Bab 5 : Nyai Emas Purbamanik
Karena perbuatan yang dianggap sia-sia, biaya yang dibawanya untuk mencari ilmu tinggal setengahnya lagi. Banyak Sumba menyesal dan bahkan membenci dirinya sendiri. Hatinya tertekan karena ia tidak dapat mengendalikan hal-hal yang buruk yang ada pada dirinya. Ia jadi sering meragukan dirinya, apakah ia dapat menjadi seorang anggota wangsa Banyak Citra yang pantas. Kebencian dan kemarahan serta keragu-raguan terhadap kemampuan dirinya itu mula- mula tampak pada Jasik dalam bentuk kemurungan. Akan tetapi, hal itu kemudian mengambil bentuk yang lebih keras. Ia menjadi pemarah, bukan terhadap Jasik, tetapi kepada dirinya sendiri. Dalam renungannya, sering sekali tiba-tiba Banyak Sumba memukulkan tinjunya ke atas bangku.
Sebagai seorang panakawan yang bijaksana, kalau Banyak Sumba sedang murung, Jasik biasanya menjauh. Kalau tuannya itu sudah agak tenang, ia mendekat lalu mengajukan beberapa pertimbangan. Pada suatu sore, berkatalah ia, "Segalanya tak usah dirisaukan benar. Raden. Sang Hiang Tunggal akan menunjukkan jalan kepada kita pada waktunya."
"Biaya kita tinggal setengahnya, Sik, sedangkan guru yang kuingini belum juga kita temukan," ujar Banyak Sumba sambil meremas rambutnya yang hitam dan agak ikal itu.
Memang, beberapa kali dalam bulan terakhir ini, mereka telah mengunjungi beberapa orang guru atas petunjuk rakyat di Kutabarang. Akan tetapi, melihat beberapa gerakannya saja, Banyak Sumba cepat mengambil kesimpulan bahwa kepandaian mereka berada di bawah kepandaian Paman Wasis. Itulah sebabnya ia hampir berputus asa.
"Waktunya akan tiba kita menemukan orang yang kita perlukan itu, Raden," sambung jasik. Nada bicaranya begitu penuh keyakinan hingga Banyak Sumba bangkit memandang wajahnya.
"Engkau yakin, di Kutabarang ini ada orang yang tinggi ilmunya?" tanyanya kepada Jasik.
"Ayah saya mengatakan hal itu. Ia mengatakan bahwa di Kutabaranglah tempat berkumpul orang-orang pandai, termasuk yang pandai dalam perkelahian dan main senjata. Hanya, seperti juga kata Kang Arsim, mereka ini bersembunyi. Kesabaran kita akhirnya akan menemukan jejak ke ambang pintu rumah mereka."
Banyak Sumba termenung untuk beberapa lama, lalu berkata, "Seandainya biaya habis dan kita belum menemukan orang itu, saya tidak akan pulang, Sik."
"Saya tahu, Raden tidak akan berbuat begitu," ujar Jasik yang mengerti watak tuannya.
"Saya akan mencari pekerjaan, kalau perlu jadi kuli, Sik." Jasik tersenyum. "Mengapa kau tertawa?" "Tidak akan ada orang yang berani menyuruh Raden.
Mereka akan melihat bahwa Raden bukan orang kebanyakan."
Wajah Banyak Sumba gelap kembali. Jadi apakah ia kalau seandainya harus bekerja?
"Saya jadi kuli, Raden jadi juru tulis pada keluarga kaya atau bangsawan tinggi," sambung jasik.
"Betul, Sik. Tapi, saya tidak bermaksud menyuruhmu menjadi kuli. Saya bekerja di sini, engkau boleh pulang ke Panyingkiran."
"Tidak Raden, saya sekeluarga sudah terikat sumpah untuk setia kepada seluruh anggota keluarga Raden."
Banyak Sumba mengangkat pundaknya. Sementara itu, pintu diketuk orang dan ketika jasik membukanya tersenyum- lah Arsim.
"Silakan masuk, Kang," kata Jasik.
"Raden, kabar baik!" serunya. Arsim menutup mulutnya, lalu berpaling ke kanan ke kiri. Jasik yang mengerti segera menutupkan wide yang bergantung di atas pintu kanan dan kiri ruangan.
"Raden, si Colat ada di kota." "Bagaimana Kang Arsim tahu? Di mana?"
"Gan Tunjung dengan tergesa-gesa mengumpulkan uang karena ia punya utang kepada penjahat itu. Saya sempat bertanya kepadanya dan Gan Tunjung menerangkan, si Colat menagihnya dan kalau pembayarannya tidak segera dilakukan akan menyusahkan."
"Di mana ia berada?" tanya Banyak Sumba dengan tidak sabar. "Di suatu tempat yang Kang Arsim tahu, tidak usah dikatakan sekarang Pokoknya, nanti sore kita pergi ke sana. Tapi ”
"Tapi apa?" tanya Banyak Sumba.
"Si Colat hanya mau mengajar kalau Raden bersedia membayar tinggi."
Banyak Sumba termenung karena ia tahu bahwa ia sudah bertambah miskin karena terjadi keributan dan kebakaran pada orang yang sedang kenduri itu. Akan tetapi, ia kemudian teringat percakapannya dengan Jasik. Kalau perlu, ia bekerja jadi juru tulis pada orang kaya.
"Saya bersedia membayar tinggi seandainya memang ia sangat tinggi ilmunya," kata Banyak Sumba.
Mereka pun berjanji bahwa sore itu mereka akan mengunjungi sebuah gubuk di luar dinding benteng Kutabarang. Setelah itu, mereka mengobrol tentang hal-hal kecil; tentang kenangan-kenangan mereka kepada Kota Medang yang jauh; tentang rencana Arsim membuat rumah besar, memelihara pelayan, dan membeli kereta berkuda.
Ketika matahari condong, Arsim mohon diri dan kedua orang pengembara itu pun mengantar hingga halaman.
KETIKA saat yang ditentukan tiba, kedua orang pengembara memacu kuda masing-masing menuju gerbang kota. Di sana, Arsim sudah menunggu dengan kuda di sampingnya. Pada pelana kuda itu, agak tersembunyi, bergantunglah sebuah kantong kulit. Dari bentuknya, tampak bahwa kantong kulit itu berisi benda berat-logam! Melihat itu, tersenyumlah Banyak Sumba. Ia akan mengatakan sesuatu, tapi Jasik mendahuluinya, "Kang Arsim ini memang cerdik.
Kami dibuatnya jadi pengawal." Arsim mengerlingkan matanya, lalu berkata, "Kalau tidak cerdik, kita dimakan orang di rantau ini. Daripada minta dikawal orang lain dan memberi upah, lebih baik dikawal dua orang murid Paman Wasis, yang tentu saja tidak memerlukan uang karena minta diantar mencari guru."
"Mari," kata Banyak Sumba yang langsung memimpin rombongan. Walaupun di rantau dan lebih muda daripada Arsim, ia tuan bagi warga kotanya.
"Ha! Ha!" seru Arsim menghalau kudanya. Maka, naiklah debu jalan yang menuju kampung-kampung di luar gerbang barat Kota Kutabarang Berulang-ulang mereka berpapasan rakyat yang pulang dari huma dan kebun dengan iringan pedati kerbau yang membawa hasil bumi ke arah kota; pasukan-pasukan kecil jagabaya yang pulang bertugas; para ponggawa; dan pengembara dengan buntalan di punggung, disangkutkan pada sebatang cabang pohon.
Ketika itu, matahari hampir tenggelam, langit Jingga oleh cahayanya. Bukit-bukit yang rendah, rawa-rawa di tepi laut, abu-abu tampaknya. Atap ijuk kampung hitam, sedangkan di sana sini tampak rumah-rumah besar menjulang, dikelilingi benteng tinggi. Beberapa rumah itu bermenara pula pada bentengnya. Itu rumah bangsawan-bangsawan yang tidak suka kesibukan kota pelabuhan Kutabarang. Karenanya, mereka mendirikan istana di luar kota.
Makin jauh mereka dari kota, makin jarang kampung dan makin menyempit pula jalan. Akan tetapi, rumah bangsawan masih tampak satu-dua. Pada suatu tempat, begitu ketiga orang penunggang kuda keluar dari kelompok pohon cemara, menjulanglah sebuah benteng yang terletak tidak jauh dari jalan. Banyak Sumba berpaling ke atas dinding benteng dan melihat beberapa orang gulang-gulang bersenjata panah memerhatikan mereka. Banyak Sumba segera berpaling untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga itu. Akan tetapi, tiba- tiba tampaklah oleh Banyak Sumba seorang putri diiringi beberapa orang emban sedang berjalan-jalan di atas dinding benteng sambil menikmati pemandangan senja itu. Banyak Sumba tidak dapat mengejapkan matanya. Ia lupa kepada kedua orang pengiringnya. Ia pun lupa kepada gulang-gulang yang tidak jauh dari putri itu.
Akan tetapi, kudanya berlari cepat. Dalam sekejap, ia harus menjauh dari tempat itu dan tidak dapat lagi melihat kecantikan yang mengguncangkan hatinya. Secepat kilat, ditemukannya akal. Ia mencabut belati kecil yang terselip di ikat pinggang besar di bawah baju luarnya. Senjata itu dijatuhkannya. Lalu, ia berseru, "Ha! Ha!"
"Ha! Ha!" seru kedua orang kawannya memberi semangat kepada kuda masing-masing. Kuda-kuda pun melesat bagaikan terbang di jalan yang lengang itu. Beberapa lama kemudian, Banyak Sumba melambatkan kudanya hingga kedua orang kawannya itu menyusul.
"Ada apa?" tanya Arsim. "Pisau saya jatuh."
Arsim kelihatan muram. Banyak Sumba segera berkata, "Tidak jauh. Baru saja saya betulkan letaknya, mungkin waktu saya memecut kuda itulah ia jatuh."
"Mari, kita kembali," kata Jasik.
"Tidak usah," ujar Banyak Sumba. "Sekarang, pergilah kalian dulu, nanti saya menyusul."
"Cepat, Raden, kami tunggu di persimpangan. Ingat, jalan- jalan di sini tidak seaman jalan-jalan di Kota Medang."
"Jangan khawatir," seru Banyak Sumba, lalu membalikkan kuda dan memacunya. Sementara dalam hatinya tergambar kecantikan putri itu.
Ia memacu kudanya dengan hati berdebar-debar. Tiba-tiba, pikirannya ragu-ragu. Bukankah tidak pantas seorang yang sedang mencari ilmu tergoda oleh kecantikan seorang putri hingga harus menyimpang? Ia ragu-ragu dan hampir membelokkan kudanya kembali serta merelakan pisaunya yang bergagang gading itu menjadi korban. Akan tetapi, dari jauh tampaklah pakaian merah muda putri itu berkibar ditiup angin senja. Banyak Sumba sambil menengadah ke arah benteng memecut kudanya. Makin lama makin dekat. Tampak putri itu memandangnya, demikian juga para emban yang berdiri di belakangnya. Banyak Sumba melambatkan kudanya sambil tetap memandang ke arah benteng.
"Seperti sekuntum bunga di antara daun-daunan," demikianlah hatinya berkata, memperbandingkan putri itu dengan emban-embannya. Kemudian, hatinya melanjutkan bisiknya. "Para Pohaci di Kahiangan menciptakan boneka cantik dari pualam dan gading, bibirnya dibuat dari dua helai mahkota mawar, matanya dipetik dari bintang-bintang.
Sedangkan kedua pipinya itu adalah keratan purnama. Lalu, para Pohaci meniupkan hidup dan itulah napas sang Putri."
Tiba-tiba, para emban menjerit, sedangkan putri itu meletakkan kedua belah tapak tangannya satu sama lain di depan wajahnya yang cemas. Ternyata, kuda Banyak Sumba yang penurut itu sudah keluar dari jalan dan masuk ke dalam semak-semak.
"Hati-hati, Tuan Muda!" seru seorang emban yang nakal. Lalu, terdengar emban-emban yang lain tertawa. Tuan Putri tersenyum dan mata mereka bertemu. Tuan Putri memalingkan pandangannya. Banyak Sumba membelokkan kudanya, kembali ke jalan.
"Hai, di sana! Apa yang kaucari?" seru suara kasar penjaga. Banyak Sumba berseru, "Pisau saya jatuh!"
"Jangan dekat-dekat ke benteng!" seru penjaga itu.
Beberapa orang di antara mereka mengarahkan panahnya kepada Banyak Sumba. Dengan tenang, Banyak Sumba menghentikan kudanya, lalu turun. Ia berjalan menunduk, mencari-cari pisaunya, walaupun hatinya tidak terpusat ke sana. Tak lama kemudian, ia menemukannya, lalu mengambilnya. Ia berpaling kepada para penjaga yang ternyata memerhatikannya dengan curiga. Ia mengacungkan pisau itu, lalu memasukkan ke sarungnya. Dengan sudut matanya, ia mencuri pandang ke arah putri yang memerhatikannya dengan malu-malu di sudut benteng, tidak jauh dari para penjaga. Para penjaga tampak puas setelah melihat Banyak Sumba betul-betul mengambil pisau dari jalan. Mereka tidak memerhatikannya lagi.
Banyak Sumba melompat ke atas kudanya, tetapi tidak terus memacunya. Ia melarikan kudanya perlahan-lahan dan dengan berani memandang ke arah putri itu. Putri itu pun memerhatikannya, walaupun malu-malu. Merasa putri itu memerhatikannya, timbullah keberanian Banyak Sumba. Dan setelah ia tahu bahwa di dekat rombongan putri itu tidak ada penjaga, dihentikanlah kudanya; ia berkata kepada putri yang ada di atas benteng itu, "Hamba telah menemukan kembali pisau hamba yang jatuh itu, Tuan Putri. Maaf, hamba telah mengganggu."
"Sudah jauhkah engkau, Anak Muda?" tanya seorang emban tua.
"Belum, Bibi. Kalaupun sudah jauh berjalan, tidaklah saya sia-sia. Pisau ini rupanya sengaja jatuh agar saya dapat menyampaikan hormat saya kepada Tuan Putri."
"Engkau berjalan seorang diri, padahal senja sudah tiba?" "Tidak, Bibi, kawan-kawan hamba menanti di
persimpangan. Mereka memarahi pisau saya yang jatuh, tapi
saya mengucapkan terima kasih kepadanya."
Lewat ujung pandangnya, Banyak Sumba melihat bahwa putri itu arif akan apa-apa yang dikatakannya. Tampak olehnya putri itu memalingkan muka, menyembunyikan senyumnya Lesung pipitnya yang manis melekuk pada pipinya yang seperti pualam, yang ketika itu jadi keemasan kena sinar lembayung senja.
"Sekarang, selamat tinggal," kata Banyak Sumba sambil menundukkan mukanya, memberi hormat ke arah tuan Putri. Ia membelokkan kudanya. Sebelum membelakangi, ia memandang dulu ke arah putri yang mencoba memalingkan mukanya, tetapi tampak bimbang Kemudian, Banyak Sumba memacu kudanya.
"Hati-hati, Anak Muda, kuda itu agak buta, tadi masuk semak!" seru seorang emban yang nakal, kemudian terdengar para emban itu tertawa. Banyak Sumba memacu kudanya seperti terbang di atas jalan yang berkelok-kelok lembut di bawah langit senja.
Segala kemurungannya, segala kemarahan terhadap dirinya yang terpendam, tiba-tiba musnah oleh peristiwa yang baru dialaminya itu. Ia tahu bahwa putri itu mengerti perbuatannya. Bahkan, ia yakin, putri itu menyadari bahwa pisau itu hanyalah dalih. Kesadaran akan hal itu menyebabkan Banyak Sumba gembira. Bukankah dengan demikian semacam saling mengerti sudah terjalin di antara mereka?
Ketika ia tiba di salah satu persimpangan, tampaklah kedua orang kawannya menunggu. Jasik yang sangat halus perasaannya memandang kepadanya dengan heran, "Raden mendapat kabar gembira dari Medang?"
Sekarang, Banyak Sumba-lah yang keheranan. Akan te tapi, hanya sekejap, la sadar bahwa Jasik yang halus perasaannya akan segera melihat kegembiraan pada air mukanya. Ia segera menjawab, "Saya menemukan pisau saya lagi, Sik," katanya sambil tersenyum. Mereka pun, dengan Arsim paling depan, memacu kudanya pada tujuan semula. DI TENGAH-TENGAH perhumaan yang berbatasan dengan hutan lebat, terletaklah sebuah kampung kecil. Kampung ini hanya terdiri dari beberapa buah rumah yang lebih menyerupai dangau daripada rumah. Atap rumah-rumah itu pun tidak teibuat dari ijuk, tetapi dari ilalang. Itulah sebabnya, sifat kesementaraan kampung itu lebih menonjol. Karena letaknya berbatasan dengan hutan lebat, pagar kampung itu di samping kuat, amat tinggi pula. Pagar itu terbuat dari bambu berduri yang sebagian telah tumbuh. Ke kampung inilah ketiga orang penunggang kuda menuju.
Ketika itu, hari telah senja dan lawang kari sudah ditutup. Arsim berseru kepada seorang yang mengantuk di kandang jaga yang terletak tepat di atas lawang kari.
"Siapa di sana?"
"Dari Gan Tunjung!" seru Arsim. Penjaga itu memanggil kawannya, lalu dua orang di antara mereka melepaskan palang lawang kori yang terbuat dari sebatang pohon pinang.
Ketiga orang penunggang kuda itu pun masuk. Setelah kuda dititipkan kepada penjaga, mereka dibawa seorang laki- laki ke rumah yang paling besar. Ketika mereka memasuki rumah itu, Banyak Sumba yang paling tinggi di antara mereka terpaksa menundukkan kepala. Begitu ia menengadah kembali, tampaklah di depannya seorang laki-laki kira-kira berumur tiga puluh tahun: si Colat.
"Selamat sore,Juragan," kata Arsim kepada laki-laki itu. Laki-laki itu tersenyum dan mempersilakan mereka dengan isyarat.
"Akhirnya, tuanmu mau juga memenuhi janjinya, Sim," kata laki-laki itu sambil mengusap-usap seekor anjing besar yang tidur di sampingnya, di atas bangku.
"Beliau sudah dapat bernapas lagi sekarang, Juragan. Paman beliau yang tidak berputra belum lama ini wafat. Walaupun sebagian warisan itu sudah mengalir bagai air, Juragan kena juga basahnya," ujar Arsim.
Sementara, Banyak Sumba memerhatikan laki-laki yang ada di depannya. Sungguh-sungguh meleset dugaannya. Ia menyangka akan bertemu dengan laki-laki yang tinggi besar dan kasar, seorang petani yang menjadi gila karena keserakahannya. Akan tetapi, yang ditemukannya adalah seorang laki-laki yang halus, berkulit kuning langsat, rambut rapi, dengan sisir besar melintang di kepalanya. Sedangkan pakaiannya terbuat dari sutra Katai yang hitam mengilat. Di pinggangnya diikatkan sehelai ikat pinggang yang lebar, terbuat dari kulit macan tutul yang indah. Wajah orang itu lonjong, bentuk hidungnya mancung, bibirnya halus hampir seperti bibir wanita, dahinya rata seperti pualam. Selintas pandang, orang akan melihat bahwa laki-laki itu seorang bangsawan, kalaupun bukan seorang bangsawan tinggi.
Kesan itu bukan saja disebabkan wajah dan sikapnya, tetapi oleh air muka dan cahaya matanya yang berwibawa. Hanya satu yang merusak kesan itu, yaitu bekas luka yang mengerikan, melintang dari telinga hingga ke ujung bibirnya.
"Dan Raden, dari manakah Raden?" tiba-tiba si Colat bertanya kepada Banyak Sumba sambil tetap mengusap-usap kepala anjing besar yang tidur di sampingnya.
"Oh, iya," kata Kang Arsim sebelum Banyak Sumba sempat menjawab. "Den Sumba sengaja datang dari Kota Medang, berhasrat sekali belajar ilmu kepahlawanan kepada Juragan."
Si Colat mengangkat mukanya, memandang ke arah Banyak Sumba sambil tetap tersenyum, "Bukankah Arsim seorang guru yang baik, Raden," tanya si Colat.
'Juragan, Den Sumba ini seperguruan dengan saya. Den Sumba sudah pasti dapat mengalahkan saya. Den Sumba telah mengalahkan Jasik, yang ini putra guru kami." "Kalau begitu, tidak perlu lagi belajar kepada saya, Raden," kata si Colat dengan lemah lembut. Karena semua diam, ia melanjutkan berkata, "Tentu Arsim bercerita yang bukan- bukan tentang saya, tentang kepandaian saya, bukan?"
"Bukan dari Kang Arsim saya mendengar cerita tentang ... tentang Kakanda," kata Banyak Sumba. Mereka berpandangan dan keduanya menghubungkan jembatan pengertian. Mereka bangsawan yang berhadapan satu sama lain sebagai bangsawan. Pengakuan Banyak Sumba akan kebangsawanan si Colat rupanya menyentuh hati si Colat yang menunduk untuk beberapa lama.
"Tapi, saya bukan seorang guru yang baik," katanya.
Banyak Sumba merasa lega oleh perkataan itu. Itu berarti, si Colat sudah bersedia mengajarnya. Ia sangat gembira karena menurut orang, si Colat tokoh yang mengerti rahasia ilmu para puragabaya. Karena tidak sabar, berkatalah Banyak Sumba, "Kakanda dapat mengajar saya sesenggang waktu Kakanda, saya akan menyesuaikan diri."
"Tidak banyak yang harus saya ajarkan, tetapi ternyata tak sembarangan orang dapat mencerna pengetahuan itu. Akan tetapi, baiklah. Kita akan berunding besok," katanya.
"Selesai satu persoalan, Juragan," ujar Arsim. "Sekarang, mohon diterima titipan Gan Tunjung ini."
"Letakkanlah, Sim," katanya, lalu si Colat memanggil seseorang, tidak berseru, biasa saja. Seseorang masuk, lalu mengambil kantong kulit dari atas bangku. Tak lama kemudian, orang itu kembali, melaporkan bahwa isinya cocok.
"Tentu tuanmu ingin tidur nyenyak, Sim," kata si Colat pula sambil tersenyum. "Sekarang, marilah kita beristirahat."
Dengan lega, Banyak Sumba keluar ruangan itu. Karena kesan yang menyorot dari pribadi itu, ia makin yakin bahwa dari si Colat itulah ia akan mendapatkan ilmu yang dibutuhkannya. Ia memasuki salah sebuah rumah kecil di dalam kampung kecil itu, lalu membaringkan diri. Pikirannya mengenai si Colat tidak mudah dihilangkan dari kesadarannya. Maka sambil berbaring-baring itu, berkatalah ia.
"Kang Arsim, ceritakanlah apa yang kau ketahui tentang si Colat. Menurut pendapat saya, ia bukan orang sembarangan."
"Memang, Raden. Sebenarnya, ia putra seorang bangsawan tinggi dari seorang gundik. Akan tetapi, bangsawan tinggi ini sangat takut kepada istrinya hingga si Colat, selain dibengkalaikannya, tidak hendak diakui sebagai putra. Waktu kecil, si Colat sangat menderita karena selalu diejek sebagai anak tak tentu ayah. Itulah sebabnya di waktu muda ia sangat pemalu. Karena pemalu itu, ia menjadi sangat halus tingkah lakunya, seperti Raden lihat tadi.
Kemudian, tingkah lakunya jadi berubah setelah pada suatu hari ia dikeroyok dan dibacok. Menurut keterangan oleh perampok, tetapi didesas-desuskan pula bahwa sebenarnya perampok itu adalah pembunuh bayaran. Orang-orangjahat itu disuruh membunuh si Colat agar bangsawan tinggi itu dingin telinganya. Istrinya sangat ganas dan bawel. Di samping itu, didesas-desuskan pula bahwa perampok itu disuruh oleh kakak seayah si Colat yang takut warisannya dibagi dua." "Tahukah Kang Arsim siapa nama ayah si Colat itu?" "Wah, tentu saja saya tidak tahu, Raden. Begitu tebal kabut rahasia meliputi kehidupan si Colat ini. Di samping itu, Kang Arsim tidak berani banyak bertanya tentang dia, siapa tahu ia jadi curiga."
Banyak Sumba termenung sambil berbaring merenungkan kembali cerita yang disampaikan Kang Arsim tentang calon gurunya, si Colat. Dalam hati Banyak Sumba, mulai timbul rasa kasihan dan bahkan rasa sayang. Bagaimanapun, si Colat menghadapi nasib yang sama seperti ia. Bukankah si Colat pun telah diperlakukan secara tidak adil,.seperti dia dan seluruh keluarga Banyak Citra? Kesadaran bahwa mereka senasib menumbuhkan tekad dalam diri Banyak Sumba untuk mempersatukan hidupnya dengan si Colat dan bersama-sama dengan orang yang malang ini melawan nasib. Dengan tulus, ia bertekad memperlakukan si Colat sebagai kakaknya sendiri karena bagaimanapun si Colat lahir di pangkuan nasib yang sama dan mengecap derita lebih dahulu daripada dia. Renungannya itu tiba-tiba menimbulkan pikiran aneh dalam hati Banyak Sumba. Mungkinkah Sang Hiang Tunggal mempertemukan mereka dengan maksud tersembunyi? Tidakkah si Colat yang terkenal kepandaiannya dalam seni keperwiraan dapat dianggapnya sebagai pengganti Kakanda Jante Jaluwuyung dalam rangka menunaikan tugas suci wangsa Banyak Citra? Rencana Sang Hiang Tunggal selalu terjadi, walaupun bagi manusia selalu merupakan teka-teki dan penuh keajaiban.
Renungan-renungannya makin lama makin mengabur, kemudian menjadi mimpi. Dalam bayangan impiannya itu, dia melihat si Colat dalam pakaian puragabaya yang serba-putih berhadapan dengan Puragabaya Anggadipati yang berpakaian serbahitam, pakaian si Colat. Mereka saling mengintai, kemudian melakukan gerakan-gerakan aneh yang belum pernah disaksikannya. Banyak Sumba berteriak-teriak agar si Colat mengundurkan diri.
"Raden!" tiba-tiba Jasik berseru. "Oh, saya bermimpi, Sik." "Malam sudah sangat larut, Raden, marilah kita tidur
kembali."
Mereka pun membetulkan selimut masing-masing dan tak lama kemudian, gubuk itu pun sunyi kembali.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar, para pengiring si Colat berseru-seru saling membangunkan satu sama lain. Ketika Banyak Sumba keluar gubuk tempatnya menginap, tampak di tengah lapangan kecil antara gubuk-gubuk itu telah berkumpul para pengiring si Colat dengan beberapa ekor kuda.
"Sik," kata Banyak Sumba, "saya akan bertanya kepada si Colat, jalan mana yang akan diambil, kemudian kita akan menetapkan di mana kita akan bertemu."
Jasik terpaksa kembali ke Kutabarang untuk mengambil sejumlah kecil barang milik mereka yang ditinggalkan di tempat menginap. Jadi, sebelum ikut dengan Banyak Sumba dan rombongan si Colat, Jasik akan turun ke Kutabarang dengan Arsim, kemudian menyusul. Untuk mengatur hal itu, Banyak Sumba segera menghubungi si Colat yang berada dalam gubuknya dan sedang bersiap-siap. "Selamat pagi, Kakanda."
"Selamat pagi, Raden, kita harus segera meninggalkan tempat ini. Anjingku telah membaui sesuatu yang busuk," ujar si Colat sambil tersenyum.
"Ada yang ingin saya katakan, Kakanda." "Ya?"
"Panakawan saya harus kembali dulu ke Kutabarang untuk mengambil periengkapan. Ia harus menyusul di belakang.
Dapatkah saya mengetahui, jalan mana yang akan dilalui dan di mana kita akan beristirahat hingga ia dapat menyusul rombongan."
Si Colat termenung. Tampaknya apa yang diajukan Banyak Sumba merupakan persoalan yang sungguh-sungguh baginya.
Ini benar-benar di luar dugaan Banyak Sumba. Banyak Sumba segera menyadari bahwa ia telah menyusahkan si Colat. Ia segera bertanya, "Apakah hal itu akan menyusahkan Kakanda?"
"Bukan begitu, Raden. Soalnya, rombongan kadang-kadang harus mengambil jalan yang tidak direncanakan terlebih dahulu. Engkau harus menyadari, Raden, si Colat itu orang jahat," katanya sambil tersenyum, "dan kepalanya sudah dihargakan tinggi sekali. Banyak sekali jagabaya dan para petualang yang ingin cepat kaya."
"Kalau begitu, saya akan memikirkan jalan lain. Saya menyesal telah menyusahkan Kakanda."
"Bukan begitu, Raden. Marilah kita pikirkan." Si Colat termenung. Tak lama kemudian, ia tersenyum kembali, lalu berkata, "Panakawanmu itu pernah ke Perguruan Gan Tunjung?"
"Pernah Kakanda."
"Bagus. Nah, dari perguruan itu, melihatlah ke arah selatan. Di sana akan tampak tiga buah puncak gunung. Katakan kepadanya agar dia berusaha mencapai puncak gunung yang tengah dalam waktu tiga hari. Apakah ia penunggang kuda yang baik?"
"Kalau perlu, ia dapat menjadi penunggang kuda yang baik."
Bagus, jadi persoalan kita beres. Sekarang, bersiap-siaplah Banyak Sumba pun minta diri, lalu bergegas menuju
gubuknya kembali. Segala yang diminta si Colat dijelaskannya
kepada Jasik. Dan setelah segalanya jelas, Jasik segera berangkat dengan Arsim ke arah Kutabarang. Kalau tidak segera pergi, Jasik khawatir, jangan-jangan ia tidak dapat menyusul rombongan si Colat.
Setelah Jasik dan Arsim pergi, bertolak pulalah rombongan si Colat yang terdiri dari enam orang, ketujuh Banyak Sumba. Si Colat menunggang kuda belang, berjalan paling depan.
Banyak Sumba kedua dari belakang. Mereka melarikan kuda masing-masing perlahan-lahan agar kuda menjadi hangat dulu badannya. Ketika matahari mulai terbit, mulailah mereka memecut kuda masing-masing. Sesuai dengan yang telah dikemukakan si Colat bahwa kepalanya telah diberi harga, rombongan menghindari jalan besar. Mereka banyak sekali mengarungi padang dan jalan kecil. Kampung-kampung pun dihindari si Colat. Tampak sekali bahwa si Colat sudah hafal daerah yang dilaluinya. Dan dalam waktu singkat, mereka sudah ada di puncak sebuah bukit yang tinggi. Dari puncak bukit itu, tampaklah laut, Kota Kutabarang, benteng, dan kelompok-kelompok perkampungan di sekitarnya.
"Kita berhenti dulu di sini, Raden," ujar si Colat yang sudah berdiri di tanah dan melepaskan kendali kudanya.
Banyak Sumba turun, lalu berjalan mendekatinya. Banyak Sumba melihat wajah si Colat muram. Banyak Sumba berfirasat bahwa sesuatu yang tidak diingini terjadi terhadap si Colat. Apakah yang menyebabkan si Colat muram?
'Arnasik, tidakkah kau salah membuat janji?"
"Sama sekali tidak, Juragan. Hari ini, di saat burung-burung mulai bernyanyi. Di tempat ini," jawab orang yang bernama Arnasik itu.
"Seharusnya mereka sudah datang," ujar si Colat, wajahnya bertambah muram. Setelah berkata demikian, si Colat menjauh dari rombongan. Ia berdiri di bawah sebuah pohon tanjung seraya memandang ke arah Kutabarang.
Banyak Sumba berjalan ke arah kudanya dan sambil melepaskan kendali, ia bertanya kepada salah seorang pengiring si Colat.
"Siapakah yang ditunggu?" "Putra juragan, Raden Jimat."
"Berapa tahun umur Raden Jimat itu?"
"Oh, masih kecil, tujuh atau delapan tahun," jawab yang ditanya. "Delapan tahun?"
"Ya, Den Jimat diantar oleh dua orang pengiring dan seorang emban untuk berkunjung ke nenekandanya di Kutabarang. Hari ini, saat ini, mereka seharusnya sudah ada di sini kembali."
"Oh. Berapa orangkah putra tuanmu?"
"Hanya seorang dan mungkin tidak akan beradik lagi," kata pengiring itu.
"Bagaimana kautahu?" tanya Banyak Sumba.
"Sejak kejadian itu, juragan tidak pernah kembali kepada juragan istri."
"Kejadian apa?" tanya Banyak Sumba jadi penasaran. "Lima tahun yang lalu, juragan dicegat dan dikeroyok orang, lalu dilukai dan bekasnya jelas bagi setiap orang. Dengan luka yang mengerikan itu, tentu saja berat bagi juragan untuk kembali kepada juragan istri. Padahal, juragan istri cantik jelita. Maka, juragan memutuskan tidak akan kembali. Juragan berpesan kepada saya dan Arnasik untuk kembali mengabarkan kepada juragan istri bahwa juragan tewas oleh perampok. Sebelum meninggal, begitu perintah juragan, juragan berpesan agar Den Jimat dipelihara oleh ibunda juragan. Juragan istri betul-betul patah hati dan menjadi pertapa sekarang. Raden Jimat segera diserahkan kepada nenekandanya. Akan tetapi, Raden Jimat segera diambil oleh juragan. Sewaktu-waktu saja Raden Jimat dibawa untuk dipertemukan dengan nenekandanya di Kutabarang."
Banyak Sumba mulai menyadari, nasib buruk macam apa yang sebenarnya telah menimpa si Colat. Alangkah kejam orang-orang yang menganiaya hingga ia luka dan karena itu harus berpisah dengan istri yang dicintainya. Alangkah kejam orang-orang yang memisahkan anak dari ibunya setelah membinasakan ayahnya. Kesadaran akan nasib si Colat menimbulkan rasa sayang Banyak Sumba kepada orang itu. Bukankah ia dan si Colat sama-sama diperlakukan tidak adil oleh dunia? Dan bukankah mereka berdua seharusnya bekerja sama untuk menentang nasib?
Ketika Banyak Sumba termenung demikian, dari arah kaki bukit itu muncullah empat orang penunggang kuda. Si Colat segera menjemput keempat pendatang baru itu. Dengan sudut matanya, tampaklah bahwa wajah si Colat makin penuh dengan kecemasan. Dengan tidak sadar, Banyak Sumba pun mendekat ke arah para pendatang yang mulai turun dari kuda mereka. Demikian pula para pengiring si Colat.
'Apa yang terjadi?" tanya si Colat ketika para pendatang baru itu memberi hormat.
Yang tertua dari penunggang kuda itu maju, lalu berkata, "Dalam perjalanan menuju tempat ini, rombongan disergap, emban ditangkap dengan Den Jimat, Obing terluka dan dibawa oleh mereka."
"Siapa mereka?" tanya si Colat.
"Sebagian jagabaya, sebagian lagi somah." "Ke mana Jimat dibawa?"
"Menurut keterangan yang kami kumpulkan ke arah Kutabarang, tapi kami tidak yakin benar."
Si Colat tidak bertanya, tetapi dari cahaya matanya tampak ia marah. Banyak Sumba yakin, hanya orang yang punya keberanian dan keperkasaan seperti si Colat yang akan marah dalam keadaan seperti itu. Orang yang lebih lemah akan bersedih dan patah semangat.
Setelah beberapa saat termenung, berkatalah si Colat, "Arnasik, kita menunggu malam di sini."
"Baik, Juragan," ujar Arnasik, lalu memberikan petunjuk kepada para pengiring yang lebih muda. Keempat orang pendatang menggabungkan diri. Ternyata, mereka itu bukan pengiring si Colat, tetapi panakawan orangtua si Colat.
Setelah berkata kepada Arnasik, si Colat melangkah dan matanya mencari Banyak Sumba. Setelah Banyak Sumba tampak olehnya, si Colat melangkah ke arahnya. Setiba di hadapan Banyak Sumba, berkatalah ia, "Raden, perjalanan kita tertangguh. Engkau dapat menunggu di sini atau barangkali akan mengurus hal-hal yang lain. Besok, atau tengah malam ini, kita baru meninggalkan tempat ini."
"Lebih baik saya turut dengan Kakanda," ujar Banyak Sumba yang telah menduga bahwa si Colat akan pergi ke Kutabarang untuk merebut kembali putranya yang diculik oleh orang-orang yang ingin menangkapnya.
"Saya senang mendapat bantuan, tetapi mungkin itu dapat menjerumuskanmu. Bagaimana nanti dengan orangtuamu?"
"Ayahanda akan memerintahkan supaya saya membantu, setia, dan berkorban bagi guru saya."
"Engkau benar-benar seorang kesatria, Raden. Akan tetapi, saya belum menjadi gurumu. Engkau masih belum terikat setia dan berkorban untukku."
"Saya telah memutuskan untuk ikut menyusul putra Kakanda."
Si Colat termenung, lalu berkata, "Baiklah, tetapi mungkin engkau belum membayangkan apa yang kita hadapi nanti."
'Apa pun yang kita hadapi, saya telah memutuskan untuk turut, Kakanda."
Mendengar perkataan Banyak Sumba itu, si Colat agak keheranan, lalu memandang wajah Banyak Sumba. Ia pun tidak berkata apa-apa lagi. Maka, rombongan pun membuka perbekalan dan menggelarkan tikar di atas rumput di bukit itu. Tampak si Colat tidak dapat makan. Tampak ia memaksakan diri untuk menelan makanan yang disodorkan para pengiringnya.
Sebelum senja tiba, ketika si Colat sudah tidak sabar lagi dan berulang-ulang melihat ke arah barat, datanglah pula seorang penunggang kuda.
Sambil melompat dari punggung kuda, pendatang itu berkata, "Den Jimat dibawa ke sebuah puri di tepi kota. Juragan kenal dengan Jagabaya Agung?"
"Perwira tua yang hidungnya besar itu?" tanya si Colat. "Ya."
"Baiklah. Kawan-kawan, mari kita berangkat sekarang!" seru si Colat.
Bangkitlah para pengiringnya, ada yang membereskan barang-barang, ada pula yang langsung melompati punggung kuda. Banyak Sumba mengikuti mereka dari belakang.
Pada suatu tempat, si Colat menghentikan rombongannya, lalu berkata, "Sebentar lagi kita tiba ke tempat yang dituju.
Buatlah api unggun besar di luar puri, lalu lepaskan panah api ke atap bangunan yang ada di dalam."
Hanya itu perintahnya, kemudian diperintahnya rombongan meneruskan perjalanan menembus malam yang semakin gelap itu.
Kira-kira, saat anak-anak kecil mulai tidur, tibalah mereka di sebuah jalan besar. Penunjuk jalan, yaitu orang yang datang terakhir ke puncak bukit, berjalan di muka, kadang- kadang di belakang.
Pada suatu tempat, mereka terpaksa menghindar dan masuk semak-semak di pinggir jalan karena dari arah yang bertentangan, datang sepasukan jagabaya dengan obor bernyala-nyala melarikan kuda mereka dijalan besar itu. Tak lama kemudian, berhentilah mereka di suatu tempat, antara sebuah perkampungan dan sebuah puri bangsawan yang cukup besar.
Sesuai dengan perintah si Colat, para pengiring membuka bungkusan-bungkusan anak panah dan memasang busur. Di samping itu, mereka pun mengeluarkan pula bumbung- bumbung yang berisi cairan cokelat yang berbau. Api dinyalakan dan dengan semburan benda cair dari bumbung itu, api segera menjadi besar.
"Kalau mereka mengejar, larilah dan tunggu aku sampai tiba!"
"Baik," ujar Arnasik, pemimpin pengiring itu.
Sementara itu, dari atas benteng puri terdengar orang berseru-seru, 'Ahoi! Ahoi! Siapa itu?"
Para pengiring terus menyalakan api dan menyiapkan anak panah yang ujungnya dibasahi dengan benda cair dari bumbung itu. Semetara itu, si Colat mendekat kepada Banyak Sumba, lalu berkata, "Kalau Arnasik memerintah, ikudah melarikan diri dengan semua pengiring. Saya akan menyusul di belakang."
"Tapi, saya lebih baik membantu Kakanda."
"Lebih baik tidak, berbahaya bagimu, Raden." Banyak Sumba akan berkata, tetapi Arnasik datang dan menyela.
"Kita dapat mulai, Juragan?" "Mulailah!"
Para pengiring menyulut beberapa buah anak panah setiap orangnya, lalu melompat ke atas kuda masing-masing. Mereka melarikannya mendekati puri secara terpencar-pencar. Tak lama kemudian, di angkasa terlihat pemandangan yang indah, yaitu nyala api beterbangan bagai bintang jatuh. Semuanya menuju atap-atap ijuk yang ada di dalam puri. Dari arah puri terdengar kegaduhan dan trompet tanduk yang ditiup mendayu tanda ada bahaya. Nyala api yang membesar mulai tampak dari bagian atas puri itu. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda bahwa gerbang puri dibuka orang.
Mungkin orang-orang yang ada di dalam puri beranggapan bahwa mereka diserang oleh pasukan yang besar. Mereka kebingungan karena serangan yang tak disangka-sangka itu. Di dalam puri terdengar kegaduhan yang luar biasa, menandakan isi puri itu benar-benar ketakutan dan kebingungan.
Dalam gelap yang kadang-kadang dijilat cahaya api kebakaran itu, terdengarlah tawa yang menyeramkan dari arah si Colat. Mendengar suara tertawanya itu, meremanglah bulu roma Banyak Sumba. Ia baru menyadari bahwa watak si Colat memiliki segi yang lain. Ia pun heran oleh perbuatan si Colat itu. Bukankah perbuatannya itu membahayakan begitu banyak orang yang tak berdosa, perempuan, dan anak-anak, termasuk anaknya sendiri, yang menurut kabar ditawan di tempat itu? Pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab ketika si Colat melarikan kudanya menuju puri. Banyak Sumba mengikuti. Beberapa anak panah terdengar berdesing di atasnya, tetapi ia tidak menghiraukan bahaya dan terus mengikuti si Colat yang memacu kudanya. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah di bawah dinding benteng dan tetap memacu kuda mereka di bawah lemparan tombak dari para gulang-gulang yang dalam gelap itu masih sempat mendengar langkah kuda mereka.
Tiba-tiba, seperti seekor kucing, si Colat melompat dari punggung kudanya ke arah benteng, lalu dengan cepat memanjat dinding benteng yang terbuat dari tanah liat dan batu itu, dengan memegang tumbuh-tumbuhan rambat yang rapuh dan kecil-kecil. Banyak Sumba tidak dapat berbuat apa- apa, kecuali terus melarikan kudanya mengelilingi benteng itu. Apa yang dilakukan si Colat adalah suatu keajaiban baginya.
Setelah beberapa keliling, ia pun membelokkan kudanya ke dalam gelap, menjauhi dinding benteng, kemudian turun dari kudanya.
Dipandanginya puri yang mulai terbakar di sana sini. Ia termenung memikirkan bagaimana caranya mengikuti si Colat memasuki puri itu. Kemudian, terpikir olehnya bahwa pada dinding benteng, biasanya tumbuh berbagai macam pohon- pohonan. Pohon-pohonan ini biasa dibersihkan, apalagi dalam saat-saat tidak aman. Akan tetapi, dalam keadaan damai, sering sekali pohon-pohonan kecil yang benihnya dibawa burung-burung dibiarkan tumbuh, bahkan kadang-kadang dianggap hiasan kalau kebetulan berbunga indah.
Pohon-pohonan itulah yang jadi harapan Banyak Sumba.
Akan tetapi, memanjati benteng merupakan perbuatan nekat. Seandainya terlihat penjaga, ia akan jadi makanan tombak.
Namun demikian, ia pun menyadari, justru agar para penjar ga itu kebingungan dan khawatir, si Colat melepaskan panah api. Banyak Sumba mengerti bahwa kebakaran di dalam puri akan membuat para penjaga terbagi perhatiannya, dan karena itu diharapkan tidak terlalu tajam mengawasi bagian-bagian benteng yang gelap.
Dengan pikiran itu, ia turun dari kudanya, lalu menyelinap antara semak-semak, kembali menuju puri. Di tengah perjalanan, ia berulang-ulang berhenti, menghindari pandangan para gulang-gulang yang saling berseru satu sama lain di atas benteng. Baru setelah beberapa lama mengendap- endap, Banyak Sumba sampai di kaki benteng. Ia meraba- raba dinding yang dingin di dalam gelap, kemudian menyadari bahwa memang benteng itu sudah lama tidak dipelihara.
Setelah matanya terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat semak-semak kecil yang tumbuh di sela-sela batu benteng itu. Semak kecil yang rapuh itu dapat diharapkannya untuk dipergunakan memanjati benteng.
Ia pun mulai merangkak, meraba-raba, dan memilih pegangan. Kukunya berulang-ulang ditekan di sela-sela batu- batu yang menonjol. Telapak tangannya berulang-ulang menjambak semak kecil. Kalau terdengar langkah, ia berhenti dan mengambil napas karena usaha memanjati benteng itu ternyata berat sekali. Makin kagumlah ia kepada si Colat, yang dengan cepat dan mudah dapat memanjat dinding benteng yang curam itu.
Tiba-tiba, didengarnya suara langkah dekat sekali. Detak jantung Banyak Sumba seolah-olah terhenti. Ia menahan napasnya. Dua orang gulang-gulang rupanya berlari di atas sambil berseru kepada teman-temannya. Ternyata, bagian dinding benteng itu sudah dekat sekali ke puncaknya. Itu memberi semangat pada usaha Banyak Sumba. Ia menancapkan kukunya yang telah sakit-sakit ke sela-sela batu, sedangkan telapak tangannya yang terluka oleh duri-duri semak kecil tidak dihiraukannya.
Tak lama kemudian, tangannya menyentuh bibir benteng itu. Akan tetapi, ia tidak segera mengangkat tubuhnya. Ia harus yakin dulu bahwa di dekatnya tidak ada gulang-gulang. Setelah mendengar dengan hati-hati, dengan cepat ia mengangkat tubuhnya, lalu mengangkat kaki kanannya menaiki bagian benteng yang menonjol tepat pada lekuk untuk pemanah.
Begitu ia tegak di atas benteng, terdengar teriakan dan - dua orang menyerangnya sekaligus dengan golok terangkat tinggi-tinggi. Banyak Sumba tidak menghindar, tetapi menye- rudukkan dirinya secepat mungkin ke arah tubuh lawan- lawannya selagi golok belum turun. Untung kedua orang gulang-gulang itu tidak termasuk yang kuat. Tubuh Banyak Sumba yang berat menabrak mereka, sementara tangan Banyak Sumba yang kuat menghantam ke luar, memukul tangan kan; n mereka yang hendak menghantamkan golok- golok itu.
Kedua orang gulang-gulang itu sempoyongan mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh Banyak Sumba untuk menyerang sambil melarikan diri. Menghamburlah ia, menyerang kedua orang itu dengan kakinya, bergiliran kanan dan kiri, lalu ia berlari ke arah yang bertentangan. Banyak Sumba berlari di atas benteng menuju menara jaga karena dari sanalah ia dapat turun ke arah puri. Beberapa orang gulang-gulang berpapasan dengannya, tapi tidak menyerang Rupanya, mereka menyangka Banyak Sumba kawannya dalam gelap itu. Sambil berlari dan bersiap-siap menghadapi serangan, diliriknya kesibukan orang-orang dalam puri itu.
Mereka sedang sibuk memadamkan api yang menyala di sana sini. Yang lain mengemasi barang-barang dan mengumpulkannya di lapangan yang ada di tengah-tengah puri. Anak-anak dan wanita berkumpul pula di sana.
Sementara itu, gulang-gulang yang tidak banyak jumlahnya berlari-lari mengelilingi dinding benteng, menjaga kemungkinan. Karena bingung atau karena api menakutkan, umumnya para penjaga benteng tidak membawa obor. Itulah yang menguntungkan Banyak Sumba sehingga ia dapat berada di atas benteng itu.
Rupanya, ia tidak banyak berbeda dengan gulang-gulang karena itu tidak diganggu lagi oleh yang berpapasan dengannya. Setiba di menara jaga, ia berhenti. Di sana, ia melihat pemandangan yang mengejutkannya. Beberapa orang gulang-gulang terbaring, dan dalam gelap itu mereka bukan tidur. Ia teringat kepada si Colat. Tentu si Colat yang merobohkan gulang-gulang itu. Mereka bukan pingsan, karena kalau pingsan, mereka sudah harus siuman. Mereka ... meremang kembali bulu roma Banyak Sumba ketika ia menyadari segi lain dari watak si Colat.
Pikiran itu tidak lama direnungkannya. Ia segera menuruni tangga. Di tengah tangga, terpaksa seorang gulang-gulang dipukulnya karena gulang-gulang itu menanyakan namanya. Tak lama kemudian, ia sudah berada di lorong-lorong dalam puri, berlari di antara orang-orang yang hilir mudik. Ia berlari ke sana kemari, di antara orang-orang yang mengemasi barang-barang dan memadamkan api. Ia mencari-cari si Colat. Ia tidak tahu apakah hendak membantunya atau karena didorong oleh keingintahuan saja. Ia hanya berlari ke sana kemari, mencari-cari jejak si Colat.
Pada suatu saat, tibalah ia di lorong yang besar. Sebagai seorang putra bangsawan yang biasa tinggal dalam puri, ia sudah mengetahui bahwa salah satu ujung lorong besar itu berakhir di ruangan utama. Nalurinya mendorong dia untuk menuju ruangan utama itu. Ia berlari menuju pusat puri itu.
Di suatu tempat, di dekat pintu besar, ia melihat dua orang bergelimpangan begitu saja dan darah membasahi lantai. Si Colat telah memperlakukan mereka seperti yang lainnya, yang menghalanginya. Tak lama kemudian, beberapa mayat tampak ditangisi oleh beberapa orang wanita. Di tempat lain mayat mulai diangkat. Makin dekat ke pusat puri, makin banyak ia melihat pemandangan yang mengerikan. Banyak mayat mandi darah, sedangkan pembunuhnya tidak ada di sana.
Tiba-tiba, ia mendengar gaduh di salah satu ruangan yang tertutup. Banyak Sumba mendobrak pintu. Begitu ia menghambur ke tengah-tengah ruangan, tampaklah olehnya si Colat menggendong seorang anak laki-laki kecil yang melekat di punggungnya, sementara tangan si Colat memainkan golok yang sudah penuh darah. Kakinya yang juga seolah-olah pasangan tangan yang lain, menghantam kian kemari. Badannya melompat ke sana kemari seperti seekor kucing; kadang-kadang ia seperti seekor gagak yang menyambar-nyambar mangsanya.
Apa yang dilakukan si Colat bukanlah perkelahian, tetapi lebih merupakan pembunuhan karena lawan-lawannya tidak mampu memberikan perlawanan. Begitu cepat dan begitu tepatnya pukulan-pukulan si Colat hingga dalam sekejap, berge-limpanganlah isi ruangan yang terdiri dari lima orang pongga-wa itu. Yang paling sial tidak bergerak-gerak lagi, yang masih beruntung menggeliat-geliat di atas lantai batu ruangan itu.
Ketika si Colat melihat Banyak Sumba, ia tertegun seperti keheranan. Kemudian, walaupun sangat samar, ia tersenyum, "Ini anak saya," katanya, lalu menyambung perkataannya, "engkau sangat berani, Raden. Mari, kita cepat-cepat keluar!"
Setelah berkata demikian, si Colat melompati ambang pintu, memasuki ruangan lain. Setelah mereka berada dalam ruangan itu, ternyata semua pintu tertutup. Si Colat mencoba mendorong salah satu jalan keluar, tetapi pintu itu sangat berat dan rupanya dipalang dari luar. Banyak Sumba mencoba mendobrak pintu lain, tetapi tidak dapat membukanya.
Akhirnya, mereka ragu-ragu sejenak. Ketika mereka akan kembali ke pintu tempat mereka masuk, terdengarlah suara langkah orang-orang berlari. Si Colat melihat ke sebuah tingkap, bagaikan seekor kucing dia melompat dan lenyap ke luar tanpa menimbulkan bunyi. Banyak Sumba mengikuti, tetapi tidak langsung melompat karena tingkap itu letaknya sangat tinggi, sedangkan ruangan di seberangnya tidak diketahui keadaannya. Akan tetapi, karena tidak ada jalan lain, tingkap itulah yang digunakannya sebagai jalan keluar.
Ternyata, ruangan yang dimasukinya adalah ruangan besar yang diterangi beberapa lampu. Dan begitu Banyak Sumba berpijak di lantainya, tampaklah si Colat dikelilingi tiga orang kesatria yang mengepungnya di salah satu sudut ruangan.
Banyak Sumba berkata, "Jangan main keroyok!"
Tidak disangka-sangka, si Colat berkata kepadanya, 'Jangan ikut campur, Raden, biarkan para pengecut ini mengetahui dengan siapa ia berhadapan."
"Dengan bajingan, si Colat!" kata salah seorang di antara ketiga kesatria yang mengepung si Colat.
"Baiklah," kata si Colat sambil bersiap-siap. Banyak Sumba bergerak akan membantu, tetapi sekali lagi si Colat berseru, "Tinggal di tempatmu, Raden. Kau tidak ada urusan dengan orang-orang ini!"
Banyak Sumba bingung sejenak, kemudian diam dan berdiri dekat pintu yang terbuka, menjaga jangan-jangan ada orang lain yang memasuki ruangan remang-remang itu. Sementara itu, ia mulai memerhatikan keempat orang yang sedang berhadapan itu.
"Titipkan anak kecil itu. Ia tidak berdosa. Jangan biarkan ia terluka karena kejahanaman ayahnya!" kata salah seorang kesatria itu.
Si Colat tertawa, suara tertawanya merentangkan bulu roma Banyak Sumba.
"Biarlah ia tetap di punggungku agar kalian tidak bisa mengambilnya tanpa membayar mahal. Di samping itu, ia harus mulai belajar cara berkelahi secara jantan. Biarlah ia belajar lewat pundakku!"
Sambil berkata demikian, si Colat bergerak. Bersamaan dengan itu, bergerak pula ketiga orang pengepungnya, mengubah sikap kedudukan. Banyak Sumba melihat segala kejadian itu dengan tegang. Akan tetapi, dengan suasana gawat itu, ia masih teringat pada hal-hal yang lain. Gerakan si Colat dan ketiga pengepungnya mengingatkan dia pada tarian yang sangat bagus yang ditarikan ahli-ahli tari yang mahir.
Sementara si Colat bergerak kembali, menggeser, dan mendekat ke arah lawan-lawannya. Lawan-lawannya bergerak pula dalam irama gerakan yang sama cepat dengan gerakan si Cplat. Setiap gerakan baru itu seolah-olah menarik wajah serta sikap tangan dan kaki mereka ke arah si Colat. Seolah-olah, si Colat memiliki besi berani yang selalu menarik mereka untuk menghadapinya secara lurus. Si Colat bergerak lebih mendekat.
Mereka pun bergerak, tangan sedikit menjulur ke depan, sementara lutut melengkung dan kedua telapak kaki berjauhan. Dari kuda-kuda mereka yang tidak memperlihatkan sedikit celah pun untuk serangan, Banyak Sumba mengambil kesimpulan bahwa si Colat menghadapi lawan-lawan yang mahir. Banyak Sumba mulai bimbang dan cemas. Ia bertanya dalam hati, tidakkah sudah saatnya ia membantu si Colat?
Mungkinkah si Colat dapat menyelamatkan diri? Mungkinkah dia sendiri dapat keluar dari puri yang memiliki para perwira mahir seperti itu?
Tiba-tiba, si Colat bergerak dengan cepat sekali ke arah salah seorang lawannya yang berdiri paling kiri. Bersamaan dengan gerakan itu, lawan-lawannya pun menyerangnya. Terpentallah salah seorang di antara pengepung, bukan yang diserang langsung oleh si Colat, tetapi yang datang dari kanan. Bersamaan dengan terpentalnya penyerang dari kanan itu, si Colat meloloskan diri ke kanan, sementara kedua orang lawannya yang menyerang dari tengah dan kiri menghambur ke tempat dia sebelumnya berdiri.
Pengepung yang terpental, setelah bergelundungan, segera berdiri kembali dan siap dengan kuda-kudanya. Akan tetapi, begitu dia siap, kaki si Colat menghantam dadanya. Sekali lagi ia terjungkir ke belakang, dan sekarang dengan susah payah ia berdiri. Setelah yang seorang ini dilumpuhkan dan tidak akan dapat menyerang, si Colat membalikkan tubuhnya dan tepat pada waktunya menghadapi lawan-lawannya yang menyerang dari belakang. Si Colat melakukan beberapa gerakan kaki dan tangannya, seperti tiga orang penari yang mengikuti sebuah ciptaan tari yang indah, kedua lawan yang datang menyerang menjawab gerakan-gerakan itu dengan tangan dan kaki mereka dalam gerakan-gerakan yang cepat, indah, dan berirama.
Dengan penuh kekaguman, Banyak Sumba memerhatikan ketiga orang yang berhadapan itu. Dalam hatinya, ia berkata: sekaranglah si Colat berkelahi, sebelumnya ia hanya melakukan pembunuhan. Sebagai perwira, Banyak Sumba pun dapat menilai bahwa betapapun cepat dan indahnya gerakan-gerakan lawan si Colat, si Colat jauh lebih unggul. Si Colat-lah yang memimpin dalam perkelahian yang dilakukan seperti tarian itu. Si Colat- lah yang menetapkan gerakan-gerakan lawan seperti kecepatan gerakan mereka, dan bukan lawan-lawannya.
Tampak pula pada Banyak Sumba bahwa kadang-kadang si Colat mempercepat gerakan-gerakannya, mengubah pola- polanya dengan penuh tipuan. Berulang-ulang Banyak Sumba melihat lawan-lawannya dengan susah payah menjawab gerakan-gerakan si Colat dan menyesuaikan tempo kecepatan gerakannya. Tak lama kemudian, Banyak Sumba melihat bahwa kedua orang lawan si Colat yang masih tangguh kelelahan; mereka tidak banyak bergerak lagi, sedangkan sikap mereka lebih banyak melindungi diri daripada siap melakukan serangan.
Pada suatu saat, berhentilah si Colat mempermainkan dan memimpin mereka bergerak. Ia berkata mengejek, "Kalian tahu, siapa yang lebih tengik di antara kita saat ini? Kalian datang ke sini sebagai pembunuh bayaran. Aku datang ke sini sebagai ayah yang anaknya diculik. Kalian harus menyadari dosa kalian dan menerima hukumannya."
Mendengar perkataan si Colat itu dalam gelap remang, tampaklah bagaimana ketakutan kedua orang pengepung yang masih tangguh tapi tidak dapat bergerak dengan lincah lagi itu. Si Colat mendekati mereka. Tiba-tiba, menyerang yang sebelah kanan, yang segera menghindar. Yang sebelah kiri, pada saat yang bertepatan, menyerang ke depan menjerit sambil mundur. Ia berlari sejenak ke sana; dari mulutnya, dari sudut bibirnya, keluarlah darah yang tampaknya hitam dalam cahaya remang itu.
Si Colat yang rupanya mengetahui bahwa pukulannya melumpuhkan lawannya yang seorang, segera bergerak hendak menyudutkan lawannya yang terakhir di pojok ruangan. Akan tetapi, lawannya itu tiba-tiba melompat ke arah dinding. Kemudian, terdengarlah derak papan yang pecah dan masuklah cahaya dari arah dinding yang terbuka, yang ternyata sebuah tingkap.
Mengetahui lawannya yang terakhir melarikan diri, si Colat berbalik ke arah kedua orang lawannya yang dilumpuhkannya terlebih dahulu. Akan tetapi, kedua orang lawannya itu pun segera melarikan diri. Yang seorang sempoyongan. Setiba di pintu ruangan, ia roboh, bergerak-gerak sejenak, kemudian diam. Banyak Sumba mengetahui bahwa lawan yang roboh itu yang mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Mari!" tiba-tiba si Colat berseru, lalu berlari ke arah tingkap yang terbuka. Dengan lompatan yang ringan dan indah, lenyaplah ia dalam gelap malam.
Banyak Sumba bergerak, tetapi tiba-tiba didengarnya suara langkah cepat dari belakang. Ia tidak dapat melanjutkan niatnya karena kalau terus melarikan diri, ia akan menjadi sasaran yang baik-untuk lemparan tombak atau pisau. Ia berbalik dan dalam remang dilihatnya seorang ponggawa berhenti dengan tiba-tiba dan memasang kuda-kuda. Akan tetapi, Banyak Sumba tidak memberinya kesempatan. Ia menghambur ke arah orang itu mempergunakan kakinya sebagai alat penyerang. Ulu hati orang itu yang menjadi sasarannya. Karena orang itu cukup sigap, dadanyalah yang kena. Orang itu sempoyongan. Kesempatan itu dipergunakan Banyak Sumba untuk meloloskan diri, tetapi tidak ke arah tingkap karena terlalu berbahaya. Ia berlari secepat-cepatnya ke arah pintu yang lebar terbuka.
"Tangkap! Cegat!" seru lawannya yang tinggal dalam ruangan yang samar-samar itu. Banyak Sumba mendengar bunyi langkah, tetapi semuanya jauh dan ia pun tidak terlalu menghiraukannya. Ia berlari ke kiri, menuju bagian puri ke arah si Colat meloloskan diri. Untuk beberapa lama, Banyak Sumba berlari di taman bunga di dalam puri itu. Kemudian, setelah memanjat dinding-dinding batu yang tidak terlalu tinggi, ia tiba di sebuah lorong besar. Di sana, orang sibuk berusaha memadamkan api yang berkobar-kobar. Mereka tidak memerhatikan kedatangan Banyak Sumba. Kesempatan itu dipergunakan Banyak Sumba untuk menarik napas dan memerhatikan keadaan sekeliling.
Kebanyakan dari bahaya kebakaran sudah dapat diatasi oleh penghuni puri itu. Hanya di tempat Banyak Sumba berhenti itulah, api masih menakutkan. Karena kobaran api yang besar itu, pemandangan sekeliling dengan terang dapat dilihat. Banyak Sumba mencari-cari arah yang akan dipergunakannya untuk keluar puri itu.
Tak lama kemudian, tampaklah olehnya menara jaga. Ia pun segera berlari ke menara jaga itu. Akan tetapi, karena bukan penghuni puri itu, berulang-ulang ia bertemu dengan lorong-lorong buntu, dan berulang-ulang pula ia kembali ke tempat asal. Setelah berkali-kali tersesat, hatinya pun mulai cemas. Ia berhenti di tempat yang agak gelap sambil terengah-engah. Ia memutuskan untuk naik dinding-dinding lorong yang tinggi-tinggi itu.
Setelah lelahnya reda, ia mulai berlari, lalu memanjati dinding pertama yang menghadangnya. Ia turun di sebuah taman kecil, lalu berlari ke menara yang tampak dari taman kecil itu. Karena di sebelah kirinya terdapat rumah salah seorang bangsawan penghuni puri, ia melangkah berhati-hati dan berusaha tidak menimbulkan terlalu banyak bunyi. Untung para gulang-gulang sibuk membantu usaha mencegah kebakaran dan karenanya rumah itu tidak dijaga.
Dengan mudah, Banyak Sumba memanjati dinding yang kedua, lalu turun di sebuah lorong. Setelah itu, ia melewati gerbang kecil dan tiba dijalan besar, tempat orang-orang sibuk hilir mudik mengurus barang mereka yang berserakan di sana. Barang-barang tersebut bersebaran karena diangkut dari rumah-rumah untuk menghindari bahaya api. Setelah api padam, orang-orang mulai memikirkan cara mengangkutnya kembali. Di tengah onggokan barang itu, Banyak Sumba lewat seraya bersinggungan bahu dengan orang-orang yang berkumpul di sana.
Tak lama kemudian, tibalah Banyak Sumba di bawah menara penjagaan. Akan tetapi, ia tidak berani mendekati lan- dasan tangganya. Pasti ia akan dicurigai. Ia termenung sejenak, berpikir cara terbaik untuk menuruni dinding benteng yang curam itu. Ia memutuskan untuk mencari seutas tambang dan kembali berlari ke tempat orang-orang berkumpul. Dengan pisaunya, dipotong tali pengikat barang- barang yang pertama ditemukannya.
"Hai! Apa itu?" kata salah seorang yang berdiri di dekat barang itu. Banyak Sumba segera berlari ke tempat gelap. Teriakan-teriakan terdengar, Banyak Sumba sambil menggulung tambang terpaksa berlari ke arah yang berjauhan dengan menara. Ia berlindung di tempat gelap dan setelah keadaan tenang kembali, ia berjalan menuju menara jaga.
Ketika ia berjalan itulah, didengarnya ayam berkokok. Hari sudah subuh dan Banyak Sumba menyadari bahwa rombongan si Colat akan segera meninggalkan tempat itu. Itulah sebabnya Banyak Sumba mulai berlari secepat- cepatnya.
Gulang-gulang yang terkejut, menodongkan tombak di puncak tangga. Banyak Sumba menarik tombak itu ke sampingnya. Gulang-gulang itu pun terjatuh bergelundung sambil berteriak. Temannya yang datang tidak beruntung karena sambil berpapasan, Banyak Sumba menghantam lehernya dengan pinggir tangannya. Setelah itu, Banyak Sumba tidak dapat halangan. Ia menyangkutkan ujung tambang ke bagian benteng yang berada antara dua tempat pemanah. Kemudian, dengan mudah ia meluncur dan begitu kakinya menyentuh semak, ia berlari ke tempat ia menambatkan kuda. Akan tetapi, dengan kecewa ia melihat beberapa orang gulang-gulang berkuda sudah berada di sana sambil mengelilingi kudanya. Mereka berbicara satu sama lain bahwa kuda itu ketinggalan atau penunggangnya masih di dalam puri, "Mungkin penjahatnya masih ada di dalam."
"Siapa tahu terluka." "Kita perlu segera lapor."
Mereka pun menunggangi kuda masing-masing, sedangkan kuda Banyak Sumba mereka tuntun.
Banyak Sumba tidak dapat berbuat apa-apa karena kalau ia mencoba menyerang mereka, itu berarti bunuh diri. Selain mereka bersenjata lengkap, beberapa orang bahkan tampak gagah-gagah. Tidak ada harapan bagi Banyak Sumba untuk merebut kuda itu kembali. Itulah sebabnya, ia termenung di tempat yang terlindungi oleh semak-semak dengan hati yang sangat risau.
Yang paling merisaukannya adalah kepergian si Colat. Tanpa kuda, ia tidak mungkin menyusul calon gurunya itu. Bukan saja mereka pergi berombongan dan karena itu tidak usah bingung untuk menginap di hutan-hutan, tetapi kecepatan dan arah mereka pun sekarang tidak dapat diramalkan. Bagaimanapun, kehadiran si Colat di daerah Kutabarang akan lebih menyebabkan para jagabaya siap siaga.
Dapat dimengerti kalau si Colat ingin segera menghilang dari sekitar Kutabarang. Dan dapat dimengerti pula kalau Banyak Sumba tidak menjadi perhatiannya, lalu ditinggalkan begitu saja. la tidak marah apalagi dendam terhadap si Colat. Ia mengerti kedudukan si Colat dalam peristiwa itu. Dialah yang sial. Kesempatan yang sangat jarang mungkin akan lepas dengan sia-sia pada saat itu.
Sebagai seorang anggota wangsa Banyak Citra yang tidak pernah membiarkan dirinya risau, Banyak Sumba mulai termenung, memikirkan apa yang akan dilakukannya. Harapan masih ada, yaitu Jasik. Mungkin, si Colat tidak akan mengubah jalan yang dilaluinya untuk bertemu dengan Jasik di sebuah puncak bukit yang dijanjikan. Maka, usaha pertama yang harus dilakukannya adalah pergi ke Kutabarang untuk bertemu Jasik.
Akan tetapi, untuk tiba di Kutabarang yang setengah hari perjalanan berkuda jauhnya dari tempat itu, bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Banyak Sumba harus membeli kuda. Akan tetapi, membeli kuda hanya dapat dilakukan di kota. Hanya orang yang beruntung yang dapat menemukan penjual kuda atau orang yang menjual kuda di dusun. Itu berarti, Banyak Sumba harus berjalan kaki. Dan seandainya di perjalanan ia cukup beruntung menemukan orang yang akan menjual kuda, uangnya yang tinggal sedikit tidak cukup lagi untuk ongkos belajar. Inilah masalah yang harus segera dipecahkan.
Banyak Sumba termenung kembali. Akhirnya, diputuskanlah untuk bersabar dan tidak memasalahkan pembelian kuda yang mahal itu. Ia akan menumpang pedati sapi atau kerbau yang menuju Kutabarang. Dalam tiga atau empat hari, mungkin ia sampai ke Kutabarang.
Bagaimanapun, kusir pedari kerbau senang ditemani, apalagi kalau mereka mengetahui bahwa Banyak Sumba bisa berkelahi. Ia akan menuju tempat menginap di Kutabarang, bertemu Jasik, kemudian mencari jejak si Colat. Terpikir juga untuk menambah biaya yang makin tipis itu, mungkin ia harus menyediakan waktu untuk mengajari putra-putra bangsawan. Ia bersedia mengajari putra-putra bangsawan di Kutabarang membaca, menulis, dan seni berkelahi. Setelah tersedia sedikit tambahan biaya, ia dapat melanjutkan tujuannya semula.
Sambil termenung demikian, kakinya mulai melangkah meninggalkan tempat persembunyian. Ketika itu, hari hampir pagi, langit sebelah timur telah keperak-perakan, sementara ayam hutan ramai bersahutan. Dijalan besar yang lewat dekat puri itu, berbondong-bondong orang pergi ke huma. Ada pula sebuah pedati kerbau, tapi Banyak Sumba belum berani mendekati jalan itu. Ia memilih berjalan dalam semak-semak.
Kejadian yang baru lewat akan menyebabkan para gulang- gulang tetap siaga. Orang-orang kampung yang bertemu dengan Banyak Sumba mungkin akan curiga dan memberi tahu kepada gulang-gulang tentang kehadirannya. Mereka tentu akan menahan dan menanyainya. Itu harus dihindari.
Berjalanlah Banyak Sumba. Ia memperbaiki letak terompahnya yang terbuat dari kulit, kemudian berulang-ulang me-
lompati semak-semak duri atau pagar huma yang pendek. Beberapa kali dilewatinya kolong rumah petani yang tinggi- tinggi. Kadang-kadang, terdengar olehnya penghuni yang mende-ham, menandakan mereka sudah bangun dan tahu kehadiran Banyak Sumba.
Di suatu tempat di bawah kolong rumah yang tinggi itu, pemiliknya sudah siap menyalakan api. Banyak Sumba tidak dapat menghindarkan diri karena kalau mencoba menjauh, petani itu akan curiga. Ia berjalan setenang-tenangnya, lalu mengucapkan sampurasun. Petani yang keheranan mengucapkan "bagea", lalu mengajaknya singgah untuk ikut mencicipi lahang barang satu tempurung. Banyak Sumba yang kelelahan sebenarnya ingin sekali menerima air manis yang menyegarkan itu, tetapi kehati-hatiannya lebih kuat dan ia terus berjalan, tidak menjawab ajakan yang disampaikan petani itu.
Baru setelah Banyak Sumba merasa bahwa ia sudah cukup jauh, kehati-hatiannya menjadi berkurang Di suatu tempat, ia dipersilakan oleh seorang petani yang duduk dengan anaknya mengelilingi api unggun. Banyak Sumba mengambil tempat duduk di antara anak-anak petani yang masih kecil-kecil yang dengan keheranan memandanginya sambil terse-nyum- senyum.
"Dari mana dan akan ke mana Raden, pagi buta begini berjalan di reuma?"
"Saya dari puri, Paman. Saya berjalan pagi serta melompati pagar-pagar untuk kesehatan saya."
Petani itu percaya kepada Banyak Sumba karena Banyak Sumba telah mempersiapkan jawaban itu sebelumnya. Karena itu, tidak ada nada keragu-raguan ketika ia mengucapkannya.
"Sakit apakah yang Raden derita?"
"Saya jatuh dari kuda, Paman. Ahli obat-obatan menasihatkan, untuk mempercepat sembuhnya kaki yang terkilir, saya harus melatihnya kembali setiap pagi. Tiga bulan lamanya saya terbaring dan tidak dapat mempergunakan kaki saya dengan semestinya. Otot-ototnya melemah; karena itu memerlukan latihan kembali."
Jawaban Banyak Sumba memuaskan petani dan anak- anaknya. Petani itu kemudian bertanya, "Semalam kami melihat nyala api, apakah di perjalanan, Raden melihat hutan atau huma yang terbakar?"
Banyak Sumba kebingungan. Ia merasa lebih baik berterus terang daripada menyembunyikan hal yang sukar disembunyikan. Ia menerangkan, "Tadi malam terjadi keributan di puri. Sang Pangeran berhasil menangkap anak si Colat. Tapi, malam tadi si Colat menyerang puri dengan mencoba membakarnya."
Petani itu menganga keheranan, sementara anak-anaknya dengan penuh rasa ingin tahu mendekat.
'Aduh! Seandainya pangeran dapat menangkap si Colat, tentu pangeran mendapat hadiah dari Kutabarang. Apakah si Colat sudah tertangkap atau ...?"„ "Si Colat berhasil mengambil kembali anaknya. Ketika orang-orang ketakutan melihat api, si Colat melompati benteng, lalu mengambil anaknya."
"Memang perampok itu dapat menghilang dan tak mempan senjata," kata petani itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak petani, karena tak dapat menahan kepenasarannya, bertanya, 'Janggut si Colat itu sampai pusar panjangnya?"
Sebelum Banyak Sumba menjawab, anak petani yang lebih kecil menyela, "Sampai dada!"
Banyak Sumba tersenyum. Dalam hatinya, ia berkata bahwa dalam khayal anak-anak atau rakyat biasa, suatu hal yang luar biasa dapat mencapai bentuk yang tidak masuk akal. Tiba-tiba, ia pun menyadari akan demikian pula halnya dengan Puragabaya Anggadipati. Dalam cerita yang diceritakan kembali di tengah-tengah rakyat, Puragabaya Anggadipati itu benar-benar pahlawan yang tidak mungkin ditundukkan. Menurut rakyat, ia dapat menghilang, dapat melompati dinding benteng yang sepuluh depa tingginya, tidak mempan senjata apa pun, dan pukulannya bukan saja melukai tetapi menghancurleburkan lawannya. Padahal, kenyataannya tidak sehebat itu. Kenyataannya, segala kepandaian dan ketangkasan itu hasil renungan dan pemikiran yang matang, disertai dengan ketekunan dan ketabahan dalam latihannya.
Kalau si Colat dan Anggadipati bisa menjadi pahlawan yang mahir, mengapa Banyak Sumba tidak? Bukankah ia punya kemauan, ketekunan, ketabahan? Bukankah otaknya tidak kalah dengan kebanyakan orang? Dan bukankah dia punya tugas suci, menegakkan kehormatan keluarga? Renungan- renungannya itu melegakan dadanya, maka ia pun berdiri, mengucapkan terima kasih kepada petani itu, mengusap kepala anak-anaknya sambil tersenyum, kemudian melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama berjalan, ia beruntung bertemu dengan serombongan pedati yang ditarik kerbau dan sapi. Pe- dati-pedati itu mengangkut hasil palawija dan buah-buahan hutan untuk Pelabuhan Kutabarang. Dengan senang hati, ia dipersilakan menumpang ke kota. Dua hari satu malam di perjalanan, tibalah ia di Kutabarang.
Dengan harap cemas, Banyak Sumba menunggu Jasik di tempatnya menginap. Ketika Jasik datang, hilanglah harapannya. Ternyata, di puncak bukit yang telah ditentukan, Jasik tidak dapat bertemu dengan rombongan si Colat.
Mungkin, rombongan ini terpaksa mengambil jalan lain. Itulah sebabnya Banyak Sumba memutuskan untuk bersabar.
Pada setiap kesempatan, Banyak Sumba dan Jasik menonton tari silat. Menurut Paman Wasis, seorang ahli berkelahi dapat dilihat kalau ia menari. Walaupun belum pasti bahwa penari yang baik juga pahlawan yang tangguh, sekurang-kurangnya Banyak Sumba dapat menyelidiki. Maka, dengan rajin sekali, Banyak Sumba mengunjungi pertunjukan- pertunjukan yang sangat disenangi rakyat Kutabarang. Akan tetapi, berbulan-bulan lewat tanpa memberikan hasil. Dari beberapa gerakan saja, Banyak Sumba dapat menilai bahwa kebanyakan penari itu hanya dapat menari. Gerakan- gerakannya adalah bunga yang tidak ada buahnya. Bahkan, banyak sekali gerakan yang tidak ada artinya sama sekali.
Karena tidak sabar dan merasa cemas berhubung biaya makin lama makin menipis, pada suatu sore, berkatalah Banyak Sumba kepada Jasik, "Sik, bekal kita tinggal sedikit. Saya sudah merencanakan untuk mencari pekerjaan agar kalau kesempatan datang, kita tidak kelabakan mencari biaya."
"Lebih baik saya yang bekerja, Raden. Raden terus berlatih.
Memahirkan apa-apa yang diberikan Ayah," ujarnya.
"Tidak, Sik. Saya sudah terlalu banyak berutang budi kepadamu dan kepada keluargamu. Saya tidak hendak menambah beban hati saya. Kita akan senasib sepenanggungan untuk selama-lamanya."
"Tapi saya tidak sampai hati melihat Raden bekerja sebagai kuli."
"Sik, bukankah saya punya otot yang lebih baik daripada kebanyakan kuli-kuli?"
"Bukan soal itu yang menjadi pikiran saya, Raden, akan tetapi...," kata Jasik.
"Baiklah, Sik. Kita belum tentu harus melakukan pekerjaan kasar, walaupun saya sendiri tidak menganggap pekerjaan kasar lebih rendah daripada pekerjaan halus. Akan tetapi, kalau kau lebih senang saya bekerja halus, tentu saja saya akan mencari pekerjaan yang halus. Saya dapat mengajar menulis dan membaca kepada putra-putra bangsawan atau saudagar-saudagar kaya. Atau, tentu saja saya dapat mengajari putra-putra mereka itu seni berkelahi yang saya terima dari ayahmu."
Sejak percakapan itu, di samping mencari guru, mereka mencari pekerjaan pula. Dalam waktu singkat, suatu pekerjaan yang baik sudah ada untukjasik. Arsim yang mendengar bahwa mereka mencari pekerjaan, segera berbicara dengan Gan Tunjung tentang kepandaian Jasik. Karena Gan Tunjung lebih senang berada di tempat judi atau sabung ayam, tambahan tenaga di perguruannya diterimanya dengan baik. Syaratnya, ia tidak usah kehilangan banyak uang. Arsim mengatur hal itu. Dengan upah yang kecil tapi berguna, Jasik segera dipekerjakan di Perguruan Gan Tunjung. Tinggal Banyak Sumba yang untuk dua bulan tetap tidak punya pekerjaan. Hingga pada suatu hari, teringatlah ia akan putri cantik yang dilihatnya waktu mereka hendak mengunjungi gubuk tempat menginap si Colat.
Dengan menumpang pedati kerbau, Banyak Sumba berangkat ke luar kota. Sepanjang hari, Banyak Sumba duduk di atas pedati kosong dan mengobrol tentang soal-soal kecil dengan kakek-kakek kusir pedati itu. Sambil mengobrol, dinikmatinya pemandangan alam di kanan-kiri jalan.
Ketika hari mulai teduh, Banyak Sumba mengucapkan terima kasih kepada kusir pedati itu, lalu melompat turun. Ia berjalan kaki karena puri bangsawan tempat putri itu tidak jauh lagi. Beberapa kampung dilaluinya, tetapi puri itu belum tampak. Ia salah menduga. Ternyata, setelah satu bukit dilewati, barulah atap puri yang hitam dan dindingnya yang cokelat keabu-abuan itu tampak dari jauh.
Dipandangnya puri itu dari atas bukit sambil melepaskan lelah. Ia berpikir, membuat rencana-rencana agar ia dapat mencapai maksudnya dengan lancar. Ia ingin sekali dapat tinggal dalam puri itu, kalau perlu sebagai pekerja kasar, walaupun hal itu tentu tidak akan disetujuijasik. Setelah rencana-rencana dibuat dalam pikirannya, ia pun mulai melangkah sambil menepuk debu dari pakaiannya yang kotor dalam perjalanan.
Ketika ia bertambah dekat ke puri itu, tampaklah—di sebuah lapangan kecil yang terletak tidak jauh dari puri— kesibukan sehari-hari para penjual buah-buahan. Rupanya penduduk sedang tidak mengurus huma. Mereka menambah penghasilan dengan mengambil buah-buahan dari hutan. Para pemungut buah-buahan mempergunakan lapangan kecil dekat puri itu sebagai pasar mereka, sedangkan para tengkulak dari Kota Kutabarang datang dengan pedati mereka ke tempat itu sejak pagi hari.
Pedati-pedati ini datang dari Kota Kutabarang tidak dalam keadaan kosong, tetapi penuh dengan barang yang dibutuhkan oleh orang-orang dusun, seperti parang, sabit, golok untuk pekerjaan petani sehari-hari, atau alat-alat berburu. Di samping itu, dibawa pula cita halus yang indah- indah dan mahal-mahal harganya. Ketika matahari mulai panas, ke tengah-tengah kesibukan perdagangan itulah Banyak Sumba tiba. Setelah memesan makanan dan minuman sedikit, Banyak Sumba bertanya kepada pemilik warung tentang puri dan pemiliknya. "Pangeran Purbawisesa adalah pembantu menteri kerajaan. Beliau lebih banyak berada di Pakuan Pajajaran daripada di Kutabarang."
"Siapakah yang tinggal dalam puri beliau?" "Ipar-ipar beliau," ujar pemilik warung. "Tidakkah beliau berputra?"
"Ada tiga orang putra beliau, yang bungsu putri." "Di mana putra-putra beliau berada?"
"Seorang di Padepokan Tajimalela. Raden Rangga Gading calon puragabaya dan kebanggaan orang-orang sekitar puri. Raden Rangga Malela ikut ayahandanya belajar menjadi abdi kerajaan. Putri bungsu, Nyai Emas Purbamanik, tinggal di sini. Tapi, barangkah' tidak lama lagi ia akan berangkat pula ke Pakuan Pajajaran untuk mempelajari soal-soal yang berhubungan dengan kewanitaan. Maklum, Nyai Putri sudah remaja dan sekarang sudah jarang sekali kelihatan di luar puri."
Mendengar penjelasan itu, pada satu pihak Banyak Sumba bergembira, tetapi di lain pihak ia pun menyadari kesukaran- kesukaran yang harus dihadapinya. Di satu pihak, ia makin banyak pengetahuannya tentang putri yang menarik perhatiannya, di lain pihak ia menyadari bahwa ia berhadapan dengan seluruh abdi-abdi kerajaan, termasuk keluarga putri itu. Ia mulai membayangkan dirinya sebagai buronan, seperti si Colat, seandainya berusaha melaksanakan tugas keluarganya membunuh Anggadipati. Seandainya ia sendiri yang terbunuh, persoalan bagi dirinya akan selesai. Persoalan akan sangat rumit kalau ia hidup dan berhasil menegakkan kembali kehormatan keluarga. Siapakah yang mau menerima Banyak Sumba, buronan kerajaan, menjadi anggota keluarganya? Putri mana yang akan mencintai seorang pembunuh puragabaya?
Para puragabaya adalah para kesatria kebanggaan kerajaan. Mereka bukan saja terlindung oleh kemahiran ilmu keper-wiraan, tetapi juga oleh wibawa negara. Barang siapa mengganggu dan melukai jagabaya, akan dihukum berat.
Barang siapa melukai puragabaya harus meninggalkan Pajajaran. Banyak Sumba menyadari kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya, dan hatinya pun kelam. Akan tetapi, hanya sebentar karena kemudian, ia pun menyadari bahwa segala hal bergantung pada perkenan Sang Hiang Tunggal, dan Sang Hiang Tunggal adalah Sang Mahaadil. Mungkinkah Sang Hiang Tunggal menghukum seseorang yang berjuang membela saudaranya, kakaknya, dan mengembalikan kehormatan keluarga yang direnggut dengan tipu muslihat? Banyak Sumba yakin bahwa pihak yang benarlah yang akan menang, itulah sebabnya ia bersedia menghadapi masa depan macam apa pun dengan dada yang lapang, dengan gigih dan tabah.
Setelah selesai menghilangkan lapar serta dahaganya dan setelah istirahat sebentar, ketika matahari mulai condong, melangkah pulalah Banyak Sumba. Tak lama kemudian, ia pun sampai di dekat puri itu. Banyak Sumba berhenti di bawah sebatang pohon sambil memerhatikan puri yang ada di hadapannya. Di atas menara jaga, tampak dua orang gulang- gulang memerhatikan kesibukan di huma dan di kampung yang berada di sekeliling puri. Di setiap sudut benteng, tampak pula gulang-gulang lain dengan busur dan anak panah di punggung masing-masing. Mereka berjalan-jalan sepanjang dinding benteng, bolak-balik di bawah panas matahari sambil menunggu pengganti masing-masing.
Gerbang puri terbuka karena sekali-sekali masuk atau keluarlah penunggang kuda atau pedati kecil. Ada pula orang- orang kampung yang keluar masuk puri membawa berbagai keperluan, dari kayu bakar, buah-buahan, hingga macam- macam tali. Rupanya, orang-orang itu para petani yang tergolong kelompok pamagersari, yaitu para petani yang menggarap tanah milik Pangeran Purbawisesa atau keluarganya.
Banyak Sumba memandangi segala kesibukan itu sambil termenung. Kalau ia langsung berjalan ke dalam puri untuk meminta pekerjaan, harapan untuk diterima kecil sekali.
Pertama, mungkin di puri itu sudah ada pengajar para putra- putri bangsawan dalam hal membaca dan menulis. Seandainya ia menawarkan diri sebagai pengajar ilmu keperwiraan, mungkin sekali pengajar ilmu itu pun sudah ada di sana, dan ia akan ditolak tanpa diberi kesempatan untuk masuk. Oleh karena itu, Banyak Sumba memutuskan bahwa ia akan meminta izin untuk masuk setelah hari gelap. Dalam keadaan yang seolah-olah terdesak itulah, ia sukar ditolak tuan rumah. Dengan pikiran seperti itu, ia pun berjalan ke arah sebatang pohon yang rindang, lalu beristirahat melepaskan lelah.
Ketika langit menjadi merah di sebelah barat dan ketika keluang serta kelelawar beterbangan, ia pun bangkit, lalu berjalan ke arah puri yang gerbangnya masih terbuka. Ia berjalan cepat-cepat, apalagi setelah dianggapnya orang- orang yang berada di atas benteng akan dapat melihatnya. Beberapa orang penunggang kuda memapasnya, juga menuju benteng. Sementara di atas menara jaga, seorang penjaga terus-menerus meniup trompet tiram, memanggil-manggil para penghuni puri, yaitu para pamagersari yang masih berada di luar, di huma-huma sekitar puri itu. Tak lama kemudian, Banyak Sumba tiba di gerbang puri dan berjalan di antara para petani yang memasuki gerbang itu sambil mengobrol.
"Berhenti!" tiba-tiba seorang gulang-gulang berseru.
Banyak Sumba berhenti dan beberapa orang gulang-gulang lain segera datang mengelilinginya. Mereka memandangi Banyak Sumba dengan curiga dalam remang senja itu. "Orang asing harus melapor dulu kepada kepala jaga. Itu tata krama di daerah ini, Saudara."
"Maafkan, saya bukan orang dari daerah sini, Paman." "Sekarang, ikut saya. Saudara harus tahu, tidak sembarang orang diizinkan masuk puri walaupun malam sudah dekat. Ini bukan penginapan. Saudara harus mengerti," kata gulang- gulang yang paling tua sambil memberi isyarat kepada Banyak Sumba untuk mengikutinya.
Banyak Sumba berjalan di belakang gulang-gulang itu menuju sebuah gardu kecil yang terletak di samping kiri gerbang. Setiba di sana, ia dipersilakan duduk, sementara gulang-gulang tua menyalakan lampu minyak kelapa. Tak lama kemudian, dari ruangan sebelah keluar seorang ponggawa; dari pakaiannya jelas ia seorang bangsawan.
"Ini orang asing, rupanya kemalaman, Juragan." Ponggawa itu memandangi Banyak Sumba untuk beberapa lama.
"Dari mana?" tanyanya.
"Sebenarnya saya datang dari jauh, Juragan," jawab Banyak Sumba, "saya dari Kota Medang"
"Ada urusan apa datang ke sini?" tanya ponggawa itu. "Sebenarnya saya tidak ada urusan khusus, pertama-tama
bermaksud menginap, kedua..”
"Mengapa tidak menginap di kampung-kampung yang ada di sekeliling puri. Aneh sekali, orang asing berani minta . menginap di dalam puri. Aneh, kalaupun tidak dikatakan kurang sopan," kata ponggawa itu sambil tersenyum pahit, sedangkan kecurigaannya tampak bertambah.
"Karena saya memerlukan pekerjaan pula, di samping kebetulan kemalaman di tempat ini." "Pekerjaan? Mengapa cari kerja begitu jauh? Kota Medang berada di ujung timur kerajaan dan Saudara cari kerja ke wilayah Kutabarang. Bayangkan! Apakah Saudara main-main?"
"Saya pengembara yang sedang mencari pengalaman, Juragan. Kebetulan, saya kehabisan bekal. Saya memiliki bekal lain, yaitu kepandaian membaca dan menulis, juga kepandaian lain."
"Kita sudah punya guru, di sini kelebihan guru." "Saya memiliki kepandaian lain," ujar Banyak Sumba. "Kami tidak mencari ponggawa baru."
Banyak Sumba diam. Ia melambat-lambat waktu. Ia tahu kalau malam sudah terlalu gelap, penghuni puri tidak akan sampai hati membiarkannya bergelandangan dalam gelap di tengah-tengah binatang buas yang mulai berkeliaran.
"Saya punya kepandaian yang barangkali dibutuhkan di sini, Juragan," lanjut Banyak Sumba.
"Pegawai sudah terlalu banyak di sini, Saudara." Sebelum Banyak Sumba dapat memberi penjelasan, ponggawa itu telah berseru kepada gulang-gulang yang berada di luar, "Saltiwin, suruh Askiwin menyiapkan kuda. Antarkan orang asing ini ke kampung terdekat."
Tenggelamlah harapan Banyak Sumba mendengar perintah ponggawa itu. Ia berpikir keras bagaimana mencari akal agar tidak diusir. Ia segera berkata, "Saya tidak berkeberatan tidur di lapangan puri agar tidak menyusahkan penunggang kuda di sini. Hari sudah terlalu malam, Juragan."
"Soalnya, puri ini tidak menginapkan orang asing dan tidak pula membiarkan orang tidur di lapangan. Itu tidak baik dipandang dan tidak menyenangkan bagi orang asing yang mungkin suka mengoceh, apalagi orang asing yang suka mengembara." Banyak Sumba terdiam, hatinya kecut. Terbayang putri yang sangat cantik yang pernah dilihatnya berjalan-jalan di atas benteng puri itu. Hatinya sedih. Ia ingin sekali bertemu dan mengetahui lebih banyak tentang putri itu. Barangkali, itulah Putri Purbamanik, putri bungsu pemilik puri. Banyak Sumba menarik napas panjang dan timbullah tekadnya untuk dapat bertemu dengan putri itu pada kesempatan lain. Kalau perlu, ia akan memanjati benteng kembali dan melihat putri itu walaupun harus menghadapi bahaya. Ia akan mengatakan kepada putri itu bahwa pertemuan yang pertama telah menyebabkan ia tidak dapat meninggalkan puri itu jauh-jauh.
Akan tetapi, renungannya terganggu karena Saltiwin datang membawa kabar bahwa semua kandang kuda sudah di-palang, sedangkan para penunggang sudah tidur kelelahan. Ponggawa itu mengerutkan mukanya, lalu berpaling kepada Banyak Sumba, "Puri ini tidak pernah menerima orang asing, Anak Muda. Karena kita tidak sampai hati melepasmu dalam kegelapan malam, apa boleh buat. Saltiwin, ada tempat di rumahmu untuk menginap anak muda ini?"
"Ada, Juragan. Mari... Raden," kata Saltiwin setelah memerhatikan Banyak Sumba dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Sambil mengikuti Saltiwin, Banyak Sumba mengucapkan syukur kepada Sang Hiang Tunggal yang telah berkenan menyampaikan maksudnya, yaitu bermalam di puri itu. Soal lain-lain akan dihadapinya kemudian karena Banyak Sumba percaya bahwa segala hal dapat dicapai dengan ketekunan, kegigihan, ketabahan, dan doa kepada para penghuni Ka-hiangan.
Tak lama kemudian, Banyak Sumba telah berjalan mengikuti Saltiwin. Mereka melangkah melalui lorong-lorong dan lapangan-lapangan kecil antara rumah-rumah besar kecil yang terbuat dari kayu dengan atap ijuk yang berlumut karena tuanya. Di lorong-lorong yang diterangi lampu-lampu minyak di lapangan kecil dalam puri itu, orang masih banyak. Orang- orang tua bercakap-cakap satu sama lain sambil melepas lelah setelah bekerja sepanjang hari. Anak-anak kecil berlari-lari, main kucing-kucingan, atau main sembunyi-sembunyian. Para pemuda meniup seruling atau memetik kecapi di tempat- tempat yang agak sepi, gadis-gadis sedang duduk di serambi, suara percakapan mereka yang rendah dan merdu kadang- kadang diselingi tawa yang ditahan-tahan.
Suasana malam yang masih muda itu mengingatkan Banyak Sumba pada kota kelahirannya, selagi Ayahanda Banyak Citra masih berkuasa, selagi Kakanda Jante Jaluwuyung masih hidup dan menjadi kebanggaan seluruh warga kota karena keberaniannya sebagai puragabaya.
"Raden, kita sudah sampai," kata Saltiwin, mengembalikan Banyak Sumba dari renungannya.
Banyak Sumba tidak menyahut, ia menengadah ke serambi sebuah rumah yang sama besarnya dengan rumah-rumah lain di dalam puri itu. Ketika Saltiwin mempersilakannya naik, Banyak Sumba melepaskan terompah kulitnya, lalu menyimpannya di pinggir tangga. Ia melangkah mengikuti
Saltiwin, di atas lampit yang—walaupun malam hari— tampak mengilat karena bersihnya.
"Silakan duduk, Raden, sementara Bibi akan mempersiapkan segalanya buat Raden."
"Terima kasih banyak, Paman, dan maaf saya menyusahkan."
"Sama sekali tidak, silakan beristirahat dulu," ujar Saltiwin.
Sementara itu, dari dalam rumah keluarlah istri Saltiwin, perempuan setengah baya yang gemuk dan ramah.
Sedangkan dari halaman, naik pulalah tiga orang anak yang besarnya bertingkat-tingkat, dari umur sembilan hingga dua belas tahun. Mereka duduk di atas lampit dan seraya tersenyum-senyum memandang kepada Banyak Sumba. "Duduklah di sini, Dik," kata Banyak Sumba sambil memberi isyarat kapada mereka. Anak-anak itu cuma tersenyum- senyum sambil memerhatikan Banyak Sumba yang meletakkan koja besar yang selama ini disandangnya.
"Dodo, bantu Ibu ambil teh buat tamu," kata istri Saltiwin kepada anak terbesar yang segera masuk ruangan.
"Maaf, Raden, di sini tidak ada anak perempuan yang sepantasnya mengurus tamu. Bibi punya anak yang sudah besar, tetapi ia sudah lama jadi emban di Bumi Ageung. Jadi, di sini tinggal yang laki-laki, nakal-nakal pula."
"Saya yang harus minta maaf, Bibi, orang asing yang datang hanya untuk menyusahkan," ujar Banyak Sumba. Hatinya melihat suatu celah yang dapat dipergunakannya untuk dapat berhubungan dengan Tuan Putri.
Kalau anak Paman Saltiwin sewaktu-waktu pulang ke rumahnya, Banyak Sumba dapat menyelidiki lebih banyak tentang putri itu; siapa tahu pula ia dapat mengajari putraputri bangsawan dengan bantuan emban itu. Ia berdoa, mudah- mudahan Sang Hiang Tunggal berkenan memberikan hiburan bagi hambanya yang nasibnya mungkin akan merupakan nasib paling sial yang pernah dialami seorang bangsawan Pajajaran.
Salah satu jalan untuk bertemu dan berhubungan dengan putri itu sekarang sudah terbuka, tetapi hal itu tidaklah berarti persoalan lain sudah terpecahkan. Bagaimanakah caranya agar ia dapat tinggal dalam puri itu untuk beberapa lama dan tidak dipersilakan pergi esok harinya? Banyak Sumba termenung untuk beberapa lama. Akan tetapi, pertanyaan itu tidak terpecahkannya juga, hingga renungannya terganggu oleh kedatangan istri Saltiwin yang mempersilakan masuk rumah.
Banyak Sumba dijamu makan-minum oleh tuan rumah. Setelah membersihkan badan, ia dipersilakan beristirahat di salah satu ruangan di atas tikar pandan yang putih bersih. KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar, Banyak Sumba sudah bangun karena tuan rumah sudah bersiap mengemban tugas di lawang kori. Banyak Sumba segera menghubungi tuan rumah, lalu menjelaskan persoalannya, "Paman, saya betul- betul membutuhkan pekerjaan dan saya merasa di puri inilah saya akan mendapat pekerjaan yang cocok."
Saltiwin termenung sebentar, lalu berkata, "Seandainya Paman dapat membantumu, Raden, tentu engkau akan Paman tahan di sini. Akan tetapi, seperti Raden dengar kemarin sore, di sini sudah cukup tersedia guru membaca dan menulis untuk putra-putri bangsawan. Bahkan anak-anak somahan pun, yang baik-baik tingkah lakunya diberi kesempatan membaca dan menulis karena banyaknya waktu senggang guru-guru itu."
"Sebenarnya, saya pun memiliki kepandaian lain, Paman. Barangkali, kepandaian inilah yang akan membantu saya agar tidak terus-menerus terlunta-lunta," kata Banyak Sumba, harapannya belum padam.
"Kepandaian apa itu, Raden. Membuat obat-obatan?" "Bukan, Paman. Saya pernah mempelajari pula ilmu ke-
perwiraan."
Mendengar penjelasan itu, berpalinglah Saltiwin, memerhatikan Banyak Sumba dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Badan Banyak Sumba yang lampai tapi tegap, otot-ototnya yang berisi tampak menarik perhatiannya ketika itu. Saltiwin mengangguk-anggukkan kepala, lalu berkata, "Pelatih keperwiraan pun tidak kurang di sini, Raden.
Sebenarnya, Paman sendiri ingin menahanmu, tetapi Paman tidak berwenang untuk menginapkan orang asing tanpa izin dari pangeran atau keluarganya. Maklumlah, Paman hanyalah rakyat belaka yang tinggal di dalam puri yang aman ini berkat kebaikan budi pangeran belaka. Jadi, kalau Paman banyak permintaan kepada beliau, itu berarti Paman ini tidak tahu diri terhadap beliau. Tapi, bagaimanapun, sebenarnya isi puri ini berkewajiban membantu orang asing, apalagi orang asing yang mendapat kesukaran seperti Raden."
Sambil berkata demikian, mereka berjalan ke arah gerbang puri, untuk bertemu dengan kepala jaga yang tadi malam bermaksud mengirimkan Banyak Sumba ke luar puri. Akan tetapi, ternyata kepala jaga itu sedang dipanggil ke Bumi Ageung, tempat keluarga Pangeran Purbawisesa berada. Oleh karena itu, Banyak Sumba menunggu di ruangan yang berdekatan dengan lawang kori. la tidak banyak berkata, karena pikirannya giat mencari akal.
Kepala jaga belum hadir juga, maka berkatalah Banyak Sumba kepada Saltiwin, "Paman, saya sungguh-sungguh berutang budi kepadamu. Oleh karena itu, izinkanlah saya mengembalikan kebaikan itu kepada Paman demi Sang Hiang Tunggal. Saya akan mencari pekerjaan di kampung-kampung sekitar puri, tetapi pada setiap kesempatan yang Paman anggap baik, saya akan datang kemari, mengajari anak-anak Paman mengenai ilmu keperwiraan itu."
Sekarang, Saltiwin-lah yang termenung. Berulang-ulang ia melirik ke arah Banyak Sumba, lalu berkata, "Raden, Raden tidak cocok untuk bekerja di kampung-kampung itu. Raden tidak pantas bekerja di huma atau menjadi kuli, misalnya. Itu tidak cocok, yang paling cocok adalah di sini. Raden adalah seorang bangsawan, Raden hanya cocok untuk pekerjaan keperwiraan dan kepemimpinan."
"Itu tidak benar, Paman. Semua pekerjaan cocok untuk siapa pun, asal dia rajin dan jujur. Saya bersedia mengajarkan apa saja, Paman, asal saya tidak kehabisan bekal dalam pengembaraan saya ini."
"Baiklah, Raden. Sekarang, tunggulah hingga ponggawa kepala jaga datang." Ternyata, hingga hari siang, kepala jaga tidak muncul juga.
Ketika waktu makan tiba, Saltiwin mengajak Banyak Sumba kembali ke rumahnya.
Pada kesempatan itulah, Banyak Sumba memanggil anak- anak Saltiwin, lalu memberikan pelajaran ilmu berkelahi yang pertamartama. Kebetulan, anak-anak itu menyukai pelajaran yang mereka terima dan Saltiwin memerhatikan mereka dengan senang hati.
Pelajaran itu hanya berhenti setelah hidangan siap. Akan tetapi, ketika orangtua makan, anak-anak itu demikian senangnya pada pelajaran yang mereka terima hingga mereka menolak untuk makan bersama-sama. Mereka terus melakukan beberapa gerakan yang baru mereka terima, diperhatikan oleh orangtua mereka.
"Raden, Paman baru melihat gerakan yang Raden ajarkan!" kata Saltiwin.
"Di Kota Medang pun guru saya saja yang memiliki gerakan itu, Paman. Semuanya ada empat puluh dua gerakan dan yang saya berikan kepada anak-anak itu adalah gerakan persiapan, belum gerakan pertama. Saya ajarkan kepada mereka gerakan-gerakan yang menggiatkan otot-otot mereka yang berguna dalam perkelahian. Kalau mereka sudah dapat mempergunakan otot-otot itu, barulah gerakan dapat saya berikan."
"Berapa lamakah diperlukan waktu untuk menguasai keempat puluh dua gerakan itu?"
"Saya mempelajarinya tiga tahun, Paman. Setiap hari saya berlatih, tiga tahun lebih dua minggu, itu tepatnya, sampai saat saya diuji oleh guru saya."
"Sayang!" ujar Saltiwin, "Sayang, Raden tidak dapat tinggal di sini. Tapi... bagaimana kalau begini. Paman mengumpulkan beberapa putra ponggawa yang berminat, lalu mereka Raden ajar. Pelajaran diberikan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak, akan dilarang oleh kepala jaga karena sudah ada guru keperwiraan, yaitu saudaranya yang diberi tugas oleh pangeran untuk mengajari putra-putra beliau dan para putra ponggawa. Akan tetapi, Paman sebagai ponggawa biasa dapat melihat bahwa yang diajarkan Oleh guru keperwiraan kami sebenarnya tidak banyak. Menurut penjelasan yang kami terima, untuk dapat menjadi prajurit yang baik, yang paling diperlukan adalah kekuatan badan. Memang itu benar. Akan tetapi, Paman pernah melihat bagaimana seorang laki-laki yang tinggi besar dijatuhkan dengan mudah oleh seorang pemuda lam-pai. Itu kejadian lima tahun yang lalu, ketika Paman mendapat tugas pergi ke Kutabarang."
"Pendapatmu itu benar, Paman. Tenaga atau kekuatan memang diperlukan oleh seorang prajurit, tetapi tidak perlu berlebih-lebihan. Kalau tenaga tidak digabung dengan yang lain-lain, tenaga itu berkurang keampuhannya. Apalagi kalau dipergunakan untuk menghadapi seorang prajurit yang mahir."
"Wah, Paman pernah menduga demikian, dan sekarang Raden membenarkannya," seru Saltiwin dengan senang.
"Pukulan yang keras dapat dihindarkan dan kalau tidak dihindarkan, belum tentu berbahaya seandainya hanya mengenai bagian-bagian badan yang tidak terpilih, misalnya punggung, dada, atau bahkan perut. Akan tetapi, tenaga biasa dapat berbahaya seandainya dapat dipergunakan secara baik ke sasaran-sasaran yang terpilih. Telunjuk yang bertenaga kecil dapat melumpuhkan lawan, sebesar apa pun dia, seandainya dapat dipergunakan untuk menusuk matanya.
Demikian juga, cekikan macan apa pun dapat dibuka seandainya kita mengetahui bagian-bagian tubuh lawan mana yang dapat melemahkan cekikan itu kalau diserang. Belum tentu perhatian kita harus kita tumpahkan pada tangan lawan yang mencekik, mungkin perhatian dan serangan lebih baik kita arahkan ke sasaran-sasaran lain." Demikian penjelasan Banyak Sumba kepada Saltiwin yang mendengarkannya dengan mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti dan setuju. Apa-apa yang dikemukakan Banyak
Sumba bukanlah penjelasan yang diterimanya dari Paman Wasis, tetapi hasil renungan-renungannya setelah belajar dan memerhatikan perkelahian yang diajarkan Paman Wasis.
"Raden, sudah lama Paman ragu-ragu terhadap apa-apa yang diajarkan petugas di puri ini kepada para gulang-gulang, tetapi Paman hanya dapat merasakan keragu-raguan itu.
Bagaimana kalau begini, Raden, Paman carikan tempat di salah satu kampung, lalu Paman mengumpulkan anak-anak ponggawa, misalnya lima atau enam orang, agar tenaga Raden tidak terbuang sia-sia."
Maksud itu disetujui Banyak Sumba dan berbagai persoalan yang berhubungan dengan keperluan itu mereka bicarakan.
Saltiwin mengantar Banyak Sumba ke kampung yang paling dekat dengan puri yangjuga ditetapkan menjadi tempr t menginap Banyak Sumba.
PADA hari-hari pertama, hanya anak-anak Saltiwin yang menjadi murid Banyak Sumba. Baru setelah kira-kira seminggu, murid-murid bertambah. Mula-mula dua orang, dua orang lagi, kemudian tiga orang. Karena ruangan serambi Saltiwin kecil, Banyak Sumba meminta agar untuk sementara, muridnya tidak bertambah lagi.
Demikianlah Banyak Sumba bekerja menjadi pengajar putra beberapa orang ponggawa. Beberapa orang ponggawa memberi pakaian, sedangkan yang lain menjanjikan akan mendapatkan kuda baginya—karena ponggawa itu mendapat keterangan dari Saltiwin bahwa Banyak Sumba sangat memerlukan kuda. Ponggawa lain memberinya beberapa kepmg uang perak. Semua kebaikan ini diterima Banyak Sumba setelah mereka melihat kepandaian anak-anaknya. Satu hal saja yang masih menyebabkan kepenasaran Banyak Sumba. Ia belum pernah dapat melihat putri yang pernah memesonakannya itu. Ia belum berani pula mencari- cari kesempatan karena ia masih dianggap sebagai orang asing setiap kali memasuki puri. Akan tetapi, pada suatu sore ketika ia berkunjung ke rumah Saltiwin, anak perempuan Saltiwin yang terbesar pulang ke rumahnya.
Ketika emban itu melihatnya, ia tertegun dan memperlihatkan bahwa gadis itu mengenalnya. Banyak Sumba merasa senang, tetapi juga gelisah. Ia mengharapkan berita kehadirannya sampai pula kepada Tuan Putri. Apakah yang akan dikatakan emban itu kepada tuannya? Ia ingin sekali bercakap-cakap dengan emban itu, tapi sukar sekali mencari jalan bagaimana membuka percakapan dengan gadis yang pemalu itu.
Telinga Banyak Sumba yang tajam mendengar bahwa gadis itu bertanya kepada ibunya tentang dia. Ibunya menjelaskan kehadiran Banyak Sumba sejak kedatangannya sampai menjadi guru putra para ponggawa. Banyak Sumba berdoa dalam hati, mudah-mudahan gadis itu masih mengingatnya ketika ia menegur putri dari bawah benteng itu; dan mudah- mudahan Tuan Putri masih ingat peristiwa itu.
Demikianlah berminggu-minggu Banyak Sumba bekerja sambil berharap mendapat kesempatan bertemu dengan Tuan Putri. Hingga pada suatu hari, datanglah kiriman seekor kuda dari salah seorang ponggawa yang putranya diberi pelajaran. Kiriman itu disertai surat yang menyatakan bahwa kuda itu tua dan buruk, tetapi diharapkan akan bermanfaat bagi Banyak Sumba. Betapapun tua dan buruk kuda itu, Banyak Sumba mengucapkan syukur kepada Sang Hiang Tunggal atas kebaikan ponggawa itu..
Beberapa hari setelah itu, ia mohon izin pergi ke Kutabarang untuk bertemu Jasik dan memberi kabar kepadanya tentang hal-hal yang dialaminya. Ia merasa perlu segera bertemu Jasik karena tahu betapa akan gelisah dan cemasnya Jasik oleh perpisahan itu. Maka, pada suatu subuh, berangkadah Banyak Sumba menuju Kutabarang dan Perguruan Gan Tunjung tempat Jasik bekerja. Jasik berlinang air mata karena kelegaan dan kegembiraannya setelah bertemu kembali dengan tuannya itu.
DALAM percakapan-percakapan itu, Jasik mengabarkan sesuatu yang menarik perhatian Banyak Sumba, yaitu adanya peristiwa perkelahian antara anggota sekelompok pemuda dari sebuah kampung dan kelompok pemuda lainnya.
"Sayang sekali, kita tidak hadir pada peristiwa itu, Sik.
Kalau kita ada, mungkin kita dapat menemukan calon guru," ujar Banyak Sumba.
"Bukankah Raden telah menetapkan akan berguru kepada Juragan Colat?"
"Memang, Sik. Akan tetapi, kita tidak dapat bermalas- malasan. Selagi menunggu kesempatan bertemu lagi dengan si Colat, kita harus memanfaatkan waktu." Banyak Sumba berpaling kepada Arsim, lalu berkata, "Kang Arsim, seringkah terjadi perkelahian semacam itu di sini?"
"Kadang-kadang saja, Raden."
"Tentu saja kadang-kadang, Kang Arsim," ujar Jasik sambil tersenyum.
"Dan kadang-kadang di sini penting sekali artinya bagi saya, Kang," sambung Banyak Sumba. "Saya ingin sekali hadir dalam peristiwa-peristiwa demikian."
. "Tapi jarang terjadi, Raden. Kalaupun terjadi, hanya sebentar karena jagabaya segera tiba."
"Bagaimana sampai perkelahian itu terjadi?" tanya Banyak Sumba kepada Arsim.
"Biasa saja, Raden." 'Justru biasa saja itu yang tidak saya ketahui, Kang," sambung Banyak Sumba seraya tersenyum.
Sekarang, Arsim sadar bahwa soal perkelahian memang penting bagi Banyak Sumba. Ia menarik napas panjang, lalu menceritakan kejadian-kejadian semacam itu dengan panjang lebar, "Di Kutabarang, tarian silat sangat disenangi rakyat.
Pada pesta-pesta, di samping reog, ogel, buncis, calung, angklung, dan pantun; acara tari silat biasanya tidak pernah ketinggalan. Biasanya, pertunjukan-pertunjukan dilakukan para seniman saja. Reog hanya oleh ahli tari, nyanyi, dan lawak. Ogel hanya oleh badut yangpandai berbicara dengan air muka dan bahasa, diiringi tabuhan dogdog. Hal ini berbeda sekali dengan acara tari silat. Setiap orang yang dapat menari silat boleh menari dengan syarat, pertama, memberi upah kepada nayaga, kedua, berhenti kalau satu lagu selesai.
Dalam acara-acara demikian, penonton biasanya bergiliran memasuki gelanggang, menari satu lagu, kemudian berhenti, memberi upah kepada nayaga, dan mempersilakan yang lain masuk. Seandainya masih ingin menari, ia boleh masuk lagi pada kesempatan kemudian, kalau tidak ada penonton lain yang memasuki gelanggang. x
Umumnya, acara tari silat berjalan lancar dan aman. Akan tetapi, sering gelanggang dimasuki penonton berandalan atau orang-orang kasar, atau mungkin para siswa ilmu keper- wiraan yang masih baru dan tidak baik wataknya. Orang- orang macam ini biasa mencari gara-gara. Ia memasuki gelanggang dan tidak mau keluar setelah satu lagu habis.
Seandainya penonton lain penyabar, dia dibiarkan saja. Akan tetapi, tidak semua penonton penyabar. Kadang-kadang orang yang memborong lagu itu harus dikeluarkan, yaitu dengan diusir. Ini berarti adu kepandaian seni berkelahi, bukan seni tari. Kalau ini terjadi, penonton bubar, nayaga lari, dan gelanggang tari menjadi gelanggang perkelahian, sampai jagabaya datang mengamankan." Demikian cerita Kang Arsim tentang salah satu adat di Kutabarang yang asing tapi menarik bagi Banyak Sumba. Itulah sebabnya, Banyak Sumba meminta Arsim agar kalau ada pesta, ia diberi tahu dan dijemput dari Puri Pangeran Purba-wisesa. Arsim menyanggupinya karena permintaan itu tidak sukar, sedangkan ia terikat oleh kewajiban untuk mengabdi kepada putra penguasa kotanya.
Setelah bercakap tentang hal-hal lain serta membuat rencana baru dengan Jasik, Banyak Sumba pun minta diri kembali ke tempatnya mengajar. Kedua orang panakawan dan sahabatnya mengantarnya hingga gerbang kota dan mendoakan mudah-mudahan guru yang dicari-cari dapat segera ditemukan.
BANYAK SUMBA kembali bekerja di dekat Puri Pangeran Purbawisesa. Karena muridnya ternyata bertambah tiga orang lagi dan serambi Saltiwin sudah tidak mencukupi, diputuskan ia akan mengajar mereka di lapangan kecil di tepi hutan. Ke sanalah murid-murid itu pergi setiap sore ketika matahari sudah tidak terlalu panas.
Setelah beberapa bulan, karena hadiah dari para ponggawa dan upah tetap yang terimanya, bekal Banyak Sumba mulai bertambah. Ia mulai memikirkan cara agar bekal itu terus bertambah. Kudanya sekarang sudah baik karena atas usul Jasik, ia menukarkannya dengan tambahan uang dari Jasik kepada pemilik. Banyak Sumba tidak menolak kebaikan panakawannya itu karena memang kuda baik yang dibutuhkannya. Dengan keadaannya yang makin baik itu, ia mulai agak lega, walaupun kepenasarannya masih juga belum terpuaskan. Ia belum dapat kesempatan untuk bertemu dengan Tuan Putri, di samping belum juga mendapatkan guru yang baik itu.
Pada suatu sore, datanglah Jasik dan Arsim berkuda ke tempat latihan Banyak Sumba. Mereka memberitahukan akan diadakannya pertunjukan-pertunjukan, di antaranya tari silat. Dikatakan oleh Arsim bahwa seorang bangsawan kaya di Kutabarang mengadakan pesta perkawinan putranya. Untuk memeriahkannya, diadakan pesta selama beberapa malam. Mungkin, sesuatu akan terjadi dalam pesta itu. Banyak Sumba mempergunakan kesempatan itu. Setelah minta diri kepada Saltiwin, ia segera berangkat. Mereka bertolak ketika matahari condong ke barat dan tiba di pinggiran Kutabarang sekira tengah malam.
Keesokan harinya, Banyak Sumba berjalan-jalan dengan Jasik di dalam Kota Kutabarang yang ramai itu. Banyak Sumba membeli berbagai macam keperiuan untuk hidupnya di luar kota, seperti pakaian, terompah, sanggurdi, dan pakaian kuda yang baru. Dibelinya pula sebuah pisau kecil yang bergagang gading dan sisir dari kulit penyu yang pinggirnya dilapis emas tua. Sisir itu cocok sekali untuk dijadikan hiasan rambut seorang gadis, pikirnya, seraya kenangannya mengembara ke Puri Purbawisesa. Kemudian, ia tersenyum menertawakan dirinya dan segera mengusir pikiran-pikiran yang dianggapnya terlalu khayali itu. Ia menetapkan dalam hatinya bahwa ia membeli sisir yang bagus lagi mahal itu hanya untuk menghargai keahlian seniman pembuatnya. Sekali lagi ia tersenyum, kemudian melupakan persoalan itu sambil menawar sebuah ikat pinggang kulit yang lebar.
"Raden belanja seperti seorang calon pengantin," ujar Arsim sambil melihat-lihat ikat pinggang yang lebar dan kuat itu.
"Saya sudah menikah dengan tugasku, Kang Arsim. Ikat pinggang itu bukan untuk bersolek, tetapi untuk menyisipkan beberapa buah belati. Janganlah salah sangka."
Mendengar penjelasan itu, Arsim tampak mengerti dan dengan sayu memandang Banyak Sumba. Dari sikapnya terhadap Banyak Sumba belakangan ini, tampaknya Arsim sudah mendapat penjelasan yang cukup banyak dari Jasik tentang tugas yang diemban Banyak Sumba. Banyak Sumba pernah mendengar Arsim berkata kepada Jasik, "Sik, saya merasa lebih beruntung lahir sebagai orang biasa. Saya tidak perlu mengorbankan masa muda, bahkan nyawa saya, untuk kehormatan diri atau keluagasaya. Bayangkan, Raden Sumba yang tampan dan muda belia itu. Seharusnya, Den Sumba sekarang sudah mulai berpacar-pacaran, punya kuda bagus, punya kereta, berburu banteng atau harimau. Akan tetapi, sebagai putra bangsawan, terpaksa Den Sumba harus berjerih payah mencari guru ke tempat-tempat yangjauh, melupakan gadis-gadis, dan mungkin menghadapi bahaya."
Mendengar pendapat Arsim, Banyak Sumba tersenyum. Ia mengakui kebenaran pendapat itu, walaupun dianggapnya berat sebelah.
Arsim menyangka bahwa hidup ini cukup dengan makan, tidur, dan berkeluarga serta berumah. Ia tidak tahu bahwa orang hanya dapat mencukupi makan, pakaian, dan kebutuhan lainnya kalau segalanya diatur oleh penguasa kerajaan secara benar, adil, dan baik. Jadi, yang pertama- tama dibutuhkan sebenarnya bukan makanan, pakaian, dan harta benda; melainkan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Tanpa kebenaran, kebaikan, dan keadilan itu, suatu negeri yang makmur tidak akan dapat memberi kebahagiaan kepada penghuninya. Di sinilah mulainya perbedaan pandangan dan tugas hidup seorang rakyat biasa dan seorang bangsawan Pajajaran.
Seorang bangsawan Pajajaran pertama-tama harus menyadari bahwa hidup itu tidak cukup dengan memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah saja. Terutama para bangsawan yang akan menjadi pemimpin rakyat, harus memberi makanan bagi rohaninya sendiri. Ia harus merasa lapar akan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Ia harus mencari ketiga makanan rohani yang sangat penting itu.
Hanya kalau para bangsawan menyadari dan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohaninya itu, mereka akan menjadi pemimpin rakyatnya, dan karena itu tepat bergelar bangsawan.
Kalau Banyak Sumba sudah bertahun-tahun berjerih payah dan bahkan hidup sederhana di negeri orang, hal itu bukanlah suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Ia dan keluarganya dapat saja melupakan kematian Jaluwuyung dan membiarkan setiap orang yang tangannya dilumuri darah hidup dengan tenteram. Ia dapat saja berdamai dengan Anggadipati, dengan keluarga Wiratanu, dan Pembayun Jakasunu. Akan tetapi, masalahnya bukan susah dan senang, menderita atau tidak menderita.
Soalnya adalah keluarga Banyak Citra membutuhkan kebenaran dan keadilan, di samping lain-lainnya. Bagi keluarga Banyak Citra, keadilan dan kebenaran ini lebih daripada makan dan tidur serta kesenangan jasmani lainnya. Hal itu karena keluarga Banyak Citra adalah bangsawan Pajajaran sejati, dan setiap kali kebenaran serta keadilan dilanggar, berarti kehormatan pribadinya pun dilanggar. Inilah yang tidak dimengerti Arsim dan bahkan oleh Jasik.
"Den Sumba, Jasik melihat pisau yang baik di sana," tiba- tiba Arsim mengejutkan renungan Banyak Sumba. Banyak Sumba pun berjalan mengikuti Arsim dan tiba di suatu tempat. Di sana, seorang pedagang pisau menggelarkan tikarnya di tanah.
Banyak Sumba berdiri sambil melihat pisau pendek yang digelarkan di hadapan orang itu. Semua pisau itu panjangnya tidak ada yang lebih dari sejengkal karena yang lebih panjang dari itu dilarang diperjualbelikan kepada umum berhubung ada bahaya seandainya terjadi keributan-keributan. Pisau panjang dan golok hanya bagi jagabaya dan petani kalau mereka berada di huma atau hutan. Di kota, apalagi kota-kota besar seperti Kutabarang, orang dilarang membawa senjata.
Kalaupun mereka boleh membawanya, senjata pendek itu tidak boleh disandang di pinggang, tetapi harus dibungkus dan diikat. Demikianlah peraturan negeri untuk menjaga keamanan dalam kota besar. Peraturan ini diperkeras kalau ada perayaan yang mempertunjukkan tari-tari silat. Dalam peristiwa semacam itu, orang sama sekali dilarang membawa senjata.
Peraturan-peraturan itu jarang sekali dilanggar warga negara Pajajaran. Pertama, mereka tidak perlu membawa senjata di kota-kota Pajajaran yang aman dari gangguan- gangguan. Kedua, parajagabaya selalu siap mengamankan dan mengatasi keadaan seandainya terjadi keributan yang biasa disebabkan para pemuda yang kebanyakan minum tuak atau berebut gelanggang tari silat.
Senjata yang dihadapi Banyak Sumba bagus-bagus buatannya. Ia menawar lima buah pisau yang besarnya tidak sama, tetapi beruntun dari yang panjangnya sejari tengah hingga sejengkal. Pisau ini sarungnya bersatu dan sudah berbentuk ikat pinggang yang buatannya halus pula. Banyak Sumba memegang senjata itu dengan penuh kekaguman akan keahlian seniman yang membuatnya.
"Berapa harganya?"
"Dua keping perak, Raden," jawab pedagang senjata itu. Mendengar harganya yang mahal, Banyak Sumba keheranan dan memandang ke wajah pedagang itu. Pedagang itu mengedipkan matanya sambil tersenyum. Banyak Sumba tidak mengerti apa maksud pedagang itu. Kemudian pedagang itu berdiri, memberi isyarat kepada Banyak Sumba untuk mengikutinya ke samping sebuah bangunan. Di sana berkatalah pedagang itu, "Dua keping perak bukan hanya untuk pisaunya, Raden. Tapi dengan ini," lanjutnya seraya mengambil sebuah pundi-pundi kecil dari dalam ikat pinggangnya yang besar. Pundi-pundi itu ditunjukkannya kepada Banyak Sumba sambil berkata, "Pundi-pundi ini berisi racun. Celupkan ujung pisau itu, lalu lemparkanlah ke arah kijang, harimau, atau banteng. Beberapa saat, binatang yang kuat seperti apa pun akan lumpuh. Atau ... Raden punya musuh? Inilah jawabnya," kata pedagang pisau itu sambil tersenyum culas.
Menyadari ke mana penjual pisau itu membawanya, Banyak Sumba jadi bimbang. Pertama, ia sangat ingin memiliki pisau yang indah-indah buatannya itu; kemudian sekarang dia tahu bahwa pisau itu mungkin ada hubungannya dengan tugas yang diembannya. Mungkin sekali pisau dengan isi pundi- pundi itu dapat membantunya menyelesaikan tugas dengan cepat. Akan tetapi, ia pun ragu-ragu, apakah penggunaan pisau beracun itu cocok baginya, bagi seorang bangsawan Pajajaran yang punya rasa kehormatan?
Bukankah hanya orang pengecut dan orang jahat yang sampai hati mempergunakan senjata secara licik seperti itu? Akan tetapi, kalau lawan demikian busuknya dan telah mem- perdaya keluarga Banyak Citra, bukankah pada tempatnya kalau dilawan secara kejam pula? Dan bukankah dengan mempergunakan pisau beracun itu, ia akan dapat memperpendek penderitaan keluarga Banyak Citra?
Dalam kebimbangan dan kebingungan itu, ia berkata kepada penjual itu, "Terlalu mahal."
"Raden, Paman tahu Raden tidak kekurangan uang.
Bukankah sudah banyak sekali Raden membeli barang-barang tadi?"
"Justru telah saya belanjakan, maka saya tidak sanggup lagi membeli pisau itu."
"Ah, bukankah tidak terlalu mahal?" "Bagaimana kalau pisaunya saja?"
"Raden, besi pisau itu dibuat khusus untuk mengisap isi pundi-pundi itu. Sekali dicelup, isi pundi-pundi itu banyak sekali yang terisap. Raden tinggal melemparkannya ke sasaran. Sedangkan gagang pisau itu dibuat begitu rupa hingga gerakan pisau itu di udara lebih lurus dari anak panah yang paling lurus. Nah ..."
"Terlalu mahal dan itu benda terlarang. Bagaimana kalau ada orang yang tahu dan saya ditangkap?"
Rupanya penjual pisau itu sadar bahwa ia telah banyak bicara tentang sesuatu yang sebenarnya berbahaya bagi dia.
Dia melihat ke kanan ke kiri, lalu berbisik, "Bagaimana kalau satu keping perak dan lima keping perunggu?"
"Terlalu mahal."
"Satu keping perak saja," kata pedagang itu sambil menyodorkan pisau serta pundi-pundi itu. Dalam kebimbangannya, Banyak Sumba menerima pisau dan pundi- pundi itu, lalu memasukkannya ke balik pakaiannya. Ia membayar harga senjata itu, lalu dengan tergesa-gesa pergi dari tempat itu ke tempat Jasik dan Arsim yang sedang menunggu. Banyak Sumba menyerahkan pisau yang terbungkus itu kepada Jasik, tetapi ia tidak menyerahkan pundi-pundi racun yang terasa dingin di rusuk kirinya.
Setelah berbelanja beberapa lama, mereka pun pulang ke Perguruan Gan Tunjung, tempat Jasik dan Arsim bekerja dan tempat Banyak Sumba menginap malam itu.
MALAM harinya, dengan ditemani Jasik, Banyak Sumba pergi ke tempat keramaian. Acara lain tidak menarik perhatiannya. Ia langsung ke tempat bunyi kendang dan kempul. Banyak Sumba mencari tempat yang baik, lalu memerhatikan para pemuda dan orang-orang setengah baya bergiliran masuk dan keluar gelanggang.
Setelah memerhatikan gerakan-gerakan yang indah dan lagu selesai, penari berjalan ke arah nayaga, lalu menjatuhkan satu keping uang perunggu di atas bokor tembaga. Bunyi perunggu menimpa tembaga, bukan saja isyarat giliran baru sudah tiba, tetapi juga isyarat bertambahnya uang para nayaga.
Walaupun sudah beberapa belas penari masuk gelanggang, menurut Banyak Sumba, belum seorang pun menguasai isi gerakan-gerakan yang ditarikannya. Kebanyakan mereka hanya dapat menari. Ini dapat dimengerti karena Pajajaran sudah lama terhindar dari peperangan besar. Keamanan dan ketenteraman itu telah menghikmahkan kemakmuran pada rakyat Pajajaran. Namun, rakyat Pajajaran harus membayar, di antaranya keahlian mereka merosot dalam ilmu keprajuritan.
Barangkali hal itu baik bagi Pajajaran, tetapi bagi Banyak Sumba, hal itu tidak menguntungkan. Karena negeri damai dan makmur itulah mengapa sukar sekali baginya mencari guru keperwiraan yang baik, demikian pikir Banyak Sumba. Seraya pikirannya melayang ke hal yang demikian itu, sadarlah ia pada suatu yang janggal. Bukankah ia telah menyesali kedamaian dan kemakmuran? Bukankah itu pikiran yang tidak baik? Ia menyadari suatu pertentangan. Pada satu pihak, ia harus berusaha mengejar ilmu keperwiraan bagi kehormatan keluarganya. Tetapi di lain pihak, ia tidak dapat memungkiri kenyataan adanya pertentangan antara kehormatan keluarga dan kepentingan rakyat Pajajaran.
Kehormatan keluarga adalah baik dan harus dijunjung, untuk itu ia harus membalas dendam dan menyebabkan huru-hara. Kedamaian dan lce-makmuran adalah baik dan harus menjadi cita-cita setiap bangsawan Pajajaran, untuk itu ia harus menghindarkan huru-hara dan ikut menjaga ketertiban.
Bukankah dengan demikian, kehormatan keluarga bertentangan dengan kepentingan umum, padahal kedua- duanya baik?
Banyak Sumba termenung dan lupa bahwa ia sedang di tengah keramaian. Ia ingat kembali pada pundi-pundi racun yang terselip di ikat pinggang lebar di rusuk kirinya. Ia seolah- olah menyembunyikan dosa di sana. Akan tetapi, bukankah racun yang jahat dan patut dihindarkan itu berguna untuk menegakkan kehormatan keluarga, untuk membalas dendam?
Dan bukankah membalas dendam demi kehormatan keluarga yang diperlakukan tidak adil itu tugas suci?
Banyak Sumba masih termenung ketika Jasik berbisik bahwa di gelanggang ada seorang penari yang baik. Banyak Sumba mulai memerhatikan pemuda yang sedang menari itu. Pemuda itu kira-kira sebaya dengannya, tetapi tubuhnya lebih kekar. Gerakan-gerakannya penuh tenaga serta dilakukan dengan perhitungan yang selaras. Sayang, gerakan-gerakan pemuda itu sangat terbatas, sedangkan gerakan yang dilakukannya itu selalu diisi dengan tenaga.
"Sik, orang-orang Kutabarang lebih mengandalkan pada tenaga dalam ilmu mereka. Saya dengar hal itu dari Paman Saltiwin di Puri Purbawisesa. Masih banyak kelebihan ilmu ayahmu," demikian Banyak Sumba berkata kepada Jasik.
"Demikian pula pendapat saya, Raden. Akan tetapi, saya yakin, pemuda ini-prajurit yang tangguh. Baru dia itulah yang berisi di antara yang pernah memasuki gelanggang."
"Ya, dan saya harap, dia tidak mau keluar dari gelanggang" "Mudah-mudahan," ujar Jasik sambil tersenyum kepada
Banyak Sumba.
"Ya, mudah-mudahan, dan saya akan langsung mencobanya," kata Banyak Sumba pula.
Jasik segera menyela, "Tidak, Raden, saya lebih baik mendahului Raden. Kalau saya sudah kewalahan, baru Raden turun," demikian kata Jasik.
Ketika pukulan kendang menjadi cepat dan lagu hampir selesai, Banyak Sumba berdebar-debar dengan harap-harap cemas. Ia tidak sabar mengetahui, apakah pemuda itu akan keluar dari gelanggang atau tidak. Ia berdoa dalam hati, mudah-mudahan pemuda itu tidak keluar dari gelanggang. Dengan begitu, akan terbuka kesempatan baginya untuk menantangnya. Seandainya menang dalam perkelahian itu, ia akan lebih yakin lagi pada ketinggian mutu ilmu Paman Wasis; seandainya kalah, ia akan mendapat guru baru. Akan tetapi, ketika kendang, kempul, dan trompet kayu berhenti, pemuda itu sambil tersenyum memberi hormat kepada penonton, berjalan ke luar gelanggang diiringi tepuk-sorak. Melihat hal itu, berkatalah Banyak Sumba kepada Jasik, "Sik, saya kira, usaha kita akan sia-sia. Padahal, saya sudah dua hari meninggalkan murid-murid."
"Sabar sebentar, Raden," demikian ujar Jasik yang juga tampak kesal.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa, ia memandang ke dalam gelanggang. Tampak olehnya seorang gemuk sedang menari. Di samping gerakannya tidak berisi, dilakukan pula dengan sangat buruk. Melihat penari gemuk itu, khayal Banyak Sumba melayang, membayangkan sebuah orang- orangan yang terbuat dari jerami ditiup angin di tengah- tengah huma. Banyak Sumba lega ketika lagu habis dan orang gemuk itu melemparkan uang ke dalam bokor tembaga yang terletak di depan para nayaga. Penari yang berikut tidak lebih baik kalaupun tidak lebih buruk daripada yang terdahulu.
"Sik, marilah kita pulang, hari sudah larut."
"Sabar sebentar, Raden," ujar Jasik. Banyak Sumba tidak mengerti mengapa Jasik mau bertahan melihat tari-tarian yang buruk itu. Banyak Sumba kemudian mengerti ketika Jasik maju ke dalam gelanggang yang kosong dan mulai menari dengan indahnya. Ketika satu lagu berhenti, Jasik mengambil bokor tembaga tempat uang, lalu diletakkannya di tengah- tengah gelanggang. Ia menyuruh nayaga memainkan lagu lain. Nayaga yang ketakutan melihat tubuh Jasik yang kuat dan kekar itu menurut. Jasik pun menari dalam sikap dan gerakan-gerakan yang menantang. "Sik, apa-apaan?" seru Banyak Sumba yang terkejut dan bingung.
Jasik mendengar seruan itu karena ia tersenyum ke arah Banyak Sumba. Banyak Sumba cuma terpukau. Rupanya, Jasik benar-benar tak hendak mengecewakannya. Ia telah bertindak dan menyediakan diri menjadi umpan perkelahian demi kepentingan Banyak Sumba. Ia terus menari. Setelah dua lagu, ia minta lagu baru dan setelah ketiga, minta keempat.
Para penonton mulai menggerutu, sebagian mulai meninggalkan gelanggang, sebagian berdiri dengan pandangan marah ke arah gelanggang. Akan tetapi, tidak ada yang berani turun mengusir Jasik. Rupanya, mereka pun tahu bahwa Jasik bukanlah penari sembarangan. Gerakan-gerakan yang indah dan mantap menyebabkan mereka gentar. Belum lagi mereka memperhitungkan tubuhjasik yang tinggi besar dibandingkan dengan kebanyakan di antara mereka.
Pada lagu yang kelima, para nayaga sudah mulai bimbang.
Jasik berhenti menari, lalu berjalan ke arah nayaga. Ia menepuk-nepuk sakunya, membunyikan uang, seraya berkata, "Teruskan!"
Para nayaga yang ketakutan dan tidak berani mengambil uang yang ada di tengah-tengah gelanggang, dengan setengah hati mulai memainkan lagu baru: Kembang Beureum. Ketika itulah, seorang penonton yang tubuhnya besar masuk.
Begitu Jasik pasang, orang itu langsung menangkap tangan kiri Jasik. Akan tetapi, tangan kiri Jasik yang terpegang pergelangannya itu bagaikan seekor belut melingkar dan berbalik menangkap pergelangan kanan lawan. Keduanya berguncang karena dua arus bertabrakan di titik pergelangan itu. Ketika itulah, Jasik memukul otot lengan kanan lawan dengan cepat, lalu melanjutkan pukulan itu ke leher lawan dari arah bawah. Kedua pukulan itu menyebabkan lawan terhuyung ke belakang, dan Jasik tidak memberi kesempatan. Kaki kirinya berkelebat masuk perut lawan yang langsung jatuh ke luar gelanggang, ke tengah-tengah penonton.
Penonton mulai ribut, sebagian melarikan diri. Demikian juga nayaga, tukang trompet, dan tukang kempul sudah tidak ada, tinggal tukang kendanglah yang duduk. Ia tidak sampai hati lari meninggalkan kendangnya yang tiga buah itu. Ia terus saja menabuh kendangnya, walaupun lagu dan iramanya sudah tidak menentu lagi.
Setelah gelanggang kosong beberapa saat dan Jasik berkeliling menantang, melompadah dari antara penonton seorang laki-laki kurus berbaju hitam dan mengenakan ikat kepala barangbang semplak. Ketika laki-laki itu pasang, tampak oleh Banyak Sumba gelang akar bahar yang besar- besar. Entah seolah-olah ia terpesona oleh akar baharnya sendiri yang seolah-olah ia pandangi ketika ia pasang, atau entah karenajasik memang sangat cepat; begitu laki-laki pasang begitu dagunya disambar oleh kaki Jasik yang berterompah. Kepala laki-laki terpental ke belakang. Dengan nanar, laki-laki itu mencoba berdiri dan berkuda-kuda kembali. Akan tetapi, mungkin karena masih pusing oleh tendangan Jasik atau barangkali ia memasang perangkap, laki-laki itu tidak menghadap Jasik. Ia agak miring dan menghadap ke arah seorang penonton yang berdiri paling depan dan paling dekat dengannya.
Melihat hal itu, mula-mula Banyak Sumba heran, kemudian ketika Jasik menghantam rusuk laki-laki itu dengan kaki kanannya, Banyak Sumba menyadari bahwa orang itu karena kalang kabut oleh pukulan pertama tidak dapat lagi membedakan Jasik dengan penonton terdepan. Banyak Sumba tidak dapat menahan tawanya. Dan bertepatan dengan tawanya yang meledak, terdengarlah trompet jagabaya dan derap kaki beberapa ekor kuda mengelilingi keributan. Jasik berlari dan berseru, "Raden, lari!" Banyak Sumba lari mengikuti Jasik. Seorang jagabaya melempar tambang kepadajasik dan berhasil menjerat leher panakawan itu. Akan tetapi, dengan kuat Jasik merenggut tali hingga jagabaya yang malang itu jatuh dari kudanya. Mula- rrtula,Jasik akan kembali dan menghantam jagabaya itu, tetapi Banyak Sumba menariknya. Mereka pun lari ke dalam gelap malam.
Di tengah-tengah kebun pisang, mereka berhenti dan mencari-cari arah sambil mendengar kalau-kalau ada pengejar. Setelah mereka yakin keadaan aman, Banyak Sumba bertanya, "Sik, kegilaan macam apa yang kaulakukan itu?"
"Saya tak hendak mengecewakan Raden, padahal Raden telah meninggalkan puri dan murid-murid," jawab Jasik.
"Kau ini terlalu, Sik. Jangan sekali-kali lagi main monyet- monyetan seperti itu!"
"Tidak apa, Raden. Di samping itu, saya tidak bersusah- susah membayar, seperti yang pernah Raden lakukan dulu ketika ada tukang pantun serampangan itu," sambutnya sambil tersenyum di dalam gelap.
Banyak Sumba tidak dapat tersenyum karena perbuatan Jasik tetap dianggapnya melewati batas.
"Sik, saya tidak main-main. Tadi kau pun akan memukul jagabaya kalau tidak saya tahan. Itu berbahaya. Kautahu bukan, barang siapa melukai atau menyebabkan cedera seorang jagabaya akan dihukum berait Kau perlu lebih berhati-hati di kemudian hari."
"Salah jagabaya itu, Raden, leher saya luka sedikit karena tambangnya," ujar Jasik
Ketika itulah, Banyak Sumba tersenyum. Panakawannya itu sungguh-sungguh sayang kepadanya sehingga kadang-kadang melakukan hal-hal yang menurut pendapatnya keterlaluan. Di samping itu, kesederhanaan cara berpikirnya sering mengejutkan pula. Sementara kemampuannya mengendalikan diri sangat lemah. Oleh karena itu, Banyak Sumba sering menghindarkan dia dari hal-hal yang tidak diinginkan. Jasik ini kalau tersinggung perasaannya sering lupa daratan, seperti halnya ketika jagabaya itu menjeratnya. Kalau ada kesedihan atau kegembiraan, air matanya mudah sekali tumpah. Sifat- sifatnya yang kekanak-kanakan serta kesetiaan dan kepatuhannya kepada majikan, sering mengharukan Banyak Sumba. Keharuan itu tergugah pula malam itu dan Banyak Sumba menepuk bahu Jasik ketika mereka berjalan di antara pohon-pohon pisang, menuju jalan yang terdekat, merentang antara dua buah kampung kecil di pinggiran Kutabarang.
"Hati-hatilah, Sik, hidupku tidak lebih berharga daripada hidupmu," kata Banyak Sumba. Mereka pun melangkah menuju Perguruan Gan Tunjung, mengikuti Kang Arsim yang telah lebih dulu meloloskan diri.
DUA hari setelah peristiwa itu, Banyak Sumba sudah berada kembali di kampung kecil yang berdekatan dengan Puri Pangeran Purbawisesa. Pekerjaannya sebagai pengajar ilmu keperwiraan berjalan lancar dan menyenangkan.
Pagi hari ketika ayam baru berkokok, anak-anak para ponggawa dan bangsawan rendahan sudah ramai di halaman rumah tempatnya menginap. Dan ketika matahari terbit, Banyak Sumba dengan bercelana pangsi dan berbaju salontreng hitam, berlari menaiki bukit-bukit, melompati sungai-sungai kecil serta pagar-pagar huma, diikuti tujuh belas orang muridnya. Setelah memanaskan badan, anak-anak mulai diberi pelajaran yang berupa gerakan.
Kalau hari mulai panas dan sebelum murid-murid menyelesaikan latihan pagi hari, Banyak Sumba biasanya mengajak mereka duduk-duduk di tepi hutan, di bawah pohon yang rindang. Kesempatan beristirahat itu dipergunakannya untuk menerangkan masalah-masalah yang penting mengenai ilmu keperwiraan yang diajarkannya itu. Ternyata, hubungan dengan anak-anak itu tidak saja memberinya kesibukan dan obat kerisauannya sebagai anggota wangsa Banyak Citra yang prihatin, tetapi juga memberinya hiburan yang menggembirakan. Hubungan batin antara guru dan murid terjalin dengan mesra. Hubungan ini sering dirasakan Banyak Sumba sebagai sesuatu yang lebih berharga daripada uang atau hadiah-hadiah yang diterimanya dari orangtua mereka.
Pada suatu hari, ketika mereka beristirahat sehabis latihan pagi, tiba-tiba seorang murid yang bernama Giwang berkata, "Kakanda, Rangga Sena berkelahi dengan Raden Sungging."
"Siapa Raden Sungging itu dan betulkah kau berkelahi, Sena?"
Rangga Sena tidak menjawab, ia menunduk memper-main- mainkan rumput. Anak itu rupanya takut dan malu, karena berulang-ulang Banyak Sumba berpesan agar mereka menghindarkan perkelahian, bahkan kalau mereka diserang dan tidak bersalah. Pesan Banyak Sumba adalah: Ambillah jurus langkah seribu dan bertindaklah sebagai penakut karena mengalah merupakan sebagian dari pelajaran kita!
Memang Banyak Sumba tidak hanya mengajar ilmu keperwiraan dalam arti yang dangkal. Apa-apa yang diberikannya tidak hanya ketangkasan, tetapi susila seorang kesatria. Mengendalikan diri adalah salah satu syarat. Rendah hati dan suka mengalah dalam urusan-urusan remeh adalah syarat lain. Berdasarkan pandangannya itu, Banyak Sumba melarang keras murid-muridnya terlibat perkelahian.
"Kalian belajar ilmu keperwiraan pertama-tama agar dapat menghindarkan perkelahian. Keperwiraan itu dimulai dengan menggerakkan lidah, bukan menggerakkan tangan dan kaki. Lembutkanlah hati orang yang marah kepadamu dengan kerendahan hati dan kejujuranmu yang disampaikan dalam bahasa yang halus dan enak didengar. Jika lawanmu tidak mau membuka telinganya, menghindariah kalian seandainya tidak ada hal-hal lain yang terancam oleh lawan. Kalau lawan ingin mendapat kepuasan dengan memukul, berilah kesempatan dia memukulmu, lalu engkau pergi. Engkau baru boleh melawan kalau lawan mengancam nyawamu, nyawa orang lain, atau ada hal-hal suci yang akan dilanggar, misalnya kebenaran, keadilan, dan kehormatan seluruh keluargamu atau kerajaan dan rakyat Pajajaran."
"Kalian harus menyadari bahwa kalau seorang puragabaya terlibat dalam perkelahian, ia mungkin dihukum dan dipecat dari kepuragabayaan itu. Begitu keras peraturan bagi seorang kesatria sejati karena kehidupan seorang kesatria bukan untuk menciptakan huru-hara, melainkan sebaliknya."
Perkataan itu mengiang dalam telinganya sendiri.
Kebimbangan serta pertentangan-pertentangan batin timbul oleh kata-kata itu dalam dirinya. Akan tetapi, bagaimanapun, ia terpaksa harus mengatakannya karena kesabaran dan pengendalian diri adalah salah satu watak yang harus diletakkannya pada pribadi murid-muridnya. Ketika ia termenung akibat perkataannya sendiri itu, berkata pulalah Giwang, "Kakanda, saya tahu tentang puragabaya yang hampir saja dipecat karena berkelahi."
"Bagus, ceritakanlah kepada kawan-kawanmu supaya mereka lebih yakin akan segala yang kuajarkan kepada kalian," sambut Banyak Sumba.
"Pada suatu waktu, demikian diceritakan oleh Pamanda, seorang puragabaya berkunjung ke suatu kota ketika ia berada dalam perjalanan untuk berlibur di kotanya. Ketika.itu, upacara menerima Padi Sulung sedang dilakukan di dalam kota. Para pemuda dan gadis-gadis kota itu berkumpul dan bersu-karia dalam pesta semalam suntuk. Puragabaya itu, dengan diiringi panakawannya, menghadiri upacara itu.
Kebetulan, seorang putri jatuh hati kepadanya. Ternyata, putri ini dicintai oleh seorang bangsawan setempat. Ketika mengetahui sang Putri jatuh hati, ia marah karena cemburu. Saat pulang ke penginapannya tengah malam, puragabaya itu disergap. Akan tetapi, karena setia kepada asas-asas kesatriaan, puragabaya itu tidak melawan dan minta diadili karena ia merasa tidak bersalah. Bangsawan yang marah dan kawan-kawannya tidak mau mendengar perkataannya, lalu menyiksa puragabaya itu beramai-ramai. Puragabaya itu tidak hendak melawan, walaupun sebenarnya ia dapat membunuh semua pengeroyoknya.
"Keesokan harinya, ia berhasil melarikan diri dari terungku tempat ia disekap. Bangsawan itu dan kawan-kawannya mengejar dan mengepungnya di suatu mata air. Di sanalah baru puragabaya itu melawan dan mengalahkan semua pengejarnya. Sepulang ke Padepokan Tajimalela yang dirahasiakan tempatnya, ia langsung diadili berdasarkan laporan penguasa kota yang kebetulan ayah bangsawan yang cemburu itu. Ia diadili, tetapi karena bangsawan yang cemburu itu memang kurang ajar, ia hanya dihukum sebentar dan tidak dipecat. Puragabaya itu kemudian menjadi puragabaya termasyhur di seluruh Pajajaran, yaitu Puragabaya Anggadipati yang juga berhasil membunuh puragabaya yang jadi gila
"Sudah!" tiba-tiba Banyak Sumba berseru dengan keras.
Anak-anak keheranan. Banyak Sumba sadar bahwa tidak pada tempatnya ia marah. Ia tersenyum dan menjelaskan bahwa ia terkejut mendengar kata membunuh.
"Membunuh itu sangat mengerikan, Anak-anak. Oleh karena itu, Kakanda sering terkejut mendengar perkataan itu."
Rupanya, anak-anak puas oleh jawaban Banyak Sumba, walaupun mereka merasa heran juga melihat kegugupannya.
Sore itu, sehabis latihan, Banyak Sumba berkunjung ke Puri Pangeran Purbawisesa. Ia pergi ke sana bukan didorong oleh harapan dapat bertemu dengan Putri Purbamanik, tetapi karena sudah lama tidak berkunjung kepada Paman Saltiwin. Harapannya untuk bertemu dengan Putri Purbamanik semakin menipis karena Tuan Putri ternyata sangat dipingit.
Ketika Banyak Sumba sedang duduk di serambi dan mengobrol tentang berbagai hal dengan Saltiwin, anak perempuan Saltiwin yang bekerja sebagai emban datang. Begitu datang, ia segera kembali meninggalkan rumah.
Banyak Sumba tidak curiga apa-apa. Dia baru menyadari kepergian emban itu ada hubungannya dengan dirinya setelah suatu rombongan datang.
Rombongan terdiri dari lima orang emban mengiringi seorang putri, Nyai Emas Purbamanik. Sadarlah Banyak Sumba bahwa kesempatan yang dinanti-nantikan datang tanpa diduga. Ia gembira tetapi juga cemas, debar jantungnya tak dapat dikuasainya. Walaupun jantungnya berdegup menggila, matanya tidak dapat dipalingkan dari putri jelita yang berdiri di halaman. Banyak Sumba melihat bagaimana istri Paman Saltiwin gemetar mempersilakan putri itu masuk ke rumahnya. Dengan suara rendah, Nyai Emas Purbamanik berkata, "Jangan repot-repot, Bibi, saya hanya mampir sebentar. Ada suatu hal yang hendak saya uruskan dengan putra Bibi."
"Tuan Putri pernah melihat rusa jantan yang tersesat, barangkali ia lari kemari," kata seorang emban gemuk sambil tertawa.
'Apakah ada rusa yang lepas dari dalam taman, Tuan Putri?" tanya Paman Saltiwin sambil melihat-lihat ke arah halaman.
Para emban tertawa tergelak-gelak. Paman Saltiwin kebingungan dan tidak tahu apa sebenarnya yang lucu. Ia membetulkan ikat kepalanya, kemudian kainnya, karena disangkanya para emban itu menertawakannya. Akan tetapi, emban-emban itu malah makin ramai tertawa ketika melihat Paman Saltiwin kebingungan. "Sudah, Mang Saltiwin, tidak usah bingung karena rusa itu memang ada di sini," kata emban gemuk itu.
Tuan Putri tampak marah kepada emban itu. Wajahnya yang kuning pualam merah sebentar, kemudian ia menunduk.
Banyak Sumba melihat rambutnya yang lebat bergelombang menuruni pundaknya yang landai.
"Asih," kata Tuan Putri kepada anak Paman Saltiwin, "mari kita pulang."
"Tuan Putri, silakan duduk dulu. Mari masuk, tikar sudah dihamparkan di ruangan tengah," kata Bibi Saltiwin sambil menyembah-nyembah.
Mula-mula Nyai Emas Purbamanik bimbang, tetapi emban gemuk itu kemudian mendorongnya perlahan-lahan. Naiklah Tuan Putri ke serambi, lalu masuk rumah. Banyak Sumba seperti patung, berdiri di ujung tangga serambi sambil tak putus-putusnya memandang ke arah tuan putri yang menghilang ke dalam rumah. Baru ketika Tuan Putri hilang dari pandangannya, la sadar kembali akan dirinya.
"Raden, duduklah, tidak usah terganggu," kata Paman Saltiwin yang juga gugup karena kedatangan putri pangerannya itu.
Banyak Sumba duduk kembali sambil menarik napas panjang. Kemudian, kedua-duanya terdiam. Suasana hening itu sangat menekan hati Banyak Sumba. Ia berusaha mencari bahan percakapan, tetapi tidak juga didapatnya. Untung tiba- tiba dari dalam ruangan terdengar suara emban yang gemuk bertanya kepada Paman Saltiwin, "Mang Saltiwin, kami mendengar Mang Saltiwin punya anak pungut."
'Ah, bukan anak pungut, Nyimas Teteh. Raden ini pengembara yang terlunta-lunta. Kewajiban setiap orang untuk memungutnya, bukan?" "Oh, terlunta-lunta? Pantas kudanya dulu terlunta-lunta masuk semak di bawah benteng, hihihi
Paman Saltiwin kebingungan dan tidak mengerti maksud emban itu. Ia berpaling kepada Banyak Sumba, lalu berkata rendah, "Nyimas Teteh ini kepala emban dan inang pengasuh utama Tuan Putri. Ia suka berlelucon yang aneh-aneh dan sukar dimengerti."
Banyak Sumba hanya mengangguk. Dalam hatinya, ia senang karena dikenal para emban dan tentu saja oleh Tuan Putri. Kelakuannya dahulu dan keberaniannya menegur tuan putri ketika berada di atas benteng, rupanya menarik perhatian Tuan Putri.
"Hati-hati, Mang Iwin," tiba-tiba kepala emban berkata kembah dari tengah rumah, "Jangan pungut sembarang pungut, jangan-jangan Emang memasukkan elang ke kandang ayam, harimau ke kandang kambing."
"Saya percaya kepada Sang Hiang Tunggal dan membantu seseorang itu hanya karena perintah-Nya, Nyimas Teteh."
"Bagus, Mang Saltiwin. Jadi hati-hatilah! Lidah orang dapat lebih tajam daripada tangannya, hihihi
Paman Saltiwin kembali risau. Tak lama kemudian, rombongan Tuan Putri meninggalkan rumah Saltiwin. Sebelum pergi, pandangan Banyak Sumba bertemu dengan pandangan Tuan Putri. Banyak Sumba mengangkat tangannya menyembah, tetapi Tuan Putri yang bimbang memalingkan mukanya.
Peristiwa itu menyebabkan Banyak Sumba gelisah sepanjang malam. Mungkinkah Tuan Putri membencinya karena keberaniannya menegur ataukah sebagai gadis yang masih muda, ia gugup dan malu menghadapi orang asing? Pertanyaan itu tidak dapat dijawabnya. Ia pun berguling- guling di atas tikar pandan sepanjang malam. KEESOKAN harinya, ketika ia selesai melatih pagi hari, seorang gulang-gulang datang ke tempatnya menginap. Gulang-gulang itu menyerahkan sebuah kotak lontar kecil, lalu pergi tanpa memberi tahu siapa pengirim surat itu. Banyak Sumba membuka kotak lontar itu seraya jantungnya berdebar- debar. Mungkinkah Tuan Putri mengusirnya atau memanggilnya? Ia membuka lontar itu dengan tangan gemetar. Ketika terbaca alamat pengirim, tahulah ia bahwa bukan Tuan Putri yang mengirimkan surat itu, tetapi seseorang yang bernama Girilaya.
Isi surat itu merupakan permohonan, dengan penuh hormat, agar Banyak Sumba menemui sang pengirim surat di suatu tempat di hutan. Karena penasaran, Banyak Sumba segera berangkat menunggangi kudanya. Setiba di sana, seorang pemuda yang dikenalnya karena pernah dilihatnya di gelanggang tari, menjemputnya. Ia memberi hormat walaupun tidak tersenyum.
"Terima kasih atas kesudian Saudara datang ke tempat ini.
Maaf, saya telah mengherankan Saudara," kata pemuda itu dengan lemah lembut. Dari tutur kata dan tingkah lakunya, sadarlah Banyak Sumba bahwa ia menghadapi seorang bangsawan.
"Sekali-kali, Saudara tidak menyusahkan saya. Kalau saya merasa heran, hal itu tentu saja segera mendapat penjelasan dari Saudara," jawab Banyak Sumba, juga dengan halus.
"Barangkali, apa yang akan saya sampaikan tidak akan menyenangkan Saudara karena memang hal ini tidak pula menyenangkan saya. Akan tetapi, saya yakin bahwa hal ini tidak akan mengguncangkan ketenangan Saudara sebagai seorang kesatria."
Pemuda itu berhenti berkata. Setelah termenung sebentar, ia melanjutkan perkataannya, "Begini, Saudara. Murid saya beberapa waktu berselang berkelahi dengan Rangga Sena.
Murid sayalah yang kalah, maka timbullah persoalan. Seandainya murid saya menang, saya tidak akan memikirkan masalah ini, tetapi ternyata murid Saudara lebih baik. Saya beranggapan bahwa mungkin ilmu yang didapat Rangga Sena dari Saudara lebih baik. Itulah sebabnya saya terpaksa meminta Saudara untuk bertemu di sini. Maksud saya Pemuda itu bingung sebentar, "Saya bermaksud akan menyerahkan kedudukan saya sebagai pengajar putra-putra bangsawan di Puri Purbawisesa, seandainya memang ilmu Saudara lebih tinggi."
"Tidak, Saudara," sahut Banyak Sumba, "seharusnya saya minta maaf kepada Saudara dan meninggalkan pekerjaan saya di kampung itu karena saya secara tidak kesatria telah menyaingi Saudara. Saya harus minta maaf dan besok saya akan pergi meninggalkan daerah ini."
"Sama sekali tidak. Yang memutuskan siapa yang pergi bukan kita, tetapi ilmu kita masing-masing. Saya tidak sekali- kali menantang Saudara. Sama sekali tidak, tetapi saya memikirkan kepentingan anak-anak di Puri Purbawisesa.
Mereka harus mendapat guru yang terbaik. Itulah sebabnya, kita harus mengetahui siapa sebenarnya yang lebih pantas menjadi guru mereka."
Mendengar itu, sedihlah hati Banyak Sumba. Ia merasa bahwa ia sudah tidak menenggang hati dan kepentingan orang lain. Ia hanya memerhatikan dirinya. Ia sudah merasa berdosa karena pernah mengganggu keluarga yang sedang kenduri. Sekarang, dengan tidak disadarinya, ia sudah berbuat kesalahan. Akan tetapi, apa yang dikatakan kesatria itu dimengertinya pula. Perkataan kesatria itu menunjukkan kemuliaan hatinya sehingga Banyak Sumba merasa hina dan kerdil sekali di hadapannya.
"Saya minta maaf kepada Saudara dan bersedia meninggalkan tempat ini dengan segera agar Saudara dapat mengajari putra-putra bangsawan seperti sediakala," kata Banyak Sumba; ia tidak merasa ditantang oleh pemuda itu. Kemuliaan hati yang memancar dari sinar mata pemuda itu tidak sedikit pun memperlihatkan keangkuhan dan sifat menantang. Hal itu makin membuat sedih hati Banyak Sumba.
"Saudara," kata pemuda itu, "marilah kita pikirkan anak- anak murid kita sendiri. Seandainya ada guru yang lebih baik, saya merasa tidak berhak lagi tinggal dan mengajari mereka. Saya harus pergi dan menuntut ilmu kembali. Bukankah sikap saya itu sikap seorang kesatria yang Saudara setujui dalam hati nurani Saudara?"
Banyak Sumba mengerti karena ia pun seorang kesatria Pajajaran. Akan tetapi, perasaan tidak dapat bersatu dengan pengertian itu. Ia tetap sedih karena merasa telah merugikan orang lain yang begitu mulia hatinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Saudara, walaupun kita akan bertanding, percayalah, kita akan bertanding tanpa kebencian. Kita berlawanan bukan demi kepentingan diri sendiri, tetapi demi kepentingan asas- asas kesatria. Kalau saya tinggal di sini dan tahu ada guru yang lebih baik bagi anak-anak, sifat kesamaan sayajadi ternoda. Bantulah saya agar tetap menjadi kesatria yang berharkat. Kalau Saudara pergi dari sini tanpa membuktikan dulu kelemahan saya, Saudara pun membiarkan anak-anak Pajajaran mendapat guru yangjelek, Saudara ternoda secara kesatria. Marilah kita bertanding dengan tujuan hanya untuk membuktikan bahwa salah seorang di antara kita lebih berhak menjadi guru para calon perwira Pajajaran. Setelah pertandingan itu, kita tidak akan saling membenci, kita akan tetap bersaudara sebagai kesatria Pajajaran."
Banyak Sumba menarik napas panjang, lalu berkata, "Kalau begitu, kalau kita akan tetap bersaudara, saya bersedia bertanding dengan Saudara, walaupun hati saya sangat sedih." Setelah itu, mereka berjalan bersama ke arah sebuah lapangan kecil yang ada di dalam hutan. Tak lama kemudian, mereka bersiap-siap.
"Marilah, kita mulai," kata kesatria itu, dan Banyak Sumba mulai menghadapi kesatria Girilaya dengan hati-hati. Seraya bersiap-siap itu, ia mencamkan dalam hatinya bahwa ia harus menghindarkan bersentuhan tubuh dengan pemuda itu karena ilmu yang berkembang di Kutabarang sangat mengandalkan kekuatan tenaga. Kalau berdekatan, mungkin sekali dengan mudah ia akan ditangkap dan dibanting oleh kesatria itu.
Itulah sebabnya, ia mengatur siasat untuk selalu menjauhi lawan dan menyerang lawan dengan kecepatan dan kelincahan.
Setelah keduanya siap, untuk beberapa lama tidak ada yang bergerak. Banyak Sumba tahu bahwa siasat lawan lebih banyak menunggu dan menyerang kalau Banyak Sumba mendekat. Itulah sebabnya Banyak Sumba bergerak ke samping. Ketika lawan bergerak untuk menyesuaikan pasangannya dengan kedudukan baru Banyak Sumba, secepat kilat kaki Banyak Sumba menghantam tubuh lawan.
Tendangan yang kuat mengenai sasarannya. Tetapi, karena lawan bertubuh kekar, tendangan itu tidak seberapa hasilnya.
Banyak Sumba dengan suatu gerakan umpan, maju. Tiba- tiba, tinju lawan dengan cepat berdesing ke arah mukanya. Untung Banyak Sumba sempat mempergunakan tangannya menepuk tinju itu ke kiri. Akan tetapi, lawan tidak memberi kesempatan. Tangan kirinya dengan cepat menangkap jari-jari tangan Banyak Sumba dan dengan kuat mematahkannya.
Rasa sakit menusuk seluruh tangan dan belikat Banyak Sumba. Tetapi, dengan naluriah, Banyak Sumba sempat menghantamkan kaki kirinya ke ulu hati lawannya. Lawan menunduk seraya matanya terpejam. Banyak Sumba hendak menghantamnya kembali, tetapi ia menahan dirinya. Lawan berjalan ke pinggir, duduk sambil memegang ulu hatinya. Banyak Sumba mendekat, lalu memegang pundak Girilaya.
"Saudara lebih baik, karena itu lebih berhak menjadi guru putra-putra bangsawan di Puri Purbawisesa," kata kesatria itu. Banyak Sumba terharu mendengar perkataan itu. Ia memegang pundak lawannya dengan jari-jari tangan kanan yang mulai bengkak.
"Saya menyesal peristiwa ini harus terjadi."
"Sang Hiang Tunggal menghendaki, marilah kita pergi, barangkali Saudara ada keperluan lain. Maaf, saya sudah mengganggu," kata kesatria itu. Ia pun melangkah ke arah kudanya dan setelah memberi hormat, bersiap menaiki kudanya.
Banyak Sumba mengejarnya, "Ke manakah Saudara akan pergi?"
"Ke Pakuan Pajajaran. Saya akan mencari kerja lain di sana," jawabnya.
"Saya harap, kita akan bertemu di sana."
"Senang sekali kalau kita dapat bertemu di sana," ujar pemuda itu sambil tersenyum untuk pertama kali.
Banyak Sumba terharu melihat senyum yang tulus dari pemuda itu. Di hadapan senyum yang tidak dibuat-buat itu, tiba-tiba ia menyadari betapa kecil dan kerdil dirinya dibandingkan dengan kebesaran pribadi pemuda itu. Ketika pemuda itu melepaskan tambang yang mengikat kudanya pada sebatang pohon, Banyak Sumba tidak dapat berkata- kata lagi. Perasaan mendesak ke arah tenggorokannya dan menghalangi kata-kata yang hendak diucapkannya. Banyak sekali kata yang ingin diucapkannya kepada pemuda yang budiman itu, tetapi satu pun tak hendak keluar. Ketika pemuda itu telah menaiki kudanya dan melambai kepadanya, Banyak Sumba tidak dapat bergerak. Ia seolah-olah terpaku di atas tanah. Baru setelah pemuda itu lenyap dari pandangannya, ia dapat melangkah meninggalkan lapangan kecil itu.
Sepanjang perjalanan pulang, hatinya tercekam oleh peristiwa yang baru dialaminya. Baginya, pribadi pemuda itu merupakan contoh terbaik dari kesatria Pajajaran. Sebagai seorang kesatria Pajajaran, setiap orang harus menempatkan diri sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya. Kalau ia seorang kesatria, ia akan menjadi abdi raja atau seorang perwira.
Banyak Sumba seorang kesatria, tapi apakah ia telah menemukan dan menduduki tempat yang tepat? Apakah segala perbuatan yang telah dilakukan dan peristiwa yang telah dialaminya telah mempersiapkan dirinya dalam usahanya menjadi kesatria Pajajaran yang baik? Semua yang dilakukannya, walaupun dalam keadaan terpaksa, seolah-olah tidak ada hubungannya dengan usaha membina diri menjadi kesatria Pajajaran yang baik. Ia teringat bagaimana ia pernah mengacaukan orang yang kenduri. Ia teringat pula bahwa berulang-ulang ia harus berkelahi dan menyakiti orang lain, dan itu bukan untuk kesatriaan.
Sebaliknya, kesatria Girilaya yang baru dikalahkannya, dan dengan sukarela telah menyerahkan kedudukan kepadanya. Kalau ia Girilaya, apa yang akan dilakukannya? Apa ia dengan sukarela menyerahkan kedudukan dan pekerjaan bagi orang yang lebih baik? Banyak Sumba ragu-ragu akan dirinya karena yang dilakukannya selama ini bukanlah demi kepentingan kebenaran, keadilan, dan kesatriaan; akan tetapi bagi dirinya sendiri, yang dengan sekuat tenaga mempersiapkan diri untuk tugas pembalasan dendam.
Apakah yang akan dilakukan Girilaya kalau ia mempunyai kakak yang terbunuh, ayah yang direbut kedudukannya, serta keluarga yang terpaksa melarikan diri dan hidup di dalam hutan? Banyak Sumba tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia hanya termenung dan termenung sambil berjalan. Ia sadar sekarang bahwa yang harus dicarinya bukan hanya guru keperwiraan yang tangguh, tetapi juga guru keruhanian yang bijaksana. Hanya dengan mendapat penjelasan mengenai itulah, ia akan mendapatkan ketenteraman hati. Maka, ditekadkanlah dalam hatinya untuk mencari seorang pertapa yang akan membimbingnya dalam menjawab persoalan- persoalan yang sering muncul dan tidak dapat dijawabnya.
Baru setelah tekad itu timbul, hatinya mulai berangsur tenang kembali. Walaupun begitu, ia tetap murung karena merasa walaupun lebih baik daripada Girilaya, sebagai seorang manusia ia sangat kerdil. Ia sedih karena tidak pantas seorang anggota wangsa Banyak Citra berjiwa kerdil.
BEBERAPA hari setelah peristiwa itu, Saltiwin datang ke tempat Banyak Sumba menginap. Begitu ia duduk di serambi, Saltiwin dengan muka cerah dan suara gembira berkata, "Den Sumba, kesempatan yang baik telah dijatuhkan Sang Hiang Tunggal di pangkuan Raden. Raden Girilaya, ipar Pangeran Purbawisesa, bermaksud meninggalkan puri dan mengembara. Den Girilaya mengusulkan agar Den Sumba menjadi penggantinya sebagai pengajar ilmu keperwiraan. Raden, apakah Raden sudah lama berkenalan dengan Raden Girilaya?"
Kabar itu tidaklah menyebabkan Banyak Sumba gembira. Ia menunduk merenungi tikar di hadapannya. Rasa kerdil dan kesedihannya kembali menyesakkan dada. Kemuliaan Raden Girilaya pada satu pihak menyebabkan kekaguman dan rasa syukur bahwa di dunia ini ia dipertemukan dengan pribadi yang budiman itu. Akan tetapi, di lain pihak ia menyadari, betapa berat usaha yang harus dilakukannya hingga ia menjadi kesatria sejati seperti Raden Girilaya. Melihat kemurungan itu, heranlah Saltiwin. Ia bertanya, "Raden, mengapa Raden bersedih?"
Untuk beberapa lama, Banyak Sumba tidak menjawab, ia tetap menunduk. Akhirnya, karena Saltiwin memandangnya dengan keheranan, berkatalah Banyak Sumba, "Paman, sebenarnya tidaklah tepat saya menjadi pengganti Raden Girilaya. Ia kesatria yang budiman. Saya bukan apa-apa dibandingkan dengan dia. Mungkin gerakan-gerakan saya lebih baik, lebih ampuh dalam berkelahi. Akan tetapi, seorang guru tidak cukup dengan itu. Ia harus berjiwa besar seperti Raden Girilaya. Sungguh, saya terlalu kecil untuk menjadi pengajar putra-putra bangsawan di dalam puri," ujar Banyak Sumba.
"Raden! Tapi Raden Girilaya sangat kagum kepada Raden. Di samping memuji-muji ketangkasan Raden, ia pun memuji kehalusan tingkah laku dan tutur kata Raden. Paman heran kalau Raden bersedih. Ini kesempatan yang sebaik-baiknya."
"Paman, tahukah Paman kapan Raden Girilaya akan berangkat?" tanya Banyak Sumba seraya dalam hati merencanakan akan menemuinya untuk berunding
"Sudah berangkat kemarin pagi, Raden. Jadi, Raden tinggal pindah dari rumah ini ke rumah Paman, dan besok pagi mulai mengajari anak-anak," ujar Paman Saltiwin dengan gembira. Banyak Sumba menarik napas panjang, lalu berkata, "Baiklah, Paman. Biarlah, saya akan mencari Raden Girilaya."
"Ia pergi tidak tahu tujuannya, Raden. Ia akan mengembara seperti Raden mengembara. Katanya, ia akan mempelajari ilmu kenegaraan, lalu mengikuti Pangeran Purbawisesa ke Pakuan Pajajaran."
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi. Ia sadar bahwa ia tidak akan dapat menerangkan persoalan-persoalan yang ada dalam hatinya kepada orang seperti Saltiwin. Maka, disanggupinya apa yang diminta Saltiwin dan keesokan harinya, Banyak Sumba pindah ke rumah Saltiwin di dalam puri. Setelah dibawa menghadap Raden Girijaya, pamanda Raden Girilaya yang mewakili Pangeran Purbawisesa, ditetapkanlah ia menjadi pengajar keperwiraan di dalam puri.
"Anak Muda," kata Raden Girijaya, "anakku Girilaya sangat memuji kepandaianmu dan tingkah laku serta tutur katamu. Saya pun melihat bahwa engkau bangsawan sejati," katanya. Banyak Sumba menundukkan kepala memberi hormat sambil menyembunyikan air mukanya yang sedih.
KEESOKAN harinya, Banyak Sumba mulai mengajar.
Muridnya ada empat puluh dua orang. Anak-anak ponggawa yang pernah diajarnya, atas izin Raden Girijaya, sekarang dibolehkan ikut belajar dengan putra-putra bangsawan tinggi penghuni puri. Pelajaran itu pagi hari dilaksanakan di luar puri. Sore hari dan kalau hari hujan, disediakan ruangan khusus, yaitu ruangan yang berhubungan dengan gudang senjata.
Dalam pelajaran-pelajaran utama, Banyak Sumba menjelaskan bahwa tenaga atau kekuatan bukanlah syarat mutlak bagi ketangguhan seorang prajurit. Syarat lain adalah ketangkasan. Bukan pukulan yang keras, pegangan yang sukar dibuka, cekikan yang menutup lubang napas dengan sempurna, atau kuncian yang ketat saja yang harus dikuasai; tetapi seluruh anggota tubuh harus tunduk kepada kehendak kita. Seluruh anggota tubuh harus dapat diperintah untuk melakukan apa-apa yang kita ingini. Kelincahan bukan saja menyarankan adanya kemampuan pikiran memerintah anggota badan, tetapi menyarankan pula adanya kecerdasan. Bagaimanapun, kemampuan untuk mempergunakan segala kemungkinan gerak anggota tubuh bukanlah tujuan terakhir. Tujuan terakhir latihan kelincahan adalah kemampuan memerintah anggota tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dengan kebutuhan setempat dan sewaktu dalam suatu perkelahian. Itulah yang diterangkan Banyak Sumba pada hari pertama kepada murid-murid barunya.
Setiap selesai memberikan latihan, Banyak Sumba pulang ke rumah Saltiwin. Di sana, ia terus-menerus menunggu kedatangan Jasik atau Arsim yang dimintanya untuk terus berusaha mencari guru yang baik. Ia hampir tidak sabar lagi, bahkan kadang-kadang bertekad untuk berangkat kembali mengembara seandainya tidak ada yang menahannya.
Pertama, perbekalan yang dikumpulkan belum mencukupi; kedua, ia tidak mau meninggalkan murid-muridnya begitu saja sebelum mereka mendapat ilmu yang cukup; ketiga, Nyai Emas Purbamanik yang berada di dalam puri.
Pada suatu malam, datanglah Asih, anak Saltiwin yang bekerja di kaputren. Ketika itu, Banyak Sumba sedang berbaring di dalam ruangannya dan terdengar Asih berkata kepada ayahnya di ruangan tengah, "Bapak, pemimpin gulang-gulang sedang sakit dan ada keperluan mendesak. Beliau bermaksud pergi ke Kutabarang untuk membeli sesuatu. Beliau bertanya kepada saya, apakah pengajar ilmu keperwiraan itu dapat menggantikan pemimpin gulang-gulang untuk sementara?"
Mendengar itu, berdebarlah jantung Banyak Sumba, gembira bercampur cemas. Banyak Sumba berdoa, mudah- mudahan Paman Saltiwin menyetujui usul yang disimpulkan dalam pertanyaan itu. Ditunggunya jawaban Saltiwin dengan melekatkan telinga ke dinding, "Asih, Raden Sumba ini bukan orang sembarangan. Ia seorang bangsawan, kau bisa melihatnya sendiri dari rupa, sikap, dan tutur katanya. Bapak sendiri yakin, Raden Sumba seorang bangsawan tinggi yang sedang mencari ilmu dengan menyamar. Itulah sebabnya, kita tidak dapat meminta sembarangan bantuan kepadanya.
Misalnya, mengawal Tuan Putri ke Kutabarang yang hanya merupakan tugas seorang ponggawa biasa." "Saya juga sudah mengemukakan hal itu kepada Tuan Putri, dan memang Tuan Putri pun menduga demikian. Akan tetapi, menurut pendapat Tuan Putri, tidak ada salahnya kalau kita minta pertolongan kepadanya karena orang yang sedang menyamar akan senang sekali diperlakukan seolah-olah dia tidak sedang menyamar," kata Asih kepada ayahnya.
"Kalau demikian pertimbangan Tuan Putri, baiklah. Akan tetapi, berat bagiku untuk menyampaikannya kepada Raden
Sumba. Segan aku untuk meneruskan permintaan itu, jangan-jangan hal itu dianggap kelancangan olehnya."
"Bagaimana kalau Tuan Putri memerintahkan hal itu kepada Bapak?"
"Kalau demikian, lain soalnya. Aku hanya orang yang menyampaikan dan karena itu tidak dapat dianggap lancang," ujar Paman Saltiwin.
"Kalau begitu, saya akan menyampaikannya kepada Tuan Putri."
"Ya. Jelaskan kepada beliau bahwa aku menyangka Raden Sumba ini bangsawan tinggi yang di masa depan akan memangku jabatan kenegaraan yang penting. Oleh karena itu, ia harus mencari pengalaman dengan jalan berprihatin dan menyamar seperti yang dilakukan sekarang."
"Tuan Putri pun menyangka demikian. Beliau sering membincangkannya dengan saya."
"Syukurlah kalau begitu, jadi aku tidak usah mengemukakan alasan-alasan tentang kesegananku untuk meminta sesuatu kepada Raden Sumba, walaupun sekarang Raden Sumba sudah dapat dianggap pegawai di dalam puri ini."
Keesokan harinya, sebelum Banyak Sumba siap untuk mengajar, datang rombongan Nyai Emas Purbamanik. Dengan hati berdebar-debar, Banyak Sumba duduk di samping Paman Saltiwin yang mempersilakan Tuan Putri di serambi rumahnya yang luas dan bersih itu.
"Ponggawa," ujar Tuan Putri setelah beberapa lama ruangan hening, "saya memerlukan bantuanmu."
Sebutan ponggawa sangat berkesan dalam hati Banyak Sumba. Bagaimanapun, kalau tidak menduga penyamarannya, Tuan Putri tidak akan menyebutnya ponggawa.
"Hamba mohon diberi tahu, apa kehendak Tuan Putri," ujar Banyak Sumba.
"Kepala gulang-gulang kami jatuh dari kuda dan terkilir kakinya. Untuk beberapa lama, ia tidak akan dapat melakukan kewajibannya. Saya perlu pergi ke Kutabarang untuk mengunjungi sanak keluarga di sana dan membeli beberapa barang keperluan. Itulah sebabnya, saya minta bantuanmu untuk memimpin para pengawal," kata Tuan Putri dengan suara seorang majikan yang memerintah kepada panakawannya. Sikap dan cara bicara Tuan Putri kepadanya menyenangkan Banyak Sumba. Rupanya, Tuan Putri benar hendak memainkan suatu peran dalam sandiwara yang diciptakannya.
"Tentu saja hamba harus mematuhi perintah Tuan Putri, seandainya Tuan Putri beranggapan bahwa hamba cocok untuk tugas itu."
"Para pembantuku menyatakan bahwa engkau seorang ponggawa dan prajurit yang baik. Saya percaya kepada mereka," ujar Tuan Putri pula, nada bicaranya lebih angkuh daripada seharusnya. Ini pun menyenangkan hati Banyak Sumba yang menyadari bahwa Nyai Emas Purbamanik mengetahui keadaan dirinya dengan baik pula.
Tak lama kemudian, Tuan Putri memerintahkan agar para pengawalnya bersiap kembali ke dalam Istana Pangeran Purbawisesa. Sebelum pergi, Tuan Putri memerintah dengan tegas dan angkuh bahwa pagi-pagi benar, ketika matahari terbit, Banyak Sumba harus sudah siap di gerbang puri dan mengurus segala-galanya dengan para gulang-gulang yang akan dipimpinnya. Setelah itu, putri yang cantik jelita tersebut meninggalkan rumah Paman Saltiwin.
Banyak Sumba manarik napas panjang, lalu berpaling kepada Paman Saltiwin yang ada di sampingnya. Ia terkejut ketika melihat Paman Saltwin bersedih hati.
"Apakah yang terjadi, Paman?" tanya Banyak Sumba keheranan dan cemas.
"Tidak, Raden."
"Katakanlah Paman, barangkali saya akan dapat membantu mengatasi kesusahan Paman."
"Tidak, Raden, Paman tidak mendapat kesusahan." "Tapi, Paman bersedih hati. Katakanlah kepada saya,
mengapa? Barangkali saya dapat membantu Paman."
"Raden, tidak pada tempatnya sebenarnya Paman mengatakan hal ini. Bagaimanapun, Tuan Putri adalah majikan Paman. Akan tetapi, sikapnya terhadap Raden sekali-kali tidak Paman setujui. Paman sungguh-sungguh sedih melihat hal itu. Biasanya Tuan Putri begitu halus, begitu lemah lembut, dan rendah hati walaupun beliau seorang bangsawan tinggi. Baru terhadap Raden, beliau bertindak ... ya ... kasar dan angkuh, bertindak sebagai seorang majikan terhadap panakawannya. Padahal... sebelumnya Tuan Putri tidak pernah membedakan antara orang biasa dan bangsawan, ponggawa rendahan dan ponggawa tinggi. Baru sekarang tindakannya tidak sesuai dengan wataknya, dan hal itu terhadap Raden pula ditunjukkannya."
Banyak Sumba tersenyum dalam hati. Akan tetapi, ia bersungguh-sungguh ketika bicara kepada Paman Saltiwin. Ia berkata, "Paman, hak Tuan Putri untuk memperlakukan saya sekehendak beliau. Saya berlindung dan hidup karena kemurahan keluarga beliau. Bayangkanlah kalau saya tidak diterima tinggal oleh Paman, yang merupakan bagian dari keluarga beliau. Tentu saja, saya akan hidup tidak menentu, terlunta-lunta, dan siapa tahu akan mendapat malapetaka di tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggal manusia."
"Tidak, Raden. Bagaimanapun, Sang Hiang Tunggal memerintahkan kita harus memperlakukan sesama manusia sesuai dengan kedudukannya dalam kasih beliau. Manusia sama-sama dicintai oleh Hyang Maha Wedi-Asih. Mengapa manusia harus saling menghinakan dan saling merendahkan satu sama lain? Benar, selama ini Raden telah hidup di bawah lindungan dan kasih sayang keluarga Purbawisesa. Tapi alangkah anehnya, ya alangkah anehnya, Tuan Putri telah memperlakukan Raden begitu rendah. Paman sungguh- sungguh tidak mengerti. Belum pernah kepada siapa pun Tuan Putri bersikap dan bertindak demikian. Untuk pertama kali inilah, dan terhadap Raden pula. Paman panakawan Tuan Putri, tetapi Paman tidak dapat dicegah untuk berkata, bahkan Tuan Putri tidak adil terhadap Raden."
"Paman, bukankah saya tidak bersedih oleh perlakuan Tuan Putri itu?Jadi, mengapa pula Paman harus bersedih untuk saya?"
Paman Saltiwin heran dan memandang kepada Banyak Sumba. Ia sungguh-sungguh heran ketika Banyak Sumba tersenyum cerah kepadanya. Kemudian, dalam kebingungan ia berkata, "Syukurlah kalau Raden tidak merasa terhina... akan tetapi ... saya tidak setuju Tuan Putri bertindak demikian....
Saya lega Raden tidak bersedih, tetapi saya sedih mengapa Tuan Putri bersikap begitu kasar terhadap Raden."
Banyak Sumba memegang pundak orang tua itu, lalu mengajaknya berjalan memasuki rumah. Selagi berjalan, berkatalah ia, "Paman, bergembiralah. Saya akan mendapat upah sebagai pengawal Tuan Putri itu. Itu berarti, saya akan segera melepaskan diri dari kemelaratan saya. Saya akan segera dapat pulang ke tempat kelahiran saya. Saya akan terbebas dari penghinaan atau perlakuan yang tidak tepat. Bukankah hal itu akan menyenangkan hati Paman?"
"Ya, Raden. Tapi, saya tetap bersedih karena Tuan Putri telah bersikap dan bertindak tidak pada tempatnya. Mudah- mudahan, hanya sekali inilah beliau khilaf," sambut Paman Saltiwin, wajahnya masih tetap memperlihatkan kesedihan hatinya.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi. Ia mengerti kesedihan Paman Saltiwin yang makin menyayanginya. Di samping itu, ia pun menyadari bahwa dalam keadaan biasa, ia akan marah terhadap periakuan Putri Purbamanik.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar Banyak Sumba sudah bersiap di lapangan kecil yang terbuka di dekat gerbang puri. Ketika ia datang ke sana, belum ada seorang pun gulang- gulang yang akan dipimpinnya hadir. Ia datang terlalu cepat karena semalaman tidak dapat tidur nyenyak. Semua yang direncanakan pada hari sebelumnya terlalu mendebarkan seluruh jiwanya untuk dapat tidur nyenyak. Oleh karena itu, ketika ayam berkokok, ia membersihkan diri, berdandan, dan berangkat ke tempat yang ditentukan.
Sebagai seorang pengawal, ia berpakaian gulang-gulang biasa. Rambutnya disanggul di atas kepala, agak ke belakang. Ia berpakaian hitam yang tidak bertangan dan tidak berkancing di depannya. Celana yang dipakainya adalah celana son-tog, panjangnya hingga pertengahan betis. Sebuah kain sarung warna nila muda dikenakannya dan digulung setengahnya.
Pada pinggang, sebagai peneguh kain dipakainya ikat pinggang lebar yang menjadi tempat lima belati kecil bergagang gading yang pernah dibelinya dari Kutabarang. Pada ikat pinggang besar ini disisipkan pula badik panjang yang tidak tampak dari luar karena tertutup oleh bajunya.
Pada pergelangan kiri dan kanan, dikenakannya gelang lebar dari kulit. Gelang-gelang kulit ini selain berguna bagi para gulang-gulang dalam perkelahian dari tangan ke tangan, dianggap pula sebagai perhiasan yang mengesankan kegagahan laki-laki Pajajaran. Banyak Sumba mengenakan perhiasan itu bukan saja untuk menyesuaikan diri dengan para calon anak buahnya, tetapi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Tuan Putri bermain sandiwara dan ia pun akan melaksanakan perannya dalam sandiwara itu sebaik-baiknya.
Terompah yang dikenakannya dari kulit tebal yang tidak disamak dan kasar buatannya. Biasanya, ia. tidak pernah mempergunakan kulit demikian, tetapi sengaja ia meninggalkan terompah sehari-harinya yang terbuat dari kulit halus yang disamak dan dihiasi. Hal itu pun dilakukannya untuk menyesuaikan diri dengan permainan Nyai Emas Purbamanik.
Untuk lebih baik memerankan permainan itu, dibawa pula sebatang tombak, walaupun sebagai kepala gulang-gulang yang akan mengawal, sebenarnya ia tidak diharuskan membawa tombak. Akan tetapi, ia sengaja membawanya karena dengan pakaian dan senjata tombak itu, lengkaplah ia berperan sebagai gulang-gulang. Paman Saltiwin yang sangat bersedih melihat Banyak Sumba berpakaian demikian dan membawa tombak, menegurnya sebelum ia berangkat, "Raden, mengapa Raden harus merendah diri dengan membawa senjata prajurit itu?"
"Paman, Tuan Putri memperlakukan saya sebagai gulang- gulang biasa. Untuk menyenangkan hati beliau, saya akan berpakaian dan bertindak sebagai gulang-gulang biasa di hadapan beliau." Paman Saltiwin tidak berkata apa-apa lagi dan mereka pun berpisah.
Lama sekali Banyak Sumba menunggu di dekat gerbang. Setelah dengan gelisah ia berjalan-jalan di lapangan kecil itu, muncullah dari salah sebuah lorong beberapa orang gulang- gulang mendorong kereta. Banyak Sumba segera mendekati mereka dan bertanya, apakah mereka termasuk anggota rombongan yang akan mengawal Tuan Putri ke Kutabarang Mereka mengiyakan dan memberi hormat kepada Banyak Sumba sebagai pemimpin mereka. Banyak Sumba pun segera bekerja memimpin pemasangan kuda pada kereta itu. Setelah pemasangan kuda selesai, diperiksanya pula perlengkapan lain-lain yang ada di dalam kereta dan di bagian belakangnya.
Setelah itu, Banyak Sumba pergi ke tempat senjata dengan beberapa orang gulang-gulang. Panji-panji diambilnya dari kamar senjata, lalu diperiksa dan dibersihkan oleh dua orang gulang-gulang. Tukang kuda dipanggil dan diperintahkan untuk memeriksa ladam serta memberi makan kuda itu.
Pekerjaan itu dilakukan dengan cepat karena selagi ia kecil di Kota Medang, ia biasa mengikuti persiapan rombongan yang hendak bepergian.
Setelah segalanya siap, diperintahkan agar kereta diletakkan di tengah-tengah menghadap ke gerbang puri. Di depan dan di belakang, dibariskan kuda yang siap ditunggangi. Banyak Sumba sendiri menyiapkan kuda di samping kanan kereta karena sebagai pemimpin pengawal, ia harus siap selalu di dekat Tuan Putri untuk sewaktu-waktu menerima perintah.
Ketika langit menjadi merah di sebelah timur dan ketika penghuni mulai bermunculan dari rumah mereka, datanglah rombongan Tuan Putri. Dua orang gulang-gulang yang biasa menjaga kaputren, mengantar Tuan Putri. Sementara itu, empat orang emban disertai emban gemuk yang dipanggil Nyimas Teteh itu, berjalan di belakangnya. Ketika para gulang-gulang memberi hormat, Tuan Putri tertegun melihat Banyak Sumba yang berpakaian gulang-gulang biasa. Banyak Sumba tidak dapat membaca apa yang terlintas dalam hati Tuan Putri. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi renungannya. Ia segera mempersilakan Tuan Putri untuk memasuki kereta yang sudah disiapkannya. Tak lama kemudian, gerbang puri pun dibuka oleh para penjaga. Diiringi bunyi genta kuda yang meriah, rombongan berangkat ke timur menuju Kutabarang.
Sepanjang hari, rombongan bergerak perlahan-lahan karena Kutabarang tidak akan dicapai hari itu juga.
Rombongan akan berhenti di sebuah puri bangsawan yang terletak antara Kutabarang dengan Puri Purbawisesa. Baru keesokan harinya, perjalanan akan dilanjutkan. Dengan demikian, perjalanan ke Kutabarang yang biasanya dapat dicapai dalam waktu satu setengah hari, akan dicapai dalam dua hari satu malam. Dengan demikian, perjalanan pun tidak perlu dilakukan dengan tergesa-gesa. Rombongan dapat menikmatinya sebagai perjalanan pesiar, Tuan Putri dapat melihat-lihat pemandangan dengan leluasa sepanjang jalan. Segala rencana perjalanan itu telah dibuat oleh Tuan Putri.
Rencana itu menyenangkan hati Banyak Sumba.
Perjalanan lama akan memberikan kesempatan kepadanya untuk berdekatan dengan Tuan Putri yang sering menjadi penghuni hatinya. Ia mengharapkan dalam kesempatan itu dapat mengenal lebih banyak sifat-sifat Tuan Putri. Kalau mungkin, ia ingin mengajuk perasaan Tuan Putri kepadanya. Dengan harapan-harapan dan angan-angan yang indah dalam hatinya, Banyak Sumba mengendarai kuda di sebelah kanan kereta Tuan Putri.
Hari masih pagi, bahkan embun masih bergayutan di semak-semak di kiri-kanan jalan. Jalan pun belum berdebu karena belum lama embun bangkit. Angin bertiup lembut, membawa harum bunga-bungaan dan sayup-sayup suara burung dari arah-hutan-hutan yang abu-abu sejauh mata memandang. Suara burung itu kadang-kadang diseling suara percakapan dari dalam kereta, yang sayup-sayup saja terdengar karena Banyak Sumba tidak berani berjalan dekat- dekat padanya. Keseganan itu bukan saja karena ia hendak memerankan seorang gulang-gulang sebaik-baiknya, tetapi juga karena ia tahu bahwa Nyimas Teteh akan mengucapkan sindiran-sindiran yang menyebabkan merah daun telinganya. Bagaimanapun, sindiran-sindiran itu menyenangkannya. Akan tetapi, ia kikuk sekali menerima kegembiraan itu. Pengalaman baru ini, yaitu pertemuan dengan Nyai Emas Purbamanik serta dengan kejadian-kejadian yang selanjutnya menyebabkan terjadinya pergolakan perasaan yang sukar dikendalikannya.
Kegembiraan, kecemasan, ketakutan, harapan, kesayuan bergalau dalam dadanya, hingga ia ragu-ragu dalam bertindak. Segala tindakan yang dilakukan di hadapan Tuan Putri sering menjadi bahan renungannya. Bersamaan itu, sering sekali ia menyalahkan dirinya, mengapa telah bertindak demikian. Mungkinkah Tuan Putri akan marah kepadanya?
Keragu-raguan itu, ditambah dengan sindiran-sindiran Nyimas Teteh, menyebabkan ia kebingungan dan gugup menghadapi Tuan Putri.
Sekarang, ia berpakaian gulang-gulang. Ia bermain sandiwara karena Tuan Putri memberinya pekerjaan sebagai seorang ponggawa. Apakah tindakan itu benar? Pertama kali Tuan Putri melihatnya berpakaian dan bersenjata sebagai prajurit biasa, Tuan Putri terkejut. Mungkinkah Tuan Putri akan merasa disindir? Mungkinkah Tuan Putri menganggapnya terlalu berani? Banyak Sumba terus termenung sambil mengekang kendali kudanya yang gelisah karena tidak biasa berjalan lambat.
Tiba-tiba, dari arah depan tampaklah serombongan pedati kerbau yang mengangkut berbagai macam barang. Rupanya, rombongan itu datang dari Kutabarang menuju kampung- kampung di sebelah barat untuk menjual barang-barang itu kepada para petani. Melihat rombongan itu, lupalah Banyak Sumba pada renungan-renungannya. Ia berseru kepada rombongannya sendiri agar melambatkan jalan kuda, kemudian memacu kudanya sendiri ke depan. Pertama diperiksanya rombongan yang datang itu dengan bertanya kepada penunggang kuda yang menjadi pencalang rombongan. Ternyata, rombongan itu bukan rombongan negara. Ia pun menerangkan bahwa Nyai Emas Purbamanik, putri Pangeran Purbawisesa, sedang dalam perjalanan. Oleh karena itu, Banyak Sumba minta diberi jalan. Pencalang itu memberi hormat kepada Banyak Sumba, lalu berkata, "Dengan senang hati, Juragan Ponggawa. Saya sendiri bekas pamagersari pada Pangeran Purbawisesa, hanya nasib yang membawa saya jauh mengembara. Salam-sembah kepada Tuan Putri."
"Terima kasih, Pencalang, saya akan menyampaikannya kepada Tuan Putri," ujar Banyak Sumba seraya membalikkan kudanya, lalu memacunya ke arah rombongannya sendiri. Ia memberi aba-aba agar rombongannya berjalan secepat- cepatnya. Sementara itu, ia pun melihat rombongan pedati kerbau meminggir dan berhenti di atas rumputan di pinggir jalan. Waktu rombongan berpapasan, pencalang menghaturkan sembah kepada Tuan Putri yang menjenguk dari balik tabir. Banyak Sumba melambaikan tangan kepada pencalang yang menganggukkan kepalanya. Kedua rombongan itu pun berpapasan dengan lancar, walaupun di tempat itu jalan sangat sempit.
Pada saat berpapasan itu, kuda Banyak Sumba terpaksa berdekatan sekali dengan kereta Nyai Emas Purbamanik.
Terdengarlah Nyimas Teteh berseru sambil tertawa, "Gulang- gulang, mudah-mudahan kita sering berpapasan dengan rombongan saudagar!"
"Teteh, lebih dari itu tidak akan saya ampuni lagi." Tiba- tiba terdengar Tuan Putri berkata. Dari nada suaranya terdengar kemarahan, walaupun masih terkendalikan. Semenjak itu, Nyimas Teteh tidak banyak terdengar tertawa ataupun menyindir-nyindir. Hal itu menyenangkan hati Banyak Sumba karena sindiran-sindiran Nyimas Teteh, walaupun isinya menyenangkan, selalu menyebabkan mukanya merah.
Setelah Nyimas Teteh ketakutan, Tuan Putri menjadi berani dan percaya kepada dirinya sendiri. Walaupun dengan nada suara yang masih gemetar, pada suatu tempat, dipanggilnya Banyak Sumba, "Sumba!"
Sebutan namanya yang diucapkan Tuan Putri menyentuh pendengarannya, kemudian menggetarkan hatinya. Ia mengekang kudanya, lalu mendekat ke arah kereta. Karena dipanggil, ia berpaling dan memandang ke arah Tuan Putri, walaupun tidak menatap wajahnya. Ia menjalankan kudanya di samping kereta dengan khidmat, tetapi untuk beberapa lama
Tuan Putri tidak berkata apa-apa. Dengan tidak sengaja dan karena hatinya diliputi pertanyaan, ia mengangkat mukanya memandang ke wajah Tuan Putri. Tampak olehnya Tuan Putri kebingungan, tidak tahu apa yang hendak diperbuatnya. Sementara itu, wajahnya berubah-ubah warna, kadang-kadang pucat, kadang-kadang kemerah-merahan.
Banyak Sumba tiba-tiba lupa bahwa ia sedang bermain sandiwara dan memainkan peran gulang-gulang. Ketika itu, ia hanya menyadari bahwa seorang putri yang sangat cantik duduk malu-malu di hadapannya, dan sikap serta kecantikan putri itu menimbulkan keberaniannya.
"Katakanlah kepada hamba apa yang Tuan Putri kehendaki?" ujar Banyak Sumba dengan lancar dan teguh suaranya.
Rupanya, teguran Banyak Sumba itu membantu melepaskan Tuan Putri dari kegugupannya. Ia hendak berkata, tetapi sebelum itu ia berpaling kepada Nyimas Teteh yang mulai bergerak hendak bersuara. Tuan Putri memandang dengan tajam kepada emban gemuk itu, lalu berkata kepadanya, "Teteh, carikan selendangku dalam jinjingan rotan itu, cepat!" Nyimas Teteh mengerut mendengar bentakan itu dan dengan patuh melaksanakan perintah tuannya.
"Sumba," kata Tuan Putri dengan suara yang masih gemetar, "rupanya kau kenal dengan pencalang rombongan itu. Biasanya, rombongan-rombongan tidak mau mengalah dan tak memberi jalan hingga perjalanan tidak lancar."
"Tidak, Tuan Putri, tetapi pencalang itu kenal dengan Tuan Putri. Ia anak salah seorang pamagersari di puri."
"Oh," kata Tuan Putri, lalu hening untuk beberapa lama.
Tuan Putri mulai kebingungan lagi mencari kata-kata, kadang- kadang ia menunduk, kadang-kadang tengadah memandang ke arah padang-padang, huma, serta hutan yang membentang di kiri dan kanan jalan. Kebingungan Tuan Putri menyebabkan ketegangan dalam hati Banyak Sumba. Sebagai seorang laki- laki yang halus perasaannya, ia menyadari betapa gemetarnya hati Tuan Putri yang telah memberanikan diri mengatasi rasa malu serta gangguan-gangguan dari Nyimas Teteh. Banyak' Sumba merasa terdorong untuk membantu Tuan Putri melepaskan diri dari suasana yang tidak menyenangkan itu. Ia segera berkata, "Pemandangan di sini sangat indah, Tuan Putri."
"Ya ... Sumba, saya senang sekali ... melihatnya," ujar Tuan Putri terputus-putus. Setelah berkata demikian, Tuan Putri mengerling ke arah Nyimas Teteh. Nyimas Teteh tidak berani memandang wajah Tuan Putri. Melihat putri yang masih ragu-ragu itu, Banyak Sumba bertekad untuk memperlancar percakapan dan membangkitkan keberanian gadis yang masih muda itu.
"Sebagian dari bukit-bukit dan padang-padang di sini' pernah hamba jalani, Tuan Putri. Semak-semak itu penuh bunga-bungaan dan di sana, di tepi hutan itu, hamba melihat anak rusa yang manis-manis sekali. Mereka tidak takut kepada manusia, malah beberapa ekor berjalan mengikuti hamba. Burung di hutan itu indah-indah bulu dan suaranya, hamba belum pernah melihat burung indah sebanyak di hutan itu," kata Banyak Sumba sambil mengenang kembali perjalanannya setelah perpisahan dengan si Colat.
"Oh, memang hutan itu indah sekali tampaknya dari sini." "Hamba menganggapnya bukan hutan, Tuan Putri. Hamba
menganggap sebuah taman," ujar Banyak Sumba. Hatinya lega karena Nyai Emas Purbamanik sudah dapat mengatasi kebimbangan serta rasa malunya.
"Seringkah ... kau pergi ke sana?" tanya Tuan Putri. "Baru sekali, Tuan Putri. Itu pun tidak sengaja. Hamba
terpaksa melompati pagar huma dan parit-parit, kemudian
tersesat di hutan itu. Mula-mula hamba ketakutan, kemudian hamba terpesona dan bersyukur telah tersesat ke dalam hutan yang indah itu."
"Oh, ingin sekali saya pergi ke sana!" kata Tuan Putri dengan mata yang bersinar-sinar.
Banyak Sumba memandangi wajah Tuan Putri dengan tidak dapat mengejapkan kelopak matanya sendiri.
"Bagaimana ... kau sampai tersesat dalam hutan itu?" "Hamba pengembara yang terlunta-lunta, Tuan Putri," ujar
Banyak Sumba. Perkataannya itu rupanya menyadarkan Tuan Putri bahwa mereka sedang bermain sandiwara bahwa ia seorang putri yang berhadapan dengan gulang-gulangnya.
Selama ini, percakapan seolah-olah dilakukan oleh seorang kesatria dengan seorang putri. Kini, Tuan Putri mulai mengubah sikapnya dan berkata, "Gu ... gu ... lang-gulang, senang sekali saya mendengar cerita tentang hutan yang indah itu. Apakah hutan itu termasuk wilayah kekuasaan Ayahanda?"
"Hamba kurang mengetahuinya, Tuan Putri. Hamba akan menanyakannya kepada Paman Saltiwin," jawab Banyak Sumba, kemudian memberi hormat kepada Tuan Putri karena ia harus meninggalkan kereta, berhubung dari arah depan datang serombongan penunggang kuda.
Banyak Sumba menegur pemimpin rombongan dan menerangkan rombongan mereka. Para penunggang kuda itu rombongan pedagang yang sedang mencari tempat para petani yang sedang memanen buah-buahan. Mereka para pedagang dari Kutabarang yang berjalan lebih dahulu mendahului rombongan pedati kerbau mereka. Setelah mereka tahu bahwa rombongan yang ada di hadapan mereka adalah rombongan bangsawan, mereka pun memberi hormat dan meminggir.
Setelah mereka berpapasan, Banyak Sumba kembali ke samping kanan kereta. Beberapa kali percakapan tentang berbagai hal terjadi, tetapi ketika hari mulai panas dan jalan mulai berdebu, dengan segan Tuan Putri menutup tabir tipis penutup tingkap kereta. Banyak Sumba tetap melarikan kudanya di samping kereta. Ia sadar bahwa Tuan Putri terus memerhatikannya, dan ia merasa berbahagia sekali menyadari hal itu.
Senja itu, rombongan tiba di puri seorang bangsawan antara Puri Purbawisesa dan Kutabarang. Rombongan menginap di sana sesuai dengan rencana. Sebelum waktu istirahat tiba, Banyak Sumba sibuk memimpin para gulang- gulang yang sepuluh orang banyaknya memeriksa semua kuda, tali-tali perlengkapan, dan kereta. Hal itu perlu dilakukan karena bukan saja ketelitian dibutuhkan setiap waktu, tetapi perjalanan hari pertama yang panjang mungkin sekali banyak menyebabkan perubahan pada perlengkapan. Semua ladam kuda diperiksa, semua kuda diberi makan dan minum secukupnya.
Roda kereta diperiksa, sedangkan kereta dibersihkan dari debu. Mengurus kereta dipimpin Banyak Sumba. Hal itu bukan saja karena kereta harus berada dalam keadaan baik, tetapi dalam mengurusnya, Banyak Sumba mendapat kepuasan tertentu. Ia menyadari bahwa ia sedang mengurus sesuatu yang sangat berdekatan dengan Tuan Putri. Ia menyadari pula bahwa dengan mengurus kereta, memperbaiki, dan membersihkannya, ia sedang memberikan pelayanan kepada Tuan Putri dengan sebaik-baiknya. Hal itu sangat menyenangkan hatinya. Akan tetapi, sebelum ia selesai menunaikan pekerjaannya, seorang penghuni puri datang kepadanya membawa berita bahwa Tuan Putri memanggilnya.
Banyak Sumba membersihkan dirinya. Setelah berpakaian rapi, ia berjalan mengikuti pelayan yang menjemputnya melalui lorong-lorong dari puri kecil itu. Setelah beberapa lama berjalan, ia dibawa masuk ke suatu ruangan yang besar.
Ketika masuk, terpukaulah ia akan segala yang dilihatnya. Tuan Putri dengan pakaian kebesarannya duduk di atas bangku pendek yang ditilami kasur tipis dari sutra. Tangan kanan Tuan Putri bertelekan pada sebuah bantal guling kecil yang sama-sama berwarna hijau muda dengan kasurnya.
Sementara itu, kakinya sebelah menjulur menyentuh lantai yang dialasi permadani. Banyak Sumba yang terpukau berdiri saja di ambang pintu. Mula-mula matanya tertarik oleh sanggul Tuan Putri yang bergulung besar dihiasi mutiara, kemudian oleh leher dan pundak Tuan Putri yang jenjang, membayang di balik sutra tipis dari Katai warna emas, yang juga setengah menyembunyikan pinggang Tuan Putri yang ramping. Banyak Sumba tidak berani memandang wajah Tuan Putri, ia takut mabuk oleh kecantikannya.
Di samping kiri-kanan Tuan Putri, duduk dua orang emban yang dibawanya dari Puri Purbawisesa. Tapi, di antara yang dua orang itu tidak tampak Nyimas Teteh. Ini melegakan hati Banyak Sumba karena hubungan mereka tidak akan terganggu. Ketika ia masih tertegun demikian, terdengarlah Tuan Putri berkata, "Sumba, duduklah." Mendengar namanya dipanggil dan menyadari bahwa Tuan Putri tidak memanggilnya dengan sebutan gulang-gulang, bergetarlah hati Banyak Sumba. Tuan Putri tidak bermain sandiwara lagi dalam ruangan itu. Hal itu mendebarkan hati Banyak
Sumba karena ia menyadari bahwa hubungan-hubungan yang wajar dan jujur akan dapat dilakukan dengan Tuan Putri. Seraya menghaturkan hormat dengan menundukkan kepala, Banyak Sumba duduk di atas permadani. Ia tidak menyembah untuk menyatakan kepada Tuan Putri bahwa ia pun tidak berhak bermain sandiwara lagi dan tidak akan menyembunyikan kesamaannya. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya menyembah seorang putri yang lebih muda.
"Saya memanggil karena ada perundingan yang harus kita bicarakan sore ini juga," lanjut Tuan Putri, kebimbangan dan keragu-raguan dari kata-katanya sudah berkurang setelah percakapan sebelumnya.
"Katakanlah masalahnya, Tuan Putri."
"Ada. dua jalan dari tempat ini ke Kurabarang Saya dengar yang satu lebih jauh daripada yang lain. Akan tetapi, yang agak jauh ini melalui hutan-hutan dan lembah-lembah yang indah pemandangannya. Kesempatan yang sangat baik bagi saya untuk menikmati alam, apalagi didampingi oleh orang yang sudah banyak mengembara dan juga mempunyai rasa keindahan."
Suatu pujian terhadap dirinya diterima dari putri yang memesona seluruh jiwanya. Pujian itu menggetarkan hati Banyak Sumba, tetapi ia tidak mabuk kepayang. Pikirannya mulai menghadapi usul Tuan Putri yang ingin memilih jalan yang lebih jauh. Ia mengerti bahwa dengan memilih jalan yang lebih jauh, mereka akan lebih lama berdekatan. Itu akan sangat menyenangkan karena akan lebih mendekatkan dan mengeratkan hubungan mereka. Akan tetapi, satu hal tidak dilupakan oleh Banyak Sumba yaitu jalan yang agak jauh ini akan menyebabkan rombongan berjalan malam. Beberapa kali, terdengar berita ada beberapa pedati kerbau yang dirampas muatannya, mungkin oleh anak buah si Colat yang butuh perbekalan atau oleh gerombolan lain. Dengan kesadaran akan hal-hal itu, terpecahlah pikirannya. Pada satu pihak ingin sekali ia berdekatan dengan Tuan Putri lebih lama lagi, di lain pihak ia pun perlu menghindarkan Tuan Putri dari malapetaka.
Dengan sepuluh orang gulang-gulang, sebenarnya ia tidak perlu takut melalui jalan itu. Akan tetapi, alangkah bodohnya kalau ia mengambil risiko hanya untuk bersama-sama beberapa saat dengan Tuan Putri. Akhirnya, pikiran sehatnya menang dan ia pun berkata kepada Tuan Putri, lembut tapi tegas, "Tuan Putri, jalan yang satu ini benar-benar menyenangkan karena pemandangannya indah. Di samping itu, Tuan Putri akan dapat melihat binatang hutan, yang buas atau yang tidak buas, berkeliaran di padang-padang di kanan- kiri jalan. Akan tetapi, kalau jalan itu yang diambil, rombongan akan tiba di Kutabarang sebelum tengah malam. Jalan itu biasa pula dipergunakan oleh perampok untuk mengambil perbekalan mereka. Para jagabaya yang sedikit jumlahnya dan agak jauh asramanya dari tempat itu, sukar sekali mengejar mereka. Itulah sebabnya hamba usulkan agar kita mengambil jalan yang satu lagi sesuai dengan rencana."
Tampaknya, Tuan Putri kecewa mendengar keterangan itu.
Setelah termenung dan menunduk sebentar, ia berkata, "Bukankah sepuluh orang gulang-gulang merupakan pasukan yang sangat besar dan perampok biasanya tidak lebih dari sepuluh orang?"
"Ya, Tuan Putri. Akan tetapi, dengan mudah mereka akan dapat mengumpulkan kawan-kawannya yang lain seandainya mereka melihat rombongan besar. Di samping itu, " Banyak
Sumba ragu-ragu sebentar sebelum mengucapkan kata- katanya, tetapi sebagai laki-laki ia harus teguh dan berani menentang keinginannya sendiri kalau keinginan itu tidak baik dan berbahaya. Setelah menelan liurnya, ia melanjutkan, "... Di samping itu, pemandangan-pemandangan yang indah akan kita lihat pula dijalan yang direncanakan semula."
Setelah berkata demikian, ia mengangkat mukanya memandang Tuan Putri karena ia ingin tahu bagaimana sikap Tuan Putri terhadap penolakan itu. Ternyata, Tuan Putri pun memandangnya seolah-olah menyelidiki, apakah penolakan itu dikemukakan secara jujur atau dibuat-buat. Bagaimanapun, Tuan Putri rupanya sudah menduga bahwa sebenarnya Banyak Sumba pun ingin lebih lama berdekatan dengannya.
Dan hal itu hanya dapat dilakukan di jalan yang satu itu. Akan tetapi, Banyak Sumba dapat mengatasi kecenderungan hatinya yang berbahaya itu.
Mereka berpandangan untuk beberapa lama. Secara bersamaan, Tuan Putri tersenyum, lalu menunduk. Setelah itu, dengan cepat ia mengangkat mukanya kembali dan berkata dengan teguh, "Bukankah... kau suka sekali pada pemandangan yang indah? Dari percakapan sore tadi, saya mengambil kesimpulan bahwa perasaanmu sangat peka akan keindahan, Sumba."
"Benar, Tuan Putri. Keinginan untuk melalui jalan yang jauh itu keras sekali dalam hati hamba, hampir saja pikiran hamba dan rasa tanggung jawab hamba dikalahkannya.
Bagaimanapun, hamba dapat menikmati perjalanan ini lebih lama kalau kita mengambil jalan yang panjang itu. Akan tetapi, hamba bertanggung jawab akan keselamatan Tuan Putri."
Tuan Putri termenung sebentar, lalu tersenyum terang- terangan dan tanpa malu-malu berkata, "Perasaan perempuan yang meluap-luap sewaktu-waktu harus diimbangi oleh pikiran sehat seorang pria. Saya berterima kasih kepadamu, Sumba, karena telah mengalihkan perhatian saya dari godaan perasaan yang bukan-bukan itu." "Sama sekali tidak mengherankan perasaan itu, Tuan Putri.
Hamba sendiri ingin sekali melalui jalan itu. Seandainya kita akan pergi lagi ke Kutabarang di masa-masa yang akan datang, jalan itu dapat diambil, asalkan kita menetapkan waktu secara lain. Sama sekali hamba tidak menganggap perasaan Tuan Putri itu merupakan hal yang bukan-bukan, bahkan hamba menganggapnya sebagai sesuatu perasaan wajar, yang timbul dari hati yang mencintai keindahan."
"Rupanya engkau benar-benar mencintai keindahan, Sumba?"
"Saya berterima kasih kepada Tuan Putri karena dengan tugas pengawalan ini, hamba mabuk kepayang oleh keindahan."
Tuan Putri tertegun sejenak, kemudian wajahnya kemerahan dalam cahaya lampu yang sangat terang itu. Banyak Sumba terkejut dan menyesal telah mengucapkan perkataan yang secara langsung mengemukakan isi hati yang sebenarnya. Akan tetapi, kata-katanya sudah terlontar dan menyebabkan tercipta suasana yang kaku. Betapapun, Tuan Putri masih sangat muda. Oleh karena itu, ia masih pemalu. Itulah sebabnya, dalam keheningan itu, Banyak Sumba mencoba mencari kata-kata untuk mengubah suasana.
Akhirnya, terpikir olehnya bahwa saatnya sudah tiba untuk mohon diri karena sudah lama sekali ia berada dalam ruangan itu. Akan tetapi, perkataannya tidak mau keluar juga. Berat baginya untuk meninggalkan kehadiran Tuan Putri, sedangkan kesempatan semacam itu mungkin tidak mudah untuk didapatnya kembali. Akan tetapi, suasana yang menekan itu pun harus dihindarikan demi Tuan Putri sendiri. Akhirnya, sebagai kesatria yang tidak boleh mementingkan dirinya sendiri, ia berkata, "Tuan Putri, seandainya tidak ada lagi yang akan dirundingkan, perkenankan hamba mohon diri."
"Nanti dulu, Sumba," kata Tuan Putri. Kata-katanya terlontar begitu saja, seolah-olah tidak terkendali. Mendengar itu, Banyak Sumba terkejut bercampur senang. Rupanya Tuan Putri pun terkejut oleh perkataannya sendiri. Ia menundukkan kepala dan sanggulnya yang indah berhias mutiara itu bergerak perlahan-lahan. Sementara itu, jari-jari tangannya yang tirus mempermainkan kalung. Sekarang, Banyak Sumba mencari kembali kata-kata untuk menghilangkan suasana kaku. Tuan Putri mengangkat kepala, lalu bertanya, "Sumba, ceritakanlah kepadaku asal usulmu."
Mendengar permintaan itu, tertegunlah Banyak Sumba. Ia menunduk memandangi lukisan-lukisan indah pada permadani yang didudukinya. Lama sekali ia tidak dapat berkata, kenangannya kembali pada nasibnya, pada segala pengalaman yang telah dilaluinya, pada tugas yang diemban tetapi belum ditunaikannya. Kesedihannya tiba-tiba menyesakkan dadanya, berbaur dengan kerinduan akan tempat kelahiran dan keluarganya.
Rupanya,' Tuan Putri menyadari bahwa Banyak Sumba menjadi sedih mendengar pertanyaan itu. Tuan Putri segera berkata dengan lemah lembut, "Sumba, maafkan saya.
Seandainya asal usulmu merupakan rahasia dan seandainya menceritakan hal itu dapat menyedihkanmu, janganlah kau menceritakannya. Saya tidak berhak meminta hal-hal yang tidak mungkin dipenuhi. Maafkanlah."
Banyak Sumba demikian terharu akan kehalusan perasaan Tuan Putri dan begitu besar perasaan terima kasihnya karena Tuan Putri telah menarik kembali permohonannya, hingga ia lupa bahwa ia tidak diharuskan menyembah kepadanya.
Sambil menyembah, Banyak Sumba memohon diri untuk kedua kali. Sekali lagi, Tuan Putri dengan cepat mencegahnya dan berkata, "Saya ada rencana, Sumba."
Banyak Sumba diam untuk beberapa lama, menanti penjelasan Tuan Putri. Akan tetapi, penjelasan itu tidak diucapkan juga. Baru ketika ia mengangkat mukanya, Tuan Putri berkata, "Saya kira, kau sudah banyak mengembara dan oleh karena itu tahu bagian-bagian kerajaan yang memiliki pemandangan yang indah, puri-puri yang megah, dan kota- kota yang ramai. Saya ada rencana untuk berkunjung ke Pakuan Pajajaran. Sudah lama saya tidak berjumpa dengan Ayahanda. Saya akan meminta izin kepada Pamanda Girijaya. Kalau permohonan itu dikabulkan, saya akan meminta kau memimpin kembali para pengawal."
Rencana itu sangat menyenangkan Banyak Sumba. Ia segera berkata, "Hamba menyokong rencana Tuan Putri karena hamba pun ingin sekali mengunjungi Pakuan Pajajaran. Mudah-mudahan, pamanda Tuan Putri berkenan."
"Sumba, kalau begitu, saya akan memohon izin segera setelah kita kembali dari Kutabarang. Sebaiknya kita tidak terlalu lama di Kutabarang karena perjalanan ke Pakuan Pajajaran lebih jauh dan lebih lama, bukan?"
"Ya, Tuan Putri," ujar Banyak Sumba. Lalu, Tuan Putri bertanya tentang itu dan ini, membicarakan segala rencana itu dengan Banyak Sumba. Larut malam, baru Banyak Sumba diizinkan meninggalkan ruangan itu. Setiba di tempatnya menginap dalam puri, Banyak Sumba tidak segera tidur.
Pengalaman yang baru dilaluinya begitu menggetarkan hatinya. Dan ketika ia tidur, mimpi-mimpi yang indah memenuhi khayalnya.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi rombongan telah keluar dari gerbang puri kecil itu dan bergerak ke timur, ke Kutabarang. Hari itu, Tuan Putri makin akrab dan makin berani berbincang- bincang dengan Banyak Sumba. Nyimas Teteh rupanya mendapat murka Tuan Putri. Ia menjauh dan tidak berani menyindir-nyindir dan bermain-main lagi.
Setiba di Kutabarang, Nyai" Emas Purbamanik langsung mengunjungi rumah besar tempat tinggal bangsawan yang masih ada hubungan darah dengan keluarganya. Banyak Sumba dengan rombongan ditempatkan di suatu pesanggrahan yang berada di luar benteng. Akan tetapi, keesokan harinya pagi-pagi benar, panggilan tiba kepada Banyak Sumba yang segera berangkat memasuki Kutabarang. Ternyata, Tuan Putri meminta pengawalannya di dalam kota. Tugas ini sangat menggembirakan Banyak Sumba.
Banyak Sumba mengiringkan Tuan Putri-yang ditemani seorang emban keluar masuk lorong-lorong tempat para saudagar menebarkan dagangan mereka. Bermacam-macam cita dari negeri Katai, ratna mutu manikam dari negeri Bagdad, dan seribu satu macam barang-barang yang indah ada di pasar Kutabarang. Barang-barang buatan anak negeri sendiri tidak kalah banyaknya di pasar itu. Gading gajah, cula badak yang berukir, perhiasan-perhiasan dari tanduk yang disaputi emas dan ditatah dengan permata tidak kurang pula. Di samping itu, ada pula pakaian laki-laki yang terbuat dari kain ataupun kulit yang disamak, serta senjata hiasan yang indah-indah buatannya. Akan tetapi, segala benda itu kurang menarik perhatian Banyak Sumba ketika itu. Tuan Putri yang ada di dekatnya merebut seluruh perhatiannya.
Tuan Putri memilih beberapa perhiasan yang indah-indah dan berulang-ulang bertanya kepada Banyak Sumba, "Sumba, bagaimana pendapatmu tentang kalung ini?"
Banyak Sumba yang banyak tahu tentang aneka macam perhiasan dan mutu pembuatannya membantu Tuan Putri memilihkan barang-barang itu dengan pendapat-pendapatnya.
"Rupanya engkau ahli dalam soal perhiasan, Sumba." "Di kota tempat kelahiran hamba ... rumah hamba
berdekatan dengan pandai emas, Tuan Putri," ujar Banyak
Sumba.
"Oh." Pada suatu tempat, Nyai Emas Purbamanik sangat tertarik oleh sebuah sisir hiasan sanggul yang terbuat dari gading dan berselaput emas serta bertakhtakan intan permata.
"Dua keping emas, Tuan Putri," kata pedagang itu dengan hormat.
"Oh, terlalu mahal, saya sudah terlalu banyak mengeluarkan uang," kata Tuan Putri sambil menjauh, tetapi matanya masih tertambat kepada benda yang indah itu.
Banyak Sumba tertegun sebentar, kemudian berjalan mengiringkan Tuan Putri dalam kesibukan orang-orang yang sedang berjual beli itu.
Setelah ia mengantar kembali Tuan Putri ke rumah bangsawan tempatnya menginap, Banyak Sumba tidak segera kembali ke pesanggrahan di luar benteng. Ia berjalan ke arah lapangan tempat pasar berada, lalu dibelinya sisir hiasan yang terbuat dari gading itu.
"Saya telah menduga bahwa akhirnya Tuan Putri akan menyuruhmu membeli perhiasan ini. Beliau sangat berkenan tadi."
"... Ya, Paman," ujar Banyak Sumba sambil melangkah meninggalkan tempat itu menuju ke gerbang, kemudian berjalan ke tempat ia menambatkan kuda.
Perjalanan pulang dari Kutabarang tidak kurang membahagiakannya bagi Banyak Sumba. Nyai Emas Purbamanik sudah tidak malu-malu atau ragu-ragu lagi berbincang-bincang dengannya. Dan dalam perjalanan pulang itu, rencana untuk pergi ke Pakuan Pajajaran dimatangkan.
"Oh, saya berdoa mudah-mudahan Pamanda Girijaya mengizinkan."
"Hamba pun berdoa, Tuan Putri," ujar Banyak Sumba. "Begitu sampai puri, saya akan menyampaikan rencana itu, Sumba."
"Hamba akan menunggu berita dari Tuan Putri," sahut Banyak Sumba, "hamba pun tidak sabar menunggu berita itu, Tuan Putri," ia melanjutkan perkataannya dengan berani, lupa bahwa ia sedang bermain sandiwara sebagai gulang-gulang.
Kemudian, Tuan Putri bercerita tentang pengalamannya di masa kecil ketika ia bersama Ayahanda dan Ibunda yang telah tiada, tinggal di ibu kota Pakuan Pajajaran. Diceritakannya tentang pintu gerbang kota yang sangat besar, tentang menara-menara yang terbuat dari kayu menjulang di atas benteng, tentang rumah-rumah yang indah-indah, taman- taman luas yang ditanami beribu macam bunga dan sebagainya.
"Kita akan menyewa sebuah kereta kecil dan engkau akan saya bawa berkeliling kota," ujar Tuan Putri, lupa bahwa yang diajaknya bicara seorang pemimpin pengawal dan bukan orang yang pantas diajak berbicara demikian. Rupanya, setelah perkataannya itu diucapkan, baru Nyai Emas Purbamanik sadar akan kekhilafannya. Ia segera menyusul kalimatnya, "Maksud saya, engkau mengawalku mengelilingi kota."
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa karena apa pun yang dikatakan Tuan Putri, semuanya menyenangkannya belaka, membawa perasaannya terbang ke langit kebahagiaan.
Kemudian, Nyai Emas Purbamanik berseru karena di tepi jalan dilihatnya lapangan kecil yang ditumbuhi bunga-bungaan yang indah-indah warnanya.
Rombongan pun berhenti sebentar dan Banyak Sumba mengiringkan Tuan Putri melihat-lihat bunga dan memetik beberapa kuntum. Perjalanan diteruskan kembali dan setelah menginap semalam di puri yang pernah disinggahi rombongan dalam perjalanan menuju Kutabarang, keesokan harinya— pada senja hari—tibalah rombongan di Puri Purbawisesa.
Malam itu, ketika Banyak Sumba sedang bercakap-cakap dengan Paman Saltiwin, datanglah seorang emban diiringkan seorang gulang-gulang. Ternyata, kedua orang pendatang itu utusan Tuan Putri yang membawa berita buat Banyak Sumba. Dengan tangan gemetar dan hati tidak sabar, Banyak Sumba membuka kotak lontar kecil yang indah, lalu mengambil lontar yang putih bersih dan membaca tulisan yang ada di dalamnya,
Sumba, Pamanda memberikan izin itu. Datanglah besok pagi-pagi, kita membuat rencana bersama-sama — Purbamanik.
Berulang-ulang Banyak Sumba mengucapkan terima kasih kepada gulang-gulang dan emban yang mengantar surat itu, hingga kedua orang itu keheranan oleh kelakuannya.
Demikian juga Paman Saltiwin yang melihat perubahan pada tingkah laku Banyak Sumba ketika itu. Malam itu, Banyak S.umba sendiri tidak dapat tidur nyenyak. Segala harapannya untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan Nyai Emas Purbamanik menjadi mimpi yang menghiasi tidurnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Banyak Sumba mengatur latihan murid-muridnya, lalu berangkat ke kaputren.
"Engkau terlambat, Sumba."
"Maafkan hamba, Tuan Putri, hamba harus mengurus dulu murid-murid hamba," jawab Banyak Sumba. Sekarang, Nyai Emas Purbamanik yang tampak merasa bersalah, "Sayalah yang harus dimaafkan, mengundangmu tidak memperhitungkan waktu," katanya. Banyak Sumba tidak terlalu mendengarkan permintaan maaf itu. Yang menyenangkannya justru teguran Tuan Putri yang pertama. Karena dengan adanya teguran itu, ia tahu bahwa Tuan Putri telah lama menunggu dan mengharap-harapkan kedatangannya. Perundingan pun dimulailah, tetapi tidak segera menghasilkan keputusan karena Tuan Putri sering sekali mengalihkan percakapan. Akhirnya, keputusan itu pun ditentukan, yaitu mereka akan berangkat ke ibu kota Pakuan Pajajaran dalam waktu lima hari sejak hari itu.
"Kita akan berhenti dua kali, pertama, di puri Pamanda Girang Pinji, kedua, di puri Pamanda Banga. Kalau perlu, kita dapat menginap di kampung, tentu saja kampung yang besar dan diperkuat dengan pagar tinggi," kata Tuan Putri.
"Baik, Tuan Putri," kata Banyak Sumba.
"Kebetulan bulan purnama, sehari sebelum kita sampai ke Pakuan itu, Sumba," sambung Tuan Putri. Mereka berpandangan sekejap, kemudian mengalihkan tatapan masing-masing.
Hari-hari sebelum keberangkatan itu pun dipergunakan Banyak Sumba untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan. Walaupun secara resmi para pengawal belum diperintah untuk bersiap-siap, Banyak Sumba sudah menghubungi mereka dan memberi tahu adanya rencana tersebut. Semua kuda tidak boleh dipergunakan untuk perjalanan yang terlalu melelahkan, demikian permintaan Banyak Sumba kepada mereka itu.
Mereka juga senang mendengar rencana itu, bukan saja karena mereka ingin tahu dan membuktikan sendiri tentang keramaian ibu kota Pakuan, tetapi mereka pun merasa bahwa Banyak Sumba lebih mengerti dan menenggang kepentingan- kepentingan mereka daripada pemimpin mereka yang sedang sakit. Itulah yang didengar Banyak Sumba secara tidak langsung dari percakapan-percakapan mereka.
Akan tetapi, dua hari sebelum rencana keberangkatan tiba, datanglah Jasik dan Arsim dari Kutabarang.
"Raden, Sunan Ambu telah menganugerahkan kesempatan baik kepada kita untuk dapat menemukan guru itu!" kata Jasik sambil menghaturkan sembah kepada Banyak Sumba. "Kita pasti mendapat guru itu, Den Sumba!" Arsim menyela dengan penuh semangat.
"Ceritakan kepadaku, apa yang terjadi," ujar Banyak Sumba.
"Begini, Raden," lanjut Jasik, "seminggu berselang, dalam suatu keramaian terjadi perkelahian antara dua kelompok murid dari dua perguruan. Para jagabaya terlambat datang hingga sudah jatuh beberapa orang korban. Tidak ada korban
_ jiwa, tetapi kedua pihak tidak dapat melewatkan peristiwa itu tanpa dendam. Kebetulan, kami mendengar bahwa setelah itu, terjadi perkelahian-perkelahian di huma-huma dan di padang-padang sekitar Kutabarang. Akhirnya, kami mendengar bahwa pada bulan purnama ini akan diadakan perkelahian besar-besaran dan kedua pihak yang terlibat akan berkelahi sampai titik darah penghabisan."
Mendengar itu, dan terutama mendengar perkataan "bulan purnama", bimbanglah Banyak Sumba. Ia sudah berjanji dengan gadis yang makin lama makin erat mengikat batinnya, tetapi ia pun menyadari bahwa mencari guru adalah tugasnya yang utama. Yang lain-lain harus dikesampingkan. Ia sungguh-sungguh bingung, lalu berkata kepada kedua orang
panaka-wannya, "Pastikah kalian bahwa kita akan menemukan guru yang baik?"
Mendengar pertanyaan itu, heranlah Jasik dan Arsim. Jasik dengan mata yang tidak berkedip memandang ke arah Banyak Sumba sambil berkata, "Raden, kita harus mencoba menemukannya di sana. Ini kesempatan yang luar biasa baiknya. Dalam perkelahian mati-matian ini akan dikeluarkan seluruh ilmu mereka yang terlibat. Di sanalah kita akan menemukan guru atau sekurang-kurangnya Raden dapat mencoba kepandaian pemenangnya nanti."
"Tapi, Sik..” Sebelum Banyak Sumba mengucapkan kalimatnya, Arsim yang juga keheranan oleh sikap Banyak Sumba menyela, "Raden, sebenarnya saya harus melaporkan rencana perkelahian itu kepada para jagabaya. Bagaimanapun, Perguruan Gan Tunjung adalah perguruan terhormat dan tunduk kepada perintah-perintah kerajaan. Oleh karena itu, seharusnya saya mencegah rencana itu. Saya sengaja tidak mencegah rencana yang mungkin menimbulkan banyak kematian itu. Hal itu hanya demi Raden, demi kepentingan Raden."
Mendengar penjelasan itu, tertegunlah Banyak Sumba. Setelah beberapa saat terdiam, berkatalah dia, "Baiklah,
Kawan-kawan. Akan tetapi, berilah saya waktu untuk berpikir barang satu malam. Bukankah kita tidak perlu berangkat sekarang juga?"
"Dua hari akan kita gunakan untuk perjalanan dari sini.
Kalau memacu kuda satu hari dan tengah malam, kita tiba di Kutabarang," kata Jasik sambil menghitung-hitung dengan jarinya.
"Dalam empat hari ini, bulan mulai purnama," sela Arsim. "Mungkin ada waktu," kata Banyak Sumba, "mungkin saya
tidak perlu mempertimbangkan dalam satu malam."
"Baiklah, kalau begitu, Raden. Tidak ada salahnya kita beristirahat sejenak dalam puri bagus ini, Sik," ujar Arsim sambil melihat-lihat ke arah lapangan dari serambi rumah Paman Saltiwin.
Malam itu, Banyak Sumba hampir tak dapat tidur.
Sekarang, sadarlah ia bahwa sebagai putra tertua wangsa Banyak Citra yang sedang prihatin, ia tidak boleh punya harapan dan keinginan-keinginan yang wajar sebagai seorang putra bangsawan. Semua kegembiraan dan pengembaraan yang menyenangkan, kasih asmara yang indah, bukanlah bagiannya. Ia kesatria yang hidup untuk menegakkan kehormatan keluarga, dan kalau perlu harus bersedia melepaskan nyawanya sendiri untuk kehormatan itu.
Di samping itu, ia pun menyadari bahwa selama ini ia telah melalaikan tugas utamanya. Bahkan, hampir melupakannya. Ia telah tergoda oleh kecantikan Putri Emas Purbamanik.
Karenanya ia hampir menolak ketika panakawan-panakawan- nya mengajak dia pergi untuk menunaikan tugas. Ia telah menghamburkan perbekalannya, di antaranya untuk membeli sisir gading berhias itu, yang dalam hati kecilnya hendak dihadiahkannya kepada Putri Purbamanik.
Kedua kesadarannya itu menyebabkan kemarahan dalam hatinya, marah dan kebencian pada dirinya. Ia bangkit dari alas tidurnya, lalu berjalan ke arah kotak tempat menyimpan alat-alat tulisnya. Ditulisnya surat singkat kepada Nyai Emas Purbamanik:
Tuan Putri, suatu hal yang sangat mendesak menyebabkan hamba tidak dapat menunaikan tugas yang telah dibebankan oleh Tuan Putri. Hamba tidak dapat mengawal perjalanan Tuan Putri ke ibu kota Pakuan Pajajaran, bahkan tak mungkin lebih lama lagi tinggal dalam Puri Purbawisesa — Salam hormat hamba, Banyak Sumba.
Surat itu diberikan kepada pesuruh malam itu juga.
Seorang anak yang kebetulan belum tidur. Setelah melepas pesuruh itu, Banyak Sumba mengetuk pintu bilik tempat Jasik dan Arsim menginap, "Kita'pergi besok, pagi-pagi benar, setelah saya menyampaikan berita kepada Aria Girijaya tentang kepergian saya. Jadi, siap-siaplah."
Setelah itu, masuklah Banyak Sumba ke ruangannya. Akan tetapi, baru saja kesadarannya memudar dan kantuknya memberat, datanglah seorang gulang-gulang mengetuk rumah Paman Saltiwin.
"Surat bagi Raden dari Tuan Putri," kata gulang-gulang itu singkat. Banyak Sumba membuka kotak lontar yang indah yang telah dikenalnya, lalu membaca tulisan yang terukir pada sehelai lontar putih bersih,
Janganlah meninggalkan puri dahulu, sebelum memberi penjelasan kepada saya. Datanglah besok pagi-pagi — Purbamanik.
Banyak Sumba bimbang. Ia khawatir, kalau sudah berhadapan dengan Nyai Emas Purbamanik, ia akan lemah kembali. Akan tetapi, hati kecilnya berkata bahwa ia harus bertemu barang sekali lagi dengan Tuan Putri sebelum ia meninggalkan puri itu. Perasaan sayu menggenangi hatinya ketika ia menyadari bahwa kepergiannya mungkin akan merupakan awal perpisahan untuk selama-lamapya. Maka gemetarlah hatinya, antara menuruti dan menolak panggilan Tuan Putri. Pada satu pihak, ia ingin membebaskan diri dari pengaruh Tuan Putri yang dianggapnya hampir membelokkannya dari tugas yang diembannya. Di lain pihak, ia merindukan Nyai Emas Purbamanik dan berhasrat untuk bertemu walaupun hanya sekejap.
"Raden, Tuan Putri mengharapkan balasan sekarang juga." "Baiklah, Paman," ujar Banyak Sumba sambil melangkah ke
arah kotak surat, lalu menulis,
Hamba datang, Tan Putri, di saat matahari terbit - Salam hormat hamba, Banyak Sumba.
Setelah menyerahkan surat itu kepada gulang-gulang, Banyak Sumba sekali lagi mengetuk pintu ruangan panakawan-panakawannya, lalu memberitahukan bahwa keberangkatan mereka ditangguhkan jadi siang hari. Kedua orang panaka-wannya sambil mengisik mata mereka hanya mengatakan, "Ya", lalu berbaring kembali. Tinggal Banyak Sumba yang tidak dapat tidur, berjalan mondar-mandir di serambi rumah Paman Saltiwin yang luas itu. Ketika bulan timbul, makin sadarlah ia akan keadaannya, makin terharu birulah perasaannya.
Setelah malam bertambah larut dan laju dini hari, mungkin karena kurang tidur dan penuh dengan pertentangan perasaan, timbullah pikiran-pikiran yang liar dalam kepalanya. Bagaimana kalau ia memasuki kaputren dan melihat Tuan Putri barang sekejap, kemudian pagi-pagi benar melarikan diri dari puri itu? Bukankah itu cara yang baik sekali untuk melepaskan diri dari ikatan halus yang mengeratkan perasaannya terhadap Tuan Putri? Banyak Sumba mondar- mandir beberapa lama, kemudian pikirannya yang liar itu menjadi tekad.
Ia berjalan meninggalkan rumah Paman Saltiwin menuju kaputren. Malam sudah sunyi sekali, tak seorang pun tampak di luar rumah dalam puri itu, kecuali gulang-gulang yang samar-samar bergerak bagai bayang-bayang di lorong-lorong yang diterangi lampu. Hanya di depan gerbang kaputren dua orang gulang-gulang mondar-mandir untuk menghilangkan kantuk mereka. Melihat dua orang itu, Banyak Sumba berpaling dan tertegun dalam gelap. Ia berpikir, mencari jalan agar dia dapat memasuki kaputren tanpa diketahui orang.
Akhirnya, diputuskannya untuk memanjat dinding di bagian samping benteng kaputren. Ia pun mengendap-endap menuju ke sana. Di sana, dinding tidaklah begitu tinggi. Di samping itu, akar pohon-pohonan yang tumbuh di atas benteng dapat dipergunakannya untuk pegangan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti tanpa risiko. Pohon-pohon yang tumbuh di atas benteng tidaklah besar, dan akar-akarnya pun mungkin rapuh. Akan tetapi, kekacauan pikiran Banyak Sumba tidak memperhitungkan hal-hal seperti itu.
Setelah melihat ke kanan dan ke kiri, serta yakin tidak ada seorang pun bergerak di bawah bayang-bayang dinding dan, di lorong-lorong dalam bagian puri itu, mulailah ia meraba- raba dinding benteng. Ditancapkannya ujung jarinya di sela- sela batu pada tanah yang mengeras. Dipegangnya akar-akar kecil sebagai pegangan. Perlahan-lahan, ia memanjati benteng kaputren yang tingginya paling sedikit dua kali tinggi manusia. Karena kemauan dan kenekatan saja, tidak berapa lama kemudian dia dapat berpegang pada akar agak besar yang menjulur dari suatu perdu yang tumbuh di atas benteng itu.
Tak lama kemudian, ia sudah duduk di atas benteng, melihat ke arah bangunan kaputren.
Dengan heran tapi gembira; ia melihat bahwa jendela kaputren masih terbuka, walaupun hari sudah menuju subuh. Lampu minyak yang terang benderang menyala di ruang Nyai Emas Purbamanik. Dan seorang wanita yang duduk di atas tilam serta berkerudung adalah Nyai Emas Purbamanik. Tuan Putri menunduk seraya tubuhnya berguncang-guncang perlahan-lahan, sementara itu berulang-ulang tangan kanannya menutup mukanya dengan saputangan yang tidak lepas-lepas dipegangnya. Walaupun Banyak Sumba berada di tempat yang berjauhan dari Tuan Putri, ia dapat memastikan bahwa Tuan Putri sedang bersedih hati dan menangisi sesuatu.
Entah berapa lama Banyak Sumba duduk di atas dinding benteng dan memandang ke dalam kaputren itu. Pada suatu saat, tampaklah olehnya Nyimas Teteh berjalan, lalu duduk di belakang Tuan Putri. Terdengar ia berkata, walaupun sayup- sayup, "Sudahlah, marilah kita tidur, nanti Nyai sakit," kata Nyimas Teteh. Putri Purbamanik tidak menjawab, tubuhnya makin kuat berguncang.
'Janganlah kaitkan hatimu kepada orang yang tak tentu asal usulnya. Ia orang asing, dan siapa tahu orang jahat yang dicari-cari negerinya. Bukankah telah Nyai katakan bahwa dia merahasiakan asal usulnya? Sekarang, marilah kita tidur.
Esok-lusa, Nyai pasti melupakannya." Putri Purbamanik mengangkat kepalanya dan memandang ke arah Nyimas Teteh. Wajahnya yang cantik jelita tampak jelas dari benteng itu.
Banyak Sumba memutuskan, ia tidak akan melarikan diri malam itu juga. Ia akan menghadapi Putri Purbamanik keesokan harinya, sesuai dengan janji yang telah ditulisnya.
Ia tidak tidur malam itu. Ketika ayam jantan berkokok keesokan harinya, ia bangkit dari alas tidurnya, lalu membersihkan diri. Dikenakan pakaiannya yang terbaik, pakaian seorang kesatria karena ia tak hendak lagi menyembunyikan diri dan merahasiakan siapa sebenarnya dia. Ia meninggalkan rumah Saltiwin dan berjalan lambat-lambat ke arah kaputren karena matahari belum terbit.
Ia sampai di kaputren pagi sekali, ketika ayam masih berkokok bersahutan dan matahari diselaputi embun di sebelah timur. Namun, begitu dilewatinya gerbang kaputren, ternyata ruangan-ruangan sudah dibuka. Para emban seolah- olah sudah menunggu kedatangannya. Ia dipersilakan masuk ke ruangan Nyai Emas Purbamanik. Ia berjalan dengan menunduk, tidak menyangka bahwa Nyai Emas Purbamanik sudah siap menunggunya. Begitu tabir dibuka, ia berhadapan dengan putri yang muda remaja itu, duduk menghadapinya.
Melihat Banyak Sumba yang berpakaian kesatriaan itu, mula-mula Putri Purbamanik tertegun, kemudian menunduk, berkata perlahan-lahan, "Silakan duduk."
"Hamba akan memberikan penjelasan itu, seusai berita yang disampaikan dalam surat hamba malam tadi," kata Banyak Sumba. Matanya tak hendak lepas memandangi Putri Purbamanik yang duduk tertunduk di hadapannya. Ia menyadari bahwa pertemuan itu mungkin untuk yang terakhir kali. Oleh karena itu, ia bermaksud meresapkan kecantikan gadis itu sepuas-puasnya. "Janganlah berhamba kepada hamba karena ... Kakanda bukanlah ponggawa di puri ini. Segalanya sudah menjadi jelas kepada Adinda," kata Nyai Emas Purbamanik.
"Apakah yang menjadi jelas?" Banyak Sumba terheran- heran dan mulai curiga, kalau-kalau dirinya dan tugas rahasianya telah diketahui orang hingga ke Puri Purbawisesa.
Akan tetapi, putri itu melanjutkan perkataannya, "Bahwa Kakanda kesatria yang sedang mencari pengalaman, dan Adinda hanyalah suatu kisah kecil yang kemudian akan dilupakan karena tidak ada artinya."
Mendengar perkataan itu, perasaan Banyak Sumba mendesak ke kerongkongannya. Ia segera berkata, "Marilah Kakanda jelaskan, apa yang sesungguhnya terjadi. Setelah penjelasan itu, Adinda akan mengerti dan memaafkan serta mengampuni Kakanda."
"Apakah Adinda berhak mendengar penjelasan yang bersifat rahasia itu? Apakah Adinda cukup penting untuk mengetahui rahasia itu?" tanya Tuan Putri.
"Adinda, ingatkah Adinda ketika kita untuk pertama kalinya bertemu di benteng sebelah barat? Sejak itu, Adinda telah ikut menentukan jalan hidup Kakanda. Kakanda berusaha mencari pekerjaan di sini, walaupun ditentang oleh para pana-kawan Kakanda. Dan itu karena Adinda juga. Oleh karena itu, janganlah menganggap diri Adinda tidak penting. Kita sudah sama-sama menyadari bahwa... sesuatu menghubungkan kita," kata Banyak Sumba setelah ragu-ragu sejenak.
Nyai Emas Purbamanik mengangkat wajahnya, memandang Banyak Sumba, ketika itu air mukanya agak cerah. 'Jadi, mengapa Kakanda harus pergi setelah memberikan harapan dan impian kegembiraan kepada Adinda?" tanyanya merajuk.
"Adinda, marilah Kakanda terangkan alasannya. Pertama, ketahuilah bahwa Kakanda orang yang sangat tidak berbahagia. Saudara sekandung Kakanda yang lebih tua dibunuh orang dengan keji. Belum lagi pembunuhan itu terbalas dan belum lagi sukma saudara Kakanda dapat tidur nyenyak di Buana Padang, Ayahanda dengan tipu muslihat dijatuhkan dari jabatan dan kedudukannya yang mulia.
Kakanda anak laki-laki terbesar. Apakah Adinda menghormati Kakanda sebagai kesatria kalau Kakanda tinggal diam dan bersenang-senang menikmati masa remaja Kakanda?"
Banyak Sumba berhenti berkata-kata dan Nyai Emas Purbamanik mengangkat kepalanya perlahan-lahan, lalu memandang Banyak Sumba, menatap wajahnya seolah-olah mereka baru bertemu.
"Apakah Kakanda Raden Banyak Sumba, putra wangsa Banyak Citra yang termasyhur dan penguasa Kota Medang itu?" tanyanya sambil matanya agak terbelalak. Sekarang, giliran Banyak Sumba-lah yang keheranan.
"Oh, Adinda pernah mendengar para bangsawan mempercakapkan keluarga Kakanda dengan Ayahanda. Apa yang menjadi isi percakapan Adinda kurang memerhatikannya. Akan tetapi, Adinda yakin, keluarga Kakandalah yang menjadi buah percakapan itu. Dan... seandainya Ayahanda ada di sini, mungkin beliau akan sangat bersenang hati dapat bertemu dengan Kakanda."
Mendengar ucapan terakhir itu, meremanglah bulu roma Banyak Sumba. Sementara itu, makin sedih pula hatinya. Ia beranggapan bahwa selama ini ia berada di sarang harimau karena siapa tahu Pengeran Purbawisesa akan menangkap dan menyerahkannya kepada para penguasa kerajaan. Yang menyedihkannya adalah justru Nyai Emas Purbamanik, putri yang telah mengikat hatinya, berada di dalam puri itu. Ia termenung dengan hati terharu. Kemudian, dengan perkataan yang terputus-putus dan suara serak, ia berkata, "Syukurlah kalau Adinda mengerti. Oleh karena itu, Adinda akan memaafkan seandainya Kakanda tidak dapat menepati janji, janji yang sangat indah bagi Kakanda." "Ke manakah Kakanda akan pergi? Kapankah kita akan dapat berjumpa kembali?"
Pernyataan ini telah mengganggu dan menyiksa hati Banyak Sumba semenjak kedua orang panakawannya datang ke puri. Ia ingin menghindarkan pertanyaan itu. Ia takut menjawabnya karena memang jawabannya akan menyedihkan dirinya, akan menusuk hatinya bagai tusukan pisau berbisa.
Akan tetapi, sekarang sudah telanjur ditanyakan dan ia tidak mau menyembunyikan apa-apa lagi kepada Putri Purbamanik, "Kakanda tidak dapat memastikan, apakah kita akan bertemu lagi," katanya dengan sedih.
Mendengar itu, terpukaulah Putri Purbamanik. Ia memandang Banyak Sumba tanpa mengedipkan mata untuk beberapa lama. Kemudian, dengan tersendat-sendat bertanya, "Mengapa?" katanya agak keras.
Banyak Sumba tidak dapat menjawab dengan segera. Akan tetapi, dipaksakannya menyusun kata-kata yang akan menyakiti hati Tuan Putri. Ia berkata, "Adinda, sebagai anak laki-laki terbesar dari keluarga yang diperlakukan tidak adil, Kakanda harus menuntut balas. Alangkah hinanya kalau Kakanda menghindarkan diri dari tugas mulia itu. Kakanda harus menegakkan kehormatan keluarga sebagai kesatria, dan untuk kehormatan keluarga itu, Kakanda harus berani membayar semahal-mahalnya "
Belum selesai Banyak Sumba berkata, Putri Purbamanik dengan wajah yang memperlihatkan kengerian mengangkat tangannya, lalu menutup wajahnya dengan kedua belah tangan dan menangis tersedu-sedu.
Banyak Sumba kebingungan, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia duduk kaku, memandangi putri yang menangis di hadapannya. Akan tetapi, ketika sedu sedan gadis itu menggelora, suatu kekuatan yang tidak disadarinya mendorong dia untuk merangkul gadis itu dan menghiburnya dengan kata-kata yang begitu saja keluar dari antara bibirnya yang melekat di rambut gadis yang tebal dan ikal mayang itu, "Kakanda akan kembali kepadamu, Kakanda akan kembali kepadamu. Kakanda akan hidup karena engkaulah Kakanda akan hidup."
Ia merasa gadis itu menyandarkan dirinya ke dadanya.
Sikap gadis itu sangat mengharukannya dan perasaan bahagia serta dukacitayang bergalau hampir tidak tertahan dalam hatinya. Untuk mencurahkan perasaannya yang tidak tertahan itu, ia mengusap-usap rambut gadis itu sambil membisikkan kata-kata yang tidak direka sebelumnya, kata-kata yang keluar dari hatinya yang jujur dan polos, "Engkau lebih kuat dan lebih perkasa dari maut; kecantikan dan kelemahlembutanmu lebih kuat daripada penderitaan Kngkiiiihli \auy .il.iu nn nyelamatkan Kakanda dari nasib buruk ykiig selama ini nn rundung Kakanda. Engkau akan menyelamatkan Kakanda dan meraih Kakanda ke dalam kasih sayangmu. Kasih sayangmu lebih perkasa daripada malakal maut. Janganlah takut, Kakanda akan kembali kepadamu."
Gadis itu makin menyurukkan wajahnya ke dada Banyak Sumba yang bidang. Banyak Sumba mengangkat muka gadis itu, kemudian terasa olehnya dua tangan yang halus melingkari lehernya.
"Kembalilah segera, Adinda akan selalu menunggu," bisiknya di sela-sela sedu sedannya. Banyak Sumba teringat akan sisir gading indah yang dibelinya di Kutabarang. Ia mengambil sisir yang indah dan diinginkan Putri Purbamanik itu dari balik pakaiannya, lalu menyisipkannya di dekat sanggul gadis itu sambil berkata, "Adinda, kausuka sisir ini, Kakanda membelinya untukmu. Pakailah sebagai kenang-kenangan dan wakil Kakanda di sini," katanya.
Putri Purbamanik memegang pergelangan tangan Banyak Sumba, mengambil sisir itu, lalu menciumnya. Ketika itulah, ia tersenyum dari balik wajahnya yang basah oleh air mata.
Kemudian, dieratkannya rangkulannya. Suara langkah terdengar dan Banyak Sumba perlahan- lahan melepaskan gadis itu dari rangkulannya, "Saatnya sudah tiba bagi kita untuk berpisah sementara. Kita akan berjumpa kembali, apa pun yang terjadi. Kita akan berjumpa kembali," kata Banyak Sumba.
"Adinda akan menunggu Kakanda untuk selama-lamanya." "Kita akan berjumpa kembali," kata Banyak Sumba seolah-
olah meyakinkan dirinya serta memperteguh niatnya. Ketika itu, masuklah Nyimas Teteh membawa sebokor air mawar. Melihat kedua muda remaja itu berhadap-hadapan, Nyimas Teteh segera mengundurkan diri kembali. Begitu Nyimas Teteh lenyap, menghamburlah kedua muda remaja itu dan kembali berpelukan.
Banyak Sumba akhirnya dapat mengendalikan perasaannya. Tanggungjawab akhirnya menundukkan hasratnya untuk tinggal dengan Nyai Emas Purbamanik. Ia mengundurkan diri sambil berkata, seperti berdoa, "Kita akan berjumpa kembali, kita akan berjumpa kembali." Nyai Emas Purbamanik mengikutinya sampai pintu depan kaputren, lalu melambai dengan selendang yang juga dipergunakan untuk mengusap air matanya. Tak lama kemudian, Banyak Sumba pun sudah berada di perjalanan, di atas pelana kuda, diiringi kedua orang panakawannya. Mereka menuju suatu wilayah di selatan benteng Kutabarang, tempat pertempuran yang direncanakan akan dilaksanakan oleh para anggota dua perguruan.
-ooo0do0ow0ooo-