Wisang Geni Bab 11 : Jurus Penakluk Raja

Bab 11 : Jurus Penakluk Raja

Hari ini adalah awal dari hari esok. Pertemuan adalah awal dari suatu perpisahan. Beberapa hari bersama-sama, ngobrol bercanda, makan minum dan tidur, tanpa terasa telah menumbuhkan rasa pertemanan yang akrab. Rombongan besar itu berpencar. Demung Pragola bersama cucu dan anak buahnya pulang ke markas partainya. Sebelum pergi Demung Pragola menjanjikan bantuan kepada Wisang Geni, kapan saja diperlukan.

Rombongan Sang Pamegat bersama Ranggawuni, Mahisa Campaka, Waning Hyun dan delapan pendekar Tumapel melanjutkan tujuan asalnya. Wisang Geni yang dulunya tawar terhadap tiga pangeran ini, belakangan mulai hangat. Ia memberi hormat sambil mengucap salam perpisahan.

Sekoyong-koyong Waning Hyun yang berdiri di samping Ranggawuni memperingatkan Geni. "Kangmas Wisang Geni, kamu sekarang ketua Lemah Tulis, kamu juga kakak perguruanku, tetapi kamu tetap masih hutang satu permintaan padaku. Jangan lupa, suatu waktu nanti aku akan menagih janji itu, awas kamu tak boleh ingkar."

Wisang Geni tertawa. "Tanpa berhutang janji pun, kalau di perintah seorang permaisuri agung, mana berani aku menolak."

Melihat Waning Hyun tersipu-sipu. Ranggawuni tertawa terbahak-bahak. "Kangmas Geni, kamu sekarang tak lagi kaku seperti dulu pertama kali bertemu kami. Sobat, berhati-hatilah memimpin Lemah Tulis. Makin tinggi kau duduk makin besar angin yang akan menerpamu, hati-hati dan waspada terhadap siapa pun!"

Rombongan Lemah Tulis melanjutkan perjalanan. Lima hari kemudian sampai di Gayu, sebuah desa kecil di kaki gunung Wclirang. Lima hari itu bagi Manjangan Puguh adalah pengalaman baru. Selama lima hari itu ia merasa dikejar-kejar Mei Hwa. Setiap ia sendirian, Mei Hwa selalu menghampiri dan mengajaknya bicara

Dia seperti melihat wajah Mei Hwa di mana-mana.

Hidungnya yang bangir mungil, matanya yang sipit indah gemerlap, rambutnya yang halus lurus, bibir yang mungil, semuanya seperti akrab dengannya. Perawakannya yang tinggi jangkung, tidak kurus dan tidak gemuk selalu jadi bahan lamunan.

Manjangan Puguh seorang lelaki berjiwa polos yang tak pernah menyembunyikan perasaannya. Ia terus memikirkan Mei Hwa. Sampai suatu saat ia dihadapkan pada pilihan sulit. Pergi jauh dari perempuan Cina itu, atau menghampiri perempuan itu dan mengatakan bahwa ia mencintainya.

Tetapi ia bimbang. Ada rasa khawatir, cintanya akan ditolak. Ia merasa sudah tua, usia separuh abad, apakah Mei Hwa mau menerima cintanya? Ia makin kesal terhadap dirinya, mengapa menjadi begitu lemah, tak mampu mengambil keputusan tegas.

Perpisahan selalu membawa kenangan. Bagi Manjangan Puguh, yang selalu berpindah tempat dan tak pernah diam lama di suatu tempat, perpisahan adalah kawannya yang paling akrab. Hari itu ia sulit memutuskan mengikuti rombongan Wisang Geni ke Lemah Tulis, pergi mengembara seorang diri atau mengawani rombongan Mei Hwa ke bukit Penanggungan. Ia bingung memilih, seperti kebingungan dirinya yang tidak punya keberanian mengutarakan cintanya pada Mei Hwa.

Tadi malam, bagi Manjangan Puguh suatu hari yang tak akan terlupa. Mei Hwa menghampirinya, memegang tangannya dan menatap lekat-lekat matanya. Ia sepertinya melihat sinar mata yang mengandung cinta. Apakah benar, Mei Hwa mencintai dirinya sebagaimana ia mencintainya? Gadis itu berkata lirih, "Mas Puguh, di dalam rombongan ini aku adalah pemimpinnya karena aku pandai bahasa Jawa. Tetapi pengalamanku cetek, apalagi aku sangat asing dengan negeri ini, aku mohon bantuanmu mengantar kami ke bukit Penanggungan. Di bukit itu kami akan menanti rombongan ketua Sam Hong. Kamu mau mengantar kami?"

Entah mengapa Manjangan Puguh justru menjawab yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan kemauannya. "Aku tidak bisa, aku masih punya urusan lain." Ia melihat wajah Mei Hwa yang kecewa, bahkan matanya merah basah. Ia menyesal, tetapi tak mampu meralat jawabannya tadi.

Siang hari itu, di batas desa Gayu, dua rombongan itu sampai di persimpangan jalan. Ke kiri menuju Trowulan, markas perdikan Lemah Tulis. Ke kanan menuju bukit Penanggungan. Jari Manjangan Puguh menunjuk lurus ke depan. "Kalau ke utara terus, kalian akan sampai di bukit Penanggungan." Mata Mei Hwa berkaca-kaca. Ia dan keempat kawannya memberi hormat kepada semua orang. Matanya memandang Manjangan Puguh penuh arti. Sepasang mata sipit itu, basah tapi masih bening dan berkilat. Manjangan Puguh menyukai keindahan mata itu. Hatinya tergugah, tapi ia tak bisa mengambil keputusan. Dalam hatinya ia merasa malu, mencintai gadis usia duapuluhan, padahal dia sendiri sudah hampir setengah abad. Ia malu terhadap Geni dan yang lainnya. Juga terhadap Mei Hwa.

Manjangan Puguh tak sanggup menatap lama-lama mata Mei Hwa. Cepat ia membalik dan melangkah mendahului rombongan Lemah Tulis. Ia berjalan menuju Trowulan. Mei Hwa masih berdiri tak bergerak Mata gadis itu menatap kekosongan.

Wisang Geni berbisik pada Wulan. Perempuan ini manggut, lalu berseru, "Paman, tunggu dulu, lebih baik paman mengawani Mei Hwa dan rombongannya, kalau terjadi apa- apa terhadap mereka, nama kita semua akan cemar. Lagi pula, paman, kau bukan anggota Lemah Tulis apa gunanya ke Trowulan?"

Manjangan Puguh berhenti, berpikir sejenak, ia berbalik. "Kau benar juga. Aku bukan orang Lemah Tulis, buat apa ikut ke Trowulan. Baik, aku akan mengawani orang-orang Cina ini sampai desa di depan."

Sambil berkata Manjangan Puguh melesat Sekejap saja ia sudah berdiri di dekat Mei Hwa. Mata gadis itu berbinar, wajahnya menjadi cerah. Tanpa merasa malu ia mengucap, "Terimakasih," sambil menjura kepada Geni dan Wulan. Tidak disadari baik Manjangan Puguh maupun Mei Hwa bahwa keputusan itu telah mengubah jalan hidup keduanya.

Tiga hari kemudian rombongan Wisang Geni tiba di desa Tumbas di tepi Kali Gunting. Dari situ menuju Trowulan hanya lebih kurang satu hari. Hari sudah senja, Wisang Geni memutuskan bermalam di batas desa. Dia mengutus Gajah Nila ke desa, mencari makanan dan keterangan.

Matahari sudah lama masuk peraduan ketika Gajah Nila kembali.

Bersamanya ikut Kebo Lanang, murid pertama Ranggascta dan sepasang suami isteri. Mereka membawa banyak makanan seperti ketela, ubi, ikan asin, ayam dan daging sapi yang sudah dikeringkan. Tak lama kemudian tempat itu penuh kesibukan.

Gajah Nila memperkenalkan suami isteri itu kepada Wisang Geni. Seorang laki-laki tampan berusia sekitar empatpuluhan, Baruna. Isterinya sedikit lebih muda. Keduanya lama tinggal di desa dekat Lemah Tulis, karenanya tahu banyak situasi dan keadaan perdikan.

Selama dua hari di batas desa Tumbas itu, satu persatu murid Lemah Tulis berdatangan. Ternyata selama ini Lemah Tulis masih memiliki murid yang bertebar di mana-mana dan berlatih sendiri secara sembunyi Namun meski pun hidup berpencar, tetapi secara diam-diam mereka tetap saling berhubungan. Hanya selama ini belum berani memperkenalkan diri di depan umum

Ketika semua orang sudah beristirahat, Gajah Nila membawa Baruna, menghadap Wisang Geni. Di situ duduk juga Walang Wulan, Padeksa dan Gajah Watu. Tidak ketinggalan di situ adalah Sekar. Karena Sekar adalah isteri Wisang Geni, maka boleh saja hadir dalam perbincangan Lemah Tulis. Baruna menceritakan panjang lebar segala sesuatu yang diketahuinya tentang tanah perdikan Lemah Tulis.

Tanah perdikan itu belum lama berselang telah dikuasai orang-orang dari partai Cundha, ketuanya bernama Tita Sahaja. Saat ini perdkan itu sedang ramai, karena kedatangan beberapa tokoh dari kalangan hitam Di antaranya ada Sepasang Iblis Sapikerep dan ketua partai Bajul Ireng, yakni Jayawikata.

"Kebetulan sekali, dua iblis Sapikerep dan Jayawikata ada di sana, aku tak perlu susah-susah mencari mereka. Guru, siapa itu Tita Sahaja?"

"Kakek itu salah seorang yang ikut dalam penyerbuan ke Lemah Tulis dan perang Ganter. Ia kawan dekat Ken Arok semasa muda. Ilmunya cukup tinggi, mungkin oleh Sapikerep dan Jayawikata, dia diharapkan dapat mengimbangimu! Kita harus berhati-hati, kupikir mereka sudah tahu kita akan datang."

Wisang Geni menyuruh Gajah Nila dan Jayasatru mempersiapkan pertemuan seluruh anak murid Lemah Tulis. Sebagian murid Lemah Tulis terutama yang tidak hadir di Mahameru hanya mendengar cerita kehebatan Wisang Geni. Tetapi ketika mereka melihat wajah ketuanya yang masih begitu muda, timbul keraguan. Apa mungkin, ketua yang begini muda usia punya ilmu hebat sampai bisa membunuh Kalayawana bahkan menjadi salah seorang dari lima pendekar utama tanah Jawa? Begitu kira-kira keraguan di benak mereka. Pertemuan berlangsung singkat, Wisang Geni menggambarkan apa saja yang harus dilakukan untuk membangun kembali perdikan Lemah Tulis yang sudah duapuluh lima tahun tenggelam

"Kerja keras, berlatih keras, tidak kenal lelah, tidak kenal putus asa, dan yang paling penting kita semua harus menjaga memelihara persatuan dan pertemanan di antara sesama murid Lemah Tulis. Ingat, mulai sekarang, semua murid kita, terutama murid baru, harus diketahui asal usulnya. Tak boleh lagi ada penyusup, tak boleh lagi ada murid pengkhianat yang meracuni makanan dan air minum kita. Harus ada kesepakatan bahwa siapa yang membuat kesalahan harus dihukum, siapa pun dia, bahkan jika aku ketua kalian bersalah dan melanggar peraturan, silahkan hukum'" Semua murid memerhatikan seksama penegasan sang ketua. Lebih lanjut Wisang Geni mengajak semua murid untuk menyerbu dan merebut kembali tanah perdikan Lemah Tulis dari tangan partai Cundha. "Pertama yang harus kita lakukan adalah merebut kembali Lemah Tulis. Malam ini, kalian waspada dan berjaga-jaga. Aku akan menyelidik keadaan di perdikan, melihat apakah mereka mempersiapkan jebakan atau tidak. Selama aku tidak ada, semua urusan disini kuserahkan pada paman Gajah Watu sebagai penanggungjawab. Besok pagi, kita akan menyerang. Satu hal lagi, pastikan di antara kalian tidak ada pengkhianat?"

Semua murid menyambut dengan semangat meluap. Sudah lama mereka tarmimpi datangnya saat ini. Selama ini mereka merasa seperti buronan saja. Tak berani memperkenalkan diri sebagai murid Lemah Tulis karena takut disatroni musuh- musuh lihai. Ternyata saat yang dinanti-nanti akhirnya tiba bahkan mereka sudah punya ketua baru yang ilmu silatnya sangat tinggi.

Wisang Geni melakukan perjalanan cepat. Kalau berjalan biasa tanah perdikan itu bisa dicapai dalam satu hari. Tetapi Geni yang menggunakan Waringin Sungsang tiba sebelum tengah malam Tak sulit menemukan perdikan itu, karena peta yang digambar Baruna cukup jelas. Bulan ditutup mendung tebal, Geni melihat perdikan dikelilingi pepohonan sebagai pagar batas. Ia tersenyum dan menemukan cara paling bagus dan aman. Menggunakan Waringin Sungsang ia melompat dari satu pohon ke pohon lain.

Ada beberapa penjaga malam berkeliling. Di antara sekian banyak rumah, tampak satu bangunan besar mendapat pengawalan paling ketat. Geni menduga itu mungkin markas pusarnya. Bagaimanapun juga ia harus mendekati bangunan itu, mengintai rencana lawan. Ia dengan jurus Warayang dari Waritigin Sungsang bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Gerakan Wisang Geni terlalu cepat untuk bisa dilihat mata, apalagi di malam hari yang rembulannya tertutup mendung tebaL Sampai di bangunan besar, ia sembunyi di bawah wuwungan.

Dari situ ia bisa mengintai ke ruangan tengah. Tampaknya ada pesta. Empat perempuan separuh bugil menari diiringi musik tabuh. Beberapa lelaki duduk menyaksikan sambil makan-minum Meja hidangan penuh makanan dan minuman, seseorang masuk ruangan. Ia melapor adanya rombongan besar bermalam di hutan di batas desa Tumbas. "Tidak tahu siapa rombongan itu tapi jumlahnya sekitar limapuluh orang. Mereka semua orang-orang yang mengerti silat."

Lelaki yang dikenal sebagai Jayawikata berseru. "Itu sudah pasti mereka, orang-orang Lemah Tulis yang dipimpin Wisang Geni. Kita harus bersiap-siap sekarang ini, jangan sampai kita diserang saat kita semuanya sedang tidur."

Seorang lelaki yang tidak dikenal Geni, berusia sekitar tujuhpuluh tahun, mengusir pergi si pelapor tadi. "Aku sudah siapkan semuanya. Di mana-mana ada jebakan, kalau malam ini mereka berani menyerbu, itu sama saja dengan bunuh diri! Aku yakin mereka akan datang besok siang. Alasannya, mereka menganggap dirinya golongan pendekar jadi mau tarung secara terang-terangan. Justru kesombongan mereka itu yang akan kita manfaatkan. Sekali lagi sejarah akan mencatat kehancuran Lemah Tulis!"

Wisang Geni terkesiap. Rupanya benar yang dikatakan Padeksa, mereka sudah mempersiapkan diri. Apa jebakan itu, Geni tak tahu. Tiba-tiba Geni merasa telapak kakinya gatal. Ia hendak menggaruk, tapi ditahannya. Merasa tak ada lagi yang perlu diketahui, Geni melesat pergi. Rasa gatal di kakinya menjadi-jadi waktu ia tiba di luar batas perdikan. Ketika tangannya menyentuh telapak kaki, ia terkejut. Kakinya itu panas, bengkak dan berair. Racun ganas!

Tak ayal lagi Geni duduk bersila. Ia mengerahkan tenaga Wiwaha di kedua kakinya. Hampir sepenanakan nasi kemudian kakinya mulai membaik. Kakinya masih bengkak, namun sudah kurang gatal. Sebenarnya ia bisa menyembuhkan kakinya dengan ramuan, tetapi di malam hari tak mungkin bisa menemukan daun obat Satu-satunya jalan, cepat kembali ke rombongan.

Tapi bagaimana caranya? Berlari, tidak mungkin sebab racun itu akan menjalar lebih ganas lagi Berjalan, juga tidak mungkin, sebab akan makan waktu lama. Menanti pagi hari, kemudian baru mencari daun obat, juga tak mungkin, orang- orang Lemah Tulis akan gelisah menanti. Satu-satunya jalan ia harus mencari kuda.

Terpaksa ia mencuri kuda dari salah satu rumah penduduk.

Ia melecut kuda secepatnya dan tiba di desa Tumbas saat fajar menyingsing. Kedatangannya disambut beberapa murid. Ia minta Sekar menyiapkan air hangat di tempayan. Sambil merendam kaki, ia mengerahkan tenaga dalamnya. Air di dalam ember mendidih, selang sesaat menjadi dingin. Wulan dan Sekar duduk di dekat kekasihnya, bergantian melayani kebutuhan Geni.

Wulan, Sekar, Padeksa dan Gajah Watu serta beberapa murid lain memerhatikan wajah ketuanya. Tak ada tanda- tanda yang mengkhawatirkan, apalagi tadi Geni mengatakan bahwa ia cuma kena racun ringan. Racun itu tidak bisa menembus ke dalam tubuh tetapi bisa merusak telapak kakinya.

Wisang Geni selesai dengan pengobatannya ketika matahari pagi sudah memperlihatkan diri sepenuhnya. Geni masih belum mau menceritakan pengalamannya. Ia semedi. Selang beberapa lama, kakinya sudah tidak gatal lagi, meskipun masih bengkak. Masih ada bekas racun di kaki, warnanya agak biru kehitaman.

Setelah merasa agak baikan, Geni memaksa diri berkeliling di hutan, mencari ramuan daun dan rumput. Sebagian ramuan ditumbuk kemudian dilabur ke kaki, sebagian lagi direbus dan diminum Lalu ia semedi sambil melonjorkan kaki. Ketika siang hari, tampak kakinya sudah pulih seperti sediakala.

Wisang Geni memanggil Padeksa, Gajah Watu dan beberapa murid utama. Ia menceritakan pengalamannya ketika mengintai Lemah Tulis. "Jebakannya itu garam beracun yang disebar di tanah sekeliling sehingga penyerang akan keracunan kakinya. Racun ini akan mengganas apabila yang keracunan menggunakan tenaga."

Setelah semua murid mengutarakan pendapat, akhirnya Geni menjelaskan siasat. "Kita berangkat siang ini. Tapi sebelum itu kita sebar isu akan menyerang besok siang. Kita akan sampai sekitar tengah malam. Istirahat, lalu menjelang fajar, kita serang. Gunakan karung berisi pasir dan batu-batu besar yang akan kita tebar di pekarangan. Itu tempat pijakan kaki. Selain itu, kalian lumuri kaki dengan ramuan obat yang sudah kusediakan lalu bungkus dengan kain yang agak tebal, menjaga jangan sampai kena racun."

Geni mengumpulkan semua anggota, membagi tugas.

Sekelompok menyediakan karung. Sesampai di tepi perdikan, baru diisi pasir. Sekelompok lain, membuat busur dan anak panah. Ujung panah dibungkus kain, nanti berfungsi sebagai panah api.

Perjalanan ke Lemah Tulis telah membangkitkan semangat semua murid Mereka melangkah tegap. Tepat tengah malam mereka sampai di hutan dekat perdikan. Semua kelompok siap dengan tugasnya. Siap mengubah sejarah. Inilah saat-saat kebangkitan Lemah Tulis!

Beberapa saat menjelang fajar, ketika orang masih enggan membuka mata, Wisang Geni memberi aba-aba menyerang. Dari segala penjuru, mereka melepas anak panah berapi. Tak lama berselang semua bangunan di perdikan itu menyala!

Musuh berlarian keluar. Suasana hiruk pikuk dan kacau. Tepat dugaan Geni, ternyata banyak anggota partai Cundha yang tak mengetahui kalau tanah di sekitarnya sudah ditabur racun.

Mereka hanya diberitahu agar melangkah di atas batu-batu yang telah diatur rapi. Tetapi di malam hari dan dalam suasana hiruk pikuk diserang musuh, tak ada lagi yang mengingat aturan itu. Akibatnya mereka memijak tanah yang bertabur garam beracun, satu demi satu korban di pihak Cundha berjatuhan.

Tidak lama kemudian Wisang Geni memberi aba-aba menyerang. Karung pasir dan batu besar dilempar ke dalam pekarangan, berbarengan murid-murid Lemah Tulis menyerbu masuk. Geni, Gajah Watu, Wulan berada paling depan.

Gajah Watu tarung lawan Sepasang Iblis Sapikerep. Wulan lawan Jayawikata. Sekar dan murid lainnya tarung lawan orang-orang Cundha. Geni menghadapi si orang tua yang ternyata adalah ketua partai Cundha, Tita Sahaja!

Di mana-mana pertarungan sengit. Murid-murid Lemah Tulis dengan ganas membabat kian kemari. Anggota partai Cundha lari tercerai berai. Luput dari hamuk anak murid Lemah Tulis mereka mati disengat garam beracun.

Pertarungan tidak lama, tanah perdikan itu resmi jatuh ke tangan pemiliknya.

Pertarungan antara tiga pemimpin sudah mendekati akhir. Tak percuma selama ini Wulan memperdalam ilmu Prasidba dari Wisang Geni. Pada mulanya Wulan agak terdesak. Suatu ketika ia terancam pukulan yang mengarah ke dada. Melihat tak ada jalan keluar, Wulan memasrahkan diri sambil menggelar jurus Akwamatyana dari ilmu Prasidba. Jayawikata hanya sempat memekik sebelum terjengkang dua tombak ke belakang. Tulang dadanya remuk, ia mati sebelum menyentuh tanah.

Gajah Watu sebetulnya kewalahan dikeroyok Sepasang Iblis Sapikerep. Namun, karena Lembusana belum pulih dari luka pedang Ki Antaboga ketika tarung di Mahameru, maka Gajah Watu tinggal memerhatikan si iblis perempuan, Lembani. Dan saat Wulan mengalahkan Jayawikata, saat yang sama Gajah Watu menghantam leher Lembani. Iblis ini terlempar dengan leher patah, mati seketika!

Lembusana kalap melihat isterinya mati. Ia menyerang tanpa peduli pada lukanya yang belum sembuh. Gajah Watu menyambut dengan jurus Dekungpulir dan Sikepdehak.

Tangan dan kaki Gajah Watu berputar dengan mendorong. Bentrokan tenaga tak terhindar. Gajah Watu undur dua langkah. Lembusana tetap di tempat, wajahnya pucat. Dari mulurnya keluar darah, tubuhnya bergoyang, saat berikutnya ia jatuh tertelungkup, mati! Selesai sudah perjalanan hidup yang kelam tiga pendekar kalangan hitam, Jayawikata dan pasangan suami isteri Sapikerep. Duapuluh lima tahun silam mereka ikut andil dalam pembantaian berdarah murid-murid Lemah Tulis, sekarang nyawa dan hidup mereka dihentikan oleh orang-orang Lemah Tulis. Hutang nyawa bayar nyawa!

Pertarungan antara Wisang Geni dengan Tita Sahaja berlangsung seru sejak awal. Murid-murid Lemah Tulis menonton takjub. Ketua mereka ternyata seorang berilmu tinggi meski usianya masih muda. Sepanjang pertarungan itu, terdengar bentrokan tenagayang bersuara keras. Tita Sahaja memainkan jurus andalannya Gelap Ngampar dan Gelap Sewu Geni berganti-ganti menggunakan Garudamukha dan Bang Bang Alum Alum.

Sengaja Geni tak mau menggunakan Prasidha karena ingin menguji tenaganya sendiri. Ia ingin adu tenaga habis-habisan, ingin tahu sampai di mana kekuatan Wiwaha menghadapi lawan istimewa ini. Baru kali ini Geni menemukan lawan dengan tenaga luar dan tenaga batin yang begitu tinggi

Namun sekuat apa pun tenaga Tita Sahaja, tampaknya Wimkm jauh lebih sempurna. Makin bertarung, tenaga Geni makin besar. Panas yang membara dan dingin yang membeku silih berganti menyiksa Tita Sahaja. Melampaui jurus limapuluh, Tita Sahaja yang sudah terdesak hebat terpaksa menggunakan pukulan paling dahsyat yang dimilikinya.

Amarahnya meluap, ia membentak keras dan mengerahkan segenap tenaga. Mati atau hidup!

Geni melihat ini, ia juga mengerahkan segenap tenaga dinginnya. Terjadi adu tenaga dalam yang dahsyat. Angin dingin dan tangan Geni menyambar ke segala penjuru dan terasa oleh sebagian murid Lemah Tulis. Mereka yang belum pernah melihat sepak terjang Geni, kini takjub akan kehebatan ketuanya.

Yang paling celaka, Tita Sahaja. Bentrokan tenaga itu telah membuatnya nyaris beku. Ia menggigil hebat. Dari mata, hidung, mulut dan telinga merembes darah. "Ilmu apa itu?" Ia bertanya, tapi tak sempat mendengar jawabannya. Nyawanya melayang!

Pertarungan selesai lebih cepat dari perkiraan. Di pihak Lemah Tulis tidak ada korban jiwa, hanya beberapa murid yang luka. Tetapi di pihak lawan, sebagian besar mati di pekarangan, sebagian lagi di luar perdikan.

Pagi itu, Lemah Tulis memulai hari yang baru. Semua murid membersihkan pekarangan, membuang garam beracun.

Mereka bekerja dengan riang. Mayat-mayat orang partai Cundha dikubur dalam satu liang besar di luar perdikan. Semua bangunan dibongkar kemudian membangun yang baru sesuai kebutuhan dan rencana.

Selama beberapa hari, Wisang Geni sibuk menjalankan tugas sebagai ketua. Waktunya yang senggang digunakan untuk melatih para murid atau berkeliling membantu pembangunan. Malam hari ia istirahat bersama Wulan dan Sekar. Dua isteri itu sekarang sudah makin rukun, mau bercanda dan bekerjasama. Bahkan tidak jarang mereka bercinta, dua isteri menggumuli Geni. Hampir setiap pagi dan malam Geni membantu penyembuhan tenaga Padeksa. Tubuh Padeksa semakin membaik, ia sudah sembuh namun tenaga dalamnya belum pulih sepenuhnya.

Pada saat-saat tertentu Geni melatih beberapa murid utama secara bersamaan. Kemudian beberapa murid utama ini melatih beberapa murid di bawahnya. Tampaknya roda kehidupan Lemah Tulis mulai berputar kembali setelah duapuluh lima tahun lamanya terbenam dalam lumpur kehinaan.

Hanya dalam waktu duapuluh hari, keadaan perdikan Lemah Tulis langsung berubah. Secara fisik terlihat bangunan dan saluran pengairan mulai berfungsi. Di sisi lain mulai timbul kepercayaan diri pada setiap anak murid.

Sepak terjang Wisang Geni menjadi pembicaraan para murid. Sebagai ketua ia tegas, berani dan bijaksana. Sebagai manusia biasa, ia mau duduk sama rendah dengan para murid, makan bersama bahkan ikut menebang kayu dan menggali sumur. Terkadang ia larut dalam canda bersama mereka. Makin hari para murid makin segan, hormat dan sayang pada ketua mereka yang masih berusia muda ini.

Tiba saatnya Wisang Goni berangkat ke Tajinan, memenuhi janji tarung pada Malini dan Kumara. Malam menjelang berangkat, Wulan membujuk Geni untuk mengajaknya. Geni keberatan mengingat Lemah Tulis kekurangan tenaga.

"Wulan, kamu harus membantu perguruan. Guru Padeksa belum pulih seluruhnya. Hanya seorang yang bisa diandalkan, paman Gajah Watu selain beberapa murid utama. Itu sebab tenagamu diperlukan di sini. Aku akan cepat kembali." Geni melihat air muka Wulan yang murung.

"Kamu mengajak Sekar?" tukasnya dengan suara bergetar.

Geni mengangguk, mengiyakan. Seperti anak kecil, ia merengek. "Aku mau ikut, Geni!" Geni belum sempat menyahut, terdengar suara Sekar mengusulkan agar Wulan ikut serta. Mau tak mau Geni akhirnya bertanya pada Padeksa. Orang tua ini tertawa geli. Dalam hati ia merasa lucu melihat dua isteri itu tidak mau berpisah dari suaminya. "Sekarang ini Lemah Tulis tak akan kekurangan tenaga. Lagipula siapa yang akan menyerang kita? Justru kamu yang perlu ditemani, maka ajak saja dua isterimu itu.

Ingat Geni, yang kamu hadapi itu dua orang yang ilmu silatnya tergolong kelas atas. Kamu harus waspada dan berhati-hati!"

Dalam perjalanan menuju Tajinan, Wisang Geni, Wulan dan Sekar lebih sering berbincang mengenai ilmu silat. Berkat latihan dan bimbingan Geni, sekarang Wulan sudah menguasai Prasidha dan bisa menggunakan saat dibutuhkan. Selain itu Wulan pun mulai menguasai warisan ayahnya, ilmu Nagapasa. Geni tak lupa menyediakan waktu membimbing Sekar khususnya dalam peningkatan tenaga dalam.

Pada saat tertentu Wisang Geni menghabiskan waktu memikirkan pertarungan nanti. Ia pernah bertempur dengan Malini selama tigapuluh jurus di Mahameru. Waktu itu ia terkejut sebab dalam setiap bentrokan tangan, ia merasa tenaganya seperti amblas ke tempat kosong. Malini seperti sebuah sumur yang dalam, yang menyedot seluruh tenaga pukulannya. Ketika ia tanyakan, Padeksa menegaskan itulah ilmu yang meminjam tenaga bumi. Inti ilmu tersebut, adalah daya tarik bumi. Setiap benda kalau dilempar akan jatuh ke tanah. Makin tinggi keberadaan benda dan makin berat bobot benda itu maka kejatuhannya akan bertambah keras.

Prinsip ilmu itu hampir sama dengan Prasidha. Bedanya Prasidha meminjam tenaga musuh untuk memukul kembali musuh. Sedang ilmu Tenaga Bumi menyalurkan tenaga pukulan musuh lenyap ke bumi, makin lama musuh akan kehabisan tenaga. Selelah itu barulah musuh dihajar. Wisang Geni berpikir, apakah Prasidha bisa mengatasi ilmu pendekar India itu?

Pertanyaan ini menghantui Geni sepanjang jalan.

Bagaimana kalau Prasidha ternyata tak mampu mengatasi ilmu lawan itu? Memang ia berhasil meyakinkan Padeksa dan Gajah Watu bahwa ia bisa mengatasi dua pendekar Jambudwipa itu. Tapi dalam hatinya ia tak yakin bisa menang.

Sejak masih di Trowulan ia sudah memikirkan cara menghadapi ilmu Tenaga Bumi itu? Namun sampai saat ini pun, ia belum menemukan jawaban yang tepat. Ia tahu, ia tak punya pegangan untuk menang.

Malam itu ketika nginap di hutan dekat perbatasan desa Wajak. Wisang Geni temukan pengalaman aneh. Setelah bercinta dengan dua isterinya sepanjang malam, Geni terbangun saat ambang fajar. Ia merasa ada orang yang mengusik tidurnya. Ia menengok kedua isterinya, mereka tidur lelap.

Ia seperti mimpi mendengar suara kidung Penakluk Raja sayup-sayup mengelus pendengarannya. Suara itu seperti bisikan lembut dan merdu yang mengiang di telinganya. Ia menengok keliling, tapi tak melihat ada orang. Merasa penasaran ia membangunkan Wulan dan Sekar. "Kau mendengar orang menyanyikan kidung Penakluk Raja?"

Sekar mengerutkan kening, mencoba mendengar dengan penuh perhatian, lalu menggeleng kepala. Wulan tak mendengarnya. Wisang Geni memukul kepala, ternyata ia tidak bermimpi, suara kidung itu masih saja terdengar di telinga berulang-ulang. Mulanya ia mengira itu perbuatan si Kidung Maut. Tapi ia teringat Kidung Maut tak pernah menyanyikan syair kepala kidung. Sedangkan kidung yang mengiang di telinganya justru lengkap. Suara itu juga bukan suara si Kidung Maut, yang didengarnya kali ini lembut, sejuk dan nikmat. Sekar dan Wulan melanjutkan tidurnya. Wisang Geni tetap terjaga. Ia masih mendengar kidung. Sekonyong-konyong kidung berhenti dan lenyap begitu saja. Kemudian suara itu datang lagi. Tapi tidak berkidung. Suara yang sama kini bersyair.

Tidak sedih, tidak gembira, tidak berani, tidak kuasa, tidak birahi, tidak cinta, tidak selamat, tidak mati. Delapan jalan, satu tujuan.

Tidak sedih atau sedih sama saja! Ada atau tidak ada, sama sajal Delapan jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu, sama saja!

Geni tidak bingung lagi. Ia tahu ada orang sakti yang main- main dengannya. Itu ilmu mengirim suara paling dahsyat yang cuma ada dalam dongeng. Orangnya tak terlihat tapi suaranya ada. Tak ada suara, namun ia bisa menangkap kata demi kata yang diucapkan orang itu. Ucapan itu berulang sampai dua kali.

Wisang Geni berbicara sendiri. "Ini petunjuk, tapi petunjuk tentang apa. Orang sakti, tolong jawab pertanyaanku."

Suaraku terdengar lagi. "Pertanyaan atau jawaban, sama saja! Bisa bertanya, harus bisa menjawab! Selamat tinggal, cucuku!"

Wisang Geni hampir pingsan. Benar-benar dia orang sakti yang memberi petunjuk. Tapi petunjuk tentang apa, ilmu silat? Kalau ilmu silat, ilmu apa? Tiba-tiba Geni melompat saking terkejutnya. Apakah mungkin itu petunjuk tentang Jurus Penakluk Raja? Kemungkinan besar, iya, sebab bukankah semua tadi diawali dengan kidung Penakluk Raja? Orang itu pasti Eyang Sepuh Suryajagad, tidak bisa tidak!

Berpikir demikian Geni berlari sambil berseru memanggil, "Eyang! Eyang, jangan pergi!"

Suara Geni membangunkan seluruh penghuni hutan, bergema di mana-mana. Wulan dan Sekar melompat dari tidur saking terkejutnya. Wulan mengejar menangkap Geni, "Kenapa? Ada apa, Geni?"

Tiba-tiba Wisang Geni menelungkup di tanah. Ia menangis sambil memukul tanah. "Bodoh! Tolol! Aku pantas mampus! Kenapa tidak dan awal aku tahu bahwa dia adalah Eyang Sepuh Suryajagad!"

Wulan dan Sekar bingung melihat tingkah laku Geni.

Apakah benar Eyang Sepuh tadi hadir di sini? Wulan melihat berkeliling. Tak ada siapa pun. Hutan itu sepi, tak ada seorang manusia pun Hanya kicau burung dan kokok ayam di ambang fajar.

Wisang Geni duduk semedi, memusatkan pikiran, mencari tahu apa sebenarnya kejadian yang ia alami tadi? Wulan dan Sekar lak bisa berbuat apa-apa, duduk bersandar di pohon mengawasi sang suami. Sekar bergumam dalam hati, ia bertanya-tanya, apa mungkin Geni kena samber dedemit, semacam kerasukan setan.

Dua hari Geni berusaha memecahkan petunjuk Eyang Sepuh.

Tidak sedih, tidak gembira, tidak berani, tidak kuasa, tidak birahi, tidak cinta, tidak selamat, tidak mati. Delapan jalan, satu tujuan. Tidak sedih atau sedih sama saja! ada atau tidak ada, sama saja!

Delapan jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu, sama saja!

Apa maksudnya, 'Delapan jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu sama saja!" Bahkan ketika tiba di desa Tajinan, Geni tetap belum temukan pegangan untuk menghadapi dua pendekar Jambudwipa itu. Siang itu Geni bertiga tiba di warung makan di mana pertama kali ia jumpa Sekar. Tampak banyak orang menanti di sana. Ia gembira melihat Manjangan Puguh. Di samping gurunya, ia melihat Mei Hwa dan empat pengawalnya. Di situ juga hadir beberapa murid Mahameru, juga murid perguruan lain.

Tak lama kemudian dua pendekar Jambudwipa itu tiba.

Malini mengenakan celana hitam dan sutra merah yang berlapis-lapis dililitkan di tubuhnya. Kumara mengenakan celana dan baju hitam. Malini berseru, "Rupanya sudah banyak orang di sini. Wisang Geni, apakah mereka datang untuk menonton atau membantumu?"

"Jangan sombong, kita akan bertempur satu lawan satu tanpa ada yang ikut campur. Atau mungkin kau mau maju berdua?"

"Tak perlu berdua, aku sendiri saja sudah bisa membunuhmu. Geni. Karenanya masih ada kesempatan kamu mundur jika kamu beritahu di mana persembunyian kakek gurumu yang pengecut itu. Terus terang kau bukan lawanku."

"Kau mimpi di siang bolong, sudah kukatakan hutang piutang Eyang Sepuh dengan kalian, sudah kuambil alih!"

Pertarungan tak terhindarkan lagi. Geni dan Malini saling gempur. Tanpa ayal, Geni menggelar semua ilmu andalannya. Bergantian ia menyerang dengan mengerahkan tenaga Wiwaha-nya. Malini tak mau kalah, ia mainkan jurus-jurus aneh.

Malini berkata sinis, "Cuma begini saja ilmu Lemah Tulis, tak ada yang hebat. Kau bukan tandinganku, Geni. Aku heran, kenapa kau mau membuang jiwa untuk orang tua pengecut itu?"

Tigapuluh jurus berlalu. Geni tahu lawan mulai memainkan ilmu Tenaga Bumi. Semua pukulan Geni seperti nyemplung di sumur, tak berbekas. Melihat itu Geni berlaku cerdik memancing lawan untuk menyerang. "Ia pasti menyerang hebat kalau tahu aku tak menggunakan tenaga".

Benar perhitungannya. Malini memukul dengan tenaga bagai air bah. Tanpa ragu Geni menyambut dengan jurus Kacakrawartyan yakni "Penguasaan dunia" dari Garudamukha Prasidha.

Kembali Geni kalah tenaga. Ia terlempar dua tombak.

Begitu kakinya mendarat Geni merasa dadanya sesak, darah merembes di ujung mulurnya. Malini tersenyum dingin. "Sudah kubilang kamu tidak akan bisa melawanku, bagaimana rasanya jurusku tadi namanya Mandi Bersih di Sungai Gangga!"

Namun diam-diam dia mengakui kehebatan tenaga dalam Geni. Kena hantaman sehebat itu ia masih bisa berdiri tegar. Tangannya menyapu bekas darah di mulurnya. "Belum, aku belum kalah!"

Malini bangkit marahnya. Ia menyerbu ganas. Geni melesat dengan Antarlina. Pertarungan jadi menarik, Malini menyerang dan Geni mengelak dengan berlari. Geni berhasil menemukan cara mengatasi Tenaga Bumi lawan. "Harus kupancing dia tarung di udara. Jika tidak memijak bumi, aku rasa Tenaga Bumi itu tidak bisa ia gunakan."

Berlarian dengan Waringin Sungsang Geni punya dua maksud. Memancing Malini bertarung di udara dan mencuri waktu memulihkan tenaganya. Karena betapa pun hebat tenaga Wiwaha, kena hajaran sehebat itu tetap membutuhkan waktu untuk memulihkan luka dalam itu.

Suatu ketika Geni menggunakan jurus Sumujugtundaghata dari Prasidha menyambut hantaman keras Malini. Rencana Geni berjalan mulus, bentrokan tenaga terjadi di udara.

Keduanya dalam keadaan melayang, tidak memijak bumi Tapi bukannya berhasil, Geni justru merasakan tenaga dinginnya membalik menghantam dirinya. Cepat ia mengerahkan tenaga panas untuk bertahan.

Pertarungan berlanjut, Geni semakin kewalahan, ternyata di udara pun ilmu Prasidha tak bisa melumpuhkan perlawanan Malini.

Limapuluh jurus berlalu. Malini tertawa, ia berbisik dengan memendam suara sehingga hanya Geni yang mendengarnya. 'Pulang dari Mahameru, temanku Kumara cemburu, ia kemudian melamar aku menjadi isterinya. Geni, aku menyukaimu, aku akan menolak lamaran itu, jika kamu mau menjadikan aku isterimu Dan semua urusan ini akan kulupakan. Bagaimanapun kamu tak bisa mengalah kau aku, percuma kau memancing pertarungan sambil melayang di udara. Tak ada gunanya. Di udara atau pun di bumi sama saja, jurusku sama hebatnya. Kamu tetap akan mati."

Kata-kata Malini "di udara atau pun di bumi, sama saja" dan pernyataan cintanya itu mengingatkan Geni akan petunjuk dari Eyang Sepuh. "Katanya ia cinta padaku, mungkinkah itu? Benar atau tidak benar, cinta dan tidak cinta, sama saja. Di udara dan di bumi, sama saja. Tidak sedih, tidak gembira, tidak berani, tidak kuasa, tidak birahi, tidak cinta, tidak selamat, tidak mati. Delapan jalan satu tujuan. Tidak sedih atau sedih, sama saja! Ada atau tiada, sama saja! Delapan jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu, sama saja!"

Geni bicara sendiri namun bisa didengar Malini. "Cinta atau tidak cinta, sama saja. Ya, tarung di udara atau pun di bumi, sama saja, aku tetap kalah. Menang atau kalah, sama saja. Dua sifat yang berlawanan namun tetap sama. Kenapa?

Dipukul atau memukul, sama saja. Kenapa? Delapan dan satu, sama saja. Delapan jalan menuju satu tujuan, apa itu? Kenapa menyebut delapan, bukannya sembilan atau sepuluh. Tetapi delapan dengan sepuluh, sama saja. Kalau delapan sama dengan satu, empat juga sama dengan delapan, sama juga dengan satu."

Malini kesal mendengar jawaban Geni. "Jadi kamu menolak cinta dan uluran tangan berteman denganku, kamu kurang ajar Geni, kuhajar kamu, biar tahu rasa!" Ia menyerang gencar.

Geni berpikir. Dia berpikir terus sementara tubuhnya tak henti bergerak menghindar dan menangkis gempuran Malini yang makin gencar dan ganas. Dua pukulan Malini menghantam tubuh Geni. Ia terhempas ke kanan dan ke kiri, dua kali ia muntah darah.

Manjangan Puguh mencekal tangan Mei Hwa erat, meremas keras. Berulang kali ia hendak bangkit menolong Geni, Mei Hwa menahannya. "Muridmu itu sedang berlatih dalam bertarung. Ia tak apa-apa."

Sekar marah mendengar komentar Mei Hwa. "Kau bicara apa, dia muntah darah, masih kamu bilang dia tak apa-apa?"

"Sekar dan Wulan, tenanglah. Biasanya orang yang sudah muntah darah itu sudah tak mampu lagi bertarung. Kalau Geni, ia muntah darah tetapi masih saja bisa adu tenaga Itu kan aneh?"

Memang aneh, Geni merasa terombang-ambing di tengah lautan luas. Tak ada daya menentang ganasnya ombak.

Kenapa dua hal yang berlawanan dikatakan sama saja Delapan dan satu sama saja.

Satu dan empat, .sama saja. Apa maksudnya? Geni merasa makin dekat dengan tujuan. Apa tujuannya, ia tak tahu. Ia tak ambil pusing dibulan-bulani pukulan dahsyat Malini. Dipukul atau tidak dipukul, memukul atau dipukul, sama saja. Mati sekarang, hari ini dengan mati besok atau mati lima tahun lagi, sama saja. Tidak ada bedanya. Sama saja, yaitu mati! Tetapi waktunya bisa beda, hari ini, besok, dua hari, satu tahun, lima tahun. Sama saja, mati adalah satu. Waktu bisa banyak, lima atau delapan. Delapan sama dengan satu, satu sama dengan lima. Lantas tiba-tiba ia berteriak, "Memang sama, intinya kan mati?

Bagaimana dengan sedih dan tidak sedih, sama saja. Memang sama, karena intinya adalah rasa atau sringara. Gembira dan tidak gembira, sama saja, itu juga rasa. Kalau ada rasa, tentu lanjutannya harus ada aksi atau bhava. Hidup dan mati. Hidup bisa merasa dan bisa beraksi. Tetapi mati, tidak bisa merasa dan tidak bisa beraksi. Inti dari Prasidha adalah merasakan pukulan lawan, menerima pukulan lawan, itu yang namanya rasa atau sringara kemudian melontarkan apa yang dirasakan itu menjadi aksi atau bhava. Makin cepat dan makin bertenaga pukulan lawan itu maka bhava yang dilontarkan juga sama cepat dan sama besarnya.

Geni merasa gembira luar biasa. Melompat seperti anak kecil mendapat mainan. Teka teki itu sudah terjawab. Misteri bagaimana cara memainkan Prasidha telah terungkap. Saat itu pukulan Malini kembali menggoncang tubuhnya. Kalau tadinya menerima pukulan Geni merasa darahnya meluap, ingin muntah. Sekarang, tidak lagi, pukulan itu seperti pukulan biasa yang tidak bertenaga. Geni menerima pukulan itu dengan menggerak rasa tidak sakit, kemudian aksi membuang tenaga lawan. Geni memainkan tiga jurus gabungan Mangapeksa (Menanti), Kumawashaken (Menguasai) dan Sikepdehak (Tangkap dorong). Ada rasa gembira dalam diri Geni, menguak misteri sringara dan bhava, tetapi ia juga kesal dan marah. "Kau sudah memukul aku berulang kali, kini rasakan tamparanku, anak nakal!" "Plakkk!"

Malini terpelanting ke belakang. Ia jatuh berdiri di atas dua kaki. Ia heran, ia tak melihat gerakan Geni, tahu-tahu saja pipinya kena tampar. Ilmu siluman! Bagaimana Geni menamparnya tadi, ia tak tahu. Ia merasa ada cairan kental di mulurnya, ia meludah. Ia marah luar biasa melihat dua giginya copot.

Malini marah, menyerang ganas. Geni mengelak dan menampar bokong Malini. Ia tak cuma menampar namun meremas bokong perempuan itu. Malini makin marah. Geni mencengkeram leher, lalu tiba-tiba tangannya ke bawah, meremas buah dada perempuan itu.

Kontan Malini melompat mundur. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin Geni bisa meremas bokongnya, meremas buah dadanya tanpa ia sanggup menangkis. "Kurangajar, ia telah menghina aku habis-habisan, tetapi ilmu apa itu?

Bagaimana jika ia menurunkan tangan jahat. Aku bisa mati atau paling tidak terluka parah!" gumamnya dalam hati.

Pada saat itu, Kumara sudah masuk ke medan tarung, berdiri di sisi Malini. Ia bercakap-cakap dengan Malini dalam bahasa India. Tampak Malini sekali-sekali manggut kemudian menggeleng kepala. Sedang Kumara kelihatan berang, wajahnya yang agak hitam semakin seram karena marah dan malu.

Tanpa basa-basi, Kumara menyerang. Pukulan berantai disertai tenaga dalam dahsyat sepertinya akan melumat habis tubuh Geni. Menggunakan Waringin Sungsang Geni meloloskan diri Namun tak hanya mengelak, Geni kini membalas dengan dua jurus Bang Bang Alum Alum yakni Nanawidha (Beraneka warna) dan Nyakra Manggilingan (Selalu berputar-putar), pukulannya cepat, ringkas dan bertenaga Kumara terpental mundur sambil memegang pundaknya Ia menyerang sekali lagi, kini Geni membalas kontan dengan jurus lain dari Bang Bang Alum Alum yaitu Bahni Aempuh Toya (Api menyerang air) dengan tenaga panas. Kumara kena gampar di pungungnya Punggungnya merah kehitaman, bajunya koyak seperti hangus.

Melihat rekannya kesakitan, Malini maju mendampingi Kumara Keduanya berbincang lirih. Lalu Malini berseru, "Wisang Geni kamu menggunakan ilmu siluman, karena itu kami akan maju berdua, apakah kamu takut? Jika takut kamu cepat mundur menyerah dan mengaku di mana Ki Suryajagad bersembunyi"

Sekar berteriak dari pinggiran, "Hei, wanita goblok, tak punya malu, sudah keok masih tak tahu malu, sekarang mau main curang dua mengeroyok satu"

"Kamu mau bela kekasihmu, maju saja sekalian biar kucabik-cabik wajahmu yang burik." Malini seperti kelepasan omong. Ia heran tanpa sadar ia berseru, "Hei kamu sudah tidak burik lagi, waktu di Mahameru aku tidak begitu perhatikan. Kamu cantik, pantas saja Wisang Geni tergila-gila padamu!"

Geni tertawa "Kamu ini tak tahu diri, kenapa masih mau tarung lawan kakek guruku, menghadapi aku cucu muridnya saja, kalian tak ungkulan apalagi melawan Eyang Suryajagad. Kalian mau maju berdua, ya mau saja, dari dulu aku sudah tahu persis kalian ini tak punya malu."

Tidak menanti lebih lama lagi, dua pendekar India itu langsung menyerbu mengeroyok Wisang Geni. Hebat! Dua- dua, Malini dan Kumara, menyerang dengan jurus mematikan. Semua di situ terperanjat tapi tak kuasa menolong Geni.

Apalagi tahu, dua pendekar asing itu memiliki ilmu silat yang tak terukur tingginya.

Sekar membanting kakinya, "Tadi kan mas Geni sudah menang, kenapa mau meladeni keroyokan mereka, wah bisa runyam ini, mbak Wulan bagaimana ini?" Wulan yang sedang melotot nonton tarung hebat itu, menggeleng kepala, "Aku tak tahu, Sekar."

Pertarungan jadi lain. Tadi seorang diri Malini menghajar Wisang Geni sampai babak belur. Kemudian setelah memperoleh pencerahan dan menemukan inti Prasidha Geni menghajar balik Malini. Kini berdua, Kumara dan Malini bahkan tampak terdesak. Geni memainkan Garudamukha dan Bang Bang Alum Alum dengan leluasa. Duapuluh jurus berlalu, dua pendekar asing itu terdesak, bernapas pun sulit! Dalam keadaan bingung dan frustasi, Kumara dan Malini berlaku nekad Adu jiwa!

Mereka menggelar jurus yang paling diandalkan perguruan mereka Atehai Zaminpar Kabhiyeh Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), jurus yang bisa digunakan dua atau tiga orang secara bersatupadu. Dua pasang tangan saling bantu, mencakar dan memukul dengan seluruh kekuatan yang ada.

Geni melihat datangnya serangan, bukannya mengelak malah maju menerjang. Dua tangan melakukan gerak memutar kemudian mendorong. Ia menggabung dua jurus Garudamukha Prasidha yaitu Agniwisa (Bisa api, pijar) dan Sanakanilamatra (Sebesar angin yang terkecil). Itu jurus sederhana, tetapi sulit dimainkan secara gabung karena mengandung unsur berlawanan yakni gerak putar dan gerak dorong dengan tenaga yang dikeluarkan luar biasa besarnya. Tetapi Geni memainkan dua jurus gabungan itu dalam satu gerak yang mulus dan bertenaga. Satu lagi bukti kehebatan Wiwaha, hasilnya luar biasa! Terjadi bentrok tenaga, dua tangan Geni mampu menahan empat tangan lawannya. Tetapi pada saat-saat terakhir Geni mengurangi tenaganya. Dan inilah yang menyelamatkan nyawa dua pendekar India itu sehingga tidak tewas atau terluka parah.

Kumara dan Malini terpental mundur. Dari mulut Kumara merembes darah. Malini merasa dadanya sesak. Dua pendekar asing itu jatuh terduduk, luka dalam! Keduanya heran! Tadinya terdesak hebat bahkan nyaris mati, mendadak Geni bisa menjadi begitu perkasa. "Ilmu apa ini? Apakah ilmu ini yang digunakan Ki Suryajagad ketika mengalahkan paman guru Lahagawe?" gumam Kumara dalam bahasa India. Malini mendengar keluhan kekasihnya itu, tetapi tak mau menjawab.

Geni tertawa. "Kau memukul aku begitu banyak, tapi aku cuma membalas sedikit. Kau untung banyak. Tapi sama saja, untung atau rugi, sama saja. Kalian pulanglah ke negerimu, tanah Jawa ini terlalu angker buat kalian orang-orang asing."

Sekonyong-konyong pusaran angin mendatangi arena tarung, tetapi sebelum memasuki arena tarung, pusaran angin itu menjauh sambil membawa serta debu, ranting dan dedaunan. Terdengar suara lembut dan mesra, "Kalian pulanglah, sampaikan salam dan maafku pada Lahagawe, katakan salam hormat dari pemilik Jurus Penakluk Raja." Saat berikut terdengar kidung Penakluk Raja ditembang, suaranya lembut, dingin namun ada ketegasan seorang penguasa.

Ilmu dari seberang Tak boleh tepuk dada Di Tanah Jawa ini Dari gunung Lejar Jurus penakluk Raja Ilmu dari segala ilmu Melenggang ke Barat Meluruk ke Timur Merangsak ke Utara Merantau ke Selatan

Tak ada lawan Tak ada Tandingan Ilmu dari segala ilmu

Wisang Geni melihat di kejauhan bayangan putih melenggang santai. Hanya sekejap kemudian suara kidung dan bayangan itu lenyap dari pandangan. Ia menatap bayangan itu dengan mata mendelong. Geni berkata perlahan. "Kenapa Eyang tak memberi kesempatan aku sungkem?"

Dia melangkah berat, seperti kehilangan sesuatu. Dia menengadah langit, menggumam "Kenapa, eyang pergi begitu saja? Kenapa tidak mau kutemui? Tapi kenapa aku bertanya, orang bertanya harus tahu jawabannya!"

Kumara dan Malini menyaksikan sepak terjang kakek berjubah putih itu, merasakan angin Lesus bawaan si kakek serta kidung yang dinyanyikan dengan tenaga dahsyat serta mengandung wibawa kekuasaan. Dalam hati mereka mengakui takkan mungkin bisa menandingi ilmu silat tokoh sakti itu. Keduanya duduk bersila di tanah, mengerahkan tenaga mengobati luka dalamnya. Sia-sia. Tenaga mereka belum bisa digunakan. Perlu waktu satu bulan untuk memulihkan tenaga

Geni menghampiri dua musuhnya itu. "Aku tahu rahasiamu Kalian adalah si Kidung Maut itu. Kalian membunuh banyak orang. Sekarang kalian luka dan mungkin satu bulan lagi baru bisa sembuh. Kalau aku buka rahasiamu sekarang ini, banyak orang akan mengejar kalian, membalas dendam kematian keluarganya, kalian akan dikejar ratusan orang."

Kumara dan Malini memandang ketakutan. Butir keringat dingin muncul di wajahnya Selama ini dengan ilmu yang begitu tinggi, mereka tidak pernah membayangkan akan dikalahkan seseorang apalagi sampai terluka, mereka tak sekali pun ketakutan. Tapi kini di saat luka parah dan membayangkan diri dikeroyok orang banyak, mereka bergidik ketakutan. Keduanya menatap Geni seperti meminta belas kasihan. Wisang Geni tertawa "Kamu tak pernah menyangka, beberapa bulan lalu, kalian memaksa aku menelan racun, sekarang justru nyawa kalian berada di tanganku Sekali balik tangan, kamu mati Semua tergantung kalian, masih mau menyimpan dendam, masih mau berhitung dendam dengan Lemah Tulis? Cerita dendam ini tak akan pernah habis. Tapi buat apa? Dendam atau tidak dendam sama saja Pergilah, pulanglah ke negerimu, senangkan hatimu di sana. Jangan memikirkan dendam."

Dua pendekar asing itu melenggang pergi dengan sejuta kesal dan kagum. Kesal tak mampu mengalahkan Geni Kagum akan ilmu silat Geni yang begitu dahsyat.

Semua yang hadir di situ, sekali lagi melihat kehebatan Wisang Geni. Seperti di Mahameru ia selalu mengawali dari posisi kalah dan terdesak untuk kemudian merebut kemenangan dengan begitu fantastis. Tetapi hanya Manjangan Puguh dan Walang Wulan saja yang tahu bahwa Wisang Geni menang lantaran menemukan keajaiban, memecahkan rahasia jurus silat di tengah pertarungan merupakan hal yang mustahil dan yang hanya bisa dilakukan orang yang cerdas dan beruntung.

Wulan tak mengerti ilmu apa yang diperoleh kekasihnya. Sebulan yang lalu di Mahameru, Geni menang karena secara ajaib berhasil memecahkan rahasia ilmu Prasidha. Tadi itu, ilmu apalagi yang di peroleh kekasihnya itu. Wulan yakin keajaiban itu ada hubungannya dengan keanehan yang terjadi beberapa malam lalu di hutan dekat desa Wajak. Ketika seperti orang kesurupan. Geni berteriak-teriak memanggil Eyang Sepuh Suryajagad.

Wulan dan Sekar menghampiri kekasihnya. Mereka terkejut, seperti disambar halilintar. Mata membelalak menatap rambut di kepala Geni. Rambut yang tadinya berwarna hitam legam, kini hampir semua dipenuhi uban. Rambut yang tadinya agak keriting, sekarang menjadi lurus. Dan wajah kekasihnya itu seperti menunjukkan keletihan dari perjalanan jauh. Geni tampak lebih tua dan lebih dewasa namun di balik itu tersimpan wibawa dan ketegasan.

Geni memang seperti orang yang letih fisik dan mental. Rambutnya yang penuh uban menunjukkan perjalanan fisik yang jauh. Ia tampak lebih tua beberapa tahun. Kelakuan dan tabiatnya pun ikut berubah. Ketika Sekar menunjukkan perubahan rambutnya yang uban, Geni cuma tertawa. "Hitam, putih, abu-abu sama saja, tak perlu dipusingkan."

Banyak orang yang pernah atau belum pernah ia kenal datang mengucapkan selamat dan memuji kehebatannya. Tetapi Wisang Geni menyambut tawar, seperti tak mengalami sesuatu yang hebat. Wulan dan Sekar, dua perempuan yang sangat mengenal Geni, mulai menangkap perubahan sikap pembawaan kekasihnya.

Hari itu setelah makan dan istirahat, Geni bertiga Sekar dan Wulan pamitan kepada semua orang. Manjangan Puguh memeluk murid dan putra sahabatnya itu. "Ilmu silatmu sekarang sudah maju pesat, kamu sudah menjadi pendekar kelas utama, hati-hati dan waspada, jangan terbuai sanjungan dan nafsu kekuasaan. Geni jika kamu butuh sesuatu, kamu cari aku di bukit Penanggungan, sementara aku menetap di sana." Manjangan Puguh berkata sambil melirik Mei Hwa yang berdiri di sampingnya.

Keintiman Manjangan Puguh dengan Mei Hwa tak luput dari mata Wisang Geni. Ia berbisik, "Guru, apakah kamu dengan Mei Hwa, sudah berkawan akrab ?"

Mei Hwa tersenyum agak malu-malu. "Kami sudah kawin, beberapa hari lalu."

Karuan saja Geni, Wulan dan Sekar memberi hormat dan ucapan selamat. Wulan bahkan memeluk Mei Hwa. "Syukur, akhirnya kamu bisa mencairkan hati pamanku itu." Mei Hwa menarik Wulan menjauh. "Dia sudah cerita semuanya padaku, tentang perasaan cintanya pada ibunya Geni, pendekar Sukesih. Sejak itu ia berkelana dan bercinta dengan banyak perempuan cantik, tetapi tak ada yang hebat secantik Sukesih. Katanya, ia telah menemukan Sukesih dalam diriku. Kini ia sudah bisa menerima kejadian itu sebagai masa lalu yang bisa ia lupakan dan tinggalkan, sekarang ia memiliki aku, dan ia merasa bahagia karena aku mencintainya, sesungguhnya ia lelaki yang romantis meskipun agak kaku dan tegas."

"Tetapi bagaimana dengan kedudukanmu sebagai utusan para pendekar Cina dalam tarung mendatang?"

"Aku kan hanya sebagai utusan, sebagai juru bahasa, jadi tidak ada pengaruh apa-apa"

"Setelah pertarungan, apa kamu pulang ke negerimu?" "Aku sudah memutuskan tetap tinggal di negeri ini sejak

aku menjadi isteri pamanmu. Di negeri Cina ada pepatah yang khusus bagi kaum wanita, jika kamu kawin dengan penjahat, maka kamu juga menjadi penjahat. Itu ungkapan yang artinya, perempuan Cina itu akan setia mengikuti ke mana suaminya pergi." Mei Hwa menoleh ke arah Sekar yang mendampingi Geni. "Wulan, apakah Sekar sudah jadi isteri Geni?"

Wulan tersenyum Ia berbisik ke telinga Mei Hwa "Untung ada Sekar, jadi kami berdua bisa bergantian melayani Geni."

Mei Hwa memandang Wulan, kemudian tertawa geli. Ia sepertinya mengerti apa maksud ucapan Wulan. Dua perempuan itu semakin akrab satu sama lain. Keduanya berpelukan ketika harus berpisah.

Dalam perjalanan pulang ke Lemah Tulis, Wulan dan Sekar makin bingung melihat suaminya. Mereka semakin banyak menemukan perubahan dalam diri kekasihnya Wisang Geni kini lebih peka terhadap lingkungan. Dalam sekejap mata, ia bisa berubah sedih, gembira, marah ataupun berdiam diri. Dalam waktu sehari-hari ia kini banyak berdiam diri, menyendiri dan berpikir. Sekar dan Wulan merasa harus menanyakan kepada Geni.

Wulan memberanikan diri menanyakan kepada Geni kenapa ia lebih suka menyendiri dan berdiam diri. "Tak ada apa-apa, aku biasa-biasa saja. Aku hanya perlu waktu untuk berpikir, ada sesuatu dalam diriku yang menuntut, aku sendiri tak tahu apa itu?"

Beberapa hari kemudian mereka sampai di Lemah Tulis. Semua murid menyambut dengan suka cita. Rupanya kabar kemenangan Geni lebih cepat datang. Wisang Geni kembali sibuk sebagai seorang ketua.

Kepada Padeksa dan Gajah Watu, Geni hanya bercerita singkat tentang pertarungannya. Dua sepuh perguruan itu heran. Keduanya melihat perubahan Geni yang bingung, seperti seseorang yang sedang dilanda persoalan yang membutuhkan pemikiran keras.

Ia tetap bergaul erat dan akrab dengan anak muridnya. Namun, ia masih mengerjakan kebiasaan yang baru, duduk menyendiri dan melamun. Padeksa, Gajah Watu, Sekar dan Wulan tak bisa mencegah kebiasaan ini. Karena begitu kebiasaannya disebut-sebut, Geni langsung berdiam diri seperti anak kecil yang merajuk.

Makin hari kebiasaan Geni semakin mencolok. Waktunya kini lebih sering dihabiskan sendirian, duduk melamun atau berlatih silat sendirian. Ia tak lagi mengurus dirinya, agak mirip orang tak waras. Anehnya, ia berlatih silat seperti orang pemula, mulai dari tingkat dasar. Jurus-jurus sederhana yang pernah dipelajari para pemula, itu yang dilatihnya seharian.

Ia hampir tak pernah tidur. Ia juga menjauh dari Sekar dan Wulan. Kalau sebelum itu hampir setiap malam ia bercinta dengan Wulan atau Sekar, sekarang tidak lagi. Hanya sekali- sekali ia meniduri isterinya. Itu pun dengan cara dan perlakuan kasar. Tak ada lagi basa-basi atau ungkapan romantis dalam bercinta. Sekar dan Wulan tak berani menolak. Keduanya bingung, mengapa terjadi perubahan dalam diri suaminya.

Padeksa dan Gajah Watu kehabisan akaL Tak tahu harus berbuat apa. Wulan dan Sekar hanya bisa menangis, iba akan nasib kekasihnya. Suatu hari Manjangan Puguh dan Mei Hwa datang bertamu. Ia terkejut dan terenyuh melihat keadaan muridnya.

"Kita tak boleh diam saja dan pasrah menerima kenyataan pahit ini. Keadaan Geni sangat kritis. Kita harus melakukan sesuatu. Aku akan pergi menjemput Ki Waragang. Dan paman Gajah Watu berdua, Sekar menjemput Dewi Obat di Lembah Cemara. Kita harus bergerak cepat, lebih cepat lebih bagus.

Kita berangkat sekarang!"

Dua pekan menjelang hari tarung antara pendekar tanah Jawa dengan jago-jago daratan Cina, datang dua utusan Mahameru menemui Padeksa. Setawasatra, murid paling berbakat dari

Mahameru didampingi kekasihnya Rorowangi, murid nomor dua Nyi Pujawati Keduanya membawa surat dari pendeta Macukunda, minta agar Wisang Geni segera datang dan berkumpul di bukit Penanggungan.

Selama ini Wisang Geni sudah mirip orang hilang ingatan. Ia tak mau didekati orang, ia curiga pada setiap orang bahkan juga Wulan, Sekar dan Padeksa. Jika ada yang mendekat, Geni kontan pasang kuda-kuda, kalau sudah begitu tak ada yang berani mendekat. Tak seorang pun bisa menandingi ilmu silat Geni jika dia memberontak. Itu sebab Padeksa tak mampu menyembunyikan keadaan Geni dari dua tetamu itu.

Rorowangi terkejut melihat keadaan Geni yang dulu secara diam diam pernah dirindukannya. Ia tak pernah mengira Geni bisa berubah menjadi orang hilang ingatan. Setawastra membawa kabar itu ke gurunya. Dan pendeta Macukunda segera berunding dengan Sang Pamegat untuk memilih pendekar pengganti Wisang Geni. Pilihan akhirnya jatuh pada Ki Demung Pragola. Kabar kehebatan Wisang Geni yang mengalahkan dua jago Jambudwipa tidak lagi dibincangkan orang. Kabar yang beredar kini adalah Wisang Geni jadi gila lantaran mempelajari ilmu sesat.

Dua hari setelah kedatangan utusan Mahameru, Manjangan Puguh tiba dengan seorang lelaki tua, Ki Waragang, tabib sakti yang pernah merawat Wisang Geni waktu kecil. Esok harinya Gajah Watu dan Sekar datang bersama Dewi Obat. Dua tabib yang saat itu dikenal sebagai yang paling jago di tanah Jawa, pun sama bingungnya. Keduanya tak tahu penyakit apa yang membuat Geni hilang ingatan. "Kemungkinan besar, Geni sakit ingatan lantaran terlalu banyak berpikir," tukas Waragang setelah mendengar cerita Wulan dan Sekar. 

Waragang memikirkan ramuan yang bisa menyembuhkan orang yang mengalami tekanan pikiran berlebihan. "Aku bisa membuat ramuan itu, tetapi kita harus temukan cara untuk meminumkannya pada Geni. Sampai saat ini, ia tak bisa didekati siapa pun."

Dewi Obat berkata lirih, "Ki, aku pikir lebih baik sekarang ini kamu bikin ramuan obat itu, sementara kita semua memikirkan cara meminumkannya."

Waragang membuka bungkusan pakaiannya. Di dalamnya banyak tabung bambu yang berisi ramuan obat. Sementara ia meracik dan mencampur ramuan, Dewi Obat bersama Sekar, Wulan, Padeksa, Gajah Watu berpikir keras. "Banyak pendekar ahli mengalami hal yang sama dengan Geni, pemahaman ilmu silat yang melebihi kesanggupan pikiran, membuat seseorang bisa gila bahkan tewas," kata Padeksa. "Sebenarnya ilmu apa yang sedang ia pikirkan?" Wulan dan Sekar mengulang sekali lagi kejadian di hutan, ketika Geni berteriak memanggil Eyang Sepuh Suryajagad Mendadak dewi Obat memanggil Wulan dan Sekar menjauh. "Sudah berapa lama kamu tidak bercinta dengan Geni?"

Agak malu-malu dua perempuan itu mengatakan, sudah sejak tujuh hari. Geni tampaknya tak mau mendekat lagi. Ia tidur sendirian, ketika didekati Wulan atau Sekar, ia berteriak mengusir, "Jangan ganggu aku, pergi!"

Tiba-tiba Dewi Obat teringat sesuatu, ia berseru, "Ada akal, kalian berdua bisa membuat Geni minum ramuan itu." Ia lalu menjelaskan rencananya. Wulan dan Sekar manggut- manggut. "Apa saja akan kulakukan agar dia sembuh," kata Sekar. Rencana itu disetujui Waragang, Gajah Watu dan Padeksa.

Malam itu ketika semua murid sudah tidur lelap, seperti biasanya Geni berlatih silat di bawah sinar bulan, di pekarangan rumahnya. Terdengar sayup-sayup suara Gajah Watu yang menceritakan kisah Ksiti Sundari kasmaran. Di beranda rumah, Sekar setengah bugil menarikan Kinanti Prasidha yang kebetulan saja ia pelajari saat bosan menjalani penyembuhan wajah buriknya di Lembah Cemara

Cerita itu, suara lelaki seperti tembang Ki Dalang dengan Sekar yang menari Kinanti dengan penuh goyang birahi, telah menarik perhatian Geni. Ia menghampiri beranda rumah. Ia menyaksikan goyang bokong, paha dan hentakan kaki yang membuat buah dada Sekar membusung mengundang birahi. Geni yang sudah mandi keringat hasil latihan silat, cepat sekali terangsang. Ia mendekat lalu tiba-tiba memeluk Sekar, menciumi gadis itu dengan nafasnya panas membara Sekar bereaksi tak kalah ganasnya, membuat Geni makin terperosok ke lautan birahi. Sekar menarik tangan suaminya masuk rumah. Di dalam rumah Wulan menanti dengan bugil, langsung mengeroyok Geni. Terjadilah pergumulan birahi. Di tengah mabuk kasmaran, Wulan dan Sekar bergantian meminumkan ramuan yang langsung ditenggak Geni tanpa curiga

Semalaman Geni dengan kasar dan brutal meniduri dua isterinya, membuat Sekar dan Wulan kesakitan. Tetapi apalah arti sakit dibanding keinginan mereka melihat suaminya sembuh. Besok paginya, Geni tampak sudah membaik. Malam hari, rencana itu diulang lagi, demikian seterusnya sampai empat malam.

Hari itu Wisang Geni sudah mulai membaik. Ingatannya mulai pulih. Apalagi Sekardan Wulan tak pernah bosan mendampingi. Keduanya bercerita tentang masa lalu. Geni sudah bisa tertawa. hal ini membuat Waragang dan Dewi Obat gembira. Apalagi Geni rajin minum ramuan Ki Waragang. Hari keenam setelah kehadiran dua tabib sakti, Geni sudah pulih seperti sediakala.

Kepada Wulan dan Sekar, Geni menceritakan perjalanan batinnya sejak malam hari di hutan Wajak sampai saat ia menemukan inti ajaran Garudamukha Prasidha dalam pertarungan lawan Malini. "Inilah jurus yang disebut Eyang sebagai Jurus Penakluk Raja. Aku sudah hampir menguasai seutuhnya, hanya tinggal satu dua bagian saja," katanya pada dua isterinya.

Sebenarnya ia telah menembus pencerahan Sringara dan Bhava tetapi ada sesuatu yang seperti titik bayangan kabur di depannya. Ia tahu bahwa ia harus sampai ke titik tersebut. "Aku berterimakasih kepada kalian semua, guru Waragang dan Dewi Obat serta dua isteriku dan guru Padeksa serta paman Gajah Watu, tanpa kalian mungkin aku sudah tewas atau gila.Tetapi aku harus terus mencari pengertian itu. Kalian jangan khawatir."

Wisang Geni seharusnya merasakan Sringara dalam pengalaman hidupnya baru ia bisa menguasai sempurna Sringara delapan rasa itu seperti bisikan Eyang Sepuh, Glana (Sedih), Harsa (Gembira), Syura (Berani), Prabhawa (Kekuasaan), Raga (Nafsu birahi), Kamuka (Jatuh cinta), Haju (Keselamatan), Kapejah (Kematian).

Menyelusuri delapan rasa itu ternyata bukan hal yang mudah. Geni melakukan kesalahan besar karena terlampau memaksakan diri. Seharusnya delapan rasa itu ditelusuri sambil ia menyelami asam garam kehidupan dunia. Ia nyaris tewas karena tenaga itu berbalik menghantam otak dan hampir merusak seluruh jaringan pikiran. Ia selamat lantaran memiliki ilmu Wiwaha. Ilmu langka ajaran pendekar Lalawa ini sama tua dengan Garudamukha ajaran Prabu Erlangga punya dua sisi yang sama besar pengaruhnya, sisi kekuatan untuk bertarung dan sisi kelaki-lakian. Arti Wiwaha adalah Kakawin. Tak heran kalau Geni punya tenaga besar panas dan dingin untuk bertarung. Selain itu Geni juga sama besar dalam hal nafsu birahi serta keperkasaan sebagai lelaki. Ia bisa selamat karena kecerdasan Dewi Obat, ramuan obat Waragang, dan pengorbanan dua isterinya.

Tetapi rasa khawatir orang-orang itu timbul lagi sehabis makan siang. Geni berlatih silat di tengah panas matahari. Mulanya orang menganggap sebagai hal wajar malahan senang karena dengan menyaksikan Geni bersilat, mereka dapat memetik keuntungan.

Namun, ketika sampai malam hari belum juga Geni berhenti, orang mulai khawatir. Semalaman penuh, Geni belum juga menghentikan latihannya. Bahkan berlanjut sampai pagi harinya.

Semua orang terutama Wulan dan Sekar tidak tidur semalaman, menemani Geni. Mereka khawatir melihat keadaan Geni. Anehnya silat yang dimainkan Geni mirip jurus Lemah Tulis tetapi banyak perubahan yang aneh. Tetapi Geni memainkannya dengan hebat.

Geni tidak mengutamakan kehebatan jurus atau ilmu tenaga dalam. Ia bersilat sesuai perasaan hati Ada kalanya ia menggeram marah dan bersilat cepat serta beringas. Terkadang ia bersilat lambat dan tampak seperti orang berduka. Saat berikutnya seperti sikap seorang raja yang memiliki pengaruh.

Delapan rasa dan satu aksi yang ia mainkan itu merupakan inti permainan silatnya, inti dari Jurus Penakluk Raja yang kesohor. Tentu saja tidak dimengerti oleh sebagian besar murid Lemah tulis. Padeksa dan Gajah Watu menduga-duga ilmu apa yang sedang dimainkan Geni, tetapi mereka tak bisa menjawab.

Siang hari, matahari tepat di atas kepala. Geni berhenti. Tepat satu hari satu malam ia berlatih. Ia tertawa senang. "Akhirnya aku dapatkan juga Jurus Penakluk Raja itu."

Ia melihat berkeliling. Ia tertawa melihat Wulan dan Sekar duduk bersandar di tiang beranda, mata terpejam. Rupanya semalaman tidak tidur. Tetapi tertawanya terhenti ketika melihat semua murid memandang kepadanya. Geni kemudian menjelaskan perjalanan dirinya mencari pencerahan ilmu silat sudah selesai. "Kalian tak perlu cemas, aku sudah selesai berlatih!"

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar