Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 116

Buku 116

Orang-orang yang mengadakan pembicaraan itu pun mengangguk-angguk. Tetapi, nampaknya masih ada beberapa hal yang belum sesuai di hati masing-masing. Namun, orang yang berpakaian petani itu pun kemudian berkata, “Kita mempunyai kawan yang cukup banyak. Jika separo dari kawan-kawan kita mati, sebagai tebusan kematian orang-orang bercambuk itu, kita masih mempunyai kekuatan yang cukup. Dendamku kepada anak muda yang bernama Agung Sedayu, rasa-rasanya tidak akan dapat ditukar dengan kematian gurunya sekalipun.”

“Apakah kau berhasil membakar hati saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu?” bertanya orang yang berpakaian pedagang.

“Aku berusaha memindahkan dendam mereka dari Pangeran Benawa dan mengalihkannya kepada Agung Sedayu. Tetapi menurut Kakang Carang Waja, kedua-duanya harus dimusnahkan. Meskipun demikian aku telah berhasil meyakinkannya, bahwa membunuh Agung Sedayu lebih penting artinya daripada membunuh Pangeran Benawa. Kematian Pangeran Benawa akan dapat memberikan perubahan pola berpikir Sultan Hadiwijaya, yang nampaknya mulai mempercayai segala keterangan yang didengarnya dari banyak pihak, bahwa Mataram benar-benar akan melawan kekuasaan Pajang,” jawab orang berpakaian petani itu.

“Mudah-mudahan ia percaya. Jika Pangeran Benawa terbunuh, dan kita tidak berhasil melemparkan kesalahan itu kepada Mataram, maka mungkin Sultan justru akan bersikap lain,” berkata perwira Pajang yang ada di antara mereka, “aku sependapat. Untuk sementara, kita kesampingkan dahulu Pangeran Benawa meskipun satu kali ia telah mencampuri persoalan ini. Tetapi menurut perhitunganku, masalahnya justru karena alasan perikemanusiaan semata-mata.”

“Tetapi apakah kau yakin, bahwa orang yang bernama Carang Waja itu memiliki kemampuan melampaui orang-orang bercambuk?” bertanya orang berpakaian pedagang.

Orang yang berpakaian petani mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Mungkin sekali. Carang Waja adalah orang yang jarang sekali menampakkan diri. Jika saja kedua adik-adiknya tidak terbunuh, sulit bagi kita untuk melibatkannya. Namun, seandainya ia hanya sampai kepada kematian Agung Sedayu pun dendam kita sudah dikurangi. Kematian Telengan, Tumenggung Wanakerti, Samparsada yang cacat dan Kelasa Sawit yang tidak berdaya dan kemudian terbunuh oleh Swandaru, adalah kematian yang telah membasahi tangan Agung Sedayu dengan darah mereka. Selebihnya, aku sendiri telah menyatakan kepada Carang Waja, bahwa aku akan melibatkan diri langsung dalam usaha pelepasan dendam ini.”

Kawan-kawannya yang mendengarkan kesanggupan orang berpakaian petani itu mengangguk-angguk. Nampaknya ia benar-benar berpengharapan, bahwa orang berpakaian petani itu bersama-sama dengan kawannya, yang disebutnya Carang Waja, akan dapat membalas dendam, membunuh Agung Sedayu, Pangeran Benawa dan kemudian Raden Sutawijaya.

“Aku akan menemui Carang Waja,” berkata orang berpakaian petani itu, “aku harus menyampaikan segala keterangan yang diperlukan. Baru kemudian Carang Waja akan menyusun rencananya. Ia tidak mau diperbodoh oleh keadaan seperti kedua adiknya dan orang-orang yang telah mati terdahulu.”

Yang lain mengangguk-angguk. Kemudian salah seorang perwira yang ada di tempat itu berkata, “Pergilah. Pertemuan kita sudah cukup. Kita sudah mendapat gambaran dari peristiwa yang bakal datang. Kita akan menyampaikan kepada jalur yang akan sampai kepada Kakang Panji. Ia harus mengetahui semua yang kita lakukan, agar tidak ada salah paham di antara kita semuanya.”

Beberapa orang pun kemudian minta diri. Yang tinggal hanyalah tiga orang perwira prajurit Pajang. Seorang yang berkumis putih tersenyum sambil berkata, “Kita harus membakar dendam di dada mereka.”

Yang lain pun tertawa. Dengan suara datar ia menyahut, “Kita harus meyakinkan mereka, bahwa dendam mereka harus terbalaskan. Dengan demikian, kita akan dapat memperalat mereka. Keadaan akan menjadi semakin kisruh. Sementara Mataram menjadi lemah. Agung Sedayu, gurunya dan Swandaru merupakan kekuatan yang penting bagi Mataram. Jika orang-orang itu tetap dibakar oleh dendam di dalam dadanya, maka mereka akan menjadi tangan-tangan kita yang baik, tanpa mereka sadari.”

Ketiga orang perwira itu tertawa berkepanjangan. Mereka melihat, orang-orang yang marah itu akan melakukan balas dendam tanpa memperhitungkan segala keadaan yang berkembang kemudian. Dengan janji dan harapan, dilandasi oleh dendam dan kemarahan, mereka merupakan kekuatan yang berbahaya bagi Pajang dan Mataram.

Kematian-kematian di segala medan dan perang tanding, merupakan minyak yang tertuang ke dalam api.

Dalam pada itu, orang-orang yang meninggalkan para perwira itu pun dengan tergesa-gesa menuju ke sebuah rumah, yang menjadi tempat mereka selalu bertemu dan berhubungan dengan para prajurit di Pajang.

Mereka seolah-olah telah terbius oleh dendam, dan harapan untuk mukti dengan warisan kerajaan Majapahit. Karena itulah, maka mereka seakan-akan tidak dapat berpikir dengan bening, apakah yang mereka lakukan itu bermanfaat bagi mereka dan sesamanya, atau hanya sekedar sebagai pelepasan nafsu dan harapan-harapan yang kabur.

Semantara itu, di Mataram pun telah terjadi perjuangan pula. Tetapi, Raden Sutawijaya bukan seorang yang sekedar didorong oleh nafsu dan harapan bagi dirinya sendiri. Ia melihat Mataram dan Pajang dalam keseluruhan. Bahkan wilayah yang tersebar di pesisir dan ujung pulau di sebelah barat dan di sebelah timur.

Sementara mereka sibuk dengan rencana dan sikap masing-masing, maka Kiai Gringsing yang masih berada di Sangkal Putung pun menjadi gelisah. Ia sadar, bahwa Ki Waskita tidak akan lama lagi berada di Kademangan itu. Besok atau lusa, atau bahkan tiba-tiba saja, Ki Waskita akan minta diri dan kembali kepada keluarganya. Namun, rencananya untuk menemukan orang yang bernama Jaka Warih cukup menggelisahkan Kiai Gringsing.

Di malam hari menjelang tidur, di dalam biliknya Kiai Gringsing merasa gelisah. Ketika ia bangkit dan duduk merenung, dilihatnya Agung Sedayu yang tidur di amben yang besar bersama Glagah Putih, nampak nyenyak. Di sebelah lain, di seberang dinding bambu, Ki Waskita dan Ki Widura agaknya sudah tertidur nyenyak pula.

Di luar sadarnya, Kiai Gringsing mengamat-amati lukisan yang ada di tangannya. Perlahan-lahan ia menarik nafas panjang sekali. Di wajahnya terbayang perasaan kecewa, betapapun ia mencoba melepaskannya.

“Kenapa lukisan ini ada di pergelangan tanganku,” desisnya di dalam hati.

Tetapi lukisan oleh luka, seperti di pergelangan tangannya itu, memang sulit untuk dihapuskan. Memang hal itu mungkin dilakukan dengan mengelupas daging di pergelangan itu, dan kemudian menyembuhkannya, meskipun akan berbekas dan menumbuhkan cacat kulit. Tetapi cacat yang demikian bukannya merupakan ciri dari salah satu pihak yang manapun juga.

“Sekarang sudah terlambat,” desis Kiai Gringsing. Seandainya ia berusaha untuk menghapus lukisan di pergelangan tangannya itu, namun sudah ada orang yang pernah melihatnya. Dan justru orang-orang itulah yang mempunyai penilaian khusus terhadapnya. Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita.

Hampir di luar sadarnya, Kiai Gringsing bangkit berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah ke pintu. Dengan hati-hati ia mendorong pintu bilik di gandok itu.

Ketika pintu itu terbuka, terasa udara yang segar mengusap wajahnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia melangkahi tlundak pintu untuk menghirup udara yang sejuk di halaman.

Tetapi wajahnya berkerut, ketika saat ia mendorong pintu untuk menutupnya, Agung Sedayu nampaknya terbangun. Sambil mengangkat kepalanya, ia memandangi Kiai Gringsing yang berdiri di pintu.

“Apakah Kiai akan keluar?” bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku akan ke pakiwan Agung Sedayu.”

Tetapi Agung Sedayu tidak meletakkan kepalanya lagi. Ia justru bangkit dan duduk di bibir pembaringannya, sementara Glagah Putih masih tetap tidur nyenyak.

Sejenak Agung Sedayu termenung. Namun ia pun kemudian bangkit dan berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Glagah Putih yang tidur nyenyak. Ia masih melihat pintu terbuka sedikit, tetapi Kiai Gringsing sudah tidak nampak lagi di depan pintu yang masih menganga itu.

Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah. Didorongnya daun pintu itu. Dan ia pun melangkahi tlundak pintu pula.

Dengan hati-hati, Agung Sedayu menutup pintu biliknya. Udara memang terasa segar. Dan agaknya Kiai Gringsing benar-benar telah pergi ke pakiwan.

Sejenak Agung Sedayu duduk di serambi. Di pintu regol ia melihat obor yang masih menyala. Lamat-lamat ia melihat sesosok tubuh melintasi halaman. Agaknya para pengawal yang berada di gardu regol halaman.

Agung Sedayu merasakan angin malam yang segar. Ketika ia memandang api obor di regol, maka mulai terbayang gardu-gardu yang tersebar di seluruh Kademangan Sangkal Putung. Anak-anak muda lebih senang berkumpul di gardu-gardu, daripada di rumah masing-masing. Mereka dapat bergurau dan berkelakar. Jika mereka mengantuk, maka mereka dapat tidur berdesak-desakan, sehingga dinginnya malam tidak terasa lagi di tubuh mereka. Sementara laki-laki yang lebih tua lebih senang tinggal di rumah dan menjaga milik masing-masing. Bagaimanapun juga, rumah dan harta yang ada di rumah harus mendapat pengawasan seperlunya.

Agung Sedayu beringsut, ketika ia melihat seorang anak muda melangkah mendekatinya. Agaknya para penjaga di regol melihat pintu biliknya terbuka, sehingga mereka melihat pula Agung Sedayu yang duduk di serambi.

“Kau tidak dapat tidur, Agung Sedayu?” bertanya anak muda itu sambil duduk di sebelahnya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Di dalam terlalu panas.”

“Kiai Gringsing turun pula ke halaman,” berkata anak muda itu, “agaknya ia pergi ke pakiwan.”

Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Ya. Agaknya Guru pun tidak dapat tidur seperti aku.”

“Apakah kau sama sekali belum tidur sejak sore?”

Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, “Aku baru saja terbangun. Aku tidur sejak sore.”

Anak muda itu ikut tertawa pula. Katanya kemudian, “Malam terlalu sepi. Rasa-rasanya mataku tidak lagi dapat kubuka. Meskipun aku sudah berjalan-jalan mengelilingi halaman ini sambil meronda, namun rasa-rasanya kantukku bagaikan mencengkam. Bukan aku sendiri, tetapi semua petugas di malam hari ini. Anehnya, tidak banyak anak-anak muda yang tidur di gardu. Hanya beberapa orang. Padahal biasanya lebih dari sepuluh orang.”

“Kalian terlalu lelah. Dalam beberapa hari ini kalian bekerja keras,” sahut Agung Sedayu.

Anak muda itu mengangguk. Namun kemudian katanya, “Hampir setiap hari aku bekerja keras. Jika tidak terjadi apa-apa pun aku tetap bekerja keras di sawah. Tetapi aku tidak pernah merasa lelah seperti ini.”

“Sebaiknya kalian bergantian beristirahat,” berkata Agung Sedayu, “separo dari kalian yang ada di gardu itu tidur. Kemudian bergantian yang lain.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sudah mencoba. Sekarang beberapa orang sedang tidur. Tetapi rasa-rasanya mata ini seperti kena sirep.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa ada orang yang mampu melepaskan pengaruhnya sehingga menyebabkan orang lain kehilangan pengamatan diri. Beberapa orang menyebutnya sebagai ilmu sirep. Dan tidak mustahil, bahwa ada orang yang melakukannya di Sangkal Putung.

Namun Agung Sedayu pun mengerti, bahwa jiwa yang kuat dan kesadaran pribadi yang tinggi, tidak akan dapat terkena oleh pengaruh sirep yang bagaimanapun kuatnya.

“Aku akan berkeliling halaman,” berkata anak muda itu, “jika aku lebih lama lagi duduk di sini, aku akan tertidur.”

“Kau dapat mencegah kantukmu. Pergilah ke dapur. Mungkin masih ada makanan yang dapat kau makan dengan sambal.”

Anak muda itu tersenyum. Tetapi ia pun kemudian bangkit berdiri dan berjalan turun ke halaman dengan langkah gontai. Meskipun demikian, tangannya tidak terlepas dari hulu pedangnya yang tersangkut di lambung.

Sepeninggal anak muda itu, Agung Sedayu mulai merenungi malam yang memang terasa sangat sepi. Di kejauhan terdengar burung malam bagaikan memekik ketakutan. Angin yang bertiup menyusup pendapa telah bermain dengan api lampu minyak yang berayun-ayun.

Tiba-tiba saja dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Bahkan ia pun mulai bertanya kepada diri sendiri, “Apakah benar seseorang telah melontarkan ilmu sirep di atas halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung?”

Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar desir langkah mendekat. Ternyata gurunya telah muncul di sudut longkangan.

“Malam mulai terasa dingin,” gumam Kiai Gringsing.

“Ya, Guru,” jawab Agung Sedayu termangu-mangu.

“Kau tidak mengantuk?” bertanya gurunya.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sedang memikirkan ilmu sirep, sehingga di luar sadarnya ia telah menghubungkan pertanyaan gurunya dengan angan-angannya.

“Apakah perasaan kantuk malam ini agak berlebih-lebihan, Guru?” bertanya Agung Sedayu.

Gurunya termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa kau bertanya begitu?”

Agung Sedayu memandang gurunya sejenak. Dengan ragu-ragu ia berdesis, “Apakah ada ilmu sirep yang sangat tajam, Guru?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sejenak ia tertegun. Namun kemudian ia pun duduk di samping Agung Sedayu sambil menjawab, “Ilmu semacam itu banyak dikenal orang, Agung Sedayu. Seperti ilmu yang lain, maka tentu ada tatarannya. Ada yang ringan, tetapi mereka yang berilmu tinggi, maka pengaruh ilmunya juga terasa sangat tajam.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Secara tidak langsung gurunya pernah memberi beberapa petunjuk, sehingga ia akan dapat tetap bertahan dalam kesadaran, betapapun pengaruh ilmu semacam itu mencengkamkan dirinya. Apabila dikehendaki, Agung Sedayu akan dapat bertahan, meskipun perasaan itu datang bukan saja karena kekuatan ilmu seseorang, tetapi datang dari dirinya sendiri.

Agung Sedayu yang sedang berangan-angan tentang ilmu sirep itu berpaling, ketika gurunya bertanya, “Apakah kau merasakan sesuatu pada kesadaranmu sekarang ini? Maksudku, apakah kau menduga, bahwa sekarang seseorang telah menyebarkan sirep di Kademangan Sangkal Putung?”

Sejenak Agung Sedayu merenung. Namun kemudian jawabnya, “Para peronda telah dicengkam oleh perasaan kantuk dan sepi. Mereka biasanya tidak pernah mengeluh dalam tugasnya, tetapi malam ini mereka seolah-olah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Baru saja seorang di antara mereka duduk di amben ini. Kemudian berjalan mengelilingi halaman dan kebun, sekedar untuk mengusir kantuk.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimana dengan kau sendiri?”

Agung Sedayu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Guru. Aku masih agak sulit membedakan, apakah kantukku sekarang ini karena ilmu sirep seseorang, atau justru karena aku baru saja terbangun dari tidur yang nyenyak.”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Baiklah. Kau tidak akan dapat terlepas dari pengaruh perasaan kantuk darimanapun datangnya. Dan kau memang memerlukan waktu untuk mengetahui, apakah perasaan itu datang dari dirimu sendiri atau oleh pengaruh di luar dirimu. Itu bukan perkara yang sulit bagimu. Tetapi kau memang perlu memusatkan indramu untuk menanggapi sentuhan pada simpul-simpul syarafmu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia seharusnya mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan dalam keadaan seperti itu. Tetapi sudah barang tentu tidak di serambi. Dalam pemusatan indra, maka gangguan-gangguan yang kecil akan dapat memecahkan daya pemusatannya. Mungkin seorang peronda datang mendekatinya atau menyapanya dari halaman.

“Cobalah sekarang kau cari sumber perasaan kantukmu itu,” berkata Kiai Gringsing, “aku di sini. Jika ada orang lain datang mendekat, biarlah aku yang menemuinya.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun katanya, “Aku akan masuk ke dalam, Guru.”

“Lakukanlah. Tetapi jika Glagah Putih terbangun, maka kau akan gagal. Mudah-mudahan ia akan tetap tidur nyenyak,” berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu termangu-mangu. Sejenak ia membuat pertimbangan. Namun kemudian katanya, “Ia akan tetap tidur nyenyak, Guru.”

“Jika begitu, masuklah.”

Agung Sedayu pun kemudian meninggalkan tempatnya, masuk ke dalam biliknya. Glagah Putih ternyata masih tetap tidur dengan nyenyaknya.

Sejenak Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Namun ia pun kemudian duduk di pembaringan.

Dengan cermatnya ia mengatur diri dalam penjajagannya, apakah ia telah dikenai pengaruh dari luar dirinya atau yang dirasakannya sekedar karena ia memang sangat letih.

Untuk menentukan pertimbangan yang jernih, dicobanya untuk menghapuskan segala pengaruh dan pertimbangan yang didengarnya dari anak muda yang sedang bertugas di gardu, dan yang telah datang kepadanya saat ia duduk di serambi gandok.

Sejenak Agung Sedayu duduk sambil berdiam diri. Dengan dasar-dasar yang pernah di pelajarinya dari gurunya, ia menelusuri dirinya dengan rabaan ilmunya. Beberapa saat ia duduk berdiam diri. Bahkan kadang-kadang terpejam, sementara pernafasannya menjadi teratur seperti orang yang sedang tidur nyenyak.

Di luar, Kiai Gringsing duduk sendiri. Disapunya halaman yang gelap itu dengan tatapan matanya yang tajam. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Di regol pun ia tidak lagi melihat pengawal yang berjalan hilir mudik.

Kiai Gringsing itu pun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia bangkit. Tetapi ia tidak meninggalkan tempatnya, karena ia tahu bahwa di dalam bilik di gandok itu, Agung Sedayu sedang memusatkan indranya untuk mengetahui pengaruh yang ada di dalam dirinya.

Sesaat kemudian, Kiai Gringsing berpaling. Agung Sedayu sudah berdiri di pintu biliknya.

“Tutuplah. Dan duduklah di sini.”

Agung Sedayu mendorong pintu biliknya dan kemudian duduk di samping Kiai Gringsing, di serambi gandok.

“Apakah yang kau ketemukan pada dirimu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ada sesuatu yang asing bagiku, Guru,” jawab Agung Sedayu.

“Kesimpulanmu?”

“Agaknya di Kademangan Sangkal Putung benar-benar telah disebarkan ilmu sirep sekarang ini.”

Kiai Gringsing tersenyum. Namun sebelum ia berkata sesuatu, terdengar pintu bilik di sebelah berderit. Ketika Ki Waskita kemudian melangkah keluar, maka ia pun tersenyum sambil berkata, “Aku mendengar percakapan kalian. Dan aku tahu apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Perasaannya benar-benar tajam. Ia telah menemukan kelainan suasana malam ini.”

Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.

Sementara itu, Ki Waskita yang kemudian disusul oleh Ki Widura telah duduk di serambi pula, bersama Agung Sedayu dan gurunya.

Sementara itu, Agung Sedayu termangu-mangu. Betapa kuat kesadaran diri Ki Waskita dan Ki Widura. Justru pada saat mereka sedang tertidur, mereka menjadi sadar ketika kekuatan sirep menyentuh simpul-simpul syaraf mereka.

“Kiai,” berkata Ki Waskita, “aku sependapat dengan Agung Sedayu. Agaknya telah disebarkan sirep di atas Kademangan Sangkal Putung.”

“Sirep yang tajam,” sambung Ki Widura, “jika Ki Waskita tidak membangunkan aku, mungkin aku masih tetap tertidur nyenyak. Bahkan semakin nyenyak.”

Agung Sedayu mendengarkan pembicaraan itu dengan dada yang berdebar-debar. Jika benar ada sirep yang kuat di Kademangan Sangkal Putung, maka tentu ada sumber kekuatan sirep itu.

Ternyata bahwa bukan saja Agung Sedayu yang cemas. Sementara Kiai Gringsing yang semula nampak tenang saja menghadapi sirep itu, mulai nampak bersungguh-sungguh.

“Sirep ini benar-benar tajam,” desisnya, “adalah kebetulan bahwa Agung Sedayu terbangun karena derit pintu yang aku buka. Jika tidak, maka ia pun kini tentu masih tertidur seperti Swandaru. Jika tidak ada sesuatu yang membangunkannya, maka ia akan tidur semakin nyenyak.”

“Jadi?” bertanya Agung Sedayu.

“Kita akan membangunkannya. Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Demang. Mungkin kita memang harus berjaga-jaga,” desis Kiai Gringsing.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan membangunkan mereka.”

Ketika Agung Sedayu berdiri dan melangkah di longkangan, gurunya bangkit pula sambil berkata, “Dalam jarak selangkah, mungkin saja terjadi sesuatu dalam keadaan seperti ini. Marilah, aku antar kau ke pintu butulan.”

Agung Sedayu dan Kiai Gringsing pun kemudian berjalan dengan hati-hati ke pintu butulan. Di longkangan dalam, ia melihat anak-anak muda tertidur di serambi.

“Pintu tidak diselarak, Kiai,” desis Agung Sedayu.

“Semua orang telah tertidur. Masuklah, dan bangunkanlah Swandaru dengan hati-hati.”

Agung Sedayu mendorong pintu butulan dan kemudian melangkah masuk. Kiai Gringsing yang semula berdiri saja di muka pintu pun kemudian masuk pula ke ruang dalam.

Di dapur nampak beberapa orang perempuan tidur nyenyak pula. Sementara di setiap bilik, sama sekali tidak terdengar lagi suara seorang yang masih terbangun.

Dengan hati-hati Agung Sedayu mengetuk pintu bilik Swandaru yang tertutup. Sekali, dua kali, dan kemudian berkali-kali. Agaknya Swandaru memang tertidur nyenyak sekali.

Ternyata indra Pandan Wangi masih lebih tajam dari indra suaminya, yang tertidur nyenyak sekali. Dengan agak terkejut, Pandan Wangi bangkit dan berdesis, “Siapa?”

“Aku. Agung Sedayu,” jawab Agung Sedayu, “bangunlah dan bangunkan suamimu.”

“Kenapa?”

“Guru ingin berbicara.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun membangunkan Swandaru, yang tidur seperti sedang pingsan.

“Ada apa?” bertanya Swandaru sambil menggosok matanya.

“Kiai Gringsing ada di luar.”

“He?” Swandaru pun meloncat dari pembaringannya. Ia sadar, bahwa tentu ada yang penting terjadi.

Namun matanya rasa-rasanya masih saja akan terpejam. Bahkan setelah ia berdiri sejenak, rasa-rasanya ia ingin menjatuhkan dirinya kembali di pembaringan.

“Mataku tidak mau terbuka,” desisnya.

“Aku juga,” sahut Pandan Wangi, “rasa-rasanya seperti sedang mimpi saja.”

Agaknya percakapan itu didengar oleh Agung Sedayu yang di luar. Karena itu, maka katanya, “Justru karena itu, Guru memanggil, Adi Swandaru.”

Swandaru mencoba untuk memaksa dirinya melangkah keluar. Ketika ia berada di pintu, maka dengan segannya ia mendorong daun pintu itu.

Kiai Gringsing ternyata telah berdiri di dekat pintu itu pula. Dengan suara datar Kiai Gringsing berkata, “Swandaru. Cobalah kau lawan perasaan kantukmu. Cobalah melihat, apakah perasaan kantukmu itu wajar.”

“He?” Swandaru mengerutkan keningnya. Namun peringatan gurunya telah menggerakkan hatinya untuk berbuat sesuatu pada dirinya sendiri, seperti juga Pandan Wangi.

“Apakah ada sesuatu yang tidak wajar, Kiai?” bertanya Pandan Wangi.

“Pertahankan kesadaranmu. Kau harus berjuang melawan perasaan kantuk, yang bukan saja menyerang kau berdua, tetapi seisi Kademangan Sangkal Putung.”

Swandaru menggeretakkan giginya. Dengan nada geram ia berkata, “Maksud Guru, seluruh Kademangan telah terkena sirep?”  

“Ya. Juga kau dan Pandan Wangi.”

Pandan Wangi melangkah mendekat sambil membenahi rambutnya. “Jika demikian, apakah Sangkal Putung berada dalam bahaya?”

“Belum pasti,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi kita harus berhati-hati. Apakah Sekar Mirah sedang tidur?”

“Ya, Kiai. Nampaknya tidurnya sudah mulai nyenyak. Atau justru karena pengaruh sirep ini juga,” jawab Pandan Wangi.

“Sebaiknya kau bangunkan juga gadis itu. Tetapi hati-hati, jangan mengejutkannya. Sementara Swandaru sebaiknya membangunkan Ki Demang yang tentu tertidur nyenyak pula.”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun, kemudian ia melangkah ke pembaringannya untuk mengambil senjatanya, yang diletakkannya di bawah tikar. Sambil berjalan meninggalkan biliknya menuju ke bilik ayahnya, ia berkata kepada Pandan Wangi, “Berhati-hatilah. Siapa tahu bahaya sudah berada di ambang pintu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian dipandanginya Agung Sedayu dan Kiai Gringsing dengan tatapan wajah yang penuh keragu-raguan.

Kiai Gringsing pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku dan Agung Sedayu akan menunggu di pintu butulan.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Namun, ketika Agung Sedayu dan Kiai Gringsing melangkah keluar, maka ia pun segera menutup pintu biliknya.

Pandan Wangi tidak memerlukan waktu terlalu lama. Sebentar kemudian ia sudah membuka pintu biliknya kembali. Namun ketika ia melangkah keluar, maka ia sudah mengenakan pakaian khususnya dan pedang di lambung.

Dengan hati-hati Pandan Wangi memasuki bilik Sekar Mirah yang memang tidak diselarak. Di atas tikar yang terbentang di lantai, seorang perempuan tidur dengan nyenyaknya, menunggui Sekar Mirah yang kadang-kadang masih gelisah. Tetapi Sekar Mirah sudah tidak mau lagi ditunggui oleh Pandan Wangi, seperti pada malam-malam ia ditinggalkan oleh gurunya.

Pandan Wangi tidak mengusik perempuan itu. Perempuan itu tentu tidak mempunyai kemampuan apa pun juga untuk melawan sirep yang tajam. Karena itu, ia tidak menghiraukannya sama sekali.

Perlahan-lahan Pandan Wangi duduk di pembaringan Sekar Mirah. Kemudian disentuhnya ujung ibu jari kakinya dengan sentuhan khusus.

Sentuhan itu telah membangunkan Sekar Mirah. Tetapi seperti yang lain, maka Sekar Mirah seakan-akan tidak berhasil menguasai perasaannya. Matanya seakan-akan sama sekali tidak mau terbuka.

“Sekar Mirah,” desis Pandan Wangi.

Sekar Mirah bergeser. Tetapi ia masih saja memejamkan matanya.

Sekali lagi Pandan Wangi menyentuh Sekar Mirah. Tidak lagi di ibu jari kakinya, tetapi pada pergelangan tangannya.

Sekar Mirah membuka matanya. Dengan setengah sadar ia melihat Pandan Wangi tersenyum memandanginya.

“Bangunlah, Mirah,” desis Pandan Wangi.

“O,” Sekar Mirah berdesis, “apakah sudah pagi?”

Pandan Wangi menggeleng. Jawabnya, “Masih jauh malam. Tetapi ada sesuatu yang memaksa kita bangun malam ini.”

Jawaban Pandan Wangi menarik perhatian Sekar Mirah. Meskipun sambil memaksa diri ia bangkit dan duduk di samping Pandan Wangi.

Namun ketika tangannya menyentuh hulu pedang Pandan Wangi, ia terkejut. Setapak ia bergeser sambil mengamati Pandan Wangi dalam pakaian khususnya.

“Kenapa kau?” Sekar Mirah bertanya.

Tetapi ia menjadi agak tenang ketika ia masih melihat Pandan Wangi tersenyum.

“Sekar Mirah,” berkata Pandan Wangi sareh, “cobalah kau mengamati perasaan kantukmu yang tidak wajar. Kita semua telah terbius oleh perasaan kantuk dari kekuatan ilmu sirep.”

“He?” sekali lagi Sekar Mirah terkejut. Namun justru karena hentakan-hentakan itulah, maka kantuknya sudah mulai berkurang.

“Cobalah pertahankan dirimu,” berkata Pandan Wangi kemudian.

Sekar Mirah adalah gadis yang memiliki kelebihan dari gadis-gadis kebanyakan. Karena itulah, maka ia pun kemudian mencoba untuk melawan pengaruh ilmu yang dibaurkan di atas Kademangan Sangkal Putung itu.

“Mirah,” berkata Pandan Wangi kemudian, “bersiap-siaplah. Meskipun barangkali tidak akan terjadi apa-apa di Kademangan ini, namun bahwa seseorang telah menyebarkan ilmu sirep ini, agaknya telah memaksa kita untuk berhati-hati.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Ia pun kemudian berdiri, menutup dan menyelarak pintu biliknya. Dengan cepat ia mengenakan pakaian seperti yang dipakai oleh Pandan Wangi.

“Aku sudah siap,” berkata Sekar Mirah, “apakah kita akan keluar ke pendapa?”

“Kiai Gringsing dan Agung Sedayu ada di butulan. Kakang Swandaru telah membangunkan Ki Demang. Mungkin mereka berada di ruang dalam sekarang.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sambil mengambil senjatanya, yang diterimanya dari gurunya, ia berkata, “Marilah. Biarlah bibi tidur nyenyak di bilik ini sendiri.”

Keduanya pun kemudian keluar dari dalam bilik. Mereka menemui Kiai Gringsing dan Agung Sedayu di ruang dalam di muka pintu butulan bersama Ki Demang dan Swandaru.

“Apakah yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya Ki Demang.

“Sebaiknya Ki Demang, Pandan Wangi dan Sekar Mirah berada di ruang dalam. Biarlah kami melihat-lihat di halaman,” jawab Kiai Gringsing.

“Bagaimana dengan Ki Waskita dan Ki Widura?” bertanya Ki Demang.

“Mereka duduk di serambi gandok. Mereka sudah menyadari, bahwa ada pengaruh sirep sekarang ini. Para pengawal nampaknya telah terkena pengaruhnya. Salah seorang telah berusaha melawannya dengan berbagai cara,” sahut Agung Sedayu, “tetapi ketika mereka menemui aku, mereka belum tahu, bahwa mereka telah tersentuh pengaruh ilmu sirep.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Kemudian jawabnya, “Baiklah. Kami akan berada di ruang dalam.”

“Sediakan alat isyarat. Mungkin kita memerlukannya. Jika ada satu dua orang yang terlepas dari pengaruh ini, mereka akan mendengar jika isyarat itu kita bunyikan,” berkata Swandaru.

“Tetapi sirep ini terlalu kuat. Mungkin para pengawal di seluruh Kademangan, setidak-tidaknya seluruh padukuhan induk ini sudah tertidur.”

Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tentu tidak. Betapapun kuatnya pengaruh sirep, tetapi sirep tidak akan dapat mencengkam daerah seluas itu. Seluas padukuhan induk.”

Sekar Mirah memandang Kiai Gringsing dengan bimbang. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk. Ia percaya, bahwa Kiai Gringsing tentu memiliki pengamatan yang lebih jelas dari orang lain.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Karena itu, jika kau membunyikan kentongan, maka para pengawal di gardu-gardu di ujung padukuhan tentu dapat mendengarnya.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Dan ia pun kemudian menutup pintu butulan, ketika Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru keluar menuju ke serambi gandok.

“Jangan tertidur lagi,” desis Ki Demang.

“Aku sudah tidak merasa kantuk lagi, Ayah,” sahut Sekar Mirah.

“Bagus. Duduklah di ruang tengah. Aku akan melihat-lihat ruang depan.”

“Apakah Ayah akan ke pendapa?” bertanya Sekar Mirah.

“Tidak. Aku akan tetap berada di dalam rumah.”

Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun kemudian duduk di ruang dalam. Dengan kekuatan dan ketahanan mereka, kedua perempuan itu melawan perasaan kantuk yang rasa-rasanya masih saja menyentuhnya.

Untuk melepaskan diri dari ketegangan, maka Pandan Wangi pun kemudian berjalan di seputar ruang dalam dan ruang belakang. Ia melihat-lihat pintu-pintu yang masih tertutup, apakah selaraknya telah terpasang. Ia menyadari bahwa pintu butulan tentu tidak diselarak saat Agung Sedayu dan Kiai Gringsing memasuki rumah itu dari longkangan, karena biasanya anak-anak muda yang berada di longkangan masih hilir mudik masuk keluar pintu, membenahi barang-barang dan alat-alat jamuan. Namun agaknya perempuan yang biasanya menutup pintu butulan itu telah tertidur di dapur, sebelum ia menyelarak pintu butulan itu.

Ketika terpandang olehnya dakon di sudut ruang belakang, maka dakon itu diambilnya dan kemudian dibawanya ke ruang dalam.

“Kita cegah kantuk kita dengan dakon,“ berkata Pandan Wangi.

Sekar Mirah pun mengangguk sambil menjawab, “Marilah. Setiap biji kekalahan, kita akan saling mencubit.”

“Ah, jari-jarimu seperti ujung tongkat besi bajamu. Siapa yang kalah sampai tiga kali berturut-turut, harus memijit yang menang.”

Sekar Mirah tersenyum. Ia tidak menjawab. Tetapi ia pun segera menempatkan diri.

Sejenak kemudian, kedua perempuan itu telah mulai bermain dakon. Nampaknya memang ganjil. Keduanya mengenakan pakaian yang khusus dengan senjata masing-masing. Namun keduanya masih juga sempat bermain dakon dengan kelungsu.

Di luar, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru telah berada di serambi gandok. Ki Waskita dan Ki Widura masih duduk di tempatnya, seolah-olah keduanya sama sekali tidak beringsut.

“Apakah kalian melihat sesuatu?” bertanya Kiai Gringsing.

Keduanya menggeleng. Sementara Ki Waskita menjawab, “Malam memang terlalu sepi. Sirep ini memang kuat sekali.”

“Aku akan melihat para pengawal di gardu-gardu itu,” gumam Swandaru.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Agung Sedayu, “Sertailah adikmu.”

Agung Sedayu mengangguk. Dan ia pun kemudian mengikuti Swandaru melintasi halaman, menuju ke gardu di depan regol.

Tetapi seperti yang mereka duga, para pengawal telah tertidur nyenyak. Seorang di antara mereka bersandar dinding dengan pedang telanjang di tangan. Agaknya ialah yang mendapat giliran berjaga-jaga. Tetapi matanya tidak mau dibukanya lagi. Sementara yang seorang lagi duduk di atas batu, bersandar sebatang pohon di sebelah gardu itu. Di tangannya masih tergenggam tangkai tombak, yang tersandar pula pada dinding gardu.

“Mereka bagaikan mati,” geram Swandaru.

“Kita akan mencoba membangunkan mereka,” berkata Agung Sedayu.

“Apakah mungkin? Memang mereka akan dapat terbangun, tetapi sejenak kemudian mereka akan tertidur lagi, karena mereka tidak mampu melawan kekuatan sirep yang keras ini.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian mendekati pengawal yang duduk di atas batu dan tidur bersandar sebatang pohon. Ia adalah anak muda yang telah berusaha untuk melawan perasaan kantuknya.

Dengan hati-hati Agung Sedayu mencoba mengguncang tubuh anak muda itu. Namun hampir saja anak muda itu justru jatuh terjerembab. Dan ketika ia berhasil memperbaiki duduknya, maka matanya telah terpejam lagi.

“Memang sulit,” desis Agung Sedayu.

“Jika demikian, kita harus berada di sini menggantikan mereka yang sedang meronda. Kita tidak dapat mengharapkan mereka lagi, karena mereka nampaknya tidak berdaya sama sekali,” berkata Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia berdesis, “Aku akan memberitahukan kepada Guru, bahwa aku akan berada di sini bersamamu.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia bukan seorang penakut, tetapi ia menyadari, bahwa tentu ada kekuatan yang luar biasa yang berada di padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Sehingga karena itulah, maka ia mencemaskan dirinya sendiri dan juga Agung Sedayu. Meskipun hanya melintasi halaman Kademangan, tetapi mungkin dapat terjadi sesuatu yang gawat.

Karena itu, maka katanya, “Marilah, kita pergi bersama-sama, kita harus berhati-hati menghadapi keadaan seperti ini.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadarinya pula. Maka jawabnya, “Baiklah. Setiap kemungkinan memang dapat terjadi.”

Demikianlah, kedua orang itu pun bersama-sama melintasi halaman sekali lagi, menuju ke serambi gandok, menemui orang-orang tua yang berada di serambi itu.

“Kami akan menggantikan para peronda,” berkata Swandaru.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi berhati-hatilah. Jangan tercengkam oleh pengaruh sirep yang kuat ini. Jika kalian tertidur pula, maka akan terjadi malapetaka atas kalian berdua.”

Swandaru mengangguk sambil menjawab, “Kami akan bertahan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian dilepasnya kedua muridnya itu pergi ke gardu untuk menggantikan para peronda, yang agaknya tidak segera dapat melakukan tugas mereka.

Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru tidak berada di dalam gardu. Mereka berdiri di sebelah menyebelah regol halaman bersandar dinding. Meskipun belum berada di dalam genggaman, namun mereka telah siap mengurai senjata masing-masing.

Sementara untuk memberikan kesan seolah-olah mereka adalah para peronda, maka di tangan kiri mereka tergenggam tangkai tombak panjang yang dipungutnya dari para peronda yang tertidur.

Sepeninggal kedua muridnya, maka Kiai Gringsing pun duduk pula bersama Ki Waskita dan Ki Widura. Dari serambi gandok, mereka dapat melihat sebagian besar dari halaman Kademangan. Jika seseorang melintas, maka mereka akan dapat mengetahuinya, sementara orang yang berada di halaman akan tidak mudah melihat mereka yang ada di serambi, jika lampu minyak di serambi itu dipadamkan.

Agaknya ketiga orang itu pun menganggap, bahwa lampu minyak tidak mereka perlukan lagi di serambi, sehingga Kiai Gringsing pun telah memadamkannya.

“Apakah kita akan tetap di sini?” bertanya Ki Waskita kemudian.

“Kita akan melihat-lihat berkeliling,” berkata Ki Widura.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun ia merasa perlu untuk tetap mengawasi halaman dan meskipun tidak begitu jelas, dari tempatnya ia dapat melihat ke regol halaman, yang diterangi oleh lampu obor yang samar-samar.

“Silahkan,” berkata Kiai Gringsing, “aku akan mengawasi keadaan dari tempat ini.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Kepada Ki Widura ia berkata, “Marilah, Ki Widura, kita menghirup udara segar di bawah pengaruh sirep ini. Mungkin ada sesuatu yang perlu kita lihat di belakang.”

Ki Widura pun kemudian berdiri pula, ketika Ki Waskita bangkit. Keduanya pun kemudian melangkah turun dari serambi, lewat longkangan langsung menuju ke halaman samping. Sementara Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya, di serambi yang gelap.

Di dalam rumah, di ruang tengah, Sekar Mirah dan Pandan Wangi masih asyik bermain dakon. Berganti-ganti mereka kalah dan menang. Demikian asyiknya, sehingga mereka tidak menyadari, bahwa waktu merangkak terus, menghunjam ke pusat malam yang sepi.

Sekar Mirah menjadi kesal ketika biji keciknya tertumpah dari genggaman, sehingga tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kita masih akan meneruskan permainan ini?”

Pandan Wangi tersenyum. Jawabnya, “Kali ini kau seharusnya kalah mutlak.”

“Belum tentu. Aku masih dapat berjalan beberapa langkah di lubang-lubang dakonmu. Satu pikulan akan membuat aku menutup kekalahanku.”

Pandan Wangi tertawa. Katanya, “Tidak mungkin. Kecikku sudah tidak banyak lagi.”

Sekar Mirah memberengut. Jawabnya, “Aku mau bermain terus. Tetapi diulang dari awal.”

Pandan Wangi tertawa semakin keras. Katanya, “Kau nakal sekali.”

Namun tiba-tiba keduanya bagaikan teringat sesuatu. Sekar Mirah memandang berkeliling sambil berdesis, “Dimana Ayah?”

“Ya. Dimana?” bertanya Pandan Wangi.

Keduanya termangu-mangu. Namun Sekar Mirah berkata, “Ayah mengelilingi setiap bilik di rumah ini.”

“Tetapi sudah cukup lama.”

“Ya. Seharusnya Ayah sudah berada di sini lagi sekarang. Atau barangkali Ayah memang sengaja berada di ruang depan, di belakang pringgitan, sehingga ia dapat mendengar apa yang terjadi di pendapa.”

“Marilah kita lihat,” tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis.

Keduanya pun kemudian berdiri. Dengan hati-hati mereka melangkah memasuki ruang di bagian depan. Tetapi mereka tidak menemukan Ki Demang di ruang itu.

“Apakah Ayah keluar menyusul Kiai Gringsing?” bertanya Sekar Mirah.

“Jika demikian, apakah kita akan mencarinya ke gandok?” sahut Pandan Wangi.

“Kita lihat dahulu setiap bilik. Jika Ayah keluar, ia tentu mengatakannya kepada kita.”

Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun segera melangkah memasuki setiap bilik di dalam rumah itu. Bilik-bilik yang pintunya terbuka atau tidak diselarak.

Di bilik Sekar Mirah, perempuan yang tertidur di atas tikar yang terbentang di lantai sejak Sekar Mirah dan Pandan Wangi meninggalkannya.

Kemudiaan mereka melihat bilik-bilik yang lain. Satu demi satu.

Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun, ketika mereka memasuki bilik kanan di ruang depan. Sejenak keduanya terhenti di pintu bilik. Mereka melihat Ki Demang terbaring di amben bambu di dalam bilik yang jarang dipergunakan itu.

“Ayah,” desis Sekar Mirah.

Pandan Wangi tertegun tegang. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Ki Demang diikuti oleh Sekar Mirah.

“Kenapa Ayah?” bertanya Sekar Mirah dengan suara bergetar.

“Nampaknya tidak apa-apa,” sahut Pandan Wangi, “pernafasannya berjalan teratur.”

Sekar Mirah tiba-tiba saja meloncat mendekat. Dirabanya tangannya yang hangat.

“Ayah tertidur,” desis Sekar Mirah, “ia tidak dapat melawan kekuatan sirep ini.”

Pandan Wangi termangu-mangu. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Ya. Ternyata sirep ini benar-benar kuat. Syukurlah jika Ki Demang tidak mengalami sesuatu.”

Sekar Mirah justru tertawa. Diguncangnya ayahnya sambil berkata, “Ayah. Apakah Ayah sudah tidak dapat mengatasi cengkaman sirep ini, he?”  

Perlahan-lahan Ki Demang membuka matanya. Tetapi setelah menggeliat ia pun memejamkan matanya lagi.

“Ayah, Ayah,” Sekar Mirah mengguncang tubuh ayahnya semakin keras.

Sekali lagi Ki Demang membuka matanya. “Ayah harus berusaha melawan sirep ini. Mungkin ada sesuatu yang akan terjadi di Kademangan ini.”

Ki Demang mendengar kata-kata anaknya itu. Karena itu, maka ia pun kemudian bangkit dan duduk di tepi amben.

“Ayah tertidur lagi.”

“Ya,” sahut Ki Demang, “aku tidak berhasil membebaskan diri.”

“Tentu Ayah akan berhasil, jika Ayah memusatkan kekuatan lahir dan batin. Cobalah, Ayah. Marilah, kita melihat-lihat segenap ruang di rumah ini. Mungkin dengan demikian, Ayah akan dapat mengatasi sirep yang tajam ini.”

Ki Demang memaksa dirinya untuk bangkit. Ia mencoba melawan pengaruh sirep itu dengan sekuat tenaga lahir dan batinnya. Dengan mengerahkan segenap tenaganya, ia melangkah menuju ke pintu. Namun, kadang-kadang rasa-rasanya matanya bagaikan tidak dapat dikuasainya sama sekali.

Tetapi lambat laun, Ki Demang berhasil berdiri tegak dan melangkah dengan tetap. Ia sudah mampu mengatasi kesulitan yang terbesar dan mengalahkan perasaan kantuknya.

“Ternyata aku menjadi lengah. Ketika aku melihat bilik-bilik dan semua pintu, tiba-tiba saja aku tidak dapat menahan keinginanku untuk sekedar berbaring. Tetapi ternyata aku menjadi tertidur dan tidak mengerti lagi apa yang terjadi,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi bukankah tidak ada sesuatu yang terjadi selama aku tertidur lagi?”

“Di dalam rumah ini tidak, Ayah. Tetapi entahlah di luar. Namun aku sama sekali tidak mendengar sesuatu, atau isyarat apa pun juga. Agaknya di luar pun tidak terjadi sesuatu.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Ia pun kemudian mengikuti kedua perempuan itu, mengelilingi setiap ruangan di dalam rumahnya dan melihat setiap pintu, apakah sudah diselarak.

Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Widura telah berada di halaman belakang. Mereka berhenti sejenak di sudut kandang. Tetapi mereka tidak mengejutkan kuda yang sedang berada di dalam kandang itu.

“Nampaknya memang terlalu sepi,” berkata Ki Widura.

“Perasaan kita agaknya telah terpengaruh oleh ilmu sirep yang tajam itu, Ki Widura. Mungkin biasanya di belakang rumah Ki Demang ini juga sesepi sekarang,” jawab Ki Waskita.

Ki Widura tersenyum. Dipandanginya lampu minyak di sudut belakang rumah Ki Demang, yang besar itu. Nyalanya yang berguncang-guncang ditiup angin, bagaikan gelisahnya hati orang-orang yang masih dapat bertahan dari pengaruh sirep yang tajam di rumah Ki Demang Sangkal Putung itu.

“Marilah,” berkata Ki Widura kemudian, “kita mengelilingi rumah ini.”

Ki Waskita mengangguk. Ia pun kemudian melangkah perlahan-lahan di samping Ki Widura.

Namun beberapa langkah kemudian, rasa-rasanya keduanya menjadi ragu-ragu untuk melangkah maju. Bahkan kemudian Ki Waskita berbisik, “Kita berhenti sejenak, Ki Widura. Mungkin lebih baik kita berdiri di sebelah anjang-anjang batang suruh yang rimbun itu.”

Ki Widura tidak menyahut. Ia pun merasakan sesuatu yang kurang wajar. Seolah-olah telinganya mendengar sesuatu yang tidak dapat disebutnya.

Keduanya pun kemudian bergeser ke belakang anjang-anjang pohon suruh yang merambat dengan rimbunnya, sehingga keduanya berdiri di antara anjang-anjang dan dinding belakang rumah Ki Demang.

“Aku tidak tahu pasti, apakah perasaanku benar, Ki Widura,” berkata Ki Waskita.

“Aku juga merasakan sesuatu. Tetapi aku tidak dapat menduga, apakah karena kesadaran kita bahwa sirep ini tentu telah dilontarkan oleh seseorang atau lebih, sehingga setiap sentuhan pada perasaan kita, kita rasakan seolah-olah seseorang tengah mengintip kita dan siap untuk menyerang,” berkata Ki Widura.

“Mungkin. Tetapi mungkin pula kita benar-benar diintai oleh seseorang atau bahkan dua tiga orang.”

Ki Widura termangu-mangu. Sejenak ia membayangkan lingkungan Kademangan Sangkal Putung. Di serambi gandok ada Kiai Gringsing. Di regol Swandaru dan Agung Sedayu berjaga-jaga, sedang di dalam rumah tentu Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Hampir di luar sadarnya ia menarik nafas sambil berdesis, “Kita sudah bersiaga sepenuhnya. Mudah-mudahan kita tidak lengah. Jika benar seseorang atau segerombolan orang bermaksud jahat, maka mereka datang dalam gelar yang berbeda. Mereka tidak menyerang dengan pasukan yang besar, bahkan segelar sepapan. Tetapi mereka tentu hanya beberapa orang pilihan.”

Ki Waskita menganggu-angguk. Ia sadar, bahwa peristiwa kematian dua orang bersaudara dari Pesisir Endut tentu tidak begitu saja dapat dilupakan. Meskipun yang melakukan adalah Pangeran Benawa, namun dendam sanak kadangnya akan dapat tertuju kepada orang-orang Sangkal Putung.

Dengan ragu-ragu, Ki Waskita pun menyahut, “Ki Widura. Nampaknya kali ini kita berhadapan dengan sebuah perguruan yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka datang ke Sangkal Putung dengan caranya sendiri.”

“Justru karena itu, kita harus berhati-hati,” sahut Ki Widura.

Keduanya terdiam sejenak. Mereka mencoba untuk mengetahui keadaan di halaman belakang rumah Ki Demang Sangkal Putung. Namun terasa kesepian masih saja mencengkam.

Tetapi kedua orang itu tidak segera pergi dari balik lindungan anjang-anjang batang suruh yang rimbun. Untuk beberapa saat mereka masih saja menunggu. Bahkan keduanya pun kemudian duduk di bebatur batu.

Di regol depan, Agung Sedayu dan Swandaru merasakan sentuhan-sentuhan perasaan yang sama. Bahkan Agung Sedayu mulai dibayangi lagi oleh kecemasan, bahwa ia akan menjadi sumber dari kegelisahan yang dapat terjadi di Sangkal Putung.

Meskipun demikian, ia masih tetap manahan diri. Ia menunggu perkembangan keadaan lebih lanjut.

Swandaru yang gelisah, semakin lama menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian ia mendekati Agung Sedayu sambil berbisik, “Kita tidak dapat menunggu dalam kegelisahan. Kita harus berbuat sesuatu.”

“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Agung Sedayu.

“Kita mencari mereka yang menyebarkan sirep ini. Jika kita menemukan sumbernya, maka kita akan dapat menghentikan ilmu terkutuk yang licik ini,” Sahut Swandaru.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya lagi, “Kemana kita mencarinya? Aku pun mengerti, bahwa mereka yang menyebarkan sirep ini tentu berada di tempat yang tidak jauh. Namun, apakah kepergian kita tidak merupakan kesempatan bagi mereka untuk memasuki halaman rumah ini, karena kita tidak tahu berapakah jumlah mereka.”

Swandaru termangu-mangu. Betapapun kemarahan telah mencengkam jantungnya, namun ia tidak dapat meninggalkan rumahnya. Ia mengerti kecemasan seperti yang dirasakan oleh Agung Sedayu. Meskipun di rumah itu masih ada beberapa orang yang dapat dipercaya, tetapi jumlah orang yang belum nampak itu masih belum diketahui.”

Namun dalam pada itu, getar naluriah pada kedua anak muda itu telah membuat mereka semakin berhati-hati. Di luar sadar, keduanya bergeser mendekati gardu dan bahkan kemudian keduanya berada di depan gardu yang sepi, karena para pengawal masih tetap tertidur nyenyak.

“Ada sesuatu yang harus kita perhatikan lebih dari sirep ini sendiri,” desis Agung Sedayu.

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

Dalam saat-saat yang tegang itu, Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya. Ia memperhatikan halaman yang remang-remang di gelapnya malam. Cahaya lampu di pendapa dan di regol menggapai dengan lemahnya dedaunan yang berada di halaman.

Namun, tiba-tiba orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berdiri. Di dalam keremangan malam ia melihat bayangan yang bergerak di atas dinding halaman.

“Hem,” desis Kiai Gringsing, “akhirnya mereka datang.”

Namun Kiai Gringsing masih tetap di tempatnya. Ia masih menunggu perkembangan seterusnya, karena ia yakin bahwa orang yang datang itu tentu tidak hanya sendiri.

Di luar sadarnya ia memandang ke regol halaman.

Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru tidak dilihatnya lagi, karena keduanya telah berada di gardu, sementara Ki Waskita dan Ki Widura berada di belakang rumah.

Seperti yang diduga oleh Kiai Gringsing, maka bayangan di atas dinding halaman itu pun telah bertambah lagi.

“Tiga orang. Tentu masih ada yang lain,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Namun selagi ia termangu-mangu, maka ia melihat ketiga orang di atas dinding itu telah meloncat ke halaman. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu. Namun, kemudian salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berkata dengan suara lantang, “He orang-orang Sangkal Putung. Aku tahu bahwa ada beberapa orang di antara kalian yang ternyata berhasil lolos dari cengkaman sirepku yang tajam. Tentu kalian adalah orang-orang yang luar biasa. Namun demikian, kalian tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku.”

Suara itu bagaikan bergema melingkar-lingkar di atas rumah Ki Demang Sangkal Putung yang sepi.

Kiai Gringsing masih berdiri di tempatnya. Ia tidak segera turun ke halaman. Sejenak ia masih harus menilai keadaan.

Yang tidak sabar adalah Swandaru. Ia pun mendengar suara itu. Karena itu, dengan sekali loncat ia sudah berdiri di regol halaman rumahnya.

“Siapa kau?” terdengar suara Swandaru tidak kalah lantangnya.

Orang yang berdiri di halaman itu berpaling. Mereka melihat Swandaru berdiri bertolak pinggang di regol halaman, yang kemudian diikuti Agung Sedayu yang dengan gelisah berdiri di sebelahnya.

“Kau salah seorang yang lepas dari pengaruh sirep. Siapa kau, he?” Orang itu justru bertanya.

Swandaru sudah mulai tersinggung. Dengan keras ia menjawab, “Aku yang bertanya. Bukan kau.”

Orang yang berdiri di halaman itu termangu-mangu.

Namun, kemudian terdengar suara tertawanya berkepanjangan, “Kau jangan sombong anak muda yang gemuk. Kau jangan menganggap aku seperti anak-anak muda di kademangan. Meskipun kau lolos dari sirepku, tetapi lebih baik kau bersikap lain dari sikap sombongmu itu.”

Swandaru menjadi semakin tegang. Dengan geram ia menjawab, “Jangan pedulikan apakah aku bersikap sombong atau tidak. Tetapi jawab pertanyaanku. Siapa kalian bertiga?”

Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun sekali lagi terdengar suara tertawa mereka meledak.

“Anak itu memang luar biasa,” desis salah seorang dari mereka, “ia berhasil lolos dari ilmu sirepku. Tetapi sayang, ia terlalu bodoh untuk menilai dirinya.”

“Ia memang perlu dikasihani,” sahut yang lain, “aku senang kepada anak muda itu. Karena itu, aku manfaatkan kesombongannya.”

“Gila!” Swandaru berteriak, “Kalian telah menghina aku.”

Swandaru benar-benar telah kehilangan kesabaran. Tetapi sebelum ia melangkah maju. Agung Sedayu telah mendahuluinya sambil berkata, “Selamat datang, Ki Sanak. Apakah kalian juga senang melihat aku?”

Kata-kata Agung Sedayu justru mengejutkan ketiga orang itu. Nadanya yang dalam seolah-olah telah melontarkan getaran kebesaran dirinya. Meskipun Agung Sedayu tidak membentak-bentak seperti Swandaru, namun ketiga orang itu menganggap, bahwa Agung Sedayu justru lebih berbahaya dari Swandaru.

Karena itu, salah seorang dari ketiga orang itu menjawab dengan nada yang dalam pula, “He, anak muda. Kalian berdua benar-benar mengherankan. Agaknya kalian memang orang-orang yang telah ditempa oleh ilmu yang dahsyat. Di Sangkal Putung ada seorang anak muda yang telah menggemparkan kalangan orang-orang berilmu. Apakah ia berilmu kanuragan maupun kajiwan. Anak muda itu telah melakukan pembunuhan tanpa berperikemanusiaan. Sejak sebelum peristiwa di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Kemudian pada peristiwa itu sendiri. Disusul dengan pembunuhan yang benar-benar mengerikan di Mataram, karena korbannya telah dicincangnya sampai lumat.”

“Tetapi justru yang terakhir, di Sangkal Putung, yang melakukan adalah orang lain. Pangeran Benawa,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Namun bagaimanapun juga, sumber dari segala bencana bagi perguruanku adalah anak muda yang bernama Agung Sedayu. He, apakah salah seorang dari kalian berdua bernama Agung Sedayu?”

Dada Agung Sedayu terasa menjadi sesak. Peristiwa demi peristiwa telah terjadi. Dan nampaknya semuanya telah berkisar pada dirinya. Seakan-akan ia telah terperosok pada sebuah lingkaran. Kemana pun ia berjalan, ia tidak akan menemukan ujung atau pangkal dari peristiwa-peristiwa yang susul menyusul.

Namun dalam pada itu, ternyata keributan yang terjadi di halaman dengan kata-kata yang diucapkan keras-keras, bahkan dengan teriakan-teriakan yang lantang itu telah terdengar dari dalam dan belakang rumah Ki Demang Sangkal Putung.

Karena itulah, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun dengan tergesa-gesa telah pergi ke ruang depan. Namun mereka masih belum membuka pintu, yang memisahkan ruangan itu dengan pringgitan dan pendapa. Mereka masih berdiri di balik pintu yang tertutup, meskipun mereka berusaha untuk mendengar setiap perkataan yang terlontar dari pihak yang manapun juga.

“Mereka mencari kakang Agung Sedayu,” desis Sekar Mirah.

Pandan Wangi mengangguk. Katanya, “Dimanapun, Agung Sedayu selalu dicari.”

“Itu adalah justru akibat dari keragu-raguannya. Jika ia berbuat dengan tegas tanpa seribu pertimbangan, maka ia justru akan terlepas dari lingkaran yang membelenggunya.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengerti pendapat Sekar Mirah, karena jika Agung Sedayu berbuat lebih banyak dengan menjatuhkan korban berlipat, maka dendam yang tertuju kepadanya pun akan berlipat.

Tetapi Pandan Wangi tidak mengatakannya.

Sementara itu, Ki Waskita dan Ki Widura nampaknya telah mengambil sikap tersendiri. Dengan hati-hati mereka bergeser ke sudut bagian depan rumah. Dari kegelapan mereka melihat yang terjadi di halaman. Namun mereka tidak melihat Kiai Gringsing turun dan berbuat sesuatu.

“Kita keluar halaman,” desis Ki Waskita.

Ki Widura tidak menyahut. Tetapi ia mengerti maksud Ki Waskita. Mereka tidak akan langsung berhadapan dengan orang-orang yang ada di halaman, tetapi mereka ingin melihat, apakah ketiga orang itu tidak membawa pasukan yang membahayakan.

“Jika mereka membawa pasukan yang menyusup masuk padukuhan induk, maka kita harus segera membunyikan isyarat. Betapapun kuat ilmu sirep, namun dalam pemusatan kekuatan dan kemampuan di pertempuran, maka kekuatan itu akan dapat dengan sendirinya diatasi. Apalagi seandainya pengaruhnya begitu kuat, maka pihak lawan pun akan terpengaruh juga oleh kekuatan itu.” berkata Ki Waskita.

Ki Widura tidak menjawab. Tetapi mereka dengan sangat hati-hati beringsut dari tempatnya. Dalam bayangan rimbunnya dedaunan, maka mereka pun meloncati dinding halaman samping, justru keluar halaman.

Dengan sangat hati-hati keduanya menyusuri gelapnya malam. Dengan ketajaman indra, keduanya mencoba untuk mengetahui, apakah ada orang lain yang mengepung Kademangan.

“Nampaknya tidak ada,” desis Ki Widura.

“Tidak ada pasukan. Tetapi mungkin satu dua orang,” sahut Ki Waskita.

“Jika ada, mereka tentu mendekati halaman depan atau bahkan pintu gerbang. Jika Swandaru dan Agung Sedayu lengah, mungkin mereka dapat di sergap dari belakang, dari luar regol halaman,” desis Ki Widura.

Keduanya pun bergeser lagi. Mereka mencoba mendekati regol halaman, karena mereka mencemaskan Swandaru dan Agung Sedayu, yang perhatiannya tertumpah kepada ketiga orang yang berdiri di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung.

Dengan hati-hati mereka merayap di antara semak-semak di kebun tetangga. Satu dua langkah mereka bergeser maju.

Ki Waskita pun kemudian menggamit Ki Widura, ketika mereka menjenguk halaman rumah di sebelah rumah Ki Demang. Dalam keremangan malam dan cahaya obor di kejauhan, mereka melihat di dalam regol rumah, dua orang yang sedang menunggu.

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya kedua orang itu sedang mengikuti peristiwa yang terjadi di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung dengan saksama, sehingga dengan demikian, maka keduanya tidak mengetahui kehadiran Ki Waskita dan Ki Widura yang menjadi semakin dekat.

Ki Waskita dan Ki Widura bergeser semakin dekat di sepanjang dinding penyekat halaman, di rumah sebelah itu. Dinding yang membatasi longkangan dan halaman di belakang gandok dengan halaman depan, sehingga dengan demikian, mereka dapat mencapai jarak yang lebih dekat.

Dari balik dinding itu, Ki Waskita mendengar salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Nah, dengarlah pengakuan anak muda itu.”

Ki Waskita dan Ki Widura mengerutkan keningnya. Dan mereka pun mencoba mendengarkan apa yang sedang diucapkan oleh seseorang di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung.

“Ki Sanak. Aku kira pandanganmu terhadap sikap anak muda, yang kau sebut bernama Agung Sedayu, itu tidak tepat. Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk membunuh siapapun juga. Tetapi jika itu terjadi, apalagi di peperangan, maka itu adalah di luar kuasanya, karena betapapun juga ia lebih menghargai hidupnya sendiri seperti yang dilakukan oleh setiap orang. Kalau di dalam sikap mempertahankan diri ia harus membunuh, maka hal itu juga merupakan beban yang memberati perasaannya.”

“Omong kosong. Sebutkan. Siapa Agung Sedayu. Apakah kau atau siapa?” terdengar seseorang bertanya.

“Akulah Agung Sedayu.”

Terdengar suara tertawa bagaikan membelah langit. Nampaknya orang itu sama sekali tidak menghiraukan apakah ada orang yang dapat mendengar suaranya atau tidak. Namun mungkin pula ia menganggap, bahwa orang-orang di Sangkal Putung telah tertidur nyenyak, sehingga tidak akan ada seorang pun yang dapat mendengar suara tertawanya.

Dalam pada itu, kedua orang di halaman rumah sebelah itu pun menjadi tegang. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku sebenarnya tidak sependapat dengan cara yang diambilnya.”

Yang lain menjawab, “Ia terlalu yakin akan dirinya. Tetapi aku pun yakin pula. Seandainya kedua bersaudara dari Pesisir Endut itu tidak sedang bernasib malang, sehingga mereka bertemu dengan Pangeran Benawa, maka keduanya agaknya akan berhasil membunuh Agung Sedayu dengan bantuan seorang saudara seperguruannya. Sedangkan orang itu merasa dirinya memiliki kemampuan lebih besar dari tiga orang yang sudah bersiap-siap membunuh Agung Sedayu itu.”

Sejenak keduanya terdiam.

Namun, dengan demikian Ki Waskita dan Ki Widura dapat menjajagi apa yang sebenarnya sedang terjadi atas Agung Sedayu di halaman rumah Ki Demang.

Dengan demikian, maka Ki Waskita tidak menunggu lebih lama lagi. Jika akan terjadi sesuatu, biarlah segera terjadi.

Sambil menggamit Ki Widura, maka ia pun segera berdiri tegak. Sambil terbatuk-batuk kecil ia pun kemudian dengan sengaja menampakkan dirinya kepada kedua orang yang sedang memperhatikan peristiwa di halaman rumah Ki Demang itu.

Ternyata sikap Ki Waskita telah mengejutkan kedua orang itu. Dengan serta merta keduanya berbalik dan bersikap menghadapi segala kemungkinan.

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Maaf jika aku telah mengejutkan kalian.”

“Siapa kau?” bertanya salah seorang dari keduanya.

Ki Waskita pun kemudian meloncati dinding penyekat, diikuti oleh Ki Widura. Dengan suara dalam Ki Waskita menjawab, “Marilah. Kami mempersilahkan kalian masuk ke halaman. Agaknya lebih baik jika kita berkumpul bersama kawan-kawanmu. Atau mungkin masih ada kawanmu yang lain di sekitar Kademangan ini?”

Kata-kata Ki Waskita telah mendebarkan jantung kedua orang itu. Salah seorang dari mereka bertanya, “Siapa kau?”

“Aku pengawal Kademangan ini. Aku sedang meronda, ketika aku melihat kalian. Dan ternyata ada tiga orang kawan kalian di halaman itu.”

Jawab Ki Waskita semakin membuat kedua orang itu tegang. Ternyata masih ada orang lain yang tidak dikuasai oleh ilmu sirep yang tajam itu.

“Kenapa kau menjadi bingung?” bertanya Ki Waskita, “Bukankah di setiap Kademangan ada beberapa orang pengawal yang meronda?”

Kedua orang itu tidak dapat menahan dirinya lagi. Salah seorang dari keduanya bertanya, “Kalian berdua dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?”

“Ya,” jawab Ki Widura, “beberapa orang kawanku telah tertidur nyenyak. Tetapi kami berdua-lah yang memang mendapat giliran saat ini, selain Agung Sedayu dan Swandaru di halaman itu.”

Kedua orang itu menjadi semakin tegang, sementara Ki Widura meneruskan kata-katanya, “Marilah. Lebih baik kita berkumpul. Dengan demikian, kita akan dapat memecahkan persoalan kita dengan baik.”

“Persetan!” geram salah seorang dari kedua orang itu, “Mungkin kau mempunyai ilmu yang dapat bertahan atas kekuatan sirep. Tetapi pengawal kademangan yang betapapun tinggi kemampuannya, namun ia tidak akan dapat berbuat banyak.”

“Mungkin, tetapi kami hanya mempersilahkan kalian memasuki halaman. Lihatlah, perhatian mereka yang berada di halaman rumah Ki Demang kini telah tertuju kepada kita. Pembicaraan mereka justru terhenti.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika mereka melihat ke halaman rumah Ki Demang, seperti yang dikatakan oleh kedua orang yang mengaku sebagai pengawal Kademangan itu, bahwa orang-orang yang berada di halaman justru sedang memperhatikan mereka.

“Baiklah,” kata Ki Widura kemudian, “lebih baik kita memasuki halaman dan berbicara di antara kita semuanya.”

Nampaknya memang tidak ada pilihan lain. Karena itu, maka salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Kita akan memasuki halaman itu. Tetapi itu karena kami memang berniat untuk mendekati kawan-kawan kami, bukan karena kami mematuhi perintah kalian berdua.”

“Silahkan,” Ki Waskita-lah yang menyahut, “apa pun yang memaksa kalian memasuki halaman, namun itu akan lebih baik bagi kita semuanya.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun segera meloncati dinding halaman rumah Ki Demang dan melangkah mendekati kawan-kawan mereka.

“Setan itu juga lepas dari pengaruh sirep,” berkata salah seorang dari keduanya.

“Siapakah mereka?” bertanya orang yang sedang berbicara dengan Agung Sedayu.

“Mereka mengaku sebagai pengawal padukuhan ini.”

Orang-orang yang berada di halaman itu memperhatikan Ki Waskita dan Ki Widura, yang menyusul melompati dinding halaman itu pula.

“Bohong,” desis orang yang berbicara dengan Agung Sedayu, “biasanya pengawal-pengawal kademangan masih muda.”

“Ya,” sahut Ki Waskita, “tetapi tentu ada di antara mereka yang setua kami. Kami adalah orang-orang yang memberikan pengarahan kepada mereka, membantu Ki Jagabaya.”

Orang yang nampaknya memimpin kawan-kawannya dan yang paling berkepentingan dengan Agung Sedayu itu pun berkata, “Baiklah. Marilah kita berkumpul. Jika masih ada orang yang tidak dapat dikenai oleh pengaruh sirep ini, panggillah mereka, agar mereka melihat apa yang sebenarnya ingin aku lakukan di sini.”

Ki Waskita termangu-mangu. Orang itu nampaknya memiliki keyakinan akan dirinya sendiri. Dengan suara yang datar Ki Waskita bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian? Dan kenapa kalian mencari Agung Sedayu di halaman Kademangan Sangkal Putung ini?”

Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Baiklah, aku tidak bersembunyi di balik nama siapapun juga. Aku adalah saudara tua dari dua orang bersaudara yang terbunuh di Kademangan ini.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Aku sudah menduga, bahwa kau mempunyai hubungan dengan dua bersaudara dari Pesisir Endut itu. Tetapi apakah kau mengetahui, siapakah yang telah membunuh saudaramu itu?”

“Aku tahu pasti. Yang membunuh mereka adalah Pangeran Benawa. Tetapi itu adalah kebetulan. Kedatangan kedua adikku kemari adalah karena Agung Sedayu.”

Agung Sedayu justru terdiam. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Ia merasa betapa pahitnya menghadapi keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya itu.

Di dalam rumah, Sekar Mirah dan Pandan Wangi dapat mendengarkan pembicaraan itu. Hampir saja Sekar Mirah tidak dapat menahan diri. Ia menjadi marah justru karena Agung Sedayu-lah yang menjadi sasaran dendam orang itu.

Namun, Pandan Wangi sempat menggamitnya dan memberikan isyarat, agar ia menunggu perkembangan seterusnya.

“Aku belum mendengar suara Kiai Gringsing,” bisik Sekar Mirah.

“Ya. Karena itu, kita menunggu perkembangan keadaan,” sahut Pandan Wangi.

Sekar Mirah terpaksa menahan dirinya, betapa dadanya serasa menjadi retak.

Dalam pada itu, di halaman terdengar Ki Waskita bertanya, “Ki Sanak. Apakah untungnya kau datang untuk menuntut balas, justru kepada Agung Sedayu? Kenapa kau tidak bertanya tentang adikmu yang terbunuh oleh Pangeran Benawa itu, kenapa mereka telah datang kemari karena Agung Sedayu?”

“Itu bukan persoalanku. Tetapi adikku mempunyai persoalan yang belum terselesaikan dengan Agung Sedayu. Kemudian baru aku akan membuat perhitungan dengan Pangeran Benawa, ia-lah yang langsung membunuh kedua adikku dengan tangannya. Tetapi mencari Pangeran Benawa agaknya lebih sulit daripada mencarimu di sini. Karena itu, kau adalah orang yang pertama-tama harus menerima dendam yang membakar jantung ini.”

Agung Sedayu menjadi semakin gelisah. Sementara itu Ki Widura bertanya, “Jadi, apakah maksudmu datang kemari dengan menyebarkan ilmu sirep itu, untuk dengan diam-diam membunuh Agung Sedayu yang kau sangka terkena pengaruh sirepmu?”

“Gila. Aku bukan pengecut. Jika aku menyebarkan pengaruh sirep, semata-mata karena aku tidak ingin diganggu. Aku ingin bertemu langsung dengan Agung Sedayu dan membuat perhitungan secara jantan. Aku bukan orang yang datang untuk kepentingan orang lain. Tetapi semata-mata karena dendam di hati.”

“Bagus,” Ki Waskita mengangguk-angguk, “tetapi nampaknya kau mempunyai kelainan dengan kedua adikmu. Apakah kau tahu, kenapa adikmu datang dan akan membunuh Agung Sedayu? Seharusnya kau menelusuri sikap kedua adikmu dari Pesisir Endut itu.”

“Persetan, aku tidak peduli. Sekarang, marilah Agung Sedayu. Kita selesaikan persoalan kita. Aku tidak akan menyentuh orang lain di sini. Juga seandainya Agung Sedayu sudah mati. Karena sesudah Agung Sedayu, persoalanku akan menyangkut Pangeran Benawa.”

“Jadi kau benar-benar akan membela adikmu? Baiklah,” berkata Ki Waskita, “tetapi sebaiknya kau mendengar dahulu dari salah seorang dari kedua orang yang berada di halaman sebelah, kenapa kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itu datang kemari?”

Orang yang sedang dicengkam oleh dendam itu menggeram. Dengan kasar ia berkata, “Aku tahu apa yang akan mereka katakan. Aku memang datang bersama mereka.”

“Tetapi mereka tentu belum mengatakan, bahwa kedua adikmu itu datang untuk membunuh Agung Sedayu bukan karena persoalan pokok di antara kedua adikmu dengan Agung Sedayu. Kedua adikmu itu tentu sudah dibujuk dengan harapan apa pun juga. Mungkin upah yang besar, mungkin pangkat atau kedudukan, dan mungkin janji-janji lain yang membuat kedua adikmu itu menjadi lupa diri dan bersedia melakukan perbuatan yang rendah itu,” berkata Ki Waskita.

Tetapi jawaban orang itu mengejutkan Ki Waskita. Katanya, “Aku sudah tahu. Adikku akan mendapat upah sebidang tanah yang luas untuk sebuah tanah perdikan di dalam kekuasaan Majapahit yang baru. Juga akan mendapat upah beberapa keping emas sebagai modal pemerintahannya di Tanah Perdikannya.”

Sejenak Ki Waskita termangu-mangu. Namun kemudian Ki Widura-lah yang bertanya, “Dan apakah upah yang akan kau terima, jika kau berhasil mengambil alih tugas adik-adikmu yang terbunuh oleh Pengeran Benawa itu?”

“Persetan. Aku tidak memerlukan upah apa pun juga, selain kepuasan. Aku tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian itu,” geram orang yang dibakar oleh dendam.

“Aneh,” desis Ki Waskita kemudian, “seandainya benar kau tidak mempunyai pamrih, maka kau adalah seorang kakak yang buruk. Kau tidak mencegah tindakan adik-adikmu yang sesat. Tetapi justru kau sekarang telah ditelan oleh dendam dan kebencian, yang sebenarnya tidak perlu kau sadap dari kerendahan budi kedua adikmu itu.”

“Cukup! Aku tidak datang untuk berguru. Aku tantang Agung Sedayu untuk berperang tanding. Aku tidak akan berlaku seperti adik-adikku yang mengotori nama perguruan karena tingkahnya yang licik, yang justru telah menyeretnya ke kematian.”

Agung Sedayu yang termangu-mangu itu pun kemudian melangkah maju. Dengan suara yang dalam ia bertanya, “Tetapi kau belum menjawab. Siapakah kau? Kami baru mengenal kau sebagai kakak dua bersaudara dari Pesisir Endut. Tetapi kami ingin juga mendengar namamu kau sebut. Kemudian kawan-kawanmu yang lain. Bahkan mungkin masih ada kawan-kawanmu yang berada di luar dinding halaman ini.”

“Yang penting adalah aku dan kau, Agung Sedayu,” berkata orang itu, “ada atau tidak ada orang lain, perang tanding ini akan berlangsung. Jika aku datang bersama beberapa orang, mereka adalah sekedar saksi. Aku atau kau yang akan mati kali ini. Jika kau yang mati, maka tugasku seterusnya adalah membunuh Pangeran Benawa.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu tidak dapat diajak berunding lagi. Matanya telah benar-benar tertutup oleh dendam dan kebencian, sehingga hatinya tidak dapat lagi berpikir bening.

Swandaru yang melihat Agung Sedayu mulai dicengkam oleh kecemasan dan keragu-raguan tidak telaten lagi. Dengan lantang ia berkata, “Kenapa kau memilih kakang Agung Sedayu. Aku adalah anak Demang Sangkal Putung. Jika kau merasa kehilangan adikmu di Sangkal Putung, maka aku adalah orang yang paling bertanggung jawab.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara Swandaru melangkah maju, “Aku tantang kau perang tanding.”

Semua orang memandang ke arah Swandaru. Ki Waskita dan Ki Widura menjadi tegang. Meskipun Swandaru adalah seorang anak muda yang memiliki kekuatan raksasa dan kecepatan bergerak di dalam olah kanuragan, tetapi Swandaru tidak memiliki kedalaman ilmu seperti Agung Sedayu. Batapapun kuatnya tenaga Swandaru, namun dalam pengerahan segenap kemampuan lahir dan batin, pelepasan tenaga cadangan dan hubungan antara alam kecil dalam pribadinya, dengan alam besar di seputarnya, tidaklah setingkat dengan Agung Sedayu yang diam dan selalu diselubungi oleh kebimbangan itu. Apalagi Ki Waskita dan Ki Widura melihat, bahwa orang yang menantang Agung Sedayu itu memiliki bukan saja kekuatan jasmaniah, tetapi juga kemampuan yang dalam.

Sejenak orang-orang itu dicengkam oleh ketegangan.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berada di serambi gandok dan memperhatikan peristiwa di halaman itu dari kejauhan menjadi cemas pula. Seperti Ki Waskita dan Ki Widura, ia melihat, bahwa masih ada kekurangan bekal di dalam diri Swandaru. Jika tantangannya diterima sebelum orang itu bertempur lawan Agung Sedayu, maka akibatnya akan parah bagi Swandaru. Usaha untuk menolongnya jika ia mulai terdesak, akan menimbulkan kesan yang lain pada anak muda itu, sementara pada diri Swandaru pun akan tumbuh perasaan rendah diri. Selebihnya tentu akan timbul pertempuran yang lebih besar, karena kedua pihak akan melibatkan semua orang yang ada pada mereka.

Tetapi sementara itu, untuk melepaskan Agung Sedayu bertempur pun rasa-rasanya masih juga ragu-ragu. Ia tidak tahu, sampai dimana kemampuan orang yang menyebut dirinya kakak dari kedua bersaudara dari Pesisir Endut itu.

“Namun, bahwa Pangeran Benawa mampu membunuh kedua adiknya, maka kemampuan orang itu tentu masih belum bertaut terlalu banyak dengan Pangeran Benawa sendiri,” berkata Kiai Gringsing di dalam dirinya. Namun kemudian, “Tetapi, nampaknya orang itu begitu yakin akan membunuh juga Pangeran Benawa.”

Sejenak Kiai Gringsing termenung. Ia masih belum tahu pasti, betapa tinggi ilmu Pangeran Benawa seperti ia juga belum tahu kemampuan orang yang menantang Agung Sedayu itu.

Tetapi bagi Kiai Gringsing, Agung Sedayu memiliki kelebihan dari Swandaru dalam kedalaman ilmunya, meskipun barangkali setingkat dalam pelepasan kekuataan lahiriah.

Akhirnya Kiai Gringsing mempunyai ketetapan hati, bahwa Agung Sedayu-lah yang akan melawan orang itu, sehingga dengan demikian, maka ia segera turun ke halaman sambil berkata lantang, “Agung Sedayu. Sebagai seorang laki-laki, terimalah tantangannya.”  

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Orang yang menantang Agung Sedayu itu pun mengerutkan keningnya. Ternyata masih ada lagi orang yang tidak terkena pengaruh sirep yang tajam itu.

“Gila!” ia menggeram, “Ada berapa orang yang memiliki daya tahan yang kuat di Kademangan ini?”

“Sudah aku katakan,” tiba-tiba salah seorang kawan orang itu berdesis.

Orang itu berpaling ke arah kawannya. Sambil mengerutkan keningnya ia menjawab, “Kau hanya menyebut gurunya. Mungkin Agung Sedayu sendiri. Tetapi ternyata ada beberapa orang yang lain.”

Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi seorang yang lain berkata, “Sudahlah. Sekarang kita sudah berada di halaman ini. Lakukanlah perang tanding seperti kau kehendaki. Jika ada orang lain yang akan melibatkan diri, serahkan kepada kami.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Aku hanya ingin perang tanding dengan Agung Sedayu. Membunuhnya dan kemudian membunuh Pangeran Benawa. Aku juga tidak berkepentingan dengan Pajang atau pihak-pihak lain yang memerlukan Pangeran Benawa itu. Ia sudah membunuh kedua adik seperguruanku. Karena itu, ia harus mati.”

Sementara itu, Kiai Gringsing menjadi semakin dekat. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar di dalam dadanya.

“Siapa kau?” bertanya orang yang menantang AgungSedayu.

“Sejak semula kau tidak menjawab setiap pertanyaan tentang dirimu. Tetapi baiklah. Bagi kami sudah cukup jika kami mengetahui, bahwa kau adalah kakak seperguruan dua orang dari Pasisir Endut yang terbunuh itu.”

“Siapa kau?” orang itu berteriak.

“Berteriaklah. Tidak banyak orang yang mendengar,” jawab Kiai Gringsing. “semua orang agaknya telah tertidur oleh kekuatan sirep yang tajam ini.”

Jantung orang itu bagaikan meledak. Sekali lagi ia berteriak, “Sebut, siapa kau?”

“Kejengkelanku sama dengan kejengkelanmu, karena kau juga tidak menyebut namamu. Tetapi baiklah, aku adalah Kiai Gringsing, guru Agung Sedayu, yang kau tantang berperang tanding itu.”

“Gila!” geram orang itu, “Benar juga kata orang, bahwa aku akan berhadapan dengan gurunya. Baiklah, jika kau sayangi nyawa muridmu, kau dapat mewakilinya.”

“Tidak,” jawab Kiai Gringsing, “karena ia yang kau tantang, biarlah muridku yang bertempur.”

“Aku juga menantang orang itu, Guru,” potong Swandaru.

Kiai Gringsing memandang Swandaru sejenak. Jika ia melarangnya, maka anak muda itu tentu akan tersinggung. Ia merasa bahwa gurunya menganggap bahwa Agung Sedayu memiliki kelebihan daripadanya.

Namun jawaban Kiai Gringsing kemudian benar-benar di luar dugaan Swandaru, dan di luar dugaan orang orang lain yang ada di halaman itu.

“Swandaru,” berkata Kiai Gringsing dengan kepala sedikit terangkat, “aku adalah gurumu. Karena itu, aku mengetahui sifat-sifatmu seperti aku mengetahui sifat-sifat Agung Sedayu.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia melihat sikap gurunya agak berbeda dengan sikapnya sehari-hari. Saat itu gurunya nampak seperti seorang yang tinggi hati.

“Swandaru,” berkata Kiai Gringsing lebih lanjut, “jangan selalu memanjakan saudara tuamu. Biarlah ia mengambil keputusan dan sikap sesuai dengan namanya, yang bergema sampai ke Pesisir Endut. Jika ia tidak menerima tantangan itu, maka namanya itu tentu hanya sekedar kemelutnya asap dari api yang menyala di jiwa orang lain. Biarlah. Ia sudah cukup dewasa menjaga nama dan pribadinya.”

Kata-kata Kiai Gringsing itu menumbuhkan pertanyaan di hati mereka yang mendengarkan. Namun Ki Waskita dan Ki Widura pun kemudian tersenyum di dalam hati. Ia mengerti, apakah maksud orang tua itu sebenarnya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan apa pun untuk mengelakkan perang tanding. Apalagi gurunya sudah menunjuknya untuk melayani saudara tua kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itu.

“Baiklah, Guru,” berkata Agung Sedayu kemudian dengan dada yang berdebar-debar, “jika memang Guru menghendaki, aku akan menerimanya.”

Di luar dugaannya, orang yang menantangnya menyahut, “Hanya karena gurumu menghendaki?”

Tetapi jawaban Agung Sedayu pun di luar dugaan orang itu pula, katanya, “Apakah bedanya bagimu jika aku menerima tantanganmu karena keinginanku sendiri atau karena perintah guruku? Bukankah niatmu adalah sekedar melapaskan dendammu, tanpa mempedulikan perasaan orang lain, apakah juga menyimpan dendam dan kebencian, atau kau sama sekali tidak menghiraukan siapakah yang sebenarnya bersalah dalam persoalan yang bermula dari keinginan kedua saudaramu untuk membunuh aku?”

Wajah orang yang menantang Agung Sedayu itu menegang. Namun kemudian jawabnya, “Bagus. Memang tidak ada bedanya. Bersiaplah, aku akan mulai.”

Agung Sedayu mundur selangkah. Sekali lagi ia akan terlibat dalam satu perkelahian yang tidak dikehendaki. Tetapi seperti keharusan yang memaksanya di saat sebelumnya, ia dihadapkan pada keadaan tanpa pilihan.

Beberapa orang pun kemudian melangkah surut membentuk lingkaran. Meskipun demikian, kedua belah pihak nampaknya tidak melepaskan kewaspadaan, karena setiap saat orang-orang yang berdiri di lingkaran itu pun dapat berbuat curang.

Karena itu, maka masih ada juga jarak antara kedua belah pihak, meskipun mereka bersama-sama ingin menyaksikan perkelahian itu.

Dalam pada itu, orang yang dibakar oleh dendam dan kebencian itu pun segera mempersiapkan diri. Dengan garangnya, ia berdiri bertolak pinggang menghadap ke arah Agung Sedayu, yang masih berdiri termangu-mangu di tempatnya.

“Apakah kau takut, Agung Sedayu?” tiba-tiba saja orang itu bertanya, “Jika demikian, mintalah gurumu mewakilimu. Tetapi dengan ketentuan, bahwa jika gurumu mati, maka kau pun akan mati juga. Yang penting bagiku sekarang adalah kematianmu. Itu saja.”

“Jangan menyebut nama guru,” Swandarulah yang membentak, “kau bukan lawannya. Kau akan luluh menjadi debu sebelum kau menjamah kakang Agung Sedayu.”

Saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu tertawa. Katanya, “Aku senang kepada anak yang gemuk itu. Tetapi aku sudah jemu untuk berbicara. Sebentar lagi kita akan kehabisan waktu. Malam akan melampaui gelapnya dan kekuatan sirep itu pun akan menjadi kabur.”

Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi. Ia pun kemudian melangkah maju dan berdiri di hadapan orang yang mendendamnya.

Sejenak suasana menjadi tegang. Kiai Gringsing yang cemas, berdiri tegak seperti patung, sedangkan Ki Waskita dan Ki Widura harus menahan nafas ketika Agung Sedayu mulai bergeser.

Hanya Swandaru sajalah yang menggeram karena kecewa. Ia tidak telaten melihat sikap Agung Sedayu. Ia ingin meloncat dan menerkam orang yang sombong itu. Kemudian memilin kepalanya dan melumatkannya.

Tetapi Agung Sedayu bersikap sangat berhati-hati. Ia tahu, bahwa orang itu tentu memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan, karena ia sudah berani menuntut balas kematian kedua adiknya sampai pada batas terakhir. Pangeran Benawa.

Ketika orang itu melangkah setapak, rasa-rasanya tanah tempat Agung Sedayu berpijak telah bergetar. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi yang lain pun merasakannya pula.

Ternyata getaran itu telah menggetarkan jantung Kiai Gringsing pula. Dengan demikian, maka orang itu benar-benar memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya.

Swandaru pun terkejut pula. Ia sendiri memiliki kekuatan raksasa. Tetapi getaran langkah kakinya tidak dapat mengguncangkan tempat berpijak seperti orang itu.

Melihat wajah-wajah yang heran meskipun hanya sekilas, orang itu tertawa. Sekali lagi ia menunjukkan kelebihannya. Suara tertawanya melengking bagaikan suara guruh yang menggelegar di langit.

Setiap telinga rasa-rasanya menjadi sakit. Bahkan dada mereka yang mendengar suara tertawa itu bagaikan akan retak.

Dengan serta merta mereka telah mengerahkan daya tahan masing-masing, agar isi dada mereka tidak beruntuhan oleh getaran suara yang terlontar dengan lambaran ilmu yang tinggi itu.

“Agung Sedayu harus berjuang mati-matian,” desis Kiai Gringsing, “ia baru mengenal dasar-dasar dari ilmu puncaknya, meskipun sudah jauh lebih baik dari Swandaru.”

Ki Waskita mendengar Kiai Gringsing berdesis. Tetapi ia tidak tahu apa yang dikatakannya. Namun seperti Kiai Gringsing, Ki Waskita pun mulai dijalari oleh kecemasan.

“Mudah-mudahan Agung Sedayu dapat menilai kemampuan lawannya dari segala segi,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Sementara itu, Agung Sedayu telah memusatkan segenap kemampuannya. Ia memperhatikan lawannya dengan saksama. Ia sadar, bahwa lawannya berusaha untuk menggertaknya dengan ilmunya yang dahsyat. Dengan sengaja lawannya telah menggetarkan tanah tempatnya berpijak dan yang kemudian disusul dengan ledakan suaranya yang menghentak-hentak dada.

Dengan hati-hati Agung Sedayu bergeser, ketika lawannya melangkah maju dengan hentakan kaki yang menggoyahkan halaman. Ia tidak melepaskan setiap gerak lawan. Karena itu, ia melihat telapak kaki lawannya yang bergeser, kemudian perlahan-lahan kaki itu terangkat, sehingga ujung jarinya sajalah yang menyentuh tanah.

Belum lagi Agung Sedayu menyesuaikan dirinya, tiba-tiba orang itu telah melenting. Kakinya terjulur mendatar langsung mengarah kepada Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu sudah memperhitungkan setiap serangan yang bakal datang, karena itu, maka ia masih sempat mengelak. Dengan loncatan kecil secepat gerakan lawannya, ia berhasil menghindari sentuhan kaki yang terjulur ke dadanya.

Tetapi ternyata lawannya mampu bergerak terlalu cepat. Dengan sekali menggeliat ia memutar tubuhnya ketika kakinya menyentuh tanah.

Tetapi di luar dugaan, Agung Sedayu ternyata telah dipaksa oleh kejutan pertama dari serangan lawannya, sehingga hampir di luar sadarnya, maka nalurinya telah mendorongnya untuk berbuat sebaik-baiknya jika ia ingin menyelamatkan dirinya. Sehingga karena itulah, maka ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Pada saat lawannya menyentuh tanah, ternyata Agung Sedayu telah mendahuluinya, menyusul dengan sebuah serangan yang sangat cepat. Lawannya terkejut. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa Agung Sedayu mampu bergerak demikian cepat, sehingga karena itulah, maka ia hampir saja terlambat mengelak.

Dengan tergesa-gesa ia melenting jauh surut. Selagi tubuhnya masih mengapung di udara, tangannya telah tersilang di dadanya dengan penuh kewaspadaan, karena Agung Sedayu dapat saja menyusulnya dengan serangan berikutnya.

Tetapi Agung Sedayu tidak menyerangnya lagi. Ia bergeser setapak ketika kakinya tegak di atas tanah. Ia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi keadaan yang tentu akan bertambah gawat.

Sesaat keduanya berdiri tegak. Dengan sorot mata yang marah bercampur heran, lawan Agung Sedayu itu memperhatikan sikap anak muda yang perkasa itu.

“Benar-benar seorang yang pilih tanding,” katanya di dalam hati.

Sementara itu, di dalam rumah, Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang mendengar hampir seluruh pembicaraan itu pun menjadi tegang. Ki Demang Sangkal Putung yang ikut mendengar pula, menjadi gelisah.

Tetapi, ketika Sekar Mirah minta ijin kepada ayahnya untuk turun ke halaman, ia melarangnya.

“Kau mendapat tugas di dalam rumah ini bersama Pandan Wangi dan aku. Siapa tahu masih ada orang lain di antara mereka yg kemudian memasuki rumah ini,” berkata Ki Demang.

Sekar Mirah menjadi kecewa. Tetapi ia mengerti keberatan ayahnya. Dan ia pun sependapat, bahwa mungkin ada orang lain yang memasuki rumah itu.

Sementara itu, pertempuran di halaman itu pun berlangsung dengan dahsyatnya. Orang yang dipenuhi oleh dendam dan kebencian itu pun menyerang dengan garangnya, sementara Agung Sedayu berusaha mengimbangi kemampuan lawannya.

Kiai Gringsing menarik nafas panjang, ketika ia mengikuti pertempuran itu beberapa saat lamanya. Harapannya bagi Agung Sedayu pun tumbuh perlahan-lahan meskipun kecemasan masih saja membayanginya.

Dalam perkelahian seterusnya, orang yang menyebut dirinya saudara tua dari kakak beradik, yang terbunuh oleh Pangeran Benawa itu, ternyata harus membagi pemusatan ilmunya. Dalam perkelahian yang cepat, ternyata kakinya tidak mampu lagi menggetarkan tanah tempatnya berpijak. Suara tertawanya yang bagaikan membelah jantung tidak terdengar sama sekali. Baru jika ia sempat memisahkan diri dari libatan kecepatan bergerak Agung Sedayu, maka kakinya mampu menghentak dan menggetarkan halaman itu.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita semakin lama menjadi semakin jelas melihat ilmu orang itu. Getaran yang ditimbulkan olah kakinya hanya sekedar getaran di setiap dada orang-orang yang ada di sekitar tempatnya sendiri.

Dalam waktu yang singkat, Ki Waskita mencoba menelusuri ilmu itu dalam ilmunya sendiri. Seperti bayangan semu yang dapat dilontarkannya, maka orang itu pun mampu membuat getaran pada lawan-lawannya, seperti juga suara tertawanya yang seolah-olah meruntuhkan isi dada.

Tetapi dengan demikian, Ki Waskitapun menyadari, bahwa ilmu itu sangat berbahaya. Bukan karena kekuatannya yang benar-benar dapat menggetarkan bumi dan meruntuhkan jantung dari tangkainya di dalam dada, tetapi kesadaran lawan akan keadaannya dapat disesatkannya.

Namun yang sudah berada di arena adalah Agung Sedayu. Anak muda itu tentu tidak melihat kemungkinan seperti yang dilihatnya. Ki Waskita sendiri akan dapat menempatkan diri menghadapi orang itu dengan sikap yang hati-hati, dan melawan ilmu yang agaknya sejalan dengan ilmu bayangan semunya, meskipun dalam bentuk yang agak lain. Jika Agung Sedayu tidak menghiraukan getaran-getaran tanah tempatnya berpijak, dan getaran yang seolah-olah meruntuhkan jantung dari suara tertawa lawannya, dengan memusatkan ketajaman indranya pada penglihatan batinnya, maka lawannya bukannya lawan yang sangat berbahaya.

Tetapi Ki Waskita tidak tahu pasti, bahwa Agung Sedayu akan dapat bersikap demikian. Bahkan jika perhatian Agung Sedayu dapat disesatkan kepada kecemasannya, oleh getaran yang seolah-olah dapat mengguncang bumi serta getaran suara yang dapat meruntuhkan seluruh isi dada, maka ia benar-benar akan mengalami kesulitan.

Demikianlah, pertempuran di halaman itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Agung Sedayu berusaha dengan kecepatan geraknya menyerang lawannya agar lawannya tidak sempat melontarkan kekuatannya untuk menyerangnya. Di luar sadarnya, seolah-olah sekedar karena nalurinya, maka ia merasakan kekuatan lawannya mengendor di saat-saat ia harus mengelakkan serangan-serangannya yang datang bagaikan badai.

Tetapi, lawan Agung Sedayu itu kemudian menyadari. Agung Sedayu menumpukan perlawanannya pada kecepatan geraknya.

“Anak gila!” geram orang itu. Katanya di dalam hati, “Ia berusaha membuyarkan pemusatan ilmuku, sehingga ia tidak terpengaruh oleh tanggapan perasaannya atas goncangan bumi dan getaran yang memukul dadanya.”

Dengan kesadaran itu, maka lawannya pun mencoba mempergunakan setiap kesempatan untuk menghindarkan diri dari libatan serangan Agung Sedayu. Setiap kali, ia masih saja sempat menghentakkan kakinya dan melontarkan suara tertawa atau teriakan-teriakan yang bagaikan menyobek telinga dan meretakkan dinding jantung.

Kiai Gringsing bagaikan membatu menyaksikan pertempuran itu. Pada mulanya ia mengangguk-angguk, melihat cara Agung Sedayu mengatasi kesulitannya. Kiai Gringsing bersyukur, bahwa Agung Sedayu mengatasi kelemahan lawannya dalam libatan kecepatan serangannya.

Namun, karena lawannya menyadari keadaannya, maka ia pun berusaha untuk mengatasi kecepatan gerak Agung Sedayu dengan loncatan-loncatan panjang. Setiap kesempatan dipergunakannya untuk mempengaruhi perasaan anak muda yang masih belum terlalu banyak menyadap pengalaman.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang memang masih terlalu muda untuk menjelajahi kedahsyatan daerah gejolak oleh kanuragan, kadang-kadang memang menjadi bingung. Kadang-kadang terasa guncangan tanah tempat ia berpijak bagaikan melemparkannya, sehingga ia harus bertahan pada sikap keseimbangannya. Sementara jika suara tertawa dan teriakan lawannya bagaikan membelah dadanya, ia harus memusatkan daya tahannya untuk melindungi, agar jantungnya tidak terlepas dari tangkainya.

Pada saat-saat yang demikian, Agung Sedayu menjadi lemah. Pertahanannya bagaikan terbuka, meskipun untuk beberapa saat ia masih mampu mengatasi keadaan setiap serangan. Namun lambat laun, geraknya kadang-kadang menjadi lamban dan kehilangan arah.

Kecemasan telah menyayapi kembali dada Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Agaknya, perhatian Agung Sedayu benar-benar telah disesatkan oleh ilmu lawannya. Agung Sedayu tidak lagi sepenuhnya memperhatikan serangan-serangan yang berbahaya bagi tubuhnya, karena ia sibuk menjaga keseimbangannya dan melindungi goncangan dadanya.

Kelemahan Agung Sedayu mulai dilihat oleh lawannya. Karena itulah, maka ia pun bertempur semakin sengit. Ia tidak terlalu banyak menyerang, tetapi ia lebih banyak menghentak-hentakkan kakinya dan melontarkan suara tertawa dan teriakan-teriakan nyaring.

Namun demikian, Agung Sedayu masih selalu menyadari keadaannya. Hentakan kaki lawannya, yang bagaikan mengguncang tanah tempatnya berpijak, memang sangat mempengaruhi. Sedangkan getaran suara tertawanya berhasil membuat Agung Sedayu mempergunakan sebagian dari kekuatan ilmunya mempertahankan dadanya.

Kiai Gringsing menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak dapat berteriak memberikan petunjuk-petunjuk kepada Agung Sedayu, karena ia masih menghormati perjanjian kedua orang yang sedang berperang tanding itu. Dan agaknya demikian pula Ki Waskita, yang tubuhnya menjadi basah karena keringat dinginnya yang mengalir dari segenap lubang-lubang di kulitnya.

Ki Widura pun menjadi sangat cemas. Ia melihat Agung Sedayu mulai terdesak, meskipun ia masih selalu berhasil menghindar dan mengelakkan serangan lawannya.

Di dalam rumah, Sekar Mirah bagaikan dibakar oleh kegelisahan. Tetapi ia tidak melihat apa yang terjadi sebenarnya. Ia berusaha untuk melihat dari celah-celah dinding. Tetapi ia tidak menemukan lubang yang cukup untuk dapat menyaksikan apa yang terjadi di halaman yang remang-remang, karena cahaya obor tidak dapat mencapai sepenuhnya arena perang tanding itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu memusatkan perlawanannya pada kecepatannya. Setiap saat ia meloncat menghindar. Dan setiap kesempatan dipergunakannya untuk membalas setiap serangan. Kadang-kadang ia berhasil melibat lawannya untuk waktu yang lama. Serangannya datang beruntun tidak putus-putusnya.

Namun, setiap kali lawannya berhasil melepaskan diri dari libatan serangannya, maka ia pun segera mempengaruhi Agung Sedayu yang masih muda itu dengan ilmunya yang membingungkan.  

Perang tanding yang dahsyat itu berlangsung semakin sengit. Serangan lawan Agung Sedayu rasa-rasanya menjadi semakin berbahaya. Dalam kesempatan yang tidak terelakkan, karena Agung Sedayu terbenam dalam perasaan yang kabur oleh keragu-raguannya terhadap keseimbangan badannya di saat bumi bagaikan terguncang, tiba-tiba saja terasa hentakan yang dahsyat mengenai lambungnya. Perasaan nyeri dan mulas telah mencengkamnya, sementara tubuhnya terlempar beberapa langkah.

Hanya karena kemampuan ilmunya saja Agung Sedayu terjatuh tepat pada pundaknya dan sambil berguling ia melenting berdiri.

Tetapi demikian kakinya menginjak tanah, maka tanah tempat ia berdiri itu bagaikan diguncang oleh gempa yang dahsyat.

Di saat ia berdiri tertatih-tatih, maka serangan berikutnya telah mengarah ke dadanya. Serangan kaki yang lurus mendatar bagaikan dilontarkan oleh busur raksasa.

Agung Sedayu melihat serangan itu. Ia berusaha untuk mengelakkannya diri. Ia mencoba untuk merendah sambil memiringkan tubuhnya. Namun ia tidak berhasil melepaskan diri seluruhnya dari serangan itu. Kaki lawannya menghantam pundaknya, sehingga sekali lagi ia menyeringai menahan sakit.

Sambil terputar, tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dan sekali lagi Agung Sedayu harus berguling menjauhi lawannya, karena serangan berikutnya segera menyusul.

Seolah-olah tidak ada kesempatan lagi bagi Agung Sedayu untuk mempertahankan diri atau mengelak. Serangan lawannya datang beruntun seperti ombak di pesisir. Bergulung-gulung susul menyusul.

Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi tegang. Swandaru hampir tidak dapat menahan dirinya lagi. Hanya karena keseganannya kepada gurunya sajalah, maka ia tidak meloncat ke arena.

Namun sebenarnya Kiai Gringsing pun benar-benar menjadi cemas. Meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang bukan saja lahiriah, ternyata ia memang masih terlalu muda untuk menjelajahi daerah yang garang dari petualangan kanuragan.

Meskipun demikian, Kiai Gringsing tetap terikat pada sikap seorang lelaki. Betapa dadanya berguncang-guncang, tetapi ia masih tetap berdiri di tempatnya, sekali-kali terdengar ia berdesis. Kemudian menggeram penuh kekesalan.

Sementara itu, Ki Waskita bagaikan berdiri di atas bara. Kegelisahannya telah memuncak. Dadanya bagaikan retak, bukan karena ilmu yang dilontarkan lewat suara tertawa dan teriakan-teriakan nyaring dari mulut lawan Agung Sedayu. Tetapi jantungnya bagaikan pecah karena kecemasannya melihat keadaan Agung Sedayu.

Tetapi seperti Kiai Gringsing, Ki Waskita pun tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya berdiri saja dengan gelisahnya. Betapa tangannya menjadi gemetar, dan hampir saja ia pun melontarkan ilmunya untuk mengurai perhatian lawan Agung Sedayu. Meskipun pada suatu saat ia akan mengerti, bahwa sebenarnya ia telah disesatkan oleh penglihatan semu. Namun dengan demikian, Agung Sedayu akan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan dirinya dalam perlawanan yang lebih panjang dan dahsyat.

Tetapi, semuanya itu tidak dapat dilakukannya. Seperti Kiai Gringsing yang kemudian menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi, namun ia tetap berdiri saja dengan degup jantung yang menghentak-hentak dadanya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih berjuang untuk melepaskan dirinya dari serangan-serangan lawannya yang semakin deras, bagaikan badai di mangsa kesanga. Dengan loncatan-loncatan panjang, lawan Agung Sedayu mengejar sambil menyerang. Bahkan seolah-olah Agung Sedayu benar-benar sudah dibayangi oleh kekuatan yang tidak dapat dihindarinya lagi.

Agung Sedayu sendiri merasa, bahwa kekuatan lawannya telah menyergapnya dari segenap arah tanpa ampun lagi.

Tidak ada yang dapat dilakukkan oleh Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Widura dan Swandaru. Mereka hanya dapat menghentakkan kakinya dan menggeretakkan giginya.

“Jika Guru memberi kesempatan kepadaku,” geram Swandaru di dalam dadanya, “aku akan menyapu orang itu sampai lumat.”

Tetapi Swandaru sendiri kemudian menjadi ragu-ragu. Ia pun merasa seakan-akan tanah tempatnya berpijak menjadi goncang, sehingga keseimbangannya terombang ambing, serta suara tertawa dan teriakan-terikan nyaring bagaikan membelah jantung.

Kegelisahan Sekar Mirah dan Pandan Wangi bagaikan tidak tertahankan lagi. Mereka ingin meloncat keluar dan melihat apa yang terjadi. Mereka telah diganggu pula oleh suara tertawa dan teriakan-teriakan di halaman. Meskipun mereka berdiri agak jauh dari halaman, namun dada mereka pun terasa menjadi retak.

Tetapi mereka masih tetap menahan diri. Ki Demang benar-benar berkeberatan jika kedua perempuan itu turun ke halaman, sehingga Sekar Mirah dan Pandan Wangi masih saja berada di ruang dalam, betapapun dada mereka melonjak-lonjak.

“Yang terjadi adalah perang tanding,” berkata Ki Demang, “tinggallah di sini. Jika terjadi pertempuran dari seluruh kekuatan masing-masing, maka kita memang wajib membantu. Meskipun demikian, kita masih harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi di rumah ini.”

Dalam pada itu, selagi di halaman terjadi pertempuran yang sengit dari dua orang yang berilmu tinggi di kelilingi oleh beberapa orang, yang tanpa berjanji seolah-olah menjadi saksi dari perang tanding yang dahsyat itu, masih ada dua orang lagi yang dengan sengaja tidak menampakkan diri. Mereka masih tetap berdiri dalam kegelapan di luar halaman Kademangan.

“Nampaknya Ki Lurah akan menang,” desis yang seorang.

Kawannya tersenyum. Katanya, “Tentu. Anak muda itu akan dibantainya sampai lumat. Tidak seorang pun yang dapat menolongnya, karena mereka melakukan perang tanding, bahkan jika yang lain itu mencoba turut membantu anak muda yang malang, mereka pun akan bernasib sama.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Katanya, “Jangan merendahkan mereka. Bahwa mereka dapat melepaskan diri dari pengaruh sirep, menunjukkan bahwa mereka memang memiliki kemampuan cukup.”

“Tetapi tidak setinggi Ki Lurah dan kawan-kawannya itu. Bahkan seandainya aku dilepaskan di arena, aku kira aku pun dapat mengalahkan anak muda yang namanya bagaikan menggetarkan bumi. Aku jadi ragu-ragu, apakah benar ia mampu membunuh Telengan.”

“Tetapi Ki Lurah muda dari Pesisir Endut itu mati.”

“Tidak oleh Agung Sedayu. Tetapi oleh anak muda yang lain yang barangkali berkekuatan iblis. Pangeran Benawa.”

“O ya,” desisnya, “kadang-kadang aku lupa membedakan. Pangeran Benawa dan Agung Sedayu. Agaknya sekarang Agung Sedayu-lah yang bernasib malang.”

Kawannya tidak segera menyahut. Namun wajahnya tampak menegang. Kemudian senyumnya melebar di bibirnya. Katanya, “Kau lihat. Sebentar lagi Agung Sedayu akan lumat.”

Yang lain pun tersenyum pula. Katanya, “Anak yang malang. O, betapa sakitnya terlempar dan terbanting oleh tangan Ki Lurah.”

Keduanya semakin asyik memperhatikan perkelahian itu dari kejauhan. Meskipun mereka tidak melihat jelas, tetapi mereka dapat membedakan, yang manakah pimpinannya dan yang mananah Agung Sedayu. Dalam keremangan cahaya obor yang lemah di kejauhan, mereka melihat dan meyakini, bahwa pemimpinnya akan dapat memenangkan perang tanding itu dan melumatkan lawannya.

Tiba-tiba saja selagi kawannya asyik melihat perang tanding itu, yang seorang berdesis, “Apakah kita akan menunggu saja sambil berdiam diri di sini?”

“Maksudmu?”

“Kita dapat berbuat sesuatu. Sambil menunggu Ki Lurah membunuh Agung Sedayu, kita mempunyai sedikit waktu.”

“Untuk apa?”

“Kau pernah mendengar, bahwa Demang Sangkal Putung adalah Demang yang kaya?”

“Lalu?”

“Kita sudah berada di Sangkal Putung sekarang. Bukankah ini merupakan kesempatan yang baik?”

“Kita merampok maksudmu?”

“Ya.”

“Ah, itu bukan tujuan kita. Kita mengawal Ki Lurah untuk tujuan tertentu. Bukan untuk merampok.”

Yang lain tersenyum. Katanya, “Sejak kapan kau menjadi orang yang sangat baik hati? Kita sudah terbiasa mempergunakan segala kesempatan. Sekarang kesempatan itu datang lagi. Setelah kita yakin, bahwa Ki Lurah akan menang, dan kita pun yakin, bahwa jika kawan-kawan Agung Sedayu itu mencoba membantunya, maka mereka akan dilumatkan pula, sehingga kita mempunyai waktu untuk berbuat sesuatu yang tentu akan menyenangkan hati. Ki Lurah berhasil membunuh Agung Sedayu, sementara kita akan mendapat pendok emas tretes intan berlian, timang emas dan berjenis-jenis perhiasan yang pasti ada di rumah itu.”

Kawannya berpikir sejenak, sementara yang lain melanjutkan, “Ki Lurah tentu akan memuji ketangkasan kita berpikir dan mempergunakan waktu.”

Kawannya menjadi ragu ragu. Tiba-tiba saja ia bertanya, “He, apakah di antara mereka terdapat Ki Demang dan Ki Jagabaya?”

Yang lain mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi seandainya mereka pun ada, tidak akan banyak berarti.”

“Maksudmu, jika mereka bukan Ki Demang dan Ki Jagabaya, mungkin Ki Demang justru masih ada di dalam rumahnya.”

Kawannya tersenyum kecut. Jawabnya, “Demang Sangkal Putung tidak lebih dari seekor kelinci sakit-sakitan.”

Kawannya berpikir sejenak, namun ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Demang Sangkal Putung tidak lebih dari seekor kelinci sakit-sakitan.”

Keduanya pun kemudian bergeser dari tempatnya.

Mereka masuk jauh ke dalam bayangan pepohonan. Dengan hati-hati mereka merambat ke kebun belakang. Dari kebun itu, mereka akan masuk ke kebun di belakang rumah Ki Demang Sangkal Putung.

“Mereka tentu tidur nyenyak,” desis yang seorang, “hanya orang-orang yang memiliki daya tahan yang tinggi sajalah yang dapat terhindar dari sirep yang tajam ini.”

“Jika semua pintu diselarak, kita akan memecah pintu butulan atau pintu belakang,” berkata yang lain.

Dengan demikian, keduanya sama sekali tidak ragu-ragu lagi. Mereka meloncat ke kebun di belakang rumah Ki Demang Sangkal Putung. Kemudian mereka berjalan menuju ke pintu di bagian belakang.

“Pintu ini diselarak,” desis yang seorang.

Yang lain tertawa. Katanya, “Apa artinya pintu bagi kami dalam keadaan seperti ini? Kita dapat memecahnya seperti kita memecah gerabah. Tidak ada kesulitan apa pun juga.”

Kawannya tidak menjawab. Ia pun mengerti, bahwa memecah pintu itu memang tidak ada sulitnya. Dan ia pun tahu, bahwa suaranya tidak akan membangunkan orang-orang yang terkena sirep.

Karena itu, ia sama sekali tidak mencegah ketika kawannya dengan serta merta telah menendang pintu lereg itu dengan sekuat tenaganya.

Pintu itu pecah berkeping-keping. Suaranya berderak memekakkan telinga. Namun seperti yang diperhitungkan oleh kedua orang itu, tidak seorang pun yang tidur di ruang belakang terbangun. Juga mereka yang tidur di dapur dan di serambi.

Dua orang itu termangu-mangu sejenak. Seperti berjanji, keduanya tertawa melihat pintu yang menganga dan suasana yang sepi.

“Tidak seorang pun yang terbangun. Lihat, perempuan itu tidur nyenyak sekali,” berkata yang seorang.

“Yang lain pun seperti mati. Marilah, kita masuk ke ruang dalam. Kita akan membongkar segala geledeg dan peti-peti penyimpanan harta benda Demang yang kaya raya ini.”

Sejenak mereka memandang berkeliling. Mereka melihat perabot Demang Sangkal Putung yang terhitung lengkap. Karena itulah, maka mereka menganggap, bahwa barang-barang simpanannya pun tentu cukup banyak.

“Apa arti kematian Agung Sedayu?” desis yang seorang, “Barangkali baru lengkap artinya jika kami mendapatkan sesuatu dari rumah ini.”

“Ah, macam kau tentu berpijak pada pikiran yang rendah. Bagi Ki Lurah, kematian Agung Sedayu itulah yang terpenting.”

“Dan kita tidak mendapat kemenangan apa pun dari kademangan ini, jika kita sekedar melihat Agung Sedayu mati.”

Yang seorang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Persetan.”

Kawannya tertawa. Sambil melangkah ke pintu yang menyekat ruang belakang dan ruang dalam di sisi ruang tengah ia berkata, “Jadi kau tidak mau ikut?”

Kawannya menggeram, “Setan kau. Daripada kau ambil semua, lebih baik aku ikut mengambil pula.”

Keduanya tertawa pula. Mereka bersama-sama melangkah masuk ke ruang dalam, justru saling mendahului sehingga mereka berdesak-desakan di muka pintu yang memang tidak diselarak.

Namun, tiba-tiba saja mereka terkejut. Sejenak mereka termangu-mangu, mereka mendengar sesuatu di ruang tengah rumah Ki Demang Sangkal Putung yang besar itu.

“Kau mendengar sesuatu?” bertanya yang seorang untuk meyakinkan pendengarannya.

Yang lain mengangguk. Jawabnya, “Ya. Seorang terbatuk-batuk kecil. Apakah seorang yang terbangun tetapi kemudian tertidur lagi, atau memang seseorang yang sakit batuk sedang terbatuk di dalam tidurnya, atau….”

Tetapi kata-kata itu terputus. Mereka terkejut bukan kepalang ketika mereka mendengar jawaban, “Ya. Kami memang sakit batuk dan terbatuk-batuk selagi tidur.”

“Setan. Suara perempuan. Apakah Ki Demang memelihara setan betina?” geram yang seorang.

Yang lain tidak sabar lagi. Dengan garangnya ia meloncati pintu yang memisahkan ruang itu dengan ruang tengah.

Sekali lagi ia terkejut. Ia melihat dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang berdiri hampir di tengah-tengah ruangan itu.

“Siapa kau?” orang itu menggeram, sementara kawannya telah menyusulnya.

Yang berdiri di ruang itu adalah Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Ki Demang. Dengan tajamnya mereka bertiga memandang kedua orang yang memasuki rumahnya dari pintu belakang.

“Kami mendengar pintu rumah ini kau pecah,” geram Ki Demang.

“Siapa kau?”

“Aku Demang Sangkal Putung.”

Tiba-tiba saja kedua orang itu tertawa. Dengan lantang salah seorang dari mereka berkata, “Bagus, Ki Demang. Ternyata Ki Demang termasuk seorang yang luar biasa, bahwa Ki Demang dapat melepaskan diri dari pengaruh sirep. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah kedua orang perempuan ini. Nampaknya mereka bukan perempuan kebanyakan, menilik pakaiannya dan kemampuannya mengatasi ilmu yang tajam ini.”

“Tetapi siapakah kalian, Ki Sanak?” bertanya Ki Demang.

“Tidak ada perlunya Ki Demang mengetahui siapa kami. Sebaiknya Ki Demang dengan sukarela menyerahkan semua yang ada pada Ki Demang. Jika persoalan ini cepat selesai, Ki Demang akan sempat menyaksikan saat-saat terakhir dari Agung Sedayu, yang mengalami nasib buruk di halaman.”

Ki Demang menjadi semakin tegang. Namun ia segera mengetahui, bahwa kedua orang itu tentu bermaksud buruk. Bahkan tentu ada hubungannya dengan orang-orang yang sedang berada di halaman. Ternyata bahwa mereka telah menyebut Agung Sedayu.

Tetapi Sekar Mirah dan Pandan Wangi, keterangan orang itu membuat mereka semakin berdebar-debar. Jika benar bahwa Agung Sedayu mengalami kesulitan, maka apakah mereka dapat berdiam diri.

“Apakah Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura hanya menonton saja sambil bermimpi,” bertanya Sekar Mirah di dalam hatinya.

Namun kegelisahan itu ternyata telah tertumpah pada siapnya terhadap kedua orang yang telah memasuki rumahnya itu. Dengan lantang ia menjawab, “Kau tidak berhak memasuki rumah kami. Apalagi jelas, bahwa kalian bermaksud jahat. Tetapi dengan demikian, tidak ada lagi jalan keluar. Kalian harus kami tangkap.”

Kadua orang itu tertawa keras-keras sehingga tubuhnya berguncang. Salah seorang dari keduanya berkata di sela-sela derai tertawanya, “Jangan marah gadis manis. Kau harus menyadari, bahwa yang ingin kami minta dari Ki Demang adalah semua miliknya termasuk kau. He, apakah kadua perempuan ini istri muda Ki Demang?”

“Gila!” teriak Sekar Mirah, “Aku anaknya, dan ini adalah menantunya. Tetapi kau tidak usah berurusan dengan kakang Swandaru, agar kau tidak dicincangnya sampai lumat. Menyerahlah dan berlututlah di bawah kaki kami.”

Keduanya menjadi tegang, dengan heran keduanya memandang Sekar Mirah, dengan sorot mata yang mulai menyala. Kemarahan yang mulai tumbuh di dalam dada mereka membuat kedua orang itu tidak dapat menahan diri lagi.

“Persetan!” geram yang seorang, “Kita buat mereka jera. Meskipun sebenarnya perempuan-perempuan cantik itu kami perlukan. Tetapi mereka berdua sangat sombong.”

Sekar Mirah bergeser setapak. Katanya, “Jangan banyak bicara. Jika kau ingin berbuat sesuatu, lakukanlah, agar bukan kami yang dianggap mulai dengan pertengkaran ini.”

Keduanya benar-benar tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dengan garangnya keduanya melangkah mendekat.

“Ayah,” berkata Sekar Mirah kemudian, “tolong, awasilah pintu yang terbuka itu. Mungkin masih ada kawannya yang akan memasuki rumah ini. Jika Ayah melihatnya, bunuh sajalah orang itu sebelum kakinya melangkahi tlundak.”

Ki Demang termangu-mangu. Tetapi Sekar Mirah mendesaknya, “Silahkan, Ayah. Biar kedua orang ini kami selesaikan.”

Kedua orang itu tak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta mereka pun menyerang kedua perempuan itu dengan garangnya.

Namun, mereka terkejut pada serangannya yang pertama. Baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah berhasil menghindar, dengan kecepatan melampaui kecepatan gerak mereka.

“Perempuan gila,” desis salah seorang dari mereka. Tetapi orang itu tidak sempat meneruskan kata-katanya. Sekar Mirah yang marah telah menyerang dengan garangnya.

Dengan demikan, maka di dalam rumah itu pun telah terjadi perkelahian pula, antara dua orang laki-laki yang ingin merampok isi rumah Ki Demang melawan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, sementara Ki Demang Sangkal Putung mengawasi keadaan. Namun ia pun menjadi cemas melihat keadaan di Sangkal Putung. Di halaman rumahnya, Agung Sedayu sedang berperang tanding, sementara di dalam rumahnya Sekar Mirah dan Pandan Wangi bertempur melawan dua orang yang tidak dikenalnya, tetapi yang pasti mempunyai hubungan dengan orang-orang yang berada di halaman.

Namun Ki Demang percaya akan kemampuan kedua orang perempuan itu. Apalagi setelah ia sempat melihat perkelahian itu sekilas. Beberapa kali kedua laki-laki itu terpaksa beringsut dan bahkan mereka mulai dikenai oleh pukulan Sekar Mirah dan Pandan Wangi.

“Gila!” geram yang seorang, “Perkelahian di tempat yang sempit ini tidak menguntungkan. Jika kau memang benar-benar perempuan pilihan, kita akan keluar dari rumah ini.”

Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi bagi mereka, tempat yang lebih luas akan memberikan kesempatan lebih banyak.

Karena itu, baik Sekar Mirah dan Pandan Wangi sengaja memberi kesempatan kedua orang lawannya bergeser keluar lewat pintu yang telah mereka rusakkan.

“Beri kesempatan mereka lewat, Ayah,” desis Sekar Mirah.

Ki Demang tidak berbuat sesuatu ketika kedua orang itu berloncatan keluar dan bersiap menunggu lawan-lawannya. Namun agaknya mereka tidak bersabar lagi dan ingin bertempur sampai kemungkinan terakhir, sehingga karena itu, mereka telah menggenggam senjata di tangan masing-masing.

Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun ingin dengan segera menyelesaikan pertempuran itu. Mereka pun ternyata telah menggenggam senjata masing-masing pula. Sekar Mirah telah menggenggam tongkat baja putihnya, sementara Pandan Wangi telah membawa sepasang pedang di kedua tangannya.

Kedua orang itu menjadi berdebar-debar melihat sikap anak dan menantu Ki Demang itu. Kedua perempuan itu nampak meyakinkan, dengan senjata masing-masing di tangan. Namun dua orang perempuan itu merasa, bahwa mereka adalah orang yang berpengalaman menjelajahi daerah-daerah yang gelap penuh dengan genangan darah.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang bertempur di halaman masih mengalami kesulitan. Setiap kali ia harus mengatasi hentakan-hentakan perasaannya karena goncangan tanah tempatnya berpijak dan getaran-getaran yang seolah-olah meretakkan dadanya.

Dalam keadaan yang sulit, lawannya telah melibatnya dengan serangan-serangan beruntun yang seakan-akan tidak terelakkan lagi. Kemana pun Agung Sedayu berusaha menghindar, maka lawannya selalu mengejarnya dengan serangan-serangan baru yang susul menyusul.

Tetapi betapapun juga, Agung Sedayu tidak berputus asa. Dalam libatan serangan lawannya, Agung Sedayu tetap berusaha dengan sekuat tenaga.

Dalam pada itu, sentuhan-sentuhan tangan lawan mulai terasa di tubuh Agung Sedayu bagaikan menyengat-nyengat. Kadang-kadang ia terlempar jatuh, bahkan sebelum ia sempat berdiri tegak, maka kaki lawannya telah menghantamnya sehingga ia telah terguling kembali di tanah, yang lembab oleh embun malam.

Kecemasan yang sangat telah merayapi hati mereka yang menyaksikan. Kiai Gringsing menjadi gemetar oleh kemarahan yang mencengkam dadanya, sementara Ki Waskita dan Ki Widura berdiri gemetar tanpa berbuat sesuatu. Di sebelah yang lain, Swandaru menggeram seperti seekor harimau yang lapar.

Namun sementara itu, kawan-kawan orang yang memiliki ilmu yang aneh itu mulai tersenyum. Salah seorang dari mereka berbisik, “Ternyata perhitunganku salah. Aku tidak sependapat dengan cara ini, karena aku mengira bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat dikalahkannya.”

“Omong kosong dengan Agung Sedayu,” sahut yang lain, “adalah kebetulan bahwa ia berhasil mengalahkan Telengan.”

Keduanya mengangguk-agguk. Mereka melihat Agung Sedayu berloncatan, berguling dan bahkan seolah-olah menghindar.

Namun dalam pada itu, ada sesuatu yang mulai terasa aneh di hati Agung Sedayu. Setiap kali lawannya melibatnya dengan serangan yang beruntun, maka ia merasa dirinya mempunyai kesempatan untuk mengelakkan serangan-serangan itu. Meskipun beberapa kali lawannya berhasil mengenai tubuhnya, namun serangan-serangan yang menjadi semakin longgar hingga pada saatnya ia berhasil membebaskan diri. Tetapi pada saat yang demikian, kembali ia diguncang oleh hentakan-hentakan tanah dan teriakan-teriakan yang menghimpit jantung.

Tetapi Agung Sedayu masih mencoba meyakinkannya. Ia membiarkan dirinya dilibat oleh serangan-serangan yang ganas dari lawannya. Kemudian dengan kecepatannya bergerak ia mampu melepaskan diri sedikit demi sedikit. Namun dalam keadaan yang demikian, terasa keseimbangannya mulai diganggu.

“Tidak ada jalan lain,” desis Agung Sedayu, “aku tidak mau mati sekarang. Betapapun juga, aku harus mempertahankan hidupku. Jika akibatnya tidak seperti yang aku inginkan, adalah di luar kemampuanku.”

Yang diperlukan Agung Sedayu kemudian adalah kesempatan. Menurut perhitungannya, lawannya pun memerlukan kesempatan untuk melepaskan ilmu yang aneh baginya. Dalam pertempuran yang rapat, lawannya tidak sempat mengguncang tanah dan melepaskan getaran lewat suara teriakan dan tertawanya. Jika Agung Sedayu merenggang dan lepas dari libatan serangannya, barulah ia melepaskan ilmunya yang aneh itu.

Karena itulah, maka Agung Sedayu yang tubuhnya mulai dijalari oleh perasaan sakit dan nyeri itu mulai membuat pertimbangan yang mapan. Ia tidak ingin gagal dan terjerumus ke dalam kesulitan yang semakin parah.

Dengan sisa tenaganya, pada saat-saat lawannya melibatnya dalam serangan yang seolah-olah tidak dapat dihindarinya, maka Agung Sedayu mencoba untuk mengetrapkan perhitungannya. Ia sama sekali tidak menghindar dan mengelak. Tetapi ia dengan segenap kekuatannya sengaja membenturkan dirinya pada kekuatan lawannya.

Ketika Agung Sedayu terguncang oleh hentakkan ilmu lawan yang seolah-olah menimbulkan gempa, Agung Sedayu memusatkan daya tahannya untuk melawan serangan lawan yang menurut perhitungannya akan segera menghantamnya.

Dalam goncangan itu ia melihat lawannya mulai meloncat dengan kakinya yang terjulur lurus mengarah ke dadanya. Serangan yang berkali-kali telah melemparkannya jatuh di tanah, disusul dengan serangan-serangan lain yang membuatnya menjadi bingung.

Tetapi Agung Sedayu tidak menghindar. Meskipun rasa-rasanya tanah di bawah kakinya bergelombang, namun ia tetap berdiri sambil menyilangkan tangannya di dadanya.

Ternyata telah terjadi benturan yang dahsyat. Agung Sedayu masih juga terlempar beberapa langkah. Ia jatuh berguling sambil menyeringai kesakitan. Dadanya yang tertekan oleh tangannya yang dibuatnya sebagai perisai, terasa sakit. Nafasnya bagaikan terputus untuk sesaat.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa lawannya pun telah terlempar pula. Meskipun ia tidak jatuh terguling, tetapi ia pun menjadi terhuyung-huyung. Kakinya merasa sakit bagaikan membentur dinding baja yang tak tergoyahkan.

Pada saat itulah, Agung Sedayu mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan tenaga yang masih ada padanya, ia pun segera bangkit dan duduk di atas tanah. Sengaja ia tidak berdiri untuk memperkecil goncangan-goncangan yang melepaskan keseimbangannya.

Lawannya sama sekali tidak mengerti apa yang akan dilakukan oleh anak muda itu. Dalam keadaan yang demikian, ia sudah siap menghentak tanah dan berteriak atau tertawa sekeras-kerasnya, sehingga bumi bagaikan diamuk gempa, dan isi dada bagaikan rontok karenanya.

Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Ia hanya memerlukan waktu yang tidak lebih lama dari waktu yang diperlukan oleh lawannya. Baginya tidak ada jalan yang dapat dilakukan kecuali langsung melumpuhkan sumber dari goncangan-goncangan tanah tempatnya berpijak dan hentakan jantung di dadanya. Tidak dalam libatan benturan jasmaniah, karena rasa-rasanya ia tidak dapat mengatasi gangguan keseimbangannya.

Lawan Agung Sedayu itu menjadi heran, ketika ia melihat Agung Sedayu justru duduk diam. Anak muda itu tidak lagi berusaha untuk melonjak-lonjak menghindari serangan-serangannya yang bakal datang beruntun, atau menekan dadanya dengan telapak tangannya oleh hentakan yang tidak tertahankan.

Tetapi lawan Agung Sedayu itu tidak menghiraukannya. Didahului dengan lontaran ilmunya yang menggoncang bumi dan memeras jantung, ia siap untuk meloncat menyerang.

Pada saat itu, Agung Sedayu pun sudah siap, ia benar-benar ingin melumpuhkan lawannya sebelum lawannya menyentuh tubuhnya dalam serangan yang akan datang membadai.

Sejenak suasana di halaman itu menegang. Orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu pun menahan nafasnya. Mereka melihat sikap Agung Sedayu yang berbeda. Anak muda itu seakan-akan sedang merenungi nasibnya yang buruk menghadapi serangan yang tidak terelakkan. Bahkan seolah-olah Agung Sedayu sudah berputus asa, duduk diam tanpa mengadakan perlawanan lagi, betapapun dahsyatnya serangan lawannya.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Bahkan di luar sadar mereka telah bergeser mundur.

Tetapi Swandaru yang tak mengetahui apa yang akan terjadi, benar-benar jadi bingung melihat sikap Agung Sedayu. Ia pun mengira, bahwa Agung Sedayu sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan, sehingga karena itu, maka ia pun duduk pasrah menerima nasibnya.

Pada saat yang tegang itu, halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung telah digetarkan oleh teriakan yang menggoncang jantung dari lawan Agung Sedayu, yang sedang melontarkan ilmunya. Bumi bagaikan diguncang oleh gempa yang maha dahsyat.

Namun, Agung Sedayu tetap duduk di tempatnya. Matanya bagaikan menyala memandang lawannya yang sedang melontarkan ilmunya.

Pada saat itulah agung Sedayu telah siap membakar lawannya dengan ilmu yang pernah diserapnya. Ia tidak menyerang lawannya dengan sentuhan wadagnya, tetapi dengan sorot matanya yang tajam bagaikan menusuk langsung ke pusat jantung lawan. Pandangan matanya yang mempunyai kekuatan hentakan kekuatan wadag berlipat-lipat, dengan dahsyatnya telah melibat lawannya, menekan dan meremas isi dadanya.

Lawan Agung Sedayu terkejut. Dadanya menjadi pepat bagaikan terhimpit sepasang gunung yang runtuh. Darahnya menjadi panas, seakan-akan mendidih di dalam pembuluhnya yang menyelusuri seluruh tubuh.

Sejenak orang itu menggeliat. Dikerahkannya segenap daya tahannya untuk melawan himpitan yang tidak dilihatnya dengan mata wadagnya menjepit isi dadanya, serta panasnya darah di urat nadinya.

Agung Sedayu yang duduk dengan tegang, merasa goncangan tanah tempatnya duduk menjadi berkurang. Getaran yang meremas jantung di dadanya pun mengendor pula. Bahkan ia melihat lawannya mulai menggeliat menahan sakit.

Ternyata ilmu Agung Sedayu berbeda dengan ilmu lawannya. Lawannya hanya mampu mempengaruhi perasaan Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu menjadi kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Seolah-olah ia telah kehilangan keseimbangan dan sesak nafas.

Tetapi ilmunya sendiri, adalah benar-benar merupakan serangan langsung kepada tubuh lawannya. Tatapan matanya mempunyai kekuatan rabaan wadag yang kekuatannya tidak terlawan.

Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja lawannya menggeram. Namun kemudian menggeliat sambil berdesis menahan sakit.

Tetapi, himpitan di dadanya itu semakin lama menjadi semakin keras, dan panas darahnya bertambah tinggi, sehingga akhirnya badannya bagaikan terbakar oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu yang memancar dari sorot mata nya.

Ketegangan di halaman Kademangan Sangkal Putung itu pun menjadi semakin meningkat. Kawan-kawan lawan Agung Sedayu itu menjadi heran melihat keadaannya. Mereka tidak melihat dengan mata wadag, apakah yang terjadi. Tetapi yang mereka lihat, adalah libatan kesakitan yang seakan-akan tidak tertahankan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar