Bab 6 : Si Gojin (Tamat)
Hari menuju subuh, dan selagi udara dingin, ketiga orang kawan seperjalanan itu melarikan kuda dengan cepat. Mereka mengharapkan dapat menempuh perjalanan yang cukup panjang selagi kuda mereka masih segar dan sebelum udara menjadi panas. Karena cepatnya perjalanan itu, mereka tidak dapat bercakap-cakap. Dan kebisuan itu mendorong Banyak Sumba untuk mengembalikan kenangannya kepada Nyai Emas Purbamanik di Puri Purbawisesa.
Apa yang dialami di puri itu seperti mimpi belaka baginya, sebuah mimpi yang indah dan memabukkan. Dalam perjalanan itu, tiba-tiba ia menyadari bahwa barangkali satu- satunya kesempatan untuk berbahagia dalam kehidupannya
^elah lepas darinya. Mengapa ia tidak mengambil kesempatan itu? Mengapa ia tidak bertahan tinggal di Puri Purbawisesa dan melupakan dendam keluarganya terhadap Puragabaya Ang- gadipati, Pembayun Jakasunu, dan Tumenggung Wiratanu?
Ya, bukankah sifat mengampuni itu terpuji, dan bukankah sifat sabar itu dititahkan oleh Sunan Ambu kepada seluruh manusia? Dan bukankah sia-sia kalau hidup ini dijadikan tempat saling membalas dendam dan saling menyakiti?
Demikianlah renungan-renungan timbul dalam pikiran Banyak Sumba, sementara dalam khayalannya terbayang-bayang Putri Purbamanik yang cantik jelita itu. Bersamaan dengan bayangan-bayangan itu, mendesaklah rasa rindu dan hasratnya untuk kembali ke Puri Purbawisesa dan menggagalkan niatnya mencari guru. Berulang-ulang ia berpaling ke belakang dan hampir saja ia berseru kepada kedua orang temannya yang berkuda di belakangnya untuk berhenti. Akan tetapi, lidahnya tidak dapat bergerak untuk menyampaikan perintah itu dan rombongan pun makin jauh juga dari Puri Purbawisesa.
Ia pun berdiam diri kembali sambil memandang ke depan.
Kesunyian subuh dan suara kedepuk kaki-kaki kuda juga membangkitkan renungannya yang lain. Bagi seorang kesatria dan—terutama—anak laki-laki tertua dari keluarga kesatria, bukanlah kehormatan keluarga itu di atas segala-galanya? Dan bukankah keluarga Banyak Citra merupakan salah satu wangsa tertua dan terhormat di seluruh Pajajaran? Oleh karena itu, mengapa ia harus ragu-ragu? Mungkinkah ia lemah dan menjadi layu karena kecantikan seorang putri, sehingga melupakan kewajiban seorang kesatria? Mungkinkah ia sebenarnya orang yang tidak pantas menjadi keturunan wangsa Banyak Citra?
Banyak Sumba mulai membenci dan mengutuk dirinya, sementara kudanya menderu ke timur. Ia menyadari berapa banyak biaya serta waktu yang telah dibuangnya dan betapa banyak perbuatan sia-sia yang telah dilakukannya. Seharusnya ia sudah menunaikan sedikitnya sebagian tugas keluarga yang dibebankan kepadanya. Dua tahun telah berlalu sejak ia meninggalkan keluarganya, tetapi satu pun belum dikerjakannya. Ia harus membalas dendam kepada keluarga Wiratanu yang memancing Kakanda Jante ke dalam huru- hara, tapi yang dikerjakannya hanyalah keluyuran di Kota Kutabarang yang penuh dengan keramaian dan kegembiraan. Ia harus membalas dendam kepada keluarga Pembayun Jakasunu, tetapi yang dikerjakannya hanyalah berkelahi di tempat orang kenduri. Ia harus membawa abu jenazah Kakanda Jante Jaluwuyung, tetapi yang dikerjakannya tidak lain kecuali berkelahi dengan Raden Girilaya, seorang kesatria budiman, dan merebut pekerjaannya. Seharusnya ia memenggal kepala Anggadipati, pembunuh Kakanda Jante, tetapi yang dilakukannya tidak lain daripada bercumbuan dengan Putri Purbamanik. Ia berteriak dan memecut kudanya keras-keras hingga kudanya melonjak dan lari seperti gila.
Kedua panakawannya keheranan, lalu menyusul memacu kuda masing-masing. HARI MULAI fajar ketika rombongan tiba di pertigaan, yang satu langsung menuju Kutabarang, yang lain menuju perbukitan sebelah selatan, tempat yang akan dijadikan medan pertempuran. Banyak Sumba melambatkan kudanya dan memberi aba-aba kepada panakawannya supaya berhenti. Di pertigaan itu, orang-orang mulai sibuk karena kampung yang ada di sekitar jalan itu cukup banyak dan padat pula penghuninya. Di sanalah Banyak Sumba merencanakan berhenti sebentar untuk memberi makan dan minum kuda, serta memeriksa kaki binatang itu karena perjalanan masih jauh.
Begitu Banyak Sumba turun dari kudanya, seorang tampak berlari ke arah Jasik. Banyak Sumba memerhatikan orang itu.
'Jasik, kebetulan kita bertemu, ada berita penting bagimu." "Oh, Ajum, ada apa kau di sini?"
"Sik, ke Perguruan Gan Tunjung datang empat orang tamu.
Mereka mencarimu dan tuanmu," kata orang yang disebut Ajum itu. Banyak Sumba berjalan mendekati Jasik yang sedang berhadapan dengan pendatang itu.
"Mereka dari mana?" tanya Jasik sambil- berpaling ke arah Banyak Sumba.
"Mereka datang dari Kota Medang. Mereka mencari Raden Banyak Sumba dan kau, Sik," kata Ajum. Untuk sementara, tak ada yang berkata-kata. Jasik berulang-ulang berpaling kepada Banyak Sumba yang tetap membisu. Kemudian, Banyak Sumba membuka pembicaraan, "Apakah mereka ponggawa atau kesatria, atau panakawan?"
"Yang seorang tampaknya ponggawa tinggi, yang tiga orang lagi panakawan dan prajurit."
"Apakah mereka bersenjata?" tanya Jasik. "Bersenjata, sejauh yang diperbolehkan di daerah
kerajaan," jawab Ajum pula. Jasik memandang Banyak Sumba.
"Maksud saya, apakah mereka bersenjata hiasan atau senjata yang sungguh-sungguh," tanya Jasik pula. Ajum tampak kebingungan dan tidak mengerti apa yang dimaksud Jasik. Jasik terpaksa menjelaskan pertanyaannya, "Kautahu bahwa warga kerajaan hanya dibolehkan membawa senjata pendek, itu pun kebanyakan hanya sebagai hiasan atau pisau untuk keperluan sehari-hari dan bukan untuk keperluan perkelahian. Tentu saja kau dapat membedakan, apakah senjata yang mereka bawa itu senjata untuk perkelahian atau alat-alat sehari-hari. Misalnya, adakah mereka membawa trisula, yang sebenarnya tidak ada gunanya untuk kesibukan sehari-hari?"
Ajum tampak termenung, kemudian berkain, "Saya tidak memerhatikan sejauh itu, Sik. Saya hanya melihat mereka datang kepada Gan Tunjung dan mendengar percakapan mereka sebelum saya berangkat kemarin."
Jasik memandang Banyak Sumba. Banyak Sumba berkata kepada Ajum, "Terima kasih atas berita itu, Jum."
"Kembali, Raden. Kebetulan saja kita bertemu di sini, jadi saya dapat menyampaikannya dan kalau para tamu itu penting, Raden dapat segera pulang ke Kutabarang sebelum tamu-tamu itu melanjutkan perjalanan. Saya mendengar bahwa mereka akan mencari Raden ke Kota Kutabarang, ke tempat Raden menginap."
Sekali lagi, Banyak Sumba dan Jasik berpandangan.
Kemudian Jasik bertanya, "Sudahkah mereka berangkat ketika kau pergi?"
"Belum," ujar Ajum.
"Baiklah, terima kasih atas beritamu yang sangat penting itu, Jum," kata Banyak Sumba, kata-katanya terputus-putus. "Kembali, Raden, dan selamat berpisah. Saya harus menggabungkan diri dengan rombongan pedati kerbau," seraya berkata demikian, Ajum menundukkan kepalanya kepada Banyak Sumba. Setelah memberi salam kepada Jasik dan Arsim, Ajum pun bergegas pergi ke arah rombongan orang-orang yang sibuk.
Tinggal tiga sekawan termenung. Untuk beberapa lama, tidak ada yang memulai percakapan. Baru setelah beberapa lama, Banyak Sumba berkata kepada kedua orang panaka- wannya, "Mereka telah menemukan jejak kita, Sik. Kita harus meninggalkan Kutabarang secepatnya." Jasik tidak menjawab, ia hanya menunduk.
"Untung kau sedang tidak ada di tempat, Sik," tiba-tiba Arsim berkata.
"Kalaupun saya berada di perguruan, mereka tidak akan berani mengganggu saya," ujar Jasik.
"Ya, tentu saja, dan mereka boleh coba," kata Arsim pula. Kemudian ia tertawa, lalu melanjutkan, "Dan anak-anak dapat berlatih dengan keempat orang itu, hahaha "
Kegembiraan Arsim itu tidak memengaruhi kedua orang lainnya yang tetap termenung, hingga Arsim kemudian berhenti tertawa dan memandang kedua orang temannya dengan agak keheranan. Setelah beberapa lama sunyi, berkatalah Banyak Sumba, "Kuda kita sudah minum, hari berangsur siang. Kita harus segera meninggalkan tempat ini, siapa tahu mereka menuju ke sini. Kalau bertemu dengan mereka, mungkin kita menghadapi kesulitan yang tidak perlu," kata Banyak Sumba.
"Empat orang tidak terlalu banyak bagi kita, Den," kata Arsim.
"Benar, Kang Arsim, tetapi tugas saya sementara bukan untuk melayani mereka. Saya harus mencari guru terlebih dahulu. Akan tiba saatnya mereka kita hadapi, tapi sekarang, marilah kita pergi dari sini," kata Banyak Sumba.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, kedua orang pana- kawan itu berjalan menuju kuda masing-masing. Tak lama kemudian, mereka sudah berada di perjalanan, menuju daerah di selatan benteng Kutabarang. Ketika itu, matahari mulai bersinar, cahayanya yang merah mewarnai pipi sebelah kiri Banyak Sumba.
SEPANJANG pagi, mereka melarikan kudanya, beriring- iringan menyusuri jalan kerajaan yang berliku-liku di kaki bukit-bukit, atau lurus melintasi padang-padang perhumaan. Kadang-kadang jalan itu menurun, melintasi lembah, kadang- kadang menclaki menyusur lereng gunung. Beberapa buah jembatan telah mereka lalui ketika mereka melihat sekelompok rumah petani di bawah kelompok pohon-pohonan di tengah padang perhumaan.
"Kita makan di kampung itu, Sik," kata Banyak Sumba.
Kedua orang panakawannya serempak menyetujuinya karena matahari sudah menempuh seperempat perjalanannya dan mereka belum menyentuh sesuap nasi pun pagi itu. Di kampung itu mereka menerima sajian dari penduduk setempat, yang di samping memberikan sarapan juga memberikan buah-buahan kepada mereka. Setelah mereka sarapan, Banyak Sumba dengan kedua orang panakawannya tidak segera pergi. Mereka memberi kesempatan kepada kuda masing-masing untuk beristirahat. Di samping itu, mereka perlu berbincang-bincang dengan penduduk kampung kecil yang baik hati dan ramah tamah itu.
"Bagaimana keamanan daerah ini, Paman?" tanya Banyak Sumba kepada tuan rumah.
"Baik, Raden." "Saya dengar, di selatan Kutabarang kurang baik keamanannya, tapi rupanya berita itu tidak benar," lanjut Banyak Sumba.
"Berita itu benar, Raden," tukas tuan rumah dengan tidak disangka-sangka.
Banyak Sumba mengerutkan keningnya, tidak mengerti.
Tuan rumah melanjutkan keterangannya, "Kampung-kampung selatan sering didatangi gerombolan si Colat. Mereka tidak pernah mengganggu, tetapi meminta sumbangan yang kadang-kadang jumlahnya terlalu besar bagi para petani setempat."
"Si Colat?" seru Banyak Sumba penasaran.
"Ya, saya sendiri tahu bangsawan itu ketika masih kecil.
Sebenarnya, ia dapat menjadi kesatria yang baik. Akan tetapi, entah bagaimana sebabnya, sekarang ia menjadi buruan kerajaan."
Banyak Sumba semakin penasaran mendengar berita itu. Harapannya timbul untuk bertemu dengan si Colat, tetapi ia penasaran pula akan hal-hal yang tidak diketahuinya belakangan ini.
"Tadi, Paman mengatakan bahwa si Colat buruan kerajaan. Saya dulu mendengar bahwa memang ada bangsawan yang menyediakan hadiah bagi yang berhasil menangkap si Colat. Baru sekarang saya mendengar bahwa kerajaan turun tangan."
"Baru beberapa waktu yang lalu saja kerajaan turun tangan, Raden, yaitu setelah satu keluarga hampir punah dibunuhnya. Peristiwa yang mengerikan itu terjadi setelah putranya yang bernama Raden Jimat diculik oleh suatu keluarga bangsawan. Keluarga itulah yang kemudian satu demi satu dibunuh si Colat. Kepada rakyat biasa, si Colat tidak pernah mengganggu. Apalagi kepada penduduk kampung kami. Ia pernah berkata di sini bahwa kampung ini tidak akan diganggu karena ia ingat di waktu kecil sering berhenti di sini dan disambut dengan ramah oleh orang kampung ini.
Kampung-kampung lain, terutama yang kaya dan dipimpin bangsawan-bangsawan tertentu, setiap waktu dikunjungi untuk dipungut sumbangan berupa perbekalan dan kadang- kadang barang emas."
Mendengar kisah itu, termenunglah Banyak Sumba.
Kemudian, timbullah pikirannya untuk mengubah rencana. Ia bertanya, "Di manakah kira-kiranya saya dapat bertemu dengan si Colat, Paman?"
Tuan rumah memlalakan matanya dengan curiga lalu tunduk dan membisu seribu bahasa. Banyak Sumba mengerti bahwa orang itu ketakutan untuk mengatakan sesuatu tentang si Colat. Banyak Sumba melepaskan harapannya untuk dapat bertemu dengan si Colat. Ia berkata, "Oh, tentu saja tidak pada tempatnya saya bertanya tentang hal itu kepada Paman. Bagaimanapun, soal ini berbahaya dan saya sendiri sebenarnya tidak berkepentingan dengan si Colat, sekurang- kurangnya sekarang ini."
Setelah itu, percakapan berbelok ke hal-hal lain. Tak lama kemudian, rombongan pun pamit dan meneruskan perjalanan. Kira-kira tengah hari, Arsim memberi aba-aba supaya rombongan berhenti. Ia turun dari kudanya, lalu berjalan ke arah Banyak Sumba: "Raden, di sebelah kiri jalan kecil ini ada kampung. Kita harus menitipkan kuda kita di kampung itu.
Tidak ada kampung lagi di dekat lapangan itu dan kalau kita bawa, risikonya terlalu besar. Padang-padang ini penuh serigala dan macan tutul. Jadi, saya usulkan kita titipkan kuda di kampung dan berjalan kaki untuk beberapa lama."
"Baiklah," kata Banyak Sumba, lalu rombongan pun membelok, menitipkan kuda.
Setelah itu, mereka berjalan. Mula-mula menyusur jalan kerajaan yang makin mengecil, kemudian masuk semak- semak dan huma. Beberapa kali, mereka bertemu dengan gerombolan babi hutan dan berulang-ulang pula mereka mengejutkan kawanan menjangan. Burung-burung beterbangan di atas kepala mereka dan berbunyi ramai sekali. Pepohonan makin lama makin lebat juga, dan semak-semak berubah menjadi hutan.
Tiba-tiba, hutan terbuka. Tampaklah oleh Banyak Sumba suatu lembah berbentuk lonjong. Di dasarnya terdapat tanah yang rata dan berumput. Sebelum Arsim mengatakan apa- apa, Banyak Sumba sudah menduga bahwa tempat itulah yang akan dijadikan medan perkelahian pada malam yang akan datang.
"Kita datang cepat, Raden," kata Arsim.
"Lebih baik, Kang Arsim, kita dapat beristirahat," sambut Banyak Sumba dan mereka pun segera mencari tempat berlindung dari panas matahari sore. Mereka berbaring-baring di bawah daun-daunan semak. Sambil beristirahat, mereka pun berusaha agar tidak mudah dilihat orang. Mereka tidak ingin menimbulkan kecurigaan dan menghalangi lancarnya perkelahian yang akan berlangsung. Karena itulah, mereka bersembunyi.
Hari makin sore juga. Awan di sebelah barat berubah warna dari perak menjadi emas, dari emas menjadi tembaga. Akhirnya, malam tiba, berbarengan dengan munculnya bulan yang besar dari bukit-bukit di timur. Ketika itulah, Banyak Sumba mendengar suara berbisik di semak-semak tidak jauh dari tempat mereka bersembunyi.
"Mereka datang!" Arsim berbisik. Banyak Sumba berpaling dan tampaklah olehnya iringan laki-laki berpakaian hitam dan berikat pinggang putih. Suatu hal mengejutkan Banyak Sumba, yaitu rombongan itu membawa banyak sekali keranda.
"Kang Arsim, mereka membawa keranda?" tanya Banyak Sumba, berbisik. "Raden, diadatkan di daerah Kutabarang ini, kalau berniat bertempur habis-habisan, mereka membawa keranda-keranda itu. Istilahnya di sini—didongdangkeun. Artinya, mereka hanya akan keluar dari tempat bertarung dengan keranda itu. Itu tantangan pula terhadap lawan mereka.
"Lihat, pihak yang lain telah datang. Mereka pun membawa keranda yang banyak. Lihat!" seru Jasik dalam kesunyian hutan di malam hari, ketika bulan rendah dan besar bagai perisai yang terbuat dari emas.
Banyak Sumba melihat ke arah lain dan tampak olehnya betapa pasukan yang tidak kalah banyak anggotanya keluar dari semak-semak, memasuki lapangan itu. Rombongan baru ini pun berpakaian hitam, tetapi ikat pinggangnya bukan putih, melainkan berwarna emas. Pendatang-pendatang baru ini segera membentuk barisan memanjang di timur lapangan, menghadap kepada lawannya yang juga sedang mengatur diri di sebelah barat. Walaupun mereka sangat sibuk, tak satu suara pun kedengaran dari arah mereka. Segalanya dilakukan dengan cepat, tapi tidak bersuara. Kcranda-keranda diletakkan di belakang barisan secara teratur, orang-orang mencari tempat masing-masing di antara teman-temannya.
"Mari, kita maju lebih dekat lagi, Sik," bisik Banyak Sumba sambil bergerak merunduk-runduk menuruni tebing ke arah kelompok semak-semak lain di tepi lapangan itu. Kedua orang panakawannya mengikuti dari belakang sambil mengendap- endap. Di suatu tempat yang terlindung oleh semak-semak, mereka duduk sambil menahan napas karena di hadapan mereka sedang berlangsung adegan yang mendebarkan hati.
Kedua rombongan yang berlawanan sama-sama menyalakan dupa yang mereka bawa dari tempat mereka masing-masing, kemudian upacara sembahyang dilakukan bersama-sama. Setelah upacara selesai, seorang dari rombongan yang berikat pinggang emas maju. Dari lawannya maju pula seorang. Di ruangan antara kedua rombongan, mereka berunding, tak lama kemudian kembali ke rombongan masing-masing. Terdengar seruan yang samar-samar, kemudian tampak kedua rombongan duduk berhadapan, di ruangan yang luas di hadapan mereka.
"Raden, yang pendek besar itulah pemimpin Perguruan Pager Rante," bisik Arsim sambil mendekat, "perhatikanlah cara dia berkelahi. Saya pernah melihat dia melatih ketika Gan Tunjung membawa saya berkunjung ke Perguruan Pager Rante. Saya tidak banyak tahu tentang Perguruan Akar Jati, tapi ada beberapa orang kenalan saya menjadi anggota di sana," sambung Arsim.
Banyak Sumba melayangkan pandangannya ke rombongan Pager Rante yang berikat pinggang keemasan dan melihat orang kekar pendek yang duduk di tengah-tengah barisan.
Sementara mencoba matanya melihat lebih baik, tiba-tiba dirasakannya tangan Arsim menyentuhnya. "Raden, lihat di sebelah barat. Ada kecurangan!" tiba-tiba Arsim berkata.
"Kecurangan?" tanya Banyak Sumba.
"Ya, rombongan Akar Jati menyewa bajingan, lihat!" "Bajingan?" tanya Banyak Sumba.
"Lihat orang yang duduk di samping pemimpin rombongan barat! Nah, ada orang yang tinggi besar duduk di sampingnya yang agak kecil. Yang kecil pemimpin Perguruan Akar Jati, yang besar itu bajingan, si Gojin."
"Siapa si Gojin itu, apakah dia pencuri atau rampok?"
"Bukan, pemalas, hidupnya tidak keruan, tapi judinya melebihi saudagar. Dia biasa disewa untuk memukul orang, bahkan mungkin membunuh. Para jagabaya selalu membayang-bayanginya dan menunggu kesempatan untuk menangkap dan membuangnya. Bajingan!"
"Kau kenal dia, Kang Arsim?" "Dia pernah datang ke Bangunan Gan Tunjung pinjam uang kepada saya, tidak pernah mengembalikannya. Saya tidak berdaya. Ilmunya tinggi dan Gan Tunjung tidak mau bersusah- susah mencari dia. Padahal, siswa-siswa perguruan bersedia membantu saya mencarinya."
"Lihat!" seru Jasik. Banyak Sumba melihat ke lapangan dan tampaklah olehnya seseorang dari ujung barisan barat berdiri diikuti oleh seseorang lain dari barisan timur. Banyak Sumba menajamkan pandangannya karena cahaya bulan samar- samar saja menerangi lapangan itu, sedangkan ujung barisan itu jauh dari tempat mereka mengintai.
"Mereka mulai," kata Jasik yang terus-menerus memusatkan perhatiannya ke lapangan.
Rupanya, yang maju lebih dahulu dua orang siswa termuda di perguruan. Mereka berjalan ke tengah-tengah ruangan antara kedua barisan yang duduk berjajar. Mereka memberi hormat kepada perguruan masing-masing, lalu berhadapan.
Kemudian, terjadilah baku hantam yang buruk tapi buas. Begitu cepat dan kacaunya perkelahian itu. Karena malam samar-samar, Banyak Sumba tidak dapat memerhatikannya lebih baik. Terutama setelah kedua lawan berguling-guling di rumput, Banyak Sumba kehilangan perhatiannya. Ia tidak akan mengambil pelajaran dari perkelahian siswa-siswa itu. Oleh karena itu, ia lebih memusatkan perhatiannya pada yang akan dilakukan oleh kedua barisan itu kemudian. Akan tetapi, ketika ia melihat ke arah tengah-tengah barisan, sesuatu terjadi di ujung barisan. Kedua lawan yang berkelahi bergelundung ke ujung barisan, kemudian siswa-siswa dari Pager Rante yang duduk di ujung berdiri. Siswa-siswa dari Akar Jati pun berdiri. Yang sedang berkelahi dapat memisahkan diri dan menjauhkan diri dari lawan. Tiba-tiba seorang, entah dari pihak mana, menyerang dengan kaki ke arah dada lawannya. Lawannya yang belum siap, terjatuh ke belakang, tidak bangkit lagi. Pemenang mundur diiringi dengan gumam dari pihaknya. Akan tetapi, tak lama ia berdiri di lapangan karena dua orang pasangan baru berdiri dan mulai berhadapan. Banyak Sumba mulai tertarik lagi perhatiannya.
Kedua orang lawan tidak segera menyerang, mereka saling mengintai. Kemudian, dalam waktu yang bertepatan, keduanya menghambur menyerang. Baku hantam yang kacau terjadi, kemudian kedua orang lawan menjauh sambil terengah-engah memasang kuda-kudanya kembali. Mereka maju perlahan-lahan. Lalu yang seorang menangkap tangan yang lain dan mencoba mematahkannya, tetapi lawannya menendang perutnya. Mereka berpisah kembali, lalu menerjang. Sekarang, pergulatan jarak dekat terjadi. Banyak Sumba tidak lagi dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi, hanya beberapa lama kemudian dilihatnya seorang di antara pasangan itu terjatuh, lalu disepak dan diinjak-injak oleh lawannya. Kemudian, lawannya berjalan ke arah barisannya, disambut dengan seruan gembira dari pihaknya.
"Mungkin tewas, rusuknya diinjak-injak," seru Arsim. "Kejam sekali," bisik Jasik.
"Dendam lama, Sik. Bertahun-tahun mereka bersaing dan berkelahi kecil-kecilan. Sekarang saat yang menentukan, perguruan mana yang akan berpengaruh di wilayah ini."
"Pantas pemerintah kerajaan mencegahnya," ujar Jasik pula. Sementara kedua orang panakawannya bercakap-cakap demikian, Banyak Sumba melihat bagaimana korban yang berbaring di antara kedua barisan dirubungi, diangkat oleh kawannya, kemudian dibawa ke barisan dan langsung dimasukkan keranda.
"Tewas!" seru Jasik.
"Ayo, maju!" tiba-tiba kawan si mati berseru dan berdiri di tengah-tengah lapangan antara kedua barisan. Kematian kawannya tampak memengaruhi orang itu. Dari seruannya, terdengar ia sudah kalap karena kemarahan dan kesedihan. Banyak Sumba merasakan suasana tegang meninggi dan ia menunggu kejadian-kejadian yang serba mungkin dalam keadaan seperti itu.
Penantang tidak lama berdiri di tengah-tengah gelanggang karena lawan segera muncul. Begitu mereka berhadapan, penantang menyerangnya bagai binatang buas. Lawannya sudah siap-siap mengelak, tetapi dengan membabi buta penantang menangkap pinggangnya. Keduanya kehilangan keseimbangan, lalu jatuh di rumput. Pergulatan yang tidak jelas terjadi, kemudian kedua orang lawan berbaring sebentar. Tak lama kemudian, penantang berdiri, lawannya tidak.
"Siapa lagi!" seru penantang dari Pager Rante. Kebetulan, Banyak Sumba melihat ke barisan pimpinan
Perguruan Akar Jati. Ia melihat si Gojin berpaling dan
berbicara dengan pemimpin pihak yang kalah dalam perkelahian itu. Si Gojin seperti akan berdiri, tapi ditahan pemimpin perguruan itu.
Sementara itu, seorang anggota Perguruan Akar Jati berdiri, lalu berjalan ke arah penantang. Yang lain juga berdiri, tapi untuk mengusung kawannya dan memasukkannya ke keranda yang telah tersedia di belakang barisan.
Tak lama kemudian, perkelahian pun terjadi lagi. Sekarang, perkelahian jarak jauh. Penantang menyerang dengan cepat dan keras, lawan mencoba mengelak dan mencari kesempatan. Akan tetapi, malang baginya karena pukulan penantang dari Pager Rante mengenai rahangnya. Ketika anggota Akar Jati ini mendongak, penantangnya tidak memberi kesempatan. Jurus-susun menghantam rusuknya.
Dan ketika ia jatuh, penantang tidak membiarkan kesempatannya. Injakan tumit yang tidak bisa dielakkan menghantam ulu hatinya, disusul dengan injakan di muka, sepakan di kepala, dan injakan di perut. Korban bergerak- gerak sejenak, kemudian diam. "Siapa lagi!" seru penantang dari Pager Rante, serak. Sekali lagi, Banyak Sumba melihat orang bernama si Gojin yang sedang bersila di samping pemimpin Perguruan Akar Jati hendak bangkit, tapi seperti sebelumnya, ia ditahan. Yang bangkit siswa lain yang bertubuh tinggi besar.
Penantang dari Pager Rante tidak gentar sedikit pun. Begitu mereka berhadapan, begitu ia menerjang. Lawannya yang bertangan dan berkaki panjang menghindarkan diri dengan menjauh dan menghindar berkeliling. Karena serangannya berulang-ulang tidak mengenai sasarannya, dengan menenangkan napasnya, tampaklah penantang dari Pager Rante mengubah siasatnya. Ia berhenti sambil memasang kuda-kuda. Lawannya yang selama ini menghindar dan memelihara jarak jauh serta mengambil keuntungan dari tangan dan kakinya yang panjang, mulai memasang kuda- kuda. Tampaknya ia bimbang sebentar, kemudian beranggapan bahwa saat untuk membuka serangan tiba.
Ia mengambil keuntungan dari tubuhnya yang tinggi dan badannya yangjauh lebih panjang daripada lawannya. Ia menyodorkan tangannya dekat sekali ke tangan lawan,
seolah-olah hendak menangkap tangan dari pihak Pager Rante itu.
Akan tetapi, lawannya tiba-tiba memukul tangan yang disodorkannya itu dengan keras. Si tinggi besar menarik tangannya kesakitan, diiringi gumam puas dari pihak Pager Rante. Dari sebelum gumam itu reda, penantang dari Pager Rante secepat kilat menyerang si tinggi besar yang tidak sempat mengelak. Pukulan ke dada yang tidak terelakkan menyebabkan si tinggi besar mendongak dan sempoyongan ke belakang. Penantang dari Pager Rante yang telah menjadi buas itu tidak menunggu-nunggu, ia terus menyerbu hingga si tinggi besar terpental ke belakang. Ketika itulah, terjadi suatu hal yang menyebabkan Banyak Sumba dengan panakawannya serta sejumlah anggota Pager Rante, berdiri. Ternyata, si tinggi besar seorang pengecut. Ketika dia jatuh, tangannya mencabut senjata, sebilah belati panjang yang tersembunyi di balik bajunya.
"Licik! Dalam perjanjian tidak boleh mempergunakan senjata!" seru Arsim, lupa bahwa ia sebenarnya sedang bersembunyi dan datang ke tempat itu hanya sebagai penonton yang mengintip. Akan tetapi, teriakannya itu tenggelam dalam teriakan yang lain, terutama orang-orang dari Pager Rante.
Kemudian, suatu peristiwa yang tidak disangka-sangka terjadi pula. Salah seorang pemimpin Akar Jati bangkit, berjalan ke antara kedua orang lawan yang sedang berhadapan. Dengan cepat, ia menangkap tangan si tinggi besar yang memegang belati, lalu melipat pergelangan tangannya hingga belati itu jatuh. Si tinggi besar masih tetap dipegang tangannya dan tidak bisa bergerak. Sang Pemimpin memandang mukanya, lalu meludahi muka si tinggi besar.
Setelah itu, suatu pukulan yang keras menimpa muka si tinggi besar hingga tunggang langgang. Si tinggi besar bangkit, tapi tendangan menghantam dadanya dan ia terbaring tidak bangkit lagi. Beberapa orang siswa Akar Jati berdiri, lalu menyeret si tinggi besar, tidak dimasukkan keranda karena tampaknya hanya pingsan. Rupanya, keranda itu hanya untuk yang roboh secara terhormat. Si tinggi besar dilempar begitu saja ke semak. Maka, Banyak Sumba dengan kedua panakawannya duduk kembali dengan hati yang puas, demikian juga orang-orang dari Pager Rante yang berdiri mulai duduk kembali.
Kejadian yang menegangkan telah berlalu, tetapi ketegangan tidaklah menghilang. Penantang dari Pager Rante berjalan-jalan di gelanggang bagai seekor binatang buas dalam kandang yang tak sabar hendak lepas. Sementara itu, para siswa Akar Jati belum juga ada yang berdiri. Si Gojin sekali lagi dilarang oleh pemimpin Perguruan Akar Jati untuk melayani penantang itu. Setelah beberapa lama, barulah seorang siswa Akar Jati berdiri dan dengan tenang berjalan ke arah penantang. Mereka berhadapan untuk beberapa lama, tetapi tak seorang pun memulai serangan. Mereka maju sedikit demi sedikit, mendekati lawan. Ketika tangan hampir bersentuhan, terjadilah pergumulan, tapi bukan antara kedua tubuh pendekar itu, melainkan hanya tangan mereka yang bagai empat ekor ular berbelit-belit. Sementara tubuh mereka hanya sedikit-sedikit bergerak.
Perkelahian seperti itu hanya sekejap. Pada suatu saat, pihak Akar Jati menggerakkan badannya ke samping dan mempergunakan seluruh berat badannya seolah-olah hendak menjatuhkan diri. Derak tulang yang patah seolah-olah terdengar oleh Banyak Sumba, dan penantang dari Pager Rante pun terhuyung ke belakang seraya memegang tangan kirinya yang tergantung lumpuh. Ia hanya sebentar sempoyongan karena lawannya dengan buas menerkam, menghentakkan tendangan bertubi-tubi ke arah bagian-bagian tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya itu. Orang yang malang itu jatuh menggelepar di atas rumput, kemudian diinjak-injak oleh lawannya.
Dengan sedih, tampak kawan-kawannya dari barisan Pager Rante berdiri. Mereka mengambil keranda yang dibawanya ke tengah lapangan, lalu mengangkut pahlawan yang sudah tidak bergerak lagi itu. Akan tetapi, lawannya dari Akar Jati belum puas. Ketika pahlawan Pager Rante itu sedang diangkat, ia menyepaknya sekali lagi, lalu pergi.
Kejadian itu mengejutkan Banyak Sumba dan kedua orang panakawannya. Demikian pula halnya kawan-kawan pahlawan Pager Rante. Salah seorang di antara mereka menarik tangan pihak Akar Jati, lalu mengatakan sesuatu. Akan tetapi, siswa Akar Jati memukul leher orang itu hingga sempoyongan. Ini menyebabkan kawan-kawan yang dipukul menyerang serentak. Melihat hal itu, berbangkitanlah mereka dari kedua pihak, lalu menghambur ke depan. Perkelahian yang kalang kabut pun terjadi. Banyak Sumba berdiri, ia mendengar teriakan-teriakan dan melihat kilatan-kilatan senjata dalam cahaya bulan itu. Kemudian, dilihatnya si Gojin berjalan ke tengah-tengah gelanggang.
Dengan penuh kekaguman, Banyak Sumba melihat bagaimana si Gojin berjalan ke depan. Setiap orang Pager Rante yang menghalanginya, dengan dua atau tiga gerakannya bergulingan tidak bangkit lagi. Si Gojin berjalan terus, menuju para pemimpin Perguruan Pager Rante yang masih berada di tempat semula, walaupun mereka tidak duduk lagi sekarang.
Banyak Sumba keluar dari tempatnya mengintai, lalu mendekati tempat yang dituju si Gojin, yaitu tempat pimpinan Perguruan Pager Rante berdiri.
"Raden, ke mana, Raden?" Arsim dengan cemas bertanya.
"Mari kita lihat si Gojin, Kang Arsim," kata Banyak Sumba. "Raden, mereka akan memukul kita kalau terlalu dekat,
mereka menyangka kita ikut campur."
"Kita tidak berpakaian hitam, Kang Arsim, mari!" seru Banyak Sumba, sementara matanya mengawasi si Gojin yang sudah berhadapan dengan pemimpin Perguruan Pager Rante. Mereka berhadapan, tetapi pemimpin perguruan itu tidak bergerak, ia tetap berpangku tangan. Si Gojin meludah di tanah di hadapan pemimpin perguruan itu. Setelah itu, majulah salah seorang di antara pemimpin Pager Rante termuda. Hanya dengan dua gerakan yang cepat sekali, si Gojin sudah menjatuhkan orang itu, yang walaupun masih bergerak-gerak, tidak dapat lagi berdiri.
Orang kedua yang menghadapinya tidak beruntung pula.
Pukulan yang dilepaskannya terhadap si Gojin tidak dihindarkan, malah diterimanya dengan dadanya. Gedebuk yang keras terdengar, berbarengan desis serangan si Gojin yang mengenai kepala orang itu. Orang itu sempoyongan, lalu jatuh pingsan. Ketika yang ketiga datang, si Gojin tidak memberinya kesempatan. Pukulannya membuat orang itu terpaku seperti terkejut, kemudian kedua lututnya melekuk dan orang itu duduk.
"Bagus, Kang Arsim!" seru Banyak Sumba yang senang melihat orang yang berkepandaian seperti si Gojin. Akan tetapi, tidak ada yang menyahut. Ternyata, Banyak Sumba sudah masuk ke tengah-tengah perkelahian dan Arsim serta Jasik meninggalkan diri dekat semak-semak.
Ketika itu, lawan si Gojin tinggallah pemimpin Perguruan Pager Rante yang sudah tua, yang masih tetap berpangku tangan. Si Gojin berjalan ke arah orang tua itu, dan dari beberapa arah datang pula para pemimpin Perguruan Akar Jati, mengelilingi orang tua yang tinggal seorang diri itu.
"Saya tidak ada persoalan denganmu, Gojin," kata orang tua itu.
"Tapi, saya berurusan dan punya utang kepada pemimpin Perguruan Akar Jati, jadi antara kita ada persoalan," kata Gojin.
"Baiklah, tapi beri kesempatan saya menghadapi dulu lawan-lawan saya yang sebenarnya, baru nanti saya melawanmu," kata orang tua itu sambil berpaling ke arah pemimpin Perguruan Akar Jati. Pemimpin Akar Jati memberi isyarat kepada si Gojin untuk mundur, maka mereka pun mulai mengelilingi orang tua itu.
Tiba-tiba, orang tua itu menyerang salah seorang pemimpin Akar Jati dengan kakinya, sementara tangannya menangkis serangan dari samping... bersamaan dengan itu terdengarlah bunyi trompet jagabaya. Lapangan itu sudah dikelilingi pasukan jagabaya yang besar jumlahnya. Si Gojin berlari ke suatu arah, Banyak Sumba mengejarnya dari belakang. Ia tidak memerhatikan hal-hal lain, kecuali si Gojin yang dengan sigap melompati semak-semak yang menghalangi jalannya.
Ternyata, arah yang diambil si Gojin untuk melarikan diri memang arah yang baik. Tak lama kemudian, mereka sudah keluar dari kepungan para jagabaya yang datang untuk mengamankan itu. Banyak Sumba terus berlari membuntuti si Gojin yang tidak mengetahui bahwa dia diikuti orang.
"Raden!" seru Jasik dari belakang.
"Raden, kampung tempat menyimpan kuda ada di sebelah utara," kata Arsim.
"Ikuti saya!" seru Banyak Sumba. Maka, mereka pun terus berlari mengejar si Gojin yang melompati atau menyelinap semak-semak di bawah sinar bulan yang terang itu.
"Raden, si Gojin itu orang tidak baik. Ia tidak akan menjadi guru yang baik," kata Arsim pula sambil terus berlari. Banyak Sumba tidak menjawab.
"Saya lebih setuju kalau Raden berguru kepada si Colat," tambah Arsim sambil terengah-engah. Akan tetapi, Banyak Sumba tetap berlari karena takut kehilangan jejak si Gojin.
Walaupun begitu, perkataan Arsim yang terakhir menjadi perhatiannya. Memang ia pun sependapat dengan Arsim bahwa si Colat akan menjadi guru yang jauh lebih baik daripada si Gojin. Bagaimanapun, ilmu si Gojin tidak dapat dibandingkan dengan ilmu si Colat yang menurut kabar telah menguasai ilmu kepuragabayaan itu. Akan tetapi, justru karena itu pula Banyak Sumba berpendapat bahwa si Gojin yang terlebih dahulu harus dijadikan guru. Hal itu berdasarkan pertimbangan yang tiba-tiba saja masuk pikirannya.
Waktu ia melihat si Colat berkelahi melawan beberapa orang, ia dapat menyaksikan bagaimana tangguhnya si Colat yang dengan mudah dan cepat merobohkan lawan-lawannya sambil menggendong Den Jimat. Akan tetapi, gerakan- gerakannya itu tidak dimengertinya. Sebaliknya, ia menyaksikan si Gojin melakukan serangan-serangan yang ampuh. Walaupun ia tidak mengerti dan tidak dapat menjelaskan seluruh yang dilakukan si Gojin, ia masih dapat menduga-duga berbagai bentuk serangan yang dilakukan si Gojin itu. Bagaimanapun, ia dapat mengukur kepandaian si Gojin, sementara mengenai kepandaian si Colat, ia masih buta sama sekali. Itulah sebabnya, ia berketetapan hati bahwa si Gojin harus dijadikan gurunya terlebih dahulu sebelum ia berusaha mencari si (Inlat.
Sementara itu, tampak si Gojin memperlambat larinya, lalu berjalan biasa. Banyak Sumba dengan kedua kawannya berjalan pula. Ketika itulah, Banyak Sumba berpikir tentang rencana-rencana yang harus dibuatnya. Ia berpaling kepada Jasik, lalu berkata, "Sik, saya akan belajar kepada si Gojin ini. Engkau dapat memutuskan sendiri apa yang hendak kaulakukan, ikut belajar denganku atau tetap bekerja kepada Perguruan Gan Tunjung?"
"Raden, tapi si Gojin ini tidak dapat dipercaya. Ia belum tentu bersedia menjadi guru Raden," sela Arsim.
"Saya dapat mengusahakannya, Kang Arsim. Kalau saya gagal, saya akan segera kembali ke Banyak Sumba teringat Nyai Emas Purbamanik, tetapi ingatannya segera dibelokkannya.
"Lebih baik saya terus bekerja, Raden. Seandainya Raden kehabisan biaya, saya dapat menyumbangkan uang dan perbekalan kepada Raden," ujar Jasik setelah beberapa lama termenung. "Tapi, tentu saja saya harus tahu di mana Raden belajar," lanjut Jasik.
"Saya tahu kampung tempat tinggal si Gojin. Saya pun tahu di mana biasanya ia berada kalau pergi ke Kutabarang. Ia kenalan lama Gan Tunjung," kata Arsim. Banyak Sumba termenung, lalu berkata, "Kalau begitu, kalian dapat kembali ke Kutabarang, sementara saya terus mengikuti si Gojin ini."
"Bagaimana dengan kuda Raden?" tanya Jasik.
"Bawalah ke Kutabarang dan uruslah di sana. Seandainya saya kehabisan bekal, siapa tahu ia dapat kita jual, walaupun saya mulai sayang kepadanya," sambung Banyak Sumba.
"Tapi Radenkata Arsim. Jasik menyentuh Arsim karena Jasik tahu bahwa kalau sudah menetapkan sesuatu, Banyak Sumba sukar untuk mengubah pendiriannya.
"Nah, sebelum kasip kembalilah ke Kutabarang. Saya akan mengikuti si Gojin dan segera memberi kabar seandainya sudah ada kesempatan. Atau, kalau sempat, kalian dapat menyelidiki tentang saya ke kampung si Gojin."
"Kampungnya cukup jauh dari tempat ini, Raden." "Tidak jadi soal bagi saya, Kang Arsim," ujar Banyak
Sumba.
"Kalau begitu ”kata Arsim.
"Kalau begitu, pulanglah ke Kutabarang," ujar Banyak Sumba, "Titip kuda, Sik, saya akan segera memberi kabar kepadamu. Ingat, sebentar lagi genap tiga tahun kita mengembara dan kita harus kembali ke Kota Medang mengunjungi keluarga," sambung Banyak Sumba. Jasik yang semula bimbang menjadi tenteram oleh perkataan terakhir Banyak Sumba itu. Tampaknya ia menyadari bahwa Banyak Sumba pun, seperti dia, sudah sangat rindu kepada kampung halaman serta sanak saudaranya.
"Sekarang, marilah kita berpisah, kalian akan terlalu jauh dari kampung tempat menitipkan kuda itu," kata Banyak Sumba. "Baiklah, Raden, selamat jalan, semoga segala maksud terlaksana dengan baik," kata Arsim. Jasik mengatakan, "Nyakseni." Mereka bersalaman, lalu berpisah.
Banyak Sumba mempercepat langkahnya menyusul si Gojin yang berjalan dengan tenang di tengah-tengah padang perhumaan yang menguning di bawah bulan itu.
Ketika kira-kira sepuluh langkah lagi antara mereka, si Gojin bertanya tanpa berpaling, "Apakah pemimpinmu tertangkap?"
"Saya tidak tahu," jawab banyak Sumba Si Gojin terus berjalan tanpa berpaling. Sementara itu, dari depan, banyak Sumba melihat dua pasang mata yang bernyala memandang mereka berdua. Si Gojin tentu pula melihatnya, tetapi dengan tak acuh ia terus berjalan hingga akhirnya harimau tutul itu menghindar dan masuk ke semak. Selagi memerhatikan harimau itu, kaki Banyak Sumba tersangkut pada sebatang pohon yang melintang di depannya. Suara berisik terdengar karena kedua ujung cabang itu berada dalam semak di kiri dan kanan tempat Banyak Sumba berjalan. Banyak Sumba karena lelah dan kantuknya, terjatuh dengan bunyi berdebuk. Ia tidak segera bangkit karena terkejut dan merasa malu, mengapa begitu mudah ia terjatuh. Ia malu oleh si Gojin yang berjalan di depannya. Ia setengah mengharap si Gojin berpaling dan mengecamnya. Akan tetapi, sangkaan dan harapan itu meleset. Si Gojin tetap saja berjalan tanpa berpaling dan tidak acuh kepadanya- Akhirnya Banyak Sumba berjalan lagi dengan lebih hati-hati. Si Gojin pun berjalan terus, seolah-olah tidak ada yang sedang mengikutinya.
Banyak Sumba menyadari bahwa arah yang diambil si Gojin bukanlah ke daerah yang ada jalan dan kampung- kampungnya, tetapi justru arah yang menuju hutan. Banyak Sumba mulai tertegun, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia terus saja berjalan mengikuti orang itu. Makin lama, semak- semak makin tinggi dan makin sukar dilalui. Kemudian, mereka masuk hutan dan cahaya bulan pun menjadi suram di sana. Banyak Sumba terus bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang akan dilakukan si Gojin.
Pada suatu tempat, yang banyak terdapat batang-batang kayu yang tinggi dan hanya bercabang-cabang di sebelah atasnya, berhentilah si Gojin. Ia menengadahi beberapa batang pohon itu sambil bertolak pinggang. Dia berjalan ke bawah salah satu pohon itu, lalu dengan tangkas memanjatnya. Banyak Sumba cuma dapat memerhatikannya keheranan. Ia berdiri untuk beberapa lama ketika si Gojin menghilang di antara cabang-cabang dan daun-daunan pohon itu di dalam remang-remang cahaya bulan. Dan ketika dari atas pohon tidak terdengar lagi suara, ia tetap berdiri, bingung apa yang harus dilakukannya.
"Tolol!" tiba-tiba terdengar si Gojin berkata, "Mengapa tidak lekas naik? Apakah kamu mau jadi mangsa harimau lodaya?"
Barulah Banyak Sumba mengerti apa yang telah diperbuat si Gojin. Rupanya, si Gojin memutuskan bahwa malam itu ia akan tidur dalam hutan, di atas pohon itu. Banyak Sumba mengerti bahwa masih jauh dari perkampungan dan seperti dia, si Gojin pun kelelahan dan mengantuk. Rupanya, si Gojin memerhatikan pula ketika Banyak Sumba jatuh. Siapa tahu pikiran untuk tidur di dalam hutan itu disebabkan karena suara jatuh Banyak Sumba itu.
Banyak Sumba memilih salah satu pohon yang tidak bercabang banyak di bagian bawahnya, kemudian dengan tangkas memanjatnya. Baru saja setengah pohon itu ia panjat, terdengarlah aum harimau yang dahsyat dari bawahnya.
Begitu keras aum dan geram harimau itu hingga tanah, batang pohon, dan daun-daunan seolah-olah bergetar olehnya. Banyak Sumba membeku sejenak dan tidak bergerak, melekat pada batang pohon itu. Ketika aum kedua kalinya terdengar, ia dapat melepaskan diri dari pengaruh pesona harimau itu. Ia memanjat dengan terburu-buru hingga terdengar berisik daun-daunan dan ranting-ranting yang bergerak dan bergesek.
Ketika mencapai bagian pohon yang bercabang agak besar dan dapat beristirahat dengan menyandarkan diri pada beberapa cabang besar pohon tersebut, ia berpaling ke bawah. Tampak dua pasang mata yang menyala-nyala memandangnya. Sedangkan di belakang tiap pasang mata itu, ia melihat bayangan tubuh yang besar dan panjang. Sekarang, terdengar pula suara gedebuk ekor binatang-binatang buas yang sekali-kali memukul tanah dengan marahnya.
Banyak Sumba mengucap syukur dalam hati kepada Sunan Ambu ketika ia menyadari bahwa ia telah melepaskan diri dari binatang-binatang buas itu tepat pada waktunya. Ia terus menyandarkan diri pada beberapa cabang pohon sambil melihat ke bawah, ke arah kedua ekor binatang yang dengan marahnya berkeliling di sana sambil memandang ke atas.
Setelah beberapa lama, barulah Banyak Sumba ingat untuk berbenah diri di atas cabang-cabang pohon itu.
Dicarinya cabang yang besar, lalu ia duduk seperti duduk di atas pelana. Kedua kakinya memijak cabang-cabang di bawah sambil memeluk batang pohon itu. Untuk menjaga agar tidak terjatuh kalau tertidur, ia mengikat pinggangnya dengan ikat pinggang lebar ke batang pohon itu. Setelah itu, ia mencoba beristirahat. Ia mencoba tidur, tetapi karena di atas pohon itu sangat tidak menyenangkan, betapapun berat kantuknya, tidur tidak juga datang. Seluruh tubuhnya terasa penat dan ngilu. Sementara itu, udara malam yang dingin mulai pula mengganggunya.
Akan tetapi, karena lelah, tidur menguasai kesadarannya. Tidur seorang yang lelah dan kotor oleh keringat, adalah tidur yang berada di ambang jaga. Dan lewat ambang jaga ini pula masuk bermacam impian. Mula-mula, Banyak Sumba merasa seolah-olah ia sedang berada di atas pelana si Dawuk dan melarikan kuda kesayangannya itu di bawah bayang-bayang benteng kota kelahirannya, Kota Medang. Tiba-tiba, benteng itu berubah menjadi benteng Puri Purbawisesa. Ia melihat Nyai Emas Purbamanik dengan segala kecantikan dan kelembutannya melambai dari atas benteng itu kepadanya. Ia turun dari kuda dan mencoba memanjat benteng itu, tetapi benteng itu makin lama makin tinggi dan ia hanya dapat menggapai-gapai di bawah. Ia berteriak-teriak memanggil Putri Purbamanik, tetapi gadis itu hanya melambai-lambai.
Ia kemudian melihat Raden Girijaya, pamanda Putri Purbamanik. Banyak Sumba tiba-tiba merasa ketakutan karena keluarga Purbawisesa dekat sekali dengan istana sang Prabu. Mereka tentu sudah mengetahui bahwa Banyak Sumba seorang buronan. Banyak Sumba melihat bagaimana Raden Girijaya memerintah kepada gulang-gulang untuk mengejarnya. Banyak Sumba berpaling ke bawah benteng, tetapi di bawah benteng telah berjajar pula beberapa orang ponggawa dan badega-badeganya. Di dekat mereka berdiri Jasik, menunjuk dan berteriak-teriak kepadanya, 'Awas, Raden! Awas, Raden!"
Banyak Sumba turun dari benteng itu, lalu memasang kuda-kuda dan menunggu serangan. Serangan datang dari berbagai arah. Banyak Sumba melayani serangan-serangan itu. Tubuh-tubuh melayang dan berseliweran di sekelilingnya, tapi tak satu pun dapat dikenainya. Tubuh-tubuh itu seperti bayang-bayang yang tidak dapat dipegang atau dipukulnya. Dengan putus asa, Banyak Sumba terus menyerang dan menerjang ke sekelilingnya. Keringatnya terasa memanasi punggung, dan ia terbangun.
Karena ia tidak sempat mandi sore itu, pakaiannya yang kotor dan berkeringat sungguh tidak menyenangkannya.
Sambil meregangkan badannya yang penat dan pegal karena berjalan sepanjang sore dan duduk tidak wajar di atas batang pohon itu, ia berpikir, begitu memasuki kampung, ia akan mencari pakaian. Tiba-tiba, ia merasa lapar dan baru ia ingat bahwa hanya tengah hari tadi ia menemukan makanan. Renungannya terganggu ketika tidak jauh dari tempat itu terdengar aum harimau dan teriakan babi hutan yang memilukan hati. Raja hutan sedang menangkap mangsanya, pikir Banyak Sumba. Dari arah pohon, si Gojin terdengar deham. Banyak Sumba memandang ke arah pohon itu, tetapi si Gojin tidak dapat dilihatnya dalam remang cahaya bulan itu. Banyak Sumba mendeham, memberi isyarat kepada si Gojin bahwa ada seseorang di dekatnya.
Malam telah menuju subuh. Sejak terbangun dari mimpinya, Banyak Sumba tidak dapat tidur kembali. Berkali- kali ia mengubah duduknya, berkali-kali juga ia menyeka keringat dengan ikat pinggang kainnya. Usahanya itu tidak menolongnya ? untuk dapat tidur, walaupun kantuknya berat di kelopak mata dan di puncak kepalanya. Baru ketika ayam- ayam berkokok dari arah kampung, ia tertidur lagi.
Ia bangun terkejut karena matahari menusuk matanya dengan cahayanya yang tajam. Ia segera menggisik kelopak matanya dan sadar bahwa ia telah kesiangan. Ia berpaling pada pohon tempat menginap si Gojin, tetapi karena lebatnya pohon itu, ia tidak mengetahui apakah si Gojin masih ada di sana atau tidak. Oleh karena itu, ia segera turun. Dengan tergesa-gesa, ia berjalan ke bawah pohon tempat si Gojin tidur. Ketika ia tengadah, tak ada orang di sana. Si Gojin telah turun dan berangkat terlebih dahulu. Banyak Sumba mengutuk dirinya sendiri, lalu berjalan tergesa-gesa sambil melihat-lihat jejak si Gojin. Kebetulan embun pagi masih basah di atas tanah dan rumput. Ia masih dapat melihat dengan jelas jejak si Gojin. Dengan mengikuti jejak itu, Banyak Sumba sungguh-sungguh berharap bahwa ia akan dapat mengejar si Gojin. Ia berjalan dengan tergesa-gesa, tetapi si Gojin belum tampak juga.
Banyak Sumba berlari-lari membuntuti jejak si Gojin yang makin lama makin samar. Ketika si Gojin tidak tampak juga, tertegunlah ia. Tiba-tiba, ia teringat Nyai Emas Purbamanik. Dan tiba-tiba pula, hatinya hangat oleh kegembiraan.
Hilangnya jejak si Gojin berarti ia dapat kembali kepada gadis yang dicintainya itu. Tidak tersusulnya si Gojin memberi kesempatan kepadanya untuk berdalih kepada Jasik dan Arsim bahwa bukan salahnya kalau dia tidak segera berguru. Apalagi Arsim yang tidak setuju dia berguru kepada si Gojin, tentu akan menyambut kejadian itu dengan senang hati. Banyak Sumba berbalik, lalu melangkah menuju arah dari mana dia datang tadi malam.
Akan tetapi, setelah beberapa saat berjalan, ia tertegun kembali. Bagaimana dengan tugas yang dibebankan keluarganya? Kapankah ia akan belajar dan kemudian siap untuk melawan Puragabaya Anggadipati?
Termenunglah ia untuk beberapa lama, kemudian berbalik kembali. Ia putra sulung Banyak Citra. Kalau bukan dia, siapakah yang akan menegakkan kehormatan keluarga Banyak Citra? Ia pun berbalik, kemudian melangkah perlahan-lahan sambil menunduk melihat jejak yang makin samar-samar pada rumput dan tanah. Setelah berjalan beberapa lama, sampailah ia pada jalan setapak. Jalan itu tidak begitu banyak dipergunakan, tetapi ia yakin bahwa jalan itu jalan setapak.
Mungkin jalan itu dipergunakan binatang-binatang atau mungkin pula oleh anak negeri yang biasa mencari nafkahnya di hutan, seperti pemilik-pemilik huma, pemungut buah- buahan, atau pembuat gula enau. Untuk mencari arah yang diambil si Gojin, Banyak Sumba cukup dengan mengetahui, ke mana jalan itu menurun. Ke arah yang menurun itu Banyak Sumba berjalan, karena ia yakin, si Gojin akan menuju daerah yang dihuni manusia dan itu berada di bawah perbukitan.
Benarlah dugaan Banyak Sumba bahwa perkampungan terdapat di tengah arah yang ditempuhnya.
Ketika hari mulai hangat, tampaklah atap ijuk perkampungan, kehitam-hitaman di tengah-tengah hijaunya daun-daun pohon. Banyak Sumba mempercepat langkahnya. Tak berapa lama kemudian, ia pun telah membunyikan kohkol kecil yang tergantung di depan lawang kori.
Seorang kakek-kakek muncul dari arah rumah-rumah, kemudian menarik palang lawang kori. Banyak Sumba mengucapkan terima kasih, lalu masuk. Kakek-kakek itu mengawasinya dengan agak curiga.
"Saya datang dari jauh, Kakek. Saya bermaksud singgah sebentar di kampung ini," kata Banyak Sumba.
Kakek-kakek itu masih tampak curiga. Banyak Sumba melanjutkan perkataannya, "Saya sebenarnya sedang mencari orang, apakah...”
"Si Gojin?" tanya kakek-kakek itu. Banyak Sumba heran mendengar pertanyaan kakek-kakek yang tidak disangka- sangka, ia melanjutkan perkataannya sambil memandang pada kakek-kakek yang tampak mulai ketakutan itu, "Ya, saya mencari si Gojin, apakah ia ada di sini?"
Kakek-kakek itu memandangnya, tapi tak segera memberi jawaban. Kemudian, bukannya menjawab malah bertanya, "Apakah Raden seorang perwira jagabaya atau ... puragabaya?"
"Bukan, Kakek, saya pengembara biasa," ujar Banyak Sumba makin keheranan. Kakek-kakek itu seperti tidak percaya. Ia dengan tergagap-gagap berkata, "Raden, kalau hendak menangkap si Gojin, Kakek mohon, janganlah dilakukan di dalam kampung. Seandainya Raden gagal menangkapnya, si Gojin akan membalas dendam terhadap isi kampung ini. Barangkali Raden pun mengerti maksud Kakek. Isi kampung ini orang baik-baik. Semua petani biasa. Mereka tidak dapat menolak kalau si Gojin singgah di sini. Apakah daya kami?"
Mengertilah Banyak Sumba mengapa kakek-kakek itu ketakutan. Rupanya, isi kampung itu sudah sangat mengenal si Gojin, yang memang berkelakuan tidak baik. Akan tetapi, karena lemah, mereka tidak dapat menolak kedatangan si Gojin. Sambil tersenyum, Banyak Sumba berkata kepada kakek-kakek itu, "Kakek, sekali-kali saya bukan jagabaya, apalagi puragabaya. Saya seorang pengembara yang justru hendak berguru kepada si Gojin. Saya memerlukan ilmunya," kata Banyak Sumba.
"Raden!" seru kakek-kakek itu seraya suaranya ditahan. "Mengapa, Kakek?" tanya Banyak Sumba.
"Tapi, si Gojin itu orang tidak baik. Kerjanya cuma judi dan menyabung ayam. Untuk hidupnya, ia biasa menjadi badega yang mengerjakan kekerasan. Ia mendapatkan biaya untuk keborosannya dari pekerjaan yang tidak baik. Mengapa Raden hendak berguru kepada orang begitu?"
"Kakek, saya tidak akan mempelajari tingkah lakunya, tetapi ilmunya dalam perkelahian. Saya pun tidak setuju dengan kejahatan, tetapi sekarang ini saya sangat membutuhkan ilmu, dan ilmu itu kebetulan dimiliki oleh si Gojin."
"Raden, masih banyak guru lain yang lebih tinggi ilmu dan budinya daripada si Gojin."
"Saya akan belajar kepada guru-guru itu, tetapi sekarang si Gojin-Iah yang paling cocok untuk menambah kepandaian saya."
Tampaknya kakek-kakek itu mengerti, tetapi ia tetap tidak setuju. Banyak Sumba melangkah sambil melihat berkeliling, memerhatikan kampung yang sunyi itu. Kampung itu paling banyak terdiri dari lima buah rumah. Sekeliling kampung itu dipagar tinggi dengan batang-batang pohon sebesar paha. Hal itu menandakan bahwa kampung tersebut masih belum jauh letaknya dari hutan belantara, karena itu masih memerlukan pengamanan yang saksama. Dalam kampung kecil itu, kecuali anak-anak kecil dan beberapa orang perempuan tua, tidak ada orang lagi.
Setelah Banyak Sumba meneliti kampung itu dengan pandangannya, berpalinglah ia kepada kakek-kakek yang masih memandanginya, "Kakek, di manakah si Gojin berada?"
"Ia tidur di serambi rumah besar itu, Raden. Ia meminta kepada Kakek untuk berjaga-jaga, kalau-kalau ada jagabaya yang datang. Ya, bagi kami serbasusah di sini, Raden. Siapa tahu malam tadi ia berkelahi, merampok, atau bahkan membunuh orang. Ya, siapa tahu, dan sekarang ia bersembunyi di sini. Susah, Raden."
"Jangan takut, Kakek, jagabaya tidak akan mengejar sejauh ini. Di samping itu, sebagai tukangjudi dan sabung ayam, ada tempat-tempat tertentu dan di sanalah si Gojin mudah ditemukan. Mereka tidak akan membuang-buang tenaga mengejar ke sini, kecuali si Gojin mulai mengganggu orang- orang kampung."
"Ia tidak pernah mengganggu orang-orang kampung, Raden, tetapi tetap saja tidak menyenangkan kami. Ia memberi contoh buruk kepada anak-anak muda di kampung, Raden."
"Jangan cemas, Kakek, tunjukkanlah sekarang di mana dia berada," kata Banyak Sumba. Mereka pun berjalan ke rumah besar di kampung itu. Di serambi, si Gojin sedang tidur, dengkurannya yang keras terdengar dari jauh.
"Lebih baik saya menghubunginya setelah ia bangun, Kakek," kata Banyak Sumba, kemudian ia pun berkata kepada kakek-kakek itu, "Di manakah saya dapat mandi dan menukar pakaian, Kakek?" Kakek-kakek itu membantu Banyak Sumba untuk mendapatkan segala yang dibutuhkannya dan setelah segalanya selesai, Banyak Sumba segera berjalan ke tempat si Gojin sedang tidur.
"Siapa kamu?" tanya si Gojin sambil menguap. "Yang malam tadi mengikuti, Bapak," kata Banyak Sumba. Si Gojin menguap kembali, lalu mengerutkan keningnya, "Tapi kamu bukan murid Akar Jati, aku tidak pernah melihat kamu di sana."
"Memang bukan," ujar Banyak Sumba. "Ada perlu apa mengikutiku? Apa kamu "
"Saya bermaksud jadi murid, Bapak. Saya melihat perkelahian tadi malam dan memutuskan untuk mengikuti Bapak," kata Banyak Sumba pula. Si Gojin tidak berkata apa- apa. Ia kelihatan tenang kembali, lalu berpaling dan mengambil buah-buahan yang disajikan seorang perempuan tua. Ia mengambil belati, lalu mengupas buah-buahan itu dan memakannya dengan rakus, tanpa menghiraukan Banyak Sumba.
Banyak Sumba pun tidak begitu peduli. Ia duduk kembali di sudut serambi sambil memandang ke hutan-hutan yang hijau di selatan kampung itu. Tak lama kemudian, si Gojin bangkit, lalu tanpa permisi berjalan ke lawang kori. Kakek-kakek tadi membuka kembali lawang kori. Sambil mengucap terima kasih dan selamat tinggal, Banyak Sumba melangkah pula mengikuti si Gojin. Si Gojin tetap tidak peduli kepadanya.
Untuk beberapa lama, mereka berjalan dalam semak- semak, kemudian keluar di daerah palawija dan perhumaan yang tampak kurang subur karena hujan kurang basah pada musim itu. Berulang-ulang si Gojin melompati pagar-pagar huma, diikuti Banyak Sumba. Berulang-ulang pula Banyak Sumba mengharapkan menarik perhatian si Gojin, tetapi si Gojin sejenak pun tidak pernah berpaling kepadanya. Namun demikian, Banyak Sumba tidak berkecil hati. Ia terus berjalan, membuntuti orang yang hendak dijadikan gurunya itu.
Akhirnya, mereka pun sampai dijalan kerajaan. Mereka berjalan dijalan besar itu, dipapasi oleh penunggang-penung- gang kuda. Melihat kesibukan jalan itu, sadarlah Banyak Sumba bahwa jalan itu tidak akan berada jauh letaknya dari suatu kota, atau sekurang-kurangnya kampung besar. Seraya berjalan, Banyak Sumba melihat ke sekelilingnya dan dari jauh tampaklah kelompok kampung yang besar. Banyak Sumba lega karena si Gojin memasuki wilayah yang beradab.
Ketika itu, lewatlah dua buah pedati kerbau: Si Gojin tanpa minta izin melompat menaiki salah satu pedati kerbau itu, Banyak Sumba minta izin ikut kepada yang lain.
"Mau ke mana?" tanya kusir pedati. "Saya tidak tahu," jawab Banyak Sumba. "Tidak tahu?" tanya kusir itu.
"Saya mengikuti orang yang di depan itu," lanjut Banyak Sumba.
"Oh, apakah orang itu badega Raden? Mengapa ia malah Raden ikuti dan bukan ia yang mengikuti Raden?" tanya kusir.
"Saya ada urusan dengannya, Paman. Akan tetapi, saya tidak dapat menjelaskannya kepada Paman."
"Oh, tidak usah," kata orang itu.
Di suatu kampung besar tapi agak jauh dari jalan, si Gojin turun. Banyak Sumba pun turun, lalu mengikutinya. Si Gojin memasuki sebuah rumah besar. Banyak Sumba duduk di serambi, beristirahat. Dari dalam rumah, terdengar berbagai bunyi yang tidak dikenalnya dan didengarnya pula suara orang banyak. Banyak Sumba menduga rumah itu tempat perjudian. Kalau begitu, pikirnya, mungkin ia harus menunggu si Gojin untuk waktu yang tidak terbatas. Akan tetapi, diterimanya saja kemungkinan itu, lalu Banyak Sumba berdiri, melihat-lihat suasana kampung itu.
Ternyata, kampung itu penghuninya kebanyakan pedagang. Mereka membuat kerajinan tangan dari rotan. Di antara mereka ada pula yang memelihara ayam sabung. Banyak Sumba berjalan-jalan di antara kurung ayam yang banyak di sana. Setelah penat, kembalilah ia, lalu duduk di serambi. Seseorang datang membawa penganan yang terdiri dari buah-buahan. Banyak Sumba mengucapkan terima kasih. Setelah mencicipi makanan itu, Banyak Sumba beristirahat.
Kantuknya cepat sekali datang, bukan saja karena semalaman kurang tidur, tetapi hari sangat panas. Ia bertahan agar tidak tertidur, tetapi kantuknya sangat berat.
Ketika ia hampir tertidur, seseorang mengguncang-guncang tubuhnya, Banyak Sumba bangkit terkejut.
"Raden, si Gojin pinjam uang tadi. Katanya uangnya ada pada Raden. Dapatkah Paman sekarang mengambilnya?"
"Tapi, ia tidak pernah menyimpan uang pada saya ...," kata Banyak Sumba. Namun, sebelum kalimatnya habis, ia menyadari bahwa tidak bijaksana kalau dia ugal-ugalan. Ia menarik napas panjang, lalu berkata, "Baiklah, berapa utangnya?"
"Dia kalah tiga uang emas."
"Tiga uang emas!" seru Banyak Sumba keheranan. Begitu singkat si Gojin berjudi, tapi begitu banyak kalahnya. Padahal, tiga mata uang emas itu didapat dengan bermandi keringat dua bulan di Puri Purbawisesa. Banyak Sumba mula-mula berniat menolak, tetapi ia segera menyadari bahwa hal itu akan sia-sia. Ia terpaksa mengeluarkan uang emas itu dari ikat pinggang besarnya. Kemudian, ia segera melangkah menyusul si Gojin yang berjalan menuju jalan besar.
Sementara ia membuntuti si Gojin, hatinya tetap tidak senang. Nasihat-nasihat Arsim mulai didengarnya kembali, si Gojin ini orang jahat. Di .samping itu, bayangan wajah dan tingkah laku Putri Purbamanik mulai pula mengganggunya. Penyesalan mulai timbul. Ia menyadari, barangkali sifat keras kepalanya harus dibayarnya dengan mahal. Akan tetapi, ia pun bertekad pula untuk tidak membuang-buang uang sebanyak tiga mata uang emas itu. Kalau perlu, ia menghajar si Gojin. Memang si Gojin memiliki kepandaian yang tidak dimilikinya, tetapi Banyak Sumba pun merasa bahwa ia memiliki kelincahan dan otak yang tajam. Kelincahan berkat ajaran Paman Wasis, sedangkan kecerdikan anugerah Sang Hiang Tunggal pada wangsa Banyak Citra. Hatinya mulai panas, tetapi ia mendinginkannya kembali. Ia harus menunggu apa yang akan terjadi dan sebelum itu, ia sebaiknya tidak berbuat apa-apa. Maka, ia pun berjalan mengikuti si Gojin.
Setelah beberapa lama berjalan, mereka menggabungkan diri pada rombongan pedati kerbau lagi. Ketika matahari tenggelam, si Gojin turun, lalu memasuki sebuah hutan kecil. Banyak Sumba mengikutinya dan mereka pun memasuki kampung tempat si Gojin dikenal dan dihormati orang.
Kampung itu tempat tinggal si Gojin.
KETIKA itu, telah tiga hari Banyak Sumba ada di kampung si Gojin. Ia menginap di sebuah rumah penghuni kampung itu. Selama tiga hari, tak sepatah kata pun si Gojin menegurnya.
Hingga pada suatu hari, terjadilah peristiwa yang mengubah keadaan. Hari masih pagi ketika Banyak Sumba mendengar suara keras laki-laki bertengkar. Ketika ia bangkit, pintu didorong orang. Banyak Sumba berdiri, segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Keluar!" kata laki-laki itu. Banyak Sumba berjalan ke luar melalui serambi turun ke halaman.
"Mana uang si Gojin? Berikan kepada kami!" seru beberapa orang hampir bersama-sama. Banyak Sumba melihat berkeliling dan memandangi wajah demi wajah keenam tamu asing yang datang pagi itu. Si Gojin tampak pula, tetapi berdiri di bawah sebuah tingkap yang masih tertutup. Banyak Sumba dapat menduga bahwa si Gojin sedang menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan dan ia berdiri di bawah tingkap itu untuk dapat melarikan diri dengan mudah.
Kalau melihat orang-orang yang datang, Banyak Sumba dapat mengerti tindakan si Gojin. Ternyata, orang-orang yang datang kelihatan buas-buas. Di samping itu, mereka pun bersenjata walaupun disembunyikan. Tampaknya mereka datang dengan maksud mengeroyok si Gojin, kalau perlu. Dan walaupun si Gojin akan dapat melayani mereka, Banyak Sumba mengetahui bahwa si Gojin akan tidak bijaksana kalau memaksakan diri.
"Mana uang itu? Segera berikan!" seru orang-orang itu, hiruk sekali mereka berkata.
"Saya tidak pernah menyimpan atau meminjam uangnya!" kata Banyak Sumba. Ia memandang mata orang-orang itu satu per satu. Melihat keberanian Banyak Sumba dan melihat sorot wajah kebangsawanannya, orang-orang itu ragu-ragu. Beberapa orang berpaling kepada si Gojin. Si Gojin berkata, "Raden, maksud saya, saya pinjam dulu kepadamu untuk membayar utang."
"Saya mau membayarkan utang Bapak, asal masuk akal. Bapak akan saya anggap punya utang kepada saya dan saya akan minta bayarannya."
Si Gojin mendelik, kemudian ia berpaling, dan berkata, "Bolehlah."
"Berapa utangnya?" tanya Banyak Sumba.
"Tujuh keping perak kepadaku, kepada yang lain tiga keping, seluruhnya."
Banyak Sumba mengeluarkan sekeping uang emas, lalu melemparkannya kepada si pembicara.
"Gojin, kami pergi." "Kalau kalian datang seorang-seorang pasti kumakan satu per satu," kata si Gojin sambil mengenakkan giginya. Ia melihat kepada Banyak Sumba yang berdiri di sampingnya. Wajahnya cerah. Rupanya, ia merasa mendapat kawan di pihaknya ketika ia harus mendapat penghinaan dan ancaman kawan-kawannya berjudi. Semenjak peristiwa itulah, si Gojin mulai memberikan pelajaran kepada Banyak Sumba.
Pelajaran itu diberikannya secara tidak teratur. Latihan- latihannya dilakukan dengan kasar pula. Kalau memukul, ia memukul seolah-olah mereka sedang benar-benar berkelahi. Kalau menerangkan, keterangannya kalang kabut.
"Begini," kata Banyak Sumba pada suatu hari, "saya melihat dua hal yang bagus pada Bapak. Pertama, kadang- kadang Bapak tidak menghindarkan serangan lawan. Kedua, pukulan-pukulan Bapak merobohkan, dan lawan tidak pernah dapat bangkit kembali. Itulah yang ingin saya pelajari dari Bapak," kata Banyak Sumba.
"Tidak benar," jawab si Gojin. "Saya juga menghindarkan pukulan-pukulan seandainya pukulan itu sasarannya bagian- bagian tubuh yang berbahaya. Bahkan, saya menghindarkan pukulan-pukulan menuju bagian-bagian badan yang tidak berbahaya, seandainya pukulan itu kuat."
"Jadi, Bapak hanya menahan pukulan yang diarahkan pada bagian-bagian badan yang tidak berbahaya."
"Ya, seandainya pukulan diarahkan ke dada dan pukulan itu tidak mempergunakan berat badan, hanya mempergunakan otot tangan, pukulan itu saya terima. Tapi, tentu saja tidak saya terima dengan seenaknya. Saya keraskan otot dada saya. Ketika pukulan itu tiba, saya kibaskan. Nah, sekarang cobalah," katanya.
Banyak Sumba berdiri di hadapan si Gojin, bersiap dengan tinjunya. "Pukullah dadaku, tapi gunakan otot tanganmu saja, jangan gunakan tenaga tubuh."
Banyak Sumba menuruti perintah itu dan meninju dada si Gojin dengan kuat, tetapi tidak dengan berat seluruh tubuh. Ketika tinju itu tiba, si Gojin mengeraskan otot dada sambil mengibaskan tubuhnya. Tinju Banyak Sumba mental dan seluruh lengannya terasa sakit dan semutan. Ia kesakitan sebentar, tetapi hatinya gembira. Ia lelah menemukan salah satu kunci yang dapat membuka ilmu si Gojin.
"Dalam keadaan-keadaan tertentu, kita dapat mematahkan pergelangan tangan atau bahkan sikut lawan dengan dada kita, tanpa mempergunakan tangan sama sekali. Tetapi, tentu saja ada syaratnya."
Banyak Sumba menyadari bahwa untuk menguasai ilmu si Gojin ini, seseorang harus memiliki otot yang gempal, terutama otot dada dan otot perut. Mengenai cara memukul hingga lawan tidak berkutik lagi, si Gojin pernah berkata demikian, "Kalau dilihat dari penggunaan tenaga, ada dua macam pukulan, yaitu pukulan yang mempergunakan tenaga otot lengan dan pukulan yang mempergunakan tenaga seluruh tubuh. Pukulan yang kedua ini lebih berbahaya seandainya menemukan sasaran yang sama dengan pukulan yang pertama. Mengapa pukulan saya selalu melumpuhkan, hal itu disebabkan dua hal. Pertama, kalau memukul, saya mempergunakan tenaga tubuh. Kedua, saya tidak pernah memukul sasaran-sasaran yang tidak bernilai. Bahkan, saya tidak pernah membuat gerakan-gerakan untuk mengganggu perhatian lawan. Saya biarkan lawan menyerang, tetapi serangan itu saya terima dengan otot saya, dan pada waktunya saya buang. Lawan biasanya terkejut dan heran, ketika itulah saya beri ia pukulan yang melumpuhkan itu."
"Adakah pukulan macam lain?" kata Banyak Sumba. "Ada," ujar si Gojin, "bukan pukulan lain, tapi kita melihat
pukulan itu dengan cara lain. Anggaplah kalau kita meninju atau mempergunakan sisi tangan, kita hendak memasukkan tinju atau sisi tangan itu ke tubuh lawan. Kadang-kadang, kita hanya bermaksud menyentuh tangan kita. Jadi, kita hanya menotok.
Ada cara memukul dengan maksud memasukkan tinju kita lebih dalam lagi ke tubuh lawan. Pukulan ini lebih berbahaya seandainya mengenai sasaran yang sama dengan pukulan yang pertama. Ada pukulan yang lebih berbahaya lagi dan biasanya merupakan pukulan yang membunuh," katanya.
"Pukulan yang bagaimana?" tanya Banyak Sumba penuh gairah.
"Pukulan yang ketika melakukannya, kita tidak bermaksud memasukkan tinju kita ke tubuh lawan, tetapi bermaksud menembus tubuh lawan itu. Kalau melakukan pukulan ini dengan memusatkan perhatian, kita tidak perlu dua kali melakukan pukulan," demikian ujar si Gojin.
Banyak Sumba mencoba melakukan pukulan-pukulan itu terhadap udara dan si Gojin memberikan pendapat serta contoh. Banyak Sumba menyadari bahwa dalam seni berkelahi, mengerti tidak sama dengan menguasai. Walaupun ia sudah mengerti yang dimaksudkan gurunya, hanya dengan latihan-latihan yang keras dan lama ia dapat mencapai penguasaan terhadap segala sesuatu yang telah dimengertinya itu.
Untuk menumbuhkan otot-otot yang akan dijadikannya perisai, Banyak Sumba pergi ke tepi sungai yang mengalir di dekat kampung tempat tinggal si Gojin. Dengan mempergunakan pengungkit, dijajarkannya batu-batu, dari yang kecil, besar, hingga sangat besar. Sepuluh buah batu yang besarnya berturutan berjajar. Ketika si Gojin melihatnya pada suatu pagi, ia keheranan.
"Bagaimana kau mengangkat batu sebesar ini, Raden?" tanyanya. "Itu rahasia keluarga kami, Bapak," jawab Banyak Sumba. Ia dapat menggelundungkan batu itu dengan mempergunakan pengungkit, seperti Paman Misja membuka pintu gua ketika mereka melarikan diri dari Kota Medang.
Tiap pagi, Banyak Sumba berenang di sungai sesudah mandi, diangkatnya batu-batu itu. Seminggu lamanya ia hanya mengangkat batu yang terkecil. Kemudian minggu kedua diangkatnya batu yang kedua. Minggu ketiga dan seterusnya Pada suatu kali, Banyak Sumba sendiri heran, mengapa ia dapat mengangkat batu yang besar. Dan dengan senang hati, dipandangnya betapa otot-otot dadanya tumbuh.
Latihan pukulan dilakukannya dengan bertingkat-tingkat pula. Mula-mula diikatnya jerami. Jerami ini diikatkannya pada sebatang pohon sebesar betis. Jerami itulah yang setiap hari ditinju, disikut, atau dipukulnya dengan pinggir tangan.
Kadang-kadang, Banyak Sumba menyepaknya pula, dengan mempergunakan ilmu yang diterimanya dari Paman Wasis yang sangat lincah dalam mempergunakan kaki.
Dalam latihan-latihan itu, biasanya si Gojin tidak hadir. Ia lebih banyak meninggalkan kampung itu daripada mengajar Banyak Sumba. Ia pun sering minta uang, tetapi tidak pernah kasar seperti sebelumnya. Pada suatu hari, ketika Banyak Sumba sedang latihan meninju, datanglah si Gojin. Ia berdiri memerhatikannya. Ketika Banyak Sumba menghantam pohon yang sudah dibungkus dengan jerami itu, pohon itu berguncang keras sehingga sebuah cabang kering patah dan jatuh menimpa pundak si Gojin. Si Gojin keheranan. Dengan gembira, Banyak Sumba berjalan ke arah si Gojin seraya mengambil batang kering yang jatuh itu.
"Peganglah cabang ini keras-keras, Bapak," katanya. Si Gojin menurut.
"Saya akan memukulnya, mempergunakan ilmu yang Bapak berikan," lanjut Banyak Sumba. Maka, dipukulnya batang kering itu dengan sisi tangannya. Seperti disambar dengan golok yang tajam, batang kering itu patah menjadi dua. Si Gojin memandang Banyak Sumba dengan kagum. Kekaguman yang bercampur ketakutan itu membayang pada wajahnya.
Banyak Sumba memandang penjudi itu dengan rasa kasihan. Sementara itu, terkenang kembali olehnya bulan-bulan ketika ia berlatih dengan keras, mengangkat-angkat batu dan memukul papan, jerami, atau udara. Hatinya merasa ringan karena akhirnya ia mulai dapat menunaikan tugas keluarga, yaitu menuntut ilmu yang berguna untuk tugas selanjutnya.
Banyak Sumba merasa saat untuk dapat menunaikan tugas yang dibebankan oleh Ayahanda Banyak Citra tidak jauh lagi. Ia hanya menunggu waktu pertemuan dengan Pangeran Anggadipati, puragabaya yang keji itu. Sebelum pertemuan itu tiba, ia dapat memanfaatkan waktunya dengan menyempurnakan ilmu yang didapatnya dari si Gojin. Ia sudah menguasai ilmu yang mengagumkan tetapi sederhana itu. Ia tinggal memperhalusnya.
Biasanya, ia mengajak si Gojin berlatih. Akan tetapi, penjudi ini kalau punya uang, tidak pernah ada di tempatnya. Ketika kehabisan uang, biasanya ia datang. Ketika itulah Banyak Sumba mempergunakan kesempatan. Sekarang, si Gojin tidak pernah memberikan latihan dengan kasar. Ia mengetahui bahwa Banyak Sumba yang berbadan tinggi besar itu bukanlah lawan yang enteng. Bahkan, berulang-ulang Banyak Sumba menyadari bahwa dalam hati kecilnya si Gojin takut akan dia. Bagaimanapun, kelincahan yang didapatnya dari Paman Wasis, ditambah dengan daya tahan serta daya pukul yang didapat dari si Gojin, merupakan bekal yang sangat besar bagi seorang perwira. Dalam latihan-latihan, sering si Gojin kewalahan dan berulang-ulang dia berkata, "Umurmu menguntungkanmu. Kalau sama-sama muda, kita akan tahu kekuatan masing-masing."
Banyak Sumba tidak menggubris kata-kata si Gojin karena ia yakin bahwa kata-kata itu tidak perlu diperhatikannya. Yang perlu diperhatikannya adalah gerak-geriknya. Dengan selalu menduga gerak-geriknya, meramalkan serangan-serangan yang akan dilakukannya, Banyak Sumba terus-menerus memperhalus ilmu yang didapatnya dari penjudi itu.
Pernah mereka berlatih di dalam sebuah rumah yang ada di lingkungan kampung si Gojin. Begitu sungguh-sungguh kedua orang guru dan murid itu berlatih, hingga ketika mereka berhenti, gubuk itu tidak lagi berupa sebuah gubuk, tetapi
ong-gokan kayu yang patah, bambu yang pecah, dinding yang bolong-bolong, serta atap ilalang yang bertumpuk di sana sini.
"Kau sudah cukup belajar, Raden," kata si Gojin. Banyak Sumba tidak menjawab. Ia berkata dalam hatinya, sebenarnya ia dapat mengalahkan si Gojin, kalau mau. Dan setelah itu, timbullah hasrat untuk pergi ke Kutabarang menghubungi Jasik. Ia ingin memperlihatkan ilmu yang didapatnya dari si Gojin kepada panakawannya yang setia itu. Di samping itu, sebelum ke Kutabarang, ingin sekali dia mampir dulu di Puri Purbawisesa—menyelinap di bawah bayang malam, memasuki kaputren tempat gadis yang menjadi buah rindunya berada.
Akan tetapi, keinginannya pergi ke Kutabarang itu untuk sementara ditahannya. Ia masih merasa-harus memperhalus ilmunya untuk saat-saat terakhir sekali, sebelum ia mempergunakannya. Itulah sebabnya, setiap hari ia masih bangun subuh, lalu berlari merambah padang, memasuki hutan, dan berhenti di tepi sungai untuk mengangkat batu- batu besar itu. Para petani yang kebetulan lewat di sana sering keheranan dan dengan mulut menganga memandang terbelalak kepada Banyak Sumba yang dengan mudah mengangkat batu-batu besar itu.
PADA SUATU PAGI, ketika Banyak Sumba sedang berlatih, datanglah seorang pemuda. Pemuda itu, seperti juga para petani, memandangnya dengan kagum dan heran. Ketika Banyak Sumba beristirahat, ia yang keheranan karena baru pertama kali itulah melihat seorang pemuda bangsawan berada di sana.
"Saudara kuat sekali," kata pemuda itu.
"Saudara datang dari mana?" tanya Banyak Sumba. "Kutabarang," jawabnya. Pemuda itu berjalan ke arah batu-
batu, lalu mencoba mengangkat yang paling kecil. Akan tetapi,
ia hanya menggerakkannya. Maka, kembalilah ia pada Banyak Sumba, lalu berkata, "Saya baru melihat orang yang dapat mengangkat batu sebesar itu," sambil berkata demikian, diliriknya otot-otot tangan dan otot dada Banyak Sumba yang menggembung di balik bajunya.
"Saya mendengar saudara sudah lama berlatih di sini," kata pemuda itu melanjutkan.
"Dari para petani itu?" tanya Banyak Sumba.
"Bukan, dari orang-orang di kampung. Saya bermalam di kampung si Gojin tadi malam dan tahu bahwa Saudara berada di sini," katanya.
"Saudara sedang berada dalam perjalanan?" "Tidak. Saya melarikan diri ke sini," katanya sambil
tersenyum. Banyak Sumba keheranan mendengar ada orang
yang dengan mudah menjelaskan tentang dirinya sendiri. "Melarikan diri?" tanya Banyak Sumba.
"Ya. Mungkin Saudara menganggap suatu yang aneh. Tapi bagi orang yang mengalaminya seperti saya, tak ada anehnya. Malah aneh kalau saya tidak melarikan diri."
"Saya tidak mengerti maksud Saudara," kata Banyak Sumba sangat tertarik.
"Saya dipaksa mengerjakan apa-apa yang tidak saya sukai," kata pemuda itu sambil tersenyum dan mengerlingkan matanya kepada Banyak Sumba. "Coba terka, apa yang harus saya lakukan."
Banyak Sumba agak kikuk mendengar permintaan itu, ternyata pemuda itu sungguh-sungguh. Ia memandang ke mata Banyak Sumba, meminta jawaban. Akhirnya, Banyak Sumba berkata, "Apakah Saudara diberi tugas untuk membalas dendam?" tanya Banyak Sumba. Kemudian, ia terkejut mendengar pertanyaannya sendiri. Apakah ia menganggap tugas membalas dendam itu tidak baik?
Mengapa justru pertanyaan itu yang diajukannya? Akan tetapi, renungannya terputus karena Banyak Sumba mendengar pemuda itu tertawa.
"Aneh sekali pertanyaan Saudara," kata pemuda itu. "Saya sama sekali tidak diminta untuk membalas dendam. Tidak sukar bagi keluarga saya untuk membalas dendam. Suruh saja bajingan-bajingan membunuh orang yang dibenci, berilah mereka beberapa keping uang emas. Mengapa saya yang harus membalas dendam?"
"Jadi...?" tanya Banyak Sumba pula.
"Saya dipaksa untuk pergi belajar ke Pakuan Pajajaran." "Belajar apa?"
"Belajar ilmu negarawan. Padahal, kakak-kakak saya semuanya sudah pergi ke sana. Untuk apa satu keluarga jadi negarawan semua, bukankah kita tidak akan jadi raja?"
"Saudara putra bungsu?" tanya Banyak Sumba tiba-tiba. "Dari mana Saudara tahu?" tanya pemuda itu. Banyak
Sumba tidak berkata apa-apa, walaupun dia dapat menjawab
pertanyaan itu, yaitu dari gerak-gerik pemuda yang manja. 'Jadi, Saudara lari ke sini karena dipaksa belajar?"
"Ya, dan di samping itu, karena ayam si Gojin ini bagus- bagus sekali. Ah, Saudara harus mengetahui, saya ahli dalam soal ayam sabungan. Kalau Saudara ingin memiliki ayam yang tangguh, mintalah nasihat saya. Setiap orang minta nasihat kepada saya. Dan, apakah bedanya ahli ilmu negarawan dengan ahli ilmu memilih dan memelihara ayam sabungan?" sekali lagi pemuda itu tersenyum sambil mengerling. Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi, ia mulai lagi berlatih.
"Ya, apakah bedanya keahlian mengangkat batu besar dengan keahlian menyabung ayam. Bukankah semua keahlian itu baik? Bukankah segala ilmu itu mulia?" tanya pemuda itu kepada dirinya sambil memerhatikan Banyak Sumba. Banyak Sumba tidak berkata apa-apa.
Siang itu, mereka pulang bersama ke kampung kecil di tengah-tengah hutan tempat si Gojin tinggal. Setiba di kampung, pemuda itu terus masuk ke salah satu gubuk dan tidak pernah muncul-muncul lagi sampai malam hari. Banyak Sumba hanya mendengar suaranya dari balik dinding.
Rupanya, pemuda itu sangat senang mengobrol tentang ayam. Ia mengajak setiap orang mengobrol tentang ayam, termasuk kakek-kakek yang ada di tempatnya menginap.
BEBERAPA hari setelah kedatangan pemuda itu, yang ternyata bernama Aria Banga, pada suatu sore datanglah Jasik dan Arsim. Rasa kangen meledak dari dada Banyak Sumba dalam bentuk kegembiraan dan keheranan. Ia tak dapat menahan air matanya ketika mereka bersalaman dan berpelukan, "Beberapa kali kami tersesat sebelum sampai di sini, Raden," kata Arsim.
"Bahkan, orang-orang kampung yang sangat dekat letaknya dari sini tidak mau mengatakan bahwa si Gojin tinggal di sini," sambung jasik. Banyak Sumba mengerti.
Ketika senja tiba dan orang-orang sudah masuk gubuk masing-masing serta mereka tinggal bertiga saja, berkatalah Jasik, "Raden, Putra Mahkota akan berkunjung ke Kutabarang dalam dua-tiga hari ini. Saya mendengar bahwa di antara pengiring beliau terdapat Puragabaya Anggadipati," Jasik tidak melanjutkan kata-katanya. Banyak Sumba pun tidak mengatakan apa-apa, mereka berpandangan. Setelah mereka hening, berkatalah Banyak Sumba, "Besok subuh kita berangkat ke Kutabarang, Sik."
"Baik, Raden. Menyesal kami tidak membawa tiga ekor kuda, Raden. Begitu tergesa-gesa kami berangkat, hingga hal yang penting itu tidak terpikirkan."
'Jangan terlalu dipikirkan, Sik. Kuda mudah didapat di daerah ini. Atau ...," teringat Banyak Sumba kepada Raden Aria Banga yang membawa kuda. Agar tidak membuang- buang waktu, Banyak Sumba berpendapat, kalau diberi ia dapat meminjam kuda bangsawan muda itu. Maka, pergilah Banyak Sumba menghubungi Raden Aria Banga. Setelah mengobrol banyak tentang ayam sabungan, berkatalah Raden Aria Banga, "Bagus, bawalah kuda saya. Itu berarti, beberapa hari saya tidak perlu susah-susah menyuruh orang menjaga atau mencarikannya rumput."
Dengan kuda Raden Aria Banga itulah, keesokan harinya, subuh-subuh Banyak Sumba dengan kedua orang panakawannya menuruni tanah tinggi di kaki Gunung Mandalagiri. Mereka menuju Kota Kutabarang yang megah dan kaya raya itu. Mereka tidak membawa perbekalan apa-apa karena akan mengikuti jalan-jalan besar yang melalui kampung-kampung. Akan tetapi, Banyak Sumba membawa perbekalan lain, yaitu sebuah pundi-pundi racun yang pernah dibelinya di Kutabarang. Juga lima bilah pisau pendek, pisau hiasan yang kalau digabung dengan isi pundi-pundi itu dapat dipakai membunuh.
Ketika di perjalanan Jasik melihat pisau-pisau itu, berkatalah ia, "Kalau melihat pisau-pisau atau senjata, saya sering teringat kepada Ayah, Raden." "Mengapa, Sik?" tanya Banyak Sumba seraya menahan kekang kuda karena jalan menurun.
'Ayah mengatakan bahwa kerajaan melarang anak negeri membawa senjata untuk dua tujuan."
"Apa kata ayahmu mengenai tujuan-tujuan itu, Sik?" tanya Banyak Sumba yang menjadi penasaran.
"Pertama, tentu saja tujuan yang sudah diketahui umum, yaitu senjata panjang akan berbahaya sekali kalau boleh dibawa oleh setiap orang. Kalau ada orang bertengkar atau anak-anak tanggung mempermainkan senjata itu, mungkin saja terjadi kematian yang sia-sia. Tentu setiap orang setuju dengan kehendak kerajaan, yang hanya memberi izin pada para jaga-baya untuk memegang senjata panjang itu. Para bangsawan di Pakuan Pajajaran sungguh-sungguh bijaksana. Hanya para jagabaya yang berbudi saja yang diperkenankan membawa senjata panjang," lanjut Jasik.
"Sik, kau belum menjelaskan tujuan yang kedua, yangjus- tru ingin saya ketahui," kata Banyak Sumba.
"Oh, hampir saya lupa. Menurut Ayah, kerajaan melarang anak negeri membawa senjata panjang agar anak negeri pandai berkelahi Raden."
Banyak Sumba tersenyum. Ia terkenang kepada Paman Wasis, seorang ahli yang sangat menghormati ilmunya. Ia bertanya kepada Jasik, "Kapan ayahmu berkata begitu, Sik?"
"Ketika saya masih kecil sekali, Raden, yaitu ketika saya tidak mau belajar berkelahi dan hanya mau jadi gembala kam- bing."
"Dan kau menurut, bukan?"
"Tentu saja, Raden, karena dengan keterangan Ayah itu saya menyadari, bukan Ayah yang menghendaki saya belajar berkelahi. Saya merasa senang karena dengan demikian saya telah berbakti sejak kecil kepada sang Prabu yang sangat kasih kepada kita."
Penjelasan Jasik yang terakhir menyentuh hati Banyak Sumba. Ia tidak tahu perasaan apa yang tergugah dalam hatinya. Ia tidak tahu apakah ia bersedih atau menyesali dirinya Yang ia sadari hanyalah, hubungannya dengan sang Prabu tidak sesederhana dan seindah hubungan Jasik dengan rajanya itu.
Orang-orang sederhana seperti Jasik merasa tenteram, bahagia, dan bangga setiap kali mereka mengucapkan kata "Sang Prabu". Mereka mengucapkan kata itu seperti mengucapkan nama ayah yang sayang dan telah memberikan kebahagiaan kepada mereka. Bagaimanapun, sepanjang pengetahuan Banyak Sumba, telah begitu banyak kebijaksanaan sang Prabu yang melimpah kepada anak negeri. Di antara kebijaksanaan itu adalah larangan membawa senjata. Selain itu, masih banyak kebijaksanaan lain yang besar artinya dalam menciptakan keamanan dan kemakmuran Pajajaran. Pemburuan babi hutan yang dilakukan secara bermusim sangat menguntungkan para petani. Pemburuan ini biasanya dilakukan saksama sekali, bukan hanya oleh para petani dan para bangsawan yang berburu karena kesenangan, hampir seluruh jagabaya juga dikerahkan.
Demikian juga dalam hal pengadilan. Para jagabaya atau para bangsawan yang bersalah'dihukum lebih berat daripada orang-orang kebanyakan. Ini masuk akal sekali karena orang yang lebih besar tanggungjawabnya menimpakan malapetaka yang lebih besar pula kepada anak negeri, kalau mereka berbuat kesalahan. Di samping itu, kedudukan sebagai bangsawan atau ponggawa serta prajurit, merupakan kedudukan yang terhormat. Kedudukan ini harus dipelihara dengan keluhuran budi. Dan banyak lagi kebijaksanaan kerajaan yang dirasakan anak negeri sebagai hikmah. Anak negeri biasanya mengucapkan syukur kepada Sunan Ambu, kemudian mengucapkan terima kasih kepada sang Prabu di Pakuan Pajajaran.
Akan tetapi, sekarang Banyak Sumba tidak dapat merasakan terima kasih seperti dulu. Ia ragu-ragu, apakah dia pada tempatnya mengucapkan terima kasih. Bagaimanapun, sebagai seorang yang hidup untuk membalas dendam, ia tidak merasa searah dan setujuan dengan usaha-usaha yang dilakukan sang Prabu. Sang Prabu berusaha agar Pajajaran damai dan makmur. Ia sendiri berusaha agar dapat membunuh Anggadipati, keluarga Wiratanu dan Pembayun Jakasunu. Kedua tujuan itu tidak searah satu sama lain, itulah sebabnya ia gelisah ketika pikiran-pikirannya tentang sang Prabu memenuhi hatinya.
"Raden, kita membelok ke kiri!" tiba-tiba Arsim berseru dari belakang. Banyak Sumba segera mengekang kendali kudanya dan sadar bahwa dalam renungan-renungannya, ia telah mengambil jalan yang salah. Ia membelokkan kudanya, lalu menderu menuju Kutabarang diikuti kedua orang panakawannya yang berseru-seru menghalau kuda, "Ha! Ha!"
Ketika pada hari kedua mereka melihat menara benteng Kutabarang, Banyak Sumba mengekang kudanya. Ia melambatkan perjalanan dan bermaksud memasuki Kutabarang kalau hari telah teduh. Ia bermaksud beristirahat dahulu di luar benteng sambil memikirkan rencana serta mempersiapkan diri untuk menghadapi peristiwa yang sangat penting itu. Maka, dibelokkanlah kudanya menuju sebuah kampung, diikuti kedua panakawannya yang patuh.
Ketika kedua orang panakawannya sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan kota kembali, Banyak Sumba sibuk dengan hal lain. Di dalam bilik tempatnya menginap dan beristirahat, dibukanya tutup pundi-pundi racun itu. Kemudian, dicabutnya pisau-pisau kecil dari sarung yang bersatu dengan ikat pinggang yang lebar. Dengan mempergunakan sehelai kain yang dicelupkan ke dalam pundit-pundi itu, di-usapinya mata pisau itu dengan benda cair dalam pundi-pundi itu. Banyak Sumba berhati-hati melakukannya agar ia tidak menyentuh benda cair itu. Dan setelah tiga buah pisau paling kecil selesai diracuni, ditutupkannyalah kembali pundi-pundi itu. Banyak Sumba pening menghirup bau tajam yang keluar dari pundi-pundi itu. Setelah ketiga bilah pisau itu kering, barulah Banyak Sumba memasukkannya kembali ke sarung yang bersatu dengan ikat pinggangnya yang lebar itu. Selesai mengerjakan persiapan, Banyak Sumba membersihkan diri dan berpakaian rapi.
Sore itu, ketika awan Jingga bertebaran di langit barat- ketiga orang penunggang kuda itu melarikan kudanya pelan- pelan menuju gerbang Kota Kutabarang. Karena jalan lebar dan sepi, Banyak Sumba meminta Jasik melarikan kuda di sampingnya.
"Sik, tahukah engkau mengapa Putra Mahkota berkunjung ke Kutabarang?"
"Beliau singgah di sini, Raden, dan tidak sengaja datang.
Menurut keterangan yang saya dengar, beliau sudah dua bulan lebih melakukan perjalanan di seluruh kerajaan. Raden tahu, musim kemarau sekarang ini panjang sekali. Beberapa daerah kerajaan menderita kekeringan. Huma-huma tidak tumbuh, palawija pun demikian. Sementara itu, binatang- binatang yang biasanya mendapat cukup makan di hutan belantara, terpaksa mencari makan dan air di tempat-tempat yang dihuni manusia. Itu berarti kerusakan yang bertubi-tubi terhadap pertanian. Para petani sangat prihatin. Itulah sebabnya, Putra Mahkota meninggalkan ibu kota dan berkeliling ke kampung-kampung menggembirakan para petani. Menurut berita, di setiap kampung yang besar, beliau memasuki tempat pemujaan dengan para petani yang dikumpulkan sebelumnya. Di sana, beliau memanjatkan doa- doa dan permohonan kepada Sunan Ambu agar menitikkan air mata kasih-Nya ke muka bumi." Banyak Sumba termenung di antara bunyi kaki kuda yang berdepuk-depuk perlahan. Tiba-tiba, Arsim yang mendengar penjelasan Jasik menyambung, "Di samping itu, Raden, beliau pun sudah lebih dari sebulan berpuasa. Beliau bertapa sambil melakukan perjalanan. Itu sungguh-sungguh suatu hal yang berat. Berpuasa di atas kuda, mengarungi lembah-lembah dan gunung-gunung, setiap hari. Bayangkan, Raden! Itulah sebabnya saya sering bersyukur tidak jadi bangsawan. Setiap malapetaka ditanggungnya seolah-olah kesalahan sendiri, walaupun di luar kemampuan beliau untuk menghindarkannya."
"Para pengiringnya juga berpuasa, Raden," sambungjasik. "Berpuasa juga?" kata Banyak Sumba yang mengetahui
bahwa dalam tugas pengawalan, tidak diharuskan bagi perwira untuk ikut berpuasa.
"Ya, Raden," kata Jasik.
Arsim dari belakang berseru, "Menurut pendengaran saya, mula-mula hanya Pangeran Anggadipati yang berpuasa, mengikuti Putra Mahkota, kemudian puragabaya yang lain mengikuti."
"Sebenarnya, mereka tidak usah berpuasa," kata Banyak Sumba, suatu perasaan gelisah dan tidak enak memenuhi hatinya.
"Saya dengar, Putra Mahkota mengusulkan agar mereka tidak berpuasa karena dengan mengawal beliau, sebenarnya mereka sudah melakukan tugas yang sama nilainya dengan berpuasa. Akan tetapi, Pangeran Anggadipati sebagai pemimpin pengawal menyatakan bahwa para perwira ikut prihatin dengan para petani dan ikut memohon kepada Sang Hiang Tunggal serta Sunan Ambu agar hujan segera diturunkan."
"Saya heran, Sik, banyak benar cerita yang kaudengar tentang Putra Mahkota dan Pangeran Anggadipati itu," ujar Banyak Sumba, perasaan tidak enak makin menyesak dalam hatinya.
"Seorang petani datang ke Kutabarang, kebetulan bertemu dengan kami. Kampungnya pernah dikunjungi dan ketika rombongan Putra Mahkota dijamu, Putra Mahkota mengusulkan agar jamuan disimpan untuk malam hari saja.
Mereka mengusulkan agar para puragabaya bersantap siang hari dan nanti bersantap lagi dengan Putra Mahkota. Para puragabaya itu pun menolak dan mengusulkan agar mereka dijamu malam hari saja. Di samping itu, para bangsawan di Kutabarang telah mendapat pesan dari pencalang rombongan, agar tidak menyediakan jamuan siang karena semua rombongan berpuasa."
"Baiklah, Sik," kata Banyak Sumba yang tidak mau mendengar lagi cerita-cerita tentang kebudimanan Anggadipati, "Kita sudah tiba di Kutabarang dan selesailah dengan cerita-cerita yang bagus itu."
Mereka pun memasuki gerbang Kota Kutabarang yang siap untuk ditutup berhubung malam sudah hampir tiba.
MALAM itu, tiga sekawan menginap di Kota Kutabarang.
Keesokan paginya, Banyak Sumba keluar diiringi kedua orang panakawannya untuk melihat-lihat suasana. Ternyata, kemarau panjang dan panas yang menimpa seluruh Pajajaran berkesan sekali pengaruhnya di kota yang besar. Terutama di pasar, tempat-tempat penjualan hasil bumi tampak kurang isinya. Kalau hasil-hasil bumi masih ada, mutunya tidak baik pula. Buah-buahan kecil-kecil, berbagai jenis menghilang sama sekali dari pasar. Harganya pun menjadi tinggi. Sementara itu, barang-barang lain tidak menguntungkan pula.
Karena para petani berkurang penghasilannya, mereka tidak mampu berbelanja seperti pada musim-musim biasa. Itulah sebabnya, para pedagang perhiasan, perlengkapan, atau hasil-hasil laut menghadapi masa-masa sepi pula. Penduduk Kota Kutabarang kelihatan tidak segembira seperti biasa. Menurut keterangan Arsim, banyak sekali upacara perkawinan atau upacara memandikan bayi yang ditangguhkan.
Melihat suasana yang serbamurung itu, Banyak Sumba mulai bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah tepat baginya melaksanakan pembalasan dendam? Bukankah sebagai warga kerajaan ia harus berdukacita karena menurut berita banyak rakyat Pajajaran yang menderita kekeringan, kalau Putera Mahkota berpuasa dan berdoa di kuil-kuil di seluruh Pajajaran untuk memohon kasih sayang Sunan Ambu, bukankah tidak pada tempatnya ia bersiap-siap mengucurkan darah orang ?
Akan tetapi, kalau dia menangguhkannya, kesempatan yang begitu baik mungkin lolos untuk selama-lamanya. bukankah Anggadipati sasaran utama tugasnya, dan kalau orang itu telah dirobohkannya, tugas selanjutnya hanyalah tugas-tugas yang ringan belaka? Dan bukankah kalau menangguhkan rencananya semula ia tidak berwatak seperti umumnya anggota wangsa Banyak Citra yang keras hati dan keras kemauan? Atau, mungkinkah dia takut? Tapi, bagaimana dengan suasana prihatin yang diderita oleh seluruh rakyat Pajajaran? Bukankah seharusnya ia berpuasa atau berdoa dalam kuil, seperti warga kerajaan lainnya?
"Raden, kita membutuhkan persediaan buah-buahan untuk sore ini," kata Jasik. Banyak Sumba mengiakan, lalu mengikuti Jasik ke tempat buah-buahan. Jasik menunjuk tempat pisang dan pepaya sambil memberikan uang. Akan tetapi, entah apa sebabnya, pedagang buah-buahan itu tidak memberikan pepaya, malahan memberikan semangka.
"Saya membutuhkan pepaya, Bibi, bukan semangka," kata Jasik.
"Oh, maaf, Den, saya salah mengerti." "Tidak apa-apa, Bibi," ujar Jasik.
"Salah mengerti itu berbahaya, Den," sambung bibi pedagang. "Karena salah mengerti, orang dapat ditimpa kesusahan yang tidak perlu," katanya sambil tersenyum, 'Jadi Bibi minta maaf."
"Ah, ini kan hanya tertukar pepaya, Bibi."
"Tapi Bibi salah mengerti, Den. Kalau tertukar sangkaan dan yang diambil sangkaan buruk, orang yang dapat berabe juga," kata pedagang itu.
Sore harinya, ketika Banyak Sumba sedang beristirahat di tempat menginap, didengarnya orang-orang ramai dijalan.
"Raden, mereka datang," kata Arsim yang menjengukkan kepalanya lewat pintu. Banyak Sumba bangkit, lalu berpakaian. Ikat pinggang lebar yang juga menjadi sarung lima buah pisau kecil dikenakannya, kemudian ditutup dengan pakaian hitam yang panjang. Banyak Sumba segera menggabungkan diri dengan rakyat banyak, penduduk Kota Kutabarang dan penduduk kampung-kampung sekeliling, yang mengelu-elukan Putra Mahkota atau yang ingin melihat beliau.
Semua orang memandang ke arah jalan yang datang dari gerbang kota sebelah selatan, karena dari arah itulah rombongan akan tiba, dan bergerak menuju ke istana penguasa kota. Ke arah itu pulalah Banyak Sumba mengarahkan matanya, setelah memilih tempat berdiri yang baik, yaitu suatu tempat yang agak dingin di halaman sebuah rumah. Berulang-ulang ia meraba ikat pinggangnya yang tebal karena pisau-pisau beracun itu. Ia merencanakan mencabut dua bilah pisau sekaligus, yang satu akan dilemparkannya dengan tangan kanan, yang lain dengan tangan kiri.
Direncanakan pula jalan-jalan mana yang akan dijadikannya tempat berlari dan menghindar setelah melemparkan pisau- pisau itu. Ia sudah kenal benar dengan lorong-lorong di Kutabarang. Ia pun merasa beruntung karena hari menuju malam. Oleh karena itu, akan sukar bagi orang untuk mengejarnya di dalam gelap. Sementara itu, kuda sudah disiapkan di luar benteng oleh Arsim dan Jasik, supaya mudah dipergunakan kalau keadaan mendesak hingga Banyak Sumba harus meninggalkan kota.
Walaupun segalanya telah dipersiapkan, tak urung jantungnya berdebar-debar. Ia berdiri di tempat yang agak tinggi dan berlindung dari pandangan orang. Walaupun begitu, ia tidak terlalu jauh dari jalan. Karena itu, pisaunya tidak akan gagal mengenai sasarannya. Bukankah di masa kecil ia pernah diajar dengan keras oleh Kakanda Jante Jaluwuyung untuk menjadi pelempar belati yang baik? Dan bukankah ajaran Kakanda Jante tidak boleh gagal, terutama dalam membalaskan dendam baginya? Banyak Sumba meyakinkan dirinya bahwa dalam usahanya itu, ia dibantu secara gaib oleh Kakanda Jante Jaluwuyung, seorang pelempar pisau yang tidak ada tandingannya. Maka, ia pun berdiri di tempatnya, menunggu saat yang penting itu sambil menenangkan dirinya.
Ia mencoba berdoa, tetapi tidak dapat memusatkan pikirannya. Mungkin karena percakapan orang-orang terlalu bising, pikirnya.
Banyak Sumba berpaling ke selatan dan tampak rakyat memberikan jalan kepada penunggang kuda cokelat, seorang ponggawa dengan pakaian yang agak menyolok. Ponggawa itu dengan gagah duduk di atas kudanya sambil berseru-seru nyaring.
"Sebentar lagi, junjungan kita, Putra Mahkota berada di tengah-tengah kita. Sambutiah beliau dengan seluruh hati kalian yang mencintai beliau. Serukan isi hati kalian kepada beliau, Hidup Yang Mulia! Hidup Pajajaran!" katanya. Tiba-tiba saja seluruh rakyat yang berdiri sepanjang jalan itu berseru, Hidup Yang Mulia! Hidup Pajajaran!
"Sudah! Sudah!" kata ponggawa itu sambil menggerak- gerakkan tangannya. Akan tetapi, rakyat terus berseru. Dan taklama kemudian, terdengarlah lenguh trompet tiram yang mendayu-dayu dan meremangkan bulu roma Banyak Sumba. Rakyat hening kembali. Banyak Sumba berpaling lagi ke selatan. Di ujung jalan besar yang panjang dan lurus itu, orang-orang memberikan jalan kepada rombongan yang mulai tampak pandu-pandunya. Banyak Sumba meraba ikat pinggangnya yang tebal oleh sisipan pisau beracun. Saat yang sangat penting dalam kehidupannya telah tiba, beban tugas yang diembannya akan menjadi sangat ringan setelah kematian Puragabaya Anggadipati. Ia tidak usah belajar lebih lama lagi karena ia tahu wangsa Wiratanu dan Pembayun Jakasunu tidak dikenal sebagai perwira-perwira yang tangguh. Anggadipati-lah yang menyebabkan ia harus belajar bertahun- tahun dan menghabiskan biaya serta masa remajanya. Ia memegang pisau-pisau, ia bermaksud berdoa, tetapi lidahnya ragu-ragu untuk menyebutkan nama Sang Hiang Tunggal dan Sunan Ambu. Diserunya nama Kakanda Jante Jaluwuyung dalam hatinya, lalu dipeganglah sebuah hulu pisau yang ada di pinggangnya.
Tak lama kemudian, rombongan pun tiba. Serombongan kuda ditunggangi para jagabaya, disusul serombongan kuda putih yang ditunggangi para puragabaya yang mengawal Putra Mahkota. Di tengah-tengah para puragabaya yang sepuluh orang jumlahnya, terdapat seekor kuda hitam kelam. Di atas kuda hitam kelam itulah Putra Mahkota berada.
Banyak Sumba tidak lama mencari-cari di mana Anggadipati berada. Di sebelah kanan Putra Mahkota, duduk di atas kuda putih, tampak kesatria yang tampan tetapi berpakaian pendeta, Pangeran Anggadipati!
-oooodw0o0kzooo-
Glosarium : Babancong: bangunan di samping atau di muka pendapa tampak orang menabuh gamelan
Batu penarung: rintangan
Reuma: bekas huma yang ditinggalkan agar tanahnya subur kembali
Wide: tirai yang terbuat dari potongan-potongan bambu yang kecil dan panjang, satu sama lain dihubungkan dengan tali
Sampurasun: permisi
Badega: orang yang berkedudukan sedikit lebih tinggi dari pelayan
Bumi Ageung: Rumah Besar Nayaga: penabuh gamelan Kembang Beureum: Bunga Merah
Barangbang semplak: pelepah daun kelapa jatuh (model/cara memakai ikat kepala)
Pamagersari: hamba sahaya Kohkol: kentongan
Baca kisah selanjutnya di buku ketiga