Anak-anak Naga (Liong Haizi) Jilid 4

Jilid 4

“liu-siok, aku adalah Han-hung-fei, kita pernah bertemu di Hopei.” ujar Hung-fei, Liu-gan terkesiap dan menatap lekat pada wajah yang gagah dan tampan itu, jenggot Hung-fei yang dulu tidak ada sekarang tumbuh subur dan terjaga rapi

“in-kong…benarkah?” sela Liu-gan tercengang

“benar Liu-siok.” sahut Hung-fei dengan senyum lembut.

“ah..ternyata suami dari Khu-siocia adalah in-kong, mari..marilah kita kedalam.” ujar Liu-gan dengan hati perih karena seketika ia teringat putrinya, namun dengan apik dia sembunyikan gejolak hatinya dengan mengajak Han-hung-fei masuk kedalam.

“tidak perlu Liu-siok, karena kami hendak mengajakmu pulang kerumahmu.” “eh..ada apakah Han-taihap?” tanya Liu-gan heran

“kami ingin bertemu cucumu, bukankah cucumu berada disini?” “be..benar, dan dia baru tiga minggu sampai disini.” sahut Liu-gan “dan sebulan yang lalu ia juga datang kerumah kami di Bicu. “oh..begitu, baiklah, mari kita kerumah.” sahut Liu-gan

Liu-gan membawa Hung-fei kerumah, hatinya berdegup kencang, entah bagaimana nanti sikap putrinya pada tamunya ini

“kongkong! sudah pulang, eh…paman han!?” seru Fei-lun terkejut “benar lun-ji, aku datang hendak menemuimu.” sahut Hung-fei

“mari masuklah dulu Han-taihap.” sela Liu-gan, lalu mereka masuk kedalam rumah.

“siapa yang datang Lun-ji!?” seru Liu-sian keluar dari dalam kamar, Hung-fei menatap perempuan cantik berumur tiga puluh sembilan tahun yang terpana melihatnya

“liu-sian …!” seru Hung-fei senyum

“oh..han-taihap.” serunya dengan wajah pucat dan menggigil, lalu ia jatuh pingsan, Fei-lun dengan berlinang air mata mendapatkan ibunya dan membawanya masuk. “ke..kenapa dengan Sian-moi, liu-siok? apakah ia sedang sakit” tanya Hung-fei dengan wajah cemas dan pucat

“ia tidak sakit han-taihap, tapi ia shock karena tidak menduga bertemu dengan Han-taihap, Hung-fei tertunduk dan termenung, dia terbayang betapa Liu-sian sangat mencintainya, sementara ia sendiri tidak mencibtainya, susana hening dan terasa kaku, tiba-tiba muncul Fei-lun membawa nampan dengan air minum, ia disuruh ibunya untuk melakukannya, setelah ibunya siuman

“lun-ji buatkan minum untuk ayahmu, walaupun ia tidak tahu bahwa kamu ada, biarlah pengetahuan itu hanya kita yang tahu, bukankah bibimu Khu-lian-kim sangat baik nak?” ujar Liu-sian, Fei-lun mengangguk dengan berurai air mata, dia sudah menceritakan pada ibunya pada hari pertama tiba kembali dirumah, bahwa ia ke Bicu dan menemui ayahnya dan Khu-lian-kim. dan juga menyatakan kekecewaan hatinya namun ibunya menegurnya

“kamu tidak boleh membenci ayahmu Lun-ji, jangan pernah terlintas hal itu nak, ibu tidak rela jika hal itu kamu lakukan.” tegur ibunya saat itu

“tapi ibu, ayah harus tahu bahwa saya adalah anaknya.”

“benar, namun biarlah waktu yang memberi tahu, dan bukan mulut kita yang memberi tahu.” “kenapa demikian ibu?”

“lun-ji ketahuilah! hanya ibumu yang cinta pada ayahmu, dan ayahmu tidak cinta pada ibu, kita tidak boleh memaksakan itu padanya, terlebih sekerang ayahmu sudah menikah dan mempunyai anak dengan Khu- lian-kim, kehidupannya tentu bahagaia, Khu-lian-kim tentu bahagia, jangan kita rusak hati ayahmu dengan keberadaan kita,” sahut Liu-sian bercucuran air mata.

“boleh jadi ayah tidak mencintai ibu, namun apakah karena itu keberadaanku juga tidak harus diketahui ayah?”

“keberadaanmu nak akan tetap diketahuinya, jika saatnya tiba, yang jelas tidak dari mulut kita, jika kamu mengatakan keberadaanmu pada ayahmu, maka akan merusak hati Khu-lian-kim yang sangat baik kepada kita. mengertikah kamu nak? ibu hanya meminta tutupilah dengan sabar ” ujar Liu-sian, Fei-lun mengangguk penuh iba dan sayang pada ibunya, ia melihat betapa cinta telah memporak-porandakan kehidupan ibunya, dan hal itulah menyebabkan Liu-gan juga walaupun hatinya sudah sangat ingin meluaskannya didepan Hung-fei, namun siapakah yang salah dalam hal ini, apakah pantas menimpakan hal ini pada khu-lian-kim?

“bagaimana dengan ibumu Lun-ji?” tanya Hung-fei

“ibu hanya pening paman, dan sebentar lagi ibu akan pulih.”

“Lun-ji! Han-taihap sebenarnya ingin menemuimu.” sela Liu-gan mengalihkan topic pembicraan “oh…ada apakah sebenarnya paman?” tanya Fei-lun

“hmh..begini Lun-ji, kamu telah membantu menyelamatkan piauwkiok paman di kota ini, dan berhadapan dengan tiga orang muda, apakah kamu tahu dengan ketiga orang muda itu?”

“saya tidak tahu paman, siapakah mereka sebenarnya, tapi yang jelas ketiga orang muda itu luar biasa sakti ilmu silatnya.” sahut Fei-lun

“hmh…rumit kalau begitu.” Gumamnya

“mungkin paman bisa ingat siapa-siapakah yang memusuhi paman dalam bidang piauwkiok ini.” sela Fei- lun

“selama mendirikan piuawkiok rasanya saya tidak memiliki musuh.” sahut Hung-fei “jika dalam bidang piauwkiok tidak ada, mungkin dari kalangan persilatan.” “hmh…rasanya kalangan rimba persilatan juga tidak ada, karena sudah tiga belas tahun saya tidak mencampuri urusan itu.” sahut Hung-fei

“tapi menurut yang saya dengar, bahwa paman ada musuh bebuyutan.”

“musuh bebuyutan? siapakah musuh bebuyutan saya yang kamu dengar Lun-ji?”

“maaf paman apakah yang saya dengar ini benar atau tidaknya saya tidak tahu, musuh bebuyutan paman itu yang memiliki panggilan tersendiri pada paman.”

“panggilan tersendiri?” sela Hung-fei mengerenyitkan keningnya mengingat-ingat “saya benar tidak ingat, katakanlah langsung Lun-ji apakah yang kamu dengar!”

“baiklah paman, dan maaf apakah paman pernah dengar julukan yaoyan!?” sahut Fei-lun, mendengar itu pucatlah muka Hung-fei

“apakah mereka yang mengacau piauwkiok!?” gumamnya dengan lirih, lalu ia memandang Fei-lun “dimana kamu dengar julukan itu Lun-ji?”

“saya dengar julukan itu di Hopei, namun gerombolannya ada di huangsan.” sahut Fei-lun.

“baik, terimakasih Lun-ji, perkiraanmu pasti ada benarnya, dan mereka memang sangat memusuhi saya.” “sama-sama paman.” sahut Fei-lun.

“apakah ibumu tidak bisa bangun, aku hendak pamit padanya.”

“aku sudah disini Han-taihap, apakah Han-taihap hendak pergi?” sela Liu-sian muncul dari dalam “benar sian-moi, apakah kamu baik-baik saja!?”

“saya baik-baik saja Han-taihap, dan maaf hanya dapat menghidangkan minum ala kadarnya.” “hehehe…tidak apa, dan itu sudah lebih dari cukup.” sahut Hung-fei

“baik, sian-moi, Liu-siok, kami pamit dulu.”

“baiklah Han-taihap.” sahut Liu-gan dengan hati berdarah melihat putrinya. “Lun-ji, ibu dengar tadi bahwa kamu mengatakan huangsan pada ayahmu.”

“benar ibu, karena gerombolan yang ada disana mencap ayah dengan julukan nyeleneh dan memalukan.”

“ayahmu pasti akan pergi kesana nak, jadi kamu ikutilah ayahmu, awasilah ia semampumu, bantu ayahmy menyelesaikan masalahnya.”

“baik ibu, pesan ibu akan saya laksanakan!” sahut Fei-lun, keesokan harinya Han-hung-fei meninggalkan kota Kaifeng, dan benar perkiraan Liu-sian bahwa Han-hung-fei menuju kota Huangsan.

Seminggu kemudian sampailah Hung-fei dikota Hopei, dia menuju kantor paiuwkioknya yang ada dikota itu “selamat datang suhu!?” sambut muridnya suma-jiang yang menjadi pimpinan cabang

“selamat bertemu Jiang-ji.” sahut Hung-fei, lalu merekapun masuk kedalam rumah induk, makanan dan minumanpun dihidang, Suma-jiang bersama empat pimpinan rombongan menemani emimpin besar mereka, sementara dua pimpinan rombongan sedang melakukan tugas pengawalan

“bagaimana kondisi piuawkiok kita disini Jiang-ji!?” “akhir-akhir ini para pelanggan sepi suhu, dalam dua bulan hanya dua ekpedisi yang berjalan, dan itu sangat memperihatinkan.”

“kamu tahu memperihantinkan, apa kamu tidak tahu sebabnya?” “kami tahu penyebabnya suhu.”

“hmh..apa penyebabnya dan apa yang kalian telah lakukan dalam menanganinya?” “penyebabnya sangat rumit suhu, karena berkaitan dengan rasa gentar para pelanggan.” “maksudmu bagaimana Jiang-ji?”

“para pelanggan sejak tiga bulan yang lalu banyak yang takut menggunakan jasa kita.” “kenapa bisa demikian, apakah pelayanan kalian yang kurang baik?”

“bukan suhu, ketakutan mereka bukan karena pelayanan kami yang tidak tepat, namun karena mereka diancam jika menggunakan jasa pengawalan kita.”

“apa kalian tahu siapa yang mengancam?”

“yang mengancam adalah kantor cabang “Tung-ki-piauwkiok” (ekpedisi panji timur), markas pusatnya ada di kota khangsi.”

“apakah kamu sudah menemui pimpinan cabang mereka?”

“seminggu yang lalu kami kesana, namun mereka tidak menerima kami, dan yang membuat gemas adalah Cao-wangwe yang dua minggu lalu menggunakan jasa pengawalan kita, dan barangnya sedang dibawa piauwsu kita kekota Wu-han, kedapatan telah tewas dirumahnya.”

“kalau begitu mari kita kesana Jiang-ji!” ujar Hung-fei, Suma-jiang membawa suhunya keselatan kota, dan menuju kantor cabang piuawkiok tung-ki, piuawsunya sangat banyak dan sedang sibuk membongkar muat barang

“eh kamu lagi, mau apa datang kesini!?” bentak seorang piauwsu

“cepat katakan pada pimpinanmu, Han-hung-fei pemilik han-piuawkiok hendak bertemu.” sela Hung-fei, melihat raut wajah gagah dan wibawa yang menggetarkan dari Hung-fei, piuawsu itu terkesiap

“cepat panggil pimpinanmu mumpung aku masih bisa diajak bicara!” bentak Hung-fei dengan sorot mata tajam

Piauwsu itu segera masuk kedalam kantor, dan para piauwsu yang jumlahnya lebih lima puluh itu berhenti kerja dan berkumpul, dari dalam kantor pimpinan cabang keluar bersama dua orang sebaya Hung-fei, keduanya adalah Lao-chit dan lao-pat

“hmh ternyata kamu berada disini gan-kui, wan-peng!” dengus Hung-fei

“hehehe…kamu kenapa serius kali hung-fei, marilah masuk dan kita bicara.” sahut Lao-chit, Hung-fei melangkah mendekat.

“saya tidak ada waktu untuk basa-basi.” ujar Hung-fei sambil duduk dikursi selasar kantor “hehehe…baik ada apa hung-fei, kenapa kamu kelihatan marah-marah!?” tanya Lao-chit

“sudah sikap palsumu itu gan-kui, aku datang untuk membicarakan cara kalian mematikan usahaku.” “apa yang telah kami lakukan hung-fei?” “jangan berlagak pilon gan-kui, lagakmu membuat aku muak, kalian telah mengancam para pelanggan untuk menggunakan jasa piuawkiok kami.” ujar Hung-fei tegas

“apa kalian telah mengancam para pelanggan coa-po?” tanya Gan-kui pada pimpinan cabang “kami tidak ada mengancam, jangan menuduh tanpa bukti!” sahut coa-po

“aku sudah menyelidik para pelanggan, dan seorang dari mereka mengutarakan tentang ancaman itu, dan saya makin yakin bahwa kematian Cao-wangwe yang sedang menggunakan jasa kami telah tewas, dan tentunya berhubungan dengan ancaman itu.” sela Suma-jiang

“piuawkiok ada empat dikota ini, kenapa kamu menuduh piauwkiok kami?

“hehehe…dua piauwkiok yang lain saya kenal baik dan tidak mungkin mereka menggunting dalam lipatan, dan hal yang jelas nama piuawkiok ini yang disebut oleh pelanggan itu.” sahut Suma-jiang, coa-po merasa tersudut

“bawa kemari yang mengatakannya!” ujar coa-po

“sudah kilah itu sicu! Gan-kui, katakan maumu sekarang!” sela Hung-fei menatap tajam pada coa-po, coa- po pucat dan gemetar, Gan-kui merasa jengkel dan malu mendengar tantangan diajukan didepan anak buahnya .

“serang..! teriak Lao-chit, puluhan piauwsu menyerang hung-fei dan suma-jiang

“pengecut sialan! taunya hanya sembunyi dibalik gentong kosong!” teriak Hung-fei, lalu dengan jurus “pai- hud-bun-sia.” Hung-fei menyapu senua piauwsu, para piauwsu menjerit dan terlempar centang perenang, jurus itu mengejar dua lao yang hendak malrikan diri, namun akal bulus itu sudah di ketahui oleh hung-fei sehingga ia langsung mengerahkan jurus ketujuh ilmu tangan kosongnya, kedua lao tidak bisa lagi mengelak, kecuali harus berhadapan dengan Hung-fei, kemarahan Hung-fei juga oleh sebab kematian piauwsunya di kaifeng adalah ulah dari musuh bebuyutan ini.

Kedua lao dengan kekuatan penuh mengeroyok hung-fei, namun seorang hung-fei baru imbang dengan dua suhu mereka, mereka dalam delapan puluh jurus menjadi bulan-bulanan, lalu mereka mengeluarkan senjata untuk mengurangi tekanan luar biasa dari Hung-fei, Hung-fei tanpa tedeng aling-aling langsung mencabut juga senjatanya, pendar sinar hijau dari bun-liong-sian-kiam berkeredapan menyambar dua lawannya, keduanya dengan susah payah mencoba melawan, namun gulungan jurus pedang yang menggetarkan itu membuat mereka kalang kabut

“crak..crak….adouhh….aghh…” dua kali sabetan membacok gan-kui sebelum jurus pedang itu kembali pada posisi kuda-kudanya yang khas, Gan-kui menjerit bersimbah darah, perutnya robek besar sehingga perutnya terburai, dan dadanya robek vertical hingga membelah dagunya, Gan-kui ambruk dengan nyawa melayang.

“Wan-peng kali ini kamu saya maafkan mengingat hubungan kita dimasa kecil.” ujar Hung-fei sambil menyarungkan kembali pedangnya, para piauwsu tung-ki pucat ketakutan

“dan kalian jika macam-macam lagi dengan Han-piauwkiok, akan kuhabisi nyawa kalian, enam datuk pimpinan kalian berpikir puluhan kali sebelum menggangguku, camkan kalian itu!” bentak hung-fei, dan melangkah meninggalkan tung-ki bersama Suma-jiang, Suma-jiang baru kali ini melihat suhunya bertarung dalam artian yang sebenarnya, dan alangkah bangga dirinya melihat kehebatan suhunya, dan cara suhunya mengancam lawan amat membuat hangat hatinya, dengan langkah ringan ia mengukuti suhunya kembali kekantor piauwkiok mereka.

Wan-peng dengan hati gelisah kembali kedalam, dia duduk dengan muka merah

“kalian bereskan kekacauan ini, saya akan ke huangsan untuk menghadap cianpwe.” Ujar Wan-peng dan berkelabat dari tempat itu, dalam perjalanan ke huangsan wan-peng merasa terhina, dia dimaafkan karena hubungan masa kecil, hatinya geram dan gemas, hung-fei ayahnya yang dulu menampungnya, dan kini hung-fei satu saat akan membunuhnya.

“hung-fei manusia tidak tahu diuntung…!” teriaknya ditengah hutan yang dilewatinya,

hanya itu caranya melepasakan rasa panas dalam hatinya, berulang kali ia meneriakkan makian pada hung-fei lalu ia terduduk lemas bersandar disebuah pohon.

kenapa menyalahkan warna kain, jika kulit sendiri tidak ada pilihan kenapa menyalahkan orang lain, jika diri juga penuh kesalahan renungkan sendiri kedalam batin, pasti ketemu sebab dari keadaan keadaan tanpa sebab tidaklah mungkin, demikianlah liku kehidupan

Seorang pemuda tampan lewat melintasi jalan raya, ia adalah Fei-lun yang sedang bersenandung, ia asik mengulangi kata-katanya, wan-peng melihat pemuda itu dengan sorot mata tajam, ia merasa kata-kata itu menyindirnya

“pemuda gebleuk hentikan nyanyianmu sebelum kusumbat mulutmu.” bentak wan-peng “paman! apa ada yang salah pada nyanyianku!?”

“sialan! nyanyianmu menyidirku goblok!” bentak Wan-peng

“oh..maaf kalau begitu, setelah kesalnya reda, semoga paman dapat merobah dari rasa tersindir menjadi ajakan untuk berpikir.” sahut Fei-lun dan kemudian berkelabat meninggalkan Wan-peng.

Wan-peng terkejut karena gerakan berkelabatnya pemuda itu hanya kilatan bagi pandangannya, pemuda luar biasa pikirnya takjub, bulu romanya merinding, pemuda yang baru saja dibentaknya ternyata demikian hebat gin-kangnya malah lebih hebat dari bun-liong-taihap, Wan-peng mendesah dari hatinya yang ciut, terngianglah kembali nyanyian Fei-lun.

“Hung-fei adalah saudara angkatnya, bahkan hampir menjadi kaka iparnya, tapi Kenapa Hung-fei memusuhi saya?” pikirnya

“apa yang telah kami perbuat padanya?” gumamnya dalam hati, semua masa lalu terbayang dibenaknya, betapa enam cianpwe telah mencekoki mereka dengan jalan hidup aliran hitam, menghalalkan segala cara, memaksakan kehendak pada orang lain

“kami telah memaksa hung-fei untuk masuk dalam aliran, dengan cara memmfaatkan cintanya pada Lin- cici, dia berontak dan tidak terima, sehingga melawan kami semua, siapakah yang salah, apakah aku mau ditipu? apakah yang kuperbuat jika aku tahu aku ditipu? aku akan berontak, bukankah Hung-fei akan bertindak yang sama, akan memberontak jika tahu ditipu.” batin wan-peng berdialog seiring helaan nafasnya.

Rumah Pek-mou-hek-kwi yang sekarang jadi markas empat datuk sangat ramai, empat datuk bersantai dilayani oleh para wanita penghibur, seorang tamu datang bersama sepuluh orang pengawal, dia adalah Cu-taijin

“berhenti anda ini siapa, dan mau apa datang kemari?” tanya penjaga “saya Cu-huang hendak bertemu dengan si-cianpwe.” sahut Cu-taijin

“tunggu sebentar!” sela penjaga dan masuk kedalam, tidak lama Lao-it muncul

”ada apa lagi Cu-taijin? bukankah kerjasama yang hendak kamu harapkan dari kami sudah buntu, karena apa yang kamu tawarkan tentang bokor tidak dapat kamu penuhi.”

“benar lao-it, namun kali ini aku punya tawaran yang mungkin dapat para lao dan cianpwe pertimbangkan.” sahut Cu-taijin.

“baiklah kalau begitu masuklah!” ujar lao-it, lalu keduanya masuk “duduk dan katakan pada saya apa tawaran yang hendak kamu sampaikan!” ujar lao-it

“begini lao-it, bagaimana kalau jika kerjasama yang kita galang jika berhasil, maka daerah huangsan sampai kepesisir kota shanghai kalian miliki.” ujar Cu-taijin

“lalu bagaimana jika tidak berhasil?”

“saya akan berikan sebuah peta harta karun pada kalian.”

“heheh…janji kamu amat muluk Cu-taijin, dalam dagang kamu ini menjual kucing dalam karung.” “tapi kebenaran harta karun itu ada.” ujar Cu-taijin

“aku tidak percaya sebelum saya melihat sendiri harta karunnya.” sahut lao-it.

Tiba-tiba diluar sam-cu datang dengan gontai, para penjaga berlari mendapatkan ketiganya dan memapahnya kedalam, dan dua orang melapor kedalam

“kalau tidak ada lagi yang taijin sampaikan, sebaiknya taijin pergi, kami ada urusan.” ujar Lao-it setelah menerima laporan penjaga, lao-it segera keruangan dimana samcu di baringkan, empat cianpwe dan ketiga ibu sam-cu sudah berada diruangan itu.

“kalian kenapa? dan apa yang terjadi?” tanya see-hui-kui

“kami sudah membunuhi piauwsu Han-piuwkiok yang berada di kaifeng, namun kami bertemu dengan seorang pemuda yang sangat sakti.”

“kalian dikalahkan dan dilukai seperti ini?” sela Lam-sin-pek

“benar sukong, pemuda itu bernama Fei-lun dan umurnya masih muda kira-kira dua puluh tahunan.” sahut Sai-ku

“sialan! pemuda ini artinya lebih sakti dari yaoyan, bagaimana menurut kalian!?” sela Liang-lo-mo “kalian kalah yang bagaimana?” tanya pek-mou-hek-kwi

“saya dan ok-liang mengeroyoknya namun kami tetap jadi bulan-bulanan.” sahut kwi-ong

“hah..! “ empat datuk terkejut tidak percaya, empat lao yang berdiri dibelakang juga merasa terkejut. “kalian tidak sedang bercanda kan?” tanya lam-sin-pek

“kami tidak bercanda sukong.” sela ok-liang, empat datuk saling bertatapan.

“baik luka kalian ini memang tergolong parah, minum dulu obat ini.” ujar see-hui-kui, sam-cu pun minum obat

“istirahatlah, dalam seminggu kalian akan pulih kembali.” ujar See-hui kui. Empat datuk bersama empat lao berkumpul diruang tengah “hmh…pemuda bernama Fei-lun ini sungguh mencengangkan.” ujar lao-si “lalu apa tindakan kita cianpwe?” sela lao-ngo

“jika ilmu gabungan kita dikerahkan dua cao, namun masih kalah, saya tidak habis mengerti kenapa ada orang seperti itu hebatnya.” sela pek-mou-hek-kwi

“musuh kita bertambah selain dari yaoyan.” keluh lao-it, mereka hening dengan pikiran masing-masing “cianpwe, saya ada.” sela lao-si “apa idemu itu lao-si?” tanya pek-mou-hek-kwi

“bun-liong-taihap seorang yang sakti dengan ilmunya yang luar biasa, sementara sam-cu adalah anak- anaknya, kita bisa memamfaatkan hubungan ini supaya sam-cum dapat mempelajari ilmu-ilmu dari ayah mereka.”

“tapi misi kita akan gagal jika ketiga anak itu mengetahui bahwa yaoyan adalah ayahnya.” sela lao-liok “anak-anak kita jangan diberitahu.” sahut lao-si

“lah kamu ini bagaimana lao-si, mau memamfaatkan hubungan ayah dan anak , lalu kalua tidak diberitahu bagaimana bisa memamfaatkannya.” sela lao-ngo

“intinya begini, keberadaan sam-cu bagi keluarga hung-fei sekarang adalah boomerang, jika kenyataan ini kita ancamkan pada hung-fei maka tentunya ia akan merasa takut akan efek yang menimpa keluarganya. Jadi kita hanya memberikan dua pilihan padanya, mengalami kerusakan rumah tangga atau memberikan kitab.”

“hmh…idemu pantas dicoa lao-si.” sela see-hui-kui

“benar, sebaiknya kalian bertiga yang menemuinya, hal ini jangan sampai sam-cu tahu.” sela liang-lomo, ketiga lao mengangguk, seminggu kemudian keadaan sam-cu sudah pulih, obat see-hui-kui memang mujarab.

“kalian untuk sementara pergilah kenancao untuk memulihkan tenaga dan memahirkan ilmu-ilmu kalian, setidaknya hal ini kalian lakukan selama tiga bulan, setelah itu kalian datang lagi kemari.” ujar lam-sin-pek

“baik sukong! kami akan lakukan perintah sukong.” sahut mereka serempak.

Seminggu setelah keberangkatan sam-cu, Han-hung-fei sampai ke Huangsan, ia langsung menuju rumah Pek-mou-hek-kwi

“berhenti anda siapa?” tanya penjaga

“katakan pada empat datuk han-hung-fei pemilik han-piauwkiok hendak bertemu!” ujar Hung-fei, penjaga itu langsung berlari kedalam, dan tidak lama tiga lao muncul, hung-fei bergetar melihat ketiga wanita cantik yang melangkah mendekatinya, lao-liok dan lao-ngo senyum genit, sementara lao-si menatapnya dengan tajam.

“aku hendak bertemu dengan empat datuk.” ujar hung-fei

“hik..hik…hik… kami juga hendak bertemu denganmu fei-koko.” sahut lao-liok.

Han-hung-fei menatap ketiganya dengan pandangan bingung, dia tidak bisa marah pada ketiga orang ini, masalahnya ia tahu bahwa ketiga orang ini melahirkan anak-anaknya

“fei-ko, tahukah kamu bahwa kamu meninggalkan sesuatu pada kami?” tanya lao-si

“lin-moi, aku tahu kalian ternyata telah melahitkan anak-anakku, bagaimanakah keadaan mereka?”

“apakah kamu hendak membawa mereka ke Bicu?” “ah..ti..tidak..tidak demikian maksudku, lin-moi” sela Hung-fei cepat “lalu kenapa kamu tanyakan hal mereka?”

“aku kan ayah mereka lin-moi.” sahut hung-fei

“hik..hik..kami juga istrimu kan fei-koko? “ sela lao-ngo senyum manis penuh gairah, hung-fei tertunduk dengan wajah merah “kalau kamu merasa ayahnya kami hanya minta satu hal padamu.” Ujar lao-si, hung-fei menatap lao-si “apakah itu lin-moi?” tanya hung-fei

“berikan warisah ilmumu pada anak-anakmu, karena mereka berhak mendapatkannya, dan karena kamu tidak ingin membawa mereka, maka tinggalkanlah kitabmu pada kami, biar kami ibunya yang akan mengawasi penyerapan mereka, tapi jika kamu hendak membawa mereka hidup bersamamu di kota Bicu, tidak masalah” ujar lao-si dengan sorotan tajam.

Luar biasa cara lao-si menyampaikan ancamannya, tidak terasa tapi sangat mengena kedalam hati hung- fei, Hung-fei terdiam, pikirannya dapat menerima permintaan yang termasuk benar dan wajar

“bagaimana fei-ko?” tanya lao-si lembut penuh pandangan bening dan rindu, kontan tubuh hung-fei bergetar, diantara tiga lao, hanya wan-lin yang ia cinta, sebelum mencintai istrinya yang sekarang.

“baiklah lin-moi, tapi kitab itu ada dirumah, jadi tidak bisa kuberikan padamu sekarang.”

“kapankah koko akan memberikannya, apakah kami menunggu disini, atau kami ikut dengan koko kebicu.” “ti..tidak, kebicu tidak baik, kalian menunggu saja disini, dan secepatnya akan aku antar kesini kitab itu.”

“karena koko adalah orang yang sibuk dengan Han-piuwkiok yang demikian besar, bagaimana kalau aku dan koko kelokyang, atau didesa terdekat dari Bicu, aku tunggu koko didesa itu.” ujar Lao-si, hung-fei terdiam sejenak,

“alasan wan-lin benar juga.” Pikirnya

“baiklah, kita akan bersama kedesa Wei-bun, dan tunggulah saya disana.” “hmh..baiklah koko, kapankah kita berangkat?” sela lao-si dengan senyum “kalau wan-lin boleh ikut, kami juga ingin ikut koko.” sela Yang-lian manja

“benar, setidaknya kami dapat merasakan kebersamaan denganmu fei-ko setelah melahirkan anak- anakmu, kamu tahu fei-ko, bukan wan-lin saja yang merindukanmu, tapi kami juga rindu.” sela yan-hui

“kami pergi bukan untuk hal-hal seperti itu, kami pergi untuk mewujudkan apa yang kalian minta untuk anak-anakku.” sahut han-hung-fei

“kami tahu, tidak bermesraan juga tidak apa, tapi bersama sesaat dengan dirimu merupakan hal yang meghangatkan hati kami.” sahut yang-lian

“kalian ini mengacaukan pikiran fei-ko.”

“lao-si kamu jangan ikut campur apa yang saya rasakan, kamu bicara begitu, karena kamu akan diajak pergi, apa menurutmu setiap hari melihat liang-ji, aku tidak merindukan ayahnya!? sela yang-lian tegas, lao-si terdiam, hung-fei merasa bingung

“bolehkah aku melihat ketiga anakku?” tanya hung-fei

“hari ini mereka tidak ada, karena mereka sedang keluar kota.” “berapakah umu anak-anakku, Lin-moi

“aku yang tertua, anakmu yang aku lahirkan sekarang berumur sembilan belas tahun, jadi aku harus diajak.”

“kalian bukan istriku, jadi tidak ada istilah yang tua dan muda.” sela Hung-fei

“koko dengar tadi apa kata yang-liang, ankku itu kupandangi dan kucium saat merindukanmu, apakah permintaan spele ini tidak boleh aku dapatkan?” ujar Yan-hui “Han-hung-fei tersudut, urusannya jadi berantakan oleh masalah masa lalunya ini, tiga wanita yang melahirkan anaknya menuntut sesuatu yang berhubungan dengan rasa, membayangakan pengorbabanan mereka melahirkan akibat ulahnya, menimbulkan rasa ibanya pada ketiga wanita cantik ini.

“baiklah, kalian akan ikut kedesa Wei-bun, lalu yang kedua berapakah umur anakku?”

“itu aku yang melahirkannya, umurnya sembilan belas tahun koko sayang.” sahut Yang-lian mesra. Dan ku-ji, anak kita umur lima belas tahun fei-ko.” sela Wan-lin mesra dan lembut mendayu.

“apakah mereka ana-anakku yang kalian suruh mengacau di kaifeng?” tanya hung-fei tiba-tiba, ketiga lao tidak menduga pertanyaan itu, mereka saling pandang

“hmh…kamu masih menayakan hal itu pada kami, tentu setelah kita bertemu dan kami sampaikan apa yang kami inginkan, tentunya koko dapat menghubungkan dengan kejadian dikaifeng.” sela Wan-lin,

“jadi keadaan di kaifeng itu adalah rencana kalian untuk menarik perhatianku?”

“hik..hik..koko memang luar biasa dan langsung tanggap, jadi bagaimana bisakah kita berangkat sekarang?” puji yang-lian dan coba mengalihkan, supaya pertanyaan hung-fei tidak melebar.

“hmh..baiklah, mari kita berangkat!” ujar Hung-fei, ketiga lao tersenyum manis dan manja, lalu dengan cepat mereka mengemasi baju dan bekal, lalu berangkat mengiringi Hung-fei yang semakin gagah. dibalik pagar halaman semua pembicaraan itu jelas didengar oleh Fei-lun, hatinya menangis sedih, kenyataan bahwa tiga orang yang berhadapan dengannya di kaifeng adalah saudaranya seayah, betapa ayahnya orang pamogaran saat mudanya, ibunya dan ketiga wanita ini adalah sama-sama korban yang tidak dicintai dan ditelantarkan. Hanya sekarang tiga saudaranya seayah yang dirobohkannya di kaifeng, sudah diketahui hung-fei sebagai anaknya, tinggal dia yang entah kapan diketahui, ibunya tercinta melarang mulutnya bicara, Fei-lun segera meninggalkan tempat itu, dia berlari cepat keluar kota huangsan, ia ingin kembali kepelukan ibunya, dan tidak ingin mengetahui keadaan ayahnya ini.

Han-hung-fei diiringi ketiga lao melakukan perjalanan cepat, Hung-fei tidak mau bersantai, sebab dengan bersantai banyak yang harus dipertahankannya dari godaan tiga wanita yang sudah pernah melahirkan anaknya ini, dan kali ini Hung-fei menjebak dirinya sendiri dengan menyetujui permintaan tiga orang lao, baik tentang kitab warisannya dan bahkan mengikutkan ketiga lao berjalan bersamanya, sejauh apa kekuatan bertahan dari kecantikan yang menggairahkan, kemanjaan yang menghanyutkan, kelembutan senyum yang memabukkan, dan kata-kata cinta dan ajakan mesra yang membetik selera.

Dua minggu perjalan, ketika sampai dihutan diluar kota lokyang, mereka istirahat disebuah hutan, Yang- liang dengan manja memijit kakainya yang putih mulus

“koko tega sekali, berjalan tanpa henti, tidak sedikitpun memikirkan kami.” “kamu kenapa liang-moi?”

“kakiku sakit koko sayang, kamu memang berniat menyiksaku, tinggalkanlah aku disini, aku tidak ikut lagi.” sela yang-liang manja

“sudah biarlah kupijit kakimu.” ujar Hung-fei. Yang-liang memandang penuh binar cinta, lalu dengan senyum ia menarik pipa celananya, Hung-fei mengira hatinya mampu, karena saat melihat kakai puitih mulus itu tidak gerakan apa-apa dalam hatinya, lalu tangannya menyentuh betis yang lunak dan hangat, beberapa kali usapan dan pijitan masih normal

“koko…ah..aku ah..aku tak tahan lagi.” desah yang-liang dambil meraba selengkangannya, gerakan dan desahan itu kontan menghentak denyutan birahi yang menggelapar, yang-lian melorotkan celananya, sehingga pemandangan itu menjebol pertahanan Hung-fei, terlebih ketika yang-lian menarik tangannya untuk meraba bagian itu, basah dan panas.

Han-hung-fei terjerat ikatan perasaan bahwa wanita yang melenguh ini pernah melahirkan anaknya, keinginan mesra itu muncul, lalu yang-liang pun dengan pandainya menuntun Hung-fei menuntaskan birahi Hung-fei, Wan-lin dan Yan-hui memergoki keadaan it, sepulang dari sumber air, sesat rasa malu menyergap hati hung-fei, namun kedua wanita itu malah segera membuka pakaian dan menciuminya dengan ganas dan panas, Hung-fei naik lagi dan melakukannya lagi, ketiga lao memacu Hung-fei dengan rasa gemas yang bertalu-talu, berkali-kali ketiganya mengejang kenikmatan, Hung-fei, dari siang permainan itu dimulai, hung-fei ambruk setelah menjelang sore.

Sejak itu Han-hung-fei terlelap lupa diri, dimana hutan tempat beristirahat hingga desa We-bun, permainan itu berulang dilakukan, tiga lao meneriakkan kemenangan, hung-fei akan tunduk pada mereka, penyesalan dari penghianatan besar ini akan menjadikan hung-fei semakin terpuruk dimata istrinya, dan ini adalah senjata ketiga lao untuk menundukkannya dan mengikuti apa yang mereka inginkan.

Han-hung-fei meninggalkan ketiganya di desa wei-bun, dalam setengah hari, Hung-fei sampai kerumahnya, saat sampai dirumah hung-fei merasa pening, ketika ia melihat rumahnya, diapun dililit rasa sesal, rasa bersalah tak berampun ia rasakan pada lian-kim

“ayah..ayah sudah pulang ibu!” seru han-bu-seng, Lian-kim segera keluar mendapatkan suaminya, tapi melihat Hung-fei sempoyongan, ia berlari

“kamu kenapa koko?” tanyanya cemas.

“ah..a..aku tidak apa-apa.” sahut Hung-fei, lalu Lian-kim memapah suaminya. “istirahatlah aku akan ambilkan teh hangat.” ujar Lian-kim

“Satu hari satu malam Hung-fei rebah menyesali diri dalam hati, keesokan harinya ia sudah mulai bekerja dikantornya, terlebih piauwsunya baru tiba dari chan-an, dia coba menyibukkan diri, dari semalam ia belum pernah bicara tentang perjalanannya pada istrinya, lian-kim juga tidak menyinggung, karena melihat keadaan suaminya, namun krika para piauwsu selesai membongkar muatan, sambil membawa the hangat Lian-kim mendatangi suaminya

Bagaimana keadaanmu fei-koko?” tanya Lian-kim lembut dan senyum manis “hmh..aku baik-baik saja kim-moi

“lalu bagiamana keadaan di kaifeng.”

“itu mebuatku pusing, orang yang mengacau tidak ada sedikitpun petunjuk.” “lalu bagaimana selanjutnya?”

“aku akan terus menyelidikinya.” sahut Hung-fei sambil bersandar.

“aku akan keluar sampai tengah malam atu mungkin besok baru pulang.” “koko maua kemana?”tanya Lian-kim heran

“aku ingin bicara pada piauwsu “tung-tiuw-piuawkiok” kata A-sam piuawkiok itu baru lewat tadi pagi, mungkin aku bisa menyusulnya didesa Wei-bun.” sahut Hung-fei, istrinya mengangguk mengerti.

Han-hung-fei masuk sebentar kedalam, lalu kemudian keluar.

“aku pergi kim-moi, aku usahakan akan kembali nanti malam.” ujar Hung-fei sambil berkelabat dengan cepat, dia mengerahkan sin-kangnya sehingga saat sore ia sudah sampai didesa Wei-bun

“kamu sudah datang sayang?” sambut Wan-lin

“lin-moi ini kitabnya dan sampaikan pada ketiga anakku.”

“baiklah koko, saya akan sampaikan, koko.” sahut wan-lin, tiba-tiba yan-hui memeluknya dari belakang, sebelum kami pergi sayang, kita lakukan sekali lagi.” pinta Yan-hui manja

“Yan-hui, pergilah cepat, jangan ungkit-ungkit lagi.” sahut Han-hung-fei marah dan matanya menyorot tajam. “sudahlah Yan-hui, kita berangkat saja sesuai permintaan fei-ko.” sela Yang-lian, lalu ketiganya meninggalkan hutan dipinggir desa wei-bun, Han-hung-fei kembali dengan cepat ke Bicu, dan menjelang pagi ia pun sampai, dan istrinya masih tertidur pulas diabawah selimut hangat, Hung-fei merebahkan badan, dan membangunkan Lian-kim

“kamu sudah kembali sayang?” sapa lian-kim sambil memeluk sumianya, tubuh istrinya yang hangat dan lunak mebuat Hung-fei ingin bercinta dengan istrinya, hal itupun dilakukan sepenuh hati, sepenuh rasa sesal, dan ingin benar-benar menikmati istrinya untuk menghilangkan bayangan ketiga lao yang sudah mempecundangi birahinya, akibatnya Lian-kim merasakan puasa yang amat lua biasa, berkali-kai ia melenguh kenikmatan diremas dan dipilin gemas suaminya, dan lian-kim menganggap bahwa ini akibat hampir sebulan suaminya tidak menyetebuhinya.

Fei-lun tiba dirumahnya, kekecewaannya pada ayahnya semakin mendera hatinya “kaju sudah tiba lun-ji!?” sambut ibunya

“sudah ibu, dan aku ingin istirahat sebentar.” sahut Fei-lun, ia hanya menghindar sesaat dari pertanyaan ibunya yang akan menayakan tentang keadaan ayahnya, jadi karena tidak mau mengingat keadaan ayahnya, maka Fe-lun segera masuk kedalam kamar, ia rebahkan tubuhnya dan mencoba untuk tidur.

Malam harinya setelah makan malam

“bagaimana keadaanmu lun-ji? apakah sudah baikan?” “keadaan saya sudah baik ibu setelah istirahat.”

“baguslah, lalu bagaimana keadaan ayahmu? apa yang terjadi di Huangsan?”

“ibu, bukankah sebaiknya kita tidak usah mengingatnya, untuk apa kita menyiksa diri, larut dengan permainan perasaan?”

“apa maksudmu nak? kenapa engkau berkata seperti itu nak?

“maafkan aku ibu, aku sudah berusaha memehami keadaanku, jika memang harus beginilah kenyataannya, maka aku terima, dan aku mohon, janganlah ibu membebaniku dengan keberadaan seorang ayah.”

“lun-ji! hiks..hiks…maafkan aku nak, ini semua karena salahku.” Sela ibunya   sambil   menangis “ibu! janganlah menyalahkan diri, aku tahu ibu sangat baik, hati ibu lapang menerima keadaan ibu, dan aku juga belajar dari sikap ibu itu, dan aku juga yakin ibu akan berusaha melakukan hal yang terbaik untuk kebaikan orang yang ibu cintai, lakukanlah itu ibu, tapi janganlah aku harus berbuat sama dengan ibu, aku tidak kenal dengannya dan sebaliknya dia juga tidak kenal padaku, jadi jangan disuruh aku mencintainya.”

“uuu…uuu…uuu….jelas sekali kebencianmu pada ayahmu nak, katakanlah pada ibu kenapa engkau seperti ini,? apakah yang menyebabkan kamu sehingga begitu kecewa dengan ayahmu.”

“maafkan aku ibu, jujur memang aku sangat kecewa, masa mudanya yang buruk melebihi dugaanku.” “apa maksudmu nak!?” tanya ibunya sambil mengusap air matanya

“maaf ibu, menurut saya, ibu tidak harus tahu, dan kita lupakan saja ceritanya, kita baik-baik saja selama ini ibu, jadi untuk apa melukai diri sendiri.

“apa yang dikatakan anakmu itu benar sian-ji, masa lalumu cukuplah sudah, dan jangan campuri kehidupan orang yang tidak mau kamu ikut campur.” sela Liu-gan tiba-tiba masuk kedalam setelah duduk diberanda cari angina

“ayah, aku tidak mau ikut campur, namun lun-ji adalah darah dagingnya, betapapun ia itu adalah ayahnya, aku hanya menunjukkan pada anakku bahwa hal yang seharusnya dan patut ia lakukan selaku anak pada ayahnya.” “benar sian-ji, aku dan anakmu memahami itu, dan anakmu benar, dan ia tidak perlu melakukannya karena han-taihap sendiri tidak tahu bahwa lun-ji ada, dan han-taihap tidak memerlukan bakti dari seorang yang ia sendiri tidak tahu.” sahut Liu-gan

“anakku akan durhaka pada ayahnya, uuu..uuu…” sela Liu-sian kembali menangis “baiklah ibu, aku akan katakan pada ibu apa yang aku tahu tentang dia di huangsan.”

“uuu..uuu…kamu sekarang tidak mau memanggilnya dengan sebutan ayah, nak ingatlah! serendah apapun ayahmu, karena dia kamu lahir kebumi ini, uuuu..uuuu…”

“ibu jangan berkata begitu, berat sangat aku mendegar ungkapan ibu itu.” “itu kenyataan anakku, apakah kamu mau berusaha mengingkarinya?”

“tidak ada yang ingin kuingkari dari kenyataan hidup ini ibu, benar kenyataannya ia adalah ayahku, dan kenyataan pula ia tidak bertanggung jawab pada ibu dan padaku, dan kenyataan pula ia tidak mengetahui bahwa aku ada, dan kenyataanya pula ia telah memiliki anak dari lima perempuan.” sahut Fei-lun

“a..apa..? ayahmu memiliki anak selain kamu dan anak-anak khu-lian-kim?” sela liu-sian tercenung dengan wajah pucat

“benar ibu, dan anak-anaknya itu telah bertemu denganku, saat mereka melakukan pembunuhan yang kemarin terjadi di kantor han-piauwkiok, dan ibu mereka yang ternyata adalah rombongan musuh bebuyutannya, telah menuntut warisan untuk anak-anaknya.” sahut Fei-lun

“apakah karena itu engkau membencinya nak?”

“aku tidak mau membencinya ibu, aku hanya kecewa, dan aku hanya mencari selamat dari akibat kecewa ini berubah jadi benci, maka aku sebaiknya tidak mengingatnya lagi, biarlah aku sebagaimana sekarang.” sahut Fei-lun

“dan sebaiknya kamu juga sian-ji, cobalah untuk megalir apa adanya kepada anakmu, biarlah tahapan kenyataan yang akan datang di hadapinya dengan rasa dan pikirnya, yang jelas anakmu sudah berusaha tidak menyimpang, dan itu menurut ayah satu keputusan yang tepat.” sela Liu-gan.

“hmh..baiklah ayah, dan aku yakin padamu lun-ji, kamu tidak akan mengecewakan ibu.”

“aku akan selalu ingat itu ibu.” sahut Fei-lun, lalu Liu-sian bangkit dari duduknya dan meninggalkan ayah dan anaknya untuk pergi tidur.

Keesokan harinya Fei-lun minta izin pada ibu dan kongkongnya untuk berkelana lagi.

“ingat nak! hati-hati dalam bertindak, pikirkan dengan matang akan setiap keputusanmu.” ujar ibunya

“baik ibu, aku akan ingat pesan ibu, dan jagalah kesehatan ibu.” sahut Fei-lun, lalu ia pun berangkat untuk berkelana mendarma baktikan apa yang ia miliki dari ketiga suhunya.

Han-fei-lun sampai di kota shijazhuang, terik matahari yang menyengat membuat jalanan kota berdebu, Fei-lun memasuki sebuah likoan untuk istirahat dan makan, likoan itu sangat padat oleh orang-orang dari timba persilatan, dua orang disamping meja Fei-lun asik mengobrol sambil makan

“pertemuan ini menurut perkiraan saya ramai, hui-kiam (pedang terbang)” “ah…kalau menurut saya malah sebaliknya, im-kan-kiam (pedang akhirat) “kenapa kamu bilang demikina taihap?”

“pertemuan ini akan dihalangi empat datuk dan para lao.” “hmh…kalau pertemuan ini tidak sesuai harapan, maka akan sulitlah bagi kita untuk bangkit dari keterpurukan.”

“maaf jiwi twako, para tamu saya lihat banyak dari kalangan kangowu, ada apakah?” “sicu muda kamu dari aliran manakah?” sela Hui-kiam

“aliran? maaf twako saya tidak tahu saya dari aliran mana.”

“sicu muda, dalam dunia persilatan ada dua aliran, yakni pek-to dan hek-to.” Sela im-kan-kiam “ukurannya orang pek-to apa, twako?”

“siapakah namamu sicu muda, dan kamu dari mana?” “saya Han-Fei-lun, dan saya berasal dari kota Kaifen.”

“apakah sicu ada hubungan dengan Bun-liong-taihap Han-hung-fei?”

“taihap janganlah bercanda, saya jangan dikaitkan dengan pendekar hebat dan besar seperti Bun-liong- taihap.” sahut Fei-lun senyum

“apakah menurutmu, bun-liong-taihap akan datang pada pertemuan ini?” sela Hui-kiam “harapan kita, semoga saja ia hadir pada pertemuan ini.” sahut Im-kan-kiam

“bagaimana dengan pemahaman aliran tadi taihap, aku tidak tahu aku ini aliran apa, lalu bagaimanakah tolak ukur orang dikatakan pek-to?”

“sebenarnya ukuran hanya pada sikap dan tindakan, kepeduliannya dengan orang-orang lemah, kemauannya untuk menghilangkan tindasan dan aniaya yang sering terjadi dimasyarakat.” Sahut Im-kan- kiam

“apakah kamu baru keluar dari perguruan han-taihap? dari perguruan manakah anda?”

“benar, saya baru keluar taihap, dan saya tidak memiliki perguruan, karena saya hanya belajar dirumah atas arahan kongkong saya.”

“siapakah julukan kongkong han-taihap?”

“hehehe….kongkong saya tidak punya julukan, karena dia hanya seorang pengelola likoan di Kaifeng.” “hmh..kamu harus hati-hati sicu muda, dinia kangowu sangat keras.” sela Hui-kiam

“aku akan ingat saran taihap, lalu dimanakah akan diadakan pertemuan? saya ingin sekali menyaksikannya.” sahut Fei-lun.

“pertemuan itu akan diadakan di hoa-san-pai besok pagi” sela im-kan-kiam “apakah jiwi-taihap akan berangkat kesana setelah makan siang?”

“benar, apakah han-sicu mau ikut bersama kami.” “kalau tidak merepotkan, saya berterimakasih sekali.”

“tidak merepotkan han-sicu.” sela Im-kan-kiam, lelu merekapun menyelesaikan makannya, dan kemudian keluar dari likoan menuju gerbang barat untuk naik ke hoasan-pai.

Iring-iringan para kalangan kangowu itu cukup ramai ketika melintasi hutan dan mendaki kepuncak, gerakan tangkas dan gesit tergambar dari setiap langkah para pendekar yang mendaki bukit, Fei-lun dan dua pendekar pedang itu sampai di saat senja “selamat datang im-kan-kiam-taihap dan Hui-kiam-taihap.” sambut khu-ying murid pertama Wei-ciangbujin, Wei-sun atau wei-ciangbujin mempunya tiga murid, murid pertama Khu-yin yang berjulukan “hoasan-it- kiam” (pedang tunggal hoasan), kemudian Ma-teng atau lebih dikenal dengan sebutan “pek-i-taihap” (pendekar baju putih), lalu murid yang ketiga Lauw-sin dengan julukan “hoasan-ying-hiap” (pendekar elang hoasan).

“selamat bertemu hoasan-it-kiam, nampaknya sudah banyak yang datang.”

“benar taihap, semoga saja besok akan semakin banyak yang datang, sehingga pertemuan ini memiliki arti dan awal dari harapan kita.”

“benar it-kiam, lalu apakah bun-liong-taihap mengetahui akan pertemuan ini?”

“sudah taihap, bahkan seorang murid kami menyampaikan undangan langsung kepada beliau.” sahut Khu- ying

“hmh….semoga saja beliau datang.” sela Hui-kiam “dan pendekar ini siapakah?”

“maaf twako, aku bukan pendekar, namaku fei-lun, dan hanya hendak melihat dan menyaksikan pertemuan ini.’

“fei-lun ini orang baru keluar dari hendak mencari pengalaman, jadi karena bertemu di likoan, jadi kami bawa sekalian.” sela Hui-kiam

“ooh, kalau begitu, silahkan istirahat dibagian tenda sana.” ujar Khu-ying sambil menunjuk tenda disebelah timur, lalu ia mengajak kedua pendekar masuk kedalam, Fei-lun melangkah kearah yang ditunjuk, tenda itu besar, dan didalamnya ada puluhan orang sedang baring, duduk dan mengobrol sana-sini.

Tenda ini adalah tempat anak buah piauwkiok atau murid sebuah bukoan, sementara didalam juga ada puluhan pendekar tenar sedang makan malam bersama ciangbujin dan ketriga muridnya, diantaranya ada empat orang selain dari hui-kiam dan im-kan-kiam yang harus kita kenal, yang pertama seorang kakek berumur enam puluh tahun, rambutnya putih demikian juga matanya, dia seorang sakti luar biasa dan dikenal dengan julukan “pek-gan-taihap” (pendekar mata putih), lalu yang kedua juga serang lelaki tua dengan rambut panjang dan hitam sebatas punggung, jenggotnya yang panjang dan tebal berjuntai sampai keperutnya, perawakannya kurus dan tinggi, dia adalah “tung-sin-tianglo” (orangtua sakti dari timur), kemudia lelaki gagah bertopi sastrawan berumur lima puluh tahun, dia dikenal dengan panggilan “kim-san-sin-siauwcai” (sastrawan sakti kipas emas), dan yang keempat adalah seorang sutay berumur lima puluh tahun lebih, dia dikenal dengan sebutan “sin-ci-sutay” (jari sakti).

Disamping itu tiga ciang-bujin partai besar juga sudah hadir, seperti Lauw-ciangbujin dari kun-lun-pai, Li- ciangbujin dari siawlimpai, dan Si-ciangbujin dari butongpai, dengan hangat wei-ciangbujin menjamu tamu- tamunya, senda tawa berderai diantara para pendekar kenamaan itu, rasa hangat dan kebersaman terasa dalam perjamuan itu, diluar juga didalam tenda para pendekar makan yang dihantar para murid-murid hoasan-pai, Fe-lun duduk sambil makan dan minum di luar tenda bersama beberapa pendekar lain yang sudah membuat api unggun.

Keesokan harinya beberapa orang datang lagi, salah satunya Kao-thian, murid bun-liong-taihap yang menjadi pimpinan cabang han-piuwkiok di kota sijazhuang

“maaf kepada para ciangbujin dan para taihap semua, suhu tidak bisa hadir dan mewakilkankan kepada saya Kao-thian.” ujar kao-thian

“terimaksih taihap, dan sudi mewakili bun-liong-taihap, sekarang marilah kita menuju areal pertemuan.” sahut Wei-ciangbujin, nampak jelas raut kecewa dari para ciangbujin, lalu merekapun menuju ksebelah barat bangunan perguruan, disana ada tanah lapang yang sudah di tata demikian rapi, panggung luas sudah disediakan, kursi dan meja sudah diatur menurut bagian yang sudah ditentukan.

Para tamu ini ada tiga bagian, yang pertama adalah tenda tempat duduk para para golongan tua bersama tuan rumah, yang terdiri dari lima belas orang, lalu satu tenda untuk para pendekar kenamaan yang berumur lima puluh tahun kebawah, mereka ini berjumlah dua puluh lima orang, lalu bagian yang ketiga adalah para murid dan anak buah atau pendekar yang belum memiliki nama, mereka ini ada seratus lebih, saat matahari terbit, pertemuanpun dibuka oleh Wei-ciangbujin

“Selamat datang saya ucapkan kepada para tamu yang telah sudi memenuhi undangan kami, ide pertemuan ini adalah ide dari empat ciangbujin , dan disepakati kami sebagai tuan rumah.” ujar Wei- ciangbujin sambil merangkap tangan menghormat keempat penjuru.

“para undangan yang terhormat, marilah kita mulai membicarakan maksud dari pertemuan ini, para undangan sekalian, adapun maksud dari pertemuan ini, disamping mengeratkan hubungan sesama aliran, dan yang teramat penting adalah menetapkan pigur pimpinan pek-to, yang akan kita dukung ide dan rencananya, dipersilahkan untuk menyampaikan sumbang ide dan sarannya.” ujar Wei-ciangbujin.

“wei-ciangbujin selaku pimpinan pada pertemuan ini, saya ingin mengatakan bahwa pigur itu baik, namun apakah saat ini tepat?” sela kim-san-sin-siucai

“maksud siucuai-sin, waktu ini tidak tepat?” sela Li-ciangbujin “menurut saya belum tepat, karena pigur itu belum muncul.”

“bagaimana menurut siucai dengan bun-liong-taihap?” sela wei-ciangbujin

“bun-liong-taihap memang memiliki syarat yang kita harapkan mampu mengayomi kita dari sikap arogan para datuk yang selama ini kita rasakan, kekuatan dan persatuaan hek-to dibawah naungan enam datuk terbina solid, bahkan saat ini trik empat datuk yang dibantu lao semakin kuat dan kokoh.”

“kalau begitu bukankah sudah tepat waktunya, kita hanya akan meminta beliau menjadi pimpinan kita.” sela Li-ciangbujin

“karena beliau tidak hadir sehingga saya katakan tidak tepat, pernyataan dan kesediaan beliau pada pertemuan ini sangat perlu, dan nyatanya beliau tidak hadit. sahut kim-san-sin-siucai

“bagaimana menurut rekan-rekan yang lain?” tanya Wei-ciangbujin

“memang apa yang dikatakan sin-siucai tentang kesedian adalah benar, namun menurut saya waktu tidak ada hubungan dengan penetapan figur pimpinan pada pertemuan ini.” sela Si-ciangbujin

“maaf Si-ciangbujin, setidaknya syarat untuk pimpinan itu tidak seimbang dengan salah satu empat datuk, kalau tidak kita akan ditertawakan oleh empat datuk, dan mereka akan langsung membabat kita, siapakah diantara kita yang menyamai seorang datuk?” bantah sin-siucai.

“hmh…bagaimana menurutmu kao-sicu, kamu sebagai murid bun-liong-taihap, apakah menurutmu suhumu akan bersedia menerima penetapan ini?” sela Wei-ciangbujin

“maaf para ciangbujin yang terhormat, hal ini benar tidak saya duga, jadi saya juga tidak bisa menjawab apakah suhu bersedia atau tidak.” sahut Kao-thian

“daripada ribet, sebaiknya begini saja, faktanya kita semua tanpa ditanyapun mengakui bahwa kita hanya punya bun-liong-taihap, karena itu kita akan mendaulat dia sebagai pimpinan, dan kita beramai-ramai ke kota Bicu untuk itu.” sela pek-gan-taihap.

“lalu bagaimana jika ia tidak setuju?” sela sin-siucai

“kalau ia tidak setuju, benar katamu siucai kita tunggu saatnya.” “entah kapan saat itu tiba.” sela We-ciangbujin dengan nada kecewa.“

“kita tidak perlu kecewa, pertemuan ini tetap memilki makna, yaitu pendaulatan yang belum tentu jawabnya tidak.” sela tung-sin-tianglo.

“hahaha..hahahaha….orang-orang ini memang tidak tahu diri.” sela Lao-it sambil tertawa, ditengah-tengah mereka telah berdiri lao-it, lao-ji dan lao-sam “jika memang belum punya kuku kenapa dipaksakan? hahaha..hahaha..” sela lao-sam “sam-lao! apa maksud kalian datang kemari!? tanya kim-san-sin-siucai

“hehehe..siucai, ajak semua temanmu untuk melihat kenyataan dan tidak usah mimpi yang muluk-muluk, hehehe..hehehe….” sahut Lao-it.

orang mau mimpi apa urusan denganmu lao-it?” sela Lauw-ciangbujin

“hehehe..cianbujin dari kunlun-pai, apakah kamu sudah memiliki kemampuan lebih dari suhumu yang dipecundangi lao-si? sehingga menantang kami!?” sahut Lao-it

“kalian jangan terlalu menghina lao-it, saatnya akan ada dimana kepogahan kalian akan dibungkam.”

“hehehe…kalian laksana ayam kehilangan induk, mau cari induk? induk yang ada hanya empat cianpwe, hahaha..hahaha..” sela lao-sam

“jika bun-liong-taihap menyatakan kesediannya, maka apakah indukmu masih berani unjuk gigi?” sela im- kan-kiam.

“hahaha..hahaha…..bun-liong-taihap sejak dulu ada dibawah keteknya lao, si yaoyan kok diharap, pikirannya cuman selengkangan tiga lao dari kami, hahaha..hahaha..” sahut lao-sam

“kalian tahu tidak, bahwa si yaoyan memiliki tiga anak haramnya yang ada dalam genggaman kami? Hahaha..hahaha..apa menurutmu dia akan mau berhadapan dengan tiga orang anaknya?” sela Lao-it

“sungguh kasihan, eh.. apa enaknya mereguk madu kalau hanya dalam mimpi.” sela Lao-ji

“hahaha..hahaha…pek-to akan dipimpin oleh si yaoyan, yang pikirannya tidak jauh dari selengkangan.” sela Lao-sam, kenyataan-kenyataan yang di umbar tiga lao membuat semua pendekar pucat dan bingung.

“kalian sudah banyak bicara, dan saya minta pada kalian untuk meninggalkan tempat ini!” sela Fei-lun yang bergetar karena amarah, hatinya tercabik-cabik mendengar betapa ayahnya dihina sedemikian rupa, dan ironisnya kenyataan itu benar dan salah satu buktinya adalah dirinya sendiri, namun perkataan “pikiran yaoyan tidak jauh dari selengkangan” membuat dia harus menetukan sikap, semua orang terkejut melihat pemuda itu yang tiba-tiba menyela dan melangkah ketengah panggung, Im-kan-kiam dan hui-kiam terperangah dan merasa cemas.

“hehehe…ternyata pemuda baru kemaren sore, kumaafkan sikapmu karena kamu belum kenal pada kami.” sahut Lao-it

“hmh…dan andapun tidak kenal padaku, maka aku menantangmu untuk berkenalan.” tantang fei-lun, semua orang terperangah melihat keberanian dari pemuda yang tidak dikenal itu

“hehehe..kamu mau menantangku!?”

“kamu punya telinga, apakah harus ku ulangi?”

“sialan…haiitt..” bentak lao-sam lalu menyerang dengan sebuah tamparan dan tendangan, Fei-lun bergerak cepat berkelit dan membrikan serangan balasan, lao-sam terkejut dan sedikit kelabakan karena memandang rendah.

Lalu serangan berikutnya dia keluarkan dengan perhitungan, pertempuran tingkat tinggi berlangsu seru, tiga lao terkejut, karena sampai lima puluh jurus, pemuda tidak dikenal belum dapat dirubuhkan lao-sam, dan membuat mereka berubah air muka saat lewat seratus jurus lao-sam terdesak hebat, Fei-lun baru sekedar main-main, Fei-lun hanya mengeluarkan ilmu “lam-liong-sin-ciang” warisan suhunya Lam-sian, golongan tua terperanjat melihat gerakan luar biasa yang dimainkan fei-lun, terlebih ketika desakan itu membuat lao-sam terpuruk

“buk..hegk..plak…plak…” sebuah tendangan menghantam lambung dan diusul dua hantaman tamparan yang menghantam perut dan dada, lao-sam terjajar menggerusur tanah sambil duduk, matanya melotot sambil muntah darah segar berkali-kali, dua lao terkejut karena melihat lao-sam tidak bergerak dengan mata melotot setelah muntah yang ketiga kali.

“lao sam mati!” seru hui-kiam yang berdiri dekat tubuh lao-sam yang terduduk, mendengar itu kedua lao marah, lalu menyerang Fei-lun

“Fei-lun dengan tenang menghadapi kedua lawannya yang kosen ini dengan ilmu “lam-liong-sin-ciang” ilmu ini masih mampu menahan serangan kedua lao, namun karena dikeroyok, ilmu ini dipondasikan dengan dua warisan sin-kang dan gin-kang dari liu-sin, dan hasilnya, kedua lao bingung dan terdesak, walhal baru delapan puluh jurus, lebih cepat dari kekalahan lao-sam, para pendekar juga takjub, melihat ilmu yang sama namun semakin ditekan semakin kelihatan keampuhannya, pada jurus keseratus “duk..buk..plak..plak…wut…plak..plak..plak..duk-..buk..” pukulan dan tamparan Fei-lun membombandir tubuh kedua lao, mereka sudah berusaha lari dan mengelak, tapi entah bagaimana tubuh mereka tetap jadi bulan-bulanan pukulan yang datangnya laksana halilintar yang menyambar.

Lao-it terhempas dengan muka matang dan lebam, mata dan telinganya mengeluarkan darah, kepalanya pening luar biasa, sementara Lao-ji juga terhempas dengan perut dan dadanya terasa nyeri yang sangat, keduanya lalu pingsan, semua orang menatap takjub pada fei-lun, para golongan tua bangikit dan melambaikan tangan padanya

“siauw-taihap apa hubunganmu dengan lam-sian?” tanya tung-sin-tianglo “beliau adalah suhuku walaupun aku tidak pernah bertemu dengan beliau “siapakah namamu siauw-taihap?” tanya pek-gan-taihap

“namaku tecu Fei-lun.” jawab Fei-lun

“hahaha..hahaha….tianglo! apakah kamu menduga hal yang sama denganku?” “hmh…tapi apakah mungkin itu pek-gan?”

“mari kita pastikan tianglo!” sahut pek-gan sambil menatap lembut pada Fei-lun

“siuaw-taihap, bisakah kamu beritahu kami dimana kamu lahir dikota kaifeng?” tanya Pek-gan dengan pandangan berbinar, Fei-lun merasa dua cianpwe ini memiliki dugaan padanya

“aku lahir di jiangzhou milik khu-ciangkun.” Jawab Fei-lun

“hahaha..hahaha.,…saatnya telah tiba, dengarlah para cuwi sekalian! pewaris dua dewa Lam-sian dan Pak-sian sudah muncul ditengah-tengah kita, permata jiangzhou telah berkilau dihadapan kita, saya pek- gan.”

“a..apa maksudnya cianpwe?” tanya Fei-lun heran

“hahaha…tapi sebelum saya jelaskan pada siauw-taihap, saya pek-gan akan mendaulat siauw-taihap menjadi pimpinan.” sahut Pek-gan-taihap

“saya juga tung-sin-tianglo dengan bangga dan rasa bahagia tidak terlukiskan mendaulat siauw-taihap menjadi pimpinan kita.” sela Tung-sin-tianglo

“hidup..siauw-taihap…hidup siuaw-taihap.” deru suara bergemuruh menyambut perkataan dua cianpwe, empat ciangbujin datang dan mendaulat Fei-lun

“kami merasa luar biasa hari ini siauw-taihap, dua cianpwe sudah mengungkapkan rahasia yang luar biasa, dan peristiwa jiangzhou juga kami dengar, dimana jiwi-sian menyambut kelahiran seorang bayi, momen itu jadi buah bibir para penghuni jiangzhou dan menyebar keluar jiangzhou, kami harap hal ini tidak membuat sungkan siauw-taihap, terimalah daulat dari kami pada siauw-taihap untuk jadi pimpinan pek-to.” ujar Wei-ciang-bujin.

“sanggupkah aku mengemban beban amat berat ini cianpwe?” tanya Fei-lun menatap enam orang barisan tua yang berdiri dihadapannya. “hehehe…siauw-taihap, pimpinan kelebihannya hanya ikon penjuru dan ditaati, soal ide, rencana dan segala langkah yang diambil tiadalah sekokoh kecuali bila dimusyawarahkan, kami lima belas golongan tua, akan siap sedia memberikan sumbang saran dan ide pemikiran pada siauw-taihap” sela tung-sin- tianglo

“benar siauw-taihap, aku kim-san-sin-siaucai mendaulat siauw-taihap jadi pimpinan.”

“demikian juga aku sin-ci-sutai mendaulat siauw-taihap jadi pimpinan.” sela sin-ci-sutai, semua pendekar yang ada pada tenda kedua dan ketiga berduyun-duyun dan berbaris didepan fei-lun dan serempak merangkap tangan mengangkat Fei-lun jadi pimpinan.

“cianpwe sekalian, dan para hohan yang baik, aku merasa mengambang dan bingung dengan kejadian ini.” sahut Fei-lun

“siuaw-taihap mungkin sudah mendengar tadi, dimana kita membicarakan figur yang akan dijadikan batu penjuru, kiblat barisan kita, dan syarat itu mutlak ada pada diri siauw-taihap, jiwi-sian loncianpwe yang menjadi suhu dari siauw-taihap, adalah dua pilar aliran pek-to selama puluhan tahun, mereka sejajar dengan enam datuk, keberadaan keduanya menjadi wibawa , buah pikirnya menjadi anutan, sepak terjangnya ayoman bagi setiap kalangan lemah dan tertindas, jiwi-sian menyambut kalahiran siauw-taihap di jiangzhou, mewariskan kitab kepadamu saat itu juga, keunikan itu adalah tanda masa depan, dan hari ini tanda yang diisyaratkan keduanya sudah jelas didepan kami, bukankah kami patut berbahagia dengan menjadikan siauw-taihap yang menjadi generasi anutan kami dulunya menjadi pimpinan?” sela Pek-gan- taihap dengan senyum yang tidal lekang dari bibirnya yang keriput

“jika sudah demikian halnya cianpwe, aku akan berusaha sedaya mampu, dan para sicu semua telah menyatakan sikap, maka tolong aku di bantu untuk menjalani posisi ini.” ujar Fei-lun

“pasti siauw-taihap!” sahut mereka serempak, sehingga gemuruh suara itu memantul dan bergema kebawah puncak, dan bahkan semakin membahana ketika mereka meneriakkan

“hidup siauw-taihap…hidup siauw-taihap…”

Lao-ji mendesah dan membuka mata saat mendengar gemuruh suara yang membahana, dia menatap Lao-it, naman lao-it masih tergeletak, sementara lao-sam memang benar-benar telah tewas, nyalinya ciut, hatinya bergetar, lalu menatap Fei-lun dengan hati cemas

“lao-ji sidah siuman!” seru dua orang yang kebetulan menatap Lao-ji, semuanya menatap Lao-ji, alangkah gemetar hati Lao-ji dipandang ratusan orang, Fei-lun melangkah mendekati Lao-ji

“lao-ji! kenyataan bahwa dua rekanmu telah tewas, maka bawalah kembali keduanya dan sampaikan pada empat datuk pek-to telah memiliki batu penjuru.” ujar tung-sin-tianglo

“kalian telah memnggali lobang kuburan kalian sendiri.” ujar lao-ji dengan hati geram

“jangan sesumbar lagi lao-ji, mimpi kami telah terwujud, jadi pergilah mumpung pimpinan kami siauw- taihap memberikan ampun padamu.” sela hui-kiam

“kalian rasakanlah pembalasan dari cianpwe kami, dan kalian akan meyesali hari ini.” sahut lao-ji sambil bangkit dengan sempoyongan

“lao-ji, kegeramanmu pada hari ini sudah kujawab pada tiga anak muda dari huangsan.” sela Fei-lun “a…apakah kamu yang telah melukai mereka?” tanya Lao-ji gugup

“benar, lalu pantaskah kegeramanmu saat ini kamu umbar disini? kalau kamu bukan muka tembok sebaiknya segeralah pergi.” sahut Fei-lun, mendengar itu Lao-ji terpaksa diam, apa lagi yang mau dia banggakan didepan orang-orang ini, sementara yang tersakti diantara mereka adalah sam-cu, sam-cu saja baru dipecundangi pendekar ini, lalu apakah yang tersisa?, dengan berpikir demikian Lao-ji melangkah mendekati mayat kedua rekannya, dan tanpa bicara dia meninggalkan hoasan-pai. “atas nama suhu aku kao-thian mengucapkan terimakasih pada siauw-taihap, yang ternyata menyelamatkan Han-piuwkio di kaifeng.”

“sudahlah kao-twako, aku juga sudah bertemu dengan Han-taihap sehubungan dengan itu.” sahut Fei-lun “baik kita lanjutkan pertemuan ini, karena hari masih senja!” ujar Fei-lun

“baik siauw-taihap.” sahut mereka serempak, lalu mereka kembali duduk ketempat masing-masing.

“cianpwe yang budiman dan para taihap yang terhormat, hal yang pertama ingin aku lakukan adalah menetapkan bahwa kita akan bertemu setiap dua tahun sekali, untuk mengevaluasi perkembangan dunia kangowu, dan tempatnya kita gilir di antara empat perguruan besar, jadi dua tahun yang akan datang kita akan bertemu di butong-pai.” ujar Fei-lun, semuanya mengangguk sertuju.

“kemudian hal yang kedua adalah menetapkan wakil dalam posisi ini, dan kalau cianpwe setuju, dan hohan semua dapat menerima, saya mengharapkan bahwa paman Kim-san-sin-siucai menjadi wakilku dalam posisi ini.” ujar Fei-lun

“hahaha…pilihanmu amat tepat siauw-taihap, dan saya setuju.” sela Pek-gan-taihap. yang lain juga menyatakan kesetujuannya, dan kim-san-sin-siucai menyanggupinya, lalu hal-hal yang lain pun mereka bicarakan hingga malam tiba, pada malam harinya Wei-ciangbujin mengadakan jamuan untuk hasil dari pertemuan itu, kegembiraan terlihat jelas pada wajah-wajah mereka, semangat mereka menyala-nyala.

Lao-ji sampai di huangsan, empat datuk terkejut bukan main “apa yang terjadi lao-ji!?” tanya see-hui-kui geram

“dua lao telah tewas di arena pertemuan para pendekar di hoasan, kami tidak sanggup menghadapinya.” jawab lao-ji lemah

“bangsat! siapa dia lao-ji!? aku akan patahkan lehernya!” teriak liang-lo-mo “pemuda iyang sama telah merobohkan sam-cu.” sahut Lao-ji

“fei-lun..!” sela empat datuk bersamaan dengan wajah pucat

“hmh…sudah tiga orang lao yang tewas, dan satu entah kemana perginya, sehingga sampai sekarang belum muncul.” gumam pek-mou-hek-kwi

“apakah kemungkinan lao-pat juga sudah tewas?” sela lam-sin-pek

“tidak mungkin suhu, karena piauwsu kita di hopei, mengatakan bahwa peng-te dilepaskan oleh bun-liong- taihap.” sela lao-si

“tapi kalau lepas, dia kemana sekarang!?” sahut Lam-sin-pek gemas.

“hmh…hal ini sungguh tidak kita duga, lalu bagaimana hasil pertemuan orang-orang itu lao-ji?” sela see- hui-kui

“sepertinya fei-lun itu didaulat jadi pimpinan mereka, kita akan mendapat lawan berat dalam satu naungan kumpulan besar.” sahut Lao-ji

“bagaimana sekarang? sam-cu baru tiga bulan mendalami kitab bun-liong-sian-kiam.” sela pek-mou-hek- kwi

“hmh…kita harus membatasi ruang gerak kita dulu sambil membaca keadaan pek-to dan memikirkan jalan untuk melenyapkan pemuda itu.” sahut Lam-sin-pek

“aku akan coba bicara dengan bun-liong-taihap untuk membakar dirinya memusuhi pemuda itu.’ sela Lao- si

“benar! kalau kamu berhasil membakar hati si yaoyan sehingga memusuhi si fei-lun itu langkah bagus.” sela Lam-sin-pek. “baik, sekarang kami akan ke kong-san melihat perkembangan sam-cu, dan kamu lao-si jalankanlah idemu tadi, dan kalian tiga lao usahakan pertemuan dengan ki-cu dan hiang-cu enam bulan kedepan disini.” ujar liang-lo-mo, lalu empat datuk pun keluar, Lao-si berkemas untuk menjalankan rencananya.

Lao-si mengambil jalur selatan, dan sebulan kemudian ia sampai di wuhan, lao-si langsung menuju markas lam-ki, kedatangannya disambut oleh lam-tok

“ada apa lao-si, apakah ada yang harus kami ketahui?”

“enam bulan kedepan kamu dan empat hiang-cu bagian selatan harus sudah berada di huangsan, karena kita mau mengadakan pertemuan.”

“sepertinya pertemuan itu mendadak Lao-si.” sela lam-tok

“benar, karena aliran kita mendapat benturan dari seorang tokoh muda.” “hehe..hehe..hanya tokoh muda, lalu kenapa kita seperti kebakaran jenggot.”

“walaupun tokoh muda, tapi sangat luar biasa, dan hal yang tidak kita duga, bahwa tokoh muda sudah mengalahkan sam-cu.”

“hah..! samcu kalah!?” seru lam-tok terkejut laksana disengat kalajengking hingga ia berdiri dari kursinya “siapakah dia yang memiliki kehebatan sehebat itu?”

“namanya fei-lun, dan sekarang ia telah menjadi pimpinan pek-to, lao-it dan lao-sam telah tewas ditangannya.” ujar Lao-si, Lam-tok tercenung mendengar berita hebat itu.

“kalau begitu, kita memang harus berkumpul untuk memikirkan cara untuk melenyapkannya.” gumam lam- tok

“lalu apakah lao-si akan kembali lagi ke huangsan?” “belum, saya juga sedang menjalankan sebuah rencana.” “rencana apakah itu lao-si?” tanya Lam-tok

“saya akan menemui hung-fei dan mencoba membujuknya untuk melawan pemuda itu.” “hmh..rencana yang bagus lao-si.” sela Lam-tok.

Lao-si berada tiga hari di markas lam-ki, lalu ia melanjutkan perjalanan menuju Yinchang, ketika melewati hutan yang lebat, matanya yang awas menangkap sebuah gerakan yang tiba-tiba berkelabat, dia mengejar dengan mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa, namun yang dikejar juga memiliki ilmu lari cepat yang tidak berada dibawahnya, kejar-kejaran berlangsung lama, jarak antara mereka tetap, akhirnya yang dikejar berhenti dan berbalik dalam dua kali lompatan Lao-si mendapatkan orang yang dikejar

“eh…peng-te!?” seru Lao-si terkejut

“lin-cici, bagaimana kabarmu?” tanya orang yang ternyata Wan-peng “aku baik-baik saja pengte? apa yang kamu lakukan dihutan ini?” “sekarang aku tinggal dilembah itu.” sahut Wan-peng

“kenapa kamu tidak kembali ke huangsan? dan malah menyendiri dihutan ini.” “aku tidak akan kembali cici, tolong biarkan aku menyendiri.”

“apa yang terjadi denganmu peng-te, kenapa kamu melakukan hal ini?” “cici, kita telah berkutat dengan segala jenis maksiat, sekarang aku sadar betapa hinanya kita yang malakukan banyak kejahatan.”

“peng-te kamu ini bicara apa!? jangan kamu buat cici marah padamu.” bentak lao-si

“cici, kamu juga harus segera menyadari bahwa kita ini adalah orang-orang yang selama ini dibentuk oleh kejahatan, dan pola pikir licik yang diwariskan para cianpwe.”

“tutup mulutmu peng-te, aku tidak suka apa yang kamu bicarakan.” bentak lao-si “sudah berapa lama kamu tinggal disini?” tanya Lao-si

“sudah enam bulan cici, dan biarkanlah aku tetap disini.” “siapa yang mengajarimu melakukan tindakan seperti ini!?”

“tidak ada yang mengajariku cici, ini ideku sendiri untuk menjauh dari permainan nafsu dunia yang membinasakan kemanusiaan.”

“sialan kamu peng-te, apa ini karena kamu bertemu dengan hung-fei?”

“awalnya memang demikian, dia sudah sangat baik dengan kita, namun kita telah merusak hatinya dengan tipu daya kita.”

“apa yang dikatakannya padamu, sehingga kamu berubah seperti ini?” “fei-twako tidak mengatakan apa-apa padaku, aku hanya dilepaskannya.”

“tidak mungkin kalau hanya itu, pasti ada yang mempengaruhi pikiranmu sehingga berlaku sebodoh ini.” “cici , mungkin aku bodoh, tapi lebih baik begitu daripada aku binasa oleh kesesatan.”

“peng-te…! Kamu telah dirasuki pengaruh tidak benar.”

“tidak benar? apakah selama ini kita berada pada jalur yang benar? diamanakah kebenaran dari tipu muslihat? dimanakah kebenaran dari sebuah kemesuman? dimanakah kebenaran menindas orang tidak berdaya? katakan padaku cici!?”

Lao-si menatap wajah adiknya dengan sorot mata tajam

“aku akan membunuhmu peng-te, jika kamu tetap bersikap seperti ini!” ancam lao-si

“hehehe…aku tidak menduga bahwa cici sanggup mengatakan hal itu padaku, jika memang demikian aku pasrah, dan cepatlah lakukan cici supaya aku segera bertemu dengan ayah dan ibu.” sahut Wan-peng tenang, melihat sikap adiknya bergetar tubuh lao-si, amarahnya menggelora, namun ia tidak sanggup untuk bertindak lebih, akhirnya kemarahan itu ditelannya sehingga membuat nafasnya sesak dan wajahnya pucat.

“aku sudah tidak punya adik lagi!” teriaknya sambil berkelabat, akan tetapi sayup-sayup suara adiknya terdengar melantunkan nyanyian

“kenapa menyalahkan warna kain, jika kulit sendiri tidak ada pilihan kenapa menyalahkan orang lain, jika diri juga penuh kesalahan renungkan sendiri kedalam batin, pasti ketemu sebab dari keadaan keadaan tanpa sebab tidaklah mungkin, demikianlah liku kehidupan”

tiba-tiba lao-si kembali, “siapakah yang mengajarkan nyanyian itu padamu!?”

“aku tidak diajari siapa-siapa cici, semoga setelah amarahmu reda, nyanyian itu dapat cici pikirankan.” “tai kucing dengan nyanyian itu! dari siapa kamu dengar nyanyian itu!?” “untuk apa cici ingin mengetahuinya?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar