Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 142

Buku 142

Untara memang tidak berprasangka buruk kepada pihak manapun juga, karena kepergiannya itu adalah persoalan hubungan yang terlalu pribadi. Meskipun demikian, ia sudah membawa tiga orang pengawal terpilih yang akan dapat membantunya menyelesaikan persoalan yang mungkin timbul di perjalanan, di samping Ki Widura dan Kiai Gringsing.

“Sebuah iring-iringan yang kuat,” berkata seseorang yang mendapat laporan dari kedua orang berkuda itu.

“Ya. Lalu apakah perintah Ki Partasanjaya ?” bertanya orang itu.

Orang yang dipanggil Partasanjaya itupun mengerutkan keningnya. Nampaknya ia sedang berpikir, apakah yang akan dilakukannya. Namun kemudian ia berkata, “Panggil orang-orang dungu itu. Aku sendiri akan memimpin mereka.”

“Mencegat iring-iringan itu?” bertanya orang yang melaporkannya.

“Ya. Aku akan membawa orang-orang terbaik yang ada sekarang. Bukankah kita tahu pasti, siapa saja yang berada di dalam iring-iringan itu. Aku harus memperhitungkan kekuatan seorang demi seorang,“ Ki Pringgajaya yang sudah berganti nama dengan Partasanjaya itu menjawab. Lalu, “Dengar, aku akan menghadapi orang yang disebut Kiai Gringsing. Aku tidak yakin bahwa ia akan dapat mengalahkan aku, meskipun ia orang terbaik di padepokan itu. Kepercayaan Ki Tumenggung yang bernama Bandung itu akan dapat dihadapkan kepada Untara, karena Bandung memiliki kemampuan khusus. Sementara adiknya Dogol Legi tentu akan dapat mengalahkan paman Untara itu. Widura bukan orang yang pantas disegani. Ketika Tohpati masih berada di sekitar Sangkal Putung, Widura tidak mampu berbuat apa-apa. Sementara tiga orang pengawalnya itu tidak perlu diperhitungkan. Jika mereka dihadapkan kepada lima orang, maka mereka bertiga tidak akan dapat melawannya.”

“Jadi Ki Partasanjaya akan pergi dengan delapan orang?” bertanya orang yang melaporkannya.

“Tidak. Aku baru berbicara tentang imbangan kekuatan. Tetapi aku harus meyakinkan, bahwa aku akan dapat membunuh Untara. Ia merupakan orang yang berbahaya bagiku. Agaknya ia sudah mengetahui bahwa aku belum mati. Ternyata bahwa masih ada saja orang yang mempersoalkan kuburan itu sampai hari ke empat puluh. Setidak-tidaknya Untara curiga, bahwa aku tidak benar-benar mati. Sementara Kiai Gringsing memang sudah direncanakan. Termasuk kedua orang muridnya. Jika Widura termasuk dalam urutan nama mereka yang akan dihadapkan kepada maut, itu karena nasibnya memang buruk sekali.”

Kedua orang yang datang melapor kepada Ki Partasanjaya itu mengangguk. Namun salah seorang dari merekapun masih bertanya, “Lalu, apakah yang akan kita lakukan?”

“Aku harus membawa tiga orang lagi untuk meyakinkan, bahwa kita akan memenangkan pertempuran itu. Di samping delapan orang yang aku anggap sudah seimbang, maka aku masih akan membawa tiga orang yang disebut oleh Ki Tumenggung Prabadaru sebagai tiga ekor serigala dari Tal Pitu itu.”

“O,“ pengikutnya mengangguk-angguk. “Maksud Ki Partasanjaya, tiga orang murid dari padepokan Tal Pitu itu?”

“Ya,“ jawab Ki Partasanjaya.

“Apakah Ki Partasanjaya yakin akan mereka?” bertanya pengikutnya.

“Mereka memiliki kelebihan. Jika Ki Tumenggung Prabadaru mengirimkan mereka kepadaku, apakah aku masih harus meragukan kemampuan mereka?” bertanya Ki Partasanjaya.

Kedua orang yang melaporkan kepada Ki Partasanjaya itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja salah seorang bertanya, “Jika Ki Partasanjaya sendiri hadir, apakah tidak justru akan menjadi semakin jelas bagi Untara, bahwa Ki Pringgajaya masih hidup?”

Ki Partasanjaya tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa, karena Untara sendirilah yang akan mati.”

Kedua orangnya itu tersenyum pula. Lalu salah seorang dari mereka bertanya, “Kita akan mencegat mereka sekarang?”

“Sekarang? Maksudmu, saat mereka berangkat?”

“Ya,“ jawab pengikutnya.

“Apakah kau bermimpi?” bertanya Ki Partasanjaya.

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk pula ia berkata, “Ya. Mereka sudah mendekati Sangkal Putung. Jika demikian, kita akan mencegat mereka saat mereka kembali.”

“Ya. Jadi masih ada waktu. Kita tidak usah tergesa-gesa. Di Sangkal Putung, Untara dan Widura akan mengatakan dengan basa-basi yang panjang lebar. Kemudian orang-orang tua akan menambah dengan beberapa pesan dan nasehat. Baru kemudian akan dihidangkan makanan dan minuman. Nah, kau dapat membayangkan, bahwa mereka akan kembali ke Jati Anom menjelang tengah malam.”

“Ya. Dan kita akan bertempur sampai tengah malam“ desis pengikutnya.

“Tetapi tidak akan terlalu lama. Kita mempunyai kekuatan rangkap dibanding dengan kekuatan mereka,” berkata Ki Partasanjaya. “Nah, sekarang panggil mereka, dan aku akan memberikan pesan-pesan bagi mereka sebelum kita berangkat.”

“Dimana kita akan mencegat mereka?” bertanya pengikutnya.

“Tidak usah terlalu jauh dari Jati Anom. Kita akan menghadapkan para prajurit di Jati Anom yang setia kepada Untara satu kenyataan, bahwa Untara bukannya dewa yang turun dari langit. Ia akan mati terkapar di sebelah hutan di arah Lemah Cengkar.”

“Kenapa tidak di Macanan?” bertanya pengikutnya.

Ki Partasanjaya menggeleng lemah. Katanya dengan dada tengadah, “Semakin dekat dengan Jati Anom semakin baik. Biarlah Untara mati di hidung para pengawalnya yang tidur mendengkur di sarangnya. Sementara di pinggir jalan, senapati yang diagung-agungkan mati terkapar, maka di rumahnya istrinya yang muda dan cantik mengharap kedatangannya, yang ternyata adalah harapan tanpa akhir.”

Para pengikutnya hanya mengangguk angguk saja. Mereka percaya akan kemampuan orang yang menyebut dirinya Ki Partasanjaya itu. Sementara Ki Partasanjaya itu berkata selanjutnya, “Dengan demikian, menjelang mati Untara akan melihat, bahwa aku bukan prajurit kebanyakan di dalam pasukannya. Dan akhirnya ia harus mengakui, bahwa akupun mampu membunuh orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Cambuknya sama-sekali tidak berarti apa-apa bagiku.”

Para pengikutnya menjadi semakin yakin, bahwa mereka akan berhasil membunuh Untara, Kiai Gringsing dan bekas perwira yang bernasib malang, Widura.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian telah hadir beberapa orang yang akan melakukan kewajiban bersama dengan Ki Partasanjaya itu. Dengan gamblang Ki Partasanjaya memberikan beberapa petunjuk kepada mereka, agar yang mereka lakukan tidak akan gagal lagi seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.

Ki Partasanjaya itu sadar sepenuhnya, bahwa kegagalan demi kegagalan telah terjadi. Yang terakhir, kegagalan Pringgabaya dan kemudian disusul oleh kegagalan Tandabaya yang harus membungkam Pringgabaya untuk selama-lamanya. Iapun sadar, bahwa ada betapapun kecilnya, kecurigaan seolah-olah ia telah melakukan satu perbuatan yang tidak terpuji, sehingga langsung atau tidak langsung, menyebabkan Tandabaya terjebak di Mataram.

“Aku akan membuktikan, bahwa aku mampu melakukan satu pekerjaan besar,” berkata Ki Partasanjaya kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, selagi Ki Partasanjaya menyiapkan orang-orangnya dengan perencanaan yang matang dan imbangan kekuatan yang dianggapnya berlipat, maka di jalan yang menuju ke Sangkal Putung, Ki Waskita berpacu diiringi oleh Glagah Putih, Agung Sedayu dan Sabungsari.

Namun dalam pada itu. mereka sama sekali tidak menemukan arena pertempuran yang mereka cemaskan. Bahkan bekas-bekasnyapun tidak.

“Tidak ada apa-apa,“ desis Glagah Putih.

“Ya. Tidak ada apa-apa,“ sahut Ki Waskita. “Jika demikian, maka aku tidak lagi dapat mengenali isyarat yang bergelar di hatiku.”

“Tetapi perjalanan Kakang Untara belum selesai Ki Waskita,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Sangkal Putung telah ada di hadapan hidung kita,“ jawab Glagah Putih.

“Seandainya Kakang Untara selamat sampai ke rumah Ki Demang Sangkal Putung bersama iring-iringannya, itu berarti bahwa ia baru menempuh separuh dari perjalanannya. Bukankah ia masih harus menempuh jalan yang sama tetapi dengan arah yang berlawanan?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau benar Ngger,“ sahut Ki Waskita. “Kemungkinan masih dapat terjadi di perjalanan kembali dari Sangkal Putung sampai ke Jati Anom. Karena itu, maka biarlah pekerjaan kita ini tuntas, kita akan menunggu sampai mereka kembali.”

“Menunggu dimana?” bertanya Glagah Putih.

“Di pinggir hutan itu,” jawab Sabungsari sambil tersenyum.

“Ah, malas,“ jawab Glagah Putih. “Kita terus saja ke Sangkal Putung. Ki Demang tentu sudah menyediakan makan dan minuman yang pantas untuk menjamu Kakang Untara.”

“Yang dijamu adalah Kakang Untara, Paman Widura dan Kiai Gringsing,“ sahut Agung Sedayu pula, “bukan kita. Jika kita juga akan hadir, mungkin jamuan itu akan kurang.”

“Ah, Kakang Agung Sedayu tentu segan untuk mengunjungi Sangkal Putung sekarang, karena Kakang Untara sedang berada di sana,“ desis Glagah Putih.

Sabungsari tertawa. Katanya, “Tepat. Kau benar Glagah Putih. Tetapi Agung Sedayu pun benar. Jika kita datang ke sana, dan ternyata jamuan yang disediakan kurang, bukankah kita akan membuat Ki Demang menjadi bingung. Mungkin Ki Demang harus memburu seekor ayam lagi. Untuk memasaknya akan membutuhkan waktu yang lama.”

Ki Waskita yang tertawa pula menengahi, “Baiklah kita menunggu. Tetapi tidak di tepi hutan. Memang menjemukan duduk di antara gerumbul-gerumbul perdu yang banyak dihuni nyamuk.”

“Jadi di mana?” bertanya Glagah Putih.

“Di pategalan yang sepi. Tempat itu tentu jauh lebih bersih dari pinggir hutan. Seandainya di pagi hari pemiliknya melihat jejak beberapa ekor kuda, biarlah merupakan teka-teki baginya. Teka-teki yang mungkin akan sangat sulit dipecahkan. Tetapi asal kita tidak merusak tanaman, maka pemiliknya tentu tidak akan mengumpati kita.”

“Itu lebih baik,” berkata Glagah Putih, “apalagi jika ada pohon buah-buahan di pategalan itu.”

“Nah, nampaknya kaulah yang akan mengganggu pategalan itu,” berkata Sabungsari.

Glagah Putih tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah, ketika mereka sudah berada di dekat padukuhan yang paling ujung dari Kademangan Sangkal Putung, sementara mereka tidak menemukan bekas-bekas satu peristiwa yang mencurigakan, maka merekapun memperlambat derap kuda mereka. Demikian mereka melihat sebuah pategalan yang hanya beberapa langkah saja dari jalur jalan yang mereka lalui, maka merekapun segera berhenti.

“Kita akan menunggu di sini,” berkata Ki Waskita.

Yang paling malas adalah Glagah Putih. Tetapi ia tidak dapat menolak. Ketika yang lain menuntun kuda mereka memasuki pategalan, maka Glagah Putihpun ikut pula bersama mereka.

“Tidur sajalah,” berkata Agung Sedayu.

“Ini tidak adil,” gumam Glagah Pulih. “Kakang Untara berbujana di Sangkal Putung, kita justru menjadi makanan nyamuk di sini.”

Sebenarnyalah pada saat Ki Waskita dan anak-anak Jati Anom itu sedang menunggu di pategalan, Untara dan para tamu dari Jati Anom lainnya yang sedang berada di pendapa Kademangan Sangkal Pulung, sedang di jamu oleh Ki Demang yang memang sudah bersiap-siap untuk menerima mereka.

Segala pembicaraan berjalan dengan lancar. Untara bukannya orang yang pandai berbasa-basi. Karena itulah, maka ia justru tidak banyak berbicara tentang adiknya. Segalanya diserahkannya kepada pamannya Widura dan orang-orang tua yang datang bersamanya dari Jati Anom. Orang-orang tua yang mengenal Agung Sedayu sejak masa kanak-kanak dan mengenal dengan akrab ayah bundanya.

Dalam pada itu, Ki Demang pun telah memanggil beberapa orang-orang tua pula untuk menerima mereka. Yang dengan demikian, maka mereka pun telah membicarakan segala sesuatunya yang berhubungan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Terutama hitungan hari, pekan dan hubungannya dengan tahun dan mangsa, diperhitungkan dengan hari-hari lahir kedua anak muda yang sedang dibicarakan untuk dipertemukan.

“Menurut hitungan bulan, maka keduanya memiliki saat yang baik untuk dipersandingkan pada bulan keduabelas.” berkata salah seorang dari ketiga orang tua yang datang bersama Untara dari Jati Anom.

“Tepat,“ jawab salah seorang tua dari Sangkal Putung, ”bulan keduabelas adalah bulan yang baik bagi keduanya.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Hampir bergumam seolah-olah kepada diri sendiri ia berkata, “Sekarang bulan ketujuh. Jadi masih ada waktu lima bulan lagi.”

“Ya. Masih ada waktu lima bulan lagi,” desis Untara, “sementara itu segala persiapan dapat diselenggarakan.”

Kedua belah pihak tidak berkeberatan. Lima bulan lagi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan memasuki upacara perkawinan mereka, setelah sekian lama mereka berhubungan.

Baru setelah segala pembicaraan mengenai saat-saat perkawinan dianggap selesai, maka Ki Demang pun telah melengkapi jamuannya dengan jamuan makan malam. Ia berusaha menjamu tamunya sebaik-baiknya, karena yang datang adalah Untara, Senapati pasukan Pajang di daerah Selatan. Apalagi Untara memang pernah berada di Sangkal Putung, pada saat pasukan Tohpali masih mengancam daerah penghasil padi yang subur itu sebagai landasan perjuangan mereka, yang mereka rencanakan akan berlangsung lama.

Sementara itu, Glagah Putih yang duduk memeluk lututnya, menjadi samakin jemu menunggu. Dengan datar ia berkata, “Apakah kita masih akan lama menunggu di sini?”

“Sampai iring-iringan dari Jati Anom itu lewat,” jawab Ki Waskita.

“Sampai berapa lama lagi?“ sahut Glagah Pulih sambil bersungut-sungut. “Nampaknya tidak akan terjadi sesuatu. Seandainya ada orang berniat jahat, biarlah mereka menghentikan perjalanan kita jika kita mendahului. Aku sudah mengantuk sekali.”

“Tidurlah,“ desis Agung Sedayu. “Nanti kami akan membangunkanmu jika yang kita tunggu sudah lewat.”

Glagah Putih justru berdiri sambil menggeliat. Katanya, “Aku lebih senang berada di pendapa Kademangan Sangkal Putung sekarang ini. Ki Demang tentu sedang menjamu tamu-tamunya dengan wedang sekoteng. Atau barangkali wedang jahe. Kemudian nasi putih yang masih berasap, gudeg manggar dan daging ayam yang masih muda.”

Sabungsari tidak dapat menahan tertawanya. Katanya, “Kau membuat aku menjadi lapar. Tidak pernah aku merasa selapar sekarang ini.”

“Nah,“ sahut Glagah Putih, “apa kataku. Kita semuanya tentu lebih senang makan gudeg manggar.”

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Tidurlah Glagah Putih. Mudah-mudahan dalam mimpimu, kau akan dijamu oleh Ki Demang dengan gudeg manggar dan daging ayam kemanggang.”

“Ah,” Glagah Putih berdesah sambil duduk kembali. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, ”Besok aku minta Ayah menebang sebatang pohon kelapa. Aku akan mengambil pondoh dan manggarnya. Aku menuntut ganti rugi karena malam ini aku tidak ikut ke Kademangan Sangkal Putung.”

Sabungsari berusaha menahan tertawanya. Sementara Agung Sedayu mengulangi kata-katanya, “Tidurlah. Usahakan agar kau bermimpi hadir di dalam bujana di pendapa Kademangan Sangkal Putung.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun mencari tempat yang kering dan tidak terlalu kotor. Desisnya, “Anggap saja kita sekarang dalam pengembaraan. Kita akan dapat tidur di sembarang tempat dan di sembarang keadaan.”

Tidak ada yang menjawab, meskipun yang lain berusaha menahan suara tawanya. Mereka memandangi saja Glagah Putih yang gelisah membaringkan dirinya di atas rerumputan kering.

Dalam pada itu, ternyata pertemuan di pendapa Kademangan tidak berlangsung terlalu lama. Menjelang tengah malam, jamuan makan dan minumpun selesai. Sehingga dengan demikian, maka tamu-tamu dari Jati Anom itupun minta diri.

“Kenapa demikian tergesa-gesa?” bertanya Ki Demang.

“Kami masih harus menempuh jarak yang cukup panjang,“ jawab Ki Widura.

“Baiklah,” berkata Ki Demang, “kami hanya dapat mengucapkan terima kasih atas kunjungan ini kepada Angger Untara, kepada Ki Widura, Kiai Gringsing dan tetua dari Jati Anom. Mudah-mudahan segalanya dapat berjalan lancar. Sebenarnyalah momong seorang gadis yang meningkat dewasa, rasa-rasanya seperti membawa sebutir telur di dalam genggaman. Terlalu keras kita menggenggam, telur itu akan pecah. Tetapi jika terlalu longgar, telur itu akan terlepas.”

“Kita akan bersama-sama berdoa,“ jawab Ki Widura, “mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung seperti yang kita rencanakan. Meskipun kita tidak boleh mengabaikan keadaan di sekitar kita yang kadang-kadang berpengaruh besar atas peristiwa dan rencana kita dalam hubungan pribadi seperti sekarang ini.”

“Ya, ya,” desis Ki Demang, “kita akan bersama-sama berdoa.”

Demikianlah, maka tamu-tamu dari Jati Anom itupun segera minta diri untuk kembali.

Ternyata malam memang sudah larut. Bintang-bintang sudah bergeser dari tempatnya, sementara angin malam bertiup dari arah laut, membawa udara yang terasa hangat di malam hari.

Sejenak kemudian sebuah iring-iringan beberapa orang penunggang kuda telah meninggalkan Sangkal Putung. Mereka adalah Untara, Ki Widura dan Kiai Gringsing, disertai oleh beberapa orang tua dari Jati Anom dan tiga orang pengiring dari pasukan pengawal terpilih.

Di perjalanan kembali, mereka sama sekali tidak memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Di sepanjang jalan pikiran mereka masih diliputi oleh pembicaraan yang baru saja terjadi di pendapa Kademangan Sangkal Putung.

Meskipun Untara tetap berhati-hati, tetapi iapun menganggap bahwa perjalanan yang terlalu bersifat pribadi itu agaknya tidak akan mendapat perhatian dari orang-orang yang bermaksud jahat. Namun demikian ia tetap membawa tiga orang pengawal terpilih, di samping ia menyadari bahwa yang pergi bersamanya adalah pamannya Widura, bekas seorang perwira, dan Kiai Gringsing.

Dalam pada itu, Untara dan setiap orang di dalam iring-iringannya sama sekali tidak mengerti, bahwa di dalam pategalan tidak jauh dari Kademangan Sangkal Putung, beberapa orang sedang menunggu mereka dengan gelisah. Bahkan Glagah Putih benar-benar telah menjadi jemu dan hampir saja ia memaksa untuk mengajak mendahului kembali ke Jati Anom. Namun untunglah bahwa Agung Sedayu sempat mencegahnya dengan mengatakan kepada Glagah Putih, bahwa ternyata ia masih harus menempa diri dengan latihan kesabaran.

“Menunggu memang menjemukan sekali,” berkata Agung Sedayu. “Dan agaknya kau masih harus banyak berlatih menunggu dalam keadaan yang berbeda-beda. Kali ini kita menunggu dalam keadaan yang paling ringan dibandingkan dengan apabila kita harus menunggu dan mengawasi seseorang tanpa mengetahui dengan pasti persoalannya. Misalnya jika kita melihat seseorang yang menarik perhatian dan pantas dicurigai. Kadang-kadang kita harus menunggu apa yang akan dilakukan. Bahkan mungkin sekali, ternyata orang itu tidak melakukan apa-apa.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun terasa juga kebenaran kata-kata Agung Sedayu. Pada suatu saat, menunggu itupun memang harus dilakukan. Bahkan dalam keadaan yang lebih gawat dan menegangkan

Dalam pada itu, ketika terdengar derap kaki kuda dari arah Sangkal Putung, maka Glagah Putih terlonjak sambil berdesis, “Tentu Kakang Untara.”

“Tunggulah di sini,” berkata Ki Waskita, ”biarlah aku melihatnya.”

Glagah Putih tidak membantah. Sementara itu, Ki Waskita dan Agung Sedayu merayap mendekati jalan yang menghubungkan Sangkal Putung dengan Jati Anom. Meskipun ada jalan lain, tetapi jalan itulah yang lebih sering dilalui, karena jalan itu lebih baik dan bahkan lebih dekat dengan jalan yang lain. kecuali jalan setapak.

“Apakah kita akan langsung bergabung dengan mereka?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Waskita menggeleng. Jawabnya, “Kita tidak perlu mengejutkan mereka. Kita akan mengikuti pada jarak yang cukup. Syukurlah jika tidak terjadi sesuatu. Iring-iringan itu tentu akan langsung menuju ke rumah Angger Untara. Baru kemudian Kiai Gringsing dan Ki Widura akan kembali ke padepokan. Dalam pada itu, kita tentu sudah berada di padepokan kembali.”

“Dan kita tidak mengatakan apa-apa tentang perjalanan ini?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Itu tidak mungkin. Angger Glagah Putih tentu bercerita kepada ayahya tentang kejemuannya. Tetapi tidak apa-apa, karena hal itu akan terjadi setelah kita semuanya berada di padepokan,“ jawab Ki Waskita.

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Iring-iringan itu sudah menjadi semakin dekat.

Dalam pada itu, meskipun di dalan gelapnya malam, namun Ki Waskita dan Agung Sedayu yang bersembunyi di pinggir jalan dapat melihat dengan pasti, bahwa iring-iringan itu benar adalah iring-iringan dari Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Untara.  

Demikian iring-iringan itu melintas, Agung Sedayu berdesis, “Kakang Untara.”

“Ya. Karena itu, kitapun akan segera meninggalkan pategalan ini. Tetapi jangan terlalu dekat. Di bulak panjang, mereka akan dapat mengetahui, bahwa ada orang yang mengikuti mereka. Dalam keadaan yang demikian mungkin mereka akan justru berhenti menunggu,” berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian bangkit berdiri ketika Ki Waskitapun bangkit pula. Perlahan-lahan mereka melangkah kembali ke tempat Glagah Putih dan Sabungsari menunggu.

“Bukankah mereka benar Kakang Untara?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,“ jawab Agung Sedayu.

“Jika demikian, marilah, kita cepat menyusulnya,“ ajak Glagah Putih. “Tetapi kenapa justru Kakang Agung Sedayu nampaknya tidak tergesa-gesa sama sekali?”

“Kita akan mengambil jarak,“ jawab Agung Sedayu. “Jangan terlalu dekat. Ki Waskita berharap, bahwa kita tidak akan mengejutkan mereka. Jika tidak terjadi apa-apa, maka kita tidak akan menyusul mereka. Dengan diam-diam kita akan kembali ke padepokan.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak membantah.

Dengan demikian, maka merekapun sama sekali tidak tergesa-gesa. Setelah mengambil kuda masing-masing, maka merekapun menuntunnya dengan hati-hati, agar tidak merusakkan tanaman di pategalan itu. Baru ketika mereka telah berada di jalan, segera mereka meloncat ke punggung kuda. Namun dalam pada itu, Ki Waskita masih berkata “Kita akan mengambil jarak yang cukup, sehingga mereka yang mendahului kita tidak akan merasa diikuti oleh sekelompok orang yang tentu tidak mereka ketahui, siapakah kita semuanya.”

“Jika kita menghentikan iring-iringan itu demikian mereka lewat tadi, maka mereka tentu tahu, bahwa kita ada di sini, dan tentu tidak akan mengejutkan,“ potong Glagah Putih.

Yang mendengarnya tersenyum. Bahkan Sabungsari menyahut, ”Baiklah. Nanti kalau iring-iringan itu lewat, kita akan menghentikannya.”

“Kau hanya dapat mengganggu saja,” geram Glagah Putih.

Agung Sedayu tertawa semakin panjang, meskipun ia berusaha untuk menahannya.

“Marilah,“ akhirnya Ki Waskita mengajak, “kita menyusul mereka. Tetapi kita tidak akan berpacu sekencang iring-iringan itu.”

Keempat orang itupun mulai bergerak. Kuda-kuda mereka berlari tidak begitu kencang. Ternyata angin malam tidak terlalu dingin. Apalagi nampak awan yang hampir rata. Namun di sela-sela awan yang kelabu nampak bintang berkeredipan.

Sementara itu Untara dan iring-iringannya telah berpacu semakin jauh. Mereka ingin segera sampai ke rumah. Apalagi nampaknya awan menjadi semakin tebal, sementara angin bertiup dari arah laut.

Sekali-sekali orang-orang di dalam iring-iringan itu menengadahkan wajahnya ke langit. Nampaknya hujan akan turun. Satu-satu bintang tenggelam di balik awan yang pekat. Sekali-sekali bunga api meloncat di langit menerangi seluruh permukaan bumi meskipun hanya sekejap. Namun suaranya menggelegar mengumandang di seluruh langit.

Dalam pada itu, di tikungan di sebelah Lemah Cengkar, beberapa orang telah siap menunggu. Ki Partasanjaya berdiri dengan gelisah. Sekali-sekali iapun menatap langit.

“Apa salahnya jika hujan turun?” berkata seorang yang bertubuh besar dan kekar, berambut pendek sekali, dan ikat kepalanya hanya disangkutkannya di lehernya. Wajah orang itu nampak keras sekali, dan ternyata wajah itu nampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.

“Tidak apa-apa,“ jawab Ki Partasanjaya. “Tetapi jika hujan itu dapat menghambat perjalanan Untara sehingga ia menunda perjalanannya kembali ke Jati Anom, maka kita tentu akan kecewa sekali.”

“Apakah senapati besar di daerah selatan ini takut melihat lidah api meloncat di langit?” bertanya orang bertubuh kekar itu.

“Bukan begitu. Tetapi jika hujan turun dengan lebatnya, sementara mereka masih di halaman, aku kira mereka tidak akan melanjutkan perjalanan. Mereka lebih senang duduk di pendapa sambil minum-minuman panas.”

“Tetapi agaknya mereka sudah berangkat sekarang,“ desis seorang yang lain, yang bertubuh tinggi dan kecil. Namun dengan demikian nampak ia seorang yang cekatan dan mampu bergerak cepat.

“Mudah-mudahan,” berkata Ki Partasanjaya.

Kawan-kawannyapun kemudian justru mencari tempat untuk beristirahat. Orang yang bertubuh kekar itupun menguap sambil berkata, “Jika terdengar derap kuda, panggil aku.”

“Kau tidak akan sempat memusatkan kemampuanmu. Demikian kau bangun dari tidur, demikian kau dihadapkan kepada ujung pedang,” berkata yang bertubuh tinggi.

“Siapa bilang bahwa aku akan tidur?“ sahut orang yang bertubuh kekar.

Yang bertubuh tinggi tidak menyahut. Dipandanginya saja orang bertubuh kekar itu. Namun akhirnya ia sendiri pun duduk bersandar pada sebatang pohon waru.

Dalam pada itu, tiga orang berjalan hilir mudik beberapa langkah dari Ki Partasanjaya. Seorang di antara mereka berdesis, ”Bandung dan Dogol Legi memang orang-orang yang sombong. Mereka mengira bahwa kemampuannya melampaui kemampuan kita.”

“Aku ingin membuktikan, bahwa orang yang bernama Bandung dan Dogol Legi itu tidak lebih dari orang-orang dungu yang sombong, “sahut yang lain.

Tetapi yang seorang berkata, “Aku tidak peduli. Tetapi akulah yang ingin mencoba kemampuan senapati di daerah selatan yang terkenal itu.”

Kedua orang yang lain tidak menjawab. Namun mereka bertigapun melangkah mendekati Ki Partasanjaya sambil sekali-sekali memandang Dogol Legi.

“Sampai kapan kita harus menunggu?” bertanya orang tertua dari ketiga orang itu.

“Mereka tentu segera akan lewat,“ jawab Partasanjaya.

“Aku harap bahwa aku sempat memilin leher orang-orang Jati Anom itu. Mudah-mudahan mereka benar-benar lewat,” desis yang lain.

“Aku pasti,“ sahut Ki Partasanjaya.

Ketiga orang dari Tal Pitu itupun kemudian beringsut menjauh. Namun mereka berjalan saja hilir mudik dalam kegelapan.

Yang berbaring beberapa langkah dari mereka adalah tiga orang pengikut Ki Partasanjaya, sedang dua orang lainnya duduk di sebelah mereka yang berbaring. Ternyata mereka adalah orang-orang terpilih pula, sehingga menurut perhitungan Ki Partasanjaya, lima orang itu sudah jauh berlebihan dibanding dengan kemampuan tiga orang prajurit pengawal Untara yang terpercaya.

“Bahkan setiap orang di antara mereka akan jauh lebih baik dari setiap orang di antara para pengawal itu,” berkata Ki Partasanjaya di dalam hatinya.

Menjelang tengah malam, ketika kejemuan sudah mencengkam, orang-orang yang menunggu itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda yang lamat-lamat dibawa angin. Karena itulah maka Ki Partasanjaya segera memberi isyarat kepada orang-orangnya. Dogol Legi yang duduk bersandar pohon waru itupun telah memanggil Bandung yang berbaring di dalam kegelapan, sementara tiga orang murid Padepokan Tal Pitu itupun telah bersiap pula.

“Kita menunggu di dalam gelap,” berkata Ki Partasanjaya. “Kita akan menghentikan mereka dengan tiba-tiba.”

“Kenapa di tempat gelap?” jawab Bandung. “Aku akan berdiri di tengah jalan.”

“Tidak,“ jawab Ki Partasanjaya. “Kita menunggu di tempat gelap.”

Bandung nampaknya masih akan menjawab. Tetapi Ki Partasanjaya mendahului, “Dengar dan lakukan perintah ini. Aku sendirilah yang akan menghentikan mereka.”

Bandung terdiam. Betapapun juga, pengaruh Ki Partasanjaya terasa menyusup sampai ke jantungnya. Karena itu, maka iapun segera bergeser seperti orang-orang lain ke dalam bayangan rimbunnya dedaunan.

Sementara itu, Ki Partasanjaya berdiri dengan gelisah di pinggir jalan. Seolah-olah iapun tidak sabar menunggu derap kaki kuda yang sangat lamban.

Ketika kilat memancar di langit, maka Ki Partasanjaya melihat sekilas beberapa ekor kuda berpacu semakin dekat. Derap kakinyapun terdengar semakin jelas pula.

Namun dalam pada itu, di saat kilat menyambar, orang-orang yang berkudapun melihat sesosok bayangan yang berdiri di pinggir jalan. Karena itulah, maka tiba-tiba saja Untara berdesis, “Apakah Paman melihat seseorang?”

“Ya,“ jawab Ki Widura. Lalu iapun berpaling kepada Kiai Gringsing, “Kiai juga melihat?”

“Ya. Akupun melihat. Seseorang berdiri di pinggir jalan di tikungan,” jawab Kiai Gringsing.

Karena itulah, maka orang-orang di dalam iring-iringan itupun mendapat peringatan dari Untara, agar mereka berhati-hati. Terutama ketiga orang pengawal yang menyertainya.

”Hati-hatilah,” berkata Untara, “jaga orang-orang tua itu sebaik-baiknya. Mudah-mudahan yang berdiri di pinggir jalan itu bukan seseorang yang menunggu kita.”

Orang-orang tua yang menyertai Untara ke Sangkal Putung itu menjadi berdebar-debar. Namun karena bersama mereka adalah Untara, Widura dan Kiai Gringsing. diiringi oleh tiga orang pengawal, maka merekapun menjadi agak tenang. Namun seandainya merekapun harus membela diri, maka apa boleh buat. Meskipun mereka bukan prajurit, tetapi mereka tidak sebaiknya untuk menundukkan kepala pada saat pedang lawan siap menghentak di lehernya.

Tetapi para pengawal itu menyadari bahwa tenaga ketiga orang tua itu sama sekali sudah tidak memadai apabila benar-benar mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan. Karena itulah maka mereka merasa wajib untuk melindunginya.

Semakin dekat iring-iringan itu dengan tikungan, maka Untara menjadi semakin berhati-hati. Di luar sadarnya, maka ia memperlambat derap kudanya. Bahkan sekali lagi ia memperingatkan, “Kita sudah sampai di tempat orang itu berdiri.”

Sebenarnyalah sejenak kemudian, dalam keremangan malam yang gelap Untara melihat bayangan bergerak di pinggir jalan. Dan sejenak kemudian, maka seseorang telah berdiri sambil mengangkat tangannya. Ketika sekali lagi lidah api meloncat di langit, maka nampak jelas ujud seseorang yang menghentikan iring-iringan itu, meskipun tidak segera dapat dikenal, siapakah orang itu.

Untara sadar, bahwa yang berada di pinggir jalan itu tentu bukan hanya satu orang. Sehingga, ia tidak justru melarikan kudanya, karena jika demikian, maka orang-orang di belakangnya mungkin sekali akan mengalami kesulitan, termasuk tiga orang-orang tua dari Jati Anom itu.

Karena itu. maka Untara pun menarik kekang kudanya dan berhenti beberapa langkah dari orang itu.

“Selamat malam Ki Untara,” terdengar orang yang berdiri di pinggir jalan itu menyapa, “Apakah kau masih mengenal aku?”

Untara terkejut. Ia memang mengenal suara itu. Dan iapun akhirnya dapat mengenali orang itu pula. Apalagi ketika kilat memancar sekilas.

“Ki Pringgajaya,” desis Untara.

“Ya,“ jawab orang itu. “Namaku sekarang adalah Partasanjaya. Ternyata ingatanmu baik Ki Untara.”

“Aku masih belum pikun,“ jawab Untara.

”Hadapilah kenyataan ini, bahwa aku memang belum mati seperti yang disangka banyak orang,” berkata Ki Partasanjaya sambil tertawa.

Tetapi jawaban Untara telah membuat kening Ki Partasanjaya itu berkerut, “Aku sudah tahu bahwa kau memang belum mati. Kuburan itu memang bukan kuburanmu. Yang belum aku ketahui adalah, siapakah orang yang telah kau korbankan, kau bunuh dan kau sebut orang bernama Pringgajaya itu.”

“Jadi kau yakin bahwa Pringgajaya memang belum mati?” bertanya Pringgajaya.

“Pertanyaan gila,“ desis Untara.

“Maksudku, sebelum kau jumpai aku sekarang ini?” bertanya Ki Partasanjaya pula.

“Setiap orang mengetahui bahwa kau memang belum mati,“ jawab Untara.

Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah. Nampaknya kau mempunyai penciuman yang sangat tajam. Mungkin orang tua dari padepokan kecil itulah yang telah meyakinkanmu bahwa aku memang belum mati. Tetapi sebenarnyalah sebagian besar dari prajurit Pajang percaya, bahwa aku sudah mati.”

“Tetapi kehadiranmu sekarang nampaknya menunjukkan sikap putus asamu, bahwa kau tidak akan mungkin dapat bersembunyi lagi,” geram Untara.

“Kau salah Anak Muda,“ jawab Ki Pringgajaya. “Aku sengaja menemuimu untuk yang terakhir kalinya, karena kau sebentar lagi akan mati. Semua orang di dalam iring-iringan ini akan mati. Dengar, aku sudah memperhitungkan dengan cermat. Yang ada di dalam iring-iringan senapati muda yang sombong itu adalah Ki Widura, Kiai Gringsing, tiga orang pengawal terpilih. Selebihnya adalah orang-orang Jati Anom yang tidak perlu diperhitungkan. Sementara itu aku membawa kekuatan dua kali lipat dari kekuatan yang kau bawa. Aku sendiri, yang kali ini bukan lagi bawahan senapati muda di Jati Anom. Tetapi aku telah bertekad untuk menunjukkan kepada Ki Untara, bahwa kemampuanku jauh melampaui kemampuanmu. Di jajaran keprajuritan Pajang aku memang berada di bawah kuasanya, tetapi ilmuku akan dengan mudah menguasaimu. Karena itu. aku akan memilih lawan yang seimbang di antara kalian, Kiai Gringsing. Selebihnya, biarlah orang-orangku menyelesaikannya. Termasuk Senapati Untara yang bagi ilmuku, sama sekali tidak berarti apa-apa.”

“Persetan!” Untara menggeram marah. “Aku wajib menangkapmu betapapun tinggi ilmumu.”

Jawaban Untara yang menghentak dan dilontarkan dengan kemarahan yang bagaikan meledak itu, justru disambut dengan suara tertawa oleh Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya. Di sela-sela suara tertawanya terdengar orang itu menjawab, ”Bagaimana mungkin kau akan menangkapku kali ini? Untara, kau akan mati. Kiai Gringsing akan mati, dan Ki Widura akan mati. Bahkan semuanya akan mati. Tetapi bukankah kalian telah berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung tentang adikmu Agung Sedayu? Bukankah pembicaraan itu sudah menghasilkan keputusan keputusan yang penting? Dengan demikian, maka aku masih berbaik hati, memberikan kesempatan menyelesaikan tugasmu sebagai seorang saudara tua bagi Agung Sedayu. Adikmu yang tidak pernah sempat kau urus karena kau mempunyai gairah yang berlebihan dalam kedudukanmu, agar setiap saat kau mendapat kesempatan untuk naik pangkat dan mendapat kedudukan yang lebih baik.”

Darah Untara bagaikan mendidih di dalam jantungnya. Namun ia segera menyadari, bahwa ia tidak boleh bertumpu pada perasaannya saja. Karena itu maka katanya, “Terima kasih atas peringatanmu Ki Pringgajaya. Meskipun kau adalah seorang prajurit di bawah kekuasaanku, tetapi karena umurmu yang lebih tua, maka aku kira nasehatmu tentang hubunganku dan adikku akan sangat aku hargai.”

Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tetapi yang dapat kau lakukan atas adikmu tidak akan lebih banyak dari yang dapat kau lakukan sekarang.”

“Itu menurut perhitunganmu,“ jawab Untara. “Tetapi aku akan tetap sebagaimana aku sekarang. Aku akan menangkapmu, dan membawamu menghadap ke Pajang. Mungkin aku harus berhadapan dengan orang orang yang telah berusaha melindungimu selama ini. Mungkin Ki Tumenggung Prabadaru, mungkin orang-orang lain. Tetapi wibawa keprajuritan Pajang akan tetap tegak. Dan besok, setelah aku menyerahkanmu, aku akan diangkat bukan saja menjadi senapati di daerah selatan ini. Tetapi aku akan mendapat tugas yang lebih besar, sehingga kuasaku akan bertambah-tambah.”

“Kau memang seorang senapati yang baik,“ desis Ki Partasanjaya. “Kau selalu dapat menguasai diri. Tetapi kau tidak akan dapat menahan arus prahara yang akan menghantam kalian semuanya kali ini.”

“Kau hanya pandai berbicara saja,“ jawab Untara. ”Cepat. Berbuatlah sesuatu, atau menguncupkan kedua tanganmu untuk diikat dan diseret di belakang kuda-kuda kami.”

”Luar biasa,” geram Ki Partasanjaya. “Aku berusaha membuat kau marah. Tetapi justru akulah yang hampir kehilangan nalar, sehingga dalam pikiran yang kalut tidak lagi dapat berpikir bening.”

Untara tidak menyahut. Namun setiap orang di dalam iring-iringan itu harus berhati-hati menghadapi segala kemungkinan. Karena itulah, maka merekapun kemudian berdiri tegak menghadapi keadaan setelah mereka mengikat kuda mereka di pinggir jalan. Ternyata beberapa orang telah keluar dari dalam bayangan gerumbul-gerumbul yang gelap.

“Siapakah mereka?” bertanya Untara. “Prajurit-prajurit Pajang yang telah kau racuni, atau orang-orang Gunung Kendeng yang tersisa, atau orang-orang mana lagi yang sempat kau bujuk dengan janji gila itu?”

“Jangan berkata begitu,“ potong Ki Partasanjaya. “Jangan kau anggap mereka orang-orang yang tidak tahu apa yang dilakukan. Mereka berbuat sesuai dengan kata nuraninya.”

Tetapi Untara justru tertawa. “Nurani apa? Sudah berapa orang kau korbankan. Sudah berapa orang berhasil kau bujuk untuk memasuki daerah maut. Bukan saja orang-orang bodoh seperti orang-orang Pesisir Endut, orang-orang Gunung Kendeng, atau dari lingkungan keprajuritan sendiri. Tetapi kau lihat Tumenggung Prabadaru sendiri, atau mungkin juga kau sendiri, yang tidak tahu apa sebenarnya yang sedang kau lakukan sekarang ini.”

Ki Partasanjaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau benar-benar telah menjadi sangat cemas. Baiklah, marilah kita mulai dengan babak terakhir dari kebesaran nama Untara, senapati besar yang dikagumi di daerah ini setelah kau berhasil mengalahkan Tohpati. Tetapi bagiku, Tohpati adalah kanak-kanak yang tidak berarti sama sekali.”

Untara tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiaga. Beberapa orang yang bersamanya berdiri berjajar di tengah jalan dengan sikap yang meyakinkan. Namun di antara mereka terdapat tiga orang tua yang harus mendapat perlindungan dari para pengawal.

Sementara itu, dengan nada tinggi Ki Partasanjaya berkata, “Untara, lihatlah. Orang yang bernama Bandung itu adalah calon lawanmu. Ia akan dapat membunuhmu. Tetapi agar aku yakin bahwa kematianmu memang sudah dekat, aku akan memperkenalkan kau dengan salah seorang murid dari padepokan Tal Pitu. Satu di antara murid-murid dari Tal Pitu itu akan membunuhmu bersama Bandung. Bukan berarti masing-masing tidak mampu melakukannya, tetapi aku tidak mau gagal lagi kali ini. Sementara adiknya yang bernama Dogol Legi akan bersama seorang dari Padepokan Tal Pitu pula untuk membunuh Widura. Aku dan salah seorang dari mereka, akan membunuh Kiai Gringsing.”

”Cukup!“ potong Untara. ”Ceritamu tidak menarik. Bersiaplah. Aku sudah muak mendengar kau berbicara.”

Ki Partasanjaya tertawa, ia masih akan berbicara lagi. Tetapi adalah di luar dugaan mereka, bahwa tiba-tiba saja Untara telah menarik pedangnya dan langsung menyerang Ki Partasanjaya.

Ki Partasanjaya terkejut. Tetapi ia masih sempat mengelak, sehingga senjata Untara tidak menyentuhnya.

Sementara itu, setiap orangpun segera bergeser. Masing-masing menempatkan diri menghadapi lawan. Namun karena Ki Partasanjaya sudah mengatur orang-orangnya, maka sejenak kemudian orang-orang itu telah mapan di hadapan lawan masing-masing. Untara, Widura dan Kiai Gringsing masing-masing memang harus menghadapi dua orang, sementara tiga orang pengawal Untara berhadapan dengan lima orang yang nampaknya sudah siap bertempur dalam satu lingkaran.

Dalam pada itu, tiga orang tua-tua dari Jati Anom itupun menjadi gelisah. Tetapi mereka merasa bahwa merekapun laki-laki. Karena itu, maka merekapun telah menarik keris mereka masing-masing. Meskipun dalam pertempuran itu, senjata mereka akan terasa terlalu pendek, tetapi itu lebih baik dari pada tidak mempergunakan sama sekali.

Kemarahan Untara telah membakar jantungnya. Tetapi ia masih tetap menyadari kedudukannya. Dengan demikian maka ia masih tetap mempergunakan nalarnya.

Menghadapi dua orang yang belum dikenalnya sama sekali Untaara memang harus sangat berhati-hati. Namun Untara pun sadar, bahwa kedua orang itu tentu sudah dipersiapkan. Ki Partasanjaya yang semula bernama Ki Pringgajaya itu tentu sudah mengetahui atau setidak-tidaknya mempunyai ukuran tentang kemampuannya Meskipun Ki Partasanjaya itu tidak tahu dengan pasti, tingkatan-tingkatan dan tataran-tataran yang dicapainya setingkat demi setingkat dalam latihan-latihan khususnya, namun bahwa dua orang yang dianggap oleh Ki Partasanjaya bahwa masing-masing akan dapat mengalahkannya itu, tentu merupakan lawan yang berat.

Demikian pula Widura yang sebelumnya pernah menjadi seorang senapati prajurit Pajang. Iapun merasa, bahwa Ki Pringgajaya itu sudah mempunyai takaran tentang dirinya. Dan iapun telah mempunyai takaran pula tentang kedua orang yang ditempatkannya sebagai lawannya.

Dalam pada itu, Ki Partasanjaya sendiri telah menempatkan dirinya untuk melawan Kiai Gringsing bersama salah seorang dari ketiga orang murid dari Tal Pitu. Dengan nada berat Ki Partasanjaya berkata, “Maaf Kiai. Aku terpaksa memberanikan diri untuk melawan Kiai yang memiliki nama demikian besarnya sebagai seorang guru olah kanuragan. Tetapi kami memang sudah bertekad, bahwa hari ini adalah hari terakhir yang akan dapat Kiai lihat. Sebentar lagi, tengah malam akan lewat. Tetapi aku kira Kiai sudah tidak akan sempat melihat hari baru yang akan datang itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sekilas ia melihat orang-orang lain yang sudah mulai membuka pertempuran. Untara pun telah mulai bertempur dengan kedua lawannya. Nampaknya ia tidak mau menunda-nunda waktu lagi. Apapun yang dihadapinya, maka segalanya akan menjadi kian jelas.

Demikian pula dengan Widura. Meskipun orang itu menjadi semakin tua, tetapi Widura justru menjadi semakin mantap. Senjatanya benar-benar telah menggetarkan jantung kedua orang lawannya.

“Marilah Kiai,” berkata Ki Partasanjaya. “Tetapi jika Kiai masih ingin melihat tiga orang pengawal Untara itu menjadi mayat, kemudian Untara dan Widura sendiri, aku tidak berkeberatan untuk memberikan waktu. Atau dengan demikian Kiai ingin melihat hari baru meskipun baru ujungnya saja, sehingga Kiai sempat menghirup udara pada hari yang baru itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil menunjuk kepada salah seorang murid padepokan Tal Pitu ia berkata, “Kau sudah siap mengimbangi Angger Pringgajaya untuk melawan aku? Kedua saudara seperguruanmu tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan, karena lawannya adalah orang-orang yang memiliki ilmu seimbang. Tetapi kau dan aku tidak mempunyai ilmu yang seimbang, sehingga karena itu, maka dalam pertempuran yang bakal datang, kau akan menjadi anak bawang.”

“Persetan!“ Orang Tal Pilu itu menggeram. “Kau yang sudah setua itupun masih sombong sekali.”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Jangan marah. Tetapi nampaknya memang demikian.”

“Jangan menghina orang itu Kiai,” berkala Ki Partasanjaya, “ia memiliki kesempatan yang sama dengan aku.”

“Tentu tidak,“ jawab Kiai Gringsing. “Kau adalah saudara seperguruan Ki Pringgabaya yang sekarang berada di Mataram. Ki Waskita pernah bercerita tentang orang yang bernama Pringgabaya, yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat. Yang dapat mendahului kesatuan waktu karena ilmunya yang luar biasa itu.”

Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Sementara Kiai Gringsing berkata terus, “Tetapi mungkin aku keliru menyebut. Ki Pringgabaya itu mampu mendahului waktu, atau sekedar satu permainan yang dapat mengelabui penglihatan. Nampaknya dua hal itu hampir sama, tetapi mempunyai makna yang sangat berbeda.”

Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya itu dengan serta merta menyahut, “Ternyata kau memang terlalu sombong melampaui yang aku duga. Sebelumnya aku juga menduga, bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing itu adalah seorang pendiam. Tetapi ternyata di samping kesombongannya, kau memang banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak kau mengerti.”

Kiai Gringsing tertawa pula. Katanya, ”Baiklah. Marilah kita mulai. Yang lain telah terlibat dalam pertempuran yang semakin dahsyat. Masing-masing telah bertempur dengan senjatanya. Nah, akupun akan bertempur dengan senjata.”

Ki Partasanjaya bergeser setapak. Katanya, “Ternyata kau juga seorang pengecut. Belum lagi kita mencoba kemampuan ilmu kita, kau sudah tergesa-gesa mengurai senjatamu.”

“Aku kira lebih baik aku bersenjata menghadapi dua orang yang tidak seimbang. Tetapi aku kira juga lebih baik untuk mengatasi permainanmu yang mungkin membingungkan bagiku, karena aku belum pernah melihatnya. Untunglah bahwa aku sudah mendengar dari Ki Waskita sehingga aku tidak akan terlalu terkejut karenanya,” berkata Kiai Gringsing.

Ternyata yang tidak dapat menahan kemarahannya adalah orang Tal Pitu itu. Dengan serta merta ia meloncat menyerang Kiai Gringsing. Namun, sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa kemampuan orang itu masih beberapa lapis di bawah kemampuan Kiai Gringsing. Demikian orang itu meloncat menyerang, maka cambuk Kiai Gringsing telah meledak. Hampir saja ujung cambuk itu menyambar ujung jari kakinya yang baru saja menyentuh tanah. Sehingga dengan serta merta orang Tal Pitu itu meloncat surut dengan tergesa-gesa.

“Berhati-hatilah,” berkata Kiai Gringsing, “tunggulah Ki Pringgajaya memulainya. Baru kau menyesuaikan diri. Jika kau yang mengambil sikap yang pertama, maka sebelum Ki Pringgajaya mulai, maka tubuhmu tentu sudah terkoyak oleh ujung cambukku.”  

Orang Tal Pitu itu benar-benar menjadi marah. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang baru saja terjadi. Orang yang bernama Kiai Gringsing itu memang memiliki kemampuan yang luar biasa.

Dalam pada itu, Ki Partasanjayapun menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak akan dapat dianggap ringan meskipun ia akan bertempur berpasangan.

Di lingkaran pertempuran yang lain. jelas terlihat betapa Untara dan Widura segera menemui kesulitan. Demikian pula tiga orang pengawal Untara yang harus melawan lima orang yang bertempur dalam satu lingkaran. Nampaknya kelima orang itu masih belum menghiraukan orang-orang tua dari Sangkal Pulung yang menggenggam kerisnya. Meskipun demikian orang-orang itu tidak akan melepaskan seorangpun dari mereka untuk meninggalkan arena.

Memang tidak ada harapan sama sekali pada Untara dan Widura. Sepasang lawannya memiliki ilmu yang hampir seimbang dengan Untara dan Widura sendiri, sehingga karena itulah, maka merekapun telah terdesak. Meskipun kedua orang itu tidak berputus asa, tetapi mereka harus berloncatan dengan langkah-langkah panjang, sehingga dalam waktu pendek nafas mereka telah terasa semakin memburu.

Kiai Gringsingpun kemudian terlibat pula dalam pertempuran melawan dua orang lawannya. Namun orang tua itupun tidak segera mendapat akal, bagaimana ia akan dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan iring-iringan itu. Apalagi iapun sadar, bahwa Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itupun memiliki ilmu yang akan dapat mengimbangi ilmunya, disamping seorang kawannya murid Tal Pitu itu.

Ternyata Ki Partasanjaya telah berhasil menguasai orang-orang terpenting dari Jati Anom itu. Ia memang tidak mau gagal lagi setelah beberapa kali ia kehilangan kesempatan untuk melakukan sesuatu. Meskipun ia belum berhasil membunuh Agung Sedayu dan Swandaru, namun justru gurunyalah yang akan dapat dibunuhnya lebih dahulu, di samping Untara dan Widura. Karena Untara baginya akan dapat merupakan hambatan yang berbahaya.

“Bukan pekerjaan yang sulit,“ desis Ki Partasanjaya. “Aku sudah menyiapkan kekuatan dua kali lipat dari yang aku perlukan.”

Namun sebenarnyalah kuasa Yang Maha Agung tidak akan dapat dipatahkan oleh rencana manusia, apalagi untuk menentukan hidup dan mati. Karena itulah, pada saat-saat Ki Partasanjaya tersenyum-senyum melihat Untara dan Widura mendekati akhir dari kemampuan pertahanannya, setiap orang di lingkaran pertempuran itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda.

“Setan alas!” geram Ki Partasanjaya. “Siapa lagi berkuda di malam begini.”

Namun Ki Partasanjaya pun tersenyum. Katanya, “Dua atau tiga orang prajurit peronda. Merekapun akan kami binasakan jika mereka melalui jalan ini pula. Alangkah senangnya, melihat beberapa sosok mayat terkapar di tikungan ini.”

Lalu tiba tiba saja terdangar suaranya lantang, ”Cepat, lumpuhkan tiga orang prajurit itu, karena sebentar lagi kalian akan mendapat lawan baru. Sementara itu, Untara dan Widurapun harus segera kalian selesaikan pula.”

Perintah itu membuat darah Untara bagaikan mendidih. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak.

Dalam pada itu, lima orang pengikut Ki Pringgajaya yang bertempur melawan tiga orang prajurit itupun benar-benar telah mengerahkan kemampuannya, sehingga ketiga orang prajurit itu benar-benar telah terdesak.

Bahkan, tiba-tiba saja terdengar desah yang patah. Seorang dari ketiga pengawal Untara itu terloncat surut ketika terasa lengannya tergores oleh tajamnya pedang lawan.

“Gila!” geramnya. Namun luka itu terasa betapa pedihnya.

Meskipun demikian, prajurit itu tidak meninggalkan gelanggang. Selangkah ia maju. Senjatanya masih kuat di dalam genggamannya.

Namun dalam pada itu, kedua prajurit yang lainpun telah terdesak pula, sementara orang-orang tua yang menggenggam keris itupun berdiri dengan tangan bergetar. Merekapun merasakan gejolak kemarahan yang menghentak di dada. Tetapi mereka merasa bingung menghadapi kenyataan yang terjadi, meskipun di tangan mereka tergenggam keris.

Sementara itu, ketika prajurit yang terluka itu memasuki kembali ke arena, kawannya yang seorang lagi lelah terdorong pula. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi ujung pedang lawannya telah melukai dada sebelah kanan, sehingga darahpun mulai menitik karenanya.

“Sebentar lagi mereka akan mati,” teriak salah seorang dari kelima lawannya.

“Cepat sedikit!” teriak Ki Pringgajaya. “Derap kaki kuda itu sudah mendekat.”

Kiai Gringsing tidak mampu berbuat banyak. Dihadapannya, Ki Pringgajaya telah mulai menyerangnya dengan ilmunya yang sama seperti Ki Pringgabaya, saudara seperguruannya sebagaimana dikatakan oleh Ki Waskita.

Dalam pada itu, keempat orang yang berkuda di bulak panjang telah mendengar ledakan cambuk Kiai Gringsing. Karena itu, maka Agung Sedayupun berdesis, “Guru. Mereka benar-benar terlibat dalam pertempuran.”

“Dugaan kita benar,” desis Ki Waskita, “orang orang berkuda yang dilihat oleh Angger Sabungsari itu tentu petugas sandi yang mengamati Angger Untara.”

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah melecut kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Di belakangnya Sabungsari menyusul diikuti oleh Glagah Putih, sehingga karena itu, maka Ki Waskita-lah yang kemudian berada di paling belakang.

“Hati hatilah!” Ki Waskita memperingatkan Glagah Putih. “Kuasailah kudamu sebaik-baiknya.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak memperlambat derap kudanya.

Sebenarnyalah mereka segera melihat pertempuran di tikungan di sebelah Lemah Cengkar. Karena itu, Agung Sedayu yang di paling depan segera meloncat dari punggung kudanya. Ia tidak sempat lagi mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Dibiarkannya saja kudanya lepas, dan ia sendiri berlari-lari mendekati arena pertempuran yang semakin seru. Demikian Agung Sedayu hadir, maka seorang lagi prajurit pengawal Untara telah terlempar dan jatuh berguling di tanah. Lambungnya telah terluka lebih parah dari kedua orang kawannya yang lain. Bahkan seorang yang terluka lengannya, masih harus mengeluh lagi ketika pundaknya sekali lagi tersayat oleh senjata lawannya.

Agung Sedayu segera melihat, bahwa yang terluka itu adalah prajurit-prajurit Pajang, pengawal Untara yang tidak dapat bertahan melawan lima orang lawan.

Nampaknya lima orang pengikut Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya itu benar -benar ingin membinasakan tiga orang lawan mereka yang memang sudah tidak berdaya itu. Meskipun mereka bertiga masih tetap hidup, namun untuk membunuh mereka, tidak akan lebih sulit dari memijit buah ceplukan.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah hadir di antara tiga orang yang sudah tidak berdaya lagi itu. Sekilas terbersit kegembiraan di hati para prajurit ketika mereka melihat Agung Sedayu. Namun para prajurit itupun segera teringat, bahwa Agung Sedayu adalah seseorang yang sedang mereka bicarakan untuk pada suatu hari akan duduk bersanding. Karena itu, tiba tiba saja prajurit yang meskipun sudah terluka tetapi masih tetap menggenggam pedang itupun berkata, “Minggiriah! Cepat tinggalkan tempat ini. Jangan campuri persoalan kami.”

Agung Sedayu tidak beringsut. Ia sadar, bahwa para prajurit itu tidak akan dapat lagi melindungi nyawanya tanpa bantuan orang lain. Karena itu, maka ia tetap berada di tempatnya. Bahkan dengan serta merta Agung Sedayu telah mengurai cambuknya untuk menghadapi lima orang pengikut Ki Pringgajaya.

Sementara itu, Sabungsari pun telah meloncat turun pula, disusul oleh Glagah Putih. Seperti Agung Sedayu, Glagah Putih tidak sempat menghiraukan kudanya yang dilepasnya begitu saja. Namun Sabungsari masih mempunyai waktu untuk mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu.

Tetapi dalam pada itu, Ki Waskita-lah yang melihat dua ekor kuda yang terlepas begitu saja, telah menyediakan sekedar waktu untuk mengikat kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih agar kedua ekor kuda itu tidak merayap semakin jauh dari arena pertempuran.

Dalam pada itu, Ki Partasanjaya telah terkejut bukan buatan ketika ia melihat bahwa yang datang itu adalah Agung Sedayu yang disusul oleh Glagah Putih, Sabungsari dan seorang tua yang nampaknya terlalu yakin terhadap kawan-kawannya, sehingga karena itu justru sempat menambatkan selain kudanya sendiri, juga kedua ekor kuda yang lebih dahulu dilepaskan oleh penunggang-penunggangnya.

“Setan alas!” ia menggeram. “Darimana mereka mendengar bahwa aku sedang mencegatnya di sini.”

Namun karena yang datang hanya empat orang termasuk Glagah Putih, sementara tiga orang prajurit pengawal Untara sudah dilumpuhkan, maka Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya itu masih melihat kesempatan untuk menyelesaikan pertempuran itu.

Kepada kawannya, salah seorang murid Tal Pitu ia berkata, “Tinggalkan orang ini. Biarlah aku menyelesaikan. Kau akan mendapat lawan yang baru.”

“Persetan! Siapakah mereka? Biarlah anak-anak menyelesaikannya,“ sahut murid dari Tal Pitu.

“Ada yang tidak mungkin mereka selesaikan. Anak yang bercambuk itu adalah anak iblis. Ia murid orang tua ini yang terpercaya,” desak Ki Pringgajaya.

Orang Tal Pitu itu menggeram, “Apa kelebihannya murid orang ini. Kau sajalah yang menghadapi muridnya, aku akan menghadapi gurunya.”

“Jangan menjadi gila. Kita masing-masing harus tahu diri,” geram Ki Partasanjaya.

Orang padepokan Tal Pitu tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat ingkar akan hal itu, sehingga karena itu maka iapun telah melepaskan Kiai Gringsing dan mendekati Agung Sedayu yang berhadapan dengan lima orang pengikut Ki Pringgajaya.

Lima orang yang baru saja berhasil melumpuhkan tiga orang lawannya itu masih saja dibayangi oleh kemenangannya. Karena itulah maka merekapun menjadi sangat marah ketika mereka melihat Agung Sedayu seorang diri berdiri menghadapi mereka. Selangkah di sampingnya, seorang dari tiga orang prajurit yang masih tetap menggenggam pedangnya itu berdiri dengan kaki bergetar, sementara dua orang kawannya yang lain telah terbaring beberapa langkah di belakang mereka. Sementara tiga orang-orang tua dari Jati Anom itu berusaha untuk menolong mereka dan mengangkatnya menjauhi arena pertempuran.

Ternyata dalam pada itu, orang Tal Pitu yang meninggalkan Kiai Gringsing itu melihat, bagaimana tiga orang tua-tua dari Jati Anom mengangkat para prajurit yang sudah tidak berdaya. Tiba-tiba saja timbul niatnya, sebelum ia membunuh orang yang telah dengan sombong menghadapkan dirinya melawan lima orang pengikut Ki Partasanjaya, maka ia akan membunuh kedua orang prajurit itu lebih dahulu. Bahkan jika perlu orang-orang tua dari Jati Anom itu sekaligus.

Namun dalam pada itu, demikian ia melangkah mendekati mereka, seorang prajurit muda telah meloncat menghalanginya sambil berkata, “Jangan begitu. Mereka telah terluka parah. Barangkali kau lebih senang berhadapan dengan aku.”

”Siapa kau?” bertanya orang Tal Pitu itu.

“Seorang prajurit pengawal seperti tiga orang yang telah dilumpuhkan itu. Namaku Sabungsari,” jawab orang itu.

Orang Tal Pitu itu menggeram. Katanya, “Apakah kau ingin mati lebih dahulu dari kawan-kawanmu yang sudah tidak berdaya itu?”

“Aku adalah kawan mereka. Apapun yang akan terjadi, aku tidak peduli. Tetapi adalah kewajibanku untuk membantunya jika mereka mengalami kesulitan,“ jawab Sabungsari.

Orang Tal Pitu itu tidak bertanya lebih lanjut. Ia tidak lagi menghiraukan dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, meskipun ia tidak berhadapan dengan murid orang bercambuk itu, namun ia tidak peduli lagi.

Orang Tal Pitu itu menganggap Sabungsari tidak lebih dari prajurit-prajurit yang telah terluka itu. Karena itu, maka dengan serta merta ia telah menyerangnya dengan perhitungan bahwa prajurit itu akan dapat segera dilumpuhkannya.

Namun ternyata bahwa orang Tal Pitu itu telah terkejut bukan buatan. Ternyata Sabungsari tidak menghindari serangan itu. Sadar bahwa lawannya menganggapnya terlalu kecil, maka ia telah membentur kekuatan lawannya itu dengan sebagian dari kekuatannya saja. Namun karena tidak menduga sama sekali, orang Tal Pitu itu telah terlempar surut.

Sabungsari masih berdiri tegak. Dipandanginya orang Tal Pitu yang kebingunngan menghadapi kenyataan yang tidak pernah diduganya, bahwa seorang prajurit mampu mengimbangi kekuatannya dan bahkan mengejutkannya.

“Jangan bingung,” berkata Sabungsari. “Sekali lagi aku beritahu, bahwa aku adalah kawan dari prajurit-prajurit yang terluka itu. Karena itu, maka aku akan menuntut balas atas perlakuan kalian terhadap kawan-kawanku itu.”

Orang Tal Pitu itu menggeram. Namun ia tidak lagi tergesa-gesa menyerang. Ia harus memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang melihat ayahnya bertempur melawan dua orang dengan tergesa-gesa telah mendekatinya. Namun Ki Waskita menggamitnya sambil berdesis, “Jangan kau lawan salah seorang dari lawan ayahmu.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Bergabunglah dengan Agung Sedayu,” berkata Ki Waskita.

“Bagaimana dengan Ayah yang terdesak?” desis Glagah Putih dengan cemas.

”Lakukanlah yang aku katakan. Aku akan bergabung dengan ayahmu,“ jawab Ki Waskita.

Glagah Putih tidak menjawab. Ia percaya akan pengamatan Ki Waskita, sehingga iapun kemudian mendekati Agung Sedayu yang berhadapan dengan lima orang. Sementara itu Agung Sedayu berkata kepada prajurit yang terluka, “Beristirahatlah agar lukamu tidak mengeluarkan darah semakin banyak. Apakah kau tidak membawa obat?”

“Ya. Aku membawa,“ jawab prajurit itu.

“Obati lukamu dan kawan-kawanmu,“ desis Agung Sedayu.

“Persetan!“ salah seorang dari lima orang pengikut Ki Pringgajaya itu menggeram. “Kau terlalu sombong Anak Muda.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika kelima orang itu bergeser mencari arah masing-masing, Agung Sedayu pun bersiap menghadapi segala kemungkinan sementara prajurit yang terluka itu bergeser menjauh.

Tetapi seorang dari kelima orang itu tiba-tiba saja telah dihinggapi satu keinginan untuk memburu prajurit yang terluka itu dan membunuhnya. Karena itu, tiba-tiba saja ia meloncat meninggalkan Agung Sedayu dan bersiap untuk menyerang pengawal yang sudah tidak banyak mempunyai tenaga lagi itu.

Agung Sedayu terkejut melihat sikap itu. Namun iapun menarik nafas dalam-dalam, ketika orang itu terhenti karena Glagah Putih berdesis,”Biarlah ia beristirahat. Ia telah terluka.”

“Anak setan! Siapa kau he?” geram orang yang ingin memburu prajurit itu.

Glagah Putih yang sudah siap menghadapinya menjawab singkat, “Aku lawanmu sekarang.”

Pengikut Pringgajaya itu heran. Meskipun malam gelap, tetapi sesekali kilat memancar, sehingga nampak yang berdiri di hadapannya adalah seorang anak yang masih terlalu muda. Nampaknya senjatanya sangat meyakinkan teracu kepadanya.

Bahkan nampaknya Glagah Putih tidak ingin melepaskannya lagi. Sesaat kemudian senjatanya telah tergetar. Selangkah ia maju sehingga pengikut Ki Pringgajaya itupun harus bersiap-siap untuk melawannya dan melepaskan prajurit yang sedang menghindar dari arena pertempuran karena luka-lukanya itu.

Agung Sedayu sengaja memberi kesempatan kepada Glagah Putih untuk bertempur melawan orang itu. Namun iapun sadar, bahwa ia harus berusaha mengawasinya jika ternyata kemudian orang itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu Glagah Putih.

Karena itu, ketika seorang lagi dari keempat orang yang menghadapinya akan beringsut mendekati kawannya yang sudah berhadapan dengan Glagah Putih, maka Agung Sedayupun tidak menunggu lagi. Seperti yang lain, yang telah mempergunakan senjatanya, maka meledaklah cambuknya dengan dahsyatnya seolah-olah mengimbangi ledakan guntur di langit yang sesekali terdengar. Namun dalam pada itu, ledakan yang lainpun telah mengumandang. Kiai Gringsing yang bertempur melawan Ki Pringgajaya sekali-sekali harus mempergunakan senjatanya pula.

Ledakkan cambuk Agung Sedayu dan Kiai Gringsing serta guntur di langit, rasa-rasanya telah membentur setiap dada para pengikut Ki Pringgajaya. Seolah-olah ada hubungan yang saling isi mengisi antara ketiganya.”

Sementara itu, seperti yang dikatakan, Ki Waskita telah mendekati arena pertempuran antara Ki Widura dengan kedua orang lawannya. Nampak sekali betapa Ki Widura terdesak. Dan bahkan hampir saja ia telah kehilangan kesempatan untuk bertahan.

Karena itu kehadiran Ki Waskita telah memberikan kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya, karena lawan-lawannya itupun harus memperhatikan kehadiran orang baru itu.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita pun melihat, betapa Untara telah dikuasai pula oleh Bandung dan seorang dari Tal Pitu. Ruang geraknya menjadi sangat sempit karena senjata kedua lawannya telah mengurungnya.

“Mudah-mudahan yang aku lakukan tidak menyinggung perasaan Ki Widura dan Ki Untara,” berkata Ki Waskita di dalam hati.

Sejenak kemudian, ia telah berada di lingkaran pertempuran bersama Widura. Namun saat yang pendek itupun harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menolong Untara. Bandung benar-benar seorang yang kuat dan tangkas sementara orang Tal Pitu itupun mampu bergerak cepat sekali.

“Ki Widura,” berkata Ki Waskita, “tinggalkan kedua orang ini. Lihat, apa yang terjadi dengan Ki Untara.”

Widura termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak sempat merenung terlalu lama. Karena itu, maka Ki Waskitapun mendesaknya, “Tidak ada waktu untuk menimbang-nimbang.”

Widura sadar. Ia melihat pula bahwa Untara benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi. Karena itu, maka iapun segera meloncat meninggalkan arena itu. Ketika salah seorang lawannya ingin mengejarnya, maka mulailah Ki Waskita melibatkan diri langsung menyerang orang itu dengan loncatan panjang, sehingga orang itu mengurungkan niatnya dan menghindari serangan yang mendebarkan itu.

Demikianlah, maka Ki Waskita-lah yang kemudian berhadapan dengan dua orang. Karena itu, maka iapun mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan senjata pula.

Ki Waskita terbiasa mempergunakan perisai pergelangan tangannya yang dibalut deengan ikat kepalanya atau dengan ikat pinggangnya. Tetapi jika ia ingin mempergunakan ikat pinggangnya sebagai senjata, maka yang dipergunakan bagi perisainya adalah ikat kepalanya.

Demikianlah Ki Waskita kemudian mengurai ikat kepalanya dan melingkarkannya pada pergelangan tangannya, sementara ia juga mengurai ikat pinggangnya yang dipergunakannya sebagai senjata menghadapi senjata-senjata lawannya.

“Orang ini sudah gila,” geram Dogol Legi. “Dikiranya aku sedang bermain-main.”

Sementara orang Tal Pitu yang bertempur bersamanya itupun menjadi sangat marah melihat sikap Ki Waskita yang mereka anggap sangat merendahkan.

Karena itu, maka kedua orang itupun segera mengerahkan segenap ilmunya untuk menekan lawan mereka yang baru.

Namun ternyata lawannya yang baru ini agak berbeda dengan Ki Widura. Ki Waskita memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Ki Widura, sehingga untuk sesaat Dogol Legi dan orang Tal Pitu itu terkejut karena serangan-serangan mereka bagaikan membentur benteng baja. Ternyata ikat kepala yang melingkar di pergelangan tangan itu mempunyai kekuatan seperti sebuah perisai baja yang tidak koyak oleh tajamnya pedang, dan ikat pinggang itupun berbahaya melampaui pedang.  

Sementara itu, Ki Widura dengan tergesa-gesa telah mendekati arena pertempuran Untara yang berat sebelah. Untara yang benar-benar tidak mampu lagi bertahan, selalu berloncatan surut. Namun lawannyapun sempat memburunya dengan serangan-serangan yang garang.

Kehadiran Ki Widura membuat kedua lawan Untara menjadi marah. Mereka terganggu, karena hampir saja merasa berhasil mengurung dan membinasakan Untara.

”Licik!” geram orang Tal Pitu yang bertempur melawan Untara, “Kenapa senapati muda yang memiliki nama besar ini memerlukan bantuan seseorang?”

Ki Widura-lah yang menjawab, “Katakan sekali lagi, bahwa kehadiranku adalah pertanda kelicikan kami. Lalu apakah artinya bahwa kalian juga bertempur berpasangan? Dengar, kami akan menempatkan diri kita masing-masing pada sikap jantan seorang laki-laki. Kita akan bertempur seorang melawan seorang.”

Bandung yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tidak terlawan berkata, “Aku terima tawaranmu. Aku akan membunuh senapati muda ini. Dan biarlah kawanku ini membunuh bekas senapati yang pernah dihadapkan kepada Macam Kepatihan di Jati Anom.”

Widura menjawab, ”Bagus. Marilah.”

Orang Tal Pitu yang bertempur bersama Bandung itupun kemudian meninggalkan Untara. Dihadapinya Widura yang telah bersiap menghadapinya pula.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Yang datang membantunya adalah pamannya. Meskipun ada juga setitik singgungan pada perasaannya, seolah-olah ia tidak dapat menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapinya, namun karena yang datang itu adalah Widura, sementara iapun tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa ia tidak akan mampu melawan kedua orang yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya itu, maka iapun akhirnya berkata, “Terima kasih Paman. Aku akan segera membunuh orang ini.”

Demikianlah, keseimbangan pertempuran itu telah berubah. Lingkaran pertempuran pun telah berubah pula. Yang harus menghadapi lawan rangkap adalah KiWaskita dan Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu harus berhadapan dengan empat orang lawan.

Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin gelap. Kilat semakin sering meloncat di langit, dan guruhpun menggelegar tidak henti-hentinya. Di sebelah tikungan itu membujur jalan menuju ke Lemah Cengkar. Satu tempat yang menurut kepercayaan banyak orang, dihuni oleh seekor harimau putih yang mengerikan.

Ternyata bahwa awan yang hitam di langit itu tergantung semakin rendah dan seolah-olah semakin berat dibebani oleh titik-titik air yang semakin banyak. Karena itulah, maka sejenak kemudian titik-titik hujan-pun mulai turun. Semakin lama semakin banyak. Dan hujanpun menjadi semakin lebat.

Prajurit yang terluka di pinggir arena telah beringsut dan berusaha berlindung di bawah pepohonan. Betapa air hujan membuat luka mereka menjadi pedih. Namun serba sedikit rimbunnya dedaunan di pinggir jalan itu telah memberikan sedikit perlindungan kepada mereka.

Dalam pada itu, jika di langit lidah api menyambar, rasa-rasanya bumi bagaikan siang. Namun hanya sekilas. Dan dalam sekilas itu dapat dilihat ujung senjata berputaran.

Ternyata Ki Pringgajaya benar-benar seorang yang luar biasa. Ia benar-benar memiliki ilmu seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita. Bahkan sebagai saudara seperguruan, Ki Pringgajaya memiliki ilmu itu lebih mantap dan mapan.

Tetapi ilmunya tidak lagi dapat mengejutkan Kiai Gringsing yang sudah mengetahuinya. Apalagi dengan senjata cambuknya yang berjuntai dan lentur, Kiai Gringsing berusaha menyesuaikan dirinya. Ia menjaga agar arah serangan Ki Pringgajaya tidak menyusup di sela-sela putaran cambuknya, karena Kiai Gringsing sadar, serangan Ki Pringgajaya telah melampaui kecepatan waktu.

”Gila,” geram Ki Pringgajaya di dalam hatinya, “orang tua ini benar-benar seorang yang berilmu iblis.”

Sebenarnyalah sulit bagi Ki Pringgajaya untuk menembus putaran cambuk Kiai Gringsing. Namun Kiai Gringsing pun tidak mudah untuk dapat menyentuh lawannya. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun telah berlangsung dengan dahsyatnya. Bukan saja karena keduanya memiliki kecepatan gerak yang tinggi, tetapi keduanya mulai melepaskan kekuatan cadangan mereka yang tidak banyak dikuasai oleh orang kebanyakan.

Dalam hujan yang semakin deras, pertempuran itupun berlangsung semakin sengit. Air yang bagaikan dicurahkan dari langit kadang-kadang membuat malam menjadi semakin pekat. Wajah-wajah yang basah harus sekali-sekali diusap dengan tangan kiri, sementara tangan-tangan kanan menggenggam senjata masing-masing.

Salah seorang dari prajurit yang terluka paling parah telah menggigil. Bukan saja karena curahan air hujan, namun juga karena tubuhnya yang semakin lemah oleh darah yang mengalir. Meskipun para prajurit itu juga membawa obat yang dapat dipergunakan untuk sementara di medan pertempuran seperti itu, namun nampaknya air hujan telah melarutkannya. Meskipun demikian, obat-obat itu dapat juga membantu serba sedikit dalam keadaan yang gawat itu.

Glagah Putih yang bertempur seorang melawan seorang telah menunjukkan kemampuannya. Meskipun kekuatan lawannya masih berada di atas kekuatannya, tetapi ia memiliki kemampuan bergerak lebih cepat dan unsur-unsur gerak yang lebih lengkap. Dengan demikian, maka Glagah Putih itupun masih mampu mengimbangi lawannya dan bertempur dengan tangkasnya. Sementara lawannya kadang-kadang masih saja dibayangi oleh keheranannya, bahwa lawannya itu masih sangat muda. Jika langit menyala, nampaklah wajah remajanya yang tegang. Namun anak itu sudah mampu menggerakkan senjatanya dan bahkan kadang-kadang sangat membahayakan.

Arena pertempuran di tikungan itu semakin lama menjadi semakin meluas. Masing-masing bergeser ke arah yang kadang-kadang tidak diperhitungkan. Bahkan satu dua orang telah bertempur di seberang parit, turun ke tanah persawahan yang basah dan berlumpur. Dengan demikian maka kaki mereka menjadi semakin berat dicengkeram oleh tanah yang basah sehingga gerak merekapun menjadi semakin lamban.

Bandung yang dibanggakan itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan garangnya ia melibat Untara dalam pertempuran berjarak pendek. Ia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Untara untuk mengambil jarak. Demikian kawannya dari Tal Pitu harus bertempur melawan Widura, maka Bandung harus mempercayakan diri kepada kemampuannya. Dan ia memang memiliki kecepatan gerak tangan untuk bertempur pada jarak yang terlalu dekat

Tetapi Untara memiliki pengalaman di banyak arena dan cara untuk mempertahankan diri dan menyerang. Karena itu, maka iapun justru menyesuaikan diri dengan cara yang dipilih oleh lawannya. Bertempur pada jarak yang pendek. Bahkan Untara masih memiliki kelebihan dari lawannya yang hanya mampu menggerakkan tangannya dengan cepat. Tetapi dengan latihan-latihan yang berat pada saat-saat senggang, kaki Untarapun mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya, telah menempatkannya pada kesempatan yang lebih baik.

Namun ternyata bahwa Untara harus mengamati tangan kiri lawannya. Selain senjatanya ditangan kanan ternyata bertempur pada jarak yang pendek itu mempunyai kemungkinan yang lain pada lawannya. Ternyata jari-jari tangan kiri lawannya mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sesaat Untara lengah karena ia sekedar memperhatikan senjata lawannya, maka pundaknya telah tersentuh oleh tangan kiri lawannya itu.

Semula Untara hanya merasakan pundaknya bagaikan disengat oleh rasa sakit. Namun kemudian pundaknya itu merasa pedih. Ketika ia sempat meraba pundaknya, terasa di antara basahnya air hujan, cairan yang hangat mengembun di pundaknya yang pedih. Sekilas kilat memancar, Untara menyadari bahwa pundaknya telah berdarah.

“Kukunya setajam pisau,“ desis Untara di dalam hatinya. Dengan demikian maka Untarapun menjadi lebih berhati-hati menghadapi lawannya. Ia sadar, kenapa lawannya berusaha untuk melibatnya dalam pertempuran tanpa jarak itu.

Dengan demikian, maka Untarapun telah mengimbangi kemampuan lawannya pada tangan kirinya dengan tekanan-tekanan kekuatan yang telah dikembangkannya pada tenaga cadangannya. Perlahan-lahan kekuatan Untara bagaikan menjadi semakin besar.

Dalam pada itu, Untara yang bertempur pada jarak yang pendek itu, memang sulit untuk mendapat kesempatan melihat arena pertempuran secara keseluruhan. Namun dengan sekali-sekali ia sempat juga melihat sekilas jika langit memancar.

Namun kehadiran adiknya bersama Ki Waskita, Sabungsari dan Glagah Putih telah terasa akibatnya. Bahkan jika ia semula harus bertempur melawan dua orang yang hampir saja merenggut hidupnya seperti yang memang dikehendaki oleh Ki Pringgajaya, maka kemudian ia tinggal berhadapan dengan seorang saja meskipun yang seorang ini memiliki kemampuan yang mendebarkan.

Sebenarnyalah Untara yang telah mendapat gambaran serba sedikit tentang kemampuan adiknya di padepokannya, tidak mencemaskannya lagi meskipun bukan berarti bahwa adiknya itu tidak akan mendapat lawan yang berat. Apalagi ketika ia melihat bahwa adiknya itu harus melawan empat orang sekaligus. Namun yang justru lebih diperhatikan adalah kehadiran Glagah Putih di antara orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

”Untunglah ia tidak bertemu dengan lawan yang menggetarkan,” berkata Untara di dalam hatinya, setelah ia mengetahui bahwa Glagah Putih telah mendapat lawan salah seorang dari lima pengikut Ki Pringgajaya.

Dalam pada itu, rasa-rasanya malam menjadi semakin kelam. Hujan justru menjadi semakin lebat, dan angin bertiup semakin kencang. Pepohonan bagaikan diguncang dan bahkan kadang-kadang bagaikan diputar oleh angin yang melingkar.

Ledakan cambuk Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih saja bersahut-sahutan dengan guntur yang menggelegar. Sementara air mulai mengalir di sepanjang jalan dan parit-paritpun mulai melimpah.

Sabungsari bergeser beberapa langkah dari kawan-kawannya. Ia mencoba untuk bertempur pada jarak yang memungkinkannya melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Rasa-rasanya ingin sekali ia melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Pringgajaya di hadapan Kiai Gringsing, meskipun ia pernah mendengar serba sedikit tentang orang yang bernama Ki Lurah Pringgabaya, yang juga saudara seperguruan Ki Pringgajaya.

Lawan Sabungsari sendiri, bukanlah orang yang membuat prajurit muda itu silau. Meskipun orang itu memiliki bekal yang cukup, namun Sabungsari sendiri juga memiliki ilmu yang tinggi, sehingga karena itu, maka Sabungsari tidak terlalu cemas menghadapi lawannya. Namun iapun sadar, jika ia membuat satu kesalahan kecil saja, maka ia akan terjerumus ke dalam keadaan yang sangat gawat.

Sambil bertempur, Sabungsari mengamati Ki Pringgajaya yang pernah dikenalnya dalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom. Ternyata seperti yang dikatakannya, ia memang mampu mengimbangi ilmu Kiai Gringsing. Kecepatannya bergerak kadang-kadang memaksa Kiai Gringsing untuk bergeser surut mengambil jarak, kemudian meledakkan cambuknya untuk menahan agar lawannya tidak menelusup memasuki daerah pertahanannya.

Tetapi malam sangat gelap. Hujan yang tercurah telah membatasi penglihatannya. Hanya jika sesekali kilat memancar, ia dapat melihat seluruh arena. Tetapi tidak lebih dari sekejap.

Agung Sedayu-lah yang bertempur melawan jumlah orang yang paling banyak. Meskipun mereka bukan orang terpenting di dalam kelompok orang-orang yang menghadang Untara, tetapi berempat mereka merupakan lawan yang cukup berat. Apalagi mereka berusaha memencar dan mengepung Agung Sedayu dari segala arah.

Seperti Sabungsari, Agung Sedayu tidak terlalu cemas menghadapi keempat lawannya. Tetapi iapun tidak mau membuat kesalahan yang dapat menyeretnya ke dalam bencana. Karena itu, maka iapun bertempur dengan sangat berhati-hati.

Keempat orang lawannya itu ternyata berusaha untuk bertempur sambil bergeser. Mereka mencoba membingungkan Agung Sedayu dengan serangan yang datang berganti-ganti, beruntun dan dalam gerak yang menggelombang.

Tetapi usaha mereka sia-sia. Agung Sedayu tidak pernah menjadi bingung dan tidak pula kehilangan pengamatan arah serangan yang datang susul-menyusul itu. Ia dapat menangkis serangan dari depan, sekaligus serangan berikutnya yang menyusul dari belakang, atau bahkan kedua-duanya dalam waktu yang bersamaan.

Ternyata Agung Sedayu tidak tergesa-gesa. Menurut pengamatannya, meskipun malam gelapnya bukan kepalang, tetapi ia dapat menduga dan merasakan, bahwa Untara dan kelompoknya tidak banyak mengalami kesulitan melawan orang-orang Ki Pringgajaya, termasuk Ki Pringgajaya sendiri.

“Meskipun Ki Pringgajaya adalah orang yang pilih tanding, tetapi Guru bukannya orang yang mudah untuk ditaklukkannya. Semula ia yakin karena ia bertempur berpasangan. Tetapi seorang diri, ia akan memeras segenap kemampuannya. Apalagi rahasia kelebihannya sudah diketahui oleh Guru, seperti yang pernah dikatakan oleh Ki Waskita.,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah Kiai Gringsing mendapat lawan yang sangat kuat dengan ilmunya yang dahsyat. Namun karena ia sudah mengetahuinya, maka dengan ujung cambuknya ia selalu berusaha memotong serangan Ki Pringgajaya yang seakan akan mampu melampaui kecepatan waktu.

Secara keseluruhan, maka kehadiran Ki Waskita, Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih, membuat pertempuran itu tidak berat sebelah. Tidak lagi nampak tekanan-tekanan yang berbahaya seperti sebelumnya, yang bahkan hampir saja merenggut nyawa.

Ternyata bahwa Agung Sedayu-lah yang nampaknya akan mengakhiri pertempuran itu paling cepat. Dengan ujung cambuknya ia membuat keempat lawannya tidak berdaya sama sekaJi untuk menyerangnya. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi bingung, dan bersama-sama berloncatan surut jika Agung Sedayu memutar cambuknya lebih cepat.

Dalam keadaan yang demikian, maka di dalam gemuruhnya hujan yang tercurah dari langit, terdengar suara Agung Sedayu, “Menyerah sajalah. Kalian tidak akan dapat berbuat lebih banyak dari yang kalian lakukan ini.”

“Persetan!” geram salah seorang dari mereka. “Dalam keseluruhan, kami akan dapat menghancurkan kalian. Seorang saja kawanmu terbunuh, berarti semuanya akan terbunuh.”

“Tetapi juga sebaliknya,” berkata Agung Sedayu, “seorang saja di antara kalian lumpuh, maka berakhirlah pertempuran ini dengan cepat dan pasti.”

Lawannya tidak menjawab. Tetapi hampir bersamaan mereka menyerang dari segala arah. Namun putaran cambuk Agung Sedayu telah mendorong mereka untuk melangkah surut.

Ternyata Agung Sedayu tidak perlu mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih bertempur wajar dengan kekuatan cadangannya untuk mengatasi kecepatan gerak keempat lawannya. Tetapi ia masih belum mengerahkan kemampuan ilmu yang tertinggi, apalagi yang terpancar dari getaran di dalam dirinya dalam hubungannya dengan lambaran ilmu yang mampu menyerap kekuatan alam di lingkungannya, bukan saja kemampuan kewadagan.

Dalam waktu yang terhitung tidak terlalu lama, maka keempat lawannya benar-benar telah kehilangan kemampuan mereka untuk melawan. Mereka kadang-kadang menjadi bingung. Nafas mereka menjadi semakin memburu, apalagi air yang tercurah dari langit seolah-olah telah menyumbat lubang hidung mereka.

Perlahan-lahan tetapi pasti, Agung Sedayu berniat untuk menundukkan mereka, meskipun tidak ada niatnya untuk membunuh. Namun keempatnya harus dilumpuhkan dan tidak dapat mengganggu arena pertempuran itu lagi.

Namun dalam pada itu, selagi mereka terpukau dalam pertempuran melawan orang-orang tertentu, mereka sama sekali tidak menghiraukan seseorang yang mengamati pertempuran itu dari jarak yang cukup untuk tidak dengan mudah diketahui. Dengan saksama ia memperhatikan setiap orang di dalam pertempuran itu. Meskipun malam kelam, namun dalam kilatan cahaya lidah api yang berloncatan, ia dapat menilai apa yang sebenarnya sudah terjadi.

“Satu kesalahan telah terjadi,” berkata orang itu, “seharusnya anak-anak Tal Pitu itu tidak bertempur berpencaran. Jika mereka mendapat kesempatan bergabung, maka kemampuan mereka akan luluh menjadi satu kekuatan yang tidak terlawan.”

Sebenarnyalah, bahwa orang-orang dari Tal Pitu yang harus bertempur berpasangan dengan orang lain, merasa kurang dapat luluh dalam satu kesatuan. Seolah-olah mereka tidak mampu menghentakkan ilmu mereka sampai tuntas, karena kerja sama yang kurang mapan.

Namun karena semula mereka dapat langsung menguasai lawan mereka, maka mereka tidak merasakan kesulitan dalam kerja sama. Tetapi ketika salah seorang dari mereka harus bertempur melawan Ki Waskita berpasangan dengan orang lain, barulah mereka merasa, bahwa mereka tidak dapat mengerahkan kemampuan masing-masing sampai ke puncak.

Orang yang bersembunyi itu masih menunggu sejenak. Namun ketajaman penglihatannya segera mengetahui, bahwaa orang Ki Pringgajaya tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Jika keseimbangan itu tidak dirubah, maka sekali lagi akan terjadi kegagalan.

“Prabadaru memang kurang bijaksana,“ desis orang itu, “atau ia menyerahkan segalanya kepada Pringgajaya, sehingga dengan demikian Pringgajayalah yang kuang bijaksana.”

Sebenarnyalah bahwa orang itu tidak melihat kemungkinan apapun yang menguntungkan pihak Pringgajaya. Pringgajaya sendiri yang bertempur melawan Kiai Gringsing, harus mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun pertempuran itu demikian dahsyatnya, sehingga cambuk Kiai Gringsing meledak berurutan bahkan kadang-kadang terdengar gaung angin putaran cambuk itu, namun tidak nampak bahwa pada saat yang pendek, bahkan pada suatu saat yang manapun, bahwa Pringgajaya akan dapat menguasai Kiai Gringsing. Keduanya memiliki ilmu yang luar biasa. Keduanya memiliki kelebihan dan kemungkinan yang seimbang.

Dalam pada itu, rnurid Tal Pitu yang seorang, tidak juga nampak akan segera dapat mengalahkan Sabungsari. Meskipun Sabungsari sudah sampai pada puncak kemampuannya dengan mengerahkan tenaga cadangan dan segala kemungkinan yang terlontar dari ilmunya, namun ia masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ia masih berusaha untuk dapat menguasai lawannya dengan kemampuan sentuhan wadagnya. Dan ia memang merasa akan dapat melakukannya tanpa mempergunakan kekuatan ilmunya yang terpancar dari sorot matanya.

“Kecuali jika orang Tal Pitu ini masih mempunyai simpanan ilmu yang akan dapat mendesakku,” berkata Sabungsari di dalam hatinya, ”barulah aku akan mempergunakan ilmu itu.”

Murid Tal Pitu yang bertempur melawan Widura pun tidak berhasil mendesaknya. Memang ada kemungkinan Widura akan terdesak. Tetapi nampaknya pengalamannya yang luas berhasil menolongnya, sehingga ia masih tetap mampu bertahan.

Orang Tal Pitu yang ketiga, yang kebetulan bertempur bersama Dogol Legi melawan Ki Waskita, nampaknya tidak dapat berpasangan dengan mapan. Sekali-sekali terjadi juga salah paham, dan bahkan keragu-raguan.

“Sebaiknya ia bergabung dengan saudara seperguruannya,” berkata orang itu.

Orang itu tidak menghiraukan lagi orang-orang lain. Ia lebih banyak memperhatikan ketiga murid dari Tal Pitu itu. Karena itu, maka iapun berusaha bergeser lebih mendekati orang-orang Tal Pitu itu.

Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar keluhan di antara ledakan cambuk seorang anak muda yang bertempur melawan empat orang sekaligus. Karena itu ia justru tertarik kepada anak muda itu. Demikian tangkas dan cekatan.

Dalam pada itu, seorang dari keempat lawannya telah berada di luar arena. Nampaknya ia sudah terluka. Pahanya telah terkoyak oleh ujung cambuk Agung Sedayu. Betapa perasaan pedih menyengat lukanya yang basah oleh curahan air hujan.

“Anak ini memang luar biasa,“ desis orang itu. “Namun nampaknya ia dapat memperhitungkan keadaan dengan cermat. Jika anak muda itu mendapat kesempatan bertempur lebih lama lagi, maka ketiga orang lawannya yang lainpun akan segera dipunahkannya.”

Karena itu, maka ia merasa harus bertindak dengan cermat. Ia tidak peduli lagi, apakah yang akan terjadi. Namun iapun tidak ingin bahwa sekali lagi Pringgajaya yang telah berganti nama dengan Partasanjaya itu akan gagal.

Sambil meloncat dari persembunyiannya orang itu berkata lantang, “Anak-anak Tal Pitu. Kenapa kalian tidak bertempur di satu arena?”

Suara yang lantang itu telah mengejutkan arena. Semua orang memperhatikannya. Lebih-lebih ketiga orang murid Tal Pitu. Bahkan hampir berbareng mereka menyebut, ”Guru.”

“Ya. Aku datang untuk melihat apa yang telah terjadi. Aku mendengar dari Prabadaru bahwa kalian telah dikirim kepada Pringgajaya. Tetapi Pringgajaya ternyata tidak bijaksana. Ia memasang kalian dalam arena yang tercerai berai. Mungkin Pringgajaya terlalu meremehkan kekuatan lawannya, sehingga ia tidak memikirkan latar belakang orang-orang yang membantunya,” berkata orang itu.

“Ajar Tal Pilu,“ desis Pringgajaya.

“Ya. Aku memang sudah tidak percaya akan rencanamu,” berkata orang yang disebut Ajar Tal Pitu. Lalu, “Kau selalu gagal, dan kali inipun kau tidak mapan menempatkan orang-orangku yang aku berikan kepada Prabadaru.”

“Semuanya sudah berubah,” berkata Pringgajaya sambil bertempur, “ada yang hadir di sini di luar perhitunganku.”

Ajar Tal Pitu itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita atur kembali orang-orang kita. Aku akan ikut melibatkan diri. Aku tertarik kepada anak yang melawan empat orang sekaligus. Aku ingin menangkapnya dan mempelajari, ilmu apakah yang dimilikinya.”

“Ia anak iblis. Ia murid lawanku ini,” berkata Pringgajaya.

“Ya. Justru ia anak iblis. Aku ingin memeliharanya, sekedar untuk mengerti tentang dirinya,“ jawab Ajar Tal Pitu.

“Jika demikian, terserah kepadamu,“ jawab Ki Pringgajaya.

Ajar Tal Pitu itupun kemudian berkata, “Anak-anak Tal Pitu. Berkumpullah. Lawanlah orang tua yang mempunyai lawan rangkap itu. Ia memiliki ilmu yang tinggi. Sementara lawannya yang lain, biarlah melawan bekas prajurit itu. Bukankah orang itu Widura? Sedangkan keempat prajurit ini, biarlah melawan anak muda yang seorang lagi, yang nampaknya kemampuan mereka tinggal tiga orang saja.”

Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Yang terdengar adalah dentang senjata beradu dan gelegar guruh di langit. Bahkan angin yang kencang bertiup semakin buas menerpa dedaunan yang berguncang-guncang.

Dalam pada itu, maka orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu melangkah mendekati Agung Sedayu. Sejenak ia mengamati pertempuran di antara Agung Sedayu dan lawannya yang tinggal tiga orang, karena yang seorang telah terluka dan nampaknya sedang berusaha untuk mengurangi penderitaannya.

“Tinggalkan lawanmu!” geram Ajar Tal Pitu. Ketiga orang itu termangu-mangu. Mereka adalah orang-orang yang berada di bawah perintah Ki Pringgajaya. Karena itu untuk beberapa saat mereka tidak beringsut dari tempatnya. Mereka masih tetap bertempur melawan Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, terdengar perintah Ki Pringgajaya, “Lakukan. Ajar Tal Pitu ingin turun ke arena.”

Ketiga orang itupun segera berusaha menarik diri. Mereka melangkah surut. Sementara Agung Sedayu tidak mengejarnya.

”Bagus,” desis Ajar Tal Pitu. “Kau mengenal tatanan laki-laki jantan. Kau memberi kesempatan lawanmu untuk memperbaiki keadaannya.”

Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Dipandanginya orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu dengan seksama. Sementara orang itu berkata, “Ki Sanak bertiga. Ambillah anak muda yang seorang lagi itu sebagai lawan. Biarlah murid-muridku berkumpul menjadi satu menghadapi orang tua yang nampaknya memiliki ilmu yang tinggi itu. Sementara muridku yang bertempur melawan Widura biarlah bertukar tempat.”

Dalam pada itu, terdengar suara Ki Pringgajaya di antara gemuruh air hujan, ”Lakukanlah apa yang dikatakannya.”

Demikianlah, ketiga orang lawan Agung Sedayu itupun segera mendekati Sabungsari. Sejenak mereka mengamati pertempuran itu. Namun kemudian mereka telah mengambil alih anak muda itu, sementara murid Tal Pitu yang melawannya telah memilih lawan yang lain. Nampaknya para murid Tal Pitu itu berusaha untuk menyusun satu perlawanan yang utuh terhadap Ki Waskita. Sehingga karena itu, maka Dogol Legipun telah beralih lawan. Seperti rencana semula, ia memang dihadapkan kepada bekas prajurit yang bernama Widura.

Demikianlah arena pertempuran itu sudah berubah. Tiga orang murid Tal Pitu telah berkumpul melawan Ki Waskita, sementara Sabungsari berhadapan dengan tiga orang lawan bersama-sama.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang bertempur melawan Ki Pringgajaya menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu tentu bukan orang kebanyakan. Semula ia mengirimkan tiga orang muridnya. Namun ternyata bahwa ia sendiri telah hadir di pertempuran. 

Selain Kiai Gringsing, Ki Waskita, Widura dan Untarapun menjadi cemas. Bahkan Sabungsari dan Glagah Putihpun ikut memikirkannya.

Ketika Untara sempat memandang sekilas ketika langit menyala sekejap, ia melihat Ajar Tal Pitu melangkah mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak.

Bagaimanapun juga, Agung Sedayu adalah satu-satunya adiknya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat melepaskan kegelisahannya meskipun ia sendiri menghadapi lawan yang berat.

Dalam pada itu, Ajar Tal Pitu yang sudah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu itupun berkata, “Anak Muda, nampaknya kau memiliki kelebihan yang sulit dijangkau oleh anak anak muda sebayamu. Menilik senjatamu, kau memang murid orang bercambuk seperti yang dikatakan oleh Ki Pringgajaya.”

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “aku memang murid Kiai Gringsing.”

Ajar Tal Pitu mengangguk-angguk. Katanya, “Nama orang bercambuk itu memang sudah aku dengar. Ketika aku melihat, bagaimana ia bertempur melawan Ki Pringgajaya, maka akupun percaya, namanya memang besar sebagaimana kemampuannya. Bagiku Ki Pringgajaya adalah seorang yang pilih tanding. Melampaui saudara seperguruannya yang kini berada di Mataram, karena nasibnya yang malang. Jika ia tidak bertemu dengan Senapati ing Ngalaga, atau Ki Juru Martani sendiri, aku kira tidak seorangpun yang dapat menangkapnya. Dan ternyata sekarang, bahwa orang bercambuk itu mampu mengimbangi Ki Pringgajaya.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Bahkan ia sempat memandang sekilas pertempuran yang nampaknya semakin berserakan, karena setiap lingkaran pertempuran telah bergeser ke arah yang berbeda.

“Anak muda,” berkata Ajar Tal Pitu, “Sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu. Aku ingin menangkapmu, dan jika kau bersedia bekerja bersama, maka aku akan mempergunakan pola latihan-latihan yang pernah kau lakukan bagi murid-muridku yang masih muda, sehingga pada umur semuda kau, mereka akan memiliki kemampuan setingkat dengan kemampuanmu.”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun juntai cambuknya masih terkulai di tanah yang basah, namun setiap saat cambuk itu akan dapat meledak.

“Nampaknya kau tidak tertarik pada tawaranku,” berkata Ajar Tal Pitu. ”Baiklah. Jika demikian aku akan menangkapmu. Cobalah kau berusaha membebaskan diri. Tetapi aku kira, aku perlu memberikan sedikit gambaran kepadamu, dengan siapa kau berhadapan. Dengan demikian, maka kau akan menyadari, apa yang akan kau lakukan seterusnya. Apakah yang akan kau lakukan itu akan punya arti, atau hanya sekedar kesia-siaan saja.”

Betapapun juga, terasa debar jantung Agung Sedayu menjadi semakin cepat. Agaknya orang yang bernama Ajar Tal Pitu itu terlalu yakin akan kemampuannya, sehingga ia ingin memberikan sedikit gambaran tentang tingkat ilmunya.

“Anak Muda,” berkata Ajar Tal Pitu, “aku akan segera bermain-main. Cobalah kau ikut dalam permainan ini. Aku akan mengambil cambuk dari tanganmu. Dan kau harus mencoba mempertahankan. Kau mengerti maksudku? Meskipun seandainya aku berhasil merampas cambukmu, cambuk itu akan aku kembalikan kepadamu, karena aku hanya ingin sekedar memberikan gambaran, siapakah yang sebenarnya kau hadapi.”

Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak dapat mengabaikan kata-kata Ajar Tal Pitu itu. Jika ia tidak mempunyai bekal yang pantas maka ia tidak akan mengatakannya.

Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka Ajar Tal Pitu itu tertawa sambil berkata selanjutnya, “Kau tidak perlu gelisah. Apalagi jika kau mau mendengar kata-kataku. Kau ikut ke Tal Pitu dan memberitahukan kepadaku, cara-cara yang selama ini kau tempuh, sehingga kau memiliki ilmu yang tinggi pada usiamu yang muda. Jangan takut kepada gurumu, karena gurumu tidak akan dapat melihat matahari terbit esok pagi.”

Kata-kata itu tidak hanya didengar oleh Agung Sedayu. Meskipun gemeresak hujan yang semakin lebat menderu bercampur suara guruh, tetapi sebagian besar dari orang-orang yang sedang bertempur itu mendengar apa yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu, yang agaknya dengan sengaja diucapkan dengan lantang.

Sebenarnyalah bahwa orang-orang itu menjadi gelisah. Tetapi mereka memang tidak banyak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu, karena mereka masing-masing sedang sibuk menghadapi lawan yang berat.

“Agung Sedayu,” berkata Ajar Tal Pitu itu kemudian, “marilah kita akan mulai dengan permainan kita. Aku akan mengambil cambukmu, dan kau berusaha untuk mempertahankannya. Jika permainan ini selesai, kau akan dapat mengambil satu kesimpulan, dan sudah tentu kau akan cukup bijaksana untuk menentukan sikap.”

Agung Sedayu tetap diam. Namun dalam pada itu, kegelisahan yang merayap di jantungnya, sengaja atau tidak sengaja, telah mendesak Agung Sedayu untuk bersiap sepenuhnya menghadapi keadaan. Lambaran ilmu yang ada di dalam dirinya telah bergetar sampai mendasar. Apa yang pernah dipelajarinya dari Kiai Gringsing dengan segenap unsur gerak dan tenaga cadangannya, semua yang pernah dipelajarinya tentang ilmu yang tumurun pada orang tuanya yang tidak sengaja ditemuinya pada dinding goa, kemudian beberapa unsur yang terdapat di dalam kitab yang pernah dibacanya dan kemudian dipelajarinya, kekuatan yang tumbuh pada getaran yang paling dalam dari dirinya dalam hubungan timbal balik dengan alam di seputarnya yang didapatkannya di saat ia mesu diri di dalam goa dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, dalam kesempatan yang demikian, seolah-olah telah bergolak dan menggelegak di dalam dirinya. Seperti air yang mendidih oleh panasnya api, maka bergejolaklah ilmu itu di dalam dirinya dan mengalir ke segenap urat darahnya sampai ke ujung yang paling lembut.

Di luar sadarnya, tiba-tiba tangan Agung Sedayu yang menggenggam cambuknya itu menjadi bergetar. Jika benar apa yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu, bahwa ia akan mengambil cambuk itu dari tangannya, maka genggaman tangannya itu bagaikan membatu dan mengeras menjadi satu dengan tangkai cambuknya itu.

Dalam pada itu, terdengar suara tertawa Ajar Tal Pitu di antara kata-katanya, ”Bersiaplah Agung Sedayu. Kau tidak usah menjadi gemetar, apalagi ketakutan. Aku tidak akan bersungguh-sungguh, seperti yang aku katakan pada taraf permulaan. Tetapi jika kemudian kau menjadi keras kepala, maka mungkin aku akan mengambil sikap lain.”

Agung Sedayu tetap diam. Namun kekuatan berbagai ilmu yang luluh di dalam dirinya itu seakan-akan telah membuat hujan yang semakin lebat dan angin prahara yang mengguncang pepohonan itu tidak menyentuh tubuhnya lagi.

Tetapi Ajar Tal Pitu tidak sempat melihatnya. Ia terlalu bangga akan dirinya dan sekaligus ia menganggap lawannya adalah kanak-kanak yang betapapun tinggi ilmunya, namun masih belum pantas untuk diperhitungkan.

Namun Ajar Tal Pitu memang ingin mengejutkan Agung Sedayu. Dalam kesempatan pertama, ia memang ingin menunjukkan kepada anak muda itu, siapakah dirinya dan betapa tinggi ilmunya.

Karena itu, secepat lidah api yang menyala di langit, hampir tidak dapat dilihat dengan tatapan mata kewadagan, Ajar Tal Pitu telah bergerak. Tangannya terjulur menggapai ujung cambuk Agung Sedayu, kemudian menghentak merenggutnya dengan satu loncatan panjang.

Tetapi yang terjadi, benar-benar di luar dugaan Ajar Tal Pitu. Hentakan tangannya bagaikan ledakan yang dahsyat di dalam dirinya. Sebuah teriakan nyaring telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur di tikungan sebelah Lemah Cengkar itu. Sekilas di dalam kilatan cahaya tatit, mereka melihat Ajar Tal Pitu itu bagaikan terlontar. Sekali ia berputar di udara. Kemudian beberapa langkah dari Agung Sedayu ia terjatuh tepat pada kedua kakinya yang bagaikan menancap di atas tanah yang basah.  

Pertempuran yang semakin seru itu bagaikan terhenti sejenak. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka melihat Ajar Tal Pitu berdiri tegak dengan kaki renggang. Namun beberapa langkah daripadanya, mereka melihat Agung Sedayupun berdiri tegak dengan kaki yang renggang pula. Sementara itu, cambuknya masih tetap berada di tangannya.

“Anak iblis!” geram Ajar Tal Pitu. “Darimana kau memiliki ilmu dari dasar neraka itu?”

Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Ia merasa renggutan yang kuat menghentak tangannya. Namun genggaman tangannya memang mengeras menyatu dengan tangkai cambuknya, sehingga hentakan tangan lawannya rasa-rasanya telah memutuskan urat nadinya sendiri.

Namun Ajar Tal Pitu adalah orang pilihan. Betapapun ia terkejut dan tersentak, namun ia berhasil menyelamatkan dirinya sendiri. Ia sempat melepaskan juntai cambuk Agung Sedayu sehingga urat nadi pada pangkal lengannya tidak benar-benar putus karenanya.

Orang-orang Jati Anom yang terlibat dalam pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun sekejap kemudian mereka sudah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit, namun mereka melihat satu kenyataan bahwa Agung Sedayu telah memenangkan permainan permulaan dengan orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu.

“Anak Muda,” berkata Ajar Tal Pitu, “kau benar-benar luar biasa. Kau memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari yang aku duga. Kau mampu mempertahankan cambukmu. Hampir saja kau justru akan melumpuhkan tanganku yang tidak berhasil merenggut cambuk dari tanganmu. Tetapi ketahuilah, bahwa hal itu bukan ukuran terakhir.”

Seluruh arena pertempuran itu diliputi oleh suasana yang sulit dimengerti. Kegelisahan, keheranan dan keharuan. Namun juga kemarahan dan dendam yang membara.

Orang-orang tua yang mengikuti Untara pergi ke rumah Ki Demang Sangkal Putung untuk membicarakan hari-hari yang dinanti oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, tiba-tiba telah melihat Agung Sedayu dalam suasana yang tidak dapat mereka mengerti.

Debar jantung mereka yang tidak menentu, bukan saja karena mereka tidak mengerti kemungkinan apa yang dapat terjadi di dalam pertempuran yang bagi mereka terlalu kisruh, juga karena deru hujan dan angin serta basah kuyup yang bagaikan merendam mereka. Keris di tangan mereka bergetar oleh tangan-tangan mereka yang menggigil kedinginan. Sementara tangan-tangan mereka seolah-olah telah membeku.

Dalam pada itu, di antara deru air hujan dan gemuruhnya angin yang kencang, terdengar suara Ajar Tal Pitu yang marah, “Anak Muda. Agaknya kau sama sekali telah mengeraskan hatimu. Apalagi dengan satu kebanggaan bahwa kau berhasil mempertahankan cambukmu. Tetapi ketahuilah, bahwa justru karena itu, maka kau benar-benar telah membakar hatiku. Jika semula aku hanya ingin menangkapmu, maka kini aku ingin mengetahui sampai dimana daya tahan tubuhmu yang kau lambari dengan ilmu iblismu. Menarik sekali untuk dapat mengetahui batas kemampuan seorang anak muda seperti kau. Batas antara kemampuan daya tahan ilmumu dan saat-saat kau harus berhadapan dengan saat-saat terakhir dari hidupmu.”

Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi darahnya yang bagaikan mendidih itu masih saja memanasi seluruh urat nadinya sampai ke ujung-ujung rambut.

Ketika Ajar Tal Pitu bergeser, Agung Sedayupun bergeser pula. Sementara Ajar Tal Pitu yang mulai menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu mempunyai ilmu yang tinggi, telah memperhatikan setiap gerak anak muda itu dengan saksama.

Ketika terpandang olehnya cambuk Agung Sedayu yang berjuntai di tanah, dan yang telah gagal direnggutnya, maka Ajar Tal Pitu itupun mulai memikirkan kemungkinan untuk mengimbangi senjata itu dengan senjata.

Ada keragu-raguan di dalam hatinya. Sebagai seorang yang telah menempatkan dirinya sendiri dalam jajaran orang-orang terpandang, maka agak segan juga rasanya untuk mempergunakan senjata melawan anak-anak seperti yang dihadapinya itu. Namun ia tidak dapat ingkar, bahwa yang dihadapinya itu adalah anak muda yang lain dari anak muda kebanyakan.

Karena itulah, maka ternyata kemudian Ajar Tal Pitu itu tidak lagi mengikuti perasaannya. Ia mencoba untuk mempergunakan nalarnya menghadapi Agung Sedayu. Ia tidak dapat mengabaikan kenyataan tentang kemampuan anak muda itu.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar melihat Ajar Tal Pitu itu menggeser ikat pinggangnya. Ketika kilat memancar, maka ketajaman matanya dapat melihat, di sebelah pedang yang tergantung di pinggang, maka pada ikat pinggang itu terdapat pisau-pisau kecil yang tentu merupakan senjata lontar yang berbahaya.

Dengan demikian, maka Agung Sedayupun segera mempersiapkan diri melawan senjata-senjata yang akan meluncur dari tangan Ajar Tal Pitu yang mampu bergerak secepat kilat itu.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di arena yang semakin meluas itupun menjadi semakin seru. Sabungsari yang kemudian bertempur melawan tiga orang pengikut Ki Pringgajayapun telah bertempur dengan garangnya. Meskipun ia tidak memiliki ilmu setinggi Agung Sedayu, tetapi ia mampu mengimbangi ketiga lawannya dalam tingkat kemampuan yang sama seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Apalagi jumlah orang itu telah berkurang dengan seorang. Maka ketiga orang itu tidak berhasil menguasai Sabungsari. Seorang prajurit Pajang yang menurut jenjang kepangkatannya masih berada pada tataran terendah, meskipun beberapa orang perwira telah menaruh perhatian dan mulai membicarakan kemungkinan untuk mempercepat kenaikan pangkatnya.

Bahkan dalam pada itu, Sabungsari masih sempat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Pringgajaya. Ternyata bahwa Ki Pringgajaya tidak sekedar membual dengan ilmunya. Ketika ia menakut-nakuti seorang prajurit yang menurut pengamatannya tentu pengikut Ki Pringgajaya dengan membunuh seekor kambing dengan tatapan matanya, maka Ki Pringgajaya sama sekali tidak menjadi cemas.

Dan ternyata bahwa berhadapan dengan Kiai Gringsing, Ki Pringgajaya masih mampu untuk bertahan. Ilmunya yang terpercaya adalah kemampuannya bergerak seolah-olah mendahului waktu. Dengan demikian maka serangan-serangannya menjadi sangat berbahaya. Namun karena Kiai Gringsing sudah mengetahui sebelumnya, maka ia telah mampu menyesuaikan diri.

Namun sementara itu, Sabungsari masih sempat membuat pertimbangan. Bahkan orang yang disebut Pringgabaya yang tertawan di Mataram, mampu mengimbangi ilmu Ki Waskita. Sehingga dengan demikian, maka wajarlah bahwa Ki Pringgajaya itu mampu menempatkan dirinya sebagai lawan Kiai Gringsing yang tangguh. Bahkan seandainya Kiai Gringsing belum mengetahui kemampuan ilmu Ki Pringgajaya, maka pada bagian-bagian pertama dari pertempuran itu Kiai Gringsing tentu akan terdesak, meskipun kemudian ia akan berhasil memperbaiki kedudukannya. Tetapi jika ia terlambat menyadari keadaan, maka ia tentu akan berada pada keadaan yang gawat.

Sementara itu, Ki Waskita berhadapan dengan tiga orang murid dari Tal Pitu yang telah bergabung. Dengan demikian, maka mereka memang dapat menyusun kekuatan dalam kerja sama yang mantap, sehingga seakan-akan mereka itu terdiri dari satu kehendak yang terungkap dalam tiga wadag.

Tetapi sayang bahwa yang dihadapi adalah Ki Waskita. Karena itu meskipun ketiganya seolah-olah telah luluh menjadi satu, namun mereka ternyata telah membentur kekuatan yang mengejutkan. Jika semula mereka menganggap, bahwa setelah mereka berhasil bertempur dalam satu lingkaran, maka mereka akan menyapu lawannya, ternyata mereka harus melihat satu kenyataan yang lain.

Sementara itu kedudukan Untara dan Widura tidak mencemaskan. Senapati muda di daerah selatan itu ternyata memiliki kemampuan yang mengejutkan bagi Bandung, yang menganggap kedudukan Untara hanyalah karena nasibnya yang baik saja. Namun ternyata bahwa apa yang dimiliki Untara sudah jauh meningkat daripada saat ia berhasil mengalahkan Macan Kepatihan. Meskipun dalam kesibukan tugasnya sehari-hari, Untara pun masih selalu berusaha meningkatkan ilmunya sebagaimana dituntut oleh tugasnya itu sendiri. Sedangkan Widura yang meskipun menjadi semakin tua, namun berlandaskan ilmu yang ada padanya, serta pengalaman dan hatinya yang sudah mengendap, maka ia berhasil mengimbangi lawannya.

Yang menarik adalah betapa Glagah Putih bertempur melawan seorang pengikut Pringgajaya yang menyebut dirinya Partasanjaya itu. Lawannya sama sekali tidak menyangka, sebagaimana Ajar Tal Pitu tidak menyangka, bahwa lawannya yang sangat muda itu telah memiliki bekal ilmu yang mengejutkan. Glagah Putih yang dengan sungguh-sungguh dan tidak mengenal lelah menempa diri itu, ternyata telah memiliki bekal yang cukup untuk turun ke arena.

Dalam benturan-benturan yang dahsyat antara kedua belah pihak, maka Agung Sedayu benar-benar menghadapi lawan yang mendebarkan. Ajar Tal Pitu adalah orang yang menganggap dirinya melampaui kemampuan kebanyakan orang.

Karena itu, maka ia masih tetap merasa dirinya tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan untuk mengalahkan Agung Sedayu meskipun tidak akan semudah yang diduganya semula.

“Anak Muda,” berkata Ajar Tal Pitu, “senjata bagiku adalah pelengkap yang tidak menentukan di dalam pertempuran. Karena betapapun baiknya senjata di tangan kita, akhirnya kita jugalah yang menentukan apakah senjata itu akan berarti atau tidak.”

Agung Sedayu masih tetap diam. Tidak ada minatnya sama sekali untuk berbicara dengan Ajar Tal Pitu. Namun dalam pada itu, ia telah memperhatikan benar-benar, apa yang akan dilakukan oieh lawannya yang sedang marah itu.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar ketika perlahan-lahan tangan Ajar Tal Pitu itu menarik sebilah pisau belati kecilnya. Sambil mengangkat pisau itu periahan-lahan ia berkata, “Sekali lagi aku ingin melihat, siapakah lawanku kali ini. Kau telah menunjukkan kepadaku, betapa kuat tanganmu, sehingga aku tidak berhasil merenggut cambukmu dan tidak mematahkan tanganmu. Sekarang aku ingin melihat, apakah kau juga mampu bergerak secepat sambaran pisau kecilku ini.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, ”Bersiaplah. Aku masih berbaik hati memberimu peringatan. Dalam pertempuran yang sebenarnya hal ini tidak akan dilakukan oleh siapapun. Dan ketahuilah, bahwa aku akan dapat melakukannya beruntun sampai lebih dari sepuluh lontaran, hanya dalam sekejap.”

Agung Sedayu masih tetap diam. Namun sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu adalah seseorang yang memiliki kurnia ketepatan bidik yang jarang dicari bandingnya. Tetapi, ia sama sekali tidak ingin mengimbangi lawannya dengan lontaran-lontaran senjata apapun juga, meskipun ia akan mampu juga melakukannya. Bahkan seandainya hanya sekedar mempergunakan batu-batu kerikil.

Yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian adalah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ajar Tal Pitu itu nampaknya benar-benar akan mengujinya. Apa yang akan dilakukan, jika Ajar Tal Pitu itu menyerangnya dengan lontaran-lontaran. Bahkan Agung Sedayupun sudah memperhitungkan, jika ia berhasil menghindari lontaran pertama, maka akan segera disusul oleh lontaran-lontaran berikutnya.

“Aku akan mengambil cara lain untuk melawannya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Demikianlah, maka Agung Sedayupun segera bersiap. Tangan Ajar Tal Pitu telah terangkat tinggi. Namun dengan nada tinggi ia masih memberi peringatan lawannya, ”Berhati-hatilah. Jangan mati pada lontaran pertama. Aku tentu akan menjadi sangat kecewa.”

Sejenak kemudian, maka tangan Ajar Tal Pitu itupun terayun dengan cepatnya, namun dengan daya lontar yang luar biasa. Jika pisau itu mengenai dada seseorang, maka pisau kecil itu akan menghunjam masuk sampai ke jantung.

Tetapi sekali lagi Ajar Tal Pitu terkejut bukan buatan. Ia tidak berhasil melihat, bagaimana Agung Sedayu meloncat menghindari serangannya. Bahkan Ajar Tal Pitu itulah yang kemudian meloncat beberapa langkah surut sambil mengumpat.

Ternyata Agung Sedayu telah memotong serangan itu. Demikian tangan Ajar Tal Pitu terayun, maka Agung Sedayu telah meloncat maju sambil menggerakkan cambuknya dengan kecepatan yang tidak kalah dengan kecepatan gerak tangan Ajar Tal Pitu. Dengan juntai cambuknya Agung Sedayu seolah-olah langsung memungut pisau kecil yang demikian terlepas dari tangan Ajar Tal Pitu. Sehingga dengan demikian, maka pisau itupun telah terkibaskan dan terlempar jauh keluar arena.

“Kau benar-benar anak iblis!” geram Ajar Tal Pitu dengan kemarahan yang memuncak. Katanya kemudian, “Sekarang aku sudah dapat menjajagi ilmumu, kekuatanmu dan kecepatanmu bergerak dan berpikir. Aku menyatakan sekali lagi kekagumanku terhadap anak yang masih semuda kau. Namun kelebihanmu itu pulalah yang akan menyebabkan kau mati muda, karena tidak ada pilihan lain daripada membunuhmu sekarang. Dengan membunuhmu, maka pertempuran ini akan segera berakhir. Dan aku akan minta pertanggungan jawab Prabadaru, bahwa ia telah menyesatkan anak-anakku ke dalam pertempuran seperti ini. Untunglah bahwa ada firasat yang menuntunku mengikuti anak anakku itu. Jika tidak, maka mereka tentu akan mengalami bencana, karena ilmu iblismu itu.”

Agung Sedayu masih tetap diam. Namun ia sadar, bahwa ia akan segera mulai dengan pertempuran yang sebenarnya. Ajar Tal Pitu itu tentu tidak akan menjajagi-nya lagi, tetapi benar benar akan membunuhnya

Karena itulah, maka Agung Sedayu tidak sekedar menunggu. Demikian Ajar Tal Pitu bersiap, maka cambuk Agung Sedayupun mulai berputar. Adalah di luar sadarnya dan sama.sekali bukan satu sikap sombong seperti lawannya, namun terdorong oleh gejolak perasaannya, Agung Sedayu telah meledakkan cambuknya. Tidak terlalu keras seperti yang sudah dilakukannya saat-saat ia melawan empat orang pengikut Ki Partasanjaya, tetapi ternyata bahwa getar juntai cambuknya yang dihentakkan dengan lambaran getar dari dasar kemampuannya itu telah menggetarkan jantung lawannya.

Ajar Tal Pitu seakan-akan telah mendapatkan gambaran yang semakin jelas tentang anak muda yang dihadapinya. Ia tidak saja memiliki kekuatan dan kecepatan gerak kewadagan. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu benar benar memiliki lambaran yang kokoh tangguh. 

Karena itu, maka untuk menghadapi cambuk Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu telah menarik pedangnya. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu panjang. Namun pedang itu tidak terbuat dari besi baja seperti kebanyakan pedang yang tajam mengkilat. Tetapi pedang itu adalah seperti sebuah luwuk yang berwarna kelam. Seperti sebilah keris yang besar dengan pamornya yang menyala kemerah-merahan di dalam gelapnya malam dan basahnya air hujan.

Agung Sedayupun menyadari bahwa keris yang besar ditangan Ajar Tal Pitu itu tentu mempunyai kekuatan yang terpercaya. Karena itu, maka ia benar-benar harus berhati-hati. Apalagi Ajar Tal Pitu itu sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Ketika Ajar Tal Pitu beringsut setapak, maka Agung Sedayupun beringsut pula. Keduanya bergeser saling mendekati, sementara cambuk Agung Sedayu berputar perlahan-lahan ditangannya, dan Ajar Tal Pitu pun menggenggam pedangnya erat-erat. Kedua-duanya dengan cermat mengamati setiap gerak lawannya dengan hati-hati. Meskipun malam menjadi semakin gelap, namun daya pengamatan mereka yang tajam, bukan saja dengan mata wadagnya, maka masing-masing seakan-akan dapat melihat setiap gerak lawannya sampai ke ujung jarinya.

Sekejap kemudian, maka Ajar Tal Pitu telah mulai meloncat sambil menjulurkan ujung pedangnya. Ia sadar, bahwa cambuk Agung Sedayu akan segera bergetar, karena itu, ketika benar benar terjadi demikian, ia sudah siap menarik serangannya. Tetapi dengan cepat Ajar Tal Pitu merubah serangannya mendatar. Agung Sedayu bergeser setapak surut. Namun dalam pada itu, cambuknya telah meledak, tidak terlalu keras bagi telinga sawantah.

Namun sebenarnyalah, mereka yang bertempur itu dapat mengetahui betapa besarnya kekuatan yang terlontar pada cambuk yang meledak tidak terlalu keras itu. Dalam pada itu, air hujan yang memercik dari hentakan ujung cambuk itu telah menyentuh tubuh Ajar Tal Pitu, dan membuatnya menarik nafas dalam-dalam, karena air itu seakan-akan telah menjadi air yang mendidih.

“Dengan kekuatannya, jika anak itu meledakkan cambuknya dengan sasaran air di dulang, maka air itu tentu benar-benar akan mendidih,” berkata Ajar Tal Pitu di dalam hatinya.

Tetapi dengan demikian, maka Ajar Tal Pitu itupun tidak tanggung-tanggung menghadapi Agung Sedayu. Getar ilmunya yang menyala dalam hubungannya yang luluh dengan kekuatan pedangnya, maka seolah-olah telah menimbulkan kekuatan yang luar biasa pula. Pamor pedang yang nampak kemerah-merahan itu menjadi semakin menyala, sehingga dalam puncak kemampuannya yang bagaikan minyak menyiram bara pada mata pedangnya, maka lembaran pedangnya itu benar-benar bagaikan berubah menjadi lidah api yang menyembur dari hulunya yang tergenggam di tangan.

Dalam pada itu, ternyata di dalam hujan yang lebat, angin yang kencang dan hati yang bergelora, telah terjadi pertempuran yang dahsyat antara dua kekuatan yang pilih tanding. Seorang yang telah menyebut dirinya Ajar Tal Pitu, melawan anak muda yang bernama Agung Sedayu, yang sebenarnya malam itu harus tinggal di rumah dengan hati yang berdebar-debar menunggu keluarganya dan orang-orang tua pergi melamar seorang gadis bagi jodohnya.

Namun ternyata bahwa Agung Sedayu itu telah bertemu dengan kekuatan yang luar biasa, yang tidak diduganya semula.

Ajar Tal Pitu, yang mula-mula hanya tertarik melihat kemampuan Agung Sedayu bertempur melawan empat orang, sehingga tumbuh keinginannya untuk menangkap anak itu sebagaimana ia ingin menangkap seekor kelinci untuk memberi mainan kepada anak-anak muridnya, ternyata harus menghadapi anak itu sebagai lawan yang mendebarkan.

Dengan tangkasnya Ajar Tal Pitu telah bergerak dan bergeser di seputar Agung Sedayu. Ujung pedangnya benar-benar bagaikan nyala api yang menyembur semakin panjang mematuk tubuh lawannya. Sentuhan lidah api itu tentu akan dapat membakar kulitnya dan membuatnya tercengkam dalam perasaan panas dan pedih.

Karena itu, maka Agung Sedayu benar-benar telah mengerahkan kekuatan dan kemampuannya pada juntai cambuknya. Dengan kekuatan ilmunya yang tinggi, maka ujung cambuknya itu seolah-olah dapat membuat air hujan menjadi mendidih dan memercik berhamburan.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa lidah api di tangan Ajar Tal Pitu itu tidak mampu membakar juntai cambuk Agung Sedayu. Dalam saat-saat tertentu, Agung Sedayu merasa ujung juntai cambuknya menyentuh senjata Ajar Tal Pitu yang bagaikan semburan api itu.

Namun sentuhan juntai cambuk anak muda itu merasakan sentuhan lembaran pedang, dan bukan sentuhan lidah api yang menyala dan menyembur dari tangannya.

Karena itu dengan kemampuannya, Agung Sedayu masih dapat melawan lidah api itu sebagaimana ia melawan selembar pedang.

Benturan kedua senjata yang telah dijalari ilmu yang mendebarkan itu benar-benar telah membakar air hujan yang tercurah dari langit, hingga melontarkan bunyi seperti desis seekor ular raksasa yang kelaparan.

Dalam pada itu. Ajar Tal Pitu yang bergerak dengan cepat mengelilingi lawannya, berusaha untuk dapat menyelinapkan ujung lidah apinya melintasi sambaran ujung cambuk lawannya. Namun nampaknya pertahanan Agung Sedayu menjadi sangat rapat. Sehingga dengan demikian maka Ajar Tal Pitu masih belum berhasil menyusupkan ujung senjata ke dalam lingkaran putaran cambuk lawannya.

Meskipun demikian, kekuatan lidah api di tangan lawannya itu mulai terasa. Meskipun pedang itu sendiri tidak mampu menyusup putaran cambuknya, namun lidah api itu benar-benar bagaikan menyembur, sehingga panasnya mulai terasa menyentuh tubuhnya.

”Luar biasa,“ desis Agung Sedayu di dalam hatinya. Dengan demikian iapun sadar, bahwa ia harus memelihara jarak antara dirinya dengan lidah api yang bagaikan menyembur menjilatnya itu.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin berhati-hati. Iapun mengerti, bahwa semakin lama Ajar Tal Pitu itu justru menjadi semakin berbahaya. Ilmunya seakan-akan mengalir semakin lancar menjalari tangannya yang luluh dengan kekuatan pedangnya, sehingga dengan demikian kekuatan yang terpancar daripadanya merupakan kekuatan yang luar biasa.

Sebenarnyalah justru karena itu, maka seolah-olah api yang bagaikan terpancar dari senjata Ajar Tal Pitu itupun menjadi semakin panas. Sentuhan-sentuhannya terasa semakin tajam di tubuh Agung Sedayu. Meskipun hujan masih turun dengan derasnya, namun semburan panasnya kekuatan Ajar Tal Pitu yang luluh dengan pedangnya itu, sama sekali tidak menyusut karenanya.

Bahkan semakin lama airpun rasa-rasanya menjadi panas pula.

Agung Sedayu menghadapi keadaan yang gawat. Jika ia mendekati lawannya, panas itu terasa semakin tajam Tetapi jika ia memberi jarak akan berarti memberi kesempatan Ajar Tal Pitu semakin leluasa mengetrapkan ilmunya.

Karena itulah, maka Agung Sedayupun berusaha untuk bertempur pada jarak yang tidak tetap. Sekali waktu ia meloncat menjauh karena perasaan panas yang bagaikan membakar. Namun tiba-tiba ia melejit mendekat sambil mengayunkan cambuknya dan menghentakkan dengan segenap kekuatannya.

Bagaimanapun juga, hentakan ujung cambuk Agung Sedayu itu dapat menggoyahkan kekuatan Ajar Tal Pitu. Arus yang mengalir dari dalam dirinya, seolah-olah telah terganggu oleh getar tangannya yang mempertahankan pedangnya, karena sentakan ujung cambuk Agung Sedayu.  

Namun dalam sekejap kemudian, Ajar Tal Pitu telah mampu memperbaiki keadaannya, dan panas pun bagaikan membakar udara di sekelilingnya.

Udara dan air yang menjadi panas itu benar-benar telah mengganggu Agung Sedayu. Rasa-rasanya ia tidak dapat bertahan oleh panas yang semakin panas. Meskipun ia sadar, bahwa panas itu adalah pancaran ilmu lawannya, tetapi panas itu menurut tanggapan Agung Sedayu, bukannya sekedar perasaannya saja seperti goncangan bumi oleh Carang Waja. Tetapi panas itu benar-benar panasnya lontaran ilmu yang luar biasa.

Karena itu, maka panas itu tentu akan selalu mengejarnya sesuai dengan usaha Ajar Tal Pitu untuk membinasakannya.

Dalam pada itu, bagaimanapun juga Agung Sedayu berusaha, namun panas itu tidak dapat disingkirkannya. Setiap kali ia telah menyusup ke dalam panasnya udara dan air hujan yang tercurah sambil menyerang lawannya dengan dahsyatnya, namun panas itu masih saja membakar udara di sekelilingnya.

Karena itulah, maka untuk sesaat Agung Sedayu telah mulai terdesak. Setiap kali ia harus meloncat mengambil jarak, jika panas itu tidak tertahankan lagi olehnya.

“Bukan main!“ desah Agung Sedayu. “Panas itu seperti panasnya api neraka.”

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun mulai melihat keadaan muridnya. Dari jarak yang tidak terlalu dekat, Kiai Gringsing tidak merasakan panasnya udara. Yang dilihatnya hanyalah bahwa Agung Sedayu selalu terdesak surut. Sekali-sekali ia melihat Agung Sedayu meloncat dengan cepat menyerang. Namun sejenak kemudian, Agung Sedayu itupun telah meloncat pula menjauh.

Dengan demikian maka hati Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Menurut pengamatannya, ilmu Agung Sedayu sudah meningkat dengan pesatnya, sehingga ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat lagi menuntunnya untuk meningkatkan lebih jauh lagi. Agung Sedayu hanya dapat meningkat atas sikap dan pengamatannya sendiri atas ilmu yang telah dimilikinya. Namun demikian Kiai Gringsing pun menyadari, bahwa anak muda itu tentu kalah luas pengamatannya dan kurang pengalamannya dibanding dengan orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu itu.

Namun dalam pada itu, ternyata Ki Pringgajaya yang juga menamakan dirinya Ki Partasanjaya itupun memiliki ilmu yang tinggi. Kemampuannya seakan-akan mendahului waktu, kadang-kadang memang membuat Kiai Gringsing terkejut. Namun dengan cambuknya iapun segera menguasai keadaan kembali. Meskipun demikian, seperti juga Ki Waskita, yang tidak segera dapat mengalahkan Ki Pringgabaya, maka Kiai Gringsing pun harus berjuang dengan sepenuh kemampuannya untuk berusaha mendesak lawannya.

“Aku harus berpacu dengan waktu,” berkata Kiai Gringsing, “jika aku tidak dapat mengalahkan orang ini sebelum Agung Sedayu tidak mampu lagi bertahan, maka segalanya akan menjadi sangat gawat. Agung Sedayu yang sedang menunggu hari-hari yang mendebarkan dalam kehidupan dewasanya itu, akan tidak sempat melihat hari esok. Apalagi untuk duduk dipersandingkan dengan Sekar Mirah.”

Yang menjadi gelisah, bukan saja Kiai Gringsing. tetapi Ki Waskitapun menjadi berdebar-debar. Ketiga lawannya masing-masing memang belum memiliki ilmu yang mendekati kemampuan Ki Waskita. Tetapi bertiga mereka harus diperhitungkan. Mereka sempat membuat Ki Waskita berloncatan menghindari serangan mereka yang datang beruntun dan saling mengisi.

Tetapi kesempatan Ki Waskita memang lebih baik dari Kiai Gringsing. Jika semula Ki Waskita masih memperhitungkan segala kemungkinan ketiga lawannya, maka karena keadaan Agung Sedayu, ia tidak lagi mempertimbangkan kemungkinan yang dapat menjadi terlalu buruk bagi ketiga lawan-lawannya.

Karena itulah, maka anak-anak Tal Pitu itu kemudian merasakan, bahwa tekanan Ki Waskita menjadi semakin berat. Dengan ikat pinggangnya Ki Waskita berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran sebelum Agung Sedayu mengalami cidera. Bukan hanya tekanan-tekanan wadag, namun karena kegelisahan yang mendesak jantungnya, Ki Waskita telah membuat ketiga murid Tal Pitu itu menjadi bingung, karena dalam bayangan hujan yang lebat, tiba-tiba saja mereka seolah-olah melihat beberapa orang yang datang berlari-lari dan mengelilingi arena itu sambil berjongkok. Mereka telah melihat pertempuran itu seperti melihat arena sabung ayam tanpa menghiraukan hujan dan angin yang bertiup berputaran.

Ketiga orang murid Tal Pitu yang kebingungan itu telah terdesak sehingga berloncatan memencar. Dengan demikian mereka berusaha untuk memecah perhatian Ki Waskita. Jika Ki Waskita memberikan tekanan kepada salah seorang diantara mereka, maka keduanya yang lain menyerang dari arah yang berbeda.

Namun orang-orang yang menonton itu benar-benar telah mengganggu mereka. Bahkan beberapa orang diantara mereka yang menonton pertempuran itu telah bersorak-sorak sambil meloncat-loncat. Tepat seperti orang-orang yang menyaksikan sabung ayam.

Dalam pada itu, ternyata Ajar Tal Pitu yang memiliki ketajaman penglihatan batin, telah melihat pula apa yang terjadi atas ketiga muridnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak di antara gemuruhnya air hujan dengan getar suara yang membahana, “Jangan takut anak-anak. Yang kau lihat itu adalah permainan licik dari lawanmu yang memiliki ilmu yang tinggi. Orang itu ternyata memiliki kemampuan membuat ujud-ujud dan peristiwa-peristiwa semu untuk mempengaruhi perlawanan kalian. Jangan hiraukan perbuatan licik itu.”

Suara Ajar Tal Pitu itu bergetar di dalam jantung ketiga orang murid-muridnya. Suara itu ternyata telah berpengaruh atas mereka, sehingga perlahan-lahan penglihatan semu mereka itupun menjadi semakin kabur. Sejenak kemudian yang mereka lihat di seputar mereka adalah air hujan yang tercurah dari langit. Sekali-kali kilat memancar menyilaukan.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata sekelompok orang-orang Jati Anom itu menjumpai lawan yang benar-benar tangguh. Kiai Gringsing yang sudah bertempur dengan segenap kemampuannya, masih belum berhasil menguasai lawannya yang memiliki kecepatan gerak, yang seolah-olah melampaui kecepatan waktu.

Untara yang bertempur melawan Bandung pun telah mengerahkan segenap ilmunya. Senapati itupun melihat, bahwa adiknya memang sudah terdesak. Semakin lama ia melihat, Agung Sedayu semakin kehilangan kesempatan dan ruang gerak. Sementara Widura juga terlalu sibuk melayani lawannya.

Dalam pada itu, udara yang panas rasa-rasanya telah memburu Agung Sedayu kemana ia pergi. Bahkan rasa-rasanya suara teriakan Ajar Tal Pitu kepada murid-muridnya itupun telah menggetarkan udara dengan gelombang panas yang menyerangnya beruntun. Bahkan ternyata kemudian, orang yang bernama Ajar Tal Pitu itu telah menghentak selain dengan serangan-serangannya, tetapi juga dengan teriakan-teriakan nyaring.

Karena itulah, maka Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk menentukan jenis ilmu lawannya. Dengan cemas ia berkata kepada diri sendiri tentang ilmu lawannya, ”Gelap Ngampar, atau Sangga Dahana.”

Sebenarnyalah bahwa keduanya tidak mempunyai perbedaan yang jauh. Tetapi hentakan-hentakan yang nampak pada Ajar Tal Pitu itu, seolah-olah ia memang sedang melontarkan ilmu Gelap Ngampar. Ilmu yang menjadi semakin dahsyat jika terjadi sentuhan-sentuhan dengan cuaca yang seolah-olah mendukungnya. Lidah api di langit seakan-akan telah disadap panasnya dan membakar udara di sekitar anak muda itu. Namun seandainya Ajar Tal Pitu itu memiliki ilmu Sangga Dahana, maka bumilah yang bagaikan membara sehingga udarapun bagaikan panasnya nyala api.

Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu mengalami serangan-serangan yang menggelisahkan. Gulungan panas yang melibatnya dan serangan-serangan pedang di tangan Ajar Tal Pitu sendiri yang bagaikan semburan lidah api.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu tidak ingin membiarkan dirinya terbakar oleh panasnya api yang terlontar dari ilmu lawannya. Apakah Gelap Ngampar atau Sangga Dahana. Karena itu, maka iapun mulai menelusuri kemungkinan yang terdapat pada dirinya.

Yang mula-mula ditrapkan oleh Agung Sedayu adalah ilmu yang dapat melindungi dirinya dari getaran yang menyentuhnya dari luar dirinya. Ia sudah mulai menjelajahi ilmu yang terdapat pada kitab Ki Waskita, dan mempelajarinya beberapa bagian daripadanya. Diantaranya adalah ilmu kebal. Meskipun belum sempurna, namun ilmu itu akan dicobanya ditrapkan untuk melawan panas yang bagaikan membakar kulit.

Sejenak Agung Sedayu yang menjauhi lawannya untuk mengambil kesempatan itupun menghentakkan getaran di dalam dirinya dalam sentuhan dengan lontaran ilmu kebalnya. Dari pusat jantungnya, serasa ilmu itu mulai menjalar mengikuti arus darahnya ke seluruh permukaan kulitnya.

Dalam pada itu, dengan ilmu yang masih belum sempurna itu, Agung Sedayu berusaha untuk melindungi dirinya dari perasaan panas karena ilmu lawannya.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ketika terasa kulitnya mulai mendingin. Ketika ia bergeser maju mendekat, mulailah ia yakin bahwa ilmu kebalnya berhasil melapisi kulitnya dari panasnya api yang terpancar dari kemampuan lawannya, meskipun belum sempurna. Namun panas yang dirasanya membakar kulitnya telah jauh susut setelah anak muda itu mengetrapkan ilmu kebalnya.

Namun Agung Sedayu tidak tergesa-gesa merasa bahwa ilmu lawannya itu tidak berbahaya lagi baginya. Ia yakin, selama langit masih kadang-kadang menyala, maka ilmu lawannya itu akan menjadi semakin dahsyat. Panas apinya akan semakin tajam sehingga kemampuannya menembus Ilmu kebalnyapun akan menjadi semakin besar.

Tetapi, perlindungan yang meskipun belum sempurna itu sebenarnya telah lebih banyak memberikan keleluasaan Agung Sedayu untuk menyerang lawannya dengan ujung cambuknya.

Dengan demikian pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin lama semakin sengit. Agung Sedayu masih nampak terdesak, sementara Ajar Tal Pitu masih tetap menyerang anak muda itu dengan gulungan udara panas. Dan seolah-olah Agung Sedayupun merasa panasnya api itu membakar kulitnya, sehingga karena itu. maka ia masih saja berloncatan menjauh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar