Tunggul Bintoro Jilid 07

 
JILID VII

DIATAS PERAHU ITU TENGAH TERJADI PERTEMPURAN, malahan

Mintaraga melihat tiga jago pulau Kencana baru dikepung orang-orang Jipang Panolan yang berjumlah lebih dari seratus.

“Mari kita bantu dulu mereka itu.” Ajak Mintaraga. Lalu ketika perahu itu mendatangi, hingga satu dengan lainnta menjadi dekat, ia mengenjotkan tubuhnnya melompat kekapal musuh.

Kembang Arum telah melompat juga, mencontoh perbuatan kawannya itu. Tanpa bersangsi lagi, dengan mengeluarkan seruan yang hebat kedua anak muda ini segera menyerang musuh. Mereka terus menyambar dan melemparkan kedalam laut. Kedatangan mereka itu membuat orang-orang Jipang Panolan menjadi jeri, maka selain mereka yang kena dihajar yang lain- lainnya lalu mulai menyingkir.

“Kemanakah Candra Wulan?” Tanya Mintaraga kepada ketiga orang pulau Kencana itu. “Apakah ki sanak sekalian melihatnya?”  

Ketiga orang jago itu menjadi lega hatinya, dan mereka mengucapkam

syukur didalam hatinya.

“Bersama dengan kakang Dananjaya dia tadi lagi menyerbu kearah perahu besar yang terdapat disana itu.” Jawab salah seorang sambil menunjuk kearah kiri dimana ada sebuah kapal yang baru dimakan api, apinya berkobar besar sekali.

“Kembang Arum kemarilah!” Ajak Mintaraga pula. Dia melompat turun keperahunya tadi, begitupun dengan Kembang Arum. Mereka terus mendayung perahu itu kearah kapal besar yang terbakar tadi.

Diatas kapal tampaklah beberapa orang tentara Jipang sedang sibuk berusaha memadamkan api. Ketika mereka melihat musuh datang, mereka lalu bersiap sedia dengan tombaknya untuk mencegat dan merintangi.

Mintaraga tak segera melayani. ia hendak mendahului menghajar mereka dengan jarum-jarum senjata rahasianya. Akan tetapi sebelum ia turun tangan kelihatanlah orang-orang Jipang Panolan ini telah berteriak hebat, kapal mereka itu lalu miring, tak lama kemudian karam.

Disebelah itu, ada sebuah perahu kecil, yang mendahului perahu Mintaraga mendekati kapal itu. Dia juga hendak dihalang-halangi musuh, akan tetapi ketika kapal itu terbalik, perahu kecil itupun turut terbalik juga. Akan tetapi perahu kecil ini tak ada penghuninya. Hanya ketika sudah karam, dari dalam air muncullah sebuah kepala orang, Begitu muncul terus beteriak :

“Ki Mintaraga, kebetulan sekali kau datang.”

Mintaraga segera mengenal suara itu, inilah suara dari ki Dananjaya, yah Dananjaya ketua dari pulau Kencana.

“Apakah kau melihat adi Candra Wulan?” Kembali Mintaraga bertanya kepada Dananjaya.

Dananjaya menjadi tertawa bergelak-gelak ketika mendengar pertanyaan Mintaraga ini. Dan tak lama kemudian terdengarlah perkataannya :

“Dia telah pergi kekapal komando musuh.” Katanya akan mencari panglima Wasi Pralampito.

Mintaraga menjadi kaget.

‘Ini perbuatan yang sangat berbahaya.’ Pikirnya.

“Dengan pergi kesana mungkin dia akan bertemu dengan Bagaspati....

mana dia sanggup melawannya.” Maka kembalilah ia bertanya :

“Ki Dananjaya dimanakah kapal komando dari panglima besar Jipang Panolan itu?”

“Nanti akan kuantarkan kau ki Mintaraga.” Jawab Dananjaya. Ia terus naik dari dari dalam air dan terus menyambar dayung untuk mendayung perahu Mintarapa.  

Mintaraga   dan   Kembang   Arum   harus   mengakui   kepandaian   ki

Dananjaya ini, orang ini dapat melompat kedalam perahu dengan pesatnya. Gerakan ini persis gerakan ikan yang melompat dari dalam air.

“Nah itu dia.” Seru Dananjaya sambil menunjukkan tangannya kedepan.

Setelah itu kembali ia mendayung perahunya.

Didepan mereka tampaklah ada sebuah perahu besar yang mempunyai tiang layar tiga buah. Mintaraga dan Dyah Kembang Arum melihat kalau kapal besar ini bebas dari gangguan api. Kapal itupun sunyi sekali. Karena itu mereka menjadi heran.

“Benarkah Candra Wulan datang kemari?!” Tanya pemuda itu.

“Tidak salah.” Jawab Dananjaya. “Lihat itu ada bayangan, apakah itu bukan bayangannya?”

Memang waktu itu tampak ada sesosok bayangan tubuh manusia diatas tiang sebuah layar. Rambutnya panjang dan ujung pakaiannyat berkibar- kibar karena tiupan sang bayu.

“Kau naiklah! Apakah kau kira aku takut kepadamu?” Begitulah terdengar perkataan Candra Wulan. Suara ini kedengaran tergetar, mungkin dia sangat marah bercampur khawatir.

Dari lantai perahu terdengarlah suara tertawa yang disusul dengan sebuah jawaban :

“Budak, nih kukembalikan ikat kepalamu.”

Suara ini disusul dengan berkelebatnya sesosok tubuh yang jangkung naik ketiang layar. Inilah gerakan burung rajawali mementang sayap.

“Bagus.” Puji Mintaraga dengan tanpa disadari.

Sewaktu orang dari lantai perahu itu melompat kearahnya, Candra Wulan telah melompat ketiang layar yang berada disebelah tengah. Diapun bergerak dengan manis sekali.

“Adi Candra Wulan memperoleh kemajuan.” Seru Mintaraga memuji. “Hai binatang...!” Terdengarlah suara Candra Wulan. “Kau telah

merampas ikat kepalaku, apakah kau tak malu?”

Orang tadi tertawa pula. Kelihatanlah kalau ia memandang enteng kepada Candra Wulan.

“Baiklah, kita jangan main-main pula.” Katanya. “Akan kukembalikan ikat kepalamu. Baiklah kau turun, aku akan mengajakmu ke Jipang, maukah kau?!”

Sekarang diantara sinar bulan purnama, terlihatlah dengan nyata bentuk tubuh dan pakaian orang yang berkata itu. Dia memakai pakaian seperti jubah, yang hanya dipakai oleh para sastrawan. Wajahnya bersih.

Dan ternyata lawan Candra Wulan ini adalah seorang pemuda yang tampan. Ketika ia mengayunkan tangan kanannya maka tampaklah sehelai ikat kepala terlempar. Tepat kekepala Candra Wulan, akan tetapi dengan tangkas Candra Wulan menyambarnya.  

Jarak antara mereka berdua itu ada kalau hanya lima meteran, karena itu

dari lemparan ikat kepala itu saja dapatlah ditarik kesimpulan kalau orang muda yang melemparkan ini tentunya mempunyai tenaga dalam yang kuat.

“Kakang Dananjaya siapakah orang itu?” Tanya Dyah Kembang Arum kepada Dananjaya. Mau tak mau ia harus mengagumi kepandaiannya melempar kain dengan mempergunakan tenaga dalam dari pemuda itu.

“Aku tidak tahu.” Jawab Dananjaya, dan agaknya ia menjadi terperanjat karena mendapat pertanyaan itu. Bahkan masih pula ditambah dengan gelengan kepalanya. “Dia bukannya salah seorang dari Dua puluh Satu jago- jago Jipang Panolan. Mungkin dia adalah salah seorang putra dari pangeran ataupun tumenggung di Jipang Panolan.”

Teranglah sudah, Candra Wulan hendak mencari panglima Wasi Pralampito, akan tetapi anak muda ini merintanginya. Malahan Candra Wulan telah kehilangan ikat kepalanya, hingga dengan demikian rambutnya menjadi terlepas dan terurai panjang. Karena itu pulalah Candra Wulan terpaksa menyingkir ketiang layar.

Candra Wulan mencambut ikat kepalanya dan segera dilemparkan kebawah.

“Orang busuk, tak sudi aku memakai barang yang telah kau raba oleh tanganmu yang kotor itu.” Dampratnya.

Dari suara gadis ini terang pulalah kalau Candra Wulan telah mendapat perlakuan yang tak sopan dari pemuda ini. Segera pendapat ini pula dibuktikan oleh tingkah laku si anak muda itu. Dia tertawa dan katanya :

“Sekalipun tubuhmu kena kupegang mungkin aku tak akan menghendaki barangmu ini, huahaa..... huahaaa.... huahaaa ”

Mintaraga menjadi panas hatinya, hingga ia hendak segera melompat naik keatas kapal.

“Sabar.” Kembang Arum mencegah sambil menarik bahu Mintaraga. “Kita masih belum mengetahui siapa adanya anak muda itu ”

“Habis bagaimana?” Tanya Mintaraga.

“Jangan kau khawatir, adi Candra Wulan tak akan mendapatkan kesukaran.” Jawab Kembang Arum, yang tak menjawab langsung.

Mintaraga terdiam sejenak. tertawa sendiri. Bukankah Candra Wulan pandai berenang? Bukankah kalau hal ini memang benar-benar perlu ia dapat terjun kedalam air untuk menyelamatkan dirinya dari mara bahaya! Tak nanti ada orang yang dapat mencegah gadis ini menyelamatkan diri dengan berenang dan selulup.

Masih terdengar suara anak muda ini.

“Budak yang baik, sebenarnya kau ini mau turun atau tidak?” Tanyanya dengan nada sangat memandang enteng dan setengah menggoda kepada gadis ini.

“Tidak.” Jawab Candra Wulan dengan keras.  

“Jika demikian, terpaksalah aku yang muda akan melakukan permainan

petak ditengah udara denganmu.” Kata anak muda itu.

Baru perkataan ini dikeluarkan orang-orang Jipang yang berkumpul dilantai perahu, yang semenjak tadi hanya berdiam diri saja. Hingga karena itulah suasana perahu menjadi sangat sunyi. Lalu berseru dengan tiba-tiba berseru dengan pujian-pujian mereka. Mereka seperti melupakan diri kalau mereka ini tengah berada dimedan perang.

Sementara itu dari lantai terdengarlah suara keras dan kaku : “Angger jangan kau menyia-nyiakan waktu lagi, kami telah hendak mengangkat jangkar.”

Itulah suara panglima Wasi Pralampito dari pasukan orang Jipang Panolan.

Pemuda yang dipanggil dengan sebutan ‘angger’ tadi sedikitpun tak mengambil peduli. Bahkan tak menghiraukan perkataan panglima perang ini.  

“Nini, aku datang kepadamu.” Demikianlah katanya kepada Candra Wulan. Lalu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya ia melompat melesat dengan tiba-tiba melompat ketiang layar yang berada ditengah. Dia rupa-rupanya hendak memperlihatkan kepandaiannya. Ditengah antara kedua tiang itu ia sengaja berjumpalitan.

Candra Wulan ketika melihat gerakan lawannya ini, tanpa ayal lagi iapun melomat keujung layar.

“Ah... apakah masih ada jalan lagi untukmu?” Seru pemuda itu dengan tertawa. Dan iapun segera melompat kearah gadis itu, sedang sebelah tangannya diulurkan untuk menawan Candra Wulan.

Candra Wulan tak menunggu sampai pemuda itu dekat kepadanya. Sewaktu pemuda itu melompat, iapun melompat juga. Dia melompat ketiang layar yang lainnya.

“Ah...” Seru anak muda itu sambil mengejar.

Candra Wulan tak terjun kepermukaan air, iapun lalu melompat pula ketiang layar yang lainnya. Karena itu kedua orang muda ini lalu berlompatan diantara ketiga tiang layar itu. Benar-benar mereka itu seperti main petak diatas udara.

Diantara sinar rembulan, bayangan mereka itu sungguh menarik hati untuk dipandang. Karena satu dengan lainnya tak ada yang kalah gesit.

Kembali gadis itu kena didesak sampai keujung layar.

“Sekarang aku hendak melihat, kemana lagi kau akan menyingkir.” kata pemuda itu tertawa. Lalu ia melompat sambil mementang kedua lengannya.

Benar-benar kali ini gadis itu seperti tercegat jalan lompatannya. Akan tetapi iapun telah berpikir masak-masak, karena itu iapun tak menjadi takut. “Bocah yang baik sampai bertemu pula.” Katanya sambil melompat. Kali ini ia tak melompat ketiang yang lainnya akan tetapi terus terjun kedalam laut. “Nini, aku datang kepadamu.” Demikianlah katanya kepada Candra Wulan. Lalu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya ia melompat melesat dengan tiba-tiba, melompat ketiang layar yang berada ditengah. Dia rupa-rupanya hendak memperlihatkan kepandaiannya. Ditengah antara kedua tiang itu ia sengaja berjumpalitan.

Akan tetapi sungguh diluar dugaannya, pemuda itu benar-benar hebat dan cerdik. Ia bukannya menyambar langsung ketiang layar dimana gadis itu tadi berdiam. Ia hanya menyambar terus kemana gadis itu terjun. Gerakannya demikian pesat. Ia dapat memegang, karena itu ketika tangannya menyambar, bagian belakang gadis itu kena dijambak. Hingga dengan demikian Candra Wulan kena dibawa ketiang layar yang lainnya. Malahan ia berdiri diatas sebelah kaki, karena perbuatannya yang hebat ini maka tentara Jipang Panolan lalu tertawa dan bertepuk tangan dengan riuh.

“Bagus.” Seru panglima Pralampito ketika melihat pihaknya dapat menawan seorang musuh. “Kau baik-baik sajalah turut aku pulang ke Jipang Panolan.” Kata

pemuda itu dengan tertawa. “Mereka itu tak nanti dapat berbuat sesuatu kepadamu, karena itu janganlah kau takut kepada mereka itu ”

Belum lagi anak muda itu menghentikan perkataannya, sekonyong- konyong terdengarlah sebuah seruan :

“Binatang, kau berani mengganggu adikku!” Suara ini terus disusul dengan datangnya serangan kearah si pemuda itu. Langsung menyerang kearah pundak.

Inilah suara dan serangan dari Kembang Arum yang telah melompat dari dalam perahunya keatas kapal. Terus melesat pula kearah si pemuda yang ceriwis itu. Hati Dyah Kembang Arum benar-benar menjadi panas sekali ketika melihat Candra Wulan terancam bahaya.

Anak muda itu kaget sekali, dia mencoba mengelak sambil masih membawa Candra Wulan. Akan tetapi ia tak mengelakkan, karena waktu tiba ditiang layar yang lainnya ia merasakan kalau pundaknya menjadi sakit. Hal ini telah menginsyafkan bahwa ia kini tengah menghadapi seorang musuh yang tangguh.

“Bagaspati, kau tangkaplah dia.” Serunya sambil berpaling kebawah. “Jangan ganggu dia sekalipun lecet kulitnya ”

Sambil berkata demikian ia lalu melemparkan tubuh Candra Wulan kebawah untuk dititipkan kepada orang pertama dari jago-jago Jipang Panolan. Setelah itu barulah ia berpaling kearah Kembang Arum. Waktu itu Dyah Kembang Arumpun telah berada disebuah tali tiang layar hingga dengan demikian ia kelihatan seperti seorang bidadari yang cantik. Karena itulah pemuda itu menjadi heran dan tercengang.

Sementara itu Mintaraga telah bergerak. Dia telah menginsyafi bahaya apa yang tengah mengancam Candra Wulan. Sebab selain pemuda yang berpakaian sastrawan ini iapun melihat adanya Bagaspati dan yang lain- lainnya berada disisi panglima Wasi Pralampito. Karena itu untuk menyerang si pemuda ia menyerahkannya kepada Kembang Arum. Sedangkan ia melompat mencelat menyambar tubuh Candra Wulan. Dia melompat sambil berseru!

Akan tetapi Bagaspati sangat cerdik dan awas. Begitu ia melihat musuh, ia segera menangkap tubuh Candra Wulan akan tetapi terus menghadapi Mintaraga dan langsung melancarkan serangannya.

Mintaraga telah terpalang dan tak ada jalan lain, segera saja ia menangkis serangan orang pertama dari Jipang Panolan, hingga dengan demikian maka kedua tangan mereka menjadi bentrok sangat keras. Karena itulah ia menjadi terpental mundur, akan tetapi Bagaspatipun terpental membalik.

Ketika itu tubuh Candra Wulan telah sampai kelantai karena tak ada yang menolongnya maka tubuh yang meluncur itu telah disambut oleh  

Poncowolo. Ia seperti mandah saja akan ditawan, hal ini memang kerena

pemuda sastrawan itu tadi telah menotok jalan darahnya, sehingga Candra Wulan tak dapat menggerakkan kaki dan tangannya.

Mintaraga melihat itu menjadi kaget saking herannya. Akan tetapi ia adalah seorang pemuda yang memiliki kecerdikan.

“Kau lihatlah.” Serunya sambil menengadahkan kepalanya.

Seruan ini mengalihkan perhatian musuh, malahan Bagaspati yang biasanya berlaku sangat hati-hati kali inipun tak menjadi kecualinya. Jago Jipang ini tak menyangka jelek, dia segera berpaling kearah yang dimaksudkan oleh lawannya.

Justru waktu itulah Mintaraga mempergunakan waktu yang baik, dia telah memperlihatkan kecerdikannya dan juga kelincahannya. Dia telah melompat kepada panglima Wasi Pralampito yang berada didekatnya dari pada jaraknya dengan jarak Candra Wulan.

Panglima itupun tak akan menyangka apa-apa, akan tetapi begitu melihat ketika yang tak diinginkan hatinya menjadi kaget. Sungguh tak pernah disangkanya kalau dengan sekali sambar saja musuhnya telah dapat menyambarnya dan malahan mengempit tubuhnya diantara ketiak dan tubuh dalam keadaan tertotok.

“Kembang Arum, kau turunlah dulu.” Mintaraga memanggil kawannya yang sedang berada diatas.

Mendengar ini Kembang Arum lalu melompat turun, perbuatannya ini segera diikuti dengan si pemuda yang tadi menjadi lawan Candra Wulan. Hanya saja pemuda ini melompat turun dan terus menyerang kearah Mintaraga.

Mintaraga tak mengelak, bahkan tak menangkis. Hanya saja ia mengajukan tubuh panglima Wasi Pralampito sebagai tameng untuk menangkis serangan pemuda sastrawan itu.

“Siapa yang berani tak menghentikan pertempuran ini dahulu, maka aku akan membunuh panglima ini dahulu.” Seru Mintaraga mengancam.

Pemuda sastrawan itu menjadi terkejut, untunglah ia masih dapat membatalkan serangannya dengan jalan menarik pulang pukulannya.

“Kau siapakah ki sanak?” Tanyanya dengan membentak.

Mintaraga telah dapat menawan panglima perang Jipang yang berkuasa penuh pada waktu itu. Karena itulah hatinya menjadi sangat tenang.

“Aku yang rendah bernama Mintaraga. Seorang prajurit yang tak ternama.” Jawabnya dengan hormat.

“Kau telah menanyakan aku ki sanak, maafkanlah aku ki sanak.”

Hati pemuda sastrawan itu menjadi tercekat. Karena ia tahu kalau kini sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang gagah dan pernah mengalahkan kawanan jago-jago Jipang Panolan. Karena itulah ia lalu berusaha menenangkan diri dengan sedapat-dapatnya.  

“Apakah kedua orang gadis itu sahabatmu?” Tanyanya dengan tertawa.

Mintaraga melihat lelaki ceriwis ini menjadi tak senang, akan tetapi atas pertanyaan itu, ia memperkenalkan Candra Wulan dan Kembang Arum.

Akan tetapi Kembang Arum tak suka mendengarkan orang mengoceh. “Sekarang ini panglima perangmu telah kena ditawan, aku ingin bicara

sebentar.” Serunya menyela dengan tawar.

Kedua mata pemuda sastrawan itu terbelalak, ia lalu mengawasi. Kembang Arum dan kemudian kepadanya lalu menganggukan kepalanya tanda menghormat.

“Kembang Arum silahkan berbicara.” Serunya. Setelah berkata demikian ia lalu tertawa, matanya tetap mengawasi, agaknya ia hendak menantikan jawaban. Nampak tegas sikapnya yang memandang enteng kelakuannya yang ceriwis.

Memang, untuk pendekar-pendekar di Jipang Panolan dia termasyhur akan kepandaiannya, akan tetapi juga terkenal akan keceriwisannya hingga pemuda ini tak boleh melihat paras muka wanita yang cantik. Pertama kali melihat Candra Wulan, hatinya telah tertarik, sekarang ia menghadapi Kembang Arum semangatnya menjadi terbetot. Memanglah Kembang Arum ini lebih cantik dan lebih menarik dari pada Candra Wulan. Mau tak mau, Kembang Arum menjadi malu dan jengah juga. Karena itu ia terus menundukkan kepalanya, mukanya menjadi merah semerah udang direbus.

Mintaraga menjadi sangat mendongkol, coba saja kalau Candra Wulan tak berada ditangan lawannya, ia tentu tak akan berbuat demikian sabar lagi untuk tidak memberikan hajarannya kepada si pemuda ceriwis itu.

“Eh, Kembang Arum. Mengapa kau diam saja?” Pemuda ceriwis itu tertawa.

“Apakah kau malu?!”

Kembang Arum tetap membungkam, akan tetapi tiba-tiba saja terdengarlah perkataan Mintaraga yang disertai dengan suara tawanya yang besar.

“Aku akan menolongnya berbicara, bolehkah ini?” Tanyanya kepada pemuda ceriwis itu.

“Silahkan.” Jawab pemuda ceriwis itu.

“Kepala perangmu telah tertawan.” kata Mintaraga. “Karena ini adalah urusan besar, maka aku herdak bicara dengan orang yang bersangkutan, karena itulah kau pemuda ceriwis silahkan mundur.”

Pemuda ceriwis itu tertawa bekakakan. Segera ia menengok kepada Bagaspati.

“Kau juga mewakili aku bicara, bolehkah?” katanya.

“Aku yang rendah tak berani.” Jawabnya memberi hormat.

Pemuda ceriwis itu tertawa, kemudian ia memandang kearah Mintaraga dan katanya :  

“Baiklah ki Mintaraga.” Katanya. “Aku adalah seorang dari daerah

Juana pula, dan ketahuilah kalau namaku ini adalah Pamegatsari. Bahkan orang-orang disana menyebutku sebagai pangeran Pamegatsari. Jangan lagi orang-orang ini, biarpun orang tua Ario Penangsang saja akan suka mendengarkan apa yang kukatakan. Sekarang kau telah membekuk panglima Jipang, dan kau mengancamnya, apakah perbuatanmu itu dapat dikatakan perbuatan seorang gagah.”

Mendengar kalau pangeran Pamegatsari itu menyebut Ario Penangsang sebagai orang tua, maka percayalah Mintaraga kalau Pamegatsari ini tentunya benar-benar seorang pangeran yang sangat dihormati. Dan dari pembicaraan yang menyebut-nyebut orang gagah, rupanya diapun orang dari dunia kependekaran pula.

‘Ah... dia aneh!’ Pikirnya. Tapi ia tertawa sambil menengadah.

“Ki Pamegatsari, aku adalah seorang kecil yang tak ternama. Karena itu harap kau jangan berkecil hati atas sikapku tadi. Kau telah menganggap kalau dirimu ini bukannya sembarangan orang, kau adalah seorang gagah, pula seorang pangeran. Aku percaya, sebagai orang gagah kau tentunya tak akan menghina kepada kaum wanita ataupun kepada anak-anak. Bukankah begitu ki Pamegatsari.”

Kata-kata itu membuat wajah Pamegatsari ia menjadi merah saking malunya dia, walaupun ia memaksakan diri untuk tertawa, namun tetap terdengar suaranya kering.

“Poncowolo kau bawa kemari.” Dia lalu berkata kepada salah seorang jago-jago dari Jipang Panolan.

Dengan kelakuan yang sangat menghormat, Poncowolo membawa Candra Wulan kehadapan anak muda itu.

Setelah berada dihadapannya maka pangeran Pamegatsari menotok jalan darah pembuka dari jalan darah yang ditotoknya tadi, hingga dengan demikian maka Candra Wulan lalu kembali menjadi bebas merdeka seperti sedia kala.

“Binatang, aku akan mengadu nyawa kepadamu.” Bentak Candra Wulan dengan marah.

“Adi Candra Wulan kau ampunilah dia sekali ini.” Seru Mintaraga mencegah.

Candra Wulan sangat taat kepada kawannya ini, maka walaupun ia sangat marah setelah menengok kepada Mintaraga itu, ia lalu membatalkan niatnya untuk menyerang si pemuda ceriwis tadi. Akan tetapi tetap saja ia masih mendelik kepada pangeran itu.

“Ki Pamegatsari, sungguh kau hebat sekali.” Seru Mintaraga. Iapun segera menotok bebas kepada panglima Wasi Pralampito. Setelah panglima itu bebas maka ia menyerahkan kepada pemuda itu. Kembali ia berkata :  

“Kau mengembalikan adikku, maka akupun mengembalikan panglima

perangmu. Dengan secara demikian maka kita tak akan saling rugi merugikan. Nah, sampai kita bertemu pula.”

“Aku yang rendah masih hendak mohon sesuatu.” Seru Pangeran Pamegatsari.

Baru pemuda itu mengucapkan perkataannya itu, belum lagi Mintaraga menjawab, untuk menanyakan apa permintaan pangeran Pamegatsari. Akan tetapi tiba-tiba saja Wasi Pralampito telah memerintahkan kepada anak buahnya :

“Tangkap tiga pemberontak itu!”

Panglima itu sangat malu sekali, setelah kalah perang malahan ia kena ditawan musuh. Dan lolosnyapun dengan secara demikian memalukan. Ia telah memimpin enam ribu tentara akan tetapi tak dapat menumpas pulau Selarong. Akan tetapi malah sebaliknya, ia kehilangan beberapa orang perwiranya dan entah berapa banyak tentranya. Empat ribu serdadunya naik kedarat, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang dapat meloloskan diri. Sedangkan kelebihannya yang berjumlah dua ribu ini, separuhnya telah mati dan terluka diatas perahunya. Inilah hebat. Ia tahu kalau ia pulang ke Jipang Panolan maka ia akan dihukum, paling sedikit tentu akan ditegur oleh Ario Penangsang yang berdarah panas dan berangasan. Oleh karena itu, dengan menuruti hawa amarahnya, hendak ia membekuk ketiga anak muda ini. Supaya ketiga anak muda ini dapat dipkai untuk menebus dosanya. Demikian ia memberikan perintahnya, akan tetapi sekalipun ia seorang panglima, ia bukanlah orang dari dunia kependekaran. Tak tahulah dia akan kehebatannya orang persilatan itu. Ia sendiri tak tahu hidup atau mati. Karena itu perintahnya ini malah membuat Kembang Arum menjadi tertawa bergelak-gelak.

Wajah pangeran Pamegatsaripun menjadi merah.

“Panglima Pralampito, kau benar-benar mengacau pembicaraan kita.” Tegur dengan muka merah.

“Oh tidak.” Jawab panglima itu dengan cepat. Ia menjadi panglima perang akan tetapi agaknya ia menjadi jeri kepada anak muda ini. “Hanya

dalam pertempuran ini, walaupun ada bantuanmu sendiri serta jago-jago dari kerajaan tapi. ”

Ia hendak menyebutkan : ‘kita toh kalah ludas’ akan tetapi tak berani untuk mengucapkan perkataan itu. Namun ia terus mengubah dengan kata- katanya :

“Tak tahu aku.... bagaimana harus memberi laporan kepada baginda ”

Sambil mengucapkan demikian maka panglima ini melirik kearah ki Bagaspati yang dianggap sebagai jago Jipang Panolan.

Akan tetapi ketua dari Jipang Panolan ini hanya membungkam dan menundukkan kepalanya. Ia juga percaya, dengan keberangkatannya ini  

keselatan, dengan mengandalkan pengaruh dan kegagahannya, pasti akan

berangkat dan pulang dengan menggondol kemenangan, akan tetapi siapa tahu kejadiannya begini rupa, sudah tak berhasil, malahan rusak hebat, ia kehilangan saudaranya yang ketujuh, yaitu Sokoponco. Karena itu saking malu dan susah hatinya, ia lalu hanya berdiam diri saja.....

Pangeran Pamegatsari tak mengambil pusing lagi kepada panglima Wasi Pralampito, ia lalu menghadap kearah Mintaraga.

“Ki Mintaraga, bukankah kau ini cucu dari Tumenggung Malangyudo dari kerajaan Demak Bintoro?” Tanyanya.

“Benar.” Jawab Mintaraga dengan secara telus terang.

“Dan kedua gadis ini tentunya keturunan dari Tumenggung Sorohnyowo dan Tumenggung Kertoyudo bukan?” kembali pemuda itu bertanya.

“Sedikitpun tak salah.” Jawab Mintaraga, karena itulah ia lalu bersikap sangat hati-hati. Hal ini disebabkan karena pertanyaan anak muda ini sangat aneh. “Ki Pamegatsari mengetahui dengan baik asal usul kami. Aku mohon

bertanya, kau ini akan memberikan pengajaran apakah kepada kami?” Pangeran Pamegatsari tertawa terbahak-bahak.

“Keturunan tiga orang tumenggung itu satu dengan lainnya telah menjadi sahabat baik, bahkan meneruskan tali persaudaraannya sungguh diluar dugaan.” Katanya. Setelah itu ia melirik kearah Kembang Arum dan Candra Wulan. Bibirnya tersenyum mengejek, dan matanya berkeliaran. Lalu katanya dengan menyindir :

“Kalian tiga keluarga telah saling bunuh membunuh, mereka itu bermusuhan akan tetapi kalian sebagai keturunannya malahan menjadi karib. Bukankah itu hanya disebabkan karena urusan lelaki dan wanita?!”

Kedua gadis itu merasa kalau mereka itu dihina. Karena itu mereka menjadi mendongkol sekali. Disaat mereka itu hendak mengumbar kemendongkolannya, justru Mintaraga melirik kearah mereka, dan mengerdipkan matanya.

“Ki Pamegatsari, kau ini seorang yang terhormat, mungkinkah perkataanmu itu hanya ucapan sebagai perasaan mendongkolmu saja setelah kalah perang?” Mintaraga menegur pemuda itu.

Panglima Wasi Pralampito menjadi sangat mendelu ketika mendengar pembicaraan mereka. Ia menganggap kalau pembicaaan mereka itu hanyalah ocehan belaka. Sedangkan kekalahannya itu adalah hebat sekali. Akan tetapi karena ia memang mengandalkan kesaktian anak muda ini, terpaksalah ia membatasi diri, mencoba menahan kesabaran.

“Baiklah, aku akan membicarakannya dengan terus terang. Tak ada halangannya memberitahukannya kepadamu.” Kata Pamegtsari. “Kakekku

dengan Tumenggung Malangyudo punya sebuah urusan, yang disebabkan oleh leluhur kita. Mengenai itu tak dapat aku tak menyadarkanmu ”  

“Kau? Mustahilkah kau...?”

“Aku?” Jawab Pamegatsari dengan tertawa. “Aku adalah Pamegatsari, panglima Sindhu Kencana adalah kakekku.”

Mendengar perkataan ini Kembang Arum, Candra Wulan dan juga Mintaraga, menjadi kaget hingga dengan demikian wajah mereka menjadi berubah. Malahan Candra Wulan telah berteriak dengan keras, matanya mendelik, lalu ia menyerang dengan hebat, dengan pukulan istimewa dari aji Gundala Kurda.

Pangeran Pamegatsari tertawa, tubuhnya melejit, karena itu, serangan yang diumpamakan dapat menggempur bukit, lewat dengan begitu saja disampingnya, ia sama sekali tak membalas menyerang.

‘Musuh ini amat hebat.’ Pikir Mintaraga, ia benar-benar mengagumi cara musuhnya ini mengelakkan pukulan Candra Wulan tadi. Sungguh sebuah gerakan yang manis. ‘Kelihatannya ia tak berada disebelah bawah Patih Udara dan berada disebelah atas dari Bagaspati. Musuh yang, membunuh kakekku ini berada didepan mataku, apakah tidak baik kalau aku segera turun tangan untuk menuntut balas?’

Kembang Arum merasa aneh, maka pikirnya :

‘Pangeran Pamegatsari ini sangat aneh kelakuannya. Dia adalah musuh besar dari kakek kami bertiga. Mengapa ia berani mengakui dirinya tanpa ada orang yang memaksanya? Kalau ia hendak mengambil nyawa kami bertiga mengapa tak segera turun tangan? Kalau saja digabung menjadi satu maka pihaknya akan jauh lebih kuat dari pada pihak kami. Apakah dia bermaksud melindungi kami? Dia toh orang dari Jipang Panolan, kelihatannya ia ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Mungkinkah ia hendak mengubah permusuhan dari kedua belah pihak menjadi persahabatan?’

Oleh karena ini, Kembang Arum berpikir keras dengan tak ada kesudahannya.

“Sudahlah kalian bertiga tak usah menduga yang tidak-tidak.” Kata Pamegatsari kemudian. “Aku tahu mereka pasti akan menuntut balas, dan kebetulan sekali akupun menantikan kedatanganmu. Sekarang begini saja, tiga bulan lagi, aku akan menantikan kedatanganmu di Rembang padla rumah makan ‘terang bulan’. Apakah lalian mempunyai keberanian untuk datang kesana?”

Mintaraga bertiga menjadi heran, ketiganya menjadi tercengang. Mereka tak pernah menyangka, justru mereka bertiga itu yang ditantang oleh Pamegatsari. Tentu saja ia tak dapat berpikir terlebih lama lagi untuk memberikan jawaban.

“Baiklah perkataan kita ini kita jadikan kepastian.” Demikianlah jawabnya. Oleh karena Dua Puluh Satu Jago Jipang Panolan mengakibatkan  

bencana kepada khalayak ramai, pada saat itu juga aku ingin belajar kenal

kepada mereka juga.”

Bagaspati adalah ketua dari Dua puluh satu jago Jipang Panolan, tentu saja ia tak dapat berdiam lebih lama lagi.

“Baiklah kamipun akan menunggu kedatanganmu.” Katanya kemudian. “Baiklah, sampai kita bertemu lagi.” Seru Mintaraga yang terus mengajak kedua orang kawannya untuk melompat kedalam perahunya sendiri. Dananjaya bersama kawan-kawannya telah merasa khawatir benar- benar. Mereka teIah menantikan dengan tak sabar. Maka hati mereka menjadi girang sekali setelah melihat kawan-kawan mereka itu pulang dengan tak kurang sesuatu apapun juga. Lalu mereka bersama-sama kembali

kepulau.

Mintaraga banyak berdiam diri. Pikirannya sedang dipusatkan kepada Pamegatsari. Kini ia seperti teraling-aling berlapis-lapis mega. Begitupun dengan kedua orang gadis lawannya itu. Mereka sedang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Untuk panglima Wasi Pralampito kesudahan penyerbuannya itu sangatlah diluar dugaannya. Hingga dengan demikian ia menjadi tak dapat menangis, akan tetapi tertawapun tak bisa. Semuanya, Pamegatsari dan Bagaspati adalah orang-orang undangannya, terhadap mereka ia tak dapat mengatakan sesuatu. Karena itu, ia hanya dapat mengutuk orang-orang sebawahannya, dan hanya terbatas didalam hati saja. Dengan terpaksa ia lalu mengajak sisa laskarnya pulang ke Jipang.

Dipuncak gumuk pulau Selarong, Dahana Brasta telah menyapu bersih sisa-sisa musuhnya, karena itu ketika Mintaraga kembali, ia dapat menyambut sendiri dimuara. Ia menjadi sangat girang dan mengagumi Mintaraga dan menghormati Mintaraga bertiga dengan kawan-kawannya.

Dengan demikian berarti Mintaraga bertiga ini menjadi tuan penolong dari bajak laut Bondopati yang sangat ditakuti orang-orang Jipang Panolan. Memang mereka terhadap ketiga keluarga Tumenggung Malangyudo, Sorohnyowo dan Kertoyudo ini menaruh perindahan. Disampingnya, semua anggota persekutuan juga menjadi sangat girang.

Perjamuan segera diadakan diruang besar dari pagoda dimana Kembang Arum telah mengurung Anggodo serta empat ratus tentara Jipang, yang semuanya telah dibinasakan oleh orang-orang Bondopati. Ruang itu segera dibersihkan hingga tak tampak kalau didalam ruang itu tadi bekas terjadi pertempuran yang amat hebat.

Pagoda itu dulunya adalah tempat beribadat dari para pendeta dan bangsawan dari segala tempat. Akan tetapi semenjak munculnya bajak laut Bondopati serta rombongannya maka tempat itu berubah menjadi tempat umum, atau sarang bajak laut itu.  

Dahana Brasta sendiri yang menyuguhkan tuak ketika perjamuan itu

dimulai.

“Jika tak ada ki Mintaraga dan kawan-kawannya yang datang menolong pada pertempuran malam tadi.” Berkatalah ketua persekutuan itu. “Walaupun kita tak dikhianati oleh Indrajaya, kita pasti akan menderita kecelakaan ditangan bangsa Jipang. Tanpa adanya ki sanak bertiga maka sukarlah kita untuk memperoleh kemenangan. Karena itu ki sanak bertiga silahkan menghabiskan tuak ini. Aku Dahana Brasta mewakili orang-orang Bondopati untuk mengucapkan terima kasih.

Setelah mengucapkan demikian ia lalu menengguk gelasnya, dan mengeringkan tuak itu.

Mintaraga lalu menghabiskan tuak yang digelasnya. Akan tetapi kedua orang gadis ini rupa-rupanya tak biasa minum hingga dengan terpaksa ia lalu menghabiskan tuaknya setelah melihat kesungguh-sungguhan Dahana Brasta itu.

Setelah itu terdengarlah Mintaraga membuka pembicaraan.

“Ki sanak sekalian mempunyai kepandaian yang hebat dan telah menjagoi dilaut Timur. Katanya merendah, sambil mengangkat nama tnan rumah. “Yang lebih kukagumi ialah ki sanak sekalian ini ternyata seorang yang mencintai negara. Telah dengan rela melakukan perlawanan pada pihak Jipang Panolan. Oleh karena sikap ki sanak inilah maka aku ingin sekali mengutarakan sesuatu, kali ini pasukan Jipang telah menderita kekalahan yang besar, setelah panglima Wasi Pralampito kembali ke Jipang, pasti Ario Penangsang dan rakyatnya menjadi tak puas. Mereka pasti akan datang kembali. Ini adalah sebuah hal yang wajar. Karena itu aku memohon ki sanak sekalian, supaya jangan lengah dan teruslah bersiap sedia disetiap waktu.”

“Itu perkataan ki Mintaraga memang benar.” Jawab Bagaspati. “Sebenarnya bukan kami hendak menyombongkan diri, umpama tak ada pengkhianat dari dalam, orang-orang Jipang Panolan tak nanti berani menyerang kami. Kami tahu kalau tentara Jipang itu ada yang berani bertempur diatas air. Karena pasukan airnya tak berguna sama sekali. Lain dengan prajurit-prajurit Demak Bintoro dulu. Merekapun tak mengenal keletakan tempat.”

Mendengar disebutnya pengkhianat dari dalam maka Dananjaya lalu menggertakkan gigi, lalu ia mendamprat kepada Indrajaya.

“Yah, mengapa kalian dapat diperalat oleh binatang itu?” Tanyanya kepada Wilotikto dan Waspo Runggu.

Kedua orang yang ditegur ini mukanya berubah menjadi merah. Merah karena marah bercampur malu. Akan tetapi kemarahannya ini ditujukan kepada Indrajaya.  

“Sebenarnya amat panjang untuk menceritakan itu.” Jawab mereka.

“Hari itu   ”

“Sudahlah.” Dahana Brasta menyela. Ia tak ingin memperpanjang urusan itu, lurah Bondopati ini khawatir kalau Wilotikto dan Waspo Runggu menjadi tak enak. Ini akan dapat mengganggu persahabatan mereka.

“Tentang itu lebih baik tak usah ditimbulkan lagi. Kita semua mengutamakan kehormatan, kita saling menghargai satu dengan lainnya. Lagi pula segala benda mustika itu apakah faedahnya?”

Mendengar itu Mintaraga merogoh sakunya. Ia mengeluarkan emas, yang terus diatas diletakkan diatas meja.

“Hampir-hampir aku melupakan ini.” Katanya. “Mustika ini harus kembali kepada pemiliknya. Ki Dahana Brasta, silahkan kau menerimanya.” Dahana Brasta tertawa bergelak-gelak. Dia lalu menunjuk kearah kotak mustika itu.

“Ki Mintaraga.” Kau telah datang ke Selatan ini, bukankah kau tak sengaja hendak datang ke pulau Selarong?” Tanyanya. Mintaraga merasakan kalau mukanya menjadi panas. Bahkan terasa bagaikan tebal sekali.

“Biarlah aku akan omong terus terang.” Jawabnya dengan jengah. Kembali mukanya menjadi merah. “Mulanya kami menyangka kalau Tunggul Tirto Ayu telah dapat kalian angkat dari laut. Kami lalu menyelinap masuk kemari untuk melihat, tak tahunya itu bukan Tunggul Tirto Ayu, melainkan hanya sebuah kotak emas saja.

“Jika ini bukan kotak emas melainkan Tunggul Tirto Ayu bagaimana ki sanak?” Tanya ki Dahana Brasta. Orang ini agaknya mendesak.

Candra Wulan tak tahu mereka itu bercakap-cakap dengan maksud mengandung apa, ia menganggap kalau percakapan itu adalah tidak pantas. Maka ia mendahului Mintaraga untuk menjawabnya.

“Pasti kami tak akan sungkan-sungkan lagi.” Katanya. “Harus diketahui Tunggul Tirto Ayu ”

Dahana Brasta segera tertawa terbahak-bahak, dengan begitu ia menjadi memotong perkataan Candra Wulan.

“Inilah dia.” Seru Dahana Brasta ini. “Kalau ada Tunggul Tirto Ayu mengapa tak ada kotaknya untuk menyimpannya? Dahulu Tumenggung Malangyudo telah mengorbankan jiwanya disini, lalu kalian bertiga keluarganya, keluarga dari Tumenggung Malangyudo, Tumenggung Sorohnyowo dan Tumenggung Kertoyudo telah menumpah darah untuk Tunggul Tirto Ayu itu. Bukankah semuanya ini hanya untuk membangun kerajaan Demak Bintoro saja? Kami orang-orang laut Timur mempunyai ikan segar dan beras putih untuk dimakan, kami tak kekurangan pakaian dan makanan. Buat apakah kami menghendaki kotak emas itu? Ki sanak sekalian, siapapun tak berhak mempunyai kotak emas ini, kecuali keturunan tiga  

orang tumenggung yang gagah dan pembela negara.” Lalu ia berpaling

kearah Wilatikto dan Waspo Runggu. Dan menambahkan perkataannya lagi : “Kalian berdua adalah orang-orang yang mendapatkan kotak emas ini,

bagaimanakah pendapatmu?”

Wilatikto bangkit berdiri dengan seketika.

“Ki Mintaraga adalah bintang penolong kami, dengan tanpa adanya dia disini maka nyawa kami telah terancam bahaya maut dan banyak kemungkinan akan lenyap, karena itu aku rela menyerahkan kotak emas itu kepadanya sebagai kenang-kenangan dari kami orang-orang Bondopati. Aku harapkan ki Mintaraga suka menerima kotak emas itu.”

Ketua pulau Karang Tugel ini berkata dengan penuh semangat, sikapnyapun menunjukkan kejujurannya, penghargaannya kepada Mintaraga.

Waspo Runggupun lalu bangkit.

“Wilotikto.” Katanya. “Tadi malam kita bertempur, itu sungguh sebuah pertempuran yang tak beralasan. Sekarang ini apapun juga aku tak menghendakinya, kecuali menghendaki persahabatan. Dan persahabatan denganmu.”

Dan ia lalu mengangsurkan sebelah tangannya untuk berjabat tangan. Uluran tangan ini disambut dengan ki Wilotikto hingga mereka saling berpegangan dengan keras sekali.

Bagaspati tertawa terbahak-bahak. Terus ia meneguk kering tuaknya, setelah itu ia lalu mengangkat jempolnya tinggi.

“Bagus... bagus   ” Serunya dengan pujian itu. “Dengan begini kalian tak

mengecewakan perkumpulan kita ini.”

Lalu ketua dari pulau Sempu itu bertepuk tangan, untuk memberi perintah kepada bawahannya, maka ada orang yang membawa sebungkus besar ikan kering, yang terus diletakan disamping kotak emas itu.

“Kotak emas dijejeri dengan ikan kering, sungguh tak tepat.” kata ketua dari pulau Sempu itu. Ia terus tertawa-tawa. Namun tak lama kemudian terdengarlah perkataannya :

“Ki Mintaraga, ikan ini adalah ikan istimewa. Ikan istimewa dari perairan pulau Sempu, siapa yang makan ikan ini akan mendapat umur yang panjang. Karena itu sekarang kita akan mendoakan supaya kau ini dikaruniahi panjang umur sampai seratus tahun, supaya kau dapat merampas kembali Tunggul Tirto Ayu dan dengan demikian kau akan berbakti kepada para leluhurmu dan juga kepada negara.”

Setelah berkata demikian ia lalu mengurut kumisnya yang panjang. Kembali ia tertawa terbahak-bahak. Hanya saja kali ini ketawanya ditiru dengan yang lain-lainnya. Hingga dengan demikian ruangan itu menjadi riuh rendah, setelah itu ketua-ketua dari pulau-pulau lainnyapun lalu memberinya pelbagai hadiah.  

Terharulah hati Mintaraga ketika melihat kesungguhan hati orang-orang

itu. Tentu saja ia tak dapat menerima yang satu dan menampik yang lainnya. Karena itu ia bangkit dan menganggukan badannya kearah orang-orang itu.

“Apakah kebisaan dan kebijaksanaan aku Mintaraga yang muda ini, hingga mendapat hadiah yang hebat ini?” Katanya. “Sungguh aku malu, ki sanak sekalian. Terima kasih banyak atas budi kecintaan kalian.”

Lalu ia minta tolong kepada Candra Wulan untuk menerima kotak dan pelbagai hadiah itu.

Perjamuanpun lalu dilanjutkan hingga tengah hari.

Mintaraga segera teringat perjanjiannya dengan Baudenda. Karena itulah ia lalu bangkit dan minta diri.

Dahana Brasta tak mengijinkan Mintaraga dan kawannya itu cepat-cepat meninggalkan pulau Selarong.

“Pulau Selarong ini tadinya adalah tempat pesiar para orang-orang kaya.” katanya. “Keindahan alam disini tak tercela, karena itu setelah ki sanak bertiga berada disini, silahkan kalian berdiam beberapa hari lagi, aku akan mengantarkan kalian pesiar duhulu. Sudikah kalian?!”

“Terima kasih.” Mintaraga menampik. “Eyang guru kami telah mengatur kami pergi ke selatan dengan terpecah dua rombongan. Kepergian kami ini untuk merampas kembali Tunggul Tirto Ayu. Siapa yang terlambat maka hilanglah kesempatannya untuk mendapat Tunggul Tirto Ayu itu. Karena itulah dengan perasaan amat berat kami tak dapat menemani ki sanak sekalian untuk berpesiar. Biarlah lain kali nanti kita berkumpul lagi.”

Dahana Brasta tak dapat menahan terlebih jauh lagi. Ia menginsyafi pentingnya perjalanan anak muda itu. Karena itu ia lalu mengajak Dananjaya dan yang lain-lainnya untuk mengantarkan sendiri ketiga orang muda ini sampai ke muara. Sebenarnya mereka itu hendak mengantarkan sampai ketujuan, akan tetapi Mintaraga menolak dengan sangat. Karena itulah mereka lalu berpisahan.

“Kemenangan Bajak Laut Bondopati kali ini adalah kami sangat mengandalkan bantuan dari ki sanak bertiga.” Kata Dahana Brasta ketika mereka berpisah. “Karena itu sukakah kalian menerima penghormatan Dahana Brasta.

Setelah berkata demikian ia membongkokkan tubuhnya menghadap kearah mereka bertiga.

Dengan tersipu-sipu Mintaraga mencegah.

“Tidak, tidak berani aku menerima penghormatan ini.” Kata anak muda  

itu.

“Ki Mintaraga, dengan perpisahan kita hari ini, entah kapan lagi kita

dapat bertemu lagi?” Kata ki Dahana Brasta dengan nada berat.

Tampaklah orang-orang itu berkata dengan kesungguhan hati. Karena itu hati Mintaraga menjadi tertarik. “Ki Dahana Brasta.” Katanya. “Baiklah aku omong terus terang. Dengan

perjalananku ini, niatku adalah mempersatukan orang-orang persilatan untuk kita ajak bekerja sama merobohkan pemberontak dari Jipang Panolan dan sisa-sisa dari kerajaan Supit Urang yang kini tampak bergabung dengan orang-orang Jipang Panolan. Karena itu lain kali kami mengharapkan kita berkumpul kembali dibawah sebuah naungan panji-panji yang besar.”

“Bagus... bagus...” Dahana Brastapun sangat tertarik hatinya. “Bukan aku takabur akan tetapi beberapa ribu anggota Bajak Laut Bondopati dapat kukerahkan setiap waktu. Sedangkan dalam hal keuangan dalam setiap saatpun kami dapat menyumbang. Ki sanak kalau telah tiba saatnya untuk bergerak harap kau jangan melupakan kami yang berada disini.”

Segera setelah itu, Dahana Brasta dapat mencari perahu ketiga anak muda itu, justru kedua tukang perahu mereka itu menjadi girang sekali setelah mengetahui kalau tuan-tuannya ini selamat dan tak kurang suatu apapun juga.

Dahana Brasta dan semuanya lalu berjabat tangan dengan Mintaraga dan kawan-kawannya, setelah itu mereka mengawasi perginya perahu pemuda itu sampai hilang dibalik cakrawala. Setelah itu barulah mereka kembali ke markas. Biarpun bagaimanapun juga mereka toh kelihatan berduka karena perpisahan itu.

Mintaraga bertiga lalu mendayung perahunya supaya lebih laju lagi pergi ke Selatan. Untunglah mereka mendapat angin yang baik. Tanpa terasa sehari kemudian mereka telah tiba dikota Cilacap, salah sebuah kota yang terdapat di selatan. Kota ini ramainya tak kalah dengan kota-kota yang berada disepanjang pantai timur dan selatan lainnya. Candra Wulan berniat turun dikota untuk melihat-lihat sebentar, akan tetapi Mintaraga dan Kembang Arum mencegah, katanya mereka khawatir kalau pendeta Baudenda akan mendahuluinya.

Mintaraga memegang kendali sendiri. Berhari-hari perahu itu dilajukan terus hingga pada suatu hari tibalah mereka disebuah kota kecil. Oleh karena hari telah malam, kabutpun tebal, hingga sukarlah untuk berlayar terus. Dengan terpaksa mereka lalu menunda perjalanan. Dengan demikian perahunyapun lalu berlabuh.

“Marilah kita mendarat untuk jalan-jalan.” Ajak Candra Wulan. Gadis ini hatinya pepat karena terus menerus tinggal didalam perahu. “Hendak kulihat ada makanan apakah yang dapat kita makan. Kalian hendak turut mendarat atau tidak?” Tanyanya kepada kedua orang kawannya itu.

Sebenarnya Mintaraga tak ada niat untuk mendarat. Ia tahu jarak kota kecil ini dengan tempat yang ditujunya ini tak berapa jauh lagi. Kurang lebih tinggal sepuluhan kilo lagi. Ia lebih memikirkan bagaimana caranya untuk menghadapi musuhnya nanti dari pada turun berpesiar. Akan tetapi ia melihat kekerasan hati Candra Wulan ini. Dan pula, rupa-rupanya Kembang  

Arumpun menyetujui pendapat Candra Wulan itu. Karena itulah ia menjadi

tak tega untuk menolak permintaan mereka. Dengan mengangguk-anggukan kepalanya lalu berkata :

“Baiklah.”' Serunya. “Sebenarnya tak ada tempat yang menarik disini. Kuharapkan kalian waspada. Kalau ada makanan yang rasanya enak maka belilah untukku.”

“Jadi kau sendiri tak turun?!” tanya Candra Wulan.

“Tidak, akan tetapi kalian lekaslah pulang kemari.” Jawabnya dengan sungguh-sungguh.

Candra Wulan tak memaksa dan terus bersama Kembang Arum ia lalu memakai pakaian laki-laki, setelah itu keduanya lalu mendarat. Mendarat terus menuju kekota.

Jimbun nama kota kecil itu. Jimbun sebenarnya bukanlah sebuah kota yang besar dan ramai.

Setelah kedua orang gadis itu pergi, Mintaraga lalu berpikir. Ia berpikir sambil merebahkan dirinya. Ia tahu Sucitro sangat hebat. Ia menjadi sangsi apakah kepergiannya ini akan membawa hasil. Iapun khawatir Pendeta Baudenda nanti mendahuluinya, hingga ia dapat kecele.

Setelah memikirkan banyaknya musuh, Mintaraga lalu teringat kepada kekasihnya. Dengan sendirinya terus bersemu merah dadu. Dari pinggangnya ia lalu mengeluarkan sebuah anting-anting. Setelah itu anting- anting ini dipandangnya dengan tajam-tajam. Anting-anting itu berwarna hijau. Dibelakangnya terukir nama Kembang Arum. Ukiran ini halus sekali.

Coba ukiran ini tak ketahuan sejak mulanya maka nama ukiran yang halus itu akan lolos dari matanya karena kecilnya. Ia seperti tak ingin melepaskan anting-anting itu.

‘Kembang Arum itu adalah calon istriku.’ Pikirnya dengan melamun. ‘Ia cantik bagaikan bunga, ilmu silatnyapun tinggi dan orangnya pendiam ’

Tiba-tiba saja ia teringat kepada Kembang Arum. Gadis ini pula yang telah membuatkan batu nisan dikuburan ayahnya. Disitu ia menuliskan nama MINTARAGA. Disamping nama itu ditinggalkan nama kosong, karena itu ia dapat menduga nama siapa nanti yang akan menempati tempat kosong itu.  

‘Tentang perjodohan kita ini dia telah mengetahui.’ Pikirnya lebih jauh. ‘Bagaimanakah dengan Candra Wulan?’

Ketika dahulu tiga keluarga mendapatkan Tunggul Tirto Ayu, mereka telah memotong ujung kotaknya sedikit untuk dibuat perhiasan sanggul dan anting-anting. Barang itu lalu dijadikan peringatan keadaan turunnya. Anting-anting yang diterima oleh Wirapati bertuliskan Candra Wulan, karena itulah Candra Wulan bakal menjadi istri dari Wirapati. Sedangkan perhiasan sanggul Kembang Arum bertuliskan Mintaraga. Perhiasan sanggul Candra Wulan bertuliskan Wirapati dan anting-anting Mintaraga bertuliskan

Kembang Arum.

‘Tentang perjodohan kita ini kedua orang kakak beradik anak bibi Woro Keshi telah mengetahuinya.’ Pikir Mintaraga lebih lanjut. ‘Hanya Candra Wulan seorang yang belum mengetahuinya ’

Teringat kepada Candra Wulan tiba-tiba saja pikiran Mintaraga menjadi ruwet. Kalau melihat sikapnya, teranglah kalau Candra Wulan itu mencintainya. Sedangkan kelihatannya Candra Wulan seperti jemu terhadap Wirapati.

‘Bagaimana ini?’ Tanyanya kepada dirinya sendiri. “Apakah aku harus menceritakan duduknya perkara ini sejelas-jelasnya kepada Candra Wulan?’

Kembali anak muda ini menghela napas. Ia masih terlalu muda, hingga dengan demikian masih belum mengerti jelas antara perhubungan wanita dan lelaki, atau tepatnya hal muda-mudi. Karena itulah ia menjadi terpaku. Hingga ia menjadi terkejut ketika mendengar suara keras. Lalu perahunya bergoyang-goyang. Seakan-akan perahu itu tabrakan. Karena itu segera Mintaraga melompat bangun, untuk melompat keluar dari dalam gubuk perahunnya.

“Hai apakah matamu buta?” Demikianlah kedua orang tukang perahu itu membentak. Minggirkan perahu saja kau tak mampu. Bagaimanakah kau mengemudikannya?”

Ternyata disitu telah datang sebuah perahu lain, perahu itupun hendak berlabuh. Akan tetapi perahu itu membentur perahu si anak muda yang sedang melamun itu. Karena itulah tukang perahu Mintaraga menjadi marah dan tak senang.

“Eh... apakah pelabuhan ini pelabuhanmu?” Tanya pengemudi perahu yang menabraknya tadi. Tukang perahu itu menjadi marah karena ia dimaki. “Memang aku yang tua senang menabrak perahumu, hai apakah kau berani melawanku?!”

Kedua tukang perahu Mintaraga ini menjadi marah. Karena itu mereka lalu menyambar satang mereka.

Juga pengemudi perahu satunya menjadi tak senang, diapun turut menyambar satangnya. Dia malahan hendak menyerang terlebih dahulu.

“Sudah... sudah...” Mintaraga segera mencegah orangnya, sedangkan kepada pengemudi perahu satunya ia berkata sambil tertawa :

“Sudah ki sanak, ini hanya merupakan sebuah urusan kecil saja dan tak berharga untuk dibuat sebab berkelahi ”

Pengemudi itu alisnya kasar dan matanya gede. Rupa-rupanya ia bukan orang Selatan.

“Kau tak tahu ki sanak.” katanya dengan sengit.

“Kami yang biasa main di air, yang suka berlabuh, jika kami tak omong, sedikit keras, kami akan kena diinjak-injak orang lain.”  

Kedua orang tukang perahu Mintaraga ini adalah orang-orang dari

perkumpulan Tengkorak Berdarah, mereka itu telah biasa main galak. Karena itu merekapun tak mau mengalah.

“Benar.” kata mereka. “Siapa yang tak mempunyai kepandaian, dia jangan suka main-main dipelabuhan. Ah kalau orang kurang ajar, sudah kau menabrak perahu orang lain, kau masih berani mendamprat pula. Kalau kau benar-benar berani kemarilah.”

Setelah menantang keduanya lalu melompat kedarat.

“Haaa... apakah kau kira aku takut kepadamu dua orang desa?” Jawab pengemudi itu dengan marah. Diapun segera melompat kedarat.

Melihat gerakan pengemudi itu, tahulah Mintaraga kalau orang ini sedikit banyak telah mengerti ilmu silat.

‘Seorang tukang perahu mempunyai kepandaian tingginya ini sangatlah ganjil.’ Pikir Mintaraga. Karena itu ia lalu tersenyum. Ia mengawasi mereka dengan tanpa memikir untuk memisah. Bahkan akan mendiamkan mereka berkelahi dengan lebih jauh.

Begitu berada didarat ketiga orang itu segera bertanding.

Dari dalam perahu yang menabrak itu segera muncul seorang yang berumur kira-kira tiga atau empat puluhan tahun. Wajahnya tampak sebagai saudagar. Ia lalu mengawasi Mintaraga, dan akhirnya bertanya.

“Eh... sahabat, apakah kau suka melihat orang berkelahi?” Mintaraga menganggap pertanyaan ini sangat aneh.

“Oh... tidak.” Jawabnya sambil membungkukknn badannya untuk menghormat kepada orang yang bertanya itu.

“Kalau demikian kau nasehatilah orangmu itu, dan aku akan menasehati orangku pula.” Kata orang yang mirip dengan saudagar itu. “Bukankah lebih baik kita mencegah mereka berkelahi?”

“Baik.” Jawab Mintaraga dengan segera. Lalu ia mengawasi ketiga orang yang sedang mengadu kekuatan. Yah mengadu kekuatan untuk mengumbar nafsu amarah mereka. Ia melihat kalau tukang perahu lawannya itu berada diatas angin. Malahan ia justru tengah memukul dadanya salah seorang tukang perahunya. Kalau serangan itu tepat mengenai sasarannya, tukang perahunya pasti akan terluka. Karena itu ia berniat untuk menolong tukang perahunya. Akan tetapi disaat ia hendak turun tangan ada sebuah pikiran yang berkelebat didalam benaknya.

‘Orang itu menganjurkan aku untuk memisah perkelaian, akan tetapi mengapa dia sebaliknya tak segera turun tangan. Apakah ia tengah menyelidiki keadaanku?’ Demiklanlah pikiran itu.

Ia menjadi curiga, bersangsi dan menyangka kalau orang itu tentunya salah seorang perampok. Bukankah ia sedang membawa sebuah kotak emas yang berharga sangat mahal sekali? Sedangkan itu hatinyapun menjadi bersangsi kalau kepalan juru mudi itu tak ada yang menyambutnya.  

Terpaksa ia memainkan jari tangannya, untuk itu tak usah lengan ataupun

tubuhnya bergerak. Maka tanpa ada yang melihat, tangan juru mudi itu tak dapat digerakan terlebih jauh lagi. Juru mudi itu bagaikan berdiri seperti orang tercengang.

Sebaliknya tukang perahunya menjadi mendapat ketika untuk mengelak. Hingga dengan demikian juru mudi itu terpaksa mengawasi dengan melongo.........

Saudagar itu tertawa dengan perlahan.

“Juru mudi, sudahlah jangan kau berkelahi terlebih lanjut.” katanya dengan sabar. “Nanti aku memberi upah kepadamu.”

Juru mudi itu tetap tak mengerti, ia tak berani berkelahi terus. Dengan hati sangat mendongkol, ia kembali keperahunya.

Saudagar itu tak berkata apa-apa, hanya memberi hormat kepada Mintaraga, lalu iapun kembali keperahunya, dan kemudian tirainya diturunkan. Sampai lama ia tak muncul lagi, entah apa yang sedang dilakukan didalam perahunya.

Mintaraga menjadi heran ketika ia duduk kembali kedalam perahunya, dengan perlahan ia berkata kepada tukang perahunya :

“Orang itu aneh tingkah lakunya, kalian jangan sembrono.”

“Akan tetapi si juru mudi itu sangat takabur.” Jawab tukang perahu itu dengan tak puas.

“Mungkin dia sengaja memancing kemarahanmu.” Seru Mintaraga dengan pelan. “Paling tepat berlakulah kalian ini dengan lebih waspada, jangan kalian sembarangan bertindak.”

Sewaktu mereka berbicara kembalilah terdengar sebuah benturan dan perasaannyapun nyata sekali hingga perahu menjadi oleng. Salah seorang tukang perahu itu tak dapat menahan dirinya, ia lalu keluar.

“Hem...” Ia memperdengarkan suara, setelah itu kembali. Kembali ada sebuah perahu berlabuh.

Dia bukan mengambil lain tempat akan tetapi ia malahan mengambil tempat disebelah kiri kita. Hingga bersama dengan yang kanan tadi perahu kita menjadi tergenjet ditengah-tengah.

Mintaraga menjadi heran, iapun lalu keluar untuk melihat. Segera ia mendapatkan bukti dari perkataan tukang perahunya tadi. Perahu itu tertutup rapat, kecuali juru mudi yang berada dibelakang tak ada orang lain yang tampak.

‘Hem... mungkin kalian ini tertarik oleh mustikaku.’ Akhirnya ia berpikir. Kembalilah Mintaraga masuk kedalam perahunya. Biar bagaimana juga hatinya menjadi masygul juga.

Disaat yang sunyi itu tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang pelan sekali. Rupanya itu adalah sebuah suara yang datang dari perahu yang berada disebelah kanan. Coba kalau Mintaraga tak tengah berpikir dengan  

penuh   perhatian,   mungkin   iapun   tak   akan   mendengar   suara   itu.

Diperahunya tak ada jendela, karena itu ia hanya dapat mengintai dari celah- celah dinding gubuk perahunya.

Diperahu sebelah kanan kelihatan muncul separuh kepala dari saudagar itu tadi. Dengan matanya yang bersinar ia lalu memandang kearah perahu yang berada disebelah kiri perahu Mintaraga, wajahnya menunjukkan kalau ia mengandung sesuatu maksud.

‘Terang dia tahu tentang tibanya perahu yang baru ini, dan dia hendak melihatnya.’ Pikir Mintaraga.

Tiba-tiba terdengarlah sebuah suara yang pelan dari perahu yang berada disebelah kirinya. Dari situ segera terlihat cahaya api, hampir bersama dengan itu, kepala saudagar itu ditarik masuk kembali, ngelepot kedalam. Bersama dengan itu juga disebelah kiri perahunya muncul setengah kepala orang. Orang inipun segera masuk kedalam.

Akan tetapi didalam tempo yang sangat singkat itu, Mintaraga berhasil melihat wajah orang itu. Kelihatan wajah orang itu seperti seorang yang baru sembuh dari sebuah penyakit keras. Kulit mukanya kuning dan mukanya perok.

‘Bukankah kalian telah membuat janji satu dengan lainnya dan sekarang kau telah memberi tanda kepada yang lainya?!’ Pikir Mintaraga, yang menjadi curiga dan terus menduga-duga.

“Huahaa... Huahaa... Huahaa... rupa-rupanya hendak menyeret-nyeret aku ”

Tak antara lama terdengarlah suara orang tertawa gembira sekali. Inilah Kembang Arum dan Candra Wulan yang telah kembali. Dengan menyingkap tirai maka keduanya lalu masuk kedalam gubuk perahu.

Candra Wulan tampaknya tak puas dan ia segera berkata :

“Pasarnya demikian besar, akan tetapi diwaktu malam kelihatannya seperti pasar hantu saja. Sekalipun separoh tubuh manusia tak tampak, untuk mendapatkan daging ayam saja sukar bukan main. Tuak? terpaksa harus dihutang. ”

Mintaraga menunggu sampai Candra Wulan habis mengomel, sambil menerima ikan ayam goreng dari gadis itu, dengan pelan-pelan ia menuturkan apa yang baru saja terjadi. Mulai dari kedua perahu itu menabrak hingga dinyalakan api diperahu yang kiri, hingga munculnya orang yang berada diperahu kiri dan ngelepotnya orang yang berada diperahu kanan.

“Apa? ada kejadian demikian?” Tanya Candra Wulan, hatinya menjadi tegang.

“Pelan.” Seru Mintaraga memperingatkan. “Mereka adalah tetangga kita ”

Lebih jauh Mintaraga mengutarakan kecurigaannya.  

“Kalau demikian percuma saja kita mencurigai  dan menduga-duga.”

Kata Kembang Arum kemudian. “Lebih baik kita menanti dan melihat. “Benar.” Seru Mintaraga menyetujui  pendapat Kembang Arum yang

tepat ini.

Akan tetapi tiba-tiba saja anak muda itu mendapatkan sebuah pikiran, dengan segera ia mengeluarkan kotak emasnya, lalu diletakkan diatas meja, setelah diterangi lampu, ia mulai makan daging ayam itu.

Candra Wulan dan Kembang Arumpun turut makan, malahan mereka itu berbicara dengan cukup keras. Kadang-kadang mereka menjadi tertawa- tawa.

Diantara cahaya api, kotak emas itu menyinarkan cahaya yang berkilau- kilauan, karena batu-batu permatanya tersorot terang-terang, permai nampaknya. Hingga kedua tukang perahu itu mengawasi dengan hati yang melongo saking kagumnya.

Berselang demikian maka Mintaraga merasakan kalau perahunya seperti bergerak ditarik kedalam.

“Ha.... dia datang.” Katanya dengan perlahan. Bahkan perkataan ini dibarengi dengan senyumannya.

Baru sekarang ini kedua orang gadis itu mensinsyafi kalau Mintaraga sedang memancing.

Candra Wulan menjadi tak dapat menahan kesabarannya lagi. Dia lalu berseru :

“Kalau kau hendak datang, datanglah! Tak usah main sembunyi- sembunyian segala.”

Baru saja Candra Wulan ini berhenti, atau terdengar suara batuk-batuk sebagai gantinya.

“Ki sanak, bolehkah aku masuk?” Demikianlah suara yang lain segera menyusul.

“Silahkan masuk.” Jawab Mintaraga dengan tertawa.

Segera tirai perahu tersingkap dan tampaklah sesosok tubuh. Dialah si saudagar dari perahu yang berada disebelah kanan. Saudagar ini pula yang mendatangi perahu Mintaraga hingga perahu itu seakan-akan melesak masuk kedalam. Akan tetapi setelah sampai saudagar itu lalu memberi hormat.

“Didalam pesiar ini aku merasakan kesunyian yang mencekam. Tak ada yang dapat kupakai untuk melewati hari yang luang.” Katanya. “Sebenarnya tak selayaknya kalau aku mengganggu kegembiraan ki sanak sekalian.”

“Diwaktu kesepian dalam perjalanan, memang paling tepat kita harus memasang percakapan.” Jawab Mintaraga. “Ki sanak silahkan duduk.”

Orang itu tak berlaku sungkan-sungkan lagi, dia kembali menganggukkan kepalanya dan terus duduk.

“Siapakah ki sanak bertiga ini?” Tanyanya.  

Mintaraga menjawab dengan sembarangan saja, dan setelah itu kembali

ia yang bertanya.

“Kita bertemu dengan secara kebetulan saja, sebenarnya tak usah kita saling memperkenalkan diri.” Jawab orang itu sambil tertawa. “Bukankah besuk kita akan kembali pergi dengan perjalanan kita masing-masing dan setelah itu tentu kita melupakan nama kita ini. Hanya adat kehormatan meminta kita harus berbuat demikian. ”

Ia tertawa pula, dan setelah itu memberitahukan namanya dan ia mengaku bernama Surodento.

Mintaraga bertiga turut tertawa. Mereka juga mau percaya. Namun mereka tahu kalau orang itupun tentunya berbicara sembarangan seperti mereka tadi.

Surodento yang melihat adanya mustika diatas meja itu, agaknya tak terlalu memperhatikan, bahkan tak sudi ia mengawasi. Ia lebih suka bercakap-cakap dengan asyiknya, sambil mengoceh saban-saban tampaklah ia tertawa.

“Kau pandai ilmu silat ki sanak.” Katanya kemudian kepada Mintaraga. “Kaupun nampaknya bukan orang selatan. Mengapakah ki sanak berada

Disini? Apakah kau sedang berusaha atau menjenguk salah seorang sanak dan sahabat?!”

‘Bolehkah kau berpura-pura pilon terus.’ Pikir Mintaraga. ‘Kau barusan telah melihat aku melepaskan jarum rahasia. Mustahilkah kalau akupun tak dapat melihat kepadamu.’ Ia tertawa dengan menjawab. “Semua bukan. Aku yang rendah hanya kemari untuk merampas sebuah barang.”

Rupa-rupanya Surodento tak menyangka kalau kawan barunya ini akan berkata dengan demikian terus terangnya. Karena itu ia menjadi tercengang.

“Merampas sesuatu barang?” Ia mengulangi. “Inilah yang aku tak mengerti.”

Mintaraga tak menjawab, ia hanya tertawa.

“Ki Surodentopun bukannya orang selatan, benarkah?” Tanyanya kepada tetamunya itu.

“Mata ki sanak tajam sekali. Aku memang orang dari utara.” Jawab Surodento.

“Malahanpun orang dari pegunungan sebelah selatan...” Kembali Mintaraga menambahkan.

Surodento membuka matanya lebar-lebar. Saking kagetnya ia lalu berkata :

“Bagaimana ki sanak dapat mengatakan demikian?” tanyanya menegaskan.

Mintaraga tertawa bergelak-gelak. Ia menunjukkan telunjuknya kearah tangan kiri orang itu yang memakai sebuah cincin yang potongannya luar biasa.  

“Ki sanak adalah seorang gagah dari gunung Bolu salah satu puncak

pegunungan seribu bukan,” Jawabnya. “Entah mengapa ki sanak tak menghiraukan perjalanan yang sangat jauh ini untuk mengunjungi daerah Selatan. Ki sanak akan berdagang, ataukah menjenguk sahabat dan saudara?!”

Didalam hatinya Surodento terperanjat.

‘Luas pengetahuan bocah ini.’ Pikirnya. ‘Dia tahu juga tanda dari kami orang-orang dari Gunung Bolu.’

Cincin itu, terbuat dari emas dan berukir indah dan halus sekali. Didalam ukiran itu terdapat gambar sebuah tombak yang sangat kecil, hingga tak sembarang orang dapat melihatnya.

Hati Candra Wulan dan Kembang Arumpun menjadi sangat tercekat. Mereka tahu dahulu hari, diantara penyerbu-nyerbunya tiga orang leluhur mereka di Cilacap. Ada juga orang sakti dari pegunungan selatan itu, juga dari kaum gerombolan Uling Abang, karena itu mereka lalu memasang mata dan bersiap sedia.

Sejenak saja. Surodento telah dapat menenangkan hatinya. “Penglihatanmu itu tak keliru ki sanak.” Katanya dengan tertawa.

“Sebenarnya kedatanganku kemari ini juga untuk merampas sebuah barang.”

Mintaraga tertawa besar.

“Jarak antara sini dengan Selatan hanya berjarak pendek saja. Kalau kita meneruskan perjalanan kita hanya memerlukan waktu kurang lebih tiga jam- an saja.” Serunya.

Surodento ikut tertawa pula.

“Kiranya kita sama-sama mengandung serupa dengan maksud kita ini.” katanya. “Karena itu habis besok dan selanjutnya kita akan bertemu kembali diatas senjata.... Hari ini segala apa telah menjadi terang. Ki sanak, aku mendoakan supaya kau berhasil.”

Pujian itu ditutup dengan sebuah siulan dan bersama dengan itu juru mudi tadi datang dengan membawa sebuah kendi yang Tuak pilihan.

“Hem...” kata Candra Wulan didalam hatinya. “Kiranya kau mendengar juga perkataanku tadi. Akan tetapi kebaikan hatimu itu benar-benar ada batasnya ”

Surodento lalu mengisi keempat buah gelas itu.

“Silahkan... silahkan minum...” Serunya sambil menyilahkan ketiga orang yang diajaknya bercakap-cakap.

Sekarang tahulah Mintaraga dengan pasti, orang ini bukannya sembarang orang dari dunia kependekaran. Ternyata orang ini tak takut kepada Sucitra. Orang ini tentunya mempunyai kepandaian yang hebat, karena ia segera mengetahui kalau Sucitro setengah bulan yang lalu baru mendapatkan sebuah mustika.  

Atas ajakan itu segera mengangkat gelasnya dan segera menegak habis

tuak baik ini. Akan tetapi inipun sebuah tipuan belaka, sebenarnya ia belum menegak karena dengan tenaga dalamnya telah dapat membuat tuak itu bagaikan membeku didalam gelasnya. Diam-diam ia merasakan sesuatu hingga menjadi terkejut.

‘Hem... binatang ini mempergunakan racun.’ Pikirnya. Hampir ia menuangkan tuak itu, akan tetapi mendadak ia mendapatkan pikiran lain. Maka berkatalah ia dalam hatinya :

‘Baiklah, kau boleh mempergunakan tuak beracun, jangan kau sangka kalau aku menjadi takut. Hendak kulihat polah tingkahmu terlebih jauh lagi. ”

Dengan segera anak muda itu lalu mengerahkan tenaga dalamnya, setelah itu ia meminum kering segelas tuak itu. Dengan cara demikian racun itu tak terus bersarang didalam akan tetapi mengucur bagaikan peluh. Diam- diam Surodento menjadi girang sekali karena melihat lawannya ini mau minum tuaknya.

“Bagaimana dengan ki sanak berdua?” Tegurnya kepada Candra Wulan dan Kembang Arum. “Bagaimana kalau ki sanak berdua juga meminumnya?! Kedua orang gadis ini tak biasa minum tuak karena itu mereka lalu menampik. Mengetahui kalau orang bertubuh langsing bagaikan wanita, akan tetapi Surodento tidak memandang dengan sebelah mata, ia tak mendesak lebih lanjut. Mintaraga sebaliknya mengawasi.

“Eh... ki Surodento, mengapa kau tak ikut minum?” Tanyanya dengan mencoba tersenyum.

“Baiklah aku akan minum habis tuak ini.” Jawab Surodento itu, iapun lalu menegak habis tuaknya.

“Dengan menegak kering satu kali ceglukan saja kurang menarik.” Kata Mintaraga kemudian. “Mari kita meminumnya dengan ceglukan demi ceglukan. ”

‘Sesukamu.’ Kata Surodento didalam hati. ‘Dengan satu ceglukan saja kau akan tertidur dan lupa daratan selama tiga hari tiga malam ’

Mintaraga minum pula tuak itu dengan pelan-pelan, setiap kali ia minum, ia alihkan racun itu bagaikan peluh seperti tadi. Sekarang ia telah mengetahui kalau racun itu ramuan obat yang dapat membuat orang menjadi tidur.

Karena itu diam-diam ia telah memakai obat untuk melemahkannya. “Tuak baik... tuak baik...” Tiba-tiba ia berseru. “Bolehkah kau minum

segelas pula?”

Akan tetapi setelah berkata demikian tubuhnya terus terhuyung- huyung, dan kelihatanlah kalau ia menguap. Tanpa ampun lagi terus roboh dilantai perahu.

Surodento tertawa bergelak-gelak.  

   

“Baiklah aku akan minum habis tuak ini.” Jawab Surodento itu, iapun lalu menegak habis tuaknya. “Dengan menegak kering satu kali ceglukan saja kurang menarik.” Kata Mintaraga kemudian....

“Sahabatmu ini mempunyai kepandaian yang hebat dan pula mempunyai senjata rahasia.” katanya kepada Candra Wulan dan Kembang Arum. “Hanya sayang sekali kekuatan minum tuaknya terbatas sekali. Lihat saja ia telah lupa daratan.... Huahaa... Huahaa... Huahaaa ”

Lalu ia mengulurkan tangannya untuk membangunkan Mintaraga. Candra Wulan dan Kembang Arum tertawa. Mereka telah tahu kalau

Mintaraga telah mencurigai orang ini, karena itu ia mengetahui juga ‘Mintaraga’ mesti telah berjaga-jaga. Dan mabuknya ini adalah pati mabuk buatan, karena itulah mereka tak menjadi takut.

“Ki Surodento, dia memang tak kuat minum tuak.” Kata Kembang Arum dengan tersenyum. “Tentunya tuakmu ini adalah tuak yang luar biasa kerasnya. Bukankah demikian?”

“Benar.” Jawab Surodento sambil tertawa. “Inilah tuak tua, apakah ki sanak berdua akan mencobanya?”

Kedua orang gadis ini tersenyum, mereka tahu apa arti tuak tua itu. “Tak usah minum tuak itu.” Jawab Kembang Arum. “Kalau kita main-

main ini bukankah lebih baik?” Serunya sambil menunjukkan telunjuknya kearah kotak emas tempat penyimpanan Tunggul Tirto Ayu. Surodento melirik kearah kotak.

“Bukankah lebih baik kau merawat kawanmu ini?” Katanya dengan halus.

“Biarlah dia dengan sintingnya ini.” Kata Kembang Arum. Surodento menjadi tertawa.

“Bagus.” Katanya. “Ujar-ujar kunopun mengatakan. Dalam hidup manusia berapa kalikah bisa mabuk? Karena itu sastrawan-sastrawan kuno sering minum tuak hingga mereka menjadi lupa daratan.”

“Akan tetapi ada juga kata-kata lain.” Kata Candra Wulan dengan pelan. “Itulah kata-kata bahwa orang mabuk tuak itu ada tiga bagian yang sadar. Ki Surodento bagaimanakah kau dapat mengetahui kalau dia mabuk benar- benar?”

Surodento tercengang dan melirik kearah Mintaraga.

Anak muda ini mendengar kedua kawannya bergurau, ia tertawa dalam hatinya, lalu sengaja ia mengeluarkan suara dengkuran yang keras. Hidungnyapun berbunyi....

Kembang Arum seperti tak mengambil peduli kepada kawannya yang tidur nyenyak itu. Ia hanya mempermainkan kotak emas itu saja.

Surodento mengawasi lalu tertawa.

‘Sahabat benda apakah itu?” Tanyanya. “Bolehkah aku memegangnya?” “Surodento, saat kematianmu telah tiba.’ Seru Kembang Arum didalam hatinya. Lalu dengan mantap ia mengangsurkan kotak emas itu kehadapan Surodento. “Barang ini?” Katanya dengan bertanya. “Katanya barang, ini adalah sebuah benda yang biasa dipakai oleh raja-raja dan harganyapun

sangat mahal.”

Surodento meraba tutup kotak itu, dan segera menghela napas panjang. “Bukan hanya berharga, akan tetapi barang inipun merupakan sebuah

benda mustika.” Katanya. “Biasanya aku mempunyai kegemaran yang istimewa, ialah suka mengumpulkan barang-barang ini yang terkenal. Sahabat bolehkah barang ini kupinta?”

Lalu dengan tampan, ia lalu memasukkan kotak itu kedalam saku bajunya.

Kembang Arum tertawa riang.

“Ki Surodento, jika kami hanya menghadiahkan barang itu saja, namanya akan kurang hormat.” Katanya. “Aku masih mempunyai sebuah barang lainnya. Apakah kau menghendaki atau tidak. ”

“Apakah itu?” Tanya Surodento dengan cepat.

Kembang Arum agaknya bersangsi, akan tetapi dia toh langsung menjawabnya :

“Tunggul Tirto Ayu.”

Wajah Surodento berubah dengan tiba-tiba. Teranglah kalau orang ini menjadi terkejut setelah mendengar nama Tunggul Tirto Ayu. Disaat ia  

memikir   untuk   memberikan   jawaban,   sekonyong-konyong   merasakan

perahunya bergerak. Seperti kelam mendalam, hingga dengan demikian ia menjadi terkejut.

Menyusul gerakan tubuh perahu itu, dari sebelah depan, dari kepala perahu itu, terdengar sebuah tawa yang agak aneh. Serta terdengar pula kata-kata yang bersifat mengejek :

“Huahaaa... Huahaaa... Huahaaa... barang itu belum lagi dapat ditangkap akan tetapi orang-orang telah akan membagikan.”

Sesaat itu tirai gubuk perahu itu tersingkap, disitu terlihatlah sesosok tubuh manusia. Orang itu terus bertindak masuk. Terus menjatuhkan diri dan bercokol didepan pintu. Dari sikapnya ini maka tampaklah kalau orang itu mengambil sikap yang menguntungkan kepadanya. Dia bermuka kuning, tubuhnya kurus, wajahnya pendiam. akan tetapi suaranya nyaring. Dialah tamu aneh dari perahu sebelah kiri itu.

Maka Surodento menjadi bermuram durja. Dengan sendirinya kedua tangannya tergeser kedepan dadanya. Seakan-akan ia hendak melindungi mustika yang berada didalam saku bajunya.

“Pacar Keling, benar-benar kau!” Katanya dengan dingin. “Aku hendak bertanya, untuk apakah kau datang kemari? Apakah kau hendak mencicipi keindahan alam selatan sini?!”

Tetamu yang tak diundang itu memang benar Pacar Keling. Dia adalah salah seorang dari tiga orang yang tersohor dari perguruan atau tepatnya gerombolan Uling Abang. Dialah yang masih hidup.

Dulu waktu terjadi pengepungan terhadap ketiga orang leluhur tiga anak muda ini, untuk merebutkan Tunggul Tirto Ayu, dia juga mempunyai andil dalam pengeroyokan. Karena itulah wajar kalau Surodento mengenalnya, atau tepatnya satu dengan lainnya telah saling mengenal.

Atas pertanyaan Surodento ini, Pacar Keling lalu tertawa aneh suara tawanya seperti tadi.

“Pemandangan daerah Selatan ini memang indah sekali.” Katanya dengan tersenyum. “Akan tetapi permainan yang kau rangkul dan kau lindungi itu lebih indah dari pada pemandangan disini. Bahkan lebih elok dan asri dipandang mata. Karena dikolong langit ini jarang ada permainan yang, demikian permai.”

Teranglah perkataan orang itu, ia telah melihat adanya barang mustika yang berada didalam saku baju Surodento. Barang itu bukan lain adalah kotak Mintaraga yang diberi oleh orang-orang Bondopati. Karena itu Surodento lalu tertawa dengan nada dingin.

“Kita adalah sahabat antara satu dengan lainnya, didalam pembicaraan janganlah kita mengambil jalan yang berliku-liku hingga memusingkan kepala.” Katanya. “Pacar Keling, ada sebuah hal yang akan kutanyakan  

kepadamu. Apakah kedatanganmu ini untuk mengambil bagian dalam air

yang keruh ini?”

Pacar Keling segera mengawasi Mintaraga, ia menganggap kalau pemuda ini telah rebah karena mabuk kebanyakan minum tuak. Juga dia memandang kearah Kembang Arum dan Candra Wulan. Setelah itu ia lalu memperlihatkan wajahnya yang berseri-seri dan mengandung arti.

“Sedikit juga tak salah.” Jawabnya kemudian. Bahkan jawaban ini dikatakan dengan terus terang. “Memang aku yang rendah ini datang untuk mengail diair keruh itu.” Hanya saja ada sebuah yang akan kuberitahukan, akan tetapi entah kau suka mendengarkan atau tidak. ”

Kedua mata Surodento menjadi terbelalak. “Silahkan bicara.” Jawabnya.

Rupa-rupanya Pacar Keling ini membasahi tenggorokannya dengan ludahnya dahulu sebelum mulai berbicara. Sikapnya tetap tenang.

“Malam ini.” Katanya menerangkan. “Diantara yang datang untuk air keruh itu kecuali Pacar Keling, masih ada seorang pendeta yang alim dari golongan putih yang namanya Sampar Mega. Hem... kau pasti masih ingat dengannya bukan?”

Setelah berkata demikian ia lalu memperdengar suara lain. Yang perlahan akan tetapi merupakan jawaban untuk itu. Yang terdengar diluar perahu. Suara itu kemudian terdengar nyaring bagaikan guntur.

“Aku sudah datang, apakah Surodento bocah ingusan itu sudah kau sembelih?” Demikianlah jawabannya.

Bersama dengan itu muncullah seorang pendeta yang tubuhnya tertutup oleh kain jubah suci seorang pertapa. Kupingnya besar kepalanya gede dan wajahnya sangat bengis. Dia lalu menunjuk kearah Surodento sambil tertawa terbahak-bahak, dan lalu katanya :

“Didalam dunia persilatan ada perkataan sepasang kepalan sulit melawan empat tangan. Karena itu jika malam ini kami berdua hendak membunuhmu. Sungguh lebih gampang dari pada meniup sebuah debu. Hanya kami kaum pendeta, kaum budha mengutamakan belas kasihan. Dengan memandang persahabatan kita dahulu, asal kau sudi memberikan benda yang berada didalam saku bajumu itu, pasti kami tak ingin membuat dirimu menjadi susah.”

Wajah Surodento menjadi berubah-ubah. Beberapa kali tampak merah padam dan pucat pasi saling berganti-ganti. Hingga diantara lampu perahu malam itu wajah itu seperti tak sedap dipandang mata. Teranglah sudah kalau dada mereka itu seperti hendak meledak. Pikirannya kusut. Oleh karena ia harus berpikir dengan keras. Ia tak dapat segera membuka mulutnya. Jadi ia menjublak saja.

Mintaraga yang berlagak mabuk dan tertidur pulas ini mendengar pembicaraan mereka itu jelas sekali. Didalam hati kecilnya ia berkata :  

‘Bagus sekali dengan meletakkan barang itu diatas meja maka aku telah

dapat memancing tiga orang musuh besarku. Rupa-rupanya roh ayahku telah membuatnya hingga aku memperoleh ketika yang baik untuk membalas dendam...’

Walaupun ia berpikir demikian, ia masih tetap memainkan peranannya.

Ia masih hendak mencari ketika yang baik.

Memang Sampar Mega ini adalah seorang anak murid perguruan Gunung Gebyos yang murtad. Iapun dahulu ikut pula mengambil bagian dalam pengeroyokannya terhadap ketiga orang tua anak muda itu. Karena itu menjadi musuh besar Mintaraga, seperti halnya pula Surodento dan Pacar Keling.

Surodento terdiam sampai lama, akan tetapi segera dapat membuka percakapan.

“Baiklah.” Demikian katanya. “Marilah kita mementang pintu untuk memandang gunung. Bukankah kau sengaja datang berdua untuk menghadapi aku seorang? Dahulu kita bekerja sama, kita bersumpah untuk merebut mustika, apakah sumpah kita itu? Sudahkah kalian melupakan sumpah ini?”

Dengan mementang pintu melihat gunung, ia maksudkan untuk omong- omong terus terang, jangan berliku-liku.

Pendeta Sampar Mega tertawa dingin.

“Surodento.” Balasnya. “Jika kau masih ingat persekutuan kita dahulu, tak nanti kau telah menghajar kami pula. Bukankah kau telah main sembunyi-sembunyi!”

“Sudahlah.” Bentak Pacar Keling menyela..... “Kejadian yang telah lalu tak akan datang kembali. Baiknya kita jangan terlalu merewelkan adu lidah ini. Jika kita mempunyai kegembiraan kita, bicarakan saja urusan yang sekarang, yang berada didepan mata kita. Eh... Surodento sebenarnya kau memikirkan usaha apakah? Kau bicaralah dengan terus terang.”

Kata-kata sombong ini disusul dengan sebuah gerakan tangan keatas meja. Hingga ujung meja itu sampai seperti tertabas sebatang golok yang tajam luar biasa. Mungkin Pacar Keling memperlihatkan kepandaiannya.

Sebaliknya pendeta itu lalu menyambar kendi tuak dan terus membawa kehidungnya.

“Hem...” Suaranya dengan setengah terkejut. “Bagus benar perbuatanmu ya, bukankah ini ada racun obat tidurnya?”

Setelah berkata demikian Sampar Mega lalu menggunakan tenaganya untuk mengepit kendi yang terbuat dari perak itu, hingga karena kuatnya tenaga dalam pendeta ini maka kendi itu menjadi gepeng. Karena gepengnya kendi ini maka tuaknya lalu melompat keluar mengenai dinding perahu. Saking kerasnya air itu menyemprot maka dinding perahu itu menjadi berlubang. Kemudian ia lalu melemparkan kendi itu dengan sikapnya yang  

amat sombong. Ia menganggap kalau mengeluarkan kepandaianya yang

hebat.

Melihat kelakuan kedua orang ini Surodento berlaku tenang. Sedikitpun ia tak mengeluarkan perkataan apa-apa. Hanya mendadak saja ia merogohkan tangannya kedalam sakunya, untuk mengeluarkan kotak emas, yang dengan pelan-pelan meletakan keatas meja.

“Baik.” Katanya dengan sabar. “Kalian datang berdua, baik... aku menyerah... benda ini ada disini, kau boleh mengambil.”

Pendeta Sampar Mega tertawa huahaa... Huahaa... Hiiii... Hiahiiaaa tanda kalau hatinya menjadi puas. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil barang itu. Akan tetapi ketika mencoba mengangkat, ia menjadi heran. Ia mencoba pula, dengan menggunakan tenaganya. Akan tetapi kembali ia gagal. Sekarang ia tak menjadi heran, akan tetapi bercampur dengan terperanjat. Kotak emas itu seperti terpantek paku.

Surodento mengawasi, dan terdengarlah suaranya yang tawar. “Ambillah.” Ia menganjurkan. “Mengapa kau yang sakti ini tak

mengambilnya?”

Muka pendeta itu menjadi merah. Ia benar-benar malu sekali.

Sedikitpun ia tak mengerti mengapa kotak emas itu tak dapat diangkatnya.

Pacar Keling menyaksikan itu semua.

“Hem...” Ia memperdengarkan suara ejekannya. Terus saja Pacar Keling berkata :

“Surodento, kepandaianmu itu biasa saja, akan tetapi akal muslihatmu itu cukup baik. Coba kau minggir nanti aku yang menccba.”

Ia mempergunakan tangan kanannya untuk menolak tubuh pendeta Sampar Mega, tangan kirinyapun lalu mengangkat, diulurkan untuk mengambil kotak emas itu, akan tetapi sewaktu tangan kirinya meraba, sekonyong-konyong tangan kanannya menyambar dengin kilat kearah jalan darah Surodento.

Orang yang diserang dengan mendadak itu mempunyai pandangan mata yang awas dan sebat sekali gerakannya. Ia menggerakkan tangan kanannya untuk menangkis, hingga dengan demikian gagallah serangan lawan.

“Eh... apakah yang kau perbuat.” Tegurnya dengan kasar.

Dengan kecepatan yang amat sangat maka sekejap mata saja kotak emas itu telah berpindah tangan ketangan Pacar Keling yang cerdik itu.

Surodento berseru, bersama dengan seruannya itu, tubuhnya mencelat kepintu perahu. Disitu ia lalu berdiri dengan tegak.

“Kalau kalian tak meletakan benda itu diatas meja, maka jangan harap akan dapat keluar dengan masih tetap bernyawa.” katanya dengan bengis, begitulah ia lalu mengeluarkan ancamannya.  

“Benarkah perkataanmu itu?” Tanya Pacar Keling dengan mengejek.

Iapun segera mengeluarkan tongkatnya. “Sampar Mega mari bunuh dia.”

Sampar Mega mementang matanya lebar-lebar. Sampai waktu itu ia masih tak ingat atau mengerti mengapa Pacar Keling dapat dengan demikian gampang berhasil mengambil mustika itu. Akan tetapi ketika ia melihat ke meja, mengertilah ia duduknya perkara itu.

Meja itu, dimana tadi kotak emas itu diletakkan, meninggalkan serupa bekas sebuah liang. Itu menandakan kalau Surodento telah mengerahkan tenaga dalamnya sewaktu meletakan kotak itu. Dengan sebuah tekanan maka kotak itu lalu melesak masuk kedalam meja. Lalu dengan diam-diam ia lonjorkan tangannya kebawah meja, untuk memegang sebagian bawah kotak itu. Karena dia dapat memegang dengan baik, tenaga dalamnyapun lebih hebat dari pada Sampar Mega. Ia membuat pendeta itu tak dapat mengambil kotak itu. Dia percaya dengan akal ini, dia pasti akan dapat menggertak pendeta Sampar Mega dan Pacar Keling. Sungguh tak disangkanya kalau Pacar Keling itu mempunyai kecerdikan yang hebat juga. Akalnyapun banyak hingga membuat dirinya menjadi kecele.

Dengan serangannya itu. Pacar Keling memaksa Surodento menyingkir.

Maka dengan kotak itu tak dipegangi, gampang saja ia dapat mengambil. “Baiklah.” Seru Surodento. “Marilah disini kita mengadu kepandaian

dan juga nyawa kita.”

Ia lalu menghunus goloknya yang menyinarkan cahaya berkilau- kilauan. Maka dapatlah dipastikan kalau golok itu tentunya sebuah golok mustika.

Pendeta Sampar Mega tak ikut, malahan ia menjadi marah sekali. Karena itu iapun lalu mengeluarkan senjatanya. Sepasang golok yang berkait.

Dengan begitu ketiga orang itu, yang terpecah dalam dua rombongan, lalu memandang satu dengan lainnya. Muka mereka merah dan mata mereka mencorong, tandanya mereka itu sangat marah. Mereka telah siap untuk berkelahi.

“Bagus.” Seru Kembang Arum dengan tiba-tiba. Sejak tadi ia hanya berdiam diri saja seperti orang enak-enak menonton. “Jika kalian bertiga hendak berkelahi, pergilah kalian kedarat. Apakah kalian sangka perahuku ini tempat bertempur?”

Pacar Keling bertiga menjadi tercengang. Benar apa yang dikatakan Kembang Arum itu. Lagi pula perahu itu memang terlalu sempit dipakai sebagai tempat bertempur.

Surodento tidak hanya melongo, dia terus berdiam diri. Maka ia mau turun kedarat, untuk mengadu nyawa? Dia mempunyai pendapat sendiri.

“Surodento mari kita memdarat. Mari kita cari kemenangan dengan secara adil.” Tantang Sampar Mega.  

Orang yang ditantang itu hanya tertawa-tawa saja.

“Jika kau hendak mendarat, nah pergilah siapa melarang kepadamu.” Katanya.

Pendeta itu menjadi sangat panas hatinya, maka tanpa sesuatu apa, hanya sambil tertawa dingin, dia mulai menyerang dengan sepasang goloknya. Sasarannya adalah dada.

Surodento mundur sedikit, goloknya dipakai untuk menyambut sambil memapas.

Senjata dari kedua belah pihak lalu beradu. Suaranya terdengar nyaring. Hati pendeta Sampar Mega menjadi kagret setelah mengetahui golok sebelah kanannya menjadi semplok. Surodento sebaliknya tertawa bergelak, sambil tertawa selagi si pendeta tercengang, ia mengulangi gerakan goloknya yang tajam itu, maksudnya segera akan menghajar roboh lawannya, supaya ia bisa menghadapi Pacar Keling satu lawan satu.

Pacar Keling adalah seorang yang cerdik, ia dapat menerka maksud lawannya ini, maka waktu tubuh lawannya ini bergerak, ia mendahului menyerang dengan tongkatnya.

Surodento mengetahui kalau Pacar Keling ini mempunyai kesaktian tiga kali lebih dari pada kesaktian Sampar Mega. Karena itu ia tak mau berlaku sembrono, dengan datangnya serangan itu, selain ia membatalkan serangannya terhadap pendeta itu iapun mengelak sambil melompat kesamping.

Juga Pacar Keling, bukannya ia hendak berkelahi terus, justru lawannya mengelak, ia lalu melompat terus. Lewat disamping lawannya, sewaktu Surodento berpaling, ia mendapatkan lawannya ini telah berada diluar gubuk perahu.

Setibanya Pacar Keling diluar, belum lagi ia dapat berdiri dengan tegap, ia telah mengeluarkan seruan tertahan. Ia mendapatkan perahu itu telah menggeser dari tepian. Entah hal ini berjalan sejak kapan, perahu itu telah berpindah ketengah sungai.

“Hai buat apakah kalian berdua bertempur terus?” Ia berkata kepada Surodento dan Sampar Mega. “Lihat kita telah dapat dipermainkan orang.”

Surodento dan Sampar Mega menjadi terkejut. Keduanya segera lari keluar. Mereka lalu berdiri dengan diam, mulut mereka terbuka. Memang juga perahu itu telah meninggalkan tepian sekira tiga sampai empat ratusan kaki.

“Ah... siapakah yang telah berani main gila?” Teriak Surodento dengan lantang.

Dari dalam gubuk perahu itu terdengar sebuah jawaban yang terdiri dari suara tawa yang keras sekali.

“Eh... Surodento, apakah kau dapat berenang? Tidak bisa bukan?” Demikianlah susulan dari jawaban itu.  

Setelah menjawabnya, maka terdengar sebuah ceburan yang nyaring.

Orang itu terjun kedalam air, akan tetapi karena lincahnya gerakannya itu, ia dapat membuat air itu tak muncrat. Hingga perahu bergoyang-goyang. Baru kemudian, perahu itu berputar-putar sendiri, berputar bagai kitiran. Tetapi tak lama kemudian lalu berhenti dengan tiba-tiba. Menyusul itu sebuah kepala muncul dipermukaan air.

Sekarang orang melihat dengan tegas kalau yang muncul itu adalah Candra Wulan.

“Eh... Surodento, akulah yang gila, habis kau mau apakah?” Tanya Candra Wulan dengan tertawa-tawa. Ia tettawa mengejek. Setelah itu dengan sengaja ia berenang pergi datang, dalam berapa sikap.

Gadis itu menunjukan kecerdikannya. Sewaktu Surodento mengadu mulut, diam-diam ia berlalu dari perahu, dan melepaskan tambatan perahu itu yang terus ditolaknya ketengah-tengah. Kemudian dengan diam-diam ia naik kembali keatas gubuk perahu. Ia bekerja tanpa Surodento dan yang lain- lain tahu.

“Manakah tukang perahuku?” Tanya Surodento dengan sengit.

“Aku telah melemparkannya kedalam laut, dan aku menyuruhnya dia makan tahi.” jawab Candra Wulan dengan tertawa.

Surodento menjadi sangat mendongkol.

“Lekas kau pinggirkan perahu ini.” Bentaknya memerintahkan. “Lekas kau antarkan aku kedarat.”

Surodento bertiga ini adalah jago-jago didarat, akan tetapi diair mereka menjadi sebaliknya. Melihat lawannya demikian pandai berenang, ciutlah hati mereka.

“Bolehkah aku mengantarkan kalian kedarat?” Tanyanya Candra Wulan. “Asal kau tinggalkan dua buah barang.”

“Apakah kau maksudkan kotak mustika?” Tanya Pacar Keling. Ia lalu menduga kepada kotak emas itu.

“Tentu saja.” Jawab gadis itu. “Masih ada sebuah barang lagi, ialah kepalamu.”

“Nah nih, kuberikan kepadamu.” Seru Pacar Keling dengan marah tangannya membarengi melayang, maka, tiga buah golok terbang menyambar beruntun kearah gadis itu.

“Aduh.” Jerit Candra Wulan yang terus menyilam. Lebih dahulu dari pada itu, telah mendengar suara mirip gigi bercakrukan.

Tak lama, gadis ini tenggelam, atau lebih benar selulup, dan segera ia telah timbul pula. Sekarang ia muncul dengan mulutnya menggigit tiga batang golok terbang itu.

“Jika sekali lagi kalian berani berbuat kurang ajar maka aku tak segan- segan membalikkan perahu ini.” Ancamnya. “Aku mau melihat apakah yang akan kau perbuat.”  

Surodento bertiga adalah orang-orang yang dapat menyembelih orang

tanpa berkedip. Malahan dapat membunuh dengan bersiul. Akan tetapi ketika mendengar ancaman Candra Wulan ini menjadi mengkeret. Mereka benar-benar takut dan kaget.

“Seorang laki-laki pasti harus dapat menghilangkan malu didepan mata.....” Pacar Keling berpikir. ‘Baiklah sekarang aku akan mengembalikan mustikamu ini, nanti dilain kali dengan pelan-pelan aku akan mengambilnya kembali. Mustahil kalau ini untuk selama-lamanya tak naik kedarat ’

Setelah berpikir demikian, ia lalu mengutarakan pendapatnya ini kepada Surodento dan Sampar Mega. Didalam keadaan seperti itu, tiga orang ini harus mengesampingkan dahulu perselisihan mereka. Mereka harus bekerja sama untuk menghadapi lawannya yang cerdik itu.

Surodento tak melihat lain jalan, dan tak dapat ia tak menyetujui pendapat itu.

“Baiklah aku akan menyerahkan mustika ini kepadamu.” Surodento lalu berkata : “Asal saja kau antarkan aku naik kedaratan. ”

Baru Surodento berkata demikian, mendadak saja ada orang tertawa dibelakang mereka.

“Terima kasih.” Demikian mereke mendengarnya,

Surodento terkejut, segera ia berbalik. Kedua tangannya siap sedia untuk melakukan serangan kalau sampai terjadi sesuatu. Ia menjadi curiga kalau orang itu akan menyerangnya dengan secara menggelap. Ketika melihat orang yang menyatakan terima kasih itu kembali Surodento menjadi terkejut sekali.

Ternyata orang itu adalah Mintaraga. Disamping anak muda itu masih terdapat pula Kembang Arum yang tersenyum-senyum.

“Kau ?” Teriak Surodento dengan heran.

“Tuakmu yang dinamakan tuak tua itu memang sangat baik sekali ki sanak.” Jawab Mintaraga sambil tertawa. “Hanya sayangnya campuran yang kau berikan itu agak tawar.”

Surodento menjadi kaget dan heran. Ia tak menyangka sama sekali kalau pemuda itu akan dapat menyingkirkan diri dari biusnya. Karena itu ia menjadi berjublak karena herannya.

“Nah mana mustikanya?” Tanya Kembang Arum sambil tersenyum.

Tangannya diulur untuk menerima kotak itu.

Pacar Keling menjadi penasaran. Bukannya dengan secara gampang ia mendapatkan kotak itu dari tangan Surodento. Karena itulah ia menjadi tak puas untuk menyerahkan kotak itu dengan begitu saja.

“Sahabat.” Katanya sambil memainkan tongkatnya. “Mustika itu kudapatkan dari tangan Surodento, oleh karena itu kau tanyakan kepadanya.” Ia merasa berat untuk menyerahkan kotak yang masih dipegang dengan tangan kirinya.  

“Manusia busuk.” Teriak Kembang Arum dengan marah. Ia mengira

kalau orang itu mengingkari janjinya. Bersama dengan teriakannya itu, ia melompat melesat lewat disamping Pacar Keling dan terus melompat pula keatas gubuk perahu.

Luar biasa sebatnya gerakan ini, agaknya hanya sekejapan mata saja.

Pacar Keling tak menangkis ataupun menyerang. Karena iapun tak diserang ataupun diancam. Ia hanya mengambil sikap membela diri. Hanya apa yang tak disangka-sangka telah terjadi. Tepat ia membawa tangannya kedalam saku, untuk menyimpan kotak emas, akan tetapi tahu-tahu kotak itu telah berpindah ketangan si pemuda.

Kembang Arum mengulurkan tangannya, tangan yang masih tetap memegang kotak emas.

“Kalian tiga orang manusia dogol.” Katanya sambil tersenyum. “Tahun dulu itu, karena sebuah mustika, timbullah hatimu yang serakah. Lalu berama-sama dengan orang-orang Jipang menyerang Cilacap. Kalian menjadi seperti harimau yang galak tak karuhan. Begitu saja sih masih tak mengapa, yang lebih busuk lagi ialah kalian ini seperti tak mengenal puas. Kalian penasaran, dan sekarang kalian datang lagi kemari. Tetap untuk merampas mustika. Huhaaaa.... Huahaaa... Huahaa... kau sangka siapakah kami ini?”

Pacar Keling hatinya menjadi panas dan... melongo. Dua orang lainnyapun heran. Hati mereka itu penasaran juga. Semua mereka mengawasi dengan tajam.

Kembang Arum sedikitpun tak mengambil pusing pikiran mereka itu. “Kalian man tahu? Akulah Kembang Arum.” Katanya. “Sedangkan

Pandu Pergolo adalah ayahku. Itu yang berada didalam air adalah adi Candra Wulan. Ayahnya adalah seorang gagah perkasa yang bergelar Tangan Sakti dari Juana. Tentu kau tahu bukan nama ayahnya? Dialah ki Surokoco.” Kemudian Kembang Arum lalu menunjuk kearah Mintaraga. “Dia adalah Mintaraga, anak ki Darmakusuma. Tentang riwayatnya pasti kalian telah pernah mendengarnya...”

Waktu itu Candra Wulan telah melompat dari air dan terus naik keperahunya.

“Bagaimanakah kepandaian Candra Wulan?” Tanyanya sambil tertawa. “Karena itu lekas kalian serahkan kepalamu itu dengan baik-baik.”

Surodento bertiga menjadi kaget bukan main. Benar-benar mereka tak pernah menyangka kalau ketiga orang anak muda ini adalah turunan dari Darmakusuma, ki Pandu Pergolo dan ki Surokoco. Sewaktu mereka memandang kearah Candra Wulan yang masih berpakaian basah kuyup, sehingga tubuhnya menjadi tercetak. Hingga dengan demikian tak dapat disangkal lagi kalau ia adalah seorang anak perempuan yang menyamar menjadi seorang laki-laki.  

Walaupun    kaget,    akan    tetapi    Surodento    menjadi    marah    dan

mendongkol. Memang keberaniannya sangat mengagumkan. Karena itu sambil menjerit ia lalu mengayunkan goloknya, ia melompat kegubuk perahu untuk menyerang lawannya. Ditangan kirinya ia memegang golok pendek, ditangan kanannya ia memegang tongkat pendek alat penotok jalan darah. Belum lagi lawannya sampai ketempat itu, Kembang Arum telah menyimpan kotak emas itu kedalam saku bajunya. Iapun lalu tertawa.

“Kau memegang golok ditangan kiri dan tongkat ditangan kanan.” Katanya. “Aku memegang pedang ditangan kiri dan golok ditangan kanan. Nah dengan demikian kita akan seimbang. Tak ada yang berat sebelah.” Dia memutar kedua senjatanya dan kedua senjata lalu mengeluarkan cahaya emas dan perak saling susul menyusul menyambut senjata lawan.

Gubuk perahu itu terbuat dari anyaman bambu tipis, bambu itu lemas, sukar untuk berdiri diatas itu, malahan siapa yang tak mengerti ilmu meringankan tubuh jangan harap dapat bergerak dengan leluasa, sedikit saja mereka mempergunakan tenaga, hingga tubuhnya menjadi berat, dia akan terjeblos.

Kelemahan gubuk itu merupakan sebuah halangan atau kerugian bagi Surodento. Karena ia memiliki tubuh yang lebih berat dan kuat pada Kembang Arum. Selain itu Kembang Arumpun mempunyai kegesitan dan kelincahan yang sangat mengagumkan sekali. Hingga ia dapat bergerak dengan pesat dan merdeka.

Mereka bertempur baru belasan jurus, gadis itu sudah lalu berada diatas angin. Setelah itu segera saja hati Surodento menjadi gentar. Tanpa ia merasa, ia telah menginjak gubuk itu hingga menerbitkan suara yang berkeresekan. Gubuk itu menjadi pecah. Dan disaat ia mencoba menenangkan diri, tiba-tiba saja ia merasakan hawa dingin dihidungnya. Dingin bagaikan es. Sebab pedang gadis ini akan menyambar dihidungnya.

Dalam kekagetannya Surodento ini lalu menyerang dengan goloknya untuk menangkis pedang itu. Hingga dengan demikian kedua senjata itu menjadi bentrok. Bunga apipun menjadi berpijar. Sedangkan suaranya merdu mengalun lama sekali. Menyusul itu, dia juga mengayunkan tangan menggunakan tongkat pendeknya menotok jalan darah gadis yang menjadi lawannya. Memang ia sangat mengandalkan senjatanya itu, sasarannya adalah jalah darah dibatang leher.

Sebalikny dari pada kaget dan jeri, Kembang Arum lalu berseru : “Bagus.” Pujinya dengan selanjutnya. Akan tetapi sambil memuji, ia lalu

mengenjot tubuhnya untuk mengelak. Ia mengenjot tubuhnya dengan goloknya dipakai untuk menekan palangan gubuk. Setelah itu ia lalu turun dengan gerakan yang indah dan ringan.

Dengan segera iapun lalu memberikan serangan balasan. Dengan pedang dikiri dan golok dikanan, ia mengancam musuh, sewaktu musuh itu  

repot menangkis kedua serangan senjatanya, tahu-tahu kakinya menjejak

dengan cepat sekali. “Pergilah kau.” Serunya.

Dalam keadaan terdesak sebagai itu, sewaktu ia tak menduga sama sekali Surodento kehabisan akal. Maka setelah sebuah jejakan keras itu, tubuhnya terpelanting masuk kedalam air.

“Bagus.... Bagus....” Seru Candra Wulan dengan bertepuk tangan......

“Pergilah bekuk kepadanya.” Ia terus memerintahkan kepada kedua tukang perahunya.

Pacar Keling dan Sampar Mega menjadi sangat marah, sambil berseru keduanya lalu menggerakkan senjata mereka. Langsung menerjang kearah Mintaraga.

Pendeta Sampar Mega baru saja bertindak, segera ia mendengar sambaran angin dari belakangnya.

“Budak hina kau berani membokongku?” Dampratnya. Ia menyangka Candra Wulan bermain licik. Iapun segera memutar tubuhnya sambil memainkan golok berkaitnya dan terus menikam. Akan tetapi ia kalah gesit, sewaktu ia membalik dengan goloknya baru bergerak, serangan lawannya telah tiba didadanya. Hingga ia merasakan sangat sakit dan panas.

Candra Wulan telah menyerang dengan Gundala Kurda, pukulan tangan yang meremukkan hati. Masih sangatlah untung untuk pendeta itu, dia masih keburu mengelakkan. Hanya celakanya, sekonyong-konyong saja ia merasakan pantatnya seperti tebal. Sebab dari belakang Mintaraga telah menotok jalan darahnya.

Sebenarnya Mintaraga baru melayani Pacar Keling, akan tetapi kesempatan yang baik, ia tahu kalau pendeta itu sedang mendesak kawannya, ketika yang baik itu tak disia-siakan. Begitu sambil melayani terus kepada Pacar Keling dengan sebelah tangannya, tangan kirinya dipakai menotok jalan darah pendeta yang masih kemaruk dengan kehidupan dunia ini. Dalam keadaan seperti itu Sampar Mega sudah kehabisan akal, maka seketika itu juga tubuhnya roboh dilantai perahu, sepasang golok berkaitnyapun terlepas, hingga bunyinya nyaring sekali dipapan perahu itu.

Pacar Keling menjadi sangat terkejut. Seumur hidupnya baru pertama kali ia melihat orang sesakti Mintaraga ini. Sebat dan cerdas. Totokannya sangat tepat. Ia menjadi waspada. Pacar Keling telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan secara berantai ia telah menyerang empat kali dengan berturut-turut.

Mintaraga dapat menangkis semua ancaman ini, ia hanya tersenyum ketika mendapat desakan ini, karena ia dapat meredakan serangan-serangan itu dengan sangat cepatnya. Karena ini, dia sangat sebat gilirannya untuk melakukan pembalasan. Dengan adanya pendeta yang telah tak berdaya itu ia menjadi jauh lebih merdeka. Iapun lalu memperlihatkan kepandaiannya,  

karena itulah desakannya ini seumpama gunung ambruk, lautan terbalik.

Sambaran-sambaran angin pukulannya membuat ujung-ujung baju lawannya menjadi berkelebatan.

Pacar Keling, menjadi gentar hatinya, ia menjadi khawatir sekali. Mengertilah dia, baru enam atau tujuh jurus, ia telah tak sanggup melayani terlebih jauh. Dilain pihak, walaupun ia telah memikirnya, ia malu andaikata ia mesti melemparkan tongkatnya, untuk menyerah kalah. Ia teringat ketika dahulu menghadapi orang tua bocah ini kepandaian mereka berimbang, akan tetapi malam ini ia sebagai orang tua akan tergelincir ketika menghadapi si anak kecil ini..... kemanakah ia harus membuang mukanya? Tak ada jalan lain, sambil melindungi dirinya sebisa-bisanya, ia lalu main mundur.

Perahu itu kecil dan sempit. Inilah sebuah rintangan yang cukup hebat. Ia baru saja mundur empat tindak, dibelakangnya lalu kelihatan air belaka. Inilah sungai, hingga tak ada tempat untuk mundur lagi.

Biarpun bagaimana sebagai seorang jago tua. Pacar Keling banyak pengalamannya, besar sekali keberaniannya. Begitu keningnya mengerut, ia lalu mendapatkan sebuah pikiran. Inilah sebuah pikiran yang jahat. Ia lalu melemparkan tongkatnya, ia lalu mendongakkan kepalanya sambil terus berkata.

“Mintaraga dahulu aku dapat bertempur seri dengan ayahmu. Akan tetapi siapa tahu seperti gelombang yang dibelakang mendorong ombak yang berada dimuka, sebagai anak muda kau dapat mewarisi kepandaian yang hebat. Kau telah membuat warna hijau itu dengan asal warna biru.....

Ah.   kalau aku Pacar Keling mati ditanganmu maka tak kecewalah aku yang

telah berani hidup didunia kependekaran ini. ,,”

Begitu berhenti berbicara ia lalu menganggukkan kepalanya, bahkan bersama dengan itu ia merapatkan kedua matanya. Ia menanti kematiannya.....

Mintaraga adalah seorang pemuda yang polos dan murah hati, melihat lawannya menyerah, ia menunda penyerangannya, malahan setelah menyimpan kembali senjatanya ia lalu berjongkok untuk mengambil tongkat jago dari Uling Abang ini. Justru ketika ia sedang berbuat demikian, berjongkok, lalu Pacar Kcling melompat maju, sebelah tangannya dipakai untuk menyerang. Inilah serangan sekuat tenaganya, yang telah dikerahkan sewaktu ia memeramkan matanya tadi, meram yang dibuat-buat, karena bersama dengan ini, dia mengintai, hingga ia tahu kalau orang ini sedang tak bersiap siaga. Dia menyerang sambil berseru dengan keras.

“Jangan.” kata Mintaraga, biarpun gurunya, pendeta Argo Bayu tak nanti pendeta tua itu dapat mengelakkan serangan maut itu.  

Candra Wulan ketika melihat bahaya maut yang mengancam Mintaraga

ini menjadi kaget bukan kepalang. Untunglah ia tak menjadi gugup, sambil menjerit keras :

“Kakang Mintaraga.....” Ia melompat untuk menolong kakaknya dengan secara menangkis. Ia telah tak mengambil peduli bahwa ia mungkin tidak dapat menolong, bahwa mungkin sekali tubuhnya akan menjadi sasaran serangan itu.

Jeritan itu mengagetkan kedua orang itu. Mintaraga dan Pacar Keling. Jago Uling Abang ini menjadi terkesikap hatinya, dan Mintaraga menjadi kaget sekali. Tiba-tiba saja keduanya lalu bertindak.

Pacar Keling melanjutkan serangannya, Mintaraga dengan kecerdikan dan kegesitannya berdaya menghindarkan diri dari tangan maut itu.

Oleh karena Pacar Keling terkesiap hatinya, ia menjadi terlambat sedikit. Sebaliknya Mintaraga dengan kecerdikan dan kegesitannya berhasil menyambar tubuh Sampar Mega, yang terus dilemparkan kearah penyerangnya itu. Sedangkan ia sendiri masih tetap mengelakkan diri. Diwaktu berbuat demikian hati Mintaraga menjadi panas, karena ia mendongkol sekali melihat lawannya ini mempergunakan tipu daya yang amat keji. Karena itu ketika ia melemparkan tubuh Sampar Megapun sambil mengerahkan tenaganya.

Tepat ketika tangan jahat dari Pacar Keling mengenai sasarannya, sebuah jeritan terdengar hebat. Pacar Keling melihat sebuah benda besar dan hitam menyambar kearahnya. Akan tetapi ia tak dapat berpikir dan mengambil keputusan lain dari pada menghajar terus benda itu. Bersama dengan serangannya itu, yang mengenai tepat, ia sendiri juga menjerit. Sebab benda itu, tak peduli hajarannya itu, sudah menyerang terus kepadanya. Menubruk dengan hebat, hingga tanpa ampun lagi rubuh terjengkang dengan tak dapat bangun lagi.

Dalam kemarahannya Mintaraga lalu mengerahkan tenaganya yang dinamakan ‘TAPAK KILAT’ tenaga itu seperti berpindah ketubuh Pendeta Sampar Mega. Karena itu ketika pendeta itu terkena serangan Pacar Keling bukannya benda itu yang membalik, akan tetapi malah sebaliknya benda itu terus menyerang terus. Hal ini benar-benar tak pernah disangka-sangka oleh Pacar Keling. Hingga bergetarlah seluruh tubuhnya, ia roboh tak berdaya.

Pendeta Sampar Mega menjerit karena serangan Pacar Keling itu tetapi tubuhnya terlempar cepat sekali, dia seperti mendahului serangan, meskipun terhajar cepat dan tepat, tenaga Pacar Keling telah berkurang. Hanya ketika ia roboh akibat tubrukkan dengan kawan itu, sebab tak dapat ia mempertahankan diri, dia juga turut mengeluarkan jeritan, karena dia roboh terbanting dengan keras. Hingga suaranya berkuik seperti babi disembelih...

Hampir bersama dengan itu, kedua tukang perahu telah berenang menghampiri perahu, sambil berenang mereka menyeret tubuh Surodento  

yang mereka angkat naik keatas perahu. Mereka bisa bekerja dengan leluasa,

sebab selama didalam air, ia telah menghajar Surodento.

Surodento sakti, tubuhnya kuat dan tegap, akan tetapi sekali dia terjebak kedalam air, tubuhnya menjadi enteng sekali. Begitu tenggelam dia muncul pula. Enteng sekali tubuhnya mengambang dimuka air. Dia menggerakkan kaki dan tangannya, mencoba berenang dengan sebisa-bisanya. Sedikitpun ia tak dapat berteriak, sebab air telah menyerang masuk kedalam mulut dan hidung. Dengan begitu ia menjadi mati kehendaknya.

Mintaraga segera memegang keras tangan Candra Wulan.

“Adi Candra Wulan, aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih kepadamu.” Katanya kepada Candra Wulan yang baru saja menolongnya dari bahaya maut itu.

Sungguh manis rasanya hati Candra Wulan itu, didalam hati kecilnya ia berkata :

‘Itu belum seberapa kakang Mintaraga, tahukah kau? Walaupun jiwaku aku rela memberikannya kepadamu.....’ Karena itu ketika tangannya dipegang dengan keras, iapun lalu membalas memegang dengan keras pula. Malahan tak hendak ia melepaskannya.

Kembang Arum masih berada diatas gubuk perahu itu, ia melihat kedua kawannya itu saling berpegangan tangan dengan erat dan lama sekali, karena itulah ia menjadi tercengang. Hanya sejenak saja ia tercengang, dan segera memberi perintahnya kepada kedua orang tukang perahunya :

“Mari kita berangkat menuju keselatan...”

Kedua tukang perahu itu menurut perintah dengan gembira. Bukankah pertempuran telah selesai, musuh telah roboh semua, dan mereka sendiri telah berbuat sedikit jasa dengan menawan Surodento.

Muka Mintaraga mcnjadi merah bersemu dadu dengan sendirinya. Ketika ia hendak melepaskan pegangannya, ia mengerahkan sedikit tenaganya.

“Aduh.” Jerit Candra Wulan dengan perlahan, akan tetapi seruan ini dibarengi dengan tarikan tangannya. “Kau membuat orang menjadi kesakitan.” Tambahnya. Didalam hati ia menjadi girang bukan main. Ia telah membuktikan tenaga dalamnya yang sempurna sekali dari Mintaraga ini.

Perahu itu didayung dengan cepat, laju menggeleser dipermukaan air, dihari kedua ialah besuk paginya, mereka telah melalui perjalanan empat sampal lima puluh tombak air. Dihadapan mereka sekarang tampak permukaan air yang sempit dan aliran airpun kelihatan cepat dan keras. Karena itu maka perahunya kini tak dapat didayung lagi. Malahan dikendalikan agar perahunya berjalan jangan terlalu cepat.

“Pikir kita lebih baik mengambil jalan darat saja.” Seru Kembang Arum menyerahkan.

“Memang.” Mintaraga menyetujuinya.  

Karena itulah maka pemuda ini lalu menyuruh kedua tukang perahunya

ini meminggirkan perahunya. Hanya sebelum lagi ia membuka mulutnya, ia melihat sebuah perahu kecil lagi mendatangi dari lain arah. Karena perahunya enteng dan airpun sangat deras bisa dimengertilah cepatnya perahu itu, yang dapat dikatakan sebagai melesatnya sebuah anak panah. Sudah begitu, orang yang berada didalamnya masih pula menggayuh perahu itu.  

Dimuka perahu itu berdirilah seorang laki-laki.

“Perahu yang berada didepan lekas minggir.... lekas....!” demikianlah teriak orang itu.

Candra Wulan menduga kalau orang itu tentunya kawan dari Pacar Keling bertiga, oleh karena kecurigaannya itu, ia lalu mencabut pedangnya, dengan begitu ia bersiap sedia dalam sembarang waktu menghabiskan korban-korbannya didalam perahu itu.

Perahu didepan itu tetap laju dengan kepesatan yang luar biasa sekali, pengemudinya seperti tidak mempedulikan keselamatan orang lain, walaupun benar orang yang berada dimuka perahu itu telah mementang mulutnya lebar-lebar. Celakalah kalau kedua perahu itu bentrok.

Kedua tukang perahu itu menjadi sangat mendongkol, sambil menggerakkan kemudi maka satu diantaranya terus berseru :

“Bagus kau binatang, benar-benar kau tak mengenal aturan. Jika kalian berani terjanglah perahu kami.”

Mintaraga menginsyafi akan datangnya bencana. Benar ia tak usah khawatir kecebur dalam laut, akan tetapi itu tetap berarti bencana dan pihak perahunya mungkin yang akan menderita kerugian, karena itu tanpa bilang apa-apa ia menyambar kemudi untuk menggerakkan itu, maka sekejap saja perahunya telah minggir kesamping.

“Kau beruntung.” Kata orang yang berada diperahu kecil itu sambil mengejek dengan suara dihidungnya.

Pun dalam sejenak itu, perahu itu terus telah melewatinya dengan kecepatan yang luar biasa hingga dengan sebentar saja beberapa tombak telah berada dimukanya.

Sewaktu mereka berpapasan terlihatlah dengan tegas orang yang berdiri dikepala perahu itu, orang itu bermuka lancip, matanya seperti tiga karena melirik, kumisnya jarang seperti kumis tikus. Usianya baru kira-kira tiga puluh tahun. Yang aneh adalah pakaiannya, bukannya seperti pakaian nelayan ataupun tukang perahu yang biasa bahkan bukan seperti orang Selatan. Mintaraga heran ketika melihat orang ini.

“Didalam perahu kecil itu terdapat dua orang.” Kata Kembang Arum. “Tahukah kalian, siapa yang berada didalam perahu itu?”

“Siapakah mereka?” Tanya Mintaraga. Ia tak melihat karena ia sedang memperhatikan gerakan perahu. “Jika tak keliru, mereka pasti Pendeta Baudenda dan muridnya ki

Jogosatru.”

Mintaraga menjadi heran, hingga ia agak terkejut.

“Benarkah itu?” Tanyanya pula. “Lekas putar perahu dan kejar perahu depan itu.” Perintahnya kepada kedua tukang perahunya.

Kedua tukang perahu itu masih mendongkol, mendengar perintah itu, mereka memutar perahunya tanpa berayal lagi. Layar segera dipasang, dan dayungpun lalu diambil, hingga dengan demikian perahu itu maju dengan pesatnya.

Perahu yang didepan itu, pada waktu itu, telah menurunkan layarnya. Hingga dengan demikian kelajuannya tertahan. Jalannyapun menjadi kendor. Kemudian lagi, dari dalam perahu bangkit muncul seorang, kepalanya gede, kupingnya besar, bajunya tertutup jubah berwarna kuning. Memang dia inilah ki Pendeta Baudenda.

Sekonyong-konyong pertapa murtad itu lalu tertawa dengan lebar : “Mintaraga kau baru sampai?” Tanyanya dengan lagak yang sombong

dan memualkan.

Mintaraga menjadi terkejut. Benar-benar orang ini adalah pendeta Baudenda. Hanya kecuali seorang lainnya, diperahu itu tak ada orang lainnya lagi.

‘Mungkinkah dia telah merobohkan Sucitro dan merampas Tunggul Tirto Ayu dari tangan seorang aneh itu?’ Mintaraga mulai menduga-duga. Bersama itu iapun sangat mengagumi akan keawasan pandangan mata Kembang Arum. Dalam waktu yang sekejap itu saja gadis ini telah dapat mengenali Pendeta Baudenda.

Memang dalam sekelebatan saja Kembang Arum melihat orang memakai jubah kuning, karena itulah ia lalu menduga kalau orang yang memakai jubah kuning itu tentunya Pendeta Baudenda.

“Mintaraga.” Kembali Pendeta Baudenda berkata.

“Kita telah membuat tiga macam perjanjian, apakah kau masih ingat perjanjian kita itu?”

Sementara itu perahu Pendeta Baudenda berjalan dengan pelan, akan tetapi perahu Mintaraga dengan cepat. Kedua perahu itu jaraknya semakin dekat. Mintaraga mendengar dengan jelas sekali pertanyaan kakek gurunya ini.  

“Aku masih ingat.” Jawabnya dengan cepat, dan singkat.

“Apakah perjanjian itu?” Pendeta Baudenda menegaskan dengan pertanyaan itu.

Mendengar pertanyaan ini Mintaraga segera menjawab, biarpun didalam hatinya ia telah menyangka kalau kakek gurunya ini tentu akan mempergunakan kesempatan ini untuk menjalankan siasat liciknya......
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar