Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 132

Buku 132

Dalam kebimbangan, ternyata Agung Sedayu telah menghentakkan segenap kekuatannya, segenap kemampuannya, dan segenap daya ungkapnya atas ilmu yang dimilikinya. Ia tidak ingin mengalami kesulitan yang lebih parah lagi pada keadaan yang demikian. Meskipun ia tidak berharap akan dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan serta merta, namun ia berharap bahwa ia akan dapat mempergunakan kemampuannya itu untuk bertahan lebih rapat dari lawannya.

Pada saat yang gawat itu, Jandon telah bersiap untuk melontarkan serangannya langsung menghantam tubuh Agung Sedayu yang masih duduk di tanah bersandar pada kedua tangannya. Bahkan Jandon telah yakin, bahwa serangannya itu akan menentukan akhir dari perkelahian yang telah berlangsung terlalu lama baginya. Tidak pernah ada seorangpun yang dapat bertahan selama itu, selain Agung Sedayu.

Namun’ tepat pada saat Jandon meloncat menyerang Agung Sedayu yang masih duduk di tanah itu, dengan Iontaran kakinya datar menyamping, maka Agung Sedayu telah menyerangnya pula dengan tatapan matanya, menghantam dadanya.

Ternyata bahwa lontaran ilmu Agung Sedayu yang luar biasa itu, telah berhasil menembus perisai ilmu Jandon yang membetengi dirinya. Karena itu maka pada saat ia melayang, terasa dadanya bagaikan dihentakkan oleh kekuatan yang sangat berat, bahkan kemudian seolah-olah isi dadanya bagaikan telah diremas.

”Gila,” Jandon mengumpat. Tetapi ia sudah meluncur dengan derasnya.

Agung Sedayu sudah memperhitungkan keadaan itu dengan cermat. Ia melihat Jandon menyeringai menahan sakit. Dengan demikian ia yakin, bahwa ilmunya berhasil menembus tirai yang seolah-olah menyekat segala macam serangan atas murid terpercaya dari Gunung Kendeng itu.

Tetapi Agung Sedayupun tidak mau dikenai serangan Jandon yang dilontarkan dengan segenap kekuatannya. Ternyata bahwa ketahanan ilmu Agung Sedayu masih belum mampu membebaskannya dari rasa sakit. Karena itu, jika serangan Jandon itu menghantam dadanya, meskipun ia sudah melambarinya dengan ilmu kebal yang baru mulai dipelajarinya, namun nafasnya tentu masih terasa sesak. Dan isi dadanyapun tentu akan diremukkannya.

Karena itu, demikian serangan itu meluncur mendekati sasaran, Agung Sedayu telah melepaskan serangannya pula. Ia masih sempat berguling ke samping, menghindarkan diri dari sentuhan kaki Jandon.

Jandon mengumpat dengan kasarnya ketika serangannya tidak menyentuh lawannya. Apalagi perasaan sakit masih saja terasa meremas dadanya, meskipun tiba-tiba telah menjadi jauh berkurang setelah Agung Sedayu terpaksa menghindar.

Namun ketika kaki Jandon menginjak tanah, ia masih harus berjuang sesaat untuk mengatur pernafasannya yang sesak karena remasan ilmu Agung Sedayu atas isi dadanya.

Kesempatan itu telah dipergunakan pula oleh Agung Sedayu dengan sebaik-baiknya. Ia kini meyakini, bahwa ilmunya yang dapat dilontarkannya lewat tatapan matanya, ternyata telah jauh lebih mapan dari ilmu kebalnya. Karena itu, dilandasi dengan kemampuannya yang telah luluh di dalam dirinya dari beberapa unsur ilmu, maka ia berniat untuk mempergunakannya pada saat-saat yang paling gawat itu.

Ketika Jandon kemudian bersiap untuk memburunya, maka Agung Sedayupun telah bersiap pula Seperti semula ia masih duduk di tanah, seolah-olah ia memang belum sempat berdiri karena keadaannya yang tidak menguntungkan setelah terjadi benturan yang terdahulu. 

Sekali lagi Jandon ingin melumatkan isi dada Agung Sedayu selagi Agung Sedayu belum sempat berdiri. Ia masih belum yakin, bahwa kesakitan di dadanya itu adalah karena serangan lawannya yang tidak kasat mata. Ia masih belum menyadari, bahwa sebenarnya perasaan sakit itu bukannya karena benturan-benturan yang telah terjadi, sehingga bagian dalam tubuhnya menjadi pedih dan nyeri.

Namun agaknya Agung Sedayu lebih cepat sekejap dari lawannya. Pada saat Jandon telah bersiap meloncat, maka Agung Sedayu telah meremas isi dadanya dengan sorot matanya, menembus perisai ilmu lawannya.

Terasa nafas Jandon menjadi sesak. Meskipun ia masih sempat meloncat menyerang, karena daya lontarnya yang sudah siap mendorongnya, namun seakan-akan perasaan sakit telah tidak tertahankan lagi.

Hanya karena ilmu kebalnya sajalah yang menyebabkan Jandon masih tetap mampu menyerang. Tanpa perisai ilmunya, ia tentu sudah terkapar di tanah.

Yang dilakukan Agung Sedayu kemudian agak berbeda dengan yang terdahulu. Ia memang melepaskan ilmunya, tetapi ia tidak berguling menghindar. Ia tahu, lontaran serangan Jandon tidak sekuat serangannya sebelumnya, karena perasaan sakit yang telah menyengatnya lebih dahulu. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun segera membenahi letak duduknya. Tangannyapun segera menyilang di dadanya. Ketika serangan lawannya menghantamnya, maka yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Kaki Jandon telah menghantam tangan Agung Sedayu yang bersilang.

Tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan Jandon bukannya sepenuh kemampuannya. Itulah sebabnya, maka ia tidak berhasil membanting Agung Sedayu terlentang di tanah. Bahkan ia sendirilah yang kemudian terhuyung-huyung surut. Hampir saja ia jatuh terlentang, jika ia tidak dengan sepenuh sisa tenaganya menjaga keseimbangannya.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu tidak melepaskannya. Ilmunya yang luar biasa itu ternyata telah benar-benar dapat dikendalikannya. Ia tidak mempergunakan waktu yang panjang untuk melontarkannya, seperti ia menyerang dengan tangan atau kakinya saja.

Pada saat Jandon terhuyung-huyung itulah, Agung Sedayu telah menyerangnya dengan segenap ungkapan ilmu yang dimilikinya. Demikian kuatnya menembus perisai ilmu lawannya.

Jandon yang masih terhuyung-huyung itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia mencoba berdiri tegak, maka jantungnya bagaikan telah remuk oleh serangan ilmu lawannya.

Sejenak Jandon termangu-mangu. Namun kemudian matanya menjadi berkunang-kunang.

Tetapi ia tidak menyerah kepada perasaan sakit itu. Dihentakkannya segenap ilmu. Sekali lagi ia berusaha untuk meloncat menyerang. Namun perhitungan Agung Sedayu nampaknya telah benar-benar mengakhiri pertempuran itu. Jandon memang bersiap untuk menyerang. Tetapi Agung Sedayu tidak mau melepaskan lagi serangannya. Tatapan matanya bagaikan pusaran yang mengorek menembus ilmu kebal Jandon yang dibangga-banggakan. Namun ternyata dengan bekal ilmunya, beralaskan unsur-unsur dari ilmu yang telah dipelajarinya pula dengan menyadap makna isi kitab Ki Waskita, maka Agung Sedayu telah berhasil menembus perisai lawannya sampai ke pusat jantung.

Darah Jandon seakan-akan telah membeku karenanya. Dengan demikian maka kakinya tidak sempat lagi melangkah. Terhuyung-huyung ia maju. Betapa perasaan sakit mencengkamnya, namun tangannya masih juga mengembang, menerkam Agung Sedayu yang masih duduk di tanah.

Agung Sedayu melihat bagaimana lawannya menerkamnya. Ia memang dihadapkan pada pilihan yang sulit. Menghindari terkaman lawannya, atau sama sekali tidak melepaskannya.

Menurut perhitungan Agung Sedayu keadaan Jandon sudah semakin parah. Ia merasa bahwa ilmunya lewat sorot matanya dapat mengorek dan menembus perisai ilmu lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun memilih untuk tidak melepaskan serangannya lewat sorot matanya, meskipun tangan-tangan lawannya akan mencekik lehernya.

Sebenarnyalah bahwa Jandon seolah-olah tidak mampu lagi untuk tetap tegak. Namun ketika ia akan jatuh tertelungkup, maka ia sempat memaksa kakinya melangkah maju, sehingga ketika ia benar-benar jatuh, maka tangannya masih sempat mencengkam leher lawannya. 

Terasa perasaan pedih dan panas bagaikan tersentuh bara telah menyengat leher Agung Sedayu. Namun pada saat terakhir, tatapan matanya justru telah menyerang bagian yang lebih lemah lagi dari tubuh lawannya, yaitu matanya yang sedang menatap wajah Agung Sedayu dengan penuh keberanian.  

Demikian dahsyat serangan Agung Sedayu yang sudah berhasil menembus benteng ilmu lawannya, yang justru menjadi semakin lemah, maka sesaat kemudian, maka Jandonpun telah kehilangan segenap kemampuannya. Serangan Agung Sedayu seolah-olah telah menembus sampai kepusat syaraf di kepala Jandon, sehingga Jandon telah kehilangan segenap pengamatan diri, bahkan akhirnya setelah menggeliat sambil mengumpat, ia telah kehilangan segenap kemungkinan dapat bertahan untuk tetap hidup.

Namun demikian Jandon jatuh terkulai di sisi Agung Sedayu, maka terdengar anak muda itu mengeluh. Rasa-rasanya lehernya benar-benar seperti terbakar. Tangan Jandon yang dilambari dengan hentakan sisa kekuatan dan puncak ilmunya, benar-benar telah membakar leher Agung Sedayu.

Tetapi pertempuran itu sudah berakhir. Kiai Gringsing dengan tergesa-gesa telah berlari mendekatinya. Namun bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang mengerikan, maka Kiai Gringsingpun segera teringat kepada Sabungsari dan kepada orang-orang lain yang juga terluka parah.

Tanpa berpikir tentang hal yang lain, maka Kiai Gringsingpun kemudian berteriak, ” Bawa mereka ke pendapa.”

Dengan serta merta, maka orang-orang yang terlukapun segera dibawa ke pendapa, termasuk Agung Sedayu.

Pada saat itu, Untara berdiri termangu-mangu dibawah tangga pendapa padepokan kecil itu. Di sampingnya Widura memandang Agung Sedayu dan Sabungsari yang terbaring di antara orang-orang lain yang terluka dengan hati yang gelisah. Sementara Glagah Putih dengan wajah yang tegang bersimpuh di antara Agung Sedayu dan Sabungsari.

Keduanya terluka parah. Sabungsari masih pingsan, meskipun titik-titik air yang menyentuh bibirnya membuatnya agak segar. Bahkan perlahan-lahan anak muda itu sudah mulai menggerakkan bibirnya yang basah.

Namun sementara itu, ternyata keadaan tubuh Agung Sedayupun sangat mencemaskan. Lehernya bagaikan terluka oleh sentuhan api. Agaknya hentakan ilmu Jandon telah menyusup pula di antara ilmu kebal Agung Sedayu yang masih belum sampai ke tingkat yang memadai, sehingga pada saat Agung Sedayu mengerahkan ilmunya pada sorot matanya, maka ternyata kulitnya telah dibakar oleh sentuhan tangan api murid terpercaya dari Gunung Kendeng itu.

Sejenak kemudian, Kiai Gringsingpun telah bekerja dengan sibuknya, sementara beberapa orang lain telah mengumpulkan korban yang berjatuhan di padepokan kecil itu. Glagah Putihpun kemudian sibuk membantu Kiai Gringsing, menyiapkan segala macam keperluannya untuk memperingan penderitaan Agung Sedayu, Sabungsari dan beberapa orang lain. Sementara mereka yang terluka tidak terlalu parah, telah dipersilahkan untuk mengobatinya sendiri untuk sementara, sebelum Kiai Gringsing sempat melakukannya.

Dalam pada itu, perhatian Untara telah tertumpu kepada orang-orang yang dapat ditawannya hidup-hidup pada pertempuran itu. Selain prajurit-prajurit Pajang yang telah mencegat prajurit berkuda yang telah dikirim oleh Untara, ternyata juga bahwa Banjar Aking, yang bertempur melawan Sabungsari, masih hidup.

”Kiai,” berkata Untara kepada Kiai Gringsing, ”usahakan, agar orang Gunung Kendeng itu tetap hidup. Agaknya ia termasuk orang yang cukup penting bagi padepokannya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, ”Mudah-mudahan aku berhasil Ngger. Orang itu memang penting untuk mencari keterangan yang agak lengkap tentang Gunung Kendeng, dan tentang hubungan Gunung Kendeng dengan orang-orang yang telah tertangkap di luar padepokan ini.”

Untara mengangguk pula.Tangkapan-tangkapan itu harus segera diselamatkan, agar mereka tidak mengalami nasib buruk, jika kawan-kawannya mengambil sikap lain apabila mereka yakin tidak akan dapat membebaskan mereka. Beberapa kali telah terjadi, orang-orang yang mungkin dapat disadap keterangannya, telah dibunuh dengan kejamnya. Bahkan Sabungsaripun hampir menjadi korban pula dari orang yang dianggapnya memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Justru orang yang dipercaya untuk mengobatinya, telah dengan sengaja meracunnya. Untunglah Kiai Gringsing sempat menyelamatkannya.

Tetapi demikian Sabungsari telah sembuh, kini sebelum anak muda itu sempat menikmati kesembuhannya, karena ia masih harus selalu berada di dalam biliknya dan berpura-pura masih sakit, kini ia benar-benar telah terluka lagi. Tidak kalah parahnya dengan yang pernah dialaminya. Bahkan agaknya Agung Sedayupun mengalami luka yang sangat parah di lehernya.

Dalam kesibukan itu, maka Untara telah memanggil dua di antara empat prajurit berkuda yang berada di padepokan itu. Diperintahkannya kedua orang itu menghubungi seorang perwira yang paling dipercaya oleh Untara, agar ia segera datang ke padepokan kecil itu bersama beberapa orang prajurit yang dapat dipercaya pula.

”Ia tahu, apa yang harus dikerjakannya menghadapi keadaan ini,” berkata Untara, “aku harap ia segera datang. Mungkin keadaan ini masih akan berkembang. Jika saat ini Gembong Sangiran kembali bersama sisa murid-muridnya, maka kita akan mengalami kesulitan, justru karena kita ingin menyelamatkan para tawanan itu.”

Sejenak kemudian, maka dua ekor kuda telah berderap menembus gelapnya malam. Suara kentongan dalam nada titir telah berhenti sama sekali. Apipun telah lama padam. Namun di padepokan kecil itu ketegangan justru semakin memuncak karena anak-anak muda yang terluka parah.

Beberapa orang lain juga terluka. Tetapi mereka masih dapat berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Bahkan sejenak kemudian merekapun sudah dapat membantu kesibukan-kesibukan yang terjadi di padepokan itu. Namun seorang dari mereka yang bertahan di padepokan itu telah menjadi korban.

”Jika kau tidak datang tepat pada waktunya,” berkata Widura, “maka mungkin sekali keadaannya akan berbeda. Glagah Putih sama sekali sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Dengan demikian, maka kekalahan demi kekalahan akan merambat pada lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Mungkin aku lebih dahulu, kemudian Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Baru kemudian, orang-orang yang terhitung memiliki ilmu yang tinggi di antara mereka akan mendekati arena pertempuran Agung Sedayu dan Sabungsari. ”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia bergumam, ”Tetapi aku sama sekali tidak menduga Paman, bahwa tingkat ilmu Agung Sedayu sudah demikian tinggi. Bahkan aku tidak mengerti, bagaimana cara ia dapat membunuh lawannya.”

Widura mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Yang kemudian menjadi pusat perhatian Untara, selain adiknya dan Sabungsari yang terluka parah, adalah para tawanan. Ia berharap bahwa Banjar Aking tidak mati. Mungkin ia dapat memberikan beberapa keterangan tentang Gunung Kendeng, sementara beberapa orang prajurit Pajang yang tertangkap, akan ditelusurinya dalam hubungan mereka dengan Ki Pringgajaya

Namun Untara harus cepat bertindak. Bahwa pimpinan tertinggi padepokan Gunung Kendeng sempat melarikan diri, adalah suatu isyarat yang kurang menguntungkan. Mungkin berita kegagalan ini akan segera sampai ke telinga Ki Pringgajaya.

Karena itu, maka ketika prajurit yang dipanggilnya dari padukuhan induk Jati Anom telah datang, maka atas persetujuan Kiai Gringsing, maka orang-orang yang tidak terancam jiwanya, akan dibawa oleh Untara ke rumahnya di bawah pengawasan yang sangat ketat oleh orang-orang yang dipercayanya. Sementara, Untarapun telah meletakkan beberapa orang prajurit pilihan di padepokan itu untuk ikut serta mengawasi beberapa orang tawanan yang berada di dalam perawatan. Namun yang penting bagi para prajurit itu adalah justru melindungi jika Gembong Sangiran datang kembali untuk mengambil orang-orangnya yang tertinggal.

”Dua orang kuat di padepokan ini sedang terluka parah,” berkata Untara kepada orang-orang pilihannya, ”meskipun kalian tidak sekuat mereka, tetapi dalam jumlah yang cukup, kalian akan dapat menjaga dan sekaligus membantu melindungi para tawanan itu. ”

Dengan demikian, maka selagi Kiai Gringsing sibuk mengobati orang-orang yang terluka, maka Untarapun sibuk memindahkan para tawanan ke rumahnya.

Ternyata Untara tidak mau terlambat. Ia berharap, bahwa ia akan dapat mendahului berita kegagalan Gembong Sangiran itu sampai ke telinga Ki Pringgajaya, meskipun Untara merasa ragu. Karena iapun sadar, bahwa Gembong Sangiran bukan anak-anak. Orang itu mampu bergerak cepat, yang agaknya akan dapat mengimbangi kecepatannya bergerak.

Tetapi Untara tetap berusaha. Ia tidak menunggu sampai matahari terbit. Malam itu juga, ia memaksa prajurit yang tertawan untuk mengatakan, siapakah yang memerintahkan mereka melakukan pengkhianatan itu.

Prajurit-prajurit itu mengenal dengan baik, siapakah Untara. Maka merekapun tidak menunggu keadaan mereka menjadi semakin sulit. Karena itu, maka mereka segera mengaku, bahwa mereka adalah pengikut-pengikut Ki Pringgajaya.

Untara menggeretakkan giginya. Meskipun hal itu sudah diduganya, bahkan hampir diyakininya, namun pengakuan itu telah membuat jantungnya bagaikan semakin cepat berdetak.

”Aku akan memanggil Ki Pringgajaya dari perjalanannya,” berkata Untara, ”aku akan menghadapkan kalian dengan Ki Pringgajaya.”

Wajah para prajurit itu menjadi semakin pucat.

”Aku sudah berprasangka sejak lama. Aku sudah mendapat laporan. Tetapi kalian adalah saksi hidup yang tidak akan dapat diingkarinya lagi, di samping Sabungsari sendiri,” geram Untara kemudian. Lalu, ”Di hadapan Pringgajaya kalian tidak usah takut. Aku akan bertanggung jawab atas keselamatan kalian jika Pringgajaya berusaha melakukan kekerasan. Betapa saktinya orang itu, tetapi di hadapan sepasukan prajurit pilihan, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika ia mencoba melakukannya, maka tubuhnya akan menjadi arang kranjang. Bahkan seandainya ia memiliki ilmu kebal sekalipun, maka perisai ilmunya tidak akan dapat menangkis ujung kerisku, Kiai Sasak. Betapa tebalnya ilmu kebal seseorang, maka ujung Kiai Sasak akan dapat menembus sampai ke pusat jantungnya. ”

Prajurit-prajurit itu menundukkan kepalanya. Mereka sudah berada dalam keadaan yang paling sulit. Mereka tidak mengira, bahwa akhirnya merekalah yang tertangkap. Prajurit-prajurit berkuda yang dicegatnya itu ternyata benar-benar orang pilihan.

Untara benar-benar ingin bergerak cepat. Ketika matahari terbit, maka iapun segera mempersiapkan diri. Ia harus berbicara dengan Kiai Gringsing, bahwa ia akan pergi menyusul Ki Pringgajaya dan memanggilnya untuk mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya.

”Apakah Angger akan menghadap ke Pajang?” bertanya Kiai Gringsing.

”Aku merasa curiga dengari beberapa perwira di Pajang, Kiai,” jawab Untara, “tetapi jika aku akan langsung menyusul Ki Pringgajaya, aku tidak tahu, sampai dimanakah perjalanannya hari ini, Dan kemana besok ia akan pergi. ”

”Tetapi tentu ada juga Senapati Pajang yang masih dapat dipercaya. Mungkin Angger Untara mengenal satu dua orang yang meyakinkan Angger, bahwa mereka tidak dipengaruhi oleh mimpi yang buruk itu.”

Untara termangu-mangu. Tetapi ia memang mempunyai pertimbangan tertentu. Diam-diam ia menilai beberapa orang perwira yang memiliki kekuasaan yang luas di Pajang. Beberapa orang petugas sandi, seperti Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda dapat membantunya memberikan beberapa petunjuk, karena ia mengenal beberapa nama dan keadaan mereka di Pajang.

”Kiai,” berkata Untara, ”aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat menunggui kesibukan padepokan kecil ini. Tetapi aku akan memperbantukan orang-orangku untuk menyelenggarakan mereka yang terbunuh di pertempuran semalam. Aku ingin menemui orang-orang yang dapat memberikan beberapa petunjuk kepadaku, apakah yang sebaiknya aku lakukan atas Ki Pringgajaya.”

”Silahkan Ngger. Mungkin kecepatan Angger bergerak akan dapat membantu memecahkan persoalan ini,” jawab Kiai Gringsing.

”Ya Kiai. Apapun yang akan terjadi, aku harus dengan cepat bertemu dengan Ki Pringgajaya,” berkata Untara kemudian, ” jika perlu, maka aku akan mempergunakan kekerasan untuk membawanya kemari.”

”Tetapi apakah Angger akan pergi seorang diri?” bertanya Kiai Gringsing.

”Tidak. Aku akan membawa dua orang pengawal khususku. Aku tidak dapat memperhitungkan, apakah yang akan terjadi jika Ki Pringgajaya merasa curiga, bahwa aku sudah mengetahui segalanya. Jika ia sudah mendengar kegagalan ini, maka ia tentu akan mengambil sikap.”

“Apakah yang akan Angger lakukan jika ia menolak?”

”Aku akan melaporkannya kepada Tumenggung Prabadaru, tanpa menyembunyikan satu hal yang paling kecil sekalipun. Aku akan mohon kepada Tumenggung Prabadaru untuk membantuku, memaksa Ki Pringgajaya kembali ke Jati Anom,“ jawab Untara.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia tidak dapat memberikan pendapatnya terlalu banyak, karena ia memang tidak banyak mengetahui tentang lingkungan keprajuritan di Pajang yang telah goyah itu.

Demikianlah, setelah minta diri kepada Ki Widura, Glagah Putih dan orang-orangnya yang berada di padepokan itu, maka Untarapun meninggalkan Jati Anom. Ia tidak dapat minta diri kepada Sabungsari dan Agung Sedayu, karena keduanya seolah-olah masih belum menyadari keadaannya. Hanya kadang-kadang mereka mengerti tentang diri mereka. Namun pada suatu saat, mereka seolah-olah menjadi pingsan kembali.

Sepeninggal Untara, padepokan kecil itu menjadi terlalu sibuk. Kiai Gringsing yang sama sekali tidak sempat beristirahat, masih selalu sibuk dengan orang-orang yang terluka. Bukan orang-orang padepokan itu sendiri saja, tetapi juga orang-orang Gunung Kendeng.

Banjar Aking yang parah, juga dirawatnya baik-baik, meskipun orang itu selalu berada di bawah pengawasan yang kuat.

Di bagian lain, orang-orang di padepokan itu sibuk menyelenggarakan orang-orang yang terbunuh di peperangan. Siapapun mereka, maka mereka harus dikuburkan sebaik-baiknya seperti yang seharusnya dilakukan.

Dengan dua orang pengawal, maka pada saat itu Untara berpacu ke Pajang. Setelah ia berbicara dengan Ki Lurah Patrajaya, Ki Lurah Wirayuda dan beberapa orang yang dipercayanya, maka Untara memutuskan untuk singgah di Pajang. Dari beberapa orang ia akan mendapat keterangan, sampai dimana perjalanan Ki Tumenggung Prabadaru bersama pengiringnya.

”Hari ini adalah hari pasowanan,” berkata Untara kepada para pengiringnya, ”para pemimpin dan senapati tertinggi di Pajang akan menghadap di paseban.”

”Apakah kita akan dapat bertemu dengan orang-orang yang kita perlukan?” bertanya pengiringnya.

”Menjelang tengah hari, pasowanan akan dibubarkan jika tidak ada persoalan yang penting sekali. Bahkan dalam persoalan-persoalan yang khusus, maka tidak semua orang diwajibkan ikut membicarakannya,” jawab Untara, ”apalagi pasowanan hari ini bukannya Pasowanan Agung. ”

Pengiringnya mengangguk-angguk. Jika mereka datang terlalu awal, maka mereka tentu akan menunggu sampai pasowanan dibubarkan.

Namun ketika mereka berada di Pajang, ternyata para pemimpin dan senapati tidak menghadap, karena Sultan Pajang sedang dalam keadaan sakit. Seperti yang sering terjadi, maka hari-hari menghadap bagi para pemimpin pemerintahan dan senapati telah ditunda. Hanya orang-orang terpenting sajalah yang dipanggilnya untuk membicarakan tentang beberapa masalah terpenting di Pajang. Namun karena keadaannya, maka pengamatan Sultan Pajang atas keadaan negerinya sudah tidak dapat menyeluruh lagi.

Tetapi Untara terkejut ketika ternyata ia mendapat berita bahwa Ki Tumenggung Prabadaru berada di Pajang pula. Tetapi ia tidak datang bersama seluruh pengiringnya.

”Dimanakah Ki Tumenggung Prabadaru sekarang?” bertanya Untara.

”Ia sedang menghadap Ki Patih, untuk melaporkan bagian dari perjalanan yang telah dilakukan,” jawab orang itu.

Untarapun menjadi berdebar-debar. Namun ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Ki Tumenggung Prabadaru.

”Aku akan menunggu sampai Ki Tumenggung pulang dari Kepatihan,” berkata Ki Untara.

”Mungkin ia lama berada di Kepatihan. Ia sedang mengalami kejutan perasaan, karena salah seorang pengiringnya terbunuh diperjalanan,” berkata orang itu.

Seorang perwira yang dikenalnya dengan baik, segera menceritakan bahwa dalam perjalanan pulang dari Madiun, pengiring Ki Tumenggung Prabadaru yang bernama Ki Pringgajaya telah terbunuh di dalam pertempuran yang kurang seimbang.

”Pertempuran dengan siapa?” Untara mendesak.

”Tidak seorangpun mengetahui. Tetapi iring-iringan kecil prajurit Pajang itu telah dicegat. Setelah berjuang dengan gigihnya, maka Ki Pringgajaya yang terluka arang keranjang itu telah gugur. Namun ia telah membawa serta lima orang korban di pihak lawan,” jawab perwira itu.

”Dari siapa kau dengar berita itu?” bertanya Untara.

”Langsung dari Ki Tumenggung Prabadaru,” jawabnya.

Wajah Untara menjadi tegang. Karena itu maka katanya, ”Aku akan menyusul ke Kepatihan. Apakah Ki Patih tidak menghadap Sultan?”

Perwira itu menggeleng. Dengan suara datar ia menjawab, ”Rekyana Patih mengetahui bahwa Sultan sedang sakit. Dan ternyata Sultan tidak memanggilnya menghadap secara khusus. Karena itulah maka Tumenggung Prabadaru telah menghadap di Istana Kepatihan.”

Untara mengangguk-angguk. Lalu katanya, ”Jika demikian, akupun akan menghadap ke Kepatihan. Adalah kebetulan jika Ki Tumenggung Prabadaru masih berada di Kepatihan.”

Dengan tergesa-gesa, maka Untarapun segera pergi ke Kepatihan. Ia mengharap bahwa ia akan dapat mendengar, apakah yang telah terjadi atas Ki Pringgajaya sejelas-jelasnya.

Ketika ia tiba di Kepatihan, dari para pengawal Kepatihan, ia mengetahui bahwa Ki Tumenggung Prabadaru masih berada di Kepatihan dan justru baru diterima oleh Rekyana Patih. Karena itu, maka Untarapun segera mohon untuk dapat menghadap pula, justru pada saat Ki Tumenggung sedang melaporkan perisitiwa yang sangat menarik baginya itu.

Ki Patih sama sekali tidak berkeberatan. Untarapun kemudian dipersilahkan oleh para pengawal untuk menghadap ke ruang dalam.

Atas perkenan Ki Patih, maka Ki Tumenggung Prabadarupun telah mengulangi laporannya. Ia menceritakan apa yang telah terjadi dengan Ki Pringgajaya diperjalanan seperti yang pernah didengarnya.

Wajah Untara menegang. Namun kemudian ia berdesis, ”Apa boleh buat.”

”Kenapa?” bertanya Tumenggung Prabadaru.

”Sebenarnya aku memerlukannya,” jawab Untara. Namun kemudian ia bertanya, ”Tetapi apakah Ki Tumenggung dan Ki Pringgajaya memang sudah selesai dengan tugas perjalanan di daerah timur itu?”

”Belum,” Ki Tumenggung Prabadaru menggeleng, ”aku sebenarnya hanya ingin menghadap Kanjeng Sultan untuk satu persoalan khusus. Setelah menyampaikan masalah itu, aku akan segera kembali. Sebagian besar dari pengiringku masih tetap berada di tlatah timur. Hanya aku, Pringgajaya dan dua orang sajalah yang kembali ke Pajang. Tidak pernah aku jumpai sesuatu di perjalanan yang nampak selalu tenang. Tetapi tiba-tiba saja kami telah mengalami bencana itu. Kami harus bertempur melawan sekelompok orang yang tidak dikenal. Sampai kami meninggalkan tempat pertempuran itu, kami tetap tidak mengetahui, siapakah yang telah mencegat kami, karena di luar kemauan kami, kami telah membunuh mereka. Aku memang berusaha untuk dapat menangkap mereka hidup-hidup. Tetapi dua orang yang masih hidup, ternyata telah membunuh diri. Sementara Ki Pringgajaya telah gugur dalam pertempuran itu. Sementara aku sendiri juga mengalami luka-luka.”

Untara mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya ia memandang tubuh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi ia tidak melihat segores lukapun di tubuh itu, karena Ki Tumenggung memakai baju yang lain dari yang telah dipergunakannya bertempur.

Untara menggeleng lemah sambil menjawab, ”Terima kasih Ki Tumenggung. Aku kira tidak perlu.”

Ki Tumenggung yang menawarkan untuk membuka bajunya itu tersenyum. Katanya, ”Dengan melihat luka-lukaku, mungkin kau akan dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Mungkin kau pernah mendengar serba sedikit tentang aku dan tentang bawahanmu yang bernama Ki Pringgajaya itu. Dengan demikian, kau akan dapat membayangkan, kekuatan yang luar biasa ternyata sedang mengancam Pajang. Bahwa mereka berhasil membunuh Ki Pringgajaya yang luar biasa itu, dan melukai aku, berarti bahwa di antara merekapun terdapat kekuatan-kekuatan yang harus diperhitungkan.”

Untara mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Ki Pringgajaya adalah seorang prajurit linuwih. Ia memang menduga, bahwa Pringgajaya memiliki kemampuan melampaui kebanyakan prajurit, seperti juga kelebihan yang terdapat pada Sabungsari yang masih berada pada tataran yang terendah.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, ”Mudah-mudahan peristiwa pahit ini tidak menimpa Sabungsari. Tiga kali ia telah terluka, sementara kenaikan derajadnya sedang dalam persiapan. Mudah-mudahan ia sempat menghayatinya.”

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Prabadarupun telah bercerita lebih terperinci lagi, bagaimana Ki Pringgajaya dengan kemampuannya yang luar biasa, bertahan sampai nafasnya yang terakhir.

”Aku mengaguminya,” berkata Ki Tumenggung Prabadaru, ”seharusnya aku memang memberitahukan hal ini kepadamu. Tetapi aku baru datang dari perjalanan yang mengalami nasib buruk itu. Setelah laporan-laporanku selesai di pusat pemerintahan ini, baru aku akan menemuimu dan memberitahukan hal ini kepadamu, atau lewat saluran yang seharusnya, karena Ki Pringgajaya adalah bawahanmu.”

Untara mengangguk sambil menjawab, ”Terima kasih Ki Tumenggung. Yang aku dengar ini memang telah mengejutkan aku. Aku sangat berkepentingan dengan Ki Pringgajaya. Tetapi karena ia telah gugur, maka tidak sebaiknya aku menjelekkan namanya.”

”Apakah sebenarnya yang telah terjadi atasnya?” bertanya Ki Tumenggung Prabadaru, “Ketika Pringgajaya akan berangkat, kau sudah menunjukkan sikap yang aneh. Sekarang, kau masih selalu mempersoalkannya.”

Untara menarik nafas dalam dalam. Katanya, ”Persoalan yang khusus terjadi dalam pasukanku.”

Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Karena yang ingin diketahui sudah didengarnya, maka Untarapun kemudian mohon diri kepada Tumenggung Prabadaru dan kepada Rekyana Patih. Ia akan segera kembali ke Jati Anom, untuk mengatur segala sesuatunya karena peristiwa yang telah terjadi. Ki Untara sengaja tidak mengatakannya kepada Ki Prabadaru. Ia ingin membuat laporan lewat saluran yang seharusnya. Apalagi ia tidak berada langsung di bawah kepemimpinan Ki Tumenggung Prabadaru.

”Nampaknya Ki Patih tidak menaruh perhatian khusus terhadap peristiwa yang terjadi atas Ki Pringgajaya,” berkata Untara di dalam hatinya. Apalagi ia mengetahui, bahwa nampaknya perhatian Ki Patih terhadap pemerintahanpun sangat dipengaruhi oleh keadaan Kanjeng Sultan. Hambar.

Ada perasaan kecewa yang bergejolak di hati Untara. Pringgajaya adalah rambatan untuk menelusur ke tingkat yang lebih tinggi, atas orang-orang yang mempunyai sikap yang dapat merugikan Pajang dalam keseluruhan. Bukan saja karena ancaman terhadap adiknya, tetapi Untara tidak dapat melepaskan persoalannya dengan bayangan sekelompok orang yang merindukan masa kejayaan Majapahit. Apakah hal itu hanya sekedar dipergunakan untuk mempengaruhi banyak orang yang akan dapat dipakai sebagai alas tujuan mereka, ataukah memang benar-benar suatu mimpi atas kejayaan masa lampau, namun sikap itu tentu tidak akan dapat dibenarkan.

Dengan berbagai macam dugaan dan pertimbangan, Untara mencoba mengurai keterangan Ki Tumenggung Prabadaru. Ki Tumenggung tidak dapat memberikan keterangan yang jelas tentang tempat peristiwa itu terjadi. Ia hanya mengatakan, bahwa peristiwa itu terjadi di ujung sebuah hutan yang lebat. Namun jalur jalan yang lewat di pinggir hutan itu adalah jalur jalan yang banyak dilalui orang. Ki Tumenggungpun mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi peristiwa yang serupa. Apalagi hutan itu sudah tidak terlalu jauh lagi dari Kota Raja meskipun masih terletak disebelah timur Bengawan.

”Ia harus dapat mengingat dimana Ki Pringgajaya dikuburkan,” berkata Untara di dalam hatinya, ”pada suatu saat keluarganya tentu akan menjenguknya atau bahkan memindahkannya.”

Tetapi Untara tidak mengatakan sesuatu.

Ketika Untara sampai ke rumahnya, malam telah menyelubungi Jati Anom. Tetapi ia tidak ingin beristirahat. Setelah minum beberapa teguk, maka iapun segera pergi ke padepokan Kiai Gringsing. Kecuali ia ingin segera menceritakan tentang Ki Pringgajaya yang terbunuh, ia juga ingin segera melihat keadaan adiknya.

Ternyata Agung Sedayu dan Sabungsari telah berangsur baik. Mereka telah menyadari keadaan mereka sepenuhnya, meskipun mereka masih nampak lemah sekali. Leher Agung Sedayu benar-benar bagaikan terbakar. Betapa dahsyatnya sentuhan tangan Jandon. Seandainya Agung Sedayu sama sekali tidak dapat melindungi dirinya dengan ilmu kebal yang masih baru saja dipelajarinya, maka seluruh tubuhnya tentu sudah terbakar oleh sentuhan-sentuhan tangan Jandon.

Selain kedua anak muda itu, Banjar Akingpun ternyata sudah menjadi bertambah baik pula. Betapa kecewa dan kemarahan nampak membayang di wajahnya ketika ia menyadari, bahwa ia menjadi tawanan prajurit Pajang di Jati Anom.

”Maaf, Ki Banjar Aking,” berkata seorang perwira pembantu Untara yang menjaga orang itu, “aku terpaksa mengikat kaki Ki Banjar Aking. Aku tahu, bahwa Ki Banjar Aking adalah orang yang tidak ada taranya. Jika keadaan Ki Banjar Aking berangsur baik, aku kira dadung yang mengikat kakimu itupun tidak akan ada artinya.”

Banjar Aking hanya dapat mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, maka Untarapun kemudian duduk di pendapa bersama Kiai Gringsing dan Widura. Mereka mulai membicarakan berita yang dibawa oleh Untara tentang Ki Pringgajaya.

Kiai Gringsing dan Ki Widura mendengarkan keterangan Untara dengan saksama. Sementara Untarapun menceritakan segalanya yang didengar dari Ki Tumenggung Prabadaru.

”Ada beberapa hal yang menarik,” berkata Widura, ”bukankah kau juga pernah melalui jalan itu ke Madiun seperti aku juga pernah melakukannya, meskipun sudah lama sekali.”

”Ya Paman,” jawab Untara, lalu iapun bertanya kepada Kiai Gringsing, ”apakah Kiai pernah juga melalui jalan yang disebut oleh Ki Tumenggung Prabadaru?”

”Ya. Aku juga pernah melaluinya, meskipun juga sudah lama,“ jawab Kiai Gringsing.

”Menurut Ki Tumenggung Prabadaru, keadaan Ki Pringgajaya tidak memungkinkan lagi untuk dibawa ke Pajang. Karena itu, dengan bantuan orang-orang padukuhan terdekat, maka tubuh itupun dimakamkannya,” berkata Untara. Kemudian, ”Jika diperlukan, Ki Prabadaru akan menunjukkan, dimanakah Ki Pringgajaya itu dimakamkan.”

”Ia harus dapat mengingat dengan baik,” berkata Widura, ”setiap saat, apakah ia pimpinan prajurit Pajang, ataukah keluarganya, tentu ingin melihat makam itu.”

”Tidak sulit. Mungkin Ki Tumenggung sudah memberikan tanda apapun juga. Mungkin sebatang pohon, mungkin batu yang besar atau tanda-tanda lain yang tidak mudah hilang dan rusak,” berkata Kiai Gringsing. Namun ia meneruskan, ”Meskipun demikian, berita itu memang harus mendapat pertimbangan yang khusus. ”

Ki Untara dan Ki Widura mengangkat wajahnya. Hampir bersamaan mereka bertanya, ”Maksud Kiai?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Mungkin tanggapan kita tidak jauh berbeda. Apakah kita dapat menganggap berita itu meyakinkan?”

Untara bergeser setapak. Katanya, ”Itulah yang aku pikirkan Kiai. Tiba-tiba saja Ki Tumenggung sudah berada di Pajang dengan berita kematian Ki Pringgajaya. Tetapi bagaimanapun juga, aku harus memperhitungkan. Seandainya Gembong Sangiran yang lolos dari kematian di padepokan ini berusaha memberitahukan hal ini kepada Ki Pringgajaya, maka aku kira, Ki Tumenggung Prabadaru tidak akan sudah berada di Pajang, pada pagi harinya dari peristiwa di padepokan ini, sekaligus membawa berita kematian Ki Pringgajaya.”

”Memang ada beberapa kemungkinan dapat terjadi Ngger,” berkata Kiai Gringsing, ”sebaiknya kita harus berhati-hati. Kita akan dapat melihat apakah yang dikatakan oleh Ki Tumenggung itu benar.”

”Apa yang dapat kita lakukan Kiai?” bertanya Untara.

”Menelusuri jalan ke Madiun. Kita akan dapat mendengar cerita kematian itu. Jika peristiwa itu benar terjadi, maka hampir setiap orang akan mengetahuinya. Berita itu dalam sehari akan menjalar dari seseorang ke orang lain, dari satu padukuhan ke padukuhan lain,” jawab Kiai Gringsing.

Untaara mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, ”Tugas baru bagi Ki Lurah Patrajya dan Ki Lurah Wirayuda.”

Demikianlah, maka untuk beberapa saat lamanya, Untara masih berbincang dengan Kiai Gringsing dan Ki Widura. Mereka merencanakan cara yang manakah yang paling baik akan ditempuh. Namun mereka berkesimpulan untuk melihat, apakah yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru itu benar, atau karena Ki Tumenggung mempunyai perhitungan lain atas Ki Pringgajaya, sehingga ia mengatakan apa yang tidak sebenarnya terjadi.

”Rasa-rasanya ada sesuatu yang pantas dicurigai pada Ki Tumenggung Prabadaru. Mungkin ia memang terlibat langsung dalam gerakan yang sama. Tetapi mungkin ia sekedar ingin memecahkan masalah yang timbul karena sikapku atas Ki Pringgajaya,” berkata Untara kemudian.

”Nampaknya segala sesuatu di padepokan ini memang sudah selesai Ngger,” berkata Kiai Gringsing, ”yang terbunuh sudah dikuburkan, yang terluka berat sedang aku rawat, sementara yang terluka kecil, telah dibubuhi obat yang akan dapat segera menyembuhkannya. Karena itu, maka orang-orang yang ada di padepokan ini akan dapat Angger perintahkan untuk tugas-tugas lain, sementara Angger telah menempatkan secara terbuka sekelompok prajurit di sini.”

Untara mengangguk-angguk. Ia memang ingin berbuat dengan cepat. Karena itu, maka iapun segera memanggil Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Meskipun ada juga goresan-goresan luka di tubuh mereka, namun tidak mempunyai pengaruh yang dapat menghambat tugas-tugas mereka.

Dengan singkat Untara memberikan beberapa petunjuk apa yang harus mereka lakukan. Bahkan kemudian Untarapun bertanya, ”Apakah salah seorang dari kalian mempunyai sanak kadang yang tinggal di Madiun?”

”Aku mempunyai seorang kadang seperguruan yang tinggal di Madiun,” jawab Ki Lurah Patrajaya, ”aku akan dapat mengunjunginya tanpa prasangka orang lain.”

”Nah, segera berangkatlah. Besok kalian akan menelusuri jalan ke Mediun. Kalian akan mendengarkan cerita orang di sepanjang jalan, apakah benar-benar telah terjadi seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru.”

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa tugas baru itupun merupakan tugas yang cukup berat bagi mereka.

Demikianlah, setelah sekali lagi Ki Untara menengok Agung Sedayu dan Sabungsari, maka iapun segera minta diri. Kepada pimpinan pasukan yang dipercayanya mengawasi padepokan kecil itu, iapun memberikan beberapa pesan, agar mereka selalu berhati-hati.

Seperti yang dikatakan oleh Untara, maka malam itu juga, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda segera mempersiapkan diri. Mereka masih mendapat kesempatan untuk beristirahat beberapa saat menjelang matahari terbit.

Ketika langit di timur menjadi merah oleh cahaya fajar, maka kedua orang itu telah bersiap. Dengan membawa sekedar bekal, maka merekapun meninggalkan padepokan kecil itu, setelah minta diri kepada semua penghuninya, termasuk Agung Sedayu dan Sabungsari yang terluka. Sementara Glagah Putih telah didera oleh suatu keinginan untuk ikut dalam perjalanan yang demikian. Namun Ki Widura telah melarangnya, karena yang berangkat ke Madiun itu adalah petugas-petugas yang sedang mengemban kewajiban yang berat. Mereka memang agak berbeda dengan Agung Sedayu yang masih kadang sendiri.

Ki Lurah Patrajaya Ki Wirayuda itu telah mendapat pesan pula dari Kiai Gringsing, agar mereka singgah di Sangkal Putung.

”Tidak perlu Swandaru, istrinya dan Sekar Mirah menengok ke padepokan ini. Katakan, bahwa keadaan Agung Sedayu berangsur baik. Sementara itu yang aku kehendaki, justru agar mereka bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Mungkin sekali Gembong Sangiran mengarahkan dendam mereka kepada Swandaru seperti yang pernah dilakukan oleh Carang Waja. Karena itu, maka sebaiknya Sangkal Putung meningkatkan pengawasan atas Kademangan mereka. Tidak mustahil bahwa mereka harus berusaha untuk menentang sirep,” berkata Kiai Gringsing.

Kedua orang yang berangkat dari padepokan kecil di Jati Anom itu mengangguk-angguk. Merekapun kemudian menuju ke Sangkal Putung untuk menyampaikan pesan Kiai Gringsing itu, baru kemudian mereka akan meneruskan perjalanan ke timur. Namun seperti yang telah disepakati, mereka harus menghindarkan diri dari pengenalan orang-orang Pajang, apalagi mereka yang terlibat bersama Ki Tumenggung Prabadaru.

Perjalanan ke Sangkal Putung, bukanlah perjalanan yang terlalu jauh. Karena itu, maka kedua orang itupun setelah berpacu beberapa lamanya, telah memasuki Kademangan Sangkal Putung.

Kedatangan mereka berdua memang mengejutkan. Apalagi ketika mereka mengatakan, bahwa mereka mendapat pesan dari Kiai Gringsing.

Dengan jelas Ki Lurah Wirayuda menceritakan apa yang telah terjadi di padepokan kecil itu. Iapun kemudian menyampaikan pesan Kiai Gringsing, bahwa mereka tidak perlu pergi ke Jati Anom. Justru mereka harus berhati-hati dan meningkatkan pengawasan.

Swandaru menggeram menahan gejolak perasaannya. Namun kemudian ia berkata, ”Terima kasih Ki Sanak. Kami akan melakukan segala pesan Guru. Dengan demikian, kami akan dapat dengan hati-hati mengamankan kademangan ini, seandainya orang-orang Gunung Kendeng itu memalingkan wajahnya ke kademangan ini.”

Ternyata Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda tidak terlalu lama berada di Sangkal Putung. Merekapun segera mohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.

”Apakah Ki Sanak berdua akan pergi ke Pajang?” bertanya Ki Demang.

”Aku akan menengok keluargaku, Ki Demang,” jawab Ki Lurah Patrajaya.

Orang-orang Sangkal Putung itu tidak bertanya lebih lanjut. Sementara kedua orang itu tidak mengatakan, bahwa mereka akan pergi ke Madiun, meskipun kepada murid Kiai Gringsing.

Perjalanan ke Madiun itu merupakan perjalanan yang cukup berat. Mereka tidak sekedar melalui jalan-jalan panjang, melintasi bengawan dengan rakit, kemudian berpacu di jalan yang menyelusuri tepi hutan. Tetapi mereka harus mencari berita, apakah benar telah terjadi seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

Karena itu, maka yang penting bagi kedua orang itu bukannya kecepatan mereka mencapai tujuan, tetapi justru mereka akan sering berhenti di perjalanan. Terutama di daerah seperti yang dikatakan oleh Untara menurut pendengarannya dari Ki Tumenggung Prabadaru.

Karena itu, maka mereka justru memperhitungkan, bahwa mereka akan kemalaman di jalan justru di padukuhan itu. Keduanya akan bermalam di banjar apabila keduanya diperkenankan oleh Ki Demang atau orang yang dikuasakannya.

Ternyata bahwa mereka dapat melakukan rencana itu sebaik-baiknya. Mereka sampai ke padukuhan yang disebut oleh Untara, di sebelah ujung hutan, pada saat matahari mulai terbenam.

Kedatangan kedua orang yang kemalaman di perjalanan itu, telah diterima oleh orang yang dikuasakan menunggui banjar kademangan. Dengan merendahkan diri keduanya mohon agar diperkenankan bermalam di padukuhan itu.

Namun dalam pada itu, ketajaman tanggapan Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda dapat menangkap kecurigaan yang memancar pada sorot mata orang itu. Bahkan kemudian terasa betapa teliti orang itu bertanya tentang kedua orang yang mohon untuk diijinkan bermalam.

Tetapi Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda sudah bersiap-siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memang sudah diperhitungkan. Karena itu maka keduanya dapat menjawab dengan lancar tanpa melakukan kesalahan.

”Baiklah,” berkata orang yang menunggui banjar itu, ”kalian berdua aku ijinkan tinggal di banjar ini semalam. Kalian dapat bermalam di sini, tetapi dengan pengertian sebelumnya, mungkin kalian terganggu sehingga kalian tidak akan dapat tidur dengan nyenyak.”

”Apakah yang akan mengganggu kami Ki Sanak?” bertanya Ki Lurah Patrajaya.

”Setiap malam banjar ini penuh dengan anak-anak muda. Kadang-kadang sampai lima belas orang, sementara yang lain tersebar di gardu-gardu,” jawab orang itu.

”O,” kedua orang yang akan bermalam itupun terkejut, ”apakah kademangan ini termasuk kademangan yang tidak aman?”

”Sebelumnya tidak pernah terjadi,” berkata orang itu, ”tetapi baru saja terjadi peristiwa yang mengejutkan kami semuanya. Karena itulah maka aku terpaksa bersikap hati-hati menerima kalian berdua bermalam di banjar ini.”

Kedua orang itupun seakan-akan mendapat jalan untuk menyampaikan beberapa pertanyaan, sehingga keduanya telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Dari orang itu, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda mendengar bahwa telah terjadi perampokan atas sekelompok prajurit dari Pajang.

”Aneh,” berkata Ki Patrajaya, ”kenapa justru mereka merampok sekelompok prajurit? Apakah mereka menganggap bahwa prajurit Pajang itu membawa bekal yang cukup? Atau barangkali mereka menginginkan pusaka yang dibawa oleh para prajurit itu?”

Orang itu menggeleng. Jawabnya, ”Kami tidak tahu.. Tetapi agaknya para perampok itu telah keliru memilih sasaran.”

”Kenapa? Apakah mereka kemudian menyesal?”

Orang itupun kemudian menceritakan, bahwa yang terjadi adalah pertempuran yang sengit. Sekelompok prajurit Pajang dalam perjalanan kembali ke Kota Raja. Kelompok prajurit itu melewati padukuhan itu lewat senja. Tetapi di ujung hutan sekelompok prajurit itu telah bertemu dengan sekelompok perampok yang ganas.

”Tetapi perampok itu telah dihancurkan. Lebih dari lima orangnya telah terbunuh. Sementara seorang prajurit telah tewas pula,” berkata orang itu kemudian.

Hampir di luar sadarnya, Ki Lurah Wirayuda bertanya, ”Apakah Ki Sanak mengetahui, siapakah nama prajurit yang tewas itu?”

”Menurut keterangan pemimpin kelompok prajurit itu, justru yang telah gugur itu adalah seorang prajurit linuwih setelah ia sendiri dapat membunuh lawan-lawannya. Menurut para prajurit itu, namanya adalah Ki Pringgajaya,” jawab orang itu.

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Pringgajaya benar-benar telah terbunuh dalam keadaan yang sama sekali tidak terduga, dan yang barangkali sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa di Jati Anom.

”Kami telah membantu mengubur mayatnya,” berkata orang itu.

”Bersama-sama dengan para perampok yang tewas?” bertanya Ki Lurah Wirayuda.

”Tidak. Mayat-mayat dari para perampok itu kemudian dapat diselamatkan oleh kawan-kawannya yang jumlahnya tidak seimbang. Namun ternyata bahwa jumlah yang banyak itu tidak dapat mengimbangi kemampuan para prajurit. Agaknya para perampok itu mengira, bahwa yang lewat adalah sekelompok pedagang dari daerah timur yang akan memasuki kota Pajang dengan membawa bermacam-macam barang dagangan.”

Kedua Lurah dalam tugas sandi Pajang itu mengangguk-angguk. Cerita itu cukup jelas. Orang itupun dapat menceritakan, bahwa beberapa prajurit Pajang telah terluka selain yang terbunuh. Bahkan pemimpin prajurit Pajang itupun telah terluka parah. Tetapi karena tanggung jawabnya, maka ia tetap memegang pimpinan dan setelah penguburan itu selesai, mereka melanjutkan perjalanan.

Semuanya menjadi jelas. Karena itu, maka sebenarnya tugas perjalanan mereka telah selesai.

Namun demikian, mereka masih memerlukan keterangan lebih banyak lagi. Di malam hari, seperti yang dikatakan oleh penjaga banjar itu, banyak anak-anak muda yang berkumpul dengan senjata di lambung. Dari mereka Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda juga mendengar cerita tentang kematian seorang prajurit Pajang. Bahkan mereka dapat menceritakan lebih banyak dan lebih jelas lagi.

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda tidak mempunyai alasan lagi untuk tidak mempercayainya. Anak-anak muda di padukuhan itu tahu benar apa yang telah terjadi. Sebagian dari mereka telah ikut membantu menguburkan seorang prajurit Pajang yang bernama Ki Pringgajaya.

Namun demikian, ketika fajar menyingsing, maka keduanya telah mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Mereka tidak dapat langsung kembali ke Pajang, karena dengan demikian, maka orang-cang di padukuhan itu akan mencurigainya.

Di segarnya matahari pagi, maka kedua orang petugas sandi dari Pajang yang tidak banyak dikenal oleh prajurit-prajurit Pajang sendiri itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke Madiun. Tidak ada lagi yang harus mereka lakukan, selain menghapus kecurigaan orang-orang padukuhan yang ditinggalkan.

Meskipun demikian, kedua orang itu masih saja selalu memperhatikan setiap keadaan di sepanjang jalan. Namun agaknya kehidupan berjalan seperti biasa. Tidak ada akibat yang langsung mengganggu ketenangan hidup rakyat di sepanjang jalan karena peristiwa itu.

Ternyata jalan menuju ke Mediun bukanlah jalan yang sepi di siang hari. Ada beberapa orang berkuda lewat di sepanjang jalan itu pula. Bahkan mereka telah bertemu dengan beberapa pedati dan cikar yang membawa barang-barang dari daerah timur menuju ke Pajang.

Namun dalam pada itu, Ki Lurah Patrajaya bertanya kepada Ki Lurah Wirayuda, ”Kau merasa sesuatu yang pantas mendapat perhatian kita?”

”Orang berkuda di belakang kita,” jawab Ki Wirayuda.

Ki Patrajaya mengangguk-angguk. Nampaknya keduanya merasa bahwa seseorang sedang mengikuti mereka sejak mereka meninggalkan padukuhan tempat mereka bermalam. Mereka tidak tahu pasti sejak kapan orang berkuda itu mengikutinya. Atau secara kebetulan orang berkuda itu menuju ke tujuan yang sama. Mereka merasa curiga karena jarak antara keduanya dan orang berkuda itu seakan-akan tidak berubah.  

Tetapi Ki Patrajaya dan Ki Wirayuda tidak berbuat sesuatu. Mereka membiarkan orang berkuda itu mengikutinya. Bahkan keduanya mengira, bahwa orang itu adalah salah seorang pengawal padukuhan tempat mereka bermalam untuk mengamati apakah keduanya benar-benar pergi ke Madiun.

Namun, beberapa saat kemudian, menjelang memasuki jalur jalan menuju ke pintu gerbang kota Madiun, orang berkuda itu mempercepat lari kudanya. Tanpa menghiraukan kedua orang petugas sandi itu, orang berkuda itu telah mendahului mereka.

Meskipun Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda ingin memperhatikan orang itu, namun mereka tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas. Namun agaknya mereka masih belum mengenal orang yang nampaknya telah menjelang usia tuanya. Meskipun demikian, nampaknya tujbuh dan sikapnya masih kokoh dan utuh.

Untuk beberapa saat Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda tidak lagi menghiraukan orang berkuda yang semakin jauh meninggalkan mereka. Bahkan ketika sekali-sekali Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda berhenti dan singgah di kedai yang terletak di pinggir jalan itu, sama sekali tidak ada kesan apapun yang dapat mengganggu perasaan mereka dan mengungkit kecurigaan.

Dengan tanpa prasangka apapun keduanya kemudian memasuki kota Madiun. Ki Patrajaya memang mempunyai seorang saudara seperguruan, sehingga ada tempat yang langsung dapat mereka kunjungi

Namun Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda terkejut ketika mereka sudah berada di regol halaman rumah itu, seekor kuda berlari mendahului. Apalagi ketika ternyata bahwa penunggang kuda itu adalah orang yang mereka sangka telah mengikuti mereka di sepanjang jalan menuju ke Madiun.

Sejenak keduanya berhenti. Dengan suara datar Ki Lurah Wirayuda berkata, ”Bukan sekedar kebetulan.”

”Ya,” sahut Ki Lurah Patrajaya, ”aku akan mengatakan kepada kadang seperguruanku.”

”Tetapi apakah dengan demikian kita sudah melibatkan orang lain yang mungkin tidak tahu menahu sama sekali dengan tugas kita?” bertanya Ki Lurah Wirayuda.

Ki Lurah Patrajaya termenung sejenak. Namun kemudian katanya, ”Ia adalah kadang seperguruanku. Ia akan dapat mengerti keadaanku, meskipun aku tidak perlu mengatakan bahwa kita adalah petugas sandi dari Pajang.”

Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Iapun mengerti arti kadang seperguruan, yang tidak ubahnya dengan saudara kandung sendiri. Apalagi di dalam menghadapi kesulitan. Maka kesetia-kawanan seorang kadang seperguruan, kadang-kadang lebih besar dari saudara kandung sendiri.

Demikianlah, maka keduanyapun telah meloncat turun dari kudanya dan memasuki regol halaman. Adalah kebetulan sekali bahwa orang yang mereka cari itupun sedang berada di rumah pula.

Kedatangan Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah disambut gembira oleh saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu. Sudah lama mereka tidak bertemu. Karena itu, pertemuan itu merupakan pertemuan yang menyenangkan.

“Pantas, hampir sehari penuh burung perenjak berkicau di halaman. Ternyata ada tamu yang sudah lama aku tunggu-tunggu,” berkata saudara seperguruan Ki Patrajaya itu.

Ki Lurah Patrajaya kemudian memperkenalkan kawan seperjalanannya. Meskipun mereka berdua tidak memperkenalkan tugas mereka yang sesungguhnya.

Tetapi saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu berkata, ”Kedatanganmu ke pondok ini sebenarnya sangat mengejutkan. Meskipun aku senang sekali atas kunjunganmu, tetapi hatikupun menjadi berdebar-debar.”

Ki Lurah Patrajaya tersenyum. Jawabnya, ”Aku tidak mempunyai tujuan tertentu selain sekedar ingin bertemu dengan saudara kita yang sudah lama berpisah.”

Saudara seperguruannya tidak mendesak meskipun nampak juga dari sorot matanya, bahwa masih ada beberapa pertanyaan yang tersembunyi di dasar hatinya.

Dalam pada itu, dengan sungguh-sungguh seisi rumah itu telah menjamu kedua tamunya. Mereka merasa gembira pula, ketika mereka mengetahui bahwa tamu mereka akan bermalam di rumah itu pula.

Namun dalam pada itu, ketika mereka kemudian duduk bercakap-cakap di pendapa, maka Ki Lurah Patrajayapun mulai menyebut orang berkuda yang mencurigakan itu.

”Orang itu mengikuti aku sejak aku menyeberang bengawan,” berkata Ki Lurah Patrajaya.

Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, ”Apakah ketika kau sekali-sekali berhenti di warung, atau berhenti memberi minum kudamu, orang itu juga berhenti?”

”Mendekati kota Madiun, orang itu telah mendahului kami,” jawab Ki Lurah Patrajaya, ”tetapi demikian kami berdua berhenti di regol, orang itu telah melampaui kami dengan cepatnya tanpa menoleh sama sekali.”

Saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, ”Sebaiknya kita tidak usah terlalu dipengaruhi oleh peristiwa itu. Mungkin orang itu memang bermaksud jahat. Mungkin kau dikiranya seorang pedagang atau seorang yang memiliki harta benda. Tetapi ketika ia melihat, bahwa kau singgah di rumah yang tidak berarti apa-apa ini, maka orang itu tentu tidak akan menaruh perhatian atasmu lagi.”

Ki Lurah Patrajaya mengangguk-angguk. Namun saudara seperguruannya itupun berkata, ”Meskipun demikian, tidak ada salahnya, jika kita harus berhati-hati. Aku mempunyai dua orang pembantu di rumah ini. Biarlah mereka ikut mengawasi suasana malam ini. Mungkin sesuatu akan terjadi. Meskipun demikian, kalian dapat beristirahat sebaik-baiknya. Jika terjadi sesuatu, biarlah orang-orangku itu memberitahukan kepada kalian. Hanya orang yang kehilangan akal sajalah yang akan berani mengganggu kalian berdua.”

”Ah,” desis Ki Patrajaya, ”rumah ini agaknya rumah hantu pula bagi orang-orang yang bermaksud jahat. Karena itu, maka ketika aku berhenti di muka rumah ini, maka orang berkuda itu segera berpacu.”

Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pendapa itupun tertawa. Bahkan kemudian mereka berbicara tentang beberapa masalah, tentang diri masing-masing dan pengalaman mereka selama mereka berpisah.

Meskipun demikian, Ki Patrajaya sama sekali tidak menyinggung tugasnya sebagai seorang petugas sandi dari Pajang di bawah perintah langsung Ki Untara. Ia mengatakan, bahwa selama ini ia adalah seorang petani yang memiliki tanah yang cukup dan bahkan mempunyai sebidang tanah yang dapat dibuatnya menjadi belumbang. Dari belumbang itu ia mempunyai penghasilan yang cukup untuk membeli garam dan gula.

”Kau tidak nderes sendiri?” bertanya saudara seperguruannya.

Ki Patrajaya menggeleng. Jawabnya, ”Dahulu. Sekarang tidak lagi, karena kakiku telah menjadi cacat. Aku pernah terjatuh.”

Pembicaraan merekapun kemudian bergeser dari satu persoalan ke persoalan yang lain. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa tergelak-gelak. Sekali-sekali mereka nampak berbicara dengan sungguh-sungguh.

Namun akhirnya, ketika malam menjadi semakin dalam, kedua orang tamu itupun dipersilahkan beristirahat di gandok sebelah kanan. Sementara saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itupun telah memanggil dua orang pembantunya.

”Awasi keadaan,” perintah saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu. Dengan singkat ia bercerita tentang orang berkuda yang mengikuti tamunya dari sebelah timur bengawan sampai ke pinggir kota. Bahkan kemudian orang itu melintas pula di depan regol rumahnya ketika kedua tamunya itu telah berada di depan regol.

”Baiklah Ki Lurah,” jawab salah seorang pembantunya.

”Jangan berada di regol,” berkata saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya, ”beradalah di serambi gandok yang terlindung. Kalian dapat mengawasi halaman dan regol itu, sementara kalian tidak segera dapat dilihat oleh orang yang berada di halaman. Kalian harus bergantian tidur, agar kalian dapat melihat apa yang terjadi. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Besok kalian dapat tidur sehari penuh. Tetapi jika terjadi sesuatu, kalian dapat membangunkan tamu-tamu itu, sebelum kalian membangunkan aku. Tamu-tamuku itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tidak ada bndingnya.”

Kedua orang itupun dengan sungguh-sungguh telah melaksanakan perintah-perintah saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya. Keduanya telah duduk di amben bambu di serambi berkerudung kain panjang berwarna kelam. Karena keduanya terlindung dari cahaya lampu minyak, maka keduanya memang tidak nampak dari halaman atau dari regol.

Kedua orang itu telah mengatur waktu mereka. Yang seorang akan tidur dahulu sambil bersandar pada sandaran amben bambu, sementara yang lain duduk mengawasi keadaan. Kemudian pada waktu yang telah disepakati, yang seorang akan membangunkan yang lain, dan bergantian ia akan tidur sampai pagi.

Namun dalam pada itu, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayudapun tidak kehilangan kewaspadaan. Merekapun ternyata tidak dapat tidur bersama-sama. Merekapun telah membagi waktu mereka seperti penjaga di serambi.

”Ternyata hati kami terlampau kecil,” desis Ki Lurah Wirayuda sambil tertawa, ”peristiwa yang barangkali hanya kebetulan itu telah membuat kami gelisah.”

”Kami adalah orang-orang yang penuh dengan curiga, cemas dan kadang-kadang berprasangka. Itu adalah pengaruh dari tugas-tugas kami selama ini. Karena, jika umurku sudah menjadi semakin tua, aku ingin berganti pekerjaan menjadi juru misaya mina. He, bukankah tanahku yang terbentang di pinggir bengawan itu dapat dijadikan belumbang ikan air tawar?” desis Ki Lurah Patrajaya.

Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Tetapi desisnya, ”Jika aku masih menjawab berarti aku tidak akan sempat tidur. Demikian pembicaraan tentang belumbang selesai, maka waktuku telah habis.”

Ki Lurah Patrajaya tertawa tertahan. Namun iapun kemudian duduk di bibir pembaringannya, sementara Ki Lurah Wirayudapun berbaring di sebelahnya.

Sesaat kemudian terdengar desah nafas Ki Wirayuda yang teratur. Matanya terpejam, dan iapun telah tertidur.

Seperti yang direncanakan, maka pada saatnya Ki Patrajayapun berganti beristirahat, sementara Ki Wirayuda duduk terkantuk-kantuk.

Namun ternyata malam itu mereka lampaui tanpa persoalan yang dapat mengusik ketenangan rumah itu. Tidak ada seorangpun yang datang dengan maksud yang kurang baik. Sehingga orang-orang yang ada di dalamnya sama sekali tidak merasa terganggu sama sekali.

Di pagi hari yang cerah, Ki Patrajaya dan Ki Wirayuda telah bersiap untuk mulai lagi dengan perjalanannya. Mereka telah mohon diri untuk kembali ke Pajang setelah semalam mereka berada di tempat saudara seperguruan Ki Patrajaya.

”Sebenarnya, apakah keperluanmu datang ke rumah ini?” bertanya saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu. Lalu, ”Jika kau benar-benar hanya ingin menengok setelah sekian lama kita tidak bertemu, maka aku benar-benar mengucapkan banyak terima kasih.”

Ki Lurah Patrajaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Kakang, aku memang hanya ingin menengokmu di sini. Aku ingin agar hubungan kita tidak terputus. Selama ini seolah-olah di antara kita tidak ada tali pengikat sama sekali. ” Ki Lurah Patrajaya terdiam sejenak, namun kemudian katanya, ”Tetapi mungkin pada suatu saat aku akan datang lagi dalam keadaan yang agak berbeda. Mungkin pada suatu saat aku datang sambil menangis, mohon agar Kakang bersedia membantu aku.”

”Uh, kau memang kurang waras,” sahut saudara seperguruannya, ”baiklah. Mungkin sekarang kau masih segan untuk mengatakannya. Datanglah lain kali. Aku senang sekali jika aku mendapat kesempatan membantumu. Dengan demikian, jika aku memerlukan bantuanmu, akupun tidak akan segan-segan mengatakannya.”

Ki Lurah Patrajaya tertawa pendek. Namun iapun kemudian sekali lagi mohon diri kepada seluruh keluarga saudara seperguruannya untuk kembali bersama seorang kawannya, yang telah mengucapkan banyak terima kasih atas perlakuan yang sangat ramah.

Demikianlah, maka kedua orang itupun segera menempuh perjalanan kembali ke Pajang. Tidak seperti saat mereka berangkat, mereka tidak perlu berhenti dan apalagi bermalam di jalan. Mereka akan menempuh perjalanan langsung sampai ke Jati Anom, meskipun malam hari mereka baru akan tiba. Bahkan tengah malam.

Tetapi sekali-sekali merekapun merasa perlu untuk berhenti. Bukan saja untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat. Tetapi kedua orang itupun perlu juga singgah di kedai-kedai di pinggir jalan untuk melepaskan haus dan lapar. Namun yang penting, mereka masih ingin mendengar serba sedikit, persoalan yang barangkali ada hubungannya dengan kematian Ki Pringgajaya.

Tetapi mereka tidak mendengar cerita apapun lagi yang dapat melengkapi pendengaran mereka tentang kematian Ki Pringgajaya. Ketika mereka berhenti di sebuah kedai dekat peristiwa itu terjadi, maka yang mereka dengar tidak lebih dan tidak kurang darj cerita yang pernah mereka dengar sebelumnya, bahkan dari orang-orang yang langsung ikut membantu menguburkan mayat perwira yang memiliki ilmu yang luar biasa itu.

Demikianlah, maka kedua orang itu berniat untuk tidak bermalam di perjalanan. Meskipun mereka harus sering berhenti, namun lewat tengah malam, maka mereka telah memasuki Kademangan Jati Anom.

Kedua orang itu tidak langsung menghadap Ki Untara. Mereka menuju ke padepokan kecil tempat tinggal Kiai Gringsing, yang masih dijaga oleh beberapa prajurit.

Ketika kedua orang itu datang, maka prajurit yang bertugaspun segera mempersilahkan mereka masuk. Setelah membersihkan diri, maka keduanya langsung diterima oleh Kiai Gringsing yang terbangun.

”Rasa-rasanya aku tidak sabar menunggu sampai esok,” berkata Kiai Gringsing.

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayudapun mengangguk-angguk.

”Jika kalian berdua tidak terlalu letih, aku ingin mendengar serba sedikit, berita perjalanan yang telah kalian lakukan,“ berkata Kiai Gringsing.

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayudapun mengangguk-angguk. Sambil beringsut setapak, Ki Lurah Patrajaya berkata, ”Baiklah Kiai. Barangkali aku dapat mengatakan, maksud pokok dari perjalanan kami.”

”Ya, ya, khususnya mengenai Ki Pringgajaya,” desis Kiai Gringsing.

”Mendahului laporanku kepada Ki Untara,” berkata Ki Lurah Patrajaya, yang kemudian menceritakan serba sedikit pendengarannya di sepanjang jalan mengenai kematian Ki Pringgajaya. Bahkan iapun sempat menceritakan seseorang yang nampaknya dengan sengaja telah mengikutinya.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Aku tidak tahu tanggapan Angger Untara tentang berita ini. Tetapi aku menduga, bahwa bukanlah suatu kebetulan bahwa perjalanan Ki Tumenggung Prabadaru dan pengiringnya bertemu dengan sekelompok orang-orang yang telah berusaha mengganggu mereka. Apalagi seorang di antara mereka yang terbunuh adalah Ki Pringgajaya.”

Kedua orang yang baru datang dari perjalanan itupun mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, seorang pengawal yang mendapat kepercayaan sepenuhnya dari Untara, telah berpacu ke rumah senapati muda itu di Jati Anom, sesuai dengan permintaan Kiai Gringsing. Prajurit itu diminta untuk memberitahukan, bahwa Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah datang.

”Sampaikan langsung kepadanya,” berkata Kiai Gringsing, ”jika ia tidak sempat dibangunkan, maka kaupun harus menunggu sampai esok pagi.”

Tetapi ternyata bahwa Untara pun tidak menunggu sampai fajar. Diiringi oleh beberapa orang pengawalnya, maka iapun pergi ke padepokan untuk menerima laporan dari kedua orang yang diutusnya menyelusuri perjalanan dan berita kematian Ki Pringgajaya.

Ternyata setelah ia mendengar laporan dari kedua petugas sandinya, ia berkata seperti yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing. ”Aku menjadi curiga. Ada beberapa hal kecil yang agak berbeda dengan cerita Tumenggung Prabadaru. Mungkin ada kesengajaan untuk memutuskan jalur yang melintasi Ki Pringgajaya, dari bawah menuju ke atas, yang tersembunyi di dalam lingkungan Istana Pajang.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun berpendapat demikian. Tetapi yang harus diketemukan kemudian, siapakah yang telah berusaha memutuskan jalur itu. Ki Tumenggung Prabadaru sendiri, atau ia hanyalah sekedar peraga dari satu permainan yang tidak dimengertinya.

”Kita harus mencari, dimanakah otak dari permainan ini,” berkata Kiai Gringsing.

”Bukan orang lain,” sahut Untara, ”tetapi kami, prajurit Pajang sendiri.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa ia mengenal Untara dengan baik, sehingga ia tidak merasa tersinggung karenanya. Bahkan katanya kemudian, ”Angger benar. Persoalannya menyangkut persoalan di dalam lingkungan prajurit Pajang. Tetapi bahwa seorang prajurit Pajang atau lebih telah menyentuh padepokan kecil ini, maka sepantasnya kami terlibat langsung ke dalam persoalannya.”

Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, ”Itupun menjadi kewajiban kami untuk mengusutnya. Dan kami akan melakukannya sebaik-baiknya. Kecuali jika kami memandang perlu, sehingga kami mohon bantuan dari pihak yang manapun juga.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, ”Sementara ini kami hanya dapat berdoa. Mudah-mudahan usaha Angger untuk memecahkan persoalan ini cepat selesai. Namun menurut pendapatku, yang Angger hadapi ini adalah tugas yang sangat berat.”

”Ya Kiai,” jawab Untara, ”kami akan lebih sulit mencari cacat di tubuh sendiri. Tetapi itu harus kami lakukan. Mudah-mudahan aku dapat menemukan orang yang dapat kami bawa bekerja bersama-sama di dalam lingkungan kami. Tetapi jika kami terpaksa, maka kami tentu akan mohon bantuan dari siapapun yang menurut pertimbangan kami akan dapat memberikan pemecahan.”

”Angger,” berkata Kiai Gringsing, ”jika Angger memerlukan, sudah barang tentu aku bersedia untuk melakukan apa saja yang dapat aku lakukan. Namun sebenarnyalah, bahwa lebih dahulu Angger dapat melihat ke dalam diri dan tubuh keprajuritan Pajang.”

”Terima kasih Kiai,” jawab Untara, ”aku akan memikirkannya. Sementara ini kami masih belum dapat berbuat apa-apa. Aku masih harus menilai semua peristiwa yang telah terjadi. Kematian Ki Pringgajaya bagiku merupakan teka-teki. Mungkin Ki Tumenggung Prabadaru sengaja membawa Pringgajaya ke dalam satu kelompok orang yang sudah dipersiapkan, dan menjerumuskannya ke dalam keadaan yang paling pahit setelah ia dianggap tidak berguna lagi, dan bahkan akan dapat menjadi jalur penghubung untuk mencari otak dari permainan yang memuakkan ini.”

”Mungkin Ngger,” desis Kiai Gringsing, ”namun yang perlu diperhitungkan, bahwa peristiwa itu terjadi sebelum, atau selambat-lambatnya bersamaan, dengan kegagalan Gembong Sangiran.”

”Malam itu, tugas Ki Pringgajaya sudah dianggap selesai. Kematian Agung Sedayu dan seisi padepokan ini adalah tugas terakhir yang harus ditunaikannya. Karena itu, demikian tugas terakhirnya selesai, maka iapun harus dibinasakan. Tetapi mungkin juga, Ki Pringgajaya telah melakukan kesalahan dalam tugasnya, atau hal-hal lain yang masih harus dicari,” jawab Untara.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Memang ada seribu kemungkinan yang dapat terjadi atas kematian Ki Pringgajaya. Tetapi sasaran pertama yang akan diamati oleh Untara, sudah barang tentu adalah Ki Tumenggung Prabadaru.

Demikianlah, maka ketika Untara telah mendengar laporan kedua orang petugas sandi itu, maka iapun segera kembali ke rumahnya di Jati Anom, setelah ia menengok Agung Sedayu dan Sabungsari sesaat. Agaknya keduanya sudah dapat tidur meskipun masih nampak gelisah. Sementara orang-orang lainpun di padepokan itu, tidak juga dibangunkannya.

Sepeninggal Untara, maka Kiai Gringsing tidak lagi kembali ke pembaringannya. Beberapa saat lamanya ia berada di dalam bilik Sabungsari yang ditunggui oleh seorang pengikutnya, meskipun sambil tidur pula di atas sehelai tikar di sebelah pembaringan. Kemudian Kiai Gringsingpun beringsut ke bilik Agung Sedayu. Glagah Putih yang biasa tidur bersamanya pada amben yang sama, telah tidur di lantai pula beralaskan tikar. Ia tidak mau mengganggu Agung Sedayu. Jika di dalam tidur tanpa sengaja ia menyentuh luka Agung Sedayu, maka luka itu tentu akan terasa sakit sekali.

Ketika Kiai Gringsing keluar dari bilik Agung Sedayu, maka terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kali. Di langit sebelah timur sudah terbayang warna merah. Beberapa orang cantrik telah terbangun dan melakukan kerja masing-masing.

Ki Widura dan Glagah Putih pun segera terbangun pula. Setelah mereka membersihkan diri, maka sekilas Kiai Gringsing memberitahukan kepada Ki Widura, apa yang sudah dibicarakannya dengan Untara.

”Memang mencurigakan sekali,” berkata Ki Widura, ”tetapi untuk dapat mengatakan dengan pasti apa yang telah terjadi, memang memerlukan waktu dan ketekunan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun pembicaraan merekapun tidak mereka teruskan, karena Kiai Gringsing dan Ki Widurapun segera berada di dalam kesibukan masing-masing. Namun pada satu kesempatan lain, mereka masih akan berbicara lebih panjang.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing tidak dapat melepaskan angan-angannya kepada peristiwa itu. Ia memandang peristiwa yang penuh dengan rahasia itu dari segala segi. Tetapi akhirnya ia menarik nafas sambil berdesah, ”Aku tidak mempunyai bahan yang cukup untuk mengurai peristiwa ini.”

Sebenarnya ada keinginan Kiai Gringsing untuk pergi ke tempat yang dikatakan oleh Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Tetapi ia tidak akan sampai hati meninggalkan Agung Sedayu dan Sabungsari yang terluka parah. Bukan karena kemungkinan datangnya orang-orang Gunung Kendeng, karena di padepokan itu telah terdapat beberapa orang prajurit pengawal pilihan di samping Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda.

Namun jika terjadi perubahan keadaannya dengan tiba-tiba, sementara ia tidak berada di padepokan itu, maka kemungkinan yang paling gawat akan dapat terjadi pada kedua orang yang terluka parah itu.

Tetapi dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing sedang melintas di halaman, ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu di regol halaman, seolah olah sesuatu sedang diperhatikannya dengan saksama.

Langkah Kiai Gringsingpun terhenti. Iapun kemudian pergi ke regol sambil bertanya, ”Apa yang kaulihat Glagah Putih?”

Glagah Putih berpaling Namun kemudian jawabnya, ”Orang berkuda itu. Kiai.”

Ketika Kiai Gringsing sampai ke regol, maka ia masih melihat orang berkuda beberapa tonggak dari regol.

”Siapa?” bertanya Kiai Gringsing.

” Aku tidak tahu Kiai. Kuda itu melintas. Namun kemudian berhenti di tempat itu. Memang sangat menarik perhatian,“ jawab Glagah Putih.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Sementara itu, langit bagaikan dihembus oleh cahaya pagi, menguak kekelaman. Namun dalam keremangan pagi, orang berkuda yang berhenti beberapa tonggak dari regol itu masih belum dapat dilihat dengan jelas.

Kiai Gringsingpun kemudian teringat kepada orang berkuda yang mengikuti Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Karena itu, maka iapun menduga, bahwa orang berkuda itulah yang telah mengikuti kedua orang petugas sandi Pajang itu sampai ke Madiun.

Sejenak Kiai Gringsing merenung. Namun akhirnya ia berkata kepada Glagah Putih, ”Kau di sini saja, aku ingin mendekati. Nampaknya penunggang kuda itu ingin mengatakan sesuatu.”

Kiai Gringsingpun kemudian melangkah mendekati orang berkuda itu. Rupa-rupanya ia ragu-ragu ketika ia melihat kuda itu bergeser menjauh. Namun ketika kuda itu berhenti dan penunggangnya nampak menunggunya, maka iapun melangkah terus.

Glagah Putih memandangi saja Kiai Gringsing dari tempatnya. Tetapi ia tidak memberitahukan kepada siapapun juga. Justru karena ia menjadi asyik dan bahkan tegang.

Ternyata orang berkuda itu memang menunggu. Ketika Kiai Gringsing menjadi semakin dekat, maka kuda itupun melangkah perlahan-lahan mendekatinya.

Beberapa langkah kemudian, Kiai Gringsingpun tertegun. Dengan suara tertahan ia berdesis, ”Pangeran Benawa.”  

”Sst,” desis orang berkuda itu, ”kau tidak usah menyebut aku dan mengatakannya kepada siapun juga. Jangan mengatakan pula kepada Untara, kepada orang-orang di padepokanmu jika masih belum kau anggap perlu. Kedua petugas sandi dari Pajang itupun tidak perlu mengetahuinya.”

”Ya, Pangeran,” sahut Kiai Gringsing.

”Bukankah kedua orang petugas dari Pajang itu baru saja kembali dari Madiun?” bertanya Pangeran Benawa.

”Ya Pangeran, meskipun sebenarnya mereka tidak ingin pergi ke Madiun.” Namun Kiai Gringsing justru bertanya, ”Pangeran mengetahui?”

”Aku mengerti. Tetapi apakah benar-benar Pringgajaya sudah mati?” tiba-tiba saja Pangeran itu bertanya.

”Menurut pendengaran Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda, Ki Pringgajaya memang sudah mati terbunuh,” jawab Kiai Gringsing.

”Tetapi agaknya Untara dan barangkali Kiai Gringsing menjadi curiga?” bertanya Pangeran Benawa.

”Ya Pangeran. Kami menganggap kematian itu bukanlah kematian yang sewajarnya,” jawab Kiai Gringsing.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika kau berkesempatan Kiai, maka kau dapat melakukan penyelidikan itu lebih cermat. Tentu yang sehari di Madiun, yang dilakukan oleh Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda itu kurang memadai. Ia hanya mendengar kebenaran berita kematian Ki Pringgajaya. Tetapi sebabnya, tanda-tanda yang lain dari kematian itu, kemungkinan-kemungkinannya, masih belum dapat diungkapkan.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Di sini ada dua orang yang terluka parah Pangeran. Agung Sedayu dan Sabungsari.”

”Ya, aku sudah mendengar. Apakah keduanya itu agaknya tidak dapat kau tinggalkan?”

”Luka mereka sangat parah,” jawab Kiai Gringsing.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, ”Bagaimana dengan Untara?”

Kiai Gringsingpun kemudian mengatakan serba sedikit tentang sikap Untara.

”Baiklah Kiai,” berkata Pangeran Benawa, ”anak itu mendekat kemari. Agaknya ia curiga bahwa Kiai Gringsing terlalu lama bercakap-cakap dengan orang yang tidak dikenal. Sikap Untara sebagai prajurit dapat dimengerti. Karena itu, biarlah aku mencoba membantumu tanpa menumbuhkan persoalan bagi Untara. Namun aku akan tetap minta kepadamu, setelah kedua orang itu dapat kau tinggalkan, pergilah barang sehari dua hari ke Madiun.”

Pangeran Benawa tidak dapat berkata lebih panjang lagi, karena Glagah Putih sudah menjadi semakin dekat. Bahkan kuda itupun kemudian berputar dan berlari meninggalkan Kiai Gringsing seorang diri.

”Siapa, Kiai?” bertanya Glagah Putih.

”Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, ”Aku tidak tahu. Aku bertanya, siapakah dia, dan apakah maksudnya,” jawab Kiai Gringsing.

”Apa jawabnya?” desak Glagah Putih.

”Ia menyebut sebuah nama. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bagiku. Aku memang mencurigainya. Karena itu, aku usir orang itu pergi.”

”Seharusnya Kiai tidak mengusirnya,” berkata Glagah Putih kemudian.

”Lalu?” Kiai Gringsinglah yang bertanya.

”Kita persilahkan orang itu masuk. Kemudian kita akan dapat bertanya kepadanya. Kalau perlu, di hadapan prajurit-prajurit Pajang yang diletakkan Kakang Untara di sini,” desis Glagah Putih.

”Ah,” jawab Kiai Gringsing, ”jika terjadi perselisihan, maka kita hanya akan menambah lawan saja.”

”Kiai aneh,” desis Glagah Putih, ”bahwa ia hadir secara aneh itupun tentu bukannya tanpa maksud?”

”Sudahlah,” Kiai Gringsing kemudian menepuk bahu Glagah Putih. ”Marilah. Orang itu sudah pergi. Aku memang melihat sesuatu yang pantas dicurigai. Tetapi tidak harus bertindak sekarang atasnya.”

Glagah Putih tidak menjawab, meskipun Kiai Gringsing mengetahui, bahwa anak muda itu tidak puas dengan jawabannya. Meskipun demikian Glagah Putih pun melangkah kembali ke regol padepokannya.

”Lanjutkan saja kerjamu Glagah Putih,” berkata Kiai Gringsing, ”lihat, matahari telah memancar.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah selesai menyapu halaman seperti yang selalu dikerjakannya setiap hari. Tanpa jejak kaki, karena ia melangkah surut seperti yang dianjurkan oleh Agung Sedayu.

Karena itu, maka Glagah Putihpun segera pergi ke belakang.

Hari itu, perasaan Kiai Gringsing selalu dibayangi oleh berita kematian Ki Pringgajaya dan keragu-raguan atas kebenaran berita itu. Seandainya Ki Pringgajaya benar-benar telah mati seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda, namun kematiannya itu sendiri memang perlu untuk diselidiki. Mungkin memang ada rencana yang matang untuk membunuhnya. Tetapi karena Ki Pringgajaya adalah perajurit linuwih, maka untuk membunuhnya, telah jatuh beberapa orang korban jiwa.

”Pada saat Ki Pringgajaya merencanakan untuk membunuh Sabungsari dan Agung Sedayu, maka orang lain telah merencanakan membunuhnya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. ”Tetapi ternyata justru pembunuhan atas Ki Pringgajaya sajalah yang berhasil, sementara pembunuhan atas Agung Sedayu dan Sabungsari telah gagal.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam dalam. Ia membayangkan, betapa buruknya nasib Ki Pringgajaya.

Tetapi Kiai Gringsing tidak mempersoalkan dengan siapapun juga. Dengan Widura dan kedua petugas sandi itupun tidak. Meskipun dengan demikian, hal itu telah menambah beban perasaannya.

Sehari itu, Kiai Gringsing telah bekerja keras. Sabungsari dan Agung Sedayu sudah menjadi berangsur baik meskipun keduanya masih harus tetap berbaring di pembaringannya. Meskipun demikian Kiai Gringsing masih belum berani meninggalkan keduanya, karena perubahan keadaan masih memungkinkan. Jika tubuh mereka menjadi panas dan terdapat kelainan pada luka-luka mereka, maka ia harus cepat bertindak.

Karena itu, maka betapa ia ingin memenuhi pesan Pangeran Benawa, namun ia harus tetap menahan diri untuk tetap berada di padepokannya.

Berbeda dengan keadaan Kiai Gringsing, maka ternyata Untara telah bertindak lebih jauh. Ia tidak berhenti pada keterangan yang diterima dari Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Namun ia berusaha untuk mendapat keterangan lewat jalur keprajuritan. Karena Ki Pringgajaya adalah bawahannya, maka Untarapun telah pergi ke Pajang untuk mendapat keterangan tentang kematian Ki Pringgajaya.

Ternyata bahwa pihak keprajuritan Pajang telah menganggap dengan beberapa bukti, bahwa Ki Pringgajaya telah mati terbunuh oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab.

”Hanya cukup begitu?” bertanya Ki Untara kepada seorang perwira yang memberikan keterangan kepadanya.

”Apa maksud Ki Untara?” bertanya perwira itu.

”Apakah kita sama-sekali tidak berusaha untuk mengetahui latar belakang dari pembunuhan itu?” bertanya Untara pula.

”Latar belakang apakah yang kau maksudkan?”

”Misalnya, apakah kita menganggap dengan beberapa bukti dan saksi, bahwa yang terjadi adalah perampokan. Mungkin sekelompok perampok telah keliru menyergap korbannya,” jawab Untara, lalu, ”tetapi mungkin pembunuhan itu berlatar belakang dendam atau iri dan dengki. Ki Pringgajaya adalah orangku yang memiliki banyak kelebihan. Karena itu, aku sangat memerlukannya. Ketika ia berangkat, aku sudah mengatakannya kepada Tumenggung Prabadaru.”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Tentu Ki Untara. Kalau itu yang kau maksud. Kami bukan kanak-kanak.”

Untara mengangguk-angguk. Nampaknya memang meyakinkan, bahwa Ki Pringgajaya benar-benar telah mati. Ada beberapa bukti yang dapat diberikan kepadanya. Senjatanya, pakaiannya dan saksi padukuhan terdekat, yang telah membantu menyelenggarakan korban yang terbunuh itupun dapat menyebut, bahwa orang yang terbunuh itu adalah Ki Pringgajaya.

Karena itu, maka usaha Untara untuk menyelidikinya lebih jauh menjadi agak mengendor, meskipun ia tetap ingin mengetahui, apakah sebenarnya latar belakang dari pembunuhan itu. Sambil menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pimpinan keprajuritan Pajang, maka Untarapun berniat untuk berusaha mencari jejak’sendiri meskipun tidak terlalu tergesa-gesa.

Untuk sementara, Untara menganggap bahwa ancaman bagi keselamatan Sabungsari dan Agung Sedayu sudah menurun. Orang-orang yang berusaha untuk menyingkirkannya lewat Ki Pringgajaya tentu sedang mencari cara lain yang lebih haik dari yang pernah dilakukan oleh Ki Pringgajaya, yang ternyata telah gagal.

Meskipun demikian, Untara tidak ingin menarik prajuritnya yang berada di padepokan. Setidak-tidaknya untuk sementara, selagi Agung Sedayu dan Sabungsari masih belum dapat berbuat sesuatu jika bencana masih akan mengejarnya.

Sementara itu, kegelisahan ternyata telah menjalar ke Sangkal Putung. Sekar Mirah mulai tidak sabar menunggu. Ia ingin menengok apa yang telah terjadi dengan Agung Sedayu. Meskipun ia yakin bahwa Agung Sedayu akan sembuh di bawah perawatan Kiai Gringsing, namun rasa-rasanya ia tidak dapat menunda keinginannya untuk pergi ke Jati Anom.

Tetapi setiap kali Swandaru dan Pandan Wangi menasehatinya, agar ia menunggu kabar berikutnya dari Jati Anom. Mungkin keadaannya masih belum memungkinkan.

”Jika kabar itu tidak kunjung datang?” bertanya Sekar Mirah.

Akhirnya Swandaru mengambil sikap lain, setelah disepakati oleh Ki Demang dan Pandan Wangi. Swandaru akan menugaskan dua orang pengawalnya untuk pergi ke Jati Anom, sebagaimana dua orang petani yang sedang bepergian, agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian, seandainya keadaan di Jati Anom masih tetap gawat.

Dalam pada itu, keadaan Sabungsari dan Agung Sedayupun menjadi semakin baik di hari-hari berikutnya. Meskipun mereka masih lemah, tetapi sudah membayang, bahwa keadaan mereka akan menjadi semakin baik, sehingga merekapun akan segera menjadi sembuh. Meskipun mereka tentu masih akan membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat dianggap sembuh sama sekali, dan apalagi memulihkan segala kekuatan.

Namun sementara itu, Kiai Gringsing yang selalu dibayangi oleh keterangan yang didengarnya dari Pangeran Benawa, rasa-rasanya selalu digelitik oleh satu keinginan untuk melakukan satu perjalanan.

Meskipun Kiai Gringsing juga harus mempertimbangkan pendapat Untara, namun ia akan dapat memberikan penjelasan sehingga Untara tidak akan keberatan jika untuk beberapa saat lamanya ia meninggalkan padepokan kecil itu.

Karena itu, maka pada saatnya, Kiai Gringsing telah menghadap Untara untuk menjelaskan maksudnya, meskipun ia tidak mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan Pangeran Benawa.

”Apakah Kiai tidak bermaksud menunggu hasil penyelidikanku?” bertanya Untara, ”Aku telah melakukan beberapa pengamatan melalui berbagai jalur. Tetapi sampai sekarang, yang dapat aku dengar, barulah kematian Pringgajaya. Aku belum mendapatkan suatu keterangan tentang latar belakang dari kematiannya.”

”Bagaimana dengan Ki Tumenggung Prabadaru?” bertanya Kiai Gringsing.

”Aku tidak dapat secara langsung mengamatinya dan apalagi mencurigainya,” jawab Untara.

”Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing, ”jika Angger tidak berkeberatan, aku ingin menitipkan padepokan itu sementara kepada para prajurit Pajang. Aku yakin, bahwa yang berada di padepokan saat ini adalah orang-orang yang dapat dipercaya, sementara Ki Widura juga akan selalu mengawasi padepokan itu.”

”Sebenarnya Kiai akan pergi kemana?” bertanya Untara lebih jauh.

”Aku akan pergi ke sekitar peristiwa itu terjadi, kemudian pergi ke tempat-tempat yang mungkin dapat aku telusuri. Aku belum tahu pasti, kemana aku akan pergi,” jawab Kiai Gringsing, ”namun aku berusaha untuk segera kembali, karena aku tidak akan sampai hati meninggalkan Angger Sabungsari dan Agung Sedayu terlalu lama, meskipun aku sudah menyediakan obat-obatnya.”

”Tetapi yang Kiai lakukan adalah tanggung jawab Kiai sendiri,” berkata Untara kemudian, ”maksudku, tugas yang Kiai bebankan pada diri Kiai sendiri, bukanlah tugas keprajuritan Pajang.”

”Aku mengerti Ngger. Aku memang bukan seorang prajurit.”

”Dan juga tidak diminta oleh pimpinan keprajuritan jenjang yang manapun juga,” sahut Untara.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, ”Aku mengerti Ngger.”

”Terserahlah kepada Kiai. Kiai dapat melakukan atas nama Kiai sendiri, karena sikap dan pandangan Kiai secara pribadi terhadap peristiwa ini,” berkata Untara, lalu, ”namun aku tidak ingkar, bahwa sudah banyak yang Kiai lakukan bagi kepentingan prajurit Pajang. Jika kali ini Kiai masih akan berbuat sesuatu yang akhirnya dapat membantu kami, kami akan sekali lagi mengucapkan terima kasih.”

”Apa yang aku lakukan tidak banyak berarti. Juga kali ini sebenarnya aku hanya ingin memanjakan perasaan sehingga aku didorong untuk melakukan sesuatu yang tidak pasti, dan barangkali sama sekali tidak bermanfaat bagi siapapun juga,” jawab Kiai Gringsing. 

Ternyata Untara memang tidak berkeberatan untuk menempatkan prajuritnya di padepokan itu untuk sementara. Terutama selama Kiai Gringsing tidak ada di padepokan dan Sabungsari serta Agung Sedayu masih sakit.

Ketika Kiai Gringsing kembali dari rumah Untara, maka ternyata dua orang utusan Swandaru telah berada di padepokan.

”Sangkal Putung dalam keadaan cemas,” berkata Ki Widura yang menerima kedua orang itu.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, ”Itu dapat dimengerti. Tetapi bukankah Ki Widura sudah mengatakan tentang kedua anak yang terluka itu, bahwa keadaan mereka telah berangsur baik?”

”Ya. Aku telah mengatakannya, dan keduanya pun telah menengok mereka di bilik masing-masing,” jawab Ki Widura.

”Syukurlah,” berkata Kiai Gringsing lebih lanjut, ”keadaan berangsur pulih kembali. Meskipun demikian, kami masih memerlukan sekelompok prajurit untuk membantu melindungi padepokan ini selama Agung Sedayu dan Sabungsari masih belum sembuh sama sekali.”

”Agaknya itu lebih baik,” berkata utusan dari Sangkal Putung itu, ”yang paling gelisah adalah Sekar Mirah. Dan tentu hal itupun dapat dimengerti pula.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, ”Katakan kepada Ki Demang, kepada Swandaru, Pandan Wangi dan terutama Sekar Mirah, bahwa Agung Sedayu sudah berangsur baik seperti yang kalian lihat. Tetapi biarlah mereka tidak perlu menengoknya, seperti yang aku katakan, bahwa ada banyak kemungkinan dapat terjadi. Karena itu, lebih baik bagi mereka untuk tetap berjaga-jaga di Sangkal Putung.”

Demikianlah utusan dari Sangkal Putung itu kembali dengan berita yang dapat mengurangi kegelisahan. Meskipun demikian, rasa-rasanya memang sulit bagi Sekar Mirah untuk menahan diri. Namun setiap kali Swandaru dan Pandan Wangi selalu mencoba untuk menenangkannya.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang sudah bertekad untuk mengadakan perjalanan seorang diri itupun telah minta diri kepada Ki Widura, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda yang untuk sementara masih tetap berada di padepokan itu bersama beberapa orang prajurit Pajang.

Dengan sedikit bekal keterangan tentang tempat terjadinya peristiwa yang telah menyebabkan Ki Pringgajaya terbunuh, dan sedikit keterangan tentang perguruan di Gunung Kendeng dari orang-orang Gunung Kendeng yang tertawan, maka Kiai Gringsing mulai dengan sebuah perjalanan. Perjalanan seorang diri yang sudah lama tidak dilakukannya, sejak ia mempunyai dua orang murid.

”Berapa lama Kiai akan pergi?” bertanya Agung Sedayu yang ditunggui oleh Glagah Putih.

”Tidak terlalu lama,” jawab orang tua itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa gurunya tentu tidak akan sampai hati meninggalkannya terlalu lama dalam keadaannya. Namun agaknya gurunyapun mempunyai perhitungan tersendiri tentang Ki Pringgajaya.

Dengan demikian, maka pada suatu pagi yang cerah, Kiai Gringsing telah berangkat meninggalkan padepokannya. Ki Widura dan Glagah Putih serta beberapa orang penghuni padepokan itu. termasuk pimpinan prajurit yang diperintahkan oleh Untara menjaga padepokan kecil itu, melepaskannya sampai ke regol halaman.

”Perjalanan yang aneh,” desis Ki Widura.

”Apakah sebenarnya yang dicari oleh Kiai Gringsing?” bertanya Glagah Putih.

”Aku tidak tahu,” jawab Widura, ”mungkin ia ingin satu kepastian, kenapa Ki Pringgajaya telah dibunuh, dan siapakah sebenarnya yang telah membunuhnya. Bertolak dari sana, maka ia ingin sampai kepada satu kesimpulan, siapakah sebenarnya orang yang telah menggerakkan semua peristiwa yang menyangkut ketenangan Pajang di saat terakhir.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang bukan kanak-kanak lagi, sehingga iapun dapat mengerti, apa yang dikatakan oleh ayahnya.

Namun dalam pada itu, penghuni padepokan kecil itupun merasa, bahwa mereka harus menjadi lebih berhati-hati sepeninggal Kiai Gringsing. Apalagi orang terkuat yang lain, Agung Sedayu dan juga Sabungsari, masih dalam keadaan sakit. Sehingga dengan demikian, maka keselamatan padepokan itu, harus mereka pertanggung jawabkan bersama-sama.

Sementara itu, Kiai Gringsing yang meninggalkan padepokannya, telah berkuda seorang diri melintasi bulak-bulak panjang. Meskipun orang tua itu tidak berpacu terlalu cepat, namun kudanya telah berlari semakin jauh dari padepokannya.

Untuk beberapa saat Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu, kemana ia akan pergi. Apakah ia akan langsung menuju ke tempat yang ditunjuk oleh mereka yang telah mencari keterangan lebih dahulu, atau ia akan menemui orang-orang yang mungkin akan dapat membantunya memberikan keterangan.

Hampir di luar sadarnya, kudanya telah menuju ke Dukuh Pakuwon. Untuk beberapa lama, ia pernah tinggal di padukuhan itu sebagai seorang dukun yang selalu menolong mengobati orang-orang yang sakit di sekitarnya.

Terasa perasaannya tersentuh pula ketika ia memasuki padukuhan yang pernah dihuninya itu. Namun tetangga-tetangganya tentu tidak akan dapat mengenalnya dalam keadaannya itu. Meskipun ia juga sering pergi berkuda, namun ia telah memberikan kesan yang sangat berbeda tentang dirinya pada waktu itu, dengan pada waktu ia berkuda sebagai seorang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing dari padepokan kecil di ujung Kademangan Jati Anom.

Tetapi Kiai Gringsing tidak berhenti di padukuhan kecil itu. la melintas saja beberapa puluh tonggak dari rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya, yang ternyata masih saja menjadi rumah dan halaman yang kosong.

Namun dalam pada itu, demikian ia meninggalkan padukuhan kecil itu, tiba-tiba saja terbersit keinginannya untuk bertemu dengan Pangeran Benawa. Pangeran Benawalah yang telah menggerakkan hatinya untuk mencari keterangan lebih jauh tentang Ki Pringgajaya yang telah mengancam keselamatan jiwa muridnya.

”Apakah aku akan singgah di Pajang?” bertanya Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Sekilas ia mulai membayangkan tentang dirinya sendiri dalam berbagai bentuk penyamaran. Bahkan sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata kepada diri sendiri, ”Apakah Kiai Gringsing itupun sudah merupakan kebenaran tentang diriku?”

Namun akhirnya Kiai Gringsing tidak dapat mengetahui lagi, dimanakah sebenarnya kakinya ingin berdiri. Ia telah menyebut dirinya dengan beberapa sebutan. Ia sudah pernah merasa dirinya berpura-pura dengan peranannya. Namun kemudian ia menganggap bahwa ia sudah melakukan sesuatu atas namanya, sehingga ia telah merubah dirinya sendiri dalam ujud yang berbeda. Bahkan akhirnya ia tidak mengerti, jika ia harus menemukan dirinya sendiri sebagaimana pada alas yang seharusnya, ia harus berada pada dirinya yang mana.

Di luar sadarnya, Kiai Gringsing memandang lebih dalam lagi kepada dirinya sendiri. Kepada bentuk yang tergores di pergelangan tangannya. Dan bahkan di luar sadarnya ia memandang surut ke kejayaan Majapahit yang telah lama lalu.

Namun akhirnya orang tua itu bergumam kepada diri sendiri, ”Aku akan menjumpai Pangeran Benawa.”

Demikianlah maka Kiai Gringsingpun menuju ke Pajang tanpa singgah lebih dahulu ke Sangkal Putung. Ia tidak ingin menumbuhkan persoalan-persoalan baru pada muridnya yang seorang lagi beserta keluarganya di Sangkal Putung.

Namun Kiai Gringsing tidak akan dapat memasuki Pajang dalam keadaannya. Sudah banyak orang yang mengenalnya sebagai guru Agung Sedayu, sehingga kedatangannya ke Istana Pangeran Benawa tentu akan banyak menarik perhatian. Sedangkan mungkin sekali Pangeran Benawa tidak ada di istananya. Dengan demikian ia telah membuat perjalanannya sia-sia, apabila orang yang justru sedang dicarinya itu telah melihatnya lebih dahulu, sehingga mereka akan menjadi lebih berhati-hati. Lebih dari itu, maka merekalah yang akan mengawasi perjalanannya, dan bukan ia yang akan mendapat keterangan tentang kematian Ki Pringgajaya.

Karena itu, maka Kiai Gringsing harus hadir di istana Pangeran Benawa dalam ujud yang lain. Bukan sebagai Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia masih harus melakukannya lagi. Jika ia dikenal sebagai Kiai Gringsing, karena terlalu lama ia menyatakan diri sebagaimana ia dikenal tanpa diketahui asal-usulnya, maka ia harus hadir dalam penyamaran ganda, karena Kiai Gringsing itupun bukanlah ia sendiri pada mulanya.

”Pangeran Benawa juga sering melakukannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, sebagaimana ia bertemu di saat terakhir, sehingga mendorongnya untuk meninggalkan padepokan kecilnya.

Karena itulah, maka dalam perjalanannya, Kiai Gringsing tidak langsung menuju ke Pajang. Ia masih mempunyai waktu cukup, karjena ia ingin memasuki istana Pangeran Benawa setelah senja.

”Aku punya waktu sehari,” berkata Kiai Gringsing.

Yang sehari itu dipergunakan oleh Kiai Gringsing untuk menjelajahi daerah yang pernah dilihatnya beberapa saat sebelumnya. Bahkan ada juga keinginannya untuk melihat tlatah yang sudah lama tidak dilihatnya.

Untuk menghabiskan waktunya, Kiai Gringsing telah beristirahat di pinggir sebuah belumbang, di bawah sebatang pohon yang besar, namun yang agaknya jarang dikunjungi orang.

Adalah kebetulan sekali, bahwa orang tua itu dapat dengan bebas bercermin di air belumbang yang bening, meskipun agak kotor oleh dedaunan yang berjatuhan. Namun ketika angin tenang, orang tua itu dapat melihat wajahnya sendiri di permukaan air.

Demikian matahari turun ke kaki langit, Kiai Gringsing tersenyum melihat wajahnya sendiri. Seleret kumis yang tebal keputih-putihan melekat di atas bibirnya. Sementara ia tidak lagi mengenakan ikat kepalanya seperti kebiasaannya, tetapi ia mengenakannya dengan rapi. Demikian juga baju dan kain panjangnya.

Sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata kepada diri sendiri, ”Aku masih pantas mengaku seorang priyayi.”

Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing nampak seperti seorang priyayi. Tetapi sebuah pertanyaan tiba-tiba saja terbersit di hatinya, ”Apakah aku hanya sekedar nampaknya saja seperti seorang hamba istana?”

Tetapi Kiai Gringsing kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada diri sendiri, ”Aku sudah memilih jalan hidup yang sudah sekian lama aku jalani.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dengan cara berpakaian yang lain dan sebuah kumis yang tebal keputih-putihan segera meloncat naik ke punggung kudanya.

”Untunglah, kumis itu masih aku simpan baik-baik,” katanya di dalam hati.

Seperti yang diperhitungkan, maka ia memasuki Pajang ketika matahari sudah tenggelam. Ia sengaja memilih waktu yang buram, agar orang tidak akan dengan mudah dapat mengenalnya, seandainya ia bertemu dengan seseorang yang sudah mengenalnya dengan baik.

Dengan ujudnya yang agak berbeda, maka Kiai Gringsingpun langsung menuju ke istana Pangeran Benawa. Kepalanya tidak tertunduk seperti biasanya yang dilakukan dalam perjalanan. Tetapi ketika ia mendekati regol, maka iapun mengangkat wajahnya sambil menegakkan dadanya.

”Sikapku harus patut,” katanya di dalam hati.

Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing itupun sudah berada di muka regol istana Pangeran Benawa. Dengan sikap seorang yang berkedudukan ia bertanya kepada penjaga regol, ”Apakah Pangeran Benawa ada di istana?”

Penjaga itu memandanginya sejenak. Namun karena keremangan malam ia tidak dapat memandang wajah orang yang datang itu dengan jelas. Tetapi menilik ujudnya sekilas dalam bayangan senja, orang itu adalah orang yang berkedudukan baik.

”Apakah Tuan akan bertemu dengan Pangeran?” bertanya penjaga regol itu.

”Ya. Aku akan menghadap Pangeran,” jawab Kiai Gringsing, ”aku mempunyai kepentingan yang tidak dapat ditunda sampai esok pagi.”

”Siapakah Tuan?” bertanya penjaga regol itu. Pertanyaan itulah yang digelisahkan oleh Kiai Gringsing. Bagaimana ia menyebut dirinya sendiri, sehingga justru tidak membuatnya harus mengurungkan niatnya, karena Pangeran Benawa menolak.

”Aku adalah saudara seperguruannya,” berkata Kiai Gringsing hampir di luar sadarnya.

”Saudara seperguruan?” penjaga regol itu menjadi heran, ”Tuan agaknya berselisih umur cukup banyak dengan Pangeran.”

”Ya. Aku memang jauh lebih tua,” Kiai Gringsing terpaksa berbohong lebih lanjut, ”agaknya aku bukan saja cepat menjadi tua, tetapi aku memasuki padepokan tempat aku berguru, aku memang sudah menjelang hari tuaku. Sementara Pangeran Benawa hanya seperti orang lewat, sekedar singgah. Namun ilmunya jauh melampaui ilmu saudara-saudara seperguruannya yang lain.”

”Baik Tuan. Tetapi jika Pangeran bertanya, siapakah nama tuan?” orang itu bertanya lebih jauh.

Kiai Gringsing menjadi agak bingung. Namun kemudian katanya, ”Risang Jati Pakuwon.”

Penjaga regol itu mengerutkan keningnya. Sementara itu sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata, ”Apakah itu nama yang aneh? Namaku memang bukan itu. Tetapi aku mendapatkannya di padepokan. Dan nama itulah yang dikenal oleh Pangeran Benawa.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, ”Jika Pangeran masih juga bingung, katakan, bahwa aku adalah orang yang mendapat pesan langsung dari Pangeran untuk mengantarkan pusaka Kiai Cemeti. Dengan demikian, maka Pangeran tentu akan segera mengenal, siapakah tamunya.”

Penjaga regol itu mengangguk-angguk. Meskipun ia masih ragu-ragu, maka iapun berkata, ”Baiklah. Aku akan menyampaikannya. Silahkan.”

Ketika orang itu meninggalkan regol, maka seorang kawannya yang lain bergeser mendekat, meskipun ia tetap berdiri beberapa langkah dari Kiai Gringsing yang kemudian turun dari kudanya, dan melangkah memasuki regol halaman. Namun ia masih tetap berdiri saja di bawah sebatang pohon sawo sambil memegangi kendali kudanya.

Adalah suatu kebetulan, bahwa saat itu Pangeran Benawa tidak sedang pergi. Ia berada di ruang dalam, ketika seorang hamba datang menghadap untuk kepentingan menyampaikan pesan, bahwa seseorang ingin menghadap.

Ketika hambanya menyampaikan nama dan kepentingan orang yang datang itu, Pangeran Benawa berpikir sejenak. Ia belum pernah mendengar nama yang aneh itu, dan iapun sama sekali belum pernah memesan sebuah pusaka kepada orang yang mengaku saudara seperguruannya.

Tetapi justru nama dan keperluan yang aneh itu telah menarik perhatian Pangeran Benawa yang memang ingin banyak mengetahui.

Karena itu, maka Pangeran Benawapun segera memerintahkan agar tamunya segera dipersilahkan masuk, justru ke ruang dalam.

Demikianlah, maka orang yang menyebut dirinya Risang Jati Pakuwon itupun kemudian menyerahkan kudanya kepada penjaga istana itu, dan dengan sikap seorang berkedudukan iapun naik tangga pintu samping, langsung masuk ke ruang dalam.

”Silahkan Ki Sanak,” Pangeran Benawa mempersilahkan.

”Aku benar-benar datang menghadap, Pangeran,” jawab orang yang menyebut dirinya Risang Jati Pakuwon.

Demikian Pangeran Benawa mendengar suara orang itu, dan demikian cahaya lampu yang lebih terang jatuh ke wajahnya, maka Pangeran Benawapun tersenyum sambil berkata, ”Silahkan. Silahkan, Risang Jati Pakuwon.”

Kiai Gringsingpun menahan tertawanya. Ia sadar, bahwa Pangeran Benawa segera dapat mengenalnya. Suaranya dan mungkin sikap dan wajahnya meskipun ia sudah memakai kumis yang keputih-putihan.

Para pengawal dan pelayan istana itu tidak tahu, siapakah sebenarnya tamu Pangeran Benawa. Karena itu, maka ketika mereka melihat, bahwa Pangeran Benawa nampaknya memang sudah mengenalnya dengan baik, maka merekapun tidak lagi bertanya-tanya di dalam hati. Orang itu tentu benar-benar seperti yang dikatakannya, saudara seperguruan Pangeran Benawa.

Setelah tak ada orang lain di dalam ruang itu, maka Pangeran Benawapun kemudian bertanya, ”Kiai sengaja mengejutkan aku?”

Kiai Gringsingpun tertawa pula. Jawabnya, ”Aku kira aku lebih baik datang dengan cara ini. Agaknya tidak ada seorangpun yang mengetahui kehadiranku di sini.”

”Bukankah para penjaga regol yang mempersilahkan Kiai masuk?” bertanya Pangeran Benawa.

”Ah, aku tidak mempunyai aji penglimunan. Maksudku, tidak seorangpun yang curiga, bahwa penghuni padepokan kecil di Jati Anom telah datang menghadap Pangeran Benawa,” jawab Kiai Gringsing.

Pangeran Benawapun tertawa semakin panjang. Katanya kemudian, ”Menarik sekali. Kiai lebih pantas dengan cara berpakaian demikian. Kiai memakai kain sebagaimana seharusnya. Dengan wiron yang tidak begitu lebar dan teratur. Sabuk dan kumis yang Kiai pakai dengan tertib. Baju yang rapat dan ikat kepala yang rajin.”

”Pangeran memuji,” desis Kiai Gringsing, ”tetapi itu bukan kebiasaanku.”

”Kiai dapat membiasakannya,” sahut Pangeran Benawa.

”Tetapi pada saat yang diperlukan seperti ini, aku tidak mempunyai kesempatan lagi,” jawab Kiai Gringsing, lalu ”dan agaknya, cara berpakaian seperti ini tidak pantas bagi seorang penghuni padepokan.”

Pangeran Benawa tertawa pula. Lalu, ”Baiklah. Aku tidak akan dapat merubah sifat dan tabiat Kiai.”

”Demikianlah, agaknya Pangeranpun merasa perlu untuk berbuat demikian seperti kebiasaanku sehari-hari, pada saat-saat Pangeran memerlukan,” berkata Kiai Gringsing.

Pangeran Benawa tertawa semakin keras. Sementara Kiai Gringsing pun tertawa pula tertahan-tahan.

Demikianlah, setelah Pangeran Benawa bertanya tentang keselamatan orang-orang yang tinggal di padepokan, serta kesehatan Agung Sedayu dan Sabungsari, maka sampailah Kiai Gringsing pada maksud kedatangannya.

”Pesan Pangeran memang sangat menarik, sehingga aku benar-benar ingin melihat-lihat daerah sebelah timur Kota Raja ini,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

”Aku sudah menduga,” sahut Pangeran Benawa, ”dan akupun sebenarnya juga menunggu, mudah-mudahan Kiai singgah di rumah ini. Ternyata Kiai benar-benar singgah, sehingga aku dapat menyampaikan maksudku untuk pergi bersama-sama dengan Kiai menjelajahi beberapa daerah yang mungkin sangat menarik.”

”Pangeran juga akan pergi?” bertanya Kiai Gringsing dengan kerut merut di kening.

”Ya. Apa salahnya? Kematian Ki Pringgajaya memang sangat menarik untuk bukan saja diperbincangkan, tetapi untuk diketahui. Tumenggung Prabadaru memang memberikan laporan terperinci atas kematian Ki Pringgajaya. Bahkan ia sudah membawa keluarga Ki Pringgajaya mengunjungi makamnya,” berkata Pangeran Benawa.  

”Apakah keluarganya tidak mempunyai keinginan apapun terhadap makam Ki Pringgajaya yang terpisah dari makam keluarganya yang lain?” bertanya Kiai Gringsing pula.

”Mereka berpendapat, bahwa sebaiknya makam itu dipindahkan. Tetapi sudah barang tentu tidak dalam waktu yang dekat,” jawab Pangeran Benawa.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Seperti Pangeran Benawa, iapun berniat untuk mengetahui lebih banyak. Adalah kebetulan sekali bahwa Pangeran Benawa ternyata ingin pergi pula bersamanya, sehingga ia mempunyai kawan berbincang, bukan saja di sepanjang jalan, tetapi di tempat-tempat ia harus bermalam. Bahkan mungkin bermalam di pinggir hutan atau di makam Ki Pringgajaya itu sendiri.

”Kiai,” berkata Pangeran Benawa kemudian, ”malam ini Kiai tidur di rumahku. Besok kita akan pergi bersama.”

Kiai Gringsing tidak dapat menolak. Bahkan dengan bergurau Pangeran Benawa berkata, ”Di sini Kiai akan sempat bersolek lebih baik.”

Kiai Gringsing tertawa sambil menjawab, ”Terima kasih Pangeran. Aku akan mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.”

Dengan demikian, maka pada malam itu, Kiai Gringsing bermalam di istana Pangeran Benawa. Seperti yang sudah mereka sepakati, maka di dini hari berikutnya, keduanyapun meninggalkan istana itu, justru sebelum jalan-jalan menjadi ramai, agar kepergian mereka berdua tidak menarik perhatian orang-orang Pajang.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawapun telah mulai dengan sebuah perjalanan khusus, karena mereka ingin mengetahui lebih banyak tentang kematian Ki Pringgajaya yang mereka anggap penuh dibayangi oleh rahasia.

Tidak seorangpun yang mengetahui, bahwa dua orang yang kemudian keluar dari regol Kota Raja adalah Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Ternyata demikian Pangeran Benawa keluar dari halaman rumahnya, maka iapun sempat berganti baju. Dimasukkannya baju Pangerannya ke dalam kampil yang tergantung di pelana kudanya. Dirubahnya pula caranya memakai ikat kepala, sehingga ia tidak lebih dari seorang kebanyakan. Demikian pula Kiai Gringsing yang di saat memasuki regol istana Pangeran Benawa mengenakan pakaian yang rapi dan tertib, telah berubah pula menjadi seorang tua yang tidak lebih dari orang kebanyakan pula seperti Pangeran Benawa. Namun ia masih juga mempertahankan kumisnya yang keputih-putihan di atas bibirnya.

Namun dalam keseluruhan, maka dua orang berkuda itu sama sekali tidak menarik perhatian. Bahkan seseorang akan dapat mengira bahwa keduanya adalah ayah dan anak yang sedang menempuh perjalanan.

Kedua orang itu keluar dari regol Kota Raja ketika matahari masih sedang nampak sebagai bayang-bayang yang kemerah-merahan. Tetapi bukan karena keduanya ingin menempuh perjalanan jauh dan tergesa-gesa, tetapi semata-mata untuk menghindarkan diri dari pengamatan orang lain.

Demikian mereka berada di luar Kota Raja, maka merekapun justru mulai membicarakan, apa yang akan mereka lakukan.

”Kita pergi ke tempat yang telah lebih dahulu didatangi oleh kedua petugas sandi itu,” berkata Pangeran Benawa, ”tetapi sudah barang tentu tidak dengan segera. Waktunya masih panjang. Kita akan memasuki daerah itu di sore hari.”

”Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya Kiai Gringsing.

”Berputar-putar,” jawab Pangeran Benawa, ”atau beristirahat di tempat yang sepi. Di pinggir hutan atau di kuburan.”

Kiai Gringsing tersenyum. Namun mereka berduapun kemudian memilih untuk beristirahat di tepi hutan. Mereka memasuki hutan yang tipis, tetapi tidak terlalu dalam. Mereka sempat terkantuk-kantuk di bawah sebatang pohon yang besar dan berdaun rimbun, meskipun mereka harus berhati-hati terhadap hadirnya seekor ular yang mungkin berkeliaran di rerumputan liar.

Baru setelah matahari mulai turun, keduanya melanjutkan perjalanan, dengan perhitungan bahwa mereka akan sampai ke tempat tujuan di sore hari.

Yang mula-mula sekali mereka masuki adalah sebuah kedai nasi di pinggir jalan, di sebelah sebuah pasar yang sudah sepi. Tetapi agaknya kedai itu terbiasa dibuka sampai sore hari.

Kiai Gringsing sama sekali tidak mempersoalkan berapa keduanya akan membayar, karena bersamanya adalah Pangeran Benawa, yang tidak akan kesulitan uang di sepanjang perjalanan. Meskipun ujudnya ia tidak lebih dari orang-orang kebanyakan, tetapi sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawa membawa bekal secukupnya.

”Jika aku sendiri,” bisik Kiai Gringsing, ”aku harus memperhitungkan dengan sungguh sungguh, apa saja yang akan aku kunyah sebelum aku menyuapkannya ke dalam mulut.”

”Kenapa?” bertanya Pangeran Benawa.

”Aku harus menghitung-hitung, apakah masih ada uang di dalam kampilku,” sahut Kiai Gringsing. ”Tentu agak berbeda dengan Pangeran.”

Pangeran Benawa tertawa. Katanya tanpa di dengar oleh orang lain yang kebetulan ada di dalam kedai itu juga, ”Cobalah Kiai mengukur isi perut Kiai.”

Orang tua berkumis putih itupun tertawa pula.

Demikianlah keduanya makan dan minum secukupnya. Namun keduanyapun mulai berbicara juga tentang keadaan di padukuhan itu, meskipun baru sekilas, karena mereka memang harus berhati-hati.

”Sampai kapan kedai ini dibuka?” bertanya Pangeran Benawa, ”Sampai malam, atau bahkan semalam suntuk?”

”Siapa yang akan membeli?” penjual di kedai itu ganti bertanya. Lalu katanya, ”Setelah senja kami akan menutup pintu kedai kami. Tidak banyak orang keluar rumah di malam hari.”

”Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.

”Padukuhan ini padukuhan kecil. Mungkin Ki Sanak pernah menjelajahi padukuhan-padukuhan yang ramai dan besar. Bahkan mungkin kota-kota, yang memungkinkan kedai-kedai dibuka sampai jauh malam. Tetapi di sini tidak. Tetangga-tetangga kami akan segera menutup pintu rumahnya jika malam turun. Hanya kadang-kadang saja di terang bulan mereka duduk-duduk di sudut padukuhan.”

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ternyata dugaan mereka keliru. Mereka ingin mendengar keterangan pemilik kedai itu, bahwa keamanan di saat terakhir agak terganggu. Namun ternyata alasan pemilik kedai itu adalah alasan yang wajar sekali.

Namun ketika di kedai itu mulai dipasang lampu, dan nampaknya pemiliknya sudah bersiap-siap untuk mengemasi dagangannya, empat orang berwajah garang telah memasuki kedai itu dengan kasar. Bahkan sebelum kakinya melangkahi tlundak, terdengar suara tertawa mereka bagaikan mengguncang kedai yang kecil itu.

”Siapa?” bertanya Kiai Gringsing perlahan-lahan sebelum orang-orang itu masuk.

”Penjaga kuburan,” jawab pemilik kedai itu, ”mereka adalah benggol yang ditakuti di padukuhan sebelah. Tetapi mereka bekerja untuk kepentingan Ki Demang.”

”Kuburan siapa yang harus dijaga?” bertanya Pangeran Benawa.

Tetapi pemilik kedai itu tidak sempat menjawab, karena orang-orang itu telah berada di muka pintu.

”Apakah kedaimu sudah akan tutup?” salah seorang dari mereka bertanya.

”Hampir saja,” jawab pemilik kedai itu, ”aku kira kalian tidak singgah malam ini.”

”Aku tentu singgah, meskipun hanya sebentar,” jawab yang lain, ”beri aku minuman hangat. Air sere dengan gula kelapa.”

”Aku juga,” desis yang lain. Lalu yang seorang, “Bungkus untuk kami beberapa potong makanan. Seperti biasanya.”

Pemilik kedai itu tidak menjawab. Tetapi iapun segera sibuk menyiapkan minuman dan makanan bagi keempat orang yang disebutnya penjaga kuburan itu.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa masih ada di dalam kedai itu juga. Tetapi mereka sama sekali tidak bertanya kepada orang-orang yang berwajah garang itu. Keduanya hanya kadang-kadang saja memandangi mereka yang minum dan makan sambil bergurau.

Ternyata orang-orang itupun sama sekali tidak menghiraukan Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Mereka melihat kedua orang itu sekilas, namun kemudian mereka tidak memperhatikan mereka lagi.

Sejenak kemudian, nampaknya mereka telah selesai. Sebungkus makanan telah disediakan pula. Orang yang paling besar di antara merekapun kemudian berkata, ”Berapa hutang kami? Kemarin kami membayar makanan dan minuman bagi tiga hari terdahulu.”

”Tinggal kemarin dan hari ini,” jawab pemilik warung itu.

”Besok atau lusa kami akan membayar,” berkata orang yang paling besar.

”Terima kasih,” sahut pemilik warung itu.

Sejenak kemudian keempat orang itupun minta diri. Namun di muka pintu salah seorang dari mereka berkata kepada kawan-kawannya, ” Masih ada dua orang di dalam kedai ini. He, apakah di luar itu kuda kalian?” iapun kemudian bertanya.

”Ya Ki Sanak” Kiai Gringsinglah yang menjawab.

”Kuda yang sangat bagus. Jarang aku melihat kuda sebagus ini.” desis orang itu.

Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Keempat orang itupun kemudian melangkah meninggalkan kedai itu, sementara Kiai Gringsing menarik nafas sambil berdesis, ”Aku kira ia ingin memiliki kuda itu.”

Pangeran Benawa tersenyum. Namun pemilik kedai itu berkata, ”Mereka tidak mau berbuat demikian di kademangannya sendiri. Di warung ini pun mereka selalu membayar hutangnya. Mereka tidak pernah mengingkari janjinya. Jika mereka berkata dua tiga hari lagi akan membayar, maka mereka benar-benar membayar.”

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Sementara pemilik kedai itu berkata, ”Bagi mereka, uang dua tiga keping sama sekali tidak berarti. Mereka tinggal mengambil saja seperti mengambil milik sendiri.”

”Apakah mereka masih melakukannya sekarang?” bertanya Pangeran Benawa.

”Ya. Tetapi di tempat yang jauh. Tidak di daerah sendiri. Mereka baik terhadap tetangga-tetangganya di sini,” jawab pemilik kedai itu, ”apalagi sekarang. Ia mendapat tugas yang cukup menarik bagi mereka.”

”Ya. Tadi kau katakan, mereka adalah penjaga kuburan. Kuburan siapakah yang mereka jaga?” bertanya Kiai Gringsing.

Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Hari sudah malam. Kami akan menutup kedai kami. Maaf, bahwa kami tidak dapat melayani Ki Sanak terlalu lama.”

”O, silahkan,” sahut Kiai Gringsing, ”tetapi kau belum menjawab pertanyaan kami. Kecuali jika memang hal itu tak kau ucapkan.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, ”Sebenarnya juga tidak tahu dan tidak terlarang.”

”Jika demikian, apakah kau tidak berkeberatan menyebutnya?” desak Pangeran Benawa.

Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, ”Baiklah. Mungkin kau pernah mendengar, bahwa belum lama telah terjadi bencana di daerah ini bagi beberapa orang prajurit Pajang. Seorang di antara mereka telah gugur dan dimakamkan di padukuhan sebelah.”

”O, aku mendengar,” sahut Pangeran Benawa, ”apakah kuburan prajurit Pajang itulah yang dijaga?”

“Ya,” sahut pemilik kedai itu.

”Kenapa dijaga?” bertanya Kiai Gringsing.

”Aku tidak tahu. Tetapi pimpinan prajurit Pajang itu minta kepada Ki Demang, agar memerintahkan beberapa orang untuk menjaga kuburan itu sampai empat puluh hari. Maksudku ampat puluh malam. Sebelum waktu itu lewat, maka masih dicemaskan, bahwa seseorang akan mengambil jenazah prajurit Pajang yang gugur itu,” jawab pemilik kedai itu sambil mengemasi barang-barangnya.

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun berdiri sambil minta diri setelah mereka membayar harga makanan dan minuman yang telah mereka habiskan.

Demikian keduanya keluar dari kedai itu, maka kedai itupun kemudian telah ditutup oleh pemiliknya.

”Kuburan itu menarik sekali untuk diperhatikan,” gumam Pangeran Benawa demikian mereka meloncat naik ke punggung kuda.

”Kenapa harus dijaga sampai empat puluh malam?” desis Kiai Gringsing. Namun kemudian dijawabnya sendiri, ”Tentu ada sesuatu yang tidak wajar pada kuburan itu.”

”Mungkin sekali,” berkata Pangeran Benawa.

”Pangeran, pertanda apa sajakah yang telah diserahkan kepada keluarga Ki Pringgajaya, sebagai bukti bahwa ia benar-benar telah meninggal dalam pertempuran itu?“ bertanya Kiai Gringsing.

”Ada beberapa keganjilan dalam laporan yang aku dengar,” berkata Pangeran Benawa. “Tumenggung Prabadaru mengatakan, bahwa ia telah membunuh semua orang yang mencegatnya. Tetapi kemudian iapun menceritakan bahwa tidak seorangpun di antara lawan-lawannya yang dapat ditangkap, bahkan mayat merekapun tidak, karena kawan-kawan dari para perampok itu sempat datang dan membawa mayat-mayat itu. Prajurit Pajang yang tersisa tidak dapat mencegahnya, karena jumlah mereka terlalu banyak, meskipun mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan prajurit-prajurit Pajang.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang mendengar perbedaan tafsiran itu, meskipun sesuai dengan keterangan Untara, bahwa semua orang yang mencegat itu telah terbunuh, tetapi tidak dapat mereka tunjukkan sesosok mayatpun, karena kawan-kawan mereka segera berdatangan untuk menyelamatkannya.

”Keganjilan yang lain,” berkata Pangeran Benawa, ”kepada keluarga Ki Pringgajaya, tidak diserahkan pertanda pribadi seorang prajurit. Bahkan pertanda pribadi seorang ksatria, karena kepada keluarganya tidak diserahkan pusaka keris Ki Pringgajaya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Nampaknya Pangeran Benawa yang berada di Pajang itu telah mendengar laporan yang kurang cermat dari Ki Tumenggung Prabadaru, yang memimpin sekelompok kecil prajurit yang telah mengalami pertempuran sehingga Ki Pringgajaya terbunuh.

Sebenarnyalah bahwa bukan saja Pangeran Benawa yang menjadi curiga. Untarapun telah menjadi curiga pula. Tetapi agaknya Pangeran Benawa mendengar keganjilan-keganjilan lebih banyak dari Untara.

”Pangeran,” bertanya Kiai Gringsing kemudian, ”apakah sebenarnya yang telah diserahkan kepada keluarganya, sehingga seolah-olah semuanya menjadi yakin bahwa yang terbunuh itu adalah Ki Pringgajaya.”

”Pertama, yang melaporkan adalah Prabadaru. Mustahil bahwa Prabadaru tidak mengenal siapakah yang mati terbunuh itu. Kemudian kepada keluarganya telah diserahkan beberapa barang milik Ki Pringgajaya, tetapi justru bukan pusakanya. Tentu tidak mungkin orang seperti Ki Tumenggung Prabadaru melupakannya sehingga pusakanya ikut terkubur, atau dimiliki oleh orang lain,” jawab Pangeran Benawa.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, ”Bahwa kuburan itu telah dijaga, agaknya juga menarik perhatian.”

”Tepat. Aku justru ingin melihat, apakah sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang yang garang itu,” desis Pangeran Benawa.

“Melihat orang-orang yang menjaganya atau melihat isi kuburan itu. Agaknya beberapa orang padukuhan telah membantu menguburkan mayat Ki Pringgajaya sehingga mustahil bahwa kuburan itu tidak berisi seperti yang dikatakannya,“ desis Kiai Gringsing.

“Kiai benar. Di dalam kubur itu tentu berisi sesosok mayat yang disebut Ki Pringgajaya. Tetapi orang-orang padukuhan itu tidak akan dapat membedakan, apakah orang yang berpakaian seorang prajurit itu bernama Ki Pringgajaya atau bernama siapapun juga,” sahut Pangeran Benawa.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia adalah seorang dukun yang banyak bergaul dengan orang-orang sakit dan bahkan orang-orang yang tidak terobati lagi, sehingga meninggal. Tetapi untuk melihat kuburan yang telah beberapa hari, agaknya segan juga rasanya.

”Kita memang agak terlambat,” berkata Pangeran Benawa kemudian, ”jika hal ini kita lakukan dua tiga hari setelah mayat itu dikuburkan, kita akan dapat melihat dengan jelas. Tetapi sekarang, akupun tidak yakin bahwa kita masih akan dapat melihat bentuk.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita memang sudah terlambat Pangeran. Tetapi bahwa ada orang-orang yang bertugas menjaga kuburan itu, agaknya memang cukup menarik. Mungkin kita akan mendapat beberapa keterangan tanpa melakukan kerja yang mendebarkan jantung itu.”

Pangeran Benawa tersenyum. Jawabnya, ”Akupun segan melakukannya. Mungkin ada cara lain. Tetapi jika perlu, apa boleh buat. Rasa rasanya ada satu dorongan untuk mengetahui, apakah yang dikatakan oleh Prabadaru itu benar atau tidak. Meskipun aku tidak banyak mencampuri persoalan pemerintahan, tetapi aku masih tersinggung juga, jika seseorang telah dengan sengaja mengelabui para pemimpin di Pajang. Terlebih-lebih lagi karena pamrih yang terkandung di dalamnya.”

Kiai Gringsing yang mengerti perasaan Pangeran Benawa itupun mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Pangeran. Aku akan mengikuti Pangeran. Akupun mempunyai kepentingan yang langsung karena persoalan ini akan menyangkut diri muridku. Jika yang terbunuh itu ternyata bukan KI Pringgajaya, maka keadaan Agung Sedayu akan selalu dibayangi oleh ancaman yang gawat.”

”Kita akan pergi ke kuburan itu Kiai,” berkata Pangeran Benawa.

Kiai Ggringsing tidak menjawab lagi. Meskipun ada juga keinginannya untuk memastikan siapakah yang terkubur itu, tetapi sebenarnya ia masih ingin mencari jalan lain.

”Kita memang sudah kekurangan bukti,” katanya di dalam hati.

Kedua orang itupun kemudian berkuda ke kuburan. Meskipun mereka belum pernah pergi ke kuburan itu, tetapi beberapa petunjuk sudah pernah mereka dengar, sehingga merekapun segera dapat menemukan arahnya.

Dari jarak yang masih cukup panjang, ketajaman penglihatan kedua orang itu telah melihat sebatang pohon randu alas yang besar dan berdaun lebat. Karena itu, maka mereka tidak lagi harus mencari-cari arah.

Beberapa tonggak dari kuburan itu, keduanya turun dari kudanya dan menambatkannya pada sebatang pohon perdu di belakang sebuah gerumbul. Dengan berjalan kaki keduanya mendekati pintu gerbang kubur yang di malam hari nampak semakin menyeramkan. Bunyi seekor burung kedasih yang ngelangut membuai hati mereka tergetar.

Tetapi yang dua orang itu adalah Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Karena itulah, maka keduanya tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh perasaan mereka, meskipun suasana kuburan di malam hari agak menggetarkan juga.

Ternyata Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak mendekati kuburan itu dengan diam diam. Tetapi mereka langsung menuju ke pintu gerbang meskipun mereka mengetahui, bahwa kuburan itu telah dijaga oleh empat orang yang disebut sebagai benggol, sekelompok penjahat yang memiliki ilmu yang tinggi.

Seperti yang mereka perhitungkan, bahwa di depan regol kuburan seseorang telah membentaknya, ”He, siapa kalian?”  

Pangeran Benawa-lah yang menyahut, ”Kami orang-orang dari padukuhan sebelah.”

”Jangan mengigau,” bentak penjaga yang lain, ”kami mengenal setiap orang dari padukuhan kami. Kau sangka kami orang asing disini?”

Tetapi Pangeran Benawa tertawa. Katanya, ”Kami memang bukan tetangga kalian. Kami adalah prajurit-prajurit Pajang.”

”Bohong,” bentak penjaga itu, ”kalian sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda seorang prajurit.”

”Apakah tanda-tanda seorang prajurit?” bertanya Pangeran Benawa.

Pertanyaan itu membuat penjaga itu agak kebingungan. Namun iapun kemudian menjawab, ”Seorang prajurit akan memakai pakaian yang khusus dan tanda-tanda yang khusus.”

”O, jika itu yang kau anggap pertanda seorang prajurit, aku memang tidak mengenakannya,” jawab Pangeran Benawa.

Para penjaga kuburan itu menjadi bingung mendengar jawaban Pangeran Benawa. Seolah-olah ia berkata asal saja membuka mulutnya.

Karena itu, salah seorang dari para penjaga itu justru membentak, ”Siapakah sebenarnya kalian, dan apakah keperluan kalian?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar