Anak-anak Naga (Liong Haizi) Jilid 5

Jilid 5

“aku mau membunuhnya, karena telah mempengaruhi pikiranmu dengan nyanyian itu.” “hehehe…cici sadarlah, cici tidak akan mampu mengalahkannya.”

“katakan saja padaku!” bentak Lao-si

“dia seorang pemuda yang luar biasa.” sahut Wan-peng “pemuda? apakah namanya Fei-lun!?”

“aku tidak tahu namanya, tapi dia pemuda belia yang gagah.”

“goblok! setua kamu mengambil pelajaran dari pemuda bau kencur.” bentak lao-si sambil berkelabat dari tempat itu.

Apa yang dialami oleh Wan-peng sejak bertemu dengan Fei-lun telah membuka mata hatinya, kesadarannya muncul, rasa sesalnya akan perbuatan selama ini membeludak, merasakan dirinya hina dan kotor, sejak itu ia bertekad untuk mengasingkan diri, melupakan masa lalunya yang kelam, meninggalkan kehidupannya yang penuh kesesatan, hingga ia menyepi di hutan sebelah timur kita Yinchang, hari-hari ia lalui dengan dengan merenung menyesali diri, minta ampun pada Thian dari semua ke alapaan dirinya selama ini.

Lao-si memasuki kota yinchang, dari kota Yinchang ia melintas menuju kota Bicu, kekecewaannya pada sikap adiknya menambah bara dendam pada Fei-lun, sejak putranya Sai-ku mengalami luka akibat tangan Fei-lun ia sudah menyimpan dendam pada Fei-lun, keinginannya untuk bertemu Hung-fei menggebu-gebu, dia harus mampu menaklukkan hati Hung-fei untuk melenyapkan Fei-lun, larinya dipercepat melintasi hutan dan lembah.

Han-piauwkiok hari itu menerima banyak menerima transaksi jasa ekpedisi dari para pelanggan, dua ekpedisi sudah berjalan, dan siang ini dua ekepedisi lagi akan diberangkatkan, Hung-fei didalam kantornya menyiapkan surat-surat jalan barang yan akan di kirim, ia sudah kembali merasa normal dan melupakan pertemuannya dengan tiga lao delapan bulan yang lalu, tiga anaknya telah menerima kitab sesuai permintaan ibu-ibu mereka, dan dia dapat menyelamatkan rumah tangganya dari aib masa mudanya.

Seorang piauwsu datang melapor padanya

“taijin, ini ada surat yang dibawa seorang pelayan likoan, katanya penting untuk segera diketahui taijin.” ujar piauwsu itu sambil menyerahkan segulung surat yang diikat dengan pita merah, Hung-fei heran dan menerima surat itu, terlebih melihat pita berwarna merah itu.

“terimakasih A-hok dan kamu boleh keluar.” sahut Hung-fei, A-hok pun keluar, dan Hung-fei segera membuka surat

aku menantang bun-liong-taihap, dan aku tunggu di hutan sebelah selatan kota Lao-si

Melihat nama pengirim muka hung-fei pucat, lalu ia segera menggulung surat dan menyimpannya dalam bajunya, kemudian ia keluar dari kantor

“A-hok berikan surat ini pada A-can dan suruh segera berangkat, dan jika nyonya bertanya, katakan aku pergi ke likoan disebelah selatan kota.”

“baik taijin.” sahut A-hok sambil menerima dua lembar surat jalan ekpedisi.

Han-hung-fei segera pergi dan keluar gerbang selatan, disebuah hutan Lao-si sedang rebahan menunggunya

“lin-moi, kamu kenapa kesini?” tanya Hung-fei dengan wajah tidak senang “fei-ko kamu harus membantuku menangani seseorang.” “apa maksudmu lin-moi?” tanya Hung-fei heran

“aku disakiti seorang pemuda, anakmu juga sudah dilukainya.” “apa yang terjadi, siapa yang menyakitimu dan melukai ku-ji?” “seorang pemuda yang bernama Fei-lun.”

“eh…kenapa dengan Fei-lun, kapan kamu disakitinya? dan kapan ku-ji dilukainya?” “kamu ingat peristiwa di kaifeng? anakmu dilukainya saat itu“

“aku tahu, dan aku beterimakasih padanya karena telah menyelamatkan han-piauwkiok saat itu.” “jadi kamu tahu tentang pemuda itu?”

“benar aku tahu dan kenal baik dengan keluarganya.”

“anakmu luka berat, sehingga hari ini ia belum dapat pulih sampai sekarang, pelajaran dari kitabmu sulit untuk dilatihnya karena beberapa urat nadinya tidak berfungsi, tapi sudahlah, kamu tidak akan mau melakukannya walaupun anakmu mati bukan?” ujar Lao-si sambil meneteskan air mata

“ah…jika anakku cacat seumur hidup, aku akan menyabung nyawa dengan pemuda sialan itu.” ujarnya geram dengan linangan air mata.

“maaf aku tidak bisa membantumu lin-moi.” ujar Hung-fei datar

“yah, mau bagaimana lagi, kamu memang tidak punya perasaan pada anakmu, dan ketahuilah, aku akan kembali lagi membawa anakmu kesini, karena aku yakin akan tewas di tangan pemuda itu.”

“ja..jangan kamu lakukan itu lin-moi!” sela Hung-fei terkejut

“fei-ko aku tidak punya pilihan, tidak mungkin anakku yang cacat kutinggal mati sendirian, kamu adalah ayahnya, kemana lagi dia kuserahkan jika tidak padamu.” ujar Lao-si sedih, Hung-fei jadi bingung

“sudahlah, aku pergi dan maaf telah merepotkanmu!” ujar Lao-si sambil bangkit berdiri “tunggu dulu, baik..aku akan menemui fei-lun dan akan menghukumya.” sela Hung-fei “seberat apakah fei-ko akan menghukumnya?”

“aku akan mengahajarnya setidaknya mengalami seperti ku-ji.”

“tidak, aku mau ia tapadaksa baru aku memaafkannya, dan aku tidak lagi berlaku nekat untuk mencarinya.”

“itu keterlaluan lin-moi, fei-lun itu anak temanku dan kongkongnya adalah pengelola likoan milik keluarga istriku.”

“aku sudah katakan, kalau ia tidak tapadaksa aku akan menyerahkan anakmu kembali padamu, karena aku mau menyabung nyawa dengannya.” ujar Lao-si, Hung-fei makin bingung.

“aku pergi, dan aku akan dengar berita setidaknya dalam tiga bulan ini, kalau ia saya dengar tapadaksa, maka aku akan puas, dan aku akan hidup dengan anakku, tapi jika tidak aku akan membawa kuji kesini dan menyerahkan padamu.” ujar Lao-si sambil berkelabat meninggalkan Hung-fei yang kebingungan, lao- si seyum sendiri, dia yakin sandiwaranya berhasil, dan Hung-fei akan membuat perhitungan dengan Fei- lun.

Han-hung-fei kembali ke rumahnya dan disambut istrinya “apa urusan di likoan fei-ko?” tanya Lian-kim

“seorang pelayan dilikoan itu mengantarkan surat, dan aku ingin menayakan orang yang mengirim surat.” “surat tentang apa?” tanya istrinya

“hmh…biasa gaya hidup kangowu, dia menantangku untuk duel. “lalu apa jawab pelayan itu?”

“kata sipelayan orang laki-laki tua.”

“apakah fei-ko akan memenuhi tantangannya, dan dimana ia menantang fei-ko?” “aku akan memenuhinya, jadi besok aku akan berangkat ke kaifeng.”

“apakah ini berhubungan dengan piuawkiok kita dikaifeng.” “saya yakin ada kaitannya.” sahut Hung-fei

“kamu hati-hati koko.” sela Lian-kim cemas

“kamu tenang saja, aku tidak akan apa-apa.” sahut Hung-fei menghibur dan memeluk istrinya.

Keesokan harinya Hung-fei berangkat, tujuannya kekaifeng untuk menemui Fei-lun, perjalanannya dilakukan dengan cepat, hingga seminggu kemudian ia sampai ke lokyang, ia disambut muridnya cia-peng yang menjadi pimpinan cabang

“ada apakah suhu?” tanya Cia-peng

“aku hanya ingin melihat perkembangan piauwkiok, bagaimana keadaan disini?”

“piauwkiok berjalan baik dan piauwkiok kita menjadi salah satu piaukiok ternama dikota ini, para pelanggan kita juga bertambah.” sahut Cia-peng

“baguslah kalau begitu.” sela Hung-fei

“lalu bagaimana dengan kasus yang menimpa piuawkiok kita di kaifeng suhu?”

“itulah aku akan kesana untuk mengetahui perkembangannya.” sahut hung-fei, setelah membicarakan ihwal piauwkiok, Han-hung-fei istirahat.

Liu-sian sejak tiga hari yang lalu merasa sedih, ayahnya Liu-gan yang semakin tua sudah sering sakit- sakitan, kali ini sudah tiga hari Liu-gan baring dan tidak pergi ke Likoan

“sian-ji apakah cucuku belum pulang?”

“belum ayah, ayah tidak usah banyak berpikir, dan istirahatlah yang cukup.” “hmh…aku sudah tua dan rasanya aku tidak sanggup lagi mengelola khu-likoan.”

“sebaiknya ayah tidak perlu bekerja lagi, dan tabungan kita sudah lebih dari cukup ayah.”

“hmh…menurutku juga demikian, jadi suruhlah lauw-sicu kesini menemuiku, aku ingin membicarakan hal itu dengannya.” ujar Liu-gan.

Keesokan harinya Lauw-loya datang menjenguk Liu-gan “bagaimana keadaanmu liu-sicu?”

“hmh…tubuhku sudah semakin lemah lauw-sicu, dan mungkin tidak bisa lagi mengurus likoan.” “lalu maksud liu-sicu bagaimana?”

“sebaiknya kamu yang ambil alih penuh pengelolaan likoan, dan aku akan mengirim surat pada han-hujin tentang pengalihan tugas dan sekaligus surat pengunduran diriku, kami titipkan pada han-piuwkiok untuk disampaikan kepada han-taihap.”

“baiklah kalau begitu liu-sicu, jagalah kesehatanmu dan istirahatlah yang banyak.” sahut Lauw-loya. Tiga hari kemudian Hung-fei sampai ke kaifeng dan langsung menuju kantor han-piauwkiok.

“cu-hai murid Hung-fei yang menggantikan pimpinan cabang menyambut kedatangan suhunya “bagaimana perkembangan disini Hai-ji?”

“keadaan selama setahun terakhir sudah kembali normal suhu, dan kebetulan suhu datang ini ada surat dari liu-gan untuk suhu.” ujar cu-hai sambil memberikan surat, setelah membaca surat,

“aku akan ke khu-likoan besok untuk membicarakannya.” ujar Hung-fei, kemudia hung-fei istirahat.

Pagi-pagi sekali Han-hung-fei pergi ke khu-likoan

“saya sudah terima surat dari Liu-siok, sekarang bagaimana keadaannya?” tanya Hung-fei “kondisinya makin lemah Han-taihap, jadi bagaiamana tanggapan han-taihap

“jika memang sudah tidak mampu, dan pengalihan penuh pada lauw-loya kami setujui.” Jawab Hung-fei “kalau begitu saya akan lakukan tugas semaksimal mungkin han-taihap.”

“kami harap juga demikian, dan terimakasih atas kerjasamanya.” “apakah Han-taihap akan menginap disini?” tanya Lauw-loya “tidak, aku menginap di kantor paiuwkiok saja.” Jawab Hung-fei

Setelah Han-hung-fei menyelesaikan adiministrasi di Khu-likoan, Hung-fei menuju rumah Liu-gan, seorang pembantu mendekatinya

“Liu-siok ada?” tanya Hung-fei

“ada tuan, marilah masuk dulu, dan sebentar saya akan melapor.” sahut pembantu, tidak lama Liu-sian muncul

“oh…ternyata Han-taihap, ada apakah taihap?” sela Liu-sian terkejut, dia berusaha menentramkan hatinya dan duduk didepan tamunya.

“anakmu mana sian-moi?” tanya Hung-fei langsung

“Lun-ji sudah tiga bulan meninggalkan rumah, ada apakah taihap?” “hmh…aku ada hal yang penting dengannya.” sahut Hung-fei agak tajam “boleh aku tahu, apa yang penting itu, taihap?”

“urusan ini sebenarnya tidak baik, liu-sian, dan amat mengecewakan.” “hal apakah yang anakku lakukan sehingga membuat kecewa taihap?”

“sudahlah, kalau memang dia tidak disini, biar aku cari dia.” sahut Hung-fei, sambil berdiri

“maafkanlah anakku taihap jika ia membuatmu kecewa, kalau dia datang aku akan tegur dan nasehati ia.” “hmh….sudah aku permisi!” sela Hung-fei sambil melangkah keluar, hati liu-sian menangis dan merasa marah pada anaknya yang membuat Hung-fei menyimpan amarah, Liu-sian kembali kedalam

“siapa yang datang sian-ji?” tanya ayahnya dari dalam kamar “Han-taihap yang datang ayah.”

“apakah ia membicarakan suratku?”

“tidak ayah, tapi anakku sepertinya membuat dia marah dan kecewa. “hal apa yang membuat Han-taihap marah dan kecewa?”

“dia tidak mengatakannya, namun sinar matanya sangat marah

“bagaimana menurutmu sian-ji? apakah menurutmu anakmu telah bersalah padanya?” “tentu Lun-ji telah menyinggung hati Han-taihap.” sahut Liu-sian dengan nada sedih “kamu salah sian-ji, anakmu tidak pernah menyinggungnya.” ujar Liu-gan

“bagaimana ayah tahu?” tanya Liu-sian

“terakhir mereka bertemu dirumah ini, dan keadaannya baik-baik saja, bahkan ia berterimakasih pada anakmu, lalu hari ini ia datang dan menayakan keberadaan Fei-lun, itu artinya ia tidak pernah bertemu dengan fei-lun setelah itu, lau bagaimana anakmu kamu rasa menyinggung hatinya? sementara mereka tidak pernag bertemu”

“mungkin saja Han-taihap mendengar hal dari orang tentang sikap atau perkataan Lun-ji.

“Sian-ji ayah kecewa padamu, bahwa kamu tidak mengenal anakmu, karena perasaanmu, kamu tidak bisa berlaku adil pada darah dagingmu sendiri.” sela Liu-gan dengan nada sedih, mendengar perkataan ayahnya, Liu-sian langsung memeluk kaki ayahnya

“hik..hiks…ayah maafkanlah anakmu ini, penilaianku telah menyakiti ayah.”

“sian-ji, seharusnya kamu akan tetap mebela anakmu didepan siapapun, hanya kamu yang dia punya, jika kamu tidak mampu lakukan, apa lagi yang tersisa untuk anakmu, anakmu pemuda luar biasa, keteguhanya hatinya, kematangan jiwanya yang ditempa kenyataan hidup patut diacungkan jempol, tidakkah kamu ingat betapa anakmu yang masih kecil, demikian tabah menghadapi cercaan orang, penilaian miring dari orang- orang usil tentangmu, tidakkah kau lihat pembelaannya padamu saat itu, lalu kenapa kamu tidak percaya padanya hanya karena orang yang tidak menerimamu dan tidak tahu sedikitpun tentang anakmu.

“u..uuu…sudahlah ayah….aku salah..aku salah ayah..uuu…” tangis Liu-sian penuh pilu berbalut rasa sesal telah menyakiti ayahnya dan meragukan anaknya sendiri, kebutaan cinta ini telah membutakan hati dan pikirannya, Liu-gan mengelus rambut putrinya

“baiklah anakku dan dengarlah pesanku, han-taihap adalah sebuah mimpi, tapi anakmu adalah kenyataan, dan ayah yakin kamu akan mampu memilih diantara keduanya” ujar Liu-gan, lalu memejamkan matanya, dan tidak lama kemudian Liu-sian menjerit histeris mendapatkan ayahnya tidak ada gerak nadi, ayahnya ternyata sudah meninggal dunia.

Para tetangga berdatangan, dan membantu kemalangan yang menimpa Liu-sian, berita sampai ke likoan, hari itu juga para Lauw-loya segera datang berkunjung bersama para pegawai likoan, Han-hung-fei mendengar kemalangan itu, namun dia tidak menunda keberangkatannya dari kota Kaifeng, dia tetap pergi untuk mencari Fei-lun untuk urusan yang membuat dia cemas dan ketakutan, dia harus menemukan Fei- lun dibawah tiga bulan.

Han-hung-fei menuju kota Sijazhuang, dan dikota ini ia mendengar bahwa Fei-lun sudah menjadi pimpinan pek-to dengan julukan siauw-taihap (pendekar muda) dan bahkan ia dengar Fei-lun menuju Beijing, dengan cepat Hung-fei menuju Bei-jing, sepanjang perjalanan ke kota Beijing nama siauw-taihap semakin santer dibicarakan, dan di Beijing ia dengar bahwa siuaw-taihap baru dua hari meninggalkan Beijing menuju Sinyang, Hung-fei lansung mengejar ke Sinyang.

Disebuah lembah sehari perjalanan dari kota Beijing, Hung-fei melihat Fei-lun sedang makan panggang kelinci, baunya yang sedap membetik selera

“ternyata kamu disini suaw-taihap.” sela Hung-fei muncul dengan tiba-tiba, Fei-lun menatap orang yang baru muncul

“oh ternyata han-taihap, marilah kita makan daging bakar, paman!” ujar Fei-lun “hmh…selesaikanlah makanmu. Setelah itu kita bicara.”

“apakah paman tidak akan makan bersamaku?”

“tidak, aku tidak lapar, dan aku hanya ingin menyelesaikan sesuatu denganmu.” sahut Hung-fei, Fei-lun merasa heran, mendengar nada suara yang terkesan ketus itu.

“baiklah paman! aku sudah selesai.” ujar Fei-lun sambil minum arak “sekarang bersiaplah fei-lun aku akan mneyerangmu!”

“eh..bagaimana ini paman!? apa sebabnya paman hendak menterangku!?”

“kamu terlalu telengas telah melukai dengan hebat anaku!” sahut hung-fei sambil menyerang dengan “mingling-xie-bun-sian” jurus kedelapam bun-sian-pat-hoat, gerakan menulis yang luar biasa itu bertubi- tubi mengejar tubuh Fei-lun yang bergerak cepat.

Fei-lun merasa terkejut bahwa jurus ini demikian menekan dan mendesaknya, untungnya sin-kang dan gin-kangnya mengatasi Hung-fei, Fei-lun menggerakan jurus tangan kosong warisan suhunya pak-sian, berkat dukungan sin-kang dan gin-kangnya yang tinggi, jurusnya yang walaupun dibawah jurus Hung-fei mampu bertahan, hal ini membuat Hung-fei heran dan takjub, Hung-fei pernah menghadapi jurus ini oleh tangan aslinya, dan ia mampu mendesak dan mengalahkan Pak-sian ketika itu, namun kali ini jurus yang sama, diitangan pemuda berumur dua puluh satu tahun ini, ilmunya yang luar biasa malah tidak mampu mendesak.

Pertempuran segit berlangsung seru, ketika hawa sin-kang mulai beradu, Fei-lun merasakan betapa sin- kang yang menjadi ayahnya luar biasa, tangannya bergetar kesemutan, walhal sin-kangnya sudah sikerahkan tiga perempat, tapi lain halnya dengan hung-fei, tiga perempat sin-kang yang dihantamnya dengan sin-kang membuat dia menggerus tanah hingga empat langkah, Hung-fei menjadi pucat melihat kenyataan itu, setelah dua ratus jurus Hung-fei berhenti dengan nafas memburu.

Apakah kamu muruid pak-sian?” tanya Hung-fei

“benar, aku murid pak-sian dan lam-sian.” sahut Fei-lun, Hung-fei kembali menyerang, dan kali ini serangan hung-fei dihadapai dengan ilmu tangan kosong warisan lam-sian, dan ini pernah disaksikan oleh Hung-fei dikeluarkan Lam-sian ketika berhadapan dengan Lam-sin-pek, namun sama halnya ilmu ini juga mampu menahan tekanannya, sadarlah hung-fei bahwa jurus-jurus ini adalah warisan Ji-sian, namun pondasi sin-kang dan gin-kang Fei-lun entah warisan siapa, sehingga ia sendiri kalah.

Seratus jurus kemudian Hung-fei pun mencabut senjatanya, hal ini sebenarnya memalukan dirinya yang golongan tua

“keluarkan senjatamu Fei-lun!”

“aku tidak memiliki senjata paman!” sahut Fei-lun

“kalau begitu jangan salahkan aku. Jika pedangku melukaimu.”

“hmh…apa yang telah aku lakukan sehingga paman demikian marah padaku?” “sudah aku katakan bahwa kamu sangat telangas melukai anakku han-saii-ku.” “Han-sai-ku? kapan aku mekukainya?” “saat kejadian dikaifeng.” sahut Hung-fei “oh ternyata ketiga anak paman itu.”

“eh apa kamu bilang, katakan sekali lagi.” “ketiga muda itu anak paman bukan?”

“bagaimana kamu tahu, bahwa ketiganya anakku.”

“tidak perlu bagaimana aku tahu, jika karena ketiga anak paman itu, sehingga paman marah padaku, aku siap menerima pedang paman.”

“Jangan panggil aku paman, aku bukan pamanmu!” bentak hung-fei jengkel mendengar tantangan Fei-lun yang begitu tenang.

“silahkan Han-taihap!” sela Fei-lun dengan hati bergetar, hatinya gemas dan sedih menghadapi kenyataan ini, Hung-fei mulai masang kuda-kuda yang khas dari ilmu pedangnya yang luar biasa, Hung-fei bersiap dengan ilmu tangan kosong dari suhunya Liu-sin “Liang-hok-bun-hoat” pertempuran tidak seimbang itu berlangsung seru, gerakan pedang yang menyambar laksana kilat susul meyusul mengancam tubuh Fei- lun, namun Fei-lun dengan lincah dan kuat menghadapi pedang pusaka dengan tangan telanjang, gerakan gin-kangnya yang luar biasa gesit dibarengi kekuatan sin-kang yang amat tangguh, pedang luar biasa itu seperti mengejar bayangan saja, dan jurus yang digunakan itu menghadap pedang, juga membuat Hung- fei heran, jurus itu seiras dengan jurus kedelapan miliknya, keterkejutan ini juga dialami Fei-lun saat ia menghadapi ilmu tangan kosong Hung-fei.

Hati hung-fei makin takjub, betapa pemuda ini demikian luar biasa, pedangnya yang hebat disegani empat datuk, tapi untuk merobohkan pemuda bertangan kosong ini dia seperti diajak main kucing-kucingan, namun lama kelamaan Hung-fei semakin terdesak karena kayanya perkembangan ilmu pedang Hung-fei, sehingga satu ketika

“srat…sing…” pedang hung-fei menyambar lengan Fei-lun dan meninggalkan luka goresan, dan untunya serangan susulan yang mengarah membacok pada perutnya dapat dihindarkan.

Hung-fei merasa malu, setelah melihat luka Fei-lun, hatinya malu dengan perbuatannya, sudah dua ratus jurus baru ia dapat menggores lengan Fei-lun yang tangan kosong, dia merasa ada yang disembunyikan Fei-lun, jika sin-kang dikeluarkan sepenuhnya maka setidaknya pedangnya akan selalu terbentur, karena sin-kang fei-lun sangat luar biasa

“kenapa kamu tidak mengerahkan seluruh sin-kangmu menghadapi pedangku?” “han-taihap aku belum kalah!” sahut Fei-lun

“katakan kenapa sin-kangmu tidak maksimal menghadapi pedangku, apa kamu menganggap remeh padaku?”

“untuk apa kujawab Han-taihap, apa akan membuatmu membatalkan niatmu untuk membunuhku, apalah arti nyawaku dibandingkan nyawa ketiga anakmu.”

“kamu bisa menghadapi pedangku jika kamu kerahkan tenagamu, tapi tidak kamu lakukan!?”

“tiada guna aku bicarakan.” sahut Fei-lun sambil berkelabat dari tempat itu, gerakan yang luar biasa itu membuat Hung-fei terkejut dan tercenung, dia terduduk lemas memikirkan hal-hal menakjubkan dirinya pada Fei-lun, kemudian ia teringat pada ancaman lao-si, segera ia bangkit dan berkelabat dari tempat itu

“aku harus ke huangsan.” pikirnya Han-Fei-lun memasuki kota Sinyang, kota besar yang padat penduduk, disebuah likoan ia istirahat dan makan, para pelayan sibuk melayani para tamu yang semakin memenuhi likoan tersebut, salah satu tamu yang datangnya menyolok adalah kedatangan seorang kongcu dengan lima orang tukang pukulnya.

“pelayan! bagaimana dengan tempat pesanan saya!?”

“hehehe…selamat datang Yang-kongcu! mari kita keruang atas, ruang atas sudah disediakan untuk Yang- kongcu.”

“bagus kalau begitu.” sahut Yang-kongcu, lalu dengan sombong ia menaiki tangga sambil memainkan kipasnya yang indah,

Tidak lama kemudian sebuah joli datang, seorang perempuan cantik turun diiringi empat orang wanita, wanita cantik itu adalah seorang gadis penghibur yang dipanggil dengan sebutan bwee-siocia, langkahnya yang anggun gemulai, wajahnya yang luar biasa cantik membuat para tamu berdecak kagum dan saling berbisik, rombongan itu naik ketingkat atas

“hehehe…kamu sudah datang cantik!?”

“benar Yang-kongcu, maaf agak terlambat.” Sahut bwee-siocia

“hehehe…tidak apa sayang, sekarang mainkanlah musik untukku.” ujar Yang-kongcu.

Yang-kongcu menikmati permainan musik dari bwee-siocia yang mendayu-dayu, Yang-kongcu yang sudah berumur dua puluh tujuh tahun itu tidak bosan-bosannya tersenyum dan memuji-muji permainan bwee- siocia yang mememetik tali senar yan-kim nya, sementara dibawah seorang lelaki tua bersama dua orang memasuki likoan, pelayan dengan wajah pucat buru-buru melayaninya, lelaki tua itu adalah tokoh terkenal dikalangan bui-lim, ia adalah Pak-tok pimpinan Pak-ki yang berpusat di Sinyang.

“pelayan siapa yang bermain musik diatas!?”

“diatas bwee-siocia sedang menghibur Yang-kongcu.” sahut pelayan

“hehehe..baagus, kalian cepat jemput bwee-siocia.” ujar Pak-tok pada dua yang bersamanya “baik Bu-loya.” sahut keduanya serempak lalu bergerak cepat menaiki tangga

Tidak lama suara ribut-ribut terdengar dari atas, suara Yang-kongcu terdengar marah-marah

“brak….” tubuh Yang-kongcu terlempar melabrak pagar pembatas ruangan tingkat atas, tubuh Yang- kongcu melayang kebawah, para tamu banya yang histeris, Fei-lun bergerak gesit dan menangkap tubuh Yang-kongcu, dan membawanya mendarat di lantai, Pak-tok yang melihat gerakan itu terkesima

“hmh…apa kamu punya nyawa rangkap hingga berani unjuk gigi didepanku!?” ujar Pak-tok “nyawa orang sedang terancam, siapa pula yang hendak unjuk gigi padamu?” sahut Fei-lun “siapa saja yang ikut campur urusanku, maka dia akan binasa.” ancam Pak-tok

“jangan sesumbar orang tua, sudah bau tanah harusnya mikir sisa umur tidak seberapa lagi.” “sialan…! apa kamu tidak kenal padaku!?” bentak Pak-tok

“aku tidak kenal padamu, lalu kenapa jika tidak kenal!?”

“bangsat, rasakan ini!” bentak Pak-tok sambil menyerang dengan mengebutkan tangannya, serangkum hawa menderu melesat ke arah Fei-lun, fei-lun mengelak dan melompat keluar likoan

“jangan lari pengecut!” teriak Pak-tok sambil melompat mengejar Fei-lun, Fei-lun berdiri dihalaman likoan “orang tua, disini lebih nyaman daripada didalam.” “sialan! kamu menantang saya rupanya!” bentak Pak-tok sambil menyerang dengan gencar, Fei-lun mencoba menghadapi Pak-tok dengan ilmu yang baru sebulan yang lalu dihadapinya yakni “minling-xie- bun-sian” dari Hung-fei, karena gerakan itu seperti senada dengan jurus sastranya, maka dengan mudah ia menirukannya, kalau seandainya Hung-fei melihat, tentu dia akan heran karena ilmunya telah dikuasai orang lain tanpa sepengetahuannya, dan bahkan akan takjub karena ilmu yang dimainkan Fei-lun lebih luar biasa gesit dan kuat daripadanya.

Pak-tok terkejut dan berusaha lari dan mengelak, hanya dalam sepuluh jurus Pak-tok sudah dibuat jatuh bangun, tubuhnya laksana karung pasir yang dijadikan sasaran seorang petinju,

“buk..auh..plak…agh…buk…aaa…plak…auh…brugh…” tubuh Pak-tok terhempas, dengan muka lebam dan tubuhnya berdenyut nyeri, dua tulang iganya patah, sikunya lepas, pundaknya remuk, untung baginya sin-kang yang dikerahkan dalam pukulan hanya seperdelapan, namun walaupun seperdelapan, orang tua selevel Pak-tok babak bundas juga dibuatnya.

Dua pengawalnya menjauh ketakutan, mereka tidak menduga bahwa pimpinannya akan se apes itu, walhal mereka mau berangkat ke Huangsan untuk pertemuan, Pak-tok tergeletak lemas tidak berdaya, dia menatap Fei-lun dengan sinar mata cemas

“bagaimana orang tua, apa kamu masih sesumbar?”

“ampunkan aku taihap, ta..tapi kamu ada hubungan apa dengan bun-liong-taihap?”

“apa kamu kenal bun-liong taihap?” tanya Fei-lun, pak-tok mengangguk sambil meringis, Fei-lun menggendong Pak-tok dan masuk kedalam likoan, lalu mendudukkan Pak-tok

“terimakasih taihap telah menyelamatkan saya.” sela Yang-kongcu

“sama-sama kongcu, dan segeralah kongcu tinggalkan tempat ini.” sahut Fei-lun, Yang-kongcu mengangguk lalu pergi, kemudian Bwee-siocia datang mendekat

“terimakasih taihap.” ujar Bwee-siocia lembut, Fei-lun menatap gadis cantik itu, sesaat Fei-lun terpesona, dan hal itu membuat Bwee-siocia menunduk dan bersemu merah karena jengah dipandangi demikian lekat oleh Fei-lun

“eh..ya..sama-sama siocia, dan sebaiknya siocia kembali saja.” sahut Fei-lun, wajahnya jengah karena malu akan sikapnya.

Setelah Bwee-siocia pergi, Fei-lun menatap wajah Pak-tok yang memar “orang tua sipakah kamu sebenarnya?”

“a..aku adalah Bu-lim, dan orang memanggilku Pak-tok

“hmh baiklah pak-tok, tadi kamu katakan kenal dengan bun-liong-taihap, jadi katakana padaku siapakah Bun-liong-taihap!”

“apakah taihap tidak kenal dengan bun-liong-taihap? “aku tidak begitu kenal dengannya.” sahut Fei-lun “ta..tapi ilmu yang taihap keluarkan tadi?”

“aku juga tidak tahu ilmu apa yang kukeluarkan itu.” sahut Fei-lun “nah sekarang bagiamana kamu kenal Bun-liong-taihap!”

“bun-liong-taihap saya kenal sejak mudanya.”

‘apa yang membuat kamu sehingga kenal dengannya?” “dia seorang yang berilmu sakti, dan juga merupakan pewaris ilmu luar biasa Bun-liong-sian-kiam.”

“apakah bun-liong-taihap adalah musuhmu?” “be..benar dia adalah musuh kami.” jawab Pak-tok

“apa maksudmu kami? apakah kalian sekumpulan orang yang memusuhi bun-liong-taihap?”

“be..benar taihap, kami adalah aliran hek-to yang memusuhinya.” sahut Pak-tok dengan nada meragu, takut ia akan ditindak tegas pemuda luar biasa ini, tapi jawabannya tidak menunjukkan rekasi apa-apa dari Fei-lun

“Kalau taihap adalah musuhnya, lalu bagaimana ilmunya ada pada taihap?” tanya Pak-tok “aku bukan musuh bun-liong-taihap.” sahut Fei-lun

“oh..maaf taihap, a..aku salah duga.”

“hmh..kalau benar kamu kenal Bun-liong-taihap sejak muda, bagaimanakah sepak terjangnya?” “bun-liong-taihap saat mudanya sangat binal.”

“bagaimana pak-tok mengatakan demikian?”

“yah…karena tiga tahun kemunculannya dia sudah menghamili banyak perempuan.”

“jadi karena itu kalian memberi gelar padanya dengan sebutan yaoyan?” sela Fei-lun, Pak-tok mengangguk

“kalau dia sudah banyak menghamili perempuan, lalu kenapa julukan itu tersebar didunia persilatan? malah Bun-liong-taihap yang dikenal orang kebanyakan.”

“masalahnya wanita-wanita yang dihamilinya adalah para lao yang kesaktiannya juga luar biasa, jadi terkesan bukan korban.”

“ooh begitu, lalu apakah ada salah seorang lao yang menuntut supaya Bun-liong-taihap menikahinya.? “setahu saya tidak ada.” Jawab Pak-tok

“kalau begitu bagi lao, hubungan itu juga hanya sekedar permainan, bukan?”

“benar, namun seoarng lao memang sangat dicintai bun-liong-taihap, namun gagal karena ia menghilang meninggalkan lao

“lao yang mana yang dicintai bun-liong-taihap?”

“lao-si taihap.” sahut Pak-tok sambil meringis kesakitan, Fei-lun menotok bahu dan lambung Pak-tok, tiba- tiba Pak-tok merasa nyeri dibahu dan lambungnya kontan hilang.

“kenapa taihap banyak bertanya tentang bun-liong-taihap?” “aku butuh detail sepak terjang Bun-liong-taihap, itu saja.” “kenapa bun-liong-taihap menghilang?”

“sa..saya tidak tahu kenapa, dia menghilang setelah membunuh ji-sian.” Jawab Pak-tok, Fei-lun berobah air mukanya mendengar bahwa ayahnya yang membunuh suhunya.

“apakah bun-liong-taihap tidak pernah muncul lagi?” “dia muncul lagi dan memerangi enam datuk sehingga dua datuk tewas, dan ia jatuh kedalam jurang, dan nyatanya ia selamat.”

“lalu apakah lao-si tidak menemuinya setelah tahu selamat?”

“Lao-si tahu ia selamat, namun ternyata ia sudah menikah dengan istrinya sekarang.” “apakah anak-anak lao tahu bahwa ayah mereka adalah Bun-liong-taihap?”

“kalau hal itu saya tidak tahu.” sahut Pak-tok cepat

“kenapa kamu tidak tahu, apa yang ada pada rencana kalian pada anak-anak bun-liong-taihap?” “a..aku tidak mengerti maksud taihap, ka..kami tidak punya rencana apa-apa.”

“jangan bohong!” bentak Fei-lun sambil memunahkan totokan dibahu Pak-tok, dan serta merta nyeri dibahunya berdenyut lagi.

“sa..saya tidak bohong taihap.” sahut Pak-tok memelas dengan wajah meringis

“tidak mungkin, karena saya merasakan bahwa seorang anaknya akan mampu mengimbangi kemapuan bun-liong-taihap, dan anak-anaknya itu telah membuka permusuhan dengan membunuh piauwsu bun- liong-taihap di kaifeng.”

“a..apakah taihap sudah pernah berhadapan dengan anak-anak lao?”

“sudah, makanya saya tahu, katakana apa rencana lao dan empat datuk pada anak-anak bun-liong- taihap!?” ujar Fei-lun sambil memunahkan totokan pada lambung, semakin nyeri seluruh tubuh Pak-tok

“untuk apa taihap ingin ketahui itu semua, apa hubungan taihap dengan Bun-liong-taihap?”

“tidak perlu kamu tahu, cepat jawab, kalau tidak akan kutambah luka ditubuhmu, mungkin kakimu akan kupatahkan saja.”

“ja..jangan taihap, ba..baik akan kukatakan.” sahut Pak-tok dengan wajah meringis kesakitan

“sejak anak-anak lao lahir, enam datuk sudah merencanakan menjadikan anak-anak lao menjadi mesin pembunuh untuk ayah mereka.” ujar Pak-tok, Fei-lun tercenung mendengarnya, dia mengingat betapa kitab ilmu bun-liong-taihap akan diserahkan pada ketiga anaknya, jadi semua itu untuk mewujudkan misi culas ini, anak-anak lao tanpa ilmu bun-liong-taihap saja, seorang darinya akan mampu mengimbanginya, kalau ilmu bun-liong-taihap dikuasai, tentu amatlah mudah bagi anak-anak lao membunuh bun-liong- taihap. kaitan-kaitan kejadian membuat Fei-lun berpikir menganalisa.

“hmh..kemarin bertemu dengan Bun-liong-taihap, dan dia marah karena bun-liong-taihap menganggap telengas melukai anaknya.” pikir Fei-lun

“siapakah nama anak dari lao-si?” tanya Fei-lun tiba-tiba “namanya Sai-ku.” jawab Pak-tok heran

“hmh Han-sai-ku, berarti Bun-liong-taihap telah dibakar oleh wanita yang pada dasarnya dicintai bun-liong- taihap.” pikir Fei-lun.

“pak-tok, bagaimana bisa seorang anak lao bisa lebih hebat daripada lao?” “sam-cu dididik oleh empat datuk dan mewarisi ilmu-ilmu enam datuk.”

“oo, jadi ketiga anak lao dipanggil sam-cu.” sela Fei-lun, Pak-tok mengangguk

“jadi seorang dari sam-cu lebih hebat dari datuk kalau begitu.” ujar Fei-lun, Pak-tok menngangguk. “pergilah dan kamu obati dirimu pak-tok.” ujar Fei-lun, Pak-tok bangkit sambil meringis, dan kedua pengawalnya yang sejak tadi berada diluar mendapatkannya, lalu mereka meninggalkan likoan, Fei-lun menyewa sebuah kamar untuk istirahat, didalam kamar Fei-lun berpikir banyak tentang infoemasi yang ia peroleh, sesaat ia kasihan dengan ayahnya yang hakikatnya jadi bahan permainan empat datuk dan lao, dan ironisnya ayahnya termakan permainan, dan bahkan sangat membahayakan, karena sam-cu akan menjadi monster bagi sang ayah.

Tapi ketika ia membayangkan ibunya yang berada diluar konteks permainan, hatinya iba pada ibunya dan marah pada hung-fei,hanya ibunya yang jadi korban, pikirnya, tapi disatu sisi ternyata ibunya tidak merasa jadi korban, karena ibunya sangat mencintai ayahnya, wajah ibunya kia jelas membayang, dan kerinduanyapun bergelora, dengan berhias bayangan ibunya Fei-lun tertidur pulas.

Keesokan harinya Fei-lun hendak meninggalkan likoan, namun Yang-kongcu datang mengundangnya untuk datang kerumahnya, Fei-lun menolak dengan halus, tapi Yang-kongcu tetap meminta dan memaksa, akhirnya Fei-lun tidak lagi menolak, lalu Fei-lun dibawa ke sebelah timur kota dimana rumah megah Yang- kongcu berdiri, didalam rumah itu Fei-lun disambut yang-loya dan istrinya, Yang-loya seorang hartawan kaya raya, sehingga ia menjadi orang paling kaya di kota Sinyang.

Yang-loya memiliki tiga orang anak, yang sulung adalah Yang-mou, kongcu berumur dua puluh tujuh tahun yang diselamatkan oleh Fei-lun, dia yang menggantikan ayahnya mengurus sebagian usaha ayahnya, Yang-mou belum menikah, namun dia mempunyai empat selir cantik dirumahnya, kemudian yang-lun lelaki berumur dua puluh empa tahun, dia juga memegang sebagian usaha ayahnya, Yang-lun mempunyai seorang istri dan dua orang selir, kemudian yang ketiga adalah gadis cantik berumur delapan belas tahun, namanya Yang-sian, Yang-sian lahir dari selir termuda Yang-loya yang berjumlah lima orang.

Yang-sian sangat pemalu dan pendiam, hal itu karena didalam rumah itu Yang-sian tidak mendapat perhatian dari ayahnya, kebutuhanya tidak demikian glamour, dia tidak bisa bermanja seperti kedua kakaknya yang satu perut, namun walaupun Yang-sian terpinggirkan, Yang-sian berusaha menerimanya, karena tidak ada yang harus dituntut, dia hanya anak seorang selir.

Dimeja makan Han-fei-lun dijamu Yang-loya

“ini rasa terimakasih kami pada taihap yang telah menyelamatkan anak kami.” ujar Yang-loya “sama-sama loya, tapi rasanya ini berlebihan.

“tidak taihap, kami merasa senang bahwa taihap mau menerima jamuan kami.” sela Yang-loya, lalu merakapun makan dan minum, setelah makan dan minum

“siapakah sebenarnya nama taihap?” “namaku Fei-lun loya.” jawab Fei-lun “lalu she apa taihap?” sela Yang-lun “’she-han, kongcu.” jawab Fei-lun

“hmh…han-taihap mou-ji bercerita padaku bahwa pak-tok pimpinan pak-ki dengan mudah engkau kalahkan, dan itu sangat luar biasa.”

“ah..loya terlalu memuji.” sahut Fei-lun

“hehehe..hahaha…han-taihap, aku ingin Han-taihap bekerja untuk keluarga kami.” ujar Yang-loya

“maaf Yang-loya, maksud baik yang loya tidak dapat aku penuhi, karena aku tidak ada niat tinggal disini.” “wah sayang sekali Han-taihap.” sela Yang-mou

“maaf kongcu, saya telah mengecewakan kongcu dan keluarga.”

“kalau kamu bekerja untuk kami taihap, hidupmu akan senang, kehidupanmu akan kaya raya.” sela Yang- loya “sepertinya demikian yang-loya, namun maaf aku tidak dapat penuhi.” “kamu berasal darimana Han-taihap?” tanya Yang-loya

“aku dari kota kaifeng.” jawab Fei-lun “apakah kamu ada keluarga disana?”

“benar Yang-loya, aku ada ibu dan kakek disana.”

“bekerjalah untuk kami taihap, dan bawalah keluargamu kesini, saya akan berikan rumah mewah dan harta melimpah, bahkan jika kamu mau putriku Yang-sian akan kubetikan padamu.” ujar Yang-loya, Yang-sian yang mendengar dirinya di tawarkan kontan merasa malu dan menunduk dan segera lari kedalam, Han-fei- lun juga merasa jengah dengan penawaran yang menurutnya melampau batas

“tawaran Yang-loya sungguh luar biasa, namun tetap aku tidak dapat, jadi maafkan, dan terimakasih atas jamuan mewah ini, aku hendak permisi dulu.” sahut Fei-lun

“kenapa buru-buru taihap?” sela Yang-lun

“maaf kongcu, aku harus segera malanjutkan perjalanan, karena masih banyak tugas yang harus kukerjakan.”

“hmh..sayang sekali taihap, tapi baiklah, lain kali datanglah lagi kemari.” sela Yang-loya

Han-fei-lun tanpa menjawab segera meninggalkan rumah yang-loya, dia berjalan sambil menikmarai keramaian kota, kadang ia berhenti menonton hiburan pertunjukan silat, kemudian setelah bubar ia terus melangkah menuju gerbang timur, hatinya terkejut ketika keluar gerbang kota seorang gadis cantik duduk sambil menggendong buntalan, perempuan itu adalah Yang-sian

“yang-siocia!? apa yang kamu lakukan disini?” tanya Fei-lun heran

“taihap bawalah aku dari sini, aku tidak ingin tinggal dirumah itu lagi, aku tidak tahan taihap.” “kamu ini putri yang-loya, bagaimana kamu bisa tidak tahan dalam rumahmu sendiri?”

“itu bukan rumahku tapi neraka bagiku, aku hanya dianggap tidak berguna, dan aku juga tidak dikehendaki disana.”

“tidak mungkin yang-siocia, mana ada orangtua tidak menghendaki anaknya.”

“uuu..uuu..taihap tidak percaya padaku, sejak kecil aku hanya dimaki dan dianggap tidak berguna, aku bukan anak kandung suami ibuku.”

“jadi ayah siocia dimana?” tanya Fei-lun

“aku anak adik dari Yang-loya, sebulan yang lalu baru aku ketahui bahwa ayahku mati karena ulah dari Yang-zang yang menjadi pek-pek-ku, bawalah aku taihap.” sahut Yang-sian.

“mana boleh begitu Yang-siocia, perjalananku penuh bahaya dan bahkan sangat jauh.” “tidak apa taihap, aku akan menjadi pelayanmu, bawalah aku dari sini taihap.” “ah…kenapa harus aku yang-siocia?” tanya Fei-lun bingung

“maaf taihap, hanya taihap yang aku percaya, aku tidak tahu kenapa aku percaya, dan juga hanya taihap yang katanya mudah mengalahkan pak-tok yang kejam, jadi dibawah penjagaan taihap aku yakin akan selamat dari siapapun diluar sana.” sahut Yang-sian sambil menujuk hutan belantara didepan gerbang kota.”

“ibumu tentu akan mecemaskanmu siocia?” “ah..ibuku sama saja, tidak menggubrisku karena telah mendapatkan semua keinginanya, kematian ayahku bagian dari rencana mereka” sahut Yang-sian, Fei-lun terperangah.

“Jangan berburuk sangka pada ibu sendiri siocia.”

“taihap…kalau bukan karena kenyataan bahwa ibuku terlibat juga, tidaklah aku ingin keluar dari sini, tolonglah aku taihap, bawalah aku kemana saja, aku benar akan melayanimu”

“aku tidak butuh pelayan dalam perjalananku ini siocia, begini saja aku akan membawamu kembali kerumah dan aku akan peringatkan keluargamu untuk tidak menganiayamu.”

“uu..uuu..taihap jangan tega padaku, selamatkanlah aku taihap, aku tidak mau kembali kerumah itu, uuuu..uuu…” pinta Yang-sian menangis pilu, tangisan yang dari tadi terisak kini meledak membuat Fei-lun jadi serba salah

“ba..baik..marilah ikuti aku.” ujar Fei-lun, Yang-sian langsung berdiri dan berjalan mengikuti Fei-lun sambil mengusap air matanya, Fei-lun berjalan lambat mengikuti bagimana Yang-sian berjalan, dan itu membuatnya kesal dan bingung, setengah hari mereka berjalan baru sampai kedalam hutan, jika diikutkan kata hati Fei-lun hutan ini sudah sejak tadi pagi ditinggalkan, dan yang menggemaskan Yang-sian kelihatan sangat lelah, sehingga tidak dapat tidak Fei-lun harus istirahat karena merasa kasihan.

“boleh aku tahu, apa cerita yang suocia dapatkan sehingga berlaku senekat ini?”

“sebulan yang lalu aku mendengar dua orang pelayan kami yang sudah bekerja dengan Yang-loya selama dua puluh tahun lebih, dalam obrolan keduanya aku mendengar bahwa ayahku diracun oleh ibu, saat itu aku berumur tujuh bulan dalam kandungan.”

“seberapa yakin kamu dengan cerita itu siocia?”

“aku sangat yakin, karena dalam obrolan mereka, aku mendengar sebuah nama yang tiga hari kemudian aku tahu pemilik nama itu pembantu ayahku, dan pembantu itu saya cari untuk memastikannya, dan aku dapat menemukannya, pembantu itu membenarkan peristiwa tersebut, bahkan menceritakan sebagaian besar perselingkuhan ibuku dengan kakak iparnya.” sahut Yang-sian.

She-yang memiliki dua putra, yang sulung bernama Yang-zang, dan yang bungsu bernama Yang-zen, selisih umur kedua saudara ini sepuluh tahun, ibu she-yang meninggal saat melahirkan Yang-zen, saat umur Yang-zen berumur lima belas tahun ayah dua bersaudara ini meninggal dunia, seluruh warisan dibagi dua oleh she-Yang, karena umur Yang-zen masih muda, maka bagian Yang-zen dikelola oleh abangnya yang-zang.

Yang-zang dalam mengelola warisak besar dari ayahnya terampil dan cekatan, usaha-usaha she-yang berkembang pesat, tanah yang luas diproduktifkan oleh Yang-zang, dari tanah yang yang digarap menjadi sawah dan ladang gandum sampai tanah yang berupa properti bangunan yang disewakan, Yang-zang dengan modal yang besar membuka usaha perdagangan dengan berbagai aneka macam dagangan, seperti perdagangan beras, kain dan perdagangan permata serta barang antik.

Saat umur Yang-zen dua puluh dua tahun, Yang-zen mulai ikut mengelola bisnis yang dirancang oleh abangnya, karena merasa harta yang dimiliki adalah hasil usahanya, keikut sertaan Yang-zen menjadi duri bagi Yang-zang, setahun keikut sertaan Yang-zen, Yang-zen menikah dengan seorang perempaun cantik bernama Pouw-lian, setahun kemudian Yang-zen dikarunia seorang putri Yang-sian.

Sejak kedatangan Pouw-lian kerumah she-Yang, Yang-zang yang sudah punya istri dan empat selir, masih melirik istri adiknya yang sangat cantik, beberapa bulan Yang-zang dapat menahan hasratnya, terlebih melihat Pouw-lian yang hamil muda, wajah Pouw-lian yang memang mempesona, daya tariknya semakin kuat.

“zeng-te, pergilah kedesa linwen, warga desa penggarap sawah dan ladang kita disana, banyak yang menunggak, jadi kamu urus sampai tuntas!” ujar Yang-zang

“baiklah zang-ko, besok aku akan kedesa linwen.” sahut Yang-zen Dua hari setelah Yang-zen berangkat, Yang-zang suatu malam mendatangi kamar pouw-lian yang sedang tertidur nyenyak, perutnya yang hamil empat bulan sudah kelihatan, pesona Pouw-lian yang hamil membuat Yang-zang yang mengendap-endap itu makin tidak terkendali, dengan tangan gemetar Yang- zang meraba-raba tubuh Pouw-lian, dengan nafas memburu karena desakan birahi, Yang-zang melumat bibir Pouw-lian yang lunak dan lembut, Pouw-lia terbangun, namun dengan sigap Yang-zang menutup mulut Pouw-lian

“jangan berteriak sayang, aku sangat menyukaimu, jangan buat aku bertindak kejam hingga membunuhmu!” ancam Yang-zang, mendengar ancaman itu Pouw-lian takut, dia terpaksa diam saja membiarkan kakak iparnya menggeranyangi tubuhnya, bahkan ketika pakaiannya dilepas, Pouw-lian hendak berontak, namun Yang-zang kembali mengancamnya sambil hendak mencekiknya, Pouw-lian akhirnya pasrah disetubuhi Yang-zang.

Menjelang pagi Yang-zang keluar dari kamar Pouw-lian, Kao-bo pembatunya yang bekerja dibagian dapur memergoki Yang-zang, kali pertama Kao-bo belum curiga apa-apa, malam kedua Yang-zang datang lagi kekamar pouw-lian

“zang-twako kenapa datang lagi?” tanya Pouw-lian cemas

“aku tidak tahan berpisah darimu walaupun semalam, lian-moi.” sahut Yang-zang penuh desakan hasrat, dengan lembut ia mendorong tubuh pouw-lian hingga terbaring

“aku ini istri adikmu, mana boleh begini?” bantah pouw-lian.

“aku tidak peduli, kamu harus mendampingiku lian-moi, aku tidak bisa hidup tanpa dirimu.” sahut Yang- zang sambil menciumi wajah dan meremas Pouw-lian

“zang-twako, sekali ini saja lagi, ingat aku ini istri adikmu.” ujar Pouw-lian, Yang-zang merasakan nikmat luar biasa, karena malam itu Pouw-lian sedikit banyaknya menikmati hubungan itu, hal ini dirasakan Yang- zang dari desahan dan gelinjang tubuh Pouw-lian, menjelang pagi Yang-zang keluar lagi, dan kepergok Kao-bo untuk kedua kalianya, Kao-bo jadi curiga.

Malam ketiga Yang-zang masuk lagi, Pouw-lian terkejut, karena saat datang Yang-zang langsung memeluk pouw-lian

“lian-moi sayang, aku sungguh sangat mencintaimu, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.” keluh Yang-zang, perlakuan itu membuat hangat hati Pouw-lian, namun dia diam saja

“lian-moiku sayang, semua ini adalah hartaku, karena aku yang merintisnya, zeng tidak punya apa-apa, kamu akan kulimpahi harta melimpah jika kamu mau mendampingiku.”

“lalu bagaimana dengan adikmu, jika aku harus mendampingimu?”

“aku akan pikirkan hal itu, tapi kamu bersediakan mendampingiku?” tanya Yang-zang, Pouw-lian mengangguk lembut, Yang-zang merasa senang, lalu menumpahkan hasratnya, dan malam itu kemesuman itu bersambut gayut, panas dan membara.

Yang-zang sekali lagi keluar kamar menjelang pagi dan disaksikan oleh Kao-bo, sejak itu Kao-bo yakin, bahwa istri majikannya menjalin hubungan dengan Yang-zang, dua hari kemudian Yang-zen pulang, keadaan pun senyap, namun sebulan kemudian, Yang-zang tidak tahan lagi karena rindu dan birahi, lalu ia menyuruh adiknya untuk keluar kota lagi, dengan polos Yang-zen menaati abangnya, selama dua minggu Yang-zen meninggalkan rumah, selama itu juga perhelatan birahi antara ipar itu berlansung.

Saat usia kandungan Pouw-lian tujuh bulan, Yang=zen kembali dari luar kota, kedua orang mesum itu sudah membuat rencana jahat, saat kembali Yang-zang tertimpa hujan dan membuatnya demam selama tiga hari, dan keadaan itu dimamfaatkan oleh pouw-lian untuk mencekoki suaminya dengan racun, dia tidak menyadari bahwa tiga pembantu dan salah satunya adalah Kao-bo melihat perbuatan itu, akhirnya Yang-zen meninggal dunia setelah demam tiga hari, anggapan seluruh keluarga selain dari tiga pembantu bahwa kematian Yang-zen adalah sesuatu yang wajar.

Setelah Yang-sian lahir, Yang-zang menjadikan Pouw-lian jadi selir tercinta, karena Kao-bo adalah pembantu Yang-zen untuk mengurus istrinya, maka Kao-bo diberhentikan, perlakuan lebih Yang-zang pada Pouw-lian membuat istrinya iri, namun karena Yang-zang sangat memperhatikan selirnya ini, awal- awal istrinya sudah diancam akan dikeluarkan dari rumah, sehingga keadaan berjalan normal, walaupun ada konflik, namu itu hanya disimpan dalam hati, dan ironisnya kedua anaknya tidak menerima ibu mereka diperlakukan tidak adil melampiaskan kegemasan mereka pada Yang-sian, sejak umur tujuh tahun, Yang- sian sudah diperlakukan laksana budak oelh abang-abangnya.

Demikianlah hingga berumur delapan belas tahun, kecantikan Yang-sian makin matang dan penuh pesona luar biasa, wajah Yang-sian seiras dengan ibunya yang cantik, perbudakan abangnya berubah arah, dari caci maki sampai tamparan, kearah pelecehan seksual, dan dua bulan sebelum kedatangan Fei-lun, Yang- sian sedang mengerjakan pekerjaan didapur

“sian..! antarkan makanan kekamarku!” perintah Yang-mou, Yang-sian segera menyiapkan makanan dan dibantu oleh kedua pembantu lama mereka, Yang-sian mengantarkan makanan kekamar Yang-mou, baru saja Yang-sian meletakkan makanan, Yang-zang menarik Yang-sian keranjang.

Yang-sian menjerit minta tolong, Yang-zang berusaha menutup mulut Yang-sian, namun ternyata kekuatan Yang-sian untuk mempertahankan kehormatannya tidak terduga oleh Yang-mou, selengakangan Yang- mou ditendang oleh Yang-sian, ketika Yang-zang merintih merasakan nyeri dan tubuhnya terlipat, Yang- sian melarikan diri kerah pintu keluar, dan terus lari kedapur, dua pembantu yang selalu dekat dengannya, menghiburnya dengan rasa kasihan, keduanya tidak bisa berbuat apa-apa.

Yang-sian kembali kekamarnya dan mengunci dari dalam, seharian ia berkurung dikamarnya, saat senja ia hendak mandi, lalu ia keluar kamar, dengan rasa was-was ia menuju dapur, dan saat itu ia mendengar dua pembantu berbisik-bisik masalah dirinya, ungkapan kasihan terdengar dari pembicaraan itu

“sudah..nanti ada yang dengar, kita akan dipecat seperti Kao-bo.” sahut temannya ‘eh kao-ko apa masih tinggal dikota ini?”

“masih, tiga bulan yang lalu saya ketemu dipasar, tapi kami tidak bicara.” Ujar rekannya.

Tiga hari kemudian Yang-sian pergi kepasar dengan harapan bertemu dengan Kao-bo,hari pertama Yang- sian hanya berdiri jalan masuk ke dalam pajak sayur dan ikan, dia bertanya tentang Kao-bo yang bekerja dua puluh tahun di rumah hartawan Yang, hari pertama ia tidak mendapatkan hasil, dan hari kedua, seorang wanita paruh baya lewat

“bu, maaf aku ingin bertanya, diamanakah rumah Kao-bo yang dua puluh tahun yang lalu bekerja di rumah Yang?”

“kamu siap nak?” tanya ibu itu

“saya Yang-sian.” Mendengar nama itu, wanita itu langsung menarik Yang-sian kebelakang sebuah bangunan, matanya berkaca-kaca

“sian-ji..ah..anakku kamu sudah besar!” seru Kao-bo dengan hati sendu “apakah ibu kao-bo?” tanya Yang-sian

“benar sian-ji, aku adalah Kao-bo, bagaimana kabarmu nak, kenapa engkau mencariku?” “ibu! ceritakanlah padaku siapa sebenarnya aku, apa hubunganku dengan keluarga Yang “kenapa kamu tanyakan itu nak? kamu adalah she-yang

“tapi aku mendengar cerita lain, bahwa aku bukan anak ayahku sekarang.”

“hmh…marilah kita kerumah sian-ji.” ujar Kao-bo, lalu keduanya pergi kerumah Kao-bo, sesampai dirumah berceritalah Kao-bo pada yang-sian dengan panjang lebar, hati Yang-sian hancur mendengar cerita itu, ibunya tidak pernah menggubrisnya, kakakkya mau melecehkannya, rumah itu menjadi momok menkutkan bagi Yang-sian. Sebulan kemudian Yang-sian mengunci diri dikamarnya, sejak itu ia sangat hati-hati didalam rumah, suatu malam Yang-lun pulang dari mengurus usaha, berkebetulan Yang-sian lewat keluar dapur hendak menuju kamarnya, hatinya cemas ketika kakaknya datang mendekatinya

“kamu hendak tidur sian?” “benar lun-ko.” jawab Yang-sian

“sebelum kamu tidur ambilkan dulu air minum untukku.” Perintah Yang-lun “ada pekbo didapur, minta saja padanya!”

“eh..kamu berani membangkang yah!?”

“aku bukan pembantu disini!” sahut Yang-sian tegas

“plak…” sebuah tamparan menghatam mukanya, dengan muka merah Yang-sian lari menuju kamarnya,

Yang-lun mengejarnya, dan untungnya istri Yang-lun muncul “ada apa lun-ko..!?” tanya istrinya

“sial, disuruh minta ambilkan air saja tidak mau, sudah aku capek mau istirahat!” gerutu Yang-lun menutupi ketekejutan dipergoki istrinya.

Yang-sian selamat dari incaran Yang-lun, Yang-sian makin sedih dan sakit hati berada dalam rumah itu, tidak ada tempat dia minta bantu, ibunya asik berdandan saja, tidak pernah ia lala-lama berbicara dengan ibunya, ketemunya hanya dimeja makan, akhirnya ketika Fei-lun muncul yang katanya sakti dan mampu merobohkan seorang kosen seperti Pak-tok, keberaniannya muncul untuk mengambil keputusan meninggalkan kota sinyang, terlebih ketika ia mendengar tawaran Yang-zang yang tegas ditolak, dia sudah hendak meninggalkan ruangan makan untuk menjalankan rencananya, tap tidak ada alasan, dan untung Yang-zang menjadikan dia tawaran bagi Fei-lun, dan itu saat tepat untuk meninggalkan ruangan makan, karena dia akan dianggap malu dan jengah.

Dikamar dia menyiapkan empat stel bajunya, dia seorang siocia yang tidak punya barang perhiasan, lalu diam-diam dia diam-diam keluar dari rumah dan berlari mengejar Fei-lun, dan ia dapatkan masih menonton hiburan silat, karena sepertinya Fei-lun akan keluar dari gerbang timur, maka ia duluan keluar dan duduk menunggu di bawah sebatang pohon.

Fei-lun dan Yang-sian melanjutkan perjalanan, Fei-lun binggung mau berbuat apa, jika begini terus pasti mereka akan bermalam dihutan, tidak tega rasanya membiarkan nona ini akan melewatkan malam yang dingin ditengah hutan, jika dia mau cepat terpaksa dia harus menggendong Yang-sian yang baru dikenalnya, menolaknya kembali, ia sudah mengiyakan.

Fei-lun berhenti dan menatap Yang-sian “ada apa taihap? kenapa kita berhenti?”

“yang-siocia, apakah jika aku menggendongmu aka berlaku tidak sopan? “apa maksud taihap?”

“jika perjalanan kita seperti ini, kita akan melewatkan malam dihutan, dan itu tentu amat menyiksamu, tapi jika kamu aku gendong, kita akan bisa melewatkan malam diperumahan penduduk desa yang kita lewati.”

“taihap, maafkanlah aku yang telah merepotkanmu seperti ini, tapi aku ini tidak berdaya, aku hanya melihat kesempatan, dan tidak berpikir tentang kesulitan taihap.” sahut Yang-sian, dia sesugukan, karena geram dengan dirinya yang lemah.

“kenapa siocia mengangis dan tidak menjawab pertanyaanku?”

“taihap, aku merasakan kesulitanmu, betapa aku jadi beban yang rumit bagimu.” sahut Yang-lian beruarai air mata, semakin tidak tahan Fei-lun melihat mata yang menghiba itu, betapa kasihannya gadis ini, kemudian tanpa pikir panjang

“yang-siocia bersiaplah aku akan menggendongmu.” ujar Fei-lun, Yang-sian memejamkan mata sambil menunduk dan menyiapkan dirinya untuk menghadapi hal yang membuat malu dirinya dan diri penolongnya, tubuhnya terasa diraih lengan yang kekar, bahu dan kepalanya menempel didada yang bidang dan hangat, lalu tubuhnya terasa terbang.

Lama ia rasakan memang dia terbang, dia tidak merasakan gerak langkah Fei-lun

“apakah aku terbang?” pikirnya, lalu dia membuka matanya, nampak rerimbunan hutan bergerak cepat, bahkan rerimbunan itu hanya warna hijau yang menyatu laksana garis pelangi hijau, Yang-sian melebarkan matanya, tetap saja yang dilihatnya garis hijau yang besar, lalu dia tatap keatas dan dagu dan pipi penolongnya sangat jelas, lalu dia kembali menatap garis hijau yang bergerak itu, hatinya yang tadi malu berubah jadi takjub, akhirnya ia malu sendiri menatap lekat wajah tampan tuan penolongnya, lalu Yang-sian kembali memejamkan matanya, menikmati kenyamanan tiada tara, kehangatan yang menenangkan jiwa.

Yang-sian terlelap dalam tidur, Fei-lun berhenti di pintu gerbang desa Cangbun, desa ketiga yang hendak dilaluinya, dua desa sebelumya, ia tetap melintasi hutan dan tidak masuk kedesa, Fei-lun menatap wajah cantik yang demikian nyamannya dalam tidur, tidak ingin rasanya Fei-lun membangunkannya, namun mereka akan memasuki desa, dan tentunya akan jadi bahan perhatian orang jika ia menggendong terus

“yang-siocia..yang-siocia..” gugah suara Fei-lun.

Yang-sian membuka matanya, dia melihat bintang bertabur diangkasa “ah..aduhhh taihap ternyata sudah malam.”

“benar siocia, kita akan masuk desa.” sahut Fei-lun sambil menurunkan Yang-sian, yang-sian tiba-tiba duduk dan menangis

“eeh..kenapa kamu menangis lagi siocia?”

“maafkan aku taihap, sungguh tidak kusangka bahwa sikapku yang memksa ikut taihap, menjadi beban seperti ini.” sahutnya sambil terisak

“sudahlah, tidak perlu siocia memikirkannya lagi, sekarang berdirilah dan mari kita masuk kedalam desa.” ujar Fei-lun, lalu Yang-sian yang masih sedu sedan menghapus air matanya.

Fei-lun melewati sebuah rumah yang agak besar, dan berkebetulan sipemilik rumah sedang duduk diselasar rumah

“lopek..! kami ini kemalaman, adakah disini tempat orang kelana menumpang?” “tidak ada nak! kalian ini darimana?

“kami dari kota sinyang lopek, tolonglah nona ini supaya dapat bermalam dalam rumah lopek, saya cukup diselasar rumah lopek.” ujar Fei-lun

“ooh, baiklah masuklah nak.” ujar sipemilik rumah

“nama saya Han-fei-lun lopek dan ini yang-sian.” ujar Fei-lun memperkenalkan diri.

“panggil aku Sim-lopek.” sahut lelaki berumur lima puluh tahun itu, istrinya yang sedang dikamar keluar. “siapa tamu kita huang-ko!?” tanya istrinya

“dua orang muda yang kemalaman dijalan cai-moi.”

“ooh, duduklah aku akan ambilkan air minum.” ujar Sim-hujin, pergi kedapur, lallu datang dengan menghidangkan sepoci teh hangat, “mari diminum lun-ji!” ajak Sim-lopek

“terimakasih lopek.” Sahut Fei-lun sambil mengangkat cankir dan menyeruputnya pelan. Yang-sian juga minum, alangkah lega dan puasnya ia setelah minum.

“pagi-pagi sekali kami akan melanjutkan perjalanan sim-lopek.” “baik…baik tidak mengapa Lun-ji.” sahut Sim-lopek

“kamar kosong hanya ada satu Lun-ji,” sela Sim-hujin

“itu sudah lebih dari cukup pekbo, karena hanya Yang-siocia yang akan memakainya, saya bisa tidur disini saja.” sahut Fei-lun

“kalian ini saudara atau tuan dengan majikan?” tanya Sim-lopek, pertanyaan tidak terduga itu membuat hati keduanya terkejut

“oh…kami bukan saudara dan juga bukan tuan dan majikan, hanya Yang-siocia saya dapatkan sedang kesusahan ditengah jalan, jadi saya hanya membantunya.” sahut Fei-lun, Sim-lopek dan istrinya manggut- manggut

“baiklah malam juga semakin larut, bawalah yang-siocia kekamar cai-moi!” sela Sim-lopek, lalu Yang-sian pun dibawa Sim-hujin kekamar, Yang-sian tidak bisa tidur karena ia baru saja bangun, pikirannya dipenuhi bayangan wajah Han-fei-lung, sekuat apapun ia mencoba menghilangkan bayangan itu, tetap saja wajah itu muncul dalam benaknya.

Pagi-pagi sekali, dan hari masih gelap Han-fei-lun bangun, saat mendengar suara pintu berderit, Yang-sian keluar dari kamarnya

“kamu sudah bangun siocia? nyenyakkah tidurmu?” sapa Fei-lun sambil mengangkat punggungnya dari sandaran kursi

“sudah, aku tidak bisa tidur taihap, karena aku sudah tidur saat taihap gendong.” sahut Yang-sian menunduk, mukanya terasa panas karena bersemu malu. tiba-tiba pintu kamar Sim-lopek terbuka, sim- hujin keluar

“ternyata kalian sudah bangun.”

“benar pekbo, dan kami hendak melanjutkan perjalanan.” sahut Fei-lun

“tapi masih gelap lun-ji.” minumlah dulu, setelah matahari terbit barulah kalian pergi

“tidak usah repot-repot pek-bo, kami sangat berterimakasih telam ditampung bermalam dirumah ini.”

“tidak repot lun-ji, jangan kalian pergi dulu sebelum minum!” ujar Sim-hujin. mendengar nada tegas itu, tidak enak rasa Fei-lun untuk menolak, Sim-hujin pergi kedapur, lalu Yang-sian segera mengikutinya

“pek-bo aku ingin membantu didapur!” ujar Yang-sian

“baiklah, dan mari kita cuci muka dulu.” sahut Sim-hujin sambil senyum, Fei-lun keluar dan duduk diteras rumah, baru saja ia duduk, Yang-sian dating

“han-taihap dibelakang ada air untuk cuci muka.” ujar Yang-sian

“oh iya aku akan segera kebelakang.” sahut Fei-lun sambil bangkit dari kursi dan menuju kebelakang rumah

Setelah cuci muka Fei-lun kembali keteras dan duduk, angin kala pagi itu berhembus sejuk, dan Sim-lopek keluar, sambil melap mukanya dengan kain

“bagaimana tidurmu Lun-ji, nyenyakkah?” “tidurku nyenyak lopek, dan sangat puas.” jawab Fei-lun sambil senyum, sementara Sim-lopek dan Fei-lun mengobrol diteras rumah, didapur sim-hujin yang banyak celoteh mengobrol dengan Yang-sian

“sian-ji kamu mau keman sehingga berjalan sendirian dan ditemui Lun-ji?” tanya Sim-hujin sambil membesarkan api dalam tungku, Yang-sian yang sedang mencuci piring dan mangkok terdiam sejenak

“aku sebenarnya memakasa ikut dengan Han-taihap, aku melarikan diri dari rumah dan menantinya diluar gerbang kota.”

“kenapa kamu melarikan diri dari rumah sian-ji?”

“aku teraniaya didalam rumah pek-bo, dan saat aku melihat Han-taihap berkunjung kerumah, aku merasa inilah kesempatanku untuk lari dari neraka yang kualami dirumah itu.”

“lalu kalian mau kemana?” tanya Sim-hujin

“saya akan ikut kemana saja Han-taihap pergi.” sahut Yang-sian menunduk malu “kamu kenal betul tidak dengan lun-ji

“tidak, dia hanya seorang pengelana yang berkebetulan menyelamatkan kakak tiriku.” “lalu bagaimana kamu bisa percaya padanya, kalau hari itu kalian bertemu?”

“aku tidak tahu pek-bo, yang jelas setelah aku melihat Han-taihap aku sangat percaya padanya, kedatangannya kerumah seolah-olah dewa penolong untukku.

“sudah berapa hari kalian jalan bersama?” “baru semalam pek-bo.” jawab Yang-sian

“hah…baru semalam dari sinyang kesini?” sela Sim-hijin terkejut “benar pek-bo, kenapa pekbo terkejut?”

“ah..bagaimana bisa, walhal naik kuda dari sini kesinyang makan waktu dua hari.” “oh..benarkah pek-bo?” sela Yang-sian juga terperangah

“dia memang pendekar luar biasa kalau begitu.” ujar sim-hujin “memang han-taihap orang sakti pek-bo.” sahut Yang-sian “sudah selesai kamu seduh tehnya?”

“sudah pek-bo.”

“kalau begutu cepatlah antar kedepan!” ujar Sim-hujin, Yang-sian segera membawa teh hangat dan menghidangkannya di depan Sim-lopek dan Fei-lun

“mari kita minum Lun-ji!” ujar Sim-lopek, keduanyapun menyeruput the hangat, dan mataharipun mulai terbit, dan para warga sudah ada yang melintas untuk pergi kesawah

“belum berangkat sim-ltwako!” sapa seorang warga sambil senyum “sebentar kui-te.” sahut Sim-lopek, kemudian Fei-lun dan Yang-sian pamit

“terimakasih banyak lopek, pek-bo yang telah menampung kami dan juga kehangatan sambutan dari lopek dan pekbo.” ujar Fei-lun “ah..tidak mengapa lun-ji, hati-hatilah dijalan!” sahut Sim-lopek, lalu Fei-lun dan Yang-sian meninggalkan desa Cangbun.

“Yang-siocia, sepertinya aku akan kembali menggendongmu .” ujar Fei-lun, entah mengapa hatinya hangat setelah mengucapkannya

“tidak capekkah taihap? ah..aku benar-benar telah membebani taihap” tanya Yang-sian

“tidak, aku tidak merasa capek.” sahut Fe-lun, Yang-sian tertunduk diam, sikap itu seperti isyarat bagi Fei- lun, lalu diapun meraih tubuh Yang-sian, dan belari cepat, kembali pengalaman kemarin terulang, dan Yang-sian merasa semakin nyaman, sehingga tidak sadar ia memeluk punggung Fei-lun, rasa hangat menjalar keseluruh tubuh Fei-lun, rasa terkejutnya malah menambah tekanan pada gin-kangnya, sehingga larinya semakin cepat, kembali Yang-sian tertidur pulas, Fei-lun melirik wajah cantik nan polos yang menempel didadanya, cuping hidung yang indah, bibir yang ranum, bulu mata yang lentik, lekuk pipi yang bagus dan indah, hati Fei-lun bergetar.

“gadis yang amat cantik.” pikirnya, Fei-lun terkejut dan menepis penilaian itu, dan berusaha fokos pada langkahnya.

Hari sudah malam namun Fei-lun belum mendapatkan desa untuk singgah, yang ada hanya hutan dan lembah serta bebukitan yang sambung menyambung, Fei-lun terus berlari sementara Yang-sian sudah bangun, yang dilihatnya hanya kegelapan menandakan hari sudah malam, namun Fei-lun masih berlari, perut Yang-sian berkeruyuk

“apakah kamu lapar Sian-moi?” tanya Fei-lun lembut, mendengar panggilan itu membuat hati Yang-sian berdegup kencang, bunga cinta yang sudah berakar dalam hatinya sejak singgah dirumah Sim-lopek merekah indah,   bibirnya   tersenyum   dan   tangannya   makin   erat   memeluk   punggung   Fei-lun “aku tidak lapar Lun-ko.” sahutnya mesra dan menekan pipinya semakin kuat pada dada Fei-lun

Han-fei-lun terkejut mendengar suara yang begitu lembut dan semakin eratnya pelukan pada punggungnya, suara dan sikap Yang-sian membuat hati Fei-lun merasa nikmat, dia terus berlari bahkan tidak sadar bahwa malam akan berganti pagi, saat matahari terbit, Fei-lun berhenti disebuah lembah dekat sebuah sungai, sehari semalam ternyata ia berlari sambil menggendong Yang-sian, dia tidak tahu bagaimana rasa perut yang hanya diisi teh hangat, bisa tahan dan dia mampu berlari sehari semalam.

“duduklah sebentar sian-moi!” ujar Fei-lun sambil menurunkan Yang-sian, lalu ia mengambil sebutir batu dan melempar seekor kelinci yang berkebetulan melintas dihadapannya, dengan telak kepela kelinci dihantam batu sebesar ibu jari itu, kelinci itu ambruk, Fei-lun mengambil dan menyembelihnya dengan sembilu, lalu mengulitinya dengan bersih ditepi sungai, setelah itu Fei-lun membuat api dengan kekuatan sin-kangnya, api menyambar pada tumpukan ranting.

“lun-ko istirahatlah, biarkan aku akan membakarnya.” sela Yang-sian dengan tatapan lembut dan senyuman yang aduhai, Fei-lun mengangguk, lalu ia duduk dan bersandar disebuah pohon, sebentar saja ia oulas tertidur.

Yang-sian membolak balik daging kelinci, matanya tidak lekang memandangi wajah Fei-lun yang tertidur pulas, setelah daging bakar matang, Yang-sian meletakkannya disehelai daun, perutnya sudah terasa nyeri karena rasa lapar, namun dia tidak mau memakan sebelum Fei-lun bangun, dan untuk membangunkan Fei-lun hatinya tidak tega, ia tahu betapa sehari semalam Fei-lun berlari sambil menggendongnya, daging bakar itu ditutupinya dengan sehelai daun, kemudian ia duduk sambil menatap wajah tampan yang pulas itu, Yang-sian lalu membuka pakaiannya dan segera turun kedalam air, dengan buru-buru ia menggosok tubuhnya yang putih mulus, sambil sesekali menatap Fei-lun yang sedang tidur, sejuknya air sungai membuat tubuhnya terasa segar, namun lemas karena rasa lapar yang menderanya.

Setelah puas mandi, Yang-sian segera mengganti bajunya dengan yang bersih, saat dia menegringkan rambutnya yang basah, Fei-lun bangun, matahari sudah naik tinggi, Fei-lun menggeliat dan matanya menangkap daging bakar yang ditutup sehelai daun.

“dagingnya sudah matang rupanya, apakah kamu sudah makan sian-moi?” ujar Fei-lun sambil mengangkat daun, dan ternyata daging bakar itu masih utuh dan sedikit hangat “sudah lun-ko, mari kita makan!” sahut Yang-sian “kamu belum makan Sian-moi?”

“belum lun-ko, bagimana aku bisa makan kalau tidak bersamamu?”

“sejak semalam kamu sudah lapar sian-moi, kamu harusnya sudah makan dan menyisakan untukku.” ujar Fei-lun dengan nada sesal

“lun-ko, aku memang sangat lapar, tapi kamu lebih lapar lagi, aku tidak sanggup lun-ko mendahuluimu.” sahut Yang-sian, sambil merobek paha ayam dan menyerahkannya pada Fei-lun

“makanlah koko!” ujar Yang-sian lembut dengan tatapan mesra, Fei-lun menerima daging yang diberikan Yang-sian, dan memakannya, Yang-hui juga mengambil bagiannya dan memakannya dengan lahap.

Keduanya makan dengan lahap, Yang-hui memilihkan daging untuk dimakan Fei-lun, hati keduanya berbunga-bunga melahap daging bakar, mata mereka kadang bertatapan seiring senyum pengertian dan sayang, setelah kenyang Fei-lun bangkit dan mendekati sungai, lalu dia minum sepuasnya, Yang-sian juga melakukan hal yang sama

“koko mandilah, aku akan siapkan bajumu.” bisik Yang-sian, Ynag-sian duduk sambil membelakangi sungai sambil membuka buntalan Fei-lun, Fei-lun segera membuka baju dan masuk kedalam sungai, badannya terasa segar, Fei-lun mandi sepuas-puasnya

“sian-moi taruhlah bajuku dipinggir!” ujar Fei-lun

“apakah aku biasa berbalik Lun-ko?” tanya Yang-sian, pipinya berubah merah dan terasa panas
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar