Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 135

Buku 135

Dalam pada itu, maka orang yang disebut Ki Lurah itu pun kemudian berkata, ”Ki Sanak, segera bersiaplah untuk mati. Aku sadar, bahwa kalian bukan orang-orang yang mudah menyerah menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga gawatnya Karena itu, maka aku persilahkan kalian bersiap untuk bertempur. Kita mempunyai waktu cukup tanpa diganggu oleh orang lain.”

”Ternyata kalian telah melakukan pekerjaan ini dengan sepenuh kesadaran. Baiklah. Seperti kalian, akupun mempunyai kesadaran atas satu keyakinan, bahwa orang-orang yang bermimpi tentang masa kejayaan Majapahit lama tidak akan mempunyai tempat untuk hidup di masa ini. Bukan kebesaran Majapahit yang tidak dapat diterima lagi saat ini, bukan pula kesatuan yang pernah terwujud, tetapi adalah ketamakan dan kedengkian yang mendukung cita-cita itulah yang harus ditentang.”

”Hanya orang-orang yang tidak mengerti sajalah yang mengatakan, bahwa ketamakan dan kedengkian telah mendukung cita-cita yang besar itu,” berkata orang yang disebut Ki Lurah.

”Itu suatu keyakinan, seperti kalian meyakini perjuangan kalian,” sahut Swandaru, lalu, ”jika demikian, kita akan mempertahankan keyakinan kita masing-masing. Seperti kalian menyadari sepenuhnya apa yang kalian lakukan, maka akupun menyadari sepenuhnya apa yang aku lakukan.”

Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian segera bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Demikian pula dengan Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Mereka menambatkan kuda mereka pada batang batang perdu, kemudian berdiri tegak dengan dada tengadah, meskipun mereka agak berdebar-debar juga menghadapi persoalan yang tidak mereka perhitungkan sama sekali.

Dalam pada itu, Ki Waskita yang juga telah menambatkan kudanya, justru berdiri agak jauh dari ketiga orang yang sedang dalam perjalanan kembali ke Sangkal Putung itu. Sementara Swandaru yang mengenal siapa Ki Waskita itupun sama sekali tidak menegurnya. Swandaru menyadari bahwa Ki Waskita tentu mempunyai perhitungan tersendiri atas peristiwa yang sedang mereka hadapi.

”Ki Sanak,” berkata orang yang disebut Ki Lurah, ”ternyata aku telah mempersiapkan orang-orangku melampaui kebutuhan. Di sini ada tujuh orang. Sedang kalian hanya bertiga. Tetapi kesiagaan ini perlu, justru karena kami mengerti, bahwa orang-orang bercambuk adalah orang-orang yang berbahaya. Juga seorang perempuan yang bersenjata pedang rangkap dari Tanah Perdikan Menoreh, dan seekor macan betina yang mewarisi tongkat Ki Sumangkar.”

”Kami tidak hanya bertiga, tetapi berempat,” desis Swandaru.

”Baiklah, jika yang seorang itu harus diperhitungkan pula. Tetapi ia tidak mempunyai arti khusus di dalam pertentangan ini,” jawab orang yang disebut Ki Lurah itu.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang itu mempunyai perhitungan yang salah terhadap Ki Waskita. Namun Swandaru tidak mempersoalkannya. Ia percaya sepenuhnya apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Waskita itu.

Demikianlah, maka orang yang disebut Ki Lurah itupun kemudian berkata kepada para pengikutnya, ”Bersiaplah. Kita akan bertempur beradu dada sebagai orang orang yang mempunyai pegangan dalam perjuangannya.”

Kedua orang yang berpakaian tukang satang itu mengerutkan keningnya. Namun ketika sepintas ia melihat perhiasan pada timang Swandaru dan permata di leher Pandan Wangi dan Sekar Mirah, maka gairah merekapun segera melonjak.

Swandaru yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan mereka semuanya, maju selangkah. Meskipun ia menyadari, bahwa kedua perempuan yang menempuh perjalanan bersamanya itu juga memiliki kemampuan bertempur, namun menurut tingkat dan tataran hubungan di antara mereka, maka Swandaru adalah orang yang tertua.

Orang yang menyebut dirinya Ki Lurah itupun segera menempatkan diri untuk melawan Swandaru. Sambil memandang kawan-kawannya seorang demi seorang serta kedua tukang satang itu, iapun berkata, ”Aku akan melawan anak ini. Kalian berenam mempunyai tiga orang korban. Kalian dapat memilih. Kita tidak akan memerlukan waktu lama. Aku hanya memerlukan waktu sepenginang untuk membunuh anak Demang Sangkal Putung ini, meskipun barangkali aku harus berpikir berulang kali untuk berperang tanding melawan gurunya.”

Swandaru menggeram. Namun iapun menyadari, bahwa orang yang berdiri di hadapannya itu tentu tidak hanya sekedar menakut-nakutinya. Ia tentu mempunyai pertimbangan dan perhitungan yang mapan. Nampaknya ia telah mengenal tentang dirinya, tentang istri dan adiknya.

Swandaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat keenam orang yang lain telah berpencar. Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita harus menghadapi masing-masing dua orang lawan yang masih belum diketahui tingkat kemampuannya.

Namun Swandaru tidak dapat berbuat lain. Jika ia menempatkan diri di tempat kedua perempuan itu, tetapi ternyata orang yang agaknya pemimpin dari kelompok itu memiliki kemampuan yang tidak terlawan, maka iapun akan menyesal.

Karena itu, ia tidak merubah keadaan yang dihadapinya Ia harus berani mencoba beberapa saat untuk menjajaki keadaan. Jika keadaan memaksa, maka ia harus dapat mengambil kepulusan dengan cepat.

Namun demikian ia berkata di dalam Intinya,  Mudah mudahan Ki Waskita mau juga melihat keadaan ini dalam keseluruhan.”

Dalam pada itu, ketujuh orang yang telah menjebak Swandaru dan iring-iringan kecilnya telah bersiap bertindak atas mereka. Orang yang disebut Ki Lurah itupun berkata, ”Aku sudah terlalu lama berada di daerah ini. Aku sudah menjadi jemu karenanya. Dan akupun ingin segera kembali ke Pajang dengan membawa berita kematianmu, kematian Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Ditambah lagi seorang tua yang bernasib buruk karena ia berada di antara kalian.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi tegap di antara mereka itupun berkata, ”Ki Lurah, apakah perempuan-perempuan ini harus dibunuh?”

”Ya. Semua harus dibunuh,” jawab orang yang disebut Ki Lurah.

”Sayang sekali. Kedua perempuan ini adalah perempuan-perempuan cantik yang barangkali dapat dimanfaatkan. Aku ingin mendapat salah satu daripadanya. Bagimana jika aku berjanji, bahwa aku akan mengambil perempuan-perempuan ini tanpa mengganggu tugas kita berikutnya.”

”Apa maksudmu?” bertanya Ki Lurah.

”Aku akan membawa mereka. Tetapi dengan janji, melumpuhkan mereka sehingga mereka tidak akan mungkin dapat berbuat sesuatu lagi,” jawab orang itu.

Tetapi Ki Lurah tertawa meskipun ia tetap berhati-hati menghadapi sikap Swandaru. Katanya, ”Jangan menyimpan ular di dalam kantong ikat pinggangmu. Pada suatu saat kau akan digigitnya.”

”Aku akan mempertanggung jawabkannya,” jawab orang itu.

Namun jawab Ki Lurah kemudian singkat, tegas, ”Bunuh semuanya.”

Tidak ada lagi yang bertanya kepadanya. Yang terjadi kemudian adalah sikap-sikap tegang dari mereka yang sudah siap menghadapi benturan kekerasan.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Waskita tertawa pendek. Hanya pendek.

Tetapi ternyata suara tertawa itu mengejutkan orang yang disebut dengan Ki Lurah itu. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang.

”He, siapa kau sebenarnya?“ tiba-tiba saja ia berteriak.

Tidak ada yang menjawab meskipun pertanyaan itu mengejutkan.

”Siapa kau orang tua?” sekali lagi terdengar orang yang disebut Ki Lurah itu bertanya.

”Apakah yang kau maksud aku?” bertanya Ki Waskita.

”Jangan berpura-pura. Marilah kita bersikap jantan. Aku tahu, kau bukan orang kebanyakan. Sikapmu sungguh meyakinkan,” berkata orang yang disebut Ki Lurah itu.

”Aku tidak dapat menyebut diriku dengan sebutan lain, kecuali seperti yang sudah aku katakan,” berkata Ki Waskita, lalu katanya pula, ”tetapi apakah seseorang seperti kau masih perlu bertanya tentang seseorang? Jika demikian, apakah aku juga boleh bertanya siapakah nama Tuan.”

”Menarik sekali,” desis orang itu, ”ternyata aku lebih tertarik kepadamu daripada anak muda ini. He, kau berdua yang sudah siap menghadapi orang tua itu. Kemarilah. Orang tua itu perlu mendapat perhatian yang khusus. Meskipun dengan demikian pekerjaanku akan menjadi lebih panjang, tetapi lebih baik menyelesaikannya dalam waktu yang agak lama daripada kalian berdua akan menjadi bahan permainannya.”

Kawan kawan Ki Lurah itu menjadi heran mendengar keterangan yang tidak segera dapat mereka pahami. Namun mereka mempunyai keyakinan tentang orang yang disebut Ki Lurah itu. Orang itu tentu mempunyai perhitungan yang mapan atas apa yang dilakukannya.

Karena itu, maka dua orang yang sudah siap untuk bertindak atas Ki Waskita pun bergeser. Mereka dengan hati-hati melangkah mendekati Swandaru, sementara orang yang disebut Ki Lurah itupun perlahan-lahan mendekati Ki Waskita sambil berkata, “Untunglah, kau belum membunuh kedua kawanku. Dan akupun belum membunuh Swandaru. Agaknya aku harus menyelesaikan kau lebih dahulu, sebelum aku membunuh ketiga orang itu.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ketajaman penglihatannya telah memperingatkan kepadanya, bahwa orang yang disebut Ki Lurah itu memang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya yang lain. Bahkan Ki Waskita menduga, bahwa orang itu mempunyai kelebihan pula dari Swandaru.

Karena itu, maka ia harus memancingnya, agar orang itu langsung berhadapan dengan dirinya sendiri. Meskipun ia tidak tahu apakah ia akan dapat menghadapinya, namun ia merasa akan dapat bertahan lebih lama dari Swandaru. Sementara menurut penglihatannya, orang-orang lain yang ada di tempat itu bukanlah orang-orang yang perlu dicemaskan, meskipun bukan pula berarti dapat diremehkan. Apalagi mereka masing-masing bertempur berpasangan.

Namun Ki Waskita yakin, bahwa yang seorang itu justru akan lebih berbahaya bagi Swandaru daripada yang dua orang, yang kemudian akan menghadapinya.

Dalam pada itu, Swandaru sendiri justru menjadi heran, bahwa orang yang disebut Ki Lurah itu demikian saja meninggalkannya, dan bersiap menghadapi Ki Waskita. Namun akhirnya ia menyadari, bahwa orang itu tentu mempunyai tanggapan yang tajam atas lawan yang dipilihnya. Orang yang disebut Ki Lurah itu tentu mencemaskan nasib kedua orang kawannya jika kedua orang itu harus berhadapan dengan Ki Waskita, yang agaknya dengan sengaja pula telah memancing orang yang disebut Ki Lurah itu untuk menghadapinya.

Karena yang melakukan itu adalah Ki Waskita, yang dikenal oleh Swandaru dengan baik tingkat kemampuan dan pengalamannya, maka Swandaru sama sekali tidak merasa tersinggung. Dilepaskannya orang yang disebut Ki Lurah itu, dan iapun segera bersiap menghadapi dua orang lawannya.

Sejenak orang yang disebut Ki Lurah itu memandangi Ki Waskita. Namun sejenak kemudian iapun berteriak kepada kawan-kawannya, ” He, apalagi yang kalian tunggu?”

Keenam kawan-kawannya serentak bergerak. Dua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itupun segera menghadapi lawan yang mereka pilih. Bukan karena perhitungan kemampuan kanuragan, tetapi karena pada Sekar Mirah tergantung perhiasan yang mereka anggap cukup berharga, maka mereka telah memilih gadis itu sebagai lawan.

”Tanpa memperhatikanmu dengan saksama, kami tidak akan mengenalmu sebagai seorang perempuan,” desis salah seorang dari kedua orang dari Gunung Sepikul itu, ”ternyata bahwa kau cantik. Dan ternyata bahwa kau memakai perhiasan juga sebagai umumnya seorang perempuan.”

Sekar Mirah tidak menghiraukannya. Namun untuk menjaga diri, karena ia sama sekali belum dapat menjajagi kemampuan lawannya, di tangannya segera tergenggam tongkat baja putihnya.

”Senjata itu memang agak mendebarkan,” desis salah seorang dari kedua tukang satang itu.

Kawannya tidak menyahut. Tetapi ternyata bahwa keduanya telah menggenggam senjata mereka pula. Senjata yang khusus mereka pergunakan. Sebatang tongkat yang patah-patah, dihubungkan dengan rantai-rantai pendek.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Senjata itu memberikan kesan tersendiri kepadanya. Senjata yang jarang ditemui itu tentu menuntut perlawanan tersendiri pula.

“Aku sudah sering berlatih dengan kakang Swandaru yang mempergunakan senjata lentur, berkata Sekar Mirah di dalam hatinya, “meskipun agak berbeda, tetapi tentu ada persamaan penggunaan antara senjata lentur dengan senjata yang patah-patah ini,”

Sekar Mirah tidak sempat merenungi senjata lawannya terlalu lama. Tiba-tiba saja kedua lawannya meloncat memencar. Kemudian hampir bersamaan pula mereka menyerang.

Pada langkah-langkah pertama Sekar Mirah telah melihat, betapa kasar tata gerak mereka. Apalagi ketika keduanya kemudian mengumpat dengan kata-kata kotor, ketika serangan mereka sempat dielakkan oleh Sekar Mirah.

Kekasaran kedua orang itu menarik perhatian Swandaru dan Pandan Wangi pula. Agaknya dua orang itu mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan orang-orang lain yang berada di arena itu.

Dalam pada itu, Ki Waskita masih sempat juga bertanya ”Kedua kawanmu yang bertempur melawan Sekar Mirah itu nampaknya dua orang yang aneh.”

”Siapapun mereka, kami akan membunuh kalian,” jawab orang yang disebut Ki Lurah itu.

“Baiklah,” berkata Ki Waskita, ”agaknya memang tidak ada pilihan di antara kita kecuali saling membunuh.”

”Ya, memang tidak ada pilihan lain,” desis orang itu.

”Jika demikian,” berkata Ki Waskita, ”kita berdualah yang akan menentukan akhir dari pertempuran ini. Siapa di antara kita yang dapat membunuh lebih dahulu, akan mempengaruhi keseluruhan dari pertempuran ini.”

“Omong kosong. Kau kira orang-orangku tidak berarti apa-apa,” geram orang yang disebut Ki Lurah.

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Lawan Swandaru dan Pandan Wangipun mulai bergerak pula. Namun katanya, ”Aku dapat memastikan, bahwa anak-anak Sangkal Putung itu akan dapat bertahan cukup lama. Lebih lama dari waktu yang aku perlukan untuk mengalahkanmu.”

”Kau ternyata sombong sekali,” orang itu menggeram sambil bergerak menyerang meskipun baru sekedar memancing sikap lawannya.

Ki Waskita bergeser sambil menjawab, ”Aku memang mencoba untuk menyombongkan diri di hadapanmu. Mudah-mudahan aku berhasil. Bukan saja sebagai satu kesombongan, tetapi benar-benar berhasil memenangkan perkelahian ini lebih cepat dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak Sangkal Putung itu untuk mempertahankan dirinya.”

”Persetan,” orang itu membentak. Serangannya menjadi semakin cepat.  

Sementara Ki Waskita pun segera meningkatkan tata geraknya. Namun justru karena lawannya tidak bersenjata, maka ia menganggap bahwa lawannya itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu ia harus benar-benar berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya dan atas anak-anak Sangkal Putung yang harus bertempur melawan lawan rangkap.

Dengan demikian maka pertempuran di antara batang-batang ilalang itupun menjadi semakin lama semakin seru. Orang-orang kasar dari Gunung Sepikul itu ternyata berhasil membuat Sekar Mirah menjadi ngeri. Bukan karena kemampuan tempur mereka yang tinggi, tetapi justru karena kekasaran mereka. Tidak henti-hentinya mereka mengumpat-umpat dengan kata-kata kasar. Dan bahkan kadang-kadang dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan.

”Apakah keduanya juga pendukung cita-cita kejayaan Majapahit?” bertanya Ki Waskita kepada lawannya yang disebut Ki Lurah.

”Kenapa perhatianmu tertuju kepada keduanya?” bertanya orang yang disebut Ki Lurah.

”Keduanya sangat menarik. Agak berbeda dengan kau dan kawan-kawanmu yang lain,“jawab Ki Waskita.

”Keduanya adalah orang-orang gila yang dapat aku manfaatkan,” jawab orang yang disebut Ki Lurah itu.

Ki Waskita yang bertempur semakin cepat masih sempat berkata lagi ,”Aku sudah menduga. Orang-orang yang menyebut dirinya pendukung kejayaan Majapahit selalu memanfaatkan orang-orang yang dapat dijebaknya dengan cara apapun. Coba katakan, siapa saja yang telah menjadi korban ketamakan beberapa orang yang masih bermimpi tentang kejayaan Majapahit itu ”

Tiba-tiba saja tata gerak lawan Ki Waskita itu mengendor. Sambil meloncat surut ia berkata, ”Agaknya kau mendapat keterangan yang salah tentang cita-cita kami. Sebaiknya aku memberikan beberapa keterangan. Kau agaknya seseorang yang memiliki kemampuan yang cukup. Karena itu, tenagamu dan barangkali pikiranmu akan sangat bermanfaat bagi kami.”

Ki Waskita tidak memburunya ketika lawannya meloncat surut. Bahkan seakan-akan ia memberi kesempatan lawannya untuk berbicara.

”Ki Sanak,” berkata orang itu, ”apakah kau tidak mengakui kebesaran Majapahit? Apalagi sebelum masa surutnya.”

”Aku mengakui, Ki Sanak,” jawab Ki Waskita.

”Majapahit yang meliputi seluruh Nusantara,” desis orang itu pula.

”Ya. Yang telah mempersatukan daerah-daerah yang berpencaran letaknya, namun dalam nafas kehidupan yang satu,” jawab Ki Waskita.

”Nah, bukankah kita semuanya merindukan masa seperti yang pernah terjadi pada masa kejayaan Majapahit? Tidak seperti Pajang yang kita lihat sekarang. Kecil, terpecah-pecah dan tidak ada kesatuan sikap dan perbuatan. Masing-masing ingin memaksakan kehendak sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain,” geram orang yang disebut Ki Lurah itu.

”Apakah demikian?” bertanya Ki Waskita, ”Apakah pengamatanmu cukup cermat?”

”Tentu Ki Sanak. Aku melihat segalanya yang berkembang sekarang. Pajang yang kerdil. Dan Mataram yang dengki dan menuruti nafsu pribadi,” jawab orang itu.

”Ki Sanak,” berkata Ki Waskita, “apakah kau tahu pasti, siapakah yang berada di paling ujung dan barisanmu? Dari orang-orang yang merasa berkepentingan dengan bangkitnya Majapahit kembali pada masa sekarang ini?”

”Pertanyaanmu aneh. Kau tentu tahu bahwa pertanyaan itu tidak akan terjawab. Tetapi katakan, apakah kau tidak merindukan masa-masa yang gemilang itu?” bertanya orang yang disebut Ki Lurah.

”Tentu. Tentu Ki Sanak. Aku dan aku kira seluruh rakyat Nusantara merindukannya. Persatuan yang utuh. Kesejahteraan yang adil dari ujung sampai ke ujung dari tanah yang dikurniakan oleh Yang Maha Agung ini,” jawab Ki Waskita.

”Lalu apa lagi?” bertanya orang itu.

”Apakah kau kira cara yang kau tempuh itu dapat dibenarkan?” tiba-tiba Ki Waskita bertanya.

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,  Apakah artinya cara, di banding dengan cita-cita yang luhur dan tidak ternilai harganya. Tidak ada yang pantas disesalkan dari cara yang telah kami tempuh. Setiap cita-cita harus dilambari dengan kesediaan berkorban. Bahkan mungkin kita sendiri yang menjadi korban.”

Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Katanya, ”Ki Sanak. Aku sependapat dengan kerinduanmu atas kesatuan seperti yang nampak pada masa kejayaan Majapahit. Tetapi aku tidak sependapat dengan cara yang kau tempuh. Yang ditempuh oleh kawan-kawanmu dan bahkan mungkin karena sikap pemimpinmu. Justru karena kau mengabaikan arti dari cara yang kau tempuh itulah, maka kau sudah mulai dengan langkah yang salah.”

”Kenapa? Maksudmu, kita harus menunggu sampai kebesaran dan kejayaan itu datang sendiri? Apakah kau maksud bahwa Pajang akan dengan sendirinya menggelembung menelan daerah-daerah lain yang sudah mulai memisahkan diri? Tidak. Pajang harus dimusnahkan. Mataram harus di lumpuhkan sebelum mampu bangkit dan melangkah. Kekuatan baru harus bangkit untuk menaklukkan kembali daerah-daerah yang telah memisahkan diri.”

”Aku semakin banyak melihat kesalahan pada ucapan-ucapanmu,” berkata Ki Waskita, “apakah artinya kebesaran dan kesatuan yang kaurindukan jika kau masih berpijak pada kekuasaan untuk mengalahkan bagian dari kesatuan yang kau sebut daerah-daerah yang memisahkan diri itu.”

Wajah orang itu menegang. Namun kemudian katanya, ”Sudahlah. Ternyata jiwamu terlalu kerdil dan cengeng. Karena itu, jika kau memang tidak dapat mengerti, maka kau harus dibunuh sekarang juga.”

”Terserahlah kepadamu. Tetapi bagiku, kebesaran dan persatuan tidak akan diikat dengan kekerasan dan kekuasaan yang berlandaskan kekuatan. Nampaknya kau mulai dengan cara yang bagiku mustahil akan dapat berhasil itu, selain jatuhnya korban dan mungkin keberhasilan sementara bagi orang-orang yang diburu oleh nafsu ketamakan semata-mata.”

”Pikiran kita tidak akan dapat bertemu. Baiklah. Ternyata aku telah melakukan satu perbuatan sia-sia,” geram orang itu, ”sekarang bersiaplah untuk mati.”

Ki Waskita tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, ia masih sempat memperhatikan sekilas, apa yang telah terjadi. Pertempuran telah berlangsung dengan serunya dalam lingkaran-lingkaran pertempuran di padang ilalang itu. Namun yang agaknya mengalami kesulitan pertama-tama adalah justru Sekar Mirah.

Sebenarnya kemampuan kedua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itu tidak menggetarkan pertahanan Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah telah menjadi ngeri karena tingkah laku orang-orang itu. Atas kekasaran yang liar dan buas. Kata kata kotor yang diucapkannya membuat jantung Sekar Mirah bagaikan berhenti berdenyut.

Agaknya kedua orang itupun menyadari, bahwa Sekar Mirah telah terganggu dengan sikap dan keliaran mereka. Justru dengan demikian, maka mereka tidak segan-segan telah menyinggung perasaan Sekar Mirah dengan kata-kata yang tidak pantas, justru karena Sekar Mirah adalah seorang gadis

Karena itu, semakin lama pertahanan Sekar Mirah menjadi semakin lemah. Beberapa kali ia terpaksa berloncatan surut.

”Kau lihat?” desis Ki Lurah yang bertempur melawan Ki Waskita sambil menyerang semakin garang pula, ”gadis Sangkal Putung itu sudah kehilangan kemampuannya menghadapi orang-orang gila dari Gunung Sepikul itu.”

Ki Waskita tidak menjawab. Ia sadar, bahwa lawan yang paling berat bagi Sekar Mirah saat itu adalah perasaannya sendiri.

Untuk beberapa saat, Ki Waskita harus memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri. Orang yang disebut Ki Lurah itu telah menyerangnya dengan cepat dan keras. Namun orang itu masih belum mempergunakan senjata apapun juga.

Sekar Mirah benar-benar telah mengalami kesulitan dengan kedua lawannya. Senjata mereka yang aneh, kadang-kadang membuat Sekar Mirah menjadi gugup. Tetapi yang paling berat baginya adalah teriakan-teriakan yang bagaikan membakar telinganya.

”Kalian licik dan liar,” geram Sekar Mirah, ”marilah kita memperbandingkan ilmu. Bukan kata-kata kotor dan liar.”

Keduanya justru tertawa. Mereka sama sekali tidak menghiraukan, apa saja penilaian orang lain terhadap mereka. Yang penting bagi keduanya adalah berhasil mengalahkan lawannya dan merampas harta benda yang ada pada lawannya.

Dalam pada itu, Swandaru ternyata harus mengerahkan segenap kemampuannya pula menghadapi dua orang lawannya. Ketika keringatnya mulai membasahi, maka ledakan-ledakan cambuknyapun menjadi semakin tajam menggores isi dada. Rasa-rasanya kedua lawannya telah tersobek selaput telinganya.

Namun demikian kedua lawan Swandaru memang bukan orang kebanyakan. Mereka bertempur dengan garangnya. Menghindar dan berusaha menyusup di antara ujung cambuk Swandaru yang meledak-ledak.

Pandan Wangipun nampaknya dalam keadaan yang serupa. Ia harus bertempur dengan segenap kemampuan ilmunya. Pedang rangkapnya berputaran, menyambar dan mematuk. Kecepatan geraknya telah banyak berhasil membuat lawannya kadang-kadang kehilangan sasaran. Namun demikian, karena ia harus melawan dua orang yang bertempur berpasangan, maka iapun harus menjadi sangat berhati-hati.

Tetapi bagi Ki Waskita, keadaan Swandaru dan Pandan Wangi tidak begitu mencemaskannya. Menurut pengamatannya, keduanya masih mempunyai kesempatan untuk bertahan, dan bahkan jika keduanya mampu mengembangkan perlawanan mereka, maka agaknya keduanya akan berhasil.

Namun sementara itu, Sekar Mirah semakin lama menjadi semakin terdesak. Kedua lawannya berteriak semakin keras dan semakin kotor. Kata-kata yang tidak pantas diucapkan, telah mereka teriakkan dengan sengaja.

”Gila, o gila,” geram Sekar Mirah. Lawannya tertawa berkepanjangan.

Ki Waskita yang benar-benar menjadi cemas melihat keadaan Sekar Mirah yang bertempur melawan dua orang yang liar, kasar dan bersenjata agak lain dari senjata yang banyak dipergunakan, tiba-tiba saja berteriak, ”Sekar Mirah. Kau adalah pewaris tongkat besi baja berkepala tengkorak. Senjatamu adalah senjata pamungkas yang dapat kau pakai untuk menutup mulut mereka. Dengan demikian, mereka tidak akan dapat meneriakkan kata-kata kotor lagi.”

”Diam kau,” Ki Lurahlah yang membentak sambil menyerang dengan garangnya. Hampir saja Ki Waskita tersentuh dadanya, sehingga jantungnya akan dapat dirontokkannya. Untunglah, ia masih sempat mengelak, meskipun ia harus membantu Sekar Mirah.

Suara Ki Waskita didengar oleh Sekar Mirah. Ternyata bahwa kata-kata Ki Waskita itu seakan-akan menumbuhkan pertanyaan di dalam hatinya, ”Kenapa aku tidak membungkam mulutnya yang kasar dan kotor itu?”

Pertanyaan itu ternyata telah bergejolak di dalam hatinya. Semakin lama semakin gemuruh, sehingga akhirnya Sekar Mirah di luar sadarnya telah berteriak pula, ”Aku tutup mulutmu dengan pangkal tongkatku ini.”

Suara Sekar Mirah itu ternyata telah mendebarkan jantung kedua lawannya. Seolah-olah Sekar Mirah yang ngeri mendengar kata-kata kasar lawannya itu telah mendapatkan tempat untuk bertumpu.

Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian tongkat baja Sekar Mirah telah berputar semakin cepat. Tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itupun menyambar-nyambar dengan cepatnya, seperti burung sikatan menyambar belalang.

Kedua lawannya terkejut melihat perubahan pada tata gerak Sekar Mirah. Nampaknya gadis itu telah mendapatkan satu kesadaran baru bahwa lebih baik baginya untuk menutup mulut kedua orang itu, daripada ia harus mendengarkannya berkepanjangan, dan apalagi jika ia benar-benar dikalahkan.

”Aku akan mengalami perlakuan yang kasar dan kotor seperti kata-kata yang diucapkan itu, jika aku dapat mereka kalahkan,” geram Sekar Mirah di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka perlawanan Sekar Mirahpun kemudian menjadi semakin meningkat. Kecepatannya bergerakpun mulai dapat membingungkan lawannya. Tongkat baja putihnya dengan pangkal kepala tengkorak itu menyambar-nyambar dengan cepatnya. Sekali-sekali tongkat baja itu telah menghantam senjata lawannya.

Pada benturan-benturan yang terjadi, maka perlahan-lahan Sekar Mirah menjadi semakin mengenal keseimbangan kekuatan antara dirinya dan kedua lawannya. Ketika dengan sengaja Sekar Mirah menangkis senjata lawannya yang menyambar keningnya, maka hampir saja Sekar Mirah berhasil melontarkan senjata lawannya itu. Namun agaknya betapapun tangannya merasa panas dan pedih, namun lawannya itu masih berhasil mempertahankannya.

Ketika Sekar Mirah memburunya dan bermaksud untuk sama sekali memukul dan melontarkan senjata lawannya itu, maka lawannya yang lain telah menyerangnya sambil berteriak kasar.

Sekar Mirah terpaksa menghindari serangan itu. Namun dengan demikian ia menjadi semakin percaya kepada dirinya sendiri. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi kekuatannya yang terlatih serta dukungan kekuatan cadangannya, maka ia mampu melawan bahkan melampaui kekuatan lawannya yang kasar dan liar itu.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Sekar Mirah dan kedua lawannya itupun menjadi semakin sengit. Sekar Mirah yang bertempur semakin mapan telah membuat lawannya menjadi gelisah. Beberapa kali mereka mencoba mempengaruhi lawannya dengan kata-kata kasar dan kotor. Namun Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi. Bahkan dengan marah ia menggeram, ”Aku harus membungkam mulutnya yang kotor itu.”

Sementara itu, Ki Waskita mulai tersenyum melihat keseimbangan pertempuran antara Sekar Mirah dan kedua lawannya. Dengan demikian maka iapun berkata, ”Sekarang aku mendapat kesempatan untuk memusatkan perhatianku kepadamu Ki Sanak.”

”O,” desis orang yang disebut Ki Lurah, ”apakah itu satu pemberitahuan bahwa selama ini kau masih belum sampai pada puncak ilmumu?”

Ki Waskita tersenyum. Namun ia harus meloncat mundur. Serangan lawannya datang bagaikan badai. Agaknya orang yang disebut Ki Lurah itu ingin mempergunakan saat Ki Waskita menjawab kata-katanya.

Tetapi Ki Waskita sempat mengelakkan serangan itu, dan bahkan kemudian iapun telah bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya.

”Gila,” geram Ki Lurah, “kau memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi yang kau lihat padaku belum separo dari tingkat kemampuanku.”

“Begitu?” bertanya Ki Waskita. Tetapi ia tidak mengabaikan peringatan lawannya itu. Mungkin tidak seluruhnya benar. Tetapi sebagian dari padanya tentu mempunyai kebenaran.

Karena itu. maka Ki Waskitapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi ilmu yang tentu lebih dahsyat dari yang sudah diungkapkan dalam gerak oleh orang yang disebut Ki Lurah itu.

Dalam pada itu, Pandan Wangi yang bertempur dengan pedang rangkap, agaknya masih dapat melindungi dirinya. Betapa kedua lawannya berusaha menekannya, tetapi kedua pedangnya yang berputar seperti baling-baling, masih mampu menjadi perisai yang seakan-akan tidak tertembus.

”Iblis betina,” geram salah seorang lawannya yang hampir kehabisan akal. Apapun yang dilakukan, ternyata Pandan Wangi mampu mengatasinya. Serangan yang datang beruntun dari keduanya, selalu dapat dielakkan. Bahkan dalam keadaan yang paling gawat, Pandan Wangi telah membenturkan senjatanya pula. Namun tenaga Pandan Wangi bukannya tenaga perempuan sewajarnya, sehingga karena itu, maka dalam benturan kekuatan, kedua orang lawan Pandan Wangi itu menjadi heran dan bahkan kemudian menjadi cemas.

Sebenarnyalah bahwa pedang rangkap Pandan Wangi menyambar-nyambar seperti sayap seekor burung srigunting. Namun yang setiap sentuhannya akan dapat merobek kulit dan daging.

Sementara itu, Swandaru perlahan-lahan namun pasti akan berhasil menguasai lawannya. Cambuknya yang meledak-ledak membuat lawannya menjadi ngeri. Suaranya bukan saja memekakkan telinga, namun semakin lama suara ledakan cambuk itu bagaikan menyusup masuk ke dalam rongga dadanya, dan mengguncang jantungnya.

”Ilmu iblis yang manakah yang kau pergunakan ini, he?” geram salah seorang dari kedua lawannya.

Swandaru tidak menjawab. Tetapi cambuknya sajalah yang meledak dengan dahsyatnya.

Kedua orang lawannya meloncat surut. Meskipun ujung cambuk Swandaru tidak mengenai kulit mereka, namun hembusan anginnya seakan-akan telah memperingatkan mereka, bahwa sentuhan ujung cambuk itu bukan saja dapat menyayat kulit mereka, tetapi bahkan akan dapat meremukkan tulang mereka. Hampir di luar sadarnya Swandaru menyahut, ”Guruku.”

”Anak setan,” salah seorang dari kedua orang lawan Swandaru itu mengumpat, ”darimana kau mendapat kemampuan bermain cambuk itu?”

”Ya, gurumu tentu kerasukan iblis sehingga ia mampu mengajarimu bermain cambuk,” geram lawannya yang lain. Namun kemudian katanya, ”Tetapi cambuk semacam itu hanya dapat menakut-nakuti anak kambing cengeng. Bukan untuk menakut-nakuti aku.”

Swandaru menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih menyadari, bahwa ia tidak boleh tenggelam dalam arus perasaannya. Bahkan dengan demikian ia masih sempat menjawab, ”Aku kira, aku sekarang memang sedang berhadapan dengan anak-anak kambing cengeng.”

Orang itulah yang kemudian menggeram. Namun yang lain masih sempat berkata, ”Kita bertempur dengan kemampuan ilmu. Bukan sekedar saling menyindir agar lawannya kehilangan pengamatan diri.”

Swandaru meloncat surut. Dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk menjawab, ”Baiklah. Bagaimana jika kita bertempur sambil berdiam diri? Bukankah dengan demikian, kita benar-benar sedang beradu tingkat kemampuan dan kekuatan?”

Kedua lawannya tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya dengan serta merta telah menyerang dari dua arah yang berbeda.

”Tidak ada aba-aba,” berkata Swandaru di dalam hatinya, ”tetapi keduanya mampu bergerak serentak, seolah-olah keduanya telah digerakkan oleh otak yang sama.”

Sebenarnyalah kedua orang lawannya mampu bertempur berpasangan dengan mapan sekali.

Namun Swandaru adalah seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Ia telah mewarisi semua dasar ilmu Kiai Gringsing, meskipun ia masih belum sampai ke puncak perkembangannya. Namun demikian, ia adalah seorang yang mengagumkan. Kekuatannya benar-benar mengejutkan lawannya di setiap sentuhan dan benturan senjata.

Tetapi kedua lawannya ternyata memiliki kecepatan bergerak yang tinggi. Apalagi kemapanan kerja sama di antara mereka yang mengagumkan. Sehingga dengan demikian, maka Swandaru harus berjuang sekuat tenaganya untuk bertahan.

Tetapi agaknya senjata Swandaru yang agak lain dari kebanyakan senjata itu sangat berpengaruh. Ujung senjatanya yang meskipun tidak tajam, tetapi lentur, kadang-kadang membuat lawannya menjadi bingung. Ujung cambuk Swandaru itu seolah-olah selalu mengejar keduanya kemanapun mereka menghindar.

Meskipun demikian, keduanya bukan kanak-kanak lagi di arena petualangan olah kanuragan. Keduanya adalah orang yang berpengalaman dan mengenal berbagai macam tata gerak ilmu kanuragan. Karena itu, maka keduanya masih memiliki kesempatan untuk menghindari kejaran ujung cambuk Swandaru yang bukan saja berkarah baja seperti saat ia mendapatkannya dari gurunya. Tetapi karah baja yang melingkar pada ujung cambuk Swandaru ternyata sudah menjadi semakin rapat. Dengan demikian, maka setiap sentuhan ujung senjatanya akan dapat menyayat kulitnya sampai ke tulang.

Di arena pertempuran yang lain, Pandan Wangi yang bertempur dengan pedang rangkap ternyata membuat lawannya kadang-kadang tidak percaya akan penglihatannya. Perempuan itu seakan-akan benar-benar telah terbang dengan sayap pedangnya. Namun kemudian dengan cepat menukik dan mematuk dengan ujung sayapnya yang tajam, melampaui tajamnya paruh rajawali.

Dengan demikian, maka kedua lawannya telah mempergunakan cara yang khusus pula untuk melawan sepasang pedang itu. Keduanya mengambil jarak yang cukup di arah yang berlawanan. Seperti berjanji keduanya menyerang berganti-ganti, bagaikan arus ombak yang menghantam tebing. Berurutan tidak henti-hentinya, sehingga mereka berharap bahwa Pandan Wangi tidak akan sempat menyerang mereka.

Tetapi Pandan Wangi memiliki ketajaman pengamatan atas kedua lawannya. Ia tidak mau terperangkap ke dalam serangan yang datang beruntun. Namun ia dengan tangkasnya melepaskan diri dari garis serangan keduanya, dan dengan cepatnya memusatkan serangannya kepada salah seorang lawannya.

Serangan Pandan Wangi benar-benar mengejutkan. Lawannya yang seorang itu terpaksa berloncatan menghindari serangan Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi tidak melepaskannya. Serangannya datang tanpa terbendung.

Tetapi sejenak kemudian Pandan Wangi terpaksa memperhitungkan lawannya yang lain yang dengan tergesa-gesa datang memburunya. Sehingga dengan demikian, Pandan Wangi terpaksa melepaskan kesempatan yang hampir saja terbuka baginya.

”Perempuan ini benar-benar gila,” geram lawannya yang hampir saja dadanya disayat oleh pedang Pandan Wangi. Dengan nafas yang terengah-engah iapun memperbaiki kedudukannya, meskipun ia tidak sempat beristirahat sama sekali walau hanya sekedar untuk mengatur pernafasannya. Karena jika ia terlambat sekejap, maka kawannyalah yang akan menjadi korban putaran pedang Pandan Wangi.

Dalam pada itu, ternyata lawannya benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Mereka telah mengerahkan segenap ilmu dan kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian, maka keduanya telah meningkat bukan saja sekedar bertempur dengan tenaga wajarnya. Keduanya telah mulai mengerahkan segenap tenaga cadangannya sampai ke puncak kemampuan.

Pandan Wangi merasa, tekanan kedua lawannya memang menjadi semakin berat. Justru karena itu, maka sengaja atau tidak sengaja, iapun telah memeras segenap tenaga, kemampuan dan ilmu yang ada padanya.

Pada saat-saat terakhir, ketika lawannya mulai mendesaknya dengan tenaga yang terasa semakin besar, Pandan Wangi yang tidak mungkin menghindar dari arena itupun menghentakkan kekuatannya. Ketika serangan lawannya mematuknya, maka ia berusaha untuk meloncat ke samping. Namun justru pada saat itu, lawannya yang lain telah mengayunkan senjatanya dengan sepenuh kekuatannya menebas ke arah leher.

Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak. Sementara itu Pandan Wangi sadar, bahwa lawannya telah mempergunakan segenap kemampuan yang ada padanya. Bukan saja tenaga wajarnya, tetapi juga tenaga cadangannya. Karena itu, maka Pandan Wangi yang tidak mempunyai kesempatan lain, kecuali menangkis serangan itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Dengan sepenuh pemusatan ilmu, ia telah mengerahkan tenaga cadangannya untuk menangkis senjata lawannya yang langsung menebas lehernya. Bahkan demikian maka ungkapan kekuatan Pandan Wangi yang dihentakkan itu benar-benar telah mengungkap segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Setelah beberapa lama ia mesu diri dengan cara yang agak berbeda dengan Swandaru dan Sekar Mirah, karena kekagumannya setelah ia mendengar bahwa iapun akan mampu menghentakkan ilmu dalam ungkapan yang agak lain dari ungkapan tenaga dan tenaga cadangan saja.

Dengan demikian, maka tanpa disadarinya, dalam ungkapan yang dilambari dengan sepenuh kemampuan yang ada padanya, telah terungkap pula kemampuan yang masih belum disadari kehadirannya. Ternyata bahwa getaran pemusatan ilmunya, seolah-olah telah menjadi alas dan pendorong dari kekuatan cadangannya, sehingga karena itu, maka seolah-olah tenaga cadangannya telah bertambah-tambah di luar pengetahuannya.

Karena itulah, maka ketika senjatanya yang diayunkan dengan segenap kemampuan yang terhentak tanpa kekangan dan menangkis senjata lawan, maka telah terjadi benturan yang sangat dahsyat. Di luar dugaan Pandan Wangi sendiri, bahwa dalam benturan itu, ternyata senjata lawannya telah terlempar dari tangan. Meskipun terasa tangan Pandan Wangi sendiri menjadi pedih, namun ia masih tetap menggenggam senjatanya.

Terdengar keluhan tertahan. Agaknya perasaan sakit yang sangat telah menyengat tangan lawannya sehingga ia tidak mampu lagi bertahan untuk tetap menggenggam senjatanya.

Ketika senjata lawannya itu terlempar, maka Pandan Wangi yang justru terkejut itu tidak segera dapat memanfaatkan keadaan. Ia terlambat sekejap, sehingga lawannya yang lain berhasil menolongnya.

Baru sesaat kemudian Pandan Wangi menyadari keadaannya. Tetapi kedua lawannya telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya. Lawannya yang senjatanya terlempar telah berhasil memungut kembali senjatanya pada saat Pandan Wangi harus memperhatikan serangan lawannya yang lain, yang berusaha memberi kesempatan kepada kawannya memperbaiki keadaanya.

Namun dengan demikian Pandan Wangi telah mendapat satu pengalaman baru pada ilmunya. Ia mulai mengenal arti dari latihan-latihan khususnya. Memang ada kelainan yang terasa di dalam perkembangan ilmunya di saat terakhir. Namun baru dalam hentakan kekuatan sepenuhnya sajalah ia dapat mengenalinya.

Untuk menghadapi keadaan berikutnya, maka Pandan Wangi telah membuat perhitungan baru. Meskipun belum sepenuhnya diyakini, tetapi ia mulai berani mempergunakan dasar pengalamannya pada ilmunya sesaat sebelumnya.

”Aku harus mencoba menangkis serangan-serangan mereka lebih banyak lagi,” berkata Pandan Wangi kepada diri sendiri.

Karena itulah, maka sejenak kemudian iapun mulai bergeser mendekati kedua lawannya yang sudah bersiap di tempat yang terpisah.

Sekejap kemudian, maka pertempuran yang sengit itupun telah terulang kembali. Pandan Wangi justru menjadi semakin garang dengan senjata rangkapnya. Bukan saja ia dengan berani membenturkan senjatanya untuk menangkis serangan lawannya, namun iapun justru menjadi semakin mantap dengan serangan-serangannya yang berbahaya.

Dengan demikian maka kedua lawannyapun menjadi semakin sibuk menghadapi senjata rangkap Pandan Wangi yang menyambar-nyambar. Mereka harus berhati-hati karena setiap benturan senjata akan dapat melontarkan senjata mereka. Karena itulah maka kedua lawannya tidak lagi menganggap bahwa tenaga mereka tentu lebih besar dari tenaga seorang perempuan. Sehingga yang mereka lakukan kemudian untuk menangkis serangan Pandan Wangi harus mereka perhitungkan sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, Swandarupun semakin lama menjadi semakin garang. Ujung cambuknya meledak-ledak semakin keras. Dan bahkan semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulit lawan-lawannya.

Kedua lawannyapun menjadi semakin cemas menghadapi senjata Swandaru. Mereka tidak dapat menangkis serangan Swandaru seperti mereka menangkis pedang atau tombak. Mereka harus membuat perhitungan tersendiri dengan ujung cambuk berkarah baja itu.

Hanya karena lawan Swandaru berdua, maka mereka dapat memecah perhatian Swandaru sehingga dengan kerja sama yang mantap, mereka masih dapat memberikan perlawanan yang berat.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Sekar Mirah yang sudah mampu mengatasi perasaannya, bertempur dengan garang. Namun bagaimanapun juga, sebagai seorang gadis ia tidak dapat membebaskan seluruhnya pengaruh kekasaran lawannya. Mereka masih saja berteriak dengan kata-kata kotor. Tingkah laku dan sikap merekapun benar-benar mengerikan bagi Sekar Mirah. Senjata mereka yang patah-patah itupun dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya, sesuai dengan kekasaran tingkah laku mereka.

Dengan demikian, maka sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah merasa terlampau berat menghadapi kedua orang Gunung Sepikul itu. Meskipun ilmu mereka bukannya tidak terlawan, tetapi sikap dan tingkah laku merekalah yang membuat Sekar Mirah menjadi ngeri.

Kadang-kadang kemarahan yang meluap berhasil mendorong Sekar Mirah untuk bertempur dengan garangnya, agar ia dengan segera dapat menutup mulut lawannya. Tetapi usahanya tidak segera berhasil. Kedua lawannya yang kasar itu ternyata mempunyai kemampuan untuk mengelakkan serangan-serangannya yang berbahaya.

Tetapi justru perasaan Sekar Mirahlah yang telah meringkihkan perlawanannya. Perasaannya sebagai seorang gadis yang hampir tidak tahan lagi mendengar kata-kata kotor lawannya dan melihat sikapnya yang sama sekali tidak dikekang oleh harga dirinya sebagai orang yang memiliki ilmu kanuragan.

Karena itulah, maka dalam keadaan terdesak, salah seorang dari mereka justru tidak menyerang dengan senjatanya yang aneh itu, tetapi justru memungut segenggam pasir dan melontarkannya ke wajah Sekar Mirah.  

Untunglah bahwa Sekar Mirah cepat melihatnya. Ia sempat meloncat sejauh-jauhnya untuk mendapat kesempatan mengatupkan matanya sekejap dan menghindari pasir itu menghambur ke wajah dan tubuhnya.

Sekar Mirah tidak merasa perlu untuk mencela perbuatan lawannya, karena ia sadar, bahwa kedua lawannya itu tentu tidak akan menghiraukannya. Nampaknya keduanya benar-benar telah kehilangan rasa harga dirinya sehingga cara yang manapun akan dapat mereka pergunakan untuk memenangkan pertempuran itu.

Dengan demikian, bagaimanapun juga Sekar Mirah berusaha untuk tetap tabah, namun ternyata bahwa lambat laun, terasa olehnya, bahwa ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama menghadapi kekasaran dan keliaran kedua lawannya itu.

Hanya karena kesadarannya untuk tidak mau mati atau jatuh ke tangan kedua orang yang berpakaian seperti tukang satang itu sajalah yang masih memaksanya untuk bertempur terus. Meskipun semakin lama Sekar Mirah menjadi semakin sering berloncatan menghindar. 

Sementara itu, Ki Waskita dan orang yang disebut Ki Lurah itupun masih bertempur dengan cara mereka. Keduanya nampaknya tidak banyak bergerak. Serangan-seranganpun jarang-jarang sekali dilontarkan. Namun setiap gerakan betapapun sederhananya, seolah-olah telah menimbulkan prahara di padang ilalang itu.

Sekali-sekali keduanya melangkah bergeser setapak. Kemudian sebuah hentakkan serangan mengarah ke bagian tubuh yang berbahaya. Tetapi sebuah gerakan kecil, telah membebaskan lawannya dari serangan itu. Meskipun kemudian hampir tanpa kasat mata, serangan berikutnya menyusul, namun dengan gerakan secepat itu pula lawannya mengelak.

Yang terjadi kemudian, maka kedua orang itupun seakan-akan berdiri saja saling mengamati untuk beberapa saat tanpa berbuat sesuatu. Disusul pula dengan geseran setapak. Lambat dan seolah-olah tidak berarti sama sekali. Baru kemudian terulang kembali gerakan-gerakan secepat kilat. Hanya satu dua gerakan. Kemudian merekapun berdiri tegak dan seolah-olah saling menunggu.

Namun demikian, bekas dari sikap dan tata gerak mereka ternyata sangat mengerikan. Batang ilalang berserakan dan berhamburan ke segenap arah. Pasir yang tersentuh kaki mereka, tersembur bagaikan tiupan kabut prahara.

Tetapi keduanya bagaikan tonggak-tonggak baja yang berdiri tegak dengan kukuhnya.

Ketika orang yang disebut Ki Lurah itu kemudian meloncat menggempur pertahanan Ki Waskita yang menyilangkan tangannya, maka akibatnya benar-benar dahsyat sekali. Orang yang menyebut dirinya Ki Lurah itu terlontar tiga langkah surut. Sementara itu Ki Waskita masih tetap tegak di tempatnya. Namun ternyata bahwa kaki Ki Waskita bagaikan terhunjam masuk ke dalam pasir tepian hampir sampai ke lutut.

Namun sejenak kemudian keduanya telah menghentakkan diri, bersiap menghadapi benturan-benturan kekuatan berikutnya.

Demikianlah, maka pertempuran di pinggir Kali Praga itu ternyata merupakan pertempuran yang sangat seru. Masing-masing memiliki kelebihan yang dapat diandalkan. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin mendebarkan.

Meskipun Pandan Wangi dan Sekar Mirah adalah seorang perempuan, tetapi kemampuan mereka bertempur ternyata tidak kalah dahsyatnya dengan dua orang laki-laki yang melawannya. Namun justru karena Sekar Mirah seorang gadis sajalah, maka kadang-kadang perasaannya masih saja selalu mengganggunya.

Ternyata yang digelisahkan oleh kedua lawan Sekar Mirah, bukan hanya gadis itu saja. Swandarupun semakin lama semakin memperhatikan adiknya yang nampaknya menjadi semakin terdesak.

Karena itulah, maka Swandarupun kemudian bertekad untuk segera menyelesaikan kedua lawannya, agar ia masih sempat menyelamatkan adik perempuannya yang terdesak bukan karena ilmu lawannya yang lebih tinggi, tetapi justru karena keliaran dan kekasarannya.

Dengan demikian, maka cambuknyapun menjadi semakin keras meledak. Swandaru yang menghentakkan segenap kemampuannya itu tersalur langsung pada senjatanya. Bukan saja meledak semakin keras, tetapi ujung cambuknya bergerak semakin cepat.

Oleh dorongan kecemasannya melihat adik perempuannya, maka Swandarupun berusaha semakin keras, untuk segera mengakhiri pertempuran. Namun dalam pada itu, ia masih tetap mempergunakan nalarnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang masak sehingga dengan demikian, ia mampu memilih gerak yang paling baik untuk menghadapi kedua orang lawannya.

Dalam serangan beruntun ujung cambuk Swandaru yang berputaran semakin cepat, tidak lagi mampu dihindari oleh lawannya. Seperti angin pusaran, maka akhirnya ujung cambuknya sempat juga menyentuh salah seorang dari kedua lawannya, sehingga terdengar keluhan tertahan

Lawannya yang tersentuh ujung cambuk itu masih sempat meloncat menghindar, sementara yang lain masih sempat pula meloncat menyerang untuk membebaskan kawannya yang tersentuh senjata Swandaru itu.

Namun bahwa ujung cambuk Swandaru telah berhasil menyayat lengan lawannya, maka kegelisahanpun mulai membakar hati orang yang disebut Ki Lurah itu. Menurut pengamatannya yang sekilas, maka kedua lawan Swandaru agaknya memang sudah mulai terdesak oleh hentakan-hentakan ujung cambuk anak Sangkal Putung itu.

Sebenarnyalah, Swandaru yang ingin semakin cepat menyelesaikan pertempuran itu telah menjadi semakin cermat. Ia tidak terlempar ke dalam arus perasaannya. Tetapi ia justru membuat perhitungan-perhitungan yang semakin mapan, agar ia dapat semakin cepat mengakhiri pertempuran.

Pertempuran dan pertimbangan-pertimbangan yang mapan setelah ia bertempur beberapa saat dan dapat mengambil kesimpulan mengenai kemampuan dan tataran ilmu lawannya, telah membuat kedudukan Swandaru menjadi semakin menentukan.

Lawannya yang terluka di lengan itu, ternyata masih mampu bertahan. Meskipun darah mengalir dari lukanya, tetapi senjatanya masih tetap teracu sementara lawannya yang lain menggeram marah.

Sejenak kemudian, kedua lawannya itupun telah menemukan keseimbangannya kembali. Sekali-sekali orang yang terluka itu mengusap lengannya. Namun kemudian luka itu seakan-akan tidak terasa lagi.

Swandarupun telah bersiap pula menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang berat. Tetapi ia menyadari sepenuhnya akan keadaan lawannya. Bagaimanapun juga lawannya yang terluka itu tentu bertambah lemah.

Karena itulah, maka dalam pertempuran selanjutnya, Swandaru telah memberatkan serangan-serangannya pada lawannya yang terluka itu. Jika yang seorang itu dapat dilumpuhkan, maka yang lainpun lentu akan segera menyusul.

Namun sebelum ia berhasil, Sekar Mirah sudah hampir tidak tahan lagi menghadapi kedua lawannya yang berteriak-teriak dengan kata-kata kotor. Bahkan dengan sengaja ia mengucapkan kata-kata yang paling tidak pantas didengar oleh seorang perempuan, apalagi seorang gadis.

Betapapun Sekar Mirah mencoba untuk tidak menghiraukannya, bahkan untuk membungkamnya, namun perasaannya telah bergejolak. Sekali-sekali ia harus berteriak pula mengimbangi suara lawannya, agar ia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang liar dari Gunung Sepikul itu.

Tetapi kedua lawannya itu justru tertawa berkepanjangan. Mereka nampaknya semakin berpengharapan, bahwa mereka akan segera dapat mengalahkan gadis cantik dari Sangkal Putung itu.

”Jangan berpura-pura anak manis,” teriak lawannya yang seorang, ”kau tentu senang pula mendengar kelakar kakangku ini.”

”Kalian curang,” teriak Sekar Mirah.

Keduanya tertawa semakin keras. Dan merekapun semakin gila dengan caranya yang liar.

Kemarahan Swandaru semakin membakar jantungnya. Tetapi ia selalu bertahan untuk tetap menyadari sepenuhnya, apa yang sedang dihadapi, la harus tetap sadar, jika ia tenggelam ke dalam arus perasaannya, maka perlawanannya akan semakin tidak menentu, sementara lawannya adalah dua orang yang memiliki ilmu yang mendebarkan. Yang harus dilakukannya justru perhitungan dan pertimbangan yang semakin mapan, agar ia dapat semakin cepat menyelesaikan kedua lawannya.

“Aku harus berhasil lebih dahulu, sebelum Sekar Mirah kehilangan pengamatan diri,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Ki Waskita, yang sekali-sekali sempat memperhatikan keadaan Sekar Mirahpun menjadi cemas. Ia tidak akan dapat mempengaruhi perasaan Sekar Mirah dengan cara seperti yang telah dilakukannya, karena ternyata keliaran lawannya benar-benar terasa sangat mengerikan bagi Sekar Mirah.

Namun ia tidak dapat berbuat terlalu banyak Ternyata lawanyapun adalah seorang yang luar biasa.

Ketika Ki Waskita berusaha meningkatkan ilmunya, maka lawanyapun telah berbuat serupa. Bahkan kemudian terasa, betapa ilmu lawannya menjadi sangat berbahaya bagi Ki Waskita.

”Ada yang tidak wajar,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Sebenarnyalah bahwa lawannya telah mempergunakan ilmunya yang tidak banyak dikenal. Ki Waskita yang berusaha untuk menghindari setiap serangan, kadang-kadang merasa dadanya bagaikan dihentakkan oleh kekuatan yang tidak terduga.

Namun akhirnya Ki Waskita yang mengamati tata gerak lawannya, dapat melihat kelebihan lawannya. Serangannya yang sebenarnya telah mendahului gerak tangan atau kakinya. Lawannya mampu menyentuh tubuhnya pada jarak dua tiga tapak tangan, sehingga betapa Ki Waskita berusaha menghindar, namun kadang-kadang terasa juga serangan lawannya menghantam tubuhnya, sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.

”Ilmu yang mendebarkan,” jawab Ki Waskita di dalam hatinya.

Beberapa kali Ki Waskita mencoba meyakinkan dirinya, apakah dugaannya itu benar. Namun akhirnya ia mengambil kesimpulan, sebenarnyalah lawannya mempunyai ilmu yang sukar dicari bandingnya.

Sentuhan serangannya ternyata telah menghantam lawannya pada saat tubuhnya belum tersentuh sasaran. Dengan demikian, maka lawannya akan selalu terlambat menghindar. Lawannya yang menduga, bahwa serangan itu masih berjarak dua tiga tapak tangan, ternyata dadanya telah terasa seakan-akan retak karenanya.

Karena itulah, maka Ki Waskita yang berusaha mengimbangi kecepatan lawannya, beberapa kali telah terjebak. Ia terlambat menghindar dan menangkis, sehingga serangan lawannya beberapa kali telah menghantam dada dan lambungnya.

Hanya karena Ki Waskita memiliki kemampuan dan daya tahan yang luar biasa sajalah, maka ia masih tetap mampu bertempur.

Pengalaman dan pengenalannya atas lawannya, telah membuatnya memperhitungkan setiap kemungkinan. Meskipun mula mula ia berkesulitanuntuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya yang ternyata lebih cepat dari tangkapan mata wadagnya, namun dengan sungguh-sungguh ia berusaha.

Akhirnya Ki Waskitapun dapat mengetahui bahwa lawannya memang memiliki kemampuan untuk mengelabui tangkapan mata wadag lawannya, sehingga dengan demikian, lawannya tidak akan dapat berbuat banyak untuk menghindar atau menangkis serangannya.

Tetapi yang bertempur melawannya adalah Ki Waskita. Setelah ia mengetahui kelebihan ilmu lawannya, maka iapun berusaha untuk mengimbanginya.

”Tanpa berbuat sesuatu di luar kemampuan wadag, aku akan dihancurkan sampai lumat,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Karena itulah, maka Ki Waskita yang memiliki kemampuan untuk membuat bentuk dan bayangan semu itu mulai mempertimbangkan untuk mengimbangi ilmu lawannya dengan ilmunya itu.

Karena itu, maka sejenak kemudian, dengan kemampuan ilmunya, Ki Waskita telah mencoba mengelabui lawannya, dengan membuat dirinya seolah-olah berada di tempat yang lain dari tempatnya yang sebenarnya.

Itulah sebabnya, maka untuk beberapa saat, serangan lawannyapun tidak mengenai sasaran. Justru sebaliknya, pada saat-saat lawannya tersesat mengarahkan serangannya, Ki Waskitalah yang menyerangnya dengan garangnya.

Beberapa kali Ki Waskitalah yang justru berhasil. Namun agaknya lawannyapun memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Beberapa kali ia terdorong jatuh, dan bahkan berguling di atas pasir dan batang-batang ilalang. Namun ia masih mampu meloncat berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi ternyata bahwa lawannyapun memiliki penglihatan batin yang tajam. Setelah beberapa kali ia mengalami kegagalan, maka iapun menggeram, ”Kau licik Ki Sanak. Kau bersembunyi di balik satu permainan yang curang tanpa mengenal malu.”

Ki Waskita yang sudah mengambil jarak dari lawannya itupun bertanya, ”Kenapa kau menuduh demikian?”

”Kau mencoba bermain dengan ilmu sihir,” sahut lawannya.

”Aku bukan tukang sihir. Aku tidak mampu melakukannya,” jawab Ki Waskita.

”Tetapi kau dapat mengelabui aku. Kau berdiri di tempat yang bukan sebenarnya menurut penglihatanku,” orang yang disebut Ki Lurah itu hampir berteriak.

”Maaf Ki Sanak. Aku tidak merasa berbuat curang dan licik. Aku hanya ingin mengimbangi kemampuanmu yang jarang dijumpai di dunia petualangan olah kanuragan. Kau mampu mengelabui mata wadagku juga,” berkata Ki Waskita.

”Tetapi jangan kau kira, bahwa kau dapat mengelabui aku terus menerus. Setelah aku menyadari keadaanku dan keadaanmu, maka akupun mampu menembus tirai bayangan semumu. Aku akan dapat melihat, dimana kau sebenarnya berdiri, meskipun mata wadagku masih akan dapat dikaburkan. Tetapi dengan segera mata hatiku akan dapat menunjukkan kepadaku,” sahut orang yang disebut Ki Lurah itu.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia percaya bahwa orang itu tentu memiliki kemampuan untuk melihat di balik tirai ilmunya. Namun iapun kemudian berkata, ”Baiklah Ki Sanak. Kau mungkin sekalli akan dapat melihat yang sebenarnya kau hadapi. Tetapi akupun akan mampu memperhitungkan kemampuan sentuhan seranganmu yang seakan-akan mendahului gerak tubuhmu.”

Orang itu menggeram. Namun ia tidak menjawab lagi. Tiba-tiba ia meloncat menyerang dada Ki Waskita.

Tetapi Ki Waskita telah bersiap menghadapinya. Iapun kemudian dengan tangkasnya meloncat menghindar sebelum serangan orang itu mencapai jarak tiga kali sepanjang tapak tangannya.

Dengan demikian maka serangan itu tidak mengenai sasarannya. Tetapi ia cepat berkisar. Ketika ia melihat Ki Waskita meloncat ke samping sementara ia melihat seorang lagi tegak berdiri, maka ia sadar, bahwa ia harus melihat, yang manakah yang harus diserangnya.

Meskipun akhirnya orang itu mengetahui juga, tetapi ia memerlukan waktu sekejap. Dan yang sekejap itu memberi kesempatan kepada Ki Waskita untuk mempersiapkan d ri menghadapi serangan lawannya yang masih saja membuatnya agak bingung dan tergesa-gesa.

Dengan demikian, maka kecepaan bergerak orang yang disebut Ki Lurah itu telah terganggu. Meskipun sentuhan serangannya dapat melampaui penglihatan wadag lawannya, namun setiap kali iapun harus memilih, sasaran yang juga membingungkan. Ia harus membedakan yang manakah Ki Waskita yang sebenarnya dan yang hanya bayangan semunya saja.

Karena itulah, maka pertempuran antara kedua orang yang memiliki kelebihan ilmunya masing-masing itu menjadi semakin dahsyat. Keduanya kadang-kadang harus termangu-mangu. Namun kemudian serangan demi serangan meluncur dengan derasnya. Bahkan semakin lama semakin sering menyentuh lawan. Tetapi karena ketahanan tubuh keduanya, maka sentuhan-sentuhan itu seakan-akan tidak banyak berpengaruh terhadap mereka.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Ki Waskita dengan orang yang disebut Ki Lurah itu tidak segera dapat diketahui siapakah yang.akan menang dan siapakah yang akan kalah, sementara kegelisahan Ki Waskitapun menjadi semakin meningkat karena keadaan Sekar Mirah.

Swandaru yang sudah berhasil melukai seorang lawannya, berusaha untuk mendesak terus. Tetapi ternyata kedua lawannyapun menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak ingin terjerat kedalam putaran cambuk Swandaru, sehingga karena itulah, maka keduanyapun berusaha selalu membuat jarak. Jika serangan Swandaru mengarah kepada salah seorang dari keduanya, maka yang lain dengan cepat berusaha membebaskannya.

Betapapun kesabaran Swandaru menjadi semakin tipis, namun ia tetap berusaha untuk tidak kehilangan akal. Ternyata lawannya yang terluka itupun masih mampu bertahan dan bahkan menyerang.

Ketika Swandaru terpaksa meloncat ke samping karena serangan lawannya justru pada saat ia memburu lawannya yang terluka, maka ia telah dikejutkan oleh keluhan tertahan. Sekilas ia berusaha untuk melihat, apa yang terjadi.

Sebenarnyalah jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang lawan Pandan Wangi terhuyung-huyung.

Ternyata Pandan Wangi yang memiliki kekuatan di luar pengenalannya sendiri sebelum ia terlibat dalam pertempuran itu, telah berhasil mempergunakan sebaik-baiknya. Setiap kali ia memang berusaha untuk membenturkan senjatanya. Sehingga dalam benturan yang kuat senjata lawannya itu telah terlepas.

Pandan Wangi tidak mau terlambat lagi. Sekejap kemudian pedang di tangan kirinya sudah terjulur lurus mengarah ke dada orang yang kehilangan senjatanya itu.

Orang itu masih berusaha untuk mengelak. Ia memiringkan tubuhnya. Namun ia terlambat. Ujung pedang Pandan Wangi ternyata telah berhasil menyayat dadanya meskipun tidak langsung menembus jantung.

Tetapi Pandan Wangi tidak sempat memburunya. Lawannya yang lain dengan tangkas telah berteriak sambil menyerangnya, sehingga dengan demikian Pandan Wangi harus meloncat menghindar selangkah.

Lawannya yang seorang itulah yang justru memburunya. Ketika Pandan Wangi bergeser, sekali lagi lawannya itu berteriak dan mengayunkan senjatanya dengan sekuat tenaganya.

Pandan Wangi melihat senjata itu terayun. Tetapi sekali lagi ia ingin meyakinkan kemampuannya. Ia sadar bahwa kali ini lawannya telah mengerahkan segenap kemampuan dan tenaganya Bahkan tenaga cadangannya.

Yang terjadi kemudian adalah benturan yang dahsyat. Swandaru dan Ki Waskita berhasil melihat sepintas apa yang terjadi.

Pandan Wangi yang sengaja membentur tenaga lawannya telah menyilangkan sepasang pedangnya. Sementara lawannya yang percaya akan kekuatan dirinya, telah sengaja pula membenturkan senjatanya.

Sepercik bunga api meloncat di udara. Terasa sepasang tangan Pandan Wangi menjadi pedih. Tetapi ia masih tetap menggenggam pedangnya dengan erat. Bahkan ia masih sempat memutar sepasang pedangnya dengan cepatnya.

Putaran pedang Pandan Wangi itu tidak diduga sama sekali oleh lawannya. Ketika benturan itu terjadi, seperti Pandan Wangi, terasa tangannya menjadi sakit. Terlalu sakit, sehingga hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya.

Namun sebelum ia berhasil memperbaiki keadaan itu, senjatanya serasa telah direnggut oleh putaran yang kuat sekali, sehingga ia tidak mampu lagi untuk bertahan.

Demikian senjata lawannya itu terlepas dari tangan, maka Pandan Wangi telah meloncat dengan cepatnya. Pedangnya tidak terjulur dan mematuk tubuh lawan, tetapi kali ini senjatanya terayun mendatar.

Lawannya masih berusaha menghindar. Tetapi ternyata Pandan Wangi bergerak lebih cepat. Meskipun tangannya masih terasa pedih, tetapi ujung senjatanya telah berhasil menyobek lambung lawannya

Yang terdengar kemudian adalah sebuah keluhan panjang. Orang yang tersayat lambungnya itupun kemudian terjatuh di tanah.

Sementara itu. orang yang dadanya terluka itupun masih berusaha untuk meraih senjatanya yang terlepas. Tetapi demikian ia berhasil menggapai hulu senjatanya, iapun telah terjatuh pula dengan lemahnya.

Sejenak Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Dipandanginya dua sosok tubuh yang terbaring diam. Ia memalingkan wajahnya ketika terlihat olehnya darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh yang terbujur diam itu.

Terasa jantung Pandan Wangi bergetar semakin cepat. Kematian itu memang mengerikan meskipun pembunuhan itu bukan baru pertama kali dilakukannya.

Kematian kedua orang itu sangat mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Meskipun Pandan Wangi tidak segera berbuat sesuatu, tetapi pengaruh itu terasa langsung pada kawan-kawannya. Dua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itu tiba-tiba saja telah tidak berteriak-teriak lagi. Agaknya merekapun berpikir, apakah yang kemudian akan dilakukan oleh Pandan Wangi. Jika perempuan itu kemudian berusaha untuk memisahkan sepasang tukang satang itu, sehingga mereka harus bertempur seorang melawan seorang, maka akibatnya sudah dapat dibayangkannya.

Belum lagi tukang satang itu menemukan satu cara untuk menyelamatkan diri sendiri, terdengar sekali lagi pekik kesakitan menyusul satu ledakan cambuk yang dahsyat. Meskipun mereka tidak melihat, tetapi mereka dapat membayangkan, satu dari lawan Swandaru tentu telah terluka pula. Bahkan mungkin terbunuh. Mungkin orang yang memang sudah terluka sebelumnya, tetapi mungkin pula yang seorang lagi.

Kedua tukang satang itu tidak berpikir lebih panjang lagi. Dengan isyarat yang hanya dapat mereka mengerti, merekapun telah bersiap untuk melarikan diri.

Namun dalam pada itu. selagi mereka meloncat menjauhi Sekar Mirah yang hampir saja kehabisan akal untuk mengatasi kengeriannya atas tingkah laku kedua lawannya, tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda yang dengan cepat mendekat. Bahkan sebelum kedua tukang satang itu berbuat sesuatu, sekelompok orang berkuda telah mengepung mereka yang sedang bertempur.

”Letakkan senjata kalian,” terdengar salah seorang penunggang kuda itu memerintahkan.

Hampir tanpa disadari oleh mereka yang sedang bertempur, maka merekapun telah berloncatan mundur menjauhi lawan masing-masing.

”Letakkan semua senjata,” sekali lagi terdengar perintah.

Orang-orang yang sedang bertempur itu menjadi termangu-mangu. Dua orang lawan Pandan Wangi sudah tidak bergerak lagi. Seorang lawan Swandarupun telah terbaring diam, sementara yang lain sudah terluka. Sementara kedua tukang satang itu nampaknya sudah tidak berniat untuk berbuat sesuatu.

”Apakah kalian tidak mendengar? Lletakkan senjata kalian,” salah seorang dari orang-orang berkuda itu memerintah semakin keras.

”Aku tidak bersenjata,” orang yang disebut Ki Lurah itulah yang menjawab.

”Semuanya yang memegang senjata,” penunggang kuda itu menegaskan.

”Mereka sudah tidak berdaya,“ desis Swandaru.

”Termasuk kau,” tiba-tiba penunggang kuda itu membentak.

Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang-orang berkuda itu sejenak. Kemudian katanya, ”Kami terpaksa membela diri menghadapi mereka.”

Tetapi orang yang disebut Ki Lurah itu tertawa. Katanya, “Siapa pun dapat mengatakan, bahwa dirinya sedang mempertahankan hidupnya dari serangan orang lain. Akupun dapat mengatakan demikian. Tiga kawanku telah dibunuh tanpa aku ketahui sebab-sebabnya. Sementara anak itu sedang menyusun alasan untuk memutar balik kan keadaan.”

”Licik,” geram Swandaru.

”Kawan-kawanku telah terbunuh,” desis orang yang disebut Ki Lurah.

”Jangan banyak bicara. Letakkan senjata kalian, dan ikuti kami menghadap Ki Lurah.”

”Sudah aku katakan, aku tidak bersenjata. Biarlah mereka yang bersenjata meletakkan senjata mereka,” jawab orang yang disebut Ki Lurah.

”Cepat, sebelum kami mengambil sikap,” bentak orang bertubuh tinggi kekar yang agaknya menjadi pemimpin orang-orang berkuda itu.

Swandaru termangu-mangu sejenak. Agaknya pemimpin dari orang-orang berkuda itu memandanginya dengan tajamnya.

”Siapakah kalian?” tiba-tiba saja Swandaru bertanya.

”Kami pengawal dari Mataram. Kami mendapat laporan bahwa disini telah terjadi pertengkaran dan kemudian perkelahian, ketika kami sedang nganglang lewat daerah ini,” jawab pemimpin orang-orang berkuda itu, ”ternyata yang kami jumpai disini adalah kalian. Karena itu, tanpa menyebut siapa yang bersalah, kalian semuanya menjadi tawanan kami. Kalian akan kami bawa sebagai tawanan tanpa kecuali, bersalah atau tidak bersalah. Karena perkelahian ini sendiri telah menumbuhkan kegelisahan dan kecemasan.”  

”Ki Sanak,” berkata Swandaru kemudian, ”aku telah mempertahankan diriku dengan senjataku ini. Demikian pula istri dan adikku. Sementara pamanku telah bertempur tanpa senjata di tangan.”

”Siapapun kalian dan apapun yang telah kalian lakukan, jangan membantah. Kami dapat bertindak atas nama kekuasaan Mataram,” jawab pemimpin orang-orang berkuda yang menyebut dirinya pengawal dari Mataram.

Swandaru yang baru saja dipanasi oleh keadaan itupun rasa-rasanya masih terpengaruh oleh luapan panas jantungnya. Karena itu maka jawabnya, ”Kami telah mempertahankan hidup kami dengan senjata kami. Karenanya kami akan mempertahankan senjata kami, siapa pun kalian.”

”Gila,” pemimpin orang-orang berkuda itu hampir berteriak, ”kau berani menentang kekuasaan Mataram?”

“Aku tidak bermaksud menentang kekuasaan Mataram. Tetapi aku hanya sekedar mempertahankan milik kami. Orang-orang ini akan merampok dan menyamun milik kami. Kami telah mempertahankan dengan senjata kami. Sekarang kalian ingin merampas senjata kami. Kami tidak tahu. apa yang akan kalian lakukan kemudian. Jika ternyata kalianpun ingin berbuat sesuatu atas kami, maka tanpa senjata, kami akan cepat kalian kuasai,” jawab Swandaru.

”Jadi kalian tidak mau meletakkan senjata?” ancam orang berkuda itu.

Orang yang disebut Ki Lurah itupun tertawa pendek pula sambil menjawab, ”Sudah aku katakan. Aku tidak bersenjata. Seandainya aku bersenjata, maka aku akan dengan senang hati melakukannya.”

”Siapapun yang bersenjata, harus meletakannya,” pemimpin orang berkuda itu membentak.

Swandaru akan menjawab, tetapi Ki Waskitalah yag mendahuluinya, ”Ki Sanak, para pengawal dari Mataram. Kami mengucapkan terima kasih, bahwa kalian datang tepat pada waktunya, pada saat kami harus bertempur melawan sekelompok penjahat yang ingin merampok kami.”

”Di pihak mana kau berdiri?” bertanya salah seorang dari orang-orang berkuda.

”Aku adalah orang yang disebut paman oleh anak muda yang bersenjata cambuk itu. Aku bertempur di pihaknya,” jawab Ki Waskita, ”nah, aku mohon untuk dapat melanjutkan keteranganku. Sebaiknya kalian bertanya kepada kami, siapakah kami masing-masing.”

Para pengawal dari Mataram itu termangu-mangu. Nampaknya orang yang disebut paman itu dapat memberikan beberapa keterangan yang berguna.

”Ki Sanak,” berkata Ki Waskita selanjutnya, ”jika Ki Sanak ingin mengetahui namaku, aku adalah Ki Waskita. Sementara anak-anak muda itu adalah anak-anak dari Sangkal Putung.”

Para pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu, terdengar orang yang disebut Ki Lurah itu tertawa berkepanjangan. Katanya, ”Aku kadang-kadang merasa terhina jika seorang laki-laki sudah mulai ingkar akan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin Ki Sanak dapat menyebut anak-anak muda itu anak-anak Sangkal Putung. Apakah kau kira, aku tidak mengenal anak-anak muda Sangkal Putung.”

Wajah Swandaru menjadi merah mendengar kata-kata itu. Dengan serta merta ia berteriak, ”Licik sekali. Aku adalah anak Demang Sangkal Putung.”

Tetapi Ki Lurah itu tertawa semakin keras. Katanya, ”Kau memiliki kemampuan yang tinggi untuk berpura-pura. Bahkan hampir pasti, bahwa kau benar-benar anak Demang Sangkal Putung. Tetapi hanya kelinci-kelinci yang bodoh sajalah yang percaya, bahwa kau adalah Swandaru. Meskipun kau menyebut namamu seratus kali dengan sebutan Swandaru, tetapi jangan kau kira bahwa para pengawal Mataram belum pernah mengenalnya. Anak muda bercambuk dari Sangkal Putung itu sudah dikenal oleh semua pengawal, perwira, bahkan Senapati Ing Ngalaga sendiri. Karena itu, apalah artinya kau dan kedua orang yang besertamu itu. Apalagi orang tua yang menyebut dirinya bernama Waskita ini.”

”Gila, licik,” geram Swandaru.

Namun Ki Waskitalah yang kemudian menyahut, ”Kau benar Ki Sanak yang disebut Ki Lurah. Anak Demang Sangkal Putung itu memang sudah dikenal dengan baik oleh sebagian besar para pengawal di Mataram. Tetapi sudah barang tentu tidak semuanya. Ada juga para pengawal dan bahkan para senapati yang belum mengenalnya. Tetapi para senapati yang dekat dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, meskipun belum jelas benar, tentu sudah pernah barang satu dua kali melihat atau setidak-tidaknya mendengar serba sedikit tentang anak muda bercambuk dari Sangkal Putung.”

”Omong kosong,” orang yang disebut Ki Lurah itu membentak.

”Jangan gelisah,” sahut Ki Waskita.

”Diam semuanya,” pengawal berkuda itulah yang membentak, ”akulah yang mengambil keputusan. Aku perintahkan sekali lagi, semua senjata diletakkan.”

Tetapi Ki Waskita cepat memotong, ”Aku mohon untuk diijinkan memberikan penjelasan serba sedikit.” Ia berhenti sejenak. Tetapi karena pemimpin pengawal itu tidak menyahut, maka iapun melanjutkan, “Cobalah Ki Sanak memperhatikan. Apakah Ki Sanak pernah mengenal atau setidak-tidaknya mendengar serba sedikit, tentang anak muda bercambuk dari Sangkal Putung.”

”Aku tidak peduli,” teriak pemimpin pengawal itu, ”kalian harus mendengar dan melakukan perintahku, siapapun kalian.”

Ki Waskita menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya para pengawal itu benar-benar tidak mau mendengarkan keterangannya. Namun Ki Waskita masih mencoba berkata, ”Sebaiknya Ki Sanak jangan berbuat kesalahan yang dapat mengganggu nama baik Mataram sendiri. Jika kami harus menghadap, biarlah kami menghadap, bukan saja senapati pengawal yang sedang bertugas di daerah ini, tetapi biarlah kami menghadap Senapati Ing Ngalaga.”

Yang terdengar adalah suara tertawa orang yang disebut Ki Lurah. Katanya, ”Kau memang dapat berkata vang aneh-aneh.”

”Cukup,” bentak pemimpin pengawal itu, ”sekali lagi aku menjatuhkan perintah. Letakkan senjata. Perintah ini adalah perintah yang terakhir. Jika kalian tidak bersedia, maka kalian akan kami tuduh melawan kekuasaan Mataram, sehingga dengan demikian, kami akan bertindak dengan kekerasan.”

”Yang ada di tangan kami bukan sembarang senjata,” jawab Swandaru, ”tetapi adalah senjata khusus yang tidak akan dapat berpisah dengan diri kami masing-masing, selagi kami masih mampu menggenggamnya.”

”Gila,” geram pemimpin pengawal itu. “Kami dapat mengambil tindakan apapun. Kami dapat membunuh kalian tanpa dikenakan tuntutan sama sekali, karena kalian telah melawan para petugas dari Mataram, yang sedang menjalankan kewajibannya.”

”Apa boleh buat,” Swandaru menyahut dengan nada yang meninggi, “siapapun kalian, kami akan mempertahankan senjata kami.”

Para pengawal itu tidak dapat menahan diri lagi. Merekapun segera mempersiapkan diri. Mereka menambatkan kuda mereka pada batang-batang perdu.

”Kalian telah melakukan satu kesalahan yang besar. Kalian tidak akan dapat melepaskan diri dari kekuasaan Mataram dengan cara apapun juga.”

”Kalian telah mempergunakan kekuasaan yang ada pada kalian dengan berlebih-lebihan,” jawab Swandaru, ”jika kalian bertindak wajar dan membiarkan kami membawa senjata-senjata kami menghadap, maka kalian tidak akan mengalami nasib seburuk orang-orang yang terkapar di atas pasir itu.”

”Persetan. Kau terlalu sombong,” geram pemimpin pasuken berkuda itu, ”kalianlah yang akan mati. Jika kalian terlepas dari tangan kami, maka seluruh Mataram akan mengejar kalian kemanapun kalian pergi. Bahkan seandainya kalian benar-benar orang Sangkal Putung, maka Sangkal Putung akan dikepung dan kalian tidak akan terlepas.”

”Jangan mengurai persoalan ini sampai menjamah masalah yang tidak kau ketahui dengan pasti,” berkata Ki Waskita, ”di daerah selatan ada seorang senapati besar yang bernama Untara. Jika pasukan Mataram masuk sampai ke Sangkal Putung, itu berarti bahwa kalian akan berhadapan dengan Untara. Namun seandainya tidak, Mataram tidak akan berbuat apa-apa terhadap Sangkal Putung, yang kebetulan ada di jalur lurus antara Pajang dan Mataram.”

”Gila. Kalian sudah gila,” pemimpin prajurit itu berteriak. Ia memang tidak begitu memperhatikan perkembangan keadaan terakhir, karena ia lebih banyak menjalankan perintah daripada bertindak atas sikap sendiri dalam hubungannya dengan Pajang.

Tetapi ketegangan itupun menjadi semakin memuncak, agaknya para pengawal itu berkeras hati untuk merampas senjata yang dibawa oleh setiap orang yang terlibat di dalam perkelahian itu tanpa meneliti persoalan itu sendiri. Namun agaknya Swandaru yang memiliki sebuah cambuk yang khusus, serta Sekar Mirah yang membawa tongkat baja peninggalan gurunya itupun akan berkeberatan.

Dalam pada itu, pemimpin pengawal itupun berkata, ”Jangan menganggap kami terlalu bodoh. Kami tahu siapa Untara. Tetapi kamipun tahu bahwa Untara bukannya orang yang tidak dapat diajak bicara. Jika ia mengetahui persoalannya, maka pasukannya tentu akan membantu kami menangkap kalian di Sangkal Putung, seandainya benar kalian adalah orang-orang Sangkal Putung.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa para pengawal itupun tidak melakukan tindakan itu karena pertimbangan pribadi, tetapi mereka benar-benar berusaha melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Namun Ki Waskita pun mengetahui, bahwa Swandaru, Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak akan dengan suka rela menyerahkan senjata-senjata mereka, yang telah mereka terima dari guru mereka masing-masing.

Tetapi Ki Waskita tidak dapat berbuat sesuatu untuk meredakan ketegangan itu. Ia sudah berusaha, tetapi nampaknya usahanya tidak berhasil.

Dalam pada itu, maka sekali lagi pemimpin prajurit itu meneriakkan perintah, ”Kesempatan terakhir. Aku sudah sampai ke ujung kesabaran.”

Swandarulah yang menjawab sambil berteriak pula, “Kami tidak akan melawan. Tetapi kami berkeberatan untuk menyerahkan senjata kami. Jika kalian kehendaki, kami akan menghadap Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga. Karena sebenarnyalah bahwa Senapati ing Ngalaga mengenal kami.”

”Siapapun kalian, kalian harus tunduk kepada perintahku. Meletakkan senjata, dan mengikut kemana kalian harus menghadap,” geram pemimpin pengawal itu.

”Aku berkeberatan,“ jawab Swandaru.

”Jika demikian, kami akan memaksa,” geram pemimpin pengawal itu, ”tidak ada jalan lain. Jika kalian kemudian harus kami tangkap mati, itu bukan salah kami.”

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja kedua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itu melemparkan senjatanya sambil berteriak, ”Aku telah melepaskan senjata.”

”Minggirlah. Hanya orang-orang yang keras kepala saja yang harus dipaksa dengan kekerasan,” geram pemimpin pengawal yang perhatiannya telah tertumpah kepada Swandaru.

Tetapi Swandaru yang marah itupun menyahut tanpa mengendalikan kata-katanya, ”Senjataku sudah di tangan. Aku akan mempertahankan dengan senjata ini pula.”

Pemimpin pengawal itu tidak menjawab. Ia maju selangkah. Namun pedangnyapun telah digenggamnya pula.

Karena itu, maka kedua belah pihakpun segera bersiap. Pandan Wangi masih menggenggam pedangnya yang merah karena darah. Sementara ujung cambuk Swandaru telah mulai bergetar pula.

Ki Waskita menjadi cernas. Jika kedua belah pihak benar-benar tidak dapat mengendalikan diri, maka keadaan akan menjadi semakin gawat. Apalagi jika kemudian akan jatuh korban.

Menurut pengamatan Ki Waskita, orang-orang yang datang itu benar-benar para pengawal Mataram, Mungkin mereka orang-orang baru, mungkin orang-orang yang untuk waktu yang lama bertugas di tempat yang terpisah, atau karena sebab-sebab lain, sehingga mereka tidak pernah bertemu dan mengenal anak-anak muda Sangkal Putung itu.

Tetapi Ki Waskita tidak dapat berbuat sesuatu. Para pengawal itu telah mengepung Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Dalam pada itu, orang-orang yang mencegat mereka ternyata telah bergeser menepi. Mereka telah melemparkan senjata mereka, sehingga para pengawal dari Mataram itu tidak banyak menghiraukan mereka.

Ternyata benturan kekerasan tidak dapat dihindari lagi. Ketika para pengawal itu mendekat, cambuk Swandaru telah meledak dengan kerasnya.

Di antara para pengawal itu memang ada yang pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk yang dikenal oleh para perwira pengawal Mataram, Tetapi karena menurut pendengaran mereka, orang orang bercambuk itu hanyalah anak kademangan, maka sudah sewajarnya jika mereka harus tunduk kepada perintah para pengawal yang akan membawa mereka menghadap pemimpin kelompok mereka.

Agaknya para pengawal itu benar-benar hanya memerhatikan mereka yang bersenjata. Namun karena Ki Waskita telah mengaku berdiri di pihak anak-anak Sangkal Putung itu, maka para pengawalpun telah melibatkannya ke dalam pertempuran itu pula.

Ki Waskita tidak dapat mengelak lagi. Ia harus menghadapi para pengawal yang berusaha menangkapnya. Meskipun ia masih membatasi tata geraknya pada usaha untuk mengelakkan setiap serangan.

Namun pengawal yang jumlahnya berlipat dari jumlah anak-anak Sangkal Putung dan Ki Waskita itu, untuk beberapa saat mampu membatasi gerak dan perlawanan mereka di dalam lingkaran kepungan yang rapat.

Namun ternyata ledakan cambuk Swandaru, putaran pedang rangkap Pandan Wangi dan ayunan tongkat Sekar Mirah telah mampu mendesak lingkaran kepungan itu sehingga menjadi semakin luas. Para pengawal itu ternyata tidak dapat bertahan pada kepungan mereka. Di luar dugaan bahwa anak-anak Sangkal Putung itu telah memberikan perlawanan yang sengit.

”Gila,” geram pemimpin pengawal itu, ”kau benar-benar telah memberontak.”

”Memberontak terhadap siapa?” geram Swandaru yang marah.

”Kepada Mataram,” jawab pemimpin pengawal itu.

”Aku orang Sangkal Putung. Apakah Sangkal Putung berada di bawah kekuasaan Mataram?” bertanya Swandaru yang marah tanpa memikirkan makna dari kata-katanya, “jika kau menganggap kami memberontak terhadap Mataram, maka kau sudah menyentuh kekuasaan Pajang.” 

Tetapi kata-kata itu cukup menggetarkan jantung pemimpin pengawal itu. Sebelumnya ia tidak memikirkan, batapa kekuasaan Mataram dan Pajang.

Namun sudah terlanjur, para pengawal telah mengepung anak-anak dari Sangkal Putung serta Ki Waskita. Karena itu, bagaimanapun juga, para pengawal itu tidak akan menarik diri.

Bahkan pemimpin pengawal itu kemudian berkata, ”Kau sekarang berada di tlatah Mataram. Siapapun kau, maka kau harus tunduk kepada ketentuan yang berlaku. Jika tingkah lakumu didengar oleh para prajurit Pajang, maka kau akan dihukum karena kau telah mencemarkan nama baik Pajang di Mataram.”

Swandaru menggeretakkan giginya. Karena itu, maka cambuknyapun telah meledak semakin keras.

Sementara itu Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun tidak ingin meletakkan senjata mereka. Senjata yang mereka dapatkan dari orang-orang yang mereka hormati. Bahkan Pandan Wangi telah mendapat sepasang pedang rangkapnya bukan saja dari gurunya, tetapi juga ayahnya.

Ternyata para pengawal dari Mataram itu tidak segera mampu menguasai anak-anak dari Sangkal Putung itu. I.edakan cambuk Swandaru telah membuat kepungan itu semakin lama semakin longgar. Sekali-sekali ujung sepasang pedang Pandan Wangi telah mendorong lawannya meloncat surut. Sementara ayunan tongkat Sekar Mirah yang berdesing mengerikan, telah mengejutkan lawannya, sehingga mereka telah berloncatan mundur.

Namun dalam pada itu, selagi pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya, telah terdengar suara tertawa yang berkepanjangan. Ki Waskita-lah yang kemudian melihat, orang yang disebut Ki Lurah itu ternyata telah mengambil satu langkah yang mengejutkan.

Seorang pengawal Mataram yang menjaganya, telah terlempar dengan kerasnya di atas tepian yang ditumbuhi batang ilalang itu. Yang terdengar adalah jerit yang panjang. Namun ketika jerit itu terputus, maka pengawal itu sudah tidak bernyawa lagi.

”Gila,” geram Ki Waskita, ”kalian telah berbuat satu kesalahan. Orang itu melarikan diri.”

Para pengawal itu termangu-mangu. Namun ketika Ki Waskita bergerak setapak, pengawal itu mengacukan senjatanya, ”Jangan membunuh diri.”

Tidak seorangpun yang mengetahui, apa yang telah terjadi. Tapi dua orang di antara pengawal yang mengepung anak-anak Sangkal Putung dan Ki Waskita itupun terdorong dengan keras dan jatuh menelentang. Pada saat itu Ki Waskita telah meloncat mengejar orang yang disebut Ki Lurah itu.

Beberapa saat, kedua belah pihak menjadi termangu-mangu. Para pengawal Mataram itu telah terpukau oleh peristiwa yang berturut-turut terjadi di luar kemampuan pengamatan mereka.

Mereka tidak mengerti, bagaimana seorang di antara mereka yang mengawasi orang yang menyatakan diri tidak bersenjata, dan yang nampaknya sama sekali tidak ingin melawan itu telah terlempar dan terbunuh. Sedang dua orang di antara mereka yang mengepung dengan rapat, telah terdorong jatuh tanpa sempat berbuat sesuatu, sehingga salah seorang di antara mereka yang terkepung sempat berlari meninggalkan lingkaran kepungan itu.

Ki Waskita benar-benar tidak ingin kehilangan orang yang disebut Ki Lurah itu. Karena itulah, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya pada langkah kakinya. Karena itulah, maka tubuhnya seolah-olah telah meluncur tanpa menyentuh tanah karena dorongan tenaga cadangannya.

Tetapi Ki Lurah itupun orang yang luar biasa pula. Iapun mampu berlari secepat langkah Ki Waskita. Karena itu, maka jarak di antara mereka berdua sama sekali tidak menjadi semakin pendek.

Beberapa lamanya mereka bekejaran di tepian yang panjang. Mereka menyusup di antara batang ilalang kemudian muncul di atas pasir yang membentang sepanjang sungai yang berair keruh itu.

Namun ternyata Ki Waskita tidak berhasil mengejarnya. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun jarak di antara mereka tidak menjadi semakin pendek.

Dalam pada itu, beberapa orang yang berada di tempat penyeberangan terkejut melihat bayangan yang bagaikan terbang di atas pasir. Sekilas lewat. Namun kemudian hilang di dalam rimbunnya batang ilalang.

Namun akhirnya Ki Waskitapun menghentikan langkahnya. Ia menyadari kenyataan yang dihadapinya, bahwa ia tidak akan dapat mengejar orang yang berlari itu.

Karena itu, maka ia lebih baik kembali saja kepada anak-anak Sangkal Putung yang masih belum diketahui, apakah yang terjadi pada mereka, karena orang-orang Mataram itu nampaknya tidak berhasil diajak berbicara dengan baik.

Oleh kegelisahan itu, maka Ki Waskitapun kemudian berlari lagi kembali karena pertempuran yang ditinggalkannya.

Untuk sesaat para pengawal dari Mataram itu masih dicengkam oleh peristiwa yang terjadi dengan tiba tiba itu. Ketika ia berpaling dilihatnya dua orang dari Gunung Sepikul dan seorang lagi yang telah terluka oleh cambuk Swandaru duduk dengan tegangnya.

”Seorang kawanmu telah melarikan diri,” geram salah seorang pengawal, ”kau akan memikul akibat karenanya.”

Kedua tukang satang itu menjadi gemetar. Tetapi dua orang pengawal Mataram telah keluar dari kepungan untuk mengawasi nereka, agar tidak terjadi peristiwa seperti yang baru saja terjadi.

Sementara itu, Swandarupun berkata, ”Orang itu telah melarikan diri. Jika Ki Waskita tidak berhasil menangkapnya, maka kalian telah kehilangan sumber keterangan yang tidak ternilai harganya.”

Tetapi jawab pemimpin pengawal itu mengejutkan Swandaru, ”Kaulah yang bertanggung jawab. Jika kau tidak menentang perintahku, orang itu tidak akan sempat lari Dan seorang kawanku tidak terbunuh olehnya.”

Tiba-tiba saja darah Swandaru yang panas itu bagaikan menggelegak. Jawabnya dengan nada tinggi, ”Itu adalah kenyataan tentang kalian. Kalian tidak cukup mampu melibatkan diri dalam pertentangan ilmu kanuragan dalam tingkat tinggi. Dua orang kawanmu terdorong jatuh tanpa dapat menghalangi Paman meninggalkan kepungan ini.”

Kata-kata Swandaru itu membuat pemimpin pasukan pengawal dari Mataram itu semakin marah. Karena itu, maka jatuhlah perintahnya kepada para pengawal, ”Tidak ada ampun lagi bagi orang orang ini. Tangkap hidup atau mati.”

Kepungan itupun kemudian merapat lagi. Senjata-senjata mulai teracu dan seranganpun datang beruntun.

Namun cambuk Swandarupun menggelegar seperti guntur di langit. Semakin lama semakin cepat dan semakin keras. Ujungnya berputaran dan terayun-ayun mengerikan.

Sementara itu Pandan Wangi tidak mempunyai pilihan lain. Ia adalah istri Swandaru. Apapun yang dilakukan oleh Swandaru merupakan perintah pula baginya. Dengan demikian, ketika Swandaru bertempur semakin garang, maka pedang Pandan Wangipun semakin cepat berputar. Sepasang pedangnya kemudian berputar bergulung-gulung seperti segumpal asap beracun yang semakin lama menjadi semakin mendesak.

Di arah yang lain. Sekar Mirah memutar tongkat baja putihnya. Tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan di pangkal tongkat itu, kadang-kadang terayun pula dengan derasnva. Jika terjadi sentuhan senjata, maka Sekar Mirah sealu berhasil menyakiti tangan lawannya.

Karena itulah, maka kepungan orang-orang Mataram itu tidak dapat dipertahankan pada lingkaran yang sempit. Semakin lama tidak semakin ketat dan sempit, justru menjadi semakin longgar.

Ki Waskita yang berlari-lari kembali ke arena itupun akhirnya sampai juga. Dari kejauhan ia sudah melihat bahwa pertempuran di arena itu semakin lama justru menjadi semakin sengit.

Dengan tergesa-gesa Ki Waskita pun mendekat. Hampir berteriak ia berkata, ”Kenapa kalian masih bertempur? Kalian sudah kehilangan sumber keterangan yang paling berharga. Aku tidak berhasil menangkapnya.”

Pemimpin pasukan pengawal dari Mataram itu berteriak menyahut, ”Menyerahlah. Lebih baik kalian meletakkan senjata, daripada kalian harus mati.”

”Jika kalian berhasil membunuh kami, itu lebih baik,” teriak Swandaru pula, ”tetapi bagaimana jika kalian yang mati ? Mataram tidak akan dapat mengambil tindakan apa-apa terhadap kami. Apalagi jika kami sudah berada kembali di Sangkal Putung. Kami akan mohon perlindungan pasukan Pajang yang berada disekitar kademanganku.”

”Persetan,” pemimpin pengawal itu menggeram.

Serangannya menjadi semakin meningkat. Namun demikian kepungannya masih tetap tidak dapat dipersempit lagi. Justru serangan anak-anak muda Sangkal Putung itu semakin membadai, makakepungan itu menjadi semakin lama semakin longgar.

Ki Waskita yang menyaksikan pertempuran itu menjadi termangu-mangu. Ternyata para prajurit yang jumlahnya berlipat itu tidak mampu untuk segera menguasai ketiga anak Sangkal Putung itu. Bahkan cambuk Swandaru semakin lama menjadi semakin garang dan berbahaya.

”Jika terjadi sesuatu pada para pengawal itu, maka persoalannya akan menjadi semakin gawat. Mungkin kami benar-benar tidak akan dapat keluar dari Mataram, jika Raden Sutawijaya merasa tersinggung karenanya. Tetapi jika Raden Sutawijaya bertindak atas kami, maka pasukan Pajang di daerah Jati Anom tentu akan tersinggung pula. Apalagi Swandaru adalah saudara seperguruan Agung Sedayu, adik Untara,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Untuk beberapa saat ia berdiri saja mematung. Namun kemudian iapun berteriak nyaring, ”He, para pengawal. Aku di sini. Kenapa kalian tidak mempedulikan aku. Atau barangkali kalian menunggu aku berbuat sesuatu atas pasukan kalian dari luar kepungan?”

Pemimpin pengawal itu menggeram. Ternyata ia mulai merasakan kesulitan. Jika satu atau dua orangnya menyerang Ki Waskita, maka kepungan itu tentu akan segera pecah. Orang-orang Sangkal Putung itu tentu akan segera berhasil menembus lingkaran kepungan para pengawal Mataram, sehingga dengan demikian, mereka akan dapat berbuat semakin jauh.

Namun seandainya yang seorang dibiarkannya saja, ia tentu akan merupakan kekuatan yang ikut menentukan akhir dari pertempuran itu. Ia dapat saja menyerang kepungan itu dari arah luar, sementara dari dalam, ketiga orang itu seolah-olah gemuruhnya gelombang yang berurutan menghantam tebing. Semakin lama menjadi semakin aus.

Demikian pula pertahanan para pengawal yang bertempur di dalam lingkaran kepungan itu. Kekuatan ilmu merekapun tidak lebih baik dari ketiga orang yang dikepungnya.

Yang paling cemas kemudian adalah Ki Waskita. Nampaknya Swandaru benar-benar marah karena telah tersinggung harga dirinya untuk menyerahkan senjata. Karena itulah, maka iapun bertempur dengan sungguh-sungguh. Tidak ada lagi usahanya untuk mengendalikan diri. Jika lawannya itu lengah, maka ujung cambuknya akan benar-benar merobek dadanya.

”Persoalan ini tidak boleh berkepanjangan,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Tetapi agaknya para pengawal dari Mataram maupun Swandaru sudah terlalu sulit untuk berbicara.

Untuk beberapa saat Ki Waskita hanya dapat memperhatikan pertempuran itu. Para pengawal dari Mataram itupun agaknya sudah kehilangan pertimbangan dan perhitungan. Tidak seorangpun di antara mereka yang menghiraukannya. Mungkin karena kekuatan mereka sangat terbatas, tetapi mungkin karena ia sendiri tidak berbuat sesuatu.

Sekilas diperhatikannya dua orang yang mengawasi orang-orang Gunung Sepikul dan seorang yang telah terluka. Kedua orang itu memang selalu memperhatikannya. Tetapi nampaknya keduanyapun lebih banyak memperhatikan orang-orang Gunung Sepikul yang memang harus mereka jaga agar tidak terjadi seperti orang yang disebut Ki Lurah itu.

Namun dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama semakin sengit. Cambuk Swandaru meledak semakin keras dan semakin sering. Berkali-kali lawannya yang mengepungnya terpaksa berloncatan menghindar. Namun Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah nampaknya masih belum ingin memecahkan kepungan itu.  

Namun dalam pada itu, pengawal dari Mataram itu pun telah kehilangan pengekangan diri, sehingga mereka benar-benar ingin menangkap Swandaru itu hidup atau mati.

Pertempuran yang semakin meningkat itu telah membuat Ki Waskita semakin cemas. Karena itu, ia tidak boleh menunggui lebih lama. Ia harus berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak boleh menyinggung harga diri Swandaru, sehingga tidak membuat anak Sangkal Putung itu justru semakin marah.

Karena itu, maka perlahan-lahan iapun melangkah mendekati arena.

Tetapi langkahnya tertegun ketika salah seorang dari dua orang yang mengawasi dua orang dari Gunung Sepikul itu melangkah maju sambil mengacukan pedangnya dan berkata, ”Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakaimu sendiri.”

”Aku adalah paman dari anak-anak Sangkal Putung itu,” berkata Ki Waskita, ”adalah wajar sekali jika aku ikut bertempur bersama mereka.”

“Tetap tinggal ditempatmu, atau kau akan mati lebih dahulu dari tiga orang Sangkal Putung yang dungu itu,” bentak pengawal itu.

”Aku akan bertempur bersama mereka,” jawab Ki Waskita.

”Kau bodoh sekali. Aku dapat membunuhmu,” bentak pengawal itu.

Ki Waskita tertawa. Katanya, ”Kau memang aneh. Kita sudah terlanjur berhadapan. Bagaimana mungkin kau dapat melarang aku. Kami tidak mau menyerah. Akupun tidak.”

Pengawal itu termangu-mangu. Tetapi ketika Ki Waskita melangkah lagi, pengawal itu meloncat sambil berdesis kepada kawannya, ”Jaga orang-orang itu. Aku akan menyelesaikan orang tua yang bodoh ini.”

Tetapi Ki Waskita tidak menghiraukannya. Bahkan ia masih melangkah mendekati lingkaran pertempuran.

Ternyata pengawal itu benar-benar tidak membiarkannya. Dengan tangkasnya iapun segera meloncat menyerang.

Namun Ki Waskita yang sudah bersiap itu sama sekali tidak menjadi terkejut atau bingung. Serangan itu baginya tidak banyak berarti. Dengan gerak yang sederhana ia telah berhasil menghindarkan diri.

Tetapi pengawal itu tidak mau melepaskannya. Iapun segera memburu dengan serangan-serangan yang cepat dan mantap. Namun karena yang dihadapinya adalah Ki Waskita, maka serangan-serangannya itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.

Yang sama sekali tidak diduga adalah dua orang Gunung sepikul yang duduk dengan gemetar. Ketika ia melihat tinggal seorang saja yang mengawasinya, maka timbullah niat mereka untuk berbuat sesuatu. Ketika yang seorang menggamit kawannya, ternyata kawannya mengerti apa yang dimaksudkannya. Sehingga dengan demikian, maka keduanyapun segera menyiapkan diri untuk melakukan sesuatu.

Karena penjaganya itu sedang memperhatikan kawannya yang bertempur melawan Ki Waskita dengan saksama, maka ia agak kurang berhati-hati. Kedua orang dari Gunung Sepikul itu disangkanya telah tidak berdaya sama sekali.

Namun yang tiba-tiba itu telah terjadi. Salah seorang dari kedua orang yang berpakaian seperti tukang satang itu telah menghantam kaki pengawa’ itu dengan kakinya pula, sehingga pengawal itupun telah terlempar beberapa langkah. Dengan sigapnya yang lain telah meloncat merampas senjata yang berada di tangannya.

Pengawal yaig lengah itu tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia menyadari keadaannya, maka ia telah terguling di tanah, sementara senjatanya telah berada di tangan salah seorang dari tukang satang dari Gunung Sepikul itu.

Pengawal itupun tidak berdaya sama sekali ketika salah seorang dari orang-orang Gunung Sepikul itu meloncat sambil mengayunkan senjatanya.

Kawannya, pengawal yang sedang mengancam Ki Waskita, hanya dapat berteriak tanpa beranjak dari tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sementara itu, orang-orang Gunung Sepikul itu sudah membayangkan, bahwa merekapun akan dapat lari meninggalkan tempat itu seperti orang yang disebut Ki Lurah. Ki Waskita tidak akan dapat mengejarnya lagi, karena seorang pengawal telah menjaganya, sementara yang sedang mengepung orang-orang Sangkal Putung itupun sibuk menolong diri mereka sendiri karena orang-orang Sangkal Putung itu justru telah mendesak kepungan itu menjadi semakin longgar.

Tetapi yang terjadi adalah di luar perhitungan orang-orang Gunung Sepikul. Senjatanya sudah terayun. Namun senjata itu tidak pernah berhasil menembus tubuh pengawal dari Mataram itu. Tanpa diketahui bagaimana terjadinya, orang Gunung Sepikul itu telah terlempar dan terbanting jatuh. Sementara kawannyapun telah mengaduh karena dadanya merasa bagaikan dihantam oleh reruntuhan ujung bukit.

Pengawal yang sudah tidak berdaya itupun kemudian bangkit berdiri. Ia melihat kawannya masih termangu-mangu. sementara Ki Waskita berdiri beberapa langkah daripadanya.

Namun sekali lagi terjadi sesuatu yang tidak diduga-duga. Prajurit yang telah bangkit itu. tiba-tiba saja memungut senjatanya. Dengan serta merta ia meloncat memburu kedua tukang satang yang sudah tidak berdaya itu.

“Jangan,” cegah Ki Waskita, “keduanya akan kalian perlukan. Mungkin keduanya akan dapat memberikan keterangan tentang kawannya yang melarikan diri, meskipun aku yakin, keduanya datang dari kelompok yang berbeda.”

Pengawal itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja terasa pengaruh orang tua itu telah mencengkam jantungnya. Karena itu. maka pengawal itu tidak melanjutkan niatnya untuk membunuh pengawal yang telah membuatnya sangat marah.

Kedua orang dari Gunung Sepikul itu tidak segera dapat bangkit. Tubuh mereka bagaikan telah diremukkan tulang-tulangnya. Terdengar keduanya mengaduh perlahan-lahan.

Peristiwa itu telah menghentikan pertempuran anak-anak Sangkal Putung dengan para pengawal. Pemimpin pengawal itu menjadi heran, bahwa Ki Waskita justru telah menolong kedua orang pengawal yang kehilangan keseimbangan karena kelengahannya itu.

Ada sepercik keragu-raguan di dalam hatinya. Namun rasa harga dirinya telah menyelubungi jantungnya yang panas karena sikap orang-orang Sangkal Putung yang tidak mau melepaskan senjatanya itu.

Tetapi merekapun tidak dapat mengabaikan kenyataan. Orang-orang Sangkal Putung itu, dan terlebih-lebih orang tua yang bersamanya itu adalah orang yang memiliki Imu yang tinggi.

Dalam pada itu, yang terdengar kemudian adalah suara Ki Waskita, “Ki Sanak, para pengawal dari Mataram. Kalian jangan kehilangan nalar. Kalian sudah melihat apa yang terjadi. Kalian telah dapat membuat perhitungan dan pertimbangan atas kemampuan kami. Bukan maksud kami untuk menyombongkan diri, tetapi sudah pasti, bahwa kalian tidak akan dapat mengalahkan kami berempat.”

”Omong kosong,” geram pemimpin pengawal itu.

”Aku tahu, bahwa kau sedang terjerat oleh harga diri dan mungkin juga tanggung jawab. Tetapi jangan berpikir mati tanpa dapat memberikan arti dari keharusan kalian bertanggung jawab,” berkata Ki Waskita, “bawalah kami menghadap. Justru langsung menghadap Raden Sutawijaya. Tetapi jangan memaksa kami meletakkan senjata.”

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Karena itu Ki Waskita berkata seterusnya, ”Pikirkan baik-baik. Senjata kami tidak akan berarti apa-apa di hadapan Raden Sutawijaya. Jika kami bermaksud buruk, kami akan dapat melakukannya. Membunuh kalian sekarang juga. Tetapi itu tidak kami lakukan.”

“Persetan,” geram pemimpin pengawal itu, ”kalian tidak akan mampu mengalahkan kami.”

”Mungkin memang begitu. Tetapi kalianpun tentu tidak akan dapat membawa kami menghadap siapapun juga tanpa kami kehendaki sendiri. Karena itu pertimbangkan pendapat kami sebaik-baiknya,” berkata Ki Waskita.

Pemimpin pengawal itu mencoba berpikir. Meskipun harga dirinya benar-benar tersinggung seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, namun iapun harus mempertimbangkan kenyataan. Jika ia tetap bertegang untuk bertempur terus, mungkin harga diri para pengawal itu justru akan semakin dihinakan oleh orang-orang Sangkal Putung itu, karena sebenarnyalah sulit untuk dapat menundukkan mereka. Apalagi orang tua yang tidak bersenjata itu.

Sejenak pemimpin pengawal itu menimbang-nimbang.

Namun kemudian katanya, “Aku menjadi belas kasihan kepada kalian. Karena itu. aku beri kesempatan kalian menghadap dengan senjata kalian. Tetapi tidak Raden Sutawijaya, karena hanya para perwira tinggi sajalah yang akan dapat menghadapnya setiap saat.”

“Bawalah kami kepada orang-orang yang telah mengenal kami,” berkata Swandaru. Lalu ”He, apakah kau kenal Ki Lurah Branjangan?”

”Tentu,” jawab orang itu, “Ki Lurah Branjangan adalah pemimpin langsung dari pasukan yang mengawal pusat Kota Raja termasuk Raden Sutawijaya.”

”Nah. jika kau mengenalnya, bawalah kami kepadanya,” desis Ki Waskita pula.

Pemimpin pasukan itu termangu mangu. Namun kemudian katanya, ”Ikutlah kami. Tetapi jangan berbuat sesuatu yang dapat menjerat kalian sendiri sehingga kalian akan menyesal.”

“Jangan sebut lagi,” bentak Swandaru, ”kalian tidak berdaya apa-apa menghadapi kami.”

“Sudahlah,” berkata Ki Waskita, ”kita masing-masing harus mengekang diri. Bukankah kita ingin mendapat penyelesaian yang paling baik dan tidak saling menyinggung perasaan.”

Pemimpin pengawal itu menggeretakkan giginya. Tetapi iapun mengakui atas kelebihan anak-anak Sangkal Putung itu.

Karena itu, maka yang paling baik dapat dilakukan memang membawa orang-orang itu menghadap Ki Lurah Branjangan seperti yang dimaksud oleh anak-anak Sangkal Putung itu, sementara mereka, para pengawal masih tetap mengawal mereka dalam kedudukan mereka.

Demikianlah, maka pemimpin pengawal itupun memerintahkan dua orang di antara mereka untuk mengurusi orang-orang yang terbunuh. Sementara para tawanan yang lainpun harus mengikut mereka pergi menghadap para pemimpin pengawal, meskipun mereka tidak akan langsung dihadapkan kepada Ki Lurah Branjangan.

Sebenarnyalah Swandaru merasa kecewa juga, bahwa ia tidak dapat memaksa para pengawal itu benar-benar mengakui kekalahan mereka. Tetapi Swandarupun harus menghargai sikap Ki Waskita yang ingin melerai permusuhan itu, agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih besar lagi.

Dengan senjata masih tetap pada pemiliknya masing-masing, maka Ki Waskita, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera naik ke punggung kuda. Mereka sama sekali bukan tawanan yang sedang digiring menghadap seperti sepasang tukang satang dari Gunung Sepikul itu.

Kedatangan iring-iringan itu memang mengejutkan. Ketika mereka mendekati gerbang Kota Raja, maka para penjagapun segera mendekati mereka dengan kesiagaan.

”Siapakah mereka?” bertanya para pengawal.

Pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu. Ada niatnya untuk sekali lagi memaksa orang-orang Sangkal Putung itu melepaskan senjatanya setelah mereka berada di pintu gerbang. Para pengawal di pintu gerbang itu akan dapat membantunya memaksa mereka melepaskan senjatanya.

Namun ketika terpandang olehnya wajah Ki Waskita, maka hatinyapun segera berubah. Ki Waskita telah menolong seorang kawannya yang hampir saja terbunuh oleh orang-orang yang ditawannya karena kelengahannya.

Karena itu, maka niatnyapun diurungkannya. Bahkan kepada para pengawal itu ia berkata, “Mereka adalah anak-anak muda Sangkal Putung yang akan menghadap Ki Lurah Branjangan.”

Swandaru yang menjadi tegang, telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata para pengawal itu tidak sedang menjebaknya.

Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu telah menceritakan serba sedikit tentang dua orang tukang satang dari Gunung Sepikul dan seorang yang terluka. Bahkan kemudian katanya, ”Aku serahkan mereka kepada kalian. Nanti setelah aku menghadap Ki Lurah Branjangan, kami akan mengambilnya dan mengurusnya.”

Setelah menyerahkan para tawanan, maka para pengawal itu telah membawa anak-anak Sangkal Putung itu menghadap Ki Lurah Branjangan. Menilik sikap mereka, maka para pengawal itupun semakin percaya, bahwa keempat orang itu memang tidak berbohong.

Ki Lurah Branjangan yang kemudian mendapat laporan, bahwa seorang pengawal ingin menghadap bersama dengan empat orang, telah terkejut. Karena itu, maka katanya, ”Bawa mereka kemari.”

Pengawal yang membawa anak-anak Sangkal Putung itupun telah mulai menjadi berdebar-debar ketika mereka menunggu. Ternyata beberapa orang perwira pengawal segera mengenal mereka dan menyapanya.

”Bukankah aku berhadapan dengan Swandaru dari Sangkal Putung?” bertanya seorang perwira yang mengenalnya dengan baik.

Swandaru tertawa. Katanya, ”Ya. Aku adalah Swandaru dari Sangkal Putung.”

”Apakah kau akan bertemu dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga?” bertanya perwira itu.

”Sebenarnya tidak. Tetapi aku telah berada di sini. Mungkin aku dapat menghadap Ki Lurah Branjangan. Apabila itu sudah dianggap cukup, maka akupun akan segera meneruskan perjalanan,” jawab Swandaru.

Perwira itu menjadi heran. Sambil memperhatikan pakaian Swandaru ia bertanya, ”Apakah yang sudah terjadi atasmu?”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, ”Aku bertemu dengan sekelompok orang-orang yang berniat buruk. Aku tidak mengenal mereka. Beberapa orang di antaramya berhasil ditawan oleh pasukan pengawal Mataram yang sedang meronda.”

Perwira itu mengangguk-angguk, sementara pemimpin pasukan pengawal yang meronda itu menjadi berdebar-debar. Ternyata seperti yang dikatakan, Swandaru mengenal beberapa orang perwira.

”Sudahlah,” berkata pemimpin pengawal yang sedang meronda, dan yang telah membawa Swandaru menghadap, ”aku akan mengurus para tawanan itu Tunggulah di sini, Ki Lurah Branjangan akan segera menemuimu.”

”Tunggu,” berkata Swandaru kepada pemimpin pasukan pengawal yang sedang meronda dan yang akan menangkapnya itu, ”aku belum bertemu dengan Ki Lurah Branjangan.”

”Kaulah yang akan bertemu dengan Ki Lurah,” jawab pemimpin pengawal itu, ”aku sudah mengantarkan sampai ke tempat ini.”

Ada niat Swandaru untuk mengatakan sesuatu tentang tingkah laku pemimpin pengawal itu, tetapi niat itu diurungkannya. Meskipun demikian ia berkata, ”Kau harus menyampaikan laporan kepada Ki Lurah, sebelum kau meninggalkan kami di sini.”

”Jalur laporanku seharusnya tidak langsung kepada Ki Lurah Branjangan. Tetapi kepada Ki Lurah Tangkilan,” jawab pemimpin pengawal itu, ”jika aku sekarang membawamu kepada Ki Lurah Branjangan, itu karena permintaanmu.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Waskita sekilas yang kemudian berkata, ”Baiklah. Biarlah kita menghadap Ki Lurah Branjangan.”

Swandaru termangu-mangu. Namun katanya kemudian, ”Baiklah. Tinggalkan kami di sini.”

Pemimpin pengawal itupun kemudian minta diri kepada beberapa orang perwira yang menemui Swandaru, kembali kepada anak buahnya.

”Bagaimana?” bertanya anak buahnya.

Pemimpin pengawal itu mengumpat. Katanya, ”Anak itu memang anak bengal. Ia benar-benar mengenal beberapa orang perwira dengan baik. Agaknya merekapun mengenal Raden Sutawijaya seperti mengenal kawannya sendiri.”

”Bagaimana dengan Ki Lurah Branjangan?” bertanya pengawalnya.

”Aku tidak menunggunya,” jawab pemimpin pengawal itu, ”biarlah mereka menemuinya. Apa saja yang akan dikatakan, aku tidak peduli. Tetapi agaknya mereka tidak akan mengatakan, yang tidak sebenarnya.”

”Bagaimana jika mereka mengatakan, bahwa kita berusaha melucuti senjata mereka?” bertanya salah seorang pengawal.

”Biar saja. Aku tidak pernah merasa bersalah dengan usaha untuk melucutinya. Itu adalah kewajiban kita, siapapun orang yang kita hadapi. Kesalahan kita adalah justru kita tidak berhasil melucuti mereka,” jawab pemimpin pengawal itu.

Para pengawal, anak buahnya menarik nafas dalam-dalam. Mereka percaya bahwa pemimpin itu tidak akan mengingkari tanggung jawab.

Karena itu, maka para pengawal itupun kemudian kembali kepada para pengawal di pintu gerbang untuk mengurus beberapa orang tawanan yang dibawanya dan menyerahkan mereka kepada pimpinannya langsung untuk diperiksa selanjutnya. Sementara itu, dua orang pengawal yang ditinggalkan di pinggir Sungai Praga untuk mengubur dan mengurus segala sesuatunya telah selesai dan telah sampai pula ke dalam gerbang kota.

Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan telah berada di antara para perwira yang menemui Swandaru. Dengan serta merta Ki Lurahpun bertanya tentang keselamatan mereka dan sanak kadang di Sangkal Putung.

Swandarupun menjawab dengan singkat, bahwa sanak kadang ternyata selamat dan sehat-sehat saja. Demikian pula keluarga Ki Gede Menoreh di Tanah Perdikan Menoreh.

”Jadi kalian dan Ki Waskita baru kembali dari Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

”Ya,” jawab Swandaru.

”Apakah kalian membawa pesan dari Sangkal Putung atau dari Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

Swandaru termangu-mangu. Namun kemudian sekali lagi ia memandangi Ki Waskita minta pertimbangan.

Ki Waskita yang tanggap atas sikap Swandaru itupun kemudian berkata, ”Ceritakan apa yang kau ketahui dan kau alami.”

Swandaru beringsut setapak. Kemudian katanya, ”Sebenarnya kami tidak akan singgah di Mataram, karena perjalanan kami benar benar perjalanan bagi kepentingan keluarga. Paman Argapati yang merasa kesepian, merasa rindu untuk bertemu dengan anaknya. Bahkan ia telah mulai membicarakan masa depan Tanah Perdikan Menoreh, jika Paman Argapati telah tidak dapat lagi melakukan tugasnya dengan baik.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk angguk.

Sementara itu, Swandarupun kemudian menceritakan apa yang telah dialaminya. Diceritakannya tentang orang-orang yang telah berusaha untuk mencegatnya dengan perencanaan yang baik, karena orang itu telah mengenal semua orang yang menempuh perjalanan bersamanya. Orang-orang itu mengenal Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Kecuali Ki Waskita.

Ki Lurah Branjangan masih mengangguk-angguk, ia memperhatikan segala keterangan Swandaru dengan seksama. Bahwa orang yang disebut Ki Lurah itu sudah mengenal Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah dengan baik, adalah sangat menarik perhatian.

”Tentu bukan sekedar seorang penyamun,” desis Ki Lurah Branjangan.

”Tentu bukan,” jawab Swandaru, ”meskipun ada dua orang di antara mereka yang mencurigakan di antara kaiwan-kawannya. Kedua orang yang nampaknya dari kelompok yang berbeda.”

Yang dikatakan oleh Swandaru itu memang sangat menarik perhatian. Sekali-sekali Ki Waskita juga menegaskan cerita Swandaru itu serta tanggapannya atas orang-orang yang telah mencoba menjebaknya itu.

”Aku ingin mendengar keterangan dari orang-orang yang tertangkap itu,” berkata Ki Lurah Branjangan, ”aku akan langsung minta agar orang-orang itu diserahkan ke padaku.”

”Jika Ki Lurah tidak berkeberatan, apakah kami juga diperkenankan untuk mendengarkan keterangannya?” bertanya Swandaru.

”Tentu tidak. Tetapi sebaikya kalian menghadap Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Sudah lama kau tidak bertemu. Mungkin akan timbul pembicaran yang menarik di antara kalian.” berkata Ki Lurah Branjangan.

Swandaru tidak dapat menyatakan keberatan. Karena itu, ketika Ki Lurah Branjangan menyampaikan kehadirannya di Mataram, Swandaru, istri dan adiknya, serta Ki Waskita, terpaksa duduk menunggu di pendapa. sementara mereka mendapat hidangan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Ternyata Raden Sutawijaya telah memanggil mereka masuk ke ruang samping Kedatangan mereka nampaknya telah memberikan kegembiraan bagi Senapati Ing Ngalaga itu.

”Sudah lama kita tidak bertemu,” berkata Senapati Ing Ngalaga setelah ia mempersilahkan tamu-tamunya duduk dan bertanya tentang keselamatan mereka.

”Ya Raden,” jawab Swandaru, ”agaknya seperti sudah diatur, bahwa kami memang harus menghadap hari ini.”

”Kenapa?” bertanya Raden Sutawijaya.

”Sebenarnya kami tidak ingin singgah,” berkata Swandaru yang kemudian mengulangi ceritanya tentang orang-orang yang mencegatnya dan para pengawal yang membawanya menghadap.

Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, ”Akulah yang minta maaf, bahwa para pengawal telah bertindak kasar. Tetapi sebenarnyalah keadaan daerah ini pada saat-saat terakhir ini juga kurang menguntungkan, sehingga para pengawal seolah-olah telah disudutkan untuk bertindak lebih berhati-hati. Tetapi seandainya pemimpin peronda atau salah seorang dari para pengawal itu mengenalmu, mereka tidak akan memperlakukan kalian seperti itu.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menjawab. Tetapi ia mengerti bahwa yang dilakukan prajurit itu tidak dianggap salah oleh Raden Sutawijaya, sehingga iapun harus menerima seperti apa yang telah terjadi. Apalagi karena Raden Sutawijaya telah menyebut keadan yang agak kurang baik di tlatah Mataram.

Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat lamanya, Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita dipersilahkan duduk sejenak, untuk menghirup minuman dan makanan yang telah dibawa masuk pula, sementara Raden Sutawijaya telah memanggil Ki Lurah Branjangan.

”Aku ingin agar orang-orang itu dijaga baik-baik. Bukan karena mereka akan dapat melarikan diri. tetapi yang luka itu agar dapat disembuhkan, sementara kedua orang tukang satang itu jangan mengalami perlakuan yang dapat membuat mereka kehilangan ingatan,” berkata Raden Sutawijaya.

”Mereka telah berada di tangan para petugas khusus,” berkata Ki Lurah Branjangan, ”aku telah memerintahkannya. Aku telah mengatakannya pula, bahwa aku sendiri akan bertemu dengan mereka, Raden.”

”Menarik sekali. Aku sebenarnya juga ingin bertemu dengan mereka. Tetapi silahkan Ki Lurah menemuinya lebih dahulu,” berkata Raden Sutawijaya kemudian.

Swandaru termangu mangu. Sebenarnya ia ingin juga mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang yang tertawan itu seperti yang pernah disampaikannya kepada Ki Lurah Branjangan. Namun Raden Sutawijaya yang agaknya mengerti maksudnya telah berkata, ”Silahkan duduk dan beristirahat. Biarlah Ki Lurah Branjangan memeriksa mereka. Nanti, dalam persoalan yang khusus, kita akan membicarakannya.”

Swandaru tidak dapat membantah. Betapa senyumnya menjadi hambar. Namun iapun menyahut, ”Baiklah Raden. Meskipun sebenarnya aku ingin sekali segera mengetahui latar belakang dari peristiwa ini.”

”Latar belakang dari peristiwa ini tentu sudah dapat kita duga,” sahut Raden Sutawijaya, ”hanya masalah-masalah khusus yang barangkali tidak banyak bermanfaat sajalah yang akan kita dengar dari mereka.”

Swandaru menarik nafas dalam dalam. Justru ia berpendapat agak lain Mungkin sekali dari mulut mereka akan dapat didengar keterangan yang akan sangat penting artinya.

Sementara Swandaru masih duduk di ruang samping, maka Ki Lurah Branjangan telah menerima para pengawal yang mengantar para tawanan di tempat yang khusus, tidak di lingkungan halaman rumah Raden Sutawijaya Bahkan Ki Lurah Branjangan ternyata telah menyampaikan persoalan itu kepada Ki Juru Martani pula yang hadir di tempat itu sebelum menemui anak-anak Sangkal Putung.

Para tawanan itu lelah menjadi gemetar. Meskipun yang terluka telah mendapat perawatan dan pengobatan, namun wajahnya justru nampak semakin pucat. Jantungnya rasa-rasanya berdenyut semakin cepat.

Ki Lurah Branjangan yang ditunggui Ki Juru Martani, serta dua orang pengawal khusus mulai dengan beberapa pertanyaan yang tidak penting. Namun jawaban orang orang itu membuat Ki Lurah dan Ki Juru kecewa. Meskipun seandainya kemudian mereka memaksa untuk memeras keterangan mereka, yang mereka ketahui nampaknya tidak terlalu banyak. Mereka hanya tahu bahwa mereka mendapat perintah dari orang yang mereka sebut Ki Lurah untuk membinasakan anak-anak Sangkal Putung.

Kedua orang yang mengaku berasal dari Gunung Sepikul itu nampak betapa gugup dan bingung. Namun dalam beberapa hal Ki Lurah Branjangan kemudian mengetahui, bahwa keduanya benar-benar tidak akan dapat banyak memberikan keterangan. Keduanya adalah orang orang yang diajak melakukan rencana pembunuhan itu pada saat telah dekat dilakukan, dengan janji bahwa mereka akan mendapat apa saja yang ada pada orang-orang yang akan menjadi korban.

”Dan apakah keuntunganmu?”

”Ada keuntungan kami Tuan,” jawab salah seorang dari kedua orang itu, ”mungkin kami tidak akan pernah mendapat kesempatan menyamun anak-anak Sangkal Putung itu. Tetapi karena ada beberapa orang yang akan membantu kami, meskipun dari sudut pandangan yang lain, kamilah yang akan membantu mereka, maka hal itu kami lakukan juga. Kami berharap untuk mendapat bekal yang mereka bawa, dan terutama perhiasan dari anak Demang yang kaya itu.”

Jawaban itu memang masuk akal. Beberapa kali mereka dipaksa untuk menjawab, jawaban mereka hampir tidak berubah.

Karena itu, dari kedua orang Gunung Sepikul itu tidak dapat diharapkan keterangan yang memadai tentang orang yang disebut Ki Lurah itu. Hanya kepada seorang yang lain, yang kebetulan telah terluka, Ki Lurah Branjangan berusaha untuk mendapatkan keterangan tentang usaha mereka membunuh Swandaru dari Sangkal Putung.

Tetapi agaknya orang itupun tidak terlalu banyak mengetahui. Meskipun demikian orang itu dapat mengatakan bahwa Ki Lurah itu adalah seseorang yang banyak berhubungan dengan prajurit-prajurit Pajang.

”Apakah orang itu bukan prajurit?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

Beberapa saat orang itu terdiam.

”Jawablah,” desak Ki Lurah Branjangan, ”apakah orang itu bukan prajurit?”

”Aku tidak tahu,” jawab orang yang terluka itu.

Jawaban itu justru telah memancing kecurigaan yang semakin dalam. Karena itu, maka Ki Lurah Branjanganpun bertanya lebih keras, ”Katakan. Kau hanya wajib mengatakan, apakah ia seorang prajurit Pajang?”

”Bukan,“ jawab orang itu.

Ki Lurah Branjangan tersenyum. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang duduk di lantai dengan tangan bersilang itu. Sambil menepuk bahunya ia bertanya sekali lagi dengan nada yang lembut, ”Ki Sanak. Cobalah katakan. Apakah orang itu seorang prajurit Pajang? Siapakah nama dan gelarnya dan dimanakah ia bertugas sekarang?”

Orang itu tidak segera menjawab.

”Kau memang seorang laki-laki jantan,” Ki Lurah masih tersenyum, ”kau berani mengingkari pengenalanmu atas pemimpinmu itu. Tetapi sebagai seorang pengikut yang setia, kau memang harus berlaku demikian. Aku kira para pengawal di Matarampun akan berbuat serupa, seandainya mereka jatuh ke tangan lawan dengan sebuah rahasia yang harus disembunyikan. Meskipun seandainya tubuhnya diremukkan sekalipun, ia tidak akan menjawab.”

Wajah orang itu menjadi semakin pucat. Sementara itu Ki Lurah masih berkata, ”Kau tentu sudah ditempa sampai matang, bagaimana kau harus menghadapi keadaan seperti ini. Apapun yang akan kami lakukan, kau tentu tidak akan berbicara apapun juga.”

Keringat dingin mengalir semakin deras di punggung orang yang memang sudah terluka itu.

”Tetapi sebenarnyalah bahwa mati akan lebih baik bagi Ki Sanak,” berkata Ki Lurah Branjangan, ”mati adalah akhir dari segala penderitaan yang nampaknya sangat menggembirakan bagi orang-orang yang dalam keadaan seperti kau sekarang.”

Terdengar nafas orang itu semakin memburu.

Dan Ki Lurah Branjangan membisikkan di telinganya, ”Namun ketabahanmu itu membuat kami gembira. Kami, di Mataram, memang sedang menyelidiki sampai dimana batas kemampuan seseorang untuk mempertahankan satu rahasia yang dimengertinya. Kami sedang mengadakan percobaan, bagaimana kami harus memaksa seseorang untuk berbicara. Tetapi kami selalu kecewa, bahwa seseorang yang sedang kami pergunakan sebagai bahan percobaan, selalu tidak mampu bertahan lebih dari empat hari. Pada umumnya pada hari ketiga, dan hanya seorang sajalah yang dapat bertahan sampai hari keempat, meskipun ia sudah tidak mampu untuk duduk bersandar sekalipun. Dan sekarang, aku berharap bahwa kau dapat bertahan lebih lama, sebelum akhirnya kau akan mati. Mudah-mudahan kau dapat bertahan lebih dari hari kelima. Dengan demikian, kami akan dapat menemukan cara-cara baru yang lebih baik, yang akan kami trapkan pada hari kelima dan selanjutnya terhadap seseorang yang sudah tidak mampu lagi duduk dengan bersandar sekalipun. Karena dengan……”

”Cukup. Cukup,” tiba-tiba orang itu berteriak.

”Kenapa kau berteriak?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

”Aku akan mengatakan, apa yang aku ketahui,” berkata orang itu.

”O,” desis Ki Lurah Branjangan, ”kau akan berbicara? Apa yang dapat kau katakan? Bukankah kau tidak mengetahui apapun juga?”

”Aku memang tidak banyak mengetahuinya. Tetapi apa yang aku ketahui akan aku katakan,” desisnya dengan gemetar.

”Terserahlah,” sahut Ki Lurah Branjangan, ”jika kau ingin berkata, katakanlah. Apakah orang itu seorang prajurit?”  

”Ya. Ia seorang prajurit. Ia memiliki pangkat dan derajat seorang prajurit yang tinggi,” jawab orang itu dengan gemetar.

”O,” Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk, ”ia sudah kehilangan kepercayaan untuk menyuruh orang lain tanpa mengawasinya langsung. Kau tahu namanya atau gelarnya?”

”Pangkatnya memang Lurah. Aku dengar dari seorang yang dapat aku percaya. Ia mendapat perintah untuk membunuh anak-arak Sangkal Putung dari seorang prajurit yang lain, yang dalam susunan keprajuritan, pangkatnya lebih rendah. Tetapi ternyata bahwa ia memiliki kekuasaan lebih besar di dalam susunan kewajiban perjuangan yang besar ini.”

”Perjuangan apa?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

”Perjuangan untuk menegakkan kembali kebesaran Majapahit,” desis orang itu.

”Sudahlah. Jangan mimpi. Tetapi siapakah Lurah itu?”

Tawanan itu termangu-mangu. Sejenak ia memandang orang-orang yang berada di sekitarnya. Kemudian kedua orang yang mengaku datang dari Gunung Sepikul itu

”Kenapa kau ragu-ragu?” bertanya Ki Lurah Branjangan, “Atau barangkali kau ingin bersikap sebagai seorang laki-laki jantan yang lebih baik hancur menjadi debu daripada berkhianat?”

”Tidak,” desisnya dengan gemetar, “tetapi aku memang tidak banyak mengetahui.”

”Bagus, bagus,” desis Ki Lurah Branjangan, ”bertahanlah.”

”Tidak, bukan maksudku. Tetapi baiklah. Orang itu adalah prajurit yang mumpuni dalam kawruh. Meskipun pangkatnya tidak lebih dari seorang Lurah,” orang itu berhenti sejenak.

Ki Lurah Branjangan hampir tidak sabar lagi. Tetapi ia masih tersenyum sambil berkata, ”Ya, ya. Pangkatnya memang hanya seorang Lurah. Kau tahu bahwa aku juga seorang yang mempunyai pangkat Lurah ketika aku berada di dalam lingkungan keprajuritan Pajang. Sampai sekarang sebutan Lurah itu masih tetap aku pergunakan, meskipun aku bukan lagi seorang Lurah Prajurit Pajang.”

”Tetapi Lurah Pengawal di Mataram,” desis orang itu.

Ki Lurah Branjangan tersenyum. Katanya, ”Aku secara resmi belum pernah diangkat menjadi apapun juga di Mataram dalam susunan kepangkatan, meskipun aku sudah mendapatkan jabatan yang penting sekarang. Nah, sekarang katakan. Katakanlah Ki Sanak. Mudah mudahan aku masih dapat mendengar namanya dengan jelas.”

Suara Ki Lurah Braniangan mulai bergetar. Dengan demikian tawanan itu mengetahui bahwa kesabaran Ki Lurah Branjangan memang sudah sampai ke batasnya.

Karena itu, maka katanya, ”Namanya Ki Lurah Pringgabaya.”

”Pringgabaya?” Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Dan hampir di luar sadarnya ia berkata, “Adik seperguruan Ki Lurah Pringgajaya?”

Orang itu menjadi tegang. Wajahnya menjadi merah membara. Seolah-olah ia merasa sangat menyesal, bahwa ia sudah menyebut nama orang itu.

”Jawab. Apakah ia saudara seperguruan Ki Pringgajaya yang pernah berusaha membunuh Agung Sedayu dan yang kemudian dinyatakan telah mati oleh lingkungan keprajuritan Pajang?” desis Ki Lurah Branjangan.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya kemudian tertunduk lesu.

”Jika demikian, aku menjadi jelas, la tentu mendapat perintah, atau katakan saja, telah sepakat untuk melakukannya seperti juga yang dilakukan oleh Ki Pringgajaya. Apakah Ki Pringgajaya berpangkat lebih rendah seperti yang kau katakan atau tidak, tetapi aku sudah dapat membayangkan apakah kira-kira yang terjadi.” Ki Lurah Branjangan kemudian mengangguk-angguk. Lalu, ”Dimana Ki Pringgajaya sekarang?”

”la sudah mati,” desis orang itu.

”Katakan sekali lagi, bahwa ia sudah mati,” desis Ki Lurah Branjangan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar