JILID XV
BARU SAJA pendeta Baudenda lenyap, tiba-tiba Candra Wulan terus menjerit dengan keras :
“Pangeran Pamegatsari.” Demikianlah serunya. “Mari kita bereskan pangeran keparat itu.”
Rupa-rupanya dengan mendadak saja Candra Wulan ingat kepada Pangeran Pamegatsari itu. Seruannya ini menyadarkan ketiga orang kawannya. Kembang Arum adalah orang pertama yang melompat, dan lari terus kedalam ruangan. Akan tetapi setelah gadis itu sampai kedalam ruangan, ternyata tempat itu telah kosong, entah kemana pangeran Pamegatsari tadi.
“Setan alas.” Umpat Candra Wulan yang mendongkol sekali karena kehilangan lawan yang sangat dibencinya. “Sungguh beruntung sekali orang itu.”
Kembang Arum memandang kearah ibunya :
“Bagaimanakah pendapat ibu tentang mereka ini? Apakah yang harus kita lakukan terhadap mereka?”
Woro Keshi masih teringat akan kejadiannya dahulu itu, karena itulah ia seperti tak mendengar perkataan anaknya ini. “Apa yang akan kau lakukan, lakukanlah.” Jawabnya kemudian. Setelah
menarik napas panjang ia berkata lagi kepada anaknya ini. “Aku hendak pergi. ”
Ketiga orang anak muda ini menjadi terperanjat. Demikian juga dengan Mintaraga. Akan tetapi yang paling terperanjat adalah Wirapati. Bukankah telah enam belas tahun lamanya ia berpisah dengan ibunya itu? Mengapa sekarang, setelah bertemu, ibu dan anak ini hendak omong-omong, bicara sebagai layaknya ibu dan anak-anaknya mengapa ibu sudah lantas hendak pergi pula?
“Ibu, lihatlah aku.” Pemuda ini segera menegur ibunya. “Ibu, aku adalah Wirapati. ”
Woro Keshi tertawa, dengan sebelah tangannya ia mengusap-usap rambut putranya itu. Putra yang telah belasan tahun tak bertemu dengannya. “Kau tetap sama seperti dahulu angger, sangat mengherankan sekali
kalau aku dapat melupakanmu.” Katanya dengan manis.
“Ibu, mengapa ibu hendak pergi?” Tanya Kembang Arum mendahului kakaknya, sebelum Wirapati dapat membuka mulutnya. “Bukankah lebih baik ibu tinggal bersama kami?”
Woro Keshi lalu menjadi berduka.
“Bukankah abu dari pamanmu si Darmakusuma itu masih tetap berada didaerah Laut Kidul?” Katanya. “Tak dapat aku hanya berdiam diri saja, tanpa mempedulikannya ”
Bikshuni ini teringat kepada orang yang dicintainya itu. Sedikitnya ia menjadi puas juga setelah dapat menuntutkan balas kepada pendeta Baudenda.
“Bibi.” Seru Mintaraga. “Untuk mengurus abu jenasah ayah itu adalah kewajibanku, tak perlulah bibi terlalu repot dan membuang-buang waktu hingga melelahkan saja ”
“Lebih baik kau jangan banyak membuka mulut.” Seru pendeta wanita ini. “Ayahmu telah muncul didaerah Laut Kidul, itulah tempat peringatan dari kami tiga orang keluarga keturunan Tumenggung Malangyudo, Tumenggung Kertoyudo dan Tumenggung Sorohnyowo. Maka sekarang juga aku akan pergi ke laut kidul itu untuk mengambil abu jenasah ayahmu, setelah itu aku akan menguburnya ditempat yang layak. Setelah tugasmu selesai dan kalau kau adalah seorang anak yang berbakti maka carilah kuburan itu dan taburkan bunga-bungaan diatas makamnya.”
Woro Keshi melakukan apa yang dikatakannya, siapapun juga tak ada yang dapat mencegah. Begitu ia menggerakkan tubuhnya, ia sudah berkelebat mencelat. Hanya baru beberapa tindak, ia lalu menahan larinya dan berpaling lalu memanggil kepada Wirapati dan Candra Wulan.
Mintaraga dan Kembang Arum tahu kalau orang tua ini hendak memesan sesuatu, karena itulah mereka ini tak ikut menghampiri Woro
Keshi sewaktu Wirapati dan Candra Wulan mendapatkan pendeta wanita
ini.
Woro Keshi mengucapkan beberapa patah kata kepada kedua orang anak muda ini, lalu setelah itu kelihatan pula kalau Bikshuni dari perguruan Muria ini menepuk-nepuk pundak kedua anak muda-mudi ini. Lalu sambil tersenyum ia bertindak pergi. Candra Wulan sebaliknya, menjadi merah sekali wajahnya itu, agaknya ia malu sekali hingga menunduk. Sekian lamanya ia menundukkan kepalanya, dan setelah Woro Keshi pergi jauh barulah Candra Wulan berani mengangkat kepalanya lagi.
Wirapati juga berdiri terdiam, barulah belakangan ia melirik kearah Candra Wulan. Wirapati tersenyum, kelihatannya pemuda ini kelihatan puas.
“Ki Wirapati, selamat... selamat...” Tiba-tiba saja ia mendengar suara nyaring disampingnya dan dibarengi dengan sebuah tepukan perlahan-lahan pada bahunya. Ketika ia berpaling, ia mengetahui kalau Mintaraga telah menghampirinya dengan tanpa sepengetahuannya sendiri.
“Awas kakang Mintaraga.” Seru Candra Wulan sewaktu Wirapati belum sempat berkata apa. “Jangan kau goda aku, aku nanti tak mau mengerti.”
Mintaraga tertawa.
“Eh... siapakah yang menggodamu? Tanya pemuda itu. “Apakah kau tak mengijinkan aku memberi selamat kepada ki Wirapati?”
“Memang baik sekali... setuju... aku sangat setuju sekali adi Candra Wulan.” Seru Kembang Arum yang ikut berbicara. “Akupun hendak memberi selamat kepadamu. Kalau tidak, nanti ternyata pemandanganku sangat cupet.”
Candra Wulan melototkan matanya kepada Kembang Arum.
“Jangan kesusu ya.” Katanya dengan mengancam. “Nanti juga akan datang masanya aku akan membuatmu tahu rasa.”
Mendengar perkataan Candra Wulan ini Kembang Arum dan Mintaraga tertawa, sedangkan Wirapati tersenyum. Maka kembalilah Candra Wulan menjadi malu sekali.
“Sudahlah, jangan kita bergurau lebih lama lagi.” Seru Mintaraga memperingati. “Disini adalah sebuah gedung naga gua harimau, kita masih mempunyai banyak urusan yang harus segera dilakukan. ”
“Benar.” Timbrung Kembang Arum. “Lihat apakah yang harus kita perbuat terhadap mereka semua ini. ?”
Kembang Arum lalu menunjuk kepada orang-orang Jipang Panolan yang rebah atau berdiri dengan tak karuhan itu. Diantara mereka itu terdapat juga Pacar Keling, Surodento dan Agni Brasta. Sebagai korban-korban totokan Mintaraga, mereka ini tak mampu menggerakan kaki tangan dan tubuh mereka. “Untuk memutuskannya, membebaskan atau membinasakannya,
terserah kepadamu.” Seru Mintaraga menjawab. “Aku akan menurut saja apa pendapatmu itu.”
Kembang Arum lalu berunding dengan Candra Wulan dan Wirapati kakaknya itu. Mereka ini memang dapat melukai atau membunuh orang diwaktu bertempur, akan tetapi terhadap orang-orang Jipang Panolan yang tak dapat bergerak sama sekali ini, hati mereka tak demikian kejam dan beringas. Akan tetapi sebaliknya untuk membebaskan mereka dengan begitu saja pun tak sudi, tak puas hati mereka.
Kelihatanlah dengan jelas keragu-raguan mereka itu. Karena indah Mintaraga lalu turut berbicara.
“Baiklah.” Katanya. “Kita tak membunuh mereka, akan tetapi tak membebaskannya. Untuk mati atau hidup mereka kita serahkan saja kepadanya masing-masing. Kepada keberuntungan mereka. Bagaimana pendapat kalian?”
“Setuju... setuju sekali.” Seru Candra Wulan yang paling dahulu menyetujui pikiran kakak angkatnya ini. Inilah yang paling baik.”
“Kawanan budak ini adalah perusuh dan pengacau rakyat jelata.” Seru Kembang Arum. “Tak dapat kita berlaku demikian baik hati terhadap mereka.” Ia lalu menghunus pedangnya ditangan kiri dan goloknya ditangan kanan. Lalu meneruskan. “Baiknya kupingnya akan kukuntungi sebagai tanda mata.”
Kata-kata ini disusul dengan bergeraknya kedua tangan, dengan kelincahan tubuh yang menguasai sepak terjang kaki dan tangan, cepat sekali berkelebatnya pedang dan golok diantara puluhan orang-orang Jipang ini. Bersama dengan itu darah segarpun muncrat dengan berhamburan. Karena kuping mereka itu telah berserakan jatuh diatas tanah.
“Kali ini kaulah orang yang paling beruntung.” Seru Kembang Arum kepada Pacar Keling dan Surodento. “Ingatkah kau akan perkataan kami dulu itu, jika kami bertemu lagi denganmu maka bukan kuping yang akan kami tabas melainkan batok kepalamu!”
Mintaraga tertawa.
“Adi Kembang Arum, kepandaianmu memotong telinga adalah yang nomor satu didunia ini.” Katanya memuji. “Sudah cukup, marilah kita berangkat.”
Hampir bersama keempat orang muda-mudi ini lalu melompat melintasi pagar tembok pekarangan, untuk menyingkir dari rumah aneh itu, akan tetapi sebelum mereka jauh. Mintaraga berhenti karena teringat akan sesuatu.
“Kalian tunggulah sebentar.” Katanya. Terus saja ia lari kembali. Akan tetapi Mintaraga pergi tak lama ketika kembali ia telah mengempit tubuh Agni Brasta.
“Hampir saja kita melupakan sebuah urusan penting.” Seru Mintaraga
sambil tertawa.
“Ya.” Jawab Kembang Arum. “Kita hendak pergi menolong kakang Tunggorono, bantuan Agni Brasta ini memang sangat kita butuhkan sekali.”
“Kau benar adi Kembang Arum.” Jawab Mintaraga. “Ki Wirapati, tahukah kau kalau ditempat-tempat sekitar sini ada yang sunyi?” Tanyanya kepada Wirapati.
Agni Brasta menjadi kaget dan ketakutan. Baru saja ia dipapas sepasang kupingnya, hal ini masih dirasakan sakit. Ia khawatir karena ia menduga kalau orang-orang ini tentunya akan menganiayanya supaya memberi keterangan tentang Tunggorono.
“Ki Mintaraga, tak usah kau mencari tempat yang sunyi.” Katanya dengan segera. “Apakah yang kau ingin ketahui? Kau tanyakan kepadaku, segala apa yang kuketahui maka nanti aku akan memberitahukannya padamu dengan sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya.”
“Sikapmu inilah yang paling tepat dan benar.” Jawab Mintaraga dengan tenang. “Ternyata kau adalah seorang yang tahu akan gelagat.” Setelah itu ia melihat sebuah kuil rusak didepan mereka, sambil menunjuk kesana ia lalu menambahkan perkataannya tadi :
“Mari kita pergi kesana.” Dalam keadaan seperti ini tak dapat kita memperlihatkan diri kepada orang lain.”
Kembang Arum dan semuanya menurut, maka mereka lalu berlari- larian menuju kekuil rusak itu yang ditunjuk oleh Mintaraga. Memang benar kuil ini tak karuhan. Karena kuil ini telah tak terpakai lagi maka tak ada penjaganya.
“Baiklah Agni Brasta, sekarang kami hendak bertanya kepadamu dan hendaknya kau suka menjawab dengan sejujur-jujurnya.” Seru Mintaraga yang terus memulai. Ia melepaskan raja Pencopet ini didepan mereka.
“Apakah kau mengetahui dimana adanya kakang Tunggorono?”
“Dia berada didalam penjara di pusat Jipang Panolan.” Jawab Agni Brasta.
“Apakah dia telah dianiaya?” Kembali Mintaraga bertanya.
“Tidak.” Jawab Agni Brasta. “Perkataan kita dahulu itu yang mengatakan kalau Tunggorono segera menerima hukuman itu adalah sebuah tipu daya belaka. Ini buah pikiran ki Bagaspati supaya kalian datang ke Jipang Panolan. Hingga kalau kalian datang kesana maka mereka akan dapat membekuk kalian dengan sekali tepuk saja. Tipu daya ki Bagaspati ini tak ada sangkut pautnya denganku.”
“Memang siapa yang mengatakan kalau tipu daya yang keji ini ada hubungannya denganmu?” Jawab Mintaraga sambil tertawa. “Kau jangan ketakutan tak karuhan.” Tambahnya yang masih tetap dengan tertawa. “Hanya ada sebuah urusan lain yang denganmu pasti ada hubungannya,
bahkan kau adalah salah seorang yang penting sekali. Inilah sebuah urusan
yang akan kutanyakan kepadamu. Tentang kakang Tunggorono, dapat kujelaskan kepadamu kalau dia itu telah ditolong orang dan dibawa lari keluar dari Jipang Panolan. Benar bukan perkataanku ini?”
Mendengar perkataan Mintaraga ini, kecuali Agni Brasta ketiga orang muda-mudi yang menjadi kawan Mintaraga inipun menjadi heran.
“Eh... kakang Mintaraga, apakah perkataanmu ini?” Tanya Candra Wulan yang mempunyai hubungan dengan Tunggorono sangat erat itu.
“Jangan kau khawatir adi Candra Wulan.” Jawab Mintaraga. “Dimana kita telah mengetahui kalau kakang Tunggorono ini tak kurang sesuatu apa, tentang dirinya nanti aku akan menjelaskannya kepadamu. Eh... Agni Brasta hayo lekas kau jawab!”
Agni Brasta tercengang akan tetapi tak lama.
“Ki Mintaraga, perkataanmu barusan ini memang tak salah.” Jawabnya dengan perlahan. “Memang benar kalau Tunggorono telah ditolong orang. Kejadian ini adalah setengah bulan yang lalu.”
Raja pencopet ini berdiam sebentar, akan tetapi tak lama kemudian tampaklah kalau dia menghela napas panjang.
“Ya benar.” Katanya. “Inilah yang dikatakan kalau diatas langit masih ada mega, diatas orang masih ada orang lain yang lebih sakti. Penolong Tunggorono benar seorang yang mempunyai kesaktian hebat. Dia berkelebat bagaikan malaikat atau hantu, dengan mudah saja ia mengulurkan tangannya untuk menolong Tunggorono. Lihat saja bagaimana tangguhnya dan kuatnya penjagaan penjara Jipang Panolan itu, akan tetapi toh ia dapat datang kapan yang disukainya dan pergi dengan hanya mengangkat kakinya. Siapapun juga tak akan ada yang dapat mencegah kepergiannya.
Pertamanya aku menganggap kalau pendeta Baudenda adalah seorang yang paling hebat dan sakti didunia kependekaran ini. Akan tetapi siapa tahu ia masih kalah dengan Patih Udara. Tapi Patih Udara apa bila akan dipadu dengan orang sakti itu, dia tentunya tak akan dapat menjadi tandingannya.”
Mintaraga tertawa dingin.
“Kau mengatakan tak ada orang yang dapat mencegahnya. Bukankah kau omong terlalu berlebihan?” Tanyanya.
Agni Brasta tertawa dengan terpaksa.
“Mungkin aku keliru dengan mengatakan demikian.” Sebutnya kemudian. “Orang sakti penolong Tunggorono, perbuatannya sangat menakjubkan sekali. Disana ada beberapa ratus pengawal akan tetapi tak seorang pengawalpun yang melihat kedatangannya. Sewaktu mereka mengetahui, tahanannya telah lenyap, orang sakti itupun tak kelihatan sama sekali. Untuk itu gusti Ario Penangsang telah menitahkan untuk menutup sembilan buah pintu kota, setiap rumah telah digeledah, akan tetapi
semuanya itu tak ada hasilnya, mungkin orang sakti itu telah kabur jauh
sekali. ”
“Gunung Lawu dari sini bukannya hanya jarak yang dekat saja Agni Brasta, ternyata dugaanmu terlalu rendah sekali.” Jawab Mintaraga.
Mendengar ini Kembang Arum bertiga menjadi tercengang. Teranglah sudah kalau penolong Tunggorono itu bukan lain adalah pendeta Argo Bayu. Memang sudah wajar sekali kalau pendeta Argo Bayu ini menolong Tunggorono, karena nelayan yang menjadi murid ki Darmakusuma inipun cucu murid dari pendeta tua dari padepokan Lawu itu.
Sekarang ada dimanakah kakang Tunggorono?” Tanya Candra Wulan. Dia menghibur hatinya, akan tetapi tetap saja gadis ini ingin mengetahui dimana adanya kakak seperguruannya itu.
“Jangan kesusu, sebentar kau akan mengetahui.” Seru Mintaraga yang terus menghadap kearah Agni Brasta. “Tampaknya kau menyesal.” Katanya. “Kau mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, yang sudah-sudah namamupun tak terlalu buruk, akan tetapi mengapa kau rela berkawan dengan para pembrontak dari Jipang Panolan itu hingga dengan tanpa sesadarmu kau telah merusak masa depanmu sendiri?!”
Agni Brasta berdiam, wajahnya kelihatan bersemu merah, tanda kalau raja pencopet ini sangat malu sekali.
Melihat keadaan Agni Brasta ini Mintaraga lalu berpikir :
‘Baiknya aku akan membujuknya, supaya raja pencopet ini mau bekerja sama, ada baiknya apabila dia dapat mengubah jalan hidupnya yang sesat itu. Untuk merampas Tunggul Tirto Ayu yang asli aku membutuhkan bantuannya ’
Anak muda ini tak berpikir terlalu lama untuk mengambil keputusan. Tiba-tiba saja ia menotok bebas jalan darah raja pencopet ini, sedangkan luka dikupingnya inipun segera diberi ramuan obat-obatan yang dibawanya.
Bukan main girangnya hati Agni Brasta yang telah dibebaskannya ini. Sudah dua atau tiga jam lamanya ia ditotok, dan selama itu ia sangat menderita sekali. Karena itu ia lalu menggerak-gerakan kedua tangan dan kakinya.
“Ki Mintaraga aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena kau telah tak membunuhku.” Katanya dengan perlahan.
“Untuk mengucapkan terima kasih kepadaku, nanti dulu sebentar, karena waktunya masih belum terlambat.” Jawab Mintaraga sambil tersenyum. “Aku hendak memperlihatkan sebuah benda kepadamu.”
Sambil berkata demikian Mintaraga merogohkan tangannya kedalam saku bajunya, ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kuning dan terus dibukanya, maka disitu terlihatlah Tunggul Tirto Ayu.
Kembang Arum dan Candra Wulan menjadi heran sekali. Bukankah Mintaraga, telah diserahi tugas untuk memberikan Tunggul Tirto Ayu
kepada Ngawonggo Pati? Mengapa sekarang ia kembali dengan membawa
Tunggul Tirto Ayu yang menjadi lambang kejayaan kerajaan Demak Bintoro itu?
Mintaraga tak menghiraukan, keheranan kedua orang kawannya itu. “Agni Brasta.” Katanya. “Coba kau periksa Tunggul Tirto Ayu ini
lambang kerajaan Demak Bintoro yang tulen atau palsu?”
“Inilah yang asli.” Jawab Agni Brasta. “Mungkinkah kau tak mengenalnya?”
“Kau lihat dulu yang jelas, barulah nanti kau bicara.” Seru anak muda itu sambil menyodorkan Tunggul Tirto Ayu ini kepada si raja pencopet itu.
Sejenak Agni Brasta memperhatikannya.
“Ini benar Tunggul Tirto Ayu yang didapatkan oleh pendeta Baudenda di Laut Kidul, karena itu mana mungkin Tunggul ini palsu!” Katanya kemudian.
“Habis bagaimanakah dengan Tunggul Tirto Ayu yang dulu itu berada ditanganmu?” Tanya Mintaraga menegaskan.
Kembali muka raja pencopet ini menjadi merah. Merah karena jengah dan malu.
“Itu adalah yang palsu, karena yang palsu itu aku yang membuatnya ki Mintaraga.” Jawabnya dengan malu-malu. “Bukankah kau telah membuangnya?”
Inilah yang dimaksudkan Tunggul Tirto Ayu pembuatan Agni Brasta yang disuruh oleh Pendeta Baudenda dan Tunggul Tirto Ayu itu telah kena dirampas oleh Sucitro, akan tetapi setelah Tunggul Bintoro itu berada ditangan Mintaraga, maka pemuda itu mengetahui kalau itu hanyalah sebuah Tunggul Tirto Ayu yang palsu karena tak ada cacatnya.
Mintaraga tertawa terbahak-bahak.
“Memang ini adalah Tunggul Tirto Ayu yang didapatkan oleh paman guruku di Laut Kidul.” Katanya. “Akan tetapi Tunggul Tirto Ayu inipun palsu pula. Huahaaa... Huahaaa... Huahaaaa... Sungguh bagus sekali perbuatan ayahku itu, dia telah menipu dan mempermainkan pendeta Baudenda.”
Kata-kata ini telah membuat heran semua orang yang mendengarnya. “Kakang Mintaraga, apakah kau bukannya sedang bergurau?” Tanya
Kembang Arum. Gadis ini memang menyangsikan kalau barang yang berada bersama Darmakusuma adalah sebuah Tunggul Tirto Ayu yang palsu pula.
Kembali Mintaraga tertawa. Ia lalu menyerahkan Tunggul Tirto Ayu itu kepada Kembang Arum.
“Cobalah kau menelitinya, kalau kau bersungguh-sungguh dalam meneliti Tunggul ini maka kau akan mengetahui pula kalau barang inipun sebuah Tunggul Tirto Ayu yang palsu.” Katanya. Kembang Arum menerima dan kemudian meneliti dengan setiti-titinya.
Kemudian ia memperdengarkan suara keheranannya, setelah itu ia tertawa berkakakan.
“Agni Brasta, kau ini adalah seorang ahli pemalsu.” Katanya dengan gembira. “Akan tetapi siapa tahu disampingmu ini masih ada orang yang lebih hebat lagi dalam hal palsu memalsu. Kepandaian paman Darmakusuma jauh lebih tinggi kalau dibandingkan dengan kepandaianmu.”
Candra Wulan menjadi heran, segera saja ia mendekati, gadis inipun lalu turut meneliti keadaan Tunggul Tirto Ayu itu.
Memang Tunggul Tirto Ayu ini adalah sebuah tunggul yang cacat akan tetapi sayang sekali warnanya, tak sekuning emas yang asli dan dibuat dalam permainan sanggul mereka. Karena itulah untuk lebih meyakinkan maka Candra Wulanpun lalu mencabut permainan sanggulnya yang didalamnyapun terdapat sobekan Tunggul Tirto Ayu yang asli. Setelah itu ia lalu berdiri dengan tercengang. Sekarang mengertilah ia kalau ayah angkatnya itu, sewaktu hidupnya telah berlaku sangat hati-hati sekali, sengaja ia membuat Tunggul Tirto Ayu yang palsu dan disimpan didaerah Laut Kidul untuk menipu orang-orang. Hanya sekarang orang tak mengetahui dimana disimpannya Tunggul Tirto Ayu yang asli.
Kembang Arum menghela napas. Telah lelah dan capai mereka itu mencari dan merampas Tungul Tirto Ayu, akan tetapi tak tahunya mereka hanya mendapatkan Tunggul Tirto Ayu yang palsu, dan mendapat lagi juga palsu.
“Jika demikian maka biar saja Tunggul Tirto Ayu ini berada ditangan Patih Udara...” katanya, masygul dan menyesal sekali. “Tak usah kita mengeluarkan banyak tenaga dan menempuh mara bahaya...”
Agni Brasta mengawasi Tunggul Tirto Ayu itu, raja pencopet ini benar- benr bersangsi. Ia menyaksikan sendiri ketika Pendeta Baudenda menyerahkan Tunggul Tirto Ayu kepada patih Udara. Maka ia berkata :
“Tunggul Tirto Ayu dan permainan sanggul kalian ini memang berasal dari sebuah benda. Akan tetapi karena permainan sanggul kalian ini setiap hari dipakai dan Tunggul Tirto Ayu itu jarang sekali maka apakah tak mungkin kalau warnanyapun telah berubah. Bukankah begitu ki Mintaraga?” Seru raja pencopet itu menegaskan.
“Perkataanmu ini memang beralasan sekali, akan tetapi sayang tak tepat kalau dipakai disini.” Jawab anak muda itu. “Tunggul Tirto Ayu yang tulen dibuat dari sebuah kain halus yang kuat sekali karena sebelum membuatnya kain itu telah direndam dalam reramuan yang menyebabkan menjadi kuat. Hingga dengan demikian kekuatannya itu tak ada bandingannya dikolong langit ini. Marilah kita periksa hal ini.”
Ia lalu mengambil sebuah perhiasan sanggul dari Candra Wulan dan
setelah mengeluarkan kainnya, maka Mintaraga mencoba untuk menyobek, akan tetapi hasilnya sia-sia saja sebab sedikitpun kain itu tak rusak.
“Inilah dia kain yang telah direndam dengan baik hingga menjadi kuat. Dan ini pula yang tulen.” Katanya. Ia lalu mengambil Tunggul Tirto Ayu, setelah itu ia lalu merobek dan ternyata mudah sekali barang itu disobek. Karena itulah Mintaraga lalu tertawa.
“Bagaimana Agni Brasta? Percayakah kau sekarang?” Tanyanya dengan tersenyum.
Raja Pencopet ini hanya berdiam diri saja, Agni Brasta hanya dapat menganggukkan kepalanya saja. Diam-diam orang ini menjadi heran dan kagum sekali kepada anak muda ini.
“Barang palsu ini kalau dibiarkan saja akan dapat mencelakakan orang lain.” Seru Mintaraga pula. “Karena itu baiknya dirusak saja. Ia lalu menyobek-nyobek hingga Tunggul Tirto Ayu itu menjadi hancur tak karuhan.
Sambil menyobek-nyobek dengan kedua tangannya, Mintaraga tertawa, dan ia kelihatan puas sekali.
“Sekarang marilah kita pergi untuk mencari yang asli.” katanya. “Agni Brasta, bagaimanakah sekarang? Bersediakah kau merubah kelakuanmu, akan keluar dari jalan yang sesat, untuk kembali kejalan yang lurus? Sudikah kau membantu kami untuk mencari Tunggul Tirto Ayu yang asli itu? Jika kita berhasil mendapatkanya, maka kaupun akan mendapat jasa. Akan tetapi misalnya kau tak mau, maka kamipun tak akan memaksa, dan kami akan membebaskanmu, kalau kau ingin pulang boleh pulang dan kalau ingin mengembara ya terserah.”
Tergeraklah hati Agni Brasta. Bukankah ia telah tak dibunuh oleh anak muda itu? Bukankah ia telah diperlakukan dengan baik? Bukankah ia telah dipandang sebagai seorang sahabat? Ia adalah seorang pencopet, belum pernah selamanya ia diperlakukan dengan demikian baiknya oleh seseorang. Ia hanya heran atas ajakan itu. Hingga ia menjadi bersangsi sebentar. Segera setelah itu ia mengambil keputusannya. Malahan ia lalu menjatuhkan diri diatas tanah, berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Mintaraga.
“Ki Mintaraga aku sangat berterima kasih sekali karena kau tak membunuhku.” Katanya. “Aku memang ingin membalas budimu karena itulah aku bersedia mengikutimu kemana saja kau akan pergi, biarlah aku menurut untuk menjadi pesuruh atau kacungmu.”
Mintaraga mengulurkan kedua tangannya, segera pemuda ini membangunkan raja pencopet itu.
“Jangan kau segan-segan Agni Brasta.” Katanya sambil tertawa. “Sudikah kau jika kita saling mengikat persahabatan? Terangnya aku
menganggapmu sebagai sahabat dan kau begitu pula?” Mintaraga lalu
mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Agni Brasta menjadi girang bukan main. Ia segera memberi hormat kepada Kembang Arum. Justru itu ia lalu ingat akan sesuatu, maka ia segera berkata kepada Mintaraga :
“Ki Mintaraga, nama Raja Pencopet itu adalah Agni Brasta, karena aku menganggap nama ini kurang baik maka aku minta kepadamu, sudikah kau mengganti namaku?”
“Memang bagus sekali kalau kau berhendak menukar nama.” Jawab Mintaraga. Julukan Raja Pencopet memang tak sedap di dengar. “Karena itulah dari pada kau bertangan seribu lebih baik mempunyai dua tangan saja supaya kembali keasalnya. Sekarang aku akan memberimu julukan 'Hasto Piguno' yang berarti tangan yang berguna. Berguna ini memang banyak sekali gunanya, misalnya untuk memberantas kejahatan dan menumpas habis-habis pemberontak-pemberontak Jipang Panolan. Sedangkan kalau kau malu memakai nama Agni Brasta maka aku akan mengganti namamu menjadi BASKARA.
Ketahuilah kalau BASKARA itu berarti matahari, sedangkan matahari ini mempunyai sifat yang suka memberi penerangan, dengan begitu kuharapkan kau menjadi seorang suci dan suka memberi penerangan kepada yang salah. Jadi tegasnya saja kau sekarang bernama Baskara dan berjuluk Hasto Piguno.”
Agni Brasta menjadi girang sekali, segera saja ia menerima dengan baik nama itu. Bahkan terus dengan tiada henti-hentinya ia mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
Selanjutnya aku hendak memegang tinggi-tinggi pribadi dan keluhuran jiwa.” Katanya saking gembiranya.
Mintaraga tertawa.
“Memang demikianlah maksudku.” Katanya.
“Kakang Mintaraga.” Kata Kembang Arum. “Tadi kau berkata kalau akan mencari Tunggul Tirto Ayu yang asli, kemanakah kau hendak mencarinya??”
“Ke Banten!” Jawab Mintaraga.
Mendengar jawaban ini semua orang menjadi terperanjat sekali. Tak ada yang tak menjadi heran.
“Apa?” Candra Wulan menegaskan. “Benarkah Tunggul Tirto Ayu yang asli itu berada di Banten?”
“Sedikitpun tak salah.” Jawab Mintaraga sambil tertawa. “Memang Tunggul Tirto Ayu yang asli itu berada di Banten. Diwilayah yang jauh ratusan kilo dari sini ini.”
Pemuda ini tak pernah bergurau, karena itu, walaupun perkataannya itu luar biasa, kawan-kawannya toh mempercayai pula.
“Apakah kalian merasa aneh?” Tanya pemuda itu, bertanya dengan
tenang dan tetap tertawa. “Tentang itu, nanti saja perlahan-lahan aku akan menjelaskannya. Sekarang marilah kita berangkat.” Ia lalu mengajak semua kawannya keluar dari dalam kuil rusak itu.
Disepanjang jalan mereka tak menemukan seorangpun juga. Keadaan disana sini sunyi senyap.
“Aneh...!” Seru Candra Wulan.
“Sebenarnya tak aneh...” Seru Baskara atau Agni Brasta. “tadi malam kalian telah menerbitkan keonaran, kalian telah memukul roboh puluhan bahkan ratusan jago-jago Jipang Panolan, pemerintah setempat tentunya telah kalian buat kaget. Kerena itulah mungkin sembilan buah pintu kota itu telah ditutup, dan besar kemungkinan kalau dirumah-rumah sedang diadakan penggeledahan. Diantara rakyat jelata siapakah yang berani bergelandangan dijalan besar?”
Ia berhenti sebentar, akan tetapi kemudian ia menambahkannya lagi : “Segala pasukan Jipang Panolan ini biasanya selalu mencelakai rakyat
jelata, sekarang mendapat kesempatan untuk menggeledah rumah-rumah penduduk, tentu saja tak menyia-nyiakan kesempatan untuk merampok.”
Mintaraga menjadi berduka. Ia berkata didalam hatinya :
‘Kalau untuk selamanya pemberontak-pemberontak Jipang Panolan ini tak disingkirkan, maka untuk selamanya pula rakyat jelata akan tertindas dan merasa sekali seperti penghidupan kerbau dan kuda saja... Sampai kapankah orang-orang Jipang ini dapat ditindas??’
Memang semenjak kecil Mintaraga telah merasakan adanya pemberontakan-pemberontakan dari Jipang Panolan ini. Kesemuanya ini hanyalah sekitar perebutan kekuasan dari bekas kerajaan Demak Bintoro. Ario Penangsang yang menjadi adipati di Jipang Panolan telah berusaha dengan sekuat-kuatnya dan menempuh jalan apa saja untuk mendapatkan kerajaan Demak Bintoro. Bahkan Ario Penangsang tak segan-segan membunuh Sunan Prawoto, Ki Kalinyamat, Wiranoto dan lain-lain yang menjadi perintangnya. Kini orang satu-satunya yang merintangi angan- angannya ini tinggal JAKA TINGKIR yang bergelar SULTAN HADIWIJAYA adipati Pajang. Sampai sekarang ini perebutan kekuasaan ini belum ada juga keputusannya.
Sewaktu Mintaraga melamun, dihadapan mereka terlihat sepasukan Jipang Panolan, pasukan ini menunjukkan wajah yang sangat marah dan gusar sekali.
“Kakang Mintaraga, marilah kita labrak saja orang-orang itu.” Ajak Candra Wulan. “Setelah itu barulah kita berangkat ke Banten.”
“Jangan.” Cegah pemuda itu. “Untuk kita, pekerjaan kita yang paling penting adalah berangkat ke Banten.”
“Memang, ada faedahnya akan membinasakan beberapa ratus pasukan
Jipang Panolan?” Seru Wirapati yang terus ikut berbicara, sesudah sekian lama ia hanya berdiam diri saja. “Mari cepat kita menuju ke Banten untuk mendapatkan Tunggul Tirto Ayu. Sebab tugas kita yang pertama membuat kerajaan atau tepatnya pemberontak Jipang Panolan berjungkal balik.”
Mintaraga tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Wirapati. Dan bersama dengan itu ia lalu berkata :
“Perkataanmu ini paling cocok sekali dengan jalan pikiranku ki Wirapati.” Katanya. “Adi Candra Wulan marilah kita berangkat, tak usah kita layani segala macam pasukan Jipang Panolan itu.”
Candra Wulan tak terlalu mengukuhi pikirannya itu, ia lalu mengikuti kawan-kawannya untuk berangkat ke Banten. Mereka terus berlari-larian keluar kota, karena mereka mempergunakan ilmu lari cepat maka pasukan Jipang Panolan ini tak sempat mengejar mereka.
Mintaraga senang sekali dengan perjalanan ini, setelah ia mendapatkan bantuan dari Baskara dan kini Wirapatipun ikut bersamanya.
Setibanya disebuah desa yang kecil diluar kota, mereka lalu membeli lima ekor kuda, dengan binatang inilah mereka lalu berangkat menuju ke Banten. Mereka melakukan perjalanan dengan cepat, hanya berhenti kalau bermalam dan makan saja.
Pada suatu hari tibalah mereka itu di kota Cirebon. Inilah kota yang menjadi pusat pertemuan antara orang-orang Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dimasa kerajaan Demak masih jaya-jayanya kota Cirebon ini ramai sekali, akan tetapi sekarang kota ini kelihatan sunyi, sepi penduduknya hanya sedikit dan lagi perdagangan dapat dikatakan mati. Mereka ini masuk kedalam kota Cirebon pada waktu mahgrib. Lalu mereka itu kesulitan untuk mencari penginapan, selain itu juga sulit untuk mendapatkan makanan yang lumayan.
Candra Wulan segera menjadi mendongkol sekali, dan terus saja ia mengomel.
“Aku mendengar kota Cirebon ini baik sekali, akan tetapi mengapa kenyataannya sangat bobrok! Mengapakah ini??”
Mintaraga dan yang lain-lain menjadi tertawa setelah mendengar omelan Candra Wulan itu.
“Bukankah ini adalah salah sebuah dari perbuatan bagus dan mulia dari pemberontak-pemberontak Jipang Panolan?” Tanya Baskara kemudian.
“Mungkinkah pemberontak itu menghancurkan kota Cirebon dengan tanpa sebab suatu apapun juga?” Candra Wulan yang masih mendongkol itu terus bertanya.
“Begitupun dapatlah dikatakan.” Jawab Baskara dengan tertawa keras- keras. “Dijaman Majapahit, semasa gusti sinuwun Hayam Wuruk dan maha
patih Gajah Mada berperang ketimur dan kebarat, mereka telah
memusnahkan beberapa negara ditimur dan barat, lalu berturun kepada anak cucunya, hingga anak cucunya ini berbuat bertambah hebat pula. Hingga dapatlah dikatakan kalau Raden Patah berkuasa di Demak Bintoro itu maka beliau selalu menumpas kerajaan-kerajaan di Jawa Barat. Sejak itulah orang-orang Jawa Barat jarang yang berani masuk kepelataran Jawa Tengah, karena inilah orang-orang jarang yang merantau melintasi daerah dan pasar menjadi mati kerenanya. Beginilah akibat dari perang-perangan itu, nah marilah kita masuk kedalam penginapan itu untuk sekedar mencari makanan.” Sambil berkata demikian ia lalu menunjukkan tangannya kearah timur laut.
Candra Wulan mengerutkan keningnya ketika melihat rumah makan dan penginapan yang tak karuhan macamnya itu. Mereka telah melakukan perjalan jauh sekali, baik manusia atau binatangnya telah sama-sama letih dan menginginkan peristirahatan.
Baskara tertawa ketika melihat sikap Candra Wulan itu.
“Kita yang biasa melakukan perjalanan jauh, maka tak dapat kita memilih-milih, kita harus menerima apa saja yang ada.” katanya.
Mau tak mau Candra Wulan menjadi tertawa. Iapun lalu ikut masuk kedalam rumah penginapan itu.
Pertama-tama mereka itu minta barang makanan, walaupun makanan yang disajikan itu tak lezat, namun mereka itu tetap makan dengan lahap hingga kenyang. Setelah itu datanglah pikiran untuk mencari kamar dan tempat tidur.
Candra Wulan terus memeriksa semua kamar, akan tetapi tak lama kemudian ia keluar lagi dengan tertawa meringis.
“Baiklah kita jangan tidur.” Katanya. “Kulihat lebih baik kita pergi saja keluar kota, untuk menikmati keindahan malam dan sinar dari hyang badra serta belaian angin halus...”
Lalu tanpa memberi ketika kepada mereka berbicara, Candra Wulan lalu menambahkan :
“Hayo... hayo kita pergi. Disini kita tak dapat tidur !”
Kembang Arum dan semuanyapun menganggap, dipenginapan yang buruk ini, tak nanti mereka dapat tidur dengan tentram, maka setelah membayar mereka lalu beramai-ramai meninggalkan tempat itu, mereka lalu menuju keluar kota dan mencari tanah rumput untuk duduk berkumpul.
“Lihat, bukankah tempat ini jauh lebih baik?” Tanya Candra Wulan dengan gembira sekali.
“Kalau diantara kita ada yang bercerita untuk melewatkan malam ini maka akan lebih baik lagi.” Seru Kembang Arum yang turut tertawa terbahak-bahak.
“Memang bagus demikian.” Kata Candra Wulan. “Ayu Kembang Arum,
kau sajalah yang bercerita! Maukah kau?”
“Terang-terangan saja aku ini bukan seorang pendongeng.” Kata Kembang Arum sambil tertawa. “Kakang Mintaraga tentunya bisa, dan mungkin akan lebih menarik.”
“Eh... bagaimana ini dapat kau ketahui ayu?” Tanya Candra Wulan. “Telah setengah tahun aku ikut kakang Mintaraga, akan tetapi belum pernah kakang Mintaraga bercerita. Sebenarnya dia tak biasa ”
Mendengar perkataan Candra Wulan ini maka Mintaraga lalu tertawa terbahak-bahak.
“Adi Candra Wulan jangan kau tak melihat sebelah mata kepadaku.” Katanya. “Aku khawatir kalau nanti aku bercerita maka kau tak akan dapat menahan kegembiraanmu dan terus menerus bertepuk tangan serta bersorak-sorak. !”
Candra Wulan benar-benar gembira sekali, karena itulah ia lalu merebahkan tubuhnya keatas tanah rumput yang tebal. Akan tetapi sebentar saja ia telah bangun lagi.
“Benarkah kau hendak bercerita kakang Mintaraga?” Tanyanya dengan manja. “Dongeng apakah itu? Coba kau mulai saja kakang!”
Kembang Arum seperti dapat menduga cerita anak muda ini, karena itulah ia lalu tersenyum.
“Adi Candra Wulan jangan kau terlalu mendesak.” Katanya. “Dongeng itu akan segera diceritakan, bukankah demikian kakang Mintaraga?”
Mintaraga mengangguk, hampir bersama itu ia menarik keluar sepotong kertas dari dalam sakunya. Ia lalu membeber kibaran itu.
“Adi Candra Wulan apakah ini?” Tanyanya.
Candra Wulan benar-benar heran, akan tetapi ia segera menjawab dengan lantang :
“Itu adalah pesan ayah angkatku, yang telah kuserahkan kepadamu ”
“Kau lihat, apakah yang kurang?” Tanya Mintaraga.
“Tak ada yang kurang, kecuali surat yang terbuat dari kertas kulit kambing yang berwarna kuning....” Jawab Candra Wulan sambil mengingat- ingat. “Baru-baru ini Arya Panuju minta kepadamu, dan kau menyerahkannya. Apakah kau sudah lupa?”
“Tentu saja aku masih ingat.” Jawab Mintaraga sambil menghela napas. “Atau katakanlah kalau hari itu aku telah begitu tolol sekali menyerahkan sepertiga bagian Tunggul Tirto Ayu kepada Arya Panuju ”
Kata-kata Mintaraga ini telah membuat orang-orang yang lain menjadi heran dan sibuk dengan menduga-duga.
Wirapati juga mengetahui sedikit-sedikit tentang surat peninggalan Darmakusama yang diserahkan kepada Mintaraga, karena itu ia lalu menduga :
‘Arya Panuju itu adalah seorang gagah nomor satu didaerah Banten.
Mintaraga mengatakan kalau ia akan pergi ke Banten untuk mencari Tunggul Tirto Ayu. Mungkinkah dia akan mencari Arya Panuju??’
Mintaraga menyimpan pula surat wasiat ayahnya itu.
“Ayahku pandai memikir sampai jauh.” Katanya dengan sebuah suara yang bernada duka. “Ayah telah mempunyai Tunggul Tirto Ayu yang asli dan yang palsu. Dia rupanya telah menduga kalau ada orang yang akan pergi ke Karang Bolong, karena itulah ia telah menyiapkan Tunggul Tirto Ayu yang palsu itu dan menyembunyikan disana. Sedangkan yang asli disimpannya semenjak belasan tahun yang lalu didaerah Banten. Dengan cara demikian ia hendak membuat semua orang yang akan mencari Tunggul Tirto Ayu itu menubruk tempat yang kosong melompong saja ”
Candra Wulan menjadi heran.
“Arya Panuju hendak mencari Tunggul Tirto Ayu, apakah perlunya dia datang ke jawa tengah?” Tanyanya. “Mengapa ia tak mencari didalam negerinya sendiri saja?”
Mintaraga tertawa :
“Dia telah mengetahui kalau Tunggul Tirto Ayu itu berada di Banten dan tahu pula tempat dimana disimpan.” Katanya. “Tapi dia datang ke Jawa Tengah! Apakah yang dia cari? Itulah kertas kuning yang terbuat dari kulit kambing.”
Candra Wulan heran hingga ia melompat bangun, tubuhnya terus saja mencelat.
“Apakah artinya ini?” Tanyanya pula. “Apakah ini yang disebut dongenganmu? Kakang Mintaraga hayo katakanlah dengan terang-terangan, jangan kau main putar-putar.”
Kembali Mintaraga tertawa.
“Jika aku tak bersikap demikian maka dongenganku akan menjadi tawar.” Katanya. “Jangan kau tak sabaran, kau dengarlah aku menceritakan dengan perlahan-lahan. Hanya ceritaku ini sebegini saja, bagiannya yang lain kita harus mendengar di Banten, dengan Arya Panuju yang menceritakan hingga tamat ”
Pemuda ini berhenti sebentar hingga ia dipandang dengan tajam-tajam oleh Candra Wulan.
“Hari ini.” Ia menyambung. “Ketika kita berpisah, memandangmu berangkat ke Jipang hatiku tak tentram. Akan tetapi tugasku sangat penting sekali. Dengan terpaksa sekali aku melanjutkan perjalananku dengan membawa Tunggul Tirto Ayu itu. Sampai lama perjalananku ini kutujukan ketenggara. Aku jalan terus selama beberapa hari. Apa yang kudengar disepanjang jalan adalah hal ihwal pergerakan Ngawonggo Pati. Umumnya orang memujinya sebagai seorang pendekar besar yang sejati. Betapa gembiranya hatiku ketika mendengar hal ini. Aku terus berjalan akhirnya
sampailah ketenggara, dan untuk mencapai Pajang dimana pusat pergerakan
Ngawonggo Pati yang hanya beberapa kilo saja..... Ah... namun didunia ini perubahan luar biasa terjadi diluar dugaan siapapun juga. Demikianpun denganku. Coba kalau aku tak bertemu dengan mereka... maka aku telah menghadap kepada Ngawonogo Pati, untuk menyerahkan Tunggul Tirto Ayu ini...”
“Mereka?” Sela Candra Wulan. “Siapakah yang kau maksudkan dengan mereka itu kakang?”
“Mereka itu adalah paman-paman gurumu sembilan orang resi dari padepokan Indrakilo.” Jawab Mintaraga.
Candra Wulan menjadi heran.
“Mengapa mereka berada disana?” Tanyanya. “Mustahilkah mereka itu hendak menggabungkan diri dengan Ngawonggo Pati, untuk memberi bantuan kepada pendekar besar itu?”
Mintaraga tertawa. Ia ingat pertemuannya dengan resi Jlontrot Boyo di Karang Bolong dulu, dan iapun teringat akan perkataan sombong dari resi itu.
“Semua paman gurumu itu mempunyai cita-cita yang luar biasa sekali.” Jawabnya. “Kau tahu mereka itu hendak mencari daya upaya untuk merebut kursi kedudukan Ario Penangsang, hingga dengan demikian maka mereka akan dapat berhadapan langsung dengan Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan kalau cita-citanya ini berhasil maka merekalah yang akan menjadi raja. Akan tetapi mereka itu berpandangan sangat cupet sekali, mana dapat mereka itu dibandingkan dengan Ngawonggo Pati? Apakah ada maksud lain dari pada mencari Tunggul Tirto Ayu?”
Belum sempat Candra Wulan menjawab. Kembang Arum telah mendahuluinya. Kembang Arum ini mempunyai pikiran lain berkat kecerdasannya. Karena itu ia lalu bertanya :
“Kau telah bertempur dengan sembilan orang resi itu. Bagaimanakah caranya memecahkan barisan resi sakti itu?”
Mintaraga tertawa. Iapun mendahului Candra Wulan menjawab, sewaktu Candra Wulan sedang terheran-heran, gadis ini tak mengetahui mengapa Kembang Arum bertanya secara demikian.
“Apakah tidak dapat kau tak memotong ceritaku?” Tanya Mintaraga dengan sikap yang manis.
“Akan tetapi kau cerdik sekali. Kau mengetahui kalau aku telah bertempur dengannya, dan malahan kau mengetahui pula kalau aku telah menggempur dan merusak barisannya.”
Kembang Arum tertawa akan tetapi ia tak berkata apa-apa. Hanya ia berkata didalam hatinya :
‘Dengan melihat wajahmu saja aku telah dapat mengetahuinya. Apakah untuk itu aku harus menanyakan pula kepadamu??’ Mintaragapun tak menantikan jawaban Kembang Arum itu. Ia lalu
menyambung dengan kata-katanya :
Selama sebelum kita bertempur, mereka itu tetap menganggap enteng kepadaku. Mereka sedang menantikan seseorang. Menurut perkataan resi Giri Pragoto, mereka telah mencari orang itu selama tiga bulan. Sebaliknya orang itu pernah mengatakan kepada kita kalau ia akan mencari sembilan orang resi itu untuk diajaknya berkelahi. Untuk apakah itu kedua belah pihak saling cari-mencari? Inilah disebabkan karena TUNGGUL TIRTO AYU yang menjadi lambang dari kejayaan kerajaan Demak Bintoro. Maka dikedua belah pihak berada didalam kedudukan akan mengadu jiwa satu dengan lainnya. Karena itu, aku jadi dibiarkan saja berdiri disamping mereka... kalian tahu, bagaimana dengan orang yang dicari dan di tunggu-tunggu sembilan orang resi itu? Dia justru muncul pada kira-kira jam satu atau dua lohor. Dia datang dengan membawa aksinya Tahukah kau siapa dia itu?”
Wirapati dan Baskara memang tak mengetahui siapa adanjya orang itu, karena inilah mereka tak dapat menerka-nerka.
“Arya Panuju.” Jawab Candra Wulan dan Kembang Arum hampir serempak.
“Benar.” Jawab Mintaraga. “Dia memang Arya Panuju. Dulu dia mengatakan kalau Tunggul Tirto Ayu berada ditangan Sembilan orang resi dari Indrakilo, dia mengajakku bekerja sama untuk pergi kegunung Indrakilo untuk merampas itu akan tetapi sedikitpun juga aku tak mempercayai perkataannya itu, akan tetapi siapa yang menyangka kalau yang dikatakannya itu dulu benar semuanya. Jika mereka itu tidak lebih dahulu dirobohkan, kalau barisan sembilan resi sakti itu tak terlebih dahulu dihancurkan, dengan cara bagaimanakah Tunggul Tirto Ayu itu didapatkan??”
Sebenarnya runyam. Tunggul Tirto Ayu berada di Banten, dengan itu Arya Panuju ada hubungannya, Arya Panuju hendak mendapatkannya. Tapi untuk itu, sembilan orang resi sakti itu harus dirobohkan dulu. Bagaimanakah itu?
Candra Wulan menjadi tak sabar.
“Katakan... katakanlah terus !” Seru gadis ini mendesak Mintaraga.
Mintaraga kelihatan membuang napas untuk melegakan dadanya. “Seorang diri Arya Panuju telah bertempur dengan sembilan orang resi
itu.” Seru Mintaraga menyambung. “Karena itu kehebatannya ini dapatlah dibayangkan. Inilah sebuah pertandingan yang jarang sekali terjadi didunia kependekaran. ”
“Telah dapat diraba, kalau pihak paman gurukulah yang menang.” Seru Candra Wulan memotong. “Teranglah sudah kalau orang Banten itu bukan tandingan mereka ”
Mintaraga tertawa.
“Ah, kau mengatakan dengan secara berat sebelah.” Katanya. “Arya
Panuju itu mempunyai ilmu silat yang istimewa. Ah... sungguh diluar dugaan... Mulanya aku mengira, didalam hal pertandingan mereka itu, aku boleh menempatkan diriku diluar kalangan atau tak memihak kepada siapapun juga. Akan tetapi buktinya tak demikian. Mendadak saja resi Giri Pragoto dengan air mukanya yang muram, telah berkata :
“Bagus Arya Panuju. Akhirnya kita dapat bertemu satu dengan yang lainnya. Yang lebih kebetulan lagi ialah kedatangan Mintaraga ini, turunan langsung dari ki Darmakusuma ”
“Habis?” Potong Candra Wulan.
“Aku terkejut mendengar suara resi itu.” Jawab Mintaraga, yang melanjutkan. “Aku menganggap kedua pihak itu menduga bahwa aku mengandung maksud tersendiri, bahwa sebagai orang ketiga mungkin aku menantikan akhir pertarungan itu untuk mendapatkan Tunggul Tirto Ayu. Oleh karena itu aku mengetahui kekuatan kedua belah pihak, dan aku tak takut. Demikian aku lalu mengeluarkan Tunggul Tirto Ayu dan meletakkan diatas telapak tanganku. Aku percaya kalau melihat Tunggul Tirto Ayu ini maka mata mereka akan menjadi merah. Sungguh tak kusangka, begitu melihat Tunggul Tirto Ayu, kedua-duanya, yaitu sembilan orang resi dan Arya Panuju menjadi tertawa terbahak-bahak. Lalu mereka itu tak menghiraukan dan memandangnyapun tak sudi. Lalu dengan tertawa yang dibuat-buat resi Giri Pragoto berkata :
“Bocah cilik yang baik, benda apakah yang kau, pegangi? Manakah surat rahasia yang ayahmu tinggalkan kepadamu? Jika kau seorang laki-laki sejati maka keluarkanlah barang itu.”
Aku tahu kalau Tunggul Tirto Ayu yang berada ditanganku ini adalah sebuah Tunggul Tirto Ayu yang palsu, mendengar perkataan mereka itu aku menjadi mendongkol dan terheran-heran. Sewaktu aku berdiam diri Arya Panuju tertawa terbahak-bahak dan berkata kepada resi Giri Pragoto :
“Eh resi gila, kau akan kecewa, ketahuilah kalau peta mustikanya Mintaraga itu telah diserahkan kepadaku siang-siang.”
“Perkataan Arya Panuju ini seperti mengguyur sembilan orang resi sakti itu dengan air dingin.” Seru Mintaraga menyambung ceritanya. “Mereka itu kaget seperti mendengar guntur diatas batok kepalanya, semuanya menjadi bermuka pucat.
“Eh. Arya Panuju apakah kau berkata dengan sungguh-sungguh?” Resi
Giri Pragoto menegeskan kemudian. Mereka itu tak tahu kalau antara aku dengan Arya Panuju ini terdapat hubungan, kita telah berjual beli, tentu saja mereka itu kurang percaya kepada orang Banten itu. Akan tetapi aku, aku juga terkejut sekali. Aku ingat telah memberikan sesuatu barang kepada Arya Panuju. Itulah surat kulit kambing yang berwarna kuning dan tak
bertulisan, dan itu, menurutku, bukannya peta mustika, sewaktu aku heran.
Arya Panuju sambil tertawa berkata pula :
“Resi gila lebih baik kau mementang dulu matamu lebar-lebar setelah itu barulah aku memperlihatkan kepadamu barangnya. Akan tetapi lebih dahulu keluarkanlah kepunyaanmu.”
“Nyata sekali kalau Giri Pragoto tak puas ia lalu memperdengarkan suara ejekannya, ‘hem’ kemudian barulah ia berkata :
“Baiklah.” Ia lalu merogohkan tangannya kedalam saku bajunya, untuk mengeluarkan sebuah kotak kecil, yang dibungkus dengan kain kuning. Orang itu lalu membuka dengan perlahan-lahan. Bungkusan itu terdiri dari tiga lapis. Setelah itu barulah terlihat kotaknya, yang terbuat dari emas murni. Dibawah sinar matahari peti itu mengeluarkan cahaya yang gemerlapan. Ia rupa-rupanya khawatir kalau nanti Arya Panuju akan berlaku nekat dan merampas kotak itu ia lalu mengerdipkan mata kepada delapan orang saudara-saudaranya. Mereka itu lalu bergerak mengurung atau mendampingi kakaknya itu. Baru setelah itu ia membuka peti. Kembali Giri Pragoto berlaku sangat hati-hati sekali. Lalu orang itu mengeluarkan serupa barang, yang terus dibeber ditelapak tangannya. Kalian tahu, barang apakah itu? Tak lain adalah sebuah kertas dari kulit kambing yang berwarna kuning. Semuanya mirip dengan kertas kuning warisan ayahku, yang telah kuberikan kepada Arya Panuju. Ukuran, tebal dan bahannya semuanya sama.
Tentu saja ketika melihat hal ini aku menjadi heran. Aku benar-benar kecewa. Ketika aku memandang kearah Arya Panuju, kulihat wajahnya sangat gembira dan puas sekali. Ia mengangguk dengan perlahan. Iapun lalu merogoh kedalam saku bajunya, sambil berbuat demikian, ia lalu tertawa. Ia telah mengeluarkan kertas kuning dari kulit kambing persis dengan yang dipegang oleh resi Giri Pragoto. “Lihat Giri Pragoto, apakah aku telah menipumu atau tidak.” katanya.
Kesembilan orang resi itu kelihatan sangat keheran-heranan. Mereka memperdengarkan suara yang tak tegas. Lalu kelihatan pula kalau mereka itu menjadi kasak-kusuk. Kemudian Giri Pragoto menudingku, ia mendamprat :
“Hei... budak busuk! Dikolong langit ini yang begini besar, dimana ada banyak sekali manusianya, kalau berbicara dari hal tolol, maka kaulah orangnya yang paling TOLOL!”
Kulihat dengan tegas roman sembilan orang resi itu, mereka kelihatan gelisah dan matanya merah. Inilah tandanya kalau mereka itu mendongkol akan tetapi juga kagum sekali. Akupun masih belum mengetahui dengan benar-benar, kupandang mereka dan matakupun kubuka lebar-lebar.
Setelah itu resi Giri Pragoto berkata :
“Nah baiklah Arya. Panuju, mari kita mulai.” Ia lalu menghampiriku
dan menolak tubuhku ‘tolol’ dampratnya kepadaku.
“Lekas kau singkirkan benda hampa yang berada ditanganmu itu, setelah itu segeralah kau pulang ke Lawu untuk belajar beberapa tahun.”
Tentu saja aku tak senang dengan perlakuan mereka itu. Mereka itu separuh menghina bahkan sangat menghinaku. Kemudian aku berteriak dengan lantang :
“Aku menghadiahkan barangku kepada orang lain, itu adalah urusanku sendiri. Siapakah yang kesudian untuk kau campuri? Tidak aku tak akan pulang ke Lawu. Mungkinkah kau berani memaksaku? Hem!”
Ternyata jawabanku ini bukannya membuat sembilan orang resi itu marah, akan tetapi sebaliknya mereka itu malahan tertawa dengan terbahak- bahak tiada henti-hentinya, agaknya mereka itu girang luar biasa.
Untuk sejenak Mintaraga berhenti bercerita. Kemudian setelah menarik napas panjang barulah ia melanjutkan lagi.
“Resi Giri Pragoto masih tertawa ketika ia mengibaskan tangannya, untuk memberi tanda kepada kedelapan orang saudara-saudaranya dan serentak saja mereka bergerak, untuk bersiap. Inilah tandanya kalau mereka itu telah mengatur atau membentuk barisan sembilan resi sakti yang mereka andalkan. Lalu dengan mendahului yang lain-lain Giri Pragoto menyerang kepala Arya Panuju yang akan langsung dihancurkan.
Atas serangan yang tiba-tiba ini muka Arya Panuju menjadi berubah merah. Teranglah kalau orang Banten ini sangat mendongkol sekali. Sedikitpun Arya Panuju tak menangkis, hanya memperlihatkan kelincahannya yang terus berkelebat mengelak kearah timur laut. Adakah dengan sikapnya itu, ia hendak menyingkir dari pertempuran? Sama sekali tidak! Ia justru hendak membuktikan apa yang telah lama dipikirkannya, yaitu menggempur runtuh barisan resi sakti ini yang sangat diandalkan itu. Bukankah sekarang ini adalah ketika yang paling baik, dan sekarang ini mereka berhadapan. Dia menginsyafi kalau tanpa sebuah pertempuran mati- matian maka sulit untuknya menyapu bersih sisa-sisa malunya dulu itu.
“Tunggu.” Kembang Arum memotong. “Dengan cara bagaimanakah kau mengetahui kalau dulu Arya Panuju pernah roboh ditangan sembilan orang resi sakti itu?”
“Eyang guru yang memberitahukan itu kepadaku adi.” Jawab Mintaraga. “Ketika itu Arya Panuju datang ke Jawa Tengah, dia memang permulaannya telah berhasil memukul roboh kalang kabut sembilan orang resi itu. Karena itulah sembilan orang resi Indrakilo ini lalu ke padepokan dan menggembleng dirinya, dan menciptakan barisan sembilan resi sakti. Setelah itu ia lalu menantang Arya Panuju. Akan tetapi orang Banten ini tak mengetahui barisan sembilan resi sakti. Baru saja ia menyerang, segera saja Arya Panuju dapat dikurung.
Mereka bertempur belum lima puluh jurus, akan tetapi Arya Panuju
telah kena dikalahkan. Karena itu, kali ini ketika ia datang lagi ke Jawa Tengah maka mau tak mau haruslah bertempur lagi dengan Sembilan orang Resi Indrakilo itu. Untuk ini dia telah memikirkan sebuah daya upaya untuk menggempur barisan Sembilan Resi Sakti itu. Tahukah kalian apakah dayanya itu?”
“Siapakah yang mengetahui hal itu.” Seru Candra Wulan dengan lantang. “Teruslah kau ceritakan selanjutnya.”
Mintaraga tersenyum.
“Aku akan menjelaskan pertempuran itu.” Katanya. “Tak usah aku membuka rahasianya, karena kalian tentunya akan mengetahui sendiri. Setibanya Arya Panuju ditimur laut itu, mendadak saja ia mendapat serangan yang hebat. Inilah pukulan Gundala Kurda. Hal ini dikarenakan karena Giri Pragotopun telah melompat ketimur laut juga dan segera menyambut kedatangan Arya Panuju ini dengan serangannya. Sebenarnya Arya Panuju seperti dibokong, akan tetapi ia menyambut serangan itu dengan tertawa terbahak-bahak. Dia seperti telah menduga kalau akan ada serangan ini. Karena itulah ia tak mempedulikannya. Dengan sebuah jejakan kaki saja ia telah melompat mundur, untuk terus melompat kepojok tenggara. Hanya sekarang ia telah mempergunakan rantai besinya, yang seperti mendatangkan angin yang menderu-deru. Setibanya ditenggara itu dia hanya mengancam dan terus melompat kebelakang, tiba ditengah-tengah gelanggang. Setibanya disini kembalilah ia melompat kebarat daya.
“Giri Pragoto menjadi kecele akan sepak terjang lawannya ini. Dia sedikitpun tak diberi kesempatan untuk mengadu pukulan tangan, tentu saja hal ini membuatnya penasaran dan berulang-ulang ia memperdengarkan ejekannya : “Hem... hem...” bagaikan bayangan terus mengejar-kejar. Ia mencelat kemana saja Arya Panuju bergerak. Beberapa kali ia tertawa dingin dan mengatakan : “Bagus kepandaianmu... bagus kepandaianmu..... dan jika kau berani menyambut kepalan tanganku ini beberapa kali barulah aku takluk kepadamu.”
Atas tantangan ini Arya Panuju tertawa terbahak-bahak, “siapakah yang sudi kau perdayakan?” Katanya dengan mengejek. Jika kau benar-benar seorang laki-laki maka keluarkanlah kertas kuningmu itu karena hari ini adalah hari kekalahanmu. Ini sudah pasti.”
“Ketika itu aku tak mengerti apa maksud Arya Panuju. Dia sama sekali menyingkir dari bentrokan tangan tapi toh mengatakan kalau lawannya pasti akan kalah. Karena itulah aku lalu memasang mataku dengan tajam-tajam, kuikuti segala gerakannya. Ingin sekali kuketahui dengan cara bagaimana ia dapat memecahkan barisan Sembilan Resi Indrakilo ini ”
Baru saja Mintaraga bercerita sampai disitu kembali Candra Wulan memotong :
“Sebenarnya kertas kulit kambing yang berwarna kuning itu kertas
macam apakah?” Tanyanya. “Apakah tak boleh kalau kau menjelaskannya terlebih dahulu tentang kertas kuning kulit kambing itu??”
Memang Candra Wulan adalah seorang gadis yang kurang sabaran. “Besar sekali arti kertas kuning kulit kambing itu.” Jawab Mintaraga. “Jangan kau anggap kertas itu sama dengan kertas putih kosong yang
tak ada harganya sama sekali. Sebab didalam kulit itu tergambar sebuah peta, dan tanpa reramuan yang tepat maka gambar peta itu tak akan terlihat. Peta apakah itu?”
“Hem... itulah peta yang akan memberi petunjuk tempat simpanan harta serta cara membongkar harta simpanan itu. Harta itu kabarnya banyak sekali yang terdiri dari emas intan berlian yang harganya akan dapat untuk membeli kota Bintoro pusat kerajaan Demak. Sedangkan Tunggul Tirto Ayu yang ditinggalkan oleh leluhur kita itupun disimpan dalam peti harta itu juga.”
“Siapakah yang membawa Tunggul Tirto Ayu itu ke Banten?” Tanya Candra Wulan. “Apakah inipun ayahku pula yang membawanya kesana?”
Mintaraga menganggukkan kepalanya.
“Panjang untuk menceritakan itu.” Seru pemuda ini. “Tak lama lagi kaupun akan dapat mengetahuinya.”
Kembang Arum sangat tertarik dengan perihal pertempuran antara Arya Panuju dengan kesembilan orang resi sakti itu, karena itulah ketika ia bertanya maka yang ditanyakan adalah persoalan antara pertempuran antara kedua orang tokoh besar itu.
“Kakang Mintaraga.” Katanya. “Lebih baik kau ceritakan dulu tentang pertarungan hidup mati ini, menurut perasaanku sangat sederhana saja Arya Panuju memukul mereka ”
“Bagaimana maka kau dapat beranggapan demikian?” Tanya Mintaraga dengan tertawa.
“Dari caranya dia bertempur.” Jawab Kembang Arum. “Karena dia tidak menginginkan keras lawan keras, tentulah dia tak hendak memberi kesempatan kepada para resi itu untuk mengatur barisannya. Tidakkah dugaanku ini sangat tepat sekali?”
Mintaraga tertawa sambil menepuk pahanya.
“Kembang Arum, dasar kau cerdas sekali.” Pujinya. “Sedikitpun tak salah dugaanmu itu. Arya Panuju berlaku sangat lincah, dia bergerak ketimur, kebarat, selama itu tak pernah ia berkelahi dengan sungguh- sungguh, sebab dengan mengandalkan kelincahannya ia telah dapat membuat sembilan orang resi itu menjadi kalang kabut. Giri Pragoto telah mencoba memancing, dia hendak makan umpan. Karena ini, sampai sekian lama, sembilan orang resi itu, tak dapat mengatur barisannya. Barisan
sembilan orang resi sakti tidak dapat diatur, dengan sendirinya kesembilan
orang resi itu bukan tandingan Arya Panuju ”
“Itulah terang!” Candra Wulan campur bicara. “Sembilan resi itu terus bersatu mengepung kau, akan tetapi mereka masih dapat dikalahkan. Arya Panuju tak berbeda jauh dengan kepandaianmu, sembilan resi sakti itu pasti tak sanggup menempurnya.” Mendengar perkataan Candra Wulan, Wirapati yang menjadi kekasih gadis itu menjadi malu sendiri. Ia teringat kalau dalam menghadapi kesembilan resi itu dalam segebrak saja telah dapat dikalahkan.
Baskarapun sangat tertarik dengan cerita Mintaraga ini, karena itulah ia menjadi tak puas ketika cerita itu dipotong oleh Candra Wulan.
“Nona kecil, apakah tidak boleh kalau kau tak memotong cerita ki Mintaraga?” Tanyanya kepada Candra Wulan.
Belum lagi Candra Wulan menjawab, dan ketika gadis itu sedang tersenyum Mintaraga telah meneruskan perkataannya lagi untuk melanjutkan ceritanya :
“Sembilan orang resi Indrakilo ini menjagoi dunia kependekaran karena mereka mengandalkan barisannya.” Demikianlah seru Mintaraga yang meneruskan ceritanya. “Kalau membicarakan mereka itu semua, maka hanya Resi Giri Pragoto saja yang mempunyai kepandaian baik. Lainnya itu hanyalah mempunyai kelas menengah dan ringan saja.
Mengenai resi Giri Pragoto pastilah mengetahui benar-benar. Karena itu ketika melihat barisannya tak dapat diatur, ia menjadi bingung sekali, karena itulah ia lalu mencoba berulang-ulang. Akan tetapi Arya Panuju yang dipancing-pancing ini tetap saja tak mendapatkan hasil. Usaha resi-resi Indrakilo ini mengalami kegagalan total. Orang Banten itu tak mau memberikan dirinya dipancing, dia tetap saja dengan berkelahinya tadi, tak karuhan juntrungnya. Sebab hanya dengan jalan inilah ia dapat mengacau lawan, hingga tidak saja lawannya dapat mengatur barisan, malahan mereka itu repot karena harus menjaga diri. Karena kalau sedikit saja mereka itu kurang awas dan kurang gesit, maka rantai Arya Panuju akan dapat belajar kenal dengan mereka. Sedangkan kalau rantai itu mengenainya, maka entengnya dia bisa luka dan kemungkinan besar akan dapat binasa.”
“Secara demikian mereka bertempur dengan cepat, sepenanak nasi lamanya telah lewat.” Seru Mintaraga melanjutkan ceritanya. “Selama itu tetap saja resi-resi Indrakilo ini belum sempat mengatur barisannya. Disamping itu aku, penonton, aku telah mendusin sebab mengapa Arya Panuju mencegah mereka itu mengatur barisannya. Candra Wulan, paman- paman gurumu itu telah cukup banyak diturunkan derajatnya. Karena itulah sekarang telah pantas kalau kitapun hanya sedikit saja memujinya. Barisan Sembilan Resi Sakti ini sebenarnya hebat luar biasa, sekali saja barisan itu dapat diatur rapi dan musuh masuk kedalamnya, maka tak gampanglah musuh dapat meloloskan diri, untuk keluar dari situ. Mereka itu ada
sembilan maka artinya tangan mereka ini ada delapan belas, inipun berarti
kalau tenaga mereka itu besar sekali berlipat ganda. Maka untuk dapatnya memukul pecah barisan itu orang harus dapat memecahkan atau mengalahkan delapan belas tangan mereka. Sudah terang kalau Arya Panuju seorang dapat mengalahkan delapan belas tangan itu, dan inipun berarti resi- resi itu akan memperoleh kemenangan. Dia hars memaksa resi-resi itu bertempur satu lawan satu. Tak dapat ia memberikan ketika dirinya dikepung beramai-ramai. Begitulah akhirnya barisan ini tak dapat diatur.
Resi Giri Pragoto menjadi bertambah binggung, karena kebingungannya inilah maka lawannya dapat melihat kelemahannya yang tak sengaja diperlihatkan oleh Resi Giri Pragoto. Kelemahannya ini sering sekali dipakai lawannya untuk mendesak. Arya Panuju adalah seorang yang cerdik, selain ia tak mau menyambut serangan-serangan resi Giri Pragoto, begitupun yang lain-lainpun tak mau dihadapi lama-lama. Orang Banten ini memamg cerdik, kalau ia melayani seorang dalam lima jurus saja maka barisan kesembilan orang resi ini dapat diatur.
Mintaraga berhenti sejenak sebelum menyambungnya.
“Secara demikian mereka itu menjadi tak ada yang menang ataupun yang kalah.” Sambungnya untuk melanjutkan ceritanya itu. “Sebagai penonton aku menjadi hilang kegembiraannya. Hingga kupikir aku akan pergi saja karena pertandingan ini tak menarik perhatian. Hampir aku meninggalkan mereka, kalau saja aku tak teringat akan perkataan mereka tentang Tunggul Tirto Ayu. Aku lalu berpikir, apakah Tunggul Tirto Ayu yang berada ditanganku ini adalah sebuah 'Tunggul Tirto Ayu yang palsu. Bagaimanakah aku harus membuktikannya? Untuk itu aku harus bertanya kepada mereka. Untuk kepentingan inilah aku harus menonton terus.
Sementara itu aku melihat perubahan pada tata silat dari Arya Panuju. Ialah rantainya terus menyambar-nyambar, sedangkan tubuhnya sendiri berdiri tegak bagaikan sebuah tugu. Kini jago Banten ini tengah mengandalkan rantainya untuk menyerang keempat penjuru. Mungkin dia beranggapan, setelah berada didalam kedudukan yang seri, untuk memperoleh kemenangan, dia harus menyerang dengan hebat. Pula hanya dengan cara inilah ia akan dapat mendapatkan peta.
“Benar-benar dahsyat sekali tenaga Arya Panuju. Rantainyapun sering berbunyi gemerontang keras, hingga dapat mengejutkan hati orang. Kesembilan resi itu biasanya tak membawa senjata, karena itu kini terpaksalah mereka harus melayani rantai yang dahsyat itu hanya dengan tangan kosong. Inilah berat, akan tetapi diantara bayangan rantai itu, mereka dapat bergerak dengan cepat. Hanya beratnya bagi mereka itu, kini dia harus membela diri, tak dapat lagi mereka memikir untuk membentuk barisannya. Karena itulah tak mengherankan kalau mereka dengan cepat saja telah bermandikan peluh. Menyaksikan itu aku menjadi khawatir sekali. Hebat
kalau para resi itu harus celaka. Mereka bukannya manusia-manusia busuk.
Merekapun saudara-saudara seperguruan dari paman Surokoco. Bukankah tiga orang keluarga kita mempunyai hubungan dengan mereka, kecuali perkenalan biasa. Dalam segala hal. Arya Panuju hanya jujur. Karena itulah aku lalu turun tangan untuk menolong sembilan orang resi itu.
“Arya Panuju, jangan kau terlalu puas terlebih dahulu.” teriakku dengan lantang. “Lihat aku datang.”
“Sampai disitu waktu aku masih belum tahu kehebatan yang sebenarnya dari Barisan Sembilan Resi Sakti. Aku lalu menghunus pedangku dan melompat menceburkan diri didalam gelanggang. Dengan sebuah jurus ilmu pedangku maka aku menusuk dada orang Banten itu.
“Arya Panuju menjadi sangat kaget, hingga dengan demikian maka wajahnya menjadi berubah. Melihat sikapnya mendengar suaranya, dia bukan kaget karena tikamanku itu.
“Lekas mundur lekas!” Serunya. “Lekas mundur! Jangan ikut campur urusan lain.” Serunya dengan berulang-ulang untuk mencegahku.
Akan tetapi aku tak menghiraukan suaranya.
“Asal kau mau berhenti, maka akupun akan mengundurkan diri.” Teriakku dengan lantang.
Arya Panuju membebaskan seranganku dengan jalan mengelak, setelah itu ia lalu menarik napas dalam-dalam. Akan tetapi seranganku ini bertubi- tubi, karena itulah orang Banten ini terpaksa melayani untuk menolong dirinya. Selang lima jurus kemudian berhentilah ia dari permainannya. Lalu katanya :
“Akhirnya.... akhirnya kita berdua harus bekerja sama untuk menggempur sembilan orang resi Indrakilo ini. Baru-baru ini aku mengajakmu, akan tetapi kau menampik. Akan tetapi sekarang tak kuundang kau datang sendiri. Huahaaaa... Huahaaa... Huaha...!”
“Mendengar ini aku menjadi heran bukan main. Ketika aku berpaling, tampaklah kalau Resi Giri Pragoto berdiri disampingku, wajahnya puas dan gembira sekali. Aku terperanjat.
Cerdik dan sebat sekali resi ini, disaat aku menggempur Arya Panuju, ia telah menggunakan ketika untuk mempersiapkan diri, untuk mengatur barisannya yang tersohor itu. Mereka mengambil sikap mengurung, resi Giri Pragoto berada ditengah-tengah.
Sungguh diluar sepengetahuanku kalau aku dan Arya Panuju telah terkurung rapat-rapat. Biarpun demikian sedikitpun aku tak merasa takut. Pertama karena kesembilan orang resi itu tak bermusuhan denganku, keduanya aku tahu dengan baik kepandaian mereka. Tidak demikian dengan Arya Panuju, dia merasa tegang dengan sendirinya. Mungkin hatinya sangat cemas, hanya ia dapat mengendalikan diri untuk tak mengatakan sesuatu.....
“Tentang barisan mereka itu pernah aku menyaksikan sendiri.” Seru
Kembang Arum. “Ketika baru-baru ini aku mendaki gunung Indrakilo, aku telah melihat mereka tengah berlatih. Resi Giri Pragoto benar-benar bangga dengan barisannya itu, karenanyalah ia menjadi sangat sombong. Bahkan dia lalu memberi tahu kepadaku. Eh Kembang Arum sangat baik sekali kalau apa yang kau saksikan sekarang ini kau beritahukan kepada Mintaraga. Dan suruhlah ia berlatih dengan sungguh-sungguh sebelum menghadapi kami.”
“Begitu?” Tanya Mintaraga. “Bagaimanakah barisannya?” kembali pemuda ini bertanya.
Kembang Arum berdiam sejenak, barulah ia mematahkan sebatang cabang pohon. Dengan cabang itulah ia lalu menggurat-gurat diatas tanah, membuat dua buah lingkaran yang satu besar dan yang lain kecil. Yang kecil itu berada disebelah dalam yang besar sambil menggurat Kembang Arum memberi tahukan keterangannya.
“Barisan Sembilan Resi Sakti itu berdasarkan gerak langkah dan gerak penjuru mata angin. Kalau saja Giri Pragoto berada dilingkaran tengah ia memperdengarkan suaranya, maka delapan orang saudara-saudara seperguruan lainnya segera menempati perintah yang diberikan oleh resi Giri Pragoto. Kalau aku tak keliru ingat maka kedudukan yang penting adalah kedudukan yang berada ditengah, pusat kediaman resi Giri Pragoto. Kedudukan yang kuat untuk kedua adalah yang empat penjuru, yang ketiga adalah keempat pojok. Sekali bergerak mereka dapat berputaran dan saling hubung menghubungi satu dengan lainnya. Dimana sembilan orang resi itu merupakan sebuah tenaga, maka tak mengherankan kalau mereka menjadi tangguh sekali. Diwaktu berlatih itu, aku melihat resi Giri Pragoto memeluk sebuah balok, yang diumpamakan sebagai musuh oleh delapan orang resi lainnya. Dan dengan bergiliran mereka lalu menerjang kearah balok itu. Setiap kali menyerang orang lalu mundur, gerakan mereka itu amat hebat sekali. Berisiklah suara balok dihajar dengan bergantian itu. Lalu beberapa putaran kemudian balok itu telah hancur tidak karuhan macamnya.”
Kembang Arum berhenti sejenak, setelah menarik napas panjang lalu meneruskan kembali :
“Resi Giri Pragoto berada dilingkaran timur, juga memegang sebuah balok besar yang sama besarnya.” Kata Kembang Arum. “Resi-resi yang lainpun segera menyerang lagi, mereka menyerang seperti tadi. Balok kedua inipun segera hancur, bahkan lebih cepat dari pada yang pertama. Latihan semacam ini terus menerus diulangi selama itu aku terus memandang mereka. Menurut pendapatku, Barisan Sembilan Resi Sakti dari Indrakilo ini ada bagusnya akan tetapi ada pula kekurangannya ”
“Bagaimanakah itu?” Tanya Mintaraga.
“Baiknya mereka itu bergabung menjadi satu, karena itulah tenaga mereka menjadi besar dan luar biasa.” Seru Kembang Arum menegaskan.
“Cacatnya ialah pada pengaturan barisannya. Resi Giri Pragoto diam
ditengah-tengah, dia menjadi pusat dari segala macam gerakan. Asal Giri Pragoto memberi tanda, delapan orang kawannya segera bergerak, cepat bagaikan terbang mereka itu mengambil tempatnya masing-masing. Coba resi Giri Pragoto tak berhasil memernahkan diri, delapan orang kawannya itu akan bagaikan ular tanpa kepala. Barisan mereka itu tak dapat diatur Arya Panuju mengetahui akan kelemahannya ini, karena itulah ia lalu menyerang terus menerus kepada resi Giri Pragoto. Hingga dengan demikian orang pertama dari resi Indrakilo ini menjadi kacau kedudukannya, tak dapat ia berdiam diri ditengah-tengah. Diluar dari itu, cara menyerangnyapun tak sempurna. Musuhpun tak seperti balok yang mudah diserang dengan sedemikian hebatnya. Coba katakan kakang Mintaraga, benar atau salah perkataanku ini?”
Mintaraga tertawa.
“Ternyata kau terlalu memandang rendah kepada para resi dari Indrakilo itu.” Seru Mintaraga dengan tersenyum. “Kekurangan atau cacat yang kau sebutkan itu justru adalah bagiannya yang bagus...”
Kembang Arum terheran-heran.
“Bagaimanakah bisa terjadi demikian?” Tanya gadis itu dengan cepat. “Luar biasa sekali cara mereka itu mengatur barisan.” Jawab Mintarga
dengan tenang. “Jika kau tak menginsyafi benar-benar apa arti barisan itu jangan sembarangan saja kau menyerangnya. Sebab banyak kemungkinan kau akan tertipu....
Kembang Arum benar-benar menjadi heran. Mengapakah kakang Mintaraga ini menyebut barisan itu sedemikian hebatnya? Ia lalu berpikir.
‘Toh... aku telah menyaksikan sendiri ketika mereka itu berlatih. Mungkinkah mataku kabur??’ Akan tetapi aku tak sempat berpikir lebih lama. Mintaraga telah berkata pula.
Kakang Mintaraga itupun telah berkata pula.
“Kalau menurut pendapatku, semua barisan besar dikolong langit ini, tidak ada sebuahpun yang melebihi barisan Indrakilo ini. Hanya sayangnya barisan mereka ini kurang latihan tenaga dalamnya, kalau tidak, maka bolehlah mereka itu menjagoi, sukar untuk mencari tandingan mereka.”
Kembang Arum heran dan sangat penasaran sekali setelah mendengar keterangan ini.
“Kalau begitu.” Katanya. “Kau pasti roboh ditangan sembilan orang resi itu. Juga demikian dengan Arya Panuju, sebab tak dapat disangsikan lagi kalau kau roboh maka diapun roboh pula. Bukankah demikian kakang?”
Mintaraga tertawa.
“Itulah tidak adi.” Jawabnya. “Akan tetapi bolehlah dikatakan seperti kau tadi, jika eyang tak muncul dengan secara tiba-tiba ”
“Oh... eyang gurupun datang?” Sela Candra Wulan. “Asal eyang guru
turun tangan, sekali saja, sangat mengherankan sekali kalau paman-paman guruku tidak segera roboh!”
“Eh, apakah tidak boleh jika kalian tidak main duga-duga tidak karuhan ini?” Seru Mintaraga sambil memandang kearah dua orang gadis itu. “Baiknya kau mendengarkan apa saja yang kuceritakan dengan perlahan- lahan...”
Sewaktu kedua orang gadis itu terdiam diri dan memandang tajam- tajam kepadanya. Mintaraga mengawasi kedua lingkaran buatan Kembang Arum, pikirannya terus diputar.
“Arya Panuju telah mempergunakan waktunya sepuluh tahun untuk memikirkan pemecahan dari barisan Indrakilo ini, dan masih tak mendapatkan sebuah cara yang sempurna untuk memecahkannya.” Mintaraga melanjutkan ceritanya. “Oleh karena itu dia lalu mengambil sebuah cara dengan yang terakhir yaitu membuat cara dengan resi itu tak dapat membuat barisannya. Tentu saja tak kurang sulitnya untuk tidak mengijinkan mereka membangun barisan mereka. Demikianlah dia sengaja membuat rantainya mengeluarkan suara yang gemerisik. Dilain pihak, dengan cara demikian, dia hendak mencegah ada orang mengadu biru dalam pertarungan itu. Sebab asal ada orang yang melihat padanya, pasti sudah Barisan Sembilan Resi Sakti akan dapat diatur dengan sempurna.”
Mintaraga lalu menunjuk kearah lingkaran dengan tangannya.
“Yang disebut jurus empat dan pojok empat dibagian tengah, ini adalah nama untuk membeda-bedakan kedudukan.” Katanya pula. “Semua resi itu telah melatih diri, tidak heran jika mereka ingat dan kenal baik masing- masing kedudukan itu, misalnya salah seorang resi saja yang mendesak Arya Panuju, atau melibatnya, dalam waktu tiga atau empat jurus saja resi-resi yang lainnya itupun telah dapat disusun. Jika perlu salah seorang resi akan dapat menggantikan tempat kawannya. Demikianlah, misalnya aku tidak mengacau dia, masih ada soal yaitu dapat atau tidak para resi itu mengatur barisannya.
Sampai disitu barulah Kembang Arum mengerti.
“Akan tetapi kakang, masih ada sebuah persoalan.” Katanya dengan nada yang masih penasaran.
“Apakah itu adi?” Tanya pemuda itu.
“Misalkan kita bertempur dengan Resi Kendil Wesi, seandainya kau melawannya dengan sepenuh tenaga, dalam berapa juruskah dia itu dapat bertahan?” Tanya Kembang Arum itu.
Mintaraga menjadi tercengang atas pertanyaan itu. “Inilah aku tak tahu adi.” Jawabnya dengan ragu-ragu. Candra Wulan lalu datang memisah.
“Resi Kendil Wesi adalah lawanku yang paling lemah.” Katanya.
“Menurut pendapatku dia tak akan sanggup melawan dari lima jurus. Misalkan saja kau mempergunakan ilmu pukulan Braholo Meta, aku yakin kalau kakang Mintaraga akan dapat memukulnya roboh dalam sejurus saja ”
“Setuju sekali.” Seru Kembang Arum. “Kakang Mintaraga aku akan bertanya. Andaikan kau tak menghendaki sembilan orang resi itu dapat mengatur barisannya lagi, dengan sejurus saja kau akan dapat merabohkan Kendil Wesi, dengan demikian masih dapatkah barisan Sembilan Resi Indrakilo ini dibangun kembali?”
“Baiklah kau ketahui adik-adikku.” Katanya. “Siapapun juga didalam rimba persilatan ini tak akan ada yang dapat merobohkannya hanya dalam waktu segebrak saja.
Dengan adanya jawaban ini maka Kembang Arum terdiam, akan tetapi tak demikian dengan Candra Wulan. Kali ini Candra Wulanlah yang tak puas. Ia segera memperlihatkan mulutnya yang dimoncongkan.
“Apakali dengan perkataanmu ini termasuk pula eyang guru?”
“Pasti.” Jawab Mintaraga tanpa bersangsi lagi. Seakan-akan pemuda ini telah yakin akan kebenaran perkataannya.
“Ah... aku tak percaya.” Seru Candra Wulan sambil menggelengkan kepalanya.
“Adi Candra Wulan, kau dapatlah kukatakan kalau hanya tahu satu akan tetapi tak tahu dua.” Seru Mintaraga. “Kau belum tahu kalau sembilan orang resi dari Indrakilo ini telah meyakinkan sebuah ilmu yang aneh atau katakanlah ajaib. Nama ilmu itu tak hebat, tak segarang nama Sasra Birawa, Cambuk Api, ataupun Bledek Mengampar, melainkan hanya ‘Weduk’. Inilah sebuah ilmu yang membuat badan menjadi atos datan tedas tapak paluning pande sisaning gurendo. Artinya badan mereka kebal dari segala macam pukulan. Kalau resi ini telah mempergunakan ilmu yang disebutnya weduk, maka ia tak akan takut kepada eyang guru kita. Dan kalau hanya dipukul dua, atau tiga kali belumlah roboh. ”
Mendengar keterangan Mintaraga kalau resi-resi dari Indrakilo ini telah meyakinkan sebuah ilmu yang membuat dirinya kuat untuk dipukul maka mereka tertawa dengan terbahak-bahak.
“Kami orang-orang yang melakukan pencopetan kalau kepergok dan tertangkap, barulah dipukuli.” Kata Baskara dengan tertawa. “Kalau begini, maka kelihatannya aku harus pergi ke Indrakilo dan minta kepada para resi itu supaya mau menurunkan ilmu yang disebut Weduk itu, supaya kalau aku ketangkap maka tak akan ada orang yang mampu menggebukku.”
Candra Wulan dan Kembang Arum tersenyum ketika mendengar kelakar dari Baskara ini, memang lucu sekali si setan tangan panjang atau Hasto Piguno ini.
“Karena itu.” Mintaraga lalu melanjutkan ceritanya. “Untuk dapat
mengalahkan sembilan orang resi itu, mereka tak boleh membangun barisannya lagi. Dan kalau kita melarangnya kita harus bertempur dengan hebat melawannya. Supaya kita jangan sampai kena libat.”
Arya Panuju mengetahui rahasia ini, karena itu, walaupun caranya tak sempurna, cara itupun baik. Inilah cara satu-satunya. Diluar dugaannya aku telah menggempur dengan tangan tanpa setahu mereka karena aku telah menyelip diantaranya. Hingga dengan demikian maka aku telah memberi ketika kepada para resi itu untuk mengatur barisannya. Dan ini berarti kalau sebuah pertempuran dahsyat akan segera terjadi.”
Mintaraga berhenti sebentar.
“Pertama kalinya aku benar-benar tak menginsyafi.” Katanya meneruskan. “Secara sembarangan saja aku lolos dari kurungan, kupikir kalau ini benar maka aku akan dapat bermain dengan sesuka hati saja. Datang aku segera datang dan kalau ingin pergi maka aku akan segera pergi. Dapatkah mereka itu mencegah kehendakku? Begitu dengan kedua tanganku ini kupakai untuk melindungi tubuh, aku melompat kearah resi Giri Pragoto. Tiba-tiba saja sebuah serangan tiba-tiba dimukaku. Ini lah serangan dari resi Giri Pragoto. Aku menuju ketimur, akan tetapi dihadapanku telah berdiri resi itu lagi. Namun aku tak ingin melukainya. Karena itu aku hanya mengeluarkan lima bagian tenagaku saja.
Diluar dugaanku, dia terus saja berseru :
“Turun tangan!”
Setelah berkata demikian resi Giri Pragoto itu lalu menyambut tanganku dengan keras lawan keras. Hampir bersama dengan itu, aku merasakan suara angin didepan dan belakangku, dikiri dan kanan. Ada sepuluh buah tangan yang menyerangku.
“Telah dapat dipastikan kalau aku menjadi kaget dan heran sekali. Terlebih-lebih setelah kuketahui kalau serangan-serangan mereka tadi semuanya telah mempergunakan ilmu pukulan Gundala Kurda. Sebagian ada yang menyerang dada, ulu hati dan kepala. Aku tak dapat kalau hanya melayani resi Giri Pragoto seorang. Karena itu untuk membebaskan diri, aku lalu melompat tinggi-tinggi.
“Benar-benar gesit sekali para resi itu, setelah menyerang dengan tanpa hasil maka mereka lalu mundur kembali, mereka kembali kekedudukannya masing-masing. Aku tak punya kepandaian seperti burung yang dapat terbang bebas diudara, dan ketika tubuhku melayang turun, kembalilah ketengah-tengah kurungan.
Masih tetap saja aku belum menyadari kalau barisan itu adalah sebuah barisan yang sangat hebat, selain itu akupun tak mempunyai maksud untuk mengadu jiwa dengan sembilan orang resi itu. Karena inilah aku lalu berteriak :
“Bagus sekali, kalian membalas kebaikan dengan kejahatan. Aku telah
menolongmu akan tetapi kalian telah menyerangku.”
Perkataanku ini benar-benar menyadarkan mereka, semuanya segera berseru dengan kaget. Seketika itu juga semuanya meninggalkanku untuk mengejar Arya Panuju. Sebab sewaktu mereka itu mengeroyokku, Arya Panuju telah mempergunakan waktu itu untuk lolos pergi keluar dari kalangan barisan resi Indrakilo ini. Tanpa bersuara lagi orang Banten itu menuju kebarat...
“Dia kabur, pertempuran tentunya berhenti!” Seru Candra Wulan. “Jangan kau tak sabaran adi Candra Wulan.” Seru Mintaraga dengan
tertawa. “Kau dengarlah aku akan menceritakannya dengan jelas dan terang. Arya Panuju memang menyingkirkan diri akan tetapi dia masih ingat akan kehormatannya, dia pergi menyingkir dengan tenang perlahan dan tindakannya lebar. Tentu saja karena inilah dia dapat disusul dengan sembilan orang resi itu.
“Eh... Arya Panuju.” Resi Giri Pragoto segera berteriak. “Masihkah kau akan menyebut dirimu sebagai orang terkuat didunia kependekaran ini? Hem... setelah kau tak dapat melayani kami maka kau akan menggeloyor pergi sambil menggoyangkan ekor saja.”
“Dihina dengan demikian maka Arya Panuju lalu menghentikan langkahnya.”
“Habis kau mau apa?” Tanyanya dengan sedikit memiringkan kepalanya.
“Bukankah kita telah berjanji?” Seru Resi Giri Pragoto. “Bukankah kita telah berjanji, siapa yang kalah dia akan menyerahkan peta? Misalnya kau menyerah kalah, maka kau harus menyerahkan petamu, setelah itu barulah kami memberi ampun kepadamu.”
Muka Arya Panuju menjadi merah. Rupa-rupanya dia merasa sangat terhina sekali.
“Siapakah yang takut kepadamu?” Jawab Arya Panuju dengan membentak.
“Kau tak takut?” Balas Giri Pragoto dengan tertawa dingin. “Nah mengapa kau mengangkat kaki untuk meninggalkan kami?”
Arya Panuju paling menghargai harga dirinya, karena itu setelah mendengar penghinaan yang sedemikian hebatnya maka darahnya menjadi mendidih sekali... Dia memang mempunyai muka yang hitam, akan tetapi karena marahnya, warna kulit mukanya bercampur dengan warna merah, hingga wajahnya menjadi tak sedap dipandang mata.
Dengan menerbitkan suara berisik dia telah menarik keluar rantainya, dan segera diputar. Terus menyerang kepada resi Putut Tejowantah yang berada disampingnya.
“Kelihatannya Putut Tejowantah menjadi kaget bercampur girang sekali.
Dia segera mengulur kedua tangannya, terang sekali kalau dia berniat untuk menangkap rantai, untuk dipegang. Akan tetapi ia kalah tenaga, mana berhasil? Tatkala Arya Panuju bergerak terus, dia menarik kembali rantainya itu, bersama dengan tangan kirinya melayang, tepat mengenai pundak resi Tejowantah, pundak kanan.
Arya Panuju mengira kalau dalam dua atau tiga gebrak ia akan dapat mengalahkan resi Putut Tejowantah, bahkan orang Banten inipun mengira kalau salah seorang resi ini dapat dikalahkan maka barisan Sembilan Resi Sakti ini tak akan dapat dipergunakan lagi. Namun dia sedikitpun tak mengetahui kalau sembilan orang resi dari pertapaan Indrakilo ini mempunyai keistimewaan tubuh, ialah tubuh yang dapat menahan gebukan, yaitu ilmu weduk. Dia tertawa setelah serangannya itu berhasil. Sebelah tangan resi Tejowantah segera menjadi semper. Lemas tak berdaya, sebab tangan itu telah lepas dari sambungannya. Karena itu Arya Panuju telah mempunyai anggapan kalau dia telah menang. Karena inilah ia menjadi heran sekali setelah mengetahui kalau resi yang terluka ini terus saja mengambil kedudukannya lagi, disebelah barat. Sedangkan ditengah-tengah resi Giri Pragoto telah mengeluarkan suara tawanya yang sangat mengejek sekali. Setelah mereka itu dapat mengatur barisannya maka resi-resi ini percaya tak akan ada orang yang dapat lolos dari kurungannya, walaupun misalnya orang itu mempunyai sayap dan dapat terbang.
“Arya Panuju.” kata Giri Pragoto, yang masih tetap tertawa dingin. “Jika kau kenal selatan maka segeralah kau letakkan petamu. Lekas serahkan dan tak usah kita bertempur jauh lagi.”
Wajah Arya Panuju berubah, tanpa berkata apa-apa, ia menyerang keselatan dikedudukan Bondowoso, sedangkan tangan kirinya menyerang kearah resi Giri Pragoto.
“Bergerak.” Seru Resi Giri Pragoto sambil mengelakkan diri menolong dirinya sendiri dari ancaman bahaya.
“Bondowosopun telah dapat menghindarkan diri dari mara bahaya yang sedang mengancamnya itu.
Sekali Resi Giri Pragoto menyerang, lalu segera ia mundur pula. Sebab ini telah menjadikan kebiasaan dari para resi itu, setelah menyerang berhasil atau tidak mereka segera mundur kembali kepada kedudukahnya masing- masing. Diantara mereka itu, resi Giri Pragotolah yang paling banyak melakukan penyerangan-penyerangan. Sedangkan delapan orang saudaranya itu hanya banyak mengurung saja. Setiap ada ketika barulah mereka itu menyerang dengan secara bergantian. Cepat sekali gerakan mereka masing-masing ini. Inilah justru keistimewaan dari barisan mereka.
Arya Panuju adalah salah seorang sakti dijaman ini, akan tetapi ia tetap tak akan sanggup mengalahkan musuhnya, walaupun hanya scorang saja, Ia
memang sanggup melukai seorang lawan, namun ini tak memberi arti apa-
apa bagi penyerangannya. Terutama sekali bagi rusaknya barisan para resi itu. Dia tetap saja terkurung. Sampai waktu itu barulah aku menginsyafi akan kehebatan barisan Resi Sakti. Karena inilah aku menjadi harus sangat berhati-hati sekali. Sewaktu di Karang Bolong memang aku pernah menjatuhkannya, dan aku merasa bangga sekali, karena inilah maka aku menganggap diriku ini luar biasa, maka tanpa berpikir lagi aku lalu menerima baik tantangan mereka untuk memukul hancur barisan Resi Sakti itu.” Seru Mintaraga sambil menghela napas.
“Coba aku tak menyusul paman eyang guru Pendeta Baudenda, hanya aku langsung pergi ke Indrakilo, tak dapat pasti tidak aku tentu roboh ditangan mereka itu.”
Tertariklah hati mereka setelah mendengar cerita Mintaraga ini. “Kakang Mintaraga bagaimanakah kemudian?” Tanya Candra Wulan
yang tak sabaran. “Lekas kau lanjutkan keteranganmu, jangan menarik napas terus menerus !”
Kembali terdengar Mintaraga tertawa dengan bebas dan lepas. “Kemudian terang Arya Panuju yang roboh.” Jawabnya. “Dia roboh
secara luar biasa sekali. Arya Panuju roboh disaat dia hampir merebut kemenangan.”
“Benarkah itu?” Kembang Arum memotong. “Benarkah didunia ini ada kejadian yang demikian.”
Arya Panuju telah melayani sembilan orang resi itu kurang lebih sepenanak nasi lamanya.” Seru Mintaraga melanjutkan ceritanya dengan tak menjawab pertanyaan kekasihnya itu. “dia mengelak kekanan dan miring kekiri, tampak sekali kalau dia itu sangat payah, akan tetapi disamping itu gerakan kakinya tak kacau dan sambaran rantainya menerbitkan suara angin keras. Dengan tangan kirinya diapun dapat menutup dirinya dengan baik. Dia itu sendirian saja, dia masuk kedalam barisannya, namun Arya Panuju tak menginsyafi tak dapat melakukan penyerangan. Karena itu dia lebih banyak membela diri, orang Banten ini terus bersiap sedia menangkis serangan-serangan sembilan orang resi itu dengan secara bergantian.
Dia mungkin percaya penuh, dengan tenaga dalamnya yang sempurna, dengan bertempur lama, sembilan orang resi itu bakal lelah dengan sendirinya. Makin lama dia makin ulet. Dia percaya betul bahwa kemenangan terakhir bakal menjadi bagiannya.”
“Itu betul... betul sekali.” Seru Candra Wulan. “Itulah cara bertempur yang paling hebat. Hanya mengapa dia akhirnya roboh?”
Kembang Arum sebaliknya menggelengkan kepalanya.
“Menurut perkataan orang-orang tua, penyerangan adalah pembelaan diri yang paling sempurna.” Kata Kembang Arum. “Didalam dunia ini tak
ada orang yang kuat berkelahi dengan secara lama sekali kalau hanya
bertahan saja.”
Mintaraga tertawa terhadap kedua orang gadis itu.
“Perkataanmu berdua.” Katanya. “Walaupun berbeda akan tetapi kedua-duanya benar. Ya adi Candra Wulan kau berkata benar, dan juga adi Kembang Arum.”
Wirapati menjadi heran sekali.
“Eh. apakah arti perkataanmu ini?” Ia menegaskan.
“Marilah kita pandang cara bertempur yang diambil oleh Arya Panuju.” Kata Mintaraga. “Jika dia terus membela diri, dia akan memperoleh kemenangan yang bagus. Hanya tak beruntung untuknya, sesudah membela diri sekian lama, mendadak saja ia mengubah sikapnya, dia lalu menyerang. Karenanyalah ia segera dapat dirobohkan.”
Wirapati terus mengawasi anak muda itu, begitu pula dengan Kembang Arum dan Candra Wulan. Mereka semua ingin mendengar apa yang dikatakan oleh anak muda itu.
“Bukankah kalian semua merasa aneh sekali?” Seru Mintaraga, menegaskan. “Maka kalian dengarlah aku menuturkan tentang robohnya itu. Dia telah membela diri dengan demikian lamanya. Jika dia melanjutkan sikapnya itu, tak nanti dia dapat roboh dengan sedemikian menyedihkannya. Mungkin sekali mendadak dia kehilangan kesabaran atau tiba-tiba dia dapat melihat titik lemah dari lawannya. Dengan sekonyong-konyong dia bersiul panjang, rantainya menyambar, dengan cara inilah Arya Panuju membuat lawannya yang kiri, Giri Pragoto harus mundur. Dia mendesak, menyerang dengan tangan kosong. Resi Giri Pragoto menangkis. Hingga dengan demikian maka kedua tangan itu bentrok dengan keras, keduanya sama-sama mundur, mundur satu tindak. Justru pada waktu itu Giri Pragoto telah berada dibelakang Arya Panuju, sebab inilah akibat dari perubahan dalam barisan sembilan resi Indrakilo ini. Sedangkan Resi Jlontrot Boyo tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini. Dia lalu melompat masuk kedalam gelanggang bersama dengan resi Giri Pragoto terus saja mereka
menepuk belakang Arya Panuju.
Sudah kujelaskan kalau Arya Panuju baru saja bentrok dengan resi Giri Pragoto, hingga mereka sama-sama mundur selangkah. Sewaktu resi Jlontrot Boyo melompat Arya Panuju mendengar suara angin dibelakangnya, karena itu hatinya segera tercekat. Menurut Resi Jlontrot Boyo ini adalah kesempatan baik untuk mengalahkan lawannya, akan tetapi demikian juga dengan Arya Panuju, ia percaya kalau akan dapat mengalahkan Resi Jlontrot Boyo ini hanya dengan segebrak saja. Orang Banten ini terlalu percaya kalau orang kedua dari resi-resi Indrakilo ini roboh maka barisan Resi Sakti Indrakilo inipun akan bubar dengan sendirinya, sebab mereka akan kekurangan seorang tenaga yang penting.
Karena itulah dengan kesebatan yang luar biasa ia membalikkan
tangannya. Dia bergerak dengan mengarahkan semua tenaga dalannya. Dia telah menyerang dengan jurus Garuda Emas. Karena inilah kembali terdengar bentrokan. Sebab tangan resi Jlontrot Boyo, yang baru saja diulur separuh, segera kena ditangkis dengan hebat......
*
* *
Mintaraga hanya berhenti sejenak saja. Segera pemuda itu meneruskan ceritanya.
“Hebat sekali serangan Arya Panuju itu. Tubuh Resi Jlontrot Boyo terpukul mundur dengan terpental, ketika ia roboh ditanah, ia terbanting keras. Ia memang mempunyai kekuatan tubuh yang berdasarkan kebal dari ilmu WEDUK itu, namun tak dapatlah menolong. Aku berada diantara mereka, aku dapat menyaksikan dengan jelas sekali. Maka aku percaya Sembilan Barisan Resi Sakti ini akan dapat dipukul pecah. Akan tetapi kejadian ini benar-benar berada diluar dugaanku, sebab robohnya orang kedua dari padepokan Indrakilo ini tak menjadikan halangan bagi mereka, sebaliknya mereka itu lalu melekaskan tamatnya pertarungan. Sekonyong- konyong saja resi Giri Pragoto berseru dengan keras, terus saja orang pertama dari Indrakilo ini menyerang dengan kedua tangannya yang telah dibuka. Setelah gerakan saudara tuanya ini, maka tujuh orang resi-resi lainnyapun segera meluruk dengan segera, empat belas tangan mereka turun dengan serempak, membantu kedua tangan kakak seperguruan mereka yang tertua.
Arya Panuju melengak, dia berseru, lalu ia menjadi repot sekali setelah melayani banyak tangan-tangan dari para lawannya itu. Karena dia telah terdesak maka sulitlah dia untuk memukul mundur delapan orang resi itu, tak peduli dia hebat dalam hal tenaga dalam. Segera juga terdengar bak buk bak buk saling susul menyusul, sebab tubuh Arya Panuju terhajar oleh enam orang resi-resi itu. Semuanya menyerang dengan mempergunakan ilmu pukulan Gundala Kurda....
Kembali Mintaraga berhenti sejenak, ia bernapas untuk melegakan hatinya. Dilain pihak kawan-kiawannya seperti menahan napas.
“Memang serangan Arya Panuju kepada resi Jlontrot Boyo hebat sekali.” Kembali pemuda itu melanjutkan ceritanya. “Coba dia bersiap terus mungkin barisan resi sakti ini akan pecah. Tanpa penyerangan terlebih jauh. Sayang tenaga dalamnya, bagaimanapun juga masih belum sempurna betul- betul. Arya Panuju terdesak dan digempur sedemikian rupa akan tetapi tak sempat memperbaiki diri. Dia terdesak dengan hebat dan merasakan serangan yang berulang-ulang. Inilah yang dikatakan dia roboh diambang
kemenangannya. Dia roboh lemas. Untuk sekian lamanya orang Banten itu
tak dapat merayap bangun. Resi Giri Pragoto setelah melihat kalau pertempuran telah selesai lalu membubarkan barisannya itu. Untunglah buat Reri Jlontrot Boyo, dia masih dapat mengandalkan kekebalannya, setelah mengatur napasnya tenaganya lalu pulang kembali, hingga dengan demikian maka tak terjadi sesuatu apapun juga.
“Habis bagaimanakah dengan Arya Panuju?” Tanya Candra Wulan. Dia dan yang lain-lainpun masih tetap tegang hatinya. “Apakah Arya Panuju itu gugur dalam palagan?”
Mintaraga menggelengkan kepalanya.
“Arya Panuju telah melatih dirinya beberapa puluh tahun, tak mudah ia mati hanya karena hal sedemikian itu.” Jawab Mintaraga dengan pasti. “Dia terhajar enam pasang tangan yang hebat, setelah sesaat mengerahkan tenaga dalamnya, dia dapat menggerakkan tubuhnya lagi terus langsung duduk. Dia lalu ditanya oleh Resi Giri Pragoto sambil tertawa.
“Arya Panuju kau telah roboh, kini kau menyerah atau tidak?” Demikian kata resi itu.
Arya Panuju tak memberi jawaban, dia hanya menggapai kepadaku. Aku menginsyafi lakunya itu, mukanyapun pucat pasi dan napasnya megap- megap perlahan, karena itulah aku segera menghampirinya, aku membungkuk untuk memeriksanya.
“Mintaraga, bagaimanakah dengan tenaga murnimu? Apakah kau telah berhasil meyakinkan tenagamu yang kau dapatkan dari gurumu, si pendeta tua Argo Bayu?” Tanyanya dengan sangat perlahan.
“Aku telah dapat meyakinkan ilmu itu akan tetapi hanya dasarnya.” Jawab Mintaraga.
“Bagus... bagus...” Katanya dengan wajah gembira sekali. “Coba tangan kananmu kau tekan tulang punggungku yang ketiga!”
Aku mengerti maksudnya itu. Inilah sebuah daya untuk menolong. Maka tanpa sangsi lagi aku lalu menuruti perkataannya itu, di lalu menjalankan napasnya.
“Giri Pragoto.” Katanya setelah dapat bernapas dengan lega. “Kau telah menang, akan tetapi aku tak puas. Maka lain kali pasti bakal datang saatnya yang kita akan mengadu kepandaian pula untuk menentukan siapa tinggi dan siapa pula yang rendah. ”
Giri Pragoto tertawa.
“Kau telah mengaku kalah, maka kau keluarkanlah peta rahasia kulit kambing yang berwarna kuning itu.” Katanya meminta.
“Pasti.” Sahut Arya Panuju. Dia lalu merogoh kedalam sakunya, lalu mengeluarkan sebuah kertas kuning yang terbuat dari kulit kambing, dia lalu dengan jari tengahnya, ia menyentik kertas itu, yang cepat melayang ketangan resi Giri Pragoto. Dalam keadaan yang terluka itu Arya Panuju
masih mempunyai tenaga dalam yang besar, mau tak mau aku sangat
mengaguminya.
Resi Giri Pragoto telah mendapatkan apa yang diminta, akan tetapi air mukanya segera berubah.
“Arya Panuju, masih ada selembar lagi.” Katanya dengan suara yang dingin.
Arya Panuju melengak, dan tiba-tiba saja orang Banten ini tertawa dengan nyaring.
“Kau tunggu sampai habis pertempuran kita yang kedua kalinya. Jika aku kalah lagi, barulah aku akan menyerahkan yang satunya dengan kedua belah tanganku ini.” Jawabnya.
Giri Pragoto lalu memeriksa kertas kulit kambing itu, dan setelah memandang dengan sungguh-sungguh barulah ia merasa puas, terus saja ia memasukkan kedalam saku bajunya.
“Eh Arya Panuju...” Putut Tejowantah menggantikan saudaranya menegur. “Kau jangan bergurau dengan kami, kami bukannya orang-orang yang gampang dipermainkan.”
Mendengar ini Arya Panuju tertawa.
“Siapakah yang akan bergurau denganmu?” Katanya menjawab orang ketiga dari padepokan Indrakilo. “Aku telah roboh dan aku telah menuruti apa perjanjian kita, bukankah aku telah menyerahkan peta itu kepada kalian?”
“Masih ada sehelai lagi.” Kata resi Tejowantah dengan keras. “Mengapa kau tak menyerahkan itu?”
Kembali Arya Panuju tertawa.
“Ketika kita membuat perjanjian apakah yang sehelai itupun masuk didalamnya?” Tanya Arya Panuju. “Huahaaa... Huahaa..... Huaha aku
kalah aku lalu menyerahkan sehelai Mintaraga sebaliknya tak kalah, bagaimana aku harus menyerahkan peta pemberiannya itu?”
Jawaban ini benar-benar hebat sekali, inilah yang dinamakan penyangkalan bukannya penyangkalan. Sembilan resi itu menjadi bungkam mulutnya setelah mendengar jawaban ini.
“Baiklah.” Seru resi Giri Pragoto, setelah mereka berdiam diri sekian lamanya. “Sekarang aku berdiri, berdirilah kau dan mari kita bertempur. Kali ini jika kau kalah maka tak usah kau banyak mementang mulut lagi.”
Tentu sekali kalau tantanganmu itu sangat tak pantas sekali Arya Panuju sedang terluka, mana mungkin dia dapat bertempur lagi. Mintaraga menjadi tak senang, karena itulah aku lalu ikut menimbrung dalam perbicaraannya. “Arya Panuju roboh dan terluka parah, maka jangan kau terlalu mendesak kepadanya.”
Ketika itu Arya Panuju sedang mencoba untuk bangun, karena
pertolonganku tadi maka tenaganya ada yang telah kembali walaupun hanya sedikit saja. Mungkin dia telah dapat bertindak. Dia lalu tertawa.
“Giri Pragoto.” Katanya. “Sebagai seorang gagah, dan sebagai seorang laki-laki maka kalau telah mengucapkan satu tak nanti akan dua. Kau menghendaki peta yang selembar baiklah dibelakang hari masih ada ketikanya kau akan mendapatkan barang itu. Sekarang ini aku tak dapat melayanimu bertempur, jangan lagi melayani kalian semua, sedangkan melayani sepotong jarimu saja aku akan tak sanggup. Apakah kau hendak memaksa hingga aku harus melayanimu? Perbuatan apakah itu? Itulah perbuatan seorang manusia yang hina dina.
Muka Giri Pragoto menjadi merah padam. Iapun merasakan kata musuhnya yang tajam itu. Rupa-rupanya para resi itupun menyadari kalau dipihaknya itu adalah yang salah, lalu dia memaksa dirinya untuk tertawa.
“Baiklah.....” Katanya. “Kau boleh pulang ke Banten. Sekarang ini kita menetapkan pula janji, batas tiga bulan! Didalam tiga bulan ini nanti aku sendiri yang akan datang kedaerahmu. Biarlah kami minta pengajaran lebih lanjut darimu.”
“Perbuatanmu ini adalah sebuah perbuatan yang berlebih-lebihan, seumpama orang akan kentut mendadak membuka celananya.” Katanya. “Kalian telah mendapatkan dua lembar, mengapa kalian bisa membiarkan yang satunya itu dan tak mempedulikannya? Akan tetapi didalam batas waktu perjanjian ini aku akan menantimu dirumahku, daerah Banten.”
Setelah berkata demikian ia lalu mengibaskan tangan bajunya yang lebar, lalu dia berjalan kearah barat, tindakannya perlahan dan kurang tetap. Baru beberapa tindak ia lalu berhenti dan menoleh kepadaku.
“Bocah yang baik.” Katanya. “Nanti setelah tiga bulan ini kaupun harus datang ke Banten untuk menonton keramaian ini. Setujukah kau dengan ajakanku ini?”
“Aku lalu menganggukkan kepala kearah orang Banten itu, aku berpikir kalau Tunggul Tirto Ayu yang menjadi lambang dari kejayaan kerajaan Demak Bintoro ini adalah kepunyaanku, dan bagaimana mungkin aku tak mempunyai hal dengan hal itu?”
“Arya Panuju tak banyak omong lagi. Dengan menundukkan kepala dia terus berjalan menuju kebarat. Aku mengawasi dia sampai orang itu tak tampak lagi. Setelah itu aku berpaling. Aku tak mendapatkan sembilan orang resi Indrakilo itu lagi, dan ternyata mereka itu telah pergi meninggalkanku setelah dapat mengalahkan Arya Panuju.”
Mintaraga berpikir sejenak, barulah dia menyambung lagi.
“Dari sakuku kukeluarkan Tunggul Tirto Ayu ini.” Katanya. “Didalam hatiku ini kukatakan kalau ini adalah Tunggul Tirto Ayu yang palsu. Tunggul Bintoro ini didapatkan oleh pendeta Baudenda didaerah Karang
Bolong. Terang sekali kalau ayahku telah mengatur tipu muslihat. Bukan
hanya aku, melainkan Pendeta Baudenda, dan jago-jago Jipang Panolanpun telah kena dikelabuhinya. Sekian lamanya aku masih tetap meneliti Tunggul Tirto Ayu yang berada ditanganku ini, maka aku dapat membongkar kepalsuannya.
Yaitu dari warnanya, karena itulah aku menjadi sangat kagum sekali kepada ayahku itu. Tengah aku berpikir demikian mendadak saja aku teringat sesuatu, hingga dengan demikian aku menjadi tersadar. Bukankah aku baru bertugas untuk mempersembahkan Tunggul Tirto Ayu ini?”
Oleh karena Tunggul Tirto Ayu ini adalah sebuah tunggul lambang yang palsu maka bagaimanakah aku dapat menyerahkannya? Aku menjadi bingung dengan mendadak. Rahasia Tunggul Tirto Ayu yang asli ini sepertiganya ada disaku baju Arya Panuju dan yang dua pertiganya berada didalam saku baju Resi Giri Pragoto orang-orang dari Indrakilo. Bagaimana sekarang? Apakah aku harus membiarkan saja? Aku berpikir dengan keras sekali. Lantas sambil mengambil keputusan.
Aku harus menyusul orang resi itu. Mereka itu belum berlalu dengan jauh. Karena itulah tak sukar aku menyusulnya. Begitu aku berangkat aku lalu memperhatikan tapak kaki mereka yng menuju kearah selatan. Aku lalu menyusul dengan berlari Tak lama kemudian kelihatanlah kalau aku melihat mereka berada dihadapanku. Aku lalu berteriak untuk memanggil mereka. Rupa-rupanya mereka itu mendengar suaraku mereka berhenti berpaling dan memandang kearahku. Agaknya mereka itu menjadi heran sekali.
“Eh... Mintaraga.” Seru resi Giri Pragoto yang kelihatan marah. “Bukankah kau akan pergi mencari Ngawonggo Pati untuk menyerahkan tunggulmu itu? Akan tetapi mengapa kau kini mencari kami?”
Aku lalu menjawab dengan tenang :
“Untuk mempersembahkan Tunggul Tirto Ayu itu, haruslah yang asli.
Siapakah yang menginginkan Tunggul Tirto Ayu yang palsu?” Resi Giri Pragoto tertawa dingin.
“Jadi terangnya kau hendak mencoba barisan sembilan resi sakti bukan?” Dia mengejek dengan langsung menantang.
“Ya, sedikitpun tak salah.” Jawabku.
Resi Giri Pragoto memperdengarkan suaranya melalui hidung. “Hem.”
Rupa-rupanya dia sangat bangga dan sangat sombong sekali. Bukankah baru saja mereka itu mengalahkan Arya Panuju? Kemenangan itu telah membuat mereka makin menyayangi akan keadaan barisannya yang kuat kelewat-lewat. Bahkan mengatakan bahwa barisan itu adalah sebuah barisan yang istimewa.
“Baiklah.” Katanya dengan sombong. Diantara kita memang tak boleh tak ada pertempuran. Dari pada menanti lain waktu, mengapa kita tak
hendak bertempur sekarang saja, dan disini kita akan dapat membuktikan
siapa yang JANTAN dan siapa pula yang BETINA?” Aku lalu menyambut tantangannya.
“Baik... kataku, akan tetapi untuk itu kita harus mengadakan perjanjian.
Bagaimanakah sikapmu?”
“Jika kau sanggup memukul hancur barisanku.” Jawab Resi itu dengan nyaring. “Dengan senang hati kami akan menyerahkan Tunggul Tirto Ayu ini kepadamu. Akan tetapi kau, andaikan kau roboh sebagai Arya Panuju kau harus berjanji kalau selamanya kau harus menjauhkan diri dari gelanggang perebutan Tunggul Tirto Ayu setujukah kau??”
“Baik, beginilah perjanjian kita.” Jawabku dengan tenang akan tetapi tegas.
Selama pertempuran Arya Panuju dengan kawanan resi Indrakilo ini aku telah memperhatikan dengan benar-benar. Tak sebuah juruspun yang kulewatkan, maka aku percaya dapat memukul pecah barisan mereka itu. Karena itulah aku tak bersangsi pula.......................