Tunggul Bintoro Jilid 14

 
JILID XIV  

ORANG GALAK ITU bertindak dengan tindakan yang lebar untuk

meninggalkan rumah makan itu. Setelah orang itu pergi jauh barulah orang yang menjadi pemilik rumah makan itu kembali.

“Kalian lihat.” Katanya kepada tetamunya itu. “Sekarang lekas pergi, jangan lama-lama duduk disini...”

Candra Wulan panas hatinya, akan tetapi gadis ini tetap hanya berdiam diri saja. Coba kalau tak ada urusan penting maka ia tentu menghajar orang galak yang sikapnya menjemukan itu.

“Melihat kelakuannya, ia tentunya seorang jagoan. Atau setidak- tidaknya seorang buaya darat.” Kata Kembang Arum kepada pemilik rumah makan itu. “Benarkah dugaanku ini ki sanak??”

Pemilik rurnah makan itu menggoyang-goyangkan tangannya, sedikitpun ia tak berani menjawab.

“Lekaslah kalian pergi.” Katanya dengan mendesak. “Kuharapkan kalian jangan sampai membuat kendil nasiku ini terbalik...”

Melihat keadaan yang demikian ini maka tak sampai hatilah kedua orang gadis ini. Terpaksa mereka menggeloyor pergi untuk rnencari lain rumah makan. Disebelah gapura kota timur ini banyak sekali terdapat rumah-rumah makan besar dan kecil. Kali ini Kembang Arum dan Candra Wulan masuk kedalam rumah makan yang paling besar. Tak lama kemudian merekapun telah keluar lagi, roman mereka kelihatan Iesu.

“Kelihatanya kita tak akan dapat makan ayu.” Kata Candra Wulan dengan penasaran.

Ternyata rumah makan itupun telah menerima pesanan seperti rumah makan yang pertama tadi. Dengan demikian rumah makan yang besar itu tak dapat menerima tetamu lagi.

“Jangan khawatir, marilah kita mencoba pada rumah makan yang lain lagi.” Seru Kembang Arum yang dapat menyabarkan diri.

Lalu Kembang Arum jalan dimuka, sedangkan Candra Wulan mengikuti dari belakang. Kesudahannya mereka itu mendapatkan pengalaman yang sama. Bukan hanya dua rumah makan itu saja, bahkan puluhan rumah makan telah ada yang memesannya. Semua barang makanan telah diborong orang.

Candra Wulan menjadi sangat mendongkol sekali, berkali-kali gadis ini menghela napas panjang untuk melegakan dadanya yang sesak itu.

“Ayu.” Katanya. “Bahkan orang-orang itu tengah mempermainkan kita?

Apakah kita harus memaksa hingga kita dapat makan?”

“Mungkin keluarga itu adalah keluarga hartawan yang kaya raya dan akan mengadakan pesta yang sangat istimewa sekali.” Kata Kembang Arum. “Hanya anehnya mengapa pesanannya ini sedemikian banyaknya. Disini terdapat kurang lebih puluhan rumah makan, dan setiap rumah makan selalu mendapat pesanan dua sampai lima belas meja. Hingga dengan  

demikian maka yang dipesannya ini ada kalau hanya lima ratus meja. Kalau

saja sebuah meja itu untuk dua belas orang tamu maka orang yang diundang itu tak kurang dari lima ribu orang. Ah, siapakah hartawan besar itu??”

Candra Wulanpun menjadi heran, hatinya benar-benar tertarik oleh peristiwa ini.

“Marilah kita selidiki saja ayu.” Serunya mengajak Kembang Arum. “Kau tahu sendiri adi, kalau setiap pemilik rumah makan tak mau

memberi keterangan.” Jawab Kembang Arum.

“Kita jangan menanyakan kepada mereka, kita ikuti saja orang-orang yang mengangkut barang makanan itu.” Candra Wulan mengutarakan pikirannya.

Mendengar ini Kembang Arum lalu menyetujui.

“Nah lihat itu.” Seru Candra Wulan, tangannya terus menuding.

Kembang Arum menoleh, hingga ia dapat melihat belasan orang berjalan dengan tertatih-tatih, ada yang memikul, ada yang menggendong, semuanya yang dibawa adalah barang makanan.

“Baiklah, mari kita ikuti mereka.” Katanya.

Rombongan itu menuju kesebuah pojok jalan lain, sampai disuatu jalan dimana terdapat sebuah rumah yang besar sekali. Disinilah mereka masuk dari pintu samping.

“Nah itu dia rumahnya.” Seru Candra Wulan.

“Kita harus bersembunyi dulu.” Kata Kembang Arum. “Kita harus mengintai.”

Gedung itu besar, pekarangan sebelah depan sangat luas. Akan tetapi sungguh mengherankan sekali, seluruh gedung itu sunyi, pintu depan yang besar dan lebar itu tertutup rapat-rapat. Diluar pekarangan tak terlihat barang seorangpun juga, didalamnya juga gelap. Tak terlihat cahaya api. Rombongan pelayan yang mengangkut barang makanan itupun keluar lagi dari pintu samping.

“Apakah artinya ini?” Tanya Candra Wulan. “Orang ini akan mengadakan pesta atau bagaimana??”

“Ya benar-benar aneh sekali.    ” Seru Dyah Kembang Arum yang sangat

heran.

Rumah itu besar sekali, akan tetapi tak memakai pian. “Entah tempat apa ini ayu.” Kata Candra Wulan.

“Sabar dahulu adi.” Seru Kembang Arum. “Kita tunggu sebentar lagi. ”

Candra Wulan menurut, akan tetapi keheranannya tak segera lenyap. “Aneh.” Katanya pula. “Apakah ini sebuah gua hantu dan sarang

setan??”

Waktu terus berjalan dengan cepat, dari magrib sampai cuaca menjadi remang-remang, lalu sang rembulan mulai mengintip keluar dikawani oleh  

para bintang. Namun rumah itu tetap sunyi senyap. Tak ada suara orang,

tidak ada pula bayangan manusia. Maka juga, ketika sang bayu bertiup dengan halus, tanpa merasa kedua gadis itu menjadi bergidik. Tubuhnya menggigil. Mereka merasakan seram........

“Ah... didalam dunia ini mana ada hantu tetekan segala.......” Kata Kembang Arum yang berusaha menghibur hatinya sendiri.

Candra Wulan menempelkan tubuhnya kepada tubuh kawannya itu. Biarpun gadis ini gagah berani, serta nakal sekali. Namun terhadap hantu ataupun setan ia sangat takut. Demikian juga dengan Kembang Arum.....

hanya saja kalau Kembang Arum masih dapat tersenyum walaupun hanya sedikit dan kecut.

“Ayu marilah kita pergi saja.” Tiba-tiba saja terdengar perkataan Candra Wulan yang mengajak pergi. “Tak usah kita menyelidiki tempat macam ini...” Ia mengatakan demikian akan tetapi kedua kakinya tetap berdiri tegak saja.  

“Baik.” Jawab Kembang Arum yang turut berdiam diri saja. Candra Wulan memegang keras-keras tangan Kembang Arum.

“Tak perlu kita takut.” Katanya. “Walaupun ada setan atau iblis sekalipun kita tak perlu takut...”

Kembang Arum melihat kalau kawannya ini hanya membesar-besarkan hatinya sendiri saja. Karena itulah didalam hatinya ia tertawa. Menertawakan kawannya yang sedang ketakutan itu.

“Adi Candra Wulan.” Katanya. “Pernah aku mendengar cerita kalau setan itu senangnya berpesta-pora diwaktu malam. Apakah kaupun pernah mendengarnya??”

Candra Wulan mengawasi Kembang Arum, ia tahu kalau kawannya inipun sedang berusaha menguatkan goncangan hatinya, dan lagi berusaha membesar-besarkan hatinya sendiri.

“Tidak, belum pernah aku mendengarnya.” Jawabnya. “Coba ayu kau ceritakanlah. Asal saja ayu berani menceritakan...” ia menambahkan dengan perlahan.

Kembang Arum tak menjawab, ia hanya memandang dengan tajam- tajam kearah rumah yang aneh itu. Kembang Arum sedang memikir-mikir benarkah itu rumah hantu? Coba kalau Mintaraga berada bersamanya maka mereka pasti tak akan ragu-ragu lagi....

“Ayu.” Seru Candra Wulan sewaktu kawannya itu bagaikan melamun. “Coba kau Iihat bayangan itu. Apakah itu bayangan manusia atau setan. ?”

Kembang Arum segera melihat, tepat ia mendapatkan sebuah bayangan tiba dimuka rumah, hanya sejenak saja bayangan itu berhenti, tubuhnya naik keatas atap rumah itu.

Dengan samar-samar Kembang Arum melihat kalau orang itu berpakaian seperti jubah. Maka dapatlah ia memastikan kalau yang datang ini tentunya seorang Bikshuni. Wajahnya tak kelihat dengan jelas, akan tetapi

ketika Bikshuni ini melompat, ia melihat dengan jelas, kalau wanita pertapa itu mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya dari perguruan Muria. Karena itulah Kembang Arum menjadi tercekat.

“Itu adalah ibuku.” Serunya dengan tertahan. Candra Wulanpun segera seperti tersadar.

“Dengan adanya ibumu ini, maka teranglah kalau rumah ini tentunya bukan rumah hantu atau setan.” Katanya. “Mari kita menyusul.”

Tanpa bersangsi lagi, Kembang Arum lalu Iari melompat naik keatas genting. Akan tetapi ketika Candra Wulan dan Kembang Arum tiba diatas, mereka kehilangan bayangan pendeta wanita itu.

“Mari kita cari.” Ajak Candra Wulan.

“Mari adi.” Jawab Kembang Arum. Mereka lalu berlari-larian diatas genting, diatas wuwungan. Rumah itu besar dan luas. Sambil berlari-larian, hati mereka tak terpengaruh lagi dengan soal hantu, hanya mereka memikirkan mengapa Woro Keshi, Bikshuni dari Muria ini mendadak timbul dan muncul dirumah ini.

Sewaktu mereka mendekati ujung disebelah utara, tiba-tiba sebuah bayangan terlihat melesat.

“Itu ibu.” Seru Kembang Arum. Ia segera menyusul.

Hanya sekejap saja, bayangan itu telah tiba dibawah, ditanah. Dimana dia berdiri dengan tenang. Hingga dengan demikian Kembang Arum mendapatkan, kalau orang itu bukan ibunya, akan tetapi seorang lelaki. Iapun baru menginjak tanah, ketika ia merasakan serangan angin.

“Siapakah kau?” Orang itu menegur. “Mau apakah kau datang kemari??”

Mendengar suara orang ini, Kembang Arum menjadi heran. Suara itu, ia merasakan kalau pernah mengenal dengan baik. Akan tetapi Kembang Arum lupa, hingga ia menjadi bersangsi. Dimanakah ia pernah mendengar suara itu? Kenalkah dia dengan orang itu? Sementara itu ia mengelakkan dirinya dari serangan angin tadi. Dengan cepat sekali ia lalu membalas serangan itu.

“Ah... orang itu berseru sambil menangkis.

Tanpa dapat dicegah lagi maka kedua tangan mereka itu menjadi bentrok. Orang itu bertenaga besar, akan tetapi masih kalah kalau dibandingkan dengan Kembang Arum. Hingga dengan demikian ia lalu terserut mundur sampai dua tiga langkah. Hanya sebentar saja ia berdiri dengan bengong, sebab dengan segera ia lalu mengunus goloknya yang tajam dan berkilau-kilauan.

“Nona, sebenarnya kau ini siapakah?” Tanyanya.

Kembang Arum mengawasi dengan sia-sia saja. Muka orang itu ditutupi oleh selubung yang berwarna hijau. Yang tampak hanya dahi dan matanya yang menyorot tajam bengis. Menandakan kalau orang itu sedang marah  

sekali. Dari dahinya itu, Kembang Arum dapat menduga kalau orang itu

tentunya masih muda.

Kembang Arum menginsyafi tugasnya. Tak mau ia sembarangan memperkenalkan diri.

“Kau bicaralah terlebih dulu.” Jawabnya.

Agaknya orang itu sombong sekali. Ia lalu tertawa dingin.

“Nona.” Katanya. “Tanpa kau memperkenalkan diri, apakah kau sangka aku tak mengetahui siapa sebenarnya kau ini? Silahkan kau menyerang dan aku yang rendah menantikan pengajaranmu.”

Kembang Arum tak mendengar suara apa-apa dibelakangnya. Ia menduga Candra Wulan belum menyusul kepadanya. la tak menyangka kawannya itupun sedang menghadapi rintangan lain.

“Kau toh datang kemari ini untuk menyelidiki rumah ini bukan?” Tanyanya. Ia tak segera menyambut tantangan lawannya itu.

“Bagaimanakah kalau benar?” Jawab orang itu dengan tetap bernada sombong.

“Kalau benar, maka kita ini adalah orang-orang yang mengambiI jalan sama. Dan artinya kita kawan sendiri yang setujuan.” Jawab Kembang Arum. “Karena itu kita tak perlu lagi mengadu kepandaian. Kau ini sebenarnya siapa? Aku rninta kau menyebutkan namamu yang besar ”

“Jika kau tak mau berbicara terlebih dahulu, maka akupun tak mau mendahuluimu.” Jawab orang itu masih tetap saja berkepala besar.

“Baiklah kalau demikian.” Jawab Kembang Arum. “Kita jalan sendiri- sendiri, tak usah kita saling merintangi. Sampai ketemu pula.”

Segera ia memutar tubuhnya untuk berkelebat pergi. Tiba-tiba saja ia mendengar suara angin menyambar dibelakangnya.

Orang itu membacokkan goloknya sambil berkata :

“Karena kau tak mau mengatakan siapa nama besarmu, maka jangan salahkan kalau aku berlaku kurang ajar kepadamu.”

Kembang Arum menjadi mendongkol sekali, karena itu ia lalu memutar tubuhnya untuk menjaga diri.

“Belum pernah aku bertemu dengan orang yang berkelakuan macam begini.” Katanya dengan sengit. “Apakah kau sangka aku takut kepadamu? Hem ”

Ia lalu menangkis dengan tangan kanan dan tangan kirinya dipakai membarengi menyerang.

Orang bertopeng itu licin, tubuhnyapun sangat lincah. Habis mengelak, iapun lalu maju untuk menyerang. Goloknya bergerak naik dan turun dengan sangat cepat sekali.

Walaupun biasanya Dyah Kembang Arum ini dapat mengendalikan dirinya, akan tetapi kali ini tak demikian. Sebab ia tak dapat membiarkan lawannya yang terus menerus menantangnya ini.  

“Baik.” Katanya. “Baik aku akan merobohkanmu terlebih dahulu. Kau

adalah seorang manusia yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Setelah itu barulah kita bicara lagi.”

Lalu ia menyerang dengan kedua tangan kosong. Hebat sekali serangan  

itu.

Orang bertopeng itu menjadi penasaran sekali. Didalam hati kecilnya ia

berkata :

“Nona besar, kau berani melayaniku dengan tangan kosong? Baiklah.” Iapun lalu menyerang dengan tak kurang hebatnya.

Kembang Arum terkejut juga ketika sekali hatinya diarah oleh lawannya itu. Lawan telah menikam dengan dahsyat sekali, Kembang Arum tak berani menangkis, maka cepat-cepat ia mundur sampai lima tindak.

“Kau... kau...” Katanya. “Bukankah jurusmu yang baru saja kau lakukan ini adalah jurus Samirono Leno dari keluarga Pandu Pergolo?” Tanyanya dengan heran.

Orang bertopeng itu tertawa dingin.

“Setelah kau mengenal ilmu silatku yang rendah ini, maka sangat mengherankan kalau aku tak dapat mengenalmu.” Jawabnya. Iapun lalu menyerang pula dengan tak kalah hebatnya.

Kembang Arum menjadi sangat mendongkol dan marah sekali. Ia lalu menyambut serangan lawannya ini.

“Bocah ini keras kepala dan sombong sekaIi.” “Kau ingin mengetahui siapa adanya aku akan tetapi justru aku tak mau mengatakan kepadamu siapa sebenarnya aku ini.” Ia lalu menyerang, bukan dari ilmu silat perguruannya. Hanya dengan ilmu silat campur aduk. Secara begini ia melayani sampai dua atau tiga puluh jurus.

Keadaan mereka berimbang, inilah disebabkan karena Kembang Arum memakai ilmu silat campuran. Kalau tidak demikian maka ia tentu akan dapat dengan segera memukul mundur lawannya. Walaupun demikian ia tetap berada diatas angin.

Ilmu golok dari pemuda itu sungguh bagus sekali. Hanya saja ia kurang latihan. Karena itulah pemuda itu dapat didesak. Kembang Arum mencari ketikanya yang baik, apa bila ia mendapatkan ketika itu, ia lalu merangsek dengan tangan kanannya menyambar kearah pundak.

Orang bertopeng itu menjadi repot dan kewalahan untuk membeIa diri. Maka waktu itu ia melihat datangnya serangan, didalam hatinya ia menjerit, ‘CELAKA’.

Ia merasakan sulit untuk menangkis ataupun mengelak. Untung baginya disaat serangan hampir mengenai sasarannya, Kembang Arum mendapatkan sebuah perasaan aneh, hingga ia menjadi ragu-ragu dengan serangannya itu. Ketika ini digunakan oleh pihak Iawannya yang lalu mengelak. Dia telah keluar dari bahaya maut akan tetapi harus mengeluarkan keringat dingin. !” Kembang Arum tak mengambil peduli lawannya itu menyingkir,

dengan meninggalkan lawannya itu, ia melompat naik keatas genting. Dari atas gadis ini memandang kebawah dan sekitarnya. Ia lalu dapat melihat sinar api diarah timur yang terdapat sebuah kamar. Malahan ia melihat sesosok bayangan orang, yang berkelebat dengan gesit sekali. Dan dilain saat bayangan itu telah bergantungan dipayon rumah.

Ia segera dapat mengenali kalau orang itu adalah Candra Wulan. Dengan tanpa ragu-ragu dan membuang waktu lagi Kembang Arum terus lari kesana untuk menghampiri kawannya.

Candra Wulan sedang mengintai kedalam, hingga dengan demikian ia menjadi terperanjat sekali setelah merasakan kalau ada angin yang menyambar dari sampingnya. Dengan sangat cepat ia lalu berpaling, setelah melihat siapa yang datang itu maka menjadi lega.

“Ayu.” Katanya perlahan. Gadis itu segera mengenali Kembang Arum yang datang secara mendadak. “Coba lihat kedalam.”

Kembang Arum lalu menirukan Candra Wulan untuk melihat kedalam. Itu bukannya sebuah kamar, akan tetapi merupakan sebuah ruang besar.

Penerangannya terdiri dari belasan batang lilin. Disebuah meja disajikan beberapa rupa barang hidangan. Kelihatannya mereka itu tengah berpesta. Hanya yang aneh disitu itu hanya tampak empat orang. Mereka itulah yang sedang berpesta. Oleh karena mereka duduk dengan membelakangi jendela, Kembang Arum tak berhasil melihat muka orang itu.

‘Mereka itu tentunya tuan rumah dan para tetamunya.’ Pikir Kembang Arum. ‘Mengapa mereka itu hanya berempat saja? Bukankah mereka itu telah memesan masakan untuk beratus-ratus meja? Seharusnya yang hadir ribuan orang.”

Kembang Arum terus memeras otaknya, sementara itu tak berani ia lancang melompat kejendela untuk menerjang masuk.

Ruang itu adalah sebuah ruangan yang besar dan mempunyai empat buah jendela. Tepat pada waktu itu dari jendela sebelah selatan, terlihat sebuah bayangan melompat masuk. Bayangan itupun lalu memperdengarkan sebuah tawa yang bernada dingin. Kemudian disusul dengan berapa patah kata yang bernada sangat mengejek sekali :

“Hem... inikah yang dinamakan sebuah pesta?? Nah aku nenek-nenek tua telah datang untuk memenuhi undangan.”

Kembang Arum dan Candra Wulan menjadi heran dan girang dengan bersama. Mereka kenal dengan baik kalau nenek bikshuni yang baru datang itu adalah Woro Keshi. Ibu Kembang Arum. Karena itulah Kembang Arum menjadi sangat gembira sekali.

Walaupun keadaan demikian rupa, empat orang yang tengah makan itu tak menjadi kaget, sebaliknya mereka tetap duduk dengan tenang. Mereka  

makan dan minum seperti biasa. Hanya seorang yang duduk ditengah lalu

tertawa dan memberi jawaban.

“Aku yang rendah merasa beruntung sekali dengan kedatangan Bikshuni Woro Keshi. Marilah kita minum dulu, baru nanti kira bicara lagi. Setujukah kau nyi Bikshuni?”

Kembang Arum tak mengerti mengapa ibunya datang kemedan pesta yang istimewa ini. Ia menjadi ketarik hatinya dan ingin mengetahui serta mendapat keterangan. Meskipun demikian, ia dapat menenangkan diri, untuk berdiam diri saja, untuk menyaksikan apa yang akan terjadi terlebih jauh. Ia ingin tahu bagaimana nanti ibunya menghadapi orang-orang ini.

Candra Wulan berpikir sebagai kawannya ini.

*

* *

Kembang Arumpun berpikir sejenak ketika ia mendengar suara si tuan rurnah. Suara siapakah itu kalau bukan suara dari Pangeran Pamegatsari? Akan tetapi belum sempat ia memastikan dugaannya, atau melihat dengan tegas potongan tubuh orang, ia sudah mendengar suara ibunya, yang bicara sambil tertawa dingin.

“Aku hanya ingin mencari Pendeta Baudenda, tak ada waktu aku untuk bicara dengan bangsa manusia-manusia macammu ini.” Demikianlah Woro Keshi.

Pangeran Pamegatsari tertawa.

“Kuharap kau mengingat akan bunyi ujar-ujar kuno.” Katanya kepada Woro Keshi. “Permusuhan itu lebih baik dilenyapkan saja, jangan malahan diperhebat. Aku tahu Pendeta Baudenda ini biasanya sangat menghormat kepadamu. Jadi tak perlulah kau mencarinya untuk mencelakaan orang yang selalu baik denganmu.”

“Dia telah membunuh Darmakusuma, dia pula yang mengakangi Tunggul Tirto Ayu, jadi kalau aku tak mencarinya, maka aku kau suruh mencari siapa??” Bentak Woro Keshi dengan lantang.

“Walaupun demikian aku masih ingin memohon kepadamu, sukakah kau memandang mukaku ini.” Seru Pangeran Pamegatsari. “Silahkan minum dulu nanti aku akan memanggil pendeta Baudenda keluar menemuimu. Biarlah dia minta maaf kepadamu. Hingga dengan demikian maka permusuhan akan dapat diselesaikan dengan secara damai. Setujukah kau Woro Keshi?”

Pendeta wanita ini tertawa terbahak-bahak.

“Jadi kau akan menjadi penengah diantara kami?” Tanyanya. “Huahaaaa... Huahaaaa.... Huahaaa... pengkhianat! Kakekmu itu, panglima Sindhu Kencana dahulu telah mencari keagungan dengan rnenjual negara. Ia  

rela menjadi anjing diri orang-orang Supit Urang dan kemudian lari ke

Jipang Panolan. Bukankah telah cukup dia membuat celaka ketiga keluarga kami? Kau sekarang hendak menjadi perantara. Punyakah kau derajat jang luhur. Huh kau ini tak lebih baik dari pada tahi anjing orang-orang Jipang Panolan.”

Mendengar teguran itu, mendadak saja pangeran Pamegatsari melompat bangun.

“Woro Keshi.” Katanya keras dan nadanya dingin. “Kulihat, Iebih baik kau tahu diri sedikit.”

Pendeta wanita ini tak menghiraukan sama sekali akan sikap orang itu. “Katakan.” Bentaknya. “Sebenarnya dimanakah kau sembunyikan si tua

bangka Baudenda itu??”

Pangeran Pemegatsari membawa sikapnya yang sombong itu. Bahkan terlalu angkuh.

“Jika aku tak mau memberitahukannya?” Tanyanya dengan nada menantang.

“Terpaksa aku akan minta keluarnya dia, dan kaulah yang akan menjadi jaminannya.” Jawab Woro Keshi dengan gagah.

Pangeran Pamegatsari tertawa dengan heran. Suara tawanya ini terdengar nyaring sekali. Ia lalu mengibaskan kedua tangannya, setelah itu maka ketiga orang kawannya terus melompat bangun, terus mereka lari kepintu. Mereka semua bertubuh besar dan kekar.

Sekarang Candra Wulan dan Kembang Arum dapat melihat dengan jelas siapa adanya ketiga orang itu, mereka adalah : Surodento, Pacar Keling dan si raja copet yang terkenal hebat dan bernama Agni Brasta.

Ketika dulu Surodento bertiga dengan Pacar Keling dan pendeta Sampar Mega sedang berebut kotak wasiat yang menjadi penyimpan dari Tunggul Tirto Ayu, mereka bertiga kena dilabrak oleh Mintaraga. Bahkan mereka terus sakit hati sekali karena Candra Wulan telah membabat kuping mereka. Pendeta Sampar Mega adalah yang sangat penasaran, maka sangat celakalah ia karena bertemu dengan pendeta Baudenda, hingga tulang-tulangnya diremukkan oleh pendeta kejam itu. Semenjak itulah ia lalu pulang keperguruannya dan tak mau keluar kedunia ramai. Kalau pendeta itu dapat mengubah sikapnya maka tak demikian dengan kedua orang kawannya itu Surodento dan Pacar Keling. Mereka masih merasa penasaran sekali, dan ingin dapat membalas penghinaannya ini, maka setelah berpikir dengan secara masak-masak mereka lalu pergi mencari pangeran Pamegatsari. Dengan begitu sekarang mereka berada bersama dengan pemuda yang hebat dan berakal licin.

“Pamegatsari, habis apakah yang kau kehendaki sekarang ini?” Tanya Woro Keshi, yang telah mengeluarkan suara dari dalam hidungnya beberapa  

kali. la mendongkol dan memandang sangat rendah sekali kepada tuan

rumah ini.

“Aku tak menghendaki apa-apa.” Jawab pangeran Pamegatsari dengan tertawa. “Kau sudi mendengarkan perkataanku yang menginginkan perdamaian, sudah tentu hanya kebaikanlah yang kau peroleh. Asalkan saja mulai hari ini juga kau pulang ke gunung Muria dan mulai hidup untuk berdoa saja. Maka dunia ini akan menjadi aman dan sentosa untukmu. Jika tidak... huahaaaa.... huahaa.... huahaaa..... maka tak usah aku bicara banyak- banyak lagi. ”

Kedua gadis yang berada diluar jendela itu sangat mendongkol sekali ketika mendengar perkataan orang sombong ini. Didalam hatinya mereka mendamprat :

‘Dasar pengkhianat.’

Mereka lalu berunding, Candra Wulan ingin menyerbu masuk untuk memberi pelajaran kepada Pangeran Pamegatsari, akan tetapi Kembang Arum sebaliknya ia ingin menyaksikan perkembangan terlebih jauh. Kembang Arum ingat kalau orang bertopeng tadi tentunya akan muncul pula ditempat itu.

Justru itu, sewaktu keadaan tenang karena baik Woro Keshi dan Pangeran Pamegatsari belum membuka mulut terlebih jauh, dari pekarangan dalam rumah terdengar dua kali suara halus, seperti bunyi tetabuhan.

Mendengar suara itu, yang sebenarnya adalah suara siulan, maka Pangeran Pamegatsari memperlihatkan wajah yang kegirangan.

“Woro Keshi.” Katanya. “Aku telah mengundang seorang untuk menghadiri perjamuan ini, aku tak mengundang semua orang, tapi.   Lihat

putrimu yang cantik manis telah datang kemari. Dan putramu yang gagah serta tampan itupun telah datang pula. Malahan mereka itu juga datang bersama-sama dengan keponakanmu putri yang manis botoh! Huahaaaaa...

Huahaaaaa... Huahaaaaa   malam ini rumahku sungguh berbahagia sekali.”

Mendengar perkataan Pamegatsari ini, Woro Keshi menjadi heran. Keheranan inipun dirasakan oleh Kembang Arum dan juga Candra Wulan. Mengapa pangeran Pamegatsari ini dapat mengatakan demikian?

Tak sempatlah mereka itu menerka-nerka. Dijendela sebelah barat segera terdengar dobrakan, lalu diantara jendela yang pecah itu muncullah seorang pemuda yang mengenakan topeng. Dan setelah berada didalam halaman ia lalu membuka topengnya dan menjatuhkan diri dimuka Bikshuni Woro Keshi.

“Ibu, masih ingatkah ibu kepadaku?” Katanya sambil menangis tersedu- sedu. “Aku adalah anakmu Wira ”

Woro Keshi menjadi terkejut dan heran, akan tetapi keheranannya ini hanya berlaku sejenak saja. Kemudian pendeta wanita ini menjadi girang sekali. Hingga dia lalu mengulurkan kedua tangannya untuk  

membangunkan pemuda itu, dia adalah Wirapati putranya yang telah

berpisah selama belasan tahun.

“Ya, benarlah kau ini adalah Wirapati...” Katanya setelah menatap wajah pemuda itu. Akan tetapi sebelum pemuda itu menjawab, ia telah berkata dengan keras :

“Kau... Mengapa kau datang kemari? Apakah ini binatang Pamegatsari yang telah memancingmu??”

Sebelum memberikan jawaban, Wirapati terlebih dahulu harus menghela napas.

“Ibu, panjang sekali untuk kuceritakan.” Jawabnya. “Sekarang marilah kita hajar dahulu pengkhianat ini.”

“Memang juga pangeran Pamegatsari ini telah merencanakan untuk menangkap Candra Wulan dan Kembang Arum, akan tetapi sangat diluar dugaannya kalau bersama dengan itu telah muncul Woro Keshi dan putranya, karena itulah ia menjadi girang sekali. Karena ia telah memasang perangkap maka pangeran muda ini tak takut sama sekali terhadap mereka.

“Disini ibu dan anaknya telah berkumpul.” Katanya dengan tenang, akan tetapi cukup keras. “Karena itu kedua orang gadis yang berada diluar jendelapun harus masuk untuk menambah keramaian.”

Kembang Arum sangat heran sekali ketika melihat kakaknya itu, pemuda yang bertopeng tadi, dan bertempur dengannya. Untunglah tadi ia tak menurunkan tangan kejam, kalau seandaikan ia tadi hanya menuruti nafsu amarahnya maka akan celakalah saudara tuanya ini. Ia pasti akan menyesal untuk seumur hidupnya. Tanpa terasa ia sampai mengeluarkan peluh dingin. Masih saja ia memandang kearah kakaknya.

Candra Wulanpun memandang kearah anak muda itu. Ia mendapat kenyataan kalau Wirapati sekarang bertambah kurus kalau dibandingkan dengan pertemuannya yang pertama dulu itu. Gadis ini menjadi terharu setelah mengetahui kalau Wirapati telah tak segagah dulu itu.

Segera setelah itu tanpa ragu-ragu lagi kedua orang gadis inipun melompat masuk dari dalam jendela. Mereka langsung menemui Woro Keshi dan Wirapati. Hingga kembali pendeta wanita ini menjadi kaget dan girang sekali.

Pangeran Pamegatsari menjadi tertawa tiada henti-hentinya setelah menyaksikan kalau ibu dan anak-anaknya ini telah berkumpul. Kemudian katanya :

“Semua orang yang kubutuhkan telah datang kecuali satu Mintaraga.

Huahaaaaa.... Huahaaaaa.... Huahaaa    ”

“Hem...” Candra Wulan memperdengarkan ejekannya. Pamegatsari jangan kau kegirangan terlebih dahulu. Kedatangan kami kemari ini hanya untuk menolong kakang Tunggorono. Maka kalau kau pandai melihat gelagat berilah keterangan kepada kami, dimana adanya kakang  

Tunggorono. Kalau kau tak mau memberitahukan kepadaku, maka jangan

menyesal bila rumah ini akan musnah dan orang-orangnya akan mampus. Kalian dan rumah ini akan kami serbu.”

Pangeran Pamegatsari ini tertawa sambil memandang kepada Candra Wulan.

“Kalian ini datang untuk menolong orang?” Katanya dengan nada mengejek. “Hem... aku khawatir kalau untuk menolong dirimu sendiri saja kau tak mempunyai kesempatan. Baiklah, rupanya sebuah pertempuran tak dapat dihindarkan lagi. Bukankah kalian tentunya tidak ikhlas kalau dirimu dibekuk dengan begitu saja? Apakah kalian telah siap sedia? Misalnya kalian ini mencela api itu kurang terang maka aku akan menyuruh orang-orangku untuk menambah beberapa buah lilin lagi. Aku akan melakukan apa saja hingga kalian akan menjadi puas.”

Candra Wulan berpikir, kelihatannya musuhnya itu hanya berempat bahkan mereka semuanya ini adalah orang-orang yang pernah dikalahkan oleh keturunan tiga keluarganya.

‘Bukankah bibi Woro Keshi seorang saja akan dapat mengalahkan kalian semua?’ Pikirnya pula. ‘Binatang kau terlalu banyak tingkah.”

Oleh karena terpikir demikian maka Candra Wulan lalu melompat maju kearah Pangeran Pamegatsari. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menyerang kearah batok kepala pangeran muda ini.

Pangeran Pamegatsari ini melornpat mundur tiga tindak, dan kemudian tertawa dengan lantang.

“Candra Wulan, kau tetap saja dengan kekerasan hatimu itu. Sedikitpun watakmu tak berubah.” Katanya dengan nada menggoda. “Kau bisa memilih ketikamu yang sangat baik. Apakah kau menganggapku atau pihakku ini hanya bertentara sedikit dan hanya mempunyai satu atau dua orang panglima? Nah tengoklah itu yang berada diluar.”

Candra Wulan berpaling. Entah dari mana datangnya, didalam pekarangan disekitar rumah itu dengan tiba-tiba telah kedapatan beberapa ratus obor, hingga sinar terangnya menambah penerangan lilin yang berada didalam itu. Diantara sinar api obor yang berjumlah ratusan inipun terdapat beberapa ratus kepala manusia serta gilap gemilapnya sinar senjata. Maka teranglah kalau ruangan itu telah dikurung oleh orang-orang Pangeran Pamegatsari.

“Bagaimana? Sudahkah kalian melihatnya??” Pangeran Pamegatsari bertanya, suaranya bernada mengejek sekali. “Selama hidupku aku paling benci mengalirkan darah, akan tetapi karena ini adalah titah gusti sinuwun Ario Penangsang tidak dapat aku membantah lagi.”

“Pengkhianat jangan kau masih tetap berpura-pura bodoh.” Damprat Bikshuni Woro Keshi, sambil terus berpaling kepada Kembang Arum dan semuanya, dan terus berteriak :  

“Lekas turun tangan.”

Setelah perkataan ini diucapkan maka ia sendiri lalu menggerakkan tangannya untuk membuka serangan, pedangnya terus dimainkan menurut ilmu pedang yang diperdalam dan diciptakan diatas puncak Muria.

Serangan ini adalah sebuah serangan habat, bukannya serangan macam yang dilancarkan oleh Candra Wulan tadi. Maka tak mengherankan kalau Pangeran Pamegatsari baru dapat menghindarkannya setelah berusaha mengelak dengan susah payah.

Melihat bacokannya ini tak memberikan hasil, Woro Keshi tak mau sudah sampai disitu saja. Terus saja ia mengulangi serangannya. Sekarang malahan dilakukan dengan bertubi-tubi. Karena nenek pertapa ini mengetahui kalau lawannya benar-benar hebat. Selain itu Woro Keshipun menginsyafi kalau akan menangkap berandal maka terlebih dahulu ia harus menawan dahulu pemimpinnya. Inilah jalan satu-satunya yang dapat dipakai untuk meloloskan diri dari kepungan musuh.

Setelah mengetahui kalau Woro Keshi telah menyerang, maka Kembang Arum, Wirapati dan Candra Wulanpun lalu menghunus senjatanya dan segera menyerbu. Mereka maju untuk menyerang Pacar Keling bertiga.

“Bagus.” Seru Pacar Keling, Surodento dan Agni Brasta. Akan tetapi mereka itu bukannya menyambut serangan, sebaliknya mereka melompat kejendela, untuk menjauhkan diri.

Kembang Arum bergerak sangat gesit, ia telah mengulurkan tangan kanannya kepada Pacar Keling. Namun dia menangkis dengan lengannya, tetapi sia-sia sajalah gerakannya ini, sebab ia telah kena dijambak belakangnya. Karena itu dengan menerbitkan suara yang keras bajunya telah sobek. Ini malahan sangat baik baginya karena dengan begitu ia dapat meloloskan diri dari bahaya.

Wirapati dan Candra Wulan harus mengejar sampai dipekarangan dalam.

“Pengkhianat, kemanakah kau akan kabur?” Teriak Wirapati dengan marah sekali.

Disini Surodento tak lari terus akan tetapi ia lalu memutar tubuhnya untuk rnenghadapi Iawan.

“Kabur?” Ulangnya sambil tertawa. “Aku khawatir, justru kaulah yang kabur !”

Lalu Surodento memberikan tanda dengan tangannya, hingga orang- orang yang diluar itu bergerak masuk untuk mengepung Candra Wulan dengan Wirapati.

Pacar Kelingpun tak lari terus, terdengar ia berteriak.

“Semua titik-titik telah masuk kedalam jaring seperti ikan, karena itu ki sanak sekalian, kerahkanlah tenagamu dan jangan sampai mereka ini dapat meloloskan diri.”  

Dengan titik-titik yang dimaksudkan oleh Pacar Keling itu adalah orang-

orang yang mereka butuhkan untuk ditawan, yang telah mereka pancing untuk masuk kedalam perangkap.

Wirapati mendongkol sekali, ia lalu melompat kearah Surodento untuk memberikan sebuah bacokan, akan tetapi tiba-tiba saja ia dicegat oleh seorang jago Jipang, yang mempergunakan sebatang tombak dengan memakai ronce-ronce merah. Ia bukannya menangkis akan tetapi malahan menyerang. Dengan bersenjata tombak maka lawannya itu dapat bergerak lebih leluasa karena pegangannya lebih panjang.

Wirapati menjadi mendongkol, karena ia menyerang. Sukarlah untuknya menangkis. Akan tetapi pemuda itu tak kehabisan akal, karena itu ia lalu melompat kearah samping, begitu kaki kirinya menginjak tanah, kaki kanannya melayang kemuka musuh.

Diserang dengan secara demikian musuhnya itu menjadi terkejut. Cepat- cepat ia mengelak mundur. Namun diluar dugaan dia telah disusul. Wirapati terus menyerang pula dengan kaki kanannya sebab pemuda ini telah mempergunakan serangan berantainya yang merupakan sebuah tendangan.

Kali ini lawannya menjadi gugup, tak sempat ia mengelak ataupun menangkis, tubuhnya terus menjadi sasaran dupakan, dengan menerbitkan suara yang keras ia lalu roboh terguling beberapa langkah kebelakang.

“Hem...” Pacar Keling rnemperdengarkan suara ejekannya sambil melompat maju, maksudnya merintangi Wirapati, dan menolong Surodento agar kawannya ini tak mendapat serangan terlebih lanjut. Karena itu ia lalu menggerakkan senjatanya.

“Kau juga pergi.” Seru Wirapati. Ia menangkis, sambil menangkis ia maju terus, akan terus merangsek ketubuh musuhnya, tangan kirinya menyambar tongkat lawannya, sedangkan tangan kanannya membacok dan membabat.

Pacar Keling mendorong tongkatnya, sedangkan tubuhnya dikuatkan. Oleh karena gerakan lawannya ini maka mau tak mau Wirapati harus menghentikan tubuhnya dan mencelat mundur. Akan tetapi ia mundur bukannya untuk mengangkat kaki, bahkan terus menangkat kaki menendang.

Pacar Keling menjadi terkejut sekali, sebenarnya ia akan maju merangsek. Dalam kekagetannya ini ia lalu berlompatan mundur. Namun ternyata dia kurang gesit, sebelah dengkulnya kena ditendang hingga merasa sakit sekali.

Candra Wulan telah menyaksikan pertempuran Wirapati ini, ia menjadi heran dan girang dengan bersama-sama. Baru beberapa bulan saja ia berpisah dengan pemuda itu, akan tetapi kini ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini telah maju dengan pesat sekali. Dalam  

kegembiraannya ini Candra Wulanpun lalu menyerang musuhnya dengan

secara hebat pula.

“Adi Candra Wulan sabar.” Seru Wirapati. Pemuda ini melihat kalau Candra Wulan sangat bernafsu sekali, hingga ia khawatir kalau gadis ini lupa untuk menjaga diri. Iapun lalu meninggalkan Pacar Keling untuk mendapatkan Candra Wulan.

Belum lagi Wirapati sampai ketempat Candra Wulan, ia telah dicegat oleh seseorang, yang melompat kedepannya. Orang itu adalah Surodento yang telah tertawa dengan nada dingin.

“Wirapati, jangan kau terburu nafsu.” Seru bekas perampok dari Alas Roban itu. “Marilah kita bertempur dulu sampai tiga ratus jurus.”

Setelah berkata demikian ia lalu menghunus senjatanya. Sebuah tongkat ditangan kiri dan tangan kanannya memegang sebuah golok pendek.

Hati Wirapati menjadi panas dan cemas. la telah melihat kalau Candra Wulan telah dikurung oleh belasan orang musuh. Tanpa mengucap sepatah katapun juga, ia lalu menyerang Surodento. Wirapati menyerang langsung menuju kedada. Pemuda ini menyerang sambil mengelak kekiri.

Surodento lebih tinggi kepandiannya kalau dibandingkan dengan Pacar Keling, segera saja ia tertawa dingin. Ia telah dapat menduga maksud anak muda ini. Karena itulah Surodento lalu mendahuluinya. Dengan tongkatnya ia menotok jalan darah anak muda itu, dan dengan goloknya ia menikam kearah tenggorokan.

Wirapati tak mempunyai ingatan untuk melayani musuhnya ini. Namun pemuda inipun tak mau memberi ketika dirinya dilibat, karena itu begitu melihat serangan datang ia lalu mengelakkan diri.

Surodento penasaran, setelah gagal serangannya yang pertama itu, ia lalu menyusul dengan serangannya yang kedua. Ternyata iapun tak kalah gesit, dari itu, dapat ia menyusul dan merintangi.

Candra Wulan telah dikepung belasan orang lawan, akan tetapi gadis ini sedikitpun tak merasa takut, bahkan sebaliknya ia lalu memperdengarkan suara tawanya yang lantang. Dengan bersama-sama ia lalu memukulkan tangan kirinya untuk memperkuat serangan-serangan pedang yang berada ditangan kanannya itu.

Pacar Keling hendak membalas, ia lalu melompat maju menerjang kearah Candra Wulan.

“Eh... budak hina, kau masih kenal kepadaku atau tidak?” Tegurnya dengan nada dan suara yang sangat dingin, dan tongkatnya itu dipakai untuk menunjuk. Pertanyaan ini segera disusul dengan sambaran tongkat yang menyambar kearah pinggang.

Baru setengah jalan tongkat Pacar Keling ini bergerak, dan bersama dengan itu berkelebatlah sesosok bayangan, dan dibarengi dengan  

meresapnya sebuah hawa dingin. Inilah pedang Candra Wulan yang

mendahuluinya. Pedang inipun menyambar kejalan darah.

“Ah...” Seru Pacar Keling sambil menarik pulang tongkatnya, dan dengan demikian berarti serangannya ini menjadi batal. Sedangkan dirinya harus bergerak mundur.

Candra Wulan tak mau memberi hati lagi, sekali menyerang ia lalu memakai sebuah jurus simpanannya yang disebut jurus PANUMPESING ANGKORO MURKO. Inilah jurus dari perguruan Lawu yang jarang sekali dikeluarkan kalau tak menghadapi lawan yang berat dan dalam keadaan terpepet.

Selama pertandingan di laut. SeIatan itu, Pacar Keling telah menyaksikan kepandaian Candra Wulan, dan dia mendapatkan kalau anak ini adalah seorang bocah yang baru saja keluar dari sebuah perguruan. Karena itu dapatlah dikatakan kalau tak akan mempunyai kepandaian yang berarti. Akan tetapi sekarang, baru dua bulan yang lalu, ia menjadi heran sekali. Gadis ini seperti telah ganti tulang dan tukar kulit. Tentu saja hal ini sangat mengejutkan Iawannya. Akan tetapi Pacar Keling kaget dengan percuma, ia kaget akan tetapi tak berdaya. Tak dapat ia menangkis, dan tak sanggup ia mengelakkan diri. Ia masih bingung ketika tubuhnya terbanting dengan keras, terus ia rebah tanpa dapat berkutik. Sebab serangan gadis ini sangat cepat dan tepat.

Surodento menjadi kaget dan heran, ia sampai menandang dengan bengong sekali. Begitu diuga Wirapati, sedikitpun pemuda ini tak pernah rnenyangka kalau Candra Wulan akan menjadi segagah itu.

Namun Candra Wulan sendiri tak berhenti sampai disitu saja. Sambil rnemperdengarkan sebuah tawa yang panjang, ia maju lagi sambil menggerakkan pedangnya yang tajam itu. Kali ini ia menerjang musuh- musuh yang sejak tadi mengurungnya. Candra Wulan bergerak diempat penjuru dimana saja terdapat lawan-lawannya. Hingga karena kegesitannya Candra Wulan kelihatan bagaikan seekor kupu-kupu yang sedang bermain- main diatas bunga.

Dalam waktu yang sangat pendek pendekar wanita ini telah dapat merobohkan dua orang musuh-musuhnya itu.

Surodento niatnya akan membekuk Wirapati, akan tetapi setelah ia melihat sepak terjang Candra Wulan yang melebihi kegagahan pemuda ini, ia lalu bersiul dengan nyaring. Siulan ini adalah sebuah perintah untuk memberi tanda kepada kawan-kawannya supaya mengepung Candra Wulan. Hingga dengan demikian Candra Wulan menjadi terkurung dalam dua lapisan.

Melihat kalau Surodento ini lalu menghampirinya, Candra Wulan lalu tertawa dengan terbahak-bahak.  

“Surodento kau datang? Bagus sekali.” Serunya. “Dulu waktu kita

bertemu di Jimbun, aku hanya memenggal kupingmu saja. Malam ini kita bertemu lagi, karena itu janganlah kau salahkan aku kalau Candra Wulan akan memenggal lehermu.”

Dengan sekali berkelebat saja Candra Wulan telah berada dihadapan lawannya itu, pedangnya terus berkelebat dan yang diarah benar-benar leher lawannya itu.

Surodento menjadi sangat marah sekali karena ia dipermainkan dan dihina didepan orang banyak. Ia lalu menangkis serangan itu dan mengangkat kepalanya lalu membalas serangan itu dengan serangannya yang lain.

Wirapati menjadi heran dan kagum sekali ketika menyaksikan Candra Wulan telah berubah menjadi demikian gagahnya. Ia menjadi malu sendiri ketika teringat kalau ia akan menolong gadis ini, karena itu ia lalu berpikir untuk kembali masuk kedalam ruang, akan tetapi tiba-tiba saja ia dirintangi oleh Agni Brasta. Dengan tertawa dingin dan tak banyak percakapannya lagi, lalu raja pencopet ini mendahului menyerang dengan rantai bajanya.

Wirapati menangkis dengan cepat. Sedikitpun ia tak kenal kepada Agni Brasta yang tak berwajah gagah, hanya setelah senjata mereka bentrok maka Wirapati tak berani memandang enteng.

Begitu serangan pertama tak berhasil, Agni Brasta mengulanginya, lalu mengulangi lagi. Ternyata Agni Brasta berusaha mendesak dengan serangan- serangan berantainya ini.

Diam-diam Wirapati menghela napas. Kemudian katanya didalam hati : ‘Untuk beberapa bulan aku menyekap diri, dengan menyiksa diri aku

mulai meyakinkan ilmu-ilmu yang kuperoleh dari bapa guru, dan harapanku setelah nanti muncul didunia kependekaran akan mendapat sedikit nama. Akan tetapi siapa tahu kalau aku tetap tak memperoleh kemajuan, dan kepandaianku hanya setaraf dengan orang macam begini saja ”

Memanglah harus diakui kalau pasangan ini berimbang sekali. Dengan segera mereka telah mendahului sampai lima atau enam puluh jurus, namun kesudahannya mereka itu tak ada yang menang maupun yang kalah.

Dilain pihak Candra Wulan mulai terdesak, ia telah dikepung dengan hebat sekali. Memang gadis ini telah mewarisi kepandaian dari Pendeta Argo Bayu, akan tetapi kepandaian itu harus disertai pula dengan latihan yang ulet serta peyakinan beberapa tahun. Sekarang Candra Wulan baru saja mendapat ilmu, dan belum ada dua bulan yang lalu, kerena itulah tak mengherankan kalau ia belum mempunyai keuletan. Walaupun demikian coba ia tak dikepung dengan beramai-ramai, Surodento pasti akan mengalami kesulitan dari gadis ini.

Sewaktu melayani Agni Brasta, Wirapati masih sering mempunyai kesempatan untuk berkali-kali memperhatikan Candra Wulan, dan hal ini  

telah membuatnya menjadi bingung sekali setelah mengetahui kalau Candra

Wulan terdesak dengan hebat. Wirapati berniat meninggalkan musuhnya dan menghampiri gadis itu untuk memberi bantuan. Akan tetapi sungguh menyesal sekali karena Agni Brasta terus mendesak kepadanya. Yang Iebih hebat lagi ialah belasan orang lalu muncul lagi dan langsung mengeroyoknya.

Dengan demikian maka keadaan dari Wirapati ini menjadi sangat sulit sekali.

Sampai disaat itupun  Kembang Arum belum juga  muncul untuk membantu salah satu dari mereka ini, Wirapati atau kepada Candra Wulan. Memang ada sebabnya gadis ini menjadi bersikap demikian. Sebabnya ialah setelah ia dapat mengalahkan Pacar Keling, ia lalu berpaling dan melihat sepasang mata disela-sela tembok. Sinar mata itu kelihatan tawar akan tetapi tajam sekali dan pula menggambarkan sebuah sorot mata yang licik. Karena itu Kembang Arum dapat segera mengenali siapa adanya sinar mata itu. Memang sinar mata ini bukan lain adalah sinar mata dari Pendeta Baudenda. Pendeta Baudenda bersembunyi dikamar sebelah dan ia mengintai dari baIik atau sela-sela tembok, menanti saat yang baik untuk memperlihatkan diri untuk menghampiri pangeran Pamegatsari, membantu pemuda itu untuk membekuk Woro Keshi. Selama hidupnya, ia tak pernah takut kepada siapapun juga kecuali kepada kakak seperguruannya, Pendeta Argo Bayu, dan keponakannya yaitu Mintaraga. Inilah sebabnya ia masih tetap bersembunyi saja. Ia menganggap sebuah perkara kecil untuk membunuh Woro Keshi, ia hanya khawatir sekali kalau ketiga orang muda-mudi ini dapat melihatnya. Pendeta Baudenda percaya betul kalau ia dapat diketahui oleh mereka itu, pasti sekali Mintaraga dan Pendeta Argo Bayu bakal tahu dan mereka akan mencarinya. Itu artinya, ia akan mampus dengan tak ada

tempat untuk mengubur mayatnya............

Oleh karena ini ia telah mengatur siasat, selekasnya ketiga orang muda- mudi itu keluar, kemudian ia hendak mengeroyok Woro Keshi si Bikshuni dari perguruan Muria itu. Akan tetapi sungguh tak beruntung baginya, sebab Kembang Arum dapat melihat matanya dan dapat pula mengenalinya.

Kembang Arum adalah seorang gadis yang sangat cerdas hingga ia dapat rnengetahui apa maksud dari perbuatan pendeta Baudenda yang bersembunyi dibalik kamar itu. Gadis itu lalu berpikir :

‘Mengapa akupun tak sembunyi sebentar untuk menipunya, agar sebentar lagi aku dapat mempergokinya? Dengan cara demikian pula maka aku dapat membantu ibu.”

Kembang Arum lalu memandang kearah sekitar dan lalu gadis ini mencelat keatas, setelah menyambar penglari ia lalu menyembunyikan diri. Dari sini ia dapat melihat kesegala penjuru, untuk mengikuti jalannya pertempuran.  

Sekalipun pangeran Pamegatsari tak dapat mengikuti gerak-gerik dan

sepak terjang Kembang Arum, ia harus mengerahkan tenaga dan perhatiannya untuk melayani Woro Keshi.

Dia terus berkelahi dengan tangan kosong sampai lima atau enam puluh jurus, hingga dengan demikian Woro Keshipun menjadi gelisah sekali, sedangkan pendeta wanita ini menghendaki sebuah kesudahan yang sangat singkat. Terpaksa ia berkelahi dengan keras, setelah ini barulah ia dapat mendesak.

Lagi beberapa jurus, tiba-tiba saja terdengarlah sebuah bunyi ‘breeett’.

Pangeran Pamegatsari menjadi kaget sekali. Ia telah berlaku gesit, tak urung ujung bajunya dapat dipapas kutung. Dalam kekagetannya ini ia lalu melompat mundur beberapa tindak.

“Pengkhianat jangan kau terus main gila.” Bentak Woro Keshi menegurnya. “Lekas kau hunus senjatamu, tak biasa aku membunuh seorang yang bertangan kosong.”

“Baiklah.” Jawab Pangeran Pamegatsari. “Kau lihat apakah ini?”

Ketika pangeran Pamegatsari menggerakkan tangannya maka entah kapan dan ditangannya terdapat sebuah senjata yang berkilau-kilauan, panjang senjata ini hanya sedepa. Inilah trisula yang terbuat dari emas semuanya.

Kembang Arum belum pernah menyaksikan pangeran Pamegatsari mempergunakan senjata, akan tetapi ketika ia melihat senjata ciri khas ini menjadi kaget sekali, inilah sebuah ciri dari perguruan Kendeng.

Ketika ia memandang kearah ibunya, ibunyapun kelihatan berobah air mukanya. Kemudian terdengarlah bentakan Woro Keshi itu :

“Pamegatsari, kiranya kau ini anak murid dari perguruan Kendeng!”

Kembang Arum menjadi sangat heran sekali ketika mendengar perkataan ibunya yang tergetar itu sewaktu mengucapkan nama perguruan ‘Kendeng’. Karena itu Kembang Arum lalu menduga-duga apakah perguruan Kendeng ini termasuk sebuah perguruan sesat?

Pangeran Pamegatsari telah memperdengarkan suaranya yang dingin dan dibarengi dengan suara tawanya. Sebuah suara tawa yang bernada tawar. Boleh pula kalau dikatakan sumbang.

“Jika kau takut, lekaslah pulang saja ke Muria.” Diapun membentak. “Sejak saat ini jangan lagi kau keluar dalam dunia kependekaran. Untukmu waktu masih belum terlambat.”

Mendengar perkataan ini Bikshuni dari perguruan Muria ini menjadi sangat mendongkol sekali, hatinya menjadi panas dengan seketika.

“Sekalipun Panembahan Kunti Boya sendiri yang datang, aku Woro Keshi tak akan takut.” Serunya. “Mengapa aku harus takut kepadamu seorang bocah yang belum dapat mengusap ingus sendiri? Lihat.”  

Setelah berkata demikian maka pendeta wanita ini lalu menyerang

dengan sebuah jurus yang dinamakan Prahara Prakasa. Sebuah serangan yang dilakukan dengan tiba-tiba dan sukar sekali dilihat kemana arah serangan itu.

Kelihatannya Pangeran Pamegatsari ini benar-benar tak takut. Ia tertawa dingin beberapa kali sewaktu ia menggerakkan senjatanya yang aneh untuk menghalau serangan musuh. Setelah itu ia baru membalas serangan lawannya ini dengan sebuah serangan pula yang tak kalah dahsyatnya. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi keganasan pedang pendeta wanita itu.

Woro Keshi melayani sampai tiga puluh jurus, setelah itu, kembalilah terbangun hawa amarahnya, karena itu setelah ada ketika, ia lalu menyerang lagi dengan sebuah serangan yang hebat. Tabasan ini dilakukan kearah pinggang.

“Bagus.” Seru pangeran Pamegatsari sambil mengelak, lalu sambil menggerakan tubuhnya itu, iapun mengambil kesempatan untuk menyerang kearah iga.

Woro Keshi memperlihatkan ketangkasannya. Dengan amat berani nyata lalu mengajukan tangan kirinya, menangkis dan bersama dengan menyambar trisula lawannya untuk ditarik keras-keras.

“Bagus.” Pangeran Pamegatsari memuji pula. “Woro Keshi namamu ini memang bukan sebuah nama yang kosong melompong saja.”

Ia mengelak dan terus merangsek, untuk melakukan serangan balasan, membalas dengan tak kurang hebatnya.

Bikshuni dari perguruan Muria ini melayani sampai ia dapat menyambar sodokan lawannya itu, segera ia merasakan sebuah dorongan yang keras.

‘Ah... kau hendak mengadu tenaga dalam.’ Katanya didalam hati. Maka iapun mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan.

Pangeran Pamegatsari menjadi terkejut sekali ketika mengetahui kalau lawannya ini berhasil menangkap ujung senjatanya. Untuknya sekarang tinggal dua buah kemungkinan saja, melepaskan senjatanya atau bertahan terus mengadu kekuatan tenaga dalamnya melawan tenaga dalam Woro Keshi. Tentu saja sebagai seorang yang telah berkecimpung didalam dunia kependekaran pangeran Pamegatsari memilih jalan yang terakhir. Karena itulah mereka menjadi berkutetan terus.

Kembang Arum terkejut dan khawatir sekali ketika menyaksikan kedua orang itu tengah mengadu tenaga dalamnya. Memang kelihatannya mereka itu hanya saling tolak menolak seperti anak kecil bermain saja, akan tetapi akibatnya sangatlah hebat, salah-salah permainan ini akan dapat meminta korban nyawa. Siapa yang kalah dia akan celaka. Siapa yang gentar hatinya, dapatlah dipastikan kalau ia akan kalah......  

Kedua belah pihak sama-sama memasang kuda-kudanya dengan teguh

sekaIi. Hingga kaki kedua orang itu bagaikan berakar dan menancap keras- keras ditanah yang mereka injak.

Woro Keshi memegang ujung senjata Pangeran Pamegatsari dengan tangan kirinya, maka dengan sendirinya segala tenaga dalamnyapun dikerahkan ketangan kiri itu, dari itulah walaupun tangan kanannya tetap memegang pedang, namun tangan kanannya tak dapat berbuat banyak. Pendeta wanita ini sebenarnya lebih leluasa dan biasa mengerahkan tenaga dalamnya melalui tangan kanannya. Namun sekarang menjadi sebaliknya.

Kembang Arum menjadi cemas hatinya. Siapakah yang dapat memisahkan mereka berdua? Iapun khawatir sekali kalau ibunya itu akan kalah tenaga dengan pangeran Pamegatsari itu, atau nanti pendeta Baudenda akan muncul dengan secara tiba-tiba dan rnembokong ibunya. Oleh karena itulah ia lalu menghunus pedangnya untuk bersiap sedia disetiap saat untuk menolong ibunya. Akan tetapi, mendadak ia terkejut. Tangan kanannya itu tahu-tahu ada yang memegang. Karena itulah ia kaget bukan main. Bukankah itu berarti ada orang yang telah mendampinginya dengan tak diketahuinya? Iapun juga merasakan kalau pegangan itu keras sekali. Segera saja ia berpaling dan tangan kirinya disiapkan untuk melakukan sesuatu kalau keadaan memaksa.

“Ah...” Serunya dengan tertahan ketika ia mengetahui siapa, adanya orang yang memegangi tangannya itu. Ia lalu tak dapat berkutik lagi. Dengan cepat sekali orang itu telah mempergunakan kelingkingnya untuk menotok urat gagunya, hingga suaranya berhenti ditengah jalan. Hanya sejenak orang itu menotok dan kemudian membebaskan lagi. Atas kejadian ini ia lalu menutup mulutnya. Karena ia mengetahui kalau orang itu berbuat demikian untuk mencegahnya membuka mulut. Diam-diam ia merasa lega bukan main.

Dibawah penglari kedua belah pihak berkutetan terus. Keduanya telah mengeluarkan peluh didahinya, peluh itu terus mengalir dan menetes turun jatuh kelantai. Kedua orang itu tetap tak berbicara, melainkan dada mereka saja yang mengempos napas dan mengatur jalannya pernapasan.

Beberapa saat kemudian, napas Pangeran Pamegatsari mulai mendesak. Nyata sekali kalau pemuda ini kalah latihan kalau dibandingkan dengan pendeta wanita itu. Bahkan pemuda pangeran ini menginsyafi kalau dipihaknya terancam bahaya, karena itulah ia lalu mengumpulkan segenap semangatnya, untuk bertahan terus.

Disaat orang tengah menghadapi ancaman bahaya yang terakhir ini, sekonyong-konyong kelihatan orang melompat keluar dari dalam ruangan sebelah dalam, malahan mereka itu dapat segera dikenal. Orang pertama adalah Pendeta Baudenda dan orang kedua ki Jogosatru yang menjadi muridnya.  

Pendeta   Baudenda   lalu   melirik   kearah   muridnya,   dan   langsung

mengedipkan matanya. Karena itu muridnya lalu melompat kearah pintu untuk melakukan penjagaan. Pertamanya Jogosatru menengok keluar, lalu menganggukkan kepala kepada gurunya, memberi isyarat kalau disana tak ada orang.

Pendeta Baudendapun lalu membalas anggukan itu, yang menanda kalau dirinya ini mengetahuinya.

Pangeran Pamegatsari menjadi girang sekali setelah melihat munculnya pendeta Baudenda ini. Wajahnyapun lalu berubah menjadi terang. Hanya diam-diam saja ia menyayangkan mengapa pendeta ini berlaku dengan ragu- ragu.

Dilain pihak sebenarnya Woro Keshi sedang mengerahkan seluruh tenaganya, hal ini dilakukan untuk merobohkan musuhnya, karena ia mengetahui dengan baik sekali, kalau pada saat seperti ini datang orang lain, yang menjadi kawan dari lawannya itu. Tentu usahanya akan gagal dan ia sendiri akan mendapatkan sebuah kesusahannya. Justru pada waktu itu ia lalu mendengar sebuah kesiuran angin dingin dan terdengar pula sebuah suara yang bernada mengejek sekali :

“Keshi, bukankah kau telah mencariku kemana-mana akan tetapi aku telah berada disini sekarang.”

Woro Keshi menjadi terkejut sekali setelah mendengar suara ini, sebab ia hafal benar kalau suara ini adalah suara dari pendeta Baudenda yang hanya berlengan satu itu. Dan ketika ia memandang kearah pendeta itu, maka tampaklah kalau matanya (mata pendeta itu) sedang memandangnya dengan tajam-tajam dan tangan satu-satunya ini telah memegang sebatang pedang.

Pangeran Pamegatsari yang cerdik ini telah segera mempergunakan kesempatan baik ini. Begitu pendeta wanita ini berpaling, ia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak. Memang permainan pangeran Pamegatsari ini berhasil, walaupun tak sepenuhnya. Dari terdesak sekarang mereka menjadi berimbang.

Kedua belah pihak membungkam terus, tak seorangpun yang berani membuka percakapan.

Pangeran Pamegatsari memandang kearah pendeta Baudenda, kemudian pangeran muda ini mengerdipkan matanya kerarah pendeta Baudenda. Inilah sebuah permintaan tolong supaya pendeta ini mau segera turun tangan membunuh musuhnya.

Melihat ini pendeta Baudenda tertawa bergelak-gelak, bahkan suara tawanya panjang sekali.

“Keshi.” Katanya dengan suara yang nyaring. “Aku denganmu tak mempunyai perselisihan dan tak punya perhitungan yang harus diselesaikan. Mengapakah kau pergi kemana-mana untuk mencariku si pendeta tua??”  

Woro Keshi memandang kearah pendeta Baudenda dengan sorot mata

yang berapi-api akan tetapi sedikitpun Bikshuni dari perguruan Muria ini tak berani membuka mulutnya.

Jogosatru ternyata tak mau tinggal diam saja.

“Bapa guru.” Katanya setelah terlebih dahulu mengeluarkan suara tawanya yang bernada dingin. “Dia itu adalah seorang 'simpanan' dari kakakku, kau bunuh saja dia itu! Bukankah pendeta wanita ini selalu keliaran untuk mencari bapa guru?”

Setelah berkata demikian maka kembalilah Jogosatru tertawa berulang- ulang. Suara tawanya keras sekali tanda kalau lelaki ini puas sekali.

Pendeta Baudenda maju beberapa tindak. Kemudian dengan matanya yang tajam ini ia memandang kearah pendeta wanita.

“Binatang Darmakusuma itu adalah leleteking dan kotoran dari perguruan kami, padepokan Lawu”. Katanya. “Karena itu Keshi, malam ini juga aku akan mengirimmu ke neraka. Apakah kau akan menemui kekasihmu si Darmakusuma itu disana? Baik... baik... nah kau pergilah untuk berunding dengannya.”

Perkataan ini ditutup dengan gerakan pedangnya yang terus menusuk kearah tenggorokan Woro Keshi, dan hal ini dilakukan sewaktu pendeta wanita itu merasa cemas. Sebab ia marah akan tetapi tak dapat melampiaskan perasaan kemarahannya. Karena ia bagaikan tercancang oleh pangeran Pamegatsari.

Bersama dengan tikaman itu, pendeta Baudenda terperanjat sendiri. Dengan tiba-tiba saja pedangnya dapat diserang dengan sebuah benda, hingga terdengar suara nyaring dan pedang itu terlepas dari pegangannya. Terpental jatuh! Akan tetapi ia tahu darimana datangnya serangan itu, maka ia lalu mengangkat kepalanya memandang kearah penglari. Untuk keheranannya disana ia melihat Kembang Arum sedang duduk seorang diri.

‘Benarkah dia yang menyerangku barusan ini.’ Katanya didalam hati. Akan tetapi ia sangat mendongkol dan gusar sekali. Karena itu ia lalu melompat tinggi-tinggi dan mengayunkan tangannya. Pendeta Baudenda lalu membentak :

“Manusia hina dina, kau mencari mampus sendiri.”

Kembang Arum tak menjadi kaget atau cemas setelah dapat dipergoki oleh pendeta Baudenda. Sebaliknya ia tertawa dengan tenang sekali.

“Apakah kau hendak mengadu kepandaian denganku?” Tanyanya menantang. “Baik.... baik...” Katanya sambil melayang turun. Ia melayang sambil menyongsong dan terus menyerang, maka kedua tangannya bentrok dengan sebelah tangan pendeta Baudenda. Karena kedua-duanya tak menginjak tanah atau Iantai maka sebelum turun keduanya lalu berjumpalitan terlebih dahulu. Pada waktu itu tenaga dalam mereka tak berbeda banyak.  

Begitu ia menginjak tanah. Pendeta Baudenda maju sambil mengibaskan

tangannya, ia bermaksud menyerbu gadis yang belum siap sedia ini.

Benar-benar Kembang Arum terancam bahaya, dalam kagetnya dengan susah payah ia mengelakkan diri. Tapi ia ditolong oleh sebuah samplokan, yang datang dengan secara tiba-tiba dari belakang pilar, yang membuat punah serangan pendeta Baudenda, sehingga sia-sialah usaha dari pendeta murtad ini.

Pendeta Baudenda kaget sekali. Didunia kependekaran Pendeta Baudenda telah mendapatkan sebuah nama julukan SETAN SAYAP SATU. Biarpun pendeta Baudenda ini telah kehilangan sebelah tangannya, akan tetapi lengan tangan yang buntung ini telah dilatih dengan sedemikian hebatnya hingga lengan baju ini dapat dipergunakan untuk mengibas maupun melilit. Hebatnya tak kalah kalau dengan sebuah tangan biasa saja. Bahkan dapat dikatakan kalau kibasan itu bahayanya melebihi tajamnya sebuah tabasan pedang.

Segera saja ia berpaling untuk melihat siapa orang yang telah berhasil memusnahkan serangannya itu, untuk menolong Kembang Arum. Dia tak melihat siapapun juga, kecuali Jogosatru yang berdiri tenang bagaikan patung, muridnya ini mulutnya ternganga.

Teranglah kalau muridnya ini telah kena totokan pada urat besarnya. Dilain pihak Pangeran Pamegatsari dan Woro Keshi yang tadi berkutetan mengadu tenaga, sekarang telah tak mengadu tenaga dalam lagi, hanya keduanya duduk berpisah beberapa tindak dan tak berkata apa-apa. Karena keduanya sedang repot untuk bersemedi mengatur pernapasannya serta tenaganya. Perkutetan itu seperti telah menghabiskan tenaga mereka.

Dalam keheranannya ini pendeta Baudenda lalu memperdengarkan suaranya yang nyaring. Ia tahu entah dari mana dan pendekar mana yang telah berani mencampuri urusannya ini. Dan ia meminta supaya orang itu memperlihatkan diri.

Kembang Arum dapat menduga kalau pendeta Baudenda sedang gelisah sekali. Karena itulah gadis ini lalu mengejek. Terlebih dahulu ia memperdengarkan suaranya yang dingin.

“Pendeta Baudenda, bukankah kau sangat takut?” Demikian ejekannya.

Pendeta Baudenda tak menghiraukan kepada Kembang Arum itu, akan tetapi tentu saja ia tak sudi mengatakan atau memperlihatkan kaIau sebenarnya ia sedang cemas.

“Kau sebenarnya orang gagah dari manakah?” Katanya pula. Perkataannya ini separuh menghibur hatinya. “Kuharapkan kau suka memperlihatkan wajahmu.”

Kembang Arum tertawa.

“Orang gagah itu telah pergi keluar untuk memperlihatkan wajahnya.” Katanya. “Kau ingin bertemu dengannya, akan tetapi dia malahan tak sudi  

bertemu denganmu. Akan tetapi kau jangan takut, karena dia tentunya tak

mau membunuhmu. Benarkah kau ingin mengetahui siapa adanya orang itu?”

Hati Pendeta Baudenda menjadi berdebar-debar, ia lalu menduga kepada kakak seperguruannya, yang paling ditakutinya. la telah marasakan kepandaian orang itu yang sangat hebat sekali.

Sementara itu diluar masih terdengar suara berisik dari bentrokan senjata.

Dengan cepat pendeta Baudenda lari kearah jendela, untuk menengok keluar. Ia segera melihat sebuah bayangan hitam yang berkelebat melintas seperti terbang dari timur menuju kebarat, lalu dari barat keselatan keutara. Bayangan itu melesat kesegala penjuru dengan sangat gesit, melayani beberapa puluh musuh yang tangguh, dalam waktu yang pendek saja ia telah berhasil menotok musuh-musuhnya. Ia melihat dengan tegas sekali kalau yang dipergunakan oleh orang itu adalah ilmu silat dari perguruannya, perguruan Lawu. Karena itulah Pendeta Baudenda menjadi kaget sekali. Insyaflah dia kalau kakak seperguruannya, ki pendeta Argo Bayu, telah tiba. Dengan tibanya kakak seperguruannya itu, bisakah ia masih mempunyai nyawa? Hanya sejenak saja ia merasakan dingin bagaikan disiram air. Ia lalu menjadi putus asa, maka pendeta Baudenda lalu berseru :

“Kakang... kakang pendeta Argo Bayu, janganlah kau marah! Disini adik seperguruanmu Baudenda, menghadap kepadamu kakang...!”

Bayangan itu rupa-rupanya dapat mendengar teriakan pendeta Baudenda ini. Akan tetapi orang itu hanya menjawab dengan suara tawanya saja yang nyaring dan segar hingga dapatlah dikatakan menggetarkan udara, sedikitpun ia tak menjawab dengan perkataan.

Sewaktu pendeta Baudenda memasang mata, tiba-tiba saja serupa barang besar sekali menyambar kepadanya. Ia terkejut, lalu mengelak sambil menundukkan kepalanya. Tentu saja ia mendengar suara terbantingnya benda yang keras disebelah belakangnya, disusul dengan teriakan yang tak tegas :

“Pendeta Baudenda... tolonglah aku... cepat...”

Pendeta itu segera memutar tubuhnya untuk melihat. Betapa kagetnya, ia melihat Surodento rebah tak berdaya, tak dapat menggerakkan tubuhnya. Terang sudah kalau orang itu telah kena totokan pada jalan darahnya.

“Surodento...” Panggilnya. “Dia... dia siapakah?” Ia lebih perlu menanyakan siapa adanya orang itu, dari pada menolong terlebih dahulu.

Belum lagi Surodento menjawab, tiba-tiba kembali dua buah benda hitam melayang kearahnya. Ketika pendeta Baudenda berpaling ia melihat Agni Brasta dan Pacar Keling. Bagaikan baru sadar dengan agak tergesa-gesa ia lalu mengulurkan tangan dan bajunya untuk menyambut tubuh mereka itu. la dapat menyambut dengan baik, maka ia lalu meletakkan tubuh kedua  

orang kawannya. Memang hebat sekali lengan tangan buntung Pendeta

Baudenda itu, ia dapat menangkap seorang kawannya dengan libatan tangan baju saja.

Pacar Keling dan Agni Brasta tidak tertotok, rupa-rupanya karena kagetnya itulah dan juga perasaan takutnya ini, mereka menjadi pingsan, tak dapat mereka membuka mulut.

Pendeta Baudenda benar-benar putus asa.

‘Kakang pendeta Argo Bayu telah datang.... biarlah aku menyerahkan jiwaku...’ Pikirnya. Tidak ragu-ragu lagi, ia lalu melompat kedalam kalangan. “Kakang Argo Bayu, kuminta supaya kakang mau mendengarkan apa yang akan kubicarakan ini.” Katanya dengan nyaring akan tetapi tak keras. Tak dapat ia melayani kakaknya itu dengan kekerasan, maka ia mengharap dengan menerima salah, ia nanti akan dapat melindungi selembar nyawanya itu. lapun telah berpikir untuk membohongi kakak seperguruannya itu. Biar

bagaimanapun juga ia harus mencoba menolong dirinya sendiri.

Akan tetapi sia-sia saja teriakan pendeta Baudenda ini karena ia tak menerima jawaban, karena itulah pendeta Baudenda kembali berteriak dengan nyaring. Beberapa kali ia telah berseru, akan tetapi tetap saja tak memperoleh hasil, karena itulah ia menjadi heran. Dengan memasang mata memandang keempat penjuru. Sekarang dapatlah ia menyaksikan pemandangan yang membuatnya heran dan juga takut.

Jago-jago Jipang yang tadinya bertempur dengan hebat sekarang berdiam semuanya, tak seorangpun yang bergeming. Pula diamnya mereka itu secara luar biasa sekali.

Ada yang sedang berdiri, ada yang rebah, ada yang sedang mengangkat goloknya tinggi-tinggi, ada pula yang sedang melintangkan pedangnya. Tegasnya, sikap mereka itu tidak ada yang tidak berlainan. Apa yang mereka dapat gerakkan adalah beberapa puluh pasang mata mereka, yang melihat kekiri dan kekanan, dan dari mata mereka tampaklah sinar ketakutan....

Sunyi senyap didalam gelanggang itu, bintang-bintang jarang, dan bulanpun guram. Sedangkan angin berhembus dengan sepoi-sepoi basah. Didalam gelanggang itu tak kelihatan pendeta Argo Bayu, kakak seperguruannya.....

“Kakang Argo Bayu, dimanakah kau berada??” Tanyanya dengan suara nyaring.

Barulah sekarang pendeta Baudenda menerima jawaban, akan tetapi jawaban yang diberikan ini bernada sangat dingin sekali.

“Baudenda.” Katanya. “Benarkah kau hendak menemui eyang guruku?

Baiklah, aku akan menunjukkan jalan kepadamu.”

Suara ini disusul dengan munculnya orangnya dan juga seorang lain.

Betapa mendongkolnya Pendeta Baudenda, segera mengenali orang itu yang bukan lain adalah Candra Wulan dan Wirapati. Inilah si nakal yang  

selalu    membuat    orang    menjadi    mendelu.    Sedangkan    Wirapatipun

mengawasi pendeta Baudenda dengan mata yang tajam, sinarnya mengejek. Mereka berdua tetap tersenyum, akan tetapi sebuah senyum dingin.

“Mana dia?” Tanya Pendeta Baudenda dengan terpaksa, suaranya terdengar kaku.

Candra Wulan menjawab dengan suara yang jenaka. Memang gadis ini paling senang mempermainkan orang.

“Sekarang ini baiknya kita bertempur dulu beberapa ratus jurus.” Jawabnya. “Setelah bertempur nanti aku akan memberi keterangan kepadamu. Bukankah untuk itu waktunya masih belum terlambat?

Perkataan Candra Wulan ini bukannya ejekan atau main-main, perkataan ini ditutup dengan majunya gadis itu dan dibarengi dengan sebuah tikaman.

Pendeta Baudenda tak berani melayani gadis, ia segera melompat mundur sampai tiga langkah. Baru saja kakinya menginjak tanah, ia lalu mendengar sebuah desiran angin dingin dan telinganya mendengar sebuah perkataan :

“Baudenda, kau ini sangat takut sekali kepada kakak seperguruanmu si pendeta Argo Bayu, seharusnya jangan kau berbuat sedemikian busuknya. Lihat tanganku.”

Pendeta Baudenda hanya memperdengarkan suara jengekannya ‘hem’ dan lalu menggeserkan tubuhnya. Dengan demikian serangan yang datang dari belakarig itu hanya lewat samping saja.

Akan   tetapi   disaat   ia   mengelak,   golok   Wirapati   menyambarnya.

Wirapati inipun telah memberikan tegurannya pula :

“Pendeta Baudenda, kau telah bersekutu dengan para pemberontak Jipang Panolan, karena itulah dosamu tak terampun lagi. Lihat golok.”

Bukan main mendongkol dan masygulnya hati pendeta Baudenda. Ia sebenarnya tak sudi berkelahi, akan tetapi mau tak mau, ia harus berkelahi juga. Ia telah dikepung dan dilakukan dengan kasar oleh muda-mudi ini. Bahkan kini ada Kembang Arum yang tadi membokongnya sewaktu ia melompat mundur. Terpaksa karena tak ada jalan mundur, ia lalu menggerakkan tangan bajunya yang kutung menyamplok golok, hingga golok Wirapati menjadi terpental.

Menyusul samplokannya itu, ia melompat mencelat, untuk melewati penyerangnya.

Bersama dengan itu, sebuah sinar berkilauan berkelebat didepan mukanya. Inilah pedang dari Kembang Arum yang menyerang dengan hebat sekali. Ujung pedang Kembang Arum ini terus menyambar kearah hidung pendeta yang kemaruk dengan harta benda keduniawiaan.  

Pendeta Baudenda kaget, hingga ia berseru, dengan kegesitannya, ia

melompat kebelakang, cepat sekali ia membebaskan diri dari tikaman Candra Wulan, pun gadis ini lalu mendesak kepadanya.

Dalam mendongkolnya pendeta Baudenda terus berteriak :

“Apa? Apakah kalian tiga orang makhluk kecil ini berani turun tangan terhadap aku orang tua yang mempunyai tingkatan lebih tinggi??”

Kembang Arum menjawab teguran atau pertanyaan ini dengan suara tawanya yang lantang.

“Jangan kau kesusuk.” Katanya. “Kami tak memikir untuk membunuhmu, untuk membunuhmu telah ada orang lain.”

Kembali pendeta Baudenda menjadi terkejut, justru pada waktu itu pedang dikiri dan golok dikanan dari gadis ini menyerang kepadanya. Kedua sinar pedang ini benar-benar menyilaukan mata.

Pendeta Baudenda dapat didesak, sedangkan Candra Wulan dan Wirapatipun maju pula. Yang satu mempergunakan pedang yang Iain mempergunakan golok. Dan kedua senjata ini dipakai untuk menikam dan membacok kepadanya seperti membabi buta!

Pendeta Baudenda menggerakkan tangan bajunya untuk membela diri. “Dikolong langit siapakah yang berani membunuhku?” Serunya saking

mendongkol sekali, selain itu iapun menjadi sengit sekali. Sedikitpun pendeta Baudenda tak dapat melampiaskan amarahnya.

Pendeta Baudenda penasaran sekali kepada tiga orang muda-mudi ini, akan tetapi ia tetap sungkan sekali kalau harus melayani mereka ini dengan bersungguh-sungguh. Walaupun ia mengucapkan demikian namun hatinya menjadi jeri sekali. Bahkan bingung bukan main. Ia tetap saja dan mengira kalau kakak seperguruannya tentu bersembunyi disekitar situ.

“Didunia ini banyak sekali orang yang ingin membunuhmu.” Jawab gadis itu. “Kau tahu bukan ibuku adalah salah satu diantaranya. Ibuku pernah bersumpah dengan berat sekali, kalau beliau tak berhasil membunuhmu, maka ia sangat sungkan sekali untuk menjadi manusia. Kulihat malam ini adalah malam yang akan menentukan nyawamu. Sebab mungkin ibuku akan segera turun tangan.”

“Habis bagaimanakah dengan kakak seperguruanku??”

Mau tak mau Pendeta Baudenda lalu menanyakan tentang kakak seperguruannya yang sangat ditakuti itu.

Mendengar ini Kembang Arum tertawa.

“Takut, apakah aku untuk memberitahukan kepadamu?” Jawabnya. “Eyang Argo Bayu tak pernah datang ke Jipang Panolan ini. Malahan besar kemungkinan kalau Eyang Argo Bayu pada saat ini sedang melakukan perjalanan untuk pulang kepadepokan Lawu.”

Pendeta Baudenda menjadi terkejut dan heran sekali. “Kau... kau tak bohong?” Tanyanya.  

“Apakah kau kira aku adalah seorang yang tak tahu malu, seperti

dirimu itu?” Jawab Kembang Arum. “Kau ini orang suci akan tetapi berbohong kau anggap sebagai sebuah kelezatan.”

Pendeta itu mementang matanya lebar-lebar.

“Jadi... jadi siapakah orang sakti yang barusan menolongmu itu??” Tanyanya pula.

Kembang Arum tertawa geli.

“Dia bukannya seorang sakti.” Jawabnya dengan tersenyum, bahkan tertawa kecil. “Kalau menurut tingkat dan derajat dia itu justru orang yang berada dibawah tingkatanmu. Pendeta Baudenda, kau jangan takut kepadanya, sebab tak mungkin dia mau membunuhmu. Dan kami, kami juga sungkan!”

Pendeta Baudenda tercengang, menjadi semakin heran. Akan tetapi tak lama ia terbenam dalam keheranannya itu. Segera saja ia tertawa terbahak- bahak.

“Budak hina jangan kau bersandiwara.” Bentakya. “Lihat paman eyang gurumu ini akan menghajar mampus kepadamu atau tidak!”

Benar-benar pendeta itu menghunus pedangnya, dengan kesebatan yang luar biasa, ia melompat kearah Candra Wulan dan langsung menikam urat besar yang berada didada gadis itu. Bagaikan kilat pedang itu berkelebat, dan ia percaya kalau akan berhasil.

Akan tetapi Candra Wulan tak gentar ataupun terperanjat barang sedikitpun juga. Sebaliknya ia tertawa dengan gembira.... Dengan sederhana sekali ia menghindarkan tikaman maut ini. Iapun menggunakan jurus tangkisan dari perguruan Muria.

Memang semenjak ia mendapat pelajaran dari pendeta Argo Bayu, Candra Wulan telah memperoleh kemajuan yang sangat pesat sekali, seakan dari Mintaraga dan Kembang Arum, disetiap saat yang luang selalu memberi petunjuk-petunjuk yang penting. Selain itu Candra Wulan memangnya mempunyai dasar yang baik dan keberaniannyapun sangat mengagumkan sekali.

Pendeta Baudenda menjadi heran sekali setelah mengetahui kalau gadis ini dapat membebaskan diri dengan sedemikian gampangnya. Ia mendongkol berbareng girang. Mendongkol sebab ia penasaran, karena gadis ini agaknya memandang enteng kepadanya. Ia girang karena sekarang terbukti kalau orang sakti itu ternyata bukan pendeta Argo Bayu yang sangat ditakuti. Karena itulah ia lalu mengambil keputusan untuk turun tangan, yang dibuktikan dengan serangan-serangannya, yang diperhebat.

Candra Wulan tertawa.

“Awas.” Seru kedua orang kawannya, berseru sam bil bergurau. “Paman eyang guru kita telah menjadi beringas, kau harus hati-hati.”

Kembang Arum menjawab seruan ini dengan bergurau pula :  

“Marilah kita lihat saja hingga ia menjadi lelah sendiri dan kempas-

kempis setengah mampus. Peduli apa dia menjadi beringas atau tidak.” “Sesudah kita lihat dia lalu bagaimana?” Tanya Candra Wulan. Dia

meneruskan senda-gurauan dari Kembang Arum itu.

“Lalu kita serahkan kepada ibuku, biar ibu nanti yang akan membereskannya.” Jawab Kembang Arum pula.

Kedua mata Pendeta Baudenda menjadi mendelik, mukanya merah padam dengan seketika. Ia merasa sangat mendongkol digoda secara demikian apa pula mereka ini adalah orang-orang yang berada dibawah tingkatannya. Dalam sengitnya ia lalu mempergunakan jurus-jurus simpanannya untuk menyerang Candra Wulan, sedangkan kanannya menyerang kearah Kembang Arum.

Wirapati menjadi panas hatinya ketika mengetahui kalau pendeta Baudenda hanya menyerang kedua orang gadis ini saja, ia rupa-rupanya tak dipandang sebelah mata dan dianggap tak ada. Karena itu sewaktu Pendeta Baudenda mendesak dengan pelbagai serangannya, ia melompat maju sambil mengirim serangannya yang hebat.

“Buk.” Demikianlah suara kepalan yang mengenai belakang Pendeta Baudenda.

Wirapati memukul dengan hebat dan tepat. Ia percaya kalau pendeta Baudenda ini sedikitnya tentu akan terluka parah. Akan tetapi dugaannya ini meleset. Ia merasakan kalau tubuh pendeta Baudenda ini menjadi empuk bagaikan kapas, setelah itu lalu berobah menjadi keras dan menolak tenaganya. Tak dapat ia menahan diri hingga roboh terpental kebelakang.

Pendeta Baudenda tertawa dingin, seram kedengarannya. Ia lalu merubah jurusnya, dengan memutar pedangnya, dengan sebat sekali ia menikam kebelakang, kepada Wirapati.

Melihat haI ini Candra Wulan menjadi sangat kaget sekali.

“Celaka.” Jeritnya. Akan tetapi gadis ini masih mempunyai ketabahan hati dan kesebatan untuk bertindak. Ia melompat kearah pendeta Baudenda untuk menotok lengannya. Untuk itu ia lalu mengerahkan tenaganya di jari tengah dari tangan kirinya, yang sedang diulurkan.

Melihat gerakan Candra Wulan ini pendeta Baudenda merasakan adanya samberan angin, karena itu ia menjadi heran. Sebagai seorang yang mempunyai kepandaian tinggi dan berpengalaman ia tahu bagaimana caranya untuk membela diri, karena itu pedangnya lalu ditarik kembali, karena itulah ia lalu membatalkan serangannya kepada Wirapati. Akan tetapi dengan ini pula serangan Candra Wulan kepada pendeta Baudendapun menjadi gagal total.

Candra Wulan tak puas, dengan kegagalannya ini, ia terus meneruskan serangannya pula. Ia tetap mempergunakan jari tengahnya itu sebagai senjatanya, untuk menotok. Ia menyerang sambil melompat tinggi-tinggi.  

Pendeta Baudenda telah dapat bersiap sedia untuk penyerangan ini,

dengan tangan bajunya yang besar dan gombyor, ia menangkis dengan sebuah kibasan. Ia percaya, jangan lagi hanya seorang Candra Wulan, biarpun ada sepuluh Candra Wulan gadis ini pasti akan terpental kalau terkena samplokannya. Akan tetapi dugaannya ini keliru. Candra Wulan sekarang ini bukannya Candra Wulan beberapa waktu yang lalu. Walaupun ia kena tersamplok akan tetapi ia tak terpental. Tubuhnya tetap diam tak bergeming. Tubuh itu tetap turun dengan telonjor, jari tengahnya mengancam. Tak dapat dicegah Iagi maka terjadilah bentrokan antara jari tangan Candra Wulan dengan lengan tangan pendeta Baudenda. Akibatnia Pendeta Baudenda tersurut mundur tiga langkah, Iengannya dirasakan sakit dan linu sekali, apa bila ia melihat Iengannya itu, ia mendapatkan tangan bajunya itu telah berlubang.

Dalam kagetnya, Pendeta Baudenda teringat akan sesuatu hal.

“Budak hina.” Serunya. “Apakah kau telah mempergunakan ilmu pukulan Braholo Meta?”

“Sedikitpun tak salah.” Jawab Candra Wulan dengan tenang. Bahkan sangat tenang sekali. “Kau dapat melihat ini, berarti kau benar-benar hebat sekali ki Baudenda.”

Pendeta Baudenda ini tak menakuti tingginya langit dan tebalnya bumi, akan tetapi ia hanya takut dan jeri kepada dua orang dari padepokannya sendiri. Yaitu ketua dari perguruan Lawu yang menjadi kakak seperguruannya sendiri, Pendeta Argo Bayu, dan orang kedua adalah keponakan muridnya sendiri, Mintaraga. Yang kedua-duanya telah menguasai ilmu pukulan Braholo Meta.

Akan tetapi sekarang, ketika ia mengetahui kalau Candra Wulanpun dapat mempergunakan ilmu pukulan Braholo Meta dengan baik maka hatinya menjadi benar-benar ciut sekali. Mau ia percaya benar-benar Pendeta Argo Bayu berada didekat-dekatnya. Tak ragu-ragu lagi, setelah memperdengarkan siulan panjang, ia memutar tubuh untuk mengangkat kaki..........

Waktu itu Kembang Arum baru saja mengangkat bangun Wirapati, kakaknya. Syukurlah kakaknya itu tak terluka. Ketika melihat lawannya kabur ia lalu memburu.

“Kau mau lari?” Bentaknya.

Wirapatipun ikut adiknya untuk mengejar Pendeta Baudenda.

Pendeta Baudenda seperti telah menulikan kupingnya, ia mengerahkan tenaganya untuk melompat jauh-jauh, hingga tak lama kemudian ia telah berada dipinggiran tembok. Karena ia menyangka kalau disitu ada pendeta Argo Bayu yang menjadi kakak seperguruannya, maka ia beranggapan kalau menyingkir adalah sebuah hal yang paling baik. Untuk itu ia sampai melupakan pangeran Pamegatsari dan Jogosatru, yang berada didalam  

rumah.   Pendeta   Baudenda   ini   benar-benar   telah   mengerahkan   ilmu

meringankan tubuhnya, hingga dengan sekali menggenjot tubuhnya ia telah dapat melompat diatas tembok.

Kembang Arum, Wirapati dan Candra Wulanpun terus mengejar terus.

Namun mereka ketinggalan.

Tepat Pendeta Baudenda baru meletakkan kakinya diatas tembok, dari pekarangan luar melesat naik sebuah bayangan hitam, sesampainya diatas tembok bayangan itu tertawa bergelak-gelak, menyusul tangannya bergerak kearah dada pendeta Baudenda.

Pendeta Baudenda kaget sekali. Segera ia menggerakkan tangan kanannya, untuk menangkis.

Kedua tangan itu bentrok keras sekali, akan tetapi kesudahannya dari itu, pendeta Baudenda sangat kaget sekali, kuda-kudanya tergempur, tubuhnya terpental balik, jatuh kembali kedalarn pekarangan.

Bayangan itu menyusul melompat turun kedalam, masih saja ia tertawa. “Paman eyang guru, telah lama kita tak bertemu.” Katanya sambil

tersenyum.

Pendeta Baudenda mengawasi, segera saja ia mengenal siapa adanya orang itu yang tak bukan adalah Mintaraga. Ia heran bukan main. Baru satu bulan tak bertemu akan tetapi mengapa telah demikian pesat kemajuan Mintaraga ini. Tenaganya menjadi sedemikian besar hingga dirinya menjadi kalah. Sudah tentu hatinya menjadi tergetar.

“Mintaraga kau mau apa?” Tanyanya. “Benarkah kau akan berani membunuh paman eyang gurumu?” Sekarang ia tahu dengan pasti kalau orang sakti yang telah berhasil menolong Woro Keshi dan menotok Jogosatru adalah Mintaraga sendiri, bukan pendeta Argo Bayu.

Candra Wulan bersorak dan bertepuk tangan melihat kedatangan Mintaraga ini.

“Kakang Mintaraga.” Serunya dengan nyaring. “Bagus, kau telah datang. Mari kita lihat dia, apakah kau datang seorang diri??”

Mintaraga tak menjawab gadis ini yang sedang bergurau, ia hanya memandang kearah pendeta Baudenda.

“Paman eyang guru, silahkan.” Tantangannya. Dengan menerbitkan suara nyaring ia lalu mencabut pedangnya. Senjata itu terus ditancapkan keatas tanah.

Setelah berkata demikian maka Mintaraga menyambung lagi dengan perkataannya :

“Paman eyang guru telah lama berkelahi, maka kalau aku mempergunakan senjata ini namanya tak adil. Silahkan paman eyang guru mulai.”

Pendeta Baudenda yang telah mempunyai pengalaman luas ini telah dapat berpikir dengan secara cepat. Siapakah yang akan diharapkan setelah  

semua jago Jipang Panolan ini dapat dirobohkan semua? Bukankah pangeran

Pamegatsari ini perlu untuk istirahat terlebih dahulu? Maka untuk menolong dirinya serta jiwa muridnya, ini tergantung dari pada kecerdikannya sendiri. Ia lalu memperlihatkan wajah yang gembira.

“Mintaraga akhirnya kita harus bertempur juga.” Katanya dengan tertawa. “Huahaaaaaa.... Huahaaaaa... Huahaa.... dua orang dari sebuah perguruan bertempur sendiri, inilah umum. Kau menghendaki aku maju, inipun boleh, hanya ”

Belum habis perkataan pendeta ini, ia sudah dipegat anak muda, yang juga ikut tertawa.

“Paman eyang guru, tak usah kau bicara terlebih banyak lagi. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong. Misalkan aku dalam seratus jurus tak dapat mengalahkanmu maka aku akan membebaskan kau guru dan murid.”

“Baik... baiklah.” Jawab Pendeta Baudenda. “Kata-kata kita ini menjadikan sebuah janji.”

Begitu setelah mengucapkan perkataannya pendeta Baudenda lalu menikam.

“Kakang Mintaraga.” Seru Candra Wulan. “Manusia ini telah kebanyakan dosa, hIngga luber. Karena itulah kau jangan main kasihan- kasihan lagi kepadanya.”

Mintaraga telah memikirkan sesuatu, karena itulah ia tak menjawab perkataan Candra Wulan. Justru pedang itu sedang tiba kepadanya, maka dengan tangan kirinya ia menyamplok hingga pedang itu menjadi terpental.

Pendeta Baudenda telah dapat keyakinan yang pasti sekali, biarpun bagaimana juga tak nanti ia akan dapat dirobohkan dalam seratus jurus. Ia lalu memusatkan semangatnya dan rnenguras habis seluruh kepandaiannya. Ia lalu waspada dan memperhatikan dengan baik-baik setiap kali Mintaraga menggerakkan tangannya atau gerak-gerik pemuda ini. Disamping pedangnya, pendeta Baudendapun mempergunakan ujung lengan bajunya. Dengan secara demikianlah ia melayani cucu keponakan muridnya.

Mintaraga juga berlaku waspada. Memang pemuda ini mempunyai ketenangan dan kegesitan, serta hatinyapun mantap. Ia telah pergi untuk menyerahkan Tunggul Tirto Ayu kepada Ngawonggo Pati. Akan tetapi ditengah jalan ia telah menemukan sesuatu yang luar biasa, karenanyalah, tanpa menemui Ngawonggo Pati, ia lalu kembali dan terus menyusul ke Jipang Panolan. Dengan demikian ia lalu bertemu dengan rombongan Kembang Arum disaat yang penting dan genting sekali.

Pertempuran berlangsung dengan seru, sebab kini yang dipakai adalah jurus-jurus yang membahayakan, terutama sekali serangan-serangan yang dilancarkan oleh Pendeta Baudenda, sebab jurus-jurus ini merupakan jurus- jurus simpanan dari pendeta Baudenda itu. Pendeta ini telah  

mempergunakan    benar-benar    seluruh    jurus-jurus    dan    pengalaman-

pengalamannya yang telah dibuat dalam puluhan tahun-tahun belakangan. Juga selain menjaga diri supaya jangan roboh dalam seratus jurus, iapun masih mengharapkan kemenangan.

Pendeta Baudenda memang mengetahui kalau cucu keponakan rnuridnya ini memang mempunyai kesaktian yang hebat, karena itulah ia ingin sekali rnengujinya.

Tanpa terasa tiga puluh jurus telah lewat dengan sangat cepat. Selama itu Pendeta Baudenda harus memperhatikan benar-benar lawannya.

Mintaraga yang awas rupa-rupanya telah dapat menerka maksud hati pendeta Baudenda.

“Jangan khawatir paman eyang guru.” Katanya sambil tertawa. Dan pemuda ini masih tetap berlaku tenang. “Untuk melayanimu tak nanti aku mau pergunakan ilmu silat lain dari perguruan kita.”

Pendeta Baudenda menjadi marah sekali setelah mendengar perkataan  

itu.

“Memang mengapakah kalau kau mempergunakan ilmu silat dari

perguruan lain?” Tanyanya. “Apakah kau kira aku menjadi takut kepadamu? Huh.”

“Bagaimanakah jika aku mempergunakan ilmu silat dari perguruan kita sendiri?” Tanya Mintaraga yang ketenangannya tak bergeming barang sedikitpun juga.

“Kau sangka aku ini siapa?” Bentak pendeta Baudenda. la menjadi marah sekali karena ia menganggap kalau pemuda ini menghinanya. “Apakah aku ini orang muda sebawahanmu?”

Mintaraga tak mempedulikan teguran itu, ia malahan menjadi tertawa terbahak-bahak.

“Baiklah.” Jawabnya sambil tertawa. “Sekarang kita akan mempergunakan ilmu silat dari perguruan kita sendiri. Mari kita mengadu ilmu silat dari perguruan kita sendiri paman eyang guru. Kuharapkan kau berhati-hati.”

Pendeta Baudenda mendongkol sekali, akan tetapi ia tetap mencoba untuk menenangkan diri. Ia mengetahui kalau kakak seperguruannya ini mempunyai sebuah ilmu silat istimewa sekali yang disebut ilmu pukulan Braholo Meta hanya saja ia tak tahu sampai dimana kehebatannya ilmu silat itu. Malahan ia belum pernah melihat bagaimana rupanya ilmu ciptaan kakak seperguruannya ini. Karena itulah setelah ia mendapat serangan dari Candra Wulan maka ia tak dapat melupakannya.

“Mintaraga.” Seru pendeta Baudenda sambil memaksa dirinya untuk tertawa. Iapun lalu mundur setindak sambil memakai pedangnya untuk melindungi diri. “Apakah kau pikir kau akan mempergunakan ilmu pukulan Braholo Meta? Aku percaya kalau kakang Argo Bayu tentunya mewariskan

ilmu silatnya itu kepadamu. Benarkah ini?”

“Terhadapmu paman eyang guru, apakah perlu aku mempergunakan ilmu pukulan Braholo Meta?” Jawab Mintaraga. “Pernahkah kau mendengar nama ilmu. ‘Becik Ketitik Ala Ketara’? Nah paman eyang guru hendaknya bersiap sedia karena aku akan mempergunakan ilmu pukulan Becik Ketitik Ala Ketara.”

Perkataan ini ditutup dengan sebuah serangan yang mendadak, anginnya saja menyambar dengan keras.

Pendeta Baudenda telah siap segera ia menangkis. Ia pernah mendengar tentang ilmu pukulan Braholo Meta dari pendeta Argo Bayu, akan tetapi tidak demikian dengan ilmu pukulan Becik Ketitik Ala Ketara, karena itu, ia tetap berhati-hati. Ketika kemudian ia diserang dengan secara bertubi-tubi ia melayani dengan tenang dan waspada. Iapun lalu menunjukkan kegesitannya. Tanpa kegesitan tak dapat ia bertempur dengan lama.

Maka kali ini berbedalah cara bertempurnya kedua orang tokoh sakti itu. Sekarang ini tubuh mereka seperti merupakan bayangan saja, yang bergerak dari kiri kekanan bagaikan sinar berkelebat. Ada kalanya mereka itu merapatkan tubuhnya hingga seperti sebuah bayangan.

Wirapati tercengang ketika menyaksikan pertempuran ini. Tadi ia telah melihat Mintaraga mempermainkan Surodento, Agni Brasta dan jago-jago dari Jipang Panolan, ia percaya kalau pemuda ini mempunyai kepandaian berlipat kali kalau dibandingkan dengan gurunya sendiri, karena itu ia menjadi kagum dan malu sendiri. Ia teringat kepandaiannya sendiri yang masih jauh untuk mencapai puncak kesempurnaan. Sekarang ia menyaksikan pula Mintaraga mendesak Pendeta Baudenda, yang diketahuinya dengan baik-baik, kalau tingkat derajatnya masih dua kali dari padanya, dan lagi tokoh ini adalah seorang yang dikaguminya.

“Adi Candra Wulan apakah itu yang dinamakan ilmu pukulan Becik Ketitik Ala Ketara?” ia bertanya kepada Candra Wulan, yang berada disampingnya. Ia seperti berbisik.

“Aku juga tidak tahu.” Jawab gadis itu, yang matanya seperti kabur ketika memandang kedua buah tubuh yang terus berkelebatan dengan sebat itu. “Nanti saja kau tanyakan kepada kakang Mintaraga sendiri, tentu kau akan mengetahuinya sendiri...” Jawabnya tanpa berpaling, matanya menatap kearah pertempuran.

Wirapati muncul pula, dalam dunia kependekaran dengan membawa keangkuhannya. la percaya karena ia menganggap kalau telah cukup melatih diri, karena itu tak mengherankan ketika melihat pengalamannya yang pertama maka hatinya menjadi gentar. Hingga dengan sendirinya hatinya menjadi ciut sekali. Ia tak menjadikan kurang senang karena jawaban Candra Wulan itu, sebaliknya ia berpikir :  

‘Benar juga, lain kali aku harus minta pengajaran dari Mintaraga. Dia

adalah orang yang terdekat denganku, bukannya seorang musuhku...’

Sekarang ia mengerti kalau Mintaraga ini bukannya musuhnya, padahal pertamanya ia mencari Mintaraga untuk menuntut balas. Setelah bentrok dengan  Mintaraga ini,  maka dengan  diam-diam Wirapati kembali kepadepokannya, untuk menuntut pelajarannya terlebih jauh. Akan tetapi karena dipengaruhi oleh kesombongannya maka ia lalu berpikir, kalau hanya untuk memperdalam ilmu silatnya maka untuk apa pulang kependepokan. Karena itulah ia lalu pergi ketempat yang sepi untuk memperdalam ilmunya. Didalam  tempat  persembunyiannya  ini Wirapati membuat sebuah gubug  didalam situlah ia  melatih  ilmunya  dengan sungguh-sungguh, terutama ilmu goloknya. Selama ini nama Mintaraga dibicarakan oleh orang- orang dari dunia kependekaran. Pemuda ini telah mendengar hingga ia mengetahui duduk  perkaranya  mengenai permusuhan ketiga orang keluarganya itu. Sekarang Wirapati menjadi insyaf, walaupun Darmakusuma harus dicela, ayahnya sendiri adalah seorang yang sembrono. Hingga dengan demikian maka permusuhan enam belas tahun yang lalu perlahan-lahan menjadi buyar. Bahkan belakangan ini ia telah mendengar pula kalau adiknya, Kembang Arum telah turun gunung dan adiknya ini telah bekerja sama dengan Mintaraga,  bahkan  Wirapatipun telah  mendengar kalau adiknya serta Mintaraga ini telah berhasil mengalahkan jago-jago Jipang

Panolan. Ketika mendengar berita ini maka bangkitlah semangatnya.

Maka justru ia merasa kalau latihannya telah cukup, ia lalu turun gunung. Bahkan Wirapatipun telah mendengar kabar kalau Darmakusuma yang membunuh ayahnyapun telah meninggal. Dengan demikian maka bukanlah kalau perasaan sakit hatinya ini tak usah dibalas lagi, namun kalau ia turun gunung maka ia tak akan dapat bertemu lagi dengan orang yang telah membunuh ayahnya. Setelah dipikir masak-masak maka segala kemarahannya ini ditumpahkan kepada pendeta Baudenda dan ki Jogosatru, karena itulah begitu turun gunung ia lalu mencari Pendeta Baudenda dan muridnya.

Ketika ia tiba di Jipang Panolan, apa mau dikata pemuda ini telah masuk perangkap pangeran Pamegatsari dan pendeta Baudenda. Hampir saja jiwanya melayang. Untunglah Mintaraga muncul dengan tiba-tiba coba tidak, entah bagaimana nasib jiwanya itu.

Demikian semuanya ini muncul didalam otaknya sewaktu sekarang ini ia menonton pertarungan antara Mintaraga dan pendeta Baudenda. Dan sekarang mata Wirapati terbuka dengan lebar-lebar ketika rnengetahui kalau Mintaraga ini benar-benar mempunyai kepandaian yang tinggi dan luar biasa sekali, hingga pemuda ini dapat menandingi orang yang menjadi eyang gurunya, bahkan mendesaknya.......  

*

* *

“Kembang Arum, sudah berapa juruslah pertempuran ini?” tiba-tiba saja Mintaraga bertanya sambil terus melayani pendeta Baudenda.

Didalam kalangan itu, memang hanya Kembang Arum seorang yang menumpahkan seluruh perhatiannya untuk melihat jalannya pertempuran itu. Malahan ia telah dapat pula melihat gerakan kaki dan tangan Mintaraga itu dan ia mendapat kepercayaan kalau pendeta Baudenda ini bukanlah tandingan Mintaraga. Atas pertanyaan ini ia lalu tertawa terbahak-bahak :

“Tinggal dua puluh delapan jurus lagi kakang.” Jawabnya. la sengaja tak menyebutkan telah berapa jurus mereka itu bertempur, akan tetapi menyebutkan kekurangan berapa jurus itu. Dan tak lama kemudian terdengar lagi perkataan Kembang Arum :

“Kakang, apakah kau dapat mengurangi dari seratus jurus itu?? Kau harus memberi potongan kepadanya, bisakah kau merobohkan paman gurumu dalam sembilan puluh jurus saja?”

“Aku akan mencobanya adi.” Jawab Mintaraga dengan tenang. Biarpun rnulutnya berkata demikian tenangnya, akan tetapi tangannya telah membuat perubahan. Sekonyong-konyong saja ia dapat keluar gelanggang.

“Eyang... coba kau tikam aku dengan pedangmu.” Katanya sambil tertawa. Ia lalu berdiri diluar batas gelanggang.

Sekarang ini hati pendeta Baudenda telah menjadi tabah. Setelah beberapa puluh jurus melayani cucu keponakan muridnya, dan ternyata kepandaiannya adalah kepandaian dari jurus-jurus silat perguruan Lawu yang telah dihafalnya betul-betul. la mau percaya sekarang kalau Mintaraga tadi telah mengatakan akan memakai pukulan Becik Ketitik Ala Ketara ini adalah sebuah gertakan belaka. Menggertak kepadanya.

Pendeta Baudenda telah melatih dirinya beberapa puluh tahun, ia tahu bagaimana harus menerjang dan menangkis sampai sebegitu jauh. Tentu saja ia kalah rangsak, namun dengan demikian pendeta Baudenda tak menjadi takut.

Begitulah atas tantangan anak muda. Hampir tanpa berpikir lagi, ia melompat dan dibarengi dengan tikamannya. Ia mempergunakan jurus Naga bersembunyi naik kelangit dari bawah terus ia menjulang keatas, mengarah ketenggorokan.

Menyusul tikamannya itu, pendeta Baudenda menjadi kaget bukan kepalang. Diluar sepengetahuannya, Mintaraga seperti lenyap dari hadapannya, hingga dengan demikian pedangnya hanya mengenai sasaran kosong belaka. Lalu ia menjadi terkejut, sebab ia mendengar sambaran angin diarah belakangnya. Tanpa menanti memutar tubuh lagi, ia menyabet kebelakang. Tapi juga sabetan ini hanya mengenai tempat kosong saja.  

Tatkala ia telah memutar tubuhnya untuk melihat, ia menjadi heran sekali.

Didepannya berdiri tiga orang anak muda, yang mengawasi dengan wajah yang menyeringai.....

Dan Mintaraga?? Entahlah. !

Sekarang Pendeta Baudenda melihat dengan jelas sekali jago-jago Jipang Panolan itu, yang rebah atau berdiri dengan tak karuhan sikapnya, yang cuma matanya saja yang berkelap-kelip, suatu tanda mereka itu adalah korban-korban totokan jalan darah. Pada sinar mata mereka terbenam kemendongkolan, kemurkaan yang tertahan.......

Sewaktu ia mengawasi itu, kembali pendeta Baudenda rnendengar kesiuran angin dibelakangnya. Lalu ada tangan yang dipakai untuk menepuk pundaknya. Karena itulah ia menjadi kaget bukan main. Ia lalu menduga kepada Mintaraga, maka ia tak mau memutar tubuhnya lagi hanya pedangnya yang dipakai untuk menikam kebelakang sambil tangan bajunya yang kiri dipakai untuk menyamplok.

Gerakan ini adalah kekiri dan kekanan, saling susul dengan sangat cepat. Adalah anggapannya pendeta Baudenda, tak peduli dia sangat hebat, tak nanti Mintaraga dapat mengelakkan diri lagi. Akan tetapi kesudahannya membuat dirinya menjadi kecele. Kedua-duanya pedang dan tangan bajunya mendatangkan suara yang santer akan tetapi kedua-duanya tak mendapatkan hasiI yang baik. Belakangnya ini memang tak mempunyai mata, maka kegagalannya inipun wajar...

Melainkan sejenak Pendeta Baudenda tercengang atau segera ia memutar tubuhnya untuk melihat kebelakang. Ia memutar diri dengan kedua kaki berjinjit, dengan demikian ia dapat memutar dengan luar biasa cepatnya. Akan tetapi ia kalah sebat dengan Mintaraga yang menjadi cucu keponakan muridnya ini.

Justru pendeta Baudenda memutar tubuhnya, maka Mintaragapun memutar tubuhnya pula hingga si pendeta sudah berbalik, dia tetap berada dibelakangnya pendeta Baudenda itu. Tentu saja sia-sia saja pendeta Baudenda memutar tubuhnya itu, ia menganggap tak dapat melihat siapa- siapa juga.

“Ah...” Serunya dengan tertahan, sebab belakangnya terasa ditepuk orang dengan perlahan. la kaget, hatinya terkesiap. Akan tetapi sekarang ia telah menjadi cerdik. Ia tak menyerang seperti tadi, iapun tak memutar tubuhnya, untuk berbalik, guna melihat lawannya itu. Ia justru menjejak dengan kedua kakinya, melompat kedepan.

Pendeta Baudenda itu cerdik, akan tetapi Mintaraga lebih cerdik lagi. Ia dapat menerka maksud pendeta Baudenda itu. Setelah menepuk bukannya ia melompat memutar kebelakang, ia hanya melompat mengikuti belakangnya pendeta Baudenda. Ia bergerak bagaikan bayangan paman eyang gurunya.  

Begitu cepat setelah pendeta Baudenda telah menginjak tanah, begitu

lekas juga ia berbalik, memutar tubuhnya, untuk memergoki Mintaraga. Akan tetapi kembali ia tak dapat melihat anak muda itu, dan berarti inipun gagal lagi.

‘Apakah ini yang Becik Ketitik Ala Ketara?’ Tanya pendeta Baudenda didalam hatinya, ia menjadi heran dan kagum sekali akan kecerdikan dan kegesitan lawannya ini. Sewaktu berpikir ia memutar tubuhnya pula untuk melihat kebelakang. Dengan hebatnya bisa dimengerti juga kesebatannya. Hingga sia-sia saja kesebatannya itu, sebab beberapa kali ia perpaling akan tetapi tak dapat berhadapan muka dengan Mintaraga, bahkan bayangan pemuda inipun tak dapat dilihatnya.

“Mintaraga, kau...” Akhirnya ia berkata tanpa sesadarnya.

“Aku disini paman eyang guru.” Tiba-tiba saja datanglah jawaban Mintaraga. “Mari... mari...”

Baru saja pendeta Baudenda mendengar Mintaraga mengatakan ‘aku’ ia lalu memutar tubuhnya, dengan maksud memergoki orang akan tetapi percobaannya kali inipun gagal lagi. Tak ada Mintaraga didepannya.

Pendeta Baudenda kaget bagaikan diguyur air dingin. Tadinya Mintaraga menepuknya. Untunglah dia ditepuk dengan perlahan. Bagaimanakah kalau dia ditepuk dengan hebat atau ditotok? Bukankah ini akan membuatnya menjadi celaka? Bukankah ia akan celaka, atau paling tidak akan terluka? Demikian hebatnya anak muda ini, hal ini sama sekali diluar dugaannya. Kalau demikian maka sungguh-sungguh gampang sekali andaikan anak muda ini menghendaki jiwanya...

Ketiga orang muda-mudi yang melihat menjadi kagum bersama dengan heran. Sudah Kembang Arum, Candra Wulan dan Wirapati. Mereka bertiga itu tak menyangka kalau Mintaraga itu demikian saktinya hingga paman eyang gurunya, ki pendeta Baudenda yang terkenal sakti ini dapat dipermainkan dengan sedemikian mudahnya.

Dari kagum dan heran, Candra Wulan menjadi sangat gembira, hingga gadis ini lalu bertepuk tangan dan bersorak-sorak.

“Kakang Mintaraga.” Panggilnya. “Apakah ilmu silatmu ini? Apakah ini yang dinamakan ilmu Becik Ketitik Ala Ketara itu tadi kakang?”

“Ya... ya benar adi.” Jawab Mintaraga dengan mantap.

“Siapakah yang mengajarkan ilmu silat ini kepadamu kakang?” Kembali Candra Wulan bertanya.

“Sudah tentu saja eyang guru.” Jawab pemuda itu.

“Bilamanakah eyang guru menurunkan ilmu silat ini kepadamu kakang?”

“Setengah bulan yang baru lalu adi.”

Pendeta Baudenda sebenarnya telah berputus asa. Diperlakukan secara demikian oleh Mintaraga, apakah yang dapat ia lakukan? Maka ia telah  

bermandikan keringat dingin. Ia menginsyafi akan bahaya yang mengancam

kepadanya. Melanjutkan pertempuran ini sudah terang tak ada artinya, paling-paling ia akan mati kelelahan. Hingga akhirnya ia telah berpikir untuk menyerah saja. Akan tetapi ia lalu mendengar pembicaraan mereka tadi. Pendeta Baudenda merasa seperti dirinya ini diejek. Didalam keputusasannya ini mendadak saja ia teringat sesuatu.

Ia lalu bersiap sedia. Disaat Mintaraga memperdengarkan jawabannya yang paling belakang itu dengan sekonyong-konyong ia memutar tubuhnya dan menyerang dengan tenaga yang dikerahkan semua. Ia menganggap kalau dengan serangannya yang demikian tiba-tiba ini dirinya pasti akan berhasil. la menyerang sasaran yang merupakan suara, sebab sangat sulit untuk melihat tubuh anak muda itu.

Mintaraga baru saja menjawab pertanyaan Candra Wulan, karena perhatiannya menjadi kurang. la benar-benar kena akal pendeta Baudenda yang hebat itu. Akan tetapi meskipun demikian ia tak menjadi kena atau kaget karena serangan itu. Melihat serangan yang datangnya dengan cepat dan gesit ini ia lalu berseru dengan keras :

“Bagus.”

Mintaraga tak mengelak lagi seperti tadi, untuk melompat kebelakang lawannya, ia justru berdiri tegak, sebelah tangannya diulur, untuk menyambut serangan. Sekarang ia tak mempergunakan lagi Becik Ketitik Ala Ketara hanya mempergunakan Ilmu pukulan Braholo Meta. Disaat kedua tangan bentrok, sekonyong-konyong ia mengeluarkan jari tengahnya, yang langsung dipakai untuk menotok jalan darah lengan pendeta Baudenda. Keras bentrokan itu hingga terdengarlah suara yang nyaring.

Hebat kesudahannya, justru yang terakhir ini. Begitu dia tertotok maka habislah tenaga Pendeta Baudenda, tenaga yang telah dikerahkan itu. Bagaikan gunung ambruk, tubuh yang tinggi besar itu roboh terguling diatas tanah.

Candra Wulan bersorak, dia lalu berseru :

“Kakang Mintaraga, habiskanlah dia. Kedosaan dari orang ini telah meluap, kalau kau bunuh dia, siapapun juga tak ada yang mencaci makimu sebagai seorang kejam atau tak tahu aturan.”

“Adi Candra Wulan kau melupakan perkataan bibi Woro Keshi.” Mintaraga memperingati. Mintaraga masih ingat benar, biar bagaimanapun juga Pendeta Baudenda adalah paman eyang gurunya. Ia harus menghormatinya. Oleh karena itulah tak dapat ia membunuh orang yang lebih tinggi derajatnya. Apa lagi orang ini adalah sama-sama dari padepokan Lawu. Dilain pihak, ia ingat benar akan perkataan Pendeta Wanita dari padepokan Muria, bakal ibu mertuanya. Jadi pendeta Baudenda harus diserahkan kepada Woro Keshi.  

Pendeta Baudenda tak pingsan, ia hanya roboh tak dapat bergerak.

Sebaliknya, matanya, mulutnya tetaplah bebas merdeka.

“Mintaraga, bagus benar perbuatanmu ini.” Tegurnya. Memang pendeta ini menjadi kecil hatinya, akan tetapi ia harus membesarkan untuk menolong derajatnya sebagai orang yang lebih tua. Karena itulah dari takut ia menjadi berani.

Mintaraga berdiam diri, sedikitpun tak menjawab perkataan paman eyang gurunya ini.

“Jika kau berani, kau bunuhlah aku.” Tantang pendeta Baudenda dengan penuh keberanian. “Beranikah kau?? Huahaaaa... Huahaa... Huahaa... pasti kau tak berani.”

Baru saja pendeta itu menutup mulutnya, belurn lagi Mintaraga menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara dingin.

“Baudenda, kiranya toh ada sebuah hari untukmu.”

Suara ini disusul dengan munculnya orang yang mengatakan itu, maka dihadapan pendeta ini terdapat seorang Bikshuni, wajah pendeta wanita ini kelihatan bengis. Sebab pendeta wanita ini bukan Iain adalah Woro Keshi.

Tadi Bikshuni ini mengadu tenaga dalam dengan pangeran Pamegatsari, karena dipisah oleh Mintaraga, mereka lalu duduk bersemedi. Tenaga dalam pendeta wanita ini memang lebih tinggi karena itu dia terlebih dahulu dapat memulihkan tenaganya, karena itu pula setelah ia dapat bangkit Woro Keshi memburu keluar. Justru pada waktu itu ia mendengar suara pendeta Baudenda itu, hingga segera saja ia memperdengarkan suara tawa dan jawabannya yang bernada dingin.

Mengetahui kalau yang datang ini adalah Woro Keshi maka pendeta Baudenda lalu menutup rapat-rapat kedua matanya. Ia tahu kalau hari ini ia tak punya harapan untuk hidup terlebih lama lagi. Akan tetapi ia masih tetap membuka mulutnya :

“Woro Keshi, cepatlah kau turunkan tanganmu itu.” Katanya. “Kau hendak menunggu sampai kapan lagi?”

Mendengar itu Woro Keshi lalu mencabut pedangnya dengan perlahan- lahan. Ia mengawasi tajam-tajam kepada pendeta itu, wajah pendeta Baudenda kelihatan licin, licik. Woro Keshi mendapatkannya masih tetap seperti enam belas tahun yang. Hanya didahinya ia mendapatkan beberapa garis kerut yang menandakan kalau usianya telah bertambah.

Sewaktu memandang maka kebenciannya menjadi bertambah-tambah. Hingga dihadapan matanya seperti terulang kembali kejadian beberapa tahun yang lalu. Lalu ia mengangkat kepalanya, sambil mendongak ia berseru :

“Darmakusuma, disaat terakhir kau telah memesanku supaya membinasakan pendeta Baudenda ini dengan tanganku sendiri. Sekarang pendeta Baudenda telah berada diujung pedangku. Darmakusuma, selama  

enam belas tahun ini penderitaan apakah yang tak kita alami? Karena aku

kau bentrok dengan Pandu Pergolo..... karena aku kau harus menghilangkan diri..... dan... karena kau terpaksa aku menyucikan diri menjadi seorang bikshuni........ Darmakusuma kau beristirahatlah dengan tenang. Musuh besarmu, yang telah membunuhmu, segera muncrat darahnya dan mampus diujung pedangku. Darmakusuma kau beristirahatlah dengan tenang. ”

Kata-kata ini ditutup dengan pedangnya yang digerakkan secara tiba- tiba terus ditujukan kearah tengorokan.

Kembang Arum dan Candra Wulan tidak ketahui pujian ibu atau bikshuni ini, mereka terkesiap ketika menyaksikan perbuatan Woro Keshi, hingga mereka mengeluarkan seruan yang tertahan. Mintaraga dan Wirapatipun ikut terkejut.........

Bersama dengan serangan Woro Keshi ini, air mukanyapun turut berubah dengan secara mendadak. Dalam sekejap saja lenyaplah wajah yang penuh kemurkaan itu, sedangkan dari mulutnya terdengar keluhan :

“Sudah... sudahlah.   ”

Karena ini ujung pedangnya itupun berubah tujuannya, bukan menikam langsung ketenggorokan akan tetapi menghancurkan tulang pundak hingga putus.

“Baudenda kau pergilah....” Serunya sambil menikam dan menyontek.

Aku tak akan melihatmu pula.”

Pendeta Baudenda memeramkan matanya menantikan kematian ketika ia merasakan sakit pada pundaknya, dan ketika ia membuka matanya, ia melihat Woro Keshi berdiri terdiam, kepalanya didongakkan dan pedangnya melintang.

Pendeta wanita ini telah merubah pikirannya dengan sangat mendadak sekali. Ialah disaat pedangnya tengah meluncur kearah tenggorokan pendeta Baudenda, tiba-tiba saja ia teringat akan lelakon hidupnya pada enam belas tahun yang lalu. Bukankah keruwetan ketiga orang keluarga itu disebabkan karenanya sendiri? Pernahkah ia mencegah sewaktu Darmakusuma sedang marah, membunuh Pandu Pergolo dan Surokoco? Pantaskah ia seorang perempuan yang mempunyai suami, mencintai dengan secara diam-diam kepada seorang Ielaki yang mempunyai istri? Bukankah ini karenanya ia mencucikan diri? Hidup sendiri dan menyepi beberapa belas tahun dan tak mengurusi lagi akan kesibukan dunia luar? Benar mereka itu tak menuruti pesan dari para leluhur mereka, akan tetapi apakah ia sendiri tak berbuat salah?? Bukankah ia dan Darmakusuma telah berbuat salah pula, hingga jalan hidup mereka menjadi demikian ruwet? Karena pikiran inilah maka Woro Keshi lalu mengampuni pendeta Baudenda yang sangat dibencinya!

Keempat orang muda-mudi ini telah menduga dengan pasti kalau pendeta Baudenda tentunya akan kembali ke Jipang, dan iapun menjadi heran ketika menyaksikan Woro Keshi menggeserkan arah pedangnya.  

Mintaraga segera berpikir :

‘Paman eyang guru telah membantu orang-orang Jipang Panolan, sudah sepantasnya kalau ia menerima kematian untuk hukumannya ini. Akan tetapi disamping itu dia adalah seorang dari perguruan kita juga dan dari golongan tua. Dan sekarang ia telah dibuat cacat untuk seumur hidupnya, dan inilah hukuman yang paling tepat bagi pendeta Baudenda....

Sekarang ini pendeta Baudenda telah dapat menggerakkan kakinya, dengan segera ia melompat bangun. Ia lalu menghadap kearah Woro Keshi, dan berkata didalam hati :

‘Keshi, kau telah memutuskan tulang pundakku, lalu bagaimanakah selanjutnya aku akan dapat menjadi manusia?’ Akan tetapi ia tak mengutarakan pikirannya ini. Ia berduka, akan tetapi jiwanya masih tetap hidup. Inipun diluar dugaannya. Ia tak memandang terlalu lama, terus saja ia memutar tubuhnya dan menggeloyor pergi. Telah habis semua kepandaian silatnya, akan tetapi ia masih cukup kuat dan lincah. Telah pergi mendapatkan Jogosatru, bersama muridnya ini dia lalu pergi setelah memandang kepada Woro Keshi dengan sorot mata yang membenci. Dilain saat mereka segera lenyap ditempat yang gelap.

Baru saja pendeta itu lenyap, Candra Wulan menjerit dengan tiba- tiba......
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar