Tikam Samurai Si Bungsu Episode 4.4

 “Maaf, tadi saya mendengar seperti ada suara berteriak dan suara benda jatuh dari kamar ini, saya khawatir ada apa-apa…”

“Ah, hanya bantal yang jatuh. Terimakasih…”

“Syukurlah, kamar ini memang agak angker pak. Banyak orang yang didatangi mimpi buruk disini, soalnya dulu ada yang gantung diri dikamar ini…”

“Kenapa tidak kau bilang dari dahulu?” katanya agak kesal.

“Ah, kalau saya bilang dari dahulu, bapak tentu tidak percaya. Memang dapat mimpi buruk pak?”Si Bungsu seperti orang sakit gigi dibuatnya.

“Kebetulan ada kamar lain yang kosong, bapak ingin pindah kesana?” “Tidak, tidak perlu..”jawab Si Bungsu agak kesal.

Tapi pelayan itu bukannya pergi dari sana, malah dia melangkah masuk…separuh berbisik dia berkata. “Di sebelah kamar ini ada gadis cantik, baru tadi malam datangnya. Cantiiik benar.. ”Si Bungsu menatap

pelayan       itu       dengan       berang…tapi       pelayan        itu        malah        meneruskan        informasinya. “Saya hampir pingsan waktu dia menanyakan apakah masih ada kamar, dia sendirian. Bayangkan gadis seperti itu datang sendirian. Ada beberapa tamu disini, lelaki tentunya. Sampai tidak bisa berdiri begitu melihat gadis itu…”

“Keluarlah…!” “Bapak tidak percaya? Boleh dilihat nanti…”

“Keluar..!!” “Ya ya saya keluar, Tapi kalau bapak tidak baik-baik tidak saya perkenalkan nanti Bapak…” “Keluar…!!!”Si Bungsu tegak, pelayan itu terlompat keluar kamarnya. Tapi dari luar dia masih sempat

ngomong.

“Menurut paspornya, dia baru datang dari Singapura…”Si Bungsu tidak peduli. “Dia seorang gadis Jepang Pak..!”Si Bungsu berniat menampar pelayan ini, keterlaluan pikirnya. “Namanya michiko..” katanya sambil berjalan dan bersiul.

Si Bungsu tertegak dan kaget seperti disambar petir. Dia hampir tidak mempercayai pendengarannya. Apakah pelayan itu ada ngomong tentang gadis Jepang dan bernama Michiko? Atau yang terdengar olehnya adalah semacam ilusi yang dibawa dari mimpi yang terlalu dasyat barusan tadi. Aneh? Hatinya berdebar. Jantungnya berdegub tak menentu. Tak biasanya seperti ini, peluh kembali membasahi tubuhnya. Untuk menenangkan diri dia pergi mandi, kemudian bertukar pakaian.

Hari ini dia akan ke Payakumbuh dan dari sana baru kekampungnya, Situjuh ladang Laweh. Kampungnya persis di bawah kaki gunung Sago. Dia tak tahu apa yang akan dia perbuat disana. Yang jelas, dan keinginan paling besar adalah menjenguk Pusara Ayah, Ibu dan kakaknya. Kemudian melihat rumah dimana dia lahir dan dibesarkan. Lalu apa lagi? Dia tak tahu, barangkali dia akan tinggal disana, semalam dua malam atau akan pergi lagi.

Tetapi apakah Si Bungsu memang salah dengar ata ucapan pegawai hotel Indonesia atas “Gadis di sebelah kamar” itu? Apakah benar Michiko dan Michiko yang dimaksud adalah anak dari Saburo matsuyama, yang datang untuk membalas kematian ayah nya terhadap Si Bungsu.? sebab di Jepang ada ribuan gadis yang bernama michiko. Apakah Michiko yang di sebelah kamarnya itu adalah Michiko yang “membunuh”nya didalam mimpi tadi?

Ternyata benar! Dia memang Michiko yang satu itu, dia datang untuk mencari Si Bungsu. Namun ketika dia mendaftarkan diri di Hotel ini sama sekali dia tidak tahu bahwa lelaki yang dia cari itu ada di hotel tersebut. Dan ketika dia masuk kekamar nomor dua sama sekali dia tak tahu kalau di kamar nomor emapat persis di sebelah kamarnya dan hanya dibatasi oleh sebuah dinding, berbaring Si Bungsu, lelaki yang sangat ingin dia temui.

Ketika Si Bungsu bermimpi berkelahi dengan Michiko, saat itu Michiko telah bangun. Dia mendengar suara gaduh disebelah, namun tidak dia perhatikan. Dia keluar dan mandi. Kemudian ketika dia masuk kekamarnya, saat itu pula Si Bungsu keluar pergi mengambil wudhu. Kalau saja dia agak terlambat keluar dari kamar mandi, atau Si Bungsu sedikit lebih cepat keluar kamarnya, pasti kedua mereka bertemu di gang didepan kamar itu. Pasti!

Ketika Si Bungsu sembahyang subuh, Michiko telah keluar, dia pergi menghirup udara pagi yang cerah sambil menapaki jalan dalam kota itu. Kedatangannya di Bukittinggi di mulai dari kedatangan Donald ke Singapura dari Australia. Setelah menceritakan kepada Fabian tentang perjalanannya dengan Si Bungsu mengantarkan jenazah Robert ke Australia, Lalu datang ke Konsulat Indonesia.

Di sana dia disambut oleh Overste Nurdin dan Salma isterinya. Karena tamu yang datang membawa berita tentang Si Bungsu, Salma segera memanggil Michiko yang saat itu tengah bermain dengan Eka, anak mereka, di taman belakang.

”Michiko san, kemarilah…”

Michiko berhenti mengejar-ngejar Eka. Memangku anak itu, kemudian mendekat. ”Ada apa, Salma san?”

”Ada tamu untukmu…” ”Tamu untukku?”

”Ya. Tamu dari Australia!”

Hampir saja anak dalam gendongannya jatuh. Untung dia cepat menguasai diri. Tamu dari Australia!

Orang yang kenal dengannya dan kini ada di Australia adalah Si Bungsu! Apakah lelaki itu yang datang? ”Tenanglah, bukan Si Bungsu. Tetapi temannya. Namun dia datang membawa cerita tentang kekasihmu

itu. Ayo kita masuk”

Mereka ke ruang tamu. Donald terkesima melihat kedua perempuan cantik itu. ”Kenalkan, ini Michiko.

Teman Si Bungsu…”

Nurdin mengenalkan gadis itu pada Donald. Donald berdiri. Mengulurkan tangan dengan sikap kagum dan hormat. Yang disambut dengan dada berdegup oleh Michiko. Yang sangat ingin tahu tentang Si Bungsu.

”Nona Michiko…?” ulang Donald perlahan.

”Ya, Michiko. Pernah mendengar namanya?” tanya Nurdin. Donald kembali duduk. Kemudian menatap pada Michiko.

”Saya sering mendengar nama nona. Saya gembira hari ini dapat bertemu dengan nona. Si Bungsu banyak bercerita tentang nona…”

Michiko merasa jantungnya mengencang. Si Bungsu sering bercerita tentang diriku. Apakah dia masih mengingatku?, pikirnya. Dari Donald mereka semua jadi tahu bahwa Si Bungsu telah pulang ke Indonesia, ke kampungnya. Ketika sore hari itu Donald pamitan, ketiga mereka membicarakan soal Si Bungsu.

”Saya akan pergi…” kata Michiko perlahan. ”Ke Sumatera Barat?” tanya Nurdin.

”Ya…”

Nurdin menghela nafas. Salma menghela nafas. Kedua mereka menatap gadis itu. Gadis itu menunduk. Seperti telah diceritakan pada bahagian terdahulu, Michiko memang tinggal di gedung konsulat itu bersama Salma. Yaitu sejak peristiwa mereka hampir diperkosa pelaut di hotel dimana Michiko menginap, tatkala Salma datang bertamu ke sana.

Kini, keinginan Michiko untuk ke Sumatera Barat tak mungkin ditahan. Nurdin memberikan peta Sumatera Barat, serta petunjuk dimana letaknya Situjuh Ladang Laweh. Salma memberikan beberapa alamat famili dan kenalannya di kota Bukittinggi untuk dihubungi Michiko bila ada kesulitan. Tatkala Michiko akan naik pesawat, Nurdin berpesan :

”Saya berharap akan dapat bertemu dengan kalian berdua, Michiko. Maksud saya engkau dan Si Bungsu. Saya tahu, engkau berdendam padanya. Namun, saya benar-benar menginginkan tak satupun di antara kalian yang cedera…”

Michiko hanya tersenyum. Senyumnya kelihatan getir. Sebelumnya Salma juga sempat bicara empat mata dengannya.

”Sebagai perempuan dengan perempuan, Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Lelaki yang sama-sama kita cintai. Engkau satu-satunya yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan dirinya. Jangan biarkan dirimu dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens sama sekali. Berfikirlah dengan akal sehat. Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya. Bila dia engkau bunuh Michiko, sama artinya engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur hidupmu. Kalian kini sama-sama sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian dan saling bunuh. Sebagai seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin Si Bungsu bahagia. Dan saya yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin mendengar kabar bahwa kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini, datang sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu, Michiko, adikku!”

Michiko amat terharu dan tak bisa menahan air matanya mendengar ketulusan hati Salma. Dia memeluk Salma. Salma juga balas memeluk dengan mata basah. Dan Michiko pun berangkat. Di pesawat dia duduk dengan diam. Berusaha menyembunyikan rasa sedihnya berpisah dengan Salma. Keluarga itu sudah seperti keluarganya sendiri. Dia menganggap mereka sebagai kakaknya.

Michiko tak tahu, seseorang yang duduk persis di sisinya sejak tadi menatapnya. Seorang Cina gemuk, bermuka tembem dan berambut tegak lurus seperti alang-alang di tengah padang. Berhidung besar dan bermata kuning. Lelaki itu menatapnya dengan bernafsu. Beberapa kali tangannya dia sentuhkan ke tangan Michiko. Gadis itu, yang pikirannya memang tak di situ, tak menyadarinya. Bagi si babah gemuk itu diamnya Michiko dia anggap sebagai ”persetujuan” untuk saling senggol-senggolan.

Cina itu makin kurang ajar. Matanya menatap pada dada Michiko yang membusung ketat. Darahnya menggelegak melihat dada yang ranum itu berombak mengikuti alunan nafas. Michiko baru sadar tatkala tangannya benar-benar dihimpit oleh tangan engkoh gendut itu. Dia menoleh, disambut Cina itu dengan tersenyum. Michiko yang tak punya prasangka apa-apa, sambil menggeser tangannya dari himpitan tangan si gendut juga tersenyum, sekedar basa-basi. Babah itu seperti mendapatkan durian runtuh. Eh, salah. Tidak hanya durian tapi juga pisang, kelapa, rambutan dan jambu monyet yang runtuh sekaligus.

”Akan ke Jakalta?” tanya si gendut dalam bahasa Indonesia dengan aksen Tionghoa yang tak ketulungan. Michiko mau tak mau mengangguk. Babah itu kembali menggesengkan tangannya yang besar ke tangan

Michiko. Michiko mengalihkan tangannya dari tangan kursi. Meletakkannya di pangkuan. ”Sendilian?” lagi-lagi si babah bertanya sambil menjilat bibir.

Michiko mulai tak sedap, tapi dia paksakan juga untuk mengangguk. Melihat anggukan itu, babah itu seperti merasa tercekik. Kerongkongannya terasa kering. Dia ingin segera tiba di Jakarta. Di sana segalanya bisa di atur. Dia menyesal juga kenapa tidak bertemu dengan gadis begini di Singapura. Memang banyak gadis yang bisa segera dibawa ke tempat tidur di kota singa itu. Tapi yang cantik seperti ini tak pernah bersua!

Michiko menoleh ke luar. Memandang ke laut luas yang membentang jauh di bawah sana. Sesekali, kelihatan sebuah titik diikuti garis memanjang seperti segitiga. Sebuah kapal tengah berlayar di Samudera di bawahnya. Garis membentuk segitiga itu adalah ombak yang dibentuk oleh lunas kapal pada permukaan laut. Pada saat itu, babah gemuk itu juga asik memandang pada segitiga di dada Michiko.

Gadis itu memakai baju dengan gunting segitiga runcing pada dadanya. Di ujung segitiga pada bajunya itu terlihat pangkal dadanya yang mengkal.

Babah itu merasa dadanya sesak. Peluh membasahi keningnya. Tubuhnya gemetar. Dia ingin menerkam gadis di sisinya ini. Cina ini nampaknya dijangkiti penyakit gila seks. Saat itu Michiko menoleh, melihat babah itu berpeluh dan matanya jadi merah.

”Tuan saya lihat kurang sehat….” katanya perlahan.

Dan babah itu menyangka bahwa gadis itu memancingnya. Artinya gadis Jepang itu sengaja memancing- mancing.

”Ya, saya sakit. Debar jantung saya sangat keras. Rasakanlah…”

Dengan cepat dan sigap dia meraih tangan Michiko, menekankan ke dadanya. Michiko yang kaget tangannya disambar begitu, semula akan menyentakkannya. Tapi takut dianggap tak ramah, dan melihat lelaki gemuk itu memang pucat dan gemetar serta berpeluh, dia membiarkan tangannya ditekankan ke dada lelaki itu.

Dada lelaki itu memang gemuruh. Apalagi mendapat kenyataan bahwa gadis itu tak menolak tangannya dipegang dan ditekankan ke dadanya. Michiko mula pertama merasakan tangannya menekan segumpal daging yang bergoyang di dada Cina gemuk itu. Kemudian dia memang merasakan denyut jantung Cina itu tak beres. Cepat-cepat dia menarik tangannya.

”Lebih baik panggil pramugari…” katanya.

Tapi dengan cepat Cina itu memegang lagi tangan Michiko.

”Jangan, jangan dipanggil. Kalau mau agak sesaat saja meraba dada saya, akan sembuh segera…” katanya sambil tetap menekankan tangan gadis itu ke dadanya.

Tapi Michiko baru dapat merasakan sesuatu yang tak beres pada sikap babah gemuk itu. Dia menarik tangannya dengan paksa. Kemudian menatap dengan heran. Cina itu malah nyengir penuh maksud. Michiko menoleh lagi keluar, perasaannya jadi tak sedap. Kaki Cina itu di bawah menggeser-geser kakinya. Michiko tak ingin bikin ribut dalam pesawat ini. Banyak orang kulit putih dan satu dua orang Indonesia. Dan cukup banyak pula orang Cina.

Dia menoleh ke belakang. Kemudian berdiri, pura-pura akan ke WC. Padahal dia ingin mencari tempat kosong. Karena tempat lewat di depan cina itu sempit, dia lalu membelakang. Ketika lewat pinggulnya bergeser dengan lutut Cina itu. Cina gaek dan gepuk jahanam itu memang sengaja menyorong-nyorongkan lututnya ke depan dan agak meninggikannya. Sehingga lututnya tertekan oleh pinggul Michiko yang sedang lewat. Michiko yang menyangka bahwa jalan itu memang sempit, terus saja menggeser diri. Michiko pura-pura menuju toilet. Sambil berjalan, dia melirik kiri kanan. Berharap menemukan sebuah kursi kosong untuk bisa pindah duduk. Namun pesawat Dakota yang bermuatan 20 orang itu penuh semua. Dia masuk ke toilet. Berkaca dan mendapatkan wajahnya agak pucat karena malu dan berang. Dia merasa muak untuk kembali ke tempat duduknya. Tapi terlalu lama di toilet ini juga mustahil. Dia lalu keluar lagi. Yaitu setelah hampir setengah jam

dalam kakus itu.

Mau tak mau dia kembali lewat di depan Cina gemuk itu. Cina gemuk itu, seperti tadi lagi, menyorongkan lututnya. Kini tangannya juga ikut menggerayang. Meremas pinggul Michiko. Wajah Michiko jadi merah padam. Dia menatap dengan penuh berang pada Cina itu. Hampir saja dia menyambar samurainya yang tertegak di sisi tempat duduknya. Namun dia tak mau huru hara terjadi. Kalau itu dia lakukan, maka perjalanannya ke Minangkabau bisa terhalang. Makanya dia terpaksa menerima perlakuan itu dengan menekan amarah. Tapi celakanya Cina itu benar-benar tak tahu diri. Diamnya Michiko dia sangka sebagai persetujuan untuk berbuat makar. Dia nyengir, memperlihatkan tiga gigi emasnya yang sudah menghitam karena candu. Mana sudi Michiko menatapnya. Gadis itu melempar pandangan ke luar.

Untunglah pesawat segera tiba di Lapangan Udara KeMayoran, Jakarta. Kalau tidak, penderitaan gadis itu tentu takkan berujung. Michiko menunggu Cina itu turun duluan. Tapi Cina itu seperti mananti kesempatan untuk menekan pinggul gadis itu dengan lututnya kembali.

”Silahkan nona tulun duluan…” katanya meramahkan diri.

Michiko memandangpun tidak. Saat itu tangannya sudah memegang samurainya. Kalau Cina itu coba berbuat kurang ajar lagi, akan dia hantam saja. Tapi Cina itu tegak. Kemudian turun. Akhirnya Michiko juga turun. Celakanya mereka bertemu lagi di imigrasi.

”Hmm, ini apa yang bawa, nona?” seorang petugas imigrasi menunjuk pada tongkat di tangan Michiko. ”Samurai, tuan…” katanya.

”Samurai?” petugas itu heran.

”Ya. Samurai. Belum pernah melihat senjata begini?”

”Ah, saya terlalu sering melihatnya, nona. Saya hanya tak mengerti buat apa senjata berbahaya begini nona bawa-bawa…” ”Seorang teman ayah saya memesannya untuk kenang-kenangan…”

Petugas imigrasi itu tampaknya agak keberatan. Dia kembali memeriksa paspor Michiko. Dalam paspor itu tertulis bahwa Michiko adalah turis. Dan saat itu adalah sesuatu yang agak aneh kalau ada orang mengaku turis datang ke daerah. Apalagi daerah itu adalah daerah yang baru saja bergolak seperti Sumatera Barat. Tapi ketika Michiko memperlihatkan sepucuk surat, yang ditandatangani oleh overste Nurdin, Atase Militer Indonesia di Malay yang berkedudukan di Singapura, petugas itu tak banyak cincong lagi. Michiko keluar dari kawasan itu.

”Dimana saya… dapat membeli tiket untuk pesawat yang berangkat ke Sumatera Barat?” tanyanya pada seorang lelaki berseragam pilot.

”Nona akan ke sana?” Pilot itu balik bertanya dengan heran, tapi sikapnya sopan. ”Ya, saya bermaksud ke sana….”

”Seingat saya, saat ini belum ada pesawat sipil yang ke sana. Jalur itu khusus diterbangi oleh pesawat Angkatan Udara. Tapi mereka juga menerima penompang-penompang sipil dari pemerintahan. Untuk itu dapat meminta keterangan di ujung sana,” ujar pilot itu sembari menunjuk ke gedung lain.

Dia menunjuk ke sebuah gedung tua yang mirip gudang besar. Terletak di antara pohon-pohon kelapa. Jalan menuju ke sana ditumbuhi padang lalang. Michiko memang mendapatkan keterangan yang sama dari pilot tadi. Rute Jakarta-Padang hanya diterbangi oleh pesawat AURI. Tapi dia mendapat tempat. Hanya sayangnya, pesawat baru dua hari lagi berangkat ke Padang. Sebab pesawat ke sana baru tadi pagi berangkat.

”Ada kemungkinan saya menompang pesawat lain?” tanya Michiko.

”Tidak nona. Memang ada pesawat militer ke sana. Tapi usahkan orang asing seperti Anda. Orang Indonesia tak juga akan diperkenankan ikut dalam pesawat itu…”

”Kalau begitu, saya pesan tiket untuk dua hari lagi…” ”Baik. Kami catatkan. Nona bisa bayar dua hari lagi.” ”Tidak. Sekarang saja…”

”Jangan Nona, sebab ada kemungkinan pesawatnya tak berangkat hari itu…” Michiko mengerutkan kening.

”Saya kurang mengerti maksud Tuan…”

Petugas yang melayani seorang Sersan Mayor Penerbang, menatap gadis cantik itu. Lalu bicara sopan : ”Anda tahu Nona, negeri itu baru bergolak. Segala penerbangan kesana bisa saja diundur.”

”Apakah itu sering terjadi?”

”Seingat saya ada dua atau tiga kali.”

”Ya. Apa boleh buat. Kalau diundur, maka saya juga akan undur berangkat…” katanya menyerah. Sersan itu mencatat.

”Di mana Nona menginap? Kalau ada perobahan kami bisa mudah memberitahu…” Michiko menatap ke arah lain. Itulah yang tengah dipikirkannya, penginapan.

”Saya tak tahu. Ada penginapan di sekitar lapangan ini?”

”Ada. Di luar sana. Anda bisa naik beca. Minta ke Hotel Angkasa. Cuma hati-hatilah. Di sana kadang- kadang ada bajingannya…”

Michiko menatap Sersan itu.

”Ya, kadang-kadang ada orang mabuk-mabukan dan suka mengganggu perempuan..” ”Apakah tak ada penginapan lain yang lebih aman?”

”Cukup banyak. Tapi agak jauh dari sini. Di kota..”

”Saya rasa di sana saja, di hotel Angkasa. Terimakasih atas bantuan Bapak….”

”Saya harap Nona senang berada di negeri kami…” ujar Sersan itu mengangguk hormat.

Michiko mendapat kesan yang baik pada sikap Sersan itu. Dia berjalan lagi ke arah gedung Imigrasi darimana dia datang tadi. Untung saja yang dia bawa hanya sebuah tas kecil yang bisa dia gantungkan di bahu. Mirip-mirip ransel. Hanya dua perangkat pakaian, handuk, kimono dan barang-barang kecil lainnya. Kemudian uang. Itulah bekalnya. Di tangan kirinya ada samurai yang sekilas lihat mirip dengan tongkat biasa. Michiko memakai gaun seperti jamaknya gadis-gadis Indonesia saat itu. Pakai rok dalam hingga ke betis dengan banyak kerunyut-kerunyut. Pakai blus warna cerah dengan rambut dipotong hingga bahu. Sekilas lihat gadis ini tak mirip dengan gadis Jepang yang bermata sipit dengan wajah klasiknya. Dia lebih mirip gadis-gadis Indonesia kelahiran Menado, atau gadis-gadis dari Sunda yang bertubuh indah berkulit kuning. Di depan kantor Imigrasi dia memanggil beca.

Tapi saat itu sebuah sedan Chevrolet hitam berhenti persis di dekat dia tegak. Sebuah suara terdengar saat pintu mobil terbuka.

”Mali naik sini saja, Nona. Saya antalkan….”

Michiko heran, tapi herannya segera berobah jadi mual tatkala dilihatnya siapa yang membuka pintu mobil itu. Si babah gemuk bergigi emas yang duduk di sebelahnya dalam pesawat tadi.

”Naiklah. Saya antalkan Nona….” kata babah itu meramah-ramahkan diri. Michiko tak menjawab. Dia memanggil becak.

”Ke hotel Angkasa, Pak….” katanya kepada tukang beca.

Beca itupun meluncur. Chevrolet hitam yang ditompangi oleh babah gemuk itu mengikut dengan perlahan dari belakang. Tak lama kemudian beca itu memasuki halaman hotel yang tak begitu bagus. Bahagian bawah berlantai dan berdinding batu. Bahagian atas berdinding papan. Itulah Hotel Angkasa yang tadi ditunjukkan oleh Sersan AURI itu. Michiko memesan kamar. Dia sempat melirik bahwa sedan Chevrolet hitam model terbaru itu melaju ke arah kota.

Tempat tidur hotel itu tak bisa dikatakan bagus, tapi cukuplah. Siang itu terasa panas. Keinginannya adalah segera mandi dan tidur. Dia membuka pakaiannya, menukarnya dengan kimono. Kemudian mengambil sabun dan sikat gigi. Lalu masuk ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Airnya tak begitu sejuk. Tapi dia tak perduli. Selesai gosok gigi dia membuka kimononya, lalu mandi. Di tingkat dua, persis di atas kamar mandi di mana dia tengah membersihkan diri, ada sebuah lobang kecil. Di lobang itu ada sebuah mata yang tengah melotot menatap ke bawah. Ke tubuh Michiko yang tak tertutup kain sehelai benangpun.

Tubuh orang yang mengintip itu, seorang pelayan hotel yang berusia setengah baya, menggigil melihat pemandangan di bawah sana. Melihat pinggang yang ramping. Pinggul yang besar dan dada yang ranum membusung. Semuanya tanpa penutup. Meski agak terlambat mengetahui, Michiko ternyata punya instink yang cukup tajam. Dia merasakan seperti tengah diintip orang. Sambil tetap bersiram, dia melirik kiri dan kanan. Dinding kamar mandi itu dari beton. Satu-satunya kemungkinan orang mengintip adalah dari atas. Dia menyauk air. Kemudian menyiramkan ke lehernya. Dalam posisi demikian dia menengadah. Suatu gerakan yang tak kentara sama sekali. Dia segera dapat menangkap bahwa di loteng ada sebuah lobang kecil. Hotel brengsek, di mana-mana hotel brengsek sama saja. Ada lobang tempat mengintip orang tidur atau mengintip orang mandi. Michiko meletakkan gayung ditangannya ke pinggir bak mandi. Kemudian tangannya membetulkan rambut.

Di rambutnya ada sepit rambut yang sebenarnya adalah sebuah samurai kecil. Sepit rambut itu dahulu pernah menyelamatkan dirinya ketika bersama Salma saat akan diperkosa pelaut di sebuah hotel di Singapura. Pengintip di atas melihat gadis itu membetulkan rambutnya. Melihat gadis telanjang itu membuka sepit rambut. Tiba-tiba gadis itu seperti menggeliat.

Dan tiba-tiba tukang intip itu meraung. Sebuah benda yang amat runcing menusuk mata kanannya yang berada di lobang kecil itu. Dia tersentak bangun. Hulu samurai kecil itu tak muat di lobang tersebut. Karena dia terlonjak bangkit, samurai itu lepas dan jatuh kembali ke bawah. Michiko menangkap sepit rambutnya itu. Membersihkannya. Dan dengan tenang dia melanjutkan mandinya.

Di tingkat dua, pelayan hotel yang mengintip itu meraung-raung. Dia berlari keluar dari kamar di mana dia mengintip. Tapi tiba di tangga menuju ke bawah, dia tak dapat menguasai dirinya lagi. Matanya pecah dan mengeluarkan darah yang membasahi mukanya. Tubuhnya jatuh bergulingan di tangga. Tiba di bawah, dia pingsan. Teman-temannya berlarian. Dan melihat wajah lelaki itu berlumur darah.

Mereka tadi mendengar lelaki itu berteriak dari atas sana. Dua orang lalu berlari ke atas dengan parang di tangan. Apakah ada perampok di atas? Mereka membuka pintu salah satu kamar. Ada darah menitik. Tapi tak ada siapa-siapa. Lobang itu tak kelihatan. Sebab tertutup oleh tikar. Mereka memeriksa setiap sudut kamar. Namun tak berhasil menemukan apa-apa.

Mereka semua sebenarnya tahu bahwa hampir di tiap kamar di lantai dua itu ada lobang yang bisa mengintip ke bawah. Lobang itu ditutup dengan tikar. Tapi sampai saat ini mereka tak menduga sama sekali bahwa mata teman mereka itu kena hantam samurai oleh orang yang berada di kamar mandi di bawah sana. Mana mungkin mereka bisa menduga. Lelaki itu segera dibawa ke rumah sakit. Sorenya ketika dia sadar, teman- temannya bertanya apa sebenarnya yang terjadi.

Namun lelaki itu tak mau menceritakan hal yang sesungguhnya, malu dia. Sebenarnya dia tak tahu apa yang memecahkan bola matanya. Dia benar-benar tak tahu. Dia masih ingat dengan pasti. Waktu itu gadis telanjang yang dia intip tersebut sedang membetulkan rambutnya dan menggeliat. Saat itulah sebuah benda menerkam matanya. Dia tak pernah menyangka, bahwa gadis itu bukan menggeliat. Melainkan melemparkan sepit rambutnya ke atas, ke matanya yang sedang mengintip.

Michiko yang mendengar ribut-ribut itu tak mau perduli. Dia menyelesaikan mandinya. Ketika dia melihat lagi ke atas, lobang itu telah tertutup. Kemudian dia memakai kimono. Lalu mengambil samurai yang diletakkan di atas meja, memindahkannya ke bawah bantal. Kini dia makin tak percaya pada setiap orang.

Di Singapura, di kapal terbang, kini di hotel di Jakarta, bahkan di negerinya sendiri, di Jepang sana, banyak saja orang yang berniat jahat padanya. Memang tak mudah jadi perempuan cantik. Kemana-mana selalu jadi pusat perhatian. Dimana-mana selalu menerbitkan selera lelaki. Apalagi kini dia sendirian. Dengan menghela nafas berat dia lalu membaringkan dirinya di tempat tidur. Lelah menyerang sangat cepat. Karena lelah yang amat sangat, dia tertidur dengan pulas.

Sedan Chevrolet hitam yang ditompangi babah gemuk tadi memasuki pekarangan hotel itu. Di dalamnya ada si babah gemuk dan seorang lelaki lain yang bertubuh besar. Nampaknya orang Indonesia. Orang tinggi besar dengan otot-otot yang menyembul dari balik lengan baju pendeknya itu turun. Kemudian dengan sikap hormat membukakan pintu mobil. Si gendut yang pagi tadi sepesawat dengan Michiko, turun dengan sikap seperti tuan besar. Didahului oleh tuan besar itu, mereka melangkah memasuki hotel, di sambut seorang pegawai hotel dengan sikap hormat.

”Ingin menginap, Tuan?”

”Tidak. Saya mencali seolang ponakan. Seolang gadis belbaju melah jambu yang tadi balu datang dari Singapula…”

”Oo, gadis cantik itu?” “Ya, dia!”

“Nona Michiko maksud tuan?”

“Ya, Mociki, eh, Micoki, eh ya, Michiko..” ujar gendut itu kepleset-peleset saking nafsunya. “Ada, ada!. Dia di kamar empat. Mari saya tunjukkan…” ”Tak usah. Telimakasih atas ketelanganmu”

Cina gemuk itu meletakkan selembar uang. Pelayan itu dengan membungkuk-bungkuk mengambil uang itu. Banyak untuk ukurannya sebagai pelayan hotel.

”Husein, ambil dia…!”

Perintah si babah sambil kembali ke mobilnya. Husein, si lelaki berotot besar itu mengangguk dan berjalan di gang hotel. Babah itu kembali ke mobil Chevrolet hitamnya. Duduk di kursi belakang dan mengeluarkan pipa. Mengisinya dengan tembakau. Kemudian membakarnya dengan geretan merek Ronson yang bertutup emas. Mengisap asapnya dengan perasaan nikmat. Betapa takkan nikmat, tembakau merek Warning yang dia isap dicampur dengan heroin. Itu dia perlukan karena akan menghadapi pekerjaan berat dengan ”ponakan” yang dia sebutkan tadi.

Terbayang lagi betapa pengalamannya pagi tadi di pesawat. Dia sempat melihat bukit dada gadis itu lewat celah bajunya yang digunting seperti huruf V. Dia sempat meremas pinggul yang besar itu tatkala dia lewat di depannya ketika balik dari WC. Bukan main. Mmmmmhh…..! Lelaki besar bernama Husein itu sampai di depan pintu kamar nomor empat.

Sepertinya dia adalah lelaki yang sopan. Sebelum masuk dia mengetuk dua kali perlahan. Tak ada jawaban. Dia memandang kiri dan kanan, lengang. Tak ada orang. Nampaknya semua penghuni kamar hotel ini pada tidur sore atau keluar ngeluyur. Dia ketuk lagi tiga kali. Agak keras. Namun yang di dalam, Michiko, benar- benar tak mendengar ketukan itu. Karena amat lelah, membuat dia benar-benar tak mendengar ”isyarat” adanya bahaya. Dia tidur terlalu lelap. Lelah menyerangnya dengan sangat.

Karena tak ada jawaban, lelaki bernama Husein itu membuka pintu. Terkunci. Tapi dengan sedikit dorongan dengan bahu, kunci pintu itu ambrol. Di kamar segera saja dia melihat sebuah pamandangan yang melumpuhkan seluruh syarafnya. Di tempat tidur, Michiko yang hanya memakai kimono tipis, tidur menelentang dengan kaki agak terbuka. Tak hanya itu, kimononya hanya bertaut sedikit di pinggang. Itupun karena ada tali pengikatnya. Bahagian lain sudah terbuka tak menentu. Buat sesaat si Husein itu tertegak.

Lupa melangkah, lupa menutupkan pintu dan bahkan hampir lupa bernafas. Dia juga lupa bahwa bosnya menantinya di luar sana. Dia diperintah membawa ”ponakan” itu ke mobil dalam keadaan sadar atau tidak. Artinya, kalau tak bisa dibawa baik-baik, pukul saja sampai pingsan. Tapi bagaimana Husein keturunan Indonesia Arab itu akan melaksanakannya? Dia menutupkan pintu. Menguncinya. Kemudian dengan peluh menitik di jidat, dengan kaki menggigil, dia mendekati tempat tidur. Malang benar gadis itu.

Tubuhnya yang sebenarnya tak boleh dilihat orang lain, kini terbuka. Husein berjongkok di sisi pembaringan. Mengelus betis Michiko. Mengelus pahanya. Tangannya menggigil. Hatinya menggigil. Dia cium kaki gadis itu, kemudian bangkit. Membuka pakaiannya sendiri. Sampai detik itu, Michiko masih tidur dengan amat nyenyak. Tidur dengan amat lelah. Husein tak membuang waktu sedikitpun. Michiko dalam mimpinya merasa berlari di tanjakan yang amat terjal. Nafasnya sesak. Mendaki dengan beban yang amat berat. Nafasnya makin sesak.

Beban itu rasanya meluncur menutup mulut dan hidungnya. Nafasnya makin sesak. Panas bukan main. Berat bukan main. Akhirnya dia baru terbangun tatkala lelaki yang tubuhnya dipenuhi bulu itu hampir saja melaksanakan niat jahanamnya. Hampir saja!!. Saat tersentak bangun gadis itu mendapatkan dirinya sudah tertekan di bawah seekor gorilla dengan tubuh berbulu lebat.

”Diamlah manis. Diamlah…kau akan kuberi kesenangan….” lelaki itu berbisik penuh nafsu. Michiko tak dapat bergerak. Kedua tangannya ditekankan ke kasur oleh lelaki itu. Tubuhnya terhimpit bulat-bulat tanpa tutup di bawah tubuh lelaki itu. Tiba-tiba Michiko menangis. Dia menangis dengan ketakutan yang amat dahsyat. Betapa hebatnyapun dia memainkan samurai, betapa hebatnya pun dia berkelahi melawan lelaki, namun dalam keadaan seperti itu, dimana kehormatannya akan direnggut orang, dia kembali pada fitrahnya yang asli.

Yaitu fitrah sebagai seorang perempuan yang lengkap dengan kelemahan-kelemahannya. Senjatanya hanya tangis! Dia menangis, tatkala menyadari bahwa tak ada kesempatan sama sekali baginya untuk menyelamatkan kehormatannya. Tapi di saat yang sangat kritis itu. Pintu ditendang dari luar. Begitu pintu ternganga, di ambang pintu berdiri si babah gemuk. ”Huseinn…! Jahanam lu! We jitak lu punye pale!”

Babah itu memaki dengan amarah yang tak tanggung-tanggung. Dia sudah kelaparan menanti di sedan di luar hotel. Bermacam bayangan yang menggairahkan seperti sudah bisa dia nikmati atas diri gadis Jepang cantik bertubuh montok itu. Tapi kok lama banget, pikirnya. Lama benar Husein keparat itu. Dia melihat jam. Heh, kelewatan. Tapi dia masih menanti beberapa saat lagi. Namun sudah empat sampai tujuh menit saat dia menanti, si Husein itu tak juga kelihatan batang hidungnya. Jangan-jangan dia ”makan” duluan, pikirnya sambil membuka pintu mobil. Dia berjalan dengan perut buncitnya ke hotel.

”Kamal belapa ponakan saya itu tadi?” dia bertanya ke resepsionis. ”Kamar nomor empat…”

Tanpa menunggu babah itu segera ke sana. Di depan pintu dia berhenti sejenak. mendengar nafas dan tangis. Kemudian kakinya yang besar terangkat. Gedubrakk!!! Tendangannya menghantam pintu sampai terbuka lebar. Si Husein yang sudah ”siap tempur” tiba-tiba terlompat ke bawah.

Babah itu sejenak terkesima. Pemandangan di tempat tidur, tubuh Michiko yang tertelentang tanpa apa- apa, membuat jantungnya berhenti berdetak. Namun Michiko yang merasa dirinya bebas, segera menyambar kimononya. Saat itu si babah mengalihkan pandangannya ke Husein.

”Husseiinnn! Lu kulang ajal. Kulang ajal betuuul! Babi, anjing, monyet, beluk lu!” Sumpah serapah incek gemuk itu berhamburan. Husein tertunduk layu. Layu dari atas sampai ke bawah.

Babah itu maju lalu plak, pluk, plak….plak! tangannya menampar Husein tiga kali. Husein tak bisa cakap. Kepalanya tertunduk. Atas bawah. Tangannya melindungi miliknya yang berada di bawah. Saat itulah mereka berdua melihat gadis Jepang itu turun dari tempat tidur. Babah gemuk itu menoleh. Husein juga menoleh.

”Ah, kau diganggunya, Dik?”

Buset..! Babah gemuk itu memanggil Michiko dengan sebutan ”dik”. Benar-benar selangit!!

Michiko tak mengacuhkannya. Matanya berbinar berang. Menatap tajam pada lelaki besar yang masih telanjang itu.

”Saya, eh, we sudah tempiling dia. We sudah tempiling tiga kali. Mau lihat! Nih….” dan babah gemuk itu maju lagi ke dekat Husein.

Tangannya bekerja lagi. Puk, pak, puk…..! Tiga kali tempiling mendarat dengan telak.Husein tertunduk kuyu. ”Nah, dia telah ku tempiling, Dik…” kata babah itu sambil nyengir.

Michiko memandang dengan jijik dan marah luar biasa. Perlahan dia mencabut samurai yang kini telah dia pegang di tangan kiri. Babah yang sudah siap lagi untuk bicara, jadi terdiam. Husein juga menatap. Tapi dia tak kaget. Dia hanya menatap heran pada perempuan cantik yang tadi hampir saja memuaskan nafsunya itu. Heran melihat gadis secantik itu memegang senjata yang dulu sering dipergunakan serdadu Jepang.

”Jahanam, kalian…” gadis itu mendesis tajam.

Lalu samurainya bekerja. Amat cepat. Samurai itu melukai dada Husein. Michiko memang tak segera membunuhnya. Dia hanya ingin memberi pelajaran pada lelaki itu. Husein kaget. Menatap ke dadanya yang luka. Meski tak dalam, namun darah merembes. Dia usap dadanya. Ternyata dia lelaki yang tak mengenal takut. ”Ha, bisa juga kau memainkan senjata itu nona….” katanya sambil tersenyum tanpa memperdulikan

darah di dadanya. Babah gemuk itu sebenarnya sudah agak takut. Tapi karena tukang pukul nya itu tak takut, dia juga jadi berani.”Sudahlah, Dik. Jangan main-main palang panjang, eh, kapak, eh, jangan main-main samulai. Nanti adik luka. Mali sini abang simpan…” kata apek gemuk itu sambil maju mengulurkan tangan pada Michiko. Maksudnya membujuk agar samurai itu diserahkan padanya. Namun sebuah tendangan menantinya.

Tendangan yang telak dari jurus karate yang telah mahir dipelajari Michiko. Tendangan itu mendarat di kerampang Cina gemuk itu. Babah gemuk itu terhenti. Nafasnya tertahan. Matanya juling. Alat kesenangannya, yang biasa dia buat untuk bersenang-senang, terasa sangat sakit. Rasa akan pecah dihantam tendangan gadis itu. Dengan melenguh, dia jatuh berlutut di lantai. Husein jadi kaget juga melihat makan kaki gadis itu.

Dia segera membantu bosnya. Dengan masih bertelanjang, dia menyergap gadis itu dari samping. Namun Michiko sudah siap. Meski dia tak bisa segera menggunakan samurai, pukulan tangan kirinya mendarat di jidat lelaki itu. Lelaki itu terhenti. Jidatnya bengkak sebesar telur ayam. Namun dia tak merasa sakit. Yang dirasakannya hanya sedikit pening dan kaget. Dia memang lelaki yang alot. Tak merasakan pukulan.

Tapi waktu dia berhenti menyerang itu sudah cukup bagi Michiko untuk mempergunakan samurai di tangan kanannya. Cress! cresss!, dua sabetan cepat. Pada sabetan pertama telinga kanan Husein bercerai dari kepalanya. Sebelum Husein sempat berteriak karena sakit, sabetan kedua menghantam perutnya. Perutnya menganga. Husein kali ini menatap dengan wajah pucat pada gadis itu. Gadis itu juga menatapnya. Mukanya masih tetap merah. Husein memang tangguh.

Dengan tangan kiri memegang perutnya yang belah, dia maju menyerang. Dia sebenarnya tukang pukul yang ditakuti di Jakarta saat itu. Namun samurai Michiko menantinya lagi. Sebuah sabetan menghantam kepalanya! Cress! Kulit kepala lelaki itu berikut rambutnya seluas telapak tangan terbang! Demikian tajam dan demikian cepatnya. Darah meleleh. Husein berhenti lagi. Sedepa di depannya, Michiko tegak lagi menanti! Husein maju. Kembali samurai Michiko bekerja. Cress! Dan kali ini arahnya adalah sebuah benda di bahagian depan bawah. Husein terhenti. Kali ini dia tak bisa untuk tidak meraung. Tangannya segera mendekap selangkangnya. Di sana, tadi ada sesuatu yang hampir menusuk-nusuk tubuh Michiko. Dan kini sesuatu itu putus sudah! Tercampak di lantai! Lelaki itu meraung-raung. Membangunkan orang di hotel. Mereka berlarian ke kamar nomor empat itu. Ketika sampai di sana, pintu terbuka. Seorang lelaki Cina bertubuh gemuk, merangkak ke luar dengan wajah meringis menahan sakit dan wajah pucat.

”Ada apa, ncek?”

”Ada sakit. Banyak sakit…” jawab incek gemuk itu sambil merangkak terus meninggalkan kamar maut

itu.

Dia sebenarnya ingin berlari kencang. Tapi alat kesenangannya amat sakit. Menyebabkan dia tak bisa

berdiri. Tapi dia tak berani bertahan terus di kamar perempuan tukang bantai itu. Dia harus pergi. Kesempatan itu terbuka tatkala perhatian Michiko tengah terarah sepenuhnya pada Husein. Dia cepat merangkak keluar. Michiko memang tak melihatnya. Di kamar, Husein masih meraung-raung. Namun Michiko tak memperdulikannya.

Samurainya kembali bekerja. Kedua tangan lelaki itu putus hingga bahu! Lelaki itu bergulingan di lantai. Bermandi darah dan seperti dijagal. Dia belum mati. Orang yang melihat ke dalam jadi tersurut dengan wajah pucat pasi. Kemudian menghindar dari sana. Takut dan ngeri. Michiko mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian dengan tenang dia melangkah ke luar. Namun langkahnya terhenti tatkala mendengar suara Husein menghiba-hiba.

“Tolong saya nona jangan biarkan saya menderita, bunuhlah saya…”Michiko menatapnya dengan pandangan dingin.

“Jika tadi kau berhasil menodai saya, maka saya akan menderita seumur hidup. Itu tak pernah terpikirkan oleh mu bukan? engkau takkan mati. Setidaknya engkau tidak akan mati sehari dua hari ini, engkau akan sangat menderita itu perlu bagimu sebagai hukuman atas apa yang kau perbuat pada diriku. Atas apa yang kau perbuat atas perempuan-perempuan lain, saya yakin sudah banyak perempuan yang sudah engkau nodai. Nah, kini kau rasakan balasannya….”

Sehabis berkata begitu Michiko melangkah keluar kamar itu. Petugas-petugas hotel tidak ada yang berani berkutik tatkala dia lewat, penghuni hotel yang lain menatap dengan diam. Di kamar Husen merintih- rintih, makin lama suaranya makin lemah. Akhirnya dia pingsan, terlalu banyak darah yang keluar dari perut, bahu dan selangkangannya. Tapi michiko berkata benar kalau lelaki ini cukup tangguh. Dia tak segara mati.

Dia juga tidak mati ketika ambulance datang membawanya kerumah sakit. Dokter dan perawat menggeleng melihat hasil pembantaian itu,mereka segera menebak bahwa benda yang dipakai untuk mencencang tubuh lelaki ini adalah sebuah benda yang sangat tajam, tajam sekali! itu jelas terlihat pada bekas luka lain ditubuhnya.

“Bunuh saja saya dokter….bunuh saja saya, jangan biarkan saya hidup..”Mohon husen tatkala malamnya dia sadarkan diri. Namun mana ada dokter yang mau membunuh pasiennya. Meski atas permintaan pasien sendiri, justru dokter memberi dia injeksi dengan obat tidur.

Sekeluar dari hotel Michiko menyetop sebuah taksi ”Kemana Nona?” tanya sopir taksi yang ternyata orang cina. Michiko tertegun dia segera ingat babah gemuk itu, dia tak jadi naik taksi itu. Dia justru melambai taksi lain yang ada yang parkir tak jauh dari pintu. Sopirnya orang Indonesia, sopir taksi cina itu menggerutu panjang pendek.

“Kemana nona?”

“Antarkan saya kehotel yang paling dekat dari sini…”

“Silahkan naik non….” Kata sopir itu dengan ramah. Hati Michiko jadi tentram mendengar suara sopir yang bersahabat itu. Michiko membuka pintu, kemudian naik.

“Baru datang di kota ini nona?” tanya sopir tatkala taksi mulai berjalan “Ya..” “Nona datang dari Jepang?”

“Mmm..” “Maaf, nona sedikitpun tidak mirip orang Jepang, Nona lebih mirip orang Sunda Gadisnya cantik-cantik. Meski tak secantik nona, nona bisa ditebak orang Jepang kalau mendengar aksen bicara nya…” Michiko tidak memberi komentar atas ucapan sopir itu. Dia memandang keluar, rasanya sudah lama dia berada di atas taksi ini.

“Masih jauh?” tanyanya. “Kita sudah sampai nona…” jawab sopir itu sopan sambil membelokkan mobilnya, Michiko sempat membaca tulisan “Hotel” di depan, hanya dia tidak sempat membaca nama hotel, karena terhalang daun pohon Flamboyan yang tumbuh rindang, mobil itu berhenti di samping hotel. Sopir turun dan membuka pintu, Michiko turun dan mengucapkan terima kasih.

“Lewat samping sini aja nona, lebih dekat kelobi..” ujar sopir itu. Michiko menuruti saran sopir itu. Dia masuk lewat samping hotel itu, begitu dia masuk, pintu di belakangnya ditutupkan. Dan kini dia berada di sebuah ruangan yang besar, Michiko menoleh kebelakang. Sopir itu tegak dengan sopan, namun jauh berbeda. Walau masih terlihat sopan tapi wajahnya tersenyum licik. Dia mendengar sesuatu disampingnya. Ketika dia menoleh, alangkah kagetnya dia melihat ada babah gemuk itu. Ya, babah gemuk yang sepesawat dengannya, yang menyuruh husen menyergapnya di hotel Angkasa.

Kini, babah gemuk Cina yang tadi dia tendang kerampangnya itu duduk di sebuah kursi dengan senyum sumbangnya. Di sisinya tegak dua orang lelaki, yang satu bertubuh besar seperti Husen… yang satunya bertubuh kurus tinggi, di belakang nya berdiri sopir yang kelihatan sopan itu.

Michiko masuk perangkap! Ya, itulah yang terjadi. Dia menyesal, mengapa tidak naik taksi yang disopiri Cina tadi. Padahal, kalau dia naik taksi itupun kejadiannya tetap sama. Kedua sopir taksi itu memang sudah “dipasang”oleh sibabah itu untuk menjebaknya. Apek gendut itu ternyata memimpin sebuah sindikat kejahatan di Jakarta. Ada beberapa sindikat saat itu di Jakarta, diantara nya yang terkenal adalah kelompok “Ular sanca”,”Tongkat Mas” dan “Kramat Sakti”

Bidang ”usaha” mereka mulai dari merampok, menodong, menyelundupkan candu ke Singapura, sampai menjual perempuan atau gadis-gadis dari berbagai kota di Jawa dan Sulawesi. Gadis-gadis itu dijual kerumah- rumah bordir di Singapura atau pun Jakarta sendiri. Musuh berbagai sindikat itu adalah “Sindikat178″, sebuah sindikat yang anggotanya terdiri dari eks pejuang 17-08-45. Mereka dengan gigih memerangi sindikat bandit- bandit Jakarta, yang mengotori perjuangan mereka semasa Revolusi. Si babah adalah salah satu pemimpin dari tiga pimpinan “Sindikat Kramat Sakti” Komplotan yang ber markas di sebuah gedung mewah, tapi sangat rahasia yang ada di kramat.

Dia mempunya anak buah di berbagai posisi, mulai dari pegawai, sampai ketukang copet dan sopir taksi. Kini Michiko berada di salah satu markas dari kelompok Kramat sakti itu. Michiko menatap tajam si babah gemuk itu, kalau ada kesempatan, maka yang akan di bunuh nya pertama kali adalah sibabah itu

Sementara si babah gemuk itu berkeinginan pertama adalah menikmati tubuh gadis didepannya.! Sudah sejak dari pesawat pagi tadi hal itu dia khayalkan. Kini hari sudah malam dan malam hari segala sesuatu bisa diatur. Michiko masih memegang samurai ditangan kiri. Dia berpura-pura bersisir, dan dengan cepat dia mencabut jepit rambut yang berupa samurai kecil itu.

Dengan penuh kebencian,dengan sekuat tenaga pada kesempatan pertama samurai kecil itu dia ayunkan kearah leher si gemuk itu.Si gendut benar-benar tidak tahu bahaya yang mengancam jiwanya. Dia masih cengar-cengir menatap dengan napsu pada michiko. Saat itu samurai itu bergerak kearah lehernya, tiba-tiba lelaki kurus yang tegak disampingnya bergerak cepat, ternyata dia mempunyai penglihatan yang tajam.

Dia melihat sebuah benda yang seperti terbang kearah tenggorokan bos nya, dan tangan nya bergerak dia berhasil memukul samurai kecil itu. Samurai itu terpental karena angin kibasan tangannya, tertancap di pintu! Michiko terkejut si babah juga terkejut, mukanya berubah pucat dan meraba lehernya.

Leher gemuk yang hampir saja disikat samurai kecil itu. Dia menatap ke samurai yang tertancap itu. Kemudian beralih ke Michiko. Bergantian menatap samurai dan Michiko. Sambil tangannya masih meraba lehernya.

”Perempuan sundal. Kau akan rasakan akibat perbuatanmu ini…” desis Babah itu sambil menyeringai

buruk.

Michiko tak memperhatikannya. Dia justru tengah memperhatikan lelaki kurus berwajah pucat itu.

Semakin diperhatikannya, semakin jelas olehnya bahwa lelaki itu sebenarnya adalah seorang Cina. Tak diketahuinya karena kulitnya hitam. Sama seperti orang melayu.

Tapi melihat matanya yang sipit, tak ayal lagi, sikurus ini adalah Cina tulen. Selain dia Cina tulen, nampaknya dia juga memiliki ilmu silat yang tangguh. Itu terbukti dari kibasan tangannya yang berhasil memukul samurai kecilnya tadi. Michiko pernah mendengar dan membaca kehebatan pesilat-pesilat Cina yang mampu melompati pagar atau tembok setinggi atap.

Yang mampu memukul roboh lawan dari jarak dua atau tiga meter dengan mempergunakan ”tenaga dalam”. Dia tak yakin bahwa ada orang Cina yang memiliki ilmu sehebat seperti di dalam cerita-cerita silat itu. Namun apakah yang telah dilakukan Cina kurus jangkung itu sebentar ini? Bukankah hanya dengan kibasan tangannya saja dia telah membelokkan arah samurai kecilnya? Michiko tak sempat memikirkan terlalu banyak. Babah gemuk itu telah memberi isyarat kepada lelaki bertubuh besar yang tegak di sisi kanannya. ”Siapa di antara kalian yang berhasil menelanjangi perempuan itu, dia akan mendapat giliran setelah aku….” babah itu berkata dengan kurang ajarnya.

Michiko ingin muntah mendengar ucapan jorok itu. Lelaki besar itu maju. Nampaknya dia telah diberi tahu bahwa gadis ini berbahaya. Begitu maju, tangannya telah memegang sebuah belati. Dengan gaya seorang yang amat ahli, dia mulai maju dengan mengayun-ayunkan pisau di depan tubuhnya yang agak membungkuk ke depan.

Michiko masih tetap tegak di tempatnya. Tak bergerak sedikitpun. Dia telah bertekad, kalau dia tak bisa melawan orang-orang ini, maka dia akan menyudahi nyawanya sendiri. Dia akan bunuh diri sebelum dinodai. Tapi dia bersumpah akan membunuh babah gemuk itu sebelum dia bunuh diri. Dia benar-benar berharap dapat melaksanakan sumpahnya itu.

Lelaki itu tiba-tiba menyerang. Pisaunya bergoyang cepat sekali di depan dada Michiko. Michiko bukannya tak tahu itu adalah sebuah tipuan. Dia tetap diam. Dan benar, kaki lelaki itu ternyata degan cepat menyapu kaki Michiko. Maksudnya ingin agar gadis itu terjatuh. Dengan demikian bisa dia tindih. Namun Michiko adalah Michiko. Dia telah belajar cukup banyak dari Zato Ichi. Dia telah belajar banyak dari Tokugawa. Dan dia telah belajar banyak dari Kenji. Teman Si Bungsu dan abang Hanako. Bukankah dia tinggal bersama Hanako lebih kurang setahun? Selama itu pula dia belajar karate dari Kenji.

Kini, Michiko adalah seorang pemegang sabuk hitam karate. Sistem pelajaran yang dipakai oleh Kenji untuk membekali Michiko adalah sistem memintas. Hingga memungkinkan gadis itu memiliki bekal yang lebih daripada cukup. Ketika kaki lelaki besar itu menyapu kakinya, dia justru memajukan kakinya selangkah ke depan. Dan serentak dengan itu tangan kanannya terayun dalam bentuk sebuah pukulan yang telak. Prak! Pukulannya mendarat di hidung lelaki besar itu. Lelaki itu seperti tersentak. Kepalanya seperti ditarik ke belakang dan hidungnya bocor. Darah segar mengalir dari hidung yang pecah itu. Bukan hanya si gendut, tapi lelaki Cina kurus kerempeng yang tadi memukul samurai kecil Michiko itupun jadi kaget. Serangan gadis itu demikian cepat dan demikian telaknya.

Lelaki besar itu menggeram. Tangannya yang tak berpisau menghapus darah yang meleleh di hidungnya. Sopir taksi tadipun, yang saat itu tetap tegak di pintu, jadi kaget. Namun mereka adalah bandit-bandit ibukota yang tak mudah gentar oleh bahaya. Apalagi kalau hanya terhadap seorang gadis, cantik pula. Bos mereka telah menjanjikan bahwa siapa yang berhasil meringkus gadis itu akan mendapat giliran pertama menikmati tubuh gadis itu, setelah si bos. Pernyataan demikian membuat mereka terangsang dan bersemangat untuk menundukkan Michiko. Lelaki berpisau itu maju lagi. Kini dengan lebih berhati-hati. Dia telah kecolongan. Michiko masih belum mau mencabut samurainya. Dia ingin menghemat tenaga dan kecepatannya. Lawannya yang dia taksir berbahaya adalah lelaki Cina kurus tinggi itu. Maka dia harus menyimpan kepandaian bersamurainya untuk menghadapi lawannya yang kurus itu.

Kalau kini dia menggunakan samurai, dia khawatir permainan samurainya bisa dibaca oleh si kurus. Itu sudah tentu membahayakan. Karena itu, ketika si besar itu menyerang, dia masih mengandalkan ilmu karatenya. Lelaki itu maju dengan sebuah tusukan pisau yang cepat ke rusuk Michiko. Michiko mengelak dengan mengalihkan tegak kakinya. Lelaki itu tahu. Dia menyabetkan pisaunya ke kanan, hampir saja menebas perut Michiko. Untung gadis ini juga cepat melompat mundur. Tegaknya justru mendekat ke dekat sopir taksi tadi. Sopir itu menatap heran dan kagum. Dan saat itulah Michiko mencabut samurai. Sopir taksi itu masih belum sadar akan bahaya yang mengintainya. Dia menyangka bahwa gadis itu hanya sekedar bermain tongkat. Michiko menanti si besar berpisau itu menyerang kembali. Ketika lelaki itu kembali menyerang dengan menyabetkan pisaunya, Michiko seperti akan menangkis dengan samurai. Namun dia sama sekali tidak menangkis serangan pisau itu. Melainkan mundur selangkah lagi. Dan samurainya justru membabat ke belakang! Ke arah sopir taksi yang masih tegak di dekat pintu! Cress! Samurai itu memakan bahunya. Sopir taksi yang sok sopan itu benar-benar tak pernah menduga bahwa dirinya akan dimakan senjata gadis cantik itu. Dia sebenarnya seorang pesilat aliran Cimande. Begitu bahunya termakan samurai, dia segera memasang

kuda-kuda Cimande. Tangannya bergerak seperti akan bersilat.

Tapi apa hendak dikata, gerakannya itu sudah tinggal sekedar lagak saja. Tak ada gunanya. Bahunya telah dibabat samurai yang alangkah tajamnya. Mata samurai itu menetak dan memutus tulang bahunya. Terus ke bawah membelah jantungnya. Demikian tajamnya samurai itu. Tubuh sopir itu belah dan mati sebelum jatuh ke lantai! Sekali lagi babah gemuk itu jadi pucat dan sekali lagi Cina kurus tinggi itu dibuat kaget bukan main.

Samurai Michiko hanya sekejap berada di luar sarangnya. Tak sampai lima hitungan cepat. Begitu dicabut, dia melangkah ke belakang, samurainya berkelebat, membabat bahu sopir itu dan snap…masuk kembali ke sarungnya di tangan kiri Michiko! Kini dia tegak dengan diam. Lelaki besar berpisau itu juga tegak. Kaget bercampur ngeri melihat ketenangan gadis itu membunuh manusia. Mereka bertatapan. Lelaki besar itu, juga seorang bandit yang sering menghantam mangsanya dengan kepalan atau dengan pisau, kali ini mulai hati-hati benar. Dia menggertak lagi. Michiko masih diam. Kakinya menendang cepat dalam suatu tendangan Silat Mataram. Tendangan melengkung dari kanan ke kiri. Michiko bergerak cepat, kakinya melesak maju antara kaki kanan yang menendang itu dengan kaki kiri yang tegak sebagai kuda-kuda. Tendangan lelaki itu cukup cepat. Namun jauh lebih cepat lagi tendangan kaki Michiko. Tendangannya menghajar selangkang lelaki itu, menyebabkan lelaki itu tersurut dua langkah. Dia meringis menahan sakit. 

Babah gemuk itu mengerutkan kening. Dia seperti dapat merasakan sakit yang diderita anak buahnya itu. Bukankah dia juga kena tendang selangkangnya di hotel Angkasa tadi oleh Michiko? Bukankah dia terpaksa harus merangkak untuk meninggalkan hotel itu? Kini anak buahnya kena tendangan seperti itu pula. Dia dapat mengerti betapa sengsaranya anak buahnya itu. Tapi lelaki besar itu memang agak tangguh. Hanya sebentar dia mengerang dan mengerutkan kening. Saat berikutnya dia sudah tegak. Kali ini, dalam jarak empat depa, dia tak lagi berusaha untuk maju. Tapi dengan ayunan yang amat cepat, dia melemparkan pisau itu ke dada Michiko.

Lelaki itu juga dikenal sebagai pelempar pisau yang bukan main mahirnya. Tadi dia memang tak berniat melemparkan pisau itu pada Michiko. Sebab lemparan pisaunya berarti maut. Dia tak ingin membunuh gadis itu. Sebab selain tak dibolehkan bosnya, dia sendiri ingin menikmati tubuh gadis itu terlebih dahulu. Tubuh yang montok dan menggiurkan. Tapi kini, setelah gadis itu menghantam selangkangnya, dia tak perduli lagi dengan kemontokan itu. Dia berniat membunuh gadis itu. Pisaunya melayang cepat secepat kilat. Namun Michiko juga bergerak cepat. Samurainya tercabut. Membabat di udara. Trangg!

Terdengar suara besi beradu. Dan pisau itu berobah arah. Dihantam dengan telak dan tepat oleh samurai Michiko. Arahnya justru melaju cepat sekali ke arah si gemuk! Kembali bahaya mengamcamnya! Gerakan itu juga telah diperhitungkan dengan cermat oleh Michiko. Tapi kembali tangan Cina kurus itu bergerak. Kembali pisau yang meluncur cepat berobah arah. Jatuh ke lantai dengan menimbulkan suara ribut!

”Hm. Bukan main. Cantik, cepat dan kejam!”

Untuk pertama kalinya Cina kurus tinggi itu bersuara. Suaranya seperti keluar dari sebuah goa. Bergema mengerikan. Matanya yang kuning menatap pada Michiko. Tapi Michiko tak sempat terkejut atas kehebatan Cina itu, sebab si besar yang pisaunya telah dilemparkannya itu kembali menyerang. Dia menyerang dengan melompati tubuh Michiko yang saat itu tengah menghadap pada si kurus. Sungguh malang orang ini. Dia melompati mautnya sendiri. Michiko bukannya kanak-kanak. Bukan pula orang yang mudah merasa takut dan gentar menghadapi serangan bandit seperti mereka. Selagi perkelahian satu lawan satu, maka Michiko tak usah khawatir.

Lelaki itu masih melompat, tubuhnya tengah melayang ketika Michiko menggeser tegak. Dia melayang setengah hasta di sisinya. Saat itu samurai Michiko kembali bekerja. Samurainya memancung dari atas ke bawah, persis di pinggang si lelaki. Tubuh lelaki itu masih melayang sedepa lagi. Baru akhirnya menubruk seperangkat meja dan kursi. Jatuh dan mati dengan pinggang hampir putus. Tapi saat itu pula tubuh Michiko terlambung. Tubuhnya menerpa dinding. Kepalanya berdenyut, untung samurai masih di tangannya. Ternyata ketika dia melangkah menghindarkan tubrukan tadi dia tegak membelakangi si kurus.

Ketika dia menghantam lelaki yang menubruknya itu dengan samurai, si kurus maju pula menghantam tubuh Michiko. Pukulannya hebat. Tubuh Michiko sampai terpental menubruk dinding. Michiko terduduk di lantai dengan punggung bersandar ke dinding. Dia menggelengkan kepala. Berusaha menghilangkan pening, menatap pada Cina kurus itu. Cina itu tegak tiga depa di depannya dengan kaki terpentang. Menatap ke bawah, ke arah Michiko dengan mata kuningnya yang berkilat buas.

”Tegaklah, Nona. Saya akan tunjukkan padamu bagaimana seorang perempuan harus menanggalkan pakaiannya satu demi satu secara baik.”

Suaranya yang mengerikan itu terdengar bergumam. Michiko menggertakkan gigi. Dia bangkit dan memegang samurainya yang telanjang dengan kukuh di tangan kanan! Cina itu tersenyum. Senyum yang mirip seringai.

”Ya. Tanggalkan pakaiannya satu demi satu, Hok Giam! Saya tadi telah melihat tubuhnya tak berkain sehelai pun di hotel. Ketika Husein akan melahapnya. Tubuhnya bukan main. Ayo tanggalkan, Hok!”

Yang bicara ini adalah si gemuk. Suaranya yang mirip lenguh kerbau itu bergema dari tempatnya duduk. Michiko meludah. Perlahan tangan kirinya memegang bahagian bawah samurainya. Kini hulu samurai dia pegang dengan dua tangan. Dia harus hati-hati. Lawannya amat tangguh. ”Heh, Jepang busuk!. Ingin mencoba kehebatan nenek moyangmu dari daratan Tiongkok?” lelaki kurus yang bernama Hok Giam itu bersuara.

Nadanya seperti ada dendam antara Jepang dengan Tiongkok. Kedua tangannya terangkat tinggi di atas kepala. Kemudian kesepuluh jari-jarinya ditekuk ke bawah. Persis cakar garuda. Aneh. Dalam posisi demikian, kedua tangan terangkat tinggi, berarti membiarkan bahagian seluruh tubuh terbuka untuk diserang. Apalagi diserang dengan senjata panjang. Benar-benar posisi yang berbahaya. Namun Michiko tak berani bergerak sembarangan. Dia tak mengenal lawannya ini kecuali dalam tiga gebrakannya. Gebrakan pertama dan kedua ketika memukul samurai kecil dan pisau. Gebrakan ketiga ketika menghantamnya dari belakang tadi.

Dia menanti. Yang dikhawatirkannya hanya satu, yaitu kalau-kalau Cina kurus ini memang memiliki tenaga dalam yang bisa mencelakakan orang dari jarak jauh. Kalau itu benar, maka binasalah dia. Karenanya dia tetap diam menanti. Dia agak yakin juga, sebab tadi hanya dengan kibasan tangan saja, Cina itu berhasil merubah arah samurai dan luncuran pisau yang akan menghabisi nyawa si gembrot bajingan itu. Tangan Cina itu bergerak. Aneh, Michiko melihat tangan Cina itu seperti bergetar. Jumlah tangannya makin banyak. Lalu Cina itu melangkah maju.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar