Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 137

Buku 137

“Mengembalikan keadaan ini seperti semula,” jawab orang itu, “adalah kebetulan saja kau dan orang-orang Pajang itu bertemu dalam satu kepentingan. Dan adalah kebetulan pula aku melihat kau mengikuti perjalanan Swandaru. Marilah kita anggap, bahwa kebetulan-kebetulan itu tidak pernah terjadi. Biarlah mereka bertempur. Anak-anak Sangkal Putung dengan Ki Waskita, sementara orang-orang Pajang bersama orang yang mempunyai nama Jayadilaga dan Suranata.”

“Jangan gila!” geram Ki Lurah Pringgabaya, “Jika kau ingin melibatkan dirimu, marilah. Kau dapat bertempur melawan aku, berdua dengan orang yang bernama Waskita ini.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Jangan aneh-aneh Ki Lurah. Kau tidak dapat mengalahkan Ki Waskita. Meskipun nampaknya kau masih mampu bertahan, tetapi kau akan kalah. Aku berani bertaruh jari kelingking.”

“Persetan! Jangan banyak bicara. Kami tidak ingin mendengarkan lagi,” lalu katanya kepada orang-orang Pajang, “selesaikan tugasmu. Aku akan membunuh orang ini.”

Tetapi orang itu menyahut, “Baiklah. Jika kau tidak mau membiarkan pertempuran ini berlangsung seperti semula, maka akulah yang akan mengganti kedudukan Ki Waskita di antara anak-anak Sangkal Putung ini. Aku akan bertempur bersama Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Meskipun mungkin kemampuanku tidak setingkat dengan Ki Waskita, tetapi aku akan dapat berbuat sesuatu untuk mempengaruhi keseimbangan karena pertempuran yang tidak adil ini. Biarlah aku menjadikan pertempuran ini genap seperti semula. Empat orang melawan tujuh orang.”

Ki Lurah tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia berteriak nyaring, “Bunuh semua lawanmu, cepat! Aku akan membunuh orang ini.”

Dengan demikian maka pertempuran pun telah menyala kembali di pinggir hutan itu. Ki Waskita telah mendapat serangan yang cepat dan tiba-tiba dari lawannya. Namun ia masih sempat menghindar dan bahkan menyerang kembali dengan sengitnya pula. Sambil menghentakkan kemampuannya ia mencoba untuk mengatasi kemampuan lawannya yang luar biasa itu.

“Nah, bukankah seperti yang aku katakan,” berkata orang yang datang kemudian, “meskipun nampaknya Ki Waskita dan Ki Lurah Pringgabaya bertempur dengan kemampuan yang seimbang, tetapi aku yakin, ketahanan badani dan jiwani Ki Waskita, jauh lebih tinggi dari orang yang bernama Ki Pringgabaya itu. Jika sesaat lagi Ki Pringgabaya tidak mampu membunuh lawannya, maka ia sendirilah yang akan terkapar kehabisan tenaga, meskipun Ki Waskita tidak menyentuhnya dengan senjatanya yang luar biasa itu.”

“Gila!” geram Ki Lurah Pringgabaya, “Tutup mulutmu!”

Tetapi yang terdengar justru suara tertawanya.

Dalam pada itu, maka ketujuh orang yang mengepung Swandaru, istri dan adiknya itu pun mulai mempersiapkan dirinya pula. Mereka mulai bergerak setapak dan senjata mereka mulai bergetar.

Swandaru pun menggeram sambil memutar juntai cambuknya di atas kepalanya siap terayun ke arah lawannya yang mendekatinya. Sementara Pandan Wangi pun telah menyilangkan pedangnya di muka dadanya. Nafasnya yang mulai memburu, telah menjadi teratur kembali, setelah ia sempat beristirahat beberapa saat. Sedangkan di sampingnya Sekar Mirah telah mulai menggerakkan tongkat baja putihnya.

“Bagus,” orang yang datang kemudian itu pun berdesis, “marilah. Izinkan aku ikut serta. Nampaknya memang menarik sekali bertempur bersama murid Kiai Gringsing, murid Ki Gede Menoreh dan murid Ki Sumangkar yang mempunyai nyawa rangkap di dalam dirinya.”

“Persetan!” Ki Lurah itu pun kemudian berteriak, “Jayadilaga dan Suranata. Apakah kau tidak dapat membunuh orang ini lebih dahulu?”

“Biarlah ia memasuki lingkaran pertempuran ini,” geram Suranata, “aku akan melumatkannya lebih dahulu.”

“Bagus. Bagus,” berkata orang yang wajahnya tertutup itu, “aku akan memasuki lingkaran pertempuran. He, beri aku kesempatan.”

Dengan langkah-langkah aneh, seperti kanak-kanak yang dipanggil ibunya, orang yang bertutup wajah itu berlari-lari mendekati Swandaru. Langkah-langkah yang sungguh-sungguh tidak meyakinkan, bahwa ia akan dapat berbuat sesuatu di arena pertempuran itu.

Sementara itu, pertempuran antara Ki Waskita dan Ki Lurah Pringgabaya itu pun berlangsung semakin sengit. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengatasi lawannya. Ilmu yang jarang dikenal orang lain, berbenturan dengan dahsyatnya. Saling mendesak dan saling mengejutkan.

Di tempat yang terpisah, ketujuh orang Pajang itu pun telah mulai menyerang lawannya yang berada di dalam kepungan. Swandaru yang belum mengetahui, siapakah orang baru yang datang membantunya itu, tidak dapat menumpukan kepercayaan sepenuhnya kepadanya. Mungkin ia seorang yang memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mungkin ia hanyalah seorang badut yang gila tanpa mampu berbuat apa-apa.

Namun arena pertempuran itu ternyata telah diherankan oleh langkah-langkah orang itu. Yang semula nampak aneh itu, ternyata telah mendebarkan jantung. Ia mampu bergerak cepat dan tangkas. Sementara ia telah mempergunakan senjata yang aneh pula. Dua potong gelang besi bulat panjang pipih yang melingkari genggaman tangannya.

Melihat senjata itu, maka setiap orang pun segera menjadi yakin, bahwa orang itu justru orang yang telah mengenal segala bentuk medan pertempuran.

Apalagi ketika terjadi benturan yang pertama. Dengan senjata khusus melindungi genggaman tangannya itu, maka orang itu dengan yakin telah menangkis senjata lawannya, seolah-olah ia justru memukul dengan tinjunya.

Akibatnya memang mengejutkan. Senjata itu hampir terlepas dari tangan lawannya.

Dengan demikian, maka lawan-lawannya pun segera mengetahui, bahwa orang itu memang orang luar biasa. Bahkan dalam beberapa hal, masih nampak, seolah-olah ia memang sedang bermain-main saja.

Dengan hadirnya orang itu, maka keseimbangan pertempuran itu pun segera berubah. Ketujuh orang yang bertempur melingkari tiga orang Sangkal Putung dan seorang yang tidak dikenal itu pun mengalami banyak perubahan. Dalam waktu singkat ketujuh orang itu segera merasa bahwa mereka mulai terdesak, seperti saat-saat mereka bertempur melawan empat orang termasuk orang yang sedang bertempur melawan Ki Lurah Pringgabaya itu.

“Orang gila,” geram Jayadilaga, “apa untungmu mencampuri persoalan ini?”

Orang itu tertawa pendek. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan senjata anehnya ia menangkis segala macam senjata lawannya yang masih bergeser berputaran. Bahkan dengan tangkas dan cepatnya, kadang-kadang tangannya menggapai di sela-sela senjata lawannya menyentuh tubuh meskipun tidak terlalu keras.

“He, aku mengenaimu,“ tiba-tiba saja orang itu berteriak.

“Persetan,” desis orang yang disentuhnya.

“Bagaimana jika aku mengenaimu sekali lagi, tetapi agak keras? Aku takut iga-igamu akan rontok,” berkata orang itu pula.

Yang terdengar adalah gemeretak gigi. Kemarahan lawan-lawannya telah memuncak ketika orang itu berhasil menyentuh lawannya yang lain tepat di dadanya. Tidak terlalu keras, tetapi orang itu telah terdorong beberapa langkah surut.

Sekali lagi terdengar orang itu tertawa. Bahkan semakin lama semakin nampak, bahwa ia tidak bersungguh-sungguh lagi. Setelah ia berhasil menjajaki kemampuan lawannya, maka kembali nampak langkah-langkahnya yang tidak bersungguh-sungguh.

Jantung Jayadilaga dan Suranata hampir meledak. Mereka merasa lawannya sangat merendahkannya. Karena itu, maka mereka pun segera mengerahkan kemampuannya pada tingkat tertinggi.

Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mulai merasa, hentakan-hentakan kekuatan kedua orang itu jika mereka bergeser menghadapinya. Namun bersama orang yang tidak dikenal itu, mereka sempat mengatur diri dalam puncak kemampuan mereka pula. Juntai cambuk Swandaru sempat meledak dengan kuatnya. Bahkan pada saat-saat yang tidak terduga-duga ujung cambuk itu telah menyentuh kaki seorang lawannya.

Lawannya yang dikenai ujung cambuk Swandaru itu segera meloncat surut. Rasa-rasanya kakinya seperti tersentuh bara. Meskipun sentuhan ujung cambuk itu tidak mematahkan tulangnya, tetapi ujung cambuk itu bagaikan telah mengoyak dagingnya.

Yang tertawa adalah orang yang tidak dikenal itu. Dengan nada tinggi ia berkata, “Minggirlah dahulu. Obati lukamu. Baru kau ikut dalam perkelahian ini kembali.”

Orang itu menggeram. Suara itu adalah suara ejekan Tetapi ia pun sadar, bahwa ia harus memampatkan darahnya jika sempat, agar ia tidak menjadi lemas.

Ternyata orang yang tidak dikenal itu memang aneh. Meskipun lawannya susut seorang, tetapi pertempuran itu masih tetap berlangsung dengan serunya. Seolah-olah orang itu pun telah menyusut tenaganya pula.

Karena itulah, bagaimana pun juga Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mengerahkan segenap kemampuannya, namun keseimbangan pertempuran itu tidak berubah karenanya.

“Tidak ada kesempatan lagi bagi kalian,” berkata orang itu tiba-tiba, “sebaiknya kalian meninggalkan arena ini.”

“Aku akan membunuhmu,” geram Suranata.

“Jangan mimpi. Apalagi orang yang bernama Suranata,” jawab orang bertutup wajah itu, “sudahlah. Pergilah. kalian lebih baik segera meninggalkan arena ini daripada kalian akan mati seorang demi seorang.”

“Mereka tidak boleh pergi,” teriak Swandaru tiba-tiba.

“Jangan begitu,” jawab orang itu, “biarlah mereka pergi. Bukankah dengan demikian berarti bahwa mereka sudah mengakui kalah.”

“Mereka akan membunuh kami. Jika mereka pergi, maka permusuhan ini tidak akan berakhir sampai di sini,” geram Swandaru.

“Apakah itu berarti bahwa mereka harus dibunuh?” bertanya orang yang bertutup wajah itu.

“Bukan maksudku. Tetapi jika mereka terbunuh di sini, apa boleh buat, karena tidak ada pilihan lain. Mereka pun telah berniat dengan sungguh-sungguh membunuh kami,” jawab Swandaru.

“Tetapi bukankah pembunuhan itu belum terjadi?” bertanya orang itu sambil bertempur.

“Tetapi aku tidak akan melepaskan mereka,” suara Swandaru lantang.

Orang itu tertawa. Katanya, “Jika aku meninggalkan arena ini, maka kalianlah yang akan mati. He, lihat. Orang yang kau kenai kakinya itu telah menaburkan obat. Sebentar lagi ia akan bangkit dan terjun kembali ke pertempuran ini.”

Terasa suasana yang aneh di dalam pertempuran itu. Orang yang menutupi wajahnya itu telah menumbuhkan kesan yang tidak segera dapat dimengerti. Namun sekali lagi orang itu berkata, “Pergilah. kalian lebih baik melanjutkan perjalanan kalian. Kecuali seorang saja yang memang tidak termasuk dalam kelompok kalian meskipun kalian mempunyai kepentingan yang sama. Ki Lurah Pringgabaya.”  

Pertempuran itu seolah-olah telah dibauri dengan teka-teki yang dibuat oleh orang yang bertutup wajah itu. Sebagian besar dari mereka tidak mengerti, siapakah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan Ki Lurah Pringgabaya pun menjadi heran mendengar keterangan orang itu.

Karena kata-katanya telah menumbuhkan keheranan, maka orang itu menjelaskan, “He, orang-orang Pajang. Tinggalkan pertempuran ini. Aku minta kalian bertujuh untuk pergi secepatnya.”

“Itu tidak mungkin,” teriak Swandaru.

“Jangan menahan kepergian mereka,” berkata orang bertutup wajah itu, “jika kalian menahan kepergian mereka, maka aku akan berdiri di pihak mereka untuk membebaskan mereka dari tangan kalian.”

“Gila! Benar-benar satu permainan yang gila,” geram Swandaru.

“Tidak. Bukan permainan gila. Aku berkata sebenarnya,” berkata orang itu, “namun aku mohon Ki Waskita untuk tetap menahan orang yang bernama Ki Lurah Pringgabaya itu, agar ia tidak dapat melarikan diri.”

“Ketujuh orang itu tidak akan pergi,” geram Ki Lurah Pringgabaya, “mereka akan membunuh kalian semuanya, seperti aku akan membunuh orang yang bernama Waskita ini.”

“Itu tidak mungkin,” jawab orang bertutup wajah itu, “kalian tidak akan mungkin melakukannya. Kecuali jika anak-anak Sangkal Putung ini benar-benar ingin menahan kepergian orang-orang Pajang, termasuk Jayadilaga dan Suranata, maka mereka agaknya memang akan mati, karena aku akan tidak lagi membantu mereka, justru aku akan bertempur di pihak orang-orang Pajang.”

Swandaru menggeretakkan giginya. Namun dalam pada itu, terdengar suara Ki Waskita, “Silakan Ki Sanak. Jika ketujuh orang itu harus kami lepaskan, silakan mereka pergi. Aku akan menjaga agar yang seorang ini tidak akan terlepas dari tangan kita.”

“Anak setan!” geram Ki Pringgabaya yang mengerahkan kemampuannya dengan hentakan senjatanya ke dada Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita sempat memiringkan tubuhnya, terhadap keris Ki Lurah Pringgabaya, Ki Waskita tidak mau menangkis langsung. Tetapi ia selalu menghindar atau menangkis ke samping untuk membelokkan arahnya. Namun selalu dengan perhitungan, bahwa keris itu seakan-akan menjadi lebih panjang dua atau tiga jengkal.

“Tetapi orang-orang ini tidak akan kami lepaskan,” sekali lagi Swandaru berteriak.

Yang menjawab adalah Ki Waskita, “Jangan membantah Ngger. Biarlah mereka pergi.”

Swandaru menjadi bimbang. Sementara Ki Lurah Pringgabaya pun menjadi sangat gelisah.

Namun ternyata meskipun orang yang bernama Ki Pringgabaya itu mampu mengimbangi ilmu Ki Waskita, tetapi ternyata bahwa panggraita Ki Waskita untuk menanggapi persoalan yang sedang mereka hadapi, lebih tajam.

Karena itu, maka sekali lagi ia berkata, “Biarkan mereka pergi Ngger. Mereka bukan orang yang berbahaya. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kita, tanpa orang yang bernama Ki Lurah Pringgabaya ini.”

Selagi Swandaru masih termangu-mangu sambil mempertahankan dirinya bersama dengan istri, adik dan orang bertutup wajah itu, terdengar Pandan Wangi berdesis, “Aku tidak menghiraukan pendapat orang lain. Tetapi bukankah sebaiknya pendapat Ki Waskita itu dipertimbangkan.”

Swandaru masih belum menjawab. Tetapi Sekar Mirah yang garang itu pun berdesis, “Apakah maksud Ki Waskita itu sebenarnya.”

Swandaru tidak segera menjawab. Ia masih bertempur dengan serunya. Namun ia pun mulai mempertimbangkan, bahwa jika Ki Waskita mempunyai pendapat yang demikian, tentu bukannya tidak beralasan.

“Mungkin orang ini ingin menangkap salah satu di antara lawan-lawannya dalam keadaan hidup dan mengetahui persoalannya,” berkata Swandaru di dalam hatinya, “karena itu, ia memilih Ki Lurah Pringgabaya. Sementara yang lain tidak banyak memberikan apa-apa baginya, selain akan menjadi tanggungan yang merepotkan saja. Sementara orang itu tidak merasa perlu untuk membunuhnya, termasuk orang yang bernama Jayadilaga dan Suranata itu.”

Karena itu, maka ketika sekali lagi Ki Waskita menyatakan pendapatnya itu, maka Swandaru pun berkata, “Aku percaya kepada Ki Waskita yang tentu melakukannya dengan sadar.”

“Aku sadar sepenuhnya Ngger. Dan aku pun akan tetap mempertahankan, agar orang yang satu ini tidak akan terlepas,” berkata Ki Waskita kemudian.

“Persetan!” geram Ki Lurah Pringgabaya. Sekali lagi ia menghentakkan kemampuannya dalam ilmunya yang tertinggi. Tetapi lawannya pun telah sampai pada puncak ilmunya, sehingga orang itu tidak berhasil.

“Orang ini memang luar biasa,” geram Ki Lurah Pringgabaya di dalam hatinya, apalagi ketika ia menyadari, meskipun dalam perbandingan tingkat ilmunya keduanya seimbang, namun agaknya Ki Waskita masih mempunyai kemungkinan lebih baik. Ternyata setelah memeras segenap ilmunya, Ki Waskita masih tetap nampak dalam keadaan yang utuh. Ilmunya tidak terlalu nampak susut, meskipun keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya. Sementara lawannya telah mulai berusaha menjaga pernafasannya agar tidak kehilangan pengamatan.

“Jangan berusaha untuk lari,” desis Ki Waskita, “kau tidak akan berhasil. Di pinggir Kali Praga kau mempunyai kelebihan waktu sekejap dari padaku, sementara aku terkejut melihat usahamu yang tiba-tiba itu. Tetapi sekarang tidak.”

“Persetan! Aku tidak akan lari. Tetapi aku akan membunuh kalian. Ketujuh orang itu pun tidak akan lari, karena dengan demikian, mereka akan dapat dihukum gantung,” geram Ki Lurah Pringgabaya.

“Tidak. Tidak seorang pun yang tahu, apa yang terjadi di sini,” sahut orang bertutup wajah itu, “mereka mendapat tugas untuk pergi ke Mataram. Dan itu sudah dilakukannya. Apalagi? Tugas mereka sudah selesai.”

Orang yang disebut Ki Lurah itu menggeram. Kemarahan yang sangat telah menghentak jantungnya. Sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Siapa yang meninggalkan arena pertempuran ini, akan mati dalam keadaan yang paling buruk.”

Ki Waskita menyahut, “Jangan meratap. Ini adalah nasibmu. Kau telah memasukkan jarimu ke liang seekor ular berbisa, sehingga wajar sekali jika jarimu telah dipatuknya.”

“Tutup mulutmu!” bentak orang itu sambil menyerang dengan serta merta.

Tetapi Ki Waskita yang sudah mengenal ilmu lawannya itu sempat mengelak sambil berkata, “Terimalah nasibmu dengan pasrah.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia mengerahkan segenap sisa kemampuannya.

Dalam pada itu, orang-orang Pajang yang bertempur dalam lingkaran pertempuran melawan anak-anak Sangkal Putung itu termangu-mangu. Mereka menjadi ragu-ragu, bahwa mereka justru mendapat kesempatan untuk meninggalkan pertempuran.

Sebenarnyalah sikap orang bertutup wajah itu sangat mengherankan. Swandaru dengan sungguh-sungguh berusaha untuk mengetahui, apakah sebabnya maka putaran pertempuran itu menjadi aneh.

Tetapi akhirnya Swandaru berkata di dalam hatinya, “Ki Waskita bukan orang yang bodoh. Dan ia pun tentu tidak akan menjerumuskan kami.”

Karena orang-orang itu masih ragu-ragu, maka orang bertutup wajah itu pun berkata sekali lagi, “Kami memberi kalian kesempatan untuk meninggalkan arena ini sekarang. Jika tidak, kami akan mengubah keputusan ini, karena sebenarnyalah kami akan dapat dengan mudah membunuh kalian.”

“Kalian bukan pengkhianat dan bukan pengecut,” geram Ki Lurah Pringgabaya.

Tetapi orang bertutup wajah itu menyahut, “Seorang yang bukan pengkhianat dan bukan pengecut pun akan bersedia untuk tetap hidup daripada mati. Apalagi mereka tidak berkewajiban untuk membantumu Ki Lurah. Mereka bukan orang yang mendapat tugas bersamamu. Mereka mendapat tugas yang lain. Dan tugas mereka telah mereka lakukan dengan baik.”

“Persetan!” Ki Lurah itu hampir berteriak, “Aku dapat menghukum mereka menurut kehendakku.”

Ki Waskita memotong, “Jangan berteriak begitu. Terasa olehku, pemusatan ilmumu mengendur dan susut jauh. Bukankah dalam keadaan yang demikian, kau sadari, aku dapat berbuat lebih banyak dari meloncat-loncat saja.”

“Gila! Semuanya sudah gila!” Ki Pringgabaya justru berteriak-teriak.

“Sudahlah,” berkata orang bertutup wajah kepada ketujuh lawannya, “pergilah! Sebelum kalian akan mati seorang demi seorang.”

Ketujuh orang itu masih ragu-ragu. Namun perlahan-lahan mereka mulai bergeser surut, meskipun senjata mereka masih tetap teracu.

“Kalian curiga, bahwa kami akan menjebak kalian dengan licik?” berkata orang bertutup wajah itu, “Lihat. Aku akan menyimpan senjataku.”

Lawan-lawannya ragu-ragu. Tetapi orang itu benar-benar melepas kepingan besi baja yang melingkari genggaman tangannya dan menyimpannya di kantong ikat pinggangnya yang besar dan tebal.

“ Nah, pergilah, sebelum aku mengenakannya lagi,” geramnya.

Swandarulah yang justru menjadi seperti orang bingung Ketika orang-orang itu menjauh, maka ujung cambuknya bagaikan berjuntai lemas di atas tanah, sementara pedang rangkap Pandan Wangi pun telah menunduk dan tongkat baja Sekar Mirah justru telah digenggam dengan kedua tangannya.

“Aku mohon kerelaanmu Swandaru,” berkata orang itu, “biarlah mereka pergi. Mungkin kau menjadi kecewa. Tetapi agaknya hal ini akan bermanfaat juga bagi kita masing-masing. Sementara yang seorang itu akan tetap berada di tangan kita.”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk kecil sambil berkata, “Aku ingin mendapat bukti, bahwa aku tidak melakukan kesalahan sekarang ini. Aku percaya kepada Ki Waskita.”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Aku akan sanggup membuktikan, bahwa kau tidak melakukan kesalahan sekarang ini.”

Swandaru tidak menjawab. Betapa pun dadanya bergejolak, namun dilepaskannya orang-orang itu melangkah menjauh.

“Gila! Kalian gila!” geram orang yang disebut Ki Lurah Pringgabaya itu, “Besok, lusa atau kapan saja, kalian akan digantung.”

“Siapa yang akan menggantung mereka?” bertanya orang bertutup wajah itu, “Kau, atau siapa? Seandainya ketujuh orang itu telah melakukan kesalahan sekarang ini, tidak akan ada orang yang akan mengetahuinya. Tidak akan ada orang yang akan melaporkannya, kecuali jika benar-benar di antara mereka terdapat seorang pengkhianat. Seorang penjilat yang sampai hati menjual kawan-kawan mereka sendiri.”

“Aku yang akan membunuh mereka,” geram Pringgabaya.

“Kau akan aku tangkap sekarang ini. Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi,” jawab orang bertutup wajah itu.

Ki Pringgabaya berteriak penuh kemarahan, “Aku bunuh kalian semua! Aku bunuh kalian!”

Tetapi suaranya segera tenggelam dalam deru nafasnya. Ki Waskita telah menyerangnya semakin garang. Sementara ketujuh orang yang lain telah melangkah menjauh.

“Ambil kudamu, dan pergi! Kembalilah ke Pajang dan lakukanlah tugasmu yang tersisa,” orang bertutup wajah itu seolah-olah memerintah anak buahnya.

Orang-orang itu pun tiba-tiba saja telah berloncatan berlari masuk ke dalam hutan untuk mengambil kuda-kuda mereka. Sementara Ki Pringgabaya berteriak mengumpat-umpat.

Tetapi ia memang tidak ingin melarikan diri. Dengan tangkasnya ia memutar senjatanya. Menyerang dengan cepatnya. Senjatanya menyambar mendatar, kemudian menikam mengarah ke dada. Namun lawannya pun mampu mengimbangi kecepatan geraknya.

Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang ditinggalkan oleh lawan-lawannya sesaat justru termangu-mangu. Sekilas ia memandang orang yang bertutup wajah itu. Sekilas ia memandang pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya.

“Sudahlah, Ki Sanak,” berkata orang yang bertutup wajah itu, “jangan bingung. Biarkan mereka pergi. Setidak-tidaknya atas permintaanku. Kemudian, marilah kita beramai-ramai menangkap orang ini. Orang ini tidak boleh lepas dari tangan kita. Jika orang ini tertangkap, maka yang lari itu pun akan segera dapat kita tangkap pula, setelah mereka menyelesaikan tugas mereka yang tersisa.”

“Tugas apa?” bertanya Swandaru.

Orang bertutup wajah itu termenung sejenak. Sementara itu terdengar derap kaki kuda yang menyusup di antara pepohonan. Kemudian berlari di atas jalan yang lengang itu.

“Untunglah, tidak ada orang yang mengganggu pertempuran ini,” berkata orang bertutup wajah itu jika ada orang lewat, apalagi orang yang merasa memiliki kemampuan berkelahi, akan segera tertarik melihat kesibukan di pinggir hutan kecil ini.”

Swandaru yang bagaikan kena pesona, di luar sadarnya telah mengikuti orang bertutup wajah itu mendekati arena pertempuran, seperti juga Pandan Wangi dan Sekar Mirah.

“Majulah! Bertempurlah bersama-sama!” teriak orang yang disebut Ki Lurah Pringgabaya itu.

Tetapi orang bertutup wajah itu berkata, “Tidak. Kami tidak akan bertempur bersama-sama. Yang akan kami lakukan adalah menangkap kau bersama-sama.”

“Licik! Jika kalian mampu, bunuh aku,” geram Ki Pringgabaya.

“Tidak. Saudara seperguruanmu, Ki Pringgajaya telah mati. Apakah kau juga akan mati?” bertanya orang bertutup wajah itu.

“Mati bukan sesuatu yang menakutkan,” teriak Ki Pringgabaya.

“Benar,” berkata orang bertutup wajah itu, “mati memang bukan sesuatu yang menakutkan. Tetapi adalah sikap manusiawi jika kita menghindarkan diri dari kematian. Setiap yang hidup akan mempertahankan hidupnya. Hanya dalam hal-hal tertentu saja, yang hidup itu justru berusaha mengakhiri hidupnya sendiri. Tentu saja mereka yang berhati kerdil.”

“Cukup!” bentak Ki Pringgabaya, “Siapa kau he? Dan apa kepentinganmu melibatkan diri dalam persoalan ini?”

“Tidak terlalu penting. Tetapi aku memang mempunyai kepentingan. Karena itu, aku telah memohon agar orang-orang itu dibebaskan dari kematian,” berkata orang bertutup wajah itu.

Ki Pringgabaya masih berusaha untuk memenangkan pertempuran itu. Ia sama sekali tidak menjadi gentar. Juga jika keempat orang yang mendekatinya itu melibatkan diri ke dalam pertempuran, karena ia memang sudah bersiap menghadapi segala akibat yang dapat terjadi. Termasuk kematian.

Sambil bertempur sekali lagi ia berteriak, “Siapa kau he? Siapa?”

Orang itu tertawa pendek. Kemudian katanya, “Aku kira, aku tidak perlu lagi menyembunyikan diri sekarang ini. Dengan demikian, maka kau akan segera jelas dengan persoalan yang kita hadapi.”

“Cepat!” orang itu menggeram.

Orang itu terdiam sejenak. Pandangan matanya seolah-olah memberikan isyarat kepada Ki Waskita, agar ia memberi kesempatan lawannya memperhatikannya.

Karena itulah, maka Ki Waskita pun kemudian meloncat beberapa langkah surut, sementara lawannya tidak mengejarnya. Ia memang ingin melihat, siapakah orang yang menyembunyikan wajahnya pada sehelai kain putih itu, dengan pakaian seorang petani dan mempergunakan sepasang senjata khusus.

Orang itu pun kemudian berdiri tegak beberapa langkah di hadapan Ki Lurah Pringgabaya yang berkisar. Sambil membuka tutup wajahnya ia berkata, “Mudah-mudahan kau mengerti, apakah yang sedang kau hadapi sekarang ini.”

Ketika tutup wajah itu terbuka, orang itu terkejut. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Ki Waskita yang tersenyum. Bahkan Ki Waskita itu pun berkata, “Panggraitamu memang tumpul Ki Lurah. Seharusnya kau dapat menduga, bahwa yang datang adalah Senapati Ing Ngalaga.”

Orang itu menjadi tegang.

Namun dalam pada itu, Swandaru pun menjadi tegang pula. Memang sepercik dugaan telah terlontar di dalam hatinya seperti juga Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Apalagi ketika Ki Waskita kemudian menasihatkan kepada ketiga anak Sangkal Putung itu untuk memenuhi permintaannya. Namun demikian, terasa jantung mereka menjadi berdebar-debar juga.

“Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar,” desis Ki Lurah Pringgabaya.

“Aku sudah pindah dari tempat tinggalku di Lor Pasar itu,” sahut Raden Sutawijaya, “sementara Ayahanda Sultan di Pajang telah memberikan aku gelar yang lain.”

“Ya. Senapati Ing Ngalaga di Mataram,” desis orang itu.

Raden Sutawijaya itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika selangkah ia maju, maka nampak ia mulai bersungguh-sungguh. Sikapnya sebagai Senapati Ing Ngalaga mulai nampak pada tatapan matanya.

“Menyerahlah!” katanya pendek.

“Tidak, Senapati,” berkata Ki Lurah dengan nada rendah. Betapa pun juga, terasa wibawa Senapati Ing Ngalaga mulai menusuk sampai ke pusat jantungnya. Jauh berbeda dengan seorang yang tidak dikenal dan menutupi wajahnya dengan sehelai kain putih. Berloncat-loncatan dan kadang-kadang terdengar suara tertawanya melengking. Sementara yang kemudian berdiri di hadapannya adalah seseorang yang masih mengenakan pakaian yang sama, tetapi dengan kerut wajah dan tatapan mata yang jauh berbeda.

“Kau tidak mempunyai kesempatan lagi Ki Lurah,” berkata Senapati, “karena itu menyerahlah.”

Ki Lurah mundur selangkah. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi kenapa Senapati memberi kesempatan hidup kepada ketujuh orang itu? Termasuk Jayadilaga dan Suranata?”

Senapati Ing Ngalaga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada rendah, “Ada orang baru di antara mereka. Biarlah ia menyelesaikan tugasnya dengan baik.”

“Apa maksud Senapati?” bertanya Ki Lurah.

“Orang-orang itu membawa jawabanku yang aku tujukan kepada orang-orang Pajang,” jawab Senapati.

“Siapakah orang-orang Pajang itu?” desak Ki Lurah.

Senapati tersenyum. Katanya, “Kau tentu lebih tahu Ki Lurah. Menurut orang itu, aku telah mendapat pesan dari Ayahanda Sultan. Karena itu, aku menyampaikan jawaban kepada Ayahanda Sultan pula. Nah, apa katamu? Kau tentu dapat menduga, bahwa masalahnya mirip dengan cerita tentang kematian Ki Pringgajaya?”

Wajah Ki Pringgabaya menjadi semakin tegang. Namun kemudian ia menggeram, “Senapati Ing Ngalaga yang perkasa. Aku mengerti, betapa tinggi ilmu yang Raden miliki. Tetapi andaikan orang yang menyeberangi sungai, aku sudah terlanjur basah. Karena itu aku tidak akan melangkah surut.”

Senapati Ing Ngalaga masih tersenyum. Katanya, “Kau tidak usah memuji Ki Lurah. Aku pun tahu, bahwa kau memiliki ilmu yang luar biasa. Tetapi aku tidak sendiri di sini. Aku, Ki Waskita yang tidak dapat kau kalahkan, dan ketiga orang anak-anak muda dari Sangkal Putung ini. Kau tahu, bahwa mereka bersumber dari cabang perguruan yang berbeda. Dan mereka akan ikut menentukan, seandainya kau tidak mau melihat kenyataan ini.”

“Raden, apakah Raden masih menganggap bahwa dengan demikian aku akan berlutut dan mohon ampun?” bertanya Ki Lurah.

“Tidak. Tentu tidak. Jika aku tidak berbicara dengan Ki Lurah aku akan berharap demikian. Tetapi Ki Lurah tentu tidak. Seperti juga Ki Pringgajaya. Ia memilih mati. Maksudku, ia dapat membuat cara untuk menghindarkan dirinya dari pengamatan Untara dan orang-orang Pajang yang tidak sejalan dengan caranya berpikir,” berkata Senapati Ing Ngalaga, “dan sekarang, apakah Ki Lurah akan melakukan sesuatu untuk menolak saranku, agar Ki Lurah menyerah saja?”

“Ada, Senapati,” jawab Ki Pringgabaya, “Aku mempunyai cara yang paling baik untuk menghindarkan diri dari tangan Senapati yang perkasa.”

“Kau akan melawan?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Sampai mati Raden, karena aku menyadari, bahwa aku tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan Raden dan orang-orang ini,” jawab Ki Lurah tegas.

“Jangan membunuh diri dengan cara yang pahit,” berkata Senapati Ing Ngalaga, “menyerahlah. Kau akan mendapat perlakuan yang baik. Aku sendirilah yang akan mengatur segalanya.”

“Aku prajurit seperti Raden, meskipun tataran kita jauh berbeda. Raden berada di tataran yang paling tinggi di Mataram, sementara aku berada di tataran yang rendah. Namun aku kira ada persamaan di antara kita, bahwa kita adalah prajurit jantan yang tidak takut mati, meskipun Raden menyebutnya dengan bunuh diri.”

Senapati Ing Ngalaga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya. Aku percaya bahwa Ki Lurah Pringgabaya seperti juga kawan-kawannya tidak akan takut mati, untuk apapun ia mati. Tetapi apakah dengan demikian berarti bahwa seseorang yang tidak takut mati itu harus mati? Seperti juga seorang prajurit yang turun di peperangan, tidak akan pernah kembali meskipun sebenarnya ia dapat menghindari kematian itu?”

“Raden berbicara seperti tidak dengan seorang prajurit tua seperti aku. Mungkin Raden dapat membujuk seorang prajurit muda yang baru saja memasuki dunia keprajuritan apalagi seorang pengantin baru. Tetapi Raden, aku sudah puluhan tahun menjadi prajurit. Rambutku mulai disulami dengan warna-warna uban yang putih, meskipun aku belum setua Ki Sanak yang tangguh ini,” jawab Ki Lurah.

“Baiklah,” berkata Senapati kemudian, “aku harus menangkap Ki Lurah sebagaimana seharusnya dilakukan oleh seorang prajurit. Bersiaplah. Kami bersama-sama akan menangkapmu. Hidup atau mati. Tetapi sebenarnya aku ingin menangkapmu hidup-hidup, agar kau akan dapat menemani aku bercakap-cakap jika senja turun di Mataram. Aku sudah jemu berbicara dengan orang-orang yang setiap hari aku jumpai di rumahku. Kehadiran Ki Lurah akan memberikan kegairahan baru bagiku.”

“Tentu Raden. Jika perlu Raden dapat memaksa aku berbicara dengan seribu cara. Itulah sebabnya, kematian adalah jalan yang paling baik untuk menghindarkan diri dari kegelisahan semacam itu.”

“Tetapi kau adalah Ki Lurah Pringgabaya. Kau takut mengalami keadaan yang pahit seperti itu? Dan apakah kau masih juga menganggap aku, paman Juru Martani dan orang-orang yang berada di Mataram itu akan melakukan tindakan sekasar itu terhadap siapa pun?”

Ki Lurah Pringgabaya pun segera mempersiapkan diri. Tetapi ia masih menjawab, “Di dalam keadaan seperti sekarang, semuanya akan dapat terjadi.”

Senapati Ing Ngalaga tertawa. Katanya, “Baiklah. Marilah kita bersiap. Kita akan menentukan akhir dari pertempuran ini. Tetapi sekali lagi, aku inginkan Ki Lurah tertangkap hidup-hidup.”

Ki Lurah bergeser setapak. Kerisnya masih erat di dalam genggamannya, sementara Ki Waskita pun bergeser pula. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya melangkah maju sambil berkata kepada Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah, “Tolong, jaga agar orang ini tidak melarikan diri. Aku akan menangkapnya. Kecuali jika ia menusuk dadanya sendiri dengan kerisnya. Dan itu bukan perbuatan seorang prajurit jantan.”

“Tidak Raden,” berkata Ki Lurah Pringgabaya, “selama kita tetap bersikap sebagai prajurit, aku akan bertempur dengan laku seorang prajurit pula. Aku akan membunuh semua lawanku, dan aku akan meninggalkan arena ini dengan kemenangan dan keris yang basah oleh darah.”

Senapati Ing Ngalaga tersenyum. Katanya, “Kau memancing aku turun ke arena. Baiklah. Jangan ada orang lain yang mengatakan bahwa aku menangkapmu dengan tangan orang lain. Aku akan menggantikan tempat Ki Waskita.”

Bagaimana pun juga, terasa debar jantung Ki Lurah Pringgabaya menjadi semakin cepat. Ia tidak bermimpi untuk tiba-tiba saja berhadapan dengan Senapati Ing Ngalaga dalam perang tanding. Yang diikuti dan akan dibunuhnya adalah murid Kiai Gringsing yang muda, yang berasal dari Sangkal Putung. Namun tiba-tiba saja di luar kehendaknya ia harus berhadapan dengan Senapati Ing Ngalaga.

Tetapi ia tidak dapat melangkah surut. Ia harus memilih mati atau ditangkap hidup-hidup. Dan Ki Lurah Pringgabaya memilih mati.

Sejenak kemudian Raden Sutawijaya telah berdiri di sebelah Ki Waskita. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh, sementara sorot matanya bagaikan menusuk langsung menembus sampai ke pusat jantung.

Ki Waskita pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu, apakah anak muda yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu juga memiliki ilmu seperti yang dimiliki Agung Sedayu, ilmu yang sulit dicari bandingnya. Yang lewat sorot matanya dapat menyentuh lawannya.

Tetapi seandainya tidak, Senapati tentu memiliki kekuatan yang dapat mengimbangi, bahkan melampaui ilmu itu.

Dengan jantung yang berdebar-debar ia melihat Senapati menempatkan dirinya. Katanya, “Ki Waskita, aku akan berperang tanding. Tetapi aku tetap mohon agar Ki Waskita, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah ikut membantu aku mengawasi, agar orang ini tidak melarikan diri.”

“Aku telah memilih, Raden,” berkata Ki Lurah Pringgabaya, “ternyata aku telah terjebak ke dalam satu keadaan di luar perhitunganku.”

“Sayang,” berkata Raden Sutawijaya, “aku pun tidak menyangka bahwa aku akan bertemu dengan Ki Lurah. Yang aku cemaskan, seperti yang memang terjadi, utusan dari Pajang itu dengan licik akan mencegat Swandaru Karena itu, aku memerlukan untuk mengikuti perjalanan anak-anak muda Sangkal Putung itu. Ternyata bahwa kau pun sedang mengikutinya pula.”

Ki Lurah Pringgabaya tidak menyahut lagi. Tetapi ia sudah bersiap untuk menyerang lawannya dengan kerisnya. Ia berharap bahwa Raden Sutawijaya tidak mengetahui kemampuannya yang luar biasa, sehingga ia akan dapat melukainya pada serangan pertama.

Ki Waskita pun menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat memberitahukan, bahwa serangan Ki Lurah akan datang lebih dahulu dari ujud wadagnya dan senjatanya.

Raden Sutawijaya yang masih muda itu pun segera mempersiapkan dirinya pula. Setapak ia bergeser. Dipandanginya ujung keris Ki Lurah Pringgabaya yang siap untuk menerkamnya.

Ketika kemudian Ki Lurah itu meloncat menusuk, dengan kerisnya, Raden Sutawijaya nampak terkejut. Anak muda itu dengan serta merta telah meloncat menjauh. Namun Ki Lurah tidak lagi memberinya kesempatan. Dengan cepat ia memburu sambil mengayunkan kerisnya mendatar.

Sekali lagi Raden Sutawijaya meloncat mundur dengan wajah yang tegang. Namun kemampuan ilmu Ki Lurah Pringgabaya ternyata tidak sempat mencapainya.

“Apa anak ini dapat mengerti ilmuku?” bertanya Ki Lurah di dalam hatinya.  

Sebenarnyalah, Raden Sutawijaya memang seorang yang luar biasa. Ketika serangan lawannya mematuknya, seakan-akan desir lembut yang didorong oleh getaran ilmu lawannya telah meraba syaraf perasaannya yang langsung memberitahukan kepadanya, bahwa serangan lawannya itu memang sangat berbahaya. Sementara itu, ilmu yang tidak dapat segera diraba oleh pengamatan lawannya, apalagi oleh sentuhan wadag, telah menyelubungi Raden Sutawijaya, sehingga setiap bahaya yang menyentuh selubung ilmunya itu, segera dapat diketahuinya.

Dengan demikian, maka anak muda itu pun segera mengetahui, bahwa Ki Lurah Pringgabaya memiliki ilmu yang dahsyat pula. Bahwa ketajaman ilmunya itu akan dapat menjebak lawannya, karena sentuhan serangannya mendahului ujud wadagnya.

Karena itulah, maka ternyata Ki Pringgabaya tidak dapat menjebak lawannya pada serangan-serangan pertamanya. Sehingga dengan demikian, Ki Pringgabaya pun sadar, bahwa ia harus bertempur dengan pengerahan segenap kemampuan yang ada padanya.

Pertempuran yang sengit pun kemudian telah terjadi. Agaknya Raden Sutawijaya dengan sengaja telah memancing lawannya untuk bertempur semakin dalam, memasuki hutan itu. Dengan sendirinya, maka Ki Waskita dan anak-anak Sangkal Putung itu pun telah mengikutinya pula.

Dengan demikian, agaknya Raden Sutawijaya tidak ingin pertempuran itu terganggu seandainya ada orang yang melihat dan kemudian ingin turut campur.

Dengan segenap kemampuannya, Ki Pringgabaya pun telah melibat lawannya dalam pertempuran yang garang. Seperti saat ia bertempur melawan Ki Waskita, maka ia telah melibat lawannya dengan serangan-serangannya yang mengejutkan.

Tetapi seperti saat ia bertempur melawan Ki Waskita, maka ternyata ia harus memeras segenap kemampuan, tenaga dan ilmunya. Namun ia sama sekali tidak berhasil berbuat sesuatu.

Ki Waskita, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Ada suatu yang sangat menarik bagi anak-anak muda Sangkal Putung itu. Mereka merasa heran, bahwa Raden Sutawijaya harus terlalu berhati-hati menghadapi senjata pendek lawannya. Nampaknya Raden Sutawijaya terlalu tergesa-gesa menghindari setiap serangan.

Namun lambat laun, mereka mengetahui serba sedikit tentang ilmu lawannya. Kecuali karena sikap Raden Sutawijaya, kadang-kadang mereka dikejutkan oleh dahan dan ranting-ranting pepohonan yang tersentuh serangan Ki Lurah Pringgabaya itu.

Dengan bekal yang ada pada anak-anak Sangkal Putung itu, maka mereka mulai dapat melihat, bahwa sebenarnyalah Raden Sutawijaya sama sekali tidak tergesa-gesa menghindar. Tetapi Raden Sutawijaya dapat melihat, kemampuan ilmu lawannya.

Anak-anak Sangkal Putung itu pun kemudian dapat melihat, bahwa dahan dan kekayuan yang patah sebelum mata mereka melihat ujung keris Ki Lurah itu menyentuhnya. Bahkan akhirnya mereka pun mengetahui dengan gamblang, apa yang sedang mereka hadapi.

Bagaimana pun juga, mereka harus mengakui, bahwa Ki Lurah memang seorang yang luar biasa. Tanpa Ki Waskita, maka agaknya mereka tentu sudah diselesaikan di pinggir Kali Praga.

“Tuhan masih melindungi kami,” pengakuan itu membersit di hati anak-anak Sangkal Putung itu. Adalah kebetulan sekali, bahwa Ki Waskita telah mengikuti mereka pergi ke Sangkal Putung.

Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Lurah Pringgabaya dengan Raden Sutawijaya itu pun menjadi semakin lama semakin seru. Namun demikian, apapun yang dilakukan oleh Ki Pringgabaya tidak banyak berarti bagi lawannya.

Sehingga dengan demikian, maka lambat laun, menjadi semakin jelas, bahwa Raden Sutawijaya memang memiliki kelebihan dari lawannya. Betapa pun juga Senapati Ing Ngalaga itu memang seorang yang aneh. Dalam usianya yang masih muda, ia memiliki kemampuan yang seakan-akan tidak dapat dijajagi.

“Agung Sedayu sudah termasuk anak muda yang aneh,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya, “tetapi ia masih terpaut, beberapa lapis dari Raden Sutawijaya. Meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang jarang ada duanya, dengan mempergunakan sorot matanya serta daya tangkapnya yang sangat kuat, sehingga apa yang pernah menjadi perhatiannya, seolah-olah tidak akan terhapus dari pahatan ingatannya, namun ia masih harus menempa diri dengan sangat tekun agar ia dapat mendekati kemampuan Raden Sutawijaya.”

Tetapi karena Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda yang pernah menjadi murid Sultan Hadiwijaya yang masa mudanya bernama Mas Karebet, maka kelebihan itu seakan-akan telah diwarisi dari gurunya dan yang juga menjadi ayah angkatnya, sekaligus rajanya. Karena di masa mudanya, Sultan Hadiwijaya adalah seorang anak muda yang hampir tidak dapat dimengerti, bagaimana mungkin ia mampu menyadap berbagai macam ilmu yang hampir tidak terlawan.

Demikianlah, pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin jelas. Ki Lurah Pringgabaya yang telah mengerahkan segenap kemampuannya, merasa, bahwa tenaganya pun telah menjadi susut. Kekuatannya tidak lagi menghentak seperti saat ia mulai dengan pertempuran itu. Apalagi pemusatan pikirannya pun telah mulai menjadi kabur melihat sikap Raden Sutawijaya yang seolah-olah sama sekali tidak kehilangan setitik keringat pun.

“Anak ini memang luar biasa,” geram Ki Lurah di dalam hatinya, “nampaknya ia memiliki kemampuan ayah angkatnya yang sakit-sakitan itu.”

Dengan demikian, betapa pun juga Ki Lurah mengerahkan puncak-puncak ilmunya, namun ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu.

“Ki Lurah,” tiba-tiba saja terdengar Raden Sutawijaya berkata, “aku kira kita sudah cukup lama bermain-main di sini. Marilah kita akhiri saja permainan yang kurang menarik ini.”

Ki Lurah menggeretakkan giginya. Dihentakkannya sisa tenaganya untuk menyerang. Namun dengan loncatan pendek Raden Sutawijaya berhasil menghindar sambil berkata, “Kau masih bernafsu sekali Ki Lurah.”

“Aku akan membunuh lawanku, Raden. Atau aku sendiri akan terbunuh,” geram Ki Lurah.

“Jangan begitu. Kita dapat bersikap lebih baik. Kau bagiku adalah seorang yang berhati baja, memiliki ilmu yang tinggi dan tekad yang tidak tergoyahkan. Aku tetap menghargainya,” berkata Raden Sutawijaya.

“Tetapi Raden tentu berpendirian, bahwa aku masih tetap seorang yang terdiri dari kulit dan daging yang dibasahi oleh darahku yang merah. Raden tentu masih memperhitungkan, bahwa jika darahku diperas sampai kering, maka akhirnya mulutku akan berbicara tentang segalanya yang aku ketahui. Tentang sikap dan pendirian orang-orang yang sedang berjuang untuk menegakkan keagungan tanah ini. Tentang kekalutan dan kemunduran Pajang. Tentang Kakang Pringgajaya yang mati. Dan tentang banyak hal lagi,” jawab Ki Lurah Pringgabaya.

“Kau masih menganggap orang-orang Mataram orang-orang liar yang tidak mengenal diri mereka sendiri sebagai kesatria,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “apakah kira-kira kau akan memperlakukan demikian pula terhadap orang-orang yang berada di bawah kekuasaanku, dan sama sekali sudah tidak berdaya untuk melawan?”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia menyerang dengan sisa-sisa kemampuan dan tenaga yang masih ada padanya.

Raden Sutawijaya bergeser menghindar. Ketika lawannya memburu, ia masih tetap menghindar sekali lagi.

Namun akhirnya Raden Sutawijaya itu pun sampai saatnya untuk mengambil sikap. Agaknya ia merasa waktunya sudah terlalu banyak terbuang. Sehingga karena itu, maka sikapnya nampak menjadi semakin garang.

“Sekali lagi aku peringatkan Ki Lurah,” berkata Raden Sutawijaya, “semakin lama aku menjadi semakin jemu.”

“Aku pun menjadi jemu, Raden, “sahut Ki Lurah, “karena itu, jika Raden ingin mengakhiri pertempuran ini, silakan. Raden menyerah untuk mati, atau Raden akan membunuh aku.”

Wajah Raden Sutawijaya menjadi merah. Sorot matanya mulai membayangkan gejolak di dalam hatinya. Meskipun demikian, ia masih memperingatkan, “Kau masih mempunyai kesempatan berpikir. Pakailah pertimbangan nalarmu.”

Tetapi jawaban Ki Lurah Pringgabaya adalah justru dengan hentakan serangan yang keras. Senjatanya terayun dengan derasnya. Hampir saja kulit Raden Sutawijaya tersentuh, meskipun nampaknya jarak ujung keris itu dengan tubuhnya masih cukup jauh.

“Kau tidak dapat diajak berbicara lagi Ki Lurah,” geram Raden Sutawijaya.

“Memang bukan saatnya untuk berbicara panjang lebar, “sahut Ki Lurah, “tetapi saatnya adalah membunuh atau dibunuh.”

Terdengar gemeretak gigi Raden Sutawijaya. Tetapi ia masih tetap sadar, sehingga dengan jantung yang berdenyut semakin cepat ia berkata di dalam hatinya, “Aku memerlukannya hidup-hidup.”

Karena ternyata Ki Lurah Pringgabaya tidak lagi dapat diajak berbicara, maka Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga pun kemudian mengambil keputusan yang menentukan. Ialah yang harus bertindak, menghentikan perlawanan itu.

Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijaya pun telah mengambil langkah-langkah tertentu. Ia meloncat lebih cepat mengelilingi lawannya. Kadang-kadang langkahnya menghentak menyerang Ki Lurah Pringgabaya. Namun tiba-tiba saja anak muda itu bergeser menjauh.

Nafas Ki Lurah Pringgabaya semakin cepat mengalir. Lawannya memancingnya bertempur dengan langkah-langkah panjang. Jika ia bertahan dengan caranya, maka sentuhan-sentuhan yang mulai mengenai tubuhnya akan menjadi semakin sering dan semakin menghentak sampai ke tulang. Apalagi ketika Raden Sutawijaya melingkari tangannya dengan senjatanya yang aneh. meskipun hanya sebelah.

“Aku akan memaksamu menyerah,” berkata Raden Sutawijaya, “kau tidak akan dapat membunuhku, tetapi aku pun tidak akan membunuhmu, kecuali jika kau adalah seorang yang tidak berani menghadapi kenyataan meskipun kau mengaku seorang laki-laki. Kau dapat membunuh diri untuk mengakhiri ketakutanmu.”

Ki Lurah Pringgabaya menggeretakkan giginya. Namun ia masih berusaha mengerahkan sisa tenaganya.

Tetapi ia tidak banyak dapat berbuat lagi. Tenaganya bagaikan terhisap habis, sementara lawannya yang masih muda itu masih nampak kuat dan segar. Tenaganya sama sekali tidak berkurang, dan kecepatannya bergerak pun tidak menurun.

Karena itu, maka Ki Lurah itu pun menjadi semakin terdesak. Sentuhan-sentuhan tangan Raden Sutawijaya semakin sering terasa di tubuhnya. Semakin lama menjadi semakin kuat. Dan karena itu maka terasa tubuh Ki Lurah Pringgabaya menjadi semakin banyak dikerumuni oleh rasa sakit, pedih dan nyeri.

Tetapi tidak ada niat sama sekali untuk menyerah. Ki Lurah sudah bertekad untuk bertempur sampai batas kemungkinannya yang terakhir. Mati.

Namun ternyata serangan-serangan Raden Sutawijaya bukannya serangan-serangan yang membunuh. Meskipun serangan-serangan itu agaknya melumpuhkannya. Namun Ki Lurah Pringgabaya tidak akan sampai pada batas hidupnya.

Namun justru karena itu, kemarahan telah menyala, membakar jantung Ki Lurah yang garang itu. Dengan sisa tenaganya ia seolah-olah sengaja melakukan serangan-serangan tanpa menghiraukan hidup matinya lagi. Tetapi lawannya tidak mempergunakan kesempatan-kesempatan yang terbuka baginya. Raden Sutawijaya tidak berniat membunuhnya.

Tenaga Ki Lurah yang semakin lemah, dibakar oleh kemarahan yang bergejolak, telah membuatnya kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan putus asa ia mengamuk tanpa pengendalian diri. Semakin lama menjadi semakin kasar dan liar. Bahkan kemudian, seolah-olah orang itu bukan lagi orang yang bernama Ki Lurah Pringgabaya yang memiliki ilmu yang matang.

Raden Sutawijaya pun akhirnya menyadari, bahwa lawannya sudah kehilangan kemudi nalarnya. Karena itu, maka setiap kali Raden Sutawijaya hanya sekedar memancingnya untuk mengerahkan tenaganya yang tersisa, kemudian menghindar dengan langkah-langkah panjang.

Akhirnya. Ki Lurah Pringgabaya yang memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya itu, benar-benar telah kelelahan. Setiap kali ia justru terhuyung-huyung karena hentakkan kekuatannya sendiri. Pemusatan ilmunya menjadi pecah dan tersayat-sayat oleh kemarahan dan kegelisahan yang mencengkamnya.

“Ki Lurah,” berkata Raden Sutawijaya, “kau sudah kehilangan kepribadianmu. Cobalah mengamati dirimu.”

“Tidak Raden,” jawab Ki Lurah, “aku mengerti keadaanku. Bunuhlah aku agar pertempuran ini cepat berakhir.”

“Sudah aku katakan, aku tidak akan membunuhmu,” sahut Raden Sutawijaya.

“Ternyata kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku kenal, Raden,” geram Ki Lurah.

Raden Sutawijaya tidak menjawab. Ia meloncat memancing serangan Ki Lurah. Ketika ternyata Ki Lurah itu menyerangnya, maka Raden Sutawijaya sempat meloncat ke samping. Bahkan kemudian dengan gelang besi pipih di tangannya, ia menghantam punggung lawannya.

Terasa betapa punggungnya seolah-olah telah dihantam oleh reruntuhan bukit. Ki Lurah Pringgabaya terdorong beberapa langkah ke depan, namun kemudian ia benar-benar telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh tersungkur di tanah.

Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Namun demikian ia bergerak, tiba-tiba saja terasa tangannya yang menggenggam keris itu telah terinjak oleh kaki yang kuat dan berat, seperti tertindih setumpuk batu di candi Prambanan.  

“Kau tidak berdaya lagi Ki Lurah,” terdengar geram Raden Sutawijaya yang berdiri tegak dengan garangnya.

Ki Lurah Pringgabaya sempat memandang orang yang berdiri sambil bertolak pinggang itu. Betapa kebenciannya menyala di dalam dadanya. Namun sebenarnyalah bahwa ia memang sudah tidak berdaya lagi.

Ki Lurah Pringgabaya benar-benar tidak dapat berbuat sesuatu. Ketika tangannya terasa semakin sakit, maka ia menggeram. Tetapi ia tidak dapat menghentakkan tangannya yang ditindih oleh kaki Raden Sutawijaya.

“Kau jangan keras kepala Ki Lurah,” berkata Raden Sutawijaya.

“Bunuhlah aku, jika kau ingin membunuh, Raden,” geram Ki Lurah.

Tetapi justru Raden Sutawijaya mengangkat kakinya yang menginjak tangan Ki Lurah Pringgabaya. Dengan nada berat ia berkata, “Ki Lurah. Sudah aku katakan. Aku tidak akan membunuhmu. Aku ingin menangkap kau hidup-hidup, agar kau dapat menjadi sumber keterangan tentang orang-orang yang mungkin aku perlukan nama dan kegiatannya di Pajang. Aku akan mempergunakan segala cara untuk memeras keteranganmu. Mungkin dengan tindakan yang sama sekali tidak pernah kau bayangkan,” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “tetapi jika kau takut menghadapi tanggung jawabmu sebagai seorang prajurit, di mana pun kau berdiri, sehingga kau harus tetap merahasiakan yang memang seharusnya kau rahasiakan, apapun yang akan kau alami, maka aku memberimu kesempatan untuk memilih jalan yang paling pengecut dari segala jalan yang ada, yaitu membunuh diri.”

Ki Lurah Pringgabaya mengumpat. Namun Raden Sutawijaya berkata, “Bunuhlah dirimu sendiri, jika kau memang menjadi ketakutan seperti perempuan. Bahkan perempuan cengeng, karena ada juga perempuan yang bersikap jantan seperti yang kau lihat berada di medan ini pula.”

“Kaulah yang pengecut,” geram Ki Lurah Pringgabaya, “bunuhlah aku jika kau berani melakukannya.”

“Aku memerlukan kau hidup-hidup,”

Ki Lurah tidak menjawab lagi. Tetapi ia berusaha untuk bangkit dan mengayunkan kerisnya menyambar kaki Raden Sutawijaya.

Raden Sutawijaya menyadari, bahwa keris itu tentu dialasi dengan warangan yang sangat tajam, sehingga sentuhannya akan dapat membunuhnya. Karena itu, maka ia pun melangkah menghindar.

“Jika kau tidak berani membunuhku, akulah yang akan membunuhmu,” Ki Pringgabaya tiba-tiba telah berteriak.

“Aku tetap pada sikapku,” jawab Raden Sutawijaya, “dan jika kau ingin bertingkah laku sebagai seorang pengecut, silakan menusuk dadamu sendiri. Aku memang berbelas kasihan kepadamu, sehingga aku memberimu waktu.”

“Gila! Gila!” Ki Lurah itu pun kemudian berdiri dengan tertatih-tatih. Kerisnya masih erat di dalam genggamannya, “Aku ingin membunuhmu Raden. Jika kau tidak membunuh aku sekarang, pada suatu saat kau akan menyesal, karena akan datang waktunya, kerisku ini tergores di kulitmu.”

Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi ia bergeser selangkah mendekat. Namun Ki Lurah yang hatinya menjadi gelap, justru telah memaksa diri untuk melangkah sambil berusaha menikam dengan kerisnya.

Raden Sutawijaya yang sudah menjadi jemu melihat tingkah laku Ki Pringgabaya itu pun bergeser selangkah. Dengan kerasnya ia pun kemudian memukul pergelangan tangan Ki Lurah yang menggenggam keris itu.

Terdengar Ki Lurah itu mengaduh tertahan. Sementara itu kerisnya pun telah terlepas dari tangannya, jatuh beberapa langkah dari padanya.

“Untuk membunuh diri pun kau tidak mampu lagi,” berkata Raden Sutawijaya, “kau sekarang tawananku. Mau tidak mau.”

Ki Lurah mengumpat kasar. Namun tiba-tiba mulutnya telah terbungkam ketika dengan satu hentakan Raden Sutawijaya yang tidak sabar lagi itu menyentuh tengkuknya dengan ujung tiga jari tangannya.

Ki Lurah itu pun kemudian terhuyung huyung. Tetapi sebelum ia terjatuh, Raden Sutawijaya cepat menangkapnya dan kemudian meletakkannya terbaring di tanah.

Dalam pada itu, Ki Waskita, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah hampir berbareng telah melangkah mendekat. Ketika Raden Sutawijaya berlutut di samping Ki Lurah Pringgabaya, maka mereka pun kemudian telah berlutut pula.

“Orang yang keras hati,” berkata Raden Sutawijaya sambil menarik wrangka keris di lambung orang itu.

Ki Waskita kemudian bangkit untuk mengambil keris Ki Lurah yang terjatuh dan menyerahkannya kepada Raden Sutawijaya yang kemudian menyarungkannya ke dalam wrangkanya.

“Bagaimana maksud Raden kemudian?” bertanya Ki Waskita.

“Aku akan membawanya ke Mataram.” Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak, kemudian, “Sebenarnya, aku ingin mohon pertolongan Ki Waskita untuk membantu aku membawanya ke Mataram. Bagaimana pun juga, kemungkinan yang tidak kita kehendaki dapat terjadi di sepanjang jalan. Orang-orang yang pergi ke Pajang itu dapat menceritakan apa yang terjadi di sini.”

“Tentu aku sama sekali tidak berkeberatan Raden,” jawab Ki Waskita.

“Tetapi bawalah anak-anak Sangkal Putung ini kembali ke kademangannya,” berkata Raden Sutawijaya kemudian.

“Kademangan kami sudah terlalu dekat,” sahut Swandaru, “biarlah kami kembali bertiga.”

“Yang terlalu dekat itu pun masih merupakan jarak. Biarlah Ki Waskita mengantarkan kalian sampai ke kademangan. Aku akan menunggunya di sini.” jawab Raden Sutawijaya.

“Apakah tidak sebaiknya orang itu dibawa saja ke Sangkal Putung?” bertanya Swandaru.

“Terima kasih. Aku akan menunggu di sini sampai Ki Waskita datang. Kemudian kami berdua akan membawa orang ini ke Mataram.”

Swandaru tidak membantah lagi. Jika Raden Sutawijaya sudah mengambil keputusan, agaknya sulit untuk mengubahnya lagi.

Karena itu, maka Swandaru, istri dan adik perempuannya itu pun kemudian berkemas. Mereka membenahi pakaian mereka dan mengusap keringat di wajah mereka.

“Kami akan kembali ke Sangkal Putung, Raden,” berkata Swandaru minta diri.

“Silakan. Hati-hatilah. Persoalannya telah berkembang demikian parahnya. Ada baiknya, kau berada di antara para pengawal kademanganmu yang kuat setiap saat. Demikian pula istri dan adikmu,” pesan Raden Sutawijaya. Kemudian, “Orang-orang yang kembali ke Pajang itu tentu akan bercerita banyak. Mungkin mereka menambah yang mereka anggap perlu, tetapi mungkin juga mereka menguranginya sesuai dengan kepentingan mereka.”

“Terima kasih Raden,” sahut Swandaru, “hari ini Raden telah menyelamatkan kami.”

“Kita saling memerlukan,” jawab Raden Sutawijaya.

Swandaru, istri dan adiknya pun segera mengambil kuda mereka dan melanjutkan perjalanan bersama Ki Waskita. Jarak yang pendek antara hutan itu dan Sangkal Putung, masih menyimpan kemungkinan yang dapat mengejutkan mereka. Sementara Raden Sutawijaya masih berada di hutan yang tidak begitu lebat itu bersama Ki Lurah Pringgabaya yang tertidur di luar kehendaknya sendiri.

Sangkal Putung memang tidak jauh lagi. Beberapa saat kemudian Swandaru dan iring-iringan kecilnya telah memasuki kademangannya. Anak-anak muda yang melihatnya, menyambutnya dengan gembira. Seolah-olah Swandaru telah bertahun-tahun meninggalkan mereka.

Kedatangannya di rumahnya pun telah disambut oleh keluarganya dengan penuh kegembiraan. Anak-anak muda dan para pengawal berdatangan sesaat saja setelah anak Ki Demang itu membersihkan dirinya.

Namun dalam pada itu Ki Demang terkejut ketika tiba-tiba saja Ki Waskita yang baru saja datang bersama anaknya telah minta diri. Dengan heran Ki Demang bertanya, “Apakah artinya kedatangan Ki Waskita? Aku akan mempersilakan Ki Waskita untuk tinggal. Tidak hanya satu hari satu malam. Tetapi untuk beberapa hari dan beberapa malam.”

Ki Waskita tersenyum. Memang sulit untuk memberikan alasan. Tetapi ia terpaksa mengatakannya, “Ada keperluanku sedikit Ki Demang. Nanti aku akan kembali lagi ke Sangkal Putung.”

“Nanti? Maksud Ki Waskita hari ini juga?” bertanya Ki Demang.

“Mungkin hari ini, mungkin besok. Tetapi aku pasti akan sampai di Sangkal Putung kembali,” jawab Ki Waskita.

Ki Demang benar-benar tidak mengerti, kenapa justru Swandaru yang datang bersama Ki Waskita itu sama sekali tidak menahannya. Bahkan setiap kali anak muda itu selalu mengelakkan tatapan matanya, jika Ki Demang berusaha untuk mendapatkan pertimbangannya.

Namun lambat laun, ia mulai berpikir, bahwa jika tidak ada sesuatu tentu anaknya itu pun akan ikut menahannya agar Ki Waskita tidak segera meninggalkan Sangkal Putung.

Karena itu, akhirnya Ki Demang pun tidak menahannya lagi. Tetapi ketika Ki Waskita meninggalkan kademangan itu, maka sekali lagi Ki Demang berpesan, “Kami menunggu kedatangan Ki Waskita kembali. Nanti, atau besok pagi-pagi benar.”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Baiklah Ki Demang. Aku akan berusaha. Tetapi tidak setiap usaha akan berhasil.”

“Ah,” Ki Demang berdesah. Tetapi akhirnya ia pun tersenyum.

Demikianlah Ki Waskita dengan tergesa-gesa menuju ke tempat Raden Sutawijaya menunggu. Ketika ia sampai di tempat itu, ternyata Ki Lurah Pringgabaya sudah duduk dengan lemahnya di sebelah Raden Sutawijaya.

Kehadiran Ki Waskita membuat Ki Lurah Pringgabaya gelisah. Sambil bergeser ia berkata, “Apa pula yang akan dilakukannya?”

“Aku memintanya kembali setelah ia mengantarkan anak-anak Sangkal Putung,” desis Raden Sutawijaya.

“Raden benar-benar seorang yang paling bengis yang pernah aku jumpai di seluruh Pajang,” geram Ki Lurah Pringgabaya.

“Mungkin Ki Lurah,” jawab Raden Sutawijaya, “tetapi apakah Ki Lurah pernah bertanya kepada diri sendiri, kepada saudara seperguruan Ki Lurah dan kepada orang-orang yang mengaku ingin menegakkan kembali kejayaan masa silam itu?”

“Kami melakukan semuanya dalam batas kematian seseorang. Tidak sampai kepada kekejaman jiwani seperti ini. Raden telah menyiksa aku melampaui kematian itu sendiri,” berkata Ki Lurah. Lalu, “Jika orang lain terbatas pada penyiksaan badani yang tentu akan dapat aku tanggungkan, tetapi Raden berbuat lain.”

“Aku tidak yakin Ki Lurah. Jika jiwamu tersiksa itu pun hanya karena kau sebenarnya takut menghadapi siksaan badani. Bukankah kau membayangkan bahwa aku akan memaksamu berbicara tentang kau, tentang Ki Pringgajaya, tentang orang-orang lain yang bersangkut paut dengan kerja yang kau sebut perjuangan menegakkan kejayaan masa lampau itu? Jika kau yakin, bahwa kau akan tabah dan tidak takut terjerat ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan menuntut kekebalan kulit dan dagingmu, kau tidak usah merasa tersiksa. Kau dengan tenang akan menghadapi semuanya itu. Tanpa kecemasan sama sekali.”

“Justru sikap Raden itulah pertanda kebengisan itu,” geram Ki Pringgabaya.

Raden Sutawijaya tidak menjawab. Ketika Ki Waskita kemudian duduk pula di sampingnya ia berkata, “Kita akan segera meninggalkan tempat ini Ki Waskita. Jika orang-orang Pajang itu mengambil satu sikap yang tidak kita perhitungkan sebelumnya, mungkin kita akan justru terjebak.”

“Marilah Raden. Aku ikuti Raden kembali ke Mataram,” berkata Ki Waskita.

Raden Sutawijaya pun kemudian bangkit sambil berkata, “Marilah Ki Lurah. Kita bersama sama pergi ke Mataram.”

Ki Lurah Pringgabaya menarik nafas dalam-dalam.

Tetapi ia pun kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke tempat kudanya ditambatkan, diikuti oleh Ki Waskita dan Raden Sutawijaya.

Setelah mereka mengambil kuda masing-masing, maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu. Arena pertempuran yang berserakan, yang telah mengoyak rimbunnya pepohonan dan batang perdu di hutan yang tidak begitu lebat itu.

Terasa betapa letihnya tubuh dan hati Ki Lurah Pringgabaya. Ia sama sekali tidak memperhatikan apapun yang ada di sekitarnya. Kepalanya menunduk dalam-dalam, sementara kegelisahan mencengkam jantung.

Tidak ada orang yang memperhatikan ketiga orang berkuda dalam pakaian petani dan orang-orang kebanyakan itu Tidak seorang pun yang tahu bahwa salah seorang di antara mereka adalah Senapati Ing Ngalaga di Mataram.

Sekali-sekali Ki Waskita berbicara juga dengan Raden Sutawijaya, sementara Ki Lurah berkuda di paling depan. Sekali-sekali terbesit juga niat Ki Lurah untuk melarikan diri. Memacu kudanya tanpa menghiraukan akibat yang dapat terjadi. Karena ia sama sekali tidak lagi menghiraukan kematian.

Namun ia pun mengerti, bahwa usaha itu akan sia-sia. Raden Sutawijaya dan Ki Waskita tentu akan dapat menangkapnya. Bahkan mungkin ia akan mengalami keadaan yang lebih parah. Malu dan sakit. Ia tidak akan menghiraukan sakit badani yang betapa pun juga. Tetapi ia akan menjadi sangat menyesali dirinya karena sakit hati.

Karena itu, niat untuk melarikan diri itu pun diurungkannya. Karena kerja itu tentu hanya kerja sia-sia.

Dengan demikian, maka mereka pun menempuh perjalanan ke Mataram tanpa hambatan apapun juga. Mereka sempat beristirahat di pinggir kali Opak. Kemudian meneruskan perjalanan ke barat, seolah-olah mereka sedang menuju ke tempat matahari akan terbenam.

Langit yang bercahaya merah, menampar wajah-wajah yang berkeringat. Debu yang kelabu melekat pada keringat yang mengembun di kening. Ketiga orang berkuda dalam pakaian petani itu nampak lelah dan kotor. Namun dengan pasti mereka menuju ke gerbang kota Mataram.

Tetapi ternyata bahwa mereka tidak memasuki kota lewat pintu gerbang. Mereka memasuki kota lewat jalan kecil. Kemudian menyusup lewat celah-celah pedesaan dan sawah-sawah yang sempit dan hampir dipadati dengan halaman-halaman rumah dan kebun-kebun, langsung menuju ke rumah yang menjadi pusat pemerintahan di Mataram.

Raden Sutawijaya sama sekali tidak segan memasuki regol halaman rumahnya. Penjaga yang melihatnya, sekilas mengerutkan keningnya. Tetapi mereka sudah terlalu biasa melihat Raden Sutawijaya dalam ujudnya yang beribu macam, sehingga karena itu, maka mereka pun mengangguk tanpa menyapanya dengan wajah heran.

Ki Lurah Pringgabayalah yang merasa heran. Tetapi ia pun kemudian menyadari, bahwa pengawal-pengawal itu tentu sudah sering kali melihat Raden Sutawijaya dalam pakaian yang demikian.

Di muka pendapa mereka turun dari kuda. Setelah menyerahkan kuda-kuda itu kepada para pengawal yang mendekat, maka Raden Sutawijaya pun berkata kepada Ki Waskita, “Silakan menemani Ki Lurah di pendapa sebentar Ki Waskita. Perkenankan aku membenahi pakaianku.”

Ki Waskita mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Raden. Silakan.”

Raden Sutawijaya memandang Ki Lurah Pringgabaya sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Silakan duduk Ki Lurah.”

Ki Lurah Pringgabaya menggeram. Kebenciannya kepada anak muda itu benar-benar telah memuncak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Sejenak Raden Sutawijaya masuk lewat seketheng. Sementara itu Ki Waskita duduk di hadapan Ki Lurah Pringgabaya yang selalu menundukkan wajahnya.

“Ki Lurah,” tiba-tiba saja Ki Waskita berkata untuk menghalau kekakuan suasana, “banyak yang tidak kita ketahui tentang Pajang. Ki Lurah adalah satu dari untaian rantai rahasia itu. Agaknya memang sulit untuk mendapat keterangan dari Ki Lurah. Tetapi barangkali pertanyaanku tidak menyinggung persoalan pokok yang berkembang di Pajang sekarang. Apakah Ki Lurah bersedia menjawab?”

“Aku tidak akan memberikan keterangan apapun,” geram Ki Lurah Pringgabaya.

“Tidak menyinggung sama sekali dengan persoalan yang sedang kemelut sekarang ini,” desis Ki Waskita, “aku hanya ingin mengetahui beberapa masalah pribadi Ki Lurah. Terutama tentang asal usul Ki Lurah. Seperti orang kebanyakan yang kurang saling mengenal kadang-kadang bertanya, Ki Sanak dari mana?”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sambil menggeleng ia menyahut, “Tidak ada gunanya. Aku kira kau cukup mengetahui bahwa aku adalah seorang prajurit Pajang. Terserah, apa yang akan kau katakan tentang diriku. Apakah aku seorang pejuang atas satu cita-cita yang agung, atau kau akan menyebut aku seorang pengkhianat. Kita sudah berbicara cukup banyak di pinggir Kali Praga. Aku kira tidak ada lagi yang perlu kami bicarakan di sini.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun dengan demikian suasana kembali menjadi hening kaku. Tiang-tiang pendapa itu pun nampak tegak membisu, sementara Ki Lurah yang duduk menunduk itu pun kemudian membisu pula.

Ki Waskita tidak mempunyai cara apapun untuk memancing pembicaraan. Justru karena itu, maka rasa-rasanya ia telah duduk begitu lama di pendapa itu, menunggu Raden Sutawijaya yang menurut perhitungan Ki Waskita, tentu akan berganti pakaian sesuai dengan kedudukannya.

Dalam pada itu, di dalam rumahnya, Raden Sutawijaya telah memanggil Ki Juru. Beberapa saat mereka berbincang tentang orang yang tertawan itu.

“Ia orang luar biasa Paman,” berkata Raden Sutawijaya, “tidak ada bilik yang dapat menahannya. Ia akan dapat memecahkan dinding kayu yang tebal sekali pun.”

“Tetapi ia bukan orang yang kebal Ngger. Karena itu, maka bilik yang diperuntukkan baginya, akan dijaga oleh beberapa orang bersenjata. Tentu ia tidak akan dapat memecahkan dinding jika ujung-ujung tombak siap menusuk jantungnya,” jawab Ki Juru.

Tetapi Raden Sutawijaya tidak puas dengan jawaban Ki Juru Martani itu. Karena itu, maka katanya, “Paman, orang itu tentu memilih mati. Ia tidak akan menghindar jika ujung-ujung tombak itu menusuk dadanya tepat pada saat ia memecahkan dinding tempat ia dikurung. Dengan demikian ia akan merasa bebas dari penderitaan yang telah direka-rekanya sendiri.”

“Penderitaan apa?” bertanya Ki Juru Martani.

“Penderitaan yang menghantuinya. Mungkin ia selalu melakukannya terhadap orang yang ditangkapnya untuk mendapatkan keterangan. Aku kira memang demikian gambaran setiap orang yang tertawan. Ia akan diperas dengan segala macam cara agar keterangan yang dipertahankannya akhirnya akan terloncat pula setelah orang itu tidak tahan lagi mengalami penderitaan,” jawab Raden Sutawijaya.

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apakah orang yang disebut Ki Lurah Pringgabaya itu akan diperlakukan demikian di sini?”

“Ia sudah mengangankannya,” jawab Raden Sutawijaya.

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ia akan mendapatkan suatu pengalaman baru. Tetapi ia memang memerlukan penjagaan khusus. Jika ia memang menginginkan kematian, maka sebaiknya ditugaskan beberapa orang perwira khusus tanpa senjata. Tetapi kau harus berpesan, bagaimana harus menghadapinya.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk pula sambil menjawab, “Ya. Ia memerlukan tiga atau empat orang pengawal khusus dalam tataran ilmu yang memadai. Aku akan memberikan petunjuk, bagaimana menghadapinya jika ia berusaha melepaskan diri. Sementara harus disediakan alat untuk memberikan isyarat kepada para penjaga dan jika aku ada, aku sendiri akan turun menanganinya.”

Demikianlah, maka Raden Sutawijaya dengan persetujuan Ki Juru telah memerintahkan Ki Lurah Branjangan untuk mengatur, bagaimana menahan orang yang disebut Ki Lurah Pringgabaya itu. Beberapa pesan terpenting telah diberikannya. Petunjuk untuk mengatasi ilmunya yang dahsyat pun telah diberitahukannya kepada Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah Branjangan memperhatikannya dengan seksama. Ia pun termasuk orang berilmu. Tetapi ia tidak mengingkari kenyataan, bahwa menurut penilaian Raden Sutawijaya, ia masih berada di bawah tataran ilmu Ki Lurah Pringgabaya, sehingga Raden Sutawijaya berpesan kepadanya, agar ia menyiapkan empat orang di dalam setiap kelompok penjagaan atas tawanan yang seorang itu.

Setelah semua pesan penting disampaikan kepada Ki Lurah Branjangan, maka Raden Sutawijaya pun segera membenahi diri, dan kemudian keluar dari ruang dalam ke pendapa.

Di pendapa, Ki Waskita duduk dengan gelisah menunggui Ki Lurah Pringgabaya yang menunduk. Demikian ia melihat Raden Sutawijaya keluar dari ruang dalam, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.

“Maaf Ki Waskita,” berkata Raden Sutawijaya, “mungkin aku terlalu lama membiarkan Ki Waskita duduk berdua saja dengan Ki Lurah Pringgabaya di pendapa.”

Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Ternyata Ki Lurah adalah seorang pendiam. Aku tidak sempat berbicara tentang apapun juga dengannya. Karena itu, rasa-rasanya aku sudah duduk di sini satu bulan lamanya.”

Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Ada sesuatu yang tidak sesuai pada Ki Lurah Pringgabaya. Tetapi mudah-mudahan ia akan segera dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya di tempat ini.”

Ki Lurah Pringgabaya sempat mengangkat wajahnya dan memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun pada sorot matanya yang sekilas itu nampak, betapa hatinya yang membara melontarkan kebencian.

Tetapi hal itu dianggap wajar sekali oleh Raden Sutawijaya. Karena itu maka ia tidak memberikan tanggapan apapun juga.

Sementara itu, Ki Juru Martani pun kemudian keluar pula ke pendapa menemui Ki Waskita. Beberapa saat lamanya mereka berbincang tentang berbagai persoalan. Mereka berbicara tentang perkembangan hubungan Pajang dan Mataram. Mengenai keadaan Sultan Hadiwijaya dan mengenai perkembangan Mataram sendiri.

Namun pembicaraan itu terputus ketika dengar geram Ki Lurah Pringgabaya memotong pembicaraan itu, “Raden. Jangan menyiksa aku dengan pembicaraan yang tidak jujur itu. Aku mengerti, Raden berusaha untuk mempengaruhi perasaanku. Untuk memberikan gambaran yang lain kepadaku. Tetapi semuanya itu tidak ada gunanya. Karena itu, sebaiknya Raden membunuh aku saja, karena aku tidak akan berguna apapun juga. Akupun tidak akan dapat kau jadikan sumber keterangan apapun tentang orang-orang Pajang yang tentu kau sebut terlibat ke dalam pengkhianatan menurut penilaianmu.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesah, “Kau terlalu berprasangka buruk Ki Lurah. Aku berbicara tentang apa yang aku ketahui. Aku tidak tahu, yang manakah yang tidak benar dan tidak sesuai dengan kenyataan. Jika Ki Lurah mengetahui, bahwa di dalam pembicaraan kami terdapat hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, atau tidak sesuai menurut pengetahuan Ki Lurah, aku tidak berkeberatan jika Ki Lurah memberikan keterangan yang sebenarnya menurut Ki Lurah.”

“Jangan menganggap aku kanak-kanak yang baru pandai merajuk,” jawab Ki Lurah, “itukah caramu yang pertama untuk mengorek keterangan dari mulutku? Jangan mengharap sesuatu Raden. Tahu atau tidak tahu, aku tidak akan mengatakan sesuatu.”

“Baiklah,” jawab Raden Sutawijaya, ”kau agaknya memang sudah dibekali dengan pengertian yang keras tentang perjuangan yang sedang kau lakukan. Benar atau tidak benar. Karena itu, kau selalu dibayangi oleh prasangka dan kecurigaan. Tetapi itu bukan salah Ki Lurah. Mungkin bahan yang Ki Lurah terima untuk menilai keadaan itu sendiri.”

“Kaulah yang salah menilai dirimu sendiri Raden,” jawab Ki Lurah, “Kau sangka bahwa dugaanmu tentang aku itu adalah kebenaran.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ki Lurah bagi Raden Sutawijaya bagaikan pintu yang tertutup rapat. Tidak ada seorang pun yang boleh masuk. Tetapi Raden Sutawijaya pun yakin, bahwa tidak akan ada seorang pun yang boleh keluar. Dengan demikian maka Ki Lurah itu tentu tidak akan mengatakan sesuatu, tetapi ia pun tidak mau mendengarkan keterangan apapun juga.

Tetapi Raden Sutawijaya tidak segera kehilangan satu harapan, bahwa pada batu yang betapa pun kerasnya, titik-titik air hujan akan dapat mengoreknya.

Karena itu, maka Raden Sutawijaya itu pun berkata, “Ki Lurah. Aku mengerti bahwa Ki Lurah sudah menentukan satu sikap. Baiklah. Aku pun sudah menentukan satu sikap. Aku terpaksa menempatkan Ki Lurah di tempat yang barangkali tidak menyenangkan.”

“Aku tahu. Aku akan ditahan di sini,” jawab Ki Lurah.

“Ya. Aku mohon Ki Lurah dapat menerima keadaan itu sebaik baiknya. Jangan mencoba melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan diri Ki Lurah sendiri,” berkata Raden Sutawijaya.

“Sulit atau tidak sulit tergantung atas pertimbanganku sendiri. Aku sudah memutuskan, bahwa mati tidak lagi dapat menghantui aku,” jawab Ki Lurah.

Terasa sesuatu bergejolak di hati Raden Sutawijaya. Betapa pun ia berusaha menahan hati, tetapi kadang-kadang darah mudanya melonjak sampai ke kepala. Karena itu, ia pun membentak, “Jangan terlalu sombong! Aku dapat berbuat apa saja menurut kehendakku atas Ki Lurah. Diakui atau tidak diakui, aku menang atasmu Ki Lurah. Aku masih berusaha bersikap manis. Tetapi aku dapat menjadi kasar dan buas. Aku bukan orang baik tanpa cacat. Juga bukan seorang pengampun berdarah putih seperti seorang pelaku dalam cerita pewayangan. Aku masih dapat tersinggung. Masih dapat marah dan mendendam. Dan masih mempunyai nafsu liar yang bangga melihat orang lain menjadi korban kebiadaban.”

Bagaimana pun juga, terasa sesuatu menekan jantung Ki Lurah Pringgabaya. Ia melihat sorot mata Raden Sutawijaya yang menjadi garang. Sehingga karena itu, maka ia pun tidak menjawab lagi. Ia harus mengakui, bahwa seorang melawan seorang, ia tidak dapat menang atas putra angkat Sultan Hadiwijaya. Bahkan ia pun merasa, bahwa tataran ilmunya masih berada beberapa lapis di bawah anak muda yang aneh itu, seaneh ayahanda angkatnya di masa mudanya. Seolah-olah demikian saja alam memberikan kemampuan yang tidak terbatas kepadanya sehingga anak muda itu menjadi seorang anak muda yang memiliki ilmu linuwih.

Karena itu, maka ketika kemudian Raden Sutawijaya memanggil Ki Lurah Branjangan dan memerintahkan kepadanya untuk membawa Ki Lurah Pringgabaya itu ke tempat yang sudah dipersiapkan, maka Ki Lurah itu pun tidak membantah.

Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya yang sudah menjajaki kemampuannya itu pun tentu sudah mempersiapkan tempat dan penjagaan yang memadai sehingga ia memang tidak akan dapat berbuat apa-apa sama sekali.

Sepeninggal Ki Lurah Branjangan dari pendapa, maka Ki Waskita pun segera minta diri. Tetapi Raden Sutawijaya masih menahannya. Katanya, “Aku mohon Ki Waskita bermalam saja di sini. Aku kira, tidak akan terjadi sesuatu di Sangkal Putung.”

“Tentu tidak Raden,” jawab Ki Waskita, “orang-orang yang kembali ke Pajang itu pun tentu tidak akan berbuat apa-apa, karena mereka pun tentu sudah memperhitungkan, bahwa anak-anak Sangkal Putung itu sudah berada di antara para pengawal kademangan yang cukup kuat.”

“Karena itu, biarlah Ki Waskita tinggal barang semalam di sini. Besok Ki Waskita dapat kembali ke Sangkal Putung dengan beberapa orang yang akan mengawasi perjalanan Ki Waskita. Bukan karena aku mencemaskan Ki Waskita, bahwa Ki Waskita tidak akan dapat menjaga diri sendiri, tetapi tentu lebih senang mempunyai kawan di perjalanan daripada seorang diri. Ada kawan bergurau. Mungkin dapat sekedar mengurangi kejemuan di perjalanan meskipun tidak terlalu panjang.”

Ki Waskita tersenyum. Tetapi ia tidak dapat menolak. Ia pun merasa perlu untuk sekedar mengetahui perkembangan serba sedikit tentang tawanan khusus yang memiliki ilmu yang tinggi itu.

“Tentu Ki Lurah Pringgabaya tidak akan dengan mudah memenuhi segala macam keinginan orang yang sedang menguasainya. Bahkan mungkin mulutnya akan benar-benar tertutup, apapun yang akan terjadi atasnya,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya, “tetapi mungkin pula Raden Sutawijaya tidak akan tergesa-gesa berbuat sesuatu terhadap Ki Lurah Pringgabaya.”

Demikianlah, maka malam itu Ki Waskita tetap berada di Mataram, atas permintaan Raden Sutawijaya. Namun seperti yang diduganya, Raden Sutawijaya memang tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu atas tawanan khususnya. Bahkan Raden Sutawijaya lebih banyak berbincang dengan Ki Waskita dan Ki Juru Martani di pendapa tentang berbagai macam persoalan yang berkembang di saat-saat terakhir.

Di malam hari, Ki Waskita tidak segera dapat memejamkan matanya. Ia membayangkan, bahwa Sangkal Putung dan tentu juga padepokan kecil di Jati Anom selalu berada di dalam bayangan yang buram.

Dengan mengenal Ki Lurah Pringgabaya, maka Ki Waskita dapat membayangkan, bagaimana kira-kira kemampuan dan sikap orang yang bernama Ki Pringgajaya yang dikabarkan telah mati itu. Raden Sutawijaya telah menyinggung serba sedikit tentang orang yang bernama Pringgabaya dan Pringgajaya. Karena Raden Sutawijaya seolah-olah mengetahui semua yang terjadi seperti ia melihat sendiri peristiwa demi peristiwa.

Laporan, pengamatan dan panggraita Raden Sutawijaya yang tajam telah merupakan urutan peristiwa yang lengkap sehingga dengan demikian, maka Raden Sutawijaya dapat menilai semuanya dengan sebaik-baiknya.

Sementara itu, di Sangkal Putung, Swandaru pun telah memberikan beberapa keterangan yang agak terperinci kepada ayahnya mengenai perjalanannya ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan demikian maka Ki Demang pun mengerti pula, apa yang sedang dilakukan oleh Ki Waskita.

Namun karena itu, maka ia bertanya, “Jika demikian, apakah tidak justru keadaan Ki Waskitalah yang harus dipikirkan. Jika ia melakukan perjalanan dari Mataram ke Sangkal Putung seorang diri, apakah hal itu tidak akan berbahaya baginya.”

“Ki Waskita adalah orang yang luar biasa. Meskipun nampaknya Raden Sutawijaya, orang yang aneh itu memiliki selapis kelebihan, namun nampaknya Ki Waskita juga tidak akan mudah dikalahkan oleh siapapun juga,” jawab Swandaru.

“Tetapi jika lawannya lebih dari seorang?” bertanya Ki Demang pula.

“Tetapi aku tetap percaya kepada kemampuan Ki Waskita,” jawab Swandaru seterusnya, “meskipun demikian, Ki Waskita memang harus berhati-hati. Mudah-mudahan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu memperhatikan pula.”

“Jika Raden Sutawijaya memperhatikannya, apakah yang dilakukannya? Apakah Raden Sutawijaya akan mengantarkan Ki Waskita datang kemari?”

“Tentu tidak perlu,” jawab Swandaru.

“Jadi?”

“Misalnya, ia dapat memerintahkan dua tiga orang senapati terpercaya untuk mengawani Ki Waskita,” jawab Swandaru.

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja dipengaruhi oleh bayangan-bayangan yang mendebarkan tentang perjalanan Ki Waskita dari Mataram ke Sangkal Putung apabila orang itu benar-benar akan datang seperti yang dikatakannya.

Dalam pada itu, Swandaru yang telah berada di tengah-tengah para pengawal kademangannya, telah mempersiapkan pengawalan yang kuat. Mungkin orang-orang Pajang yang sengaja dilepas oleh Raden Sutawijaya itu akan berbuat sesuatu. Mungkin mereka telah mendendam, dan menjatuhkan dendamnya kepada Sangkal Putung, karena mereka tidak mengetahui, siapakah orang yang aneh yang mereka hadapi di hutan kecil itu.

“Tetapi bahwa mereka telah dilepaskan, seharusnya mereka mengucapkan terima kasih,” berkata Swandaru kepada diri sendiri. Namun menurut pengalamannya, maka segala kemungkinan dapat terjadi. Orang-orang yang telah dilepaskan dari maut itu justru datang dengan dendam yang membara di hati mereka. Mungkin mereka membawa sekelompok prajurit atau apapun yang mampu untuk bertempur dengan keras dan kasar.

Karena itulah, maka menjelang malam, Swandaru yang baru saja datang itu telah menyiapkan para pengawal dari semua padukuhan. Mereka harus berada di dalam kesiagaan tertinggi. Selain pasukan pengawal terpilih yang harus berada di kademangan induk, maka semua pengawal dan anak-anak muda harus berjaga-jaga di padukuhan masing-masing. Gardu-gardu harus terisi, dan semua anak-anak muda yang tidak berjaga-jaga di gardu, telah berada di banjar. Setiap saat mereka dapat bergerak sesuai dengan perkembangan keadaan. 

Para pemimpin kelompok dari setiap padukuhan hilir mudik di sepanjang jalan padukuhan, dari gardu yang satu ke gardu yang lain. Ia selalu mengingatkan pada para pengawal dan anak-anak muda yang berada di gardu. Siapa yang harus nganglang, siapa yang harus berada di gardu dan siapa yang mendapat giliran beristirahat.

“Jangan membuang tenaga sia-sia,” berkata pemimpin-pemimpin kelompok itu, “jika ternyata tenaga kalian diperlukan, maka tenaga kalian masih segar dan utuh. Karena itu, maka yang tidak sedang bertugas, harus beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi setiap saat diperlukan, kalian harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.”

Karena itu, maka penjagaan di padukuhan-padukuhan di daerah Kademangan Sangkal Putung itu pun dapat berlangsung dengan tertib. Tidak terlalu banyak anak-anak yang berkeliaran. Namun setiap saat diperlukan, mereka telah siap melakukan kewajiban mereka sebaik-baiknya.

Beberapa anak-anak muda dan para pengawal yang harus berjaga-jaga di banjar telah mengisi waktu mereka dengan berbagai macam permainan. Untuk mencegah kantuk, mereka telah bermain macanan, bas-basan, dan bahkan meskipun mereka adalah anak-anak muda, ada juga yang bermain dakon seperti anak-anak perempuan.

Semalam suntuk, Sangkal Putung sama sekali tidak lengah. Swandaru sendiri telah memerlukan untuk melihat-lihat kesiagaan di induk kademangan. Ia pun mengunjungi gardu-gardu di sudut-sudut dan di mulut-mulut lorong padukuhan. Lewat tengah malam baru ia memasuki halaman rumahnya dan membaringkan dirinya di serambi gandok bersama beberapa orang pengawal yang sedang mendapat giliran beristirahat.

Namun ternyata bahwa malam itu tidak terjadi sesuatu atas Kademangan Sangkal Putung. Tidak ada seorang pun yang datang mengganggu ketenangan malam. Sampai saatnya matahari terbit, Sangkal Putung tidak mengalami apapun juga.

Tetapi Swandaru yang mempunyai pertimbangan yang jauh, tidak segera kehilangan kewaspadaan. Menurut pertimbangannya, orang-orang itu akan dapat datang segera, tetapi mungkin pula mereka menunggu kesempatan menghimpun tenaga, atau mereka memang menunggu Sangkal Putung menjadi lengah.

Dalam pada itu, ketika matahari terbit, di Mataram, Ki Waskita telah membenahi diri untuk menempuh perjalanan ke Sangkal Putung. Ia meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, dengan maksud untuk mengunjungi Sangkal Putung dan kemudian padepokan kecil di Jati Anom. Jika ia kemudian harus hilir mudik dari Sangkal Putung ke Mataram dan sebaliknya, itu sama sekali tidak pernah direncanakannya sebelumnya, namun ia tidak dapat menolaknya.

Setelah minta diri kepada Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani, Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin yang lain, maka Ki Waskita pun segera berangkat meninggalkan Mataram. Dua orang pengawal terpilih mengawasinya.

“Mereka justru akan menjadi momongan Ki Waskita,” berkata Raden Sutawijaya, “tetapi mereka akan dapat diajak berbicara di sepanjang jalan. Mungkin Ki Waskita ingin berhenti di pinggir Kali Opak untuk memberi kesempatan kuda Ki Waskita minum. Mereka akan dapat menemani Ki Waskita duduk di rerumputan.”

Ki Waskita tertawa. Sebenarnyalah bahwa ia tidak menginginkan menjadi beban orang lain. Tetapi karena hal itu timbul dari niat Raden Sutawijaya sendiri, maka Ki Waskita tidak dapat menolaknya.

Demikianlah maka Ki Waskita pun kemudian berangkat meninggalkan Mataram bersama dua orang pengawal terpilih.

Sebenarnyalah bahwa memang lebih baik ada kawan berbincang di perjalanan. Meskipun jarak antara Mataram dan Sangkal Putung bukanlah jarak yang sangat panjang, tetapi berkuda seorang diri melalui jalan-jalan bulak yang lengang dan apalagi di jalan-jalan di tepi hutan, tentu akan terasa sepi. Tetapi bersama dua orang kawan, maka mereka bertiga masih sempat bergurau dan kadang-kadang berbicara dengan sungguh-sungguh mengenai banyak masalah yang sedang dihadapi oleh Pajang dan Mataram.

Menurut penilaian Ki Waskita, pengawal dari Mataram itu tidak bersikap dan berpikir sempit. Mereka mempunyai pengertian yang agak menyeluruh tentang persoalan yang sedang dihadapinya. Mereka tidak dengan jiwa kerdil menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya tentu benar. Tetapi kedua orang pengawal itu melihat Raden Sutawijaya sebagai kebanyakan manusia yang lain. Kadang-kadang khilaf dan bahkan kadang-kadang keras kepala.

Namun dalam keseluruhan, maka para pengawal di Mataram mempunyai keyakinan, bahwa sikap yang diambil oleh Raden Sutawijaya yang juga ada cacat celanya itu, merupakan sikap yang paling menguntungkan pada saat-saat seperti yang mereka hadapi.

“Sikap mereka agak berbeda dengan sikap orang-orang yang berada di dalam lingkungan mereka yang menyebut diri mereka pejuang bagi kejayaan Majapahit yang mereka dambakan akan berulang kembali, tetapi menurut cita-cita yang mereka kehendaki,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya, “Mereka memandang sikap mereka berhadapan dengan sikap lingkungan di seputar mereka dengan pandangan yang sempit dan berpusar kepada kepentingan diri pribadi. Dengan demikian, maka mereka akan sulit melihat kebenaran yang lebih umum dari kebenaran menurut penilaian mereka yang sempit. Namun orang-orang yang demikianlah yang biasanya berjuang dengan gigih tanpa mengenal betapa besar nilai pengorbanan mereka dibandingkan dengan usaha yang akan mereka capai, dan bahkan kadang-kadang mereka tidak mau tahu, apakah kepentingan mereka itu akan membentur dan bahkan melanggar kepentingan orang lain.”

Demikianlah, sambil berbincang, bergurau dan kadang-kadang bersungguh-sungguh maka ketiga orang itu telah melintasi Kali Opak. Mereka berhenti sejenak memberi kesempatan kuda mereka untuk minum beberapa teguk air dan makan rerumputan segar, sementara mereka bertiga duduk di atas bebatuan di bawah pohon yang rindang. Kemudian setelah kuda mereka puas dengan air dan rerumputan segar, maka mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Sangkal Putung.

Kedatangan mereka di Sangkal Putung disambut dengan kesiagaan sepenuhnya oleh para pengawal meskipun di siang hari. Ki Waskita dan kedua pengawal dari Mataram itu tersenyum. Sebenarnyalah bahwa para pengawal Kademangan Sangkal Putung adalah kelompok pengawal kademangan yang terhitung paling baik di daerah sepanjang jarak Pajang dan Mataram. Swandaru yang gemuk, yang lebih suka melengkapi namanya dengan Swandaru Geni itu, ternyata telah berhasil membina kawan-kawannya di Sangkal Putung menjadi sekelompok pengawal yang memiliki kemampuan seorang prajurit.

“Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu semalam?” bertanya Ki Waskita kepada seorang pemimpin kelompok yang telah mengenalnya.

“Tidak Ki Waskita. Semalam kademangan ini tidak terganggu,” jawab pemimpin kelompok itu, “seandainya semalam ada sekelompok orang yang ingin mengganggu ketenangan kademangan ini, maka akan malanglah nasibnya.”

Sambil tertawa Ki Waskita berkata, “Tetapi bukankah pernah terjadi, para pengawal tertidur nyenyak ketika seseorang memasuki halaman Kademangan?”

“Tetapi Swandaru, istri dan adik perempuannya tidak terkena sirep,” jawab pemimpin kelompok itu.  

“Jangan letakkan semua pertanggungan jawab kepada mereka. kalian harus mesu diri. Berlatih dan berlatih, agar kalian pun dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep. Tidak usah berlatih kepada siapa pun. Asal kalian mengenal kepribadian kalian lebih mendalam, maka sirep tidak akan dapat menyentuh dan mempengaruhi kalian,” berkata Ki Waskita yang kemudian meninggalkan pemimpin kelompok yang termangu-mangu itu.

Namun kata-kata Ki Waskita itu diperhatikannya benar-benar. Ia mengetahui dengan pasti, siapakah Ki Waskita itu, sehingga ia pun yakin bahwa kata-kata itu bukannya asal diucapkannya saja.

“Aku akan mencobanya,” berkata pemimpin kelompok itu, “lebih mengenal diri sendiri. Lebih mengenal diri sebagai satu pribadi.”

Demikianlah, maka kedatangan Ki Waskita di Kademangan Sangkal Putung pun telah disambut dengan gembira. Ki Demang yang menerimanya di pendapa segera bertanya tentang keselamatan Ki Waskita di perjalanan.

“Aku datang bersama dua orang pengawal dari Mataram,” berkata Ki Waskita, “tentu tidak akan ada yang mengganggu perjalananku.”

“Ah,” salah seorang pengawal itu berdesah, “kami hanya menemaninya di perjalanan. Jika terjadi sesuatu, justru kamilah yang akan berlindung di belakang Ki Waskita.”

Ki Demang tertawa. Dengan demikian ia mengerti, bahwa sebenarnyalah tidak terjadi sesuatu apapun di perjalanan.

Meskipun demikian Swandaru sama sekali tidak mengendurkan kesiagaannya. Ki Waskita dan kedua pengawal dari Mataram itu pun menasihatkan kepadanya, agar Sangkal Putung tetap dalam kesiagaan tertinggi menghadapi perkembangan terakhir.

“Yang harus kau perhatikan,” berkata Ki Waskita kepada Swandaru, “dengan tertangkapnya Ki Pringgabaya, maka saudara seperguruannya yang telah dikabarkan mati itu tentu tidak akan tinggal diam. Banyak hal yang dapat terjadi karena pokalnya. Ia akan dapat mengairi semut yang berada di sarangnya. Orang-orang Gunung Kendeng, orang-orang Pesisir Endut, orang-orang dari padepokan-padepokan yang pernah dilibatkannya langsung atau tidak langsung, akan dapat dimanfaatkannya, sebelum Pajang sendiri bergolak.”

Bahkan, ternyata Ki Waskita pun telah mengingat pula kepentingan padepokan kecil di Jati Anom itu. Mungkin sasaran mereka bergeser lagi. Dari Sangkal Putung ke Jati Anom, setelah terjadi geseran sebaliknya. Mereka mencoba mengambil Swandaru sebagai sasaran setelah mereka gagal membunuh Agung Sedayu.

Karena itu, maka Ki Waskita pun kemudian berkata kepada Swandaru, “Hal ini baik juga diketahui oleh saudara seperguruanmu, Swandaru.”

Swandaru mengangguk. Ia pun menyadari, bahwa padepokan kecil itu akan dapat terancam. Tetapi ia berkata, “Sekarang padepokan itu berada langsung di bawah pengawasan Untara. Meskipun demikian, tidak ada buruknya jika kakang Agung Sedayu dan barangkali lebih baik juga Guru, mendapat penjelasan seperlunya.”

“Aku akan pergi ke Jati Anom,” berkata Ki Waskita.

“Tetapi jangan tergesa-gesa,” jawab Swandaru, “Ki Waskita sebaiknya bermalam barang satu dua malam di sini.”

“Aku senang sekali Swandaru. Tetapi bukankah hal ini penting segera diberitahukan kepada Agung Sedayu, atau langsung kepada Kiai Gringsing?”

“Benar Ki Waskita. Tetapi seperti sudah aku katakan. Tidak seorang pun dalam waktu dekat ini berani berbuat sesuatu atas padepokan kecil itu. Beberapa orang prajurit Pajang berada di tempat itu.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Untara tentu tidak akan sampai hati membiarkan adiknya dalam bahaya. Terutama pada saat adiknya tidak berkesempatan melindungi dirinya sendiri karena keadaannya. Sementara itu, orang-orang Pajang tentu tidak akan berbuat apa-apa, jika ada prajurit Pajang di padepokan itu. Prajurit Pajang yang tentu kepercayaan Untara. Prajurit yang tidak dikuasai oleh pihak yang berdiri pada satu sisi yang buram.

Karena itu, maka Ki Waskita pun tidak berkeberatan untuk bermalam di Sangkal Putung. Dua orang pengawal dari Mataram itu pun dipersilakan bermalam pula satu malam bersama Ki Waskita.

Di malam hari mereka sempat melihat kesiagaan yang tinggi dari anak-anak muda Sangkal Putung. Lebih baik dari kesiagaan mereka di siang hari karena hampir semua anak-anak muda dapat ikut serta selain para pengawal. Sementara di siang hari sebagian mereka harus bekerja di sawah dan di tempat kerja mereka masing-masing.

Kedua pengawal dari Mataram itu sempat mengagumi ketangkasan anak-anak muda Sangkal Putung. Meskipun mereka sekedar pengawal kademangan, namun kesigapan mereka tidak ubahnya seperti prajurit yang telah dengan segenap hati menyerahkan dirinya ke dalam tugas-tugas keprajuritan mereka.

Namun dalam pada itu, justru melihat kesiagaan yang tinggi pada para pengawai di Sangkal Putung, Ki Waskita teringat lagi akan Agung Sedayu. Ia sudah mendengar apa yang telah terjadi di padepokan kecil. Baik dari Raden Sutawijaya yang seolah-olah memiliki sejuta pasang mata di segenap sudut tanah ini, maupun dari Swandaru sendiri.

“Apakah prajurit Pajang itu masih belum ditarik dari padepokan kecil itu?” pertanyaan itu agak menggelisahkannya. Namun ia sendiri mencoba menjawab, “Tentu Untara mempunyai penilaian yang tepat atas keadaan adiknya. Jika padepokan itu masih terancam bahaya, tentu Untara masih akan melindunginya.”

Tetapi dengan demikian Ki Waskita tidak dapat melupakan sama sekali kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di padepokan kecil itu.

Di pagi hari berikutnya, maka kedua orang pengawal dari Mataram it pun mohon diri untuk kembali. Ketika Ki Demang Sangkal Putung minta agar mereka bermalam semalam lagi, maka dengan menyesal mereka terpaksa menolak.

“Mungkin aku akan segera mendapat tugas baru,” berkata salah seorang dari kedua pengawal itu.

Karena itulah, maka keduanya pun terpaksa meninggalkan Sangkal Putung, yang menurut mereka, memiliki kemampuan melampaui dugaannya.

Tetapi demikian kedua orang itu berpacu meninggalkan Kademangan Sangkal Putung, Ki Waskita pun menemui Ki Demang dan Swandaru untuk minta diri pula.

“Ada semacam kegelisahan di hatiku,” berkata Ki Waskita.

“Sudah aku katakan,” jawab Swandaru, “ada prajurit Pajang di padepokan itu. Bukankah dengan demikian, tidak akan terjadi sesuatu atas mereka?”

“Mudah-mudahan. Tetapi mungkin prajurit-prajurit itu sudah ditarik. Mungkin juga belum. Tetapi biarlah aku pergi ke padepokan itu barang semalam. Mungkin besok atau lusa, aku akan datang lagi kemari. Bukankah jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom tidak jauh? Mungkin aku akan berada di Jati Anom dan Sangkal Putung beberapa pekan,” berkata Ki Waskita selanjutnya.

Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru ternyata tidak dapat menahan orang tua itu. Ki Waskita memberikan beberapa alasan yang tidak dapat dielakkan lagi.

Namun sebenarnyalah Swandaru sendiri juga ingin segera memberitahukan peristiwa yang terjadi itu kepada gurunya dan kepada Agung Sedayu. Karena itu, di samping keinginannya untuk menahan Ki Waskita agar tetap berada di Sangkal Putung, terselip pula keinginannya agar seisi padepokan kecil itu segera mengetahui persoalannya. Dengan demikian mereka akan dapat menyiagakan diri menghadapi segala kemungkinan. Terlebih lebih lagi jika prajurit-prajurit Pajang yang di tempatkan Untara di padepokan itu sudah ditarik.

Bahkan hampir di luar sadarnya Swandaru bertanya, “Ki Waskita. Apakah kecemasan Ki Waskita itu bersumber kepada penglihatan Ki Waskita atas apa yang bakal terjadi di padepokan kecil itu?”

“O, tidak. Tidak,” jawab Ki Waskita dengan serta merta, “sama sekali bukannya penglihatanku atas isyarat yang dapat aku tarik artinya seperti yang kau maksudkan. Aku hanya cemas karena hubungan peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, maka pertimbangan nalarkulah yang nampak, bukan isyarat penglihatan batinku.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian, maka persoalannya tidak terlalu memberati perasaannya. Kemungkinan yang dicemaskan oleh Ki Waskita itu bukannya gambaran peristiwa dalam penglihatannya yang tajam dalam isyarat.

Namun demikian, akhirnya Swandaru, Ki Demang dan keluarganya tidak dapat menunda lagi keinginan Ki Waskita untuk berangkat. Karena itu maka mereka pun kemudian melepaskan orang tua itu pergi seorang diri.

Semula Swandaru bermaksud menyerahkan dua atau tiga orang pengawal untuk menemani perjalanan Ki Waskita ke Jati Anom. Namun ternyata Ki Waskita menolaknya.

“Tidak perlu,” berkata Ki Waskita, “jarak ini terlalu pendek. Hanya beberapa kejap saja aku akan sudah berada di padepokan kecil itu.”

Karena itulah, maka sejenak kemudian Ki Waskita sudah berpacu seorang diri melintasi bulak panjang dan pendek. Namun kemudian juga melalui jalan di pinggir hutan yang tidak terlalu lebat. Kudanya berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Hanya apabila ia melewati bulak yang di sebelah menyebelah sawahnya baru dikerjakan, ia memperlambat lari kudanya, agar tidak terlalu menarik perhatian orang-orang yang sedang sibuk bekerja di sawah.

Perjalanan ke Jati Anom memang tidak terlalu lama.

Sebenarnyalah kedatangan Ki Waskita ke Jati Anom memang mengejutkan. Isi padepokan kecil itu tidak menyangka bahwa Ki Waskita tiba-tiba saja telah datang seorang diri.

Dengan serta merta, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun berlari-lari menyongsongnya. Kemudian Sabungsari dan Kiai Gringsing serta Ki Widura yang berada di padepokan itu pula.

Setelah Glagah Putih menerima kudanya dan menambatkannya, maka Ki Waskita pun segera dipersilakan naik ke pendapa.

Kiai Gringsinglah yang kemudian menerimanya dan bertanya kepada tamunya tentang keselamatannya di perjalanan.

“Sebagaimana Kiai lihat,” jawab Ki Waskita sambil tersenyum, “aku selamat sampai ke padepokan kecil ini. Mudah-mudahan padepokan ini pun selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Perlindungan Yang Maha Kuasa melimpah atas kami semuanya di sini. Bagaimana pun juga badai melanda padepokan kecil ini, kami ternyata tetap selamat dan sehat-sehat saja.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Agung Sedayu dan anak muda yang bernama Sabungsari itu pun ternyata telah nampak sembuh dari luka-lukanya. Karena itu maka Ki Waskita pun berkata, “Meskipun aku tidak melihat, tetapi aku mendengar banyak tentang padepokan ini.”

“Dari siapa?” bertanya Kiai Gringsing, “Sumber keterangan itu ternyata sangat mempengaruhi keterangan yang disampaikan sesuai dengan kepentingan sumber itu sendiri.”

Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Sumbernya dapat dipertanggung jawabkan.”

“Siapa?”

“Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan anak-anak Sangkal Putung,” jawab Ki Waskita.

“O,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “benar. Jika nama-nama itu, maka mereka memang dapat dipercaya. Tetapi apa katanya?”

“Hampir lengkap. Ternyata Raden Sutawijaya mengetahui segalanya yang pernah terjadi. Sementara Swandaru pun telah melengkapi segala keterangan itu. Bahkan kemudian mengalami peristiwa yang tentu belum kalian ketahui,” berkata Ki Waskita kemudian.

Yang mendengarkan keterangan itu menjadi berdebar-debar. Tentu bukan peristiwa yang biasa. Apalagi orang-orang di padepokan kecil itu mengetahui bahwa Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Waskita pun menceritakan peristiwa yang dialami, sejak mereka meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, singgah di Mataram, kemudian kembali ke Sangkal Putung.

Ternyata peristiwa itu sangat menarik. Agung Sedayu dan Sabungsari mendengarkannya dengan kerut merut di keningnya. Kadang-kadang mereka menjadi tegang. Namun kemudian mereka pun menarik nafas dalam-dalam.

Ketika Ki Waskita selesai dengan ceritanya. Kiai Gringsing pun menarik nafas dalam-dalam sambil bertanya, “Jadi di Mataram kini tertawan orang yang bernama Pringgabaya yang disebut Ki Lurah itu?”

“Ya Kiai,” jawab Ki Waskita.

“Syukurlah. Tuhan masih melindungi Swandaru, istri dan adiknya. Salah seorang lantarannya adalah Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing.

“Hanya lantaran,” desis Ki Waskita, lalu, “aku pun hampir kehabisan akal ketika orang-orang Pajang dan Ki Lurah itu muncul lagi di hutan yang hanya berjarak beberapa ratus tonggak dari Sangkal Putung. Ternyata Tuhan benar-benar melindungi kami. Di luar dugaan, maka Raden Sutawijaya telah hadir pula di hutan itu.”

“Kita wajib mengucap syukur sekali lagi dan sekali lagi,” desis Kiai Gringsing.

Agung Sedayu dan Sabungsari pun menjadi berdebar-debar.

Sementara Ki Widura berkata, “Persoalannya tentu masih panjang.”

“Ya,” sahut Ki Waskita, “persoalannya tentu masih akan berkepanjangan.”

“Orang-orang Pajang itu tentu akan melaporkan apa yang diketahuinya tentang anak-anak Sangkal Putung itu,” desis Ki Widura, “selebihnya, mereka pun tentu memperhitungkan kemungkinan yang bakal terjadi dengan Ki Lurah Pringgabaya yang mereka tinggalkan itu. Meskipun mereka tidak mengerti dengan pasti, bagaimana dengan nasib Ki Lurah Pringgabaya, terlebih-lebih lagi karena mereka tidak tahu siapakah orang yang telah melibatkan diri ke dalam pertempuran itu, namun beberapa orang ahli di Pajang, tentu akan berusaha mengurai persoalan itu dan menemukan beberapa kesimpulan. Biasanya salah satu kesimpulan itu sangat mendekati kebenaran.”

“Memang mungkin,” berkata Kiai Gringsing, “dengan demikian maka persoalannya justru akan meningkat semakin gawat. Bahwa Ki Pringgabaya berada di Mataram itu pun pasti akan menimbulkan beberapa akibat. Berdasarkan keterangannya, Raden Sutawijaya tentu akan mengambil beberapa langkah penertiban dan meningkatkan kesiagaan.”

“Bahkan mungkin akan lebih jauh lagi,” gumam Ki Widura.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Kemungkinan-kemungkinan yang gawat memang dapat terjadi, justru karena Ki Lurah termasuk orang penting bagi lingkungannya.

Berita tentang peristiwa yang dialami oleh Swandaru itu ternyata telah menggelisahkan hati seisi padepokan itu. Tindakan yang diambil oleh orang-orang yang menyusun satu kekuatan di samping kekuatan Pajang dan Mataram yang sedang tumbuh itu, agaknya benar-benar telah melangkah semakin jauh.

“Sebenarnyalah, kita memang harus berhati-hati,” berkata Kiai Gringring, “pada suatu saat, mereka akan bertindak dengan terbuka tanpa bersembunyi-sembunyi lagi.”

“Jika demikian, bukankah hal itu akan dapat disebut satu pemberontakan?” bertanya Agung Sedayu.

“Kalau mereka sudah merasa kuat dan memiliki dukungan yang cukup, apa salahnya dengan sebutan itu? Mereka tidak takut lagi kepada siapa pun juga, termasuk Kanjeng Sultan dan Senapati Ing Ngalaga,” jawab Kiai Gringsing.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia masih bertanya, “Bagaimana pendapat Guru tentang kemungkinan yang demikian?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku kira arah perjuangan mereka memang ke sana. Namun mungkin mereka masih akan mencari kemungkinan lain. Jika mereka berhasil membenturkan kekuatan Pajang dan Mataram, maka mereka akan mendapat banyak keuntungan tanpa perlawanan terbuka itu.”

“Agaknya hal itulah yang sedang mereka usahakan lebih dahulu,” berkata Ki Waskita.

“Nampaknya memang demikian,” sahut Ki Widura, “setiap kali Pajang selalu dengan cara yang mencolok dengan sengaja menarik perhatian semua orang, melihat-lihat apa yang terjadi di Mataram.”

“Sementara Raden Sutawijaya tetap keras dengan sikapnya. Tidak mau menghadap ayahanda Sultan yang sedang sakit-sakitan itu,” sambung Kiai Gringsing.

Yang lain mengangguk-angguk. Mereka melihat, bahwa persoalan, yang gawat sedang merayap mendekati hubungan Pajang dan Mataram. Semakin lama semakin gawat, dan bahkan kini mulai terasa sentuhan kegawatan itu semakin dalam.

Karena itulah, maka seperti di Sangkal Putung, pada padepokan kecil itu pun merasa perlu untuk bersiaga. Masih ada pengawasan yang dipasang oleh Untara di padepokan itu dengan tidak langsung. Ternyata Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda masih di tempatkan di padepokan itu bersama dua orang petugas sandi yang lain. Tetapi di padepokan itu sudah tidak nampak prajurit Pajang di Jati Anom yang melindungi padepokan itu dengan terbuka.

Sementara itu, orang-orang Sabungsari masih berada di tempat itu pula. Mereka tidak lagi berniat meninggalkan padepokan kecil itu jika tidak atas perintah Sabungsari. Justru semakin lama mereka ternyata semakin berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan itu. Mereka semakin lama menjadi semakin dekat dengan anak-anak muda yang menjadi cantrik di padepokan itu di samping Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Peristiwa yang terjadi atas Swandaru itu semakin mendorong Glagah Putih untuk menempa diri. Meskipun kemajuan yang pesat telah dipanjatnya, namun ia masih tetap merasa, betapa lambatnya. Ia merasa tidak lebih dari seekor siput yang merambat di atas pasir. Bahkan seolah-olah tidak maju sama sekali.

Ki Waskita yang kemudian berada di padepokan itu melihat, betapa besarnya tekad yang bergejolak di hati anak muda yang bernama Glagah Putih itu.

“Ayahnya seorang perwira yang baik,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya, “tentu ia akan menjadi seorang anak muda yang luar biasa. Agaknya tidak akan jauh berbeda dengan kakak sepupunya. Bahkan ada beberapa kesamaan, meskipun pada dasarnya keduanya bertolak dari arah yang jauh berbeda.”

Ki Waskita pun telah mengetahui, betapa Agung Sedayu pada mulanya seorang penakut. Sementara Glagah Putih memiliki sifat yang jauh berbeda di masa kanak-kanak dan remajanya. Namun keduanya adalah anak muda yang memiliki kecerdasan yang tinggi.

Yang menarik perhatian Ki Waskita, bukan saja Glagah Putih. Tetapi ternyata anak-anak muda yang telah menyatakan dirinya menjadi cantrik di padepokan itu pun telah dengan tekun mematuhi segala perintah dan tugas mereka. Di antaranya adalah mempelajari ilmu kanuragan.

Meskipun kemajuan mereka tidak sepesat Glagah Putih, tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak meningkat. Di bawah pimpinan orang-orang berilmu di padepokan itu, mereka meningkat selapis demi selapis. Meskipun masih pada tingkat permulaan, namun kerja keras yang mereka lakukan tidak mengecewakan.

Ternyata Ki Waskita merasa lebih mapan berada di padepokan itu daripada di Sangkal Putung. Ada beberapa hal yang rasa-rasanya lebih mengikatnya. Meskipun sekali ia memerlukan juga mengunjungi Sangkal Putung, namun ia segera kembali ke padepokan di Jati Anom itu.

Padepokan kecil itu pun ternyata telah berkembang pula. Kiai Gringsing dengan izin Untara telah memperluas halaman dan kebun padepokannya. Ada beberapa orang anak muda yang menambah penghuni padepokan itu, sementara mereka telah mendapat izin pula untuk membuka sawah secukupnya.

Dengan demikian, maka kekuatan padepokan kecil itu pun semakin hari semakin bertambah. Kecuali peningkatan ilmu yang disadap oleh para cantrik, ternyata bahwa orang-orang terpenting dari padepokan itu pun masih bekerja keras untuk meningkatkan ilmu masing-masing.

Glagah Putih berlatih tanpa mengenal lelah. Agung Sedayu sendiri selalu menyisihkan waktu bagi dirinya sendiri. Sementara Sabungsari pun tidak jemu-jemunya mengembangkan dasar-dasar ilmu ayahnya yang telah sepenuhnya tertuang kepadanya.

Sementara itu, di Mataram Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga masih berusaha untuk dapat berbicara dengan Ki Lurah Pringgabaya tentang keadaan di Pajang. Tetapi Ki Lurah Pringgabaya benar-benar seorang yang keras hati. Bagaimana pun juga, ia sama sekali tidak mau mengatakan apapun juga tentang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Ki Pringgajaya dan dengan kelompok yang sedang bermimpi tentang kejayaan masa lampau menurut cita-cita mereka sendiri.

Dengan segala cara Raden Sutawijaya telah mencoba untuk memancing keterangan dari Ki Pringgabaya. Tetapi Raden Sutawijaya tidak pernah berhasil. Meskipun ia memang sudah menduga, bahwa Ki Lurah itu akan tetap pada sikapnya, tetapi kadang-kadang Raden Sutawijaya hampir kehabisan kesabaran.

“Paman,” berkata Raden Sutawijaya kepada Ki Juru Martani, “cobalah Paman menemuinya sekali lagi. Aku kurang yakin akan diriku sendiri, apakah aku dapat menahan diri menghadapi orang yang keras hati seperti Ki Lurah Pringgabaya, meskipun orang itu pun sudah melambari niatnya apapun yang akan terjadi atasnya.”

Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Namun jawabnya, “Baiklah Ngger. Aku akan mencobanya, meskipun aku kira, ia akan tetap pada sikapnya.”

“Ia memang teguh hati. Tetapi ada juga baiknya Paman mencobanya,” desis Raden Sutawijaya.

Terasa betapa gejolak hati anak muda itu. Karena itu, Ki Juru Martani pun merasa khawatir pula jika pada suatu saat, Raden Sutawijaya itu kehabisan kesabaran sehingga ia melakukan tindakan kekerasan.

“Itu tentu kurang bijaksana,” desis Ki Juru di dalam hatinya.

Karena itulah, maka Ki Juru pun mencobanya sekali lagi. Dengan hati yang berdebar-debar ia memasuki bilik tempat Ki Lurah Pringgabaya tertawan.

Ketika pintu terbuka, Ki Lurah yang duduk tepekur itu berpaling sekilas. Namun ia menjadi acuh tidak acuh melihat kehadiran Ki Juru Martani. Ia sama sekali tidak beringsut dari tempat duduknya. Bahkan ia pun segera kembali tepekur merenungi dirinya sendiri.

“Ki Lurah,” desis Ki Juru yang kemudian duduk di sampingnya, “sudah beberapa saat lamanya Ki Lurah berada di bilik ini. Sementara itu Ki Lurah masih belum bersedia memberikan keterangan tentang apapun juga. Apakah hal itu tidak berarti, bahwa penyelesaian mengenai diri Ki Lurah akan tertunda-tunda? Sebenarnya ada niat kami untuk menyerahkan Ki Lurah kepada yang berwenang mengadili Ki Lurah di Pajang. Tetapi karena bahan-bahan yang akan kami serahkan bersama Ki Lurah masih belum lengkap, maka kami masih memerlukan beberapa keterangan tentang kegiatan Ki Lurah. Tentu bukan tanpa maksud bahwa Ki Lurah ingin membunuh Swandaru. Pertama di pinggir kali Progo. Kedua di hutan yang sudah dekat dengan Kademangan Sangkal Putung itu.”

“Ki Juru benar,” sahut Ki Lurah Pringgabaya, “jika aku melakukannya, tentu bukannya tanpa maksud.”

“Nah, maksud Ki Lurah itulah yang ingin kami ketahui untuk melengkapi bahan pengantar penyerahan kami atas Ki Lurah Pringgabaya kepada yang berwenang di Pajang, karena Ki Lurah adalah prajurit Pajang,” berkata Ki Juru.  

Ki Lurah tersenyum pahit. Katanya, “Jangan seperti anak-anak Ki Juru. Ki Juru Martani adalah orang yang pinunjul. Karena itu tentu Ki Juru mengerti, bahwa aku tidak akan berbicara apapun juga, sebagaimana jika Ki Juru mengalami.”

“Apakah demikian yang dilakukan oleh orang-orang pinunjul?” bertanya Ki Juru.

“Bertanyalah kepada diri Ki Juru sendiri,” jawab Ki Lurah.

Ki Juru menarik nafas panjang. Katanya, “Mungkin memang demikian yang dilakukan oleh orang-orang pinunjul. He, dengan demikian bukankah Ki Lurah termasuk orang pinunjul?”

“Jangan bergurau seperti anak yang kurang waras,” geram Ki Lurah, “aku sama sekali tidak tertarik dengan kesimpulan-kesimpulan cengeng seperti itu.”

“Baiklah. Tetapi sikap Ki Lurah memang menarik. Mungkin Ki Lurah memang ingin disebut seorang yang pinunjul. Seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Tetapi apakah Ki Lurah pernah bertanya kepada diri sendiri, seandainya Ki Lurah orang pinunjul, dalam hubungan apakah maka Ki Lurah mendapat sebutan itu.”

“Cukup!” geram Ki Lurah, “Jangan membakar hatiku. Aku masih tetap seorang yang tidak takut mati.”

“Jika Ki Lurah tidak takut mati?” bertanya Ki Juru

“Aku dapat berbuat apapun meskipun di ruang sempit ini. Aku tidak peduli jika para pengawal itu menyergap masuk dengan ujung tombak menunjuk ke arah dadaku,” jawab Ki Lurah tegas.

“Kau akan melawan aku?” bertanya Ki Juru.

Pertanyaan itu sederhana. Tetapi membuat jantung Ki Lurah menjadi berdebaran. Ia tidak segera menemukan jawab atas pertanyaan itu justru karena ia tahu, siapakah Ki Juru Martani itu. Seorang tua saudara seperguruan dengan Ki Gede Pemanahan. Ayah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.

“Ki Lurah,” bertanya Ki Juru kemudian, “kau tentu mengenal aku. Kau sendiri sudah mengatakan bahwa aku adalah orang pinunjul menurut penilaianmu. Jika kau memang seorang yang pinunjul, marilah. Lakukanlah. Aku akan menutup pintu dan memerintahkan agar para pengawal jangan masuk apapun yang akan terjadi atasku.”

Ki Lurah menundukkan kepalanya. Meskipun Ki Juru menjadi semakin tua, tetapi suaranya masih tetap menghentak-hentak di dadanya. Tantangan itu benar-benar merupakan satu tekanan yang berat baginya. Betapa ia tidak takut mati, tetapi ia tidak dapat ingkar dari satu pengakuan, siapakah Ki Juru Martani itu.

Karena itu, maka Ki Lurah sama sekali tidak dapat menjawab. Ada semacam gejolak yang dahsyat di dalam jiwanya.

Karena Ki Lurah Pringgabaya itu tidak segera menjawab, maka Ki Juru pun berkata, “Lupakanlah Ki Lurah. Aku tidak benar-benar ingin berbuat demikian. Aku hanya ingin mencoba berbicara sebagai seorang yang berjiwa laki-laki, meskipun rambutku sudah menjadi semakin putih. Tetapi cara itu pun tidak akan mencapai hasil yang aku maksudkan. Sebenarnyalah bahwa aku hanya ingin mendapat keterangan serba sedikit tentang dirimu, tentang Ki Pringgajaya yang disebut-sebut telah mati itu dan orang-orang lain yang terlibat ke dalamnya.”

Tetapi Ki Pringgabaya telah menggelengkan kepalanya lagi. Katanya, “Tidak ada yang dapat aku katakan.”

“Bagaimana jika Ki Pringgajaya itu aku hadapkan kemari?” bertanya Ki Juru tiba-tiba.

Pertanyaan itu telah mengejutkan Ki Pringgabaya. Sekilas nampak wajahnya menegang. Namun kemudian kembali ia tepekur dengan sikap acuh tidak acuh. Katanya dengan suara datar, “Apakah Ki Juru akan membongkar kuburannya?”

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang sekilas itu telah cukup bagiku Ki Lurah. Ki Pringgajaya memang belum mati.”

“Kau bermimpi,” desis Ki Pringgabaya, “seperti kebanyakan orang maka Ki Juru Martani telah menyiapkan jawab sebelum mengucapkan pertanyaan. Dan itu adalah sikap orang kebanyakan.”

“Aku memang orang kebanyakan. Kaulah yang menyebut aku orang pinunjul,” sahut Ki Juru Martani, “tetapi jangan kau kira bahwa kesimpulan yang aku ambil itu adalah sekedar bermimpi. Seorang yang kami tangkap di pinggir kali Praga itu pun mengatakan demikian. Sementara penyelidikan kami atas kubur Ki Pringgajaya pun telah mengarah kepada satu kesimpulan bahwa kubur itu sama sekali bukan kubur Ki Pringgajaya.”

Sekali lagi wajah Ki Pringgabaya menegang. Namun kemudian katanya acuh tidak acuh, “Terserah kepada Ki Juru Martani. Jawab apa saja yang akan Ki Juru kehendaki.”

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Ki Lurah Pringgabaya benar-benar tidak dapat dipancingnya untuk berbicara. Ia hanya mendapat kesan-kesan sekilas pada wajahnya. Tetapi ia sama sekali tidak mendapatkan pengakuan.

“Baiklah,” berkata Ki Juru, “kau tidak mengatakan sesuatu tentang dirimu, hubunganmu dengan orang-orang tertentu dan tentang alasan-alasan mengapa kau melakukan sesuatu, khususnya terhadap anak-anak Sangkal Putung itu. Tetapi kau pun bukan anak-anak. Kau pun tentu sudah mengetahui, bahwa pertanyaan-pertanyaan kami sebenarnya tidak perlu bagi kami. Tetapi hanya perlu bagi Ki Lurah sendiri. Kami sudah tahu jawab dari segala pertanyaan kami. Jika pertanyaan itu terpaksa kami lontarkan dan kami ingin mendengar jawab Ki Lurah, maka itu hanyalah karena kami ingin mendengar pengakuan Ki Lurah yang akan melengkapi dan mempercepat penyerahan kami atas persoalan Ki Lurah kepada pimpinan keprajuritan di Pajang.”

Ki Lurah Pringgabaya menarik nafas dalam-dalam.

“Sudahlah Ki Lurah,” berkata Ki Juru Martani, “Ki Lurah tidak ingin menolong diri Ki Lurah sendiri. Dengan demikian, maka Ki Lurah akan berada di dalam bilik ini untuk waktu yang tidak terbatas.”

“Aku tidak berkeberatan,” jawab Ki Lurah Pringgabaya.

“Aku tahu, Ki Lurah adalah orang yang berhati baja,” sahut Ki Juru Martani, “pada suatu saat Ki Lurah akan kami tunjukkan kepada para pemimpin di Mataram, agar mereka mengambil teladan pada Ki Lurah.”

“Jangan main-main Ki Juru,” desis Ki Lurah Pringgabaya.

“Tidak. Kami akan melakukan sebenarnya. Kami akan membawa Ki Lurah ke paseban dan menunjukkan kepada para pemimpin Mataram, inilah contoh seorang laki-laki,” desis Ki Juru.

“Di paseban mana?” bertanya Ki Lurah tiba-tiba, lalu, “apakah Ki Juru Martani sudah membayangkan, bahwa di Mataram akan terdapat paseban seperti di Pajang?”

Ki Juru tersenyum. Jawabnya, “Kesimpulanmu memang melontar terlalu jauh. He, kau sempat juga berpikir Ki Lurah.”

“Tidak perlu dipikirkan Ki Juru,” jawab Ki Lurah, “jadi kesimpulan yang diambil adalah benar. Mataram memang ingin memberontak terhadap Pajang. Karena orang-orang Mataram telah membayangkan untuk membuat sebuah istana lengkap seperti di Pajang, sementara itu Mataram juga sudah merintis satu tata cara seperti di Istana Pajang.”

Ki Juru tertawa. Katanya, “Kesimpulan yang memang berdasarkan atas perhitungan nalar. Tetapi baiklah aku mempergunakan istilah yang lain. Ki Lurah akan kami bawa ke pendapa pada saat para pemimpin di Mataram berkumpul. Kami akan mempersilakan Ki Lurah berdiri dan memberikan beberapa penjelasan tentang sifat dan sikap Ki Lurah. Karena sebenarnyalah Ki Lurah pantas menjadi contoh.”

“Kau sangka orang-orang Mataram akan dapat memperlakukan aku demikian?” geram Ki Lurah.

“Kenapa tidak?” sahut Ki Juru, “Aku dapat memaksa Ki Lurah dengan cara yang khusus. Angger Sutawijaya dapat juga memaksa Ki Lurah dengan caranya.”

“Aku tidak akan beranjak dari bilik ini sampai mati,” geram Ki Lurah.

Tetapi Ki Juru masih tertawa. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, maka pintu bilik ini akan kami buka. Setiap orang akan melihat Ki Lurah dari luar pintu. Mereka akan berjalan seorang demi seorang berurutan sambil menjengukkan kepalanya. Aku akan berdiri di pintu sambil bercerita tentang sifat seorang laki-laki seperti Ki Lurah ini.”

Wajah Ki Lurah menjadi merah membara. Tetapi kemudian katanya datar, “Terserah, apa yang akan Ki Juru lakukan. Dengan perlakuan Ki Juru terhadap seseorang akan dapat ditilik, siapakah sebenarnya orang yang disebut Ki Juru Martani itu. Seorang saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan, pimpinan prajurit Pajang pada waktu itu. Ayahanda Raden Sutawijaya yang kini bergelar Senapati Ing Ngalaga.”

“Aku orang linuwih,” berkata Ki Juru Martani sambil tertawa, “aku dapat mengambil sikap yang mana pun juga. Dan kau boleh menilai sikapku itu sesuai dengan sudut pandanganmu. Aku tidak berkeberatan. Apalagi kau bukan atasanku yang akan menentukan anugrah kepadaku. Juga karena kau tidak akan keluar dari bilik ini, penilaianmu atas sifat dan sikapku akan tetap kau bawa duduk tepekur di sini untuk waktu yang tidak terbatas.”

Terdengar Ki Lurah menggeram. Gejolak jantungnya hampir tidak dapat ditahankannya lagi. Kemarahan yang menghentak-hentak di dada itu hampir-hampir telah mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Tetapi ia tetap sadar, bahwa yang dihadapi itu adalah Ki Juru Martani. Apapun yang akan dilakukannya, tentu akan sia-sia, dan barangkali hanya akan menambah kesulitan dan bahkan malu.

Karena itu, yang terdengar hanyalah gigi yang gemeretak. Namun Ki Lurah Pringgabaya tidak berbuat apapun juga.

Sejenak kemudian, Ki Juru itu pun bangkit berdiri sambil berkata, “Untuk sementara, silakan tinggal di dalam bilik ini Ki Lurah.”

Ki Lurah memandang Ki Juru sekilas. Ketika Ki Juru kemudian melangkah keluar, maka Ki Lurah Pringgabaya pun kemudian kembali tepekur. Ia kembali acuh tidak acuh terhadap keadaan di sekelilingnya Di dalam bilik yang gelap, dibatasi dengan papan kayu yang tebal.

Sebenarnyalah jika Ki Lurah mencoba memecahkan dinding kayu itu, ia tidak akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi tentu tidak akan ada gunanya. Demikian kayu itu retak, maka sepuluh ujung tombak tentu sudah menunggunya, siap untuk merobek dadanya.

“Biarlah aku mati. Itu lebih baik daripada aku harus mengalami keadaan seperti ini,” berkata Ki Lurah di dalam hatinya.

Tetapi ia masih ragu-ragu. Ia masih mencemaskan kehadiran Ki Juru Martani atau Raden Sutawijaya sendiri. Mereka tentu tidak akan membiarkannya mati. Mungkin mereka akan dapat membuatnya lumpuh, cacat atau keadaan lain yang sama sekali tidak menarik. Karena agaknya mereka masih ingin agar Ki Lurah itu berbicara tentang dirinya dan tentang kawan-kawannya.

Karena itu, maka untuk sementara Ki Lurah berusaha untuk menahan diri. Mungkin ada perkembangan keadaan yang menguntungkan baginya, meskipun kemungkinan itu agaknya kecil sekali.

Dalam pada itu, orang-orang Pajang yang terlepas dari maut di hutan sebelah Kademangan Sangkal Putung telah berada di Pajang dengan cerita yang mendebarkan jantung bagi orang-orang Pajang. Surat yang dikirim oleh Raden Sutawijaya ternyata sangat menyakitkan hati mereka. Karena Sutawijaya yang pasti, bahwa surat yang diterimanya itu tidak berasal dari ayahanda angkatnya, maka ia pun telah menjawabnya dengan cara yang khusus. Sutawijaya telah mengatakan bahwa ia tidak akan dapat datang ke Pajang apapun alasannya. Tetapi yang membuat orang-orang Pajang itu bagaikan tersentuh bara, ketika mereka membaca sebagian dari isi jawaban Raden Sutawijaya, “Segala pemberian Ayahanda bersama nawala Ayahanda telah ananda terima. Ananda mengucapkan terima kasih atas tiada berhingga. Segala pesan dari Ayahanda akan hamba junjung, karena hamba adalah putra, murid dan hamba dari Ayahanda yang duduk di atas Singgasana Demak. Semoga ayahanda memaafkan, bahwa hamba tidak hadir di paseban sebagaimana yang pernah Ayahanda izinkan.”

“Gila. Sutawijaya memang sudah gila,” geram seorang yang diliputi oleh rahasia ketika surat itu akhirnya sampai ke tangannya. Tidak banyak orang yang dapat berhubungan langsung dengan orang itu. Sementara orang-orang yang dapat berhubungan langsung tidak akan menyebut tentang orang itu dalam keadaannya sehari-hari.

Sementara surat itu telah membuat orang-orang yang berselubung diri dalam perjuangan untuk menegakkan masa kejayaan Majapahit lama menjadi marah, karena ternyata Raden Sutawijaya tidak mudah dikelabuinya, maka berita tentang tertangkapnya Ki Lurah Pringgabaya telah menggetarkan orang-orang itu pula.

“Orang yang menyamarkan dirinya itu tentu Sutawijaya,” berkata salah seorang pemimpin mereka yang disepakati oleh kawan-kawannya.

“Ada kemungkinan lain,” berkata seseorang di antara mereka.

“Siapa?” bertanya yang lain.

Orang yang ditanya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Pangeran Benawa.”

Yang mendengar jawaban itu mengangguk-angguk kecil. Salah seorang dari mereka berkata, “Memang mungkin sekali. Keduanya memiliki keanehan meskipun dengan alasan yang berbeda-beda dan tempat berdiri yang berbeda pula.”

“Bagaimana dengan murid Kiai Gringsing yang lain dan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu?” seorang berdesis.

Yang lain termenung sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Masih belum mencapai tingkatan yang mendebarkan seperti yang diceritakan itu. Namun mungkin juga dapat diperhitungkan.”

“Keduanya pun anak-anak muda yang aneh. Yang seorang mampu membunuh Carang Waja, yang lain dapat mengalahkan orang terpercaya dari Gunung Kendeng,” desis yang berwajah muram.

Mereka terdiam sejenak. Agaknya beberapa orang memang harus di perhitungkan. Namun mereka cenderung untuk menentukan, bahwa orang itu adalah Raden Sutawijaya.

“Jika demikian, kita akan melihat apakah Pringgabaya memang berada di Mataram.” berkata orang yang berwajah muram.

“Jika ada?” bertanya yang lain.

“Perintah Kakang Panji sudah jelas. Lepaskan orang itu, atau jika gagal, bunuh sajalah di dalam biliknya dengan cara apapun,” jawab orang yang berwajah muram.

“Siapa yang akan kita tugaskan melakukan pekerjaan itu?” bertanya seseorang.

Orang berwajah muram itu merenung sejenak. Dipandanginya orang yang duduk dengan gelisah di sudut ruangan. Namun ia terpaksa menahan nafasnya ketika orang berwajah muram itu berkata, “Bagaimana jika tugas ini kita serahkan kepada Pringgajaya? Ia adalah orang yang cukup baik buat tugas yang demikian, apalagi karena namanya telah dianggap terkubur.”

“Aku adalah saudara seperguruannya,” berkata Ki Pringgajaya, “bagaimana mungkin aku dapat membunuhnya.”

“Terserah kepadamu. Jika kau tidak mau membunuhnya, kau harus dapat melepaskannya,” berkata orang berwajah muram itu.

“Serahkan kepada orang lain. Beri aku tugas yang lain. Dan jangan sebut lagi aku dengan Pringgajaya. Kebiasaan itu tidak menguntungkan,” berkata Ki Pringgajaya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar