hilang begitu saja. Dan untuk selamanya mereka tidak mengetahui bahwa rahasia pertahanan Mataram sudah diketahui oleh orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram,“ berkata orang itu.

Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak sempat meninggalkan orang yang terluka itu. Mereka mendengar kuda itu semakin dekat. Bahkan mereka sudah mendengar seseorang berteriak, “Kita ikuti terus jejaknya, ia tidak akan terlalu jauh lagi.”

Ki Waskita dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak. Kemudian Agung Sedayu pun berkata, “Apa boleh buat. Kita tidak akan dapat meninggalkan tempat ini. Mereka sudah terlalu dekat.”

Sambil menyembunyikan kain itu di bawah bajunya, Agung Sedayu bertanya, “Bagaimana mungkin kain ini jatuh ke tanganmu?”

“Kau masih sempat pergi,“ desis orang itu.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku tidak sempat meninggalkan tempat ini. Mereka sudah terlalu dekat.”

Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia berusaha untuk berdiri, “Aku harus bertempur.”

“Duduklah,“ cegah Ki Waskita.

“Mereka akan membunuh aku. Biarlah aku mati sebagai seorang pengawal. Bukan sebagai seekor sapi di tangan para jagal,“ berkata pengawal itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Ki Waskita pun kemudian berdiri pula. Ki Waskita masih sempat menaburkan obat pada luka pengawal itu sambil berkata, “Aku akan membantumu menyelamatkan kain ini.”

“Jika demikian, pergilah,“ desis pengawal itu.

“Aku akan mencoba dengan cara lain,“ sahut Ki Waskita.

Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Waskita, karena pengawal itupun mengerti, bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, sementara itu mereka berdua mempunyai hubungan yang akrab dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga.

Karena itu, maka pengawal itupun berkata, “Terserahlah kepada kalian berdua. Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih.”

Keduanya pun kemudian bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang bakal datang. Sementara Agung Sedayu masih berkata, “Duduk sajalah. Darahmu sudah mulai pampat.”

“Aku akan bertempur,“ berkata pengawal itu.

Sementara itu, kuda-kuda itupun menjadi semakin dekat. Suara mereka yang duduk di punggung kuda itu menjadi semakin jelas.

“Arah ini,“ terdengar salah seorang dari mereka berkata. Lalu tiba-tiba, “Itu kudanya.”

“Dua ekor,“ sahut yang lain.

Sejenak kemudian, beberapa orang telah berloncatan dari kuda mereka. Dengan serta merta mereka berlari-lari mendekati Ki Waskita, Agung Sedayu dan pengawal yang terluka itu.

“Inilah mereka,“ geram salah seorang yang agaknya menjadi pemimpin mereka.

Ki Waskita dan Agung Sedayu berdiri sebelah menyebelah dari pengawal yang terluka itu. Ketika keduanya memandang setiap orang yang datang, maka merekapun mengetahui, bahwa orang-orang yang datang itu adalah orang-orang yang garang. Tetapi menurut pendapat mereka, orang-orang itu tentu bukan prajurit-prajurit Pajang.

“Siapakah kalian? “ tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.

“Jangan banyak bicara. Serahkan kain itu kepada kami,“ berkata orang yang berkumis lebat.

“Kain apa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Jika kau terlalu banyak bicara, maka kami akan membunuh kalian dan mengambil kain itu dari salah seorang di antara kalian,“ geram orang berkumis itu.

“Tunggulah Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “jangan terlalu garang. Kami akan berbicara dengan tenang dan baik.”

“Persetan!“ geram orang itu, “Orang yang terluka itu telah merebut sehelai kain dari tangan kawan kami. Mungkin harga sehelai kain tidak akan lebih mahal dari ujung kumisku. Tetapi penghinaan itu pantas ditebus dengan nyawanya. Apalagi seorang kawanku telah terluka parah.”

“Sudahlah Ki Sanak,“ berkata Ki Waskita, “anggap sajalah bahwa persoalannya sudah selesai. Seorang kawanmu terluka parah, dan seorang kawanku terluka parah pula.”

“Jangan gila!“ bentak orang berkumis itu. “Ia masih membawa kain batikku. Kain untuk ikat kepala yang dibuat secara khusus sesuai dengan keinginan guruku. Bahwa orang itu menyamun kain ikat kepala yang khusus itu merupakan penghinaan bagi seluruh perguruanku.”

“Jangan memperbodoh orang yang sudah terluka itu,“ berkata Ki Waskita, “kau tentu tahu pasti, lukisan apa yang terdapat pada sehelai kain yang kau sebut ikat kepala itu.”

Orang berkumis itu menjadi semakin tegang. Dipandanginya Ki Waskita dan Agung Sedayu berganti-ganti. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapa kau?”

“Aku datang bersama kawanku yang terluka ini,“ sahut Ki Waskita.

“Kalian orang-orang Mataram?“ desak orang berkumis itu.

“Ya,“ sahut Ki Waskita pula.

Orang itu tidak lagi dapat mengekang kemarahannya.

Selangkah ia maju sambil menggeram, “Kembalikan kain itu, apapun gunanya. Jika tidak, aku akan membunuh kalian. Kalian lihat, bahwa kami berenam. Kami dapat membunuh kalian dalam sekejap.”

“Maaf Ki Sanak,“ jawab Ki Waskita, “kain itu tidak pantas kau miliki. Mungkin kain itu tidak banyak gunanya bagi kami. Tetapi di tanganmu kain itu akan sangat berbahaya. Karena itu, lebih baik kain itu kami musnahkan daripada jatuh kembali ke tanganmu.“

“Persetan!“ geram orang berkumis itu. “Jika demikian, tidak ada jalan lain yang dapat kami tempuh. Kami akan membunuh kalian dan mengambil kain itu dari tangan kalian.”

“Perbuatan kalian sebenarnya telah melanggar paugeran Mataram. Dengan perbuatan kalian, berarti kalian telah menjual keterangan yang sangat berbahaya bagi Mataram. Apakah kalian tidak menyadari, bahwa tindakan yang demikian akan dapat dikenakan hukuman mati?”

“Siapa yang akan menghukum kami?“ bertanya orang berkumis itu.

“Raden Sutawijaya,“ jawab Ki Waskita.

Tiba-tiba saja orang itu tertawa berkepanjangan. Kawan-kawannyapun tertawa pula sehinggga tubuh mereka tergucang-guncang.

“Kami bukan kawula Raden Sutawijaya,“ jawab orang berkumis itu, “jika ia akan menghukum kami, kami persilahkan. Tetapi Raden Sutawijaya harus dapat menembus benteng pertahanan kami lebih dahulu.”

“Apa sulitnya? He, dimana benteng pertahananmu?“ bertanya Ki Waskita.

“Cukup!“ geram orang itu. “Bersiaplah untuk mati.”

Ki Waskita dan Agung Sedayu pun merasa, bahwa tidak ada kemungkinan lain yang dihadapinya selain bertempur. Karena itu, maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Yang akan mereka hadapi adalah enam orang yang nampaknya cukup garang.

Sejenak kemudian keenam orang itu telah menebar di seputar semak-semak yang tumbuh di antara pepohonan hutan. Senjata mereka yang garangpun mulai teracu. Orang berkumis itu ternyata menggenggam sebatang canggah bertangkai pendek. Seorang kawannya membawa tombak pendek dengan ujung tajam berduri pandan. Seorang yang lain membawa sebatang tongkat besi. Sedang yang lain lagi membawa pedang dan golok yang besar.

Ki Waskita tidak dapat bertempur dengan tangannya. Demikian pula Agung Sedayu. Jika ia tidak bersenjata, maka ia akan menjadi lebih garang. Namun ia tidak akan mempergunakan senjatanya sebagai ciri perguruannya. Dengan demikian maka ia akan mudah dikenal sehingga orang-orang itu akan dapat mengatakannya, bahwa ia telah bertemu dengan salah seorang dari orang-orang bercambuk dari Jati Anom.

Dalam pada itu, Ki Waskita pun telah mendekati orang terluka itu sambil berkata, “Berikan senjatamu.”

“Aku akan bertempur,“ geram orang yang terluka itu.

“Kau akan mendapat kesempatan untuk memampatkan lukamu. Jika darahmu terlalu banyak mengalir, maka kau akan mati. Dan kain itu tidak akan sampai kepada yang kau kehendaki,“ berkata Ki Waskita.

“Aku minta tolong kepada kalian,“ berkata orang itu.

“Jika demikian, berikan senjatamu,“ minta Ki Waskita.

Orang itu bagaikan terpukau oleh pesona yang tidak dapat dilawannya. Ia telah menyerahkan senjatanya kepada Ki Waskita. Sebilah pedang. Namun sementara itu, orang itu telah mencabut pisau belati di lambungnya. Bagaimanapun juga ia merasa perlu untuk melindungi dirinya sendiri dari pada keadaan tertentu.”

Agung Sedayu tidak dapat mengambil pisau belati itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menggapai sehelai sulur pepohonan hutan. Dengan sekali hentak, sulur itu telah putus di tengah, sehingga Agung Sedayu akan dapat mempergunakan ujungnya sebagai senjatanya.

“Orang-orang gila,“ geram orang berkumis itu, “ternyata kalian adalah orang-orang yang sangat sombong. Kalian sama sekali tidak bersiap dengan senjata kalian sendiri. Namun demikian kalian telah memberanikan diri melawan kami. Karena itu, maka kalian akan sangat menyesal karena kesombongan kalian itu.”

Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak menjawab. Mereka menempatkan diri sebelah menyebelah orang yang terluka itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa wajib untuk melindungi.

Ketika keenam orang itu melangkah mendekat, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita pun segera bersiap. Mereka harus menghadapi keenam orang yang akan menyerang mereka dari segala arah.

“Usahakan menyesuaikan dirimu,“ berkata Ki Waskita kepada orang yang telah terluka, “aku sudah mencoba mengulur waktu, agar obat di lukamu semakin memampatkan luka-lukamu itu. Tetapi jangan bergerak terlalu banyak, agar luka itu tidak berdarah lagi.”

Pengawal dari Mataram itu mengangguk. Tetapi iapun sudah bersiap dengan sebilah pisau belati yang panjang. Ia tidak boleh membiarkan orang-orang itu pada suatu saat menyusup dan membunuhnya tanpa perlawanan meskipun kain yang diperebutkan itu sudah dibawa oleh Agung Sedayu.

“Aku tidak takut mati,“ berkata pengawal itu di dalam hatinya, “tetapi mati sebagai seorang pengawal di peperangan.”

Ketika orang-orang yang mengejar pengawal itu mulai menggerakkan senjatanya, maka Agung Sedayu pun kemudian mulai memutar sulur di tangannya. Ia berusaha untuk menyesuaikan tangannya dengan sifat sulur itu. Ternyata bahwa sulur itu tidak terlalu lentur. Namun demikian dengan memotong sulur itu sepanjang rentangan kedua tangannya, maka Agung Sedayu dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Senjata itu agak lebih panjang dari jangkauan senjata lawan-lawannya.

Sejenak kemudian, maka Ki Waskita dan Agung Sedayu pun sudah mulai terlibat dalam pertempuran dengan keenam orang yang garang itu.

Keenam orang itu ternyata merasa sangat tersinggung melihat sikap Agung Sedayu yang melawannya hanya dengan sebatang sulur sepanjang rentangan tangan. Karena itu, maka merekapun berusaha untuk menghancurkannya pada serangan-serangan mereka yang pertama.

Namun keenam orang itu terkejut melihat kedua orang lawannya yang berusaha melindungi orang yang telah terluka itu. Meskipun mereka serentak menyerang dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan itu, namun Ki Waskita dan Agung Sedayu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Mereka mengelak dan dengan serta merta telah membalas serangan itu dengan serangan beruntun. Sementara itu, keduanya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melindungi pengawal Mataram yang terluka itu.

Keenam orang itu menjadi heran melihat kedua orang yang tiba-tiba saja telah melibatkan diri. Namun mereka sama sekali tak dapat mengenali ciri dari keduanya. Ki Waskita tidak mempergunakan ikat pinggangnya atau kain kepalanya sebagai senjatanya, sementara Agung Sedayu pun tidak mempergunakan cambuknya.

Dengan demikian maka keenam orang itu tidak dapat menyebutkan, siapakah sebenarnya lawan mereka.

Namun demikian, keenam orang itupun cukup garang. Mereka menyerang beruntun bagaikan badai. Seorang demi seorang menghambur dengan senjata di tangan dari arah yang berbeda. Kadang-kadang mereka berenam bergeser berputaran. Bahkan berlari-lari. Dengan tiba-tiba mereka berhenti berputar dan serentak menyerang dengan garangnya.

Karena itulah, maka Ki Waskita dan Agung Sedayu pun kemudian mengenali mereka, bahwa mereka adalah saudara-saudara seperguruan.

Karena itu, sambil bertempur Agung Sedayu bertanya, “He, apakah ilmu kalian bersumber dari perguruan yang sama?”

“Apa pedulimu?“ geram salah seorang dari mereka. “Aku dapat mengenalnya. Meskipun senjata kalian berbeda, tetapi bekal ilmu yang nampak pada kalian adalah sama. Yang membawa canggah bertangkai pendek, tombak pendek berduri pandan, tongkat besi maupun yang membawa golok dan parang.“ Berkata Agung Sedayu kemudian, “Namun ada di antara kalian yang berhasil mengembangkan ilmu kalian dengan baik, namun ada yang telah ditelusupi dengan tata gerak yang keras dan bahkan kasar.”

“Tutup mulutmu!“ bentak salah seorang dari mereka, “Sebentar lagi kalian akan mati.”

“Jangan terlalu kasar,“ desis Ki Waskita.

“Kalian banyak bicara,“ potong orang berkumis itu hampir berteriak.

Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak bertanya lagi. Merekapun kemudian menjadi sibuk. Bukan saja mengelak dan menangkis serangan lawan, tetapi keduanya harus melindungi pengawal Mataram yang terluka. Meskipun lukanya sudah pampat, tetapi jika ia harus melibatkan diri ke dalam pertempuran itu, maka luka itu akan berdarah lagi.

Dalam pada itu, keenam orang itupun menjadi semakin garang. Serangan mereka menjadi semakin kuat dan keras. Sekali-sekali mereka berusaha untuk memancing keduanya agar memisahkan diri. Tetapi Ki Waskita menyadari, bahwa dengan demikian orang-orang itu ingin mencari lubang untuk dapat menyerang pengawal Mataram yang terluka itu. Karena mereka menganggap bahwa kain yang mirip dengan ikat kepala itu masih berada pada orang itu.

Dengan demikian usaha memancing salah seorang atau kedua-duanya untuk menjauhi pengawal yang terluka itu tidak akan pernah berhasil. Sehingga karena itulah, maka pertempuran itu meskipun menjadi semakin seru namun tidak bergeser dari tempatnya. Jika Ki Waskita dan Agung Sedayu terpaksa bergeser, maka pengawal itu telah menyesuaikan dirinya, sehingga ia tetap berada dibawah perlindungan Ki Waskita dan Agung Sedayu.

Dalam pada itu, meskipun pengawal itu masih tetap menggenggam pisau belati di tangan, namun ia menjadi semakin percaya kepada kedua orang yang melindunginya. Sebenarnya-lah Ki Waskita dan Agung Sedayu adalah dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga meskipun keduanya harus menghadapi enam orang lawan, tetapi keenam orang itu seolah-olah tidak berdaya menghadapi keduanya.

Namun karena Ki Waskita dan Agung Sedayu terikat pada tempatnya, maka orang-orang itu selalu mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri dari libatan senjata Agung Sedayu dan Ki Waskita. Setiap kali mereka mengalami kesulitan, mereka segera meloncat menjauh, karena mereka mengetahui, bahwa Agung Sedayu maupun Ki Waskita tidak akan meloncat memburu.

Kelemahan itu disadari oleh Ki Waskita dan Agung Sedayu. Tetapi mereka memang tidak dapat berbuat lain. Jika salah seorang dari mereka mengejar lawannya, maka akan terbuka kesempatan bagi lawan yang lain untuk menyerang orang yang terluka itu.

Karena itu, maka akhirnya Ki Waskita dan Agung Sedayu mengambil kesimpulan, bahwa mereka harus melumpuhkan lawannya justru pada saat mereka menyerang. Jika keduanya tidak berbuat demikian, maka pertempuran itu akan menjadi berkepanjangan dan tidak akan dapat selesai dalam waktu yang panjang sekali.

Ternyata baik Ki Waskita dan Agung Sedayu mengambil keputusan dalam waktu yang hampir bersamaan meskipun keduanya tidak saling berbincang. Namun ditandai dengan perlawanan mereka, maka ternyata bahwa keduanya menginginkan pertempuran itu segera dapat diselesaikan.

Karena itulah, maka keenam orang itu semakin lama justru menjadi semakin bingung menghadapi kedua orang itu. Baik Agung Sedayu maupun Ki Waskita mulai bersikap keras pula menghadapi lawan-lawannya yang garang.

Dengan demikian, maka ketika salah seorang dari lawan-lawannya meloncat menyerang dari arah lambung, maka Ki Waskita seolah-olah membiarkan lambungnya terbuka. Karena itulah, maka dengan golok terjulur lurus ke depan, orang itu berusaha untuk menikam.

Namun, pada saat yang tepat, Ki Waskita sempat bergeser. Bahkan iatidak saja mengelak. Tetapi dengan serta merta, pedangnya telah memukul pedang lawan sedemikian kuatnya.

Pukulan Ki Waskita benar-benar tidak terlawan. Karena itu, maka orang yang dikenainya sama sekali tidak mampu bertahan. Dengan demikian maka golok yang terjulur lurus itupun telah melenting dari tangannya.

Demikian golok itu terjatuh, maka orang yang kehilangan senjatanya itu segera meloncat surut. Tetapi Ki Waskita tidak dapat memburunya, karena kawan-kawan orang itupun segera berloncatan menyerangnya pula.

Namun mereka tidak berhasil mengenai sasaran. Ki Waskita cukup tangkas untuk mengelak dan menangkis.

Sementara itu, ternyata pengawal dari Mataram yang terluka itupun bertindak cepat. Demikian golok seorang lawan jatuh tidak terlalu jauh daripadanya, maka dengan serta merta iapun telah memungutnya.

“Aku dapat melindungi diriku sendiri,“ berkata pengawal itu.

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Meskipun demikian ia tidak melepaskan pengawal itu sepenuhnya untuk bertempur dalam keadaan luka meskipun luka itu sudah diobati.

Agung Sedayu ternyata mempunyai cara yang lain. Agar ketiga lawannya tidak mengambil kesempatan untuk melawan orang yang terluka itu, maka ia telah melibat ketiga lawannya dengan kecepatan semakin tinggi, sehingga tidak seorangpun yang sempat meninggalkannya. Ketiga lawannya menjadi demikian sibuk melawan sepotong sulur di tangan Agung Sedayu yang berputar seperti baling-baling.

Karena pengawal yang terluka itu sudah bersenjata, dan nampaknya lukanya untuk sementara sudah pampat, maka Agung Sedayu tidak lagi terlalu terikat bertempur didekatnya. Bahkan iapun kemudian mendorong ketiga lawannya menjauh. Namun dalam kecepatan gerak yang semakin tinggi, ketiga lawannya menjadi semakin bingung pula.

Dalam pada itu, lawan Ki Waskita yang bersenjata tinggal dua orang. Namun yang telah kehilangan goloknya itu, telah mencabut pisau belatinya pula. Tetapi dengan senjata pendek, ia sama sekali tidak berarti bagi Ki Waskita.

Sementara kedua kawannya yang masih bersenjata utuh bertempur dengan gigihnya, orang yang kehilangan senjatanya itu mencoba untuk merayap mendekati pengawal yang telah terluka. Namun ternyata orang yang terluka itu dengan golok di tangannya berdiri tegak dengan garang menunggu seorang lawan yang bersenjata pisau belati.

“Gila,“ geram orang itu, “senjataku sudah di tangannya.”

Karena itulah, maka ia menjadi ragu-ragu.

Meskipun demikian ia telah memaksa diri untuk mendekat. Ia berharap bahwa orang yang terluka itu menjadi sangat lemah dan tidak akan mampu mempergunakan goloknya dengan sebaik-baiknya.

Pengawal yang terluka itu menyadari keadaannya. Karena itu, maka ia harus menyesuaikan diri. Ia tidak boleh terlalu banyak bergerak agar lukanya tidak berdarah lagi.

Karena itu, maka ia tetap berdiri tegak di tempatnya. Goloknya sajalah yang teracu siap menghadapi lawannya yang menjadi semakin dekat.

Tetapi orang itu tidak segera dapat menyerang pengawal yang terluka itu. Ia terkejut ketika ia mendengar seorang kawannya berdesah menahan sakit. Ketika ia berpaling, ia sempat melihat seorang kawannya terlempar dan jatuh terguling di tanah.

Tidak ada darah yang menitik dari tubuhnya. Tetapi ketika ia berusaha bangkit berdiri, maka sekali lagi ia terduduk dengan menyeringai menahan sakit. Kakinya menjadi bagaikan lumpuh setelah sulur di tangan Agung Sedayu sempat mengenainya.

Dalam pada itu, kedua orang kawannya yang lain berusaha untuk menyerang Agung Sedayu dengan sepenuh kemampuan agar Agung Sedayu tidak sempat memburu kawannya yang terjatuh. Tetapi Agung Sedayu memang tidak ingin memburunya. Demikian kedua lawannya itu menyerang maka ia telah bergeser surut, seolah-olah serangan kedua lawannya itu telah menekannya.

Namun ketika kedua lawannya itu memburunya, maka sekali lagi terdengar salah seorang dari keduanya berdesis. Sekali lagi salah seorang dari kedua lawan Agung Sedayu itu terdorong jatuh. Bukan kakinya yang bagaikan lumpuh, tetapi betapa punggungnya terasa sakit. Sulur yang lentur di tangan Agung Sedayu itu telah mengenai punggungnya, sehingga seolah-olah punggungnya menjadi patah.

Orang yang telah siap menyerang pengawal yang terluka itu menjadi ragu-ragu. Ia melihat lawan Agung Sedayu tinggal seorang Sementara itu, betapa orang itu terkejut, ketika sepasang tongkat besi yang terlempar hampir saja jatuh menimpa kepalanya. Ketika ia berpaling, ternyata lawan Ki Waskita yang seorang telah kehilangan senjatanya pula.

Keenam orang yang ternyata tidak mampu mengalahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita itu benar-benar telah kehilangan akal. Mereka tidak dapat mengharapkan sesuatu lagi. Mereka tidak akan berhasil mengalahkan kedua orang lawannya, apalagi untuk mendapatkan kain yang dibuat secara khusus itu.

Karena itu, maka perlawanan merekapun seolah-olah telah terhenti dengan sendirinya. Orang-orang yang masih bersenjata itupun mundur beberapa langkah.

“Nah Ki Sanak,“ berkata Ki Waskita, “bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian masih akan bertempur terus?”

Tidak seorangpun yang menjawab. Karena itu, Ki Waskitapun berkata, “Jika demikian, cepat, tinggalkan tempat ini sebelum kami mengambil keputusan lain. Jangan berusaha untuk menyusul kami lagi meskipun kalian sempat memanggil sepasukan kawan-kawan kalian, karena sebentar lagi, kami akan sampai ke suatu tempat, dimana kawan-kawan kami yang lebih banyak lagi telah menunggu. Mungkin di antara mereka terdapat orang-orang yang berjiwa lebih keras dari kami sekarang, sehingga kalian akan mengalami nasib yang lebih buruk.”

Orang-orang itu termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu berkata, “Cepat sedikit. Jangan menunggu kami kehabisan kesabaran.”

Orang-orang itu masih ragu-ragu. Namun merekapun kemudian segera bergeser surut. Orang orang yang kesakitan pun telah dibantu oleh kawan-kawan mereka menuju ke kuda masing-masing.

Meskipun demikian, orang-orang itu masih saja dicengkam oleh keheranan. Lawan-lawan mereka ternyata tidak membunuh mereka, meskipun seandainya mereka akan berbuat demikian, keenam orang itu tidak akan dapat mencegah lagi.

Bahkan pengawal Mataram yang terluka itupun merasa heran, bahwa begitu mudahnya orang-orang itu pergi meninggalkan medan.

Tetapi orang yang terluka itu tidak berkeberatan. Bagi pengawal itu, yang terpenting adalah kain yang telah dirampasnya dan dibawa oleh Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, pengawal itu tiba-tiba teringat kudanya yang telah dilepaskannya. Karena itu, maka katanya, “Tinggalkan seekor dari kuda-kuda kalian.”

Keenam orang itu termangu-mangu. Namun Agung Sedayu-lah yang menegaskan, “Tinggalkan seekor dari keenam kuda itu. Dua orang di antara kalian akan naik di seekor punggung kuda. Jika kuda kalian merasa terlalu berat, maka kalian dapat bergantian kuda.”

Keenam orang itu tidak membantah. Mereka meninggalkan seekor dari keenam kuda mereka. Dua orang di antara merekapun telah mempergunakan seekor kuda. Meskipun agak terlalu berat, tetapi kuda itupun dapat juga berlari meninggalkan hutan itu bersama dengan kuda-kuda yang lain.

Sepeninggal keenam orang itu, maka Ki Waskitapun segera berkata, “Kita tinggalkan tempat ini. Aku tidak yakin bahwa mereka tidak akan kembali dengan kawan-kawan mereka yang lain.”

Pengawal dari Mataram itupun mengangguk. Apalagi setelah ada seekor kuda baginya, sehingga ia tidak perlu bersusah payah mencari kudanya.

Sejenak kemudian ketiga orang itu telah berada di punggung kuda. Agung Sedayu yang telah mendapat kepercayaan untuk membawa ikat kepala itupun berkuda di paling depan. Diikuti oleh pengawal yang terluka itu. Di paling belakang adalah Ki Waskita yang telah menyerahkan kembali senjata pengawal dari Mataram itu.

Bertiga mereka meninggalkan hutan yang tidak terlalu lebat itu setelah mereka membenahi pakaian mereka.

Ketiga orang itu memang tidak banyak menarik perhatian. Meskipun demikian beberapa orang berpaling ketika mereka melihat tiga orang berkuda dengan cepat menuju ke arah Mataram.

“Mau tidak mau, kalian harus singgah,“ berkata pengawal itu.

Agung Sedayu memandang Ki Waskita sejenak. Namun kemudian iapun bergumam, “Ya. Aku akan singgah.”

Dalam pada itu, ketika mereka menyeberang Kali Opak, mereka sempat berhenti sejenak. Membersihkan tubuh mereka dengan air yang bening untuk mendapatkan kesegaran baru sambil memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk beristirahat.

Ketika orang itu saling berpandangan ketika mereka yang sedang duduk di bawah sebatang pohon perdu yang rimbun itu melihat tiga orang berpacu di atas punggung kuda. Tetapi ketiga orang itu tidak berpaling ke arah mereka dan melintas dengan cepat menyeberangi Kali Opak yang kebetulan airnya tidak sedang meluap itu.

“Siapa mereka?“ bertanya Agung Sedayu kepada pengawal dari Mataram itu.

Tetapi pengawal itu menggeleng sambil menjawab, “Aku belum mengenalnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Aku masih belum mendengar ceritamu tentang kain yang kalian perebutkan itu.”

Pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Secara kebetulan, seorang juru soga mengatakan kepadaku bahwa ada sejenis kain ikat kepala yang aneh. Menurut ceritanya, aku dapat meraba bahwa kain yang dibuat seperti ikat kepala itu mempunyai nilai tersendiri. Karena itu, aku telah datang ke tempat yang disebut dimana orang itu bekerja. Tetapi ketika aku sampai ke tempat itu, ikat kepala yang sudah siap itu telah dibawa oleh pemiliknya. Belum lama, pada saat aku datang. Tanpa memberikan laporan kepada siapapun juga, aku menyusul mereka. Tetapi dua orang yang disebut dengan ciri-ciri sebagai orang yang mengambil ikat kepala itu, menyadari bahwa aku mengikutinya. Karena itu, maka keduanyapun berpacu semakin lama semakin cepat.”

“Kau menyusulnya sampai hampir Sangkal Putung?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Aku tidak dapat berbuat lain ketika keduanya sama sekali tidak mau memperlambat kuda mereka,“ berkata pengawal itu. Lalu. “Tetapi kami benar-benar saling mengejar setelah kami melampaui Kali Opak. Sebelumnya aku hanya mengikutinya saja. Bahkan keduanya masih sempat memberi kesempatan kuda mereka minum. Akupun dapat berbuat demikian pula. Namun ketika aku merasa bahwa kedua orang itu agaknya menjadi semakin dekat dengan suatu tempat yang dapat membahayakan aku, maka aku baru bertindak atas mereka. Aku bertempur melawan dua orang. Aku menganggap bahwa orang yang terkuat dari keduanya-lah yang tentu membawa ikat kepala itu. Karena itu, maka seranganku lebih banyak aku tujukan kepadanya. Ketika ia terluka, maka kawannya telah meninggalkannya atas perintahnya. Aku tahu, mereka akan memanggil kawan-kawannya. Dalam pertempuran antara hidup dan mati, aku telah terluka. Tetapi aku berhasil membinasakan lawanku. Seperti yang aku duga, kain itu ada padanya. Sebagaimana kalian lihat, kain itu dapat aku rebut. Namun aku sadar, bahwa kawannya yang seorang itu akan kembali dengan kawan-kawannya. Karena itu, aku telah meninggalkan lawanku. Ternyata sebagaimana kalian ketahui, kawan-kawannya telah menelusuri jejakku sampai mereka menemukan aku di hutan itu. Agaknya merekapun mengerti bahwa aku terluka. Mungkin lawanku itu belum mati, mungkin tetesan darah di sepanjang perjalananku, telah memberitahukan kepada orang-orang itu.”

“Siapakah sebenarnya mereka? Apakah mereka orang-orang yang tinggal di sekitar arena pertempuran itu? Apakah kau yakin bahwa tempat tinggal mereka tidak begitu jauh?“ bertanya Ki Waskita.

“Aku melihat gelagat itu. Jika seseorang meninggalkan arena untuk memanggil kawannya, maka tempat tinggalnya tentu tidak terlalu jauh,“ jawab pengawal itu.

Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun dengan demikian mereka telah mendapat gambaran, bahwa di sepanjang garis hubungan Pajang dan Mataram, telah ditanam orang-orang yang mempunyai tugas-tugas tertentu, yang telah diatur sebaik-baiknya. Namun mereka bukannya prajurit-prajurit Pajang yang sebenarnya dalam tugas sandi. Mereka adalah orang-orang yang memang khusus melakukannya bagi satu kepentingan tertentu.

“Mereka tidak saja mengawasi Mataram,“ berkata Agung Sedayu, “tetapi juga Jati Anom. Karena orang-orang itu tidak yakin akan apa yang dilakukan olen Kakang Untara.“

“Ya,“ jawab Ki Waskita, “bahkan juga Sangkal Putung tentu mendapat pengawasan yang khusus pula.”

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Ia sependapat dengan Ki Waskita. Karena itu, maka baik Jati Anom maupun Sangkal Putung harus menyadari keadaan itu.

Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak ingin kembali ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung. Ia harus mengantarkan pengawal itu menyerahkan ikat kepala yang aneh, yang telah direbutnya dari kedua orang yang tidak dikenalnya.

Sejenak kemudian, maka Ki Waskitapun berkata, “Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan ketiga orang berkuda itu tidak akan menghambat perjalanan kita lagi.”

Agung Sedayu dan pengawal dari Mataram itupun kemudian berdiri sambil mengibaskan pakaian mereka. Luka pengawal itu nampaknya sudah benar-benar pampat, meskipun masih terasa sakit sekali.

Dengan hati-hati pengawal itu meloncat ke punggung kudanya. Demikian pula Agung Sedayu dan Ki Waskita. Merekapun kemudian meninggalkan Kali Opak setelah tubuh mereka merasa segar. Terutama pengawal yang terluka itu.

Meskipun demikian, mereka tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Tiga orang berkuda yang berpacu ke arah Mataram itu memang mendebarkan. Mungkin mereka adalah pemimpin-pemimpin dari sekelompok orang yang telah membuat ikat kepala khusus yang mempunyai nilai tersendiri itu. Karena harganya tidak saja sebagaimana ikat kepala biasa, tetapi keterangan yang termuat di ikat kepala itulah yang mempunyai harga yang sangat mahal.

Tetapi untuk beberapa saat mereka tidak terganggu. Mereka menyusuri jalan yang masih banyak dilalui orang. Orang-orang berkuda, pedati dan orang-orang yang berjalan kaki. Mungkin seseorang yang sekedar ingin berkunjung ke padukuhan sebelah. Tetapi mungkin orang yang berjalan jauh.

Namun akhirnya ketiga orang itu menyadari, bahwa di belakang mereka dua orang berkuda mengikutinya. Jika ketiga orang itu mempercepat lari kudanya, kedua orang itupun mempercepatnya pula. Jika Agung Sedayu, Ki Waskita dan pengawal Mataram itu memperlambat kudanya, maka keduanya pun memperlambat pula.

“Apakah artinya?“ desis Agung Sedayu.

“Kita harus berhati-hati,“ berkata Ki Waskita, “mereka mungkin mempunyai hubungan erat dengan keenam orang itu. Agaknya keenam orang itu telah kembali ke sarang mereka dan melaporkan apa yang telah terjadi.”

“Tiga orang yang terdahulu, tentu kawan-kawan mereka pula,” sahut pengawal dari Mataram itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya mereka benar-benar ingin memiliki ikat kepala ini.”

“Kita akan mempertahankannya,“ berkata pengawal itu, “ikat kepala itu akan memberikan keterangan yang gamblang tentang Mataram. Kekuatan dan kelemahan. Lubang-lubang yang dapat disusupi dan dinding-dinding yang tidak mungkin dapat diterobos lagi.”

“Ya. Kita akan mempertahankannya,“ ulang Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, mereka terkejut ketika di sebelah sebuah warung mereka melihat seseorang berdiri di bawah sebatang pohon mlandingan. Dengan ragu-ragu orang itu memberikan isyarat agar Agung Sedayu berhenti.

“Jangan turun,“ berkata orang itu, “dengar sajalah. Kedua orang yang mengikutimu itu adalah orang-orang yang pilih tanding. Merekalah yang akan membeli ikat kepala yang kau rampas dari kawanku itu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Baru kemudian ia sadar, bahwa orang itu adalah salah seorang dari enam orang yang telah mencari pengawal Mataram di hutan itu.

Agung Sedayu, Ki Waskita dan pengawal dari Mataram itu berhenti. Tetapi mereka tidak turun dari kuda sebagaimana diminta oleh orang itu.

“Kami tahu, bahwa kalian beristirahat di kali Opak. Tetapi kami pura-pura tidak mengetahuinya. Karena itu kami berpacu terus. Sementara kedua orang itu yang berkuda di belakang kami, tentu akan melihat kalian bertiga,” berkata orang itu.

“Apakah mereka mengenal kami?“ bertanya Ki Waskita.

“Ciri-ciri kalian,“ jawab orang itu, “karena itu, jika kalian mendapat kesempatan, menghindarlah. Mereka sama sekali tidak mengenal ampun.“ Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Aku memberitahukan hal ini karena kami berenam merasa berhutang budi, bahwa kalian tidak membunuh kami.”

Agung Sedayu tidak sempat berpikir terlalu lama, karena orang itu berkata, “Mereka tentu menjadi semakin dekat. Mungkin mereka curiga bahwa kalian berhenti terlalu lama.”

“Berikan senjatamu,“ desis Agung Sedayu.

Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun tiba-tiba Agung Sedayu justru meloncat turun sambil berkata, “Aku akan singgah di warung ini.”

“Menghindarlah,“ minta orang itu.

“Tidak mungkin. Mereka akan mengikuti kami sampai dimanapun juga.”

Ki Waskita yang tanggap akan maksud Agung Sedayu pun telah meloncat turun pula diikuti oleh pengawal dari Mataram itu.

“Tinggalkan kami. Kami akan singgah di warung itu. Tetapi berikan senjatamu, lengkap dengan sarungnya,“ minta Agung Sedayu.

Orang itu tidak dapat berpikir terlalu lama pula. Karena itu, maka diberikannya goloknya beserta sarungnya kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu bergeser mendekat. Diterimanya golok yang masih berada di dalam sarungnya itu. Kemudian katanya, “Kau sajalah yang menghindar.”

“Kami memang tidak akan berani menampakkan diri. Tetapi sekali lagi aku mencoba memperingatkanmu, menghindarlah. Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat berpikir selain membunuh,“ berkata orang itu.

Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Agung Sedayu dan Ki Waskita pun kemudian menuntun kuda mereka mendekati warung di pinggir jalan it,u diikuti oleh pengawal dari Mataram yang terluka. Sambil mengikat kuda mereka di sebatang pohon mlanding di sebelah warung itu, pengawal dari Mataram itu bertanya, “Apakah kita memang tidak akan menghindar?”

“Tidak ada gunanya,“ sahut Agung Sedayu sambil memandang kedua penunggang kuda yang sudah menjadi semakin dekat. Sementara orang yang memberikan senjata kepadanya telah hilang di balik pohon-pohon perdu dan kembali ke tempatnya bersembunyi bersama kawan-kawannya.

Agung Sedayu telah menggantungkan golok itu di pinggangnya. Kemudian mereka bertigapun memasuki sebuah warung yang tidak begitu besar di pinggir jalan itu. Beberapa orang telah berada di dalam warung itu dan sedang menikmati minuman panas dan beberapa jenis makanan.

“Aku akan mempergunakan senjatamu lagi,“ bisik Ki Waskita kepada pengawal dari Mataram yang terluka itu.

Pengawal yang terluka itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku telah memaksa kalian terlibat dalam persoalan yang bukan menjadi tanggung jawab kalian.”

“Itu adalah kewajiban kami,“ berkata Ki Waskita, “kami tidak tahu pasti, siapakah orang-orang itu. Karena itu, kewajiban kami membantumu menyelamatkan kain yang memuat petunjuk-petunjuk tentang isi Mataram itu.”

Agung Sedayu yang duduk lebih dahulu dari Ki waskita kemudian telah memesan tiga mangkok minuman panas. Sementara pengawal yang terluka itupun telah duduk di sisinya, disusul oleh Ki Waskita.

Justru karena pengawal itu kemudian duduk, maka pakaiannya yang kotor dan bernoda merah kehitam-hitaman telah menarik perhatian orang-orang yang lebih dahulu berada di warung itu. Bahkan ada di antara mereka yang tiba-tiba menjadi cemas melihat ketiga orang yang datang dengan senjata yang besar di lambung. Sehingga karena itu, maka merekapun segera menyelesaikan minuman mereka dan membayar harganya.

Sementara itu, kedua orang berkuda yang mengikuti Ki Waskita dan Agung Sedayu itupun telah berhenti pula di muka warung itu. Ketika keduanya kemudian turun dan masuk pula ke dalam warung setelah mengikat kuda mereka, maka orang-orang yang terdahulu berada di warung itupun menjadi semakin gelisah. Satu-satu mereka meninggalkan warung itu setelah mereka membayar minuman dan makanan yang telah mereka makan.

Yang kemudian menjadi sangat gelisah adalah pemilik warung itu. Memenuhi pesanan Agung Sedayu dan kedua orang yang bersamanya, maka pemilik warung itu telah membuat tiga mangkuk minuman dan beberapa jenis makanan yang diletakkannya dalam sebuah tambir kecil.

Tetapi ketika ia akan menyerahkan minuman panas itu, maka tiba-tiba salah seorang dari kedua orang yang datang kemudian itu berkata, “Serahkan minuman itu kepada kami.”

Pemilik warung itu tertegun. Dipandanginya kedua orang itu, kemudian dipandanginya pula Agung Sedayu.

Namun nampaknya Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Bahkan ketika ia melihat pemilik warung itu kebingungan, iapun mengangguk kecil untuk memberi isyarat agar minuman itu diberikan kepada kedua orang yang datang kemudian itu.

Pemilik warung itu menarik nafas dalam-dalam. Ia berharap bahwa dengan demikian tidak akan terjadi apa-apa di warungnya yang tidak terlalu besar itu.

Dengan tegang iapun kemudian menyerahkan ketiga mangkuk minuman itu kepada dua orang yang datang kemudian. Setelah meletakkan minuman itu di hadapan keduanya, maka pemilik warung itu telah membuat minuman baru yang akan diberikannya kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu, Ki Waskita dan pengawal dari Mataram itu sama sekali tidak menghiraukan kedua orang yang datang kemudian itu. Mereka duduk di atas amben bambu di sebelah geledeg makanan yang rendah. Ketika tiga mangkuk minuman kemudian telah diserahkan kepada mereka, maka mereka bertigapun mulai meneguknya dan kemudian memungut beberapa potong makanan yang disediakan pada tambir-tambir kecil.

Justru sikap Agung Sedayu dan kedua orang yang bersamanya itu telah membuat kedua orang yang mengikutinya itu semakin bergejolak. Mereka menganggap bahwa orang-orang itu telah mengabaikannya.

Karena itu, maka keduanya mulai berbuat sesuatu untuk menarik perhatian Agung Sedayu, Ki Waskita dan pengawal dari Mataram itu. Salah seorang dari keduanya telah berdiri dan mendekati geledeg rendah tempat makanan. Sambil memilih makanan yang terdapat di beberapa tambir diatas geledeg rendah itu. orang itupun bergeremang, “Tidak ada makanan yang nampaknya sesuai.”

Namun di luar dugaan, maka orang itupun kemudian mendekati Agung Sedayu. Langsung saja ia mengambil tambir kecil yang diletakkan di hadapannya.

“Nah, ini baru makanan,“ desisnya.

Pemilik warung itupun menjadi semakin gelisah. Makanan di tambir kecil itu diambilnya juga dari antara makanan di atas geledeg. Namun kedua orang yang datang kemudian itu agaknya memang ingin membuat persoalan.

Tetapi Agung Sedayu, Ki Waskita dan pengawal dari Mataram itu ternyata tidak berbuat apapun juga. Bahkan Agung Sedayu masih sempat berkata, “Silahkan Ki Sanak. Kami sudah cukup.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi dibawanya juga makanan itu kepada kawannya.

Pengawal yang terluka itu tidak berbuat apa-apa. Namun ialah yang justru hampir tidak dapat menahan diri lagi. Baginya sikap orang itu benar-benar telah membakar dadanya.

Namun iapun masih teringat pesan orang yang menghentikannya di sebelah warung itu. Kedua orang yang mengikutinya, itu adalah orang yang luar biasa. Bahkan orang yang menghentikannya itu menganjurkan, agar mereka bertiga lebih baik menyingkir saja.

Karena itu, maka pengawal dari Mataram itu masih juga menahan diri. Ia berbuat seperti apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Ki Waskita.

Sementara itu Agung Sedayu dan Ki Waskita seolah-olah sama sekali tidak menghiraukan kedua orang itu. Bahkan seakan-akan tidak ada orang lain di warung itu kecuali mereka berdua.

Dalam pada itu, kedua orang yang mengikuti Agung Sedayu itu justru menjadi kecewa melihat sikap ketiga orang itu. Mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa.

Namun karena itu, maka mereka berdua pun telah mencari persoalan baru yang mungkin akan dapat membuat ketiga orang itu tersinggung.

Tetapi agaknya salah seorang dari kedua orang itu tidak telaten. Kepada kawannya ia berdesis, “Kita tidak usah mencari-cari perkara. Kita langsung dapat bertanya kepada mereka, sehingga dengan demikian persoalan kita akan cepat selesai. Waktu kita tidak terlalu banyak untuk bermain-main dengan tikus-tikus curut itu.”

Kawannya menarik nafas panjang. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan bertanya saja langsung kepada mereka. Agaknya mereka bukan orang-orang jantan yang berani mempertahankan harga dirinya. Mereka membiarkan diri mereka terhina tanpa berbuat apa-apa.”

Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

Kawannyapun kemudian mendehem sekali. Dengan ragu-ragu ia pun mendekati Agung Sedayu yang duduk di paling ujung.

“Ki Sanak,“ berkata orang itu, “apakah kerja kalian di sini?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Sebagaimana kau tahu Ki Sanak. Kami sedang menyegarkan badan kami dengan minuman panas ini.”

“Bagus,“ jawab orang itu, “darimanakah kalian bertiga ini?”

“O,“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Kami adalah orang-orang Randusari.”

“Dan kalian akan pergi kemana?“ desak orang itu pula.

Agung Sedayu memandang orang itu sejenak. Lalu jawabnya, “Kami akan pergi ke Pliridan.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Jangan mencoba membohongi kami berdua Ki Sanak. Mungkin kalian dapat berkata demikian kepada orang lain. Tetapi tidak kepada kami berdua.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah bedanya dengan kalian dengan orang lain?”

Orang itu menjadi tegang mendengar pertanyaan Agung Sedayu. Dengan nada meninggi ia berkata, “Aku mengerti. Jadi kalian memang sudah dengan sengaja menunggu kami berdua ya? Pertanyaanmu itu adalah satu pernyataan, bahwa kalian memang sudah mempunyai sikap tertentu. Bukankah dengan demikian kalian ingin mengatakan bahwa kami berdua bukan apa-apa?”

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Bukan begitu Ki Sanak. Aku sama sekali tidak bermaksud berkata demikian. Tetapi aku benar-benar ingin bertanya tentang diri kalian berdua.”

“Omong kosong,“ yang seorang lagi agaknya sudah tidak sabar. Sambil berdiri ia berkata, “Katakan, dimana ikat kepala yang kalian rampas dari dua orang kawanku itu.”

Agung Sedayu menjadi tegang. Persoalannya memang tidak akan dapat dibatasi lagi. Iapun sudah menduga, bahwa ia tidak akan dapat mengelak dari tindak kekerasan.

Sementara itu, pemilik warung itupun menjadi semakin ketakutan. Jika terjadi sesuatu di dalam warungnya sehingga barang-barangnya akan menjadi rusak, maka ia akan mengalami kerugian yang baginya sangat besar. Namun untuk mencegahnya, pemilik warung itu tidak akan mampu melakukannya.

Namun dalam pada itu. Agung Sedayu pun berkata, “Ki sanak. Apakah yang sebenarnya kalian inginkan? Kalian telah mengikuti kami sejak kami naik Kali Opak, sehingga kami membuat orang lain menjadi cemas tentang diri kami.”

“Kau memang sombong anak muda,“ jawab orang itu, “aku sudah berkata berterus terang. Berikan ikat kepala yang kalian rampas dari kawan kami. Aku tidak peduli dimana aku menghentikan kalian. Dimanapun tidak akan ada bedanya bagi kami. Kami sudah siap untuk membunuh jika kalian tidak menyerahkan ikat kepala itu.

“Ikat kepala yang mana yang kalian maksudkan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Jangan berpura-pura. Serahkan atau aku terpaksa membantaimu di dalam warung ini,“ geram orang itu.

“Baiklah. Kami tidak akan ingkar. Bahkan dengan demikian kami mengetahui, siapakah sebenarnya yang memerlukan keterangan tentang kota Mataram,“ jawab Agung Sedayu, “he, Ki Sanak. Apakah yang sebenarnya kalian kehendaki dari gambar pada ikat kepala itu? Dan untuk siapakah sebenarnya kalian bekerja? Untuk Tumenggung Prabadaru? Atau orang lain yang memiliki mimpi yang sama dengan Tumenggung itu?”

“Gila,” geram orang itu, “siapakah kau sebenarnya?”

“Kami adalah pengawal-pengawal dari Mataram. Kami sangat berkepentingan dengan ikat kepala itu.”

“Tetapi kalian merampasnya. Bahkan kalian telah dengan sombong mengalahkan keenam orang kawanan kelinci itu dan tidak membunuh mereka,“ berkata salah seorang dari kedua orang itu, “tetapi kalian akan sangat menyesal. Dengan demikian kami berdua telah mendapat keterangan tentang kalian bertiga. Seorang di antara kalian telah terluka.”

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “seorang kawan kami terluka. Tetapi kami sudah bertekad untuk menyelamatkan kota Mataram. Segala keterangan tentang kota itu, yang disusun untuk maksud buruk, harus kami rampas dan kami serahkan kepada Raden Sutawijaya.”

Wajah kedua orang itu menjadi menyala. Terutama bahwa anak muda itu benar-benar ingin mempertahankan ikat kepala yang telah dirampas dari tangan dua orang pemiliknya, sehingga kedua orang itu telah gagal membelinya.

Karena itu, maka kedua orang itu agaknya tidak mempunyai pilihan lain kecuali merampasnya kembali dengan paksa.

“Jangan menyesal jika kami berdua akan membunuh kalian bertiga,“ geram salah seorang dari kedua orang itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya sekilas wajah Ki Waskita, ternyata Ki Waskita mengangguk kecil, seolah-olah ia memberikan isyarat bahwa yang dilakukan oleh Agung Sedayu sudah benar.

Sementara, pengawal dari Mataram itupun hampir tidak dapat menahan diri. Namun iapun sadar, bahwa karena lukanya, maka tidak akan banyak yang dapat dilakukannya. Meskipun lukanya sudah mampat oleh obat Ki Waskita, namun jika ia terlalu banyak bergerak, maka luka itu tentu akan berdarah lagi. Namun jika perlu, apa boleh buat. Tentu lebih baik baginya untuk bertempur lagi daripada ia harus dibantai tanpa perlawanan.

Namun dalam pada itu, pemilik warung itu benar-benar menjadi cemas. Yang berada di dalam warung itu adalah seluruh miliknya. Seluruh yang dipunyainya untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya. Jika orang-orang itu berkelahi dan merugikan warung dan barang-barang dagangannya, maka ia akan kehilangan segala-galanya sehingga ia tidak akan dapat bekerja lagi untuk menghidupi anak dan istrinya.

Tetapi ternyata Agung Sedayu dapat mengerti akan kecemasannya. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Jika kita bersamaan kepentingan dengan ikat kepala itu sehingga kita akan memperebutkan, maka sebaiknya kita tidak berada di dalam warung yang sempit. Di belakang warung ini aku kira ada kebun yang cukup luas. Kita dapat bertempur dengan segenap kemampuan kita. Sehingga kita benar-benar akan dapat mengukur kemampuan di antara kita, siapakah yang sebenarnya lebih berhak memiliki ikat kepala itu.”

“Anak setan!“ geram salah seorang dari keduanya, “Kau benar-benar sombong. Baiklah, kita akan bertempur di belakang warung ini. Aku ingin merobek mulutmu yang besar itu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian bangkit dan berkata, “Marilah. Pergilah lebih dahulu.”

“Kalian akan lari?“ geram orang itu.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Jika aku akan lari, aku tidak akan berhenti di warung ini. Kami memang telah menunggu kalian, karena kalian telah mengikuti kami. Kami sudah menduga, bahwa kalian berkepentingan dengan ikat kepala ini.”

Kedua orang itu tidak dapat menahan diri lagi. Keduanya pun kemudian melangkah keluar lewat pintu butulan sambil berkata, “Cepat. Nampaknya kalian ingin menunjukkan bahwa kalian adalah laki-laki.”

Agung Sedayu yang telah membawa golok yang besar milik orang yang telah menghentikannya dan memberitahukan kehadiran dua orang yang berilmu tinggi itu, diikuti oleh Ki Waskita yang bersenjata pedang milik pengawal dari Mataram yang terluka itu, segera keluar dari warung itu pula. Pengawal Mataram yang terluka itupun mengikuti pula sambil menyiapkan sebilah pisau belati panjang. Jika keadaan memaksanya untuk bertempur, maka pisau belati itu akan dapat dipergunakannya sebagai senjata.

Pemilik warung itu menjadi gemetar. Ia sama sekali tidak dapat mencegah apa yang terjadi. Bahkan kemudian ia telah mencari anaknya dan mengajaknya masuk ke dalam warung bersama istrinya.

“Apa yang terjadi Ayah?“ bertanya anaknya yang masih kecil.

“Entahlah,“ jawab ayahnya, “tetapi di sini sajalah. Mereka akan berkelahi.”

“Kenapa?“ bertanya istrinya.

“Aku tidak tahu persoalannya,“ jawab pemilik warung itu.

Sementara itu, kedua orang yang berkepentingan dengan ikat kepala itu berdiri pada jarak beberapa langkah. Dengan wajah yang merah membara mereka menunggu kehadiran Agung Sedayu dan Ki Waskita, sementara pengawal yang terluka itu berdiri di teritisan warung itu.

“Marilah, sebaiknya kalian bertempur bertiga,“ berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Kalian hanya berdua,“ jawab Ki Waskita.

“Persetan,“ potong yang lain, “ternyata bukan hanya yang muda saja yang terlalu sombong. Yang tuapun tidak kalah sombongnya sehingga mendorong keinginanku untuk membawamu kepada kawan-kawanku. Kau tentu akan dapat menjadi alat permainan yang menyenangkan.”

“Apapun yang akan kalian lakukan, tetapi katakan siapakah sebenarnya kalian?“ bertanya Ki Waskita.

Pertanyaan itu membuat keduanya tertawa. Sambil mengangkat wajahnya salah seorang dari keduanya berkata, “Itulah sebabnya, kalian jangan terlalu cepat menyombongkan diri sebelum kalian tahu, dengan siapa kalian berhadapan.”

“Ya, dengan siapa kami telah berhadapan,” sahut Agung Sedayu.

“Jika kau memang orang-orang yang terbiasa bergaul dengan ilmu kanuragan, kalian tentu pernah mendengar nama kebesaran kami,“ jawab yang seorang, “kamilah Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar.” Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan sekejap, sementara pengawal dari Mataram yang berada di teritisan itupun mengerutkan keningnya. Bahkan Agung Sedayupun kemudian mengulanginya, “Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar? Maaf Ki Sanak, kami belum pernah mendengarnya.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Jika demikian kalian adalah orang-orang kerdil yang tidak tahu apapun tentang dunia olah kanuragan. Jika demikian, sebaiknya kalian jangan membunuh diri dengan cara yang sangat mengerikan. Ketahuilah, bahwa aku terbiasa membunuh orang yang menentang kehendakku dengan cara paling baik.”

Agung Sedayu memandang Ki Waskita sekilas. Ia sekedar ingin memberi isyarat bahwa kedua orang itu agaknya memang orang yang berilmu.

Ki Waskita nampaknya mengerti maksud Agung Sedayu, sehingga iapun mengangguk kecil. Bahkan sorot matanyapun meyakinkan, bahwa ia akan menghadapi salah seorang dari kedua orang itu dengan bersungguh-sungguh.

Karena itu, maka Agung Sedayu itupun berkata, “Ki Sanak yang bergelar Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar. Kami sama sekali tidak ingin bertentangan dengan siapapun juga. Juga dengan Ki Sanak berdua. Apalagi membunuh diri dengan cara apapun juga. Yang sedang kami lakukan adalah tugas keprajuritan kami karena kami adalah pengawal-pengawal dari Mataram.”

Kedua orang itu menggeram. Salah seorang berkata, “Apapun yang kau katakan, tetapi kalian berdua memang harus mati. Jika kami tidak membunuh kalian bertiga, maka kami tidak akan mendapatkan kain yang kami perlukan itu.”

Agung Sedayu melihat keduanya mulai bergeser. Karena itu, maka iapun telah melangkah menjauhi Ki Waskita, sehingga dengan demikian, seolah-olah kedua orang itu telah dihadapi oleh seorang lawan.

Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar itu mengumpat. Kedua orang yang mengaku pengawal dari Mataram itu belum pernah mendengar kebesaran namanya sehingga keduanya sama sekali tidak terganggu oleh kebesaran nama itu.

Ketika kedua orang itu benar-benar mulai menyerang, maka keduanya telah mempergunakan senjatanya. Keduanya telah menarik sebilah luwuk yang berwarna kehitaman dengan pamor yang cerah berkilat.

“Luar biasa,“ desis Agung Sedayu di dalam hatinya, “yang dipergunakan itu benar-benar pusaka yang menggetarkan.”

Ki Waskita pun mengerutkan keningnya pula melihat senjata orang-orang yang menyebut diri mereka Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar. Tetapi Ki Waskita adalah orang yang berpengalaman sangat luas, sehingga karena itu, maka iapun segera dapat menyesuaikan hatinya menghadapi senjata yang luar biasa itu.

Meskipan luwuk itu tidak begitu besar, namun cukup panjang untuk mengimbangi senjata pedang. Apalagi jika luwuk semacam itu berada di tangan orang-orang yang mumpuni.

Karena itu, ketika luwuk itu mulai berputar. Agung Sedayu dan Ki Waskita pun telah menarik senjata masing-masing. Agung Sedayu dengan sebilah golok yang besar, sedangkan Ki Waskita mempergunakan pedang pengawal dari Mataram itu, karena keduanya tidak ingin mempergunakan ciri mereka masing-masing, sehingga orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu akan berkata, bahwa yang merebut kain yang bergambar tlatah Mataram itu adalah orang bercambuk dari Jati Anom.

Kedua orang yang menyebut diri mereka Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar itu sudah tidak sabar lagi. Mereka mulai bergerak untuk menyerang dengan senjata-senjata mereka yang luar biasa. Namun kedua orang lawan merekapun telah bersiaga sepenuhnya pula.

Agung Sedayu sadar, bahwa goloknya adalah golok kebanyakan. Sama sekali bukan golok yang mempunyai kelebihan seperti luwuk lawannya. Karena itu, maka iapun harus mempergunakan sebaik-baiknya sehingga dalam benturan-benturan kekuatan, golok itu tidak mengalami nasib buruk.

Agaknya demikian pula perhitungan Ki Waskita atas pedang yang dipergunakannya. Pedang itu adalah pedang seorang pengawal yang dibuat dalam jumlah yang banyak, sehingga pedang itupun tidak memiliki kelebihan apapun juga.

Meskipun demikian bukan berarti bahwa keduanya tidak dapat mempergunakan senjata-senjata itu untuk melawan. Karena bagaimanapun juga tangan-tangan yang menggenggam senjata itupun ikut menentukan.

Sejenak kemudian, maka terjadilah pertempuran antara dua orang yang menyebut dirinya Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar melawan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Dua orang yang sebenarnya tidak mempunyai persoalan apapun juga dengan Sepasang Pertapa itu. Tetapi karena keduanya merasa wajib menyelamatkan ikat kepala yang khusus itu, maka keduanya telah melibatkan diri ke dalam pertempuran.

Pertempuran itu telah menyala di dua lingkaran. Agung Sedayu melawan salah seorang dari kedua orang Pertapa itu, sementara Ki Waskita melawan yang seorang lagi.

Dalam beberapa saat kemudian, telah terjadi sentuhan-sentuhan senjata antara mereka. Kedua orang pertapa itu mengerti, bahwa lawan-lawannya berusaha untuk tidak membuat sentuhan langsung dengan senjata-senjata mereka. Karena itu, maka mereka justru dengan berani menyerang dengan senjata mereka.

Tetapi kedua lawannya ternyata cukup tangkas. Mereka mampu bergerak cepat dan menangkis serangan-serangan kedua pertapa itu dengan sangat hati-hati, sehingga tidak pernah terjadi benturan langsung antara senjata-senjata mereka.

Namun agaknya kedua belah pihak masih belum mengerahkan ilmu mereka yang paling baik. Kedua belah pihak masih berusaha menjajagi kemampuan lawan. Meskipun demikian, karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, maka merekapun telah bergerak dengan cepat dan kuat.

Pengawal dari Mataram yang terluka, yang menyaksikan pertempuran itu di teritisan, menjadi berdebar-debar. Ia melihat pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Kedua belah pihak perlahan-lahan telah meningkatkan ilmu masing-masing.

Dalam pada itu, salah seorang pertapa itu mengumpat sambil berkata, “Kau nampaknya pantas untuk menyombongkan diri, berani melawan kami, karena nampaknya kau memang mempunyai bekal ilmu.”

Agung Sedayu yang melawannya berkata, “Aku adalah pengawal dari Mataram. Itu saja. Terdorong oleh kewajiban, aku akan berbuat sebaik-baiknya.”

“Persetan,“ geram lawannya, “kau jangan menjadi besar kepala. Kau sangka aku memujimu?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian sambil bergeser menghindari serangan lawannya ia menyahut, “Aku tidak menganggapmu demikian. Akupun tidak menginginkan mendapat pujian. Tetapi bahwa aku akan melawanmu sejauh dapat aku lakukan, itu adalah kewajibanku.”

Pertapa yang bertempur melawan Agung Sedayu itu menggeram. Tetapi serangannya justru menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya anak muda yang melawannya itu sama sekali tidak mencemaskan nasibnya, meskipun ia berhadapan dengan Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar.

Yang bertempur melawan Ki Waskita pun merasa telah membentur kekuatan yang tangguh. Karena Ki Waskita mengaku seorang pengawal dari Mataram, maka lawannya itupun mulai menilai, bahwa para pengawal dari Mataram memang memiliki bekal yang cukup.

“Tentu bukan pengawal kebanyakan,“ berkata pertapa itu di dalam hatinya, “mungkin ia seorang senapati, atau pasukan khusus yang memiliki ilmu yang tinggi, yang dikirim untuk menangani persoalan kain yang bernilai tinggi itu.”

Dengan demikian maka pertapa itu telah mengerahkan kemampuannya untuk segera mengakhiri pertempuran.

“Waktuku tidak banyak,” berkata pertapa itu di dalam hatinya, “aku tidak perlu bermain-main terlalu lama.”

Justru karena itu, maka tiba-tiba saja Ki Waskita merasakan tekanan lawannya itu menjadi semakin berat.

Tetapi Ki Waskita pun belum sampai ke puncak kemampuannya. Ia masih saja mengikuti lawannya pada tataran-tataran tertentu dari tingkat ilmunya. Sementara terasa pada saat terakhir, bahwa lawannya nampaknya telah benar-benar ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat.

Sebenarnya-lah, maka salah seorang pertapa itu telah berkata, “Kita tidak boleh terlalu lama di sini. Sebaiknya orang-orang ini segera kita selesaikan, sementara kita akan segera dapat melakukan tugas yang lain.”

“Aku tidak akan menemui kesulitan,“ jawab pertapa yang lain, yang kebetulan melawan Agung Sedayu, “aku hanya ingin mengetahui sampai pada tingkat yang mana kesombongan anak ini.”

“Waktu kita telah habis,“ desis lawan Ki Waskita.

“Baiklah,“ jawab lawan Agung Sedayu.

Hampir bersamaan keduanya telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak.

Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah terlibat dalam permainan senjata yang cepat dan berbahaya. Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak terbiasa mempergunakan senjata pedang, apalagi golok yang besar seperti yang dipergunakan oleh Agung Sedayu. Namun ternyata karena ilmu mereka yang mapan, maka dengan senjata yang tidak terbiasa mereka pergunakan itupun mereka mampu melawan kedua pertapa dari Goa Kelelawar itu.

Meskipun Agung Sedayu dan Ki Waskita yakin bahwa senjata mereka tidak akan dapat mengimbangi kekuatan senjata lawan, namun dengan kemampuan mereka mempermainkan senjata mereka itu, maka pertapa dari Goa Kelelawar itupun tidak dapat berbuat banyak.

Betapa kemarahan menghentak-hentak jantung kedua pertapa itu. Mereka merasa sebagai orang yang mumpuni, yang disegani dan ditakuti. Namun pengawal Mataram itu dengan senjata yang sederhana mampu mengimbanginya.

Dengan segenap kemampuan Sepasang Pertapa itu berusaha untuk mengalahkan lawannya. Namun mereka sama sekali tidak berhasil. Bahkan semakin lama lawan-lawan mereka itupun semakin membingungkan.

Dalam pada itu, pengawal Mataram yarig terluka, yang menyaksikan pertempuran itu di teritisan belakang warung di pinggir jalan itu, menjadi semakin heran. Keempat orang yang terlibat dalam perkelahian itu mampu bergerak cepat sekali.

“Tanpa Agung Sedayu dan Ki Waskita, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangankan melawan kedua orang itu, melawan enam orang yang menyusul aku lebih dahulu itupun aku tidak akan dapat bertahan,“ berkata pengawal itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu perkelahian itu masih berlangsung terus. Untunglah bahwa pertempuran itu terjadi di belakang sebuah warung, sehingga tidak semata-mata nampak dan jalan yang membujur antara Prambanan ke Mataram. Apalagi di sebelah-menyebelah warung itu terdapat dinding halaman dan turus-turus mlandingan yang rapat, diselingi oleh tanaman-tanaman perdu yang rimbun.

Di dalam warung itu, pemiliknya membeku bersama istri dan anaknya. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Namun dalam pada itu, mereka sempat menutup pintu depan warung mereka, sehingga warung itu tidak akan disinggahi oleh seorang tamupun lagi.

Pertapa yang bertempur melawan Agung Sedayu berusaha dengan sungguh-sungguh menguasai lawannya. Dengan mempercayakan diri kepada kecepatan geraknya ia berusaha mengurung Agung Sedayu dengan memotong arah loncatan-loncatannya. Sekali-sekali langkah Agung Sedayu memang terpotong. Namun orang itu tidak mampu menguasainya dengan libatan senjatanya.

Sebenarnya-lah bahwa pertapa yang bertempur melawan Agung Sedayu itu sama sekali tidak mengerti, bahwa Agung Sedayu mempunyai kemampuan memperingan tubuhnya, sehingga ia akan mampu bergerak jauh lebih cepat dari yang dilakukan. Bahkan jika Agung Sedayu mau mempergunakan kemampuannya yang jarang sekali dimiliki oleh siapapun itu, ialah yang akan membuat lawannya kehilangan kiblat.

Namun Agung Sedayu ingin bertempur dengan wajar. Selama lawannya tidak menunjukkan ilmu yang melampaui ilmu kewadagan, maka Agung Sedayu pun akan melayaninya dengan cara yang sewajarnya.

Nampaknya tanpa berjanji, Ki Waskita pun berbuat seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Ki Waskita masih belum mempergunakan ilmunya yang paling menggetarkan, karena sepanjang pengamatannya lawannya pun masih bertempur sewajarnya, meskipun mereka telah mempergunakan tenaga cadangan mereka.

Meskipun demikian, Agung Sedayu dan Ki Waskita pun sudah mempersiapkan diri untuk bertempur pada tingkat ilmu yang lebih tinggi apabila lawan-lawan merekapun melakukannya.

Ternyata bahwa kedua pertapa itu menjadi semakin marah. Usaha mereka selalu sia-sia. Golok dan pedang yang tidak lebih dari senjata kebanyakan itu masih saja mampu melawan kedua luwuk yang dianggap oleh para pemiliknya mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi mereka yang mempergunakan.

Tetapi bahwa yang terjadi, kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Pertapa itu tidak dapat berbuat banyak atas kedua lawannya, Agung Sedayu dan Ki Waskita.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita dan Agung Sedayu pun menyadari, bahwa jenis senjata luwuk memang mempunyai kekuatan seperti halnya sebilah keris yang selalu dimandikan dengan air warangan.

Setiap goresan akan dapat berarti racun. Agaknya kedua luwuk yang berwarna hitam dan mempunyai sifat-sifat sebilah keris yang besar itu, tentu selalu dimandikan dengan warangan pula, sehingga luwuk itupun tentu mempunyai kekuatan racun warangan.

Tetapi Sepasang Pertapa itu sama sekali tidak berhasil menggoreskan ujung luwuknya pada kulit lawannya. Dengan golok dan pedang kebanyakan Agung Sedayu dan Ki Waskita selalu berhasil menangkis serangan Sepasang Pertapa yang menjadi semakin marah itu.

Namun ternyata tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk melawan kedua orang yang menyebut dirinya pengawal dari Mataram itu. Serangan-serangan mereka selalu kandas, sehingga setiap kali mereka hanya dapat menggeram sambil mengumpat.

Tetapi Sepasang Pertapa itu tidak berputus asa. Setelah mereka merasa bahwa dengan luwuk mereka tidak dapat mengalahkan lawannya, maka merekapun mulai mempergunakan senjata mereka yang lain. Hampir bersamaan keduanya memindahkan luwuk mereka ke tangan kiri, sementara tangan kanan merekapun segera menggenggam pisau-pisau kecil yang terselip di ikat pinggang mereka.

Agung Sedayu dan Ki Waskita harus dengan segera menyesuaikan diri. Mereka melihat kedua tangan Sepasang Pertapa itu mengembang. Pedang di tangan kiri itu tiba-tiba saja menyambar dengan garangnya. Mereka meluncur dengan cepat, menggeliat dan meloncat menjauh. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja pisau-pisau kecil telah meluncur dari sela-sela jari mereka.

Ki Waskita meloncat menjauh. Beberapa bilah pisau itu meluncur di depan tubuhnya. Namun pisau yang terakhir hampir saja menyambar lengannya. Untunglah bahwa Ki Waskita dengan tangkas memukul pisau itu dengan pedangnya, sehingga tidak sebilah pisaupun yang sempat mengenainya.

Tetapi Ki Waskita sadar, bahwa serangan-serangan berikutnya tentu masih akan datang. Karena itu, maka iapun harus bersiap sebaik-baiknya. Pisau-pisau yang demikian itu tentu tidak hanya berjumlah lima atau enam. Tetapi tentu beberapa puluh yang berada di ikat pinggangnya, bersusun.

Sebenarnya, seperti yang diduga Ki Waskita, justru karena Ki Waskita sudah sering mengenali orang-orang yang mempergunakan senjata lontar seperti yang dipergunakan oleh pertapa itu. Namun yang tidak diduga oleh Ki Waskita, adalah serangan-serangannya yang kemudian. Sekali lagi orang itu melontarkan tiga bilah pisau ke arah Ki Waskita. Seperti semula Ki Waskita menghindar dengan cepatnya, sehingga pisau-pisau itu tidak mengenainya. Namun ketika kemudian pisau-pisau itu menyambar batu dinding halaman yang rendah, maka pisau-pisau kecil itu seolah-olah sebuah palu baja yang besar yang mampu memecahkan batu-batu.

Ki Waskita benar-benar terkejut. Dengan serta merta iapun berkata di dalam dirinya, “Itulah sebabnya, orang-orang yang mengenalnya menjadi ketakutan.”

Namun justru karena itu, Ki Waskita tidak dapat melawannya dengan perlawanan wajar. Meskipun ia tidak ingin dikenal, tetapi iapun tidak mau dihancurkan oleh pisau-pisau kecil itu. Pedang pengawal dari Mataram itu, tentu tidak akan mampu melawan pisau-pisau kecil yang dilontarkan dengan kemampuan yang luar biasa atas dorongan tenaga cadangan yang tidak ternilai besarnya.

Karena itulah, maka dengan cepatnya, Ki Waskita berusaha melindungi dirinya. Tiba-tiba saja ia telah membuka ikat kepalanya dan melilitkannya pada pergelangan tangan kirinya.

Sebenarnyalah ikat kepala di pergelangan tangan Ki Waskita itu merupakan satu perisai yang melampaui kekuatan perisai baja yang paling tebal sekalipun.

Lawannya tidak tahu makna dari ikat kepala Ki Waskita itu. Karena itu, tanpa menghiraukannya iapun telah melemparkan lagi dua bilah pisaunya beruntun.

Ki Waskita masih berusaha untuk menghindarinya. Ia memang tidak ingin menunjukkan arti dari ikat kepalanya apabila tidak terpaksa. Namun saat ia baru saja menjejakkan kakinya di tanah, maka pisau yang ketiga sudah menyusul menyambarnya, sehingga ia secepatnya harus mengelak lagi.

Dengan pedangnya Ki Waskita berusaha untuk menangkis serangan itu sekaligus untuk menjajagi kekuatan yang terlontar. Namun, meskipun ia berhasil memukul pisau itu, tetapi sebenarnya-lah seperti yang diduganya, pedang itu telah patah di tengah. Meskipun demikian pisau itu tidak mengenainya karena ia sempat memiringkan tubuhnya.

Pengawal yang berdiri di teritisan itu terkejut. Meskipun pedangnya adalah pedang kebanyakan, yang diterimanya karena ia seorang pengawal, namun bahwa sebilah pisau belati kecil dapat mematahkannya, adalah sangat mengherankan. Namun dengan demikian ia menyadari, bahwa seandainya pedang itu tidak berada di tangan Ki Waskita, pedang itu tentu sudah patah pada benturan-benturan dengan luwuk lawannya sebelumnya.

Dalam pada itu, pertapa yang melihat pedang Ki Waskita patah, dengan serta merta telah melemparnya dengan pisaunya susul menyusul.

Tiga buah pisau telah meluncur. Orang itu sudah memastikan, bahwa ia akan segera mengakhiri pertempuran. Salah satu dari tiga buah pisau itu akan mengoyak tubuh Ki Waskita, menghunjam bahkan tembus sampai ke punggung.

Namun yang terjadi adalah bukan seperti yang dikehendaki oleh pertapa itu. Dengan tangkas Ki Waskita menangkis pisau yang meluncur susul menyusul itu dengan ikat kepala yang membelit di pergelangan tangan kirinya. Jantung pertapa itu bagaikan berhenti berdenyut. Pisau yang dapat memecahkan batu itu ternyata tidak dapat mengoyak ikat kepala di pergelangan tangan Ki Waskita, sehingga ketiga buah pisaunya telah melesat tanpa menyentuh sasaran.

Pertapa itu termangu-mangu sejenak. Dengan wajah tegang ia memandang Ki Waskita yang berdiri tegak, yang tidak dapat lagi menyembunyikan salah satu dari cirinya. Ikat kepalanya. Namun ia bertekad tidak akan mempergunakan ikat pinggangnya, sehingga akan menunjukkan ciri-cirinya yang lebih lengkap.

Pertapa itupun menjadi ragu-ragu sejenak. Pisau yang terselip di ikat pinggangnya melingkari seluruh tubuhnya tidak akan dapat tumbuh dengan sendirinya. Karena itu, jika ia melemparkannya tanpa mengenai sasaran, maka pisau-pisau itupun akan segera habis sebelum lawannya dapat dilumpuhkannya.

Karena itu, maka pertapa yang melihat pedang Ki Waskita telah patah itu pun segera mendesak maju. Ia ingin bertempur dengan luwuknya lagi, menghadapi lawannya yang senjatanya sudah cacat.

Dalam pada itu, pertapa yang lain, yang menghadapi Agung Sedayu telah dicengkam oleh kecemasan pula. Dengan segenap kekuatannya ia berusaha untuk dengan segera menghancurkan lawannya. Tetapi anak muda itu ternyata memiliki ketangkasan yang menakjubkan. Bahkan seolah-olah senjata di tangannya itu jarang sekali dipergunakan. Anak muda itu lebih percaya kepada kecepatannya bergerak daripada mempergunakan goloknya yang besar. Namun demikian, golok yang besar itu kadang-kadang dengan tiba-tiba saja menyusup putaran pertahanannya, sehingga sangat membahayakannya.

Bahkan ternyata kecepatan gerak Agung Sedayu melampaui kemampuan ilmu pertapa dari Goa Kelelawar itu, sehingga ketika pertapa itu menusuk langsung mengarah jantung lawannya, namun tidak menyentuh sasarannya, Agung Sedayu telah menggeser goloknya yang besar itu justru pada saat tangan pertapa itu terjulur lurus.

Pertapa itu meloncat surut ketika terasa tajam golok anak muda itu menggores di lambungnya.

Luka di lambung itu tidak begitu dalam. Namun bahwa ia telah terluka, telah membuat pertapa itu menjadi sangat marah. Terdengar pertapa itu mengumpat. Kemudian, tangannya bagaikan mengambang menyambar-nyambar.

Tetapi bagaimanapun juga, ia tidak mampu mengatasi kecepatan gerak Agung Sedayu. Betapa ia berusaha, namun anak muda itu demikian tangkasnya, sehingga dalam libatan serangan yang sangat cepat, anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kebingungannya, apalagi kehilangan akal. Bahkan kadang-kadang justru anak itulah yang telah membuat pertapa yang merasa dirinya mumpuni itu menjadi kebingungan.

Dalam pada itu, maka seperti Pertapa yang lain, ketika lawan Agung Sedayu itu merasa tidak mampu lagi mengalahkan lawannya dengan luwuknya, maka iapun mulai menyiapkan senjata rangkapnya. Sebagaimana pertapa yang lain, maka iapun telah menghentakkan pisau belati kecil yang terlontar dari tangan kanannya, sementara luwuknya telah berpindah ke tangan kirinya.

Agung Sedayu yang sudah melihat bahwa pedang Ki Waskita patah, tidak berniat sama sekali menangkis pisau-pisau itu dengan goloknya, yang tentu akan patah pula. Karena itulah, maka Agung Sedayu hanya berusaha untuk menghindari serangan-serangan pisau belati itu dengan loncatan-loncatan.

Namun ternyata bahwa pisau-pisau itu berdesing dengan cepatnya susul menyusul. Meskipun tubuh Agung Sedayu dapat menjadi seringan kapas, namun Agung Sedayu tidak mengabaikan kemampuan lawannya itu.

Karena itulah, maka Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmu kebalnya pula. Sehingga seandainya pisau-pisau itu menyentuhnya, maka kulitnya tidak akan terluka.

Tetapi ternyata bahwa ilmu kebal itu tidak nampak sama sekali oleh lawannya, karena pisau-pisaunya sama sekali tidak berhasil mengenai tubuh anak muda yang tangkas, terampil dan trengginas itu. Pisau-pisaunya meluncur mengenai bebatuan, dinding halaman dan menghunjam ke dalam pepohonan.

Demikianlah, kedua orang pertapa yang menyebut dirinya Pertapa dari Goa Kelelawar itu harus menghadapi satu kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan kedua orang yang menyebut dirinya pengawal dari Mataram itu. Sebenarnya-lah mereka tidak menyangka sama sekali, bahwa para pengawal dari Mataram ternyata terdiri dari orang-orang yang pilih tanding, yang tidak terlalu mudah untuk dikalahkan.

Dalam pada itu, dalam keadaan yang sulit, kedua pertapa

(ada halaman yang hilang)

garang, namun sorot matanya tidak meyakinkannya bahwa ia dapat berbuat sekeras kata-katanya itu.

“Kita pergi ke Mataram,“ berkata Agung Sedayu lebih lanjut, “jangan membuat kalian lebih menderita. Jangan memaksa kami mengikatmu dan menyeretmu di belakang kuda kami di sepanjang jalan menuju ke Mataram, sehingga kalian berdua akan menjadi tontonan banyak orang.”

Kedua pertapa itu menggeram. Tetapi sebenarnya-lah mereka tidak akan dapat berbuat lain.

“Berikan senjata kalian,“ minta Agung Sedayu.

“Ini pusaka kami. Kami tidak akan melepaskannya,“ jawab salah seorang dari mereka.

“Kau sangka aku tidak dapat mengambilnya dari tanganmu, hidup atau mati?“ sahut Agung Sedayu.

Sepasang pertapa itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Ternyata mereka bagaikan kehilangan kesempatan untuk menentukan sikap. Sehingga dengan demikian, maka merekapun telah melepaskan senjata mereka.

Agung Sedayu dan Ki Waskita telah mengambil luwuk itu sekaligus bersama wrangkanya. Kemudian mempersilahkan kedua orang pertapa itu membenahi pakaiannya. Yang terluka telah memampatkan lukanya dengan obat yang dibawanya. Sehingga akhirnya keduanya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti segala perintah Agung Sedayu dan Ki Waskita.

Agung Sedayu masih sempat mengetuk pintu warung yang telah ditutup. Membayar makanan dan minuman yang telah dimakan dan diminum olehnya bertiga dan oleh kedua orang pertapa itu. Bahkan Agung Sedayu telah memberinya sekedar uang untuk, memperbaiki kebunnya yang rusak.

Pemilik warung itu sama sekali tidak mengira. Justru karena itu untuk sesaat ia menjadi bingung.

“Ambillah,” desis Agung Sedayu.

Dengan jantung yang berdebaran pemilik warung itupun telah menerima uang yang diberikan oleh Agung Sedayu. Katanya gugup, “Terima kasih Anak Muda.”

“Bukalah kembali warungmu. Bukankah kau masih mempunyai makanan dan minuman yang cukup?“ berkata Agung Sedayu.

“Ya, ya, Anak Muda,“ jawab pemilik warung itu dengan serta merta.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita pun kemudian membawa kedua pertapa yang menjadi sangat letih itu bersama mereka ke Mataram. Tidak ada kesempatan bagi sepasang pertapa itu untuk menolak segala perintah Agung Sedayu. Sebenarnyalah pertapa itu mengakui bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita akan mampu berbuat apa saja atas mereka.

Ada semacam penyesalan di hati kedua pertapa itu. Mereka merasa diri mereka terlalu kuat menghadapi pengawal kebanyakan. Namun ternyata bahwa pengawal dari Mataram ini justru dapat menangkapnya.

Keduanya pun sadar, bahwa di Mataram mereka harus berbicara tentang rencananya membeli kain ikat kepala dengan lukisan khusus itu. Dan merekapun sadar, bahwa orang-orang Mataram akan dapat memperlakukannya sekehendak hati mereka.

Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu untuk menolaknya.

Karena itu, maka sepasang pertapa itupun tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengingkari diri mereka dan tugas-tugas mereka.

Dalam pada itu, pengawal dari Mataram yang sebenarnya, yang telah terluka, tidak banyak dapat berbuat sesuatu. Ia justru hanya mengikuti saja apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Ki Waskita.

Sebenarnya-lah Agung Sedayu dan Ki Waskita telah membawa sepasang pertapa itu ke Mataram. Mereka langsung menuju ke rumah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga.

Kedatangan Agung Sedayu dan Ki Waskita telah mengejutkan para petugas dan kemudian Raden Sutawijaya sendiri. Dengan berdebar-debar Raden Sutawijaya telah menerima mereka di pendapa.

Namun sebelum Raden Sutawijaya bertanya sesuatu, maka Agung Sedayu telah mendahului, “Raden. Kami telah menangkap dua orang yang menyebut dirinya Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar. Mohon keduanya dapat ditempatkan di tempat yang paling baik bagi keduanya, sebelum kami memberikan penjelasan.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian dapat menanggapi sikap Agung Sedayu itu. Karena itu, maka iapun telah memanggil senapati yang sedang bertugas serta beberapa orang pengawal untuk membawa kedua orang itu serta memasukkannya ke dalam bilik tahanan.

“Keduanya adalah orang yang luar biasa,“ desis Agung Sedayu.

Raden Sutawijaya mengangguk kecil. Iapun kemudian memberikan beberapa pesan kepada senapati itu, agar kedua orang itu tidak sempat melepaskan diri.

“Di sini masih tersimpan beberapa orang yang apabila kami lengah, akan mampu membuat keonaran,“ berkata Raden Sutawijaya.

Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk. Merekapun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya masih mempunyai beberapa orang tahanan, di antaranya adalah orang-orang yang mumpuni.

Baru setelah kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Pertapa itu disingkirkan, Agung Sedayu telah menceritakan apa yang telah terjadi.

“Pengawal yang terluka ini akan dapat melengkapi ceritaku,“ berkata Agung Sedayu.

Raden Sutawijaya memandang pengawal itu sejenak. Sambil mengangguk kecil ia berkata, “Katakan apa yang kau ketahui tentang kedua orang itu.”

“Bukan tentang kedua orang itu Raden,“ jawab pengawal yang terluka, “tetapi tentang peristiwa-peristiwa sebelumnya.”

“Ya. Katakan apa saja yang akan kau katakan,” desis Raden Sutawijaya kurang sabar.

Pengawal itupun kemudian menceritakan segala sesuatu tentang ikat kepala yang aneh itu dan tentang orang-orang yang kemudian memburunya setelah ia berhasil merebut kain itu.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu. Agung Sedayu pun telah mengambil kain itu, dan menyerahkannya kepada Raden Sutawijaya. “Inilah. Kain itu ada padaku.”

Raden Sutawijaya menerima kain itu dan mengamatinya. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Lengkap sekali. Kain ini memberi gambaran menyeluruh tentang isi kota Mataram.” “Segala sesuatunya terserah kepada Raden,“ berkata Agung Sedayu, “kami sudah menyerahkannya. Segala persoalan akan dapat Raden bicarakan dengan pengawal ini.”

“Ya, ya tentu. Tetapi bukankah kau dan Ki Waskita tidak akan dengan tergesa-gesa meninggalkan kami?“ bertanya Raden Sutawijaya yang melihat sikap Agung Sedayu dan Ki Waskita.

“Raden,“ berkata Ki Waskita, “sebenarnya-lah kami tidak berniat untuk singgah. Tetapi karena persoalan yang tiba-tiba saja telah melibat kami, maka kami terpaksa singgah bersama pengawal yang terluka ini.”

“Kalian tidak usah tergesa-gesa,“ berkata Raden Sutawijaya.

“Kami telah melampaui waktu yang kami janjikan kepada Ki Lurah Branjangan. Jika kedatangan kami kami undurkan lagi, maka Ki Lurah tentu akan menjadi gelisah,“ sahut Agung Sedayu.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa tenaga Agung Sedayu memang diperlukan di Tanah Perdikan Menoreh. Baik oleh Ki Gede, maupun oleh Ki Lurah Branjangan.

Karena itu, maka Raden Sutawijaya pun kemudian berkata, “Baiklah Agung Sedayu. Aku mengerti bahwa Tanah Perdikan Menoreh memang sedang menunggumu. Aku tidak akan menahanmu untuk bermalam. Tetapi biarlah kau beristirahat sejenak, untuk minum dan makan.”

Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak dapat menolak. Karena itu, maka merekapun telah menunggu sejenak untuk menerima hidangan. Namun setelah mereka selesai dengan makan dan minum, mereka benar-benar minta diri.

“Raden dapat bertanya kepada Sepasang Pertapa itu, untuk siapa mereka bekerja,“ berkata Agung Sedayu, “kemudian terserahlah kesimpulan apa yang akan Raden ambil.”

“Baiklah,“ jawal Raden Sutawijaya, “aku akan minta keterangan kepada mereka berdua. Dan pada saatnya aku akan memberimu kabar, hasil dari pembicaraanku dengan kedua orang itu.”

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita pun segera minta diri. Juga kepada pengawal yang terluka itu keduanya minta diri pula.

“Aku mengucapkan terima kasih,“ berkata pengawal itu, “tanpa kalian berdua, bukan saja aku telah terbunuh. Tetapi kain itu tentu benar-benar akan jatuh ketangan mereka.”

Agung Sedayu dan Ki Waskita hanya tersenyum saja. Sementara itu Raden Sutawijaya berbisik, “Aku sudah mempunyai dugaan, bahwa kedua orang itu berhubungan dengan Ki Tumenggung Prabadaru.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin sekali. Nampaknya Tumenggung itu memegang peranan yang penting dalam pergolakan ini.”

“Tetapi aku yakin, bahwa pasukan khusus yang kita susun tidak akan kalah nilainya dengan pasukan khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Prabadaru. Pasukan yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dan dasar ilmu yang berbeda-beda pula. Mereka berhimpun dengan sikap mereka masing-masing.“

Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Raden Sutawijaya. Namun yang masih perlu diperhatikan, meskipun mereka berlatar belakang yang berbeda-beda, namun pada dasarnya sejak semula mereka adalah prajurit-prajurit.

Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak menjawab. Merekapun kemudian sekali lagi mohon diri dan meninggalkan Mataram menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Kedatangan Agung Sedayu ke tlatah Tanah Perdikan Menoreh disambut dengan gembira oleh anak-anak muda. Ketika keduanya turun dari getek penyeberangan di Kali Praga dan kemudian menelusuri jalan-jalan di bulak-bulak panjang, beberapa orang anak muda yang berada di sawah telah menyapanya dengan ramah. Ketika mereka mulai memasuki padukuhan-padukuhan, maka anak-anak muda yang kebetulan berada di jalan-jalan padukuhan pun telah menyambut mereka pula.

“Bukankah tidak ada persoalan apapun selama aku pergi?“ bertanya Agung Sedayu kepada anak-anak muda itu.

“Tidak,“ jawab anak-anak muda itu, “tetapi langit mulai kelabu. Jika musim basah segera datang, maka sungai-sungai minta banyak perhatian.”

Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Di luar sadar, merekapun menengadahkan wajah mereka kelangit. Tetapi saat itu langit nampak bersih.

Meskipun demikian Agung Sedayupun berkata, “Baiklah. Kita harus mulai memikirkannya. Melihat bendungan-bendungan dan menjaga agar di musim basah tidak larut oleh banjir.”

Ketika Agung Sedayu meneruskan perjalanan bersama Ki Waskita dan mengamati daerah Tanah Perdikan Menoreh, maka perubahan memang sudah nampak. Parit-parit tidak lagi kering dan jalan-jalan nampak rata dan bersih. Sawah-sawah tidak lagi nampak kering dan gersang. Meskipun musim hujan belum datang, tetapi tanaman di sawah tetap nampak hijau segar.

Menelusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan, Agung Sedayu sempat mengenang daerah Sangkal Putung yang subur. Kademangan yang besar itu mempunyai tata pemerintahan dan pengaturan tata kehidupan yang baik di bawah usaha Swandaru. Sementara itu, Tanah Perdikan Menoreh dari sedikit sudah mulai menyusulnya.

Akhirnya Agung Sedayu telah memasuki padukuhan induk. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut serta dalam pasukan khusus ternyata tetap melakukan tugas-tugas mereka sebaik-baiknya. Mereka yang bekerja di sawah, di pategalan, maupun mereka yang bertugas sebagai pengawal.

Prastawa yang muncul dari regol rumah Ki Gede mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun kemudian iapun mengangguk kecil sambil berkata, “Selamat datang Ki Waskita. Silahkan. Paman ada di rumah.”

“Terima kasih Ngger,“ sahut Ki Waskita. Namun karena Prastawa ternyata tidak berhenti, Ki Waskita dan Agung Sedayu pun memasuki regol.

Seperti yang dikatakan oleh Prastawa, maka Ki Gede ada di rumahnya. Ketika Ki Gede mengetahui bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita telah datang, maka iapun telah dengan tergesa-gesa menyongsong mereka dan mempersilahkannya naik ke pendapa.

“Bukankah tidak ada sesuatu hambatan di perjalanan?“ bertanya Ki Gede dengan serta merta.

“Tidak Ki Gede,“ sahut Ki Waskita.

“Kalian datang terlambat,“ berkata Ki Gede pula.

Ki Waskita dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak. Namun Ki Waskita pun kemudian sambil tersenyum berkata, “Kami terpaksa menunda perjalanan kami kembali, karena kami harus bermalam lagi di Jati Anom setelah semalam berada di Sangkal Putung. Karena itu, maka kami datang terlambat.”

“Kalian datang di sore hari. Apakah kalian tidak berangkat pagi-pagi dari Jati Anom?“ bertanya Ki Gede pula.

Ki Waskita masih tersenyum. Katanya, “Ya. Kami berangkat sudah menjelang tengah hari. Kami sempat berhenti di Kali Opak melihat-lihat candi dari kejauhan.”

Ki Gede pun tertawa. Tetapi dalam pada itu Ki Waskita masih belum bercerita tentang ikat kepala yang aneh itu.

Baru kemudian, setelah minum beberapa teguk, Ki Waskita dan Agung Sedayu mulai menceritakan apa yang sebenarnya mereka alami di perjalanan kembali, sehingga menjelang senja mereka haru memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

“Nampaknya waktu menjadi semakin dekat,” berkata Ki Gede, “orang-orang yang bergerak di lingkungan Istana Pajang menjadi semakin mendesak pula, mempercepat sentuhan antara Pajang dan Mataram.”

“Mataram sudah siap,“ berkata Ki Waskita. “Tetapi memang harus diakui bahwa Pajang memiliki segalanya lebih banyak dari Mataram. Meskipun demikian, kita yakin, bahwa Pajang tidak akan dapat merupakan satu kesatuan yang bulat, karena di antara merekapun terdapat perbedaan sikap.”

Ki Gede mengangguk-angguk sambil berdesis, “Mudah-mudahan tidak terjadi ledakan secepat yang kita duga. Sebentar lagi kita sendiri akan mempunyai kesibukan.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Sementara Ki Gede meneruskan, “Bukankah waktu yang dijanjikan bagi Angger Agung Sedayu sudah sampai pada batasnya?”

“Waktu apa?“ bertanya Ki Waskita.

“Bulan di akhir tahun,“ jawab Ki Gede.

“O,“ Ki Waskita mengangguk angguk, “persoalan itu telah disinggung pula oleh Ki Demang Sangkal Putung. Sebenarnya-lah bahwa saat-saat yang demikian itupun harus mendapat perhatian yang khusus. Mudah-mudahan yang terjadi tidak secepat yang kita duga seperti yang dimaksud oleh Ki Gede. Yang direncanakan itu sebaiknya dapat dilaksanakan pada saatnya tanpa gangguan apapun juga.”

Ki Gede tersenyum sambil memandang Agung Sedayu. Katanya, “Jangan cemas. Yang direncanakan itu tidak akan terganggu oleh hubungan antara Pajang dan Mataram.”

Agung Sedayu sendiri hanya menundukkan kepala. Namun demikian sebenarnya-lah bahwa iapun mulai berpikir, apakah kemelut yang terjadi antara Pajang dan Mataram akan dapat mempengaruhi rencana pribadinya dalam hubungannya dengan Sekar Mirah.

Tetapi Agung Sedayu sendiri tidak tahu dengan pasti, apakah ia lebih senang persoalan itu diselesaikan lebih dahulu, atau justru akan tertunda karena keadaan yang menjadi semakin panas.

Namun Agung Sedayu tidak akan dapat menutup mata, bahwa orang tua Sekar Mirah nampaknya tidak akan bersedia menunda lagi. Sebagai orang tua seorang gadis yang sudah dewasa penuh, maka sepantasnya bahwa Ki Demang Sangkal Putung menjadi gelisah memikirkan anak gadisnya itu.

Dalam pada itu, Ki Waskita pun berkata selanjutnya, “Di Jati Anom, Ki Widura sudah akan membicarakannya dengan Angger Untara. Waktu memang tinggal sedikit. Tetapi pihak-pihak yang paling berkepentingan telah mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Ki Widura sebagai ganti orang tua Angger Agung Sedayu tentu akan selalu berhubungan dengan Angger Untara. Meskipun Angger Untara selalu sibuk, namun ia tentu akan menyisihkan waktunya untuk kepentingan satu-satunya adik kandungnya.”

Ki Gede mengangguk-angguk sambil berkata, “Tentu. Akupun merasa berkewajiban, sebagaimana Kiai Gringsing tentu merasa berkewajiban pula. Angger Agung Sedayu sudah aku anggap sebagai anak sendiri, sementara Kiai Gringsing adalah gurunya.”

“Aku juga akan mengakui anak meskipun barangkali aku tidak dapat berbuat banyak dalam hubungan dengan hari-hari perkawinan itu,“ berkata Ki Waskita sambil tertawa.

Ki Gedepun tertawa. Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin tunduk.

“Sudahlah,“ berkata Ki Gede, “sekarang aku ingin mempersilahkan kalian untuk beristirahat. Kalian tentu letih, karena kalian bukan saja menempuh perjalanan, tetapi kalian harus berkelahi di perjalanan.”

“Ya Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “setelah mandi, akupun ingin pergi ke barak. Aku sudah terlambat sekali menurut perjanjian yang aku buat pada saat aku berangkat.”

“Ah,“ desis Ki Gede, “tentu tidak akan menimbulkan persoalan apa-apa.”

“Memang tidak. Tetapi Ki Lurah tentu menjadi gelisah,“ jawab Agung Sedayu.

Dengan demikian maka Agung Sedayu pun meninggalkan pendapa bersama Ki Waskita. Setelah keduanya membersihkan diri dan melakukan kewajiban mereka masing-masing, Agung Sedayu pun segera minta diri untuk pergi ke barak.

Tetapi rasa-rasanya Ki Waskita tidak ingin melepaskannya berjalan sendiri. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan ikut pergi ke barak. Aku akan menjadi saksi, kenapa kau datang agak terlambat.”

Agung Sedayu memandang Ki Waskita sejenak. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Apakah Ki Waskita tidak ingin beristirahat saja?”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Aku ingin juga berjalan-jalan di malam hari.”

Agung Sedayupun tersenyum pula. Jawabnya, “Baiklah. Kita akan pergi bersama-sama.”

Keduanya pun kemudan minta diri kepada Ki Gede untuk pergi ke barak pasukan khusus yang sudah ditinggalkan beberapa hari. Rasa-rasanya Agung Sedayu sudah pergi terlalu lama, sehingga ia merasa wajib untuk segera berada di lingkungan anak-anak itu kembali. 

Kedatangan Agung Sedayu dan Ki Waskita telah disambut langsung oleh Ki Lurah Branjangan di ruang khusus bagi para pemimpin barak pasukan khusus itu. Dengan beberapa orang pemimpin yang lain, merekapun kemudian duduk di sebuah amben yang besar.

“Aku sudah gelisah,“ berkata Ki Lurah Branjangan.

“Aku terlambat Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu, “ternyata bahwa aku tidak dapat menolak untuk bermalam di Sangkal Putung dan di Jati Anom.”

“Kenapa kau tidak dapat menolaknya? Bukankah kau dapat mengatakan bahwa kau tergesa-gesa sehingga persoalannya akan dapat diselesaikan segera?“ bertanya Ki Lurah, “Tidak ada orang yang dapat menggantikan tugasmu disini, meskipun mereka dapat berlatih sendiri, namun mereka tentu kurang bergairah. Terutama mereka yang merasa dirinya masih mempunyai beberapa kekurangan.”

“Bukankah di sini banyak perwira pengawal dari Mataram? Mereka akan dapat memberikan petunjuk bagi anak-anak muda itu. Meskipun mungkin di bidang masing-masing. Selama aku pergi, tentu mereka dapat berbuat sesuatu bagi kepentingan anak-anak itu,“ berkata Agung Sedayu.

“Dapat atau tidak dapat, tetapi itu akan menjadi kebiasaan yang kurang menguntungkan bagi barak sebuah pasukan khusus,” berkata Ki Lurah, “aku mengajari anak-anak itu menepati waktu yang ditentukan. Aku kira kitapun sebaiknya berbuat demikian.”

“Sebaiknya memang demikian Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi ternyata aku tidak dapat menolak untuk bermalam seperti yang aku katakan. Apalagi sebagaimana Ki Lurah ketahui, aku mempunyai ikatan khusus dengan Ki Demang di Sangkal Putung.”

“Masalah itu terlalu pribadi,“ berkata salah seorang perwira pengawal yang bertugas di lingkungan pasukan khusus itu, “dalam barak ini kita mempertimbangkan kepentingan pribadi di bawah ikatan kita sebagai anggota pasukan khusus.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia merasa diadili. Di luar sadarnya ia berpaling ke arah Ki Waskita yang termangu-mangu. Sebenarnyalah yang terjadi itu benar-benar di luar dugaan.

Karena itulah, maka hampir di luar sadarnya Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Sejak semula sudah aku katakan. Aku bukan seorang yang tepat dan baik untuk menjadi seorang pengawal. Apakah Ki Lurah ingat? Dan apakah Ki Lurah ingat, apakah kedudukanku di dalam pasukan khusus ini? Sebenarnya aku dapat memberikan alasan yang lebih baik, kenapa aku terlambat. Tetapi sebaiknya Ki Lurah menilai diriku dalam tugas ini tanpa menyebut alasan apapun juga.”

Kata kata Agung Sedayu itu tidak diduga sama sekali oleh para perwira pengawal yang memimpin pasukan khusus itu. Juga oleh Ki Lurah Branjangan. Hampir saja Ki Lurah itu merasa tersinggung oleh jawaban Agung Sedayu itu. Namun ketika ia mulai mempertimbangkannya dengan nalar, maka ia mulai dapat melihat Agung Sedayu seutuhnya.

Agung Sedayu memang bukan seorang prajurit. Bukan seorang pengawal dalam tugas sepenuhnya di dalam pasukan khusus itu. Justru karena ia tidak dapat mengikat diri dalam paugeran yang ketat. Bukan dirinya sendiri, tetapi ia tidak dapat bertindak tegas terhadap orang lain, terhadap anak-anak muda di dalam pasukan khusus itu, jika mereka bersalah.

Karena itu, ia harus mempunyai sikap yang lain terhadap Agung Sedayu daripada terhadap setiap orang di dalam pasukan khusus itu. Apakah ia seorang pemimpin, seorang perwira, atau seorang yang baru saja mengikuti latihan-latihan yang berat di dalam lingkungan pasukan khusus itu.

Meskipun demikian, Ki Lurah tidak dapat begitu saja membiarkan Agung Sedayu tanpa peringatan atas kelambatannya. Karena itu, maka katanya, “Angger Agung Sedayu. Aku hanya ingin menegakkan segala ketentuan dan paugeran di dalam lingkungan pasukan khusus ini. Dengan demikian maka segala peraturan akan berlaku dengan tidak ada kecualinya. Sebuah pasukan khusus adalah pasukan yang seharusnya mempunyai ikatan yang lebih kuat dari pasukan yang lain. Itulah sebabnya yang mendorong aku untuk memberikan sebuah peringatan kepadamu. Meskipun kau bukan sepenuhnya anggota pasukan khusus.”

Dalam pada itu, sebelum Agung Sedayu menjawab, justru Ki Waskita-lah yang menjawab, “Baiklah Ki Lurah. Kami menerima peringatan itu. Meskipun ikatan bagiku lebih longgar dari Angger Agung Sedayu. Namun aku mengerti maksud Ki Lurah. Agung Sedayu pun dapat mengertinya pula.”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Ki Waskita juga seorang yang ikut serta membantu sejak terbentuknya pasukan khusus bersama Ki Gede dalam ikatan yang sangat longgar. Namun justru Ki Waskitalah yang telah menjawab dan menerima peringatannya itu.

Namun dalam pada itu, terasa sesuatu telah melintang di hati Agung Sedayu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendapat peringatan tentang kelambatannya di hadapan para perwira yang memimpin pasukan khusus itu. Namun justru setelah Ki Waskita menjawab, ia telah berdiam diri. Tetapi dalam kediamannya itu, terbaca oleh Ki Lurah Branjangan, bahwa Agung Sedayu merasa kurang mapan mengalami sikap yang demikian.

“Sudahlah,“ berkata Ki Lurah kemudian, “aku berharap bahwa hal yang serupa tidak akan terjadi. Kita akan berusaha untuk menegakkan segala ketentuan yang berlaku di dalam pasukan khusus ini.”

“Baiklah,“ jawab Ki Waskita, “kami akan berusaha.”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Sekarang, setelah kami melaporkan kedatangan kami, kami minta diri. Kami perlu beristirahat.”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Ki Waskita sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Baiklah. Beristirahat-lah. Besok kau mulai dengan kewajibanmu lagi.”

Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian berdiri meninggalkan ruang itu diikuti oleh Ki Waskita.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Seorang perwira muda berkata, “Aku mengenalnya dengan baik. Tetapi aku tidak dapat mengerti sikapnya. Seolah-olah ia tidak bersedia ditegur dan diperingatkan bahwa ia telah berbuat salah.”

“Ia memang bukan seorang prajurit. Jauh berbeda dengan jiwa kakaknya, Untara. Untara adalah prajurit seutuhnya. Itulah sebabnya maka keduanya mencari jalan hidupnya masing-masing,“ berkata Ki Lurah.

“Tetapi anak muda itu tidak boleh menumbuhkan kebiasaan buruk di sini,“ berkata seorang perwira muda yang lain, yang kurang begitu mengenal Agung Sedayu.

“Sebenarnya ia tidak bermaksud demikian. Aku yakin,“ berkata Ki Lurah Branjangan.

“Aku akan melihat,“ berkata perwira yang belum begitu mengenalnya itu, “apakah ia akan menjalankan kewajibannya dengan baik, atau justru dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak kita kehendaki di dalam lingkungan pasukan khusus ini. Mungkin ia merasa kemampuannya sangat diperlukan di sini, sehingga ia berlagak seperti seorang yang tidak ada duanya. Sebenarnya, apakah kelebihan anak muda itu?”

“Jangan mempertanyakan hal itu,“ jawab Ki Lurah Branjangan, “kau harus dapat mengerti. Tanpa kelebihan yang berarti, Raden Sutawijaya tidak akan tertarik untuk mencalonkannya menjadi seorang pemimpin dari pasukan khusus ini.”

“Dan pasukan ini akan menjadi sekelompok anak-anak muda yang liar dan tidak mempunyai ikatan paugeran yang berarti,“ jawab perwira muda yang memang belum begitu banyak mengenal Agung Sedayu. Lalu katanya, “Menilik sikapnya, aku cenderung untuk tidak mempergunakannya dalam pasukan ini. Kita dapat membuat laporan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga sehingga Raden Sutawijaya akan mendapat gambaran yang benar tentang anak muda itu.”

Tetapi Ki Lurah Branjangan menggeleng, “Aku tidak akan berani melakukannya. Aku mengetahui hubungan antara Raden Sutawijaya dengan anak muda itu. Dan anak muda yang bernama Agung Sedayu itu benar-benar tidak mempunyai maksud apapun juga, selain bahwa ia memang bukan seorang pengawal, apalagi pengawal khusus.”

Agaknya perwira muda itu kurang mengerti sikap Ki Lurah yang tidak dapat bertindak tegas terhadap Agung Sedayu yang jelas telah mengabaikan pangeran seorang prajurit. Apalagi dalam pasukan khusus.

Sementara itu. Agung Sedayu yang meninggalkan barak itupun masih saja merasa berdebar-debar. Di luar sadarnya ia berkata, “Ki Waskita, aku tidak merasa tersinggung ketika Prastawa dan beberapa orang kawannya memukuli aku. Aku masih dapat berpikir bening untuk mencari penyelesaian yang baik. Tetapi kali ini aku merasa jantungku sangat berdebar-debar.”

Ki Waskita tersenyum. Dipandanginya Agung Sedayu yang nampak muram di dalam keremangan malam. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Angger Agung Sedayu. Ki Lurah Branjangan adalah seorang pengawal. Sebelumnya ia adalah prajurit. Karena itu, sikapnya adalah sikap seorang prajurit. Ia sama sekali tidak bermaksud merendahkanmu di hadapan para perwira yang lain. Tetapi semata-mata karena ia ingin menegakkan wibawanya sebagai seorang pemimpin pasukan khusus. Yang dilakukan itu akan berlaku juga bagi setiap perwira yang ada di dalam barak itu.”

“Tetapi mereka adalah memang pengawal yang berada di dalam lingkungan pasukan khusus,“ sahut Agung Sedayu.

“Kita adalah keluarga dari pasukan itu. Sebenarnya-lah tidak ada persoalan apa-apa,“ berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi rasa-rasanya memang kurang menyenangkan untuk menerima sikap Ki Lurah di hadapan para perwira. Meskipun demikian, ia berusaha untuk mengerti keterangan Ki Waskita.

Demikianlah untuk beberapa saat lamanya mereka berdua berjalan di dalam gelapnya malam sambil berdiam diri. Mereka agaknya tengah digelut oleh angan-angan masing-masing.

Namun ketika mereka mulai memasuki padukuhan di ujung bulak, maka merekapun telah berhenti di sebuah gardu yang diterangi oleh sebuah obor biji jarak yang tidak terlalu terang. Tetapi nampaknya beberapa orang pengawal Tanah Perdikan dan anak-anak muda padukuhan itu sedang duduk berbincang di dalam gardu. Yang lain duduk sambil berkerudung kain panjang di mulut lorong di depan gardu.

Kedatangan Agung Sedayu dan Ki Waskita telah mereka sambut dengan riuh. Kemudian merekapun telah mempersilahkan keduanya untuk naik ke gardu pula.

“Terima kasih,“ jawab Ki Waskita, “kami ingin berjalan-jalan malam ini. Kemudian kembali ke rumah Ki Gede untuk beristirahat. Baru sore ini kami kembali dari Jati Anom. Karena itu, kami memang agak letih.”

“O,“ anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba seorang anak muda yang bertubuh gemuk berkata, “Duduk sajalah dahulu. Sebentar lagi minuman akan kami hidangkan. Air sere yang masih panas dengan gula aren. Ketela rebus dalam badek aren. He, apakah kalian sering menikmati makanan yang demikian?”

Ki Waskita tersenyum. Ketika ia memandang Agung Sedayu, ternyata Agung Sedayu mengangguk kecil.

“Baiklah,” berkata Ki Waskita, “nampaknya Angger Agung Sedayu tertarik kepada ketela rebus dalam badek aren. Tentu enak sekali. Apalagi bersama air sere yang masih hangat dengan gula aren pula.”

Anak-anak muda itupun kemudian menyibak, memberikan tempat kepada Ki Waskita dan Agung Sedayu yang kemudian naik ke gardu perondan yang penuh dengan anak-anak muda itu.

Bersama anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu merasa lebih sesuai. Sambil bersandar dinding gardu, Agung Sedayu duduk di sisi Ki Waskita yang sibuk menjawab pertanyaan anak-anak muda itu. Sekali-sekali Agung Sedayu pun harus menjawabnya pula.

Banyak hal yang ingin diketahui oleh anak-anak muda itu. Tentang perjalanan Agung Sedayu dan Ki Waskita, tentang pasukan khusus di Tanah Perdikan itu, dan tentang kawan-kawan mereka yang berada di pasukan khusus itu.

Belum terlalu lama mereka duduk, sebenarnya-lah anak-anak itu telah menghidangkan air sere hangat dengan gula aren dan ketela rebus dan badek aren pula.

Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita telah terjerat dalam pembicaraan yang panjang sambil minum dan makan ketela rebus. Karena itu, maka mereka berada di gardu itu sampai jauh lewat tengah malam.

Demikianlah, pada hari-hari berikutnya, Ki Waskita berhasil meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia harus melakukan segala kewajibannya sebagaimana seharusnya. Setiap hari Agung Sedayu selalu berada di barak pasukan khusus untuk memberikan bimbingan khusus bagi anak-anak muda yang lebih dahulu datang ke barak itu dan telah diangkat menjadi pembantu pimpinan dalam tataran-tataran tertentu.

Namun ternyata bahwa mereka berhasil melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Apalagi pada saat-saat tertentu Agung Sedayu masih memberikan tuntunan kepada mereka berganti-ganti, di samping para perwira yang lain dalam bidang yang berbeda-beda.

Dalam pada itu, selain memberikan tuntunan kepada anak-anak muda yang berada di dalam lingkungan pasukan khusus, Agung Sedayu tidak mengabaikan tugasnya bagi Tanah Perdikan Menoreh, meskipun justru karena tugas-tugasnya di dalam barak itu, waktunya menjadi jauh berkurang. Tetapi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, masih tetap mendapat bimbingannya, langsung atau tidak langsung. Karena pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebagian telah terhisap ke dalam pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram, maka Agung Sedayu telah mempersiapkan yang baru. Ternyata di Tanah Perdikan Menoreh cukup terdapat anak-anak muda yang memiliki pengabdian yang tinggi terhadap kampung halamannya, sehingga Agung Sedayu sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk mencari anak-anak muda dalam jumlah yang dikehendaki.

Sebenarnya-lah Agung Sedayu telah bekerja keras. Ki Waskita yang mengetahui langsung, apa saja yang dilakukan oleh anak muda itu kadang-kadang merasa juga heran. Tetapi karena iapun mengetahui kemampuan yang tersimpan di dalam diri anak muda itu, maka iapun dapat memaklumi bahwa Agung Sedayu mampu melakukannya.

Sejalan dengan perkembangan pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan Menoreh sendiri berkembang dengan pesat. Tingkat kehidupannya telah berkembang. Jalan-jalan yang menghubungkan padukuhan-padukuhan menjadi bertambah ramai. Pedati-pedati yang membawa muatan beraneka ragam. Hasil bumi, buah-buahan dan sayur-sayuran. Hubungan dengan tetangga-tetanggapun menjadi semakin luas. Kademangan-kademangan besar kecil di seputar Tanah Perdikan Menoreh telah terpercik pula oleh kemajuan Tanah Perdikan itu.

Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu tenggelam dalam kerja yang berat, tetapi memberikan banyak kesempatan kepadanya untuk menunjukkan pengabdiannya kepada sesama dalam meningkatkan tataran kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh, dan kesempatan untuk meningkatkan ilmu kanuragan kepada para pemimpin dari pasukan khusus yang terdiri dari anak-anak muda yang mendahului kawan-kawannya berada di barak itu, di Jati Anom Ki Widura dan Untara telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang hari perkawinan Agung Sedayu. Ki Widura dan Untara tidak dapat melepaskan tanggung jawab mereka atas pembicaraan yang pernah mereka lakukan dengan Ki Demang Sangkal Putung.

Karena itu, maka secara tidak langsung, Ki Widura selalu berhubungan dengan Ki Demang lewat Kiai Gringsing. Mereka membicarakan segala persiapan dan hari yang terpilih bagi perkawinan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing tidak dapat menyingkirkan kecemasannya karena perkembangan hubungan antara Pajang dan Mataram. Jika saat yang ditentukan itu tiba, sementara hubungan antara Pajang dan Mataram menjadi semakin buruk, maka persoalannya tentu akan menjadi berkaitan.

Hal itu tidak dapat disimpan saja di dalam dada Kiai Gringsing. Kepada Ki Widura ia sudah berterus terang. Kemungkinan yang tidak dikehendaki itu akan dapat terjadi.

“Aku akan berbicara dengan Untara,“ berkata Ki Widura.

“Persoalannya sebenarnya tidak terletak kepada pimpinan keprajuritan di Pajang yang langsung berada di bawah perintah Kanjeng Sultan sendiri,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi justru orang-orang yang telah memanfaatkan keadaan bagi keuntungan diri mereka sendiri.”

“Aku mengerti,“ jawab Ki Widura, “namun dengan pertimbangan Untara sebagai seorang senapati, kami akan mendapat petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang akan sangat bermanfaat. Karena Agung Sedayu adalah adik Untara itu sendiri.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu. Tetapi biarlah aku berterus terang kepada Ki Demang tentang keadaan yang sebenarnya sedang dihadapi Pajang dan Mataram, karena sebenarnya Swandaru pun sudah mengetahuinya.”

Widura sama sekali tidak berkeberatan. Karena itu, maka baik pihak keluarga Agung Sedayu, maupun keluarga Sekar Mirah sudah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada saat perkawinan itu berlangsung.

Pada saat-saat Kiai Gringsing di Sangkal Putung, ia banyak ikut dalam pembicaraan tentang kemungkinan-kemungkinan itu. Kemungkinan yang paling baik sampai kemungkinan yang paling pahit.

Tetapi Swandaru terlalu percaya kepada kekuatan para pengawal Kademangan Sangkal Putung. Dengan bangga ia berkata kepada Kiai Gringsing, “Guru, para pengawal akan sanggup menjaga ketenangan hari-hari perkawinan itu. Kami sanggup membentengi Kademangan ini dengan senjata. Pihak manapun juga yang akan mengacaukan hari-hari yang kita anggap penting itu, akan dapat kami usir keluar dari Kademangan ini.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin membuat muridnya kecewa. Lalu katanya, “Aku mengerti Swandaru. Tetapi alangkah lebih baik jika hari-hari perkawinan itu tidak terganggu oleh apapun juga.”

“Jadi maksud Guru?“ bertanya Swandaru.

“Kita dapat membuat perhitungan yang sedikit cermat dari pertimbangan kasar yang dapat aku sebut, bahwa Mataram tidak akan mungkin mengganggu perkawinan itu,“ berkata Kiai Gringsing, “karena itu, maka kemungkinan terbesar yang akan mengganggu adalah orang-orang yang selama ini memusuhi Agung Sedayu.”

“Orang-orang Pajang?“ bertanya Swandaru.

“Jangan sebut demikian,“ jawab Kiai Gringsing, “mungkin memang satu dua orang yang kebetulan adalah orang-orang Pajang. Namun ada kemungkinan lain, bahwa yang terjadi bukan semata-mata ditujukan untuk mengacaukan hari-hari perkawinan itu sendiri. Tetapi jika yang terjadi itu benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram justru pada saat-saat perkawinan itu terjadi. Dengan demikian kita akan dapat menyebut Pajang atau Mataram.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih juga menjawab, “Kita akan berjaga-jaga Guru. Pihak manapun juga yang akan memasuki Sangkal Putung, akan kita halau.”

“Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “jika persoalannya menyangkut perang antara Pajang dan Mataram, maka kau tentu akan dapat membayangkan, kekuatan yang akan dikerahkan, baik oleh Pajang maupun oleh Mataram.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar