Seruling Sakti Jilid 22

Jilid 22

Jaka tidak sadar, perjumpaannya dengan lelaki itu membuat beberapa pergerakan yang sudah disiapkan orang itu harus tertunda lebih lama, karena luka yang di timbulkan akibat getaran serangan Jaka telah melibat himpunan tenaga sakti Pukulan Pratisamanta Nilakara, mandeg. Pertalian hawa pukulan yang sempat dilepaskan untuk menyerang Jaka, seharusnya tidak membebani tubuhnya lagi. Tapi siapa sangka, serangan Jaka yang dimaksudkan untuk membendung Pukulan Pratisamanta Nilakara, malah merambat secara cepat mencengkeram jalur himpunan hawa saktinya. Ini benar-benar tidak pernah di sangka. Perjumpaan yang hanya sekilas itu sangat merugikan orang itu.

Jaka tidak perduli betapa rasa dendam telah terpercik di hati orang itu, pemuda ini sekarang menuju pusat kerajaan, dia berpacu dengan waktu, untuk menghalangi kemungkinan Sandigdha bertindak bodoh—membunuh orang yang sempat terlibat dengan usaha pemindahan harta kekayaannya.

Ternyata Jaka masih sempat memergoki pergerakan Sandigdha, sepasang golok di pinggang kanan kirinya sudah cukup membuat Jaka mempersiapkan seruling bambu lenturnya untuk berjaga-jaga. Jaka meniup serulingnya, di malam hari yang dingin, situasi yang begitu hening mencekam, tiba-tiba terdengar suara seruling, cukup membuat Sandigdha terkesima, dengan hati-hati, lelaki itu menghentikan langkahnya, menyimak lantunan lagu. Hanya beberapa saat saja lantunan suara seruling menembus keheningan, berikutnya kegelapan mencekam kembali menyelimuti seputar tempat itu. “Sandigdha…” Jaka memanggil orang itu secara langsung. “Kau hendak pergi kemana?” sapaan yang terdengar akrab dan familier itu membuat Sandigdha yang membungkus kepala dengan kain hitam, tercekam.

Jaka sudah muncul di depan Sandigdha, diapun berdandan serupa dengan Sandigdha. “Apa kau mau menyambangi penjara? Membunuh orang untuk menutup mulut itu tidak baik…” kata pemuda ini memulai perang psikologis.

“Siapa kau?” suara Sandigdha terdengar lebih kering, tapi Jaka masih mengenalinya.

“Yang jelas, aku bukan sejenis pembunuh gratisan yang mati di tanganmu.” Sahut Jaka dengan tertawa pendek, pemuda ini merasakan sebuah kesenangan yang luar biasa. Menjadi orang yang mengetahui sekelumit rahasia orang lain memang menyenangkan, apalagi jika orang itu tergolong manusia busuk. Di lain sisi, Jaka memang ingin sekali merasakan serangan Sandigdha secara langsung, tapi untuk meminimalisir resiko, secara kejiwaanpun Sandigdha juga harus ditekan.

Sandigdha tersurut satu langkah, bahwa ada orang yang mengetahui jelas perbuatannya satu hari terakhir ini, tentu saja dia menduga orang ini adalah golongan Kwancasakya.

“Apa maumu?” tanyanya lagi.

Jaka sudah pernah melihat serangan Sandigdha, pertanyaan tadipun hanya untuk mengulur waktu saja, sebab bersamaan dengan pertanyaan yang terlontar, tangan Sandigdha secara menyilang mencabut golok dan melontarkannya begitu pesat, bermaksud menebas leher dan pinggang Jaka.

Pemuda ini sudah waspada sejak tadi, gerakannya seolah dipercepat ratusan kali, sebab sebelum lontaran golok itu sempurna terkembang, tubuh Jaka sudah berada tiga langkah di depan Sandigdha, langkah yang sangat mudah dijangkau golok, tapi karena kedua golok itu sudah kadung dilontarkankan, otomastis Sandigdha harus menyendalnya kembali tali baja dalam gengaman—bermaksud menjirat lawannya untuk di potong tali baja yang mengikat antara pinggang dan gagang golok Sandigdha.

Jaka mengangkat serulingnya, jempol dan kelingkingnya masuk di ujung-ujung seruling, menekannya secara paksa membuatnya menjadi berbentuk busur, lalu.. twang! Jaka melepaskannya begitu saja, seruling itu melesat menghantam lengan kiri Sandigdha yang tengah menyendal tali goloknya. Secara aneh, seruling yang terbuat dari bambu lentur itu kembali ke tangan Jaka, lalu di pentalkannya lagi secara cepat mengarah pergelangan tangan kanan. Gerakan dua kali mementalkan seruling itu kurang dari satu kedipan mata, Sandigdha hanya merasakan tangannya mati rasa, dan sesaat kemudian Golok Kembarnya sudah berpindah ketangan Jaka.

Jaka memasukkan seruling bambunya kebalik pakaian, dengan cekatan, Jaka melepaskan tali baja yang mengikat pada gagang golok. “Ini Golok bagus…” puji pemuda itu tidak memperdulikan gerak-gerik Sandigdha yang nampak gelisah.

Sambil membolang balingkan goloknya, Jaka hanya memegang dengan cara menjumput kedua golok itu dengan masing-masing dua ujung jarinya. “Kau pasti mengharapkan aku menggengam erat golok ini…” kata Jaka dengan tertawa. “Aku cukup cerdas untuk mengetahui bahwa gagang golok ini tersembunyi jarum lembut yang akan keluar begitu mendapat tekanan tenaga.”

Lalu Jaka melontarkan salah satu golok itu kedepan, lontarannya biasa saja, tapi Sandigdha tak berani menerimanya, orang itu bahkan menghindar dengan terburu- buru. Jaka menyusuli lontaran goloknya dengan golok kedua, gerakannya puluhan kali lebih cepat dari lontaran pertama.

Trang! Kedua golok itu bertumbukan dan mengelarkan suara bergemerentang. Kejadian itupun hanya sesaat saja. Tapi Sandigdha bisa melihat dalam badan goloknya muncul lubang. Pada dasarnya sepasang golok itu memang memiliki rongga, Jaka sengaja menghancurkan pelapis rongga, untuk mengeluarkan racun yang bisa membahayakan orang.

“Aku yakin, dirumahmu masih ada beberapa pasang golok serupa… tapi kusarankan beberapa hari kedepan, kau jangan memegangnya.”

“Kenapa?” mau tak mau Sandigdha harus bertanya, sebab dia merasa jika orang itu dibiarkan bicara sendiri, makin banyak rahasianya terungkap dalam sindiran orang itu.

“Apa gengaman tanganmu masih bisa sekencang sebelumnya?” Tanya Jaka membuat Sandigdha teringat, bahwa tadi Jaka sempat memukul pergelangan tangannya, pukulan itu hanya membuat lemas sebentar, tidak menyakitkan. Tapi begitu Jaka menyatakan dirinya tak boleh menggengam senjata, sekonyong-konyong rasa ngilu menggigit pergelangan tangan membuat gengamannya jadi tak bertenaga. “Kau dari Kwancasakya?”

Jaka tertawa tidak menjawab sesaat, lalu berkata. “Menurutmu bagaimana?”

“Kukira, kau.. kau memang dari sana.” Sandigdha menjawab sendiri. “Kau ingin aku melakukan apa?”

“Menurutmu bagaimana?” Tanya Jaka kembali.

“Aku… aku harus membayar denda atas terbunuhnya anak buahmu?” lagi-lagi Sandigdha mengusulkan sendiri.

Jaka kembali tertawa. “Menurutmu bagaimana?” katanya lagi.

“Aku… aku, akan membayarmu, dengan imbalan yang pantas.” Kata Sandigdha member keputusan, meski sangat terpaksa, meski orang itu menyerahkan semuanya pada pendapatnya, diapun harus menawarkan jawaban yang berbobot.

“Begitu? Berapa nilai pantas yang akan kau berikan untuk keselamatan nyawamu sendiri?”

Pertanyaan Jaka itu membuat Sandigdha terdiam. Jika dia menawarkan harga yang redah, berarti diapun menghargai nyawanya sendiri terlampau rendah. Tapi jika terlalu tinggi, dia kawatir harta yang susah payah dikumpulkan belasan tahun, harus berpindah tangan! Ini tidak adil. Untuk beberapa saat Sandigdha tak bisa menjawab.

Gengaman tangannya nampak di pererat, tapi tangannya tak bisa menggengam secara sempurna, rasa lemas menjalar sampai kelengan. “Kau tak perlu repot-repot mengalirkan tenaga untuk menyalurkan hawa sakti kedalam lenganmu. Sementara ini Julukan Tangan Bayangan dikubur dulu ya…” kata Jaka dengan nada ramah, tapi mendatangkan ketakutan dalam hati Sandigdha.

“Kau ingin melakukan pergerakan yang kami dukung?” tiba- tiba Jaka menanyakan hal yang membuat Sandigdha bingung.

“Tahu apa, kau?!” bentak Sandigdha hampir lepas kendali. Dan mendadak, tubuh Sandigdha melejit kebelakang, dari tadi rupanya Sandigdha mengecoh Jaka dengan berpura-pura mengalirkan tenaga ke lengannya, sementara sebagian tenaga yang lain mempersiapkan tenaga pada tumitnya.

Jaka tertawa, dia membiarkan Sandigdha tak terlihat, kemudian tubuh pemuda ini melesat begitu cepat bagai menghilang. Jaka memotong jalur melarikan diri Sandigdha, harus diakui hawa sakti Sandigdha memang sangat kuat, lejitan kaburnya juga luar biasa cepat, tapi Sandigdha lupa, tangan merupakan penyeimbang. Secepat apapun dia berlari dengan tangan yang menggelantung tak bertenaga seperti itu, sama artinya dia kehilangan hampir setengah kemahiran peringan tubuhnya.

“Cukuplah, tak perlu lari lagi.. kau harus hemat tenagamu, aku kuatir racun tujuh langkah yang kutebar tadi makin merasuk kedalam jantungmu lebih cepat.”

Sandigdha menatap musuhnya dengan mata berkilau, belum pernah rasanya dia mendapatkan penghinaan seperti saat ini. “Kau merasa dendam padaku?” Tanya Jaka mendekati Sandigdha, jarak mereka hanya tinggal satu jangkauan saja. Jaka bisa mendengar derit gigi Sandigdha yang saling beradu, nampaknya rasa takut dan marah begitu kental

“Kau ingin membunuhku?” Tanya pemuda ini bertubi. “Kau ingin melihatku mengelepar meregang nyawa?”

Sandigdha menggertak giginya. “Ya, aku ingin sekali! Aku ingin memakan dagingmu!” katanya dengan kegeraman memuncak.

Jaka tertawa. “Jangan begitu, sebagai bendaharawan kerajaan, jika kau ketahuan doyan daging manusia, kau akan dipecat.”

“Apa maumu sebenarnya?” teriak Sandigdha putus asa. “Kau toh sudah menawarkan sejumlah dana padaku,

seharusnya kau memberikan kepastian angka padaku…”

“Jadi, ini hanya masalah uang?!” Tanya Sandigdha tak percaya.

Jaka tertawa. “Apa yang kau lakukan di Kerajaan Kadungga juga karena masalah uang. Berikan penawaranmu!”

Sandigdha mendesah. “Hartaku, ada enam belas kereta, kau boleh mengambil separuhnya.”

“Itu untuk membayar ganti rugi dua nyawa saja, apa nyawamu sendiri belum kau hitung?” Tanya Jaka membuat Sandigdha merasa pusing. “Baiklah-baiklah!” teriaknya. “Sisakan dua kereta untukku!

Empat belas kereta bisa kau dapatkan!”

“Tidak! Jika kau masih menyisakan harta, tua bangka itu akan tetap memburumu, kau tidak punya alasan untuk membela diri!” tegas Jaka.

Sandigdha memegang kepalanya, hatinya mangkel betul. Orang didepannya itu bicara seolah-oleh hendak menolong dirinya. “Sialan! Sialan! Sialan! Baiklah….” Akhirnya dengan hati berat dia memberikan janjinya.

“Baiklah apa?” Tanya Jaka makin membuat Sandigdha tidak mengerti.

“Aku toh sudah berjanji, memangnya apa lagi yang kau perlukan?” Tanya Sandigdha dengan suara memelas.

“Kau belum memohon padaku untuk menerima uangmu, bagaimana mungkin aku membiarkanmu dalam ancaman bahaya, Si Tua Bangka yang kau maksud itu?” ujar Jaka membuat mata Sandigdha terbelalak, sungguh dunia ini sudah terlalu gila! Ada juga orang yang datang memaksa, tapi belum pernah ada orang yang dipaksa menyerahkan harta, harus memohon untuk diambil hartanya? Tapi kejadian ini sekarang menimpanya, ini benar-benar gila!

Sandigdha melihat tak ada jalan lain, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya diapun memohon. “Tolong… ambillah hartaku…”

“Untuk apa?!” Tanya Jaka membuat perut Sandigdha merasa mulas saking marahanya. “Dari… dari ancaman tua Bangka itu…!” katanya dengan gigi terkatup.

Jaka tertawa senang. “Bagus, karena kau memohon seperti itu, aku jadi tidak enak kalau menerimanya… Baik! Permohonanmu itu, aku akan menantikannya besok!” Dari dalam sakunya, Jaka menyerahkan peta. “Kau bawa barang yang kau janjikan ketempat ini.” Lalu Jaka menyerahkan selembar lagi surat yang menerangkan perjanjian penyerahan harta Bendaharwan sejumlah sekian-sekian—nyatanya Jaka memang sudah berniat dari awal untuk melakukan pekerjaan ini, sebab dia sudah menyiapkan dengan rapi.

”Bubuhkan tandatangan selaku bendahara kerajaan disini…” kata pemuda itu membuat Sandigdha meringis. “Aku tahu kau selalu membawa stempel bendahara, jangan paksa aku untuk mengajari tugas yang biasa kau kerjakan!” pemaksaan itu membuat Sandigdha makin tak bisa berkutik, jika dia ikar janji, bila selembar surat itu datang ke Kerajaan, habislah riwayatnya. Sebab surat itu bisa digunakan sebagai barang bukti persekongkolan atau penghianatan.

Sebelum Jaka pergi, pemuda ini menohok ulu hati Sandigdha dengan ujung sulingnya, membuat Sandigdha terbatuk-batuk hingga keluar cairan kecut dari mulutnya. “Pukulan tadi akan melindungimu dari racunku untuk satu hari kedepan. Saat permohonanmu sudah kudapatkan, kau bisa mendapatkan kebebasan. Dan kita bisa bicara urusan kerja sama!” kata Jaka lagi. “Tapi satu hal lagi…”

“Apa itu?” taya Sandigdha dengan lesu. “Setelah kutolong membersihkan hartamu dari ancaman si tua bangka, kau ucapkan apa?” tandas Jaka membuat Sandigdha makin geregetan ingin memakan lawannya.

“Te-terima kasih…” katanya dengan tersendat saking marah dan dongkolnya, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.

Jaka tertawa panjang. “Bagus, anak baik!” lalu pemuda ini sengaja menampilkan peringan tubuhnya pada puncaknya, Sandigdha hanya bisa melihat bayangan mengabur bagai fatamorgana berlalu begitu saja. Hari ini seperti mimpi buruk, kemasyuran, kelihayan dan kelicikannya tidak bisa melawan sosok aneh itu. Tersaruk-saruk Sandigdha pulang ke rumahnya dengan perasaan lelah.

Pengawal yang menjaga rumahnya menyapa dengan ramah, kemudian dia menyampaikan. “Tuan, tadi ada kawan tuan menitip pesan supaya jangan lupa tengah hari harus sudah selesai.”

“Ya, aku tahu…” kata Sandigdha dengan senyum kecut. Ternyata musuhnya sudah lebih dulu datang kerumahnya, saat ini dia tak bisa banyak berkutik. Ingin meminta pertolongan, jelas tidak mungkin. Lawan tadi terlalu menakutkan, sempat juga terbersit dipikirannya untuk meminta tolong pada sang kawan yang baru saja meninggalkan rumahnya, tapi; sesaat kemudian dia menolak ide itu. Meminta pertolongan pada orang itu, sama seperti keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Didunia ini tidak ada pertolongan yang gratis.

--0o~Didit-dw*kz~o0- Jaka sudah kembali kerumah batu, meski badannya terasa penat, dia cukup senang bisa menyelesaikan beberapa masalah.

“Paman, besok selesaikan saja urusan kesaksian di kerajaan. Masalah harta Sandigdha, kita tak perlu repot mencurinya. Dia akan datang mengantar sendiri…”

“Kau baru menemuinya?” Tanya Ekabaksha dengan mata terbelalak.

“Aku hanya baru bicara dari hati ke hati… dia bisa mengerti maksudku, bahkan mengucapkan terima kasih pula, mana mungkin aku menolak permintaannya?” ujar Jaka dengan wajah tanpa dosa.

Ekabaksha dan Ki Alih hanya menggeleng-geleng. “Ai… kau ini.”

Jaka tersenyum. “Tadi, aku berjumpa dengan orang yang aneh…” lalu dia menceritakan pertemuannya dengan orang yang bertamu di rumah Sandigdha. “…dia mempunyai ilmu pukulan yang aneh.” Jaka menceritakan ciri-ciri pukulannya.

Baik Ki Alih maupun Ekabaksha mengerutkan kening, berupaya mengingat-ingat adakah satu tokoh yang memiliki pukulan seperti itu.

“Aku tidak tahu…” akhirnya Ki Alih menyerah, demikian juga Ekabaksha.

“Tapi kenapa kau tidak menanyakan itu pada Sandigdha? Bukankah mereka adalah kawan?” Tanya Cambuk merasa heran kenapa Jaka tidak melakukan perkara semudah itu. “Aih paman, jika kau memiliki mainan berharga dan sangat misterius, apakah kau akan terburu-buru memecahkan misterinya? Atau akan menyimpan mainan berharga itu?” Jaka menatap Cambuk sejenak, lalu menjawabnya sendiri. “Aku lebih suka membiarkan itu semua terbuka sendiri, membiarkan misteri itu terkuak pada saatnya. Aku merasa orang itu memiliki latar belakang sangat baik, meskipun Sandigdha tahu sekelumit informasi, belum tentu juga itu adalah informasi yang sebenarnya.”

Cambuk mau tak mau setuju dengan analisa Jaka. “Lalu, setelah urusan di kerajaan selesai, kita akan fokus dimana?”

Jaka menghela nafas. “Mencari obat bagi tetua dari Perguruan Enam Pedang adalah focus utamaku..”

“Bagaimana dengan harta yang akan kita dapatkan dari Sandigdha?” Tanya Ekabaksha.

“Itu, kan urusan paman… kenapa aku harus memusingkannya?” tukas Jaka membuat Ekabaksha menepuk keningnya.

“Memangnya, berapa banyak harta yang akan dia serahkan?” Tanya Ekabaksha sudah mulai memutar otak dimana uang-uang itu akan diputar.

“Semua…”

“Maksudnya?” Tanya Ekabaksha dengan mencondongkan badannya kearah Jaka.

“Enam belas kereta.” Kata dengan santai. “Gila!” seru ketiga orang itu saling pandang. Pikiran mereka sudah mengembara bagaimana cara mutar uang sebanyak itu. Tidak punya uang juga pusing, tapi teralu banyak uang ‘panas’ pun lebih pusing lagi!

“Bantu kami berpikir bagaimana cara menggunakan uang itu…” pinta Cambuk memohon.

Jaka tertawa, “Kasihkan saja ke korban bencana, kan beres!”

“Tidak semudah itu, Jakaaa…” seru Cambuk geregetan. “Kau pikir serah terima uang sebanyak itu tidak akan menghebohkan pemerintah kerajaan?”

“Ya… disitulah tugas paman, bukan bagianku.” Kata Jaka sambil berdiri. “aku mengantuk, tidur dulu ya..”

“Sialan….” Seru Cambuk saling pandang dengan Ki Alih dan Ekabaksha, ketiganya tertawa getir. Bergaul dengan Jaka Bayu, serupa menaiki perahu di tengah damparan ombak laut. Tak terbaca, tak terduga, dan sudah pasti bikin pusing.

--0o~Didit-dw*kz~o0-

112 – Domino Effect : Domba dan Kambing Hitam

Sembilan Belantara sanggup fokus mencari jejak selama berhari-hari tanpa makan, tanpa tidur. Demikian pula saat keselamatan mereha harus menjadi taruhan akibat totokan istimewa murid sang junjungan. Lebih baik mati dari pada tidak menemukan jejaknya, begitu dia berpikir. Bukan tanpa alasan, nama-nama mereka pernah disejajarkan dengan banyak pendekar hebat pada masanya. Tiap jengkal penelitian, membawa langkah kakinya memasuki Kota Skandhawara, pusat pemerintahan Kerajaan Kadungga. Setiap Sembilan Belantara menemukan kejelasan jejak, dia akan memberi tanda, dan semua rekan-rekannya selalu mengikuti, mereka hanya berjarak setengah hari di belakang Sembilan Belantara. Demikian pula dengan Dua Bakat yang harus putar balik ke Kota Skandhawara, saat melihat jejak Sembilan Belantara mengarah ke sana.

Pagi itu, Sembilan Belantara sampai di sebuah hutan, di perbatasan pemerintahan kota Skandhawara. Sebuah gemertak suara kereta mengejutkan Sembilan Belantara, dengan sangat hati-hati, orang ini bersembunyi mengintai situasi.

Berturut-turut, enam belas kereta datang melewati jalan yang diambil Sembilan Belantara. Lelaki ini termenung, antara tergelitik rasa ingin tahu atau meneruskan pencarian. Dan ternyata, rasa ingin tahu lebih kuat mencengkeram benaknya. Dengan berindap-indap, Sembilan Belantara mengikuti kereta yang melaju kencang, peringan tubuhnya sangat cukup untuk membayangi kecepatan kereta yang berjalan tergesa-gesa. Tapi rasa penat akibat perjalanannya membuat Sembilan Belantara memutuskan untuk membonceng di kereta terakhir, tentu saja tanpa sepengetahuan kusir.

Enam belas kereta berhenti di tengah hutan yang cukup lebat, Sembilan Belantara bisa melihat ada kandang sapi di depan sana. Keheranan merayapi pikirannya. Kereta tertutup dengan ukuran menengah, jelas tidak cocok untuk angkutan sapi, lalu untuk apa? Tak menunggu lama, dia segera melompat menjauhi kereta tumpangannya, bersembunyi di balik semak.

Dari kereta urutan pertama, keluar orang yang wajahnya nampak pucat. “Selesaikan tugas kalian!” katanya dengan suara enggan.

Dari balik rimbunan pohon, muncul dua orang berpakaian hijau menjumpai lelaki berwajah pucat itu. “Apa yang kau lakukan?” Tanya orang paling tua di antara mereka dengan kening berkerut dalam.

“Mengambil kembali milikku.” Katanya dengan tak acuh. “Tidak bisa! Jika masih di perkampungan, aku tidak akan

mencampuri keputusanmu. Tapi kau sudah meletakannya kesini, artinya; ini sudah menjadi milik keluarga.” Tegas orang itu dengan suara ketus.

“Kau lupa, berapa bayak sumbanganku selama ini?” Tanya lelaki wajah pucat itu tak kalah ketus.

“Aku tidak menutup mata dengan kontribusimu yang besar, tapi kaupun sudah mengerti peraturan dalam keluarga.”

“Ya, aku sangat paham, maafkan kekhilafanku!” gumam lelaki itu mengangguk, dan jemarinya menepuk pundak orang tua itu. Gerakannya sangat wajar, seolah dia hendak menyatakan penyesalan hatinya.

Tapi seringai kesakitan nampak tergores di bibir lelaki tua itu, “Apa yang kau lakukan…” desisnya dengan suara kering. Belum lagi habis suaranya, tubuh lelaki itu jatuh. Dan di saat bersamaan lelaki berwajah pucat itu sudah menepuk orang kedua yang masih terkejut dengan kejadian tadi. Tubuhnyapun turut jatuh menggelimpang, menimpa orang yang lebih tua.

“Kalian bersiap saja, aku akan memuluskan jalan.” Kata si wajah pucat melangkah memasuki rimbunan pohon.

Sembilan Belantara mengikuti tiap kejadian dengan jantung berdetak kencang, rasa kawatir menyergap hatinya. Diam- diam dia memaki ketololannya ikut campur urusan orang lain. Kalau sampai ketahuan, dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Kalau saja saat ini kondisinya sedang sehat betul, dia tidak akan kawatir kecepatan larinya bakal disusul orang. Tapi karena otot jantungnya—beserta tiga rekan yang lain, diikat dengan cara khusus secara aneh oleh murid sang junjungan, membuat tiap gerak-gerik tak leluasa, sebab manakala terlalu banyak udara yang harus dia hirup—dengan terengah-engah, dengan sendirinya ikatan totokan pada otot jatung makin mengencang, dan membuat dia kesulitan bernafas, mati adalah kejadian berikutnya.

Tak berapa lama kemudian, si wajah pucat telah kembali, tidak tersirat perasaan apapun di wajahnya, kecuali senyum tipis. Bulu kuduk Sembilan Belantara berdiri perlahan, dia bukan orang yang asing dengan ‘warna’ wajah seperti si pucat itu. Manakala kau baru menghabisi korban sebagai obat pelampiasan rasa kesalmu, raut seperti yang ditampilkan si wajah pucat inilah, yang sering kali di lihat Sembilan Belantara pada masa lalu. Dalam hatinya, Sembilan Belantara seperti pernah mengenal orang itu.

“Kapan kita masuk?” Tanya salah seorang kusir pada si pucat.

“Setengah kentungan lagi.“ jawab si pucat singkat. Dengan hati berdebar, Sembilan Belantara pun terpaksa ikut menunggu. Kelengangan situasi hutan itu, membuat suasana di pagi hari terasa kian mencekam. Hawa membunuh yang di timbulkan si pucat turut mempengaruhi kicau burung yang sebelumnya sempat bersenandung.

“Kalian boleh masuk sekarang…” kata si pucat sambil mengambil tempat duduk tak jauh dari kandang sapi.

Dari dalam, kereta keluar dua orang, bersama masing- masing kusir, mereka berdiri di belakang kandang sapi yang tiba-tiba saja menguakkan satu lubang. Sembilan Belantara terkesip, dia baru saja melihat satu persembunyian orang lain, jika saat ini jejaknya diketahui orang itu… “Ih!” Sembilan Belantara bergidik, tak berani lagi dia berpikir lebih jauh. Kecuali menahan nafas makin ketat—takut persembunyiannya diketahui orang itu.

Dalam waktu singkat berturut-turut, semua orang yang masuk kedalam lubang terlihat menggotong peti dalam ukuran cukup besar. Sembilan Belantara bukan orang bodoh, dia tahu yang ada didalam peti itu tentunya uang emas. Hatinya cukup tergiur saat menyaksikan enam belas kereta dipenuhi berpeti- peti uang emas. Tapi akal sehatnya cukup cerdas untuk mencegah, nafsunya menguasai hati. Keinginan untuk merebut uang itu, akan membawa dirinya pada posisi berbahaya.

Sebenarnya Sembilan Belantara ingin segera meninggalkan tempat itu, tapi antara rasa kawatir dan ingin tahu, lagi-lagi dikalahkan rasa ingin tahu.

“Tuan tidak mengurus yang lain?” Tanya salah seorang kusir padanya. “Tidak.” Jawabnya singkat, sambil memberi isyarat untuk membereskan semua peti harta itu. Dari dalam bajunya dia mengeluarkan satu bungkusan, dan sarung tangan. Dengan sangat hati-hati bungkusan itu dibuka, sebelumnya dia sudah mengenakan sarung tangan kulit. Semblan Belantara bisa melihat sebuah benda serupa hati ayam berwarna hitam berada di genggaman tangan lelaki itu. Senyuman dingin yang membikin bulu kuduk meremang, membuat Sembilan Belantara yakin, benda itu bukan barang baik. Pasti biang racun, pikirnya menduga.

Ya, tidak salah dugaan Sembilan Belantara. Sandigdha mengoleskan benda itu pada setiap peti harta, pada tiap tuas kereta dioleskan dengan sangat sabar.

“Jangan ada yang menyentuh isi dan tuas pintu.” Demikian Sandigdha memberi peringatan. “Berangkat!” perintahnya.

Kali ini Sembilan Belantara tidak berani lagi nebeng kereta, dia yakin benar, sesuatu yang dioleskan si wajah pucat pasti berdampak besar! Lebih baik sedikit capai dari pada harus mati konyol.

Tak berapa lama kemudian, derap kereta itu sudah menembus jalan pintas dalam hutan, rombongan kereta itu makin jauh masuk ke dalam hutan. Hingga akhirnya, sampai pada sebuah tanah terbuka, disana tertancap sebuah ranting yang diujungnya terikat bendera merah. Hembusan angin yang mempermainkan angin, tidak membuat Sandigdha kesulitan membaca tulisan dalam bendera itu. “Letakkan di sini.”

Dengan sangat segan, Sandigdha mengatur keenam belas kereta berkumpul rapi mengitari bendera merah itu—sesuai instruksi. Situasi lengang sekali, Sandigdha mulai terbatuk- batuk, saat itu mentari sudah mulai tinggi.

“Hei! Keluar, aku sudah membawanya!” teriak Sandigdha di sela-sela batuk yang kian menghebat, kecemasan nampak di wajahnya. Ancaman sang lawan dini hari tadi, sejak tadi sudah menari-nari di benaknya. Rasa sakit akibat ‘racun tujuh langkah’ yang disebar lawannya sudah mencengkeram ulu hati, saat batuk pun, rasa mual dan pusing mendera kian hebat.

“Tuan, sepertinya pada bendera itu ada sesuatu.” Kata seorang kusir—yang sebenarnya adalah para anak buah berkemampuan tinggi yang dipelihara Sandigdha.

Dengan tindakan hati-hati, Sandigdha mendekat, setelah merasa tidak ada jebakan disekitar bendera itu, Sandigdha mendekat. Pada bendera merah itu tersulam secara kasar kain yang lain. Dengan cekatan Sandigdha menyentak kain itu hingga sobek, sulaman yag terdapat disana dibuka dengan hati-hati. Ternyata sebuah surat.

“Terima kasih atas kirimanmu, atur kereta lebih teratur lagi Masukkan semua kereta ke dalam lingkaran yang ada.

Kita akan berjumpa sembilan ratus langkah dari sekarang Berjalanlah ke arah timur.”

Singkat dan padat surat itu, tapi sudah cukup memberi peringatan pada Sandigdha, betapa lawan yang mempermainkan dirinya ternyata orang yang sangat licin pula. Sandigdha memperhatikan tanah sekitar tempat itu, ternyata lingkaran yang dimaksud lawannya secara tipis menggores tanah dan rerumputan. Garis lingkaran itu berwarna putih, dengan berhati-hati Sandigdha memeriksa warna putih itu. Hanya kapur bisa.

“Kumpulkan, semua kereta lebih dekat lagi! Berada dalam lingkaran ini!” Perintah Sandigdha pada anak buahnya. Suasanapun menjadi riuh sesaat, kereta kembali diatur. Seluruh orang masuk ke dalam lingkaran dengan menginjak garis putih itu tanpa sadar.

Setelah semua beres, Sandigdha terbatuk-batuk dengan hebat.

“Kau tak apa-apa?” Tanya anak buahnya perihatin.

Sambil menggertak gigi, Sandigdha menggelang. “Ikuti aku!” katanya. Seluruh rombongan berjalan sangat perlahan di belakang pimpinan mereka. Mulut Sandigdha berkomat-kamit menghitung sampai sembilan ratus langkah.

Sembilan Belantara mengikuti langkah lambat mereka dengan pandangan heran, karena punggung terakhir rombongan itu sudah ditelan kerimbunan hutan, diapun keluar dari persembunyiannya. Dengan hati-hati Sembilan Belantara mendekati tempat parkir enam belas kereta itu. Meski dia menduga, kereta itu diolesi dengan racun, tapi rasa penasaran di benaknya harus dituntaskan. Tak disadari pula Sembilan Belantara menginjak kapur yang mengepung kereta. Sembilan Belantara, melemparkan sejumput bubuk pada kuda-kuda penarik kereta, membuat mereka tenang akhirnya, melipat lutut—tertidur.

Dengan kayu yang ada ditangannya, Sembilan Belantara mendongkel pintu kereta secara hati-hati, setelah berupaya beberapa saat, akhirnya salah satu pintu kereta terbuka. Penuhnya peti-peti yang mengisi ruangan kereta membuat Sembila Belantara makin tergoda untuk membuka salah satunya.

Kayu yang ada ditangannya tidak sanggup untuk mendongkel, terpaksa pedang yang menjadi kebanggaannya dipakai untuk mendongkel salah satu peti. Krak! Akhirnya penutup peti terbuka, pasak yang menutupnya tidak sanggup menahan kekuatan Sembilan Belantara.

Warna kuning yang menyilaukan membuat Sembilan Belantara terbelalak, dia ingin sekali mengambil beberapa, tapi ingatannya mencegah dia untuk berbuat bodoh. Sebab si wajah pucat telah mengoleskan benda aneh pada tiap peti. Sembilan Belantara menutup peti itu dengan hati tak rela. Dengan hati-hati pula, dia menutup pintu kereta. Meski dalam hatinya timbul ingatan untuk membawa seluruh kereta itu, tapi diapun menyadari keterbatasan tenaganya. “Paling tidak satu kereta…” ujarnya berniat teguh.

Sudah kepalang basah mengikuti rombongan aneh itu sampai disini, Sembilan Belantara memutuskan menyusul mereka. Terlihat olehnya si wajah pucat sedang mengumpat panjang pendek.

“Kurang ajar! Dia mempermainkan kita!” dengus Sandigdha dengan rasa marah, mencengkeram hatinya.

Rupanya tempat yang di maksud sang lawan, tak berbeda dengan tiang bendera pertama. Setelah sembilan ratus langkah, Sandigdha menemukan bendera serupa, dan menyatakan harus melangkah sebanyak sembilan ratus langkah lagi kearah utara! Mau tidak mau mereka kembali melakukan instruksi itu, sebenarnya Sandigdha sudah sangat curiga dengan permainan busuk ini, tapi mengingat ancaman sang lawan, membuat dia mau tak mau menurut.

Begitu sampai pada tempat yang dituju, Sandigdha menemukan bendera serupa lagi. Kali ini, semua orang berpikir sama. “Apakah Sembilan ratus langkah lagi?” dugaan itu muncul dibenak mereka.

Dan benar, Sembilan ratus langkah lagi menuju barat! “Tuan, apakah kita akan mengikuti permainan gila ini?”

Tanya salah seorang.

Sandigdha menoleh dengan tatapan tajam. “Jika kau tidak mau mengikuti tiap langkahku, aku tidak memberatkanmu untuk mengikutiku.”

Beberapa orang tampak saling pandang, “Benarkah?” Tanya mereka ragu.

“Ya!” jawab Sandigdha singkat, tak lagi mengacuhkan mereka. Mulutnya berkomat-kamit menghitung lagi. Sementara beberapa anak buahnya tidak mengikuti langkah Sandigdha, tapi setelah bayangan Sandigdha lenyap, mereka jadi makin ragu meninggalkan tuannya.

“Kau pikir, dia bisa semurah ini?” ujar salah seorang dari mereka ragu.

“Entahlah, tapi… tak ada salahnya kita mengingat beberapa orang yang bermaksud mengundurkan diri, beberapa bulan lalu. Tuan memang mengizinkan mereka, bahkan memberi pesangon banyak. Tapi beberapa hari kemudian, ada diantara kita yang diperintah untuk mengambil ceceran uang di sebuah tempat. Apa kalian pikir, dia begitu baik hati?” ulasan salah satu dari mereka membuat rasa ragu mengguncang hati mereka lebih dalam pula.

“Aku tak mau ambil resiko, aku akan mengikuti tuan lagi.” Kata salah seorang segera bergegas mengikuti jejak Sandigdha, yang akhirnya diikuti semua orang. Saat mereka menyusul rombongan utama, terlihat emosi Sandigdha makin tak karuan, makian terdengar berhamburan. Ternyata sampai ditempat yang telah mereka tuju sesuai instruksi, hanya ada sepotong kalimat yang menyatakan, segera menuju selatan! Sembilan ratus langkah pula! Bukankah itu artinya kembali ketempat semula? Pantas saja Sandigdha marah-marah. Jauh-jauh mereka berjalan, tak tahunya hanya disuruh berputar untuk menjauhi tempat diletakkannya uang dalam kereta. Menjauh sesaat.

Dan akhirnya rombongan mereka kembali lagi ketempat semula, bedanya di sana sudah tidak ada kereta lagi, hanya belasan kuda yang terlihat pulas.

Sembilan Belantara yang mengikuti rombongan itupun ikut memaki dalam hati setelah melihat kereta harta tak lagi nampak, rasa menyesal dirinya begitu dalam. Sampai-sampai dia bersumpah untuk membantu si wajah pucat untuk menghajar orang yang mempermainkan mereka—tentu saja itu sumpah yang dilakukan emosional, pada prakteknya jika keadaan menghawatirkan si pucat, untuk apa pula dia harus ikut setor nyawa?

Sembilan Belantara bisa melihat di tanah kosong itu berdiri satu orang, memakai baju biru muda dengan kedok wajah berwana sama. Sudah tentu orang itu Jaka Bayu adanya. “Selamat datang.” Sambut orang itu dengan ramah.

“Kau sudah mendapatkan barangnya?” tegur Sandigdha kasar. Rupanya belasan anak buah berkemampuan tinggi yang menyertainya membuat dirinya berani.

Jaka mengangguk sambil tertawa pendek. “Ada penyakit yang kau sertakan pada hartamu, tapi tak apa, aku akan memaafkannya seandainya kau..”

“Memberikan penawarnya?” potong Sandigdha merasa menang.

Jaka tidak menjawab, dia membiarkan Sandigdha berbicara.

“Aku tidak akan memberikan apapun, sudah cukup banyak hartaku kau kuras! Sedikit kerugian yang kau terima dengan mampusnya anak buahmu, cukup memuaskan kedongkolan hatiku!”

“Oh, jadi kau memberikan racun?” Tanya Jaka dengan suara seperti kawatir.

Sandigdha tertawa lepas, riang rasa hatinya. “Ya! Dan itu tidak ada penawarnya!”

Jaka mengangguk dan menggeleng seulang kali, seolah dia sangat prihatin. “Kalau begitu, rasanya impas pula jika ditukar dengan nyawamu…” ujar Jaka dengan suara perlahan.

“Tapi kau berjanji akan memberikan pemunahnya!” bentak Sandigdha.

“Aku tidak pernah berkata begitu.” Tegas Jaka. “Tapi kau.. kau mengatakan akan memberikan kebebasan.”

Jaka tertawa. “Kau bebas berbuat apa saja, pada dasarnya tidak ada racun dalam tubuhmu. Hanya saja, aku perlu memberitahu kalian… kau dan teman-temanmu baru saja terkena racun, setibanya disini.”

“Hah!” suara-suara kaget terdengar. Wajah Sandigdha bersama seluruh anak buahnya memucat, bahkan Sembilan Belantara di persembunyiannya terlihat menggelosoh lemas. Keputusannya untuk mencampuri urusan si wajah pucat berbuntut tidak menyenangkan.

“Jadi, kau tidak memiliki nilai tawar apapun…” sambung Jaka lagi.

“Kau.. kau…” belum habis ucapannya, Sandigdha terbatuk- batuk sampai nungging, bukan hanya dia, bahkan semua orang. Termasuk Sembilan Belantara dipersembunyiannya, setengah mati menahan batuk, tapi tetap saja beberapa kali dia menyemburkan batuk kecil. Sembilan Belantara mengira menahan batuk akan menyelesaikan masalah—dia tak ingin ada orang tahu keberadaannya. Tapi rupanya, menahan batuk juga bukan jalan keluar, sebab perutnya tak kuat menahan tekanan. Suara kentut yang menggelegar ternyata melebihi kerasnya suara batuk!

Jaka menatap semak-semak di belakang rombongan lawannya, dia tersenyum, tapi tak beraksi. “Bagaimana? Kira- kira sekarang apa yang kuminta, bisa kau kabulkan tidak?”

Sandigdha menatap musuhnya yang dibalut kedok dengan dendam kian membara. Tap sampai saat ini dia tak bisa menjawab. Maklum saja, batuk yang tak putus itu masih menyerang dirinya—juga semua orang yang pernah menginjak bubuk putih serupa kapur.

“Kau tahu, aku memiliki surat transaksi. Aku memiliki penawar racun, kira-kira nilai apa yang akan kau tawarkan padaku? Silahkan berpikir. Kalian akan batuk terus selama satu kentungan. Setelah berhenti, kalian memiliki waktu seperempat kentungan untuk menarik nafas. Setelah itu kalian akan batuk lagi.. demikian seterusnya.”

Sandigdha dan semua orang terbatuk-batuk sampai berlutut, bahkan ada yang menggelepar saking tidak tahannya. Batuk kering yang berulang-ulang menyakitkan dada dan lambung, membuat mereka tak berdaya. Jika saja saat ini Jaka memutuskan untuk membunuh mereka, alangkah mudahnya. Tapi pemuda itu tidak melakukan, dia bahkan berjalan dengan santai menuju semak-semak tempat persembunyian Sembilan Belantara.

“Ah, ada ikan ikut terjaring, sungguh tidak terduga. Nanti kita akan berurusan setelah pekerjaanku selesai.” Kata Jaka saat mendapati Sembilan Belantara yang sedang batuk sambil terkentut-kentut. Dengan menepuk bahu Sembilan Belantara, pemuda itu kembali ke hadapan rombongan Sandigdha yang sedang sibuk dengan ‘koor’ batuknya.

Dalam hatinya, Sembilan Belantara memaki panjang pendek. Tapi apa daya, keselamatannya kini digenggam sang lawan yang tak dia ketahui identitasnya. Meski demikian, sepintas saja Sembilan Belantara bisa berpikir; jika orang yang memiliki kemampuan membunuh begitu menakutkan— seperti Sandigdha—ternyata habis-habisan dipermainkan orang itu, apakah dirinya yang sendirian ini akan selamat melewati kesialan luar biasa ini? Sembilan Belantara tak pernah berdoa, tapi kali ini dia berdoa semoga orang berkedok biru itu akan menurunkan tangan ringan padanya.

Tapi bilamana orang itu mengorek, memeras keterangannya sampai tak bersisa, apakah dirinya akan tetap berkeras untuk membela sang majikan? Dalam batuknya yang kian menghebat, Sembilan Belantara merasakan ketakutan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Lamat-lamat dia bisa mengerti, orang itu memiliki sebuah kesanggupan mempermainkan banyak orang, bukan hanya dirinya. Kemungkinan pula jika sang majikan berjumpa dengan orang itu, akan mengalami kesulitan pula.

Akhirnya batuk mereda, rasa lemas menjalari semua orang. Bayangkan terbatuk dalam satu jam tanpa henti, seperti apa rasanya?

“Kau sudah berpikir apa yang bisa kau sumbangkan lagi padaku?” Tanya Jaka sambil duduk di atas punggung kuda yang tengah tertidur itu.

Sandigdha terbatuk sesaat. “Aku.. aku akan berikan penawar racunku.”

“Racun apa? Apakah kau tadi memberikan racun?” Tanya Jaka pura-pura bodoh.

Sandigdha mengeluh, alamat pengalaman pahitnya saat harus memhon hartanya diambil akan diulang kembali!

“I-iya.. tolonglah. Aku.. aku toh sudah memberikan harta padamu, apakah itu tidak membuatmu bertindak lebih ringan?” ujar Sadigdha dengan suara timbul tenggelam, rupanya batuk yang begitu lama merusak suaranya. “Oh, apa yang bisa kutolong?” Tanya Jaka sambil bangkit, duduk di depan Sandidgha yang tengah berlutut sambil memegangi perutnya.

Gigi Sandigdha mengatup kencang menimbulkan suara derit, jika saja padangan mata bisa menusuk lawannya, mungkin saat ini lawannya itu sudah dihiasi dengan ribuan lubang! “To-tolonglah… terimalah pemunah racunku… ini.” Kata Sandigdha sambil memberikan bungkusan yang dilipat pada kantung kulit.

Jaka tidak menerima itu. “Apakah aku akan mendapatkan kebaikan jika menerima pemunah racunmu?” Tanya pemuda ini membuat Sandigdha merasa, kalau saja ada sebatang pedang di sampingnya, dia lebih baik memotong lehernya sendiri!

“Ti-tidak…” katanya, kalau dia mengatakan ‘ada’, takutnya sang lawan akan berulah lagi.

“Kalau begitu, untuk apa aku menerimanya?” jawab Jaka jual mahal.

Menangis adalah pantangan kelas berat bagi pembunuh, tapi kali ini Sandigdha benar-benar menangis saking jengkelnya. “Kurang ajar…! Lebih baik kau bunuh aku saja!” teriak lelaki itu dengan suara serak.

Jaka tertawa, jika lawannya sudah putus asa, itu adalah saat paling tepat untuk memasangkan kendali, seperti kerbau yang dicocok hidungnya.

“Aku tak bisa membunuh, aku hanya bisa menyaksikan orang tersiksa sampai mati…” kata pemuda membuat bibir Sandigdha berdarah, ternyata saking gemasnya orang ini sampai menggigit bibirnya keras-keras. “Baiklah, berhubung kau memintaku sampai menangis begitu, aku akan terima penawar racun ini.” Kata Jaka sambil mencium sejenak, dia tersenyum, penawar racun Sandigdha memang obat yang tepat—bukan tipuan. “Sungguh sial, mendapatkan benda tak berharga…” gerutu pemuda ini membuat Sandigdha terpikir ide lain.

“I-ini, adalah biang racun dari hati merak yang dibuat dengan bisa ular paling keras dari dunia barat. Sangat mematikan, ini adalah racun yang menyerang anak buahmu…” kata Sandigdha dengan suara agak lancar.

Jaka menerima bungkusan dengan kening berkerut. “Ah, untuk apa racun ini buatku? Untuk meracunmu? Ini kan tidak berguna… kau memiliki penawarnya. Tapi baiklah, mungkin saja bisa kuberikan ini pada anjing.”

Suasana senyap, sebuah pameran introgasi yang sangat aneh dan menggelikan terhampar mempermalukan Sandigdha, tapi tak satupun orang merasa hal itu menggelikan. Lamat-lamat mereka merasakan, betapa sialnya Sandigdha memiliki lawan semenakutkan itu. Bahkan Sembilan Belantara-pun sangat bersimpati dengan nasib Sandigdha. Tapi tiba-tiba dia menepuk kening, bukankah nasibnya juga serupa Sandigdha? Apa yang nanti bakal ditawarkan untuk pemuda itu, supaya dirinya terbebas? Keringat dingin segera mengucur keluar, rasa takut kembali menyelimuti hati Sembilan Belatara.

“Aku ada permintaan untukmu…” Jaka berdiri sambil berjalan mengelilingi rombongan apes itu. “Apa yang bisa kulakukan untukmu?” Tanya Sandigdha dengan suara makin lancar, harapan bersemai di hatinya, boleh jadi sang lawan akan segera memberikan pengampunan.

“Untuk beberapa saat ke depan, aku minta kau menjadi dombaku.”

“Hah?!” Sandigdha terperangah tidak paham, jika maksud sang lawan untuk menghinanya, maka ucapan tadi termasuk lembut.

“Maksudku, aku sedang membuat rencana besar. Sangat besar! Kau tolong aku untuk menjadi domba-dombaku, bagaimana?” pinta Jaka seolah persoalan ini hanya transaksi biasa.

Sandigdha terpekur, dengan suara serak dia berkata. “Nasib domba, biasanya disembelih selepas berjasa. Selepas dia korbankan bulunya untuk dipintal…”

Jaka mengangguk. “Memang itu bisa terjadi, tapi kaupun bisa memegang perkataanku, bahwa aku tidak bisa membunuh. Aku hanya bisa menyaksikan orang terbunuh. Bagaimana?”

Belum sempat, Sandigdha menjawab. Waktu seperempat kentungan sudah habis, kembali paduan suara batuk berkumandang di hutan yang senyap itu.

“Aku.. uhk-uhuk-uhuk.. setuju! Berikan pe.. uhk-uhuk-uhuk nawarmu…” dengan susah payah Sandigdha mengambil keputusan cepat. Sebab serangan batuk yang kedua kali ini, membuat perutnya serasa disayat-sayat. “Bagus!” seru Jaka senang. Pemuda ini bersuit sejenak, lalu dari rimbunan pohon yang lain muncul sesosok tubuh gemuk diselimuti kedok memberikan teko berisi air pemunah. “Terima kasih paman.” Ucapnya, lalu dengan cekatan Jaka menuangkan seteguk-seteguk kepada tiap orang—kecuali Sembilan Belantara.

Suara batuk mereda saat itu juga. “Ingat ini hanya penawar untuk satu minggu, berikutnya aku akan memberikan pada kalian di tempat yang kukabarkan menyusul. Pergilah, hartamu itu sangat berguna. Aku berterima kasih padamu…” kata Jaka dengan berwibawa. Membuat Sandigdha sekalian tidak berani bercuit lagi. Dengan terburu-buru, mereka pergi.

Satu suara batuk masih terdengar dari balik rimbun semak- semak. “Aku akan berbincang dengan kambing hitamku dulu paman, nanti kita bicarakan banyak hal!”

Ekabaksha yang terpaksa mengenakan kedok, hanya bisa menggeleng-geleng dengan perasaan sedikit seram. Dia tahu, apa yang dilakukan pemuda itu. Meskipun bubuk putih serupa kapur itu dikatakan Jaka sebagai racun, padahal itu hanya belerang yang dicampur beberapa rempah-rempah yang seharusnya bisa menyembuhkan penyakit diare. Tapi ditangan pemuda yang sangat mahir pengobatan ini, ramuan sederhana bisa membuat orang batuk sampai setengah mati.

“Entah akal setan apa lagi yang akan dilakukan terhadap mahluk malang itu.” Pikirnya sambil nyengir, dia bergegas mengurus belasan kuda yang masih terlelap. Mendapat harta sebanyak enam belas kereta—dengan bonus kereta kuda memang kejadian yang belum pernah ada dimanapun. Hanya seorang Jaka Bayu yang bisa membuat itu terjadi. Cuma satu hal yang saat ini ingin ditanyakan Ekabaksha, kenapa Jaka harus membuat mereka berjalan berputar-putar? Memang itu dilakukan untuk mengenyahkan mereka supaya pihaknya dengan leluasa mengamankan barang. Tapi, atas alasan apa, Jaka harus membuat mereka melakukan ‘jalan sehat’ dengan mulut komat kamit menghitung langkah? Barangkali persoalan itu akan ditanyakan selepas Jaka menyelesaikan urusan dengan Sembilan Belantara—si kambing hitam.

Suara batuk tunggal masih menghiasi suasana, sementara matahari kian terik bersinar. Jaka terlihat tengah asik dengan ‘mainan barunya’.

—ooOoo—

--0o~Didit-dw*kz~o0-

Sambung ke 113

113 – Domino Effect : Domba dan Kambing Hitam

Suara batuk Sembilan Belantara benar-benar membuat hutan jadi terasa semarak, Jaka membiarkan orang itu terbatuk-batuk sampai satu jam kedepan. Semak-semak yang menghalangi pemandangan, sudah seluruhnya di cabut Jaka, dengan santai pemuda ini duduk di hadapan Sembilan Belantara, seolah sedang menyaksikan pertunjukan mengesankan.

Jaka tidak memiliki kepentingan dengan Sembilan Belantara, dia juga tidak mengenal orang itu. Apa yang di lakukan kali ini sebenarnya iseng saja, hanya ingin bertanya- tanya dan jika memungkinkan, Sembilan Belantara akan menjadi ‘kambing hitamnya’. Tapi mata pemuda ini cukup terlatih dan sangat paham dengan kondisi-kondisi janggal, dia menemukan keanehan pada Sembilan Belantara. Pada umumnya saat orang sedang terbatuk, dada akan mengempis, tapi yang terjadi pada Sembilan Belantara justru kebalikannya. Alis Jaka agak berkerut.

Suara batuk sudah reda, kali ini Sembilan Belantara jatuh tertelungkup dengan tubuh terasa sangat lemas, dengan dada terasa sakit bukan main.

“Kau ingin batuk lagi?” Tanya Jaka.

“Ti-tidak…” jawab Sembilan Belantara dengan cepat, suaranya masih lirih.

“Kau tahu, aku ingin apa?” “Ti-tidak…” jawabnya lagi.

“Kira-kira, jika kau tidak memiliki nilai tawar apapun, apa yang akan kau lakukan untuk merebut hidupmu?” Tanya Jaka lagi membuat Sembilan Belantara memaksakan untuk duduk dengan bersimpuh di hadapan pemuda ini. Seluruh tubuhnya masih menggeletar lemas, ruas-ruas tulangnya terasa linu.

Dengan sosot mata kosong, dia menatap Jaka, tapi otaknya berputar cepat mencari jawaban, matanya berkerjap sesaat. “Aku tidak memilki sesuatu yang bisa kutukarkan untuk mengganti nyawaku…” katanya dengan lemah.

Jaka tersenyum. “Baiklah…” lalu pemuda itu berdiri dan meulai melangkah pergi, tidak berupaya melakukan pembicaraan lagi. Tentu saja Sembilan Belantara terkejut, dipikirnya, jika pemuda yang berhasil membuat ramai orang menjadi takluk tanpa harus bertarung itu, menujui dirinya menjadi ‘kambing hitamnya’, tentu ada suatu tugas yang harus dia lakukan, dan itu bisa menjadi barter yang cukup. Begitu pikiran Sembilan Belantara, tapi ternyata apa yang dia pikirkan jauh dari bayangan.

“Tu-tunggu…!” teriak Sembilan Belantara sembari berdiri, tapi ternyata lututnya masih terlalu lemah, dan dia jatuh terguling.

“Kau berkata sesuatu?” Tanya Jaka dari kejauhan. “Tunggu, aku mungkin memiliki berita yang bisa

membuatku cukup berharga…” Sembilan Belantara buru-buru menjawab.

Jaka seolah berpikir sesaat, lalu dia melangkah mendekat. “Ceritakan padaku…”

Sembilan Belantara mengisahkan sebuah cerita berdasar fakta berbalut dusta pada Jaka, semula Sembilan Belantara menceritakan sebauah kebenaran fakta bawa dirinya— berempat bersama Tujuh Ruas, Empat Serigala dan Dua Bakat—tentu saja tanpa menyebut identitas masing-masing, merupakan satu kelompok pencari berita—informan, dan segala sesuatu yang kemungkinan menjadi bahan menarik, akan dia kemas dan dijual pada pihak yang kemungkinan membutuhkan. “… pada akhirnya, sebelum aku menguntit rombongan yang tuan kalahkan tadi, aku baru saja mendapatkan sepotong kabar tentang, perkumpulan masa lalu yang mencoba menebarkan sayapnya lagi.” Jaka tidak berkomentar, dia menatap Sembilan Belantara dengan tajam, membuat orang itu jengah sendiri. Dengan terburu-buru Sembilan Belantara menyatakan bahwa, dia mengetahui beberapa tokoh penting yang mungkin bisa di hubungi pemuda itu, jika memang harta menjadi sasarannya.

“Keteranganmu tidak berguna.” Tukas Jaka pendek dan melangkah pergi.

“Tunggu!” seru Sembilan Belantara dengan panik, seperempat jam hampir habis, sebentar lagi, batuk menggila akan membuatnya kesakitan lagi. “Aku akan berguna bagimu, jadikan aku kambing hitamu.. aku akan menuruti segala ucapanmu.” Katanya memohon.

Jaka berjalan mendekat. “Katakan apa alasanmu ingin menjadi kambing hitamku?” Tanya Jaka sambil menghela nafas pendek.

Sembilan Belantara menatap pemuda itu seperti melihat hantu. Dalam hatinya dia memaki panjang pendek, sial benar bisa ketemu orang semacam ini. “Kalau tuan bermaksud seperti itu, tak ada alasan lain selain aku menuruti semua permintaanmu…” Kata Sembilan Belantara mendesah, mulai terbatuk.

“Bagus!” tukas Jaka, lalu mencekal dagu Sembilan Belantara dan mencekoki beberapa teguk air ‘penawar’. Batuk yang menggila sirap seketika, pemuda ini membiarkan penawarnya bekerja untuk beberapa saat. “Aku hanya berbicara satu kali, apakah kau akan menuruti petunjukku atau tidak, semua tergantung pada rasa sayang nyawa sendiri. Kau pasti sudah mendengar tadi, obat itu hanya berlaku untuk tujuh hari.” Meski dada masih berdetak dengan rasa nyeri yang mencengkeram, ucapan pemuda itu serupa loceng maut di telinganya, Sembilan Belantara segara duduk dengan posisi sigap, membuat Ekabakhsa yang menonton dari kejauhan tertawa tertahan. “Pertama: Kau akan mendatangi orang yang tadi kau kuntit, ganggu semua pekerjaan mereka. Kedua: kau dan teman-temanmu, akan melakukan kekacauan pada tiap pergerakan yang berhubungan dengan orang itu, ganggu dia.”

Sembilan Belantara mulai merasakan kepanya pusing, kalimat ‘mereka’ dan ‘orang itu’, memang hanya tertuju pada satu orang, tapi penekanan kalimat itu sangat jelas. ‘Mereka’ bertuju pada kelompok yang tadi sempat dia kuntit. Sedangkan ‘orang itu’ lebih bertujuan pada kegiatan pribadi si pimpinan kelompok. Pemuda itu menekankan kegiatan kedua pada, ‘dirinya bersama teman-teman’, berarti; dia sendiri tidak akan cukup punya kekuatan jika berhadapan secara berterang, maka dengan sangat ‘murah hati’, pemuda itu menyatakan padanya untuk membawa serta bala bantuan. Lengkap sudah nasib sialnya! Di satu sisi harus mengejar waktu melonggarkan totokan yang dilakukan murid sang majikan, di sisi lain; harus ketiban nasib apes mengerjakan tugas yang diberikan pemuda sialan ini!

“Ketiga…” ucapan Jaka mendapat perhatian penuh dari Sembilan Belantara, sampai-sampai dia harus mencodongkan badannya, kawatir salah dengar. “Akan kukatakan saat kita berjumpa lagi.”

“Hhh…” Sembil Belantara menghela nafas, antara lega dan kesal. Lega karena tidak ada tugas tambahan, kesal; karena lagi-lagi pemuda itu menggantung nasibnya. “Ohya, satu lagi… kau tidak akan menyesal menjadi kambing hitamku.” Kata pemuda ini sambil berlalu.

“Kenapa?” kejar Sembilan Belatara.

“Karena luka didadamu itu bisa aku sembuhkan. Lakukan tugasmu dengan benar!” kata Jaka sembari melesat, bayangnya lenyap di telan rerimbunan hutan.

Sembilan Belantara tergagu dengan hati tercengang. Bahwa pemuda itu mengetahui dia terluka tanpa memeriksa, membuat dia percaya penuh pemuda itu buka sekedar lawan yang hanya menggertak dengan racun, tapi juga memiliki kemahiran tersendiri. Kali ini dia merasakan ada harapan tersembunyi bagi dirinya dan teman-temannya. Ternyata hidup itu memiliki pilihan lain! Saat kau merasa putus asa, kau harus mengingat bahwa ada kekuasaan lebih besar yang meliputi alam semesta ini. Sembilan Belantara mencari jejak murid sang junjungan dengan perasaan di liputi kekawatiran, namun demikian dia tidak lupa pula untuk berdoa—sesutu ya sudah dia lupakan dalam waktu lama. Nampaknya, doa yang dilantunkan sepanjang pencariannya, membuahkan hasil yang tidak pernah disangka-sangka. Entah itu akan menjadi sebuah kebaikan atau kemalangan, Sembilan Belantara pasrah saja! Yang penting, saat ini dia harus melakukan tugas pemuda itu! Penguntitan yang menjadi keahliannya segera di kembangkan.

===o0o===

Ekabhaksa memperhatikan bayangan Sembilan Belantara yang hilang di telan rimbunnya pepohonan. “Kau ini selalu bekerja tanggung…” cetusnya memberikan kritikan. Jaka tertawa. “Ini kan cuma pekerjaan sampingan.” “Kenapa tidak kau tanya dari mana asal usulnya?” Tanya

Ekabhaksa dengan kening berkerut. “Orang yang memiliki nyali mengikuti kegiatan Sandigdha tentu bukan orang sembarangan.”

Jaka mengangguk. “Kau benar paman, dia cukup menarik. Kususnya dengan luka yang dideritanya.” Lalu pemuda ini menjelaskan hasil penemuannya tadi. “Luka itu sangat rumit, dampaknya membalikan fungsi pernafasan dengan cara tersembunyi. Tidak banyak orang yang bisa melakukan hal itu. Ini menarik…”

“Kalau sudah tahu ini menarik, kenapa kau tidak bertanya sampai jelas?” cecar Ekabhaksa dengan sengit, bagaimanapun penjelasan Jaka yang belakangan tadi membuat dirinya menjadi penasaran.

“Biarkan kemisteriusan berjalan sendiri.” Penuturan Jaka ini membuat Ekabhaksa mendengus tidak puas. “Pada saatnya nanti pasti akan terbuka, kita hanya harus fokus pada urusan Sandigdha saja. Mungkin akan banyak kunci-kunci yang membuka selubung persoalan tetua Perguruan Enam Pedang pula…”

“Juga terbunuhnya rekan-rekan kita!” sambung Ekabhaksa penuh tekanan, mendapat sambutan Jaka dengan anggukan berkali-kali.

“Lalu apa tindakan kita?” Tanya Ekabhaksa.

“Aku akan menunggu kehadiran paman Jalada, untuk membantu kelancaran rencana ini…” “Huh! Si Watu Agni itu memang banyak tingkah! Aku tidak suka dengan orang itu.” Dengus Ekabhaksa. Watu Agni atau Jalada adalah satu sebuatan bagi julukan Satu Baginda. Ada kalanya dia di kenal dengan Watu Agni, karena sikapnya yang sangat keras kepala, pemaksa dan tidak pernah mau kompromi. Tapi di lain sisi dia dikenal dengan nama Jalada— yang berarti awan, karena kata-katanya sangat sulit di pegang, dalam arti; kau bisa mendapatkan janji orang itu pada saat sikap jantannya muncul, tapi saat kekeraskepalaan mengemuka, janji yang sudah pernah kau terima darinya, bisa menjadi bumerang buatmu. Janji itu seperti surat kematian buatmu. Artinya; kau harus bisa mencari celah yang tepat pada saat hendak menagih janjinya. Mengherankan buat Ekabhaksa, karena ternyata Jaka Bayu bisa mengikat orang yang berkepribadian ganda itu dengan satu loyalitas.

Jaka tersenyum. “Kalian ini di kumpulkan oleh kaum persilatan dengan satu tautan julukan, kenapa harus memiliki rasa tak puas?”

Wajah Ekabhaksa tampak cemberut, bagaimanapun pertarungan yang tak berkesudahan di masa lampau dengan si Baginda, selalu menjadi ganjalan baginya. “aku tidak suka saja!” gumamnya, membuat Jaka tertawa lebar.

“Ada saatnya nanti aku akan urai rasa penasaran paman.” Kata Jaka membuat alis Ekabhaksa menjengit.

“Tak mungkin…”

“Tidak ada hal yang tidak mungkin paman.” Ekasabaksha bersungut-sungut. “Jelaskan padaku, kenapa harus ada domba dan kambing hitam?” Tanya lelaki gemuk itu.

Jaka nyengir sesaat, satu alis matanya terlihat menjengit sejenak, diam-diam Ekabhaksa menggerutu, dia sudah dapat menduga, urusan yang di rencanakan pemuda ini akan sangat memusingkan.

“Paman tahu, kenapa terkilas olehku tentang masalah ini begitu saja?”

“Kambing dan domba?” ulang Ekabhaksa dengan kesal. “Hanya otak setanmu yang tahu!”

Kali ini Jaka terlihat bersikap lebih serius. “Siapa Sandigdha?” Tanya pemuda ini pada Ekabhaksa membuat lelaki gemuk itu terheran-heran, tapi dia segera paham, ada kalanya cara Jaka menjelaskan adalah dengan metode tanya- jawab.

“Dia datang dari Keluarga Tumparaka, salah satu dari lima keluarga besar yang sangat tertutup di kalangan persilatan.”

“Siapa yang di hadapi Sandigdha, akhir-akhir ini?”

“Si Tua bangka… Setan alas! Aku tidak tahu siapa orang itu!” cetus Ekabhaksa.

“Lalu?”

“Kemungkinan Kwancasakya, berhubung Sadigdha berani membunuh Nekawarnnarengit.” “Kenapa Kwancasakya bisa langsung mengambil kesimpulan, bahwa Sandigdha-lah yang membunuh, bukan Keluarga Gumilata?”

“Sialan, Jaka! Bukankah aku yang menemukan laporan tertulis di krah baju Nekawarnnarengit?! Langsung pada intinya saja!” seru Ekabhaksa kesal.

“Justru disini bagian pentingnya… apakah paman bisa melihat benang merah yang bisa kita tautkan?”

Ekabhaksa melihat wajah Jaka dengan tatapan nanar. “Aku menyerah! Kau jelaskan saja, pusing aku!”

Dengan raut wajah seperti menahan sebuah kegembiraan, Jaka menjelaskan. “Sandigdha sementara ini adalah pusat perhatian dua kelompok.. tidak, tapi tiga kelompok.”

“Darimana datangnya kelompok ketiga?” Tanya Ekabhaksa mengerutkan kening.

“Paman lupa dengan orang yang kuhadapi?” Kata Jaka mengingatkan. “Dia orang yang memiliki pukulan aneh…”

“Ah, dia… ya, betul! Lanjutkan, Jaka!” “Ketiga kelompok ini…”

“Siapa mereka?” potong Ekabhaksa bertanya untuk memperjelas.

“Pertama; si tua bangka yang meminta dana kepada Sandigdha. Kedua; jelas Kwancasakya yang akan menyelidiki motif terbunuhnya Nekawarnnarengit. Ketiga; bisa jadi orang yang memiliki pukulan aneh. Mereka, suka tidak suka akan memantau Sandigdha.” Kata Jaka singkat, dan terang saja penjelasan menggantung ini membuat Ekabhaksa geregetan.

“Terus.. terus…” kejar lelaki gemuk ini penasaran. “Manakala mereka melihat polah tingkah Sandigdha yang

aneh dan mendatangkan kerut dibenak mereka… ketiganya tidak akan melakukan satu usaha apapun untuk mengganggu Sandigdha. Sebab, mereka harus melihat dengan jelas, ada tali temali halus yang mengendalikan Sandigdha… dah, ohya… aku menganggap, ketiga kelompok ini mengetahui latar belakang Sandigdha…” Jaka kembali memotong penjelasannya membuat Ekabhaksa ingin sekali menjotos pemuda itu.

“Lalu? Lalu?”

Jaka melanjutkan. “Masing-masing kelompok tidak akan gegabah, mereka saling menunggu untuk mengetahui siapa yang menguasai Sandigdha, dan keadaan itu akan sangat kondusif bagi Kerajaan Kadungga.”

“Tunggu, kenapa engkau meloncat terlalu jauh ke Kerajaan Kadungga? Ini tidak ada hubungannya dengan kita!” Seru Ekabhaksa tidak setuju.

“Tidak, ini memang berhubungan … bahkan dekat. Apa paman lupa dengan kegiatan yang berada di dalam Perkampungan Menur? Mereka memproduksi senjata seolah- olah besok akan perang! Dan wilayah perkampungan itu masih berada dalam Kerajaan Kadungga. Seharusnya Kerajaan bisa memantau situasi ini, karena pengiriman bahan baku senjata jelas tidak mungkin dilakukan sembunyi- sembunyi… tapi entah kenapa, pihak kerajaan seolah menutup mata, atau dibutakan matanya.”

“Aku masih tidak mengerti…” gumam Ekabhaksa merasa benaknya terombang-ambing dengan banyak pertimbangan, dan satupun tak ada yang dia pahami.

“Artinya, didalam kerajaan itu ada komplotan yang sama dengan Sandigdha!” sambung Jaka lagi. “Jelas-jelas dia seorang petinggi pula. Mungkin orang yang memiliki pukulan aneh itu, mungkin pula orang lain!”

“Ooo…” gumam Ekabhaksa masih tak mengerti. “Lalu apa hubungannya dengan kita?”

Jaka tertawa. “Ini adalah keadaan yang saling menyandera… Sandigdha dan komplotannya jelas tidak akan gegabah melakukan serangan pada kerajaan, jika mereka tidak memiliki tulang punggung yang kuat.”

“Baik, sampai disini aku paham…”

“Nah, apa jadinya jika yang menjadi tulang punggung ini mengetahui keadaan Sandigdha yang ternyata berada di bawah kendali orang?”

Ekabhaksa bertepuk tangan, bahkan langkahnya sempat terhenti. “Betul sekali! Jelas kondisi Sandigdha yang serba runyam ini akan membuat mereka memundurkan jadwal. Mereka harus tahu apa yang menjadi alasan Sandigdha bisa apes seperti itu… atau jangan-jangan, kondisi serba runyam Sandigdha adalah muslihat belaka, benar demikian?”

“Betul sekali, paman! Apapun kesimpulan mereka, aku yakin… tulang punggung Sandigdha ini cukup mawas diri, dan aku yakin mereka memiliki akses informasi yang baik. Mereka tidak akan terburu-buru bertindak.”

“Tapi, tetap saja tidak ada hubungannya dengan kita…” cetus Ekabhaksa mengingatkan.

Jaka menghela nafas perlahan.“Ada paman…” ulang pemuda ini lagi. “Kita memang sudah dikenal oleh beberapa orang…” perkataan pemuda ini yang tidak nyambung membuat Ekabhaksa lebih tekun menyimak, sebab Jaka tidak pernah membicarakan hal yang sia-sia. “Tapi untuk membuat nama kita makin tenar di dunia bawah tanah, kita harus memanfaatkan momentum dengan adanya Sandigdha menjadi domba kita…”

Ekabhaksa makin tak mengerti. “Ya?”

“Dengan ketenaran nama keluarga Tumparaka, dengan sendirinya pada saat mereka tahu Sandigdha berada di bawah kendali kita…”

“Kita tidak memerlukan banyak kegiatan untuk memupuk nama?” potong Ekabhaksa. “Usaha minimal, hasil maksimal. Benar-benar prinsip pedagang…”

Jaka mengangguk.

“Apa yang kau cari dari sana?”

“Aku tidak pernah melupakan korban yang ada di pihak kita, tidak pernah!” desis Jaka dengan tangan mengepal. Pemuda itu tidak menjawab pertanyaan, tapi Ekabhaksa baru memahami, ternyata tindakan Jaka yang dia pandang sangat sembrono ini adalah untuk memancing pembunuh yang membantai beberapa rekan mereka. “Saat nama kita makin berkibar, apakah kau yakin para pembunuh itu akan datang lagi?” Tanya Ekabhaksa.

Jaka mengangguk. “Cepat atau lambat.” Desisnya. “Lagipula apa yang kulakukan ini bukan semata-mata untuk kepentingan kita, paman. Tapi lebih dari itu… aku ingin menarik semua pihak yang terlibat dalam kegiatan kotor, dan serba sembunyi ini, tergiring dalam satu situasi yang akan memojokan mereka!”

Ekabhaksa mengerutkan kening. “Apakah termasuk Kwancasakya?”

“Mungkin termasuk mereka. Tapi jika mengingat cara kerja kelompok itu bergerak berdasarkan kepentingan dan perhitungan untung-rugi, aku menyangsikannya. Saat mereka melihat dan menimbang bahwa; berpihak dengan kita adalah kegiatan yang sangat menguntungkan, ceritanya akan berbeda.”

“Tapi itu jalan yang sangat terjal…” timpal lelaki paruh baya ini pesimis.

“Betul.. tapi bukan berarti tidak bisa. Hanya orang-orang yang berusaha keras saja yang akan mendapatkan hasil terbaik!”

“Kalau gagal?”

Jaka tersenyum. “Sekalipun untuk ini aku harus mengalami kegagalan seratus kali, itu bukanlah sebuah kegagalan. Tapi itu adalah seratus cara menuju keberhasilan. Dan Sandigdha adalah salah satu jalan…” Ekabhaksa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Dalam hati dia sangat mengagumi kecepatan cara berpikir Jaka yang sangat runtut, njelimet, penuh intrik, tapi ajaibnya, dia melakukan semua itu dengan satu tindakan sambil lalu. Diam-diam, rasa hormat makin menebal dalam hati salah satu anggota Tujuh Satwa itu. “Apa boleh buat, aku hanya bisa menyumbangkan tenaga saja…”

“Itu lebih dari cukup, paman.” Kata Jaka dengan haru, sambil menggengam tangan Ekabhaksa.

“Jadi, sengaja kau tumbalkan Sandigdha untuk menjadi ajang unjuk gigi?” simpul lelaki ini lagi.

“Tidak tepat seperti itu, tapi bolehlah… yang jelas Sandigdha adalah simpul mati dari ragam persoalan ini.” Jelas Jaka.

“Seharusnya dia menjadi tokoh utama.” Gumam Ekabhaksa tak percaya, cara bertindak Jaka ini benar-benar membuat seseorang yang mulia menjadi terdakwa, benar-benar gila.

“Kadang… seorang tokoh utama, menjadi simpul mati paling besar pula.” Tukas Jaka menyimpulkan, dan segera di amini Ekabhaksa.

“Tapi… aku masih tidak tahu peranan Kambing Hitam..” gerutu lelaki ini ditengah ayunan langkah, membuat Jaka tertawa sesaat.

“Sebenarnya, dengan atau tidak adanya orang itu, tidak akan membuyarkan rencanaku, paman. Tapi, aku berpikir begini… jika kita memasukkan setitik nila ke dalam tempayan air, apa yang akan terjadi?”  “Keruhlah air dalam tempayan.” Jawab Ekabhaksa cepat. “Betul, tapi bisa juga tidak.”

“He?”

“Jika air dalam tempayan membeku, apa gunanya?” kata Jaka sembari tertawa. “Orang itu bisa menjadi faktor penentu—dengan memperjelas situasi, atau justru benar- benar menjadi kambing congek saja. Dia adalah hal misterius yang mungkin ada gunanya, mungkin juga tidak.”

“Otak sialanmu ini, bisa saja menyambungkan ragam situasi berujung keuntungan! Kalau saja bisa, aku benar-benar ingin menikahi otak setanmu, hanya otakmu!” kata Ekabhaksa, di timpali tawa keras Jaka Bayu.

===o0o===

Esok harinya, Kerajaan Kadungga dihebohkan dengan munculnya enam belas kereta yang diiringi dengan penjagaan sangat ketat, para prajurit yang melihat iring-iringan itu segera memberhentikan dan meminta untuk melihat isi dalam kereta. Tapi pada saat pintu kereta terbuka sesaat, mata mereka terbelalak. Kilau uang emas cukup membuat para prajurit yang berdedikasi itu menyadari, jika kedatangan enam belas kereta berisi uang emas itu adalah hal yang sangat penting.

Berita yang sambung menyambung secara cepat segera sampai di istana, wakil dari raja Kadungga—disebut Widyabhre, yang merupakan pelaksana kegiatan harian kerajaan berkenan menyambut langsung kedatangan delegasi yang membawa uang sedemikian banyaknya. Secara simbolis, Jalada—yang sudah tiba dan bergabung dengan Jaka sekalian tadi malam, menyerahkan nampan berbobot lima kilo kepada Wakil Raja Kadungga. Tapi, sebagai orang yang berpengalaman, Widyabhre tidak serta merta menerima, dia ingin tahu ada kepentingan apa dibalik penyerahan simbolis itu.

Tapi, diam-diam ada satu orang yang melotot dengan wajah pias, dia nampak tak percaya melihat enam belas kereta yang sudah dipolesi racun itu kembali ke Kerajaan Kadungga. Ya, dia Sandigdha—Sang Bendahara Kerajaan, dengan bersusah payah belasan tahun korupsi, ternyata harta itu harus lepas dari tangannya dengan cara yang menyakitkan, dan lebih menyedihkan lagi, kini harta itu kembali ke tuannya.

Penampilan Jalada yang angkuh dan penuh perbawa, ternyata menimbulkan satu permasalahan sendiri. Beberapa orang senapati tingkat tinggi merasa terancam, mereka berdiri mendampingi Widyabhre Kadungga.

“Kedatangan kami bukan untuk membuat masalah, tapi bermaksud baik…” kata Jalada dengan suara yang sangat mengintimidasi.

“Saudara bisa ceritakan kepada kami.” Sahut Widyabhre singkat, setelah sebelumnya mempersilahkan tiga orang tamu itu—Jalada, Ki Alih, dan Cambuk yang tentu saja datang dengan cara menyamar—untuk duduk.

Jalada memperbaiki duduknya. “Sinuhun tentu pernah mendengar lima keluarga dalam dunia persilatan…” Jalada membuka kalimat memperkenalkan diri. Widyabhre menoleh pada para senopatinya, dan salah seorang dari mereka menjelaskan secara singkat, bahwa : Dalam dunia persilatan ada lima keluarga yang tenar karena keahliannya. Pertama: Sandhaka, mereka adalah keluarga yang mengkhususkan pada kemahiran pedang. Kedua: Jawaraga, mereka adalah para pencipta senjata, dan ahli bangunan. Ketiga: Tumparaka, para ahli golok selalu merujuk pada keluarga ini. Keempat: Gumilata, begitu banyak benda aneh diciptakan keluarga ini, mulai dari senjata rahasia sampai racun mematikan. Dan terakhir, yang kelima: Dahanagni, tidak ada yang tahu apa kemahiran khas keluarga itu.

“…lalu, apa maksudmu?” Tanya Widyabhre setelah mendengar penjelasan tersebut.

“Kami adalah keluarga keenam, sinuhun pasti belum pernah mendengar, kebanyakan kaum persilatan juga belum pernah mendengar. Tapi kedatangan kami bukan untuk memperkenalkan trah keluarga kami, melainkan sebuah persoalan yang menurut kami cukup pelik dan harus di sikapi dengan seksama dan hati-hati.”

“Tolong jangan bertele-tele…” tegas Widyabhre merasakan ada ketegangan yang merambat.

“Tentu Sinuhun sudah dapat meraba, kami membawa enam belas kerta yang penuh berisi emas murni.”

Meski bisa menduga, tapi setiap pejabat tinggi yang ada dalam ruangan itu menjadi terkejut pula. “Untuk apa?” seru Widyabhre terkesip. “Ini adalah pembayaran yang dilakukan sekelompok orang yang tidak pernah kami ketahui identitasnya…” pada saat mengatakan ‘identitas’ tanpa sengaja Jalada melirik ke Sandigdha, membuat jantung sang bendahara itu memukul keras. “Mereka membayar kami untuk turut dalam serangan yang akan mereka rencanakan di kerajaan ini.”

“Gila!” hampir seluruh ruangan dipenuhi teriakan terkejut. “Kau jangan membual!” bentak salah seorang Senapati

sambil menuding Jalada.

Dengan tenang Jalada berdiri sambil membungkuk hormat. “Keahlian keluarga kami adalah membunuh, kami mampu melakukan pembunuhan goolongan orang jenis apapun, tergantung bayarannya. Tapi sebelumnya kami menyelidiki target yang akan dibunuh, apa dia layak atau tidak… sayangnya kebanyakan orang yang mendengar tentang kami, salah mengerti. Dikiranya kami bisa sembarang membunuh… jika kami hanya membual, bukankah lebih baik kami simpan saja uang sebanyak ini? Untuk apa kami capai-capai datang kemari? Membunuh kaum diluar persilatan jauh lebih mudah. Tapi kami tidak seperti itu…” selesai berkata demikian, Jalada menggengam satu batang emas murni yang mendadak berubah bentuk menjadi bola! Di tangan Jalada, emas murni itu seperti tanah liat yang sangat mudah di bentuk! Kemampuan seperti itu jelas pilih tanding! Belum tentu pendekar kelas atas bisa melakukan apa yang telah Jalada perbuat.

Senapati yang tadi menuduh Jalada diam terhenyak— antara terkejut dan takut. “Kami tidak mau ikut dalam pertikaian kerajaan, karena itu kami datang kemari untuk menyerahkan uang ini, dan sekaligus memberi peringatan.”

Widyabhre juga tampak termangu, tak pernah di sangkanya ada pihak yang ingin menjatuhkan kedaulatan Kerajaan Kadungga. Dia memang memahami ada sedikit gesekan dengan kerajaan tetangga—Kerajaan Rakahayu, tapi itu hanya soal kecil, seperti layaknya orang bertetangga—kadang seirama, kadang berbeda. Tapi, apa mungkin itu ulah mereka?

Nyata-nyata ucapan provokatif Jalada berhasil mencengkeram nalar mereka semua. Dengan banyaknya uang yang mereka bawa, ditambah lagi pameran kesaktian Jalada, jelas penuturan tadi, suka tidak suka dibenarkan oleh mereka. Widyabhre dan para petinggi meminta maaf untuk mengundurkan diri sesaat, demi melakukan rapat koordinasi secara kilat.

Hampir satu jam Jalada sekalian menunggu, akhirnya ketiga orang itu dikejutkan dengan kemunculan Sang Raja itu sendiri.

“Aku sudah mendengar perihal kedatangan kalian. Pertama-tama kuucapkan terima kasih atas niat baik tuan sekalian. Kedua, sebagai penghargaan dan tawaran persahabatan dari kami, ingin kami mempersembahkan sedikit cenderamata yang mungkin tidak berharga.” Lalu dari dalam, muncul seseorang yang membawa sebuah nampan, wajah orang itu terlihat muram—dia sang bendahara. “Ini adalah sebuah kunci kereta yang bisa anda sekalian bawa pulang, sebagai niat baik kami…” Jalada saling pandang dengan Ki Alih dan Cambuk. “Maksud sinuhun?”

“Meski tidak sebanyak milik kalian, kami berminat mengikat persahabatan dengan kalian, keluarga keenam, sebagai rasa terima kasih dan penghargaan atas niat baik saudara sekalian.”

“Lalu… kereta-kereta itu?” Tanya Jalada dengan suara tak lagi tegas.

“Silahkan bawa kembali…” ujar Sang Raja dengan berwibawa.

Ki Alih dengan terburu-buru menerima nampan yang beris kunci terbuat dari emas, dan selanjutnya Cambuk meletakkan sebuah seruling bambu yang terbuat dari bambu wulung, lubangnya tepat enam buah.

“Niat baik sinuhun benar-benar membuat kami terharu. Sebagai gantinya, ini adalah panji kebesaran kami. Dengan ini, jika sewaktu-waktu sinuhun membutuhkan bantuan, kami akan segera datang… cukup letakkan saja seruling ini pada tempat paling tinggi di kerajaan ini.”

Sang Raja menerima seruling itu, lamat-lamat tercium bau harum lembut yang melenakan. Cambuk menyerahkan kain berwarna kuning untuk membungkus seruling itu, dia menjelaskan sekelumit kegunaan kain itu, supaya mempertahankan aroma harum. Sang Raja terlihat sangat senang, kehilangan harta benda lebih dia sukai, dari pada harus bermusuhan dengan golongan persilatan, kaum pembunuh pula—sesuai pengakuan Jalada. Apalagi kini mereka mendapatkan dukungan dari Keluarga Keenam. Setelah bertamu hampir dua jam lamanya, akhirnya ketiga orang itu meminta diri. Sebelumnya iring-iringan kereta berukuran sedang hanya berjumlah enam belas. Kini ketembahan satu, kereta mewah berukuran ekstra besar. Meski Jalada sekalian tidak memeriksa isinya, tapi mereka tahu… kereta yang harus ditarik dengan delapan ekor kuda berperawakan perkasa itu, pastilah isinya sangat menggiurkan.

Kepergian mereka di iringi tatapan penuh kebencian sang bendahara, sungguh dia ingin sekali membacok mampus mereka satu per satu. Tapi, jika mengingat racun dari pemuda yang suka tersenyum itu—Jaka Bayu, tubuhnya terasa lemas. Sudah jatuh tertimpa tangga, di injak-injak pula, benar-benar apes!

===o0o===

Iring-iringan itu memasuki kawasan hutan, di sana Jaka Bayu sedang duduk menanti bersama Ekabhaksa.

“Aku kalah!” kata Jalada dengan raut wajah gusar.

“Ah, jangan di pikirkan… toh bukan aku yang minta taruhan ini…” kata Jaka tertawa.

“Katakan apa maumu?” desak Jalada.

“Aku tidak mau apa-apa, aku cuma mau Paman Jalada bersikap terbuka saja, dan lebih murah senyum. Watu Agni atau Jalada, sama sikapnya. Kata orang, mudah tersenyum banyak rejeki. Buktinya sudah ada kan… paman baru memperaktekkan sedikit ilmu senyum saja sudah mendapatkan satu kereta super mewah dengan isinya yang wah…” “Sialan!” dengus Jalada sambil menggertak gigi, tapi melihat banyak orang tertawa, mau tak mau dia ikut tertawa pula.

Semua orang menjadi makin hormat kepada pemuda itu, tiap detail rencana yang di arahkan Jaka sebelum mereka menemui Penguasa Kerajaan Kadungga, seratus persen tepat, tanpa meleset sedikitpun! Memangnya, strategi apa yang dibuat Jaka?

=o0o=

114 – Domino Effect : Semilir Angin Sebelum Badai

Pikiran manusia memang aneh, untuk beberapa alasan tertentu, semula Jaka begitu ngotot untuk mendapatkan harta Sandigdha, tapi setelah di dapat, dia tidak terlalu bersemangat. Atusiasnya entah menguap kemana, semua orang bisa merasakan itu. Tapi tak satupun menanyakan itu pada Jaka, sepanjang perjalanan menuju persembunyian akhir, pemuda ini tidak berkata sepatah katapun.

Dalam benaknya, Jaka sudah memiliki rencana. Itulah sebabnya sebelum mereka menjumpai para pimpinan Kerajaan Kadungga, Jaka mengusulkan dengan hati-hati cara ‘membuang’ harta itu. Tentu saja pemuda ini harus hati-hati dalam menyampaikan idenya, sebab begitu banyak orang terlibat dalam aksi kali ini. Setiap individu membutuhkan dana untuk meneruskan kehidupan masing-masing.

“Untuk apa harta sebenyak ini?” tanya Ki Alih dengan termangu-mangu, menyaksikan Jaka yang sedang membuka dan memeriksa tuas pintu kereta dengan hati-hati. “Siapa yang menginginkan silahkan ambil, cuma kalau bisa, aku berpesan kepada paman sekalian untuk mengeluarkan satu dari sepuluh bagian untuk orang yang membutuhkan.” Sahut Jaka tidak berpaling, pemuda ini dengan hati-hati membersihkan tiap tempat yang terindikasi tersentuh racun.

“Kau sendiri?” tanya Ki Alih.

Pemuda itu menggumam, “Aku tidak butuh...”

“Hh.. sombong!” dengus seseorang membuat Jaka menoleh. Seulas seringaian serba runyam menghiasi wajahnya.

“Kapan kau datang paman?” tanya pemuda ini pada Jalada.

“Sudah lama.” Ujarnya dengan nada tajam. “Aku membereskan orang-orang yang mencoba mengikutimu. Sungguh pekerjaan ceroboh, Sandigdha mungkin tidak terpandang olehmu, tapi keluarga dibelakangnya dan orang- orang yang mengincarnya, pasti tidak akan melepaskan gerakan orang itu barang sejengkal!”

Jaka mengangguk. “Aku menerima teguranmu dengan hati ikhlas, paman.” Katanya dengan wajah penuh senyum, tidak terlihat keterkejutan disana. Padahal Ekabaksha, Ki Alih dan Cambuk, sama terkejut mendengarnya.

Jalada mengerutkan dahi. “Tapi tampangmu, seperti tidak ikhlas!” ketusnya lagi. Jalada sebenarnya ingin mengatakan, ‘kenapa kau tidak terkejut’, tapi egonya tidak menghendaki demikian. Jaka tertawa, dia memberesi kain dan peralatan untuk ‘menangkap’ racun. Pekerjaannya membersihkan racun selesai sudah. “Gerakan kita demikian kasar dan kasat mata, dalam pandangan anggota kita yang lain, aku menduga paman Jalada akan menaruh perhatian khusus. Dan terima kasih untuk semua penyelesaian akhir.”

Gigi Jalada berderak. Sungguh sulit membuat Jaka, ‘skak mat’, tidak tahunya urusan ‘pembersihan akhir’ juga sudah dalam perhitungan Jaka. “Kapan sih rencanamu gagal?” tanya lelaki tinggi besar ini seraya mengambil tempat duduk di samping Ki Alih.

Jaka tersenyum kecil, “Rencanaku tidak pernah berhasil.” “Heh?!” Jawaban pemuda itu membuat mereka

mengerutkan alis.

“Paman sekalianlah yang membuatnya berhasil, aku hanya menempatkan pribadi dan memilih waktu yang tepat saja.” Sambung Jaka lagi dengan tawa kecil.

“Dasar...!” gerutu Jalada.

“Tapi, jika paman menginginkan rencanaku gagal total, kali ini mungkin ada kesempatan...” tiba-tiba Jaka melontarkan ide nyeleneh. Mana ada orang mendiskusikan kegagalan rencana kelompok pada anggotanya sendiri?

“Kau bicara apa?” tanya Ekabaksha yang dari tadi menjadi pendengar, kali ini tak kuasa menahan diri untuk bicara.

Pemuda ini tidak menjawab, tapi dia melirik pada Jalada, si Baginda. Jaka cukup bisa menyelami kepribadian lelaki yang harga dirinya selangit itu. Sangat sulit membuatnya bertaruh, disaat-saat seperti ini Jaka bisa melihat ada kesempatan untuk ‘sedikit merubah’ sikap Jalada yang terkadang sombongnya minta ampun.

Alis Jalada nampak menjengit, satu-satunya keinginan dirinya sejak mengenal Jaka, adalah membuat pemuda itu ‘merasa apes’, menyerah dengan keputusannya. Tapi sejauh ini, Jalada tidak pernah menemukan celah yang tepat. Dan sungguh aneh, kali ini dia seolah melihat satu kesempatan besar tergelar didepannya. Dia tahu, otak setan Jaka pasti memiliki muslihat, tapi persetan! Kalau memang ada sesuatu yang membuat rencana Jaka gagal, kenapa tidak dia manfaatkan momentum ini?

“Baik! Aku akan menantangmu bertaruh.” Kata Jalada cepat.

Jaka mengangkat bahunya, “Terserah.”

“Tentang rencanamu yang ada kemungkinan untuk gagal, katakan padaku!”

Ki Alih dan yang lainnya saling pandang, mimik mereka seperti hendak menahan tawa menyaksikan cara Jalada yang kekanak-kanakan. Apalagi mereka bisa menebak, bisa dipastikan Jaka sedang memasang muslihat untuk Jalada, tapi seperti apa, mereka tidak pernah dapat menebaknya.

Jaka menatap mereka sekilas. “Dengar baik-baik, aku akan membuat harta dalam enam belas kereta ini, bertambah. Tidak kurang dari dua malam!”

“Omong kosong!” seru Ekabaksha dan lainnya hampir bersamaan, sementara Jalada tersenyum. “Kau akan menambahnya berapa banyak?” tanya Jalada.

Jaka memiringkan kepalanya. “Paling tidak, satu kereta ini lagi.”

Jala tertawa panjang. “Baik-baik! Aku menerima ini!” serunya dengan cepat, takut Jaka berubah pikiran. “Apa taruhannya?”

“Terserah...” jawab Jaka santai.

“Kalau begitu akan kutentukan pada saat waktu taruhan ini berakhir.” Kata Jalada dengan pasti, dia yakin benar Jaka akan kalah. Siapa orangnya yang sanggup menggandakan harta sebanyak emas satu kereta dalam waktu dua malam?

“Boleh... itu juga baik. Tapi ada syaratnya, kalian harus menuruti setiap rincian rencanaku ini.”

“Tidak masalah.” Jalada menyahuti permintaan Jaka tanpa pikir panjang.

...dan Jaka menuturkan rencana seperti yang telah terjadi. Mereka diharuskan membawa seluruh harta dalam kereta dan serahkan kepada Kerajaan Kadungga, gertak dengan ancaman bahwa ini adalah harta bayaran dari pihak yang menginginkan keruntuhan sebuah pemerintahan, dan seterusnya, setiap detail rencana Jaka dijelaskan demikian runtut, membuat Jalada mulai khawatir bahwa pemuda itu sukses lagi. Dan ternyata, benar!

===o0o===

Keluarga Keenam, istilah itu baru lahir beberapa saat yang lalu dari mulut Jaka, tapi tak lebih dari tiga hari, nama Keluarga Keenam ini sudah menjadi buah bibir, kalangan bawah tanah. Hal itu terjadi karena begitu banyaknya pihak yang berkepentingan disekitar Kerajaan Kadungga menyadap informasi kedatangan iring-iringan enam belas kereta, dengan sendirinya mereka bersusah payah mencari tahu siapa pemilik iring-iringan yang luar biasa itu.

Semula, bagi Sadigdha sendiri istilah itu hanya omong kosong belaka, meski dia takut dengan ancaman racun yang ‘bersarang’ dalam tubuhnya, tapi itu tidak menghindari dirinya untuk melacak keberadaan Jaka. Tapi, baru saja dia memberikan titah rahasia kepada anggota mata-mata terbaiknya, tak lebih dari satu jam, orang suruhannya itu sudah kembali dalam keadaan telanjang, dan dalam keadaan tertotok! Betapa terkejutnya sang kasir, dengan terburu-buru, dia harus segera menutupi jejak keberadaan suruhannya.

Rasa penasaran, masih mencengkeram hati Sandigdha, beberapa jam kemudian dia kembali menitahkan empat orang sekaligus, tapi.. merekapun mengalami nasib yang sama. Rasa takut diam-diam menyelinap dalam hati, bisa saja dia melakukan hal yang lain dengan meminta tolong jaringan dalam keluarganya, tapi jika itu sampai ketahuan, dia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Jaka, padanya. Istilah Keluarga Keenam, kali ini mau tak mau, Sandigdha mempercayainya sepenuh hati. Secara rahasia, Sandigdha hanya mengutus kurir dengan menuliskan tentang kehadiran Keluarga Keenam dan ciri-ciri anggotanya, bahkan dia menyertakan serpihan dari emas yang sempat dilumerkan oleh Jalada, untuk dianalisis oleh keluarganya. Secara licik, Sandigdha menjatuhkan noda untuk Jaka—dengan jaringan Keluarga Keenam-nya, bahwa; pemuda itulah yang membunuh kerabat mereka di kandang sapi—salah satu gudang penyimpangan Keluaraga Tumparaka. Rencana cuci tangan yang hebat, mengingat anak buahnya tak mungkin buka mulut mengenai kejadian sebenarnya, karena mereka bersama dirinya sama-sama terkena ‘racun’ buatan Jaka Bayu.

Sampai matipun Sandigdha tak pernah menyangka, yang membuat utusannya berkali-kali kalah tanpa busana begitu, tak lain karena perbuatan si Kambing Hitam—Sembilan Belantara! Bukan Jaka Bayu.

Sembilan Belantara-pun tidak menyangka, orang yang dia ganggu, merupakan salah satu unsur kejutan dari sang majikan, yang ‘difungsikan’ kembali melalui Dua Bakat. Sambil ‘mengganggu’ Sandigdha, Sembilan Belantara tidak pernah melupakan tugasnya untuk mencari jejak murid sang junjungan.

Dilain pihak, lelaki yang memiliki pukulan aneh itu mencermati perkembangan ini dari kejauhan dengan hati terkesip. Pertemuan saat utusan Keluarga Keenam datang, diapun turut hadir, telah dirasakan olehnya, para utusan itu memiliki kehebatan yang tak bisa secara ceroboh dia simpulkan kemampuannya. ‘Keluarga Keenam, siapa mereka sesungguhnya?’ dia berpikir untuk menanyakan itu pada sang guru yang sudah ‘dibuangnya’, tapi niat itu diurungkan, dia lebih baik berkonsenterasi memulihkan diri. Mungkin, Dua Bakat sekalian sebentar lagi akan menemukan jejaknya untuk melonggarkan totokan di jantung mereka. Tenaga mereka yang sangat ahli, bisa dimanfaatkan untuk mencari jejak Keluarga Keenam.

Semua urusan menjadi saling silang, tumpang tindih, bersinggungan, tanpa mereka sadari kenapa itu terjadi. Satu-satunya yang bisa memandang kejadian yang makin rumit itu dengan lebih jernih, adalah penanggungjawab Nekawarnnarengit. Krah baju Nekawarnnarengit sudah dia temukan, dengan sendirinya jejak sang tersangka— Sandigdha, sudah bisa dia cium. Cuma saat ini dirinya belum bisa menjumpai sang kasir untuk ‘bertanya’, kenapa membunuh anak buahnya. Karena diwaktu bersamaan, dia menyaksikan Sembilan Belantara, mengandaskan tiap upaya Sandigdha. Sebagai orang yang sudah biasa menyusup kedalam bentuk kerusuhan yang sedang dan akan terjadi, satu-satunya hal paling tepat adalah dengan menahan diri. Dia tak ingin ceroboh mencampuri jeratan tali temali masalah yang belum diketahui ujungnya. Tapi, sampai disinipun dia sudah mendapatkan kesimpulan sementara, bahwa; Keluarga Keenam ada dibalik semua kejadian.

Sambil berlalu, Penanggungjawab Nekawarnnarengit memasukkan kesimpulan analisisnya di kerah baju dan lipatan celananya. Standar operasi dalam Kwancasakya memang demikian, informasi adalah nomor satu, nyawa nomor sekian. Sungguh sayang, Kwancasakya yang terbiasa mendapatkan informasi dengan tepat dan cepat pun, kali ini dipaksa mengambil kesimpulan salah.

===o0o===

Perubahan situasi dalam tiga hari benar-benar membuat Jaka Bayu merasa cukup puas dengan muslihatnya. Nama Keluarga Keenam benar-benar diperhitungkan, akan tiba masanya, para pengganas yang membunuh teman-temannya, datang untuk sekedar ‘memeriksa’ kebenaran berita Keluarga Keenam. Tapi ada kecemasan pula merambat dalam hati. Kondisi tetua dari Perguruan Enam Pedang—Phalapeksa, makin mengkhawatirkan, kalau bukan karena caranya yang unik dan sangat efesien untuk menyambung nafas sang tetua, mungkin malaikat maut sudah siang-siang bersalaman dengan orang tua itu. Penikam yang beberapa saat sempat bersinggungan dengan sang tetua—dengan membantu Jaka memindahkan tubuhnya kelain ruangan, ternyata tertular racun itu.

Untung saja Jaka cepat tanggap, dia bisa mengatasi kejadian tak disangka-sangka itu. Meski kondisi Penikam bisa di pulihkan—karena efek racun yang terkontaminasi terlalu singkat, tetap saja membuat Penikam harus beristirahat paling lama dua minggu. Ini membuat Jaka menghela nafas dalam, merasa prihatin. Metoda melacak informasi yang dimiliki Penikam, jelas tak bisa ditiru, mau tak mau Jaka harus mencari informasi dengan caranya sendiri.

Tapi seperti apa yang di yakini Jaka selama ini, bahwa; di balik kesulitan ada kemudahan. Kejadian tertularnya Penikam, menyadarkan Jaka tentang kesimpulan yang diungkapkan Ekabaksha sebelumnya, yakni; Phalapeksa, kemungkinan diletakkan begitu saja oleh seseorang di perbatasan kota. Jika orang itu bukan sosok yang penting—yang memiliki pemunah tersendiri, tentu sekarang orang itu sedang berkutat dengan efek racun yang sudah menulari dirinya.

Secercah ide itu cukup bagi Jaka untuk memulai pencarian. Pemuda ini sudah memiliki tujuan yang pasti, kemana harus pergi.

===o0o=== Situasi di seputaran Kerajaan Kadungga begitu tenang, sangat tenang malah, membuat tiap orang merasa gelisah. Bahkan Perkampungan Menur yang bergiat membuat ragam senjata, harus menghentikan kegiatannya. Ini disebabkan perintah dari Sandigdha, yang menyuruh mereka untuk bersiaga.

Sementara Dua Bakat telah bertemu dengan sang majikan, tak jauh dari batas terluar Kerajaan Kadungga, dia melaporkan semua kejadian yang dialami, termasuk beberapa benda yang dia dapat.

“Tuan, saya tidak tahu untuk apa semua ini... mohon petunjuk.” Kata Dua Bakat dengan gelisah dan sesekali terbatuk, dadanya sesekali terasa sesak. Bagaimana mungkin dia tak gelisah, sementara waktu yang dihabiskan sudah sebelas hari, artinya dia tinggal memiliki tiga hari sisa untuk segera melonggarkan totokan di jantungnya, padahal jejak murid tuannya-pun tak dia miliki jejaknya. Bayang-bayang kematian sudah menari dalam benak.

Sang majikan memperhatikan kotak kecil dan dua bungkusan kain lainnya, dalam kotak yang diberikan oleh Sandigdha, ada beberapa lembar rontal yang menjelaskan bagaimana semua itu harus dilaksanakan.

“Hm, kau menjauh lebih dulu.” Sahut sang majikan dengan singkat membuat, Dua Bakat segera beringsut menyingkir.

Lelaki tua itu memperhatikan baris demi baris tulisan. Sebenarnya dia tidak perlu membacanya, sebagian tiap huruf dia masih ingat betul, karena yang menggoreskan huruf demi huruf adalah dirinya dan dua orang tokoh lain, mereka menuliskan dalam waktu yang berbeda. Ada semacam keharuan yang terbersit dalam wajahnya, dari tempatnya berdiri Dua Bakat bisa melihat mata majikannya seperti berkilau. Wajah bijaknya kini tersaput kekejian, yang dulu— hingga kini, membuat dirinya tunduk.

Meski dia masih hafal tiap kalimatnya, tapi demi menghindari kesalahan, setiap patah kata dibaca ulang sampai tiga kali, begitu hatinya merasa mantap, lelaki tua itu kembali menyadari; masalah yang dulu menghantui kegagalan percobaan mereka adalah; tiadanya benda-benda yang dibutuhkan dalam tulisan itu. Penyelidikan atas benda-benda yang mereka butuhkanpun sudah dilakukan sejak empatpuluh tahun lampau, sayangnya pada saat duapuluh tahun setelahnya; disaat mereka menemukan ketiga benda yang dibutuhkan, pemilik Pedang Tetesan Embun menceraiberaikan mereka! Demi menghindari benda-benda itu jatuh ketangan pemilik Pedang Tetesan Embun, mereka berinisiatif untuk menyerahkan masing-masing benda itu kepada orang-orang yang dipercaya.

Dan dua puluh tahun itu kini sudah terlalui. Tangan lelaki tua itu nampak bergetar karena terlalu emosional. Dalam sudut hatinya, dia masih mengkhawatirkan... kalau-kalau Pemilik Pedang Tetesan Embun akan muncul dan merebut benda itu.

Setelah menenteramkan perasaannya, lelaki itu itu menggengam, ketiga butir parwwakalamahatmya (Parwwakala=waktu matahari, bulan, bumi ada dalam satu garis lurus; gerhana. Mahatmya=mematikan. Secara harfiah=gerhana yang mematikan) dengan hati-hati. Rencana kali ini harus berhasil! Ketiga butir yang berwarna Merah- Hijau-Hitam adalah purwarupa dari racun aneh yang di ciptakan oleh angkatan sebelum dirinya, di tempat dan waktu yang berbeda. Ketiga benda itu merupakan salah satu dari peninggalan Tabib Malaikat, Tabib Dewa dan Maha Racun. Menurut catatan yang pernah dibacanya, benda itu tidak ada gunanya kalau tidak disatukan. Dan kotak yang diperoleh Dua Bakat dari Sandigdha adalah alat yang berfungsi untuk menyatukan ketiga butir peninggalan tokoh-tokoh yang pernah menggemparkan jagad persilatan di masa lampau. Dengan sendirinya, karena ketiga butir parwwakalamahatmya itu belum pernah dicoba keampuhannya, lelaki tua inipun tidak yakin dengan keistimewaannya. Waktu yang telah menggerus ketiga butir parwwakalamahatmya, apakah masih menyisakan kehebatan sesuai dengan catatan yang pernah dibacanya?

Dalam kotak kecil, ada tiga slot berukuran sama persis dengan butir ukuran parwwakalamahatmya, tiap slotnya tertera keterangan warna. Pada saat itu Dua Bakat melihat majikannya hendak memasukkan warna hitam terlebih dahulu.

“Tu.. tuan, tunggu sebentar.” Seru Dua Bakat terburu-buru, dia ingin mendekat, tapi tatap mata garang sang majikan menghentikan laju langkahnya.

Wajah sang majikan nampak tidak senang. “Ada apa?” ujarnya ketus.

“Ma-maaf tuan, saya lupa menyampaikan keterangan dari salah satu orang yang menyimpan benda itu.”

Wajah kesal lelaki tua itu nampak berangsur-angsur menghilang. “Sebutkan..”

“Gunakan sebelum hijau.” Kata Dua bakat mengulangi penjelasan si pande besi, dimana dirinya mendapatkan satu butir parwwakalamahatmya warna merah. “Jadi menurut saya, urutannya adalah; Merah-Hijau-Hitam.”

Sang majikan nampak tercenung sesaat. “Baiklah, kau bisa kembali ketempatmu.”

Dua Bakat mengangguk dengan sedikit rasa lega, tapi ketegangan masih membayang di pelupuk matanya. Dia bisa meraba, apa yang dilakukan sang majikan ternyata adalah sebuah eksperimen; yang kesempatan gagal, sama besarnya dengan kemungkinan sukses.

Meski ingin dilihat santai oleh anak buahnya, tidak bisa tidak hatinya merasakan sebuah ketegangan yang sudah lama dilupakannya. Warna merah sudah masuk kedalam slot yang tersedia, dan detik itu juga terkunci di dasar kotak, demikian juga warna hijau dan kemudian hitam secara berturut-turut. Lama, lelaki tua itu menunggu terjadinya reaksi, tapi tidak juga terjadi.

“Apa mungkin catatan itu salah?” pikirnya dengan heran. Jika sang majikan memikirkan cara menyatukan benda itu,

lain lagi dengan pikiran Dua Bakat, sebenarnya apa yang ingin dicapai dari ketiga benda itu? Jika dugannya tidak salah, kemungkinan besar ketiga benda itu merupakan perpaduan racun. Dia paham betul, sang majikan adalah ahli racun, selama perantauannya, dia belum pernah menyaksikan seorang ahli selain majikannya. Dengan kemahiran racunnya di kolong langit ini, siapa lagi yang layak dia takuti selain Pemilik Pedang Tetesan Embun?

Hampir satu jam, lelaki tua itu menekuri kotak kecil yang terbuat dari campuran batu pualam dan besi pilihan itu. Dengan hati-hati di putarnya dasar kotak, memang ada semacam tuas mekanik, yang membuat dasar kota bergeser kekiri dan kekanan secara simultan namun terbatas, tetapi setelah di gerak-gerakan beberapa puluh kali, tetap tidak ada reaksi!

“Keparat!” geramnya, membuat Dua Bakat menyingkir jauh- jauh. Di masa lalu, kemarahan majikannya bisa membuat anak buahnya harus ‘pensiun dini’. Hawa beracun akan menyambar dari desakan hawa murninya, itu sangat cukup membuat orang-orang yang tidak memiliki dasar pengenalan terhadap racun, lumpuh seketika.

Karena tidak memiliki pilihan lain, lelaki itu itu melemparkan kotak itu hingga menghantam sebongkah batu.

Prak!

Benturan kotak dengan batu, membuat jantung Dua Bakat berdesir miris. Dia merasa apa yang dilakukannya untuk mengambil ketiga benda itu sama sekali tidak berguna. Tapi, sebuah pemandangan yang menakjubkan membuat mereka berdua harus menyingkir jauh-jauh dan menyaksikannya dari jarak tertentu.

Rupanya lapisan bagian bawah kotak, tanpa sengaja bergeser kekanan dan kiri dalam kombinasi acak yang akhirnya membuat kotak penggabung ketiga butir parwwakalamahatmya berfungsi. Trak-trak-krak! Bunyi berderak-derit silih berganti memecah sunyi. Kejap berikut asap dengan tiga warna—Merah-Hijau-Hitam, membumbung satu tombak, saling membelit, seolah asap itu mahluk hidup. Proses itu membuat lima tombak radius asap, layu dan bugar, silih berganti. Dua Bakat bisa melihat, batang pohon trembesi didekat asap aneh itu berwarna hitam legam mengeras layaknya batu, dan dikejap berikut menjadi lembek layaknya batang pisang. Lalu kembali normal.

Lelaki itu itu nampak berkerut, kedua tangannya menakup dengan satu getaran yang membuat Dua Bakat kembali menyingkir menjauh. Asap tipis bagai embun menggumpal sampai sebatas lengan sang majikan. Dengan termangu- mangu, Dua Bakat hanya bisa menyapukan kekaguman lewat tatapan mata. Sebuah pameran Ilmu Suksmasukabhitahetu (kegaiban penyebab suka dan duka) terpapar dengan dahsyat. Dimasa lalu, dia pernah menyaksikan dua kali, ilmu itu menunjukan keganasannya. Ilmu itu dapat membuat lawan terlena, membeku, bahkan tidak merasakan apapun saat menjelang kematiannya, mayat sang lawan biasanya akan menimbulkan rona wajah senyum. Pada puncaknya, kabut akan menyelimuti sekujur tubuh hingga akhirnya hanya menimbulkan satu gelombang fatamorgana yang menyelimuti tubuh, penampilannya seperti diselimuti hawa panas yang amat sangat, tapi ternyata tidak, serasa dingin membekukan, namun tidaklah demikian. Hawa hangat, ya... hawa hangat yang muncul menggebu dari kabut yang menggumpal dari lengan sang majikan membuat Dua Bakat beringsut makin menjauh. Hawa hangat itu akan menimbulkan satu sebab kebalikan dari biasanya; membekuan tubuh, sebelum akhirnya akan menyendat seluruh aliran darah, dan memecahkan pembuluh.

Nampaknya sang majikan sedang melakukan sebuah eksperimen terhadap asap itu, terbukti, saat ini dia tidak mengerahkan dalam tataran tinggi—meski hal itu bisa membunuh dirinya jika terlalu dekat. Asap setinggi satu tombak yang saling memilin itu, mendadak menyambar si lelaki tua. Dua Bakat memekik kaget, kecepatan sambaran asap itu benar-benar membuat dirinya tidak percaya, ada benda (asap) yang menyerupai mahluk hidup. Kecepatan sambaran asap tiga warna itu, bahkan dirinya belum tentu bisa melakukannya.

“Hiaa!” teriakan tertahan dari sang majikan, mengalihkan pandangan Dua Bakat dari asap itu, nampak dari tangan sang majikan kabut yang menggumpal dilontarkan keatas dengan diikuti lesatan tubuhnya kebelakang.

Duar!

Asap tiga warna meliuk mengikuti arah kabut Pukulan Suksmasukabhitahetu, begitu benturan terjadi, lelaki tua ini secara bertubi-tubi menyerang kotak itu, dengan sendirinya ketiga asap yang sebelumnya menumbuk pukulan pertama, segera terpancing dengan kabut yang mengarah pada kotak, akibatnya...

Creees!

Suara bagai bara masuk kedalam air, membuat kuduk Dua Bakat berdiri. Sebab dia bisa merasakan ada damparan gelombang yang cukup membuat kulitnya mengencang. Kotak yang terhantam sulur asap itu, mengeluarkan cahaya hijau tua. Berpendar terang, dan akhirnya meredup, bersamaan dengan menipisnya asap tiga warna itu, hingga akhirnya berangsur-angsur hilang.

Sebuah tawa kecil, terlontar dari mulut sang majikan. “Sempurna...” gumamnya dengan mata bercahaya, sepertinya dia sudah mendapatkan hal yang diinginkan. Telapak tangannya masih diselimuti kabut ilmu Suksmasukabhitahetu, kotak itu dipegang dengan eratnya, seolah-olah itu adalah benda paling berharga.

Dua Bakat jelas tidak berani mengganggu suka cita sang majikan. Benaknya sibuk menduga-duga, entah berfungsi sebagai apa benda dalam kotak kecil itu?

“Kau!” tiba-tiba saja sang majikan memanggilnya, membuat Dua Bakat mengeregap.

“I-iya tuan...” sahutnya seraya mendekat dengan ragu. “Sekarang, adalah saat untuk tugas utama!” Tegas lelaki

tua itu.

Rasa takut menyelinap dalam hati Dua Bakat. Entah tugas apa yang harus dia emban, jika berhubungan dengan benda misterius dalam kotak, seolah-olah dia akan menuju tempat paling mengerikan didunia.

“Pergilah ke Lembah Halimun...”

“Aaaah...” Dua Bakat mengeluh. “Apakah maksud tuan, Lembah Halimun yang itu?”

“Tidak ada Lembah Halimun kedua, selain tempat tinggal Swara Nabhya!”

Wajah Dua Bakat memucat, Swara Nabhya, adalah golongan yang pantang di ganggu, sama dengan Riyut Atirodra, golongan ini akan membalas gangguanmu sampai kau meminta mereka untuk membunuh dirimu. Belum pernah ada orang yang pernah bertemu secara langsung dengan mereka, entah mereka lelaki atau wanita, entah tua atau muda, tiada yang tahu. Dan pastinya, tiap orang yang berurusan dengan Swara Nabhya selalu memiliki akhir cerita sedih, tak satupun kisah akhir yang bahagia, beredar di dunia persilatan jika menyangkut Swara Nabhya.

“Me-mengapa harus mereka, tuan? Ap-apakah tua-tuan memiliki dendam dengan mereka?” tanya Dua Bakat dengan raut kecut.

“Diam!” bentak sang majikan dengan wajah menampilkan rona keganasan di masa lalu, membuat Dua Bakat mengkeret ketakutan. “Kau mau terima tugas ini atau tidak?!”

“Te-tentu... ta-tapi, mungkin sebelum saya sempat menunaikan tugas, kematian akan menjemput lebih dulu.” Kata Dua Bakat dengan suara lirih.

Gigi sang majikan nampak bergemeletuk, kemarahan amat sangat sempat menyelimuti hatinya. Dia sadar, yang dikawatirkan bawahannya itu adalah karena perbuatan sang murid. ‘Kau benar-benar membuatku susah!’ geramnya dalam hati menyumpahi muridnya.

Berkaitan dengan tugas menuju Lembah Halimun, jelas hanya bisa dilakukan oleh Dua Bakat, Swara Nabhya tidak semenakutkan Riyut Atirodra atau memiliki anggota mata- mata bertebaran seperti Kwancasakya, tapi keberadaan orang-orang dari Lembah Halimun bisa dimana saja. Belum pernah ada orang yang lolos dari incaran mereka. Tapi Dua Bakat yang memiliki kemahiran menyamar dalam hitungan detik, bisa memperbesar kemungkinan sukses untuk menyusup kedalam Lembah Halimun. Tapi saat ini, kondisi Dua Bakat jelas mencemaskannya. Dia bukan orang yang memiliki belas kasihan. Dirinya cemas karena takut rencananya gagal lagi. Untuk mencari jejak muridnya jelas bukan urusan gampang, meski Dua Bakat sekalian menemukan orang itu, belum menjadi jaminan juga, si murid akan memberi kelonggaran.

Sang majikan menghela nafas panjang-panjang, dia mencoba membuang rasa gusarnya dalam satu helaan nafas. “Kau baca ini dulu, camkan dan jangan sampai terlupa!” katanya sambil menyimpan kotak berisi parwwakalamahatmya yang telah menyatu.

Dengan tangan gemetar, Dua Bakat membaca catatan yang sebelumnya berada di dalam kotak. Ternyata dua lembar yang di berikan sang majikan, adalah cara mendapatkan sesuatu dari dalam Lembah Halimun. Berulang kali mata Dua Bakat harus terbeliak, dan keringat dingin mengucur deras.

“Ja-jadi ini tugas saya?” tanyanya dengan suara serak. Sang Majikan mengangguk.

Dua Bakat sadar, dia akan menjadi ujung tombak rencana berdarah. Kehidupan ‘dalam pengasingan’ selama dua puluh tahun, cukup menyisipkan sepercik ketenangan dalam hatinya, sungguh tak disangka saat ini dia akan melakukan sebuah dosa yang mungkin belum pernah dilakukan siapapun. Jika rencana majikannya sukses, benda dalam kotak itu, bisa membuat punah kehidupan dalam satu lembah, bukan sembarang lembah. Tapi, Lembah Halimun! Tempat Swara Nabhya bersemayam. Dua Bakat membayangkan, dirinya menjadi jagal dari belasan—mungkin puluhan, mungkin ratusan—kehidupan yang ada didalam lembah itu. Dari manusia sampai hewan!

Keringat dingin makin menitik deras. Tiba-tiba Dua Bakat merasa sangat sulit untuk menelan ludahnya.

“Kabut dalam Lembah Halimun bukan sembarang kabut, itu alasannya kenapa aku menggunakan ilmu Suksmasukabhitahetu untuk mencoba keampuhan parwwakalamahatmya. Fungsi parwwakalamahatmya pada Lembah Halimun, sama seperti besi dengan sembrani, saling mengikat. Setiap barang bernyawa yang diselimuti kabut, dalam lembah itu akan musnah saat kau meletakan parwwakalamahatmya tepat pada pusat kabut. Racunnya akan menjalar melalui setiap titik kabut!”

Dua Bakat hanya mengangguk lemah. ‘Itu akan berhasil, jika aku sudah menuju tempat itu.’ Pikirnya pesimis. Entah kenapa, pesimisme akan kegagalan membuahkan setitik kegembiraan. Diapun merasa aneh saat hatinya membesitkan perasaan lega, mengetahui kegunaan parwwakalamahatmya hanya berfungsi optimal di Lembah Halimun saja.

“Dan selanjutnya apa?” sang majikan mengujinya.

“Saya harus mencari tempat yang ditengarai sebagai penyimpanan benda-benda yang berada dalam pengawasan Swara Nabhya.”

“Kau sudah tahu apa yang akan diambil?” cecar sang majikan.

“Saya sudah mengingatnya dalam hati.” Sahut Dua Bakat mencoba bersemangat. “Baik, jika kau sudah merasa siap, aku akan mencari jalan untuk memunahkan totokan muridku.” Kata sang majikan. “Ikuti aku!”

Pandangan Dua Bakat menerawang kosong, mengikuti punggung sang majikan yang makin menjauh, terburu-buru dia berlari mengikuti jejak lelaki tua yang memiliki maksud misterius itu. Maksud yang Dua Bakat tahu; amat-sangat- jahat! Sungguh aneh, keraguan yang menyelinap dalam hati— atas rencana jahat itu, tetap saja tak membuatnya bisa menolak maksud sang majikan.

===o0o===

Jaka mengunjungi toko obat di seluruh penjuru Kota Skandhawara, dia mencari beberapa jenis ramuan—yang dalam dugaannya, dipastikan habis. Dan ya! Ada tiga jenis ramuan yang tidak bisa Jaka temukan di tiap toko. Pemuda ini menghembus nafas lega.

“Terima kasih, paman...” gumamnya merasa bersyukur, atas kesimpulan awal Ekabaksha dan kejadian tertularnya Penikam. Kali ini pemuda itu bisa meraba sedikit jelas. Obat yang habis itu jelas bukan digunakan oleh sembarang orang. Panas dan demam memang biasa menyerang siapapun, tapi jika tiga jenis ramuan (yang habis) itu dicampur, akan menjadi obat yang sangat cocok untuk melonggarkan pernafasan, dan meredakan tekanan darah—yang menyebabkan nafas memburu. Karena dengan obat itupula Jaka melakukan pengobatan terhadap Penikam—ditambah dengan beberapa jenis metoda pengobatan khas miliknya.

Orang yang mengetahui cara pengobatan tersebut, tentu paham pula bahwa dirinya harus berada di tempat yang bisa mengumpulkan hawa sejuk dan panas hampir bersamaan. Satu satunya tempat seperti itu di Kota Skandhawara, ada di sekitar Bendungan Çubham. Bibir pemuda ini mengembangkan senyumnya yang khas, matanya nampak berbinar. Dia merasa akan mendapatkan sedikit kejelasan dari nasib Phalapeksa. Entah Jaka sadar atau tidak, langkahnya tengah diikuti pandangan mata yang menatap dingin tiap gerak-geriknya.

=o0o=

115 – Domino Effect : Musibah dan Hikmah, Seiring Sejalan

Melewati Bendungan Çubham jelas menjadi masalah tersendiri, karena dalam satu hari hanya dibuka untuk umum menjelang senja saja. Jaka seharusnya melewati bendungan itu untuk sampai keseberang, tapi peraturan itu menyulitkannya. Dengan peringan tubuh jelas bukan masalah sama sekali, tapi pecicilan di siang bolong seperti ini, jelas bukan gayanya. Dia hanya memperhatikan situasi dengan seksama. Setelah berkeliling ke tiap toko obat untuk sekedar membeli beberapa ramuan dan menanyakan jenis ramuan tertentu, pemuda ini membeli joran pancing.

Bukan tanpa alasan Jaka melakukan semua itu. Di setiap langkahnya, dia yakin ada pihak yang sedang memperhatikan. Bukan karena pemuda ini merasa sangat tenar, tidak. Tapi karena alasan sederhana, ada orang yang ingin tahu, siapa yang memungut Phalapeksa.

Phalapeksa bisa saja dijadikan umpan. Bagi orang awam, Phalapeksa hanya lelaki tua yang jatuh sakit, jika kau menemukannya, paling akan segera lapor ke pihak berwajib; itu pertama. Kedua; manakala kalangan rimba hijau yang menolong orang tua itu, bisa jadi dia meninggalkan begitu saja atau berbaik hati pergi ke tabib terdekat, untuk memeriksa penyakit orang tua itu sebelum dia membuat berita acara kepada pihak berwajib. Ketiga; jika orang tua itu jatuh di kalangan cendekiawan rimba hijau, dia akan sangat tertarik menyelidiki sebab musababnya. Dan terakhir, bagi kalangan penggiat pengobatan, luka yang dialami Phalapeksa begitu langka dan sangat berharga untuk di teliti.

Jaka tidak termasuk dalam empat golongan diatas, namun sewaktu-waktu bisa dikategorikan pada salah satunya. Dia bebas menentukan langkah, bisa saja dengan ringan pemuda itu menyerahkan Phalapeksa ke tabib, dan selanjutnya masa bodoh. Masalahnya, hati pemuda ini terlalu lembek untuk bertindak setega itu, lain dari itu; racun yang menyerang Phalapeksa cukup familier baginya. Itu adalah salah satu racun yang menjadi PR baginya, karena sejauh ini belum bisa mencari formula yang tepat.

Jaka berjalan menyimpang dari bendungan, terus turun kepinggir sungai, untuk mengambil tempat. Kail sudah dia lempar, pekerjaan memancingnya kali ini akan mendapatkan beberapa hasil. Menunggu dengan melempar ‘kail’ memang spesialis Jaka. Caranya yang sangat bodoh dan terbuka, dengan bertanya ke tiap toko tentang jenis ramuan tertentu, pasti menarik ‘ikan’ yang akan dikailnya. Jika saat ini ada orang yang bertanya; ikan apa yang menjadi harapanmu? Jaka pasti akan menjawab; ikan berkaki dua.

Sudah beberapa kali joran di tarik dan dilempar lagi, tapi ikan masih juga belum memakan kailnya. Jaka mengharapkan ikan, dan ‘ikan’ bergegas mendekat. Bagiamanpun dia tidak memiliki waktu banyak, keadaan Phalapeksa cukup rentan ditinggal terlalu lama.

Tempat yang di ambil Jaka cukup tersembunyi dari pengelihatan orang, sungguh sebuah situasi yang tepat untuk berjumpa dengan seseorang.

Seseorang? Telinga Jaka mendengar daun kering bergesek, sepertinya normal. Tapi tidak bagi telinga Jaka, pemuda ini pernah cukup lama dipaksa menghabiskan waktu untuk menyelami hal yang paling remeh. Dia bisa membedakan mana gesekan daun kering dengan daun kering; dengan daun yang masih memiliki daya hidup; dengan ranting; bahkan macam-macam derak bunyi ranting patahpun dia bisa membedakan penyebabnya. Mengingat itu, seulas senyum pahit muncul dari bibirnya. Terkadang pengalaman yang kau anggap tidak berguna saat itu, akan berguna dimasa yang akan datang.

Gesekan daun kering itu terjadi karena menimpa benda yang seharusnya tidak ada disekitar sana. Gesekan itu menimpa baju. Tentu saja pohon tidak pakai baju. Jaka tidak bereaksi, dia tetap diam asik dengan kailnya. Diam-diam nafasnya dihela perlahan, lalu dengan tiba-tiba pemuda ini menggeliat, meregangkan kedua tangan lalu merebahkan badannya begitu saja. matanya melihat secercah sinar matahari diantara rerimbunan daun. Pemuda ini sempat memantau situasi di belakang, hanya sekejap saja.

Tiba-tiba Jaka melihat joran pancingnya bergerak. “Ah…!” serunya sembari bangkit, kailnya terlihat melengkung sesaat. “Dapat!” teriaknya girang. Disaat bersamaan, dengan sangat kasarnya Jaka menyendal kail, sampai-sampai joran pancingnya terlempar kebelakang tubuh! Gerak sendalnya cukup cepat, membuat seseorang yang bersembunyi di balik batang pohon, kaget. Mengira pemuda itu mengtahui persembunyiannya. Tali pancing pemuda itu menyasar ke arahnya! Sementara ikan dalam kail, sudah melayang lepas, jatuh tepat di muka Jaka.

“Sial!” Jaka memaki perlahan, bersamaan dengan itu terdengar pula umpatan tertahan. Bagi Jaka suara itu seperti bunyi petir ditelinga, tapi bagi orang awam, jelas tidak terdengar sama sekali. Jaka sedang memainkan peranan orang awam, tentu dia tidak perlu bereaksi.

Lelaki dengan tampang dingin dan kaku itu mendekati Jaka. Tentu saja sebagai orang awam, pemuda ini tetap tidak bereaksi, karena langkah itu sangat ringan. Dan itu cukup menimbulkan keheranan bagi lelaki dengan tatapan setajam sembilu itu. Tentu saja kesimpulan—bahwa, Jaka bukan kalangan persilatan pun, terbetik di benaknya.

“Siapa yang menyuruhmu?” nada yang dingin dengan suara berkeriyut seperti gesekan besi dengan besi membuat kuduk Jaka meremang. Tanpa perlu bersandiwara, pemuda ini sudah berjingkat kaget lalu membalikkan tubuh.

“K-kau siapa? Me-menyuruh apa?” Tanya Jaka dengan suara tercekat dileher. Meski sudah menduga ada orang yang akan mengikutinya, dia tidak pernah menyangka ada tampang manusia seperti pahatan batu, kaku, dingin dan mencerminkan kekerasan. Melihat orang itu Jaka seolah-olah sedang melihat pengkristalan sikap buas.

“Kau sibuk berkeliling mencari ramuan, siapa yang menyuruhmu?” ulang lelaki itu lagi dengan suara yang membuat telinga Jaka terasa seperti dikili-kili, tampangnya terlihat sangat bosan. Jaka bahkan mengira lelaki itu akan menyerang sewaktu-waktu.

Menatap sekilas, sudah cukup bagi pemuda ini menyelami kondisi kejiawaan orang itu. Bibir orang itu nampak kering— bukan karena dehidrasi, pasti dia sangat jarang bicara, orang semacam itu jelas tidak akan muncul di tempat umum. Sadar tak mungkin membuatnya jadi bertele-tele, dengan tangan gemetar, Jaka mengeluarkan sesesuatu dalam bajunya. “Se- sebentar… aku hanya disuruh orang lain.. aku te-terlalu bodoh untuk menghafal, dd-dia mencatatkan untukku…”

Gulungan kain belum lagi di buka Jaka, tapi sebersit angin sudah menyambarnya, dan kejap berikutnya sudah berpindah tangan. Lelaki itu membacanya dengan seksama, tak ada perubahan di wajahnya, tapi Jaka bisa melihat gejolak perasaan orang itu, dia mengepalkan tangan meremas ketat, lalu membuang kain itu.

“Seperti apa?!”

Jaka menjawab dengan tergagap. “Ma-maksudnya, yang me-menyuruhku? Oh, aku ti-tidak ingat, se-sebab ak-aku begitu tt-ta-takut, dia seperti anda, tuan… matanya sangat tajam. Bah-bahkan dia memberikan uang yang sangat banyak.”

Lelaki itu nampak diam memikirkan sesuatu. “Berapa lama?”

Jaka melongo sejenak sebelum akhirnya menggeregap. “Ma-maksudnya… apakah berapa lama dia bicara de- denganku? Hanya se-sebentar… dia berjalan cepat sekali.”

“Lalu?!” Nada yang ketus dan tidak cair cukup mengkhawatirkan Jaka, bahwa dirinya tidak bisa mengulur waktu lebih lama, “sa- saya, hanya menduga-duga saja… ta-tapi jangan tuan ma- masuk ke hati.” Kata Jaka masih dengan menggeregap. Dia diam saja, nampaknya orang itu masih memiliki kesabaran untuk mendengar ucapan Jaka. “Setelah menyerahkan itu..” tunjuk Jaka pada kain yang sudah dibuang. “O-orang itu kelihatan sangat senang, sambil berjalan sa-saya mendengar dia berkata ‘..sakya, tak guna’,’…lata, hm,..hm’. Cu-cuma sepenggal itu yang saya dengar, dia sudah berlalu begitu jauh.”

Bibir orang itu terlihat berkedut, Jaka hampir mengira itu senyuman. “Dia pasti akan mencari tahu hasilnya.”

“Mu-mungkin saja, tt-ta-tapi maksud tt-tuan apa?” Tanya Jaka pura-pura tidak tahu.

“Dia akan tahu!” desisnya.

Detik itu juga tangannya bergerak menampar dada kiri Jaka. Dari awal pemuda ini sudah menduga, dirinya akan dijadikan media lelaki itu untuk berkirim salam pada ‘si dia’ yang tentu saja itu hanya tokoh rekayasa Jaka. Sebagai orang awam, tentu saja Jaka tidak akan bisa menghindar. Tapi sebuah gerak reflek, tentu bisa di maafkan lawannya—untuk tidak menyangka bahwa Jaka mahir ilmu silat.

Joran pancing, dipindah kekiri. Dan sebelum sambaran itu datang, Jaka mempersiapkan gerakan melenting kebelakang. Semula Jaka hanya mengira akan menerima tamparan dengan hawa sakti dahsyat—sesuai serangannya. Tapi untuk beberapa saat kemudian, pemuda ini harus mengeluh karena resiko yang diambil, terlampu besar. Tamparan itu ditengah jalan berubah jadi cakar, yang mencabik dada kiri.

Hempasan tenaga lawan yang begitu besar ditambah sedikit gerak lenting kebelakang Jaka, untuk mengurangi daya bentur, membuatnya terpental masuk kedalam sungai. Dada kirinya berdenyut sangat keras, dengan rasa pedih yang menyayat merambat ke jantungnya, sebuah perasaan mual menyesak mulut, membuat Jaka harus meludah. Dan aliran sungai yang berair bening itu memerah, lalu memudar disapu gulungan aliran air yang tak pernah berhenti. Lelaki yang menyerang Jaka memperhatikan korbannya dengan seksama.

Apakah Jaka begitu bodohnya harus mengorbankan nyawa untuk mengetahui masalah yang masih begitu absurd? Tidak. Kesadaran Jaka sangat penuh, dia bisa menimbang dan berlaku sebagaimana korban yang seharusnya. Mata pemuda ini membelalak, dengan pupil melebar, pudar. Udara keluar dari mulutnya, bergulung-gulung membentuk gelembung di pinggiran sungai. Dan akhirnya gelembung udara itu berhenti.

Riak sungai di pinggiran memang tidak begitu deras, lelaki bertampang bak pahatan karang itu bisa melihat korbannya diselesaikan dengan sempurna, tubuh sang korban nampak mulai tenggelam, sambil meludah dia berlalu dengan cepat.

“Sakya? Apalagi kalau bukan Kwancasakya! Lata… sepertinya, itu merujuk pada keluarga Gumilata! Hm, ini makin menarik… permainan ini sangat menarik!” Gumamnya dengan bibir menyeringai, lalu melesat pesat entah kemana.

Dari dalam air, Jaka mengerjapkan mata, membuatnya kembali fokus, tapi tidak buru-buru keluar dari air. Pemuda ini mencermati kondisi diluar sana, saat ini masih ada sisa cadangan udara untuk bertahan beberapa saat. Merasa sudah aman, akhirnya Jaka menjejak dasar sungai, melesat kepermukaan dan berenang kearah pinggir, bersembunyi sejenak di semak-semak yang menggerumbul di pinggir sungai.

Rasa sakit di dada kirinya mencengkeram paru-parunya demikian berat, membuat pemuda ini sulit bernafas, di pinggir sungai, Jaka memeriksa lukanya. Empat baris luka memancang mencabik bajunya, dan membuat empat jalur luka seperti sayatan pisau. Untung saja sebelum benturan terjadi, Jaka melepaskan segumpal hawa padat melapis dagingnya, yang sudah tentu ‘rasanya’ menyerupai daging pada umumnya. Maka itu saat sang lawan mencabik dada, dia tidak curiga. Karena disaat bersamaan orang itu merasakan pukulannya tepat sasaran, ditambah lagi Jaka terpental masuk kedalam air, dia lebih-lebih tidak bercuriga.

Namun, hasil dari pukulan lelaki itu benar-benar tidak pernah diduga Jaka. Dari jemari lawannya itu seolah menyembur empat bilah pisau yang memotong daging dan tulang. Tenaga sakti semacam itu, mendengarpun Jaka belum pernah. Lebih parah lagi, tenggorokan pemuda ini terasa mual dan anyir, rasa ingin memutahkan sesuatu begitu kuat. Tapi Jaka sangat sadar, dia harus menahan diri. Sambil menyiasati kondisi disekitarnya, sesaat kemudian Jaka naik ketepian. Namun kakinya terasa gontai, mengambil nafas dengan seksama dia tidak memaksakan diri. Pemuda ini segera melakukan totokan, disekitar lengan kiri dan seputar dadanya. Terakhir di leher sebelah kiri. Detik itu juga wajah pemuda ini memerah saga.

Jaka sengaja melakukan pembalikan aliran darah untuk menekan rasa pedih yang terasa menyayat organ dalamnya. Lamat-lamat, dia merasakan dari tiap mulut lukanya ada rambatan hawa dingin yang sangat dikenal, racun dari masa lampau! Racun itu pernah pula di rasakan sebelumnya, kondisinya saat itu jauh dari siap, tapi dia bisa bertahan. Dan saat ini, Jaka lebih siap dari siapapun untuk menerima racun yang sama. Cara menyiksa diri seperti itu, mungkin akan mendapatkan kecaman yang keras dari teman-temannya, tapi bagaimanapun totokan di leher tidak mungkin dilepas begitu saja, ini berkaitan dengan nadi dan titik Zanzhu (sinus, pangkal hidung). Jaka sengaja menyendat aliran darah, dengan sendirinya nafas akan semakin berat. Bahkan mendekati tak bisa bernafas, membuka mulut untuk mengambil udarapun tidak berguna, karena jalur udara sudah tersumbat.

Dada pemuda ini terasa bergemuruh seakan meledak, ketidaksanggupan mengambil udara, ditambah aliran darah yang membalik secara lokal, membuat kepala pemuda ini terasa pening. Lehernya mengencang, matanya sudah berkunang-kunang. Tapi Jaka masih sempat mengamati luka di dada kirinya, cairan kuning kental nampak mengalir perlahan, terburu-buru Jaka mencari kain berisi resep bikinannya yang tadi dibuang sang lawan. Dengan berhati-hati di usapnya cairan itu. Meski pusing sudah mendera kepalanya begitu hebat, dengan degup jantung yang makin kencang— karena pembalikan paksa aliran darah, Jaka masih bisa menyimpan kain itu secara hati-hati, sebab; cairan dari lukanya, sangat berharga. Jauh lebih berharga dari dugaannya semula.

Setelah persiapannya dipandang cukup, secara internal Jaka telah membuka totokannya dengan sistem pernafasan Melawat Hawa Langit. Meski tubuh begitu rakus menginginkan udara, Jaka tetap menahan supaya paru-parunya bisa menghisap secara lambat dan simultan. Sistem olah nafas itu tercipta di tengah kesulitan yang menderanya beberapa waktu lampau. Membuatnya sanggup menghimpun hawa sakti tanpa membebani tubuh yang terluka atau terkena racun. Cara Jaka ini mungkin terdengar tidak lazim, sebab dia mengelola himpunan nafas dari luar menuju pusat, pemuda ini sanggup memanfaatkan hasil serapan hawa diluar lingkungan tubuhnya sebagai tambahan daya sakti. Segulung demi segulung hawa sakti bangkit dari tiap simpul-simpul yang di inginkan. Merambat dan diarahkan untuk mencengkeram organ dan wilayah yang terasa sakit.

Jaka sangat sadar, kondisinya bisa menarik perhatian orang, maka seiring rambatan hawa sakti berhasil mencengkeram wilayah luka, Jaka mulai bergerak setapak demi setapak. Kondisnya yang basah kuyup perlahan mengering, karena terhisap pusaran hawa sakti yang membuat kesadarannya kian pulih. Langkahnya makin cepat, cepat, dan cepat… hingga akhirnya Jaka berhasil memacu dirinya untuk mengerahkan peringan tubuh.

Dahulu—sebelum dirinya menderita beragam cobaan— Jaka memiliki pengertian; saat kau terluka konsenterasi tidak akan pernah bisa menyatu. Tapi kali ini terbalik, pada saat terluka, dirinya justru bisa melakukan pemusatan pikiran dengan lebih baik. Dalam keadaan normal, Jaka bisa memantau pendaran hawa murni orang lain, dalam radius relative dekat. Tapi pada saat terluka, dia bisa memantaunya hingga radius tiga kali lebih banyak.

Dan saat ini, Jaka bisa merasakan tekanan hawa murni dalam jarak yang tidak begitu jauh dengan pergerakannya. Sadar dengan kondisi tubuh yang belum memungkinkan, Jaka mempersiapkan diri untuk hal terburuk. Peringan tubuh tetap dipacu dengan kecepatan sedang, membuat pendaran hawa sakti yang tadi menekan, makin mendekat. Dan akhirnya tepat berada di belakang tubuhnya!

“Berhenti!” bentakan itu terdengar sangat tegas dan memaksa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar