Seruling Sakti Jilid 24 (Tamat)

Jilid 24 (Tamat)

Jaka termenung sejenak. “Jika orang menggunakan penawar Sandigdha, dia tak akan mengalami masalah, sampai akhirnya ada orang yang menggunakan pemicu. Penawar itu mudah digunakan, bisa di oles, diminum— dicampur dengan air, bahkan kau masukkan kedalam makanan pun tak akan merubah rasa.”

“Apa pemicunya?” Tanya Ki Alih.

Jaka tak buru-buru menjawab. “Baru dugaanku, nanti akan kita ketahui.”

“Aku masih kurang jelas, dari mana kau bisa menyimpulkan, ada pihak yang sedang meniru racun?” Tanya si Ular—Ekabhaksa mengulang. Berbicara dengan si ular yang tambun itu memang harus ekstra rinci dan sabar, Jaka sangat memahami itu. “Kan tadi sudah kujelaskan, aku mengambil asumsi dari luka yang di derita Phalapeksa.”

“Bagaimana jika asumsimu salah?” kejar Ekabhaksa lagi. “Itu sangat mungkin. Karena itu aku menyuruh Penikam

untuk mencari bunga ini. Bunga ini adalah semacam

tambahan yang tidak boleh kurang, dalam meramu racun yang kusangkakan tersebut.”

“Oooo….” Barulah Ekabhaksa manggut-manggut.

“Semua hal terjadi begitu komplek, dan berurutan. Itulah alasanku mengapa paman sekalian harus meminum bibit racun yang kubuat. Memang, tidak akan banyak membantu dari pengaruh racun yang asli, tapi ramuan dari si peniru ini, dapat kita tangkal.”

“Padahal luka yang di idap Phalapkesa sangat parah, tapi ternyata itu hasil dari racun tiruan saja?” gumam Jalada. “Sungguh sukar dipercaya!” tak ada yang menimpali ucapan si baginda, terbayang oleh mereka betapa Jaka-pun kerepotan oleh luka sayatan yang diderita. Luka yang katanya memiliki racun jenis sama yang di idap Phalapeksa.

“Apakah kau bermaksud mencegah munculnya si pemilik racun?” Ki Alih berkesimpulan, setelah suasana hening dalam waktu yang cukup lama.

Jaka terkesima sesaat oleh kesimpulan Ki Alih, pemuda ini diam termenung sesaat lalu mengangguk perlahan. “Ya, mungkin begitu niatku. Hanya saja… aku merasa itu tak sepenuhnya benar. Tapi untuk sementara, tujuan itu lebih baik!”

Terdengar deheman dari belakang, Wuru Yathalalana berjalan menghampiri. “Tidak keberatan aku bergabung?”

Mereka menggeleng, Ki Alih langsung mempersilahkan si pemabuk untuk duduk. “Bagaimana perasaanmu?” Tanya Ki Alih.

“Kenyang!” jawabnya dengan tertawa lebar, membuat Ki Alih tergelak.

Jaka tersenyum, agaknya orang itu memang diciptakan untuk menularkan rasa optimisme, wajahnya terlihat lebih berseri. Membuat situasipun jadi lebih cair.

“Maaf, aku mendengar pembicaraanmu.” Kata Wuru Yathalalana sambil duduk di samping Ki Alih. “Dan aku benar- benar ingin bertukar pikiran dengan kalian.”

“Apakah itu bisa membantu dirimu?” Tanya Jaka.

“Aku tak tahu, tapi… mungkin akan berguna bagi kalian. Dulu, orang yang membuatku jadi pemabuk, mengatakan begini: ‘saat kau tak lagi mabuk, itu adalah kematianmu. Tapi, jika kau masih hidup. Akan terjadi banyak perubahan, bahkan aku akan dengan senang hati menyerah padamu tanpa syarat.’”

“Oh, jadi kau akan membalaskan penderitaan mabuk itu?” Tanya Jaka lagi.

Wuru Yathalalana terdiam. “Apakah tidak boleh?” tanyanya dengan suara parau. “Aku kehilangan kesadaranku, tiap gerak-gerikku di kendalikan, dan selanjutnya… aku tak tahu apa yang harus dilakukan selain menangis, meminta ampun kepada mereka yang anggota keluarganya kusakiti… apa aku tidak boleh membalas?”

Jaka terdiam. “Kau sangat boleh membalas, sangat. Tapi sebelumnya, kisahkan pada kami, apa yang terjadi selama kau mabuk.”

Wuru Yathalalana menghela nafas panjang. “Hal itu pula yang membuat aku ingin bertukar pikiran dengan kalian…” lelaki ini menoleh kearah Jalada. “Saudara, tampangmu kaku sekali… apakah aku membuat kesalahan padamu?” mantan pemabuk ini mencoba akrab dengan Jalada.

Jalada mendengus. “Setahuku, manusia yang memiliki otak, akan berterima kasih pada orang yang menolongnya.” Katanya dengan ketus menyindir kelakukan Wuru Yathalalana.

“Ya.. ya.. aku memang bersalah, tapi orang yang menolongku lebih banyak mendapatkan manfaat dari pada diriku, masa aku yang hrus berterima kasih?” atas jawaban Wuru Yathalalana semua orang—kecuali Jaka, memasang tampang tak sedap. Tapi lelaki ini tidak perduli, dia malah mengambil minuman milik Jalada yang belum sempat disentuhnya.

Jaka tertawa, sifat orang tua ini memang unik, dia jadi bisa sedikit meraba, kemana tujuan orang yang membuat lelaki itu menjadi pemabuk tulen! “Kau benar sekali, aku mendapatkan manfaat tak terbatas atas kasusmu.” Kata pemuda ini membuat Ki Alih tidak suka dengan cara bicara Jaka— baginya, sebagai seorang yang memimpin mereka, Jaka harus menjaga harga diri. “Dan aku berterima kasih…”

Wuru Yathalalana tertawa penuh kemenangan, sambil melirik Jalada yang membuang muka.

“Akupun kini mengerti alasannya, kenapa kau dijadikan pemabuk.” Ujar Jaka membuat senyum di wajah Wuru Yathalalana menghilang.

“Kau tahu?” tanyanya dengan raut tak percaya.

Jaka mengangkat bahunya. “Kisahkan saja ceritamu…” katanya tak menanggapi.

Wuru Yathalalana menatap Jaka lekat-lekat, lalu lelaki ini menguman sambil tertawa kecil. “Kalian pikir aku ini orang buta, aku tahu identitas kalian…” gumamnya. Lalu dia menyebutkan semua orang satu persatu kecuali Jaka. “Luar biasa! Orang-orang tenar berkumpul pada satu himpuan. Meski cirri khas kali berubah, itu tak ada artinya! Pandanganku tak bisa dikelabui…”

“Hh! Kami memang tidak pernah sembunyi dari siapapun.” Dengus Cambuk tersinggung degnan lagak Wuru Yathalalana.

“Tolol!” desis Penikam sembari melotot pada Cambuk.

Wuru Yathalalana tertawa bergelak. “Benar sekali, kau terlalu tolol! Mudah sekali terpancing!” katanya sambil tertawa- tawa sendiri. “Aku hanya ingin tahu sebenarnya orang-orang macam kalian ini ada urusan apa, kok bisa bergabung begini rupa? Jika kau menyatakan tak pernah sembunyi, artinya kalian memiliki tujuan yang tak takut diketahui orang. Bisa kukatakan pula, ini mungkin urusan besar.” Dari caranya bicara, Jaka segera tahu dugaan awalnya salah… orang ini ternyata tidak hanya bisa menularkan optimisme, tapi juga mudah memperkeruh suasana hati orang.

“Bisa kau tanyakan pada orang yang selalu menyertaimu, Keluarga Keenam itu kumpulan orang macam apa!” Ketus Ekabhaksa dengan perut panas. Kalau tahu orang yang ditolong Jaka, ternyata orang semacam ini, siang-siang dia bunuh, habis perkara!

“Segala macam omong kosong bisa kau katakan, aku tetap tidak percaya! Keluarga Keenam itu tak pernah ada!” Dengus Wuru Yathalalana.

“Kau benar,” Jaka segera menimpali. “Kami ini memang tidak pernah ada, tidak ada yang mengobatimu—kau sembuh dengan sendirinya, manakala kau tak bisa mabuk lagi, pasti ada orang yang mencarimu lalu bertanya: ‘Kenapa tidak minum?’ lalu kau menjawab. ‘Aku tidak bisa.’ Atas jawabanmu, mungkin mereka tak percaya, dan akan membuatmu mabuk lagi, memaksamu supaya kau hilang kesadaran dan melakukan tugas yang sudah dua puluh tahun dibebankan di pundakmu. Tapi, tentu saja akan berbeda. Mabukmu kelak, dengan mabukmu yang lalu… kemampuan dalam menghilangkan rasa sakit akibat pukulan lawan, hilang karena kesembuhanmu. Kecepatan juga menurun, bobot pukulan juga lebih lembek. Kupikir hampir setiap pesilat kelas tiga bisa mengalahkan dirimu. Itu pula yang membuatku merasa tidak pantas mendapatkan ucapan terima kasih darimu.” Ringan cara Jaka menyampaikan, tapi tiap patah katanya membuat kawan-kawan Jaka tersenyum, dan membuat raut Wuru Yathalalana membeku. “Karena itu, segala macam omong kosong yang berkaitan dengan kami, tak usah kau bahas. Sekarang kita membahas urusan dirimu saja, bagaimana?” “Ba-baiklah…” ujar Wuru Yathalalana dengan suara lemah. “Siapa yang membuatmu menjadi pemabuk?” Tanya Jaka

langsung ke inti permasalahan.

“Aku tidak tahu, tapi mungkin ada kaitannya dengan Wrhaspati.” Wajah semua orang—kecuali Jaka terlihat berubah. Melihat Jaka tidak bereaksi, Wuru Yathalalana memperjelas. “Dalam Dewan Penjaga Sembilan Mustika, ada sembilan orang tetua yang masing-masing memiilki kekutaan besar dalam memutuskan benar-salahnya seseorang—atau kelompok. Dan Wrhaspati adalah salah satu dari sembilan tetua.”

Jaka manggut-manggut.menjadi masuk akal, jika selama ini pembunuhan, penganiayaan dan perusakan yang dilakukan Wuru Yathalalana tidak di respon oleh Dewan Penjaga Sembilan Mustika. Tapi bagaimanapun itu baru dugaan. “Kenapa kau menduga dia yang terlibat?” 

“Aku mempunyai hubungan cukup baik dengan kalangan Wrddhatâpasa. Orang ini…” Wuru Yathalalana menggertakkan giginya. “Memukulku dengan menyatakan; ‘orang-orang sok suci itu, apakah akan membantumu atau diam saja’?”

Jaka tidak berkomentar, mengaitkan Wrddhatâpasa dalam hubungan yang kadang membaik dan memburuk dengan Dewan Penjaga Sembilan Mustika—dalam hal ini Wrhaspati, tak akan menolong dalam memecahkan misteri mabuknya Wuru Yathalalana. Saat ini, Jaka hanya bersikap mendengar saja. Tapi, pikiran lain orang tidak serupa dengan Jaka, Ki Alih misalnya; dia menyimpulkan orang-orang yang melingkupi Sandigdha—jika mereka memang si bayangan yang selalu menjaga Wuru Yathalalana—tentu ada kaitannya dengan Wrhaspati. Rasanya menjadi masuk akal, hanya orang yang memiliki kekuasaan besar sajalah yang bisa ‘menjaga’ misi aneh Wuru Yathalalana dalam membunuh, merusak, menganiaya tokoh-tokoh tertentu.

Ki Alih menatap Jaka dengan pandangan aneh, apakah pemuda ini memiliki kemampuan melihat masa depan? Jaka menyatakan akan memintal bulu domba—Sandigdha—tidak berupaya mencari tahu siapa si tua Bangka, atau bahkan mencari hubungan dengan Kwancasakya, lebih-lebih pemuda ini tidak mencari orang yang nyaris mengalahkannya. Jika ketiga pihak itu bisa di telusuri, tentu hasilnya lebih baik. Tapi tidak, Jaka bersikeras kembali kepada dasar permasalahan. Entah ini ada kaitannya atau tidak, antara luka yang di derita Phalapeksa, keterkaitan Sandigdha—secara tidak langsung— dengan Wrhaspati, atas hubungannya dengan Wuru Yathalalana. Lebih dari itu, apa yang di kemukaan dan di lakukan Jaka secara sporadis, lalu di kerucutkan pada sebuah nama kosong Keluarga Keenam, ternyatanya sebagai antisipasi akan hal-hal yang muncul; seperti kasus Wuru Yathalalana ini? Setiap tindakan sepertinya sudah diantisipasi demikian cermat, padahal sejauh ini Ki Alih sendiri baru sanggup merabanya setelah Wuru Yathalalana berkisah. Apakah Jaka mengetahui fakta-fakta itu hanya dari bukti luka Phalapeksa? Dari ‘pembicaraannya’ dengan Sandigdha? Atau Dari pertempuran dengan lelaki pemilik pukulan aneh yang nyaris mengalahkan Jaka? Ki Alih diam-diam menghembuskan nafas dingin, bahkan mereka yang menjadi satu kesatuan dengan seorang Jaka saja, tidak bisa meraba tindakannya. Konon nanti ‘lawan’ yang akan dihadapi Jaka? Bagaimana mereka akan mengantisipasi setiap langkah pemuda ini? Menanti kemungkinan demikian, membuat semangat Ki Alih makin berkobar. Memang tidak rugi memang mengikuti pemuda ini…

“Dan selanjutnya kau berangsur-angsur menjadi pemabuk?” Jaka bertanya lagi.

Wuru Yathalalana mengangguk.

“Sebelum kegagalan kemarin, korban terakhirmu siapa?” “Aku tidak tahu siapa namanya, tapi dia orang tua.”

Wajah Jaka menjadi serius. “Dengan cara apa kau lukai dia?”

“Tidak ingat, tahu-tahu dia jatuh. Begitu aku tersadar, aku takut orang itu meninggal, maka kubawa dia diperbatasan kota ini.”

Kecuali Jaka, semua orang terkejut. Tapi Jaka membuat isyarat supaya mereka tidak mengatakan apapun. “Kau cukup punya tenaga untuk bertarung?” Tanya Jaka.

“Sekarang?” Tanya Wuru Yathalalana heran.

“Kecuali pencernaanmu yang kacau, aliran tenagamu normal.” Gumam Jaka mematahkan kemungkinan penolakan Wuru Yathalalana.

Lelaki itu ini menggertak gigi. “Baiklah!” dia berdiri menjauhi tempat duduk, Jaka memandanginya dari belakang lalu meloncat menepuk leher Wuru Yathalalana.

Ketepatan Jaka menepuk leher lelaki membuat Wuru Yathalalana menggerang dan segera membalikkan badan, melancarkan cakaran pada Jaka, Ekabhaksa sekalian bisa melihat bola mata Wuru Yathalalana memutih, rupanya Jaka membuat orang itu menjadi tak sadar, membuat orang tua itu mengerahkan kemampuan secara total.

Tiap cakaran dan gerakan Wuru Yathalalana seharusnya sanggup memporak-porandakan apapun yang terkena angin serangannya, tapi akibat pengobatan yang di lakukan Jaka membuat Wuru Yathalalana melemah, tenaganya hanya tersisa tiga bagian. Jaka meliuk-liuk menghindar, tiap serangan. Sejak jurus pertama Wuru Yathalalana hanya mengeluarkan jurus cakar, namun setelah Jaka secara sengaja menampar kepalanya, mendadak cakar itu berubah menjadi jurus totokan, tiap kali jemari mengibas, desingan tajam cukup membuat orang-orang terkesip.

Jaka segera menangkis, lalu berputar mengisar kebelakang lalu menampar leher Wuru Yathalalana lagi. Gerakan yang seringan itu membuat mantan pemabuk ini, terjerumus hampir saja nyungsep.

Lelaki itu menatap Jaka dengan pandangan antara marah, kagum, juga jeri. “Kau lakukan apa padaku?”

“Tidak ada, hanya memeriksa.” Kata Jaka sambil membalikan badan lalu mengambil tepat duduknya lagi. “Memang orang ini… tapi bukan dia…”

“Bicara yang jelas!” desak Jalada.

“Dia memang terkena luka totokan—ilmu totokkannya memang istimewa, membuat luka tapi tak menimbulkan bekas, jadi sulit untuk diperiksa. Tapi tidak menimbulkan kematian, tidak pula beracun, dan disaat bersamaan, ada serangan lain yang menyasar kelehernya, serangan yang sangat beracun, menggunakan cara yang sama dengan orang yang telah menggoreskan luka cakar padaku. Entah apa maksudnya melukai dia secara sembunyi-sembunyi…”

Dia yang di maksud Jaka adalah Phalapeksa, sengaja Jaka tidak menyebutkan secara berterang—untuk menghindari pertanyaan Wuru Yathalalana, tapi sahabat pemuda ini mengetahuinya.

“Pada saat kau menyerang si korban, apakah ada yang mengganggu tindakanmu?”

Wuru Yathalalana terdiam mengingat-ingat. “Rasanya tidak.”

“Terakhir, kenapa kau menyerang orang yang ada dalam perlindungan, ‘bayang-bayangmu’ sendiri?”

Orang ini mengingat-ingat lagi. “Tapi itulah perintahnya, setiap kali aku harus membunuh, atau melakukan hal lain, selalu saja ada surat atau perintah langsung yang datang. A- aku tidak bisa berpikir, begitu datang perintah… ya kulakukan saja.”

“Baik, terima kasih atas kerjasamamu. Silahkan beristirahat…” kata Jaka.

“Tapi aku…”

“Silahkan beristirahat…!” kali ini kata-kata Jaka penuh tekanan, membuat Wuru Yathalalana tak bisa mendebat.

Menanti pintu kamar Wuru Yathalalana tertutup, Jaka sekalian pindah kedalam ruangan bawah tanah. Disana juga Phalapeksa menjalani perawatan. Jaka menatap orang tua yang terluka itu dengan pikiran memenuhi benaknya.

“Kenapa kau tidak bertanya secara mendetail?” Tanya Jalada.

“Percuma. Dia tidak akan ingat apa yang dilakukannya, kecuali raut korbanya. Akupun tadi mencoba caranya menyerang korban untuk memastikan, apakah Phalapeksa luka karena orang ini…”

“Dan ternyata tidak?” Tanya Cambuk.

Jaka mengangguk. “Seperti yang tadi kujelaskan, ada pihak lain. Dan perintah terakhir untuk membunuh Sandigdha-pun bisa kupastikan datang dari pihak lain.” Jaka menghela nafas. “Tapi… sekarang kita bisa membaca persoalan lebih jelas.”

“Tapi, aku masih belum jelas!” erang Ekabhaksa.

Jaka tidak menjawab, dia memeriksa kondisi Phalapeksa, mengumpankan hawa murninya sendiri untuk melihat jalur tenaga orang tua itu, begitu hawa murninya disambut—meski lemah, Jaka cukup gembira dengan perkembangan itu. Dia mengamati aliran hawa murni Phalapeksa di bagian pusatnya. “Jadi ini pemicunya…”

“Apa itu?” Tanya Ki Alih antusias, pertanyaan tadi akan segera terungkap.

“Seperti yang kusebutkan sebelumnya, ciri bunga yang tercampur selapis tipis pada penawar Sandigdha, ternyata akan terpicu manakala korban didesak untuk melakukan himpunan-himpunan hawa murni dengan pengolahan nafas yang dalam.” “Rasana semua pesilat seperti itu…” koreksi Ki Alih.

“Ya… tapi aku tahu ada beberapa golongan yang tak melakukan itu—tapi tak akan kita bahas sekarang. Manakala hawa murni menjalar, kekhususan dari bunga itu akan menampakkan hasil; menyendat hawa murni, mengacaukan nafas, dan membuat halusianasi.”

“Kau mengambil kesimpulan dari kondisi Phalapeksa?” kejar Ki Alih lagi.

Jaka mengangguk. “Setiap orang yang mendalami pengobatan, bisa mendeteksi kejanggalan dalam sendatan peredaran hawa murni. Pada saat hawa murninya tersendat, bertepatan dengan totokan Wuru Yathalalana mengenai leher, setelahnya ada satu setitik serangan yang memicu kefatalan hingga berkali lipat dalam diri Phalapeksa.” Usai menjelaskan itu Jaka tersenyum girang, seperti orang yang baru mendapatkan hadiah.

“Apakah… itu baik, atau buruk?” Tanya Ki Alih ragu dalam menafsirkan senyum Jaka.

“Baik dan buruk!” tegas Jaka. “Kita memiliki dua kelompok yang bisa di adu, sambil menanti apa yang akan terjadi.”

“Aku bisa gila mendengar penjelasanmu! Satupun aku tak paham!” Ekabhaksa menggeram.

Ki Alih tertawa, kali ini dia yang menjelaskan. “Begini, orang yang meninggalkan setitik luka pada Phalapeksa, dan orang yang membuatkan penawar bagi Sandigdha adalah dua kelompok yang berbeda. Begitu, Jaka?” Pemuda ini mengangguk. “Kabar buruknya, mereka menguji pada orang yang sama! Setelah Wuru Yathalalana ‘menghabisi’ Phalapeksa, berturut-turut ada dua golongan yang datang memeriksa. Kabar baiknya, mereka mengambil kesimpulan yang salah tentang kehebatan racun masing- masing!” Jaka duduk sambil tertawa kecil. “Ini celah yang baik bagi kita untuk ikut bermain.” Gumamnya lagi.

“Baiklah, aku bisa mengerti itu. Jadi, kapan kita memintal bulu domba?” Tanya Ekabhaksa dengan semangat menggelora.

“Sekarang juga!” tegas Jaka sembari bangkit.

“Kalau begitu, jangan malas-malasan!” ujar Jalada sudah mendahului keluar. “Aku juga ikut!”

“Heh?!” semua orang terhean-heran dengan turut sertanya Si Baginda. Orang ini paling benci dengan urusan mengintai, mengintrogasi—pendek kata urusan tetek bengek yang njelimet, tumben kali ini sukarela menjadi martir.

“Tolong jangan kacaukan urusan nanti, paman!” seru Jaka meningkahi bunyi pintu yang tertutup.

“Sialan! Kau pikir aku tak punya otak?!” ketus Jalada dari luar, membuat pemuda ini tertawa.

===o00===

121 – Domino Effect : … akhir sebuah awal [2]

Tengah malam, nyiur bayang pepohonan tersorot cahaya rembulan, meski cukup terang bersinar namun masih menyisakan kegelapan, menyekap suara-suara dalam sunyi. Makin dalam menuju kerimbunan hutan, sinar rembulanpun terhalang rapat dedaunan. Kesiur angin, ditingkahi gemersik lirih, menjauh dengan konstan. Sesekali cahaya rembulan menyorot bayang-bayang yang berkelebat cepat.

Jaka Bayu melesat paling depan, disusul Jalada, Ekabhaksa dan Ki Alih. Mereka mengenakan pakaian hitam, mengenakan cadar menutupi wajah. Dipunggung masing- masing tersoren sepasang bilah pedang. Pedang-pedang itu memiliki ketebalan yang bisa membuat ahli pedang tercengang, selain tumpul, jelas bobot pedang itu tak cocok untuk memotong. Kecuali Jaka Bayu yang tidak pernah menggunakan pedang, ketiga orang tersebut cukup mahir menggunakan pedang, jelas tidak semahir Arwah Pedang, tapi untuk menandingi seorang ahli pedang, kemampuan mereka cukup bisa diandalkan.

Mereka bergerak pesat menuju Perkempungan Menur. Jaka memutuskan untuk mulai ‘memintal bulu domba’. Menurut Ekabhaksa istilah itu terlalu ambigu, dia lebih suka menyebutnya ‘cari gara-gara’. Dan langkah pertama adalah mengelitik Perkampungan Menur.

Secara singkat, Jaka menyebutkan rencana mereka di perkampungan tersebut adalah menghancurkan semua senjata. Ya, untuk itulah mereka membawa sepasang pedang. Masing-masing pedang itu bukan pusaka sakti, tapi yang jelas kualitas buatan Cambuk—sang murid Mpu Dwiprana, tidak kalah dari Mpu terkenal lainnya.

Suara dentang besi dipukul berkali-kali terdengar lamat- lamat, mereka sudah kian dekat dengan Perkampungan Menur. Belasan penjaga terlihat di pintu gerbang, Jaka segera memberi isyarat, untuk menyebar mengurung perkampungan. Sebenarnya Jalada memiliki ide sangat efesien—namun telegas, dari pada repot-repot menghancurkan ribuan senjata, bukankah lebih baik membakarnya beserta seluruh perkampungan? Jelas, Jaka tidak mendukung ide itu. Bagi pemuda ini, menghancurkan senjata juga untuk melihat ‘benang’ yang tidak tampak. Tentu saja Jaka tidak akan bertindak tolol dengan menghamburkan tenaga untuk menghancurkan ribuan senjata.

Empat orang itu melayang melompati tembok tinggi yang mengelilingi perkampungan, gerakan mereka terlampau cepat untuk di ikuti mata, meski para penjaga ada yang berpatroli dibagian atas-pun tak melihat mereka. Hanya saja, tahu-tahu suara denting yang bertalu-talu terdengar berbeda ritme.

Sebelumnya. Tang-tang-tang-tang-tang… mendadak berubah, trang… jeda sekejap, lalu trang… demikian seterusnya. Tidak ada yang curiga bahwa sudah ada empat orang yang masing-masing masuk kedalam rumah pembuatan senjata, melumpuhkan semua pekerja didalamnya, lalu menghancurkan ragam senjata yang dibuat. Lalu berpindah lagi ke rumah senjata yang lain, menghancurkan sebagian, begitu seterusnya.

Lama kelamaan, suara yang tidak biasa itu menarik perhatian penghuni perkampungan, apalagi, makin lama suara besi dipukul terdengar makin sedikit. Mereka bergerak masuk kedalam salah satu bangunan pembuat senjata. Sungguh sangat kebetulan, Ekabhaksa yang sedang dongkol karena perkerjaan seperti ini tidak memuaskan dirinya, jadi girang setengah mati. Lima orang yang datang, langsung di kebas sekejap, masing-masing terkena pukulan dan pingsan. Seluruh penghuni perkampungan itu hanya pengerajin, memang ada beberapa yang memiliki kemampuan hebat, tapi dibandingkan Ekabhaksa sekalian, sudah tentu tidak ada artinya.

Jaka melihat hasil kerja Ekabhaksa dan memberi isyarat supaya berhenti, cukuplah puluhan senjata yang mereka hancurkan. Berturut-turut Jaka menyambangi Jalada dan Ki Alih.

“Paman, boleh membakar salah satu dari rumah pembuatan senjata itu.” Bisik Jaka pada Jalada, membuat si Baginda ini mendengus—girang tentunya. Jemarinya berkelotokan, dengan satu bentakan tertahan, kedua pukulannya menghantam kedepan.

Braaaak! Bunyi berderak karena bangunan roboh terdengar membuat penghuni perkampungan berbondong keluar, tapi tak satupun dari mereka yang berani menghalangi tindakan Jalada sekalian, sebab mereka melihat disekeliling empat orang itu bergeletakan puluhan orang.

Dari tangan Jalada menyambar kobaran api bagai anak panah, mengarah langsung kelelatu api yang masih membara, hingga menyebabkan ledakan keras.

Blaaar! Jaka benar-benar mengagumi kemampuan Jalada, meski paham dengan kemampuan orang itu, Jaka baru mengerti kenapa Jalada di sebut pula sebagai Watu Agni— batu api. Tangannya telah dilambari ilmu yang ditempa sejak dia belia, ilmu pasaran yang di sebut Ciwapâtra Hintên—golok intan. Boleh dibilang semua orang yang berkecimpung di dunia persilatan mengenal bahkan menguasai ilmu itu. Atas kejadian yang menyulut harga diri sehingga menimbulkan keangkuhannya, membuat Jalada si Watu Agni alias Baginda, mengasah ilmu pasaran sedemikian rupa sehingga membuatnya menjadi pukulan penuh kobaran api. Saat tangan saling memukul, maka jilatan api akan segera keluar menyambar, seperti batu api yang saling mematik. Itu salah satu alasan mengapa Jalada di kenal sebagai Watu Agni.

Tak menunggu bangunan habis terbakar, Jaka mengibaskan tangan, sebersit angin dingin menggigit membekukan tulang. Kobaran api yang begitu besar segera lenyap dalam hitungan belasan kali. Jalada menoleh heran kearah Jaka, tapi mengingat setiap tindakan Jaka selalu memiliki perhitungan sendiri, dia tak menyuarakan keheranan itu.

Kejap berikutnya, kaki Jaka menyapu secara cepat kesekelilingnya, desakan hawa murni yang begitu besar membuat puluhan orang yang rebah tak berkutik terlempar dan terguling, namun dilain kejap, Jaka menghentakkan tangan kebelakang. Puluhan orang yang terlempar itu seperti tersedot oleh pusaran angin puting beliung. Mengarah Jaka dengan pesat. Lalu, tangan Jaka melambai dengan luwes, seperti menampar kearah orang-orang yang tersedot kearahnya. Tubuh mereka bertumbangan dengan ragam posisi kaku yang aneh, sebelum akhirnya mereka tertelungkup. Jaka segera memberi isyarat untuk pergi.

Apa yang mereka lakukan tak kurang dari setengah kentungan saja, semuanya terjadi begitu cepat, para penghuni Perkampungan Menur pun hanya mengira itu cuma mimpi, tapi akhirnya setelah empat orang perusuh itu pergi, barulah keheningan pecah. Hingar bingar karena kawatir dengan saudara-saudara mereka yang luka, juga karena rusaknya tempat-tempat pembuatan senjata, membuat perkampungan itu serupa rumah semut yang tiba-tiba terkena guncangan. Semua orang berhamburan keluar. Dari luar, Jaka mengamati.

“Salah satu dari mereka, akan menuju kepada benang merah yang kita cari. Kuserahkan pekerjaan ini pada Paman Jalada.” Kata Jaka membuat si Baginda mendesah, agaknya dia sudah menyesal mengajukan diri untuk ikut dalam situasi ini. Meski demikian, orang ini tetap mengangguk dan melesat mengamati cerai berainya orang.

===o0o===

“Kenapa kau padamkan api Jalada? Terbakar semua kan lebih baik?” tanya Ekabhaksa tak setuju dengan tindakan Jaka.

“Sandigdha orang pintar, keluarga dibelakangnya pasti ada yang lebih pintar. Cara membakar paman Jalada sangat mudah dilacak balik. Anggap saja di keluarga Tumparaka ada orang semacam paman Sadhana, aku yakin mencari jejak si Baginda hanya tinggal menunggu waktu.” Jelas Jaka

“Oh, maka itu kau segera memadamkannya? Membuatnya tidak mudah terbaca?” tanya si Ular Ekabhaksa memastikan.

“Tepat sekali.”

“Lalu untuk apa pula kau tumbuk orang-orang itu?” tanya Ekabhaksa lagi.

“Hanya mencari keterangan saja.”

“Sungguh cara sialan yang aneh…” gumam Ekabhaksa, ditimpali tawa Ki Alih. “Semua kemungkinan harus kita jajaki. Paman pernah lihat orang yang kuangkat sebagai kambing hitam-kan?” tanya Jaka disambuti anggukan Ekabhaksa. “Dia terluka oleh totokan yang sangat unik. Aku harap, dengan caraku menotok ini akan membawa kepada satu keterangan tentang siapa orang itu.”

“Ooooo….” Baik Ekabhaksa maupun Ki Alih baru paham atas tindakan Jaka yang aneh tadi.

Mereka masih memperhatikan penghuni Perkampungan Menur yang berlarian seperti anak ayam kehilangan induk. Saat menyadari Jalada sudah tidak ada di tempat pengintaiannya, mereka segera mengetahui si Baginda sudah menemukan orang yang dimaksud Jaka.

Mereka segera meninggalkan tempat itu dengan pesat, menunju kandang sapi, tempat penyimpanan salah satu kekayaan keluarga Tumparaka. Meski pemuda ini tidak menduga apapun, tapi jika Sadigdha kembali ketempat itu— bersama dua orang yang disenyalir sebagai bayangan Wuru Yathalalana, tentunya kandang sapi masih menyisakan misteri yang patut untuk dibongkar, kali ini Jaka tak ingin bekerja kepalang tanggung.

Tidak adanya derik serangga malam membuat kondisi begitu mencekam, Jaka segera sadar ada yang kurang beres. Pemuda ini memberi isyarat untuk berhenti. Ekabhaksa dan Ki Alih, segera melejit bersembunyi diatas pohon. Jaka sendiri dengan terang-teragan berjalan mendekati kandang sapi. Indera penciumannya bisa merasakan taburan racun di sekitar tempat itu. Padahal sebelumnya saat Wuru Yathalalana datang menyerbu, Jaka yakin tempat ini masih steril dari racun. Tapi kini berbeda. Ekabhaksa dan Ki Alih, jelas tidak bisa sembarang bertindak, racun yang menyelimuti kawasan ini tidak akan bisa ditangani keduanya. Tapi bagi Jaka, permainan racun seperti itu seperti gurauan belaka. Jika tiba-tiba muncul racun semacam ini, boleh jadi, di bawah kandang sapi sudah bertambah benda-benda lain. Cara pengamanan dengan racun memang terlampau bodoh dan kentara, tapi sangat manjur. Sayangnya, kali ini yang menyelinap kekandang sapi, adalah Jaka. Pemuda yang sanggup menetralisir ragam racun dengan himpunan hawa sakti unik.

Sebelum masuk kebawah tanah, Jaka memberi isyarat kepada Ekabhaksa dan Ki Alih untuk tidak kemana-mana. Lorong bawah tanah itu hanya sepanjang sepuluh tombak saja, dan ada pintu menuju ruang bawah lagi, demikian seterusnya. Jaka benar-benar tidak pernah mengira, dibawah kandang sapi terdapat lima tingkat bangunan yang digali secara apik. Tiap lorong yang di lewati Jaka masih terasa aliran udara, tidak pengap. Pemuda ini bisa memprediksi, ruangan itu baru ditinggalkan orang, paling lama sekitar dua kentungan lalu.

Tumpukan peti, dengan perabotan cukup berkelas menghiasi ruangan paling bawah. Luasnya mencapai lima puluh tombak persegi. Membuat pemuda ini terkilas membayangkan betapa repotnya Keluarga Tumparaka harus membangun tatanan semacam ini. Cahaya yang menyinari ruangan itu datang dari kelip mutiara berukuran besar. Cukup dilihat dari jenis mutiaranya, Jaka bisa meraba, yang tersimpan disini memiliki nilai cukup besar, atau penting. Mau tak mau dada pemuda ini bergemuruh karena rasa senang.

Satu demi satu peti dibuka, begitu banyak perhiasan dan ragam emas keluaran resmi berbagai wilayah kerajaan tertata rapi. Jaka terpekur, kalau hanya sekedar harta dia tidak tertarik untuk mengusut, pengamanan dengan racun yang bertebaran diluar sana—juga di bagian-bagian lorong, rasanya terlampau berlebihan kalau hanya untuk menjaga kekayaan seperti ini. Pemuda ini menggaruk-garuk kepala, merasa ada yang janggal, tapi tak tahu itu apa. ‘Mungkin seperti itu…’ pikirnya. Dengan seksama, Jaka membongkar semua isi peti. Dia menyangka mungkin rahasia itu terletak diantara tumpukan perhiasan. Tapi, tidak ada apapun!

“Huh…!” erangnya kesal. Tanpa sadar Jaka menendang peti itu. Brak!

Mata pemuda ini terbelalak, ternyata peti kayu itu dibuat dengan dua lapisan kayu yang di rekatkan. Dengan hati-hati, di lepasnya lapisan paling atas, hingga pemuda ini bisa melihat sebuah peta, pada masing-masing sisi. Berpindah ke peti yang lain, Jaka menemukan catatan sandi, dan ragam keterangan. Juga ada beberapa catatan yang butuh waktu khusus untuk didalami olehnya. Tak menunggu lebih lama, Jaka membongkar habis seluruh sisi dua puluh peti itu. Isi peti berserakan di tanah, ada : emas, perak, berlian dan entah perhiasan apalagi tak diperdulikannya. Pemuda ini hanya fokus dengan apa yang terdapat pada sisi-sisi peti. Seluruh lembaran yang dicatat rapi dalam gulungan kulit, sudah dikumpulkan Jaka, digulung dengan rapi, dan diikatkan dipunggung.

Seperti sedang mengais sampah, Jaka tak mau bertindak ceroboh dengan meninggalkan kemungkinan ada informasi penting tertinggal. Sebuah kotak kecil sepanjang dua jengkal, dengan lebar satu jengkal, menyedot perhatian. Kotak itu disegel dengan besi yang membalut bak benang, tak ada waktu untuk membongkar, Jaka memutuskan untuk membawanya. Sebelum keluar, Jaka memandang berkeliling sambil tersenyum. Dia bisa membayangkan betapa gusar dan kejut keluarga Tumparaka mengetahui salah satu persembunyian mereka diacak-acak orang.

Tak berapa lama kemudian, Jaka sudah berkumpul dengan Ekabhaksa dan Ki Alih, mereka tampak tercengang melihat bawaan Jaka.

“Jangan tanya dulu…” kata Jaka saat Ki Alih mulai bersuara. “Aku juga belum tahu ini berkaitan dengan apa. Setidaknya, kehadiran kita kesini membuat perhatian Tua Bangka, akan cukup disita oleh ulah keluarga Tumparaka.”

“Apa maksudnya? Bukankah tua bangka yang seharusnya memberi perintah kepada Sandigdha, kenapa malah dia yang harus hati-hati?” Tanya Ki Alih.

“Sandigdha boleh menjadi bagian si tua bangka—meski itu hanya diluarnya, tapi keluarga Tumparaka jelas tidak dibawah kendali siapapun. Mereka pasti bisa menyadari, hanya ada beberapa orang saja yang bisa lolos dari ragam racun keji yang di tebar pada tiap ruangan bawah tanah. Dan tersangka utama paling dekat jelas Tua Bangka…”

“Dengan catatan, Sandigdha bercerita bahwa dia berada dalam tekanan atau kendali si tua bangka.” Simpul Ki Alih, dan dibenarkan Jaka.

“Serangan yang di lakukan Wuru Yathalalana, akan membuat mereka waspada dan bertanya dengan detail kepada Sandigdha.“ sambung pemuda ini lagi. “Jadi… kita tidak bertarung sama sekali?” Ekabhkasa menyela dengan nada kecewa.

Jaka tertawa. “Jangan salah paman, bagian paling menarik baru akan kita lakukan.” Kata pemuda ini sembari melesat di ikuti Ekabhaksa dan Ki Alih yang bertanya-tanya dalam hati, entah kemana lagi Jaka akan membawa mereka.

===o0o===

Mata Ekabhaksa melotot menatap Jaka, sungguh tak disangka pemuda ini membawa mereka mengintai istana Kerajaan Kadungga.

“Kau gila?!” bisik Ekabhaksa tegang.

Jaka terkekeh. “Aku cuma ingin meneruskan idemu, paman. Besok nama Keluarga Keenam akan sangat terkenal. Sangat!”

“Oh Tuhan, kenapa juga aku harus terlibat dengan bocah sialan ini. Aku menyesal melontarkan ide seperti itu…” Keluh Ekabhaksa membuat Ki Alih serasa turut prihatin dan menepuk-nepuk bahunya.

Belum lagi keduanya tahu, apa langkah selanjutnya yang harus ditempuh, Jaka sudah menghambur kedepan, dan dengan membabi buta menyerang prajurit yang berjaga di halaman.

“Dasar sinting!” teriak Ekabhaksa memalingkan kepala sambil menutup mata, dia benar-benar tak mau tahu. Tapi saat melihat puluhan prajurit keluar dan mengepung Jaka, mau tak mau lelaki tambun ini harus menghambur membantu. Begitu pula dengan Ki Alih. “Siapa kalian?!” bentak salah satu prajurit. Tapi suara itu hanya terdengar sesaat, kejap berikut, sebuah tamparan Jaka membuat prajurit itu roboh pingsan.

Olah langkah Jaka biasanya sangat majur untuk menghindari serangan, tapi kali ini Ki Alih dan Ekabhaksa disuguhi tontonan yang sangat jarang diperlihatkan Jaka. Olah langkahnya ternyata demikian mudah untuk digunakan dalam menyerang, satu gerakan kaki, satu prajurit tumbang, satu kibasan tangan dua prajurit tumbang, sekali melangkah, Jaka sudah melakukan enam jenis gerakan, dan menumbangkan belasan prajurit.

Mereka prajurit terlatih dalam medan tempur, tapi menghadapi orang semacam Jaka sekalian, kemahiran mereka tak bisa digunakan. Suasana malam yang sunyi, kini diliputi bentakan-bentakan menggelegar.

Bentakan itu keluar dari mulut tiga orang perkasa. Ya, tiga senopati sudah keluar, himpunan hawa murni mereka jelas tidak bisa diremehkan. Mereka bisa melihat lawan yang paling berbahaya adalah orang pertama—Jaka Bayu. Tapi menghadapi Jaka Bayu, mereka seperti sedang melawan angin. Serangan tombak sebagai yang pertama datang, mendesing begitu kuat mengulir menyedot udara disekitar. Dalam waktu yang singkat itu Jaka menyadari bajunya berkibar berpilin tersedot kearah serangan tombak, dengan sigap, pemuda ini memutar tubuh ke kiri menghindari serangan tombak, lalu memukulkan tangan kanan. Karena gerakannya begitu cepat dan memanfaatkan momentum putaran tubuh, pukulan Jaka seperti sebuah sabetan. Dibanding tangan, tombak jelas lebih panjang, tapi serangan Jaka sampai lebih dulu. Rupanya angin yang di timbulkan sabetan tangan Jaka membuat tombak melengkung, mengulir balik kearah penyerang, membuatnya tergetar memecahkan kayu gengaman, sebelum ahirnya mendorong si penyerang hingga belasan langkah.

Belum selesai dengan serangan itu, disaat bersamaan angin menyayat tajam mencoba memotong sabetan tangan kanan Jaka. Pemuda ini tidak mencoba menghindar, dengan cepat, dia menghantamkan tangan kirinya. Tiiing! Serangan yang ditimbulkan golok itu tertangkis angin pukulan Jaka, membuatnya melenceng jauh, mendorong kearah si penyerang tombak. Kaget dengan kondisi tersebut, membuat senopati ketiga yang sedianya akan menghantamkan gadanya kepunggung Jaka, harus melesat lebih dulu melewati Jaka begitu saja—tanpa menyerang, dan menangkis golok senopati kedua.

Traaang! Golok beradu dengan gada, keduanya sama- sama tergetar terjajar kesamping. Namun bisa menyelamatkan senopati pertama dari luncuran golok yang tak terkendali. Ketiganya berdiri bersisian menatap sang lawan dengan tangan gemetar. Bukan saja gemetar karena benturan demi benturan, tapi gemetar karena mereka menyadari, tugas amat berat sudah menghadang didepan.

Serangan itu terjadi hanya dalam tempo kurang dari dua hitungan, tapi gerakan yang sederhana dari sang lawan membuat tiga senopati itu menyadari, lawan mereka bukan sekedar hebat, tapi cerdik luar biasa.

Jaka tertawa, dia memburu kedepan begitu cepat, belum sempat ketiganya siap, tahu-tahu senjata mereka sudah berpindah ketangan sang lawan. Bukan itu saja, tombak senopati pertama tiba-tiba berpindah ke tangan senopati ketiga. Lalu gada senopati ketiga berpindah ke genggaman senopati kedua. Dengan sendirinya lelaki yang biasa memegang gada ini harus menggenggam golok rekannya, tanpa disadari.

Kejadian itu berlaku demikian cepat, dan Jaka sendiri berhenti mendadak di belakang tubuh ketiganya. Membuat orang-orang perkasa ini dengan reflek menghantamkan senjatanya kebelakang.

Trang! Trang! Trang! Tiga senjata saling berbenturan tak beraturan. Mereka lupa, senjata yang ada ditangan masing- masing sudah berubah. Sudah tentu penggunaan tenaga jadi tidak sesuai, dengan sendirinya arah serangan jadi melenceng tak karuan. Golok tertangkis gada, serangan gada yang berlebih tenaga tertahan oleh desingan tombak. Tiga senjata itu saling bentrok, dan berhenti hanya sejarak satu depa dari Jaka.

Lagi-lagi Jaka tertawa, membuat ketiganya meradang. “Mampus!” teriak mereka menghamburkan pukulan sarat

hawa murni.

Senopati pertama adalah keluaran Perguruan Angin Tanpa Gerak, pukulannya bertumpu pada ilmu Angin Tanpa Arah, bagai puting beliung yang berputar tak tentu arah menderu terlontar dari tinjunya, melesat begitu pesat. Senopati kedua, mengerucutkan jemarinya menghantamkan ilmu Jarum Cadas Berkobar, dari Perguruan Cadas Merapi. Angin mencicit mendesing mengiris pendengaran, ditingkahi sinar biru, menyemarakkan malam. Ditambah lagi sebuah Kibasan Tinju Tunggal dari Senopati Ketiga yang pernah memperdalam ilmu di Perguruan Lengan Tunggal, membuat orang sama menyangka inilah kisah akhir dari si pembuat onar! Tapi, Jaka mungkin dilahirkan untuk menjadi tipe lawan yang paling dibenci. Kemahirannya dalam ‘menerima’ mungkin tidak pernah bisa di tiru oleh kalangan manapun, menerima disini berarti merasakan, meresapi penderitaan, bukan menerima untuk menolak, bukan menerima untuk menangkis. Kibasan Lenga Tunggal terfokus pada satu pukulan sampai lebih dulu, Jaka menyambutnya dengan tangan terulur cepat merasakan benturan dalam sesaat, membuat syaraf di lengan menegang seakan ingin pecah menerima desakan hawa sakti serangan itu, sebelum akhirnya Jaka mengipatkan tangan, menumbukkan angin pukulan senopati ketiga kepada serangan jemari yang mencicit.

Blaaar! Tubuh senopati ketiga terpental kesamping, menumbuk lengan senopati pertama yang mengerahkan pukulan Angin Tanpa Arah-nya. Seharusnya pukulan itu akan menjangkau kepala Jaka, tapi berhubung tumbukan sang rekan membuat lengan mereka saling berbenturan, membuat pukulan-pukulan dahsyat itu cerai berai.

Kurang dari satu tarikan nafas saja, pukulan yang dilancarkan mereka tuntas di patahkan Jaka. Ketiga orang itu termangu dengan kegagalan tadi. Pemuda ini tak menunggu, dia merasa sudah tidak perlu berhadapan dengan lawan, dengan pesat tubuh Jaka melenting masuk kekomplek istana!

Tapi belum begitu jauh Jaka bergerak, lima orang datang menyerang tanpa ampun, tekanan lima hawa sakti yang menderu bermaksud menghancurkan penyusup, membuat Jaka harus mengerahkan peringan tubuh lebih cepat lagi.

Blar! Blar! Ledakan hebat terjadi tepat di belakang tubuh Jaka, pemuda ini enggan untuk berhadapan dengan lima penghadang. Dengan peringan tubuh luar biasa, Jaka bisa menghindari mereka tanpa kesulitan. Menerobos masuk lebih dalam lagi. Perbuatan Jaka ini memang sengaja ingin menarik keluar inti kekuatan dari Kerajaan Kadungga.

===o0o===

Dari kejauhan, seseorang melihat keramaian dari atap bangunan bendahara kerajaan. Dia menghela nafas dingin. Mungkin satu-satunya orang yang paham dengan maksud serangan keistana itu hanya Sandigdha saja. Atas berita dari Keluarga Keenam, sang raja percaya bahwa akan ada serangan ke istana, bahkan Keluarga Keenam sudah menyerahkan tanda untuk siap membantu jika pihak istana sewaktu-waktu mendapat serangan. Serangan yang muncul kali ini memang sangat hebat, Sandigdha bisa melihat para senopati dilumpuhkan dengan mudah hanya oleh tiga orang pengacau.

Sandigdha bukan orang buta, saat dia keracunan, dia melihat orang yang memberikan air kepada pemuda berkedok itu, sosok yang gemuk. Dan kini salah satu dari tiga orang pengacau memiliki postur gemuk. Sandigdha bersumpah, dia yakin para penyatron istana adalah orang yang meracuni dirinya!

Beberapa hari ini dia selalu jadi target orang, yang terakhir oleh si pemabuk. Orang ini meyakini semua itu adalah pekerjaan dari orang yang membuat dia batuk setengah mati. Batuk? Bahkan saat mengintai diatas atap bangunan-pun, Sandigdha masih terbatuk-batuk, meski tidak separah sebelumnya, tapi cukup membuat dadanya gatal dan tak dapat memusatkan perhatian. “Kau tak bermaksud menghentikan mereka?” Tanya Sandigdha menyadari di sebelahnya sudah muncul orang lain.

“Hmk!” dengus orang itu. “Tidak perlu!” sahutnya dingin. “Ketidakhadiranmu sebagai Pratyadhiraksana bisa

membuat posisimu terancam.” Kata Sandigdha, tanpa memalingkan wajah dia tahu siapa yang hadir.

“Pada saatnya kerajaan ini juga akan jatuh ketanganku, aku tidak takut dengan segala macam ancaman.” Dengusnya. “Lagipula, ada orang pintar lainnya yang menganggap ini semua bukan ancaman.”

“Maksudmu, Mangkubumi Prastarana?” Tanya Sandigdha. Terhadap orang yang baru saja disebut namanya, Sandigdha menaruh kewaspada tinggi. Mangkubumi Prastarana sama dengan mahapatih, ditangan dia pulalah, roda pemerintahan berjalan jika sang raja berhalangan. Kehadiran raja sendiri lebih kepada pemutus persoalan-persoalan genting. Kedudukannya setara dengan Widyabhre—sang wakil raja.

Terdengar graham bergemletuk. “Kalau bukan karena dia, tahta kerajaan ini sudah menjadi milikku.”

Sandigdha bergumam tak jelas. “Dewasa ini, gerakanku juga sangat terbatas. Aku tak bisa banyak membantu, apalagi Tua Bangka itu memata-matai terus.”

Pratyadhiraksana terdengar tertawa kecil. “Dia memiliki empat mata-mata, semuanya sudah ada di tanganku.”

“Kau yakin semudah itu dia ditangani?” Tanya Sandigdha sambil terbatuk-batuk. Orang ini tidak pernah tahu, jika Pratyadhiraksana adalah mantan murid si tua Bangka yang mengganggunya.

Lelaki itu terdiam, meremehkan mantan gurunya jelas merupakan perbuatan konyol, dia hanya mengetahui sekelumit masa lalu sang guru. Pertanyaan Sandigdha telah menguncang sikap menganggap remehnya.

“Apa yang harus kita lakukan?” Tanya Sandigdha lagi meminta kepastian, setelah situasi hening.

“Diam saja, tidak perlu bereaksi!” tegasnya.

“Tapi…” bibir Sandigdha terkunci, sebetulnya dia sangat ingin menceritakan nasib sial yang menimpanya. Tapi, berhadapan dengan Pratyadhiraksana yang licik, dia harus ekstra berhati-hati. Saat Pratyadhiraksana mengetahui nilai tawarnya melemah, dia bisa memastikan orang itu tak akan segan menjadikannya sebagai korban berikut untuk rencana ambisiusnya.

“Ya?”

“Aku hanya memikirkan posisimu saat ini, kita tahu Mangkubumi Prastarana selalu menjadi batu sandungan, dalam kekacuan ini kau pun harus memunculkan diri.”

Saran Sandigdha membuat kening Pratyadhiraksana berkerut. “Ada benarnya juga…” gumamnya.

Saat menoleh Sandigdha tidak lagi melihat lelaki itu. Diam- diam dia menghela nafas lega. Jabatan bendahara kerajaan Kadungga memang atas andil Pratyadhiraksana, sejauh ini mereka bekerja sama untuk hal-hal yang menguntungkan. Tapi jika di pikir lebih lanjut, Sandigdha bahkan tidak mengetahui latar belakang Pratyadhiraksana. Ada kalanya dia merasa Pratyadhiraksana adalah tokoh dari kalangan terhormat, tapi mengingat sikap kejam dan liciknya, dia menyangsikan dugaan itu.

===o0o===

Jaka sudah memasuki wilayah istana, dari perbincangannya dengan Cambuk, pemuda ini bisa mengetahui kemana dia harus pergi. Sang raja memiliki ruangan tersendiri, dengan bangunan tersendiri pula. Jaka sudah berada dijalan yang tepat untuk mencapainya.

Namun, satu sosok orang sudah menghadang dirinya. Dia orang tua berusia akhir lima puluhan, matanya tengah terpejam. Jaka berhenti sesaat, lalu berjalan menghampirinya, sampai jarak mereka hanya tinggal satu jangkauan saja. Dibelakang Jaka menyusul lima orang yang tadi melepaskan pukulan untuk menghentikan pemuda ini.

Pemuda ini hanya melirik atas kehadiran lima orang itu, mereka nampaknya sangat menaruh perindahan pada lelaki yang menghadang Jaka, terbukti mereka tidak sembarang bergerak setelahnya.

Jaka tak ingin basa basi, tangan kanannya mengibas, tekanan tenaga berhawa padat menghantam orang tua itu. Matanya yang terpejam segera terbuka, nampak dia sangat kaget. Tubuhnya miring kekiri, untuk mengelak, tapi mendadak angin pukulan itu berputar menggila tak tentu arah dan mencambuknya, rasa kejut jelas tercermin di wajahnya. Meski orang tua ini tidak kerepotan menangkis desakan angin yang memecut itu. Belum lagi habis tangannya menepis serangan dua tingkat dari Jaka, sebuah desingan meluncur pula dari dalam angin berpusing tadi, menghantam frontal menohok bahu.

“Ih!” orang tua itu merendahkan bahunya dan mengeletar sekali, menaikan bahunya lagi untuk memapaki serangan.

Duuk! Bahunya terasa bergetar hebat. Namun disaat bersamaan terdengar teriakan nyaring dari atas. Cahaya yang menyinari ruangan itu mendadak puluhan kali bertambah lebih terang. Sebuah serangan dengan pijar bagai bola api menghantam Jaka.

Jaka terperanjat dengan datangnya serangan itu, sungguh tak dikira olehnya ada orang yang bisa menempatkan jeda serangan secermat si pendatang ini. Tiga tingkat serangan yang tadi dilancarkan Jaka, memiliki kelemahan karena berhasil ditangkis oleh si orang tua. Kelemahan itu membentuk interval jeda atas susutnya tenaga, tak disangka saat-saat yang hanya terjadi dalam beberapa detik itu, bisa dimanfaatkan oleh seseorang untuk menyerang Jaka.

Wuusss! Bola api bagai mutahan lahar tercurah langsung menghunjam kepala Jaka, pemuda ini dengan sigap menjatuhkan diri, membuat punggungnya menjadi titik rotasi, lalu menerima serangan dengan kaki, memutar dengan cara dikayuh, seperti sedang bermain bola, lalu dilontarkan kembali!

Antara serangan dan pengembalian yang dilakukan Jaka terjadi begitu cepat, detik itu juga Jaka meloncat tepat dibelakang gumpalan api yang baru saja dilontarkan balik.

Duar! Buuk! Tak menyangka serangannya akan di tangkis, dengan sendirinya tak ada waktu untuk mengindar. Dengan lengannya, bola api itu ditangkis. Tapi mendadak dari tengah bola api, muncul kepalan tangan menumbuk lengannya pula!

Jaka memanfaatkan daya pantul akibat tangkisan, sambil melompat lebih tinggi. Tawanya mengalun panjang menggantung di tengah udara, selain sebagai isyarat untuk pergi pada Ekabhaksa dan Ki Alih, Jaka juga sengaja menunjukkan bahwa kepergiannya bukan karena terdesak, tapi karena dia ingin.

Senyap segera menggigit malam. Semua terjadi begitu cepat, tanpa tanda-tanda, pergerakan penyusup tidak bisa dilaporkan pula oleh telik sandi yang berjaga diseputar istana. Pertarungan singkat tadi menarik tensi ketegangan Kerajaan Kadungga pada tingkat yang tinggi.

“Kau tahu siapa orang itu?” Tanya suara dengan nada berat membuat Pratyadhiraksana—orang yang datang terakhir, menolehkan kepala.

“Mungkin, orang-orang yang di kirim oleh kerajaan tetangga?” sebuah prasangka dari Pratyadhiraksana sengaja dilontarkan. Situasi seperti saat ini, adalah waktu yang tepat untuk mengail di air keruh.

Lelaki tua itu tertawa. “Mungkin saja…” katanya sambil membalikan badan. “Dia menyerangku dengan satu pukulan berisi tiga jenis pukulan berbeda perguruan, membuatmu terperanjat dengan menerobos benteng Tinju Matahari Meletus milikmu. Ha-ha… tentu kerajaan tetangga sangat mudah mencari orang seperti itu. Betul?” orang ini tak menunggu jawaban, dia sudah berlalu. Pratyadhiraksana termangu-manggu. Jawaban Mangkubumi Prastarana mementahkan kesan yang ingin ditanamkan. Secara satir, pemuka kerajaan itu hendak mengatakan, dugaannya tadi mustahil terjadi. Memang, hampir tidak mungkin mencari orang yang dalam satu gerakan bisa mengeluarkan kemampuan dari ragam perguruan. Sebenarnya dia ingin menyerang dengan Pratisamanta Nilakara, tapi itu sama saja menyingkapkan satu jati dirinya pada sang Mangkubumi Prastarana. Hal itu makin membahayakan posisi dirinya. Pratyadhiraksana menatap bekas pukulan lawan, lamat-lamat terasa ada satu keakraban pada tenaga yang menghantam secara langsung itu.

Wajah lelaki ini mengeras. “Apakah dia?” pikirnya dengan hati tak tenteram.

Selama ini dia cukup tenang dalam mengeksekusi tiap rencana, tapi atas kedatangan satu lawan yang membuat dia harus terluka, dan membangkitkan rasa kawatir tak terkendali saat berjumpa untuk kedua kalinya, mengharuskan Pratyadhiraksana meninjau ulang semua rencananya.

Jika dugaannya benar, pertanyaan utama adalah: untuk apa orang yang sanggup mematahkan Pratisamanta Nilakara bermain pada ‘kolam’ yang sama?

“Keparat! Apa maunya?!” sungutnya dalam hati, seraya memeriksa kondisi didepan istana.

Serangan mendadak itu tidak menimbulkan kerusakan apapun, kecuali memukul ego para prajurit dan senopati, termasuk dirinya.

===o0o=== Sementara didalam kamarnya, Sandigdha terlentang dengan dada bergemuruh. Dia yakin, besok; orang-orang yang menamakan diri sebagai Keluarga Keenam akan datang. Namun, Sandigdha berharap dugaannya salah.

Malam itu dilalui oleh banyak orang dengan perasaan tidak nyaman.

Pagi hari sudah dijelang, saat membuka jendela kamarnya, mata Sandigdha terbelalak. Hampir saja tersendak. Pada bangunan paling tinggi terdapat secarik kain kuning, dengan bagian atasnya terpancang seruling terbuat dari bambu wulung. Lamat-lamat angin yang bertiup melalui lubang seruling menerbitkan suara ‘ngung-ngung’ secara konstan. Itu adalah panji kebesaran Keluarga Keenam, jika pihak kerajaan sudah meletakannya pada bagian tertinggi, artinya mereka mengundang Keluarga Keenam. Ini semua terjadi pasti berkaitan dengan serangan tadi malam! Serangan yang melumpuhkan titik-titik keamanan. Perlahan, Sandigdha merasakan kuduknya berdiri.

“Apa yang mereka incar?” benaknya bertanya-tanya, namun tak satupun jawaban didapat.

-o0o-

122 – Domino Effect : … akhir sebuah awal [3]

Gemilang mentari pagi disambut ragam kicau burung. Di sebuah jalanan pinggir hutan, ada dangau yang dibuat alakadarnya oleh sang pemilik tanah. Terdengar bangku berderit perlahan menerima guncangan tubuh gemuk lelaki berwajah bundar, dia Tusarasmi. Orang ini duduk dengan menggoyang kaki. Wajah bundar Tusarasmi, dikuti bentuk tubuh yang juga tambun, menjadikan kakinya terlalu pendek untuk menjangkau tanah, tapi kondisi demikian malah lebih nyaman. Mulutnya sibuk mengunyah biji bunga matahari.

Di hadapan si wajah budar sudah duduk empat orang, Penjual Aren, Pemancing, Pande Besi, dan lelaki usia akhir empat puluh tahun. Saat datang, dia masih memakai kerudung penutup wajah. Ketika duduk bersama para koleganya, dia membuka penutup kepala. Semua orang menahan nafas saat melihat wajah itu. Sebuah luka memanjang dari dahi hingga dagu, membelah hidung tepat di tengah secara rapi. Luka itu sudah menutup, tapi bekas yang tertinggal membuat orang lain merasa seram.

“Kalian tentu sudah tahu kenapa kita berada disini?” kata lelaki bercodet itu membuka percakapan.

Hening, tak ada jawaban. Tapi semua orang mengangguk. “Perintah sudah turun kepada kita. Aku akan membagi

berdasarkan keahlian masing-masing.” Katanya dengan suara dingin. Lelaki ini beranjak menjauh dari orang-orang itu, dari balik pohon besar dia mempersiapkan segalanya, lalu membuka gulungan rontal.

“Tusarami,” sebutnya memanggil si wajah bulat itu, dengan terburu-buru dia turun dari kursinya dan memburu kearah si codet. “Kau akan bertindak sebagai Ketua Satu, daerah operasimu ada di Kerajaan Kadungga. Lakukan hubungan secara rutin dengan tuanku Anusapatik, setiap perintahnya merupakan tugasmu.” Katanya lirih. Lalu dilemparkan sebuah benda kearah lelaki itu. Sebuah lencana terbuat dari emas sebesar jempol dengan bentuk lonjong, ada lambang berbentuk ”X” ditengahnya tertulis angka 1. “Ini, daftar anak buahmu yang tersebar di wilayah Kerajaan Kadungga, mereka tidak melihat orang, mereka hanya melihat lencana.”

Tusarasmi menerima gulungan itu dengan takzim, mendapat tanda untuk pergi dari lelaki bercodet membuatnya segera berlalu tanpa menunggu lagi.

“Benconapaya!” si codet memanggil dengan suara keras, membuat Pande Besi itu bergegas mendekat. “Kau sudah tahu harus kemana?”

Pande Besi yang di sebuat Benconapaya mengangguk. “Perkumpulan Pratyantara bagi kebanyakan kalangan

persilatan, hanya dianggap sebagai perkumpulan penjambret berkelas. Tapi, sebagian besar kabar-kabar aneh yang beredar di dunia persilatan, merekalah yang pertama tahu. Bertindaklah dengan hati-hati, kemungkinan besar, bukan hanya kau yang menyusup. Pratyantara bagaikan primadona diantara telik sandi kelompok lain.” Terang si codet dengan nada rendah. “Jung Simpar sangat pintar dalam membuat anak buahnya bekerja, kau tentu tahu apa alasanmu harus kesana?”

Benconapaya mengangguk lagi, dan masih membungkam, tangannya terkepal erat. Si codet tersenyum dingin. “Kau memiliki dendam pada Jung Simpar, tapi aku harus mengingatkanmu. Saat ini nyawanya sangat berharga, camkan itu!”

Pande Besi gadungan itu tercenung sesaat. “Apakah tuan izinkan aku membunuh orang-orang yang tiada kaitannya dengan Jung Simpar?” “Selain Jung Simpar, seluruh orang didalam perkumpulan itu kau bunuh-pun aku tak keberatan.”

Terlihat seringai bagai serigala di bibir Benconapaya, seperti halnya Tusaramsi dia memperoleh lencana nomor dua, artinya di bertindak sebagai nomor Ketua Dua, gulungan rontal berisi catatan nama-nama anak buahnya juga didapat.

Si codet tak lantas memanggil yang lain, dia menatap punggung Benconapaya hingga menghilang ditelan turunan jalan. Ada sedikit rasa simpati terhadap orang itu. Dia memiliki kemahiran membunuh tanpa perlu mengotori tangannya, atas alasan itu pula-lah yang membuatnya disebut Benconapaya— si akal keji. Dendamnya pada Jung Simpar terdengar remeh, dia hanya kalah bersaing mendapatkan perempuan. Tapi menjadi sebuah karat dendam manakala perempuan yang disukai, digunakan oleh Jung Simpar untuk mengeruk habis- habisan kekayaannya, menipu rontal kitab-kitab ilmunya, bahkan pernah membuat kejantanannya tak berfungsi selama sepuluh tahun! Selama sepuluh tahun yang penuh penderitaan, Benconapaya menjadi sosok yang sangat dingin dalam urusan nyawa. Sekalipun kau adik kandungnya, saat dia membutuhkan nyawamu untuk keperluannya, Benconapaya tak akan ragu menghabisimu.

“Subhaga!” nama si pemancing sudah dipanggil, membuat rekannya si Penjual Aren berkerut kening, dia tidak mengharapkan namanya dipanggil terakhir. Sebab beberapa puluh tahun terakhir, dialah yang mengendalikan Subhaga.

Si pemancing duduk dengan takzim di hadapan si codet. “Kau mengidap racun lagi?” Tanya si codet saat menyaksikan langkah berat si pemancing. “I-iya…” jawabnya dengan suara lirih.

Si codet mengambil tabung bambu dari balik bajunya. “Mulai sekarang, kau bebas. Kaupun akan merasa berbeda…” Katanya sambil menyerahkan sebutir pil sebesar ujung kelingking. Subhaga menerima dengan gemetar, tidak menunggu lama, dia mengunyahnya, dan menelan dengan susah payah. Si codet tersenyum dingin, di sela-sela pekerjaan seperti ini kadang-kadang dirinya bisa menemukan hiburan. Saat kau bisa mengikat loyalitas orang lain, itu menjadi kesenangan tersendiri. Si codet bisa menjamin, Subhaga bisa berkorban nyawa untuknya.

“Kau menjadi Ketua Tiga, wilayah kerjamu khusus Kota Pagaruyung. Ini adalah hal-hal yang akan kau kerjakan,” katanya menyerahkan gulungan kulit kambing.

Subhaga membuka gulungan itu, matanya berbinar. “Baik!” sahutnya tegas. Membawahi orang-orang dengan tingkatan ketua enam sampai ketua sepuluh, lengkap dengan anak buah masing-masing membuatnya luar biasa semangat. Sebelum dirinya harus hancur lebur oleh pemilik Pedang Tetesan Embun, kemampuan Subhaga bisa disejajarkan dengan para ketua enam belas perguruan utama. Kemahiran paling menonjol adalah mengorganisasi sumber daya manusia, dia sangat bisa menempatkan orang menurut kemampuan, bahkan terkadang menarik kemampuan terpendam para anak buah hingga mencapai titik optimal. Tidak ada yang menakutkan dari kemampuan tersebut. Kecuali, karena semua begitu lancar tanpa hambatan, membuat Subhaga lupa diri, membuatnya merasa bisa menaklukan dunia persilatan. Atas ambisi yang tidak biasa, dirinya luluh lantak ditangan Pemilik Pedang Tetesan Embun. Subhaga berjalan perlahan hingga akhirnya berhenti sesaat didepan si Penjual Aren, pada setiap langkahnya, hawa sakti membumbung, menembus titik-titik yang terbelenggu dua puluh tahun lampau. Wajah si Penjual Aren berkerut tak senang, dia bukan orang buta, apa yang di lakukan Subhaga adalah pamer kemampuan untuk berkata; kau tidak layak lagi memerintahku. Tiap langkah Subhaga membangkitkan hawa murni yang kian bergejolak liar, menerjang setiap sudut syaraf, membangkitkan kekuatan yang pernah menjadi andalannya. Saat tubuhnya lenyap dari pandangan si Penjual Aren, semangat Subhaga telah pulih total.

Si codet menghampiri Penjual Aren. “Kau, ikuti aku!” desisnya tanpa banyak bicara, lalu melesat begitu cepat.

Hal itu cukup membuat Penjual Aren tertegun, tak sempat bertanya, diapun mengikuti dengan ketat. Di sepanjang jalan, hatinya bertanya-tanya; ‘apakah aku bersalah? Sampai- sampai tidak mendapatkan tugas tertentu?’

Saat si codet menghentikan langkah di sebuah gerbang, si Penjual Aren bisa membaca tulisan itu. Perkampungan Menur. Suasana sangat senyap, membuat si codet mengerutkan kening. Mereka bergegas masuk kedalam, melalui gerbang yang tak tertutup itu, dalam perkampungan tak ada satupun orang terlihat, begitu lengang. Dua hari yang lalu si codet pernah datang ke perkampungan ini, dan saat itu semua terlihat normal.

Si codet memberi isyarat kepada Penjual Aren untuk memeriksa. Keduanya bergerak keseluruh penjuru untuk memeriksa kemungkinan informasi yang bisa didapatkan. Tak berapa lama kemudian, si Penjual Aren sudah menghampiri si codet. Dia membawa sepasang pedang dengan ketebalan yang tidak biasa. Si codet memeriksa pedang itu.

“Apa ini?” Tanya si codet.

Tentu saja si Penjual Aren tahu maksud pertanyaan itu, si codet tidak bertanya karena bentuknya, tapi kenapa ada pedang seperti itu di Perkempungan Menur.

“Pedang ini tidak memiliki insial siapa yang membuat, seperti yang biasa di buat Perkempungan Menur. Tapi dari kekerasannya yang belum optimal, ini belum terlalu lama dibuat. Logam pembentuknya termasuk dari jenis paling baik, aku bisa memastikan bahan dasar ini masih bisa didapat di seputar Kota Sakadhawara. Ada tiga jenis pemasok, dua diantaranya aku kenal, dan mereka tidak memiliki bahan seperti ini. Tinggal memastikan yang satunya. Kesimpulan sementara, pedang ini dibuat di sini.”

Si codet mengerutkan kening. “Ada berapa jenis pedang seperti itu?”

“Hanya dua ini saja.” Jawab si Penjual Aren “Apakah ada sisa bahannya?”

“Ti-tidak.”

“Jadi, apakah kesimpulanmu itu masih mungkin?”

Penjual Aren ini tergagu, “Ti-tidak… rasanya, tidak.” Sahutnya tergagap. Si codet sangat mudah mengkoreksi kesimpulannya. Mungkin dengan dia diharuskan mengikuti si codet, akan mendapatkan pengetahuan baru. Ini cukup menghiburnya.

“Menurutmu, kenapa banyak senjata berpatahan disini?” pertanyaan si codet seperti menguji, membuat Penjual Aren harus hati-hati menjawab.

“Kurasa, ini seperti pengujian… anggap saja pihak lain atau katakanlah orang dalam perkampungan ini sendiri yang menguji tingkat kekerasan senjata-senjata mereka. Nyatanya tak ada satupun yang bertahan dalam satu tebasan.”

Si codet manggut-manggut. “Apa kau tidak melupakan satu hal penting?”

Penjual Aren mengerutkan kening. “Ah ya, tidak adanya jejak-jejak kaki pada bangkai senjata. Orang yang menghancurkan senjata ini pasti memiliki kemahiran tinggi.”

“Bisa kupastikan, bukan orang dalam perkampungan.” Gumam si codet. “Lanjutkan…”

Lelaki bernama asli Tuhagana ini mengerutkan kening. “Ya- ya.. kesimpulanku tadi salah besar. Ada orang datang kesini melakukan teror. Bisa kita tinjau dari lenyapnya seluruh penghuni perkampungan ini.”

Si codet membenarkan. “Kau belum melihat reruntuhan bangunan, coba kau periksa.” Perintahnya, membuat Tuhagana segera bergegas. Meski dirinya cukup teliti, ternyata si codet jauh melebihinya.

Tuhagana memeriksa reruntuhan yang meranggas gosong, namun tiap serpihan kayu bangunan itu ternyata luar biasa keras. Pilar bangunan yang memiliki pecahan serpihan dalam besaran sama, hanya ada dua. Artinya orang itu sengaja menghancurkan pilar penyangga bangunan untuk membuatnya runtuh.

“Aku tidak tahu jenis ilmu apa yang menghancurkan pilar kayu ini.” Gumamnya setelah berhadapan kembali dengan si codet.

“Tak usah salahkan dirimu. Ilmu di dunia ini memang sangat luas.” Kata si codet menerawang salah satu serpihan kayu. “Ada dua jenis ilmu disini, aku bisa memastikan pukulan penghancur yang dipenuhi unsur api, segera diredam dengan pukulan dingin. Bukan sembarang pukulan dingin yang bisa di uapkan suhu, namun dingin yang membekukan dengan menguatkan unsur paling lemah. Arang yang lemah digubah membatu…”

Tuhaguna tercekat. ”Apakah yang melakukannya satu orang atau lebih? Lalu pukulan macam apa itu?”

Si codet terdiam, pada masa lalu dirinya sempat di sebut orang dengan julukan Mahaprajna, namanya sendiri memang Prajna. Berhubung karena kepintarannya, orang lain menyematkan Maha didepan namanya. Tapi kemunculan Sadhana, membuatnya dia jungkir balik, analisis sang Serigala lebih tajam dan lebih mumpuni ketimbang dirinya. Tokoh-tokoh terhormat lebih suka berbicara kepada Sadhana, dan sisanya—orang-orang kalangan rendahan, lebih mencari dia. Karuan saja kondisi ini membuat dirinya marah, dengan semangat tinggi di tantangnya Serigala untuk bertarung, dan akhirnya menjadi penyesalan mendalam bagi Prajna. Sebuah luka yang tidak mungkin hilang menjadi identitas baru. Mahaprajna menghilang, berganti nama dengan sebutan Ekajâti. Si codet menghukum dirinya dengan sebutan untuk kalangan sudra— Ekajâti, terlahir sekali lagi menjadi kalangan rendah. Nama Ekajâti sebagai peringatan baginya utuk selalu mengejar kemampuan Sadhana.

Kini, pertanyaan Tuhagana membuat gerahamnya mengembung—kesal! Saat ini dia tidak bisa menjawab, dan itu membuatnya seperti dihantui bayangan Sadhana yang tengah tersenyum mengejek. “Aku.. tidak tahu.” Jawab Ekajâti jujur menekan kekesalan. “Tapi bisa kusimpulkan orang ini bukan dari keluaran perguruan utama. Ada kemungkinan dia pemegang ilmu mustika.”

“Kurasa untuk mempersempit hal ini, kita bisa melacak dari pemasok terakhir.”

“Tidak perlu, itu bisa menyusul nanti.” Ujar Ekajâti menggeleng. “Aku menemukan satu sandi telik, kita akan mengikuti ini.”

Keputusan sudah dibuat, namun rasanya Tuhagana masih belum puas. “Jika anda tidak keberatan, aku bisa mengerahkan kekuatan yang sudah kuhimpun di perbatasan timur Kota, untuk memastikan.”

Ekajâti tersenyum tipis. “Seharusnya itu sudah kau lakukan, tanpa harus bertanya padaku. Pergerakan kita harus efektif." Lelaki bercodet ini lalu menjelaskan pada Tuhagana tentang jenis dan kegunaan simbol yang dia temukan. Ekajâti menyatakan supaya nantinya Tuhagana mengikuti tanda- tanda itu.

Tak menunggu lebih lama, mereka berpisah jalan. Ekajâti mengikuti sandi telik, yang sejak awal Jalada sudah mengikuti orang yang membuat sandi tersebut. Tuhagana berkelebat cepat menuju pusat kota.

Mereka begitu bersemangat bergerak, tanpa sadar sudah menjadi bidak rencana Jaka Bayu. Kosongnya Perkampungan Menur, dan Pedang yang sengaja ditinggal, lalu sandi yang akan tercipta karena kondisi panik… semua sesuai rencana Jaka. Cara pemuda itu ‘memintal’ memang unik, ‘bulu domba’ memang akan segera dipintal, dan biasanya tidak pernah lepas dari ‘kotoran’ yang menempel pada bulu. Ekajâti sekalian sebagai ‘kotoran’, entah akan digunakan atau tidak oleh Jaka, semua tinggal menunggu waktu pula. Menunggu hasil akhir dari rencana Keluarga Keenam yang sudah mendapat undangan resmi dari pihak kerajaan.

===o0o===

Pagi itu di pusat Kota Skandhawara sangat semarak dalam keheningan. Bagaimana itu bisa terjadi? Hening karena tidak ada satupun orang yang berani keluar rumah. Semarak, karena setiap pintu rumah, dalam radius dua pal dari istana ada prajurit berjaga, jalanan begitu lengang. Tuhagana menyumpah panjang pendek, setiap pejalan kaki yang memasuki radius dua pal, langsung diarahkan untuk menyingkir menjauh. Kondisi seperti ini membuat orang-orang yang ditanam di sekitar kota jelas tidak bisa berkutik. Untuk menyelinap di pagi hari seperti ini jelas tidak bisa dilakukan. Mau tak mau, Tuhaguna hanya bisa mengamati situasi, dia tahu jika kondisi seperti ini diberlakukan, pasti ada kejadian penting di istana, dan kalangan istana sedang bersiap-siap menyambut tamu.

Lelaki ini sudah tinggal di Kota Skandhawara itu selama dua puluh tahun. Seingatnya, dalam kurun waktu tersebut, hanya ada empat kali kejadian serupa saat ini. Tapi di masa lalu, pengamanan para prajurit pun hanya berlaku tak lebih dari setengah pal wilayah istana. Diam-diam timbul rasa ingin tahu Tuhaguna.

Dia bergerak menjauh, mengharap ada salah satu dari anak buahnya memberikan tanda. Dan tanda itu ditemukannya menjauh dari pusat kota, mengarah tepat kepondokan didalam komplek kolam ikan. Tuhagana tidak melihat adanya perubahan pada tanda yang sudah disepakati, ini membuatnya yakin.

Tapi, manakala dia akan masuk kedalamnya, sesaat dia merasa ragu. Intuisinya menyatakan ada bahaya di depan sana. Tuhagana membalikan badan… dan nyaris saja dia berteriak kaget saat dibelakangnya ada orang yang tengah menggedong tangan.

“Kau mau masuk?” Tanya lelaki paruh baya itu.

“I-iya…” Tuhagana cepat tanggap menjawab dengan menggeregap, “Sa-saya ingin menawarkan air aren kedalam.” Ya, sehari-harinya dandanan Tuhaga memang seperti seorang penderes air nira, dengan dua bumbung bambu besar digendong.

“Kenapa harus jauh-jauh kemari?” Tanya orang itu dengan kening berkerut.

“Soalnya, pusat kota tak bisa dimasuki, supaya bisa balik modal untuk hari ini, ya.. saya tawarkan kesiapa saja…”

Orang itu manggut-manggut sembari menatap Tuhagana dengan seksama, dia bersuit sejenak lalu melambai pada gerumbulan semak di komplek kolam. Seseorang muncul dan berjalan mendekat.

“Benar, dia penjual aren?” Tanya orang itu pada si pendatang.

“Benar. Dia memiliki kedai di perbatasan luar kota dekat sungai.” Jawabnya.

“Sudah berapa lama berjualan?” “Belasan tahun.” sahut si pendatang

“Hm…” orang itu menatap Tuhagana. “Kau masuklah, akan kubeli…”

"Ba-baik..." Atas tanya jawab tadi, Tuhagana menjadi sangat terkesip, untung saja sehari-harinya dia memang benar berjualan air aren. Keraguan membuatnya ingin menghindar dari orang-orang itu, tapi masa sih penjual aren punya kewaspadaan seperti itu? Dengan mengeraskan hati dia melangkahkah kaki kedalam.

Tanda itu berhenti tepat di pintu komplek kolam, pematang menuju bangunan itu cukup lebar, di kanan kiri terlihat gemercik air terdengar karena riuhnya ikan berebut makanan. Saat memasuki ruangan, Tuhagana menahan sekuat tenaga untuk tetap bertingkah seperti biasa, dia menahan diri untuk tidak berseru kejut. Bagaimana tidak, salah seorang anak buah yang baru dikumpulkan, tengah menyantap bubur. Pandangannya menatap kosong, tangannya menyendok perlahan, di sebelahnya sudah menumpuk tiga-empat-lima.. sembilan piring bekas bubur. Tuhagana sangat sulit untuk menelan ludah karena perutnya tiba-tiba terasa kejang. Dia tahu metode yang sedang dilakukan orang-orang ini terhadap anak buahnya serupa Çabda Daharijja—kalimat sejahtera, yang bersifat seperti hipnotis.

Mereka tidak menanyakan apapun, hanya menyuruh si korban makan dan terus makan, tak perduli sang korban merasa sesak, pada saatnya nanti, Çabda Daharijja akan dilepas, mereka akan bertanya satu kali saja, jika korban masih menyangkal, Çabda Daharijja akan membelenggunya lagi, dan dia akan terus makan…makan dan makan, sampai mati.

“Sa-saya letakkan dimana?”

“Taruh saja di situ.” Katanya menunjuk meja disamping orang yang tengah makan bubur.

Tuhagana memang kejam, tapi kalau harus membunuh anak buah karena desakan yang tidak perlu, itu belum pernah dilakukan. Aren ini memang enak, tapi juga bisa membunuh kalau kau meminum dibawah kuasa Çabda Daharijja. Setelah mendapat uang, Tuhagana bergegas permisi dan segera pergi, dia ingin sekali menghajar orang-orang itu. Tapi kehadiran salah seorang yang tak terdeteksi olehnya cukup membuat dia sadar, dirinya tengah berhadapan dengan kalangan berilmu tinggi. Hal itu membuatnya berpikir jernih untuk segera menjauh.

Setelah Tuhagana lenyap, podok itu diguncang tawa berderai. Orang yang makan bubur tertawa hampir saja tersendak. Tangannya meraup wajah, dan terlihat wajah tuanya. Dia Ki Alih. “Jaka… Jaka, akal setanmu memang aneh-aneh! Apa kau tidak kasihan dengan orang itu?” katanya di sela-sela tawanya.

Dari dalam, pemuda yang sudah menyamar menjadi lelaki paruh baya ini tertawa pendek. “Dia memang pejual aren, informasi Penikam tak diragukan. Sayangnya gerakan orang itu tak cukup baik dalam menyembunyikan himpunan hawa murni. Sikapnya juga dibuat terlalu santai, malah makin mencurigakan. Apa paman tidak memperhatikan sorot matanya saat melihat wajahmu tadi? Matanya berekspresi cukup serius. Haha… sungguh penjual aren yang sakti.”

Mereka masih sempat bercakap-cakap sesaat, hingga akhirnya seorang paruh baya lain masuk keruangan. “Cukup sudah main-mainnya, kita sudah ditunggu!” Kata Cambuk yang tadi bertanya jawab dengan Jaka di depan komplek kolam, mempermainkan Tuhagana. Orang ini telah mempersiapkan segala keperluan untuk dibawa ke istana.

“Mari…” kata Jaka mendahului keluar.

Ternyata, bendera kebesaran Keluarga Keenam cukup membawa dampak bagi lingkungan sekitar istana. Pembersihan yang di lakukan besar-besaran oleh pihak kerajaan, membuat orang-orang Tuhagana terpaksa harus menyingkir. Ini malah menguntungkan pihak Jaka. Di mata Penikam, orang-orang semacam itu sangat bisa dibedakan jika dibandingkan penduduk biasa. Mereka meringkus tiga orang dengan cepat, lalu membawanya kedalam komplek kolam. Di sepanjang jalan, Jaka membubuhkan tanda sandi yang didapatnya dari saku mereka. Dan kesudahannya, itu memancing kedatangan Tuhagana, membuat Jaka sekalian bisa memberi tanda, siapa-siapa orang yang harus mereka waspadai.

===o0o===

Mungkin para prajurit banyak yang menyumpah panjang pendek, dalam bayangan mereka tamu yang akan mereka sambut itu rombongan besar dengan perbawa gagah mengesankan. Tak tahunya hanya empat orang tua saja. Jaka Bayu, Penikam, Cambuk dan Ki Alih. Tampang mereka semua paruh baya, bajunya sederhana saja. Tapi yang membuat istimewa, langkah-langkah kecil mereka ternyata melesatkan tubuh hingga belasan langkah kedepan dengan gerakan lambat—melayang! Ini demonstrasi peringan tubuh yang hebat!

Pratyadhiraksana yang turut menyambut didepan gerbang, terlihat begitu tegang. Jika orang yang sempat dia hadapi beberapa hari lalu adalah salah satu panglima Keluarga Keenam, empat orang itu entah bertindak sebagai apa. Dia cukup mengerti bagusnya kualitas peringan tubuh para pendatang itu.

Rombongan itu di pandu Pratyadhiraksana menuju balai pertemuan. Disana sudah menunggu Sang Raja, Widyabhre dan Mangkubumi Pastarana, lalu terakhir Pratyadhiraksana. Selain itu, disekitar sang raja juga di kelilingi para senopati tangguh dengan beberapa orang berpakaian pertapa, sorot mata mereka tajam berkilat.

Jaka sesaat memandang berkeliling, lalu mereka memberi hormat. “Maaf jika kedatangan kami membuat situasi gaduh.” Jaka memulai pembicaraan. “Undangan untuk kami sudah ditebarkan, adakah sesuatu yang bisa kami lakukan?”

Sang Raja memberi isyarat kepada Mangkubumi Pastarana untuk bicara. Dalam saat yang singkat itu, Jaka segera bisa menilai, betapapun seorang raja memang lebih cerdik dan berpengalaman. Dia tidak membiarkan dirinya menjawab pertanyaan. Jika itu terjadi, sama saja menyerahkan kendali negosiasi kepada lawan bicara.

“Apakah anda tahu kenapa tanda ini terpasang?” Mangkubumi Pastarana memulai dengan pertanyaan setelah mempersilahkan mereka untuk duduk.

“Tidak tahu.” Jawab Jaka dengan berhati-hati, agaknya orang itu sudah memulai sebuah penjajagan. “Tapi menilik gelagatnya, pasti ada tamu yang berkunjung kesini. Dan itu cukup merepotkan anda.”

Mangkubumi Pastarana tersenyum. “Anda salah. Mereka sama sekali tidak merepotkan…”

Jaka segera berdiri memberi isyarat pada lainnya untuk mengikuti. “Kalau begitu kedatangan kamipun tidak diperlukan.” Kata pemuda ini tegas. “Maaf, kami harus segera pergi. Tanda yang kami berikan akan kami tarik kembali, dan hadiah yang diberikan kepada kamipun akan dikembalikan utuh tanpa kekurangan, mulai detik ini Keluarga Keenam bisa dianggap tidak pernah kenal dengan anda semua.” Jawaban pemuda ini yang tegas dan diluar dugaan membuat Mangkubumi Pastarana tertegun. Betapa cepatnya orang itu—Jaka, mengambil keputusan, membuat Mangkubumi Pastarana tidak sanggup lagi melakukan nogosiasi dalam posisi yang sama kuat. Bagaimanapun pihak kerajaanlah yang lebih dulu mengundang Keluarga Keenam. Sebagai ‘pembeli’ nilai tawar mereka tidak cukup kuat.

“Tunggu!” sang raja akhirnya berbicara juga, dia berdiri dan melangkah mendekat, membuat semua orang merasa cemas, bagaimanapun juga tamu mereka tetaplah orang asing, keselamatan Sang Raja jelas menjadi prioritas, membuat Mangkubumi Pastarana dan Pratyadhiraksana turut mengiring maju dengan waspada.

Jaka membalikkan badan. Dengan nada tajam pemuda ini berkata. “Ingat, kami bukan kelompok yang berada dibawah ikatan peraturan manapun, kami tidak mengakui kedaulatan kerajaan manapun. Kami bebas berkehendak, kami tidak pernah menolak musuh, dan tidak takut bermusuhan dengan siapapun. Pun jika ada pihak yang kami akui menjadi kawan, lalu harus menjadi seteru kami, tak menjadi masalah besar bagi kami. Tanda yang kami berikan kepada kerajaan ini hendaknya tidak dipandang ringan. Ini sebagai peringatan buat anda sekalian!”

Nada yang tegas tanpa kompromi itu, lamat-lamat membuat mereka menyadari satu hal; Keluarga dari kalangan persilatan memang tidak bisa di perlakukan sama halnya dengan rakyat jelata, mereka memiliki otoritas penuh terhadap kelompok mereka sendiri. Berbicara dengan merekapun harus menempatkan mereka menjadi satu golongan yang setara. “Baik, anggap aku salah bicara. Mari kita duduk dan merundingkan masalah yang ada.” Kata Mangkubumi Pastarana menyoja memberi hormat.

“Baik!” sahut Jaka dengan tersenyum, cara Mangkubumi Pastarana memberi hormat, bagi orang lain bisa mendatangkan penyakit, tapi tidak bagi pemuda ini. Apalagi Jaka tidak ingin mengecewakan harapan Ekabhaksa. Keluarga Keenam harus memiliki nama yang berkibar mentereng. Desakan hawa sakti yang keluar dari gerakan membungkuk Mangkubumi Pastarana berpilin membuat belasan pusaran yang mengerucut menjadi titik-titik tajam, bermaksud mencabik lawan tanpa ampun.

Sang Raja berkerut kening, meski dia tahu apa yang sedang di lakukan Mangkubumi Pastarana kurang sopan, dirinya tak mau mencegah. Bagaimanapun seorang tamu harus tahu diri, kalaupun mereka harus merendahkan diri karena kalah kemampuan, itu wajar. Tapi kalau mereka bisa bersikap jumawa seperti itu, sudah seharusnyalah mereka mengunjukkan kemampuan. Sang Raja kembali ketempatnya sambil memperhatikan dengan seksama.

Jaka balas menyoja, begitu tubuhnya membungkuk titik-titik dingin segera terhampar membuat situasi seperti beku dalam sesaat, ketegangan kian menjadi. Disaat bersamaan, semua orang bisa merasakan ada desakan bagai bola angin yang berpusing diantara Jaka dan Mangkubumi Pastarana. Hawa dingin yang semua terlihat mencekam ruangan, perlahan surut, berganti dengan munculnya belasan sulur bagai pusaran angin, melibas titik-titik tajam hawa sakti Mangkubumi Pastarana. Pemuda ini tidak kepalang tanggung pula saat turun tangan, sebab Mangkubumi Pastarana pun tidak sekedar coba-coba dalam mengerahkan kemampuannya.

Krak! Krak! Krak! Belasan kali hawa sakti keduanya bentrok, tak bisa dilihat dengan kasat mata karena terkadang seperti siulet fatamorgana, tapi dilain saat bagai embun yang menguap terkena sinar mentari.

Tiap benturan, membuat Mangkubumi Pastarana merasakan hawa dingin dan dan panas yang berkali-kali menyambar selubung pertahanan dirinya. Meski tidak menyakitkan, tapi desakan dua hawa yang tidak kunjung putus itu, sangat merepotkan dirinya untuk fokus.

Dilain sisi, Jaka juga merasakan keanehan pada serangan Mangkubumi Pastarana, pusaran hawa sakti yang sudah ditangkisnya, terasa membal, lalu membentuk satu pusaran energi yang baru, demikian seterusnya. Rasanya seperti memotong ekor cicak, dan ekor itu tumbuh lagi—dalam jangka waktu yang dipercepat ribuan kali.

Bagi orang awam, keduanya hanya terlihat seperti sama- sama menyoja dalam waktu yang cukup lama, sampai akhirnya; mereka memutuskan untuk menyudahi ‘perang’ dalam rangka merebut ‘angin’ untuk bicara.

Jaka segera menarik tenaganya sampai titik nol, membuat serangan Mangkubumi Pastarana yang belum sempat ditarik, bagai bendungan jebol menghantam Jaka tanpa hambatan. Terlihat senyuman kemenangan tersungging dari semua pihak Mangkubumi Pastarana, termasuk Pratyadhiraksana—meski dia membenci Mangkubumi Pastarana. Tapi Mangkubumi Pastarana tidak tersenyum sama sekali, wajahnya terlihat berkerut, bingung. Dia merasa serangannya masuk, telak menghantam. Namun dalam waktu yang sangat singkat, pada jalur pengerahan hawa murninya seperti mendapat guncangan, yang membuat nadinya berdenyut nyeri.

Pratyadhiraksana seperti memahami yang terjadi, dia pun turut menyoja, “Terima kasih banyak atas pengertian anda.” Katanya.

Pada saat itu pula Jaka merasa damparan tenaga yang merambat dari kaki hingga kepala, lalu memberikan efek seperti sedang di peras. Terdengar tulang Jaka berderak akibat serangan mendadak itu. Jaka segera mengenali orang itu, dia bisa mengambil jeda serangan pada titik tenaga yang paling lemah, ternyata orang itu yang menyerang dirinya pada malam hari!

“Sama-sama!” sahut Jaka menggerakkan bahu. Kuda-kuda kaki diperkuat, lalu dengan gerakan yang alami Jaka menghentak lutut, memotong aliran hawa sakti lawan. Bahu yang sempat terpilin segera membentuk sebuah satu hentakan—karena dorongan dari lutut, yang segera mengembalikan serangan lawan. Tenaga lawan dibalas dengan cara serupa, memusar pula, merambat cepat membuat Pratyadhiraksana tidak menyangka akan ada balasan seperti itu. Dia merasakan sengatan pada lutut, membuat undur sejengkal langkah. Dari telapak kaki hingga pinggang dirasakan sebuah sengatan lemah, tidak menyakitkan, tapi membuat syarafnya kebas kesemutan.

Kejut tak terkira, membuat Pratyadhiraksana tak berani bertindak sembarangan. Kalau menuruti emosinya, dia pasti akan segera mengerahkan beberapa ilmu dahsyat yang tak pernah dikeluarkan selama dirinya berada di dalam Kerajaan Kadungga. Tapi jika itu dilakukan, tentu akan menimbulkan kecurigaan, dan akan menciptakan musuh tak terlihat, Sang Raja. Itu berbahaya untuk seluruh rencananya.

Sebagai orang yang cerdik, dia segera mundur satu langkah di belakang Mangkubumi Pastarana, seraya berkata. “Mari, silahkan duduk kembali.” Diapun bersama Mangkubumi Pastarana kemudian undur diri berdiri disamping sang raja.

Jaka sangat menyadari dirinya sudah mendapatkan kendali situasi. Sambil duduk, Jaka menoleh kepada Cambuk. Padahal debar di dada Cambuk belum hilang akibat ketegangan tadi, tapi Jaka malah memintanya untuk berbicara sebuah masalah, membuat tenggorokannya tercekat sesaat.

Cambuk membuka buntalan yang sudah disiapkan, isinya potongan-potongan senjata yang dihancurkan Jaka sekalian saat mengacau di Perkampungan Menur, ada juga kain yang berisi noda darah, diatas kain itu terdapat lipatan kain lain. Kemudian secarik kain dengan tulisan.

Melihat hal-hal yang disiapkan oleh anggota Keluarga Keenam, membuat kalang pihak Kerajaan merasa, bahwa; justru mereka yang akan mendengar sebuah kabar, lalu kemudian akan bekerja sama mengatasinya. Padahal sejak semula mereka ingin meminta Keluarga Keenam mengurus pelaku teror tadi malam. Dari yang mengendalikan kini menjadi pihak yang dikendalikan. Demikian perasaan kalangan pihak Kerajaan.

Jaka melihat sedikit kegugupan pada tindakan Cambuk, dia tak mengizinkan kegugupan itu membuat pamor yang sudah ditanam tadi menjadi runtuh. Pemuda ini segera mengambil alih situasi.

“Apa yang ingin dibicarakan?” Tanya pemuda ini memecah hening.

Karena Mangkubumi Pastarana sudah terbentur dengan sikap tegas Jaka, maka orang inipun tidak mau bertele-tele. “Kami mengalami keadaan cukup rumit…” lalu diceritakan kejadian teror tadi malam, membuat Jaka sekalian hampir saja tertawa.

“Banyak orang berkemampuan hebat disini, kenapa harus kami yang turun tangan?” Tanya Jaka dengan mimik serius.

Mangkubumi Pastarana menghela nafas sejenak. “Kau benar, tapi jika kami harus berkonsentrasi mengejar pelaku, atau berjaga-jaga terhadap pelaku yang kemungkinan akan datang lagi, kekuatan kami menjadi terpecah. Sementara masih banyak persoalan lain yang perlu penanganan secara serius.”

“Ah… aku paham.” Gumam Jaka.

“Karena itu, Keluarga Keenam sebagai sahabat kami, harus bertindak membantu, bukankah begitu?” Tanya Mangkubumi Pastarana setengah menodong.

Jaka manggut-manggut. “Kau benar, kami tidak keberatan untuk mencari para perusuh itu. Dan, untuk kalian ketahui… kami membawa beberapa persoalan pelik kepada kalian.”

Sang Raja saling pandang dengan para pengikutnya. “Maksudmu bagaimana?” Sang Raja bertanya bingung. “Sebelum dijelaskan lebih lanjut, kami memerlukan orang yang mengerti tiga jenis kemahiran.” Kata Jaka membuat Sang Raja tertegus sesaat.

“Katakan…”

“Mpu pembuat senjata, tabib, dan orang yang mengerti jenis baju dan tulisan.” Terang Jaka.

Mangkubumi Pastarana mengangguk pada Sang Raja, setelah mendapatkan persetujuan untuk bicara hingga akhir, lelaki ini maju satu langkah dan berkata “Tak perlu tiga orang, cukup aku saja.”

Jaka saling pandang dengan Ki Alih sekalian. “Itu malah lebih bagus.” Seru Jaka mendekat sambil membawakan apa- apa yang di persiapkan Cambuk. “Silahkan periksa ini.” Pemuda ini memberikan beberapa potongan senjata.

Mangkubumi Pastarana memeriksanya dengan seksama, sebelum akhrnya dia meminta kepada seorang ajudannya untuk membawakan pedang yang biasa di pakai prajurit. Tanpa ragu, Mangkubumi Pastarana menghantakan pedang itu dengan ayunan kencang tanpa hawa sakti.

Trang! Prak! Lelatu api muncrat, dan ujung pedang yang digunakan Mangkubumi Pastarana patah. “Apa maksudnya ini?” Tanya Mangkubumi Pastarana tidak mengerti, ternyata pedang prajuritnya secara kualitas kalah jauh.

“Kami baru saja menghancurkan beberapa rumah penempa senjata, semuanya memiliki kualitas sebagus ini, bahkan lebih. Orang-orang yang membuat senjata itu, melakukan jual beli dengan sekelompok pihak yang tidak diketahui. Karena masih di wilayah Kadungga, membuat kami berinisiatif untuk menghancurkan senjata-senjata mereka. Tapi perihal pembeli, itu urusan kalian… ”

“Oh…” barulah Mangkubumi Pastarana sekalian paham, diam-diam mereka memiliki firasat jelek terhadap benda lainnya.

Jika potongan pedang saja bisa bercerita begitu banyak— bahwa; kemungkinan bahaya peperangan sedang mengintai kerajaan, dengan kekalahan telak dipihak Kadungga—karena senjata mereka kalah kualitas. Tentu, cerita tentang dua benda lainnya tak kalah mendebarkan.

“Kemudian ini.” Jaka memberikan kain bernoda darah, menyingkirkan bungkusan kain yang ada diatasnya.

Mangkubumi Pastarana mengamati kain itu dengan seksama, diterawang sesaat. “Tidak ada bekas percikan, hanya rembesan darah. Apakah kain ini tepat dimulut luka?”

Jaka mengangguk, membuat Mangkubumi Pastarana berkerut serius. “Artinya serangan yang dilakukan bukan dengan sabetan senjata, bukan pula pukulan. Tapi sejenis tusukan dengan ujung sangat tajam dan kecil. Namun memiliki daya letus terbatas pada ujungnya, membuat daging atau syaraf yang kena, bisa pecah dan mengalirkan darah cukup deras.”

Jaka tidak berkomentar, sebenarnya dia hampir saja mengatakan; ’serupa dengan seranganmu yang berkesan tajam’, tapi pada forum seperti ini, ucapan tersebut akan sangat membahayakan, karena bisa diolah sedemikian rupa oleh orang-orang yang tak menyukai Mangkubumi Pastarana, untuk menyingkirkan dia dari istana. “Lalu apa maksud kain ini?” Tanya Mangkubumi Pastarana berkerut kening.

“Ini terjadi tepat di perbatasan kota ini, apakah tidak ada yang tahu?”

Mangkubumi Pastarana menoleh kepada salah satu senopatinya, tapi dia hanya menunduk, artinya; tidak tahu ada kejadian semacam itu.

“Korbannya adalah salah seorang tetua perguruan yang cukup besar, tak perlu kusebutkan namanya, kini dia dalam perawatan kami, sampai sekarang belum siuman juga.”

“Karena luka itu?” Tanya Mangkubumi Pastarana tidak percaya, meskipun luka itu bisa membuat daging koyak, tapi tidak mematikan, tidak membuatnya menjadi terlalu parah.

“Bukan, tapi karena ini…” Jaka mengangsurkan bungkusan yang tadi ditaruh diatas kain penuh bercak darah itu.

Saat Mangkubumi Pastarana membuka, Jaka menyarankannya untuk hati-hati. “Itu adalah racun yang kami daur ulang kembali dari luka si korban.”

Wajah Mangkubumi Pastarana berubah sangat serius. Meskipun dia tidak memiliki pengetahuan mengenai racun seluas Jaka, tapi cukup mengetahui ciri racun berbahaya dari bentuk dan warnanya. Dengan cepat, Mangkubumi Pastarana menyayat ujung jemarinya, meneteskan darah tepat diatas bubuk racun tersebut.

Cesss! Darah yang tercampur bubuk racun segera menghitam, lalu kain yang digunakan membungkus racun itu secara perlahan dirambah noda warna hitam—nyaris seluruh bagian.

“Racun apa ini? Sungguh ganas!” desis Mangkubumi Pastarana menyingkirkan kain tersebut.

“Tidak tahu,” Jawab Jaka. “Tapi sifatnya memang ganas, begitu masuk kedalam tubuh, akan mengejar darah, sangat sulit menyembuhkan racun seperti ini, karena selain sifatnya yang cepat membaur, racun ini juga mengencerkan darah.”

Kata demi kata sudah didengar semua orang, membuat situasi jadi tak nyaman. Sudah tentu Sang Raja pun harus segera bersiap dalam pengamanan yang kian ketat, karena boleh jadi si pemilik racun tidaklah sebaik hati peneror malam kemarin yang hanya ‘bermain-main’ terobos sana sini, gebuk sana-sini.

“Lalu terakhir, ini… silahkan diperiksa.” Jaka menyerahkan kain tipis yang berisi tulisan ‘sedang mengikuti san ’

bagian lanjutan sepertinya sengaja di coret.

Mangkubumi Pastarana kembali meneliti kain. ”Kain ini terbuat dari pintalan serat kayu gaharu, sungguh mahal, lagi pula tidak semua orang bisa membelinya. Ini dibuat berdasarkan pesanan kusus. Pemiliknya pasti bukan orang biasa.”

“Bisa dari kalangan istana?” Tanya Jaka membuat tiap mata menatap kearahnya. Penyakit dalam kata yang diucapkan Jaka sungguh tidak kecil.

Pratyadhiraksana mengumpat dalam hati, ‘setan alas! Dengan ini gerakanku makin terbatas!’ dan tentunya bukan Pratyadhiraksana saja yang merasa demikian, pihak lain yang memiliki mata-mata di sekitar Kerajaan Kadungga-pun menjadi was-was.

“Bagaimana dengan jenis tulisannya?” Tanya Jaka.

Lagi-lagi Mangkubumi Pastarana harus menggeram menyaksikan hal terakhir, begitu banyak kepusingan yang bisa menimbulkan kepanikan, telah di bawa Keluarga Keenam.

“Tiap goresannya sungguh cepat, berkesan tergesa. Artinya dia selalu bergerak mengamati. Tapi siapa itu ‘san- - - ’ yang di maksud?” Tanya Mangkubumi Pastarana membuat wajah Pratyadhiraksana berubah sesaat. Apakah tujuan Keluarga Keenam adalah Sandigdha? Pikirnya gundah.

“Kami tidak menyelidiki sampai sejauh itu, bagaimanapun ini diluar kewenangan kami. Jika kami harus bergerak untuk menyelesaikan permasalahan, harus ada komitmen yang dibangun antara Keluarga Keenam dengan Kadungga!” tegas Jaka.

Mangkubumi Pastarana menatap orang dihadapannya dengan seksama, baru satu orang dari Keluarga Keenam, tapi sudah menimbulkan kerumitan seperti ini. Bagaimana jika mereka bergerak serentak? Mangkubumi Pastarana tak bisa membayangkan. Dia menatap Sang Raja meminta pertimbangan.

“Kalian meminta komitmen, rasanya itu terlampau jauh!” kata Sang Raja merasa keberatan.

“Terserah anda Yang Mulia…” kata Jaka dengan nada tanpa beban. “Tidak ada kerugian apapun buat kami, toh kewajiban kami menolong Kadungga hanya untuk menangkap penyusup yang menebar ancaman tadi malam. Apa-apa yang kami lakukan—dengan berakhir membawa beberapa barang bukti ini, hanya pekerjaan sambil lalu. Hanya sebagai bentuk perhatian terhadap kawan, supaya berhati-hati. Maka ini tidak untuk dikerjakan dengan serius.”

Bagi mereka, ucapan Jaka seperti menerima recehan, membuang emas. Bersedia mengurus masalah kecil, tapi tak mau yang rumit. Dan seperti yang diisyaratkan tadi, jika pihak Kerajaan Kadungga ingin Jaka sekalian menuntaskan, maka ada komitmen yang harus di bangun.

Berdasarkan gagalnya ujian dari Mangkubumi Pastarana untuk merobohkan Keluarga Keenam, ditambah lagi kemahiran mereka dalam mendaur ulang racun, serta bisa mendapatkan secarik kain langka dengan tulisan sandi, rasanya untuk menuntaskan ketiga masalah yang mereka ungkapkan tadi, jadi mudah sekali. Tapi komitmen apa yang diminta oleh Keluarga Keenam, sampai saat ini Sang Raja enggan mencari tahu. Bagaimana jika nanti Keluarga Keenam ternyata mengganggu kedaulatan negerinya? Ini berbahaya!

Entah mengapa, baik Mangkubumi Pastarana maupun Pratyadhiraksana, memiliki pendapat sama, mereka merasa; memanggil Keluarga Keenam itu tindakan yang terlampau terburu, dan bisa pula menjadi kesalahan fatal. Pratyadhiraksana memastikan Keluarga Keenam akan bertindak layaknya benalu. Dan ini memusingkan! Karena banyak keterbatasan gerak yang bakal di alami Pratyadhiraksana. Padahal sebelumnya dia pernah memerintahkan Sembilan Belantara sekalian untuk mencari tahu tentang Keluarga Keenam. Tanpa diduga, sudah dua kali ini dia bersua, dan semua membawa kerugian baginya! Sudah tentu Pratyadhiraksana merasa dongkol setengah mati! Sang Raja berunding dengan Mangkubumi Pastarana, dia menanyakan apakah tidak mungkin segala sesuatunya justru merupakan rekayasa Keluarga Keenam untuk mengacau? Mangkubumi Pastarana tak bisa menjawab pasti, dia berpendapat racun yang dibawa Keluarga Keenam bukanlah sembarang racun yang bisa dibuat dalam jangka waktu singkat.

Sang Raja termenung sesaat. “Baiklah, aku akan mengambil resiko besar dengan mendengarkan apa kemauan kalian.”

Jaka tersenyum. “Saya rasa bukan hal yang luar biasa, kami cuma meminta kepercayaan dari pihak kerajaan untuk menyelesaikan semua masalah ini.”

“Oh…” Sang Raja terbelalak, lalu tertawa. “Hanya seperti itu?”

“Ya…” sahut Jaka.

“Itu sangat mudah!” serunya lega.

“Tentunya, jika kami harus menyelidik kesana kemari supaya tidak mendapat salah paham dari pihak Kerajaan Kadungga, ada tanda khusus yang bisa kami dapatkan. Begitu?” ujar Jaka.

“Tentu, tentu…” sahut Sang Raja cepat. Tanda kepercayaan yang di minta Keluarga Keenam, itu sama halnya tanda kepercayaan yang di miliki para pejabat kusus yang bertugas berkeliling negeri.

Mangkubumi Pastarana bisa menghela nafas lega, Keluarga Keenam hanya membutuhkan kebebasan bergerak secara formal—meskipun mereka tidak membutuhkan itu. Tapi entah kenapa bagi Pratyadhiraksana, tetap ada hal yang aneh. Tapi dibagian mana yang aneh, dia tak tahu.

===o0o===

Pertemuan itu ditutup dengan diberikannya empat lencana emas yang memiliki stempel langsung dari Sang Raja. Lencana ini menyebutkan Keluarga Keempat dapat bergerak bebas di seluruh wilayah Kadungga. Bahkan untuk bertemu dengan para pejabat yang saat ini hadir-pun, sama mudahnya bertemu penjual tempe. Tanpa tetek bengek birokrasi menyebalkan.

Satu bidak besar sudah digerakkan oleh Jaka, pemuda ini sengaja meniru tulisan yang berada pada krah baju Nekawarnnarengit yang dibunuh Sandigdha. Kecuali potongan senjata yang memang nyata diambil dari Perkampungan Menur. Bukti lain yang bisa ‘bercerita’ adalah murni rekayasa. Bagaimana dengan ‘bukti’ racun? Itu adalah bentuk reka ulang dari racun yang di gunakan Sandigdha untuk memoles seluruh kereta uangnya, yang dicampur dengan biang racun dari hati merak yang dibuat dengan bisa ular paling keras dari dunia barat—yang juga merupakan pemberian Sandigdha.

Semua yang di lakukan Jaka bukannya tiada arti. Untuk menipu seorang ahli memang butuh keahlian tinggi pula, Jaka bersama Ki Alih dan Jalada berdiskusi cukup intens untuk menciptakan sebuah pukulan berciri seperti yang disimpulkan Mangkubumi Pastarana. ‘Bukti’ pukulan bercampur racun, makin memudahkan Jaka untuk mengarahkan opini. Kain dengan percikan darah beserta racun, digunakan Jaka untuk mengantisipasi pergerakan orang yang melukai Phalapeksa. Manakala pihak yang berwenang tahu, ada pergerakan misterius dengan berbekal racun dan kemahiran tinggi, membuat Jaka mudah mensinkronkan setiap strategi dalam menghadapi beragam situasi di lapangan. Sebab, kali ini sudah ada lencana emas dari Sang Raja di kantongnya.

Lalu, apa alasannya menggunakan kain dengan pintalan serat gaharu? Sesuai opini yang di arahkan Jaka, kain gaharu jelas hanya bisa dinikmati kebanyakan kalangan kerajaan. Jaka berasumsi, Kwancasakya sudah masuk pula kedalam Kerajaan Kadungga. Dengan menyamakan kalimat yang terdapat di dalam krah baju Nekawarnnarengit, sudah cukup memberikan ‘teguran’ bagi pihak Kwancasakya untuk berhati- hati, agar tidak sembarangan bertindak—mengail diair keruh. Jaka ingin memberitahu pada Kwancaskya, bahwa; Keluarga Keenam memantau gerakan mereka.

Inilah cara Jaka dalam ‘memintal bulu domba’, siapapun orangnya—dalam hal ini Pratyadhiraksana—pasti akan segera memberi tahu seluruh kejadian di balairung istana kepada Sandigdha. Dengan sendirinya Sandigdha si Tangan Bayangan akan menggeliat mencari pelindung, entah dia akan membawa jejak ini kepada si Tua Bangka, atau justru kepada pihak lain—yang belum Jaka ketahui, itulah garis besar rencana Jaka.

Begitu njelimet, membuang tenaga dan pikiran banyak pihak. Apakah hanya demi mengurus tokoh tingkat lima dalam keluarga Tumparaka saja? Tentu tidak. Pada dasarnya Jaka sangat berkepentingan dengan racun masa lalu yang sedang di jiplak oleh ‘si entah siapa’. Karena pemuda ini sadar, ada hal yang jauh lebih mengerikan sedang dirancang oleh seseorang. Dia harus menghentikannya. Hanya itu!

-o0o- 123 – Domino Effect : … akhir sebuah awal [4]

Bayangan itu bergerak cepat, lurus. Menerobas hutan, tak perduli pepohonan menghalangi, dia tetap berlari lurus, batang yang menghalangi ditabrak hingga hancur berantakan. Saat mendaki lereng bukit pun, tak perduli batu menghalangi langkahnya, semua di terjang begitu saja, membuatnya rengkah. Dia tak ingin mengurangi kecepatannya, seolah esok sudah tiada hari lagi untuknya. Deru nafas tak beraturan membuat dada mengombak liar, hingga akhirnya di sebuah pondok di salah satu sudut lembah Gunung Khumbaira.

Pondok itu kecil, tapi di belakangnya, ada benteng di kelilingi tembok alami, tebing. Pondok kecil itu tak lebih hanya pintu masuk. Rasanya tak cukup kuat menahan serangan dari orang awam sekalipun. Tapi, lelaki yang memiliki peringan tubuh hebat ini tak berani melangkah lebih jauh, dia duduk bersila di depan podok sambil mengatur nafas. Sebelum mendapatkan izin, selangkahpun tak berani dia tapakkan. Garis pada tanah padas sepanjang setengah tombok di hadapannya, menjadi aturan baku, ‘barang siapa melewatinya, jangan pernah memikirkan kehidupan selanjutnya’, orang ini masih ingin hidup, dia tak ingin dikurung dalam benteng di belakang pondok itu.

Saat orang itu datang, waktu adalah tengah hari, tapi hingga malam haripun tak ada orang keluar dari pondok, hingga akhirnya pagi dijelang. Pintu pondok terbuka. Bunyi keriyutan pintu yang sudah mulai usang itu serasa menjadi alunan suara paling merdu bagi lelaki ini, matanya berbinar melihat kedepan. Terlihat sebatang bambu hitam sebesar lengan keluar lebih dulu dari dalam, selanjutnya dia melihat satu langkah kaki, terlihat begitu berat. Tak berani memandang, orang ini menundukkan kepala. Matanya hanya berani melihat hingga sebatas lutut saja, pandangannya terfokus pada bambu hitam dengan lurik hijau tua, yang lamat-lamat mengeluarkan suara berderak. Sekeliling bambu itu sudah terlihat pecah, hingga saat mendapatkan tekanan tenaga dari atas, saling melengkung, tapi tidak patah. Keleturan bambu itu tak jauh beda dengan rotan—bahkan melebihiya. Lelaki ini tahu sekelumit, ada banyak rahasia dibalik kisah bambu sederhana itu. Tapi kisah Bambu Lentur berwarna kuning tentunya tidak sekelam bambu hitam ini.

Prak! Prak! Derak bambu terdengar makin kencang, seolah muncul beban ratusan kati yang harus disangga. Meski ujung bambu menempel di tanah, tapi tak sekalipun menimbulkan goresan.

“Hiaaaa!” mendadak si penghuni pondok berteriak kencang, hawa sakti bergulung-gulung saling tumpuk membuncah, membuat tanah dalam radius dua puluh tombak retak merata. Membuat lelaki yang tengah bersimpuh ini terpelating berguling-guling. Hempasan hawa sakti bagai letusan mortar bergulung-gulung melanda seputar dua puluh tombak kedepan. Belasan pohon sepelukan orang dewasa miring, nyaris tercabut dari akarnya.

Lelaki itu hanya bisa menyingkir dengan lutut gemetar, hanya pelepasan udara untuk menghela hawa sakti saja sudah membuat kondisi ruyam begini, apalagi jika dia bersungguh-sungguh. Setelah dirasa tak ada hempasan hawa sakti, dia mendekat dan duduk berlutut lagi. Hening menggigit. Desau angin seolah tak bisa mendekat pada wilayah diseputar lelaki bertongkat bambu.

“Kemari!” katanya dengan suara yang lembut, membuat dia makin bergetar, konon orang itu akan timbul sikap kejinya saat berbicara ramah padamu.

Dengan takut-takut, si pendatang mendekat, kepalanya belum berani diangkat sejak tadi. Iapun tidak berani berbicara—takut salah, dengan cekatan diletakkan bungkusan yang digendongnya tadi. Bungkusan itu menyegel sebuah tempurung kelapa.

Penghuni pondokan bambu ini berkerut kening, di guncangnya secara perlahan, tidak ada terbit suara dari dalam. Dengan sekali remas, tempurung itu hancur, menyisakan selembar gulungan.

Hanya ada tulisan singkat. ‘Gunakan dia.’

Membuat penghuni pondok ini tersenyum tipis. “Maafkan aku.” Katanya seraya menyerahkan lembaran itu.

Tidak berprasangka apapun, di bacanya tulisan itu. “Ma- maksudnya apa?” untuk kali pertama dia baru berani mendongakkan kepala dengan tangan sedikit bergetar.

Hampir saja dia menjerit kaget, bukan karena tampang si penghuni pondok, tapi karena dia bisa merasakan senyum tipis dari wajahnya adalah keramahan yang membawa berita tak baik baginya. Keinginan bertahan hidup merupakan indera terpeka yang dimiliki manusia, demikian pula dengan si pendatang, begitu melihat senyum, dia berupaya mundur sekuat tenaga. Peringan tubuh andalannya terkembang sempurna, tubuhnya melejit kebelakang dengan pesat. Kurang dalam satu helaan nafas saja, tiga puluh tombak sudah ditempuh dalam kondisi masih menghadap si penghuni pondok bambu. Saat tubuhnya membalik, untuk kembali menghela dengan kecepatan maksimal, baru dirasakan ada keanehan. Tubuhnya tak lagi bisa bergerak, seolah ada tangan tak terlihat menahan gerakan. Perlahan tubuhnya yang sedang melayang, turun menyentuh tanah.

Masih dalam kondisi membelakangi, dia terseret perlahan menuju penghuni pondok bambu, terseret makin mendekati rumah bambu. Pada saat garis yang menggores tanah sudah terlewat, rasa putus asa sudah melingkupi dirinya.

‘Dari pada aku harus menjadi budaknya seumur hidup, lebih baik aku mati dengan gegap gempita!’ pikirnya dengan tekad bulat. Tubuhnya segera membalik, lalu ditubruknya si penghuni pondok itu sekuat tenaga.

Kemahiran paling menonjol adalah peringan tubuh, dengan sendirinya hawa sakti orang ini tak cukup bagus saat difokuskan pada pukulan yang bersumber dari Perguruan Walet Hijau, Hawa Membuyar Berkirim. Hanya karena tenaga yang terfokus pada kaki untuk melejitkan peringan tubuh, memang sangat baik, membuat bobot pukulannya dapat naik berkali lipat. Tinju menderu dengan kuat, memecah angin dikanan kiri, langsung mengarah kepala si penghuni pondok.

Buuk! Pukulan mendarat mentah-mentah di wajah, membuat lelaki keluaran Perguruan Walet Hijau ini menyeringai. Pukulan miliknya merupakan salah satu ilmu andalan perguruan, jika dipukulkan pada benda, bisa merembet pada objek di belakangnya. Jika dipukulkan secara langsung, bisa dirambatkan sesuka hati keorgan lawan. Dan saat ini pukulannya dirambatkan ke jantung lawan. Membuatnya pecah!

“Nyaman sekali.” Desis si penghuni pondok membuat senyum girang segera lenyap dari wajah orang itu. Ternyata pukulan itu tak membawa hasil, kengerian langsung terbayang di wajahnya, manakala penghuni pondok itu mencengeram kepalan pukulan, menariknya dengan kuat membuat dia berlutut dengan kepala mendongak.

“Ilmu hebat, sayang sudah pernah kurasakan di masa lalu, ini tidak berguna buatku.” Katanya sambil mencengkeram ubun-ubun lawan. “Kau harus merasa terbormat, akan menjadi bagian diriku.” Desisnya lirih.

Di saat bersamaan lelaki dari Perguruan Walet Hijau merasakan seluruh himpunan hawa murninya tersedot keluar melalui ubun-ubun.

“Aaarhg!” raungan kesakitan memantul melalui dinding- dinding tebing. Dalam sela-sela kesakitannya karena hawa murninya bobol sederas itu. Lelaki ini mengutuk membabi buta. “Aku menyesal telah mempercayaimu… sungguh keji, sungguh keji! Kau… seorang Delapan Sahabat…”suaranya tercekat sesaat. ‘…Empat Penjuru akan membayar ini semua!” Merasakan tenaganya berkurang drastis, satu tangannya yang bebas, meraba ke balik baju, diambilnya sebuah benda sebesar ujung kelingking.

Si penghuni pondok bambu, membiarkan kelakukan korbannya. Dia tidak merasa terancam sama sekali. Saat ini dia sedang mencerna dan menikmati curahan hawa murni korban. “Hiaaa!” dengan sekuat tenaga lelaki itu melemparkan bola itu keatas dengan mengibaskan tangan kebelakang, kekuatan terakhir hawa murni yang masih tersisa dan keputusasaan membuatnya tak perduli jika lengannya harus patah akibat lemparan yang bertolak belakang itu.

Saat bola itu sudah mencapai titik tertinggi, barulah penghuni pondok bambu itu menyesalkan atas kecerobohannya. Bola itu meletus memancarkan asap putih, membuat burung-burung diseputar lembah itu segera terbang berkumpul mengerumuni asap. Bola itu seperti isyarat pemberitahuan, Perguruan Walet Hijau memiliki cara yang sangat unik dalam berkirim kabar. Saat bola asap itu dirumuni burung, dan burung-burung itu akan menjadi daya tarik sejumlah burung lain, hingga akhirnya kumpulan burung yang banyak itu akan menarik perhatian orang, mereka akan berputar-putar seperti membentuk payung raksasa di sekitar ledakan bola asap, hingga berhari-hari lamanya.

Menyaksikan burung-burung mulai berputar-putar diatas sana, lelaki ini malah tersenyum. Meskipun nanti akan banyak gangguan, tapi itu tak membuatnya kawatir, makin banyak orang datang kemari, makin banyak ‘santapan’ bergizi yang bisa di cernanya. Dengan langkah sangat lambat, orang ini kembali masuk kedalam pondoknya sambil menyeret tubuh sang korban.

===o0o===

Arwah Pedang sedang melintas diseputar Gunung Khumbaira, dia memperoleh permohonan dari salah seorang karibnya untuk mencari adiknya yang hilang, kabar terakhir menyatakan sang adik yang berprofesi menjadi petugas telik sandi Kerajaan Rakahayu. Langkah Arwah Pedang tersendat karena melihat kumpulan burung-burung berputar-putar diangkasa secara tidak wajar.

Adik sang kawan, pernah menjadi murid Perguruan Walet Hijau, atas tanda yang ditimbulkan burung-burung itu membuat Arwah Pedang curiga. Ada kemungkinan, dia sedang dalam kesulitan. Segera di burunya tempat dibawah burung-burung itu berputar berkeliling.

Langkah kaki Arwah Pedang telah membawanya menuju pondok kecil, tiba-tiba kuduknya dibangkitkan oleh semacam perasaan yang misterius. Selama hidup, Arwah Pedang tidak pernah merasakan takut. Tapi entah kenapa, pondok kecil itu mendatangkan rasa seram di hatinya. Lamat-lamat dari dalam lelaki jangkung ini bisa merasakan ada letupan hawa murni yang terbit dan membuyar bersama udara. Letupan hawa murni itu cepat sekali menghilang dan secepat itupula timbul, membuat Arwah Pedang tak berani melangkahkan kaki lebih dalam.

Dulu, dia pernah mendengar cerita, jika merasakan aura hawa sakti yang memendar redup dan kuat secara simultan, mengartikan ada seseorang menguasai semacam teknik terlarang yang sanggup meyedot hawa murni lawan. Tak perduli kau menyerang beberapa kali, tiap hawa sakti yang menghampirinya akan disedot tuntas.

Tanpa sadar keringat dingin mengucur membuat punggung Arwah Pedang basah, dia tak pernah ragu dalam bertindak, tapi tiba-tiba saja dia harus menghadapi keraguan terbesar dalam hidupnya. Dengan perlahan lelaki jangkung ini mengundurkan langkah, dia benar-benar tidak berani melanjutkan langkah mendekati pondok itu. Padahal, seandainya keputusan untuk memasuki pondok bambu dibuat Arwah Pedang, dia bisa menghindarkan bencana dalam dunia persilatan. Di dalam pondok, lelaki yang sudah menguras tuntas hawa murni seorang murid Perguruan Walet Hijau, terlihat sedang kesulitan mencerna tenga saktinya. Desakan dari belasan jenis hawa murni yang sudah diserapnya membuat simpul-simpul penguasaan hawa itu tak kuat menampung. Saat ini, kondisinya berada pada titik terlemah.

===o0o===

Jaka sedang meneliti gulungan yang diperoleh dari bawah kandang sapi. Berkali-kali dahinya berkerut, seluruh isi tulisan menggunakan bahasa bersayap dan umum, terlihat tidak begitu penting, tapi Jaka paham, ini semua sangat penting. Sehingga harus disamarkan secara rumit. Pemuda ini merasa sedang membaca sebuah cerita, judulnya sangat aneh: Lintasan garis dalam tujuh tautan. Hingga akhirnya atas pengetahuan dari ragam sandi yang juga ada dalam rontal- rontal tersebut, Jaka bisa menyimpulkan tentang hal-hal yang coba diurai dalam catatan tersebut. Sebuah garis dengan tujuh lintasan…

Dalam cerita itu, Jaka bisa sedikit mengambil kesimpulan ada semacam transaksi yang pernah, sedang, dan akan berjalan antara orang yang menulis cerita dengan sebuah garis dengan tujuh lintasan. Jaka tidak tahu, macam apa garis dengan tujuh lintasan itu. Namun dalam kisah yang di ceritakan ini, fungsi garis dengan tujuh lintasan seperti pengawas, pemberi peringatan, dan sesekali mengesksekusi. Atas fungsi-fungsi itupun Jaka baru bisa mengambil kesimpulan dengan susah payah setelah mentransalasikan dengan simbol dan kode dalam rontal sebelumnya. “Kota Pagaruyung?” pikirnya setelah harus mengutak-atik kalimat—membongkar lalu menyusun dengan kalimat lain. Pagaruyung ada salah satu yang dihasilkan dari utak-atik gatuk itu, dan Jaka tahu, kota itu adalah kota terujung Kerajaan Kadungga yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Rakahayu. “Apakah yang disebut garis ini ada disana?”

Jaka menimang-nimang apakah dirinya perlu kesana untuk memperjelas segala sesuatunya. Tapi mestinya, pihak Sandigdha—Keluarga Tumparaka, sudah mengambil tindakan atisipasi, mengingat tempat persembunyian mereka sudah diacak-acak.

Tok-tok!

Pintu kamarnya di ketuk, “Sebentar!” sahut Jaka sambil membereskan gulungan itu dan menyimpannya. Dia segera membuka pintu, terlihat wajah Ki Alih sangat serius. “Ada apa paman?” Tanya Jaka dengan kening berkerut.

“Kita harus segera bergegas menuju Pratyantara.” Katanya tegas.

Jaka tak banyak bertanya, pasti ada hal penting yang membuat Ki Alih begitu serius. Cambuk menyertai perjalanan Jaka dan Ki Alih. Dari rumah batu markas sementara Jaka, untuk mencapai tempat yang disenyalir sebagai kantor pusat Pratyantara, bagi orang-orang seperti mereka cukup dalam satu hari satu malam, mereka sudah tiba.

Mereka pernah menggunakan nama Pratyantara untuk transaksi dengan Kerajaan Kadungga, tak disangka sekarang harus menuju markas mereka untuk meneliti sesuatu. Tak jauh dari bangunan yang disenyalir sebagai markas Pratyantara. Seorang lelaki bertubuh gemuk menyambut ketiganya.

“Yang manakah Mahapandra?” dia bertanya, maklum saja mereka dalam kondisi menyamar, maka orang itu tak mengenal.

Jaka tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya memberi isyarat.

“Mohon mengikuti saya…” katanya dengan hormat.

Ki Alih beserta Cambuk saling pandang, mereka membiarkan Jaka masuk kedalam bangunan.

“Kau tidak memberitahukan apapun padanya, kakang?” Tanya Cambuk pada Ki Alih.

“Aku tidak berani.” Sahutnya singkat.

Cambuk mengerutkan kening, meskipun Jaka orang yang sangat terkendali, tapi manakala menghadapi suatu kabar yang mengejutkan, entah reaksi apa yang akan di lakukannya? Mereka menerima kabar dari mata-mata yang di tugaskan Penikam, beberapa penyusup yang di tanamkan di perkumpulan Pratyantara, sudah disapu bersih, dan itu termasuk Ratnatraya.

Ratnatraya bukan dari kalangan persilatan, bukan pula kerabat Jaka, tapi wanita berusia pertengahan tigapuluhan itu sangat dekat dengan Jaka, pada suatu kesempatan Jaka pernah mengatakan pada mereka, bahwa; dia bersyukur punya kakak perempuan yang memperhatikan segala sesuatu urusannya. Cambuk tahu, yang di maksud kakak perempuan adalah Ratnatraya. Seorang wanita yang diselamatkan Jaka dari sekapan pejabat gila. Ratnatraya ditahan dengan belasan orang wanita lain, mereka dijadikan budak nafsu seorang pejabat yang memiliki hubungan dengan kalangan tokoh hitam. Ratnatraya sekalian dijadikan alat untuk mengorek informasi dari tokoh-tokoh pesilat. Setiap hari mereka harus mengkonsumsi obat perangsang. Pendek kata, Ratnatraya sudah mati sebelum kematian itu sendiri datang.

Bahkan setelah diselamatkan Jaka Bayu, wanita itu lebih memilih mati. Tapi atas ketelatenan Jaka dalam mengentaskan kecanduan atas obat perangsang yang mematikan syaraf-syarafnya, membuat Ratnatraya memilih mengikuti Jaka.

Ki Alih masih teringat dialog yang membuat dadanya sesak.

“Kau sudah menyelamatkanku, membuatku kembali menjadi wanita normal, memberikanku sebuah pengormatan pula… jika tidak kau izinkan aku mengikutimu, lebah baik aku mati.” Ucap Ratnatraya tegas.

Waktu itu Jaka tidak punya pilihan lagi. “Mengikutiku akan sangat menyulitkan kehidupanmu.” Katanya saat itu

Ratnatraya tertawa getir. “Bagiku, saat ini tidak ada kehidupan sulit yang melebih kesulitanku sebelumnya…” Ya, Ki Alih dapat membenarkan alasan itu, bagi seorang wanita, dipaksa melacur—membuatnya harus terkena beragam penyakit kelamin, kecanduan perangsang, dan tak lagi punya pengharapan hidup, jelas merupkan puncak siksaan hidup. Memangnya apa lagi yang lebih sulit dari pada itu? Jaka menerimanya, perhatian pemuda itu pada Ratnatraya memang dilakukan semata-mata supaya wanita itu memiliki semangat hidup lagi. Hubungan keduanya sangat dekat, bukan sebagai kekasih tentunya, tapi seperti kakak beradik. Ratnatraya membalas penghormatan Jaka dengan mencurahkan segenap perhatiannya untuk kebaikan Jaka Bayu. Mulai dari pakaian, makanan, hingga memaksa pemuda itu beristirahat jika sudah masanya. Dan pada suatu ketika, Ratnatraya meminta pada Jaka untuk diberikan tugas tertentu. Dia merasa malu hanya menjadi beban Jaka.

Jaka tahu, penolakannya akan membuat Ratnatraya mengancam untuk bunuh diri lagi. Maka dia berdiskusi dengan Penikam, tempat manakah yang paling baik dan aman untuk wanita seperti Ratnatraya. Dan jawaban waktu itu adalah Perkumpulan Pratyantara. Ratnatraya sudah empat bulan berada disana, dia berprofesi sebagai mata-mata yang merangkap menjadi juru masak. Dan hingga kini…

Ki Alih menghirup udara dalam-dalam. Dia memperhatikan rumah itu terus, menduga-duga apakah yang akan di lakukan Jaka dengan situasi saat ini? Dari dalam rumah muncul lelaki yang tadi meminta Jaka untuk masuk.

“Tu-tuan, bisakah anda berdua masuk?”

Cambuk saling pandang dengan Ki Alih, tanpa bertanya keduanya mengikut masuk. Mereka hanya melihat punggung Jaka di ruangan paling belakang, pemuda ini berdiri di pintu masuk kamar membelakangi mereka. Dia berdiri tertegun.

Cambuk mencoba mengintip dari sisi tubuh Jaka, terlihat di pembaringan sosok wanita yang sudah membujur kaku, tertutup kain menyisakan wajah cantiknya yang sudah membeku.

“Paman Alih,” Jaka memanggil dengan suara parau. “Ya?”

“Mulai saat ini, Pratyantara menjadi tanggung jawabmu.”

Ki Alih mengiyakan. “Apakah aku harus mencari pembunuhnya?” lanjutnya bertanya.

Jaka tidak menjawab. Hanya mengangguk. “Apa yang harus kulakukan padanya?”

Jaka membalikan badan, dalam sekilas mereka bisa melihat tatapan Jaka seperti mengeluarkan percikan api, begitu tajam menakutkan. Pemuda ini mengatupkan matanya sesaat. “Temukan motifnya, kenapa dia harus membunuh orang-orang kita… membunuh Ratnatraya!” desis Jaka dengan suara dalam.

“Dia terbunuh karena apa?” Cambuk bertanya dengan wajah meringis, karena pinggangnya di sikut Ki Alih secara mendadak. Kepalan Arhat Tujuh terlihat mendelik, mengingatkan Cambuk supaya tidak bertanya disaat seperti ini.

“Tidak apa paman…” gumam Jaka sembari menutup pintu kamar. Dia menoleh kepada lelaki gemuk. “Aku sendiri yang akan memakamkannya, kau dan teman-temanmu tidak perlu repot.”

Sambil mengangguk mengiyakan takzim, si gemuk undur diri. Jaka duduk dengan perasaan tegang, tangannya terkepal erat. Membuat Cambuk merasa bersalah atas pertanyaan tadi.

“A-aku sudah memeriksanya…” kata Jaka dengan parau. “Dia meninggal karena keletihan… keletihan yang luar biasa!” setelah berbicara demikian Jaka menghembuskan nafas panjang. “Aku akan memakamkannya sekarang, setelah itu aku akan kembali. Paman sekalian urus persoalan disini hingga tuntas!” katanya singkat dan berlalu dari hadapan mereka.

Ki Alih dan Cambuk hanya bisa mengiyakan saja, Cambuk terbelalak saat tanpa sengaja tangannya menyentuh kursi yang tadi diduduki Jaka. Kursi dari kayu jati yang keras itu sudah menjadi bubuk, rupanya pemuda yang sehari-hari sangat terkendali inipun, tengah bermasalah menahan marah, membuat kursi harus hancur lebur karena tak kuat menahan pancaran hawa saktinya.

Jaka masuk kekamar itu lagi. Di tepi pembaringan, Jaka menatap Ratnatraya dengan mata berkaca-kaca. “Kau hampir mengakhiri hidup karena rasa malumu… kenapa pula sekarang karena mengikutiku, kau harus meninggal dengan cara begini?” sesal Jaka menyalahkan dirinya. Pemuda ini sudah melakukan pemeriksaan, Ratnatraya tewas karena kecanduan lagi, dan keletihan. Letih karena harus bercinta terus menerus. Entah berapa lelaki yang menggilir wanita malang itu. Mengingat hal itu, membuat amarah Jaka meluap lagi. Tapi pemuda ini menahannya, dia tidak ingin karena rasa marah, membuat dirinya melakukan pembalasan. Dan bertindak semena-mena.

Dari luar, Ki Alih dan Cambuk mendengar ‘dak-duk’ didalam kamar, nampaknya Jaka berniat membuat makam di dalam kamar. Mereka berdua tidak berani masuk membantu. Keduanya membiarkan Jaka memberikan penghormatan terakhir pada Ratnatraya

===o0o===

Tamatser
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar