Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 119

Buku 119

“Ki Waskita,” berkata Agung Sedayu kemudian, ”apakah dengan membiarkan mereka, persoalan ini telah dapat kita anggap selesai?”

“Tentu tidak, Agung Sedayu. Tetapi kita tidak perlu menghiraukannya.”

“Ki Waskita, bagaimana jika kita berusaha menemui dan berbicara dengan mereka?”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia merenung sejenak. Namun kemudian katanya, ”Kita akan menunggu Ngger. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang menjadi gawat. Pada suatu saat, mungkin kita akan mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.

Untuk sesaat, keduanya telah berdiam diri. Masing-masing sedang merenungi kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi.

Namun sejenak kemudian, Ki Waskita pun berkata, “Angger Agung Sedayu, sebenarnya masih ada yang ingin aku katakan. Mungkin dapat menjadi bahan pembicaraan kita di sepanjang jalan pulang.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, ”Tentang orang-orang itu?”

Ki Wasikita menggeleng. Katanya, ”Tentang Angger Agung Sedayu. Agar kedatangan Angger Agung Sedayu ke rumahku tidak sia-sia, maka aku ingin mencari cara, bagaimana aku dapat membantu Angger menyempurnakan ilmu yang telah Angger miliki, sekaligus aku ingin menitipkan ilmu dari cabang perguruanku agar tidak menjadi punah, dan dengan serta merta dilupakan orang. Seperti Angger ketahui, aku tidak akan dapat mewariskannya kepada Rudita.”

Sesuatu terasa bergejolak di hati Agung Sedayu. Pertentangan di dalam dirinya kembali menyala.

“Angger,” berkata Ki Waskita, ”aku mengenal Angger Agung Sedayu dengan baik. Karena itu aku pun mengetahui, bahwa Angger menjadi ragu-ragu. Angger berdiri di antara dua sikap yang berbeda.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi sebaiknya Angger dapat melihat kembali sikap Angger sejak Angger masih sangat muda. Apakah ilmu yang kemudian Angger miliki itu dapat Angger manfaatkan bagi sesama atau sebaliknya, meskipun akibatnya justru menggelisahkan Angger sendiri.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sekilas seolah-olah ia melihat perjalanan hidupnya, sejak ia masih dibayangi oleh ketakutan melihat gendruwo bermata satu pada sebatang pohon randu alas dipinggir jalan antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Bagaimana ia menjadi ketakutan, dan gemetar mendengar seseorang menyebut harimau putih di Lemah Cengkar.

Namun kemudian, ketika ia memiliki ilmu kanuragan, maka ia merasa mempunyai tanggung jawab bagi keselamatan sesama. Meskipun hanya setitik, ia pernah memberikan perlindungan bagi sesamanya.

“Angger Agung Sedayu,” berkata Ki Waskita kemudian, ”adalah suatu bentuk pengorbanan, jika Angger kemudian selalu merasa dibayangi oleh dendam dan kebencian. Yang telah Angger berikan, tentu sangat berharga bagi mereka yang merasa dirinya bebas dari bahaya dan mungkin justru cengkaman maut.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia masih tetap dibayangi oleh keragu-raguan. Namun yang dikatakan oleh Ki Waskita itu berhasil menyusup ke dalam hati.

“Bukankah Angger telah bersedia datang ke tempat ini?” tiba-tiba saja Ki Waskita bertanya.

Agung Sedayu termangu-mangu. Keterangan Ki Waskita tentang Rudita-lah yang telah menumbuhkan kebimbangan dan keragu-raguan dihatinya. Namun tiba-tiba Ki Waskita memberikan kemungkinan lain. Sehingga dengan demikian, Agung Sedayu menjadi bingung menanggapi sikap orang tua itu, dis amping keragu-raguannya sendiri.

Ki Waskita pun mengerti, bahwa sikapnya telah membuat Agung Sedayu menjadi bingung, sehingga anak muda itu tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.

“Angger Agung Sedayu,” berkata Ki Waskita, ”baiklah aku berterus terang agar tidak menumbuhkan keragu-raguan yang semakin dalam di hati Angger Agung Sedayu. Sebenarnyalah aku ingin memberikan sedikit pengetahuan yang barangkali perlu bagi Angger. Tetapi aku tidak dapat menurunkannya langsung, justru karena di rumah ada Rudita.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Kemudian hampir di luar sadarnya ia bertanya, ”Jadi maksud Kiai, kita akan pergi ke tempat lain?”

Tetapi ternyata Ki Waskita menggeleng. Jawabnya, ”Tidak Ngger. Kita tidak akan pergi kemanapun.”

“Jadi bagamana hal itu dapat terjadi?” bertanya Agung Sedayu.

“Itulah yang akan aku katakan sekarang,” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu katanya, ”aku rasa, tidak ada orang lain di sekitar kita. Aku berharap bahwa tidak ada telinga yang mendengar keteranganku selain Angger sendiri.”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Di luar sadarnya ia memperhatikan keadaan disekitarnya. Ternyata ia pun tidak mendengar apapun juga selain gemerisiknya angin yang lembut.

“Tidak ada gerumbul di pinggir jalan di tempat ini,” berkata Ki Waskita.

“Ya,” sahut Agung Sedayu dengan serta merta.

Tiba-tiba langkah Ki Waskita terhenti, sehingga Agung Sedayu pun berhenti pula. Keningnya mejadi berkerut ketika ia melihat wajah Ki Waskita yang nampak menjadi bersungguh-sungguh.

“Angger Agung Sedayu.” Ki Waskita berkata perlahan-lahan, ”aku memang tidak akan dapat menyakiti hati Rudita dengan memperlihatkan caraku menurunkan ilmu kepada Angger. Aku tidak dapat dengan semata-mata mewariskan ilmu kanuragan yang tidak dapat dimengertinya, bahwa ilmu itu pun dapat berguna bagi sesama apabila kita dapat mempergunakannya dengan tepat.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi ia tidak membantah, meskipun ia tahu, bahwa yang dikatakan oleh Ki Waskita tentang anaknya itu tidak tepat.

“Karena itu Agger, maka aku telah menentukan cara yang lain,” Ki Waskita berkata selanjutnya, “aku mempunyai sebuah kitab rontal yang barangkali berguna bagi Angger Agung Sedayu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Barulah ia menyadari, apa yang harus dilakukannya.

“Jadi, Ki Waskita ingin memberikan atau meminjamkan kitab itu kepadaku?”

Agung Sedayu menjadi heran ketika ia melihat Ki Waskita menggeleng, “Maaf Ngger. Kitab itu adalah kitab yang sangat berharga bagiku. Karena itu, aku saat ini belum dapat meminjamkan, apalagi memberikan kepada orang lain. Apalagi kita mengetahui, bahwa banyak mata memandang ke arah Angger Agung Sedayu dan banyak telinga yang mendengarkan tentang Angger Agung Sedayu.”

Kembali Agung Sedayu menjadi bingung. Tetapi ia tidak bertanya. Ia menunggu penjelasan yang tentu akan diberikan oleh Ki Waskita.

“Angger, jika Angger membawa kitab itu, maka Angger tentu akan terancam. Bahkan kemungkinan kitab itu akan jatuh ke tangan orang lain yang tidak seharusnya memilikinya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap bingung.

“Maksudku Ngger,” Ki Waskita ternyata benar-benar memberikan penjelasan, ”aku ingin memberikan kesempatan Angger Agung Sedayu membaca dan mempelajari isinya. Tentu tidak seluruhnya, karena ada beberapa bagian yang sudah kau kuasai meskipun dari sudut pendekatan yang berbeda.”  

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar kehendaknya ia bergumam, “Jadi itu berarti bahwa aku harus tinggal di rumah Ki Waskita untuk waktu yang sangat lama.”

“Aku tidak berkeberatan jika kau tinggal di rumahku untuk satu atau dua tahun. Tetapi tentu tidak mungkin. Kiai Gringsing tentu akan menjadi gelisah dan cemas. Karena itu, maka Angger cukup tinggal dirumahku barang empat atau lima hari saja.”

“Apakah artinya empat atau lima hari itu bagi mendalami ilmu yang pelik itu, Ki Waskita.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku tahu, Angger Agung Sedayu adalah seorang yang sangat cerdik dan cerdas. Tatapan mata Angger Agung Sedayu tidak ubahnya seperti tatapan mata seekor ular bandotan.”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

“Bukan dalam arti buruk, Ngger. Angger sudah dapat memusatkan ilmu yang Angger miliki pada kekuatan sorot mata yang mempunyai sentuhan wadag. Bahkan lebih dari itu. Pada suatu saat, kekuatan sorot mata Angger bukannya sekedar merupakan tekanan dan lontaran panasnya bara pemusatan indra, tetapi pada suatu saat sorot mata Angger akan mempunyai daya dorong dan pegangan melampaui kekuatan tangan raksasa. Kekuatan mata Angger akan dapat meremas, menggenggam dan melontarkan gunung anakan.”

“Ah,” desah Agung Sedayu, ”itu sangat berlebih-lebihan.”

“Mungkin memang berlebih-lebihan, Ngger. Tetapi aku memang ingin mengatakan, betapa kekuatan itu telah mulai Angger rintis dan mulai Angger ketemukan. Tetapi seperti seorang yang memasuki sebuah goa yang gelap, Angger hanya tahu, bahwa Angger sudah ada di dalam karena pintunya terbuka. Tetapi Angger belum tahu, bagaimanakah seharusnya Angger membuka pintunya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semakin dalam ia mempelajari ilmu, maka semakin banyak yang terasa belum dikenalnya.

“Tetapi Ngger, aku kira ada yang penting yang Angger miliki. Angger adalah seseorang yang mempunyai kenangan yang sangat kuat. Mungkin Angger melupakan kamus ikat pinggang yang baru saja Angger letakkan, tetapi aku yakin, bahwa Angger tidak akan melupakan sesuatu yang Angger anggap penting. Seperti seekor ular yang tidak akan pernah kehilangan bayangan di kepalanya tentang sesuatu yang pernah dilihatnya, seolah-olah bayangan penglihatannya tercetak di dinding kepalanya.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengerti isi dari kata-kata Ki Waskita. Karena itulah, maka ia mencoba untuk menilai kemampuan ingatannya sendiri. Apakah benar bahwa ingatannya atas sesuatu yang pernah dilihatnya dan menarik perhatiannya memang sangat tajam.

Sekilas terbayang masa masa lampaunya yang tidak seperti dikatakan oleh Ki Waskita. Ia tidak dapat mengingat semua yang pernah dialaminya.

“Tidak ada bedanya dengan orang lain,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, ”setiap orang tentu dapat mengingat sebagian dari peristiwa yang pernah dialaminya. Sedangkan sebagian yang lain terlupakan.”

“Anakmas,” berkata Ki Waskita kemudian, ”cobalah kau menilai dirimu sendiri.”

“Ki Waskita,” jawab Agung Sedayu, ”aku kira, tidak ada yang berbeda dengan orang lain. Aku tidak dapat mengingat seluruh peristiwa dalam hidupku.”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, ”Memang tidak Agung Sedayu. Kau tentu tidak akan menaruh perhatian yang sama terhadap setiap peristiwa di dalam hidupmu. Tetapi pada suatu saat, kau tentu pernah melihat sesuatu yang telah mencengkam segenap perhatianmu. Cobalah kau ingat, apakah ada sesuatu yang membekas dalam ingatanmu, seperti saat kau mengalaminya.”

Agung Sedayu merenung sejenak. Tiba-tiba saja ia mencoba mengenang kembali apa yang pernah dilakukannya di saat yang penting selama ia memperdalam ilmunya.

“Goa itu,” Agung Sedayu berkata di dalam hatinya. Hampir ia terlonjak. Seolah-olah ia masih berada di dalam goa itu. Seakan-akan ia melihat jelas, lukisan dan petunjuk-petunjuk yang terpahat di dinding goa. Suatu urut-urutan tataran yang harus dipelajari dan dikuasai untuk mencapai tingkat ilmu yang sempurna dalam cabang perguruan Ki Sadewa.

“Aku melihatnya kembali di dalam angan-angan,” gumam Agung Sedayu.

“Apa?” bertanya Ki Waskita.

“Lukisan yang terpahat di dinding goa itu.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku sudah mengira, bahwa kau memiliki kurnia alam itu. Ketajaman ilmu bidikmu, kemampuan sentuhan tatapan matamu seperti sentuhan wadag yang sangat perkasa, dan sifat-sifatmu yang lain, menunjukkan bahwa kau memang seorang yang memiliki kekuatan alami yang tidak lain adalah kurnia dari Yang Maha Agung kepadamu. Ternyata bahwa kau memiliki daya tangkap yang sangat tajam pula, sehingga sesuatu yang menarik perhatianmu, akan terpahat di dalam ingatanmu seutuhnya seperti saat kau menyaksikannya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam waktu yang singkat, ia masih meyakinkan, apakah benar kata-kata yang diucapkan oleh Ki Waskita itu.

Ternyata bahwa seperti gambar yang terpancang di hadapannya yang nampak jelas berurutan, seolah-olah ia sedang menghadapi pertunjukkan wayang beber yang dibawakan oleh seorang dalang yang dikenalnya baik-baik, yaitu dirinya sendiri, yang membawakan cerita tentang seorang lakon yang dikenalnya sebaik dalangnya, dirinya sendiri pula.

Agung Sedayu melihat, dari satu saat kesaat berikutnya pada bagian-bagian yang penting dari seluruh hidupnya. Yang dianggapnya tidak berbeda dengan orang lain, bahwa ada yang dapat diingat dan ada yang dilupakannya, ternyata mempunyai beberapa perbedaan. Ia pun kemudian sadar, bahwa pada saat-saat peristiwa yang terjadi itu memberikan kesan yang dalam di hatinya, maka semakin jelas ingatan itu terpatri di angan-angannya. Sehingga Agung Sedayu pun berkesimpulan, perhatiannya atas sesuatu yang terjadi, seperti pahatan yang dibuatnya pada sebuah batu padas. Semakin dalam ia menghunjamkan pahatnya, maka bekasnya akan menjadi semakin jelas dan tidak mudah terhapus oleh peristiwa-peristiwa berikutnya.

“Apakah kau sudah menemukan kemampuan yang ada pada dirimu sendiri, Ngger?” bertanya Ki Waskita kemudian.

Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Nah, jika demikian, maka baiklah aku berterus terang tentang rencanaku. Aku ingin meminjamkan kitab itu kepadamu. Bacalah dan perhatikan dengan saksama. Goreskan setiap garis yang ada pada rontal itu di dinding ingatanmu dalam-dalam, sehingga tidak akan mudah terhapus. Tentu kau tidak akan dapat memahami isinya dalam waktu singkat. Tetapi itu memang tidak perlu. Yang perlu kau lakukan adalah mengingat apa yang tertulis dan terlukis. Baru kemudian, di saat yang panjang kau dapat mempelajari dan mencari makna dari isi kitab itu. Sehingga pada suatu saat, kau akan menguasai isi dari buku itu dengan sempurna, bukan saja sekedar ingatan tentang bunyi yang tertulis dan sikap serta gerak yang terlukis, tetapi kau benar-benar seorang yang memiliki ilmu itu dengan segenap sifat dan wataknya, menguasainya seperti kau menguasai batang tubuhmu sendiri.”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Terasa sesuatu bagaikan mengguncang isi dadanya.

Ternyata bahwa Ki Waskita telah benar-benar melimpahkan kepercayaan kepadanya. Ia diperkenankan melihat isi kitab yang merupakan sumber ilmu dari perguruan yang dianut oleh Ki Waskita dalam olah kanuragan dan kajiwan. Meskipun Agung Sedayu mengerti, bahwa dalam mempelajari ilmu kanuragan dan kajiwan itu menyangkut keserasian hubungan timbal balik antara ilmu dan pribadi, namun seseorang akan mempunyai kesempatan yang luas dengan kesempatan yang diterimanya. Mungkin ia tidak akan dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui isyarat pada penglihatan di masa mendatang seperti yang dimiliki Ki Waskita, karena di dalam dirinya tidak ada wadah yang sesuai dengan penyadapan ilmu itu. Namun ia akan dapat mengetahui bagimana hal itu dapat terjadi. Demikian pula bagian yang lain yang termuat di dalam kitab itu.

Ki Waskita mengerti, bahwa ada guncangan yang terjadi di dalam diri anak muda itu. Kesempatan itu merupakan kesempatan yang besar sekali artinya bagi masa depannya. Tetapi kesempatan itu juga merupakan suatu hentakan yang harus dapat tembus dari batas keragu-raguannya.

Sejenak keduanya saling berdiam diri. Tetapi kaki mereka masih melangkah perlahan-lahan di atas jalan persawahan. Beberapa puluh langkah lagi mereka akan memasuki padukuhan yang tidak begitu besar, tetapi juga bukan padukuhan yang kecil. Padukuhan tempat tinggal Ki Waskita yang banyak dikenal orang sebagai seorang yang mengetahui apa yang terjadi, meskipun Ki Waskita sendiri tidak merasa demikian. Ki Waskita hanya merasa menerima karunia untuk melihat isyarat-isyarat yang dapat diuraikannya. Tetapi tidak sejelas melihat peristiwa-peristiwa itu terjadi.

Beberapa saat kemudian barulah Agung Sedayu berkata, ”Ki Waskita. Aku tidak dapat mengatakan, betapa besar terima kasihku atas kepercayaan yang Ki Waskita limpahkan kepadaku dengan memberikan kesempatan yang sangat luas itu.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku pun berterima kasih kepadamu, Ngger. Dengan demikian aku telah mendapat kesempatan untuk menitipkan kelanggengan ilmu itu kepada Angger Agung Sedayu. Aku tidak dapat berbuat demikian bagi anakku, karena ia telah menemukan sikap yang berbeda, yang karena keyakinannya tidak akan dapat dirubah lagi, meskipun aku mengakui bahwa sikapnya adalah sikap yang lebih luhur dari sikapku dan sikap kita semuanya yang masih mempercayakan diri dan beramal dengan sikap-sikap yang disebut kekerasan.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya, sementara Ki Waskita melanjutkan, ”Aku tidak tahu, apakah yang akan aku lakukan dengan kitab itu kelak, karena aku sadar, bahwa umurku pada suatu saat akan mencapai batasnya.”

Agung Sedayu masih tetap berdiam diri.

“Nah,” berkata Ki Waskita kemudian ketika mereka sampai di mulut lorong memasuki regol padukuhan, ”kita sudah selesai dengan pembicaraan kita. Aku akan memberikan kitab itu nanti menjelang pagi. Terserah kepadamu, saat-saat yang manakah yang akan Angger pilih untuk melihat isinya dan memahatnya di dinding hati Angger Agung Sedayu. Aku yakin bahwa dengan demikian isi kitab itu akan tetap terpatri untuk selama-lamanya. Sementara dari satu saat ke saat berikutnya, kau dapat membacanya dan mempelajarinya langsung dari pahatan yang tergores di hatimu tanpa memerlukan kitab itu lagi.”

“Terima kasih Kiai,” suara Agung Sedayu menjadi semakin dalam.

“Tetapi aku mohon, bahwa yang Angger lakukan itu janganlah mengusik ketenangan hati Rudita.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Waskita. Rudita jangan mengetahui apa yang dilakukannya dengan kitab itu.

Betapa berat hati, karena ia harus berbuat sesuatu dengan diam-diam dan seolah-olah bersembunyi dari penglihatan Rudita, namun Agung Sedayu pun mengangguk sambil menjawab, ”Aku akan berusaha Ki Waskita.”

“Terima kasih, Ngger. Ia tidak akan mengira bahwa dalam waktu yang sangat singkat, isi kitab itu sudah kau miliki meskipun belum kau temukan maknanya.”

“Aku akan selalu mengingatnya Ki Waskita,” jawab Agung Sedayu.

Ki Waskita tidak menyahut. Keduanya telah memasuki regol padukuhan. Di gardu nampak beberapa orang peronda duduk di bibir gardu, sementara yang lain telah tidur mendekur.

“Selamat malam Ki Waskita,” desis salah seorang peronda itu.

Ki Waskita tersenyum. Ia mendekati gardu itu sambil melihat anak-anak muda yang tidur nyenyak.

“Siapa saja?” bertanya Ki Waskita.

“Anak-anak malas,” jawab peronda yang duduk di bibir gardu.

Ki Waskita tertawa. Sambil melangkah pergi ia berkata, ”Tentu mereka terlalu kenyang makan di sore hari.”

Yang lain tertawa pula. Salah seorang berkata, “Mereka baru saja pulang sambatan dan menghabiskan semua yang disuguhkan kepada mereka.”

Suara tertawa meledak. Ki Waskita pun tertawa pula sambil melangkah pergi.

Tidak banyak lagi yang dibicarakan antara Ki Waskita dan Agung Sedayu. Mereka tidak mau, pembicaraan mereka didengar oleh orang lain. Bahkan oleh keluarga mereka sendiri, atau oleh Glagah Putih.

Sampai di rumah Ki Waskita pun mereka tidak lagi menyebut tentang kitab itu. Glagah Putih yang belum tidur, menyongsong Agung Sedayu di pintu bilik sambil bertanya, ”Apa yang penting Kakang?”

Agung Sedayu mengibaskan kain panjangnya sambil berkata, ”Kainku basah. Ketika aku mencuci kaki di pakiwan, ujung kainku tercelup di jambangan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu tidak mau menjawab pertanyaannya, sehingga ia pun mengerti, bahwa yang dibicarakan dengan Ki Waskita tentu sesuatu yang bersifat rahasia.

“Aku lelah Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu kemudian, ”apakah kau masih belum ingin tidur?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Terasa ada semacam kekecewaan yang tergores di hatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat mengatakan, apa yang baru saja dibicarakannya dengan Ki Waskita. Karena itulah maka ia berpura-pura saja tidak mengetahui, bahwa ada sesuatu yang bergejolak di hati adik sepupunya.

Glagah Putih pun kemudian berbaring dengan gelisah. Agung Sedayu yang berbaring di sisinya telah memejamkan matanya. Nafasnya telah berjalan teratur. Dan sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun telah tertidur.

Betapapun gelisahnya, namun akhirnya Glagah Putih pun kemudian tertidur pula. Kegelisahannya ternyata telah dibawanya di dalam mimpi, sehingga kadang-kadang ia berdesah pelahan-lahan.

Agung Sedayu yang sebenarnya masih belum tidur, telah membuka matanya. Perlahan-lahan ia bangkit. Dipandanginya wajah adiknya yang buram dengan iba hati. Tetapi ia terikat pada suatu keharusan untuk tetap berdiam diri.

Seperti yang telah dijanjikan, ketika malam menjadi semakin dalam dan sepi, terdengar desir langkah halus mendekati biliknya. Di kejauhan terdengar kokok ayam yang bersahut-sahutan.

Agung Sedayu pun bangkit dan membuka pintu biliknya perlahan-lahan. Ia melihat Ki Waskita berdiri dengan sebuah kitab di tangannya.

Sejenak Ki Waskita termangu-mangu. Seolah-olah masih ada sesuatu yang meragukannya untuk memberikan kitab rontal itu.

Namun kemudian ia berkata, ”Terimalah Anakmas. Inilah kitab yang aku katakan. Ada beberapa bagian yang tercantum di dalam kitab itu, yang tentu semuanya tidak dapat Angger anggap sesuai dengan pribadi Angger. Terserahlah, yang manakah yang Angger anggap sesuai, tentu Angger yang lebih tahu dari orang lain.”

Agung Sedayu menjadi tegang. Namun kemudian ia mengangkat tangannya sambil berkata, ”Terima kasih Ki Waskita. Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan untuk menerima kemurahan hati Ki Waskita.”

Ketika Agung Sedayu menerima kitab itu, terasa tangannya gemetar secepat getar jantungnya. Dengan menerima kitab itu, satu kewajiban yang berat dan mendebarkan harus dilakukannya. Ia harus berusaha tidak mengecewakan orang yang telah memberikan kepercayaan kepadanya itu.

Ki Waskita tidak memberikan pesan lebih banyak lagi. Ketika kitab itu sudah berada di tangan Agung Sedayu, maka katanya, ”Terserahlah kepadamu. Setelah kau selesai, kembalikan kitab itu kepadaku. Aku tahu, bahwa kau tentu belum mendapatkan banyak manfaat dari kitab itu kecuali mengingat isinya. Baru kemudian kau akan mendapat kesempatan untuk mendalami tanpa memerlukan kitab ini lagi.”

Agung Sedayu mengangguk sambil bergumam, ”Terima kasih Ki Waskita.”

Ki Waskita pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu. Namun Agung Sedayu pun segera menyadari dirinya, bahwa ia telah memegang sesuatu yang sangat berharga. Kitab itu akan dapat mempunyai arti yang berlawanan apabila jatuh di tangan yang berbeda sikap, pendirian dan pandangan hidupnya. Isi dari kitab itu akan bermanfaat bagi kemanusiaan dan peradaban, tetapi dapat pula menjadi guncangan yang gawat bagi tata kehidupan manusia.

Agung Sedayu pun kemudian kembali masuk ke dalam biliknya. Perlahan-lahan ia menutup dan menyelarak pintunya.

Sejenak ia berdiri di sisi pembaringan. Dipandanginya Glagah Pulih yang masih tertidur nyenyak.

Ada sesuatu yang mendorongnya untuk membuka kitab itu. Perasaan ingin tahunya tidak dapat dikekangnya lagi. Sehingga karena itu, maka ia pun kemudian duduk menghadapi bancik lampu minyak di dalam bilik itu.

Perlahan-lahan kitab itu dibukanya. Tangannya yang gemetar menjadi semakin gemetar. Ia sadar, bahwa ia harus mempunyai ingatan yang urut terhadap kitab itu.

Karena itulah, maka ia tidak mau membuka asal saja membuka kitab rontal itu. Ia membuka sejak halaman yang pertama dan satu demi satu halaman itu ditatapnya dengan tajamnya. Kata demi kata dibacanya, dan lukisan demi lukisan dipahatkannya di dinding kenangannya.

Tetapi Agung Sedayu tidak perlu tergesa-gesa. Ketika Glagah Putih menggeliat, maka ia pun menutup kitab yang baru dibacanya dua helai itu, yang sama sekali masih belum menyinggung isinya, karena yang dua helai itu baru merupakan pendahuluan dan sekedar mempekenalkan kepada pembacanya, siapakah yang menyusun kitab itu.

Ternyata Glagah Putih tidak terbangun. Meskipun demikian, Agung Sedayu telah menyimpan kitabnya di tempat yang tidak akan dapat diketahui oleh siapapun di dalam bilik itu.

Sambil duduk di bibir pembaringan Agung Sedayu mencoba, apakah benar yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa yang telah dilihatnya pada rontal itu seolah-olah telah terpahat di dinding hatinya.

Dengan pemusatan pikiran, maka Agung Sedayu ternyata telah berhasil melihat kembali helai-helai rontal itu seperti ia masih menggenggamnya. Ia melihat kalimat demi kalimat. Huruf demi huruf dan garis demi garis. Ia dapat melihat segores luka pada rontal itu. Dan ia pun melihat setitik noda di sudut.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar dapat menyadap dari penglihatannya seutuhnya apa yang pernah dilihatnya dengan penuh minat dan pemusatan pikiran.

Lebih daripada itu, maka isi helai-helai pertama dari kitab itu telah menarik perhatiannya, yang membawa sebuah nama yang tercantum pada kata pengantar kitab itu.

Bahwa saat bintang yang cahayanya seperti seribu obor yang menyala di langit, seorang pertapa yang telah menjauhkan diri dari libatan pengaruh duniawi, dan yang telah mendekatkan diri pada sangkan paraning dumadi, yang diberi pertanda oleh Yang Maha Sakti dengan gelar Empu Pahari, telah menerima wisik di dalam mimpi menjelang fajar menyingsing, bahwa tangannya akan menjadi lantaran turunnya ilmu yang akan diwarisi oleh para sakti yang mendapat anugrah sejati, untuk diamalkan sesuai dengan tetesan hati yang bening dalam kasih. Dan mereka yang mewarisi di atas alas kebenaran akan menjadi pelita yang dapat menerangi kegelapan di sekitarnya. Akan terdengar sorak sorai kegembiraan di hati sesama yang dilindunginya dan akan terdengar gemeretak gigi dan tangis kehancuran bagi mereka yang terkena azabnya karena langkah yang sesat. Terpujilah Yang Maha Benar.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Dari pengantar itu ia mengetahui sebuah nama di jaman yang telah jauh lampau. Empu Pahari, yang telah menyusun kitab itu. Yang telah mencoba menuangkan ilmu ke dalam sebuah kitab rontal yang turun temurun sampai kepada Ki Waskita.

Ternyata Agung Sedayu telah tertarik untuk membaca seluruh isi kitab itu dan memahatkannya di dinding hatinya. Meskipun kemudian kitab itu tidak berada di tangannya lagi, namun itu sama sekali tidak akan berpengaruh lagi atasnya, karena ia akan tetap dapat melihat seluruh isinya untuk diketemukan maknanya dan kemudian seperti yang diharapkan oleh penyusun kitab itu, adalah pengamalannya.

Agung Sedayu telah mengangguk-angguk di luar sadarnya, seolah-olah ia baru saja menemukan sesuatu yang paling sesuai baginya di sepanjang perjalanan hidupnya.

Agung Sedayu sadar dari angan-angannya ketika ia melihat Glagah Pulih sekali lagi menggeliat. Tetapi anak itu benar-benar telah terbangun dan membuka matanya.

“Kau sudah bangun, Kakang?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata Glagah Putih telah terbangun sebelum ia sendiri sempat tidur barang sejenak.

Tetapi Agung Sedayu menjawab, ”Ya Glagah Putih. Aku sudah terbiasa bangun pagi-pagi sekali. Bukankah begitu?”

“Apakah aku bangun terlalu siang kali ini?”

“Tidak,” cepat-cepat Agung Sedayu menggeleng, ”hari masih sangat pagi. Aku pun baru saja terbangun.”

Glagah Putih pun kemudian duduk pula. Tetapi ia menjadi gelisah ketika ia mendengar senggot timba berderit.

“Aku bangun kesiangan,” katanya, ”sudah ada orang menimba air di belakang.”

“Tetapi kita sekarang adalah tamu,” desis Agung Sedayu.

“Apa salahnya aku mengisi jambangan di pakiwan?”

Agung Sedayu tersenyum. Adik sepupunya memang seorang yang rajin. Ia senang melakukan pekerjaan apapun juga yang dapat dikerjakannya.

Di siang hari, Agung Sedayu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Nampaknya ia benar-benar sedang beristirahat. Kerjanya ikut serta Rudita pergi ke sawah. Duduk di gubug kecil sambil ikut makan kiriman di tengah hari.

Tetapi di malam hari, jika Glagah Putih telah tertidur, dan seisi rumah telah nyenyak pula, maka mulailah ia mengamati isi kitab rontal yang diberikan oleh Ki Waskita kepadanya. Dengan tekun ia membaca dan memahatkan isinya di hatinya. Dengan memusatkan indranya, maka seolah-olah ia telah memindahkan setiap huruf yang tertulis di dalam kitab itu ke dalam rangkuman ingatannya untuk selama-lamanya.  

Kitab yang diberikan oleh Ki Waskita bukannya kitab yang tebal. Isinya tidak terlalu banyak, menurut jumlah hurufnya. Tetapi maknanya tiada terkirakan luasnya. Seluas lautan yang menampung setiap arus air dari daratan. Seperti langit yang menyimpan angin yang bergeser lembut, tetapi juga prahara yang mengguncang gunung.

Dada Agung Sedayu bagaikan terhimpit oleh sepasang batu sebesar belahan bumi. Pepat dan bagaikan remuk karena hubungan kalimat-kalimat yang terdapat di dalam kitab itu.

Namun Agung Sedayu menghindarkan diri dari setiap sentuhan makna isi kitab itu. Seperti pesan Ki Waskita, ia hanya melihat huruf-hurufnya, menghafal bunyi kata-katanya. Ia tidak ingin dadanya pecah sebelum ia mempersiapkan diri untuk mulai mengamati makna isi kitab rontal itu.

Meskipun demikian, kadang-kadang jantungnya telah tergetar bagaikan akan meledak.

Untuk menyelesaikan seluruh kitab itu. Agung Sedayu tidak memerlukan waktu yang lama. Ia membaca sejak malam menjadi sepi. Dan ia baru berhenti ketika Glagah Putih mulai menggeliat bangun.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu setiap malam sama sekali tidak tidur sekejappun.

Namun dengan demikian, ia cepat menyelesaikan tugasnya. Pada hari yang ke empat, maka badannya mulai nampak lemah. Bukan saja karena ia sama sekali tidak tidur empat malam berturut-turut. Daya tahan tubuhnya cukup kuat meskipun ia harus berjaga-jaga sepekan atau dua pekan sekalipun. Tetapi pemusatan indranyalah yang membuatnya nampak letih sekali.

“Kau sakit Kakang?” bertanya Glagah Putih dengan cemas.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, ”Aku tidak apa-apa.”

“Tetapi Kakang nampak pucat dan lemah sekali.”

“Aku tidak apa-apa Glagah Putih. Mungkin udara terasa terlalu panas sehingga rasa-rasanya aku malas untuk keluar.”

“Kau makan sedikit sekali hari ini.”

Agung Sedayu tertawa sambil mengusap kepala adik sepupunya. Katanya, ”Kau aneh. Aku tidak apa-apa.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi meskipun ia tetap mencemaskan kesehatan kakak sepupunya.

Pada hari kelima, Agung Sedayu bertambah lemah. Ia tidak pergi ke sawah bersama Rudita. Bahkan yang tidak terbiasa dilakukan oleh Agung Sedayu, menjelang tengah hari, ia berbaring di pembaringannya.

Glagah Putih yang ikut bersama Rudita ke sawah bertanya dengan cemas, ”Rudita, apakah kau mengetahui, apakah sebabnya Kakang Agung Sedayu menjadi nampak letih sekali? Matanya menjadi kemerah-merahan, sedangkan wajahnya menjadi pucat.”

Rudita tersenyum. Tetapi ia menggeleng. Jawabnya, ”Aku tidak mengerti Glagah Putih. Mungkin kakangmu kurang enak badan. Udara di Tanah Perdikan Menoreh tentu jauh lebih panas dari lereng Gunung Merapi yang sejuk.”

Glagah Putih mencoba mengingat-ingat, apakah benar Jati Anom udaranya lebih sejuk dari Tanah Perdikan Menoreh. Namun yang diketahuinya, di Tanah Perdikan Menoreh terdapat juga bukit-bukit, meskipun tidak setinggi Gunung Merapi. Sore hari terasa lebih panjang di Tanah Perdikan Menoreh, karena matahari tidak segera bersembunyi di balik puncak Gunung.

“Apa yang kau renungkan?” bertanya Rudita.

“Aku tidak merasakan, bahwa udara di Jati Anom terasa lebih sejuk dari di tempat ini,” berkata Glagah Putih.

Rudita tertawa. Katanya, ”Jangan hiraukan kakakmu. Ia tidak apa-apa. Ia mungkin memang letih. Tetapi ia tidak sakit.”

“Darimana kau tahu?”

“Aku hanya menduga. Bukankah kakakmu seorang yang memiliki daya tahan jasmaniah yang luar biasa?”

“Karena itu, seharusnya ia tidak mengalami keletihan seperti itu.”

Rudita menggeleng. Katanya, ”Aku tidak tahu, dan aku tidak dapat bertanya kepadanya. Tetapi aku kira ia tidak apa-apa.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Seperti biasa ia ikut duduk di gubug menunggui padi yang mulai mekar. Ketika seseorang mengirim makan dan minuman, ia pun ikut serta menghabiskannya.

Sementara itu, selagi keduanya sibuk mengunyah makanan sambil mengamati burung yang berterbangan mengintari persawahan yang mengombak kekuning-kuningan ditiup angin, seseorang telah berjalan menyusur pematang mendekati mereka.

Rudita dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu Glagah Putih berbisik, ”Siapa?”

Rudita menggeleng. Tetapi ia tidak menjawab karena orang itu sudah menjadi semakin dekat.

Seleret senyum membayang di wajah orang yang nampaknya sangat ramah itu. Dengan nada yang ramah pula ia bertanya, ”Apakah aku boleh ikut duduk bersama kalian?”

“Silahkan,” Rudita beringsut setapak untuk memberi tempat kepada orang itu duduk di gubugnya pula.

“Siapakah Ki Sanak itu?” tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya, ”apakah kau juga orang padukuhan ini?”

Orang itu tersenyum. Dipandanginya Rudita sambil menyahut, ”Nampaknya Anak Muda belum mengenal aku. Aku memang bukan orang padukuhan ini. Karena itu, maka Rudita pun belum mengenal aku pula.”

“Kau mengenal namaku?” bertanya Rudita.

“Dari petani-petani yang berada di sawah aku mengenal kalian berdua. Rudita dan Glagah Putih. Tetapi aku menjadi heran, dimanakah Agung Sedayu? Biasanya kalian selalu bertiga. Menunggui burung bertiga. Ke pategalan bertiga, menyusuri air di parit bertiga. Aku tahu bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih bukan anak padukuhan ini pula.”

Rudita termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia bertanya, ”Kau mengenal kami bertiga dengan baik.”

“Ya. Sudah tentu, karena aku mengagumi kalian. Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Terutama Agung Sedayu. Apakah ia sudah kembali ke Jati Anom?”

Pertanyaan itu mencurigakan sekali. Meskipun Glagah Putih masih sangat muda, namun ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang nampaknya kurang wajar pada orang yang sangat ramah itu.

Namun selagi Glagah Putih masih menimbang-nimbang, Rudita telah menjawab tanpa prasangka sama sekali, ”Agung Sedayu masih berada di sini. Hari ini ia tidak ikut serta bersama kami. Nampaknya ia letih sekali.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, ”Apakah ia sedang sakit?”

Rudita menggeleng. Jawabnya, ”Tidak. Ia tidak sakit.”

“Apakah yang dilakukannya, sehingga ia menjadi letih sekali? Apakah ia berlatih olah kanuragan siang dan malam?”

Rudita termangu-mangu sejenak. Sementara itu Glagah Putih-lah yang menjawab, ”Aku tidak pernah melihat ia berlatih apapun juga. Mungkin ia sedang sakit.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia bangkit sambil berkata, ”Sudahlah. Sebenarnya aku ingin bertemu barang sebentar. Tetapi ia tidak ada di antara kalian sekarang.”

“Siapakah kau?” sekali lagi Glagah Putih bertanya.

Orang itu menggeleng sambil tersenyum. Katanya, ”Tidak ada gunanya kau mengetahui siapa aku. Sampaikan salamku kepada Agung Sedayu. Aku adalah sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu.”

Tanpa menunggu lagi, orang itu pun segera meninggalkan kedua anak muda itu di dalam gubugnya sambil termangu-mangu. Dengan cepat ia meloncat-loncat di pematang. Semakin lama semakin jauh.

Namun ketika ia meloncati parit sampai ke jalan bulak, ternyata seseorang yang lain telah menunggunya. Keduanya berjalan dengan tergesa-gesa menjauh menyusuri bulak yang panjang.

Sepeninggal keduanya, maka Glagah Putih benar-benar telah dibayangi kecemasan. Dengan nada yang dalam ia berkata, ”Mereka nampaknya mempunyai maksud tertentu terhadap Kakang Agung Sedayu.”

Rudita tersenyum sambil menjawab, ”Kenapa kau berprasangka? Keduanya adalah sahabat Agung Sedayu.”

“Aku tidak yakin. Orang itu tentu berbohong. Banyak orang yang mendendam Kakang Agung Sedayu. Termasuk orang itu.”

Rudita bahkan tertawa. Katanya, ”Glagah Putih. Kau masih sangat muda. Jangan mudah berprasangka.”

“Aku hanya berhati-hati. Mungkin keduanya bermaksud baik. Tetapi ada firasat yang mengatakan, bahwa keduanya bukan sahabat Kakang Agung Sedayu.”

Rudita menggeleng. Katanya, “Jangan mudah berprasangka. Sebaiknya kita mempercayainya. Kau nampaknya dibayangi oleh kecemasan dan kegelisahan.”

Glagah Pulih menjadi heran. Namun ia mencoba menjelaskan, ”Rudita. Banyak orang yang tiba-tiba saja menyerang Kakang Agung Sedayu. Mungkin karena Kakang Agung Sedayu terlibat dalam pertempuran di banyak tempat dan setiap kali ia telah membunuh lawannya, dikehendaki atau tidak. Sanak keluarga dan saudara-saudara seperguruan orang-orang itu ingin membalas kematian mereka yang terbunuh oleh Kakang Agung Sedayu dengan membunuh pula.”

Rudita mengerutkan keningnya. Ia melihat kejujuran di mata Glagah Putih. Yang dikatakannya itu tentu bukan sekedar prasangka.

“Kekerasan memang bukan jalan yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan,” berkata Rudita kemudian. Namun ia pun mengerti bahwa ia tidak akan dapat banyak berbicara dengan anak yang masih terlalu muda itu, karena di dalam dadanya telah mulai tersimpan pengetahuan dan ilmu dasar tentang olah kanuragan.

“Jika Glagah Putih masih belum mulai,” berkata Rudita di dalam hatinya, ”dalam keadaan seperti keadaannya sekarang, maka harus banyak penjelasan yang diberikan kepadanya kenapa bukan kekerasan yang paling baik dilakukan dalam hubungan antara sesama.”

Glagah Putih termangu-mangu. Memang banyak hal yang tidak dimengertinya. Rudita bagi Glagah Putih adalah seorang yang aneh, seaneh Prastawa. Namun dalam keadaan yang jauh berbeda, bahkan berlawanan. Meskipun banyak yang tidak dimengertinya, namun sikap Rudita terasa sejuk dan semanak tanpa dibuat-buat. Baginya Prastawa adalah secercah padang yang tandus dan gersang, sedang Rudita adalah bayangan sejuknya dedaunan yang hijau rimbun.

Tetapi Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut. Sekali-sekali ia memandang kekejauhan, ke arah kedua orang yang mengaku sahabat Agung Sedayu itu menghilang.

“Sudahlah,” berkata Rudita, ”jangan hiraukan lagi. Kita masih mempunyai pekerjaan. Burung-burung itu masih saja berputaran. Jika kita lengah, maka mereka akan menukik dan mengambil padi kita yang sudah mulai menguning.”

Glagah Putih pun kemudian kembali memperhatikan burung gelatik di udara. Sekali-sekali ia menarik tali-tali yang menggerakkan orang-orangan di tengah-tengah tanaman padi yang menguning.

Dalam pada itu, dua orang yang mengaku sahabat Agung Sedayu itu pun berjalan semakin jauh dari gubug di tengah sawah itu. Dengan nada datar salah seorang dari keduanya berkata, ”Kita belum kehilangan Agung Sedayu.”

“Tetapi terlalu lama,” sahut yang lain, ”apakah Sabungsari telaten menunggu lebih dari sepekan?”

“Ia tahu siapa Agung Sedayu. Kita tidak dapat tergesa-gesa. Kita akan menunggu sepekan lagi. Jika ia masih belum menuju ke Jati Anom kembali, atau meneruskan perjalanan ke tempat lain, kita akan mengambil sikap.”

“Apakah kita akan membiarkannya pergi ke tempat lain?”

“Tentu tidak. Kita akan menggiringnya kembali ke Jati Anom. Jika perlu dengan kekerasan.”

Keduanya terdiam. Tetapi keduanya sadar, bahwa jika mereka harus mempergunakan kekerasan, maka mereka harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka sudah dapat mengukur, betapa tinggi ilmu Agung Sedayu.

“Kita tidak akan dapat melakukannya jika ia berada bersama Ki Waskita,” berkata salah seorang dari mereka.

“Ya,” sahut yang lain, ”Ki Waskita dan Agung Sedayu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Jika mereka berdua, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika kita memaksakan diri, maka itu berarti bahwa kita telah membunuh diri.”

Yang lain tidak menyahut lagi. Tetapi keduanya menyadari, betapa berbahayanya Agung Sedayu di samping Ki Waskita bagi mereka sekelompok kecil pengikut Sabungsari.

Adalah di luar dugaan mereka, bahwa sebenarnya Sabungsari selalu mengawasi mereka dan Agung Sedayu. Sabungsari menunggu, benturan yang akan terjadi antara orang-orangnya dengan Agung Sedayu. Dengan demikian ia akan dapat menjajagi, betapa jauhnya Agung Sedayu menguasai ilmu yang jarang ada bandingnya. Sabungsari pun pernah mendengar, bahwa tatapan mata Agung Sedayu memiliki kemampuan sentuhan wadag pula. Namun Sabungsari belum dapat mengukur, tingkat sentuhan wadag yang terpancar dari mata anak muda itu. Sedangkan jenisnyapun masih belum diketahuinya dengan pasti pula. Apakah tatapan mata Agung Sedayu itu mampu merontokkan isi dada dengan hentakkan dan goncangan yang tidak terlawan, atau sorot mata Agung Sedayu itu mempunyai kekuatan remas dan himpitan seperti tangan raksasa, atau sorot mata itu memancarkan panasnya bara seperti lontaran lahar dari mulut gunung berapi.

Sementara itu Agung Sedayu sendiri masih berbaring di pembaringannya. Sekali-kali ia pergi berjalan-jalan keluar. Namun rasa-rasanya tubuhnya memang menjadi sangat lemah. Pemusatan indeanya bagaikan menghisap seluruh tenaganya.

“Tetapi aku harus menyelesaikannya,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Batapapun lungkrah badannya dan letih jiwanya, namun ia tidak akan berhenti sebelum ia sampai pada huruf yang terakhir.

“Satu malam lagi aku akan selesai,” gumannya. Agung Sedayu yang letih itu pun kemudian berjalan keluar biliknya dengan langkah yang lemah. Sendiri ia duduk di serambi merenungi dirinya sendiri. Ia masih saja menghindarkan diri dari penelaahan makna dari ilmu yang telah dibacanya.

“Aku tidak mau hancur sama sekali dengan memaksa diri mengungkap makna dari kalimat-kalimat di dalam kitab itu,” berkata Agung Sedayu.

Agung Sedayu berpaling ketika mendengar desir langkah mendekat, ”Ki Waskita,” desis Agung Sedayu.

“Duduk sajalah Ngger,” berkata Ki Waskita.

Ki Waskitapun kemudian duduk di sebelahnya. Sambil menepuk bahu Agung Sedayu ia berkata, ”Kau nampak letih sekali. Aku mengerti, bahwa kau benar-benar telah memeras tenaga dan pemusatan indra untuk menangkap kalimat-kalimat yang tertera di dalam kitab itu.”

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, ”Ya Paman. Aku telah menyadap isinya dan memahatkannya di dinding ingatanku. Aku berhasil mengingat huruf demi huruf dari kalimat-kalimat yang sudah aku baca.”

“Apakah masih banyak yang belum terbaca?” bertanya Ki Waskita.

“Tidak Paman. Dugaan Paman hampir tepat. Aku memerlukan waktu semalam lebih panjang dari yang Paman perhitungkan.”

“Enam malam?”

“Ya. Malam nanti aku akan menyelesaikannya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Tetapi jangan memaksa diri Ngger. Kau dapat beristirahat barang satu dua hari. Kemudian kau mulai lagi dengan bagian terakhir itu.”

“Aku akan menyelesaikannya sama sekali Paman.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, ”Kau tentu menyadari tingkat kemampuan dan daya tahan Angger sendiri. Tetapi aku tak berkeberatan, seandainya Angger menundanya barang dua tiga hari, bahkan sepekan sekalipun. Aku dan keluargaku senang sekali jika Angger masih bersedia tinggal lebih lama disini. Dengan demikian, keadaan Angger pun tentu tidak akan menjadi terlalu letih.”

“Aku akan menyelesaikannya dengan segera Ki Waskita.”

Ki Waskita tidak dapat melarangnya. Di pengasingan, Agung Sedayu pun telah mengerahkan segenap daya tahan jasmaniahnya untuk menyelesaikan tataran ilmu yang sedang dipelajarinya, sehingga ia hampir melupakan keadaan wadagnya. Namun meskipun nampaknya yang dilakukan di rumahnya itu lebih ringan, tetapi ternyata bahwa akibatnya tidak kalah berat bagi wadag dan jiwanya.

Ketika Ki Waskita kemudian meninggalkan Agung Sedayu duduk seorang diri, maka anak muda itu pun kemudian bangkit pula dan melangkah perlahan-lahan ke biliknya, langsung membaringkan dirinya di pembaringan. Rasa-rasanya tubuhnya bagaikan tidak berbobot lagi dan terombang-ambing oleh sentuhan angin yang betapapun lembutnya.

Ketika Glagah Putih kembali dari sawah, dan memasuki bilik itu pula setelah ia mencuci kakinya, ia menjadi semakin cemas. Nampaknya Agung Sedayu benar-benar seperti orang yang sedang sakit.

“Kau nampaknya benar-benar sakit Kakang?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu mencoba tersenyum. Tetapi ia lebih baik mengiakannya dari pada Glagah Putih selalu mengejarnya dengan bermacam-macam pertanyaan.

“Badanku memang terasa tidak enak Glagah Putih. Tetapi tidak apa-apa. Agaknya kadang-kadang aku memang diganggu oleh perasaan pening untuk satu atau dua hari. Setelah itu, maka aku akan segera sembuh dan sehat kembali.”

Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Agung Sedayu melanjutkan, “Aku sudah mengatakan keadaanku kepada Ki Waskita. Aku sudah mendapat obat yang akan segera memulihkan kesehatanku.”

Seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Jika memang Agung Sedayu sakit, maka ia harus beristirahat dan berobat.

Namun Glagah Putih sama sekali tidak menyadari, apa yang sebenarnya terjadi dengan Agung Sedayu. Ketika malam tiba, dan Glagah Putih mulai mengantuk, Agung Sedayu mulai mempersiapkan diri. Demikian Glagah Putih tertidur, dengan tubuh yang lemah Agung Sedayu bangkit dan mengambil kitab rontal dari tempatnya.

Agung Sedayu masih memaksa diri untuk menyelenggarakan kalimat-kalimat yang sudah tidak begitu banyak lagi. Dikerahkannya sisa tenaga yang ada padanya. Kemampuannya, daya pikir dan daya tangkapnya, daya ingat dan segala kegiatan jiwani serta jasmani.

Kata demi kata dipahatkannya di dinding hatinya. Kalimat demi kalimat serta rangkaian-rangkaian pengertian meskipun tanpa ditelaah maknanya. Karena Agung Sedayu sadar, bahwa ia tidak akan mampu memahami maknanya sekaligus di saat-saat tubuhnya sudah menjadi sangat lemah.

Di bagian terakhir dari kitab itu, nafasnya bagaikan mengalir semakin lamban. Matanya menjadi kabur dan daya tangkapnyapun menyusut. Namun ia masih sempat melihat kalimat terakhir sampai pada huruf yang terakhir pula.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, ternyata bahwa tubuhnya menjadi sangat lemah. Namun ia masih ingat dan menyadari, bahwa kitab itu tidak boleh terletak di sembarang tempat.

Tertatih-tatih Agung Sedayu berdiri. Disembunyikannya kitab rontal itu ditempatnya dengan susah payah.

Ketika ia kembali duduk di sisi pembaringan, maka ia harus bertumpu pada tangannya yang berpegangan ander planggrangan di dalam bilik itu.

Dalam keadaan yang sangat lemah dan tubuh gemetar Agung Sedayu masih memaksa diri untuk duduk tepekur, menghubungkan diri dengan Panciptanya. Betapa besar rasa terima kasihnya, bahwa ia sudah diperkenankan menyelesaikan pekerjaan yang berat, dan mendapat kurnia untuk dapat memahatkannya di dalam hatinya.

Namun pada kalimat-kalimat terakhir yang diucapkannya di dalam hati, tubuh Agung Sedayu benar-benar telah menjadi lemah. Ia tidak dapat bertahan duduk lebih lama lagi. D iluar sadarnya, maka perlahan-lahan ia terhuyung-huyung dan jatuh di kaki pembaringannya.

Tetapi Agung Sedayu tidak mengerti apa yang telah terjadi, karena ia telah menjadi pingsan.

Ia tidak tahu, berapa lamanya ia pingsan di bawah bibir pembaringannya. Ia sadar, ketika terasa tubuhnya bagaikan terbang. Perlahan-lahan tubuhnya turun dan kemudian terbaring di pembaringan.

Matanya yang gelap perlahan-lahan menjadi semakin terang. Meskipun masih kabur, ia melihat beberapa orang mengerumuninya.

“Kakang, Kakang,” ia mendengar suara Glagah Putih. Karena itu, seolah-olah kekuatannya telah merayapi tubuhnya kembali. Meskipun masih sangat lemah, ia sempat membuka mulutnya dan menggerakkan bibirnya.

“Glagah Putih,” desisnya.

Glagah Putih pun kemudian menempelkan telinganya di mulut Agung Sedayu untuk mendengarkan kata-katanya yang lirih, “Aku tidak apa-apa.”

Tetapi wajah Glagah Putih masih tegang. Bagaimana ia dapat percaya bahwa kakak sepupunya itu tidak apa-apa.

Beberapa orang menjadi sibuk. Digosoknya tubuh Agung Sedayu yang dingin dengan minyak adas. Yang lain memijit-mijit kakinya. Yang lain lagi menyediakan air panas baginya.

Berbeda dengan orang-orang yang gelisah itu, Ki Waskita berdiri dengan tangan bersilang didadu. Ia tidak cemas seperti orang-orang itu meskipun ia menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu sepenuhnya bahwa yang terjadi itu adalah akibat Agung Sedayu yang telah memaksakan diri untuk menyelesaikan pekerjaannya, membaca kitab yang diberikannya sampai kata yang terakhir.

Yang dicemaskan oleh Ki Waskita adalah justru kitabnya. Ia tidak melihat kitab itu di tangan atau di dekat Agung Sedayu terbaring di kaki pembaringannya.

Karena itu, ketika ada kesempatan sekejap, Ki Waskita berbisik, “Dimanakah kitab itu Agger?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian bibirnya nampak tersenyum. Jawabnya lirih, ”Sudah aku simpan baik-baik Ki Waskita.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Desisnya, ”Syukurlah, terima kasih. Aku tahu, bahwa keadaan Angger tidak berbahaya. Meskipun demikian kau harus beristirahat sebaik-baiknya dan berusaha memulihkan keadaan jasmaniah dan rohaniah Angger yang kelelahan.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika seseorang meletakan mangkuk berisi air jahe di bibirnya maka ia pun telah meminumnya seteguk. Tubuhnyapun terasa menjadi semakin segar.

“Minumlah,” berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu mengangguk. Sambil tersenyum ia berkata, ”Sudah hampir separo kuhisap. Air jahe itu segar sekali.”

Ki Waskita tersenyum pula. Katanya kemudian, ”Berbaringlah sebaik-baiknya. Kau harus tidur dan beristirahat.”

Agung Sedayu mengangguk. Ketika ia melihat sekeliling ruangan, ia melihat Rudita memandangnya dengan tatapan mata yang redup. Tetapi Agung Sedayu tidak mengetahui apa yang tersirap di hatinya.

Karena keadaan Agung Sedayu sudah berangsur baik, maka ruangan itu pun menjadi semakin lengang. Satu-satu orang-orang yang berkerumun telah meninggalkan bilik itu meskipun mereka masih selalu dibebani oleh pertanyaan, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba telah pingsan.

Yang kemudian tinggal diruangan itu adalah Ki Waskita, Glagah Putih dan Rudita. Sejenak Rudita termangu-mangu. Namun kemudian ia mendekati Agung Sedayu sambil berkata, ”Beristirahat sebaik-baiknya adalah obat yang paling baik bagimu Agung Sedayu.”

“Terima kasih Rudita. Aku akan tidur.”

Rudita pun kemudian minta diri dan meninggalkan ruangan itu pula. Sementara Ki Waskita masih menungguinya sambil duduk di bibir pembaringan.

“Jika kau mengantuk, tidurlah,” berkata Ki Waskita kepada Glagah Putih.

Glagah Putih tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya, ”Tidak Ki Waskita. Aku tidak merasa kantuk lagi.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu pun kemudian bertanya, ”Ki Waskita. Apakah yang sudah terjadi atasku.”

Ki Waskita memandang Glagah Putih sejenak kata-nya, ”Bertanyalah kepada adikmu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningya. Kemudian ia pun bertanya, ”Apa yang kau ketahui tentang peristiwa ini Glagah Putih.”

“Tidak seluruhnya. Ketika aku terbangun oleh goncangan pada pembaringan ini, aku melihat Kakang sudah terbaring di lantai. Karena aku menjadi bingung, maka aku pun memanggil Ki Waskita. Dengan demikian maka seisi rumah ini menjadi bingung.”

Agung Sedayu mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia masih ingat betapa ia kehilangan keseimbangan. Matanya menjadi gelap, dan ia bagaikan tidak mempunyai tenaga lagi untuk mempertahankan keseimbangan, sehingga iapun terjatuh.

“Aku menjadi pingsan,” katanya di dalam hati.

Dalam pada itu, Ki Waskitapun berkata, ”Sudahlah Agung Sedayu. Tidurlah. Masih ada sisa waktu malam ini, meskipun tinggal sepotong. Sebentar lagi fajar akan menyingsing, dan kita semuanya akan memasuki hari baru.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, ”Terima kasih Ki Waskita. Aku akan mencoba untuk tidur. Mungkin aku tidak akan bangun pagi-pagi. Mungkin aku akan bangun ketika matahari sudah tinggi.”

“Tidak ada salahnya,” jawab Ki Waskita, ”mungkin itu lebih baik bagimu.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Ia pun menyadari keadaan dirinya yang sangat lemah dan memerlukan banyak istirahat.

Ki Waskita pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia tidak lagi digelisahkan oleh kitabnya. Tetapi Ia masih belum merasa perlu untuk dengan tergesa-gesa minta kitab yang telah disimpan oleh Agung Sedayu itu.

Sejenak Agung Sedayu masih menelusuri peristiwa yang baru saja terjadi, sementara Glagah Putih duduk terpekur disisinya.

“Tidurlah. Masih ada waktu,” berkata Agung Sedayu.

“Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Sebaiknya kau sajalah yang tidur Kakang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya.

Oleh keletihan yang sangat, maka akhirnya Agung Sedayu pun tertidur pula. Seperti saat ia pingsan, maka ia pun tidak mengetahui, berapa lamanya ia tertidur.

Tetapi ketika ia membuka matanya, Glagah Putih sudah tidak berada di sisinya. Agaknya ia sudah pergi ke belakang. Seperti biasanya anak itu rajin menimba air mengisi jambangan di pakiwan.

Hari itu ternyata Rudita dan Glagah Putih tidak pergi ke sawah. Diserahkannya pekerjaan mereka kepada pembantunya, menunggui burung disawah.

Karena badan Agung Sedayu sangat lemah, maka ia lebih banyak berada di pembaringannya. Sekali-kali Glagah Putih menungguinya. Namun kadang-kadang ia berada di serambi bersama Rudita.

Meskipun demikian, ada kalanya Rudita sendirilah yang menunggui Agung Sedayu. Ketika Glagah Putih sedang pergi ke sungai, maka Rudita memerlukan menunggui Agung Sedayu sambil berbicara tentang bermacam-macam persoalan. Dari air parit yang bening, sampai ke burung gelatik yang berterbangan di langit.

Namun akhirnya Rudita bertanya, ”Apakah sebenarnya sakitmu payah Agung Sedayu?”

Pertanyaan itu terdengar aneh di telinga Agung Sedayu. Namun demikian ia menjawab, “Tidak Rudita. Sakitku bukan apa-apa. Mungkin hanya karena kelelahan atau kelainan yang kurang aku pahami.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku tidak menyalahkan kau Agung Sedayu. Karena kau sudah memilih sikap dalam perjalanan hidupmu. Aku mengerti, apakah yang menyebabkan kau mejadi letih dan bahkan seperti benar-benar sakit.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Wajahnya nampak menegang sejenak. Namun Rudita tersenyum sambil berkata, “Aku tidak pernah menganggap kau bersalah. Atau Ayah bersalah. Atau orang-orang yang lebih senang menekuni kekerasan. Itu sudah aku yakini dan kau pilih menjadi sikap hidupmu.”

“Apa maksudmu Rudita?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau memaksa dirimu untuk membaca dan menyelesaikan kitab yang dipinjamkan oleh Ayah kepadamu.”

Terasa wajah Agung Sedayu menjadi panas. Namun ia melihat Rudita tersenyum sambil berkata, “Itu bukan suatu kesalahan.”

Sejenak Agung Sedayu justru diam mematung. Dipandanginya wajah Rudita yang seperti air telaga yang jernih sehingga nampak batu-batu kerikil yang tergolek di dasarnya.

“Rudita,” bertanya Agung Sedayu, “apakah kau bermaksud mengatakan bahwa aku telah membaca kitab Ki Waskita sehingga aku menjadi sangat letih?”

Rudita tersenyum. Jawabnya, ”Benar Agung Sedayu. Kau telah membaca kitab Ayah. Kau ingin menyelesaikannya secepatnya, sehingga kau memaksa diri untuk membacanya hingga semalam suntuk. Jika kau membaca kidung tentang hilangnya Arjuna yang ternyata sedang bertapa menjadi seorang Wiku yang sakti, mungkin kau akan dapat menemukan kesegaran rohani dan mendapatkan beberapa pesan dari isi kidung itu yang dapat dipetik bagi kehidupan sehari-hari. Tetapi kitab Ayah adalah sangat berlainan isi dan manfaatnya. Yang pertama-tama nampak akibatnya adalah keletihan jasmani dan rohani. Apalagi dengan cara yang kau tempuh sekarang ini. Kau selesaikan seluruh isi kitab itu dalam waktu yang sangat singkat.”

“Rudita,” suara Agung Sedayu bergetar, ”darimana kau tahu, bahwa aku telah membaca kitab Ki Waskita? Apakah Ki Waskita mengatakannya kepadamu?”

“Tentu tidak Agung Sedayu. Ayah tidak akan mengatakan kepadaku, karena Ayah tahu, bahwa aku lebih senang melihat kitab itu tidak pernah disentuh oleh siapapun. Bahkan seandainya kitab itu dimusnahkan, maka itu berarti salah satu usaha penjernihan dari lingkungan hidup manusia yang semakin lama menjadi semakin keruh ini.”

“Jadi dari siapa kau mengetahuinya?”

“Aku hanya mencoba meraba dengan naluriku,” Rudita termangu-mangu sejenak. Lalu, ”Ketahuilah Agung Sedayu. Aku pun pernah mengalami keadaan yang hampir serupa dengan yang kau alami. Tetapi agaknya kau mempunyai banyak kelebihan dari aku di dalam penyadapan ilmu dari kitab Ayah. Kau dapat mempergunakan ketajaman ingatanmu yang jarang dimiliki oleh seseorang. Dengan memandang sesuatu dan melukiskan di dinding ingatan, maka yang pernah kau lihat, tidak akan pernah kau lupakan, meskipun peristiwa-peristiwa sehari-hari yang tidak penting dan tidak sengaja kau catat pada lembaran-lembaran ingatanmu akan terlupakan seperti yang terjadi pada banyak orang.”

Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Hampir tidak percaya ia mendengar kata-kata Rudita. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, ”Rudita. apakah benar pendengaranku, bahwa kau pernah juga mempelajari isi kitab itu?”

Rudita tersenyum sambil mengangguk. Katanya, ”Itulah wajahku yang sebenarnya Agung Sedayu. Aku tidak jujur terhadap diriku sendiri. Aku ingin melihat kitab itu tidak disentuh tangan siapapun, tapi aku sendiri pernah membacanya. Aku membaca dari huruf pertama sampai huruf terakhir. Tetapi karena aku hanya sekedar membaca tanpa mencoba mengingat isinya maka aku tak dipengaruhi apapun juga oleh bacaan itu. Tetapi ketika aku memetik satu bab kecil dari isi buku itu, dan mengutipnya di atas rontal yang lain, maka aku mengalami keadaan yang serupa dengan keadaanmu. Bedanya Agung sedayu, kau mengutip dengan tatapan matamu dan pahatan di dinding ingatanmu, sedang aku mengutip dengan arti yang sebenarnya. Menulis dan melukis di atas rontal, huruf demi huruf dan garis demi garis. Aku hampir mati juga ketika aku menggoreskan huruf terakhir. Hanya dari satu bab kecil.”

Agung Sedayu masih kebingungan mendengar keterangan Rudita, seolah-olah ia tidak percaya tentang isi keterangan itu.

“Agung Sedayu,” berkata Rudita, ”isi bab kecil yang aku kutip itu kemudian aku bawa menyingkir dan mencoba memahami isinya. Mempelajari dengan sikap dan laku seperti yang disebut di dalam kitab itu sehingga akhirnya aku menemukan maknanya. Aku membebaskan diri dari akibat sentuhan wadag pada wadagku. Kau heran?” Rudita berdiri sambil berjalan mondar-mandir, ”Itulah kepalsuanku di hadapan keyakinanku sendiri. Tetapi benar-benar hanya itu, Agung Sedayu. Aku memetik satu bab yang paling lemah dari seluruh isi kitab itu. Aku memberikan perlindungan pada diriku sendiri sehingga dengan demikian maka sebenarnya akulah manusia yang paling berprasangka kepada sesama.”

Agung Sedayu mendengarkan keterangan Rudita itu dengan saksama. Sementara itu Rudita meneruskan, ”Tetapi aku mencoba berlindung dari satu anggapan, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Yang sempurna hanyalah yang sempurna adanya. Yang memberikan segalanya tanpa prasangka seutuhnya dalam cinta kasih sampai pada batas maut.” Rudita menundukkan kepalanya, ”Tetapi aku adalah seorang pengecut yang ketakutan melihat bayangan maut itu, meskipun maut dalam batas arti kewadagan.”

“Kau telah menyadap bab yang memberikan kekebalan?”

“Kau kini melihat, Agung Sedayu, bahwa aku pun berprasangka justru pada permulaannya. Tetapi untuk seterusnya, aku berusaha untuk melihat dengan pandangan yang jernih bagi sesama.” Ia berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang pucat. Katanya kemudian, ”Aku tahu apa yang kau lakukan, karena aku pernah mengalami meskipun dalam arti dan batas yang agak berbeda. Kau telah memahatkan semuanya di dinding hatimu. Sehingga pada suatu saat, kau akan mengalami masa -masa penghayatan dan penemuan maknanya. Kau akan mengalami keadaan yang lebih berat dari yang kau alami sekarang ini. Tetapi karena kau akan mempunyai waktu yang jauh lebih panjang, maka aku kira kau dapat mengukur kemampuanmu untuk menangkap dan memahami maknanya sesuai dengan keadaanmu, jasmaniah dan rohaniah.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bertanya, ”Darimana pula kau mengetahui bahwa aku akan dapat selalu mengingat isi kitab itu seutuhnya?”

“Kau tidak akan melakukan suatu kebodohan yang paling dungu dalam hidupmu. Jika kau tidak dapat melakukannya, maka kau tidak akan memaksa diri untuk menyelesaikan isi kitab itu dalam waktu hanya enam hari. Kau tentu akan mempelajarinya sekaligus mencari maknanya serta kemampuan ungkapannya untuk waktu-waktu yang lama. Satu dua tahun atau lebih. Itu pun baru dasarnya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rudita adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia mempunyai ketajaman pandangan berdasarkan firasat dan nalurinya, dengan mengurainya dan memperhitungkan hubungan timbal balik, maka ia dapat menerka dengan tepat apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu.

Karena itu, maka Agung Sedayu kemudian tidak dapat ingkar lagi. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Sebenarnyalah aku memang telah membaca isi kitab Ki Waskita dan memahatkannya di dinding ingatanku. Aku ingat setiap huruf yang terdapat pada kitab itu, dan aku akan dapat membacanya kembali. Seperti yang kau katakan, baru kemudian aku akan memahaminya sebagai satu ilmu yang memiliki banyak segi yang nampaknya berdiri sendiri. Dan kau telah memetik salah satu bab dari padanya.”

Rudita mengangguk-angguk. Katanya, ”Satu bab yang paling lemah. Dan satu bab itu telah membuktikan warna hatiku yang sebenarnya. Prasangka, cemas, dan kemunafikan.”

“Tetapi sangat terbatas. Kau telah memberikan warna yang lebih tajam dari warna yang buram itu sepanjang hidupmu. Kau telah memilih sikap yang mapan, yang bagiku merupakan tantangan yang tidak terkalahkan, karena aku tidak mempunyai keberanian cukup untuk melakukannya.”

“Kau sudah memilih jalan sendiri.”

“Ya, aku sudah memilih jalan sendiri. Mudah-mudahan aku tetap pada jalan yang paling baik yang dapat aku lalui. Paling baik dari pilihan yang sangat buruk.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berdiri sambil berkata, ”Kesadaranmu telah menolongmu. Tetapi adalah pasti bahwa kau akan tetap berada di jalanmu, karena kau sadar telah memilih yang paling baik dari yang buruk sekali, tetapi sekali lagi aku katakan, aku tidak dapat menyalahkanmu, tidak dapat menyalahkan Ayah dan Kiai Gringsing, tidak dapat menyalahkan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit, tidak dapat menyalahkan orang-orang yang harus menebus pilihannya dengan kematian.”

“Aku berdiri di tempat yang berbeda dengan mereka,” sahut Agung Sedayu, ”yang kau sebut terakhir itu.”

“Ya, sudah aku pastikan. Kau berada di tempat yang berbeda, tetapi pada bagian yang sama. Semua adalah yang sangat buruk. Dan kau berada di tempat yang paling baik dari yang sangat buruk itu. Sementara aku memilih, aku ulangi, aku memilih. Bukan berarti bahwa aku telah mendapatkan yang aku pilih itu sesuai dengan pilihanku, bahwa aku akan berdiri meskipun di tempat yang paling buruk dari yang baik.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ia menyadari sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Rudita. Dan ia pun melihat, bahwa yang dikatakan itu tidak sisip. Sehingga dengan demikian, seolah-olah nampak di angan-angannya, sebuah padang yang sangat luas, yang dibagi oleh sebuah jurang yang sangat dalam. Betapa kecilnya dirinya berdiri di bagian yang tandus berbatu-batu. Tetapi ia masih dapat menghindari ujung-ujung karang yang runcing, kawah gunung berapi yang membara, rawa-rawa yang bagaikan mendidih dan gerumbul-gerumbul yang menjadi sarang ular bandotan. Sementara itu di seberang jurang yang dalam, terdapat taman yang sejuk oleh pohon-pohon bunga. Nampak sekecil dirinya, Rudita berdiri di pinggir jurang, di rerumputan yang kekuning-kuningan. Namun masih juga terdapat beberapa helai bunga yang memberikan kesegaran yang damai.

Ketika matahari menjadi terik, maka padang di sebelah bagaikan terbakar, sedang di sebelah yang lain, menjadi terasa segar di cerahnya matahari. Bayangan-bayangan pepohonan yang rimbun menghembuskan kidung kedamaian hati.

Agung Sedayu berdesah. Tetapi ia sudah berada di tempat yang dikatakan paling baik dari yang sangat buruk itu tanpa dapat melarikan diri, jika ia tidak dapat meloncat jurang yang sangat lebar dan dalam.

“Sudahlah Agung Sedayu,” berkata Rudita kemudian, ”jangan hiraukan kata-kataku. Anggaplah aku seorang yang sangat lemah, yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup yang sangat pahit.”

Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, ”Baiklah Rudita. Namun kata-katamu menjadi susunan kalimat yang juga terpahat di hatiku tanpa dapat aku lupakan lagi. Setiap kali aku akan dapat membacanya. Meskipun barangkali hanya dapat aku kenali maksudnya dan tidak dapat aku hayati maknanya.”

Rudita tersenyum. Jawabnya, ”Itu sudah cukup baik. Meskipun kau berdiri di seberang, tetapi kau sanggup memandang ke arah yang lebih baik.”  

Agung Sedayu terkejut. Seolah-olah Rudita dapat melihat apa yang hanya nampak di angan-angannya. Sehingga hampir di luar sadarnya ia bertanya, ”Apakah yang kau lihat Rudita. Jurang yang membentang di antara kita?”

“Bukan di antara kita. Tetapi di antara sikap dan pandangan hidup kita masing-masing.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rudita pun melihat bayangan seperti bayangan yang nampak olehnya. Padang luas dengan warna-warna merah gersang dibakar oleh terik matahari tanpa lindungan bayangan apapun juga. sementara di seberang membentang taman yang hijau rimbun terlindung dari sengatan terik matahari di langit yang bersih dan kebiru-biruan.

Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia memandangi Rudita yang kemudian minta diri, melangkah keluar biliknya dan hilang di balik pintu lereg.

Sejenak Agung Sedayu berbaring seorang diri. Namun kemudian ia mendengar pintu berderit. Glagah Putih sambil tersenyum cerah melangkah masuk sambil bertanya, “Kau berangsur baik Kakang?”

Agung Sedayu memaksa diri tersenyum. Ia sadar, bahwa anak muda itu akan berdiri bersamanya di tandusnya padang batu padas yang merah membara, meskipun ia dapat menyeretnya ke bagian yang paling baik dari yang sangat buruk itu.

Glagah Putih kemudian duduk di bibir pembaringannya sambil meraba kaki Agung Sedayu. Katanya, ”Kakimu sangat dingin Kakang.”

Agung Sedayu menggerakkan kakinya. Dipandangnya wajah Glagah Putih yang cerah bersih tanpa pulasan apapun juga.

“Ia berada di tempatnya dengan mantap. Ia tidak dibayangi oleh sikap Rudita yang dapat membuatnya bingung atas pilihannya,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.

Namun demikian, ia tidak dapat melepaskan diri dari suatu pengakuan, bahwa sikap dan pandangan hidup Rudita memiliki nilai yang lebih tinggi dari padanya.

Dalam pada itu Glagah Putih masih saja memijit-mijit kaki Agung Sedayu. Dibasahinya jari-jarinya dengan minyak yang terdapat di mangkuk kecil dekat pembaringan itu dan mengusapkannya di kaki Agung Sedayu yang dingin.

“Badanku sudah terasa jauh lebih baik, Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Tapi kakimu masih sangat dingin.”

“Tetapi aku sudah dapat makan lebih banyak. Badanku sudah tidak terlalu lemah. Jika aku masih berbaring, aku ingin tubuhku segera pulih kembali,” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, ”mudah-mudahan besok aku sudah dapat pergi ke sawah.”

Glagah Putih memandang wajah Agung Sedayu yang memang sudah menjadi lebih segar. Ia tidak lagi sangat pucat seperti orang yang sudah terlalu lama sakit.

Dalam pada itu, berita tentang sakitnya Agung Sedayu itu pun telah diketahui oleh hampir setiap orang sampai di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak muda yang berada di sawah, di gardu-gardu dan mereka yang bertugas sebagai pengawal. Tidak seorangpun yang dapat mengatakan, apakah sakit Agung Sedayu. Yang mereka ketahui, Agung Sedayu tiba-tiba saja pingsan di tengah malam.

“Agung Sedayu adalah orang yang luar biasa. Ia memiliki ketahanan tubuh melampaui kebanyakan orang. Tetapi ia pada suatu saat dapat menjadi sakit pula,” berkata salah seorang dari anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh ketika ia sedang berada disebuah kedai di pinggir pasar.

Kata-katanya itu pun segera disambut oleh beberapa orang kawannya yang kebetulan ada di dalam kedai itu juga.

Dalam pada itu, seorang yang tidak dikenal oleh anak-anak muda itu mendengar pembicaraan mereka dengan saksama. Nampaknya, ia seorang yang sedang menempuh perjalanan, atau seorang tamu dari salah seorang penghuni Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi anak-anak muda itu tidak begitu menghiraukannya. Mereka berbicara saja dengan asyiknya sambil menyumbati mulut mereka dengan sepotong makanan.

Namun tiba-tiba orang itu bertanya, ”Ki Sanak, siapakah yang kalian katakan sedang sakit itu?”

“Agung Sedayu,” jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.

Orang itu termangu-mangu. Kemudian iapun bertanya pula, “Jadi Anakmas Agung Sedayu masih berada di sini?”

“Ya. Ia sedang sakit. Penyakitnya sangat aneh. Tetapi ia sudah berangsur sembuh. Ki Waskita telah mengobatinya.”

“Apakah Ki Waskita ada di sini?”

“Di rumahnya. Agung Sedayu berada di rumah Ki Waskita,” jawab anak muda itu.

Orang itu mengangguk-angguk. Sementara anak muda itu berkata lebih lanjut, ”Ki Gede Menoreh telah mendengar pula berita tentang Agung Sedayu. Jika dalam waktu satu dua hari ini Agung Sedayu belum berangsur sembuh, Ki Gede akan menengoknya ke rumah Ki Waskita.”

Orang itu hanya mengangguk-angguk saja. tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi.

Dalam pada itu, ketika orang itu sudah cukup makan dan minum, dan telah membayar harganya pula, maka ia pun meninggalkan warung itu. Demikian ia lepas dari pengamatan anak-anak muda yang berada di dalam warung itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa berbelok dan melintasi pategalan. Ternyata orang itu menyimpan seekor kuda di balik gerumbul-gerumbul di sebuah pategalan yang sepi, ditunggui oleh seorang kawannya.

“Apa kau mendapat kabar tentang Agung sedayu?” bertanya kawannya.

“Ya. Ia memang sakit di rumah Ki Waskita. Ia tidak datang ke Tanah Perdikan Menoreh meskipun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sudah mengetahui bahwa ia sedang sakit.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku sudah cemas, bahwa kita akan kehilangan jejak. Syukurlah bahwa ia belum terlepas dari pengawasan kita. Jika demikian, kita akan kembali kepada kawan-kawan dan melakukan pengawasan yang lebih baik di padukuhan Ki Waskita. Sejak ia tidak nampak di sawah lagi, aku menjadi cemas, bahwa ia dengan diam-diam meninggalkan rumah Ki Waskita, karena ia sudah mencium usaha kita mengawasinya.”

“Ternyata ia masih berada di rumah Ki waskita,” desis kawannya, ”kitalah yang mudah menjadi cemas dan gelisah.”

“Tetapi kau mendapat keterangan yang sebenarnya?”

“Aku berbicara dengan beberapa orang anak muda di dalam sebuah kedai. Mereka semuanya mengatakan bahwa Agung Sedayu sedang sakit. Bahkan mereka mengatakan, jika sakit Agung Sedayu tidak segera sembuh, Ki Gede akan pergi ke rumah Ki Waskita.”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah. Kita kembali ke pinggir hutan itu. Tetapi Sabungsari tentu sudah gelisah menunggu. Kita sudah berada di sini lebih dari sepekan.”

“Apa boleh buat. Ia sedang sakit. Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kita tidak akan dapat memancingnya dan memisahkannya dari Ki Waskita dan orang-orangnya jika ada. Bahkan jika ternyata Ki Gede benar-benar datang menengoknya.”

“Kita dihadapkan pada keadaan yang tidak dapat kita atasi. Kita akan menunggu satu dua hari lagi. Jika benar Agung sedayu sakit keras sehingga Ki Gede Menoreh justru datang kepadanya, salah seorang dari kita harus melaporkannya kepada Sabungsari.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

Keduanyapun kemudian meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh kembali ke tempat persembunyian mereka. Dugaan mereka, bahwa agung Sedayu dengan diam-diam pergi ke Menoreh, ternyata tidak benar.

Dengan demikian, maka orang-orang yang telah dikirim oleh Sabungsari itu pun mengadakan pengawasan yang lebih seksama lagi atas rumah Ki Waskita. Mereka tidak mau kehilangan Agung Sedayu. Mereka sadar, jika Agung Sedayu terlepas dari pengawasan mereka, maka mereka akan mendapat hukuman yang berat dari Sabungsari.

Dalam pada itu, keadaan Agung Sedayu pun menjadi berangsur baik. Karena sebenarnya ia tidak sakit, maka dengan istirahat, penenangan dan mengatur pernafasan, maka dengan cepat ia dapat memulihkan keadaan badannya. Apalagi ketika ia sudah mau makan seperti sewajarnya.

Glagah Putih pun menjadi heran. Kesembuhan yang cepat sekali itu menumbuhkan beberapa pertanyaan di hatinya Glagah Putih. Namun ia mencoba mencari jawab pada jenis obat yang dipergunakan oleh Agung Sedayu.

“Ternyata Ki Waskita juga pandai meramu obat seperti Kiai Gringsing,” katanya di dalam hati.

Di hari ke-delapan, Agung Sedayu sudah berjalan-jalan di halaman. Badannya justru nampak segar dan sehat. Tidak lagi ada tanda-tanda bahwa ia baru saja mengalami sakit keras menurut penilaian Glagah Putih dan kebanyakan penghuni rumah Ki Waskita dan beberapa orang tetangganya.

Sebenarnyalah, Agung Sedayu merasakan tubuhnya bertambah baik. Meskipun ia baru membaca isi kitab yang diberikan Ki Waskita dan belum memahami maknanya, namun pengaruhnya sudah mulai terasa. Satu dua kalimat dalam bab tertentu yang dibacanya, telah memberikan sentuhan pada ilmu yang memang sudah ada pada dirinya. Dalam hubungan yang mapan, maka ilmu yang sudah ada itu, seolah-olah telah mendapat unsur-unsur yang memberikan warna semakin tegas dan tajam, di luar usaha pencernakan maknanya yang baru akan dilakukan kemudian.

Bahkan ada firasat di dalam dirinya, bahwa kekuatan yang terlontar lewat kekuatan dan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinyapun rasa-rasanya menjadi bertambah masak.

Di luar sadarnya, bahwa di antara orang-orang yang lewat di jalan di depan rumah Ki Waskita, adalah orang yang dikirim oleh Sabungsari untuk mengawasinya. Ketika nampak oleh orang itu Agung Sedayu berdiri di halaman, maka orang itu pun menarik nafas panjang. Dengan demikian mereka benar-benar tidak kehilangan Agung Sedayu. Yang terjadi hanyalah waktu yang agak lebih panjang. Dan ia akan dapat melaporkan kelak, bahwa Agung Sedayu menderita sakit di rumah Ki Waskita.

Di hari berikutnya Agung Sedayu telah ikut pula pergi ke sawah bersama Rudita dan Glagah Putih. Badan Agung Sedayu telah benar-benar pulih kembali, bahkan ada sesuatu yang ternyata telah berkembang di dalam dirinya.

Jika Glagah Putih menjadi kagum bahwa keadaan Agung Sedayu demikian cepat pulih kembali, maka Rudita sama sekali tidak heran. Ia tahu pasti, apakah yang menyebabkan Agung Sedayu nampak seperti orang sakit, sehingga ia pun tahu pasti, bahwa anak muda itu akan cepat sembuh, pulih dan bahkan berkembang.

Tetapi Rudita tidak pernah mengatakan kepada Glagah Putih. Yang diketahuinya itu disimpannya saja di dalam hatinya yang bertambah pahit, bahwa di dunia ini, kekerasan telah berkembang semakin pesat. Setidak-tidaknya pada satu orang yang dikenalnya dengan baik. Agung Sedayu.

Ketika mereka berada di sawah, maka maka mereka tidak terlepas dari pengawasan orang-orang yang diperintahkan oleh Sabungsari mengikutinya. Dua orang di antara mereka, yang berjalan lewat pematang di sebelah gubug kecil di sudut kotak sawah Ki Waskita, memandang saja ke arah gubug itu tanpa berkedip.

“Apakah kita dapat bertindak sekarang,” berkata salah seorang dari mereka.

“Menangkap Agung Sedayu?” bertanya yang lain.

“Ya. Ia berada di gubug bersama Glagah Putih dan anak Ki Waskita. Aku kira, kedua anak muda itu sama sekali tidak akan berpengaruh.”

“Tetapi di sini banyak orang yang sedang bekerja di sawah,” berkata yang lain.

“Apa yang dapat mereka lakukan? Dengan sekali sentuh mereka akan pingsan.”

“Tetapi salah seorang dari mereka akan memukul isyarat, atau berlari memanggil Ki Waskita.”

Kawannya mengangguk-angguk. Jika demikian, maka mereka tentu akan gagal, dan barangkali mereka akan mengalami kesulitan meskipun mereka berlima akan bertindak bersama-sama.

“Jadi kapan kita dapat berbuat sesuatu. Kita akan banyak kehilangan waktu. Pada suatu saat, Sabungsari tidak akan sabar lagi, sehingga ia akan menyusul kita dan menganggap kita tidak mampu melakukan tugas yang diberikannya kepada kita.”

“Kita mempunyai mulut untuk menjelaskan. Aku kira Sabungsari agak lebih mudah diajak berbicara dari Ki Gede Telengan yang garang itu. Anak muda itu dapat melihat persoalan dengan lebih baik dan mapan.”

Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Sementara kakinya melangkah semakin cepat.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang duduk di atas gubug sambil memegangi beberapa ujung tali yang dapat menggerakkan orang-orangan di sawah telah melihat kedua orang itu. Tiba-tiba saja dadanya bergetar, seolah-olah kedua orang itu langsung menyentuh firasatnya, bahwa keduanya akan berbuat kurang baik terhadapnya.

Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Perasaan itu merupakan gejala baru dalam ungkapan pengenalnya atas keadaan di sekitarnya. Suatu hubungan baru dari getar alam yang besar dengan getar alam kecil di dalam dirinya.

Dengan demikian Agung Sedayu menjadi termangu-mangu. Ia merasakan pengaruh yang langsung pada dirinya, meskipun ia belum dengan sengaja menangkap maknanya. Seolah-olah perasaannya menjadi semakin tajam dan firasatnya menjadi semakin cerah menerangi perasaannya itu.

Tetapi Agung Sedayu masih diliputi oleh kekaburan arti dari firasatnya itu, karena yang terjadi adalah sesuatu yang baru baginya. Ia masih memerlukan waktu untuk mencernakannya.

Dengan demikian, Agung Sedayu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih harus meyakinkan diri, bahwa yang terasa itu bukannya sekedar prasangka.

Namun perasaan itu seakan-akan telah memperingatkannya, agar ia menjadi lebih berhati-hati. Agaknya orang-orang yang mendendamnya itu terdapat di-mana-mana. Setiap saat mereka dapat menyerangnya dan bahkan membunuhnya.

Ada diantara mereka yang dengan jantan menantangnya perang tanding. Tetapi tentu ada di antara mereka yang merunduknya dengan diam-diam dan menyerangnya dari belakang.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling, dilihatnya Rudita berjalan menyusuri pematang dengan goprak di tangan. Nampaknya anak itu tidak pernah dibebani perasaan seperti yang sedang membebani dirinya. Tidak ada rasa permusuhan dengan siapapun juga. Tidak ada dendam dan tidak ada kebencian.

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Di sampingnya Glagah Putih juga sedang sibuk dengan tali-tali penarik orang-orangan di sawah. Kadang-kadang anak muda itu berteriak nyaring mengusir burung-burung yang menukik dalam kelompok yang besar.

Sambil menarik tali-tali itu tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “He, Kakang. Apakah aku pernah mengatakan kepadamu, bahwa dua orang telah mencarimu?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu sangat menarik perhatiannya. Sambil menggeleng ia menjawab, ”Seingatku, kau belum mengatakannya Glagah Putih.”

“Ah. Kau tentu lupa Kakang. Aku tentu sudah mengatakan bahwa ketika kau sakit, dua orang datang ke gubug ini dan bertanya tentang kau. Mereka mengaku dua orang sahabatmu.”

“Apakah Rudita mengenal mereka?” bertanya Agung Sedayu.

“Rudita tidak mengenal mereka. Aku kira keduanya adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh yang kebetulan sedang lewat.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya dilayangkan pandangan matanya kekejauhan, melayang di atas batang-batang padi yang sedang menguning.

Di kejauhan ia masih melihat bintik-bintik kecil yang bergerak-gerak. Dua orang yang dilihatnya lewat dan menimbulkan firasat yang kurang baik di hatinya. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada Glagah Putih, apakah dua orang yang dimaksud adalah kedua orang yang lewat itu, karena agaknya Glagah Putih tidak sedang memperhatikannya.

Di luar sadarnya, Agung Sedayu mengerutkan keningnya, seolah-olah ia sedang memaksa diri dengan memusatkan perhatiannya kepada kedua bintik yang sedang bergerak itu.

Sekali lagi Agung Sedayu menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Meskipun kedua bintik itu tetap merupakan dua bintik kecil, namun seakan-akan ia melihat segenap bagian dari bentuk yang kecil itu dengan jelas. Seolah-olah ia melihat setiap garis tubuh dan pakaiannya meskipun dari belakang.

“Aku melihatnya dengan jelas sekali,” Agung Sedayu bergumam di dalam hatinya.

Glagah Putih yang sibuk memperhatikan kelompok-kelompok burung gelatik tidak mengetahui, betapa Agung Sedayu justru menjadi gelisah. Ketika ia seakan-akan melepaskan pemusatan indranya atas kedua bintik itu, maka yang nampak padanya tidak lebih dari dua bintik hitam yang semakin kabur.

Sejenak Agung Sedayu merenungi dirinya sendiri. Dengan dasar pengetahuan yang ada padanya, ia mencoba menelusuri dirinya. Meskipun baru permukaannya saja, tetapi ia sudah mengalami akibat dari isi kitab yang dibacanya.

Agung Sedayu kemudian menundukkan kepalanya. Kini ia dengan sengaja memusatkan perhatiannya pada indra pendengarannya.

Ternyata seperti pada penglihatannya, maka pendengarannyapun rasa-rasanya menjadi semakin tajam. Ia mendengar dengung di udara, seolah-olah ia berada di dalam lingkungan ribuan burung gelatik yang sedang berterbangan. Bahkan angin yang lembutpun terdengar berdesir di telinganya, bagaikan arus yang dapat dikenalnya dengan pasti, laju sentuhannya pada daun-daun padi yang sedang menguning itu.

Agung Sedayu kemudian menjadi yakin. Dasar-dasar pengenalannya atas ilmu yang tertulis dalam kitab Ki Waskita itu telah memberikan pengaruh atas ilmunya sendiri. Nampaknya ada sentuhan timbal balik, sehingga yang sudah ada itu menjadi semakin jelas nampak warnanya. Namun Agung Sedayu pun sadar, bahwa ia masih belum menemukan yang baru sebelum ia dengan tekun menangkap makna dari isi kitab itu, bab demi bab. Dan ia pun sadar, bahwa tidak semua bab dapat dipahami maknanya dengan sebaik-baiknya, karena pada dasarnya, wadah yang ada hanya dapat diisi dengan yang paling sesuai.

“Yang aku perlukan kemudian adalah waktu yang panjang,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun yang sudah dirasakannya itu pun merupakan kurnia yang akan sangat berguna baginya menghadapi kesulitan-kesulitan yang nampaknya masih akan berkepanjangan.

Perasaan terima kasihnya itulah yang justru memperteguh niat Agung Sedayu untuk memilih jalan yang paling baik yang dapat dilakukannya, meskipun yang paling baik itu masih belum mencapai nilai setingkat dengan yang dapat dicapai oleh Rudita. Namun Agung Sedayu pun mengerti, bahwa jika ia bersungguh-sungguh, maka yang ada padanya itu pun akan berguna bagi sesama.

Yang terjadi itu, ternyata telah mendorong Agung Sedayu untuk mengenal dirinya lebih banyak lagi. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat melakukannya pada saat itu. Apalagi ketika kemudian Rudita yang menghalau burung dengan goprak di pematang, telah naik pula ke gubug kecil itu, sehingga Agung Sedayu harus menyesuaikan dirinya dengan kehadiran Rudita.

Ketiga anak muda itu pun kemudian berbicara tentang jenis-jenis burung yang sering merusak tanaman. Selain burung gelatik, juga burung emprit dari bermacam-macam jenis.

Pembicaraan itu baru terhenti ketika seseorang datang sambil membawa kendi dan bakul makanan bagi mereka.

Sejenak kemudian ketiganya telah disibukkan dengan kiriman yang diantar untuk mereka. Alangkah sejuknya minum air kendi dan alangkah nikmatnya makan dengan kuluban di antara batang-batang padi yang sudah mulai menguning

Setelah makan, mereka masih berada di sawah untuk beberapa lamanya. Ketika langit menjadi merah dan burung-burung telah terbang kembali ke sarangnya, maka ketiga anak muda itu pun turun dari gubugnya dan berjalan menyusuri pematang.

Ternyata bahwa dari gubug-gubug yang lain, kawan-kawan Rudita juga sudah meninggalkan sawahnya. Bahkan ada di antara mereka kanak-kanak yang berlari-lari kecil menyusuri pematang langsung pulang ke rumah masing-masing.

Tetapi Rudita, Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak langsung pulang ke rumah. Bersama beberapa orang kawan yang sebaya mereka singgah di sungai untuk membersihkan badan yang berkeringat.

Alangkah gembiranya anak-anak muda yang sedang mandi di sungai. Sebagian dari mereka naik ke bendungan dan berenang berkejar-kejaran. Yang lain sempat mencuci kain panjangnya yang kotor di gerojogan di bawah bendungan.

Rudita sendiri tidak ikut kejar-kejaran bersama kawan-kawannya. Tetapi ia pun nampak gembira. Bahkan sekali-sekali ia ikut berteriak memanggil kawannya yang sedang berenang kian kemari.

Namun bagaimanapun juga, Rudita nampak jauh lebih dewasa dari kawan-kawan yang umurnya sebaya. Meskipun ia terlibat juga dalam gurau yang segar itu, namun ia nampak menguasai seluruh kesadarannya dalam kegembiraannya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang merasa sangat canggung. Glagah Putih dengan segera dapat menyesuaikan diri. Ia masih sempat ikut berenang di antara anak-anak muda yang lain di bendungan. Sekali-sekali ia melambai-lambaikan tangannya memanggil Agung Sedayu dan Rudita yang berdiri di tanggul.

Dalam keadaan yang demikian itulah, Agung Sedayu merasa, bahwa ia telah kehilangan sebagian dari masa-masa hidupnya yang paling menggembirakan. Jika anak-anak muda itu sempat bergurau tanpa kecemasan apapun juga, maka ia setiap kali harus berhadapan dengan keadaan yang sama sekali tidak diinginkannya. Perkelahian dan pertempuran.

Masa mudanya ternyata telah dirampas oleh dendam dan kebencian, sehingga seakan-akan masa-masa muda baginya adalah masa yang penuh dengan bahaya dan kesulitan. Dimana-mana dijumpainya kekerasan dan benturan kekuatan. Dimana-mana ditemuinya darah dan kematian.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Glagah Putih bergurau di antara kawan-kawannya yang belum lama dikenalnya.

“Anak itu harus mengalami masa-masa yang berbeda dengan masa-masa yang pernah aku jalani. Biarlah ia menempuh dua jalur bersama-sama. Meningkatkan ilmunya, tetapi juga masa-masa yang gembira itu tidak akan terlampaui. Ia harus terhindar dari permusuhan yang menentukan seperti yang pernah aku alami,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Sekilas dikenangnya Swandaru yang memutuskan masa mudanya dengan jalan yang dipilihnya sendiri. Sejak sebelum kawin Swandaru telah menyerahkan sebagian besar dari waktunya untuk membangun Sangkal Putung, sehingga kademangan itu menjadi sebuah kademangan yang bukan saja subur, tetapi juga mengalami banyak perubahan-perubahan yang memberikan arti yang besar.

Meskipun Swandaru tidak mempergunakan masa-masa mudanya untuk bergembira dan bergurau bersama alam sekitarnya, namun ia telah menemukan kepuasan tersendiri di dalam hidupnya.

Agung Sedayu bagaikan tersadar dari angan-angannya ketika ia merasa sepercik air mengenai kakinya. Agaknya mereka yang sedang berkejaran tanpa sengaja telah memercikkan air ke tanggul dan mengenai Agung Sedayu.

“Marilah,” anak itu justru tertawa, ”terjunlah.”

Agung Sedayu memaksa dirinya untuk tersenyum. Tetapi ia menggeleng lemah.

Yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian hanyalah mencuci kaki, wajah dan tangannya di bawah bendungan di antara kawan-kawannya yang sedang mencuci pakaiannya yang kotor oleh lumpur.

“Kau juga akan mencuci?” bertanya seorang kawannya.

“Tidak,” sahut Agung Sedayu. ”Di malam hari, pakaian itu tidak dapat dijemur.”

“Tapi besok pagi tentu sudah hampir kering. Dengan panas matahari pagi, sebentar saja pakaian itu sudah akan dapat di pakai ke sawah lagi.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk saja sambil menggosok tangan dan kakinya.

Namun dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu benar-benar telah pulih kembali. Tidak ada lagi yang terasa mengganggunya. Bahkan badannya terasa menjadi semakin ringan. Apalagi Agung Sedayu pun telah menyadari, bahwa pengaruh kitab yang baru dibacanya tanpa menelah maknanya itu, membuat segala ilmunya menjadi semakin meningkat.

Bahkan Agung Sedayu pun merasa bukan saja ketajaman indranya, kedalaman firasatnya dan pengamatannya. Tetapi juga ilmu yang bersangkut paut dengan kanuragan.

“Pengaruh itulah yang harus aku mengerti,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “pemanfaatannya akan lebih cepat daripada aku harus mendalami maknanya dan menemukan unsur-unsur bagi kesempurnaan ilmuku.”

Di malam hari, rasa-rasanya Agung Sedayu selalu dibayangi oleh perkembangan di dalam dirinya, sehingga ketika Glagah Putih telah tertidur nyenyak, ia justru bangkit dan duduk di bibir pembaringan.

Sejenak Agung Sedayu merenung. Dicobanya untuk mengerti, bahwa benar-benar telah terjadi peningkatan di dalam dirinya.

Ketika Agung Sedayu memandang berkeliling, dan terpandang olehnya gledeg bambu, maka tiba-tiba saja ia ingin melakukan sesuatu.

Namun Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Di sampingnya Glagah Putih tidur nyenyak. Jika ia terbangun, maka usahanya untuk mengetahui tentang ilmunya yang terpancar pada sorot matanya tentu akan terganggu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pintu yang meskipun tertutup, tetapi belum diselarak.

“Aku akan keluar saja,” katanya di dalam hati.

Dengan hati-hati, Agung Sedayu pun keluar dari biliknya. Kemudian turun ke serambi dan menyeberangi longkangan samping. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia yakin, bahwa tidak seorangpun yang terbangun. Bahkan seandainya ada seseorang yang melihatnya keluar, maka ia dapat saja mengatakan pergi ke pakiwan.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri tegak di bayangan perdu di sebelah longkangan. Dipandanginya keadaan di sekelilingnya yang gelap. Dari kejauhan nampak cahaya lampu yang memancar dari pendapa menerangi halaman samping.

“Aku harus segera mulai,” katanya di dalam hati, ”sebelum Glagah Putih terbangun dan mencari aku.”

Menelusuri bayangan yang gelap, Agung Sedayu pergi ke halaman belakang rumah. Sejenak ia meyakinkan diri, bahwa tidak ada seorangpun yang ada di sekitarnya.

Baru kemudian Agung Sedayu mencari sasaran. Diletakkannya sebuah batu padas di bawah sebatang pohon. Kemudian ia mengambil jarak beberapa langkah. Sambil menyilangkan tangannya ia duduk dengan tenang memandang batu padas sebesar kepala kerbau itu.

Di dalam goa yang dindingnya dilukisi gambar-gambar yang menunjukkan urutan jenjang ilmu yang diwarisi oleh ayahnya, ia telah berhasil menguasai kekuatan yang terpancar dari sorot matanya dengan sentuhan wadag. Dengan tidak sengaja ia telah merusakkan sebagian dari lukisan yang ada di dinding goa, terpahat pada batu padas. Tatapan matanya seakan-akan telah berhasil memecahkan lapisan-lapisan batu padas dinding goa itu.

Tetapi kini Agung Sedayu menghadapi sebongkah batu padas. Ia tentu dapat memecahkan lapisan-lapisan luar dari batu padas itu. Meskipun perlahan-lahan dan lama, ia akan dapat sampai pada suatu ketika, batu padas itu hancur.

Namun kini Agung Sedayu ingin melihat, perkembangan dari kemampuan rabaan wadag dari sorot matanya. Dengan alas yang kurang dipahami, yang tumbuh oleh pengaruh isi kitab yang belum ditekuni maknanya, namun yang sudah meresapi dasar-dasar ilmu yang sudah ada padanya, ia merasakan perubahan-perubahan pada dirinya.

Sejenak Agung Sedayu memusatkan segenap kekuatan jiwanya dalam pemusatan pikiran. Dipandanginya batu padas dalam kegelapan, namun yang dapat dilihatnya dengan jelas.

Pada tahap pertama, tiba-tiba saja Agung Sedayu merasakan jenis kemampuan yang dapat dipisahkannya. Ia dapat menekan dengan sorot matanya. Namun dengan kekuatan niat dan kehendaknya, ia dapat mengangkat batu itu dan memindahkannya.

Yang pertama-tama dilakukan oleh Agung Sedayu adalah mengangkat batu itu sehingga batu itu seolah-olah mengapung di udara. Kemudian dengan kekuatan hentakan pada sorot matanya yang mempunyai sentuhan wadag itu, maka ia telah meremas batu padas itu.

Sejenak Agung Sedayu duduk diam seperti patung. Dalam pengerahan kekuatannya, maka keringat mulai mengaliri tubuhnya. Giginya terkatup rapat sementara darahnya seolah-olah mengalir lebih cepat.

Untuk beberapa saat lamanya, batu padas itu tetap mengapung di udara. Namun kemudian telah terjadi sesuatu karena kekuatan remas sorot mata Agung Sedayu.

Seperti batu padas di dinding goa itu, maka telah terjadi pecahan-pecahan kecil pada kulitnya. Beberapa bagian menjadi retak. Bahkan kemudian bukan saja pada kulitnya, tetapi retak pada batu padas itu menyusup menghunjam sampai ke pusatnya.

Agung Sedayu yang mengerahkan kekuatan matanya pada daya angkat dan daya tekan itu tiba-tiba mengendorkan tenaganya. Perlahan-lahan. Kemudian melepaskannya sama sekali.

Batu padas itu pun turun perlahan-lahan. Namun ketika Agung Sedayu melepaskannya, maka batu padas itu tiba-tiba bagaikan terurai menjadi debu, berhamburan di atas tanah.  

Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sejenak ia masih duduk diam. Diaturnya jalan pernafasannya yang memburu.

Perlahan-lahan Agung Sedayu berdiri. Ia merasa kelelahan mencengkamnya, sehingga rasa-rasanya untuk melangkah beberapa langkah, tubuhnya tidak lagi terangkat.

Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia benar-benar telah menemukan peningkatan pada ilmunya, seperti pada penglihatan dan pendengarannya.

Beberapa kali ia telah membenturkan kekuatan tatapan matanya dengan ilmu yang tinggi pula. Ia berhasil mengalahkan beberapa orang yang dianggap tidak terkalahkan. Yang terakhir dengan kekuatan tatapan matanya ia berhasil menekan dan menghimpit lawannya yang telah melepaskan ilmu yang kurang dimengerti, seolah-olah ia dapat mengguncang bumi dan merontokkan isi dada. Bahkan rasa-rasanya Agung Sedayu dapat melontarkan udara yang panas dengan sorot matanya itu.

Agung Sedayu masih berdiri di tempatnya. Sekilas ia mencoba membaca pahatan ingatannya pada bagian-bagian kitab yang dibacanya. Di dalam bab yang tidak terlalu panjang, ia memang menemukan lambaran ilmu seperti yang telah berhasil dikuasai dasar-dasarnya itu, meskipun syarat, laku dan penguasaannya agak berbeda dengan yang dilakukannya.

Tetapi karena Agung Sedayu belum mempelajarinya, maka ia tidak berani merenunginya terlalu lama, agar tidak mengganggu dasar kekuatan yang sudah ada di dalam dirinya. Ia memerlukan waktu untuk mencari hubungan, kesamaan dan mungkin saling menyelip, melengkapi yang satu dengan yang lain, sehingga akhirnya dapat luluh menjadi satu, bukan sekedar saling bersambung tanpa ikatan.

“Biarlah yang terjadi sekedar penegasan warna,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, ”justru seharusnya memang demikian sebelum terjadi perubahan apapun pada warna itu.”

Sesaat kemudian, maka Agung Sedayu pun meninggalkan batu padas yang telah menjadi debu itu. Ia sudah yakin, bahwa meskipun hanya selapis tipis, tetapi ilmunya memang sudah terpengaruh dan meningkat.

Seperti saat ia keluar dari rumah, maka ia pun masuk kembali dengan sangat hati-hati. Perlahan-lahan ia membuka pintu dan melangkah masuk. Kakinya seolah-olah menjadi semakin ringan, sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara apapun juga. Selarak pintu yang dipasangnyapun bagaikan tidak saling bersentuhan dengan uger-uger, karena sama sekali tidak terdengar desir yang paling halus sekalipun.

Demikian pula ketika Agung Sedayu membuka pintu biliknya. Ketika pintu itu terbuka, dilihatnya Glagah Putih masih tidur dengan nyenyaknya.

Dengan hati-hati Agung Sedayu duduk di bibir pembaringannya. Terbersit kebanggaan di dasar hatinya yang paling dalam. Dengan peningkatan ilmunya, maka ia akan menjadi seorang anak muda yang pilih tanding. Jarang sekali terdapat di seluruh Pajang, seorang anak muda yang seusia dengan dirinya, telah berhasil menguasai ilmu seperti yang dikuasainya.

Tetapi ketika Agung Sedayu memandang pintu biliknya, dan menyadari bahwa ia berada di rumah seorang anak muda bernama Rudita, maka tiba-tiba saja kepalanya menunduk dalam-dalam. Ia merasa malu kepada dirinya sendiri, bahwa ia sempat berbangga atas ilmu yang telah dimilikinya.

“Kebanggaan yang tidak terkendali, akan dapat menyesatkan jalan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, ”seharusnya aku tidak berbangga, tetapi berysukur dan selalu melihat ke dalam diri, apakah aku masih tetap berada di jalan yang lurus.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian, terasa dirinya menjadi semakin dekat dengan penciptanya. Ia merasa bersyukur berlipat ganda, bukan saja karena ia telah menerima kesempatan untuk mempelajari ilmu dan memahaminya, tetapi yang lebih penting, bahwa seolah-olah ia selalu disertai oleh sentuhan tangan-Nya, untuk selalu meluruskan jalannya.

Dan hubungan dengan Yang Maha Tinggi itu menjadi semakin akrab jika Agung Sedayu merasa, bahwa meskipun ia tidak dapat lagi berada di bawah naungan sayap orang tuanya, namun ia seakan-akan selalu berada di bawah kasih yang tidak terhingga besarnya, yang melihat dan memenuhi segala keinginannya yang sesuai dengan kepentingannya.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu pun membaringkan dirinya di sisi Glagah Putih. Sesaat ia masih sempat mengenang tentang banyak hal. Namun kemudian, matanyapun segera terpejam oleh letih dan kantuk.

Ketika matahari terbit, terasa betapa cerahnya langit. Seperti biasa Agung Sedayu mempersiapkan dirinya untuk pergi bersama dengan Rudita ke sawah. Meskipun ada orang-orang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu di sawah, tetapi agaknya anak-anak muda itu lebih senang mengisi waktunya dengan duduk di dalam gubug kecil sambil menarik tali yang dapat menggerakkan orang-orangan di sawah untuk menakut-nakuti burung. Jika mereka jemu menarik tali-tali itu, maka mereka berjalan menyusuri pematang, sambil menghentak-hentakkan goprak di tangan mereka. Bunyinya yang memekakkan telinga mengusir burung-burung yang akan hinggap di batang padi yang sedang menguning.

Namun nampaknya, ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Agung Sedayu, sehingga sikapnya agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

“Apakah kau sakit lagi Kakang?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan serta merta ia pun menjawab, ”Tidak. Kenapa?”

“Kakang nampak banyak merenung.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika ternyata tidak ada orang lain, maka ia pun berkata, ”Kita sudah terlalu lama pergi.”

“He?” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, ”Ya. Kita sudah lebih dari sepekan berada di sini. Tetapi, apakah kita akan segera kembali?”

“Rasa-rasanya aku sudah rindu pada padepokan kecil itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi seolah-olah di luar kehendaknya, maka ia pun berkata, ”Tetapi, apakah yang telah kita lakukan selama kita disini”

Pertanyaan itu memang tidak terduga-duga. Sejenak Agung Sedayu justru terdiam. Bagi dirinya sendiri, waktu yang diperlukan telah dipergunakan sebaik-baiknya. Ia telah berhasil menyelesaikan seluruh isi kitab rontal yang dipinjamnya dari Ki Waskita. Ia tinggal memilih, manakah yang sesuai dengan pribadinya, dengan ilmu yang sudah ada padanya lebih dahulu dari isi kitab rontal itu, dan yang memungkinkan akan dapat luluh di dalam dirinya. Sehingga dengan demikian, waktu yang berikutnya, dengan sekedar berada di sawah menghalau burung, adalah waktu yang tersia-sia. Meskipun dengan demikian, ia menjadi semakin akrab dengan alam dan semakin mengenal hubungan kasih Penciptanya dengan mengagumi ciptaan-Nya, namun rasa-rasanya ia ingin cepat berada kembali di padepokannya.

Namun, apakah yang sebenarnya telah diperoleh Glagah Putih? Anak itu tentu mengharap untuk mendapatkan suatu pengalaman dari perjalanannya. Tetapi yang didapatkannya, hanyalah sekedar menunggui burung di sawah.

“Apa boleh buat,” berkata Agung Sedayu, ”setidak-tidaknya ia sudah melihat padukuhan-padukuhan yang dilaluinya pada jarak Jati Anom, Tanah Perdikan Menoreh dan padukuhan ini. Selanjutnya, demikian ia sampai di padepokan, maka ia akan mendapat latihan-latihan berikutnya yang barangkali cukup berat baginya.”

Glagah Putih masih termangu-mangu karena Agung Sedayu tidak segera menjawab. Bahkan kemudian ia mendesaknya, ”Kenapa kau termenung saja Kakang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Glagah Putih. Mungkin pengalaman yang kau dapatkan dengan perjalanan ini memang terlampau sedikit. Tetapi sudah barang tentu, kau akan melakukan perjalanan yang lebih panjang di saat-saat yang lain. Karena itu, maka yang kau peroleh dari perjalanan ini hanyalah sekedar permulaan dari pengalaman-pengalaman yang masih akan panjang. Selebihnya, kau sudah terlalu lama tidak melakukan latihan-latihan khusus untuk meningkatkan ilmumu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, ”Terserahlah kepada Kakang. Bagiku, agaknya merupakan pilihan yang sama beratnya. Tetapi apakah latihan-latihan itu harus dilakukan di dalam sanggar padepokan?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Agaknya Glagah Putih ingin untuk mendapat pengalaman lebih banyak lagi dari sebuah perjalanan. Mungkin ia ingin melihat padukuhan-padukuhan kecil yang terpencil. Mungkin ia masih ingin mendaki lereng gunung, melihat sesamanya berjuang melawan alam di daerah rawan, atau pengenalan-pengenalan yang lain.

Karena itu, hampir di luar sadarnya Agung Sedayu berkata, ”Kita masih akan menempuh perjalanan kembali. Mungkin di perjalanan pulang, kita akan melihat lebih banyak dari saat kita berangkat. Kita tidak akan lagi bersama Ki Waskita, sehingga kita dapat memilih jalan kita sendiri.”

Glagah Putih agaknya tertarik pada kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan kening yang berkerut ia berkata, ”Apakah kita akan melingkari Gunung Merapi dan Merbabu?”

“Ah, tentu tidak Glagah Putih. Kita akan kembali ke Jati Anom melalui jalan yang tidak terlalu jauh meskipun bukan yang paling dekat. Mungkin kita akan menerobos hutan yang lebat, melalui padukuhan-padukuhan terpencil di lereng Gunung Merapi sebelah selatan.”

“Kenapa kita tidak memilih jalan lain? Kita menyelusuri Kali Praga. Kemudian kita meyeberang hampir di ujungnya. Melintasi daerah di sebelah barat Gunung Merbabu. Kakang, kita dapat melalui Banyu Biru. Kita akan sampai di Jati Anom dari arah utara.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia menyadari, bahwa perjalanan itu tentu akan merupakan perjalanan yang berat bagi Glagah Putih, dan baginya akan merampas waktu terlalu banyak. Keinginannya untuk mulai melihat makna dari kalimat-kalimat yang terpahat di ingatannya rasa-rasanya sangat mendesaknya.

Karena itu, maka jawabnya, “Glagah Putih, di kesempatan lain, aku akan membawamu ke Banyu Biru. Ke Rawa Pening dan daerah-daerah di sekitamya yang aku pun belum pernah melihatnya. Tetapi kali ini kita akan menempuh perjalanan yang lebih dekat. Kita akan menelusup daerah-daerah yang belum pernah kita lihat. Tapi sudah barang tentu, daerah-daerah yang tidak begitu jauh. Mungkin kita akan muncul di daerah yang disebut memiliki sebatang pohon Mancawarna. Sebatang pohon yang besar dan mempunyai beberapa jenis bunga. Kita dapat memilih jalan memintas, atau kita dapat mengulur perjalanan kita beberapa ribu tonggak.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, ”Kita akan berada di perjalanan tidak lebih dari dua hari satu malam.”

“Apakah kita akan menyusuri jalan yang lebih panjang? Kita akan meninggalkan kuda-kuda kita disini, sehingga kita akan menempuh perjalanan lebih lama.”

“Ah, Kakang aneh. Nanti Ayah dan Kiai Gringsing akan bertanya, kenapa kita tidak membawa kuda-kuda kita kembali. Mungkin kuda-kuda itu diperlukan setiap saat.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, ”Jika demikian, kita akan berkuda. Tetapi mungkin kita akan menuntun kuda kita di sepanjang jalan. Kita akan melalui jalan-jalan sempit. Mengenal daerah-daerah terpencil.”

“Apa yang dapat kita lihat di lereng Gunung Merapi? Di saat kita berangkat, kita sudah banyak melihatnya.”

“Lalu, apakah kau mempunyai keinginan lain kecuali melingkari Gunung Merbabu dan Merapi?”

“Jika Kakang tidak setuju, aku tidak akan memaksa untuk melalui Banyu Biru dan Rawa Pening. Tetapi bagaimana jika kita kembali ke Jati Anom dengan menyusuri Pantai Selatan? Kita akan mengikuti Kali Praga sampai ke batas muaranya. Kemudian kita akan menuju ke timur menyusuri pantai.”

“Kau kira kita akan dapat lewat daerah Pandan Segegek, daerah berbatu-batu padas di seberang Kali Opak.”

“Kita tidak akan menyeberangi Kali Opak. Kita akan berbelok ke utara di sebelah barat Kali Opak, kemudian menyeberang di tempat yang memungkinkan, di sebelah utara Pegunungan Sewu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi tidak tenang karena permintaan Glagah Putih itu. Tetapi ia pun tidak sampai hati untuk selalu menolaknya saja.

Menyelusuri Pantai Selatan, telah mengingatkannya kepada orang-orang dari Pesisir Endut yang meskipun letaknya tidak terlalu dekat. Apalagi mereka sedang dibebani oleh perasaan dendam tiada taranya. Bukan karena Agung Sedayu ketakutan menghadapi perang tanding, tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keseganan untuk menumbuhkan akibat yang justru dapat memperdalam dendam itu.

Tetapi ketika ia melihat wajah Glagah Putih yang kecewa, maka ia benar-benar tidak sampai hati untuk menolaknya. Karena itu, maka katanya, ”Baiklah Glagah Putih. Kita akan menelusuri Kali Praga. Tetapi aku tidak ingin singgah di Mataram. Kita akan lewat di sebelah barat Mataram dan mungkin kita akan melalui Mangir dan daerah-daerah yang juga belum banyak aku kenal. Tetapi kita tidak akan mempersulit diri dengan mendaki batu-batu padas di seberang Kali Opak, seperti yang kau katakan, kita akan berbelok ke utara dan menyeberang Kali Opak di tempat yang memungkinkan. Mungkin di sekitar Gunung Baka atau di sebelah selatan beberapa ratus tonggak.”

“Jadi kita akan melalui pesisir selatan?” tiba-tiba saja wajah Glagah Putih menjadi cerah.

“Ya. Kita akan melalui Pesisir selatan. Tetapi sekali lagi, kau harus berjanji, bahwa kau akan menurut jalan manakah yang akan aku pilih, sehingga kita tidak akan terlalu mempersulit diri kali ini,” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Menurut jalan pikirannya, pengalaman akan banyak di dapat justru dalam kesulitan-kesulitan itu. Tetapi agaknya Agung Sedayu selalu dibayangi oleh waktu yang baginya sangat diperlukan di saat-saat yang dekat.

“Kita akan menyampaikannya kepada Ki Waskita,” berkata Glagah Putih.

“Biarlah aku yang mohon diri. Kita tidak perlu mengatakan, jalan manakah yang akan kita lalui. Pagi ini kita masih akan pergi ke sawah bersama Rudita. Di gubug itu aku akan mengatakan niat kita untuk mohon diri, sebelum kita menyampaikannya kepada Ki Waskita sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian pergi ke biliknya, membenahi diri untuk pergi bersama Rudita ke sawah.

Seperti yang direncanakannya, maka ketika kemudian mereka berada di sawah, Agung Sedayu pun menyampaikan maksudnya untuk minta diri kepada Rudita yang nampak kecewa.

“Jika kalian meninggalkan tempat ini, aku akan menjadi kesepian,” berkata Rudita, ”aku tidak mempunyai kawan lagi menunggui burung di sawah.”

“Bukankah ada beberapa orang pembantu di rumahmu?”

Rudita mengangguk. Tetapi jawabnya, ”Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jika ada satu dua orang yang ikut menghalau burung, maka mereka sama sekali tidak sempat untuk diajak bercerita atau mendengarkan dongeng tentang burung putih yang terbang di langit yang biru. Mereka lebih banyak terikat dengan gopraknya atau dengan tali-tali itu.”

“Sayang sekali,” desis Agung Sedayu.

Rudita tersenyum. Katanya, ”Aku mengerti. Kau memerlukan waktu yang cukup. Pergilah.”

Glagah Putih menjadi heran mendengar sikap Rudita yang tiba-tiba saja berubah. Namun Agung Sedayu sendiri bahkan menundukkan kepalanya tanpa menjawab lagi.

Suasana di gubug itu terasa mulai berubah. Baik Rudita maupun Agung Sedayu tidak lagi banyak berbicara. Nampaknya masing-masing lebih banyak berbincang dengan diri mereka sendiri.

Karena itu, maka Glagah Putih pun berusaha untuk menyesuaikan diri, meskipun ia tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Agung Sedayu dan Rudita.

Ketika mereka telah berada di rumah lewat sore hari, maka Agung Sedayu mencari kesempatan untuk dapat bertemu dengan Ki Waskita hanya berdua saja. Ia harus menyerahkan kembali kitab yang disembunyikannya. Kemudian minta diri untuk kembali ke padepokannya setelah ia menerima kemurahan hati Ki Waskita yang tiada taranya.

“Aku titip agar ilmu itu tidak menjadi punah,” berkata Ki Waskita. Namun kemudian, ”Tetapi pesanku Agung Sedayu, kau jangan mencoba membuat seikat rontal yang berisi seperti isi rontalku yang sudah terpahat di hatimu. Bukan aku tidak percaya kepadamu, tetapi rontal yang demikian akan dapat jatuh ke tangan orang yang tidak berhak dan apalagi mereka yang akan menyalahgunakan.”  

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Aku mengerti Ki Waskita.”

“Terima kasih. Selanjutnya, terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan dengan kata demi kata yang kau kenal dari kitabku yang tidak akan banyak berarti itu.”

“Aku akan mencari kemungkinan untuk meluluhkan ilmu dari perguruan Kiai Gringsing dengan ilmu yang terdapat dalam kitab itu, Ki Waskita.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku tidak berkeberatan Ngger. Tetapi bagaimanapun juga, aku mohon, agar kau tetap mengenal dasar-dasar ilmu dari perguruanku yang dapat kau baca pada kitab itu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun dengan serta merta ia pun menjawab, ”Tentu Ki Waskita, tentu. Bagaimanapun juga, aku akan tetap memelihara ilmu yang temurun lewat kitab itu seperti yang ada didalamnya. Jika aku mencari unsur-unsur yang akan dapat luluh adalah semata-mata agar aku tidak mengalami kesulitan dalam saat-saat yang gawat, dimana aku tidak mendapat kesempatan untuk memperhitungkan unsur-unsur gerak yang pada dasarnya berbeda tetapi bersama-sama ada didalam diriku.”

“Aku mengerti Ngger. Dan aku tidak berkeberatan sama sekali.” Ki Waskita termenung sejenak, lalu, ”Yang terjadi benar-benar telah membebani perasaanku. Ada sesuatu yang tersimpan di dalam hati sebagai suatu rahasia. Tetapi apakah sebenarnya aku memang sudah pikun, sehingga rasa-rasanya dada ini akan retak karena rahasia itu.”

Agung Sedayu menjadi bingung.

“Angger Agung Sedayu. Aku mengenal sesuatu tentang gurumu tetapi yang aku kira, kau dan Swandaru belum banyak mengenalnya. Agaknya Kiai Gringsing pun akan mengalami banyak kesulitan untuk mempertimbangkannya. Jika ia memberitahukan hal ini kepadamu, maka menjadi kewajibannya untuk memberitahukannya pula kepada Swandaru. Namun agaknya Kiai Gringsing masih meragukannya, meskipun Ki Demang serba sedikit telah mengetahuinya pula.”

Agung Sedayu menjadi tegang. Dan Ki Waskita berkata selanjutnya, ”Gurumu adalah orang yang aneh Agung Sedayu. Banyak hal yang tidak dapat diketahui dengan pasti. Yang berwarna kuning hari ini pada gurumu, besok akan nampak menjadi biru atau hitam sekali. Tetapi aku tahu, bahwa yang berubah itu hanyalah warna kulitnya. Sedangkan isinya tetap tidak akan berubah sama sekali.”

Agung Sedayu menjadi semakin bingung, sementara Ki Waskita berkata, ”Aku pernah mendengar dongeng gurumu tentang dirinya. Namun pada saat yang gawat, saat menurut aku, waktunya untuk bertindak lebih jauh, gurumu seolah-olah tidak tahu sama sekali tentang dirinya. Aku pun sadar, bahwa gurumu tidak ingin ada orang lain lagi yang mengetahuinya, sehingga yang dirahasiakan itu akan tersebar semakin luas, sehingga aku pun tidak memaksanya dan tidak menyebut lagi dongeng yang pernah dikatakannya. Menurut gurumu yang baru dikatakan kemudian, ia tidak ingin hal itu didengar lewat siapapun juga, oleh telinga Untara. Sebab Untara adalah seorang prajurit yang akan dapat bertindak tegas, lepas dari maksud dan perhitungan Kiai Gringsing, yang menurut aku memang sangat lamban.”

Agung Sedayu dengan ragu-ragu bertanya, ”Apakah yang Ki Waskita maksudkan?”

“Tidak ada yang dapat aku katakan. Tetapi cobalah bertanya kepada gurumu, apakah gurumu juga mempunyai sebuah rontal berisi kidung yang dapat berguna bagimu dan bagi perguruanmu.”

Agung Sedayu menjadi semakin bingung. Sementara Ki Waskita berkata selanjutnya, ”Tetapi sekali lagi, gurumu tentu akan menuntut agar Untara tidak mengetahuinya. Dan aku tidak tahu, apakah hal itu akan dapat dikatakan oleh gurumu,” ia berhenti sejenak, lalu, “aku akan menulis buat gurumu.”

Agung Sedayu masih termangu-mangu. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Waskita, maka ia pun menarik nafas panjang.

“Semuanya akan kau ketahui kelak jika kau telah bertemu dengan gurumu,” berkata Ki Waskita, ”aku akan menulis pada sehelai rontal agar kau berikan kepada gurumu pada saat yang kau anggap tepat.”

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia sadar, bahwa ada sesuatu yang tersimpan di hati Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita masih dibatasi oleh keseganannya kepada Kiai Gringsing untuk mengatakannya, karena yang ingin dikatakannya itu agaknya menyangkut masalah gurunya itu.

Karena itu, maka yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian adalah dengan resmi menyerahkan kembali kitab yang dipinjamkan oleh Ki Waskita kepadanya dengan ucapan terima kasih yang tiada taranya. Kemudian mohon diri untuk kembali ke padepokan kecilnya di sebelah Jati Anom.

“Hati-hatilah di perjalanan. Kapan kau akan berangkat?” bertanya Ki Waskita.

“Besok Ki Waskita. Jika matahari terbit, maka kami akan berangkat agar udara masih segar di permulaan dari perjalanan kami itu.”

“Baiklah Agung Sedayu. Aku akan menulis nanti malam. Minta dirilah kepada Rudita agar besok anak itu tidak terkejut.”

“Aku sudah mengatakannya Ki Waskita.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Pergunakan waktu yang tersisa untuk beristirahat sebaik-baiknya.”

Ki Waskita pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang juga segera masuk ke dalam biliknya.

“Kakang berbincang dengan Ki Waskita lama sekali,“ berkata Glagah Putih.

“Aku mohon diri. Mula-mula Ki Waskita menahanku. Tetapi aku menjelaskan bahwa aku sudah terlalu lama pergi.”

Glagah Pulih sama sekali tidak menduga, yang telah terjadi dengan Agung Sedayu selama ia berada di rumah Ki Waskita. Menurut pengertiannya. Agung Sedayu tiba-tiba saja telah sakit untuk beberapa hari sehingga mencemaskannya. Untunglah ia segera sembuh dan dapat kembali ke Jati Anom.

“Tentu merupakan perjalanan yang menyenangkan,“ berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.

Ketika fajar menyingsing di hari berikutnya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera berkemas. Mereka akan berangkat di saat matahari terbit, agar udara pagi memberikan kesegaran baru diujung per-jalanan mereka.

Oleh Ki Waskita sekeluarga, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih dijamu makan pagi untuk yang terakhir kalinya, karena sebentar lagi, mereka akan meninggalkan keluarga itu kembali ke padepokan yang telah cukup lama mereka tinggalkan.

“Aku titip rontal ini buat gurumu,” berkata Ki Waskita sambil memberikan kantong kecil yang dari kain yang tertutup rapat.

Agung Sedayu menerima kantong yang tertutup itu dengan hati yang berdebar-debar. Ki Waskita tentu mengatakan sesuatu yang tidak boleh diketahuinya.

Demikianlah, ketika kemudian matahari terbit, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih menuntun kudanya keluar dari regol halaman rumah Ki Waskita. Beberapa orang telah mengantarkannya sampai ke regol. Beberapa pesan masih diberikan oleh Ki Waskita, sementara Rudita hanya mengucapkan selamat jalan. Namun dari tatapan matanya Agung Sedayu dapat membaca, bahwa Rudita menjadi kecewa. Kecewa bahwa ia telah ditinggalkan oleh kedua anak-anak muda yang untuk beberapa hari telah mengawaninya di sawah dan di rumah. Tetapi juga kecewa karena sikap dan pandangan hidup Agung Sedayu yang berbeda dengan sikap dan pandangan hidupnya. Justru kini terasa semakin jauh, karena Rudita tahu pasti, apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu di rumahnya.

Tetapi Rudita menekan segala kekecewaannya di dalam hatinya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan regol dan beberapa orang yang melepaskannya. Rasa-rasanya memang berat untuk meninggalkan mereka Namun mereka tidak dapat tinggal terlalu lama di rumah yang terasa bergejolak oleh isi kitab rontal itu, namun terasa tenang dan damai karena sikap Rudita.

Sekali-sekali Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berpaling. Namun ketika mereka sudah melalui sebuah tikungan, maka kuda mereka berlari lebih cepat, meskipun tidak berpacu seperti angin.

Di sepanjang lorong padukuhan, beberapa orang anak muda yang sudah dikenal selama mereka tinggal di rumah Ki Waskita, memberikan salam pula dan mengucapkan selamat jalan.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun segera muncul di bulak panjang. Terasa udara pagi yang cerah menyentuh tubuh mereka. Alangkah segarnya. Matahari yang baru saja naik, terasa hangat dan segar.

Namun dalam pada itu, dua orang yang duduk terkantuk-kantuk di pematang dekat pada sebuah lorong kecil telah terkejut melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih keluar dari pedukuhan dengan kudanya.

Agung Sedayu tidak sempat memperhatikan kedua orang itu. Perhatiannya masih terikat kepada batang-batang padi yang menguning di pagi yang cerah. Setitik-setitik embun masih nampak gemerlapan di daun-daunnya yang panjang.

“He, nampaknya Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah akan kembali ke Jati Anom,” berkata salah seorang dari mereka.

“Ya. Kelengkapan kudanya menunjukkan, bahwa ia akan menempuh perjalanan kembali ke padepokannya.”

“Kita harus mengikutinya,” desis yang lain.

“Mereka berkuda. Marilah kita mengambil kuda kita.”

“Kau sajalah mengikuti atau kau pilih memberitahukan kepada kawan-kawan kita.”

“Aku akan mengikutinya. Cepat, susul aku bersama kawan-kawan sebelum Agung Sedayu menyadari bahwa aku mengikutinya. Jika ia mengerti bahwa aku mengikutinya sebelum kau datang bersama kawan-kawan, mungkin kau akan menjumpai aku menjadi makanan burung gagak di tengah jalan.”

Keduanyapun segera berdiri. Mereka menyusup ke balik sebuah gerumbul untuk mengambil kuda mereka yang tersembunyi. Yang seorang dengan tergesa-gesa memberitahukan kepada kawan-kawan mereka, sementara yang seorang dari kejauhan mengikuti arah perjalanan Agung Sedayu.

Ia tidak perlu mengikuti dari jarak yang terlalu dekat. Meskipun orang itu tidak lagi melihat Agung Sedayu, namun ia dapat mengikuti jejak kudanya. Jalan yang dilalui Agung Sedayu adalah jalan yang jarang sekali dilalui orang-orang berkuda, sehingga dengan demikian, maka dengan mudah orang-orang itu mengikuti jejaknya.

Yang seorang dengan tergesa-gesa berpacu ke tempat kawan-kawannya bersembunyi. Karena mereka masih bermalas-malas bahkan seorang diantara mereka masih tidur nyenyak, maka ia pun membentak hampir berteriak, ”Cepat. Jika kalian terlalu lamban, maka kita akan kehilangan jejak.”

“Jalan yang dapat dilalui Agung Sedayu tidak banyak. Hanya ada dua jalur. Yang satu langsung menuju ke Kali Praga, di tempat penyeberangan sebelah utara, sedang yang satu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika Agung Sedayu tidak akan singgah di Tanah Perdikan, maka ia akan berbelok menuju ke penyeberangan di sebelah selatan.”

“Siapa tahu mereka mencari jalan lain. Jalan-jalan kecil atau lorong-lorong yang tidak pernah dilalui orang di sepanjang pinggir hutan atau bahkan memasuki hutan-hutan yang lebat.”

“Agaknya Agung Sedayu belum gila untuk memilih jalan itu.”

“Persetan. Tetapi cepat agar kita dapat menemukan kawan kita masih tetap bernafas.”

Kawan-kawannyapun kemudian bersiap dengan tergesa-gesa. Mereka menyadari, jika kawannya yang seorang diketahui oleh Agung Sedayu, maka umurnya tidak akan panjang lagi.

Sejenak kemudian, maka mereka berempat telah berpacu menyusul kawannya. Ketika mereka sampai ke jalan yang dilalui oleh Agung Sedayu, maka mereka pun segera menemukan jejaknya. Dengan mudah mereka mengikutinya meskipun mereka belum menyusul kawannya.

“Tetapi jejaknya masih ada,” berkata salah seorang dari mereka, ”jejak ini tentu jejak tiga ekor kuda. Yang dua adalah Agung Sedayu dan anak itu, sedang yang satu adalah jejak kuda kawan kita.”

Tidak ada yang menyahut. Namun mereka masih berpacu di sepanjang jalan. Dua orang di depan dan dua dibelakangnya.

Belum lagi mereka mencapai tepian Kali Praga, maka mereka sudah berhasil menyusul kawannya yang seorang. Tetapi mereka sengaja tidak berpacu bersama-sama. Dua orang diantara mereka berkuda dekat di belakang yang seorang, sedang dua yang lain agak jauh di belakang.

Sementara itu, di luar pengetahuan mereka, seorang anak muda telah mengikuti mereka pula. Seperti kelima orang sebelumnya, anak muda itu tidak perlu terlalu dekat. Ia merasa lebih mudah lagi mengikuti jejak tujuh ekor kuda di jalan padukuhan yang jarang dilalui penunggang penunggang kuda.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar