Seruling Sakti Jilid 01

Jilid 01

1 - Pertemuan Rahasia

Menjelang tengah malam, ditempat lain mungkin sudah sunyi senyap. Tapi kota Pagaruyung harus di kecualikan. Memasuki dini hari pun, suasana baik dipusat kota atau pinggiran, terlihat masih ramai. Banyak orang berjualan macam-macam, ada juga yang asyik bergadang di rumah makan sambil ngobrol.

Tapi keramaian itu tidak membuat tiga sosok bayangan yang berkelebat menyelinap kesana-kemari, terganggu, mereka terlihat ‘berjalan’ begitu enak dan santai di jalan sempit berjubel, lantaran banyak orang berjualan disitu.

Disuatu tempat yang agak longgar, tanpa perduli ada tidaknya orang yang mengawasi, ketiganya melesat cepat, beberapa saat saja lenyap ditelan gelapnya malam. Memasuki pinggiran kota, mereka berhenti. Meski pinggir kota tak seramai tempat yang sebelumnya dilalui, mereka bertindak hati-hati dan sebisa mungkin tak terlihat menyolok.

“Disinikah tempatnya?” Tanya orang pertama pada temannya.

“Benar.” Sahut keduanya. “Waspadalah, bukan tidak mungkin ada celah fatal pada rencana ini.” Jelas orang yang bertubuh paling pendek diantara dua orang lainnya—dia adalah orang kedua.

“Tidak akan terjadi!” seru orang ketiga, “Rencana kita hanya diketahui oleh si keparat itu! sejauh ini sempurna.”

“Bagus kalau begitu! Sekarang waktunya menunggu, dan membuat perhitungan...” Desis orang pertama. “Jika ada kesempatan.“ Desah rekannya.

Mereka mencari tempat yang enak untuk menunggu. ketiganya duduk berpencar tanpa gerak. Satu jam sudah berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda yang mereka harapkan.

“Sial!” gerutu mereka kesal. “Sampai kapan dia harus kutunggu?” Satu pertanyaan itulah yang terus berputar dibenak.

Baru saja berpikir demikian, muncul dua sosok bayangan bagai hantu, tak bersuara, tak terditeksi, dan tiba-tiba muncul di antara ketiga orang itu.

“Kalian sudah lama menunggu?” tanya suara orang yang baru datang itu dengan nada datar.

“Cukup lama, tapi tidak masalah Ketua Sembilan.”

“Bagus!” Ujarnya tetap dengan suara datar. “Sudah kalian lakukan tugas itu?”

“Sudah, dan pasti beres.” Jawab orang pertama dengan kepala tertunduk. Keduanya saling berpandangan sesaat. Wajah mereka tidak bisa dikenali karena menggunakan kedok topeng perak, yang hanya menyisakan lubang hidung dan mata. Terdengar keduanya mendengus pendek.

“Ikuti kami!” Baru saja berkata begitu keduanya sudah hilang bagai asap digurun pasir.

“Cepat…” desis orang kedua mengingatkan. Dengan gerakan cepat pula, ketiganya berkelebat kearah timur. Suasana kembali sepi, hanya tingkah binatang malam saja yang menyemarakkan suasana… tapi tunggu, mendadak terlihat sosok bayangan keluar dari balik pohon cemara.

Dia pun segera melesat kearah yang sama dengan kelima orang tadi. Siapa pula orang terakhir itu? Kalau lima orang pertama sudah cukup misterius, dia lebih misterius lagi, sebab dengan gerakan secepat yang dimiliki lima orang tadi, mustahil tidak bisa mendeteksi keberadaan orang disekitar mereka, apalagi jarak persembunyian antara orang yang disebut Ketua Sembilan dengan si orang misterius tadi cuma tiga meter saja, kelihatannya mustahil jika mereka yang memiliki kemampuan lihay tak bisa mengetahuinya; berarti si misterius ini memiliki kemampuan jauh diatas kelima orang tadi, atau karena dia lebih dulu ada di tempat itu?

Kira-kira beberapa belas pal kemudian, sampailah mereka disebuah tanah terbuka, nampak seperti lapangan rumput, nampaknya tempat khusus untuk menggembala.

“Kalian sudah siap memberi laporan?” “Siap.”

“Orang yang kalian butuhkan ada disekitar sini, sekarang ceritakan pada kami keberhasilan kalian.”

“Baik,” sahut orang pertama, lalu dia menoleh ke samping. “Adi Ludra sebaiknya kau yang menyampaikan laporan.”

“Baiklah, mohon dibantu kalau ada yang kurang.” Bisik lelaki paling pendek yang dipanggil Ludra.

“Tugas kami yang pertama sudah diselesaikan tanpa hambatan. Beliau meminta kami untuk menyusup di Perguruan Lengan Tunggal. Tidak ada masalah yang berarti, namun kami tetap kawatir, sebab saat diterima menjadi murid perguruan tersebut, banyak sekali ujian yang harus kami tempuh. Tapi saya yakin kami tidak akan kepergok.”

“Bagus, apa yang sudah kau lakukan disana?”

“Saya sudah mencatat tiap posisi strategis dan tempat yang mungkin akan kita gunakan. Mengenai kekuatannya—tidak bisa diragukan lagi—mereka sangat tangguh. Kami sudah merekrut tiga anggota dari dalam yang bisa dibeli, merekalah informan kami. Sampai saat itu tidak ada kendala berarti. Tapi kami selalu gagal saat menyelidiki Pendopo Inggil, Krah Wuwung dan kekuatan para murid utama…”

“Kalian tidak bisa disalahkan, untuk mengetahui hal itu bukan pekerjaan mudah.” Potong Ketua Sepuluh.

“Terima kasih atas pengertian Ketua,” ucap Ludra sambil membungkuk. “Harus kami sampaikan kalau kami memiliki kekawatiran besar… yakni apa yang mereka sebut sebagai Tujuh Ruas, Empat Srigala, Sembilan Belantara dan Dua Bakat.”

“Apa itu?”

“Entahlah, kami tidak yakin, bahkan murid tingkat delapan yang sudah dipercaya untuk menangani murid tingkat sepuluhpun, tidak tahu seluk beluk dalam perguruan. Kelihatannya mereka menjaga rahasia, tapi menurut kami, itu semacam kelompok pengawas internal yang membaur dengan murid-murid. Karena itu kami terpaksa bergerak lamban, sungguh tidak leluasa kami bekerja tanpa tahu apa yang akan kami hadapi.” “Baik! Itu sudah berlalu, tinggal kalian jalankan saja, bagaimana dengan tugas kedua?”

“Terus terang kami belum berhasil sepenuhnya…” “Apa maksudmu!” Bentak Ketua Sembilan.

“Perintah untuk mengambil Kitab Naga Wisa benar-benar sulit, pertama letak perpustakaan atau tempat penyimpanan pusaka, kami tidak tahu, kedua tidak satupun orang dalam perguruan yang tahu perpustakaan mereka sendiri. Mengherankan!”

“Sebegitu sulitkah mendekati perkumpulan gurem seperti Perguruan Kali Ageng itu?”

“Maaf ketua, mereka tidak selemah dugaan ketua, saya pikir kekuatan mereka tidak jauh beda dengan Enam Belas Partai Utama.”

“Siapa suruh kau berpikir? Tugasmu hanya mengambil kitab itu, titik!”

“Maaf, tapi memang begitu kenyataannya, dan sebagai penebus kegagalan kami yang satu itu, kami mendapatkan Kitab Lintang Pitu dari salah seorang murid utamanya…”

“Apa maksudmu Kitab Lintang Pitu? Bukankah itu salah satu pusaka Perguruan Teratai Merah?”

“Benar ketua, kamipun tidak tahu sebabnya. Kami mendapatkan kitab itu, mungkin lantaran mujur. Saat hendak pergi dari situ, kami mendengar percakapan dua orang, singkatnya mereka sepakat untuk saling menukar ilmu simpanan, dan keduanya bertukar kitab.” “Bodoh!”

“Kenapa ketua?”

“Otakmu kemana? Bukankah bisa jadi kitab yang ditukar itu adalah Kitab Naga Wisa yang kita perlukan?”

“Mulanya saya berpi…, menduga demikian, tapi dugaan saya meleset begitu murid Kali Ageng membunuhnya.”

“Jadi dia membunuh pada saat mereka saling bertukar kitab?” tanya Ketua Sepuluh dengan suara tidak segarang tadi.

“Benar, dan kitab itupun segera kami rampas.” “Identitas kalian terungkap?”

“Tidak ketua.”

“Lalu setelah itu apa yang kalian lakukan?” “Kami membunuh orang itu.”

“Sial!” bentak Ketua Sembilan, “Seharusnya otak udang kalian ini bisa jalan, apa kalian tidak berpikir untuk memanfaatkan orang itu? Bukankah sangat bagus kalau kita memiliki mata-mata dalam perguruan Kali Ageng? Apa lagi kalian memegang kelemahannya!”

“Maaf…” ucap Ludra dengan kepala tertunduk, namun dalam hatinya dia meruntuk habis-habisan. “Keparat, tadi kau bilang kami cuma lakukan tugas tanpa berpikir, sekarang suruh berpikir, dasar bangsat!” “Maaf ketua, perbuatan kami memang salah, tapi kami mohon ketua bisa mengerti, sebab kejadian itu diluar dugaan kami. Karena tak bisa berpikir panjang, kami hanya bisa membunuhnya untuk menyelesaikan masalah.” Kata orang pertama membela temannya.

“Baik, aku bisa mengerti. Mana kitab itu?”

“Ini...” si orang pertama menyerahkan bungkusan dari balik bajunya. “Dan ini bukti bahwa kami sudah menjadi anggota Perguruan Lengan Tunggal.” Tambahnya sambil menyerahkan lencana perunggu sebesar jempol.

Dua ketua itu menerima kitab dan lencana, mereka memeriksa kedua barang itu dengan seksama, samar-samar mereka mengangguk.

“Lalu kalian apakan mayat orang yang kalian bunuh?” “Kami tusuk keduanya, seolah habis saling membunuh, dan

jika ada orang dari salah satu perguruan yang tahu, pasti akan

ada konflik diantara mereka.”

“Bibit kerusuhan cukup bagus… tapi tidak banyak keuntungan buat kita.” Kata orang itu sambil bersedekap.

Ketiganya menunduk, orang pertama yang bernama Mintaraga menoleh sesaat pada orang ketiga—dia bernama Kaliagni—orang ini mengangguk begitu sang kakak mengedipinya.

“Ketua…” “Ada apa lagi!”

“Untuk tugas ketiga, kami gagal sama sekali…” “Oh, benar-benar nyata kebodohan kalian kali ini!

Bukankah itu tugas paling gampang?”

“Gampang ketua, tetapi menculik Prawita Sari menjadi lebih sulit ketika Raja Kepalan menghajar kami hingga tunggang langgang.”

“Keparat…” desis Ketua Sepuluh. “Sakta Glagah, sudah cukup banyak kau merugikan perkumpulan kami, nantikan pembalasan kami!” geramnya marah.

“Ma-maaf ketua, lalu bagaimana dengan mereka?”

“Jangan kawatir, sepanjang kalian tidak macam-macam mereka selamat, tapi ingat! Melenceng sedikit dari jalur, habis riwayat keluarga kalian.”

“Ta-tapi… ketua janji hendak menyerahkan salah seorang dari mereka.”

“Benar, tapi sayang… kalian terlalu goblok untuk tugas- tugas tadi, jadi kubatalkan!”

“Ap-apa, maksud ketua?” tanya Kaliagni tergagap-gagap. “Perjanjian kita batal!”

“Tapi bukankah kami sudah menyerahkan kitab lain sebagai tebusan dan juga kami sudah memberikan bukti bahwa kami sudah menjadi anggota Perguruan Lengan Tunggal?”

“He-he… kalian bodoh, biarpun seluruh tugas sudah selesai, mana bisa kuserahkan keluargamu, bisa-bisa bocor semua rahasia perkumpulan.” Tiga orang itu saling pandang, raut wajah mereka berubah kelam, dalam sesaat ketiganya sudah sudah membuat keputusan nekat.

“Jadi…” terkilas dalam benak Kaliagni kemungkinan buruk. “Sejak semula, kalian memang tidak berniat membebaskan

keluarga kami?” sambung Mintatraga.

“Ha-ha, kau pintar menebak! Sangat kusesalkan kalian terlalu bodoh untuk menyadarinya, dan mau tak mau kami harus berterima kasih atas otak dogol kalian itu.”

Ludra menggertak gigi, “Keparat! Kalian sudah menjadikan kami manusia hina! Sekarang kalian menjilat ludah sendiri! Di mana kehormatan kalian Sora Barung, Sena Wulung!” bentak Ludra.

Dua orang ketua itu terkejut mendengarnya, selama ini mereka selalu menyembunyikan identitas dari siapapun, kecuali atasan-atasan mereka, tak dinyana tiga orang suruhan mereka mengetahui rahasianya. Sungguh tak disangka, dari mana mereka tahu? Jika demikian, bukankah ada kebocoran informasi?

Sora Barung tertawa terkekeh menyeramkan. “Kali ini, menangis darahpun sudah terlambat untuk minta ampun. Akan kubunuh kalian saat ini juga!”

Habis berkata demikian, dua orang itu saling berpencar dan segera menyerang Mintaraga dari kiri dan kanan. Gerakan itu begitu cepat dan tak terduga, Mintaraga yang sudah bersiap- siap pun tidak bisa mengelak, namun sebisa mungkin Mintaraga mengerahkan seluruh tenaganya dan menyerang sebisa mungkin. Buuk-buuk!

Dua pukulan bersarang didada dan punggung Mintaraga. Gerakan dua orang bertopeng itu sangat cepat, bahkan serangan Mintaraga yang dipusatkan sampai puncaknya juga cuma menyerempet saja.

Ludra dan Kaliagni juga tidak tinggal diam, tapi mereka tertinggal sedetik untuk membantu.

“Kakang…” teriak keduanya kaget sambil menghampiri.

Mintaraga tergeletak bersimbah darah, wajahnya dipenuhi darah, kondisinya mengenaskan. Tulang punggung nyaris remuk, jatungnya tergetar keras, tapi beberapa rusuk lebih parah, patah sampai menghunjam lambung.

“Bba-las-kaaa…” pesannya belum selesai, tapi tiada tenaga lagi untuk meneruskan ucapannya, hawa kehidupan miliknya sudah mulai mengabur, sebentar lagi nyawanya melayang jika tidak menerima pertolongan secepat mungkin.

2 - Cakar Darah Mayat

“Kalian binatang!” raung Kaliagni sambil menerjang. Serangan yang dikerahkan Kaliagni merupakan serangan putus asa, dia sudah tidak ingin hidup lagi melihat kesempatan sudah tertutup baginya—bagi keluarganya, karena itu tenaga yang dikeluarkan Kaliagni begitu besar, mungkin setara dengan tujuh puluh tahun hasil latihan

Dua orang itu tampak terperanjat, namun dengan sigap, mereka menghindar kesamping seraya menghamburkan hawa murni, pukulan jarak jauh menyambar! Dengan enteng, Kaliagni menghindarinya, dia melejit cepat menyergap Ketua Sembilan.

Kali ini Ludra tidak ingin terlambat lagi, begitu Kaliagni bergerak, diapun segera ikut menyerang. Agaknya dua ketua itu mendapatkan lawan setimpal. Lawan yang putus asa, terkadang lebih merepotkan, sebab mereka bisa mengembangkan seluruh potensi, karena terpikir bahwa, situasi, asa, dan kondisi, tidak berpihak lagi.

Ludra dikenal dengan julukan Macan Terbang, dan memang bukan sekedar omong kosong belaka. Gerakannya tangkas, cepat seperti macan kumbang. Gerakan Ketua Sepuluh dapat dia imbangi!

“Sora Bangsat! Kelihatannya kita bisa pergi ke Neraka bersama-sama!” teriak Ludra kalap.

“Kau duluan!” dengus Ketua Sepuluh—Si Sora Barung. “Baik! Dan kau segera menyusul!” seru Ludra sambil

mengelakkan tendangan Sora.

“Tendangan anjing!” ejek Ludra sambil meludah. Namun saat hendak mengejek lagi, Ludra terpaksa menelan ucapannya, sebab tendangan yang mengarah perut, mendadak mencuat keatas, memanjang satu ruas, dan kini kepalanya jadi sasaran! Karuan Ludra tercekat kaget bukan kepalang.

“Tendangan Anjing, heh?!” ejek Sora Barung sambil tertawa.

“Memang anjing!” makinya gusar, sambil membuang tubuhnya kebelakang. Agar dirinya tidak dijadikan bulan- bulanan, begitu membuang tubuh, kakinya menjejak ketanah sekuat tenaga dan tubuhnya melambung lima tombak lebih. Ludra bermaksud hendak menyerang Sora dari atas… tapi, kenapa Sora tidak ada di bawah sana? Ia sudah merasa yakin kalau gerakan menghindar dan melompatnya adalah gerakan tercepat yang pernah dilakukannya seumur hidup.

“Dimana dia?” bisiknya dalam hati.

“Kau mencariku kutu busuk?” terdengar suara dari atas kepalanya.

Berdesir hati Ludra, tanpa mendongkak lagi, segera ia mengerahkan Tenaga Seratus Batu untuk memberatkan tubuhnya agar cepat mendarat ditanah, tapi desir angin serangan diatas kepalanya sudah makin mendekat. Tanpa pilihan lagi, dia segera menangkis, dipukulkan keatas dua tangannya sekuat mungkin. Dia pikir dua kepalan tangan lebih menang dibanding tumit lawan.

Wut!!

“Hah…” hatinya berdesir ngeri, tak kala pukulannya tidak menangkis sesuatupun. Detik itu juga dia sadar bagian depannya terbuka, Ludra mengerutkan tubuh— menyembunyikan dada dalam lipatan lutut—tapi sayang, terlambat…

“Selamat tinggal!” desis Sora Barung didepan Ludra persis. Buk!

Satu pukulan tepat menghajar ulu hatinya. Ludra tak bisa berteriak lagi, sebab suaranya tersekat oleh rasa sakit yang amat sangat, mendera dada dan perutnya, kepalanya terasa berat, pandangan matanya gelap seketika, ia hanya bisa mengucapkan sepatah doa… semoga keluarganya bisa lolos dari semua ini.

Blam!

Tubuhnya terjatuh dari atas, agaknya selain tulang dadanya remuk, tulang pinggulnyapun retak. Tiada gerakan lagi yang bisa di buat Ludra, karena untuk bernafaspun sudah menghabiskan seluruh tenaganya.

Lari… lari, ia ingin mengucapkan kata itu pada Kaliagni, tapi hanya bisa diteriakkan dalam hati. Ia ingin sobatnya itu lari dan membalaskan semua ini, tapi tiada daya yang bisa dia ucapkan untuk menyampaikannya.

Rubuhnya Mintaraga dan Ludra terhitung cepat. Sora Barung hanya perlu empat puluh hitungan—40 detik—untuk mengalahkan Mintaraga dan Ludra. Kejadian itu membuat perasaan Kaliagni makin berat.

“Huh! Cecunguk tak tahu diuntung!” dengusnya sambil menendang tubuh Ludra sehingga bertumpukan dengan sang kakang. Ia menoleh kearah Sena Wulung, ternyata Kaliagni, si orang ketiga, lebih alot ketimbang dua orang lainnya. Tubuhnya yang tinggi besar, bergerak sama cepatnya dengan Seta Wulung.

“Lumayan juga dia…” puji Sora sinis. “Perlu kubantu?” tanya Sora pada Sena.

“Tidak perlu! Aku belum lagi mengeluarkan seluruh kemampuanku, aku hanya melayani dia supaya senang. Kurasa sekarang dia menganggap bisa berimbang denganku!” Kuduk Kaliagni berdiri, mendengar ucapan Sena Wulung. Terasa olehnya selama dia menyerang lawan selalu bisa menangkisnya, mendikte kemana arah serangannya, tak dinyana semua itu hanya untuk menghina dirinya. Merasa seluruh usahanya sia-sia, Kaliagni menghentikan serangannya.

“Kenapa? Kau lelah?” tanya Sena Wulung sinis.

“Tidak,” jawabnya dengan gigi terkatup, sekalipun hatinya dongkol, namun dia sadar kalau kemarahan tidak bermanfaat buatnya. “Aku hanya ingin menantang adu pukulan denganmu, tentu saja kalau kau berani!”

“Heh! Macan ompong ini benar-benar tak tahu diuntung! Tapi baiklah, hitung-hitung sebagai rasa terima kasihku, karena engkau dan dua orang saudara goblokmu itu bisa memberikan cendramata berharga.”

“Kau akan menyesal meremehkan aku!” desis Kaliagni melirik kearah dua orang saudaranya, air matanya bercucuran. “Aku balaskan penderitaanmu kakang…” bisiknya dalam hati.

Mata Kaliagni mencorong tajam, kuda-kuda kakinya terlihat kokoh, mendadak dari sela-sela bibirnya keluar darah, rupanya dia menggigit bibirnya sendiri. Tangannya yang terkepal di pinggang diturunkan, jari-jemarinya membentuk cakar.

Mendadak, cakar itu menghunjam dadanya sendiri. Kaliagni menggertakkan giginya menahan sakit. “Kau akan tahu bagaimana rasanya mati,   topeng   kaleng!”   teriaknya. Begitu berteriak, cakarnya tercabut dari dadanya sendiri dan saat itu juga tekanan udara disekitar mereka mendadak berubah drastis. Pukulan berbentuk cakar milik Kaliagni melesat cepat mengarah dada Sena Wulung.

“Cakar Darah Mayat?” seru Sena Wulung terkejut, diapun tak mau ayal, tangannya disorongkan memapaki cakar Kaliagni. Kali ini tidak mau tanggung lagi, sepuluh bagian tenaganya di empos untuk menangkis serangan dahsyat itu.

Blaar!

Tubuh keduanya terpental, kalau Kaliagni menyemburkan darah dari mulutnya, Sena Wulung hanya terhuyung, tapi topengnya terlepas, ditambah lagi dari bibirnya menetes darah, oh.. ternyata dia juga terluka.

“Bangsat!” makinya geram. “Kau…” tak sempat lagi ia memaki, Kaliagni tidak memberi kesempatan, seluruh tenaga ia kerahkan sampai darah yang keluar dari lidah dan dadanya menyembur keluar.

“Mati kau!” pekikan Kaliagni lebih mirip pekik kemenangan orang yang putus asa, karena seluruh tenaganya sudah dikeluarkan dua belas bagian—overload (berlebihan).

Sena Wulung terlihat pucat, ia belum sempat menghindar, maka sebisa mungkin tenaganya dikeluarkan… tapi macet! Rupanya hawa darah yang dikeluarkan Kaliagni menghambat sirkulasi tenaga murninya.

“Keparat!” desisnya lemah. Walau hanya enam bagian yang bisa ia keluarkan, namun sudah cukup untuk melindungi isi dadanya. Blar! Benturan keras terjadi lagi, kali ini nasib Sena Wulung benar-benar apes. Ia yang masih berlutut ditanah tersuruk sampai tiga tombak dengan wajah makin pucat pasi.

“Ka-kau lihat, kau pasti mati!” desis Kaliagni, namun saat hendak melangkah mendekati Sena Wulung, ia jatuh terjerembab dan tak bergerak lagi. Dibelakangnya, nampak Sora Barung masih berdiri dengan tangan terkepal kedepan... ternyata dia membokong Kaliagni.

“Kau harus berterima kasih kepadaku Sena, tanpa kubokong, kau pasti mati ditangannya!”

“Omong kosong!” bentak Sena seraya bangkit.

“Tidak perlu membela diri, memang harus diakui seandainya kekuatan pukulan tadi tidak kukurangi dengan bokongan pukulanku, kau sudah terkapar jadi mayat—kalian sampyuh, sama-sama mati!”

Kali ini Sena tidak membantah. “Aku heran, dari mana dia dapat ilmu terkutuk itu?” gumamnya sambil menatap Kaliagni.

“Akupun heran, menurut berita pukulan itu sudah lama punah, tidak ada lagi pewarisnya, tak dinyana kita bisa menghadapinya. Beruntung dia belum sempurna, jika sudah… kurasa beliau-pun tak sanggup menghadapinya.”

Perlu diketahui, ilmu Cakar Darah Mayat adalah ilmu sesat, yang menggunakan darah dan jiwa sendiri untuk melipatgandakan tenaga murni, orang yang memiliki ilmu ini bisa membuat tenaga dalamnya meningkat lima sampai sepuluh kali lipat, tergantung kesempurnaan ilmu itu. Tapi makin sempurna ilmu tersebut, makin parah akibatnya. Orang yang menggunakan ilmu itupun akan terluka parah, bahkan mati jika menggunakan secara berlebihan. Setelah itu, seluruh syaraf dalam tubuhnya akan sulit merespon aksi dari luar tubuh, pendek kata orang tersebut bisa seperti mayat hidup, tinggal menunggu kematian.

“Bangsat, gara-gara ilmu setan si keparat Kaliagni, lukaku cukup parah!” gerutu Sena. “Ayo kita pulang!”

“Terserah kau.” Sahut Sora.

Baru saja tiga langkah mereka bergerak, dari belakang terdengar suara langkah berat. Reflek, keduanya segera berbalik. Tapi tak dijumpai siapapun disitu, tiga lawannya yang sudah terkapar sekarat, tak mungkin bergerak lagi.

“Mungkin hanya perasaanku saja…” gumam Sora Barung, tapi mana kala rekannya juga mengumam serupa, mereka saling pandang, dan menduga ada   yang   tidak   beres. Tapi setelah sekian lama mereka amati, ternyata tidak ada apa-apa. Dengan perasaan masih diselimuti penasaran, keduanya berbalik dan pergi. Tapi, mendadak…

“Mau pergi kemana?”

Suara itu benar-benar mengejutkan mereka. Selain keduanya tidak merasakan kehadiran orang, merekapun menganggap bunyi langkah tadi hanya suara angin. Ternyata


“Siapa?” seru keduanya sambil membalikkan tubuhnya, tapi mereka tidak melihat bayangan atau orang.

“Masa kalian tidak tahu? Aku sudah datang dari tadi, tepatnya saat kalian sampai disini, aku menguntit dari tempat kalian bertemu dengan tiga orang malang ini.” “Tunjukkan dirimu!” teriak Sena Wulung sampai terbatuk- batuk.

“Kasihan, kalau mau marah kan tidak perlu berteriak-teriak, kasihan jantungmu. Toh aku sudah ada dibelakang kalian.”

Begitu mendengar ucapan orang misterius itu, keduanya langsung berbalik, tapi tidak ada orang.

“Hi-hi, masa percaya begitu saja? Jangan kelewat bodoh begitu, jika ingin melihatku, kenapa tak saling memunggungi saja? Aih, untuk menjadi ketua berwujud manusia macam kalian ini, kelihatannya terlalu banyak sogokan yang dikeluarkan, benar tidak? Tak usah dijawab kalau malu.”

Bulu kuduk kedua orang sombong itu berdiri, biarpun— tanpa sadar mengikuti saran orang misterius—sudah berdiri saling memunggungi, tapi tak satupun bayangan mereka lihat, padahal tempat mereka berdiri itu adalah padang rumput yang cukup luas, jadi tidak mungkin kalau ada orang yang bersembunyi disitu. Apalagi malam ini diterangi sinar bulan, jadi untuk memandang lima tombak lebih pun masih jelas.

“Kasihan, sudah bekerja sama seperti itu, masih tidak tahu dimana aku.” Kata si orang misterius seraya tertawa mengejek.

Makin deras keringat dingin yang mengalir ditubuh kedua orang itu. Kalau cuma orangnya yang tidak kelihatan, tapi hanya terdengar suaranya, itu belum cukup menakutkan, tapi justru kondisi saat ini sangat menakutkan karena suara orang misterius itu berpindah-pindah, kadang kala tepat seperti di telinga mereka, kadang seperti dibelakang mereka, kadang menjauh seperti hendak pergi. Entah dimana orang itu bersembunyi…

Padahal kalau mereka mau berpikir tenang, bisalah mereka menduganya, sebab di tempat selapang itu hanya ada dua cara untuk bersembunyi, yakni; tiarap dan menghindari sudur pandang orang, semudah itu. Dalam kondisi tegang dan cemas, kebanyakan orang tak bisa bertindak tenang. Dan pendatang itu tahu memanfaatkan kondisi tertekan psikis lawan.

“Bagaimana kalau aku keluar sekarang?”

Tekanan batin yang dialami kedua ketua itu tidak kecil, baru suaranya saja sudah membuat mereka yang ditakuti jadi panas-dingin, apa lagi kalau orangnya keluar, kekuatan macam apa yang dimiliki orang itu? Pikir mereka makin kalut.

“Ap-apan yang kau inginkan?”

“Aku tidak menginginkan apa-apa, cuma semua benda yang menempel ditubuh kalian.”

“Bangsat!” maki Sora kalap. “Kau pikir dirimu siapa?!” “Kenapa aku harus berpikir? Kalian ini lucu, aku tak perlu

berpikir sebab aku tahu siapa diriku. Perlu kalian ketahui… aku adalah orang yang akan membuat posisi kalian, sama seperti bekas bawahanmu tadi.”

“Keluar kalau berani!” teriak Sena sambil toleh kanan-kiri. “Baik-baik, jangan marah-marah begitu,” sahut suara misterius itu. “Sesuai keinginan kalian …” “Aaaa…” mendadak mereka berjingkrak kaget, sampai- sampai terlompat kebelakang. Orang yang mereka cari ternyata sudah ada didepan mereka! Keringat dingin makin deras mengucur, sebab orang yang ada didepan mereka berpakaian model pocong, wajahnya tidak terlihat, pakaian putih-putih yang digunakan cukup membuat siapapun terkencing-kencing.

“Bagaimana?” seru si pocong sambil tertawa mengikik.

3 - Sang Pocong

Tanpa sadar keduanya saling berpegangan tangan. Sungguh sial ketemu hantu, pikirnya. Sekalipun mereka tahu, si pocong itu hanya hantu bohongan, tapi dimalam hari sunyi senyap, melihat orang yang sejak tadi tak bisa mereka lihat, sekalipun bukan hantu, si pocong sudah mereka anggap sama dengan hantu.

“Dasar anjing goblok!” ujar orang itu menirukan makian Sora sambil tertawa panjang—ngikik, mendirikan bulu roma. “Mana?” ucapnya sambil menjulurkan tangan. Maksudnya jelas, meminta apa yang dia pinta tadi.

Sora dan Sena saling pandang, cukup dari saling memandang, maka apa yang selanjutnya akan mereka lakukan sudah dipahami masing-masing.

“Hiat!”

Seretak keduanya memukul pocong jadi jadian itu. Tapi dengan gerakan wajar saja, si pocong bisa menghindarinya. Setiap pukulan, tendangan dan serangan demi serangan yang tercurah, sama sekali tidak bisa menyentuh si pocong.

“Kalian pikir bisa memukul hantu?” kata si pocong sambil tertawa mengikik panjang, membuat keduanya makin tidak tentram.

Enam puluh jurus sudah lewat, tapi setiap serangan tidak pernah sekalipun menyentuhnya, jangankan memukul orangnya, untuk menyerempet kain pocongnya saja tidak bisa. Padahal kerja sama serangan keduanya sangat solid dan terkenal sulit dikalahkan. Kondisi Sena Wulung makin payah, sebelumnya dia sudah luka, kini dipaksa untuk menghamburkan tenaga, tubuhnya benar-benar lemas. Nafasnya terengah hebat.

“Bagaimana? Apakah kalian menunggu hingga seratus jurus lagi? Aku tidak menjamin dalam waktu sepanjang itu aku tidak menghajar kalian, jadi cukup kalian turuti permintaanku. Aku akan menghitung sampai lima, jika belum juga kalian melucuti barang bawaan dan pakaianmu, tolong ucapkan selamat tinggal pada dunia… hitung-hitung kalian punya solideritas pada tiga orang itu.”

“SATU! Jangan gugup, masih satu, serang saja sekuat kalian. Tak perlu malu untuk berciat-ciat segala.”

“Bangsat! Makhluk apa kau ini… kenapa kau mengganggu pekerjaan kami?”

“Kalau aku ingin mengganggu kalian, sudah kulakukan sejak dulu. DUA... lagi pula hantu kan tahu segala rahasia kebusukan kalian, perlu apa aku menguntit kalian kesana kemari. Ketua cabang satu dan ketua utama wilayah kalianpun tak akan sekurang ajar ini padaku, kujamin dia yang kalian sebut beliau, akan… TIGA! Jangan lupa hitungan tetap berjalan… sampai mana aku bicara tadi? Oh ya, orang yang di beliaupun akan menyembah-nyembah padaku, apalagi sarang anjing perkumpulan kalian sudah kuketahui.”

“Keparat!” teriak Sora saking gemasnya. Biarpun ia memaki tetapi hatinya terasa kecut, istilah ketua cabang satu, ketua utama wilayah memang terdengar wajar. Tetapi tidak bagi kedua orang ini, sebab organisasi yang mereka masuki itu termasuk organisasi rahasia, kalau bukan anggota, tak mungkin ada yang tahu... jadi siapa si pocong ini?

“Benar, kau masih berani memaki aku karena aku tak menyerang, EMPAT… satu kali lagi aku akan menghajar kalian.”

Seruan si pocong membuat keringat mereka makin deras mengucur, bayangkan… semua upaya, jurus, tipu silat terlihay sudah mereka lancarkan, tapi tak satupun berhasil.

“LI..”

“Baik-baik… kami menyerah!” teriak Sena dan Sora putus asa.

“Hi-hihi, sekali-kali jadilah anak baik, tak perlu banyak membantah. Nah, lepaskan barang-barang yang menempel pada kalian.”

“Dasar bangsat!” gerutu Sena dengan napas tersenggal- senggal. Di dasar hatinya terbit rasa ngeri yang bukan kepalang. Sudah seratus jurus lebih mereka bertarung—lebih tepat jika disebut mereka bergerak, tetapi kondisinya tetap saja seperti itu, si pocong tidak tersentuh. Ketua cabang satu saja, hanya bisa menghadapi mereka berdua tanpa balas tak lebih dari sepuluh jurus, konon lagi puluhan jurus, tapi si pocong ini… membayangkan kembali, membuat Sora merinding.

“Eit-eit-eit, tunggu dulu, aku harus mendikte apa yang perlu kalian lepas.” Kata si pocong melihat Sena dan Sora hendak melucuti pakaiannya. “Pertama lemparkan kemari barang- barang yang kalian peroleh dari mantan anak buahmu.”

Keduanya mengeluarkan Kitab Lintang Pitu dan tiga lencana pengenal dari Perguruan Lengan Tunggal. “Bagus, tapi jangan kira aku buta, mana dua buah yang terakhir?”

Dengan perasaan mendongkol dan juga malu, mereka melemparkan sisanya.

“Anak baik, sekarang lepas topeng jelekmu itu Sora… eit, tak perlu menggerutu, aku tahu apa kata hatimu. Memang aku sejak tadi bisa melepas topeng jelek itu, tapi tanganku enggan menyentuh topeng bau itu. Nah pintar,” puji si pocong begitu Sora Barung melepas topengnya.

“Sekarang lepas baju dan celana kalian, juga celana dalam. Tidak perlu malu untuk telanjang, toh kita sama-sama lelaki, biarpun ada hantu yang suka sesama lelaki, tapi aku ini termasuk hantu suci lho.” Ujar Si Pocong seraya terkikik geli sendiri.

Keduanya tidak bisa memaki atau membangkang lagi, karena dari segi apapun mereka kalah jauh, ibarat anak-anak melawan orang dewasa. Dengan gerakan lambat keduanya melepas baju dan celana… juga celana dalam! “Bangsat! Keparat!” maki Sena dengan wajah kelam… tangannya bergegas menutupi bagian bawahnya.

“Ehm, bagus-bagus, benar-benar orang yang patuh. Kurasa cara kalian menjiliat atasan, sudah tidak perlu kuajari lagi.” Sindir si pocong tertawa geli. “Aku ini termasuk hantu baik, jadi kuberi kalian sepotong kain untuk menutupi aurat.” Lalu si pocong melemparkan secabik kain untuk keduanya.

“Bukankah cukup menutupinya?” ujarnya kembali terkikik, kali ini tawa si pocong bukannya tawa mengejek, tapi benar- benar geli.

Tanpa basa-basi keduanya mengenakan kain itu dengan cepat… dan dalam empat detik saja kain itu sudah menjadi celana pendek yang cukup inovatif.

“Nah, sekarang aku ingin minta pendapatmu berdua, apakah kalian lebih suka menggunduli rambut sendiri atau aku yang menggunduli kalian? Tapi aku tidak jamin bukan hanya rambutmu yang terpotong…”

“Anjing!” maki keduanya bersamaan.

Si Pocong terkekeh. “Meski ucapan kalian tidak bisa mencerminkan jabatan yang diemban, kurasa tata krama kalian cukup bagus, dari tadi tiada makian yang lain.”

Mereka tidak menanggapi, sekalipun bisa, hanya membuat mereka makin dongkol dan tambah stress. Dengan tenaga dalam mereka yang tinggi, cukup dengan mengusap-usapkan tangan ke kepala… beberapa saat saja rambut bertebaran, meski tidak cukup rata, bolehlah di bilang botak. Si pocong bersiul menggoda, “Botak yang menggiurkan, tanganku jadi gatal ingin menjitak.”

Karuan keduanya segera menekap melindungi kepala. Si pocong tertawa melihat kelakuan dua orang itu. “Ah, aku hanya bercanda. Urusanku dengan kalian sudah selesai, kalian boleh pergi…”

“Pergi, ya pergi!!” geram keduanya dengan muka kelam. Sakit hati keduanya lebih besar dari rasa malu akibat penghinaan ‘si-pocong-entah-siapa’. Tapi apa mau dikata, membalas tak berani, terpaksa hanya bisa memaki dalam hati.

“Eh, kalian tidak minta namaku? Dimana kuburku? Siapa tahu kalian ingin balas dendam?”

“Perduli setan!”

“Ehm, makian bagus! Memang aku sekarang sedang jadi setan, jadi aku harus perduli dengan keselamatan kalian.”

Keduanya tersurut mundur dengan perasaan ngeri. “Apa maksudmu?”

“Apa kalian punya muka pulang dengan keadaan begitu? Bisa kubayangkan kalian mengatakan pada pimpinan, kalau ditengah jalan ketemu hantu lalu diperas habis-habisan. Lelucon yang tak lucu. Karena itu aku berniat membantu kalian!”

Keduanya saling pandang tak mengerti. “Apa maksudmu?” tanyanya mengulangi.

Si pocong tertawa panjang, mendadak. “Terima ini!” desisnya dengan suara dingin. Tubuhnya melejit cepat, benar- benar bergerak bagai setan, tangannya menampar bahu mereka.

‘Tamparan’ tak berapa keras itu semula mereka tanggapi dengan seringaian mengejek. Tapi sedetik kemudian, bahu mereka seperti terkena palu godam ratusan kati. ‘Tamparan’ yang mereka terima memang cuma sekali, tetapi rasanya seperti kena hantaman keras berkali-kali.

“Mana ucapan terima kasih kalian? Bukankah dengan demikian, atasan kalian bisa memaklumi kekalahan ini?”

Kedua orang itu tak menanggapi, mereka hanya menyeringai kesakitan.

“Untuk sementara, dia pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Pergilah!”

Jangankan untuk melangkah, untuk bergerakpun merasa sulit, rupanya ‘tamparan’ tadi sudah meremukkan bahu kiri keduanya, apalagi akibat pukulan itu hawa panas menerpa mereka, bagai debur ombak yang kain lama kian deras.

Keduanya mengerang kesakitan, kadang kepanasan, saking panasnya timbul semacam rasa dingin menusuk tulang lebih menyiksa. Sekalipun kalah tragis, merekapun tidak malu disebut jagoan, dengan memaksakan gerakan, keduanya saling menotok—maklum saja jika mereka menotok bagian tubuhnya sendiri, tentu tidak terjangkau, makanya dua orang itu bergantian menotok saraf utama untuk mengurangi rasa sakit.

Tadinya mereka pikir, pukulan si pocong akan menimbulkan bekas, begitu diraba lebih seksama, ternyata tidak! Keheranan mereka sedikit mengalahkan rasa nyeri. “Pergi!” bentak si pocong sambil mengibas tangannya. Seperti dihempas badai, Sora dan Sena terguling-guling belasan tombak. Dalam waktu yang amat singkat, mereka bisa memahami seberapa sakit yang dialami anak buahnya. Tapi rasa sakit itu hanya sesaat, sekejap saja sudah digantikan dengan kengerian tak terhingga.

“Setan…” bisik mereka, tanpa mengindahkan rasa sakit, keduanya lari… terkencing-kencing! Percuma saja si pocong memberikan kain penutup.

“Aih, dasar tak berguna. Gara-gara mereka, aku terlambat menyelamatkan tiga orang ini.” Kata si pocong. Ia mendekati Kaliagni, dipegangnya nadi orang itu. Dia terluka parah, tapi kurasa tuan masih bisa menyelamatkan, pikirnya. Lalu ia memeriksa luka Ludra dan Mintaraga. Dia menggeleng prihatin menyadari luka keduanya sangat parah. Hm, apakah mereka masih bisa tertolong, atau tidak, kuserahkan saja pada takdir-Nya. Sekarang aku harus bergegas, mudah-mudahan masih sempat…

Si pocong memunguti barang Sora dan Sena yang berserakan, dan dimasukkan kedalam kantongnya. Lalu dia bersuit panjang, tidak lama kemudian, muncul dua sosok tubuh berkelebat cepat dari kegelapan.

“Tolong, bawa mereka.” Katanya dengan suara prihatin.

Keduanya mengiyakan dengan hikmat. Si pocong mengangkat Mintaraga yang paling parah, sisanya dia serahkan pada dua orang tadi. Bagai mencangking karung kosong, tiga tubuh yang tak berdaya itu di bawa melesat jauh. Sekejap saja padang rumput yang tadi gaduh, kini senyap. Dan binatang malam kembali bersuara. 4 - Biro Pengiriman Golok Sembilan

Jika diukur dari lereng Gunung Kumbhira, letak pusat pemerintahan Kerajaan Rakahayu hanya berjarak 190 pal (285 km) ke arah barat. Jarak Gunung Khumbira ke Kota Pagaruyung adalah 250 pal (375 km)—kearah timur. Tentu saja jika sedang menempuh perjalanan dari kota Pagaruyung menuju Kerajaan Rakahayu, akan menempuh jarak 440 pal (660 km), itu sama halnya berkuda tanpa henti selama 16½ jam. Sekalipun itu kuda terbaik—paling tangguh, tapi tak mungkin dipacu terus menerus seperti itu.

Sayangnya teori tersebut tak berlaku bagi beberapa orang berkuda yang melintas jalan dengan kecepatan tinggi. Mereka—lima orang, memacu kudanya seolah hanya itulah hal terakhir yang dapat dilakukan.

Kuda, tentu saja punya keterbatasan. Beberapa saat kemudian, kuda terdepan meringkik keras dan tersungkur, detik berikutnya kuda yang lain juga. Dari mulut kelima bintang itu keluar buih, binatang itu mati kelelahan.

Kelima orang itu saling pandang, wajah mereka tampak memucat. Tanpa bicara, pimpinan mereka memberi tanda agar perjalanan tetap dilanjutkan. Dengan patuh mereka segera berlari.

Menilik gerakannya, kelima orang itu paling hanya tokoh kelas empat. Bisa juga disejajarkan dengan murid lapis bawah, sebuah perguruan silat terkemuka. Tapi apa yang membuat mereka begitu panik? Sebab sesekali mereka menengok kebelakang. Tapi tidak ada apa-apa yang mengejarnya.

“Cepat, jangan mengendur!” teriak sang pimpinan yang berlari dibelakang keempat rekannya.

Untuk ukuran orang awam, lari mereka tergolong sangat cepat, katakanlah 100 meter 9 detik. Dan tentu saja masih kalah cepat dari kuda.

Kuda? Ya, pada saat itu sayup-sayup terdengar derap kuda. Mungkin bila ada yang mengukur kecepatan lari mereka saat ini—begitu mendengar derap kuda, boleh jadi catatan waktu akan berubah, menjadi 100 meter 8 detik. Tapi kecepatan itu tetap tak berarti. Sebab derap itu makin dekat.

Menyadari tak ada gunanya menghamburkan tenaga dengan berlari, kelimanya berhenti dengan bersiap-siap.

Kecemasan, rasa takut, bercampur dalam engahan nafas letih mereka. Wajah kelimanya tampak pucat-pasi menantikan derap itu mendekat.

Debu mengepul dari kejauhan, dan mereka sudah bisa melihat apa yang datang mendekat. Sebuah kereta kuda, bahkan bentuknya sangat mewah, untuk ukuran kereta kuda yang disewakan terasa sangat berlebihan… atau mungkin saja kereta itu milik seorang pejabat kerajaan, atau seorang hartawan.

Helaan nafas panjang terlepas dari kelima orang itu.

Mereka saling bertatapan dengan pandangan putus asa.

“Sekalipun nyawa melayang, barang ini harus sampai ditempat tujuan.” Ujar pimpinan mereka dengan nada tegas. Anak buahnya menatapnya dengan mengangguk perlahan.

“Baik!” seru keempatnya. Mereka paham bahwa sang pimpinan akan berusaha sebisa mungkin menghambat laju kereta mewah itu.

Dengan tekad membara keempatnya kembali berlari pesat. Beberapa saat kemudian, empat orang itu terlihat hanya berupa titik yang kian mengecil. Tapi sungguh patut disayangkan, jalan yang mereka lalui bukannya sebuah hutan atau bukit, tapi jalan gunung yang lurus… sebelah kanan tebing, kiri jurang. Bukan pilihan yang baik untuk mencari jalan meloloskan diri! Satu-satunya jalan aman—juga merupakan tempat tujuan, hanya lurus! Mereka sadar, lambat laun jika tak ada percabangan jalan, sekeras apapun usaha mereka meloloskan diri, tetap terkejar.

Tidak ada pilihan, mereka lari! Karena larilah pilihan terakhir.

“Ada jalan simpang!” seru salah satu diantaranya. Harapan segera membumbung, hati mereka merasa lega.

Dari kejauhan, mereka bisa melihat pertigaan jalan itu. Tanpa sadar lari mereka melambat, wajah yang semula berseri, kembali putus asa. Sebab mereka melihat ada dua kereta serupa, yang dipacu begitu pesat menuju kearah mereka.

Habislah! Batin keempat orang itu.

Mereka saling pandang, agaknya pikiran mereka serupa, dari pada mati terpencar begini, lebih baik mati bersama. Rasa lelah, tak dihiraukan. Sekuat tenaga mereka berlari kembali, menghampiri sang pimpinan yang tadi ditinggalkan. Padahal jarak yang mereka tempuh sudah ada 4 pal, sungguh tidak sedikit tenaga yang dikeluarkan!

Andaikata saat itu juga terjadi pertempuran, jangankan lawan bertaraf sejajar, lawan yang tiga tingkat dibawahnya- pun, sanggup mengalahkan mereka.

Tapi semangat kebersamaan seolah menjadi tenaga tambahan. Tak berapa lama kemudian, sampailah mereka ditempat semula.

Dan kenyataan tidak sebaik apa yang dipikirkan. Sang pimpinan rebah dengan tubuh penuh sayatan, darah masih mengalir. Sekalipun dia belum mati, keadaannya tak jauh dari mati.

Kereta kuda yang mengejarnya berhenti sepuluh langkah dari tubuh bersimbah darah itu. Sais kereta tidak kelihatan sama sekali. Tapi dua kuda penarik kereta sedang asyik makan dari keranjang rumput. Terang saja ada seseorang yang menyiapkannya.

Tak perlu dikomando, mereka segera memburu sang pimpinan untuk menolong. Salah satu dari mereka meraba nadi, masih ada denyutnya, tapi terlalu lemah.

Kalau tidak cepat ditolong, nasibnya sudah jelas. Lagi pula di tempat seperti ini, mau cari pengobatan kemana? Belum lagi musuh menghadang didepan mata.

Menyadari tidak ada hal lain yang dapat mereka perbuat, keempat orang itu bergegas menghentikan pendarahan yang ada. Dan mereka segera duduk mengelilingi sang ketua. Alam terasa kian senyap, derap suara kuda sudah mendekat. Dan dua kereta yang sempat mereka lihat, mendekat… dan kini mereka terkepung.

Siapa kelima orang itu? Jika ada orang yang melihat kejadian itu, tentu ada yang mencibir. Maklum saja, tampang kelima orang itu terlalu biasa, dan sudah pasti bukan siapa- siapa. Kenapa harus dikejar-kejar dengan tiga kereta mewah, yang justru harganya lebih dari lima orang itu?

Tentu ada sebabnya!

Asal usul mereka tidak misterius, tapi menurut pandangan kalangan kaum kelana, cukup berharga untuk diperhatikan. Mereka dari Perguruan Golok Sembilan. Sebuah perguruan silat yang membuka biro pengiriman barang. Jika dibanding dengan 16 perguruan besar, ilmu silat mereka ibarat kunang- kunang, tapi loyalitas mereka dalam bekerja, sudah diakui oleh banyak pihak. Dan sejauh ini belum pernah mengecewakan pelanggan. Jadi, jika ada kejadian semacam ini, sudah pasti berkaitan dengan barang yang akan dikirim. Pertanyaannya adalah, seberapa berharga barang itu, sampai-sampai ada yang mengincar?

Jika ditanya pada orang-orang ini, sudah tentu mereka tak tahu. Tugas mereka hanya mengantar saja, mengenai isi kiriman, mereka tak tahu menahu.

Beberapa waktu yang lalu, ada sekelompok orang datang ke perguruan itu. Mereka sekelompok orang aneh. Dibilang aneh, karena dandanan mereka tidak lazim. Baju mereka lebih mirip sehelai kain panjang yang dibalutkan keseluruh tubuh. Warnanya pun seragam, kuning.

Potongan tubuh orang-orang itu, sama—mungkin dapat dibilang mirip. Tinggi mereka sama, umpama seperti seikat lidi yang di potong ujungnya, tidak ada yang lebih pendek atau panjang! Mereka membawa peti kecil, paling banter beratnya cuma satu kilo.

Saat itu yang menerima barang yang akan dihantarkan adalah wakil ketua ekspedisi. Orang itu dijuluki Kucing Ekor Sembilan. Sudah pasti ada sebabnya dia dijuluki begitu, selain cerdik, konon orang inilah yang menjadi otak biro pengiriman barang itu.

Sejak dia menerima tamu-tamu aneh itu, perasaannya sudah mengatakan, apapun yang mereka bawa padanya, harus ditolak.

Tapi orang-orang aneh itu tak mengatakan hendak mengirimkan barang. Mereka juga membawa peti cukup besar, jika ditimbang mungkin beratnya mencapai 20 kilo lebih, belum jika ditimbang berikut isinya.

“Silahkan!” Cuma itu yang mereka katakan, dan peti besar itu diserahkan pada Kucing Ekor Sembilan.

Sekalipun Kucing Ekor Sembilan terkenal cerdik, menghadapi situasi seperti ini diapun agak panik. Menyadari sementara ini tak ada yang bisa dilakukannya, diapun menerima peti itu.

Dengan perasaan serba salah, dia membuka peti itu, dan matanya terbalalak saat itu juga. Dilihatnya isi peti itu penuh dengan batangan emas. Batangan emas itu berbentuk memanjang dengan ujung tumpul, pada tiap badan batangan emas itu ada ukiran semacam stempel. Orang ini tahu batangan emas itu resmi dikeluarkan dari sebuah kerajaan dan bisa menjadi alat pembayaranan sah dimanapun.

Dengan agak gemetar, Kucing Ekor Embilan mengambil satu batang. Dia cukup berpengalaman, sekali pegang juga tahu kalau itu emas murni, dan satu batang saja sudah cukup untuk membayar sebuah ekspedisi pengiriman untuk lima kadipaten, artinya sebatang emas bisa untuk biaya perjalanan selama dua bulan, sekaligus menggaji anggota biro. Apalagi dalam peti itu terdapat delapan deret batang, tiap deret ada enam batang. Itupun ada empat tumpukan, artinya ada 144 batang emas murni.

Dalam kilasan detik Kucing Ekor Sembilan bisa berpikir, emas sebanyak itu dapat untuk membuka delapan cabang biro pengiriman. Tapi akal sehatnya segera bekerja, jika ada orang memberi begitu besar bayaran, sepuluh nyawapun belum cukup untuk menebus kembali jika kiriman gagal.

Maklum saja, selama ini biro ekspedisi pengiriman Golok Sembilan selalu berpegang teguh pada mottonya, jika hantaran rusak atau hilang akan diganti dua kali lipat senilai barang tersebut, atau sepuluh kali ongkos pengirimanan. Kucing Ekor Sembilan tak berani membayangkan jika kiriman kali ini gagal…

“Maaf, saya tidak bisa menerima ini.” “Harus!” dengus salah satu tamu aneh itu. Dengan gerakan perlahan, mereka meletakan peti kecil yang dibawanya dengan hati-hati. Saat peti itu diletakan, empat kaki meja jati itu amblas kelantai, kemudian patah!

Kucing Ekor Sembilan tertegun, dia bukan orang bodoh, tak mungkin peti kecil itu berbobot begitu berat, dugaan paling mungkin, tamu-tamu aneh inilah yang berulah.

Sebagai wakil biro, sekalipun dia merasa gentar, wibawa perusaahan juga harus ditegakkan. Dengan perasaan dikuatkan Kucing Ekor Sembilan, mengambil peti kecil itu dan menyerahkan kembali.

“Kami tidak berani menerima pengiriman seberat ini.”

Tapi orang-orang itu tak menerima peti kecil itu kembali, mereka malah mengeluarkan secarik kertas dan meleparkannya kedepan, laju kertas itu tidak pesat, tapi begitu menempel ketiang saka penyangga, kertas itu amblas kedalam. Seolah kertas itu adalah lempengan baja panas!

“Harus diantar!” kata mereka singkat, tanpa basa-basi lagi mereka pergi.

Sekalipun Kucing Ekor Sembilan sudah menelan nyali naga, dia tak akan berani mencegah kepergian tamunya, sebab cara pergi mereka sangat istimewa. Hanya dengan menggerakan tumit saja, tubuh sekelompok orang aneh itu sudah melompat puluhan langkah jauhnya, begitu kaki menyentuh tanah kembali, sesaat kemudian tubuh mereka melayang pesat, dan lenyap entah kemana.

Kucing Ekor Sembilan memandang kepergian mereka dengan terperangah, nafasnya sedikit terengah, rupanya untuk beberapa saat yang mendebarkan tadi, dia tak berani bernafas keras-keras, takut sang tamu mengambil tindakan padanya. Begitu mereka pergi, bukannya lega, tapi justru membuatnya makin gundah. Dia masih memegang peti kecil yang katanya harus diantar, tapi entah diantar kemana.

Tiba-tiba dia teringat dengan kertas yang amblas menempel di saka rumah. Dia bergegas hendak membacanya, sebab dia yakin pada secarik kertas itulah segala sesuatunya bisa dijelaskan.

Saat memandang dimana adanya secarik kertas tadi, orang ini terkejut, menyadari sang ketua Perguruan Golok Sembilan sedang memegang kertas itu dan memambacanya dengan seksama.

“Aku tahu! Pada akhirnya memang akan datang…” desisinya sambil mengepalkan tangan.

Sekalipun orang mengatakan dirinya adalah otak dari biro pengiriman, tapi pada dasarnya Kucing Ekor Sembilan sangat menghormati sang ketua, diapun tak berani meminta secarik kertas itu.

Akhirnya sang ketua memberikan kertas itu… saat menyentuhnya baru dia sadar, ternyata bukan kertas, tapi kain! Dan kain itu dilipat begitu rapinya hingga lebar yang diperlihatkanpun seperti hanya lebar kertas pada masa itu. Orang ini membaca dengan seksama.

“Jadi, kita harus mengantarnya ke Perguruan Enam Pedang?”

“Ya.” Jawab sang ketua singkat. Kucing Ekor Sembilan agak ragu menanyakan sesuatu hal, untuk sesaat dia hendak bicara tapi tak jadi.

“Kau pasti ingin tahu kenapa aku mengatakan, hal ini pasti terjadi?” mendadak sang ketua malah bertanya pada Kucing Ekor Sembilan.

“Kalau anda tak keberatan menjelasakannya.”

“Hh… kejadiannya sudah lama. Akupun tak akan ingat lagi, sampai melihat tanda ini.”

“Tanda?”

Kucing Ekor Sembilan tahu, yang dimaksud tanda pasti ada pada secarik kain tadi. Dengan seksama dia menelitinya kembali.

“Maksud ini?” tunjuknya. sebuah lingkaran dengan satu garis vertikal dan 3 garis horizontal berjajar.

“Ya. Tanda itu melambangkan satu perkumpulan yang jarang diketahui orang…”

“Tapi, anda tahu.”

Sang ketua manggut-manggut. “Pada saat itu usiaku baru enam belas tahun. Tanda ini kuketahui tidak disengaja. Kau tahu, aku harus membayarnya dengan nyawa pamanku.”

“Ah…”

“Saat itu pamanku adalah salah satu pendekar yang terkenal dalam kelompok Tujuh Satria Tombak. Pamanku urutan ke empat. Semenjak aku kecil, beliaulah yang mengasuhku, karena orangtuaku sudah meninggal. Saat itu, paman menerima undangan untuk membahas persoalan penting…”

“Undangan itu dari kelompok Tujuh Satria Tombak?”

“Ya, juga ada beberapa orang yang lain. Jumlah undangan seluruhnya ada sebelas orang. Seharusnya aku tak diperbolehkan ikut, tapi pamanku kawatir kalau aku ditinggal sendirian, maka hidupku tak akan teratur. Padahal aku sudah menyakinkan pada beliau, aku bisa diandalkan untuk hidup sendiri.”

“Kalau begitu, pertemuan itu memakan waktu lama?”

“Ya, rencananya sampai satu bulan. Tak disangka, baru empat hari merembuk masalah, kami kedatangan tamu aneh. Dia adalah pendekar besar pada waktu itu, tak perlu kusebutkan namanya, karena beliau sudah meninggal. Dari beliaulah, kami peroleh penjelasan masalahan yang baru dibahas.”

“Tentang tanda itu?” “Ya…”

“Kalau boleh tahu sebenarnya tanda apakah itu?”

“Seharusnya aku tak boleh menceritakannya padamu, tapi apa boleh buat, kaupun sudah mengetahui sekelumit tanda ini…” Sang Ketua terdiam sejenak, lalu lanjutnya, “tanda ini merupakan lambang pengenal seorang yang berkuasa pada masa tiga puluh tahun berselang. Dia seorang adipati yang memiliki ambisi besar. Begitu besarnya ambisinya, selama tiga tahun terakhir, dia khusus mengundang orang-orang cerdik pandai, dan pendekar, untuk menjadi pelindungnya. Konon Adipati inipun orang yang lihay. Tapi usahanya untuk memberontak diketahui Raja Indrahulu, dengan rencana yang cermat dan tanpa menimbulkan gelombang, diapun ditumpas. Sayang tidak tuntas, kekuatan intinya justru tak tersentuh. Sejak saat itu bekas adipati itu lenyap, tapi mulai saat itu tanda tadi, menjadi tanda pengenal dalam dunia persilatan.”

“Saya belum menangkap hal-hal khusus dari sini…” “Memang saat itu belum seberapa, tapi lima tahun

berikutnya, lambang itu terasa menakutkan, karena setiap kemunculannya selalu ada kejadian besar, banyak korban berjatuhan…”

“Oh…”

“Mungkin kau menduga korban yang kumaksud adalah hilangnya jiwa seseorang… bisa dikatakan demikian, tapi ini lebih menyakitkan dari pada mati. Jika kau memiliki keluarga, dan mereka ada dalam genggaman mereka, kau sudah bisa membayangkan akan jadi apa dirimu. Itu baru sekelumit contoh saja! Lain halnya jika dirimu difitnah, dan semua orang, mengejarmu… tidak ada tempat berteduh bagimu… itu lebih menyiksa daripada mati. Dengan noda fitnah yang menempel pada namamu, meski kau ingin mati, pasti tak akan merasa rela.”

“Sedemikian menakutkannya?”

“Ya! Dan bukan cuma itu. Tapi sudahlah… kau tak perlu memikirkannya lagi. Karena dalam pandangan mereka, orang sepertimu belum cukup pantas untuk digunakan…”

Kucing Ekor Sembilan tertawa getir. “Sungguh beruntung.” Gumamnya. “Rupanya bekas adipati itu masih belum mengubur keinginan lamanya, dia terus memupuk kekuatan. Dan menurut kabar dari seorang kawan, dia sudah bergabung dengan kelompok rahasia.” Sang Ketua meneruskan ceritanya.

“Kelompok rahasia?”

“Ya, kekuatan sang adipati menjadi salah satu bagian dari kelompok itu. Sayang kau tak tahu macam apa Telik Sandi Kwancasakya, jika tahu… hidupmu tidaklah setentram saat ini.”

“Oh…” Kucing Ekor Sembilan hanya bisa berkomentar begitu, karena dia memang tak tahu apa itu Telik Sandi Kwancasakya. Tapi dia bisa menyimpulkan satu hal, mengetahuinya lebih lanjut tidak akan membawa kebaikan baginya, kecuali rasa takut yang bertambah—mungkin keluarganya juga bisa ikut terseret, jika ia bersikeras ingin tahu.

“Jadi, ketua sampai saat ini juga diburu kelompok ini?”

Dengan lemah sang ketua mengangguk. “Selama dua puluh tahun ini, aku selalu merubah identitas, hingga akhirnya terpikir olehku untuk membuka perguruan sekaligus biro pengiriman barang. Aku mengharapkan usaha ini membuat kita memiliki hubungan dengan kalangan yang bisa dijadikan tempat kita bersandar, meminta pertolongan. Masalah ini sudah terkubur begitu lama… sampai-sampai aku lupa. Kini aku sadar, rupanya aku tetap harus menghadapinya!” “Ketua, anda bilang paman anda juga meninggal lantaran mengetahui lambang tadi, apakah beliau juga diburu kelompok ini juga?”

“Ya. Seluruh orang yang melakukan pertemuan saat itu meninggal dengan tidak wajar. Menjelang kematiannya, pamanku berwasiat supaya aku mempelajari ilmu lebih tinggi, dan menghindar, lari sejauh mungkin. Aku tak tahu maksudnya, sampai akhirnya aku sadar, yang dimaksud paman adalah menghindari lambang itu sejauh mungkin. Saat itu aku tidak paham dengan apa yang terjadi, tapi seiring bertambahnya usia, bahaya selalu mengincarku. Syukurlah selama dua puluh tahun ini aku masih dilindungi Tuhan, aku selalu bisa lolos dari intaian telik sandi itu. Tapi rupanya hari ini sudah tak mungkin lagi.”

Kucing Ekor Sembilan terperangah.

“Kau tahu kenapa, orang itu membawa begini banyak emas?”

Sang wakil menggeleng.

Seraya menghela nafas panjang sang ketua berujar. “Tiap organisasi besar memiliki prinsip yang dipegang teguh, dalam hal ini mereka cukup baik. Sebab mereka tak menginginkan orang yang tidak berkaitan dengan mereka ikut mati. Mereka mengharuskan aku membagi harta ini untuk modal hidup baru bagi seluruh penghuni perguruan ini.”

Kucing Ekor Sembilan tambah terperangah mendengar penjelasan itu. “Jadi ini bukanlah bayaran untuk mengantar peti kecil ini?” Sambil tersenyum getir, sang ketua menjawab. “Bukan, seperti yang kubilang emas-emas ini untuk modal hidup kalian. Sejak hari ini, tak ada lagi Perguruan Golok Sembilan.”

“Tapi ketua…”

“Jangan membantah! Ini demi kebaikanmu, kau sudah mengetahui adanya kelompok ini, akupun ragu dengan kesalamatanmu, karena itu pergi dan sembunyilah. Bawa seluruh sanak keluargamu… akupun menitipkan keluargaku padamu!”

“… dan kuserahkan pembagian harta ini padamu. Aku harus menyiapkan segala sesuatunya.”

Tidak menunggu jawaban sang wakil, ketua Perguruan Golok Sembilan masuk kedalam sambil membawa peti kecil tadi. Kucing Ekor Sembilan masih berdiri termangu. Dia masih bingung dengan apa yang terjadi hari ini.

Tapi diapun tak berani membangkang perintah ketuanya, jika apa yang dikatakan sang ketua benar, bisa jadi dia dan keluarganya terancam bahaya. Tak mungkin dirinya mengambil resiko sebesar itu.

Tak menunggu lama, Kucing Ekor Sembilan mengumpulkan seluruh anggota perguruan. Dengan berat hati pula dia mengumumkan apa yang menjadi keputusan ketuanya, bahwa biro pengiriman dan Perguruan Golok Sembilan tutup. Banyak murid dan pegawai biro yang terkejut, mereka protes, tapi demi melindung keselamatan mereka, tak mungkin Kucing Ekor Sembilan mengatakan hal sebenarnya. Tak mengubris protes anggotanya, Kucing Ekor Sembilan membagi-bagikan emas-emas batangan itu. Penghuni Perguruan itu ada 57 orang, termasuk keluarga sang ketua dan keluarga Kucing Ekor Sembilan, total seluruhnya ada 68 orang. Urusan pembubaran perguruan memakan waktu setengah hari. Dengan berat hati para anggota kembali kerumah masing-masing, ada juga yang merantau mencari keberuntungan dengan membuka usaha sendiri.

Sebenarnya Kucing Ekor Sembilan ingin menemui ketuanya, tapi dicari dimanapun sang ketua sudah raib, yang ada hanya catatan singkat supaya dia segera meninggalkan tempat itu dan menitipkan keluarganya pada sang wakil. Sang ketua juga meninggalkan sejilid kitab ilmu golok dan tombak, dalam wasiatnya dia menitahkan pada Kucing Ekor Sembilan supaya lebih tekun mempelajari ilmu dalam kitab itu, dan jika bisa diajarkan pada seluruh anggota keluarganya. Dengan bercucuran air mata, Kucing Ekor Sembilan mengajak seluruh keluarganya, dan keluarga sang ketua untuk meninggalkan perguruan. Untungnya selama ini Kucing Ekor Sembilan punya pesanggrahan sendiri. Sementara waktu, mereka bisa tinggal disana.

Setelah beberapa lama meninggalkan perguruan, baru disadari oleh Kucing Ekor Sembilan, ada tujuh orang anggota kepercayaan sang ketua yang tak turut serta dalam pembagian harta. Dia mengira tentu mereka mengikuti sang ketua untuk mengirimkan peti kecil itu ke Perguruan Enam Pedang. Dengan perasaan gundah, diapun hanya bisa berdoa untuk keselamatan ketua dan tujuh orang anggotanya.

Sang Ketua, atau lebih dikenal dengan julukan Si Golok Sembilan Bacokan, merupakan orang cerdik. Dia sadar, jika kelompok mata-mata sudah mengincarnya, dia yakin cepat atau lambat dirinya pasti akan ditemukan. Karena itu, jauh hari dia sudah mempersiapkan diri, apakah itu akan berhasil atau tidak, tergantung nasibnya.

Tujuh orang yang mengikuti dirinya adalah, para lelaki tangguh yang memang khusus dididik untuk menghadapi kejadian diluar perkiraan. Dia sudah mendidik tujuh anak buahnya selama sembilan tahun.

Pepatah mengatakan, dari guru mahir, akan lahir murid yang mahir pula. Jika Si Golok Sembilan Bacokan hanyalah pendekar kelas tiga, sekalipun dia mendidik lebih lama lagi juga tak ada gunanya.

Pepatah itu sangat dipahami Si Golok Sembilan Bacokan, karena itu, semenjak dirinya sudah tahu kalau dia menjadi buruan orang, bersembunyi dan belajar menjadi prioritas utama.

Tujuh orang anggotanya sudah di didik dengan kemampuan dan bakat masing-masing. Mereka tak memiliki bakat ilmu silat sebagus murid-murid pilihan perguruan utama, tapi yang menjadi kelebihan mereka dibanding murid perguruan utama, adalah tekad. Tekad mereka untuk hidup lebih dari siapapun, semenjak sang ketua ‘mendoktrin’ bahwa mengikuti dirinya berarti akan menemui banyak kesulitan, mungkin kematian, mereka menyanggupi bersedia menghadapi segala macam bahaya.

Maka sejak saat itu, ketujuh muridnya dia tugaskan untuk belajar, dan belajar terus, karena itulah tugas utamanya. Mengenai ilmu silat, mereka justru belajar ‘sekedarnya’ saja. Si Golok Sembilan Bacokan menitikberatkan pada pelajaran bertahan hidup, bagaimana seseorang harus bertahan dalam situasi apapun, dengan peralatan seadanya. Sembilan tahun dilalui dengan belajar, jika bakat mereka untuk ilmu silat memang kurang, tapi dalam menyerap pelajaran non-silat, justru melampaui kebanyakan orang. Dengan ketekunan dan kegigihan yang selalu dilecutkan sang guru, hasil belajar sembilan tahun juga tak sia-sia.

Kini dalam kondisi apapun harus bisa bertahan, tak perduli ilmu silatnya rendah, yang penting adalah akal! Tak perduli sesederhana atau serumit apapun siasat itu, jika kau bisa menggunakannya pada saat yang tepat, hasilnya tentu maksimal……

Begitu pula dengan mereka (murid Golok Sembilan Bacokan), kondisi saat ini yang begitu kritis, dapat mereka hadapi. Meski rasa putus asa menyusup dalam hati, tapi keinginan hidup lebih kuat dari apapun, itu yang memberi keberanian dalam hati mereka.

Dengan hati berdebar tegang, keempat orang itu menunggu. Mendadak, pintu kereta kuda terbuka, dari tiap kereta muncul sepasang pria dan wanita. Paras mereka sungguh elok, yang wanita cantik memukau, yang pria tampan mempesona. Tiga pasangan itu saling tegur sapa, dan berbicang ala kadarnya, seolah mereka lupa dengan kehadiran buruannya.

“Ah, cerah sekali hari ini…” desah wanita dari kereta pertama—yang datang lebih dulu.

“Ya, memang cerah, tapi aku mencium bau amis.” Sahut si lelaki. Wanita itu tertawa lirih, “Mungkin ada hewan baru disembelih…” ujarnya.

“Mau disembelih.” Ralat si lelaki.

Orang-orang dari biro pengiriman, mengela nafas dingin. Bulu kuduk mereka meremang. Sekalipun mereka tak tahu siapa yang mengejar, tapi melihat tiga kusir kereta mewah itu adalah orang-orang yang cukup punya nama di dunia persilatanan, merekapun dapat menduga, tokoh macam apa muda-muda itu.

“Tunggu apa lagi?” tiba-tiba kusir dari kereta yang datang lebih dulu, membentak orang-orang dari biro pengiriman.

Mereka bingung dengan pernyataan si kusir. Apanya yang perlu ditunggu?

“Orang tolol!” bentak si kusir. Dengan gerakan sangat cepat, cambuk kuda ditangannya melesat menyerang salah satu dari mereka.

Jika serangan itu hanya ditunjukan pada orang yang kelelahan, masih bisa dimaafkan, tapi ujung cambuk itu mengarah pada pimpinan mereka yang menggeletak nyaris mati!

“Kurang ajar!” serempak keempat anggota lainnya, menerjang menghadang, membuat perisai badan untuk sang pimpinan.

Tar! Tar! Tar! Beberapa kali ujung cambuk menghantam perut dan dada mereka. Tiba-tiba seseorang yang masih bisa meluputkan serangan itu, menerjang maju dan mendadak berbalik, rupanya dia ingin menyerang dengan punggungnya. Tapi, bukankah itu tindakan tolol? Dengan keadaan terbuka seperti itu, cukup sekali hantam, luka parah pasti dia derita.

Buk!Ternyata, si kusir menendang punggung orang itu. Terdengar suara, krek… kelihatannya ada sesuatu yang patah, apakah tulang punggung?

“Ah!” terdengar jeritan. Anehnya, itu jeritan si kusir. Tiga pasang muda-mudi itu terkejut juga, mereka pikir dengan demikian, selesailah riwayat lawan, tapi malah sebaliknya, si kusir itu yang terluka.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar