Wisang Geni Bab 20 : Perempuan Hamil

Bab 20 : Perempuan Hamil

Senja di hari terakhir bulan Caitra, matahari bersinar merah lembut. Desa Limo di lereng gunung Argowayang biasanya tenang dan damai. Semua penduduk sudah mengungsi. Tetapi kehadiran para pendekar membuat suasana ramai. Tidak lama lagi, saat tengah malam dan gelap menyelimuti gunung, itulah saat widali sakti keluar dari persembunyiannya, mencari mangsa atau dimangsa.

Di sana sini tampak para pendekar bersiap dan siaga. Ada yang mengasah senjata, ada yang semedi menata tenaga dalam Semua dengan kesibukannya. Sayup-sayup dari jauh terdengar suara seruling yang merdu. Seorang lelaki usia empatpuluhan berbaju putih muncul dari kaki gunung. Ia diikuti sepuluh pria dan wanita yang semuanya berbaju hitam Mereka mendatangi rumah rombongan Lemah Tulis.

"Aku dari Gunung Lawu, namaku Daraka, aku murid pendekar Bagaspati dari gunung Lawu Aku datang untuk menemui Ki Wisang Geni, ketua Lemah Tulis."

Prastawana dan Gajah Lengar memberi hormat. "Tak disangka kami mendapat kunjungan perguruan Lawu yang masyhur, selamat datang ke gubuk kami. Sayang sekali ketua kami sudah turun gunung sejak tadi siang. Apakah ada keperluan penting atau pesan yang bisa kami sampaikan nanti."

Daraka tampak kecewa, ia memberi tanda ke temannya, salah seorang perempuan maju ke depan. Wanita ini, perutnya besar. "Ini saudaraku, Kemini, ia diperkosa Ki Wisang Geni beberapa bulan lalu, kini ia hamil. Kami datang mengantarkan perempuan ini." Tentu saja kabar ini membuat semua murid Lemah Tulis gigcr. Terkejut. Semula tidak percaya, tetapi dalam hati mereka percaya mengingat sepak terjang Wisang Geni yang memang doyan wanita. Lima perempuan sudah terpikat menjadi kekasihnya, Walang Wulan, Sekar, Prawesti, Ekadasa dan sekarang Gayatri.

Diam-diam mereka mencela perbuatan ketuanya. Kasak- kusuk tanda gelisah menjalar ke semua murid. Hanya Prawesti dan Gajah Lengar yang tidak percaya begitu saja berita mesum itu. Sebelum Prawesti maju, Dyah Mekar yang lebih pengalaman maju. Ia minta ijin memeriksa Kemini. Memegang nadi dan meraba perut perempuan itu. "Kamu hamil tua, sudah hampir melahirkan. Kamu diperkosa di mana?"

"Di desa Papar, waktu itu aku sedang menjalani tugas guru untuk menolong keluarga yang anaknya diculik perampok di hutan dekat desa Pagu. Di situlah aku bertemu Wisang Geni, ia menculik aku, ilmunya sangat tinggi sehingga aku tak berdaya, kemudian aku dibawa ke desa Papar, ia bersama tiga muridnya. Kemudian malam harinya aku diperkosa. Berulang kali sepanjang malam."

Prawesti memotong bicara, nadanya agak marah. "Jika kamu benar diperkosa, tentu kamu mengenal wajah dan tubuhnya, coba kamu ceritakan bagaimana bentuk wajah dan tampang Ki Wisang Geni."

"Ia memerkosa aku beberapa kali sampai pagi, setelah memerkosa, ia pergi dan berpesan supaya aku mencarinya ke Lemah Tulis, ia mengaku ketua Lemah Tulis, namanya Wisang Geni."

"Kamu kenal bentuk tubuh dan wajahnya?" Tanya ulang Prawesti.

Agak malu-malu Kemini menjelaskan sambil ia menatap ujung kakinya. "Ia tampan, kurus, langsing, rambutnya panjang dikuncir dan digelung di atas kepala."

"Usianya kira-kira berapa, sudah tua atau masih muda?" "Mungkin sekitar limapuluhan."

Terdengar suara kasak-kusuk lagi di rombongan Lemah Tulis. Gajah Lengar semakin tidak percaya itu perbuatan Wisang Geni. "Rambutnya hitam?"

"Ya sudah tentu rambutnya hitam!"

"Sebelum itu, apakah kamu pernah jumpa dengan lelaki tersebut?" Kemini menggeleng kepala. "Dadanya dirajah dengan lukisan seekor kuda."

Dyah Meka rberbisik pada Prawesti. Tampak Prawesti menggeleng kepala. Dyah Mekar kemudian berkata lirih kepada Kemini dan Daraka. "Ketua kami memang benar bernama Wisang Geni, tetapi laki-laki itu bukan ketua kami, dia orang lain." Suara Daraka agak tinggi, "Orang itu mengaku Wisang Geni ketua Lemah Tulis, mana bisa dia oranglain." Kemini menambahkan, "Lagi pula tiga muridnya itu memanggil dia guru, terkadang memanggil guru Geni."

Prastawana menyela. "Kami semua murid Lemah Tulis, memanggil Wisang Geni dengan panggilan ketua, kami tak pernah memanggilnya guru, sebab dia melarang, itu dianggapnya sebagai pantangan besar. Lagipula ketua kami belum punya murid dan belum mengangkat murid."

Semua murid Lemah Tulis yang tadinya dalam hati sempat mengutuk perbuatan ketuanya, diam-diam menyesal.

Prastawana melanjutkan penjelasan kepada Daraka. "Maaf pendekar, ketua kami memang benar bernama Wisang Geni, rambutnya gondrong tetapi tidak panjang dan tidak digelung, rambutnya penuh uban putih keperakan, yang di malam hari tampak jelas."

Kemudian ia melanjutkan dengan suara yang lebih tegas lagi. "Ketua kami juga tidak jangkung dan tidak kurus, ia bertubuh gempal dan tidak terlalu tinggi, mungkin sama tinggi dengan aku. Di dadanya tak ada rajah gambar kuda. Dan yang paling penting, sembilan bulan atau satu tahun lalu, ketua kami selalu berada bersama kami di perdikan Lemah Tulis, ia sibuk melatih kami, dan selama itu ia didampingi isterinya, kami berani memastikan lelaki yang memerkosa saudara perempuan ini bukan ketua kami yang bernama Wisang Geni, mungkin lelaki lain yang sengaja mencemarkan nama ketua kami."

Daraka terkejut. "Gila. Jika benar demikian siapa lelaki itu Apakah kami bisa berjumpa dengan ketua Ki Wisang Geni?"

"Maaf tuan pendekar yang kami hormati, sudah kami katakan, ketua kami sudah turun gunung, ia tak mau ikut- ikutan berburu widali, begini saja, jika sampean masih belum percaya boleh saja datang berkunjung ke perdikan Lemah Tulis, mungkin sekitar sepuluh hari lagi ketua sudah pulang." Setelah mengucapkan maaf, Daraka dan rombongan pendekar gunung Lawu berlalu. Mereka tidak langsung turun gunung, barangkah mau ikut berburu widali. Sementara murid Lemah Tulis masuk kembali ke ruang dalam. Prawesti masuk ke bilik tempatnya bersama Dyah Mekar. Murid lainnya berkumpul di ruang tengah. Dalam hati merasa bersalah sempat menyalahkan ketuanya.

Prastawana dan Gajah Lengar membincangkan kejadian aneh itu.

Setelah berpikir sejenak, Prastawana mengatakan kemungkinan besar lelaki pemerkosa itu adalah Lembu Agra. "Dia amat dendam terhadap ketua, ciri tubuhnya persis seperti penuturan Kemini. Sembilan purnama lalu ia masih hidup, ia sengaja melakukan pemerkosaan untuk merusak nama ketua dan perdikan Lemah Tulis."

Gajah Lengar dan rekan lainnya setuju. "Tetapi bagaimana pun Lembu Agra sudah mati sehingga tak ada saksi kecuali perempuan bernama Kemini itu sendiri. Apakah tak mungkin itu adalah bagian rencana musuh tersembunyi yang ingin merusak nama ketua kita."

Di dalam bilik Prawesti bersemedi. Ia memusatkan pikiran menata tenaga dalamnya. Tetapi berulangkali gagal. Wajah Wisang Geni membayang terus. Ia marah kepada diri sendiri.

"Mengapa aku begitu tolol mengikuti ajakan Ekadasa?

Padahal aku ingin hidup bersama ketua. Tetapi mengapa dia tidak memaafkan aku, apakah dia tak tahu betapa aku mencintainya, dia harus tahu bahwa aku terperosok, mengapa mendapat hukuman begini berat? Dia tidak memaafkan, berarti dia tidak butuh aku. Mungkin ia tak mau diganggu, hanya ingin bercinta dengan dua isterinya yang memang lebih cantik dari aku. Aku memang melakukan hal yang bodoh. Aku memang pantas mati, tak ada harganya aku untuk hidup.

Semua orang Lemah Tulis akan melecehkan bahwa aku sudah dibuang ketua, ibarat habis manis sepah dibuang. Aku malu. Ke mana aku harus pergi?"

Prawesti termenung. "Sekarang apa yang harus kulakukan?

Aku pikir aku harus adu jiwa dengan widali sakti, biar aku mati, aku tak peduli, namun bila beruntung dan berhasil menghirup darahnya, aku akan menjadi tangguh, aku akan melatih semua ilmu silat yang diajarkan ketua, siapa tahu suatu waktu nanti aku berkesempatan menolong ketua, menolong Lemah Tulis."

Ia membayangkan saat ini Wisang Geni, Sekar dan Gayatri sedang bercumbu. Ia menangis dalam hari. "Aku tidak dendam, aku tidak sakit hati kepada ketua, karena cintaku kepadanya tak pernah mati Aku pernah mendengar bibi Wulan mengatakan, seorang wanita adalah sungguh-sungguh perempuan jika ia hanya mengenal satu lelaki saja, hanya mencintai satu lelaki saja dan tak ada lelaki kedua yang dicintainya. Apa pun yang terjadi cintaku kepada ketua itu akan kubawa sampai akhir hayatku"

Tak disangka Ekadasa berkunjung. Prawesti masih di kamar sedang semedi. Keduanya sama-sama mencintai Geni tetapi yang kemudian ditinggal pergi begitu saja. Ekadasa mencurahkan isi hatinya kepada Prawesti. Ia mencintai Geni sejak awal jumpa di Lemah Tulis ketika bokongnya diremas Geni. Ia tak pernah lupa kejadian itu. Bagi orang lain mungkin seperti pelecehan, baginya pertanda Geni punya perhatian padanya. Lagipula ia merasa bokongnya semok dan punya daya tarik tersendiri.

Ketika Wisang Geni berkunjung ke istana Tumapel, ia sempat menggoda lelaki itu dengan kerling matanya. Malam itu tercapai keinginannya, Geni mendatangi ia di kamarnya. Mereka bercinta dua hari, tak pernah puas. Tak habis- habisnya Geni mencumbu Lelaki itu sangat perkasa. "Aku pernah tidur dengan lelaki lain, tetapi Geni luar biasa. Aku harus mendapatkan dia. Prawesti aku tahu kamu juga mencintainya, aku pikir kita harus kerjasama, mengatur siasat memisahkan Gayatri dari Wisang Geni," katanya kepada Prawesti.

Ekadasa perempuan yang matang pada usianya yang duapuluhan, kulit kuning kecoklatan, cantik jelita, hidung sedikit bangir dengan mulut yang menarik, potongan tubuh montok dengan payudara menonjol, lingkar pinggangnya kecil, rambut panjang digelung. Ia cantik dan tahu persis bagaimana memanfaatkan kecantikannya itu.

Dia percaya kecantikan dirinya, ia tahu banyak lelaki mendambakannya. Tetapi ia hanya menginginkan Wisang Geni seorang. Ia marah melihat Geni mencium Gayatri malam itu, tetapi lebih marah lagi mengetahui keduanya telah menikah dan Geni telah menceraikan dia berdua Prawesti. Tanpa sadar ia berkata lirih, "Apa hebatnya Sekar dan perempuan India itu, keduanya memang cantik, tetapi malam itu di keraton aku telah perlihatkan kepada Geni bahwa akulah yang layak menjadi isterinya."

"Maksudmu tadi bekerjasama, apa dan bagaimana?" tanya Prawesti bingung.

"Kita pisahkan Gayatri dari Wisang Geni. Perempuan itu sekarang luka parah, aku akan kirim orang membunuhnya. Tetapi yang kita perlukan adalah saat perempuan itu berada sendirian, karenanya kiia harus pancing agar Geni pergi meskipun setengah hari saja."

Mata Prawesti terbelalak. "Tidak, akutakmaumengkhianatiketua, aku tak mau membunuh orang tak berdosa, kamu pergi saja Ekadasa, aku tidak tertarik."

Ekadasa marah. "Kamu perempuan lemah, apakah kamu mami saja dicampakkan begitu saja oleh lelaki setelah dia puas meniduri kamu, benar-benar kamu lemah dan tak bermartabat" Prawesti naik darah, setengah berteriak ia mengusir Ekadasa. "Iya, memang aku lemah, kamu pergi saja, aku tak mau berkawan dengan orang yang akan memusuhi ketua, pergilah kamu."

Mendengar suara bernada tinggi Prawesti itu, Dyah Mekar dan Gajah Lengar masuk kamar, "Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa," tukas Prawesti. Saat bersamaan Ekadasa melangkah keluar kamar. "Aku pergi," katanya.

Malam di lereng Argowayang. Gelap gulita karena sinar rembulan terhalang mendung tebal. Hanya ada kelap-kelip lampu damar di rumah. Suasana seram dan mencekam Para pendekar berada di luar rumah, berjalan ke sana kemari, mencari kesempatan berjumpa widali, memangsa atau dimangsa.

Widali keluar dari persembunyian Sepasang matanyay ang bersinar gemerlap mengintai dari balik semak. Manjangan Puguh dan Mei Hwa saat itu berada di dekat semak, sekonyong-konyong Manjangan Puguh merasa udara bergetar di dekatnya. Kontan ia bereaksi cepat, memutar tubuh, merunduk dan melayang pergi. Pada zaman itu, selain gurunya sendiri pendekar Merapi, Ki Sagotra, tidak ada lagi pendekar yang mampu menandingi ilmu ringan tubuh Manjangan Puguh.

Mungkin pertama kali selama puluhan tahun, serangan widali gagal. Sergapan dan terjangan binatang itu sangat cepat dan sulit diikuti mata. Puguh hanya melihat ada benda terbang melesat di sisi tubuhnya, tetapi tidak jelas bentuknya. Puguh tidak berhenti sesaat pun, ia bergerak sambil berteriak memanggil Mei Hwa isterinya. Tangannya meraih tangan Mei dan keduanya melesat menjauh dari semak. "Gila. Jikalau saja aku tak curiga adanya getaran udara di sekitar tubuhku, dan jika terlambat sesaat, dan jika aku tak mengunakan Waringin Sungsang tingkat paling tinggi dengan pukulan Bang Bang Alum Alum, mungkin saat ini aku sudah mati. Binatang itu menghilang begitu saja, ke mana dia?"

Manjangan Puguh merasa tangan Mei Hwa dingin dan basah. ”Koko, aku merasa ngeri dan seram, binatang itu tak mungkin bisa dikalahkan, kurasa lebih baik kita turun gunung saja."

Puguh memikirkan hal yang sama. 'Lebih baik begitu, kita pergi saja, aku sudah kangen pada anak kita. Ayo Mei, sekalian kita ajak ibumu, widali itu sangat berbahaya."

Tetapi Sian Hwa memilih menetap bersama kawan- kawannya. "Aku sudah jumpa dengan kamu, aku sudah senang. Melihat kamu hidup bahagia, aku pun senang. Pergilah kalian, rawat cucuku baik-baik, di sini memang sangat berbahaya seperti katamu itu."

Malam kelam makin mencekam ketika turun hujan deras. Suara guruh dan kilat menambah seram suasana. Air hujan mengalir deras menuruni lereng. Tanah menjadi licin. Para pendekar makin kalang kabut dicekam rasa gentar, di sana sini terdengar jeritan orang, lolong serigala dan suara widali yang mirip jerit kucing. Widali bergerak cepat seperti kilat halilintar dan terkamannya tak pernah meleset. Satu persatu para pendekar tewas dengan luka menganga di bagian leher.

Hampir tengah malam, suasana masih mencekam. Tiba-tiba suasana senyap. Hujan, guruh dan kilat halilintar perlahan- lahan reda kemudian menghilang. Semua senyap. Hanya terdengar desir angin malam. Widali itu menghilang setelah memangsa korban. Tujuhbelas nyawa melayang, semuanya dengan luka menganga di leher. Widali itu menggigit dan mengisap darah, ia merobek leher korban sehingga hampir putus. Melihat bekas luka bisa dipastikan mulut widali itu cukup lebar, itu artinya binatang sakti itu lebih besar dari kucing atau musang biasa. Rombongan Kediri kehilangan lima punggawa dan seorang anggota Sinelir. Rombongan Tumapel kehilangan dua pendekar utamanya, Catur dan Sapta, rombongan Lemah Tulis kehilangan Kebo Lanang, rombongan Mahameru kehilangan Matangga, salah seorang murid utamanya, rombongan Berantas juga kehilangan dua muridnya. Masih banyak korban pendekar dari perguruan lain, jumlah seluruhnya tujuh belas nyawa. Semuanya dimangsa widali hanya dalam setengah malam. Dunia persilatan seakan berduka memperingati petaka hebat itu, betapa tinggi pun ilmu silat dan jumlah pendekar yang begitu banyak ternyata tidak cukup untuk menahan amuk dan sepak terjang widali sakti.

Ekadasa meratapi mayat Sapta, lelaki yang sebenarnya sangat mencintainya. Jikalau saja ia tidak terpikat oleh kejantanan Wisang Geni, ia pasti menerima lamaran Sapta. Semua sudah jadi bubui. Wisang Geni pergi dari pelukannya, Sapta tewas di gunung Argowayang. Tadinya ia memimpikan memperoleh darah widali yang akan membuat ia sakti mandraguna. Setelah itu ia akan mencari Wisang Geni, membunuh Gayatri dan menanyakan pada lelaki itu apakah ia masih mencintainya atau tidak. Ia yakin Geni pasti masih menginginkan tubuhnya yang penuh daya tarik itu. Ternyata mimpi itu hanya tinggal mimpi. Namun ia tetap bertekad akan mencari Wisang Geni.

---ooo0dw0ooo---

Setelah perjalanan santai dari lereng Argowayang, senja hari Geni dan empat perempuan itu tiba di desa Kipang, desa terpencil agak jauh dari gunung Argowayang. Tak ada warung makan, tak ada penginapan. Geni menyewa rumah penduduk, sekaligus membayar makanan untuk makan malam.

Selesai santap malam, Geni dan dua isterinya masuk kamar. Ia berpesan kepada Urmila dan Shamita agar berjaga- jaga sementara pengobatan dengan tenaga dalam berlangsung. Tangan Geni menempel di punggung halus isterinya, tenaga dalam menerobos bergantian panas dan dingin. Tubuh Gayatri menggigil kedinginan, saat berikut berkeringat kepanasan.

Geni menjelaskan akan lebih cepat sembuh jika bisa mengurut di tempat yang kena pukulan. Gayatri mengangguk. Ia merasa tak perlu malu, meskipun di kamar itu ada Sekar. Ia membuka kebaya, membiarkan tubuh atas telanjang.

Keduanya berhadapan. Gayatri melihat Geni memejam mata, satu tangan Geni menempel di pundak, satu lainnya di celah antara buah dada. Hampir separuh malam Geni mengobati isterinya. Tanda merah kebiruan di dua tempat itu mulai berkurang. "Cukup Geni, aku sudah baikan," sambil berkata Gayatri menata kembali letak bajunya.

Ia melihat Sekar tidur pulas. Sedangkan Geni masih bersila menata tenaga dalam. Keringat membasahi sekujur tubuh Geni menebar aroma kelaki-lakian. Gayatri berbaring di dipan berdampingan dengan Sekar. Sambil menatap punggung lelaki itu, Gayatri berpikir, " Dipan ini kecil dan sempit, tapi kalau dipaksakan cukup untuk tiga orang."

Geni membuka mata. Ia melihat Gayatri dan Sekar berbaring. Perempuan India itu menatap kekasihnya. "Tadi, mengapa kamu pejamkan mata, tak mau memandang buah dadaku padahal di kamar ini suasana gelap, tak ada penerangan?"

"Aku tak mau terganggu pemusatan pikiranku. Paling tidak kamu harus istirahat dua malam lagi, baru bisa sembuh."

Gayatri tertawa. "Apakah kau bisa tahan tidur bersamaku dan Sekar dua malam tanpa kamu berbuat apa-apa?"

"Supaya kamu cepat sembuh, aku harus berusaha menahan diri."

Pada saat itu Sekar sudah terjaga. Ia memeluk punggung Geni. Kakinya melingkar di paha Geni. "Kenapa harus menahan diri, apa yang ada mari kita nikmati Gayatri ayo kita keroyok suami ini." Ketiganya tenggelam dalam lautan birahi yang panas membara

Menjelang pagi tiga kekasih itu masih berpelukan. Geni di tengah di impit tubuh dua isterinya. Sambil mengelus dada Geni yang berbulu lebat, Gayatri berbisik, "Geni, kamu tahu apa yang membuat aku mencintaimu?" Geni menggeleng kepala. Gayatri melanjutkan, "Aku jatuh cinta lantaran kamu dengan cara yang licik dan kurangajar berhasil menciumku. Selama hidup aku belum pernah dicium laki-laki, sehingga ciuman itu menjadi candu yang membuat aku memikirkan kamu terus. Aku marah dan kesal tetapi rindu. Kamu telah memberiku sesuatu yang indah yang bahkan belum pernah ada dalam mimpiku."

"Lantas malam ini bagaimana?"

Gayatri tertawa. "Seluruh tubuhku sakit, sakit tetapi nikmat.

Aku bahagia karena tidak salah memutuskan hal penting dalam hidup, mendapatkan kau sebagai suami sekaligus kenikmatan tubuh, meskipun untuk semua itu aku harus menukar dengan nyawaku."

Geni menciumi wajah isterinya. "Kamu tak akan mati, aku tak akan membiarkan kamu mati, dalam waktu dua bulan ini aku akan mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalanmu"

Sekar ikut bicara, ingin tahu lebih banyak tentang Gayatri. "Kamu tak akan mati, apa sulitnya masalahmu itu? Di dunia ini terjadi banyak kecelakaan yang tidak bisa kita hindari. Tetapi juga ada kecelakaan yang bisa ditolong. Lihat contoh, suami kita ini, ia luka parah kena pukulan dingin Kalayawana dan telan pil racun Kumara dan Malini, usianya hanya bisa sampai tiga purnama, tetapi buktinya, ia sembuh bahkan mendapat ilmu dahsyat membuat ilmu silam ya sulit ditandingi dan menjadi suami yang perkasa seperti sekarang ini. Jadi aku pikir, masalahmu pasti akan teratasi, percayalah Gayatri." Gayatri memeluk erat, menyembunyikan wajahnya di dada Geni. "Terimakasih, Sekar, kamu sangat baik. Sesungguhnya aku tidak menyesal, setetes penyesalan pun tak ada dalam dadaku, aku bahagia hidup bertiga seperti ini. Untuk itu, tidaklah rugi jika aku harus menebus dengan nyawaku Aku anak bontot ketua perguruan Yudistira di Himalaya, ayahku berpegang keras pada tradisi kuno, anak perempuan harus patuh pada jodoh yang diatur ayah."

Gayatri berbaring terlentang, pikirannya menerawang jauh. Ia seperti melihat ayah dan kakaknya yang galak serta wajah ibunya yang lembut tetapi tak berdaya. "Dua bulan lagi, pada akhir bulan Iyestha atau awal bulan Asadha, di situlah jadwal kematianku sudah tertulis. Tak ada yang bisa menolongku."

Sekar penasaran. "Siapa bilang tidak ada yang bisa menolong, aku dan Geni dan juga kamu akan berupaya keras menyelamatkan kamu, jangan khawatir, kita pasti bisa."

"Aku punya seorang kakak perempuan, namanya Manisha dan dua kakak laki-laki, Arjun dan Shankar. Ada seorang laki- laki bernama Wasudeva, putra tunggal ketua perguruan Arjapura Suatu hari, satu tahun lalu, Wasudeva datang bertamu untuk diskusi ilmu silat. Manisha jatuh cinta padanya, ia menjanjikan cinta yang tulus, ia meniduri kakak.

Berulangkali. Kemudian ia pergi, berjanji kembali dua bulan lagi, melamar dan mengawini Manisha.

"Tiga bulan kemudian Manisha hamil. Ayah dan dua kakakku tidak tahu. Manisha hanya menceritakan pada ibu dan aku, ibu menyuruh aku bersumpah tak boleh menceritakan pada ayah dan kakak. Sebab bisa terjadi pertumpahan darah antara dua perguruan. Ibu lalu mengutus aku bertiga Urmila dan Shamita menemui Wasudeva, memberitahu Manisha hamil. Ia tertawa sinis, malah menuduh Manisha tak punya kehormatan, yang bisa ditiduri lelaki siapa pun. Aku tak berdaya, aku pulang membawa kabar buruk "Tapi Manisha masih setia menanti. Hamil lima bulan, Wasudeva tetap tak muncul Saat itulah datang lamaran Mahesh, pendekar dari Himalaya Timur. Ayah menjodohkan kakak dengan Mahesh. Tak mungkin kakak menerima perkawinan itu, sebab aib hamil itu pasti akan terbongkar, tak ada jalan lain, setelah berpesan kepadaku, kakak diam-diam pergi dan bunuh diri terjun dari tebing."

"Kakakmu Manisha itu cantik?"

"Ia sangat cantik, lebih cantik dari aku, ia tidak bisa silat tetapi ia mahir sastra dan sangat cerdas. Ia mengajari kami semua, berbahasa Jawa. Saat itu kami sadar suatu waktu nanti mungkin kami akan melancong ke tanah Jawa mencari Ki Suryajagad menebus kekalahan kakek Lahagawe."

"Nasib kakakmu amat tragis, apakah sampai sekarang tak seorang pun dari keluargamu yang mengetahui kelakuan Wasudeva itu?" tanya Sekar sambil menciumi dada suaminya.

"Ceritanya panjang. Setelah kematian kakak, Wasudeva datang berkunjung. Ia merayuku, aku benci dan muak melihatnya. Ia melamar aku pada ayah Ayah setuju. Aku tak bisa menceritakan perlakuan buruknya terhadap Manisha kepada ayah. Tetapi tak mungkin aku menerima perjodohan ini, mustahil aku kawin dengan Wasudeva, dia bejat dan aku tidak suka tampangnya, tidak ada jalan lain, terpaksa aku kabur ke negeri Jawa."

"Kenapa ke negeri Jawa?"

"Aku ingin lari dari Wasudeva, makin jauh makin baik, mungkin dia tak akan berani kemari, semoga saja demikian."

"Lantas penyakitmu itu?" tanya Sekar.

"Aku sehat, tak ada penyakit. Tetapi yang pasti, ayah, ibu dan dua kakakku akan datang ke negeri ini, mereka akan menjemput aku, menghukumku. Mereka akan muncul pada akhir bulan Iyestha atau awal bulan Asadha, di situlah hari kematianku. Ayah membunuhku atau aku harus bunuh diri. Itu sebab aku cepat minta kau menikahi aku, agar bisa menikmati cinta yang indah selama dua bulan, aku ingin bersenang- senang sampai puncak kenikmatan, setelah itu jika harus mati bunuh diri, aku rela."

"Tidak Gayatri, kita akan hidup lama. Aku senang kamu sehat, tak punya penyakit, kalau hanya itu kesulitanmu, aku yakin bisa kita atasi bersama. Kita tinggalkan keramaian dunia ini, kita pergi ke suatu desa terpencil, tak akan ada orang bisa menemukan kita, kita bertiga menetap sampai hari tua," kata Geni.

"Kamu mau pergi meninggalkan perguruanmu Lemah Tulis, apakah kamu tidak takut dituduh sebagai ketua yang tidak bertanggungjawab, apa tanggung jawabmukepada leluhurmu, kepada guru-gurumu?"

"Aku akan meletakkan jabatan ketua ini dengan baik-baik, memberikan jabatan ini kepada orang lain, begitu kan?"

Gayatri menatap dalam-dalam mata suaminya. "Kamu mau melakukan itu semua untuk aku?"

"Sekar dan Gayatri, kalian dengar, sebenarnya aku bosan dan jenuh dengan pertarungan di dunia persilatan ini. Jika kalah, mati. Jika menang, pasti akan ada orang lain yang mencari untuk balas dendam. Begini terus, tak pernah berhenti. Satu bulan lagi aku harus berhadapan dengan para pendekar negeri Cina, ini juga urusan balas dendam karena aku pernah mengalahkan tiga pendekar utama Cina, satu di antaranya Sam Hong bahkan mati di tanganku. Semua itu tarung resmi di bukit Penanggungan. Sekarang para pendekar Cina datang menantang aku, balas dendam. Aku bosan.

Akhirnya aku berpikir untuk mengundurkan diri dari keramaian. Aku senang jika bisa hidup bersama kalian di suatu tempat terpencil." Gayatri terharu. Ia memeluk dan mencium kekasihnya.

Geni membalas dengan nafsu menggebu. Tiga insan itu larut lagi dalam nafsu birahi. Bercinta dalam suasana hati saling membutuhkan.

Pada saat itu, di pagi hari yang sejuk, Urmila dan Shamita telah memutuskan langkah. Keduanya berunding lama untuk sampai pada keputusan itu. Ketika Gayatri keluar dari kamar, ia melihat dua pembantunya sedang duduk menghadapi sarapan pagi yang baru saja diantar pemilik rumah. Lima orang itu melahap sarapan singkong dan ayam bakar.

Pada kesempatan itu Urmila dan Shamita menyampaikan maksud mereka hasil pemikiran semalam. Keduanya merasa tidak lagi layak mendampingi Gayatri. "Putri, kamu adik perguruan kami, tetapi ilmu silatmu lebih tinggi, kau juga putri guru kami, tugas kami selama ini adalah mengawalmu. Tetapi sekarang keadaan sudah lain, kamu sudah bersuami."

Gayatri memotong bicara Urmila yang mulai tersendat- sendat saking terharu. "Kamu ingin meninggalkan aku, begitu? Katakan saja kalau memang benar, aku tak akan marah."

Shamita memegang tangan Gayatri. "Suamimu akan melindungi dan dengan ilmu silat yang diniilikinya aku kira kamu cukup aman. Apalagi kamu juga punya ilmu silat mumpuni. Kami pikir tak enak mengganggu kalian yang sedang mabuk cinta, biarkan kami pergi, siapa tahu kami ketemu jodoh di negeri indah ini."

Selesai sarapan, dua pembantu itu memeluk Gayatri.

Perpisahan yang mengharukan. Tiga perempuan itu menangis. Urmila berkata di tengah tangisnya, "Putri, kami belum berencana pulang ke India, kami akan melancong di negeri ini, tapi kami tetap akan memantau dirimu, jika kamu dalam kesulitan kami rela berkorban jiwa untukmu, urusan dengan Wasudeva kami akan ikut membelamu meski untuk itu kami akan dihukum guru." Dua pembantunya pergi, Gayatri menangis dan berlari masuk bilik kamarnya. Sekar memburu, menghibur hatinya. "Selama ini kami selalu bersama-sama, sejak masih kecil, kami bermain bersama, setiap ada kesulitan, keduanya selalu membantu. Mereka sudah seperti kakak bagiku Kini mereka pergi, aku merasa kehilangan. Tetapi mereka punya hak untuk mencari masa depan sendiri, usianya masih duapuluh lima, semoga bisa mendapat kebahagiaan seperti yang aku cicipi sekarang ini."

Tiga hari di desa Kipang, Gayatri sudah hampir sembuh. Ia kini sudah bisa menggunakan tenaga dalam meski belum seluruhnya pulih. Rasa ngilu dan sakit di dada serta pundaknya sudah lenyap. Pagi hari itu Geni membawa dua isterinya menuju Lemah Tulis. Mereka menunggang kuda, dua hari kemudian tiba di perguruan. Hari sudah senja.

Wisang Geni dan dua isterinya langsung menghadap Padeksa dan Gajah Watu. Waktu itu Geni sudah mendandani Gayatri dengan pakaian pendekai Jawa. Ia tampak cantik gemerlap, kulitnya yang putih tampak mencolok di bawah baju dan celana warna hitam. Rambutnya yang panjang digelung dengan ikat kepala warna putih. Hidungnya bangir, bibir tebal, mulut lebar bagai busur serta dua bola mata berwarna coklat yang berlindung di balik bulu mata lentik, menegaskan kecantikan seorang perempuan India.

Padeksa dan Gajah Watu terperanjat ketika Wisang Geni memperkenakan Gayatri dan Sekar sebagai isterinya. Sesaat dua orang tua itu terdiam, keduanya mengamati Sekar dan Gayatri, mencoba membandingkan cantiknya dua isteri Geni itu. Mereka pernah mengagumi kecantikan Sekar. Gayatri tak kalah cantik. Dua wanita itu memang cantik dan jelita.

Kecantikan Gayatri adalah kecantikan wanita asing, cantik India. Kecantikan Sekar, cantiknya perempuan Jawa.

Dua kakek itu membatin mungkin Geni terpikat kecantikan yang luar biasa itu tetapi tidak tahu kelakuan dan isi hati si perempuan. Padeksa membatin, "Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi, Wisang Geni kawin dengan orang luar, ah kasihan si Prawesti, bagaimana perasaannya."

Keduanya lebih kaget lagi mendengar penjelasan Geni bahwa Gayatri adalah cucu pendekar Lahagawe yang pernah dikalahkan Eyang Sepuh Suryajagad di perang Ganter.

Sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup keduanya tidak memperlihatkan rasa curiga. Namun Geni dan Gayatri tahu bahwa dua kakek itu curiga perkawinan hanya alasan Gayatri membalas dendam. Dua kakek lebih heran mendengar Geni meninggalkan Argowayang saat di mana widali sakti keluar dari persembunyian. "Mengapa kau pergi meninggalkan anak buahmu?" tanya Padeksa kecewa.

Geni merasa aneh. "Kenapa kakek bertanya itu, aku memilih pergi dan mereka memilih berburu widali, itu pilihan masing-masing. Mereka juga bukan anak kecil yang harus kutemani dan kulindungi terus."

Padeksa terdiam Gajah Watu memecah kesunyian. "Geni, sejak dua hari lalu, perdikan kita kedatangan tamu, sampai hari ini sudah tujuh perempuan yang diantar keluarganya masing-masing. Mereka hamil dan menuduh seorang bernama Wisang Geni yang ketua Lemah Tulis telah memerkosa mereka."

Geni terkejut. Gayatri ikut terkejut. "Aku tak pernah melakukan perbuatan terkutuk itu, aku belum sekali pun pernah memerkosa perempuan, aku pantang melakukan perbuatan terkutuk itu, pasti fitnah, pasti suatu kekeliruan."

Gajah Watu berkata dengan nada datar, "Perempuan- perempuan itu menantimu di pendopo, silahkan keluar temui mereka."

Geni seperti linglung, berdiri dan hendak melangkah.

Tangan Gayatri memegangnya. "Jangan sekarang, jangan temui mereka sekarang. Nanti saja, kau istirahat dulu." "Kenapa kamu menghalangi, dia harus berani bertanggungjawab atas perbuatannya," suara Padeksa ketus. Gayatri beringsut mendekati Sekar, keduanya bisik-bisik, kemudian Gayatri kembali dan berkata lirih, "Maaf, aku tak percaya suamiku melakukan perbuatan itu, aku punya alasan kuat, kakek mau dengar?"

Geni memandang isterinya. Ia berharap Gayatri dan Sekar bisa menolongnya. Ini aib besar. Terdengar suara Gayatri, "Tadi ketika masuk pintu gerbang dan melewati pendopo aku melihat banyak orang, aku melihat beberapa perempuan.

Tetapi saat kita lewat tak seorang pun yang berteriak menyebut nama suamiku, tidak seorang pun. Ini bukti, mereka melihat suamiku, tetapi mereka tidak mengenal suamiku, padahal hari masih senja, matahari masih terang. Ini bukti jelas. Itu sebabnya aku mencegah suamiku menemui mereka sekarang."

Dua orangtua itu mengagumi kecerdasan Gayatri. Tetapi sebelum mereka bicara, gadis India ini sudah melanjutkan bicara, "Aku katakan tadi, aku sangat yakin suamiku tidak melakukan perbuatan itu, mengapa aku yakin?" Ia menatap dua kakek itu yang menahan nafas ingin tahu penjelasannya. Ia kemudian menceritakan pertemuannya dengan Geni. Ketika ia nyaris diperkosa penjahat, "Aku tahu aku cantik, tubuh atasku telanjang, tetapi Geni bisa mengendalikan diri, jika saja moralnya rendah pasti dia sudah memerkosaku. Jika aku saja yang lebih cantik dengan kesempatan sebesar itu tidak ia perkosa, maka aku tidak percaya mengapa ia memerkosa perempuan di luar sana yang sama sekali tidak cantik dan entah berasal dari mana. Ini sebabnya aku yakin suamiku tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Pasti ada orang lain yang sengaja merusak nama Wisang Geni."

Sekali lagi Gajah Watu dan Padeksa mengakui kecerdasan Gayatri. Sekar ikut mendukung alasan Gayatri. "Aku juga tidak percaya suamiku memperkosa perempuan. Itu jelas fitnah dan omong kosong besar!"

Geni gembira bahwa Gayatri dan Sekar percaya kepadanya. "Jadi bagaimana aku harus hadapi mereka?" katanya pada Gayatri. Gayatri tertawa geli. "Kamu semakin banyak berhutang padaku. Hutang yang lalu belum kamu bayar sekarang sudah berhutang baru lagi.”

"Sudahlah Gayatri, aku sudah katakan bahwa sampai mati pun aku tetap masih berhutang padamu. Katakan sekarang jalan keluarnya."

Gayatri berkata kepada dua kakek, "Ketika kami datang, perguruan ini sunyi. Aku sempat melihat beberapa murid yang menghindari kami, mereka sembunyi. Kakek bisa bantu memecahkan persoalan ini dengan mencari tiga murid, perawakan harus beda satu sama lain. Seorang harus mirip suamiku termasuk rambutnya dicat mirip uban. Dua lainnya, satu tinggi, satu pendek, dengan rambut hitam. Usianya tigapuluhan dan limapuluhan. Ajak perempuan-perempuan itu, satu per satu, menemui ketiga murid, katakan, ada tiga Wisang Geni, yang mana yang kalian cari. Lantas kita lihat sampai di mana kebenaran sandiwaranya?"

Gajah Watu mempersiapkan rencana Gayatri. Tiga murid mengaku Wisang Geni. Tujuh perempuan itu bingung. Empat perempuan mengaku ketiga murid itu bukan Wisang Geni.

Tiga lainnya menuding murid dengan rambut beruban sebagai Wisang Geni. Semua disaksikan Gayatri. Sementara Geni menanti di kamarnya.

Dibantu beberapa murid, Gayatri memisahkan dua kelompok. "Jelas, empat wanita itu tidak mengenal Wisang Geni, berarti bukan suamiku yang melakukan perbuatan itu tetapi orang lain yang mengaku sebagai Wisang Geni. Tiga lainnya juga tidak mengenal Wisang Geni, hanya mengetahui ciri rambut ubanan saja. Nah tugasku membersihkan nama suamiku sudah selesai, aku pamit menemui suamiku." Gayatri berdua Sekar meninggalkan pendopo, menemui Geni di biliknya. Sementara Padeksa dan Gajah Watu serta beberapa murid melakukan pemeriksaan. Kesimpulannya, ada orang yang sengaja memerkosa wanita-wanita itu sambil memperkenalkan diri sebagai Wisang Geni ketua Lemah Tulis. Pemerkosaan terhadap empat perempuan dilakukan lelaki berusia limapuluhan, di dadanya ada tanda rajah bergambar kuda. Kejadiannya sekitar sembilan bulan lalu. Lelaki itu berpesan agar pergi ke Lemah Tulis. Siapa lelaki itu tidak ada yang tahu. Tiga perempuan lain punya kisah berbeda. Mereka punya suami dan sedang hamil besar, berasal dari desa Gadang. Seorang wanita cantik berpakaian mewah membayar ketiganya untuk mengaku diperkosa dan dihamili Wisang Geni. Dia menggambarkan ciri Wisang Geni, rambutnya penuh uban. Itu sebabnya tiga wanita ini menuding murid yang rambutnya dicat uban sebagai Wisang Geni. Siapa perempuan cantik ini, tak seorang pun yang tahu.

Wisang Geni sedang duduk termenung ketika Gayatri dan Sekar masuk. Ia menyongsong isterinya. "Bagaimana hasilnya?"

"Beres, semua ketahuan bohong, ada orang yang merusak namamu Tetapi mengapa wajahmu kusut, apakah kau takut mereka mengenal wajahmu?" Gayatri menggoda. Sekar tertawa mendengar godaan nakal itu.

"Tidak. Bukan itu. Aku kecewa karena ternyata semua murid termasuk kakek percaya aku melakukan perbuatan terkutuk itu. Mengapa bisa begitu? Itu sebab begitu melihat aku datang, semua murid menghindar, rupanya mereka percaya aku seburuk itu. Anehnya kakek juga tidak percaya padaku. Kalau begini, kalau tak ada kepercayaan yang tulus kepada seorang ketua, maka ketua itu tidak akan bisa memimpin anak buahnya dengan baik," kata Geni dengan nada kecewa. Gayatri memegang tangan suaminya. "Jangan berpikir demikian, mereka bukannya tidak percaya padamu, tetapi mungkin berita itu sangat mengejutkan, aku yakin mereka masih percaya padamu"

"Gayatri, Sekar, kalian berdua lebih suka aku sebagai ketua Lemah Tulis atau aku meninggalkan jabatan ketua ini?"

Sekar terkejut mendengar pertanyaan ini. "Aku senang dengan apa saja keputusanmu Kamu sebagai ketua Lemah Tulis atau bukan ketua, bagiku sama saja. Yang penting bagiku, aku tetap di sisimu Ke mana kamu pergi, ke situ aku mendampingimu." Gayatri mengangguk sependapat.

Saat itu Wisang Geni telah mengambil keputusan penting dalam hidupnya. "Aku tak mau lagi menjadi ketua Lemah Tulis, dalam beberapa hari ini aku akan menyerahkan jabatan ketua ini kepada kakek, biar mereka mencari ketua yang baru Aku akan bereskan hutang dendam dengan pendekar Cina sebagai Wisang Geni pendekar biasa bukan sebagai ketua Lemah Tulis. Aku lebih suka berkelana seperti Eyang Sepuh, tetapi berbeda dengan Eyang Sepuh yang sendirian, aku akan ditemani dua isteriku yang cantik dan cerdas, Sekar dan Gayatri." Pikiran ini tidak ia utarakan.

Malam itu Geni merasa ada yang kurang. Biasanya Prawesti yang menyediakan santap malam, terkadang mengambilnya dari dapur, pada kesempatan lain gadis itu sendiri yang masak.

Kali ini ia bingung. Sementara Geni bingung, Sekar mengajak Gayatri ke dapur. Keduanya menolak ketika Geni menawarkan diri mengantar. "Tidak perlu, kamu tunggu di sini saja, ini urusan perempuan."

Dua isteri itu gembira melihat suaminya makan dengan lahap. Keduanya tidak menceritakan sikap murid-murid wanita sewaktu bertemu di dapur. Mereka tidak menegur sapa, bahkan satu per satu meninggalkan dapur sambil mencibir mulut. Sekar jengkel, namun Gayatri memegang tangannya. "Kita tak perlu meladeni mereka. Aku pikir, mereka kecewa karena Geni meninggalkan Prawesti. Dikiranya kita berdua yang membuat ulah atau memengaruhi Geni," kata Gayatri.

Sesaat kemudian dia menambahkan, "Itu sangat manusiawi bagaimanapun juga mereka patut membela saudara perguruan sendiri, kita berdua kan orang luar, apalagi aku, orang asing."

Malam itu Gayatri merasa nyaman dan tenteram dalam pelukan suaminya. Rasanya aman. "Tak ada siapa pun yang bisa memisahkan lelaki ini dariku," pikirnya.

Sesaat ia teringat ibunya pernah berkata kepadanya, "Jika ada lelaki mencintaimu, tugasmu yang paling utama adalah menjaga dan memelihara cinta itu dengan perilaku dan pelayanan memuaskan. Dengan demikian ia tidak akan bisa meninggalkan kamu. Yang penting, kau harus pandai dan cerdas menempatkan diri sehingga lelaki itu merasa selalu membutuhkan dirimu. Ingat itu Gayatri."

Saat Geni, Sekar dan Gayatri berenang dalam birahi cinta di biliknya, saat itu rombongan Prastawana tiba. Ia melapor peristiwa di gunung Argowayang, sepakterjang Wisang Geni membunuh Lembu Agra, Lembu Ampai dan para pendekar yang hendak menyerang Lemah Tulis, tujuhbelas pendekar termasuk Kebo Lanang dimangsa widali, tantangan pendekar Cina kepada Geni dan semua pendekar tanah Jawa, pernikahan Geni dengan Gayatri dan Sekar. Kematian Kebo Lanang sempat membuat Padeksa dan Gajah Watu kecewa terhadap Geni. "Jika Geni bersama mereka, mungkin Kebo Lanang tak dimangsa widali," pikir Gajah Watu.

Mereka berpencar menuju bilik masing-masing. Prawesti tadinya melangkah ke bilik ketua, namun dia teringat bahwa Geni sudah punya isteri. Ia berbelok menuju dapur. Ia resah namun memaksa diri makan. Ketika itu tiga murid perempuan mendekatinya. "Mbak Westi, ketua sedang berdua di biliknya bersama dua isterinya. Kamu tidur bersama kami saja."

Prawesti tak peduli apakah sindiran atau maksud baik, ia menatap gadis itu dan mengucap terimakasih. Ia menyelesaikan makan lalu keluar ruangan tanpa menoleh lagi kepada tiga gadis itu. Ia berpikir akan nginap di rumah paman Jayasatru, rumah tempat tinggalnya sebelum ia menjadi kekasih Wisang Geni.

Di tengah jalan ia mengubah pikiran, ia merasa malu. Apa yang harus ia katakan kepada bibinya. Dalam perjalanan dari Argowayang, Jayasatru memperlihatkan perhatian kepadanya, melayani dan mengajaknya bicara namun tidak bicara soal pernikahan Geni. Ia merasa semua orang seperti meremehkan dan mengasihani dirinya. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan ini.

Sekonyong-konyong Prawesti berlari pesat ke gerbang, menerobos keluar menuju kegelapan malam. Ia tak tahu menuju ke mana, tetapi langkahnya menuntun ia menuju ke arah hutan dawuk di lereng gunung Arjuno. Tengah malam ketika Geni bertiga Sekar dan Gayatri meneguk cinta yang penuh birahi menuju puncak kenikmatan, saat itu Prawesti berlari dikejar nestapa cinta dalam pekatnya malam.

Esok hari saat matahari terbit, Lemah Tulis tampak sibuk Terlihat murid lelaki maupun wanita sedang berlatih. Teriak dan bentakan mewarnai kesibukan. Wisang Geni meninggalkan Gayatri dan Sekar yang masih terbaring letih. Ia menuju rumah Gajah Watu dan Padeksa.

Ia sudah memutuskan mundur dari jabatan ketua Lemah Tulis. Namun baru saja ia duduk, Padeksa memberitahu kabar buruk "Geni, sejak tadi malam Prawesti menghilang dari perguruan. Ada yang melihatnya tengah malam berlari ke luar gerbang. Sampai sekarang, Jayasatru dan isterinya sudah mencari ke semua bilik dan rumah, tetapi gadis itu tak diketemukan." Wisang Geni terkejut. "Ke mana dia pergi?"

Padeksa berkata dengan nada sendu, "Kasihan gadis itu, ia patah hati dengan perkawinanmu, hatinya hancur, aku tidak tahu ke mana dia pergi, ia tak punya keluarga, tak punya siapa-siapa."

Kata-kata Padeksa itu mengena tepat sanubari Geni. Lelaki ini bereaksi cepat. "Aku akan cari dia."

Geni balik ke rumahnya, mengajak Sekar dan Gayatri. Isterinya balik bertanya, "Kamu tahu ke mana dia pergi?"

"Barangkali aku tahu. Perjalanan makan waktu satu atau dua hari."

Gayatri menolak. "Kau pergi sendiri, aku capek, tadi malam kamu meniduriku habis-habisan, hampir membunuhku." Sekar juga menolak, alasannya letih. Mereka menyuruh suaminya cepat pergi.

Tetapi Geni masih berdiri di situ, tampaknya hendak mengatakan sesuatu. Gayatri memandang dengan kocak, "Geni, ajak ia tinggal bersama kita, Prawesti itu tak punya siapa-siapa lagi, di luar sana dia sendirian tak punya keluarga. Bagaimana pendapatmu mbakyu Sekar?"

Sekar memandang Gayatri dengan penuh haru. "Gayatri, kamu wanita istimewa, kamu tidak dendam malahan mengajak Prawesti bergabung dengan kita, kalau kamu sudah memaafkan dia, aku tak punya alasan lagi menolak," dia menoleh ke suaminya. "Geni, ajak dia pulang secepatnya.

Kami tunggu di sini."

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar