Tikam Samurai Si Bungsu Episode 2.3

Tiba-tiba seorang anak muda entah dari mana, entah siapa dia, datang kemari. Dia datang dari negeri yang pernah dijajah dan dirobek-robek oleh balatentara yang kita banggakan.

Dia datang dari negeri yang dimana ratusan ribu rakyat mati menjadi romusha. Kerja paksa di hutan belantara. Dia datang dari negeri dimana balatentara Kemaharajaan Jepang pernah melakukan pembantaian- pembantaian yang tak berperikemanusian.

Dari sanalah dia datang. Dan untuk kalian ketahui, secara kejiwaan saya dapat menebak, anak muda ini datang kemari dengan membawa dendam yang dahsyat.

Dia mencari seseorang di negeri ini. Seseorang dari bangsa kita. Yang barangkali pernah membunuh sanak keluarganya. Dia datang untuk membalas dendam.

Tapi takkala dia tiba di negeri ini, di saat dia sebenarnya bisa membiarkan gadis di penginapan Asakusa itu ternoda oleh tentara Amerika. Atau di saat seorang gadis lain bernama Hannako dan saudara-saudaranya terancam dibunuh oleh Jakuza. Dia bisa saja membiarkannya. Apa guna dia ikut campur? Dia tak kenal dengan mereka.

Tapi ternyata dia tak berlaku masa bodoh. Dia menyimpan dendam yang dia bawa menyebrang laut itu di dalam hatinya. Tapi turun tangan mempertaruhkan keselamatan dan nyawanya untuk membantu gadis itu di Asakusa. Dan dia turun tangan membantu Hannako dan saudara-saudaranya dari ancaman Jakuza.

Anak muda Indonesia ini, yang berasal dari Gunung Sago, dari sebuah kampung kecil bernama situjuh Alang Laweh di Minangkabau, yang dia perbuat di sini hanya dapat disimpulkan dengan satu kalimat : dia telah membela harga diri orang Jepang. Dia membelanya, disaat orang Jepang sendiri berlaku Homo Homonilupus. Orang Jepang yang satu jadi serigala bagi orang Jepang lain.

Saya bisa buktikan itu dengan ketidak acuhan kita terhadap sesama bangsa. Saya berani buktikan itu dengan ribuan manusia yang kini hidup di terowongan bawah tanah. Ribuan kanak-kanak tanpa orang tua. Ribuan orang miskin tanpa tempat berteduh. Sementara kita di atas ini hidup serba berkecukupan.

Saya merasa malu pada diri saya. Kenapa tak sedari dulu saya bela anak ini. Saya telah menerima bayaran cukup tinggi dari seseorang yang tak mau disebutkan nama dan alamatnya.

Uang bayarannya yang tinggi untuk menyelamatkan anak muda itu telah saya kembalikan dua hari yang lalu. Dan kini saya akan membelanya mati-matian. Kalau sampai dia tak bisa saya bebaskan, saya tidak hanya akan berhenti menjadi pengacara, tapi saya akan berhenti jadi orang Jepang! Saya akan harakiri!

Demi Budha, saya akan menepati sumpah saya ini. Membebaskannya atau bunuh diri. Dan kini, tuan- tuan datang kepada saya untuk menyerahkan uang pembayar pembelaan anak muda itu. Seharusnya saya marah, tapi karena tuan-tuan tak tahu, tak apalah.

Bawalah uang itu kembali. Serahkan pada yayasan lain. Bantu anak-anak yang ada dalam terowongan itu. Bantu orang-orang miskin itu. Tentang pembelaan anak muda ini, serahkan pada saya. Seluruh kekayaan saya akan saya pergunakan untuk menyelesaikan perkara ini”

Yasuaki Yamada berhenti. Matanya berkaca-kaca. Namun wajahnya memperlihatkan sikap yang teguh. Ketiga lelaki, yang terdiri dari para Sarjana Universitas Tokyo itu, yang datang menyerahkan bantuan,

duduk terdiam seperti patung mendengarkan ucapan pengacara mashyur tersebut.

“Lalu, apa yang bisa kami perbuat untuk membantu membebaskan anak Indonesia itu?” tanya salah seorang di antara mereka.

Yamada menarik nafas panjang. “Ada satu hal, dan itu adalah soal terbesar yang bisa tuan bantu. Yaitu mencari gadis yang akan diperkosa tentara Amerika itu, yang kemudian dibela oleh Si Bungsu. Sampai saat ini saya belum bisa menemukannya. Jejaknya lenyap seperti salju yang mencair kemudian menguap lagi ke udara. Kita tak tahu siapa namanya. Dimana tinggalnya, nah tolonglah saya mencari gadis ini. Kalau dia bertemu, dan dia berada dipihak kita, maka saya yakin anak muda itu bisa dibebaskan…”

Dan akhirnya soal itulah yang mereka rembukkan. Bagaimana mencari gadis tersebut.

“Apakah tuan telah menanyakan pada pihak Polisi Milter Amerika tentang gadis itu? Mungkin saja mereka mengetahui datanya…”

“Saya sudah tanyakan hal itu. Mereka memang mengakui menahan gadis itu semalam. Lalu dilepas lagi.

Tapi mereka mengatakan tak menanyakan namanya dan tak mencatat alamat siapa-siapa…”

“Itu adalah dusta sama sekali…” kata seorang profesor diantara anggota Tokyo University itu.

“Ya. Saya tahu itu dusta yang paling jahanam. Tapi mereka memang berhak berbuat begitu menurut hukum di negeri mereka. Kitalah yang harus mencari bahan bukti…”

“Apakah tak bisa didesak agar pengadilan itu diadili oleh Hakim Jepang. Bukankah negeri ini bukan negeri Amerika, sehingga secara Juridis hukum Amerika tak bisa diterapkan disini?”

“Ucapan tuan benar seandainya negeri kita tidak kalah perang. Status negri kita ini, diatas sedikit dari negeri jajahan, tak memungkinkan hal itu terjadi. Mereka berhak menerapkan pengadilan menurut sistim di negeri mereka, karena yang terbunuh justru tentara mereka. Hukum negeri kita bisa dipakai kalau kedua belah pihak yang diadili tidak ada sangkut pautnya dengan warganegara atau kepentingan orang Amerika”

“Apakah namanya juga tak diketahui?”

“Pihak Amerika mengatakan Michiko atau Machiko. Mereka tak begitu jelas perbedaaannya. Soalnya gadis itu masih nerfus malam itu”

“Michiko, Machiko…ribuan gadis bernama seperti itu di kota ini…”

“Ya, itulah kesulitannya. Apalagi pihak Amerika katanya tak menyanyakan siapa nama keluarganya. Tak pula mencata alamatnya. Menurut proses verbal, gadis itu didapat oleh tentara Amerika dari suatu taman di tengah kota. Kalau keterangan itu benar, maka gadis itu pastilah kupu-kupu malam. Tapi saya tak yakin, sebab menurut Si Bungsu, si gadis menangis tak mau dinodai. Terjadi pergumulan cukup lama. Si Bungsu mendengar suara gadis itu merintih…jangan, jangan nodai saya. Jangan! Itu suatu pertanda, bahwa gadis itu bukan seorang pelacur. Dia pastilah seorang gadis baik-baik. Hanya kenapa sampai ke taman itu dimana berkumpul pelacur- pelacur yang lain? Inilah hal-hal yang menyulitkan pencaharian terhadap gadis itu.

Saya juga telah menanyai dua perempuan yang sama-sama dibawa ke penginapan Asakusa itu. Kedua perempuan itu yang telah lama beroperasi sebagai pelacur mengatakan bahwa mereka baru malam itu bertemu dengan gadis itu. Mereka tak mengenalnya sebelum peritiwa itu”

“Ya, di Universitas juga ada ratusan mahasiswi yang bernama Michiko atau Machiko…” kata ketua Yayasan yang bergelar Profesor itu.

Mereka semua terdiam. Dan peradilan itu akhirnya dideponir oleh pihak Amerika. Meski dibawah peraturan yang sangat ketat, namun puluhan mahasiswa dan penduduk sipil suatu hari membawa poster berdemonstrasi menuntut pembebasan Si Bungsu.

---000---

Tak kurang dari Jenderal Mac Arthur sendiri yang turun tangan mendeponir perkara ini. Jenderal ini adalah Panglima balatentara sekutu untuk wilayah Pasifik.

Dia bersama pasukannya semula “terusir” dari Filiphina oleh tentara Jepang. Tapi dalam suatu pertarungan ulang, dia berhasil “revans” dan tidak hanya merebut Filiphina saja, tapi menaklukan seluruh kawasan Asia yang diduduki Jepang. Termasuk menduduki Jepang sendiri!

Laporan tentang terbunuhnya 2 orang pasukan di Asakusa itu disampaikan padanya oleh pihak Peradilan Amerika. Saat itu, masalah tersebut menjadi pembicaraan semua pihak di Tokyo.

Pentagon, yaitu Kementerian Pertahanan Amerika Serikat yang mendapat laporan peristiwa itu melalui badan Intelijen Internasional FBI, segera menekan Jenderal Mac Arthur untuk mendeponir persoalan tersebut. “Mata dunia tengah diarahkan ke Jepang sejak jatuhnya Bom Atom di Nagasaki dan Hiroshima. Masalah fasisme Jepang bisa dilupakan orang jika persoalan perikemanusian diungkit. Karena itu, pihak Tentara haruslah menghindarkan sedapat mungkin timbulnya emosi massa yang menyebabkan kerusuhan di Jepang.

Persoalan terbunuhnya Letnan Richard dan Sersan Young di Penginapan Asakusa Tokyo, saat ini merupakan sebuah dinamit yang siap meledak berupa kerusuhan anti Amerika dikota itu.

Jika hal ini dibiarkan, maka tak dapat tidak, Amerika akan menghadapi kesulitan baru. Penduduk Jepang yang fanatik itu akan tepancing solidaritas nasional mereka. Issu yang tercipta saat ini sangat rawan. Yaitu membela harga diri dan Kehormatan Bangsa Jepang.

Dalam kasus Asakusa, Letnan Richard dan Sersan Young di duga bersalah karena bermaksud memperkosa seorang gadis.

Karena itu, pihak tentara hendaknya mendeponir peristiwa ini. Pengaturannya agar tak menjadi hal yang membesar dikalangan masyarakat, bisa dibicarakan dengan pembela si tertuduh. Yaitu pengacara Yasuaki Yamada.

Perlindungan terhadap tentara Amerika di negri pendudukan adalah penting. Namun perlindungan terhadap nama baik seluruh Bangsa Amerika jauh lebih penting dari segalanya. Jangan sampai dunia internasional mengetahui, bahwa peradilannya membela seorang pemerkosa.

Demikian bunyi radiogram Menteri Pertahanan Amerika yang mengepalai Pentagon. Radiogram itu ditujukan kepada Panglima Angkatan Perang Amerika di wilayah Pasifik, Jenderal Mac Arthur.

Bunyi radiogram itu adalah yang terkeras yang pernah diterima Mac Arthur selama dia menjadi Panglima Wilayah Pasifik. Bahkan ketika dia melarikan diri dari pulau Bataan di Filiphina, diburu oleh balatentara Jepang, pihak Pentagon justru memberi radiogram yang membangkitkan semangat. Tidak mencapnya sebagai pengecut yang meninggalkan medan perang. Padahal waktu itu dia meninggalkan 3 bataliyon pasukannya di pulau itu. Dan ketiga bataliyon itu dihancurkan separoh oleh Jepang. Separohnya lagi menyerah.

Dengan radiogram kasus Asakusa ini, jelas pihak Pentagon lebih mementingkan suatu “Stabilitas” di Jepang daripada harus membela dua orang tentaranya yang mati. Sebab mereka juga merasa ragu akan kebenaran tentara yang mati itu.

Yang jelas, ke 2 tentara itu mati dalam pakaian tak senonoh. Di penginapan pula. Jauh dari pos dimana mereka seharusnya berada.

Jenderal Mac Arthur sendiri nampaknya menyetujui sikap Pentagon itu. Bukan karen dia “takut” akan sanksinya. Sebab sudah bukan rahasia lagi, seorang Jenderal yang paling berkuasa sekalipun bisa digeser atau dipecat oleh seorang Menteri Pertahanan yang mengepalai Pentagon. Dan bukannya tak jarang, Menteri Pertahanan itu adalah seorang sipil. Namun kekuasaannya dipatuhi oleh semua Jenderal.

Mac Arthur tidak takut pada “Kekuasaan” Pentagon ini. Namun dia merasa bahwa anak buahnya memang bersalah. Karena itu dia menyetujui untuk mendeponir peristiwa itu.

Sebab, adalah kurang enak pula bila harus menyalahkan bawahan sendiri di negri jajahan itu. Perundingan dengan Yamada, pengacara yang membela Si Bungsu segera diadakan.

--000--

Yamada menyetujui pendeponiran itu. Baginya juga menyulitkan untuk membebaskan Si Bungsu secara murni. Sebab gadis yang ditolong itu tak pernah bersua.

Bagi Yamada bukan masalah popularitasnya bisa membela Si Bungsu yang penting. Yang sangat penting baginya adalah membebaskan anak muda itu.

Maka untuk jalan pertama, Si Bungsu dipindahkan ke kota Odawara. Sebuah kota kecil di selatan Tokyo.

Kota yang terletak di pinggir laut.

Sebulan di sana, ketika persoalan itu sudah agak dingin, dia dipindahkan lagi ke Tokyo. Dan suatu hari dimusim panas di bulan Shichigatsu (Juli) dia dibebaskan dari tahanan.

Tubuhnya kelihatan agak gemuk dengan rambut agak gondrong. Meski tahanan dalam kasus pembunuhan, namun Polisi Militer Amerika memperlakukannya dengan hormat sejak awal ditahan.

Dalam sistim peradilan di Amerika, setiap orang tetap belum bersalah sebelum diputus oleh Pengadilan.

Maka itulah sebabnya dia tetap dihormati dan diperlakukan dengan baik ditahanan.

Ketika hari pembebasannya tiba, yang menantinya di luar adalah Yamada dan Tokugawa. Dia tegak tertegun melihat kehadiran tokoh Jakuza itu. Dia tak mengerti kenapa Tokugawa bisa hadir di sana. Sebab tak seorangpun yang menceritakan bahwa proses pembebasannya pada awalnya diusahakan oleh Tokugawa. Hannako dan Kenji yang sesekali sempat menjenguk ke tahanan juga tak menceritakan hal itu. Tokugawa melarang mereka menceritakan hal tersebut.

Tapi ketika pembebasannya, dia tak melihat kehadiran Hanako dan Kenji, serta adik-adiknya. Yamadalah yang pertama datang menyalaminya di pintu tahanan.

“Engkau telah membela harga diri dan kebanggaan bangsa kami…terimakasih banyak  Bungsu-san” pengacara terkenal itu bicara dengan terharu sambil menyalami tangan Si Bungsu dengan erat.

“Terimakasih atas bantuan tuan….” Katanya. Kemudian dia menoleh pada Tokugawa yang tetap tegak di sisi mobilnya. Mereka saling bertatapan. Sungguh, Si Bungsu tak mengetahui arti kehadiran Tokugawa di sana.

Lelaki tua yang gagah itu akhirnya tersenyum lembut. Si Bungsu tetap tegak ketika dia melangkah mendekatinya.

Tokugawa mengulurkan tangan. Si Bungsu menyambutnya. Jabat tangan lelaki tua itu terasa kukuh dan penuh persahabatan.

“Selamat atas kebebasanmu Bungsu-san…” “Arigato gozaimasu…” jawab Si Bungsu.

Matanya mencari-cari kalau-kalau ada Kenji dan Hanako. Tapi kedua orang itu tak kelihatan. Tokugawa mengerti siapa yang dicari Si Bungsu.

“Mereka sengaja tak kami beritahu tentang kebebasanmu ini. Sebab pihak tentara Amerika menghendaki agar kebebasanmu tidak begitu tersiar. Secara psikologis kurang mengenakkan bagi tentara Amerika. Tapi mereka tetap sehat wal afiat. Dan saya menjaganya terus, seperti yang pernah saya janjikan padamu…”

“Domo arigato gozaimasu…” jawab Si Bungsu terharu.

“Kalian nampaknya sudah saling kenal…” kata pengacara Yamada memutus. “Ya, kami sudah saling mengenal…” Tokugawa memutus.

“Tuan inilah yang pertama kali mengusahakan pembebasanmu Bungsu….” Yamada menjelaskan. Dan tiba-tiba Si Bungsu menjadi sadar akan latar belakang usaha pembebasannya.

Dia menatap Tokugawa. Tapi Tokugawa segera menyilahkan dia masuk ke mobil. “Mari kita berangkat…” katanya.

Dan di dalam mobil secara selintas menceritakan bahwa dia mengetahui Si Bungsu ditangkap Polisi Militer Amerika dari Kenji. Kenji datang ke kantornya dan minta agar Tokugawa membebaskan Si Bungsu.

Si Bungsu merasa terharu sekali atas bantuan Kenji dan adik-adiknya.

“Maaf, apakah engkau kami antar ke rumah Hannako? Yamada memutus cerita. Si Bungsu tak segera menjawab.

“Apakah mereka tahu bahwa saya sudah bebas?”

“Belum. Pembebasanmu memang lebih awal dari yang direncanakan. Kami juga diberitahu pagi tadi.

Makanya tak sempat memberi tahu….”

“Kalau begitu antarkan saya ke salah satu hotel di kota ini. Ada sesuatu yang ingin saya kerjakan terlebih dahulu…’ jawabnya perlahan.

Tokugawa membawa Si Bungsu ke Daiichi Hotel yang masih terletak satu jalan dengan markas Jakuza di Nikko Hotel.

Dia menempati kamar utama di lantai satu yang menghadap ke taman yang indah. Ketika dia sudah berada di kamar, Yamada berkata :

“Bungsu-san, kami tak bisa menyatakan betapa terimakasih kami padamu. Pembebasanmu dari tahanan Amerika tak bisa membalas yang engkau perbuat dalam menolong dua orang gadis bangsa kami. Ini ada sedikit uang, bukan untuk pembalas jasa. Barangkali engkau akan cukup lama di Jepang ini.

Mana tahu, ada niatmu yang besar yang akan kau laksanakan. Untuk itu engkau tentu butuh biaya. Maka, terimalah uang ini. Berasal dari beberapa dermawan yang tak ingin disebutkan namanya…”

Si Bungsu menatap pada amplop besar di tangan pengacara terkenal itu. Amplop itu pastilah berisi uang jutaan Yen. Dia menarik nafas panjang.

“Terimakasih. Bukan saya menolak, tapi saya ada membawa sedikit bekal dari negeri saya. Saya rasa itu masih cukup. Terimakasih atas segalanya. Kalau saya boleh menyarankan, barangkali uang itu bisa disumbangkan pada anak-anak terlantar di terowongan bawah tanah sana, atau berangkali bisa diberikan pada Hannako dan saudara-saudaranya. Anggaplah atas nama saya…”

“Apakah engkau tak berniat menemui mereka?” Tokugawa memotong perlahan. “Barangkali tidak lagi. Saya akan meninggalkan kota ini. Dan saya tak membuat perpisahan jadi menyedihkan. Kalau saya bertemu dengan mereka, saya akan jadi sedih. Sebab mereka sudah saya anggap sebagai saudara saya…”

“Baiklah kalau begitu uang ini kami berikan pada mereka. Kami katakan dari engkau. Ini alamatku, kalau ada apa-apa jangan segan untuk datang. Saya senang dapat membantumu”

Yamada menyalami Si Bungsu.

“Nah, tuan Tokugawa, saya pergi duluan. Barangkali tuan masih ingin tinggal disini?”

“Tidak, kita sama-sama pergi. Hanya ada satu hal yang ingin saya tanyakan padamu Bungsu-san. Saya tahu engkau datang ke negeri ini dengan satu tujuan”

Tokugawa berhenti. Menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu tetap tegak. Wajahnya tak berekspresi sedikitpun. Dia menanti lanjutan ucapan Tokugawa.

“Barangkali engkau mencari seseorang yang mungkin telah menyakiti hati atau membunuh keluargamu. Maaf, kami bukan bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Tapi saya hanya ingin dapat berbuat sesuatu untukmu.

Kalau engkau mau, katakan saja siapa orangnya. Dan kami akan mencarinya sampai dapat untuk mu.

Dan jika kau kehendaki, orang itu bisa kami kerjakan tanpa kau susah-susah turun tangan”

Si Bungsu tetap tak bereaksi. Kalau saja dia belum dapat informasi tentang Saburo Matsuyama, mungkin dia akan minta bantuan Tokugawa. Dan dia yakin lelaki ini pasti bisa membantunya.

Tapi di tahanan, dia bersahabat dengan seorang Letnan Amerika bernama Jhonson. Melalui letnan Jhonson lah dia dapat informasi yang berharga tentang bekas tentara Jepang yang berada di negeri ini.

Mereka yang pensiun atau diberhentikan dan pulang ke Jepang sebelum Bom Atom jatuh, tidak ditahan oleh Amerika. Dan nasib mujur juga dialami oleh Saburo Matsuyama.

“Terimakasih atas bantuan itu Tuan Tokugawa. Demikian juga tuan Yamada. Saya takkan melupakan kebaikan tuan-tuan. Percayalah, suatu saat nanti saya akan datang, dan akan minta bantuan tuan-tuan…”

Kalau demikian sudah tiba saatnya kami untuk pergi. Sekali lagi, kami akan senang menerima kedatanganmu dan menolongmu. Sayonara….”

“Sayonara…” “Sayonara…”

Kedua lelaki itu kemudian meinggalkannya sendiri. Si Bungsu menatapnya hingga jauh ke jalan raya.

Masuk ke mobil dan lenyap.

Lambat-lambat dia memutar tegak. Menatap ke kursi panjang berkasur empuk dimana barang-barang terletak.

Sebuah ransel ukuran sedang. Dan sebuah samurai! Dia tatap samurainya lama-lama. Kemudian melangkah mengambil ransel dan samurai tersebut.

Membawanya masuk ke kamar besar dan mewah beralaskan permadani tebal. Dia butuh waktu untuk melatih otot-otonya. Di penjara dia memang latihan. Tapi latihan tanpa samurai.

Kini dalam kamarnya yang cukup luas, dia berlatih dengan samurainya. Berlatih sehingga peluh membasahi tubuh.

Gerakannya terasa agak lamban. Apakah itu karena tubuhnya agak gemuk selama dalam penjara?

Ah, dia tak boleh merasa lamban. Dia tak boleh merasa gemuk. Ini adalah saat-saat di mana dia akan berhadapan dengan musuh bebuyutannya.

Karena itu dia berlatih terus dengan disiplin yang keras.

Subuh buta dia berlari keliling kota. Cukup jauh. Dia mengambil route dari hotel Daiichi dimana dia menginap terus ke utara menyelusuri jalan raya Ginza. Masuk ke Chuo Dori. Dari Chuo Dori di belok ke kanan. Melintas di jembatan kecil di atas sungai Sumida. Kemudian balik ke Selatan lewat jalan Kiyosumi. Dari ujung jalan itu belok lagi ke kanan. Melintasi sungai Sumida kembali. Sampai di gedung Kabukiza. Dari sana terus pulang ke hotel.

Hari sudah agak siang bila dia sampai kembali dari lari jarak jauh itu. Namun itu terus dia lakukan.

Dengan lari pagi, kegemukan badanya jauh berkurang. Tubuhnya kini berubah jadi kekar.

Selesai makan siang di hotel, dia istirahat. Kemudian latihan samurai.

Hannako tengah mengurus bunga di taman depan rumahnya di jalan Uchibori ketika sebuah mobil berhenti diseberang sana. Dia tak tahu ada mobil berhenti. Seorang lelaki tua, tapi gagah turun dari mobil. Dua orang lelaki lainnya menanti tegak di sisi mobil.

Lelaki tua itu berjalan menyebrangi jalan. Masuk ke pintu taman.

“Gomenkudasai…” kata orang tua itu perlahan. Hannako menoleh. Melihat lelaki tua gagah itu. Dan jauh dibelakangnya dia lihat sebuah mobil dan dua orang lelaki berdiri.

“Hai..ogenki desu ka…” (Ya, apa kabar?) Jawab Hannako sambil berdiri, dan membungkuk memberi hormat. Lelaki tua itu juga memberi hormat.

“Apakah nona bernama Hannako?”

“Ya, saya Hanako. Ada apa?” tanya Hannako gugup.

“Jangan gugup. Saya hanya menyampaikan pesan seseorang. Apakah ada Kenji di rumah?” “Tidak. Dia pergi ke Budokan. Latihan karate”

“Oh ya…”

“Apa kabar? Mari silahkan masuk…” “Tidak. Terimakasih…”

Lelaki tua itu menatap pada Hannako dengan matanya yang lembut. Kegugupan Hannako lenyap melihat wajah lelaki tua yang kelihatannya penyayang itu.

Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari balik kimononya.

“Saya diminta seseorang untuk menyampaikan kiriman ini pada nona…” katanya sambil melangkah mendekati Hannako.

Hanako ragu. Dia tak segera menerima amplop besar yang diulurkan lelaki itu. “Apa ini, dan dari siapa?” tanyanya.

“Ambillah….” Lelaki itu mengangsurkan amplop tersebut. Mau tak mau Hannako mengambilnya. Melihat alamatnya. Dan tiba-tiba dia tertegun.

“Dari Bungsu-san…”katanya kaget. “Ya. Dari dia…..” jawab lelaki itu.

Hannako segera membuka amplop tersebut. Menyangka kalau di dalamnya ada surat. Namun dia kaget.

Di dalamnya hanya ada uang dalam jumlah yang sangat besar.

Dia tersurut. Matanya menatap lelaki itu.

“Ya. Dia yang mengirimkannya untuk nona dan saudara-saudara nona. Dia tak sempat datang kemari…” “Bu…bukankah dia di penjara?”

“Sekarang tidak lagi nona…”

Hannako tak mengerti. Dia menatap lelaki itu.

“Dia sudah bebas dua hari yang lalu. Dan dia sudah pergi entah kemana. Dia hanya menitipkan ini untuk nona…”

Tubuh Hannako gemetar.

“Oh, tidak….! Tidak mungkin. Dia pasti kemari kalau keluar dari penjara. Dia tak mungkin sudah bebas.

Perkaranya belum diputus…”

Hannako menangis. Dan dia berniat berlari ke rumah. Namun ucapan lelaki tua gagah itu menghentikannya.

“Percayalah padaku nak. Dia memang telah bebas…” “Tapi….kenapa dia tak kemari?”

“Ada sesuatu yang sangat penting, yang akan dia urus. Barangkali sekarang dia tak di kota ini lagi…” “Tuan siapa, dan bagaimana saya bisa mempercayai ucapan tuan…”

Lelaki tua itu menarik nafas. Namun Hannako jadi terkejut takkala matanya tertatap pada jari-jari tangan kiri lelaki tua itu.

Kelingking kiri lelaki tua itu tak ada! Hannako kaget menatapnya. “Tuan…”

Lelaki itu menatap pula ke kelingking kirinya. “Ya, saya Tokugawa…” katanya perlahan.

Mata Hannako membelalak. Lelaki ini tokoh Jakuza di kota ini. Lelaki inilah yang telah menjamin keselamatan dirinya dan saudara-saudaranya dengan sebuah sumpah memutus jari di hadapan Si Bungsu.

Hannako membungkuk memberi hormat.

Lelaki itu memang Tokugawa, juga membungkuk dalam-dalam membalas penghormatan Hannako. “Kapan Bungsu-san bebas?” tanya Hannako. “Dua hari yang lalu…”

“Kenapa kami tak diberi tahu?”

“Kebebasannya memang dirahasiakan. Betapapun juga. Amerika tak mau menanggung malu terlalu besar. Tapi mereka juga tak berani menghukumnya. Sebab anak muda itu berada di pihak yang amat benar…”

“Bapak ada disana waktu dia bebas?” “Ya. Saya disana…”

“Apakah….apakah dia sehat? Maksud saya. Apakah dia tak kurang satu apapun?”

“Tidak. Dia benar-benar sehat. Dia hanya minta saya menyampaikan kiriman ini padamu. Dan dia menyampaikan, bahwa dia sangat menyayangi kalian…”

“Tidak. Dia tak menyayangi kami…” “Kenapa tidak?”

“Karena dia tak pulang kemari…” Hannako berkata dengan suara lirih. Tokugawa merasa sayang pada gadis ini. Dia tahu, gadis ini menaruh hati pada pemuda Indonesia itu.

Dan sebagai orang tua, Tokugawa juga tahu bahwa Si Bungsu jatuh hati pada Hannako. Hanya tugas besar yang belum selesailah yang menyebabkan dia tak mau datang ke mari.

Itu pertanda bahwa anak muda itu lebih mementingkan tugasnya daripada soal-soal pribadinya. “Dia menyayangimu nak…percayalah….” Tokugawa berkata perlahan.

“Darimana dia dapat uang sebanyak ini?”

“Uang itu dikumpulkan oleh suatu Yayasan untuk membelanya. Ternyata pembelanya tak mau menerima uang tersebut. Pembelanya merasa sebagai suatu kewajiban membela anak muda itu. Maka uang ini diserahkan padanya. Dan dia ingin agar disampaikan padamu Hannako.

Hannako terharu. Dia bahagia. Si Bungsu ternyata masih mengingatnya. Airmata mengenang di sudut matanya.

“Kalau bapak jumpa dengannya, katakan bahwa kami mengucapkan terimakasih yang amat besar. Dan katakan bahwa ada seorang gadis yang sudah berkali-kali ternoda kehormatannya, tapi hatinya masih suci, yang selalu setia menantinya di rumah ini…. Bapak sampaikan itu padanya…”

Tokugawa ikut terharu bersama kesedihan gadis itu. Gadis itu merasa terasing karena dinodai oleh Kawabata dan anak buahnya. Diam-diam dia merasa ikut berdosa. Sebab Kawabata yang mati ditangan Si Bungsu itu adalah anak buahnya.

Diam-diam dia bersumpah akan membatu gadis ini dan saudara-saudaranya setiap saat.

“Jangan sedih nak…” hanya itu yang bisa dia ucapkan. Hatinya yang luluh menyebabkan tak ada lagi kalimat yang bisa dia ucapkan. Haripun berangkat sore.

--000--

Namun sebenarnya Si Bungsu masih tetap di Tokyo. Hanya nasib yang tak mempertemukan Hannako dengan anak muda itu. Si Bungsu tetap menjalankan latihannya yang sangat ketat.

Saat itu di Jepang, para samurai telah menggantung samurai mereka di dinding rumah.

Yang masih tetap belajar samurai adalah kaum penjahat komplot Jakuza. Selain itu, samurai hanya dipelajari oleh para pesilat samurai di kaki gunung di kampung yang jauh di pelosok.

Namun kalau ada seorang manusia yang berlatih samurai sangat tekun di seluruh Jepang saat itu, mungkin orangnya adalah Si Bungsu. Melebihi ketekunan para samurai Jepang manapun di sana.

Dan hampir dua bulan setelah dia dibebaskan, dia berada dalam kereta api cepat menuju Kyoto!

Kyoto adalah ibu negara Jepang zaman Dinasti tokugawa. Yaitu dinasti raja-raja yang melahirkan pendekar samurai yang tersohor ke segenap penjuru dunia.

Dinasti Tokugawa adalah pengganti dinasti Edo. Pada zaman dinasti edo, ibunegara Jepang berada di kota Nara. Tokugawalah yang memindahkan Ibunegara Jepang ke Kyoto.

Namun disaat dinasti Tokugawa digantikan oleh dinasti Meiji, yaitu dinasti yang memerintah saat ini, dinasti leluhur Tenno Heika, Ibunegara dipindahkan pula ke Tokyo.

Ke Kyoto lah Si Bungsu kini menuju. Dia meninggalkan Tokyo dengan menekan kuat-kuat keinginan hatinya untuk datang pamitan ke rumah Hannako dan Kenji.

Tapi dia kawatir pertemuan itu justru akan menggundahkan hatinya dan hati Hannako. Gadis itu terlalu baik padanya. Dia tak mau perpisahan itu diantar oleh tangis Hannako.

Jarak antara Tokyo dengan Kyoto sekitar 500 km. Dengan kereta api saat itu, jarak tersebut akan ditempuh selama 24 jam. Sehari semalam. Untuk mencapai Kyoto dari Tokyo naik kereta api ada tiga jalur yang bisa ditempuh.

Pertama jalur pantai barat. Jalur ini sangat jauh. Menempuh kota-kota Takasaki, Nagano, Naoetsu, Toyama, Kanazawa, Fukui terus ke Kyoto.

Jalur kedua adalah jalur tengah. Menempuh kota-kota Kofu, Shiojiri, Nagoya, Gifu, Otsu dan Kyoto. Jalur ketiga adalah jalur pantai timur melewati kota-kota Matsudo, Shizuoka, Nagoya, Gifu, Otsu dan Kyoto. Jalur inilah yang terdekat yang ditempuh Si Bungsu.

Kereta api yang dia naiki berwarna merah. Saat itu menarik gerbong 20 buah yang panjang keseluruhannya tak kurang dari 200 meter. Mendengus dan menggelinding di atas rel baja.

Saat itu bulan Desember. Musim dingin telah datang pula. Si Bungsu memakai baju tebal. Persediaan keuangannya masih cukup meski dalam ukuran sederhana.

Di bawah tempat duduknya dia letakkan ransel lusuhnya. Sementara samurainya dia simpan di balik baju tebalnya. Melekat ke dirinya. Dia merasa aman senjata itu di sana. Sewaktu-waktu bisa dia pergunakan.

Kerata api itu sebenarnya cukup baik. Tapi setelah perang dunia ke II semua angkutan memang jadi semrawut. Penumpang berjubel. Demikian juga dengan kereta api ini.

Meski dia duduk di gerbong kelas I tapi tak urung penumpang dari kelas dua dan kelas ekonomi nyelonong kesana.

Saat itu sudah mencapai kota kecil Gamagori. Kota ini terletak di tepi teluk Atsumi. Perjalanan itu sudah jauh meninggalkan Tokyo. Sudah melewati kota-kota Shizuoka dan Toyohashi. Kini kereta mereka akan menuju Nagoya. Sudah lebih separoh perjalanan.

Dua orang lelaki, berpakaian kimono hitam naik di stasiun Gamagori. Mereka naik di gerbong kelas dua.

Terus menyelusur arah ke depan. Ke gerbong kelas satu.

Pintu gerbong kelas satu didorong. Kondektur yang berpakaian coklat tebal yang semula merasa berang ada orang masuk tanpa izin, begitu melihat siapa yang masuk cepat-cepat menghindar dari jalan dan membungkuk memberi hormat.

Kedua lelaki itu tak mengacuhkan hormat si kondektur. Mereka terus ke depan. Berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain. Seperti ada yang mereka cari. Matanya plarak-plirik ke kiri dan ke kanan.

Di gerbong nomor tiga dari depan, mereka berhenti. Seorang gadis cantik kelihatan duduk dekat jendela dengan diam. Satu bangku dengan gadis itu sebenarnya ada dua orang lagi. Seorang perempuan tua dan seorang lagi lelaki dewasa. Tapi saat itu kedua mereka sedang pergi ke WC.

Kedua lelaki itu saling pandang. Lalu tersenyum. Senyumnya lebih tepat dikatakan menyeringai.

“Maaf, tempat ini kosong bukan?” yang seorang bertubuh ceking tinggi seperti tengkorak hidup berkata dengan suara mirip burung gagak.

Gadis itu terkejut. Menoleh. Dan dia lebih terkejut lagi melihat kedua lelaki bertampang seram itu.

Sebelum dia sempat menjelaskan, kedua lelaki itu telah menghenyakkan pantatnya di sisinya.

Bau minuman sake segera tercium begitu mereka duduk.

“Tempat ini ada orangnya….” Gadis itu coba menjelaskan dengan ramah.

“Ya, kami orangnya bukan?” jawab yang pendek dengan suara seperti bebek, sambil tangannya melewati tubuh si jangkung kurus mencowel pipi gadis itu.

Gadis itu cepat mengelak dengan wajah berang. Dan kedua lelaki itu tertawa. Tawanya menyeramkan. Yang satu seperti burung gagak. Mengakak memperlihatkan gigi yang kuning. Yang satu mendesah-desah seperti suara bebek. Air ludahnya menyembur-nyembur.

Gadis itu segera bangkit akan pindah tempat. Meskipun dia tahu semua tempat sudah penuh, tapi daripada berdekatan dengan kedua lelaki ini, lebih baik tegak sampai ke tujuan. Namun yang jangkung menarik tangannya. Menyentakkannya.

Gadis itu terhenyak duduk kepangkuannya. Dia menjerit. Kedua lelaki itu hanya tertawa. Para penumpang lain hanya melirik. Kemudian kembali seperti tak tahu menahu.

Mereka segara tahu, sikap demikian hanya dimiliki oleh penjahat-penjahat. Di daerah ini, ada dua kelompok penjahat yang berkuasa. Yaitu Jakuza dan Kumagaigumi (Beruang Gunung).

Keduanya sama-sama berbahaya untuk dicampuri urusannya. Karena itu, para penompang lebih suka berdiam diri. Dengan jahanamnya, tangan si kurus ini meremas dada gadis tersebut. Gadis itu terpekik.

Saat itulah kedua penompang yang duduk disebelah gadis itu muncul dari WC.

Melihat ada orang duduk di tempat mereka, yang lelaki, seorang pegawai kantor kota, berkata: ”Maaf Bung, ini tempat saya dan ibu ini”

Kedua lelaki itu, yang tengah tertawa cekikikan terhenti. Menatap pada lelaki tersebut. “Apa bukti bahwa disini tempat saudara?” Si gemuk pendek balik bertanya. Lelaki itu mengeluarkan karcisnya. Perempuan itu juga. Si gemuk dan si jangkung mengambilnya. Melihatnya. Dan menyimpannya ke dalam jubahnya.

“Apa bukti bahwa disini tempat saudara?” si pendek gemuk mirip babi itu bertanya lagi.

Lelaki itu segera mengetahui bahwa orang ini mencari gara-gara. Karcis mereka kini ada padanya. Dia tahu, kedua orang ini pastilah anggota bandit-bandit Jakuza atau Kumagaigumi.

Tapi harga dirinya sebagai seorang pegawai pamong, ditambah dengan tujuan yang masih jauh, maka dia tetap protes.

“Jangan main-main. Saudara bisa saya laporkan pada kondektur…” katanya. Kedua lelaki itu tertawa.

Kondektur lewat. Lelaki itu menyampaikan persoalannya.

Namun Kondektur hanya menelan ludah. Wajahnya pucat. Kesempatan itu dipergunakan gadis tadi untuk berdiri. Menghindar dari dua lelaki yang memuakkan itu.

Dia sudah akan berhasil pergi, namun si gemuk pendek merenggutkan tangannya. Gadis itu kembali terpekik dan terjerembab ke lantai. Lelaki pegawai pamong itu berusaha menolakkan si gemuk. Namun si kurus menghajar perutnya dengan sebuah tendangan karate yang telak. Pegawai pamong itu terjajar.

Suasana jadi heboh. Gadis itu diangkat kembali oleh si kurus. Didudukan ke pangkuannya. Orang-orang pada berdiri dari kursinya melihat kejadian itu.

“Duduklah kembali, kalau kalian tak ingin kehilangan kepala….”si pendek gemuk dengan suara bebeknya mengancam. Kepala-kepala manusia itu seperti disentakkan alat otomoatis. Lenyap dan duduk kembali dengan diam.

“Nah, orang tua, pergilah cari tempat lain” suara si pendek gemuk seperti babi itu terdengar lagi.

Perempuan tua itu tahu, lelaki ini amat berbahaya. Dia membungkuk mengambil barang-barangnya di bawah tempat duduk. Ketika dia bangkit akan pergi, seorang lelaki berdiri di belakangnya.

“Akan kemana ibu?” tanyanya perlahan. Perempuan itu tak menjawab. Dia mengangkat barangnya dan berputar.

“Jangan pergi. Tempat Ibu disini bukan? Duduklah kembali…” lelaki itu mencegahnya dengan suara yang amat tenang.

Kedua lelaki yang duduk itu, yang kurus seperti jailangkung, yang pendek seperti babi, melotot pada lelaki yang baru datang itu.

Lelaki itu justru tersenyum pada mereka.

“Berdirilah. Ibu ini akan duduk. Kalian tak punya karcis bukan?” katanya dengan suara yang alangkah tenangnya. Para penompang yang lain tentu saja jadi tertarik. Kalau Kondektur saja tak berani bertindak, kini ada orang lain yang berani, maka siapakah orang ini? Pikir mereka.

Yang pendek gemuk segera saja jadi berang. Dia bangkit menghantam lelaki itu. Namun begitu dia bangkit, begitu sebuah tendangan menghajar kerampangnya.

Dia mengeluh. Terduduk lagi dengan muka yang putih karena menahan sakit. “Jangan duduk di sana, pindahlah…” kata lelaki itu dengan perlahan.

Yang kurus tinggi bangkit. Tangannya terhayun dalam bentuk pukulan karate. Namun dia kembali terlambat.

Sebuah pukulan dengan tongkat kayu menusuk bawah hidungnya “prakkk!” patah dua buah! Dan dia tersurut ke belakang!

“Pergilah. Ini bukan tempat kalian..” lelaki yang baru datang itu berkata lagi dengan tenang. Kedua lelaki itu jadi ragu. Mereka bertatapan. Kemudian tangan mereka serentak berkelabat ke balik kimono mereka dimana samurai pendek mereka tersimpan.

Namun demi malaikat, demi syetan dan iblis kedua lelaki itu hampir-hampir tak mempercayai mata mereka. Tangan lelaki itu justru lebih cepat!

Sebuah tongkat kayu dengan cepat mendahului gerakan samurai mereka. Tongkat kayu itu menghentak persis tentang jantung mereka. Mata mereka mendelik. Karena hentakan ujung tongkat itu persis ketika mereka menghirup nafas. Mereka jadi pucat.

Dan berikutnya, tongkat itu menghajar kepala mereka. “prakk! Prakk!” dua hentakan keras melanda kening. Dan kening mereka benjol sebesar telur. Penompang-penompang yang telah menjulurkan kepalanya kembali, jadi kaget dan kagum melihat kecepatan lelaki ini. “Pergilah, sebelum kepala kalian makin besar oleh benjolan-benjolan…” lelaki itu berkata lagi, masih dengan suara tenang.

Dan kini, keberanian kedua lelaki itu ambruk. Meleleh seperti ingus. Dan mereka ngeloyor pergi. Tapi di pintu belakang, mereka berhenti, yang bersuara gagak berkata :

“Awas kau! Awas kau!”

Hanya itu, kemudian dia bergegas pergi.

Lelaki itu hanya menatap dengan matanya yang sayu. Lalu mendudukkan perempuan tua itu ke bangkunya.

Dan dia tersenyum pada gadis yang duduk dekat jendela. Tapi senyumnya beku tiba-tiba. Gadis itu, yang sejak tadi meperhatikannya tiba-tiba juga jadi pucat. Mereka saling pandang kaget.

“Kau….?’ Kata lelaki itu yang tak lain dari Si Bungsu itu pada si gadis. “Anda…?’ suara gadis itu serak.

“Engkau yang di penginapan Asakusa…?” Tanya Si Bungsu.

“Ya…sayalah itu…” gadis itu berkata perlahan sambil matanya yang basah tak lepas-lepas menatap Si Bungsu. Perlahan dia bangkit.

“Engkau menyelamatkan aku kembali. Domo arigato gozaimasu…” kata gadis itu membungkuk. Si Bungsu menarik nafas. Lega dia. Tersenyum.

“Siapa namamu…?” tanyanya. “Michiko…”

“Michiko, …ya Michiko…” kata Si Bungsu mengulang. Para penompang melihat saja kejadian itu dengan heran. Heran dan kagum menyaksikan seorang gadis Jepang yang cantik ngomong dengan lelaki asing yang gagah.

“Dimana anda duduk…? Tanya Michiko. Si Bungsu memalingkan kepalanya ke depan.

“Di sana, di bangku paling depan…” katanya sambil menunjuk ke bangku tiga deret di depan tempat Michiko.

“Maaf, saya belum tahu nama anda…” “Oh ya, nama saya Si Bungsu…”

“Bungsu-san terimakasih banyak atas budimu. Dua kali anda menolong saya….”

“Hei, bangku saya kebetulan kosong di depan sana. Hanya saya sendiri. Anda mau pindah ke sana?” Wajah Michiko berseri. Dia mengangguk.

Si Bungsu juga tersenyum. Lalu menoleh pada ibu tua dan pegawai pamong yang duduk di sebelah Michiko.

“Saya harap ibu dan tuan senang duduk disini…” katanya perlahan.

“Terimakasih banyak nak… anda mahir berbahasa Jepang. Saya yakin anda bukan orang sini. Anda orang Malaya?” perempuan tua itu bicara.

“Tidak, Watashi wa Indonesia-jin desu…”

“Aa, Indonesia-jin desu….” Ulang perempuan itu. Dan Michiko juga baru tahu, bahwa pemuda yang menolongnya ini adalah orang Indonesia.

Perempuan itu mengucapkan terimakasih kembali. Demikian juga pegawai pamong yang perutnya kena schak oleh kaki si kurus jailangkung tadi.

--000--

Michiko yang ternyata berpergian sendirian lalu pindah ke tempat Si Bungsu di depan. Si Bungsu membawakan tasnya.

Para penompang pada mengangguk memberi hormat ketika dia lewat di dekat mereka. Si Bungsu membalas mengangguk dan tersenyum. Para penompang saling berbisik.

Orang Indonesia. Bukankah itu adalah negeri yang dijajah oleh tentara kita enam tahun yang lalu, bisik mereka. Kini anak muda dari negeri itu datang menolong tiga penduduk Jepang yang akan dianiaya oleh penduduk Jepang lainnya?

Si Bungsu meletakkan tas Michiko di rak bagasi di depan mereka. Di sisi ransel lusuhnya. Dia menyilahkan Michiko duduk dekat jendela. Kursinya memang kosong. Dia duduk di samping gadis itu.

Michiko menatap pada Si Bungsu. Dia seperti tak yakin akan pertemuan ini. “Kemana saja engkau setelah peristiwa di Asakusa itu?” tanya Si Bungsu. “Saya…saya…” Michiko menunduk. Akan dia katakankah bahwa setelah dilepas oleh Polisi Militer Amerika dulu dia lalu mencari Si Bungsu?

Ah, dia jadi malu.

“Untuk beberapa hari saya masih di sana. Tapi hari ke enam, saya lalu ke tempat bibi di kota Hamamatsu” “Oh, engkau naik di stasiun Hamamatsu pagi tadi?”

“Ya, saya naik di sana..”

“Kota kecil sebelum danau Hamana?” “Ya, disanalah saya selama ini…”

Si Bungsu mengangguk. Dia jadi mengerti kenapa selama dua bulan usaha pengacara Yamada untuk mencari gadis ini tak pernah berhasil. Rupanya dia sudah berada ratusan kilometer dari Tokyo. Di sebuah kota kecil yang tak begitu dikenal.

Peluit kereta api terdengar memekik. “Kereta akan berangkat” kata Michiko.

Mereka sama menoleh lewat jendela ke luar. Teluk Atsumi kelihatan indah dalam udara sore yang merah. Burung-burung camar kelihatan terbang berkelompok. Terbang rendah, tiba-tiba seekor menukik terjun ke air. Lalu tiba-tiba membubung ke udara.

“Itu teluk Atsumi….” Kata Michiko perlahan takkala sebuah sampan nelayan bergerak di puncak ombak dengan layar yang berwarna kuning.

“Alangkah indahnya….” Kata Si Bungsu. Michiko menoleh. Dan tiba-tiba wajahnya berhadapan dengan wajah Si Bungsu yang tetap melihat ke teluk. Jarak wajah mereka hanya sejengkal.

Si Bungsu tertegun. Mata Michiko yang hitam bersinar, hidungnya yang mancung dengan anak-anak rambut keluar dari balik penutup kepala yang terbuat dari bulu binatang. Gadis ini adalah salah satu diantara sekian gadis Jepang yang cantik.

Mereka bertatapan. Michiko menatap mata Si Bungsu tepat-tepat.

Pemuda ini, bermata hitam dengan sinar yang teguh, beralis tebal dengan rambut yang juga tebal hitam, adalah pemuda asing yang telah dua kali menyelamatkan dirinya.

Dulu, ketika dia selamat dari perkosaan tentara Amerika di Asakusa, seminggu lamanya dia memutari kota Tokyo. Mencari pemuda ini. Dan dengan kecewa dia akhirnya pergi ke tempat bibinya di kota Hamamatsu.

Dan di tempat bibinya itu, selama beberapa bulan, dia tak bisa melupakan wajah anak muda ini. Seorang yang berwajah murung, bermata sayu tapi kukuh, berkulit hitam manis yang entah kenapa tak bisa dia lupakan.

Kini anak muda itu ada sejengkal di depannya.

“Bungsu-san,…. “ katanya perlahan dari jarak sejengkal itu, tanpa melepaskan tatapan matanya dari wajah Si Bungsu.

“Michiko-san…” jawab Si Bungsu perlahan.

“Terimakasih atas budimu padaku. Di Asakusa dan kini di Gamagori…” “Tak usah dipikirkan…”

“Masih ingat ketika engkau bertanya tentang kereta yang akan ke Shibuya?”

Tentu saja Si Bungsu ingat. Peritiwa itu terjadi di daerah Ginza. Dia akan mencari Kenji ke Shibuya. Dan dia bertanya pada seorang gadis, kereta mana yang akan menuju Shibuya.

Gadis itu tak segera menjawab. Melainkan menatap dahulu pada dirinya. Ketika itu diketahuinya bahwa pemuda yang bertanya itu adalah orang asing, yang nampaknya dari Malaya atau Philipina atau Indonesia, dia lalu membuang muka dan melanjutkan perjalanan tanpa menjawab pertanyaannya.

Dan dua hari setelah itu, ternyata gadis itu di selamatkan di Asakusa! “Masih ingat?” tanya Michiko.

Tanpa memindahkan tatapan matanya dari mata Michiko Si Bungsu mengangguk dan tersenyum kecil. “Saya menyesal…maafkan saya Bungsu-san…” Michiko berkata perlahan. Di sudut matanya ada air

menggenang. Bungsu tersenyum dan berkata lembut. “Jangan dipikirkan. Lupakanlah…”

Tiba-tiba Michiko menyandarkan kepalanya ke bahu Si Bungsu. Bungsu jadi gugup dan berdebar. “Tenanglah…’ katanya sambil memegang rambut Michiko yang keluar dari balik topi bulu binatangnya.

Perlahan Michiko mengangkat wajahnya kembali. Mereka bertatapan lagi. Perlahan Si Bungsu menghapus air mata di pipi Michiko dengan jari-jari tangannya.

“Domo arigato….” Kata Michiko.

“Lihatlah keluar sana, indah sekali. Negerimu sangat indah…” kata Si Bungsu. Michiko menoleh keluar.

Kemudian menoleh lagi pada Si Bungsu. Dia tersenyum. “Belum juga berangkat kereta ini?” tanya Si Bungsu.

“Ya, biasanya sudah berangkat..” jawab Michiko. Ucapan mereka baru saja habis takkala Kondektur dengan wajah pucat datang bergegas pada mereka.

“Larilah… me…mereka datang…!” Kondektur itu bicara gugup pada Si Bungsu. Si Bungsu dapat segera menebak bahwa yang datang itu adalah komplotan lelaki tadi yang kalau tak salah dengar ada penompang yang bilang bahwa mereka dari komplotan Kumagaigumi.

Michiko jadi pucat. Penompang yang lain juga pada panik. Namun belum satupun yang sempat mereka perbuat ketika empat lelaki berwajah tak menyedapkan naik ke Kereta Api itu. Dan langsung ke gerbong dimana Si Bungsu dan Michiko duduk.

Ke Empat lelaki itu tiba-tiba saja sudah tegak di gang di depan Si Bungsu.

Satu diantaranya adalah yang kurus seperti jailangkung. Yang giginya rontok dua buah digetok hulu samurai Si Bungsu tadi.

“Dialah jahanam itu….” Kata lelaki tersebut dengan suaranya yang mirip suara gagak.

Seorang lelaki bertubuh sedang, dengan samurai di tangan kiri, bermata sipit berambut gondrong, yang nampaknya boss diantara yang empat orang itu, menatap dengan mengerenyitkan matanya pada Si Bungsu.

“Dia?” tanyanya dengan nada tak percaya. Sementara mulutnya masih tetap kemat-kemot mengunyah sesuatu.

“Ya, dialah anjing itu…” pekik si Kurus. Michiko memegang tangan Si Bungsu. Memegang tangan kirinya.

Sementara keempat bajingan itu berada di sebelah kanan mereka. “He, kau, berdiri…!” perintah lelaki itu.

Suaranya mirip geraman harimau. Si Bungsu berdiri. Michiko yang akan berdiri dia suruh tetap duduk. “Tetaplah duduk Michiko…” katanya sambil menanggalkan pegangan tangan gadis itu dari lengannya.

Dia berdiri. Tegak sedepa dari keempat lelaki Jepang yang menatapnya dengan perasaan heran itu

Terutama lelaki yang tengah mengunyah yang nampaknya sebagai pimpinan itu. Dia tak yakin, apakah anak muda asing ini memang sanggup mengalahkan dua orang anak buahnya yang terkenal itu.

“Apakah engkau tadi yang merontokkan giginya?” lelaki bertubuh sedang itu bertanya sambil tetap mengunyah sesuatu. Nampaknya seperti gula-gula karet, sambil menunjukkan jempolnya pada si kurus kerempeng yang jangkung.

“Dia yang minta. Saya telah minta dia untuk pergi baik-baik. Namun dia lebih menyukai giginya rontok…” Si Bungsu menjawab seadanya.

Dan hal itu menyebabkan si kurus kerempeng itu menggebrak maju akan menghantam  Si Bungsu.

Nampaknya keberaniannya jadi tumbuh dekat teman-temannya ini.

Namun gerakan majunya tertahan oleh tangan temannya yang bertubuh kekar. “Marilah kita sikat dia….” Kata lelaki itu.

“Ya, kalian sudahi dia. Dan bawa gadis itu padaku….” Yang mengunyah gula-gula karet itu nampaknya tak mau turun tangan. Pemuda asing itu dia anggap bukan lawannya. Terlalu enteng!

Makanya dia menyerahkan hal sepele itu pada ketiga anak buahnya. Bagaimana dia akan turun tangan? Apakah nama besarnya sebagai si Tangan Besi pimpinan Kumagaigumi kota Gamagori akan dibuat cemar dengan melawan orang asing tak terkenal itu? Ah, itu pekerjaan anak-anak, pikirnya.

Ketiga lelaki anggota Beruang Gunung yang bermarkas besar di Osaka itu memang segera turun tangan.

Yang lebih dulu maju adalah yang kururs tinggi tadi.

Dia merasa dapat beking kuat dengan kehadiran kedua temannya ini. Dia segera maju menghantam Si Bungsu dengan sebuah tendangan yang tadi pernah melumpuhkan pegawai pamong praja itu.

Namun Si Bungsu juga tak mau kasih hati pada orang Jepang pongah ini. Dari balik mantel tebalnya, samurainya dengan sangat cepat menjulur keluar. Samurai itu tak dia cabut, hanya gagangnya dia hentakkan ke kening si kerempeng itu.

Terdengar suara berdetak ketika kayu gagang samurai itu menghajar kening si kurus. Demikian cepat dan kuatnya hentakkan itu, membuat si kurus tersurut dua langkah.

Dan keningnya kini tak hanya bengkak seperti tadi. Tapi juga berdarah!

Dan samurai itu kini di pegang dengan tangan kirinya di luar mantel tebalnya oleh Si Bungsu. Dia melangkah. Ketiga Jepang itu mundur dengan kaget.

Si Bungsu menoleh pada Michiko. “Tenanglah di sana. Saya akan kembali…” Berkata begini dia melangkah lagi. Ketiga Jepang anggota Beruang Gunung itu mundur terus. Akhirnya mereka terpepet ke pintu.

Salah seorang tiba-tiba maju sambil mencabut samurai. Tapi Jepang ini sungguh bernasib malang. Dia memang sudah lama belajar samurai. Tapi orang dia hadapi adalah “malaikat” nya samurai.

Samurai baru terangkat sedikit, ketika dia rasakan perutnya pedih bukan main. Ayunan samurainya terhenti. Dia melihat ke bawah. Dan wajahnya jadi pucat. Pucat karena kaget dan malu.

Celananya telah dibabat putus oleh samurai anak muda itu persis di bawah pusatnya!

Celananya terluncur ke bawah. Dan perutnya berdarah. Dan darahnya mengalir hingga ke bawah!

Dia lari turun ke jalan. Si Bungsu maju terus. Dan kini mereka tegak di bawah, di depan stasiun kecil di kota Gamagori itu.

Pimpinan mereka tadi, yang telah turun lebih duluan merasa kaget melihat anak buahnya belum juga berhasil menyudahi orang asing ingusan itu.

Peristiwa itu tentu saja menarik penduduk yang memenuhi stasiun tersebut. Mereka secara otomatis membuat lingkaran yang amat lebar.

Angin bersuit panjang membawa udara musim dingin yang menusuk tulang.

Kini dia telah dikepung oleh empat orang. Penduduk hanya melihat dari kejauahan. Ada seorang Polisi dengan pistol di tangan yang menyeruak di antara kerumunan orang ramai.

“Hentikan semua i….!” bentakkannya terhenti takkala dia melihat siapa yang sedang mengepung seorang asing itu.

“Oh…eh…glep…plzf..” mulutnya berkomat kamit tak menentu. Dan akhirnya dia menyuruk lagi kedalam kerumunan orang ramai itu.

Yang dia bentak sebentar ini adalah kepala bandit kelompok Kumagaigumi. Niat hatinya tadi ingin dianggap pahlawan oleh orang banyak. Karena berhasil mengatasi sebuah kericuhan. Tapi kini nyalinya jadi ciut. Dan dia harus menelan pil pahit takkala penduduk mengejeknya. Dia menyuruk dan menghindar dari sana.

Sudah bukan hal yang aneh lagi, bila di kota kecil seperti Gamagori, Nishio, Yaizu, Ena, atau Azuchi di tepi danau Biwa sana, yang berkuasa bukanlah aparat penegak hukum. Melainkan kelompok-kelompok bandit seperti Jakuza dan Kumagaigumi.

Demikian berkuasanya mereka, sehingga dengan kekuatan uang dan keuatan fisik mengandalkan jumlah anggota yang banyak mereka bisa saja menggeser kedudukan seorang penguasa kota kecil itu.

Tapi yang paling ditakuti pejabat resmi itu bukanlah tergesernya mereka dari kedudukan. Melainkan teror dan pembunuhan yang tak kenal perikemanusiaan. Orang-orang ini bisa saja menyerang keluarga mereka. Baik siang ataupun malam.

Bagaimana kalau suatu saat mereka mendapati anak mereka mati terbenam dalam sumur atau di gilas kereta apai? Nampaknya kecelakaan biasa. Tapi itulah perbuatan kelompok-kelompok bandit ini. Kedua kelompok bandit ini adalah semacam Mafia dari Italia sana. Dan ini membuat para bandit itu memang petentengan serta kurang ajar.

Kini mereka berhadapan.

Si Kurus kembali menyerang pertama kali di depan stasiun itu dengan samurainya. Dia maju dengan menghayun tiga langkah ke depan dan tiba-tiba melangkah kekanan dengan cepat sambil memancung ke arah Si Bungsu!

Dan pada saat yang sama, ketiga lelaki lainnya membabat dari tiga penjuru. Peluit kereta berbunyi. Ini adalah kesempatan bagi si masinis untuk berangkat. Roda kereta mulai bergerak. Michiko tertegak.

“Bungsu-saaaan …..!” himbaunya sambil menjulurkan kepala ke jendela.

Dan saat itulah tangan kanan Si Bungsu bekerja! Entah bagimana caranya, entah dari mana mulanya, entah siapa yang lebih dahulu. Semua terjadi demikian cepat. Bahkan orang-orang yang menatap dengan diampun tak bisa melihat bagaimana kejadian itu berlangsung satu demi satu.

Yang jelas, si kurus tinggi yang memulai serangan itu, robek rusuk kanannya yang terangkat bersama samurai.

Yang tadi luka di bawah pusarnya, kena hantam lagi tentang lukanya itu. Perutnya terbosai keluar. Yang satu lagi kena pancung lehernya. Jakunnya putus. Dan darah menyembur dari sana.

Dan terakhir, kepala bandit itu, yang bergelar si tangan besi, tersate di ujung samurai Si Bungsu. dengan suatu gerak berputar, Si Bungsu menikamkan samurainya ke belakang sambil merendahkan diri di atas lutut kananya. Tikam Samurai! Itulah gerakan Datuk Berbangsa dari Situjuh Ladang Laweh takkala dia mencoba melawan Saburo Matsuyama enam atau tujuh tahun yang lalu.

Mata pimpinan Kumagaigumi itu mendelik. Dia rubuh. Semua orang terdiam. Kereta mulai berlari. “Bungsu-saaan…!” Michiko memanggil di antara tangisnya. Semua penompang yang ada dalam gerbong

itu juga pada mengeluarkan kepalanya. Beberapa orang berdoa atas kematian anak muda itu. Berdoa semoga Budha menerimanya.

Michiko menangis terduduk lemah di kursinya. Kereta telah berlari kencang meninggalkan kota Gamagori itu. Dia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Bungsu-saan…” desahnya di antara isak. Beberapa perempuan juga meneteskan air mata. Terutama ibu yang tadi ditolong anak muda itu.

“Jangan menangis…..” sebuah suara terdengar di sisi Michiko. Michiko masih menangis.

“Diamlah…Michiko-san…” suara itu terdengar lembut. Michiko terdiam. Mengangkat kepalanya. Dan di sampingnya tegak Si Bungsu. dia tertegun tak percaya.

“Saya berjanji akan kembali kemari bukan?” kata Si Bungsu tersenyum lembut. Dan tiba-tiba Michiko menghambur ke pelukannya.

“Oh, Bungsu-san…oh, Bungsu-san…saya khawatir engkau dicelakai keempat orang itu….”

“Tidak. Mereka ternyata orang baik-baik. Saya mereka suruh naik ke kereta ini…” kata Si Bungsu.

Para penompang menatap mereka dengan bahagia. Ternyata Si Bungsu berhasil naik ke kereta yang sedang berjalan itu di saat yang tepat. Meninggalkan empat maya anggota Kumagaigumi itu malang melintang di depan stasiun kota kecil Gamagori.

Si Bungsu membawa Michiko duduk.

Gadis itu menyandarkan terus kepalanya ke bahu Si Bungsu. dan tangan Si Bungsu memeluk tubuh Michiko.

Kereta api itu berjalan menembus dinding senja menuju Nagoya. Michiko benar-benar merasa aman dan bahagia berada dipelukan anak muda Indonesia itu. Tubuhnya yang lelah akhirnya tertidur dalam pelukan Si Bungsu.

Hari telah larut malam ketika dia tersentak bangun. Dia bangun karena lapar. “Lapar?” tanya Si Bungsu.

Michiko tersenyum dan mengangguk.

“Saya sudah beli roti dan kue Pau. Nah, ini diminum dengan sedikit sake. Bisa memanaskan badan”

Michiko lalu makan roti tersebut. Roti dari bar Kereta Api itu masih mengepul asapnya. Panas dan nikmat.

“Engkau akan kemana?” tanya Si Bungsu ketika Michiko selesai makan. “Saya akan ke Kyoto, Bungsu-san akan kemana?”

“Saya juga akan ke sana…”

“Saya gembira kita setujuan…” kata Michiko. “Di Kyoto dimana Bungsu-san menginap?”

“Saya tak tahu. Saya baru pertama kali ke sana…”

“Kalau begitu menginap di rumah saja. Rumah kami besar dan penghuniya tak berapa orang. Ayah akan gembira sekali kalau Bungsu-san datang ke sana..”

“Terimakasih undanganmu Michiko-san. Saya lihatlah nanti bagaimana baiknya. Saya ke sana juga mencari seorang teman….”

“Dimana dia tinggal? Saya tahu seluruh kota Kyoto. Saya tinggal disana selama tiga tahun sebelum melanjutkan sekolah ke Universitas Tokyo tahun lalu….barangkali saya bisa menunjukkan alamatnya…”

“Baik, baik. Nanti sesampai di Kyoto saya akan minta tolong padamu. Nah, tambah lagi minumnya?” “Tidak, terimakasih”

Kereta meluncur terus. Mereka terlibat dalam pembicaraan tentang Tokyo. Tentang Kyoto. “Bungsu-san, apa bedanya antara negerimu dengan negeriku?”

“Banyak. Di negeri kami tak ada musim dingin. Tak ada musim  bunga atau musim gugur. Di sana matahari bersinar terus sepanjang tahun….”

“Oh, alangkah indah dan senangnya hidup di sana. Apakah di sana juga ada danau, gunung dan laut seperti di sini?”

“Engkau tak pernah melihatnya di peta dalam sekolah?”

Michiko tersenyum. Kemudian dengan manja menyandarkan kepalanya ke bahu Si Bungsu. “Saya sudah melihatnya dalam peta. Tapi saya ingin mendengarnya dari mulutmu…. Ceritalah yang banyak Bungsu-san. Ceritalah tentang negerimu. Tentang dirimu. Tentang apa saja…”

“Juga tentang bangsamu yang menjajah dan memperkosa negeriku?” hampir saja pertanyaan itu melompat dari mulut Si Bungsu. Untung dia segera dapat menahan diri.

Dia sadar, gadis ini tak ada sangkut pautnya dengan fasisme militer yang menjajah negerinya.

“Saya takkan bercerita, saya akan menyanyi. Engkau mau mendengarkan nyanyiku…?” tanyanya sambil memeluk bahu Michiko. Gadis itu bangkit dari bahu Si Bungsu. Menatap wajahnya dengan pandangan berbinar. “Ya, saya suka. Menyanyilah Bungsu-san…” katanya gembira dan kembali dia merebahkan kepalanya ke

bahu Si Bungsu. Si Bungsu memeluk bahu gadis itu dan mulai batuk-batuk kecil mengatur suara.

Dan dia mulai menyanyi dengan suaranya yang berat dan lembut. “Meskipun turun hujan,

Saya akan pergi Jangan menangis Jangan lupakan saya Selamat tinggal”

Michiko mengangkat kepalanya begitu lagu itu berakhir. Menatap anak muda itu tepat-tepat. “Anata wa nippon no uta o shitte imasu…’ (Anda mengetahui lagu Jepang), kata Michiko heran. “Hai, sukhosi dekimasu…” (Ya, mengetahui sedikit)

“Itu lagu yang sangat mengharukan. Lagu perpisahan antara dua kekasih. Dimana anda belajar?” “Saya belajar dari seorang sahabat. Seorang pelaut. Kami sekapal dari Singapura ke Tokyo…”

“Ya, itu adalah lagu pelaut-pelaut yang meninggalkan pelabuhan sepinya. Anda menyukai lagu itu?” “Ya…saya suka sekali…”

“Kenapa?”

“Karena saya adalah pelaut. Bukankah setiap pengembara adalah pelaut dalam arti kata yang lain? Pengembara pergi dan datang ke suatu negeri seperti pelaut datang dan pergi ke satu, dan lain laut sepi. Begitulah saya…”

“Oh, Bungsu-san….” Michiko menyembunyikan rasa harunya ke dada pemuda itu.

Si Bungsu memeluk bahu gadis itu kembali. Tanpa dia ketahui, air mata gadis itu mengalir di pipi.

Pemuda itu menyanyikan lagu sepi dan mengucapkan selamat tinggal.

Dan Michiko merasa bahwa lagu itu ditujukan untuk dirinya. Dengan halus Si Bungsu tadi telah menolak untuk menginap di rumahnya. Bukankah itu isyarat, bahwa pemuda itu tak lagi akan bertemu dengannya?

Dia merasakan tangan anak muda itu memeluk bahunya. Merasakan pipi anak muda itu bersandar ke rambutnya yang lebat. Michiko memegang tangan Si Bungsu yang memeluknya. Memegangnya dengan lembut.

Dengan sikap demikian, dia kembali tertidur. Dan dengan sikap demikian pula Si Bungsu mengenang kembali masa lalunya di Minangkabau.

Ingatannya menikam masa tahun-tahun yang lenyap dalam jejak zaman.

Teringat akan kegemarannya berjudi ketika muda. Pada kebenciannya belajar silat. Meski ayahnya, Datuk Berbangsa adalah Guru Tuo dalam aliran silatnya di kaki Gunung Sago itu.

Teringat pada Mei-Mei. Pada “Isteri” pertamanya yang tak sempat dia nikahi itu. Gadis Cina itu meninggal di atas loteng surau di Tarok, Kota Bukittinggi sesaat sebelum mereka membaca ijab kabul di depan Kadhi. Gadis itu meninggal karena diperkosa oleh selusin serdadu Jepang.

Kemudian dia teringat pada Salma. Gadis murid sekolah Diniyah yang orang tuanya tinggal di Panorama Bukittinggi. Gadis itulah yang mengobat luka-luka yang dia derita dengan penuh kasih sayang.

Dan tanpa dia sadari, ibu jarinya meraba jari manisnya yang kiri. Sebentuk cincin bermata Intan melingkar disana. Cincin pemberian Salma.

“Pakailah cincin ini. Bila uda sakit atau rindu ke kampung, lihatlah cincin ini, saya selalu mendoakan kebahagiaan udaa…”

Begitu Salma berkata sesaat sebelum dia pergi dahulu.

Dia menoleh ke cincin itu. Dan dia justru terpandang pada wajah Michiko yang tidur bersandar ke bahunya.

Gadis itu tidur dengan tenteram dan nyenyak dalam pelukan tangan kirinya.

Dia menoleh ke luar. Lewat jendela kaca yang kain gordennya belum ditutupkan, dia melihat kegelapan yang pekat di luar sana.

Angin dingin pastilah menusuk-nusuk. Sebab kini musimnya. Dalam kegelapan di luar, dia membayangkan perjalanannya selama di Jepang ini. Membayangkan Kenji, Hannako dan Tokugawa. Hannako! Ah, sedang mengapa gadis itu kini? Dia tahu gadis itu mencintainya. Itu terlihat dari tindak tanduknya.

Apakah dia juga mencintai gadis itu? Dia tak berani menjawabnya. Dia menyayangi gadis itu seperti dia menyayangi adiknya. Dan tiba-tiba dia menatap wajah Michiko yang tidur dalam dekapannya.

Yang mana antara Michiko dan Hannako yang cantik? Dia tak dapat mengatakan yang pasti. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Dan mana yang cantik antara kedua gadis ini dengan Salma yang di Bukittinggi.

Ah gila, pikirnya. Dia jadi malu pada dirinya memperbandingkan gadis-gadis itu. Dan dengan pikiran demikian, dengan tangan tetap melekuk bahu Michiko, diapun tertidur.

Kyoto. Pada tahun-tahun sehabis perang Dunia ke II Kyoto adalah kota terbesar di Jepang. Lebih besar dari Tokyo yang kini jadi Ibukota.

Kyoto adalah kota tua dari zaman dinasti Tokugawa. Karenanya dalam kota kelihatan bangunan- bangunan peninggalan zaman tersebut. Tua tapi kukuh dan anggun. Kuil-kuil agama Budha dan Shinto terdapat di banyak tempat dalam kota.

Kota itu sendiri di belah-belah oleh beberapa sungai besar dan kecil. Sungai terbesar yang membelah kota itu adalah dua buah sungai yang bergabung jadi satu.

Kedua sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai Takano dari utara bergabung jadi satu agak di utara kota, kemudian mengalir ke jantung kota.

Stasiun Kereta Api Kyoto terletak di kawasan daerah Minamiku. Di depannya ada stasiun bus. Stasiun ini ramai sepanjang siang dan malam. Tak perduli musim panas atau musim dingin.

Sepanjang tepi sungai yang mengalir dalam kota dibuat jalan raya yang diteduhi pohon-pohonan sakura.

Si Bungsu menginap di sebuah hotel di persimpangan jalan Imadegawa yang melintasi sungai dengan jalan Karawamachi yang searah memanjang jalan.

Dia berpisah dengan Michiko di depan hotel itu. Di belakang hotelnya adalah areal Istana Kyoto. Istana ini memiliki kebun dan taman yang bukan main luasnya. Di sinilah dahulu Dinasti Tokugawa memerintah.

Dia setaksi dengan Michiko yang juga searah perjalanannya dengan dia. Dari stasiun kereta api mereka menyelusuri jalan raya Kamawarachi arah ke utara. Di persimpangan jembatan Kamo Odhasi dimana letak hotel Kamo dia turun.

“Saya akan datang kemari, boleh?” tanya Michiko.

“Dengan segala senang hati…” jawabnya. Benar saja, esoknya Michiko datang membawa makanan.

Mereka duduk di teras belakang hotel itu. Menghadap ke taman Istana Kyoto yang luas. “Ayah ingin bertemu denganmu. Dia menyampaikan salam…” kata Michiko. “Terimakasih. Ibumu ada sehat-sehat?”

“Ibu sudah lama meninggal…” “Oh, maafkan…”

“Selama ini saya hidup dengan ayah. Dan saya mendapatkan kasih sayang yang cukup dari beliau. Kapan Bungsu-san dapat datang ke rumah kami? Rumah saya tak berapa jauh dari sini…”

“Suatu saat saya pasti datang. Bila saya telah bertemu dengan teman yang saya cari…”

“Hei, dari kemaren Bungsu-san bercerita akan menemui seorang teman di kota ini. Tapi Bungsu-san tak pernah mengatakan apakah dia seorang wanita atau lelaki. Teman wanita barangkali?”

Si Bungsu tersenyum.

“Seorang teman istimewa ya Bungsu-san?” Michiko memancing.

“Tidak Michiko-san. Saya mencari teman lama. Seorang lelaki…” kata Si Bungsu. perasaan Michiko jadi tenteram. Dan pembicaraan lalu berkisar pada soal lain. Dan setelah sama-sama makan siang di restoran hotel, Michiko lalu pulang.

Si Bungsu jadi lega begitu Michiko pulang. Sebab dia memerlukan waktu untuk latihan terakhir. Dia segera menuju ke kamarnya. Disana, dia membuka samurai. Kemudian berlatih beberapa saat.

Dia melatih pernafasan. Melatih indera dan kecepatan reaksinya. Dia berlatih hingga malam turun. Dan malam itu dia tidur dengan lelap sekali.

**000** Subuh. Ini adalah hari ke tiga dia di Kyoto. Dan hari ini dia akan menemui “teman lamanya” itu. Teman yang telah lama tak bersua, Saburo Matsuyama!

Dia membuka peta kecil yang dia beli ketika masih di Tokyo. Dan mempelajari peta itu dengan seksama. Mempelajari letak sebuah kuil. Kuil Shimogamo. Kuil tersebut terletak di daerah Shimogamo. Terletak antara jalan Shimogamo Higasi dan jalan Shimogamo Hon. Kuil itu juga terletak antara sungai Takano di sebelah

kanannya dan sungai Kamodi di sebelah kirinya.

Dia harus menempuh jalan Shimogamo Hon dari hotelnya ini. Kemudian melintas di jembatan Aoi yang terletak di atas sungai Kamo.

Kesanalah dia kini pergi! Di Tokyo, ketika dalam penjara dia mendapat alamat dimana Saburo berada. Keterangan itu diperolehnya lewat seorang tentara Amerika bahagian dokumentasi. Dia tahu dimana bekas- bekas tentara Jepang berada.

Hari masih pagi ketika dia melintas di jembatan Aoi itu. Udara dalam musim dingin itu berkabut. Dia berjalan santai. Di pinggangnya tergantung samurai yang beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa ibu, ayah dan kakaknya!

Kini dengan pakaian Kimono berwarna hitam bertuliskan aksara (huruf) Kanji, yaitu aksara yang dipakai dalam bahasa Jepang, dengan samurai di pinggang kiri maka dia tak ada obahnya seperti orang-orang Jepang.

Beberapa orang Jepang yang berpapasan jalan dengannya membungkuk memberi hormat. Dia juga melakukan hal yang sama.

Di kota ini, keakraban dan basa basi masih tinggi terasa.

Dari mulutnya sambil berjalan itu berkumandang dengan lembut lagu yang diajarkan Kenji ketika mereka di kapal dulu :

“Ame ga futtemo ikimasu Nakanaide kuda-sai

Watashi o wasurenaide kudasai… sayonaraaaa”

(Meskipun turun hujan saya tetap akan pergi Jangan menangis Jangan lupan saya Selamat tinggal…!”)

Lagu itu dia ulangi beberapa kali. Beberapa lelaki Jepang yang berpapasan dengannya mengangguk. Dia juga mengangguk sambil tetap menggumankan nyanyi itu.

Dan tiba-tiba dia melihat kuil itu! Kulil Shimogamo! Dia terhenti. Tubuhnya terasa membeku. Tapi juga panas dan menggigil.

Kuil itu terletak di ujung sebuah taman yang cukup luas. Perlahan dia membelok ke kanan dari jalan Shimoga-hon. Kemudian berbelok ke kiri melintasi taman pepohonan yang rimbun. Seratus meter berbelok ke kiri. Dan tiba-tiba kakinya telah menginjak altar Kuil Shimogamo!

Dan dia terhenti di ujung altar.

Puluhan pendeta berkepala botak kelihatan sedang berlatih beladiri. Ada yang berlatih dengan pentungan kayu sepanjang satu setengah depa.

Ada yang berlatih karate. Ada yang berlatih samurai. Dia tak kaget. Sebab dia telah diberitahu tentang kuil ini. Dan hampir di seluruh kuil di Jepang atau Tiongkok kepada para pendetanya memang diajarkan berbagai jenis beladiri.

Hal ini sudah menjadi tradisi bagi kuil-kuil tersebut. Tujuan utamanya di zaman dahulu kala adalah menghadapi musuh yang selalu saja ingin menguasai sebuah kuil.

Menyebarkan agama, seperti halnya di Indonesia, selalau mendapat tantangan. Maka kalau di Indonesia para malin, terutama di Minangkabau biasanya adalah pesilat-pesilat tangguh, maka di Jepang mereka umumnya adalah Karateka atau samurai yang tangguh pula.

Hanya saja kini kegunaan pelajaran beladiri itu sudah jauh berbeda. Tidak lagi untuk menghadapi musuh. Tapi untuk kesehatan. Jadi fungsinya sudah bertukar jadi olahraga!

“Maafkan, bisa saya bantu?” sebuah suara ramah menyadarkan Si Bungsu yang masih tegak diam diujung altar kuil itu.

Kuil itu besar, bersih dan anggun.

Dia menoleh. Seorang pendeta berjubah merah berkepala botak dan berwajah ramah, tegak disisinya. “Apa yang bisa saya bantu?” ulang pendeta itu lembut. “Oh..ya…. saya ingin bertemu dengan Obosan….dapatkah dia menerima kedatangan saya? Obosan adalah kepala pendeta.

Pendeta itu menatapnya dengan sinar mata yang lembut. Dia tak bertanya sedikitpun darimana orang ini datang, dan ada urusan apa kedatangannya. Itu adalah urusan pribdai. Dan kuil tak ada hak mencampuri urusan pribadi orang.

Lagipula setiap orang yang berkunjung ke kuil haruslah dihormati.

“Akan saya sampaikan. Mari ikut saya….” Si Bungsu membungkuk memberi hormat. Kemudian mereka berjalan lewat pendeta-pendeta yang tengah latihan itu. Menuju ke ruang tunggu kuil Shimogamo tersebut.

Dari altar, mereka menaiki anak tangga yang jumlahnya sembilan buah. Lalu mereka melewati sebuah ruangan yang bersih dari marmar. Ruang itu tak berdinding. Hanya bertiang besar-besar.

Ada sepuluh meter persegi luasnya. Kemudian dia di bawa turun. Ruang ini tak ada kursi. Tapi bersihnya bukan main.

“Haraplah menanti disini…” kata pendeta itu. Si Bungsu mengangguk. Dan dia segera saja duduk berlutut di lantai.

Pendeta tadi menuju ke ruang tengah yang pintunya tertutup dari balik pintu terdengar suara berguman perlahan. Pastilah tengah berlangsung upacara agama di ruang sebelah itu.

Dari luar sayup-sayup terdengar suara-suara orang latihan beladiri.

Seorang gadis lewat di samping Si Bungsu. Melihat pintu tertutup, gadis itu tegak tak berapa jauh dari tempat Si Bungsu berlutut. Kemudian gadis itu juga berlutut. Dia menaruh sebuah keranjang yang nampak berisi makanan di sisinya.

Sepintas Si Bungsu menoleh padanya. Gadis itu kebetulan juga tengah menoleh padanya. “Bungsu-san…” seru gadis itu. Wajahnya berseri.

“Michiko….” Kata Si Bungsu tertahan. Ya, gadis itu adalah Michiko. Dia memakai kimono berwarna putih salju dengan bunga-bunga sakura berwarna merah jambu tergambar di kimononya itu.

Di punggungnya dia memakai Obi, semacam stagen. Dan dikepalanya yang berambut hitam ikal dia memakai Kanzashi berbunga. Yaitu semacam sanggul khas Jepang.

Gadis itu segera saja bangkit. Membawa keranjang kecilnya dan dengan wajah berseri duduk berjongkok di sebelah kiri sisi Si Bungsu.

“Aaa, saya hampir-hampir tak mengenal Bungsu-san dalam pakaian begini. Bungsu-san persis seperti seorang samurai yang siap bertempur. Gagah dan perkasa”

Michiko berkata sambil menatap Si Bungsu yang memegang samurai itu. Si Bungsu juga balas menatap kagum pada gadis cantik itu.

“Engkau benar-benar gadis yang cantik Michiko-san…” katanya perlahan. Wajah Michiko bersemu merah. Matanya bersinar menatap Si Bungsu.

“Ada keperluan apa Bungsu-san kemari?” tanyanya. Dan pertanyaan itu belum terjawab, ketika pintu yang dimasuki pendeta tadi terbuka.

“Dengan segala senang hati, Obosan menanti kedatangan anda…” kata pendeta itu. “Bungsu-san….engkau akan bertemu dengan Obosan…?” Michiko bertanya dengan heran. “Ya, maafkan saya harus pergi….” Jawabnya sambil berdiri.

“Nona Michiko….” Pendeta yang menyilahkan Si Bungsu masuk itu menegur Michiko dengan gembira. “Selamat pagi pak…” sapa Michiko ramah.

Sementara itu pintu ruangan terbuka lebar. Si Bungsu melangkah. Tegak di ambang pintu.

Dan dalam ruangan upacara itu, tegak sekitar enam belas lelaki berjubah kuning berkepala botak. Tegak berbaris di dua sisi.

Persis di ujung kedua barisan itu, dekat altar pemujaan, tegak seorang pendeta bertubuh tinggi gagah dan anggun dalam jubah merah.

Dia tegak menatap pada Si Bungsu.

Si Bungsu tegak mengangkang di pintu menatap kepala pendeta yang tegak gagah dan berwajah ramah

itu.

“Selamat datang di kuil Shimogamo, anak muda. Saya dengar engkau datang dari jauh. Mari silakan

masuk….” Obosan (kepala pendeta) itu berkata dengan ramah.

Di telinga Si Bungsu, suaranya yang ramah itu seperti datang dari liang lahat. Seperti suara cangkul menggali pusara. Seperti suara gonggong anjing di tengah malam.

Dia tak beranjak dari tempatnya tegak. “Silahkan masuk, kuil ini terbuka buat semua orang. Ada yang bisa saya bantu…?” Tanya Obosan itu.

Suaranya masih ramah. Sementara keenam belas pendetanya menatap diam dari tempat mereka tegak.

“Terimakasih. Saya mencari seorang lelaki, bekas balatentara Dai Nippon. Bernama Saburo Matsuyama.

Ada lelaki itu disini?”

Suara Si Bungsu bergema. Semua orang jadi terdiam mendengar suara yang alangkah dinginnya itu.

Seperti suara yang datang dari guha yang sunyi.

Mengandung misteri dan mengandung suara bahaya.

Dia menatap kepala pendeta itu tepat-tepat dalam jarak dua puluh depa dari tempatnya tegak. “Siapa anda, anak muda?” Obosan itu. Masih ramah dan lembut suaranya.

“Saya orang Indonesia…” jawabnya dingin.

“Saya banyak mengenal banyak teman-teman dari Indonesia. Apa yang dapat saya bantu?” pendeta itu masih bicara perlahan dari tempatnya tegak.

“Anda banyak teman, yaitu penghianat di negeri kami. Anda masih kenal saya, Saburo?” Pertanyaan itu saja sudah membuat kaget seluruh pendeta yang ada disana.

Michiko yang juga kaget luar biasa atas percakapan itu melangkah, dan tegak tiga depa di belakang Si Bungsu.

“Maafkan, terlalu lama zaman saya lalui. Sehingga saya tak bisa mengingat semua teman dan kenalan…” suar Obosan itu terdengar lagi.

Si Bungsu membuka kimononya. Dari pinggang ke atas tiba-tiba terbuka.

Michiko yang ada di belakang terpekik melihat beberapa sayatan memanjang di punggung anak muda itu. Sementara yang tegak di depannya yaitu para pendeta itu, juga tertegun melihat bekas-bekas sayatan di dada anak muda asing ini.

Si Bungsu membelakang. Memperlihatkan punggungnya pada Saburo.

“Suatu hari di Minangkabau, di desa Situjuh Ladang Laweh, di kaki Gunung Sago Kabupaten 50 Kota, anda membunuh seorang lelaki bernama Datuk Berbangsa. Membunuh isterinya. Memperkosa anak gadisnya. Dan melukai anak lelakinya.

Mereka adalah ayah, ibu dan kakakku! Dan anak lelaki yang engkau kira mati oleh samuraimu itu, kini ada dihadapanmu!”

Kalau saja ada petir menyambar, barangkali kepala pendeta itu, terlebih lagi para pendeta dan Michiko, mungkin takkan terkejut mendengarnya.

Namun ucapan anak muda ini melebihi seribu petir di pagi itu. Michiko terpekik! “Ayaah….!” Katanya. Dan dia jatuh berlutut di atas lantai!

Si Bungsu kaget dan menoleh ke belakang. Obosan itu juga kaget. Dan barulah kini dia melihat bahwa di belakang anak muda itu ada Michiko, anaknya!

“Michiko…..”

Kepala pendeta yang tak lain dari Saburo Matsuyama itu berseru. Suaranya terdengar getir. Dan di ujung sana, Michiko terduduk, dia menangis.

Saburo jelas sekali terpukul bathinnya. Bertahun-tahun dia menyembunyikan diri dari kekejamannya selama perang. Dia selalu bercerita yang baik-baik pada anak gadisnya.

“Kenapa ayah berhenti jadi tentara?” begitu Michiko bertanya ketika dia pulang setelah dipecat dari dinas ketentaraan oleh Jenderal Fujiyama di Bukittinggi dulu.

“Perang sangat kejam nak. Ayah tak bisa membunuh orang terus-terusan. Ayah berhenti di Filipina…” katanya berbohong.

Ya, dia hanya setahun di Indonesia. Dia tak ingin pengalaman pahitnya di  Indonesia diungkit. Dia mengatakan pada anaknya bahwa dia hanya bertugas di Filipina.

Dan Saburo Matsuyama ternyata memang menyesali segala perbuatannya selama perang. Dia memtutuskan untuk jadi pendeta.

Siapa nyana… ternyata ada orang yang mencarinya kembali untuk urusan balas dendam.

Yang tak kalah kagetnya adalah Si Bungsu. Dia heran kepada siapa Michiko memanggil ayah tadi? Dan begitu Saburo menyebut Michiko… maka tahulah dia, ayah si gadis itu adalah Saburo! Ya Tuhan, alangkah banyaknya hal yang tak bisa terduga oleh manusia!

Dan tiba-tiba saja semua dikejutkan oleh perbuatan Michiko. Tangan gadis itu cepat menjangkau ke dalam keranjang kecil yang dia bawa. Dari dalamnya dia menghunus sebilah samurai kecil.

Dan samurai itu dia hunjamkan ke jantungnya!! “Michikooooooo!” Saburo Matsuyama berteriak histeris melihat kenekatan anaknya itu.

Namun suatu keajaiban terjadi. Sebenarnya bukan keajaiban. Tapi suatu kecepatan yang luar biasa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar