Bab 2 : Huru hara
Benar, rombongan itu para tamu dari ibu kota Pakuan Pajajaran. Mereka dipimpin oleh Pamanda Kunten, adik Ayahanda Banyak Citra yang tinggal di ibu kota Pakuan Pajajaran. Beliau menjadi pembantu menteri di sana. Pamanda Kunten datang dengan berlinang air mata. Kedatangannya itu tidak saja disambut para keluarga Banyak Citra, tetapi juga oleh hampir seluruh bangsawan Kota Medang. Malam itu, mereka berkumpul kembali di ruangan tengah istana. Banyak Sumba, sebagai anak laki-laki terbesar, diperbolehkan hadir di ruangan tengah itu. Ia tidak duduk di depan, tetapi di sudut, di tempat yang agak gelap.
Ketika ruangan mulai hening, dengan isyarat, Ayahanda memerintahkan Pamanda Kunten untuk menyampaikan berita yang dibawanya, tidak saja kepada Ayahanda, tapi juga kepada hadirin yang terkumpul. Pamanda Kunten mulai berbicara, "Kakanda Banyak Citra, bagi para bangsawan Kota Medang, saat ini saat yang paling menyedihkan dalam hidup saya. Saya harus menyampaikan berita yang paling menyedihkan yang dapat didengar oleh Kakanda Banyak Citra dan para bangsawan Kota Medang. Ternyata, berita sedih itu sudah tiba sebelum kami datang. Oleh karena itu, kami hanya akan menjelaskan jalan ceritanya hingga peristiwa itu terjadi. Penjelasan tentang jalannya peristiwa ini kami terima dari pihak-pihak yang dekat hubungannya dengan istana dan juga dengan Lembaga Kepuragabayaan.
"Menurut penjelasan itu, sudah beberapa lamajanteJaluwuyung memperlihatkan tingkah laku yang aneh. Ia seolah-olah memendam suatu persoalan yang tidak mau dikemuka-kannya kepada orang lain, juga kepada sahabat karibnya, yaitu Pangeran Anggadipati. Kemudian, Jante, seperti kita ketahui, ditempatkan di Kutabarang sebagai pengawal penguasa Kutabarang. Di situlah, Jante terlibat perselisihan dan perkelahian dengan Raden Bagus Wiratanu serta para pengiringnya. Raden Bagus Wiratanu ini putra sulung penguasa Kutawari-ngin. Ia mencintai Putri Mayang Cinde yang berasal dari kota yang sama, tetapi kemudian pindah ke Kutabarang. Rupanya antara Mayang Cinde dan Jante ada hubungan. Itulah sebabnya, Raden Bagus Wiratanu pada suatu hari menyergap Jante. Dalam perkelahian itu, Jante membunuh Raden Bagus Wiratanu dan melukai beberapa orang pengiringnya.
"Setelah peristiwa itu, Jante menghilang dari Kutabarang. Tumenggung Wiratanu dari Kutawaringin mengadu kepada sang Prabu di Pakuan. Semua anggota keluarga wangsa Wiratanu berikrar untuk membalas dendam. Sang Prabu mengirimkan beberapa orang puragabaya untuk menyelidiki. Lalu terjadi pula peristiwa yang menggemparkan. Beberapa orang bangsawan yang sedang berburu diserang dan dibunuh oleh Jante. Para puragabaya dikerahkan ke tempat kejadian itu untuk menangkap Jante, tetapi dalam usaha itu, Jante terjatuh ke jurang dan berita selanjutnya sudah kita ketahui. "Sebagai tambahan, saya menyampaikan kepada Kakanda Banyak Citra dan para bangsawan Kota Medang bahwa dua hari sesudah kami berangkat, dari ibu kota diberangkatkan pula serombongan utusan sang Prabu untuk menyampaikan berita dan tanda belasungkawa kepada kita semua.
Demikianlah seluruh berita yang ingin kami sampaikan!"
Selesai penyampaian berita itu, Ayahanda mendengus. Beberapa orang bangsawan Kota Medang tetap menunduk, tetapi beberapa lagi, yaitu ipar-ipar atau keponakan- keponakan terdekat, memperlihatkan sikap percaya. Ruangan hening, tapi dari sudut mata beberapa orang bangsawan tampak cahaya mata menyelidiki. Mereka seperti saling mencurigai, tapi tak seorang pun berani membuka hatinya untuk mengetahui isi hati pihak lain. Akhirnya, karena tekanan keheningan itu semakin berat, beberapa orang bangsawan bergerak-gerak dari tempat duduknya. Ayahanda mendeham, kemudian berkata dengan berat tetapi lantang, "Kunten, Adikku, terima kasih atas jerih payahmu dan sahabat kalian, yang telah melakukan perjalanan begitu jauh dari ibu kota Pakuan Pajajaran. Tanpa mengurangi rasa terima kasih kami, ingin kusampaikan kepada kalian dan para bangsawan Kota Medang bahwa kisah tentang peristiwa itu terlalu bagus dan terlalu mudah membebaskan pihak-pihak yang terlibat dari kesalahan-kesalahan yang mungkin telah diperbuat, hubungan dengan kematian anakku itu. Oleh karena itu, kisah itu masih terbuka untuk penelitian dan pembahasan kami di Kota Medang. Di samping itu, kami pun memiliki kisah lain yang berbeda dengan kisah yang kalian bawa. Baiknya kisah ini kuceritakan ....
"Sebenarnya, sejak lama Jante sudah membaui rencana busuk yang diarahkan kepadanya. Ia menceritakan kepadaku bahwa dalam setiap latihan, para pelatih dan kawan-kawan seperguruannya berulang-ulang mencoba membunuhnya.
Demikian juga di medan pertempuran, Jante sering merasa dijadikan umpan untuk memancing serangan lawan. Untung, ia cukup sigap dan waspada. Demikian Jante berulang-ulang mengatakannya kepadaku. Ia sudah curiga, lama sebelum peristiwa itu terjadi. Bahkan, begitu curiganya ia akan pengkhianatan itu, sering ia berjaga-jaga di malam hari hingga kurang tidur. Di samping itu, ia pun sering termenung memikirkan alasan orang-orang yang bermaksud membunuhnya.
"Pada suatu hari, ketika kumasuki biliknya, begitu curiganya Jante sehingga ia tiba-tiba menyerangku. Untung aku segera berteriak dan berseru kalau aku ayahnya. Ketika itulah, kutanya mengapa ia berbuat demikian. Ia menjawab bahwa sudah lama orang-orang di Padepokan Tajimalela mencoba membunuhnya. Ia begitu berterus terang kepadaku, padahal biasanya ia sangat tertutup. Barangkali karena menyadari betapa besarnya bahaya yang mengancamnya, akhirnya ia mencurahkan isi hatinya kepadaku, yaitu orang-orang yang bermaksud membunuhnya. Alasannya hanya satu, ia terlalu hebat sebagai seorang puragabaya."
Hadirin diam, tapi jelas bagi Banyak Sumba, tidak semua setuju dengan apa yang dikatakan Ayahanda. Sebagian bangsawan saling melirik lewat sudut mata seolah-olah mereka berbincang-bincang melalui cahaya mata mereka. Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang berani membantah apa yang dikatakan Ayahanda. Karena hadirin diam, Ayahanda pun mulai berkata lagi, "Mula-mula, mereka mencoba membunuh anakku selagi latihan dan seandainya ia meninggal ketika itu, dengan mudah mereka akan mengatakan bahwa Jante meninggal karena kecelakaan. Jante lolos dari tipu muslihat itu, maka dibawalah ia ke beberapa medan perang; ternyata ia selamat juga. Akhirnya, Bagus Wiratanu dijadikan umpan dan didapatlah alasan untuk memburu dan mengeroyok Jante secara pengecut. Semua itu dilakukan orang karena Jante terlalu hebat, orang-orang iri kepadanya dan karena ia salah seorang anggota wangsa Banyak Citra, yang dalam sejarah telah menurunkan orang- orang besar dan orang-orang perkasa bagi kerajaan.
'Aku bertanya kepada kalian, bukankah tidak mustahil kalau ada keluarga bangsawan lain yang iri karena tempatnya dalam kehormatan direbut Jante? Bukankah tidak mustahil kalau wangsa Anggadipati, wangsa Gagak Pernala, atau wangsa Per- bangkara menginginkan kehormatan yang dicapai oleh salah seorang wangsa Banyak Citra?" Setelah berkata demikian, mata Ayahanda mengawasi wajah para bangsawan yang hadir.
Mendengar panjelasan terakhir itu, sebagian bangsawan tersadar dari impian. Mereka bangkit dan dengan menggeram menyatakan kemarahan mereka. Mereka bergerak-gerak dari tempat duduk seraya berpaling ke kiri dan ke kanan. Tampak bahwa akhirnya mereka melihat kebenaran yang dibukakan melalui kisah yang disampaikan Ayahanda. Akan tetapi, sebagian bangsawan itu diam saja. Di mata Banyak Sumba, mereka tampak ragu:ragu. Bahkan, Banyak Sumba menduga bahwa ada di antara mereka yang tidak percaya pada kisah Ayahanda.
Di antara mereka ini ada yang secara berani memperlihatkan sikap tidak acuh, yaitu Raden Pembayun Jakasunu, salah seorang bangsawan tertinggi yang terkaya di Kota Medang
Ketika mengakhiri kisahnya, Ayahanda mengarahkan pandangannya ke wajah Raden Pembayun Jakasunu ini. Akan tetapi, Raden Pembayun Jakasunu dengan tak acuh melihat ke kiri dan ke kanan dengan ujung matanya. Bangsawan yang lain, yang tampak tak percaya, seolah-olah saling memberi isyarat dengan Raden Pembayun Jakasunu. Bahkan, Banyak Sumba melihat dalam remang, salah seorang bangsawan ini ada yang tersenyum mengejek. Banyak Sumba memandang hal itu dengan hati panas, tetapi ia tidak dapat berbuat apa- apa. Ia hanya berjanji dalam hati bahwa hal itu akan dilaporkan kepada Ayahanda selelah selesai pertemuan.
"Baiklah," ujar Pamanda Kunten memecah keheningan, "Marilah kita tunggu saja bagaimana kisah yang akan disampaikan kepada kita oleh para utusan resmi sang Prabu yang dalam waktu dekat akan tiba di Kota Medang ini. Setelah itu, kita akan mengambil sikap."
"Aku mengambil sikap, seluruh Kota Medang sudah mengambil sikap, yaitu akan membalas dendam. Para pemuda Kota Medang malam tadi telah berikrar bahwa mereka akan membunuh para pembunuh Jante. Mereka akan meminum darahnya dan memakan hatinya, dan akan melemparkan bangkainya kepada anjing. Sumpah ini diucapkan dengan saksi Sang Hiang Tunggal dan tidak akan dicabut lagi. Para pemuda Kota Medang bukan orang-orang yang suka menjilat ludahnya kembali," kata Ayahanda.
Mendengar perkataan itu, bergumamlah sebagian bangsawan, tetapi sebagian orang diam-diam saja. Tampak oleh
Banyak Sumba bahwa Ayahanda pun menyadari apa-apa yang dilihatnya.
Ketika pertemuan itu diakhiri, hari sudah larut malam.
Tidak ada keputusan baru yang diambil, tidak ada ikrar baru yang diucapkan. Akan tetapi, jelas bahwa keadaan sudah berubah dibandingkan dengan malam sebelumnya; ketika para bangsawan sama-sama terbakar oleh amarah. Setelah kisah baru disampaikan, sebagian mcrekajadi ragu-ragu, sedangkan sebagian kecil, yaitu Raden Pembayun Jakasunu dan sahabat- sahabatnya, tampak tak acuh.
Keesokan harinya dan hari-hari berikutnya, orang-orang di Kota Medang tidak mempercakapkan hal lain, kecuali tentang kisah-kisah kematian Kakanda Jante Jaluwuyung. Di pasar- pasar, di pandai-pandai besi, di tempat tukang menganyam tikar, di ladang, dan di huma-huma orang-orang terdekat. Ada yang setuju dengan kisah yang pertama dan ada pula yang percaya pada kisah yang kedua. Bahkan, ada orang yang mulai bertengkar karena adanya dua kisah itu. Lebih dari itu, Banyak Sumba pernah melihat bagaimana dua orang tukang kuda berbaku hantam karena yang satu percaya pada kisah yang pertama, yang lain pada kisah yang kedua.
Pendeknya, perbedaan pendapat telah terjadi dan membagi penduduk kota menjadi beberapa golongan. Bukan saja di kalangan rakyat biasa, di kalangan bangsawan lebih-lebih lagi. Di kalangan ini, perbedaan pendapat tidak terbuka, tetapi tidak berarti lebih lunak. Sebaliknya, walaupun dibisikkan dalam ruangan-ruangan tertutup, perbedaan pendapat tidak lebih kecil, jurang perpecahan tidak lebih sempit. Oleh karena itu, Banyak Sumba merasa tidak betah, bahkan gelisah dan cemas kalau ia harus berjalan-jalan di dalam kota. Sering sekali orang berhenti bicara kalau dia lewat, bahkan orang- orang yang biasanya ramah, kini sering menghindarkan diri kalau berpapasan di lorong-lorong. Itulah sebabnya, dalam beberapa hari belakangan, ia lebih suka pergi ke luar benteng seraya melarikan si Dawuk p'erlahan-lahan menyusuri huma- huma, semak-semak, dan hutan-hutan kecil di sekitar Kota Medang yang menjadi panas itu.
PADA suatu pagi, lima hari setelah pertemuan para bangsawan di istana, barulah Banyak Sumba punya kesempatan bertemu dengan Ayahanda. Ketika itulah, Banyak Sumba menceritakan apa yang dilihatnya dalam pertemuan itu. Ia menceritakan bagaimana Raden Jakasunu beserta sahabat-sahabatnya seperti menganggap sepele setiap perkataan Ayahanda.
Mendengar keterangan itu, berkerutlah kening Ayahanda, lalu beliau bertanya dengan sungguh-sungguh, "Apakah mereka tersenyum mengejek?" "Tampaknya kepada hamba demikian, Ayahanda." "Apakah mereka sering memberi isyarat atau sering memandang penuh pengertian?" tanya beliau pula.
"Hamba tidak melihat hal itu, Ayahanda. Hamba hanya melihat seolah-olah mereka bosan mendengar kata-kata Ayahanda, kemudian mereka tak acuh. Kalau Ayahanda berbicara dengan penuh... penuh semangat, mereka tersenyum masam."
"Kalau begitu, benar dugaanku," ujar Ayahanda setelah termenung beberapa lama. Banyak Sumba tertegun karena penasaran.
Bahkan, Jakasunu dan kawan-kawannya akan mempergunakan kesempatan ini untuk kepentingan mereka. Mereka akan menjatuhkanku dengan cara yang curang.
"Banyak Sumba, untung kauberitahukan hal ini kepadaku.
Kalau tidak, Ayahanda akan mereka pukul selagi lengah. Banyak Sumba, ketahuilah bahwa Jakasunu sangat mengingini kedudukanku sebagai penguasa Kota Medang ini. Betapa tidak, ia sangat kaya, juga keturunan bangsawan. Kurangnya dariku hanyalah karena leluhurnya belum pernah ada yang jadi menteri. Nah, bukankah orang seperti dia harus kucurigai dari dulu?
"Banyak Sumba, sebelum aku diangkat menjadi penguasa Kota Medang ini, pada suatu malam, di tengah jalan segerombolan penyamun menyerangku. Untung gulang- gulang kita sigap-sigap. Sekarang, makin jelas bahwa perampok-perampok itu mungkin suruhan Jakasunu. Karena kalau aku mati sang Prabu akan menempatkan dia sebagai penguasa Kota Medang ini. Mengertikah kau sekarang, Banyak Sumba?"
"Tapi, Ayahanda, hamba hanya melihat ia tak acuh." "Tak acuh, ya, tak acuh sudah cukup, Banyak Sumba. Untung kau memberitahukannya kepadaku. Untung. Dalam tiga hari belakangan ini, aku sedang menulis surat untuk sang Prabu di Pakuan Pajajaran. Ayah memohon kepada beliau agar para pembunuh Jante diserahkan supaya keadilan dijalankan. Ayah harus waspada dan melindungi hingga surat itu dapat diterima dengan baik oleh sang Prabu. Siapa tahu Jakasunu akan mengerahkan orang-orangnya lagi dalam rangka merebut kedudukan Ayah."
Walaupun tidak tahu apa yang harus dipercaya dan harus tidak dipercaya dan pikirannya menjadi bingung oleh masalah- masalah ruwet yang hidup di antara orang-orang tua, Banyak Sumba tidak bertanya apa-apa lagi kepada Ayahanda. Di samping itu, tampak Ayahanda sangat terguncang oleh keterangannya. Banyak Sumba bahkan merasa menyesal telah menyampaikan apa yang dilihatnya dalam pertemuan. Akan tetapi, ia pun merasa lega sebab kalau dugaan Ayahanda benar, yaitu Raden Pembayun Jakasunu akan mempergunakan kesempatan itu untuk tujuan-tujuannya sendiri, Banyak Sumba telah membantu menghindarkan hal yang tidak diingini itu. Bagaimanapun, ia tetap bingung. Ia tidak dapat membedakan yang benar dari yang salah, yang nyata dari yang dikhayalkan, yang baik dari yang buruk. Itu pula sebabnya, ia lebih suka pergi meninggalkan istana dan kota.
SETELAH percakapan itu, Banyak Sumba meninggalkan istana. Melalui gerbang kota bagian barat, ia menuju telaga tempat ia bermain-main seorang diri atau berenang kalau hari panas. Di atas si Dawuk yang telah tahu tujuan tuannya, Banyak Sumba termenung.
Dalam renungannya itu, ia tidak mau mengingat-ingat percakapan dengan Ayahanda Banyak Citra ataupun kejadian- kejadian yang bertalian dengan pertemuan beliau dengan para bangsawan. Ia teringat kepada Kakanda Jante Jaluwuyung.
Tiba-tiba saja ia sadar bahwa Kakanda Jante telah tiada untuk selama-lamanya. Memang, Kakanda Jante bukanlah seorang kakak yang lemah lembut. Ia kakak yang tidak suka bergaul dengan adik-adiknya, ia kakak yang keras, yang tidak ragu- ragu mempergunakan tangannya kalau ada hal-hal yang tidak disetujui dari tutur kata atau tingkah laku adik-adiknya. Akan tetapi, bagaimanapun, Kakanda Jante Jaluwuyung kakaknya. Di samping itu, Kakanda Jante kebanggaan keluarga, seorang putra bangsawan yang karena tingkah lakunya yang baik telah terpilih menjadi puragabaya. Lalu, bukankah sebenarnya Kakandajaluwuyung sayang kepadanya dengan caranya sendiri? Bukankah Kandajaluwuyung yang mengajarinya naik kuda, memanah, mempergunakan tombak, walaupun dalam memberi pelajaran sangat murah dengan caci maki dan bahkan tempeleng? Dan bukankah kalau sekarang ia mahir dengan kepandaian seorang kesatria, hal itu berkat pendidikan Kanda Jante yang keras?
Kesadarannya itu tiba-tiba menyebabkan hati Banyak Sumba terhenyak. Tiba-tiba, matanya basah dan ketika ia menyibakkan rambut yang ditiup angin ke pipinya, telapak tangannya menjadi basah oleh air mata. Perlahan-lahan, kesedihan itu menjadi lebih dalam ketika ia menyadari bahwa sebenarnya kesedihan itu tidak ia sendiri yang merasakannya. Ayahanda kelihatan lebih tua beberapa tahun setelah mendengar berita kematian KakandaJantejaluwuyung. Ibunda tidak pernah meninggalkan tempat peraduan dalam beberapa hari setelah peristiwa itu. Demikian juga Ayunda Yuta Inten, yang walaupun dapat mengerjakan tugasnya sehari-hari, selalu berurai air mata. Kesadaran itu menyebabkan Banyak Sumba menyadari apa artinya ikatan keluarga, kesetiaan, dan perasaan senasib orang-orang yang sekeluarga. Kesadaran itu menyebabkan ia mengerti apa yang disebut kehormatan keluarga itu.
Ia tiba-tiba mengerti dan menghayati apa yang dikatakan Ayahanda ketika upacara di lapangan istana, ketika pertemuan-pertemuan dengan bangsawan-bangsawan dan adik-adik beliau yang datang dari Kutabarang maupun dari Pakuan Pajajaran. Tiba-tiba, berkobarlah kemarahan dan semangat balas dendam dalam diri Banyak Sumba. Perlahan- lahan, bibirnya membisikkan sumpah yang diucapkan oleh bangsawan-bangsawan muda di dalam upacara itu. "Minum darahnya, makan hatinya, lempar bangkainya ke tengah- tengah anjing kampung!" bisiknya. Bisikan ini keluar dari semangat yang menyala dalam hadnya, kemudian membantu memperbesar nyala itu. "Minum darahnya! Makan hadnya!
Lempar bangkainya pada anjing!" tiba-tiba Banyak Sumba berteriak.
Si Dawuk meringkik, lalu melompat dan berlari bagai anak panah. Si Dawuk melonjak-lonjak melalui ladang, huma, semak-semak, dan hutan-hutan kecil sebelah barat Kota Medang. Banyak Sumba memacunya, menuju telaga tempatnya menyepikan diri. Tidak berapa lama, langkah si Dawuk menjadi perlahan dan tibalah mereka di tepi telaga itu. Si Dawuk minum, sementara Banyak Sumba mencelupkan kakinya. Air yang sejuk itu seolah-olah merayap, mendinginkan kaki juga hatinya. Detak jantungnya melambat dan duduklah Banyak Sumba di atas sebatang kayu yang melintang di sana.
Tiba-tiba, didengarnya bunyi berpuluh-puluh kaki kuda dari balik hutan kecil. Banyak Sumba bangkit, lalu menyelinap ke semak-semak menuju arah datangnya bunyi kaki kuda itu.
Berulang-ulang ia melompati semak duri, berulang-ulang ia merunduk di bawah dahan-dahan yang melintang berulang- ulang pula ia membetulkan tali alas kaki kulit yang dipakainya. Akhirnya, tampak di hadapannya suatu bagian hutan yang terbuka. Ia berhenti, menahan napasnya. Suara dengus kuda terdengar, demikian juga suara orang bercakap. Ia menjatuhkan diri dan bergerak mendekati suara itu dengan merangkak. Maka, tampaklah apa yang ingin dilihatnya. Dua orang bangsawan tinggi berpakaian kebesaran kerajaan, duduk di atas kuda mereka yang didandani rapi. Di belakang kedua orang bangsawan ini, sekurang-kurangnya lima belas orang jagabaya bersenjata lengkap dengan pakaian perang. Rombongan ini berhadapan dengan enam orang penduduk Kota Medang, yaitu bangsawan-bangsawan yang dipimpin Raden Pembayun Jakasunu. Mereka bersalaman, kemudian berhadapan kembali dan mulailah bangsawan asing itu bertanya: 'Jadi, kemungkinan pemberontakan itu ada?"
"Segalanyr. mungkin, Pangeran, tetapi hamba tidak melihat kemungkinan seburuk itu," jawab Raden Jakasunu.
"Bagaimanapun, kita harus memikirkan yang buruk lebih dahulu," kata bangsawan yang seorang lagi.
"Bangsawan-bangsawan muda setempat sudah berikrar untuk membalas dendam," sambung Raden Jakasunu.
"Banyak Citra ini memang keras kepala. Sayang, padahal ia seorang penguasa yang baik. Yang jadi soal, ia keras kepala, sempit, perasa, dan angkuh," kata bangsawan yang satu lagi kepada kawannya.
"Tugas kita dari sang Prabu hanya menyampaikan keterangan dan belasungkawa. Kukira tidak perlu kita berpikir hingga ke soal kemungkinan pemberontakan."
"Soalnya, kita perlu berhati-hati. Siapa tahu kita ditangkap, lalu dijadikan sandera untuk tujuan-tujuan Banyak Citra yang tidak kita ketahui. Bukankah katamu tadi, ia akan menuntut kepada sang Prabu agar Anggadipati diserahkan kepadanya?" tanya bangsawan itu kepada Raden Jakasunu.
"Demikian menurut pendengaran hamba dari salah seorang teman hamba yang dekat dengan Raden Banyak Citra, Pangeran," jawab Raden Jakasunu.
Banyak Sumba tidak sabar lagi untuk memberitahukan apa yang dilihat dan didengarnya kepada Ayahanda. Ia merangkak kembali ke tempatnya semula. Pakaiannya sobek-sobek dan kulitnya luka-luka oleh duri semak-semak, tetapi itu tidak dipedulikannya. Ia merangkak menuju si Dawuk yang sedang asyik makan daun-daunan di tepi telaga.
Setiba di tempat si Dawuk, Banyak Sumba tidak langsung menunggangi kuda itu, tetapi menuntunnya, berjalan menjauh dari tempat orang-orang mengadakan pertemuan rahasia itu. Baru setelah yakin bahwa suara kaki kudanya tidak akan terdengar dari tempat orang-orang yang sedang berunding itu, Banyak Sumba melompat ke punggung si Dawuk, lalu memacunya ke gerbang kota. Ia memacu kuda itu begitu cepatnya hingga tidak berapa lama kemudian, ia sudah lewat di gerbangnya.
Tidak seperti biasa, ia tetap menunggangi kudanya dan memacunya di antara orang-orang yang sibuk. Ini perbuatan yang sangat tercela, apalagi kalau dilakukan seorang anak bangsawan. Akan tetapi, karena pentingnya berita yang harus disampaikannya kepada Ayahanda, ia terpaksa berlaku seperti orang yang tidak tahu sopan santun.
Setibanya di istana, ia melemparkan kekang si Dawuk kepada gulang-gulang yang sedang menjaga. Ini pun bukan perbuatan yang sopan, la beriari dan menabrak seorang emban hingga berguling di lantai lorong. Ia menaiki tangga dengan bunyi alas kaki yang berisik. Akhirnya, ia tiba di depan pintu ruangan khusus Ayahanda. Ia membuka pintu perlahan- lahan. Ayahanda mendeham dan ia masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Walaupun dalam keadaan biasa Ayahanda akan murka melihat kelakuannya seperti itu, ketika itu Ayahanda tidak berkata apa-apa. Bahkan, dengan penasaran beliau memandang ke muka Banyak Sumba. Rupanya beliau menduga bahwa ada hal penting yang hendak disampaikan putranya.
Beliau bertanya, "Ada apa, Anakku?" Banyak Sumba menceritakan segala yang dilihat dan didengarnya. Ayahanda mengerutkan keningnya dan tertegun untuk beberapa lama, kemudian dengan suara gemetar bertanya kembali kepada Banyak Sumba, "Sumba, bukankah Jakasunu mengatakan Ayah akan berontak?"
"Tidak, Ayahanda. Raden Jakasunu mengatakan segala kemungkinan ada."
"Bedebah!" tiba-tiba Ayahanda mendengus. "Ia telah menyindir-nyindirkan pemberontakan. Jelas ia ingin menjatuhkan aku sebagai penguasa Kota Medang."
"Tapi, Ayahanda, Raden Jakasunu beranggapan bahwa kemungkinan pemberontakan terlalu buruk dan ia tidak menyngka pemberontakan akan terjadi. Katanya, ia tidak melihat kemungkinan seburuk itu," Banyak Sumba menyela, ingin memberikan kesan yang benar kepada ayahandanya tentang apa yang dilihat dan didengarnya.
Akan tetapi, Ayahanda segera berkata pula, "Sumba, engkau masih terlalu muda untuk mengenal kebusukan manusia. Banyak orang yang mengejar kehormatan melalui jalan yang tidak diridhai oleh Sang Hiang Tunggal. Keturunan Banyak Citra mencapai kedudukan dan kehormatan melalui kerja keras. Akan tetapi, orang-orang yang hina mencapai kedudukan dan kehormatan dengan menjilat, menipu, bahkan membunuh! Ketahuilah Anakku, di hadapan setiap keturunan Banyak Citra selalu ada batu penarung dan keturunan Banyak Citra tidak pernah menyerah."
Setelah berkata demikian, Ayahanda termenung, kemudian berkata, "Panggil kepala jagabaya, kemudian larilah engkau kepada Ibunda, katakan bahwa keadaan mulai darurat."
Banyak Sumba berlari ke ruangan para jagabaya dan sesuai dengan perintah, meminta kepada kepala jagabaya untuk menghadap Ayahanda. Kemudian, ia menuju kaputren, menyampaikan berita Ayahanda. Mendengar itu, Ibunda, Ayunda, dan para emban mulai berkemas-kemas membereskan barang-barang berharga. Ayunda berkata kepada Banyak Sumba.
"Sumba, masukkan barang-barang yang paling berharga yang kaumiliki ke kotak-kotak besar, siapkan untuk diangkat."
Banyak Sumba menuruti perintah itu. Ia pun untuk beberapa lama sibuk mengurus barang-barangnya dibantu beberapa gulang-gulang dan para panakawan.
LAMA sekali Banyak Sumba mengemasi barang-barangnya.
Ketika ia keluar dari ruangannya, hari sudah hampir senja. Dan ketika ia melihat ke arah benteng, tampaklah pemandangan yang menggetarkan hatinya.
Di atas benteng itu, para jagabaya dengan pakaian perang berjaga-jaga, demikian juga berpuluh-puluh bangsawan muda dengan para pembantu mereka. Bangsawan-bangsawan muda ini kawan-kawan Kakanda Jante. Rupanya, Ayahanda sudah memerintahkan supaya mereka berjaga-jaga.
Melihat segala persiapan itu, terbitlah hasrat Banyak Sumba untuk menjadi orang dewasa. Kalau sudah besar, tentu saat itu ia sudah berpakaian perang dan menyandang senjata dengan gagahnya. Dengan perasaan itulah, ia melangkah mer naiki tangga menuju menara penjagaan. Di sana, ternyata Ayahanda sedang duduk di hadapan kepala jagabaya. Ketika itu, Ayahanda berkata, "Kita harus memberi kesan kepada para tamu dari ibu kota bahwa Kota Medang bersedia memberikan petaruh macam apa pun untuk keadilan dan kehormatan. Di samping itu, kita tidak akan memberi ampun kepada mereka yang berkhianat."
Setelah berkata demikian, beliau diam kembali. Parajaga- baya dengan sigap berjaga-jaga, memandang ke barat, ke jalan yang datang dari arah Pakuan Pajajaran. Ketika matahari terbenam, tampaklah rombongan kecil penunggang kuda. Ayahanda berdiri. Tampak kemudian bahwa yang datang bukanlah utusan dari ibu kota Pakuan Pajajaran, tetapi rombongan bangsawan yang dipimpin Raden Pembayun Jakasunu.
"Tutup pintu gerbang, mereka tidak diizinkan masuk." Pintu gerbang pun ditutup. Ketika keenam orang bangsawan di bawah pimpinan Raden Jakasunu tiba, mereka kebingungan. "Buka pintu!" seru salah seorang dari mereka. "Tidak!" seru Ayahanda, "Bukankah kalian melaporkan kepada para utusan dari ibu kota bahwa Kota Medang akan berontak?"
Mendengar perkataan Ayahanda, Radenjakasunu dengan kawan-kawannya tampak tidak mengerti dan kebingungan. "Kami tidak mengerti apa yang kaukatakan," seru Raden Jakasunu dari bawah.
"Jangan pura-pura!" sambut Ayahanda, "kalian akan mempergunakan tinju pasukan jagabaya kerajaan untuk mengambil kedudukanku!"
"Banyak Citra, kecurigaanmu tidak beralasan. Kalau kau- yakin kami akan berkhianat, mengapa kami tidak kautangkap dan kauadili?"
"Tidak perlu diadili, membuang-buang waktu!
Pengkhianatanmu sudah jelas. Sekarang, pergilah dari Kota Medang kalau sayang dengan nyawa kalian."
"Kami tidak sayang pada nyawa kami, asal keadilan ditegakkan. Kami perlu bukti dulu tentang kesalahan kami seru Jakasunu.
Ayahanda akan menjawab lagi, tetapi dari arah istana datanglah beberapa orang bangsawan, di antaranya beberapa orang wanita yang sambil menangis berjalan ke arah Ayahanda. Ternyata, mereka sanak saudara dan istri, serta anak-anak Raden Jakasunu. Rupanya mereka diberi tahu tentang apa yang terjadi di gerbang kota. Dan mereka datang untuk memohon keadilan kepada Ayahanda. "Kakanda Jakasunu bermaksud baik. Ia pergi menemui utusan sang Prabu untuk memberi tahu suasana di Kota Medang agar perundingan dapat berjalan dengan lancar. Sekali-kali, ia tidak ada maksud untuk berkhianat," kata seorang saudara Jakasunu. Akan tetapi, Ayahanda berkeras tidak akan mengizinkan Jakasunu masuk. Akhirnya, dengan wanita-wanita yang menangis, mereka mengundurkan diri. Kemudian, rombongan Raden Jakasunu pun meninggalkan gerbang kota. Mereka melarikan kuda ke arah barat. Hari pun malam.
MALAM itu tidak terjadi apa-apa, tetapi suasana sangat tegang. Bisik-bisik terdengar antara gulang-gulang, rakyat biasa, para emban, bahkan para bangsawan. Ayahanda tidak tidur malam itu. Beliau terus tinggal di menara penjagaan, di atas gerbang kota bagian barat. Malam itu sunyi sekali.
Banyak Sumba juga tidak dapat memejamkan mata. Ia pergi ke menara penjagaan, tempat Ayahanda memimpin para jagabaya. Ketika ia sampai di sana, Ayahanda tidak menyuruhnya pulang. Mungkin, hal itu karena Ayahanda beranggapan bahwa Banyak Sumba sekarang anak laki-laki terbesar dalam keluarga. Oleh karena itu, tidak ada salahnya mulai ikut menghayati masalah-masalah yang dihadapi beliau.
"Sumba, duduklah di sini," kata Ayahanda. Banyak Sumba pun duduk di atas bangku panjang yang biasa dijadikan tempat istirahat jagabaya. Sepanjang malam, secara bergiliran mereka mengelilingi seluruh kota dari atas dinding benteng itu. Setelah berbicara demikian, Ayahanda memberi isyarat kepada jagabaya yang menjaga di menara untuk pergi. Maka, tinggallah ayah dengan anak berdua dalam ruangan menara penjagaan.
"Sumba, jadilah mata dan telinga Ayah," kata Ayahanda setelah mereka berdua, "lihat dan dengarlah tingkah laku dan tutur kata orang-orang. Seperti kauketahui, para bangsawan di Kota Medang ini tidak semua berpihak kepada Ayah. Demikian juga para jagabaya, terutama setelah datang saudara-saudara Ayah dari Pakuan Pajajaran dengan kisah bohongnya. Jadi, dengarlah dengan baik agar kita dapat waspada dan bertindak cepat kalau ada hal-hal yang tidak diingini terjadi."
"Baik, Ayahanda," jawab Banyak Sumba, lalu ia melanjutkan menjelaskan apa-apa yang dilihat dan didengarnya, walaupun belum jelas benar baginya. Pertama dikisahkannya tentang orang-orang yang berdebat dan bertengkar tentang kedua kisah itu. Kemudian, setelah Raden Pembayunjakasunu dilarang masuk Kota Medang, peristiwa itu menyebabkan pula perbedaan pendapat. Dengan sedih, Banyak Sumba melihat kenyataan, dengan dibuangnya Raden Pembayun Jakasunu dari Kota Medang lebih banyak lagi orang yang tidak setuju dengan Ayahanda. Banyak Sumba sendiri tidak melihat alasan mengapa Ayahanda harus menolak kedatangan Raden Pembayun Jakasunu itu.
"Ayahanda, apakah Raden Pembayun Jakasunu benar- benar akan berkhianat?"
"Anakku, Banyak Sumba, sejak dulu Ayah sudah curiga terhadapnya. Kemudian, dalam perundingan-perundingan, ia tidak acuh terhadap masalah yang dihadapi keluarga kita, keluarga yang sebenarnya harus dianggap majikannya.
Bukankah kita ini keluarga penguasa yang sah, yang diangkat dengan segala upacara oleh sang Prabu?Jelas bagimu bahwajakasunu kurang menghargai Ayah sebagai penguasa Kota Medang ini.
Keduanya, Jakasunu mencegat utusan Pajajaran. Apakah maksud pertemuan yang diadakannya itu? Scburuk-buruknya, ia akan mempergunakan pasukan pemerintah kerajaan untuk merebut kedudukan Ayah; sebaik-baiknya, ia akan mengambil muka, seolah-olah dialah yang paling bijaksana dan paling banyak membantu menyelesaikan masalah sekitar kematian kakakmu Jante. Nah, sekarang kau mengerti mengapa Ayah bertindak keras terhadapnya. Banyak Sumba, menurut pengalaman Ayah, kita jangan terlalu percaya kepada orang- orang sekeliling kita. Untuk kesenangan, untuk kedudukan, untuk kemasyhuran, kadang-kadang orang berani berbuat yang scburuk-buruknya kalau kebetulan ada peluang.
Kecurigaan kita bukanlah kekejaman, tetapi justru kebaikan karena kecurigaan kita mencegah mereka dari perbuatan yang lebih buruk, yang akan dikutuk selama-lamanya oleh Sang Hiang Tunggal dan Sunan Ambu."
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi. Ia tidak yakin benar akan penjelasan Ayahanda. Akan tetapi, ia mengetahui bahwa Ayahanda orang tua yang sudah banyak makan garam di dunia ini. Pengetahuan ayahnya tentang kehidupan tidak mungkin dibandingkan dengan pengetahuannya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain baginya, kecuali percaya kepadanya.
Untuk beberapa lama, mereka berdiam diri. Banyak Sumba memandang ke sekeliling, ke arah padang-padang, hutan- hutan kecil di kampung-kampung yang samar-samar di gelap malam itu. Kadang-kadang, terlihat olehnya penunggang kuda membawa obor di jalan-jalan besar. Itu adalah jagabaya yang melakukan perondaan ke kampung-kampung. Kadang-kadang, dari jauh tampak pula kelap-kelip api unggun yang dinyalakan oleh gembala di tengah lapangan yang dikelilingi pagar tempat menyimpan ternak. Di langit, bintang-bintang pun berkelip- kelip, seolah-olah berbisik-bisik satu sama lain, bukan dengan suara tapi dengan cahaya.
Selagi termenung demikian, sayup-sayup dari arah tempat minum tuak, Banyak Sumba mendengar teriakan. Ayahanda bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan ke luar menara penjagaan itu, melihat ke arah warung-warung tuak itu.
Banyak Sumba mengikuti dari belakang. Ketika mereka sudah berada di luar menara penjagaan, teriakan-teriakan terdengar makin keras. Scorangjagabaya datang, lalu menyembah kepada Ayahanda, "Di tempat minum, terjadi perkelahian, Gusti."
"Suruh dua orang melihat, mengapa jagabaya yang ada di sana tidak berbuat apa-apa."
"Baik, Gusti," setelah menyembah, pergilah jagabaya itu ke dalam gelap.
Sementara itu, keributan makin menjadi-jadi dan tampaklah nyala api yang makin lama makin besar dari arah warung- warung tuak itu. Ayahanda segera memanggil kepala jagabaya, memerintahkan supaya dikerahkan lima belas orang jagabaya ke tempat keributan itu. Di samping itu, mereka pun ditugaskan untuk mengerahkan rakyat memadamkan api.
Walaupun Ayahanda berbicara tenang Banyak Sumba menyadari bahwa beliau cemas akan kejadian itu. Apalagi keributan makin lama makin hiruk pikuk, sedangkan api makin lama makin berkobar-kobar. Akhirnya, Ayahanda memutuskan untuk pergi sendiri ke tempat itu.
Diiringi lima orang jagabaya dan gulang-gulang, Ayahanda menuruni benteng, menyusuri lorong-lorong di dalam kota. Di suatu belokan, datanglah kepala jagabaya dan dengan terengah-engah melapor.
"Perkelahian besar-besaran terjadi karena dua kelompok besar yang minum-minum di warung tuak berselisih paham tentang tindakan pembuangan Raden Pembayun Jakasunu. Ketika mereka berkelahi, lentera tersinggung dan terjadilah kebakaran. Jagabaya terbagi dua, mereka bertempur satu sama lain.
"Siapkan tiga puluh orang pasukan!" seru Ayahanda, "Sumba, pulanglah, kabarkan kepada isi istana tentang apa yang terjadi." Setelah berkata demikian, Ayahanda mencabut pedangnya. Banyak Sumba berlari ke istana. Di belokan, ia berpaling, melihat Ayahanda yang tergesa-gesa dan dengan pedang terhunus menuju cahaya api yang berkobar-kobar. TERNYATA, setiap orang di istana berada dalam suasana kecemasan dan ketegangan. Berpeti-peti barang milik keluarga Banyak Citra sudah disiapkan di tengah-tengah ruangan belakang, untuk setiap waktu diangkut kalau keadaan darurat tiba.
Ibunda dan Ayunda Yuta Inten dikelilingi para emban, duduk di sudut sambil berdoa dan berderai air mata. Beberapa orang gulang-gulang yang setia dan yang tua-tua, berkumpul pula di sana. Di antara mereka terdapat Kakek Misja, gulang- gulang tertua yang pernah menjadi pengasuh Ayahanda.
Ketika mereka melihat Banyak Sumba datang, Ibunda berdiri dan segera menyambutnya. Sambil terengah-engah, Banyak Sumba berkata kepada Ibunda.
"Dua kelompok besar orang berkelahi di dalam dan di lapangan tempat minum-minum. Ayahanda sedang menyelidikinya dengan para jagabaya."
Ibunda termenung sebentar, lalu berpaling kepada Kakek Misja dan memberi isyarat. Kakek Misja memberi isyarat kepada gulang-gulang lain, anak buahnya, kemudian kepada Banyak Sumba supaya mengikuti.
Banyak Sumba berjalan mengikuti Kakek Misja menuju ruangan kaputren yang jarang dimasuki, yaitu ruangan tempat menyimpan senjata serta barang-barang tua. Setiba di sana, Kakek Misja memberi tahu Banyak Sumba bahwa lemari besar tempat menyimpan barang-barang tua itu sebenarnya pintu rahasia yang dipergunakan sewaktu-waktu, kalau keadaan darurat. Ibunda telah menganggap keadaan telah darurat.
Oleh karena itu, keluarga Banyak Citra harus bersiap-siap menyelamatkan diri.
Setelah memberi penjelasan demikian, Kakek Misja memerintahkan kepada enam orang gulang-gulang kepercayaannya untuk membuka lemari besar itu. Ternyata, salah satu papan lemari itu dapat dicabut, yaitu papan yang berada di samping kiri yang melekat pada dinding batu.
Seandainya orang mengangkat atau menggeser lemari itu secara kepalang tanggung dalam mencari pintu rahasia, mungkin orang akan menyangka bahwa lemari berat itu tidak memiliki terowongan di sampingnya. Hanya orang yang berhasil memindahkan lemari berat itu jauh dari tempatnya yang dapat melihat terowongan sempit itu. Orang yang hanya sedikit menggesernya, tidak mungkin dapat melihat terowongan yang berada di samping lemari itu. Pengetahuan tentang adanya jalan rahasia itu menimbulkan kekaguman Banyak Sumba terhadap Ayahanda.
"Sekarang, mulai angkut peti-peti itu," kata Kakek Misja kepada enam orang gulang-gulang kepercayaan itu. Mereka pun pergi, kembali ke ruangan tengah kaputren.
"Mungkinkah mereka akan membocorkan rahasia tentang adanya terowongan ini?" tanya Banyak Sumba kepada Kakek Misja.
"Tidak mungkin, mereka semua berutang budi secara turun-temurun kepada keluarga Banyak Citra. Mereka telah bersumpah dengan saksi Sang Hiang Tunggal," jawab Kakek Misja. Banyak Sumba tenteram oleh jawaban orang tua itu. Kemudian, ia melihat lubang kelam yang berupa terowongan. Selagi ia melihat-lihat, kembalilah para gulang-gulang itu. mengangkat peti-peti barang keluarga Banyak Citra. Peti-peti itu dibawa masuk terowongan, kemudian mereka kembali.
Sekarang, tinggallah Kakek Misja dan Banyak Sumba.
"Di manakah berakhirnya terowongan ini?" tanya Banyak Sumba.
"Di tepi sungai," jawab Kakek Misja. "Jauh?"
"Lumayan jauhnya." Sambil berkata demikian, Kakek Misja melangkah menuju ruangan belakang kaputren, tempat Ibunda dan Ayunda serta para emban berkumpul. Banyak Sumba duduk di sudut ruangan dengan adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Tampak semua adiknya itu ketakutan. Sedangkan orang-orang tua, laki-laki dan perempuan, semuanya membisu belaka, mendengarkan suara-suara dari luar.
Kadang-kadang terdengar teriakan, walaupun ddak jelas, yang memberi isyarat bahwa di luar istana sedang berlangsung kejadian-kejadian yang tidak wajar. Kadang- kadang terdengar bunyi kaki orang berlari di lorong-lorong istana. Demikianlah, di kaputren orang berkumpul sambil mendengarkan setiap suara dengan kecemasan. Akhirnya, ketika malam sangat larut, datanglah gulang-gulang utusan Ayahanda membawa perintah agar seluruh keluarga melarikan diri.
Berjalanlah Ibunda dan Ayunda Yuta Inten bersama Banyak Sumba dan adik-adiknya, menuju ruangan tempat pintu rahasia itu berada. Kakek Misja mengiringi mereka bersama para emban yang tidak banyak jumlahnya. Sementara keenam orang gulang-gulang menyalakan lampu-lampu minyak untuk penerangan dalam terowongan itu. Tak berapa lama, rombongan pun sudah di dalam terowongan, gua kelam yang berudara lembap.
Sukar ditetapkan untuk berapa lama rombongan kecil itu berjalan di dalam terowongan yang sempit itu, tetapi tiba-tiba Kakek Misja yang berjalan paling dulu berhenti. Seluruh rombongan pun berhenti. Banyak Sumba yang berjalan di dekat Kakek Misja menyadari bahwa tempat mereka berhenti itu buntu. Setelah mata Banyak Sumba terbiasa pada kere- mang-remangan itu, tampaklah olehnya bahwa sebenarnya terowongan itu tidak buntu, tetapi batu yang sangat besar menutupnya dengan rapat. Melihat itu, mula-mula Banyak Sumba bingung. Kemudian, mengertilah dia, apa yang terjadi. Batu besar itu tidak mungkin dapat didorong, walaupun misalnya seluruh rombongan melakukannya. Kakek Misja kemudian menyerahkan obornya kepada seorang gulang- gulang yang paling dekat dengannya. Orang tua itu menggelundungkan sebuah batu yang ada tidak jauh dari tempatnya berdiri, kira-kira sebesar kepala kerbau. Oleh Kakek Misja, batu itu diletakkan di depan batu besar yang menutupi lubang gua. Kemudian, Kakek Misja mengambil sebatang besi panjang yang terletak dalam kegelapan. Salah satu ujungnya diletakkan di antara batu kecil dan batu besar penutup mulut gua. Ternyata, di atas batu kecil itu sudah ada suatu lekuk yang tampak diperuntukkan bagi besi panjang itu. Mengertilah Banyak Sumba bahwa asas yang dipergunakan umrk menggeser batu besar itu adalah asas pengungkit yang pernah dipelajarinya dari Ayahanda. Mengerti pulalah Banyak Sumba, mengapa Ayahanda mengajarkan asas tersebut kepadanya. Ayahanda telah menyiapkan dirinya kalau-kalau pada suatu waktu Banyak Sumba harus memimpin keluarganya melalui gua itu.
Setelah batang besi yang besar dan panjang itu terletak miring di atas batu yang kecil, Kakek Misja memerintah enam orang gulang-gulang untuk membantunya mendorong batu itu. Banyak Sumba yang mengerti asas pengungkit mendahului para gulang-gulang yang kelihatan tidak mengerti. Banyak Sumba memegang batang besi itu, tidak bergerak, demikian juga batu besar itu.
"Engkau rupanya telah mengerti, Raden," kata Kakek Misja. "Saya mengerti," kata Banyak Sumba. Hatinya bangga
karena ia benar-banar merasa sebagai anggota wangsa
Banyak Citra, yang dengan sendirinya harus mengerti apa yang harus diperbuat di hadapan mulut gua yang tertutup itu.
"Nah, Gulang-gulang, bantu Raden Banyak Sumba," perintah Kakek Misja, mengulang. Maka, para gulang-gulang pun mulai membantu menarik batang besi itu ke bawah. Mereka keheranan ketika batu besar itu mula-mula sedikit bergerak, kemudian bergerak dengan mudah diiringi suara gemuruh dan debu serta pasir yang berjatuhan deras dari atas atap gua.
"Pejam!" seru Banyak Sumba kepada adik-adiknya supaya mata mereka tidak kemasukan pasir. Ketika Banyak Sumba berseru demikian, diliriknya adik-adik dan wanita-wanita.
Tampak olehnya, betapa Ibunda dan Ayunda bangga melihat Banyak Sumba sudah dapat menggabungkan diri dan bekerja dengan gulang-gulang.
Sebagai anggota Banyak Citra, Banyak Sumba pun merasa bangga. Hanya sedikit orang di seluruh Pajajaran yang mengetahui cara menggerakkan benda besar. Dan, hanya wangsa Banyak Citra yang sangat ahli dalam soal menggeser benda-benda besar. Ilmu ini adalah salah satu rahasia para bangsawan yang pada saat-saat darurat dapat dipergunakan, seperti pada saat itu.
Tak lama kemudian, masuklah cahaya dari luar gua itu. Para gulang-gulang pun makin giat menarik batang besi itu. Akhirnya, bergeserlah batu besar itu ke samping, sesuai dengan arah yang dikehendaki oleh celah yang ada di atas batu kecil. Kakek Misja pun berjalan melalui celah antara dinding gua dan batu besar itu sambil mempersilakan Ibunda, Ayunda, dan adik-adik Banyak Sumba untuk mengikuti.
Banyak Sumba sendiri tidak segera keluar gua. Ia sudah menjadi seorang laki-laki dewasa setelah ikut menggerakkan batu besar itu. Baru setelah seluruh rombongan wanita keluar, ia melangkah diikuti para gulang-gulang yang mulai memadamkan obor mereka.
Begitu tiba di luar, terdengar Ibunda dan Ayunda menangis. Demikian juga para emban. Banyak Sumba terkejut. Kemudian, dia sadar bahwa cahaya yang masuk gua bukanlah cahaya bintang-bintang, melainkan cahaya api kebakaran besar yang datang dari kota. Kota terbakar, kalau tidak seluruhnya mungkin sebagian besar. Dan di antara gemuruh api, dentum ledakan bambu, terdengar pula teriakan-teriakan perang.
Teringatlah Banyak Sumba kepada Ayahanda. Apakah yang terjadi pada beliau? Masih selamatkah beliau atau ...? Teringat akan hal itu, gemetarlah sendi Banyak Sumba. Akan tetapi, ia segera sadar bahwa ia anak laki-laki terbesar. Hadnya diteguhkan, lalu berjalanlah ia ke depan, memegang tangan Ibunda dan menuntunnya, mengikuti Kakek Misja. Ibunda rupanya terhibur oleh sikap Banyak Sumba. Sambil beliau mengusap rambut Banyak Sumba yang tergerai di kening, beliau mengikuti tuntunan itu.
Mereka berjalan untuk beberapa lama di dalam semak- semak, kemudian sampailah mereka di tepi sungai. Ternyata, di tepi sungai itu sudah menunggu dua orang gulang-gulang dengan sebuah perahu besar. Seluruh rombongan wanita masuk perahu, sementara para gulang-gulang diperintahkan oleh Kakek Misja untuk kembali ke gua. Banyak Sumba mula- mula ragu, apakah ia akan masuk perahu atau kembali. Kalau ia segera masuk perahu, ia akan kembali menganggap dirinya sebagai anak kecil. Kalau ia mengikuti para gulang-gulang kembali ke mulut gua, ia harus melepaskan keluarga tanpa pengawalannya. Untung Kakek Misja berkata, "Kita harus menutup pintu gua dulu, Raden."
Dengan tegas, Banyak Sumba melangkah, mendahului yang lain ke mulut gua. Ternyata, di depan mulut gua pun sudah terdapat batu kecil, tersembunyi di dalam semak. Batu kecil itu sama besar dan bentuknya dengan yang di dalam.
Demikian juga penggunaannya karena ternyata di luar pun ada sebatang besi yang tersembunyi. Setelah pekerjaan yang sama dilakukan kembali, dengan menggeser batu besar ke arah gua, tertutuplah gua itu. Dalam remang-remang, yang tampak hanyalah sebuah batu yang sangat besar. Sukar bagi siapa pun untuk menduga bahwa di balik batu itu terdapat terowongan besar menuju salah satu ruangan Istana Banyak Citra. Dan, mereka yang mengetahui pun belum tentu dapat menggeser batu besar itu, kecuali anggota keluarga Banyak Citra atau gulang-gulang yang paling setia.
Setelah selesai, mereka kembali ke tepi sungai. Perahu itu sudah tidak ada. Akan tetapi, tak lama kemudian, muncullah ia dari dalam gelap, dari tengah sungai. Para gulang-gulang dan Kakek Misja dengan didahului oleh Banyak Sumba masuk perahu, lalu mereka menyeberang. Ternyata, di seberang telah tersedia kereta, kuda, dan beberapa orang gulang- gulang. Rombongan wanita masuk kereta. Banyak Sumba menaiki salah seekor kuda. Gulang-gulang sebagian ikut di atas kereta, sebagian naik kuda. Maka, rombongan pun berangkat dalam lindungan gelap malam.
Sebelum berangkat, Banyak Sumba berpaling ke arah Kota Medang. Air mata menitik. Ia melihat kota itu sebagai api unggun yang menjulang tinggi. Ia pun teringat akan Ayahanda.
Perjalanan yang dipimpin oleh Kakek Misja itu dilakukan melalui jalan-jalan yang tidak dikenal Banyak Sumba.
Walaupun gelap, Banyak Sumba menyadari bahwa jalan-jalan yang dilewati bukanlah jalan-jalan biasa, tapi celah-celah di antara semak-semak atau jalan-jalan tua yang tidak biasa dipergunakan lagi. Perjalanan itu dilakukan dalam jangka waktu yang sangat lama. Banyak Sumba menyadari hal itu karena selalu berpaling ke bintang-bintang, yang gerakannya ia ikuti sambil melihat Bintang Luku untuk mengetahui arah. Ketika ia mulai lelah dan surai kuda basah, rombongan pun berhenti.
Kakek Misja turun dari kudanya dan berkata kepada Banyak Sumba bahwa perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Maka, turunlah Banyak Sumba. Bersama Kakek Misja, ia berjalan ke arah kereta. Banyak Sumba menurunkan adik- adiknya yang belum tidur atau membantu para emban yang turun sambil menggendong adik-adik Banyak Sumba yang masih kecil. Setelah barang-barang diturunkan dan gulang- gulang siap mengangkatnya, Kakek Misja memberi aba-aba. Maka, rombongan pun berjalan, kecuali kusir kereta dan beberapa orang gulang-gulang yang harus kembali ke Kota Medang. Rombongan berjalan di bawah bintang-bintang, didahului oleh Kakek Misja yang membawa obor. Di kanan dan di kiri rombongan, dikawal gulang-gulang yang berpakaian perang dan bersenjata lengkap.
Paling depan berjalan dua orang gulang-gulang yang pedangnya kadang-kadang harus dipakai menebas semak- semak yang menghalangi langkah rombongan. Di samping Kakek Misja berjalanlah Banyak Sumba. Pikirannya melayang ke sana kemari. Kadang-kadang, air matanya hendak keluar kalau ingat kepada Ayahanda. Kadang-kadang, hatinya menjadi panas kalau ingat kepada Jakasunu yang berkhianat dan menyebabkan huru-hara dalam kota. Akan tetapi, sakit hati dan kemarahan yang meluap-luap itu bergalau hebat dalam hatinya ketika ia ingat kepada Pangeran Anggadipati.
Sungguh, tidak serambut pun ia menyangka bahwa seorang yang sangat disenangi dan dimuliakan oleh seluruh keluarga Ayahanda akan berkhianat demikian keji. Pangeran Anggadipati telah membunuh Jante Jaluwuyung. Itu sudah luar biasa kejam dan kejinya. Akan tetapi, akibat perbuatannya tidak hanya sampai di sana. Segala kejadian yang mengikuti dan menyebabkan Kota Medang terbakar, keluarga Banyak Citra mengungsi, dan mungkin nasib Ayahanda terancam, pada hakikatnya akibat perbuatan Pangeran Anggadipati. Sambil berjalan, Banyak Sumba meraba hulu badiknya. Ia berbisik tidak akan membiarkan orang keji itu hidup tenteram di dunia. Kalau Sang Hiang Tunggal berkenan, ia bertekad minta bayaran nyawa Kakanda Jaluwuyung dan segala kesengsaraan yang diderita keluarga Banyak Citra dengan nyawa Pangeran Anggadipati dan seluruh keluarganya. Sementara ia termenung demikian, mulai dirasakan betapa penat kakinya. Tak lama kemudian, terdengarlah kokok ayam hutan. Banyak Sumba melihat ke langit sebelah timur, tempat Bintang Kejora mulai pucat.
Subuh itu, tibalah rombongan di sebuah tempat, di tengah- tengah hutan belantara. Rombongan mendaki dengan bantuan seutas tambang ijuk yang besar. Alangkah sukarnya pendakian itu, apalagi bagi kaum wanita. Anak-anak kecil terpaksa digendong oleh para gulang-gulang. Karena sukarnya pendakian itu, lama sekali rombongan bisa berkumpul di sekitar tebing pendakian. Ketika matahari terbit, tibalah mereka semua di tepi tebing. Dan di bawah cahaya matahari itu, jelaslah bagi Banyak Sumba bahwa mereka berada di puncak gunung kecil yang bertebing curam dan berhutan lebat. Dari puncak gunung dapat dilihat wilayah-wilayah kekuasaan Kota Medang. Bahkan, Kota Medang walaupun samar-samar dapat pula dikira-kira letaknya. Sadarlah Banyak Sumba bahwa gunung pengungsian itu tidaklah jauh benar dari Kota Medang, tetapi akan sukar sekali dicari karena letaknya tidak disangkasangka dan sukar dicapai. Sadar pula ia bahwa rombongannya telah melakukan perjalanan yang luar biasa beratnya.
SETELAH seluruh rombongan berhasil melewati tebing yang curam, Kakek Misja menjadi petunjuk jalan kembali.
Rombongan menuju hutan yang sangat lebat yang berada di puncak gunung kecil itu. Perjalanan yang singkat ini bukanlah perjalanan yang mudah karena tumbuh-tumbuhan di hutan itu banyak sekali yang termasuk jenis tumbuh-tumbuhan berduri dan merambat. Karena Kakek Misja telah hafal, perjalanan yang sukar itu bukan siksaan bagi rombongan.
Suatu hal sangat berkesan pada hati Banyak Sumba dalam perjalanan malam yang berat itu. Ternyata, adik-adiknya, walaupun masih kecil, tidak ada yang menangis. Bahkan, yang merengek pun tidak ada. Mereka diam. Ini sangat mengharukan Banyak Sumba. Bersama keharuannya itu, timbullah pula rasa hormat yang mendalam terhadap Ayahanda Banyak Citra. Bagaimanapun, keluarga Banyak Citra adalah keluarga bangsawan, dan sebagai keluarga bangsawan, setiap anggotanya harus memiliki watak yang lebih baik daripada orang kebanyakan. Anggota wangsa Banyak Citra harus lebih cerdas, berilmu, be- ? rani, tabah, dan kuat. Itulah yang biasa ditanamkan oleh Ayahanda kepadanya dan kepada semua saudaranya Begitu pandai Ayahanda sebagai pendidik sehingga adik-adiknya yang masih kecil-kecil pun sudah memiliki watak yang baik ini.
Sambil termenung demikian, Banyak Sumba terus melangkah mengikuti Kakek Misja, sementara sisa rombongan berjalan agak jauh di belakang. Para gulang-gulang mengangkat peti-peti, para emban mengangkat benda-benda kecil atau menggendong adik-adik Banyak Sumba. Ibunda dan Ayunda Yuta Inten berjalan di tengah-tengah mereka.
Rombongan itu makin lama makin masuk hutan di puncak gunung kecil itu.
Pada suatu saat, Banyak Sumba melihat bagian hutan yang pohon-pohonnya mulai jarang. Kemudian, tampak pula di tengah-tengah hutan yangjarang itu sebuah lapangan. Dengan terheran-heran, Banyak Sumba melihat bahwa yang mereka tuju sebuah kampung kecil, demikian kecilnya sehingga sukar disebut kampung. Kampung yang terdiri dari empat atau lima buah bangunan itu hanya cocok untuk padepokan, tempat pertapa dengan beberapa orang cantriknya dapat memperdalam ilmu dengan tenang. Akan tetapi, untuk dikatakan padepokan pun tidak cocok pula karena selain bangunan-bangunan yang terdapat di sana dibuat dari bahan- bahan yang baik, pagar yang mengelilinginya pun lebih cocok sebagai pagar sebuah rumah bangsawan. "Kita sampai, Raden," ujar Kakek Misja sambil berhenti, kemudian berpaling pada rombongan yang mendekat. Setelah itu, dipersilakan Ibunda, Ayunda, serta para emban untuk berjalan lebih dahulu memasuki halaman rumah-rumah itu.
Banyak Sumba berdiri di pinggir jalan setapak, tidak jauh dari gerbang pagar yang mengelilingi kampung kecil itu. Ia berdiri di samping Kakek Misja yang sedang menyampaikan perintah-perintahnya kepada gulang-gulang yang membawa barang-barang. Setelah Kakek Misja selesai memberikan perintah-perintah, bertanyalah Banyak Sumba kepada orang tua itu, "Kakek, sudah lamakah kampung ini didirikan?"
"Raden, kampung ini bernama Panyingkiran, didirikan paling sedikit seratus tahun yang lalu oleh eyangmu," kata orang tua itu, kemudian ia termenung. Lalu, seperti bicara kepada dirinya sendiri, Kakek Misja berkata, "Wangsa Banyak Citra sungguh-sungguh suatu wangsa yang banyak menderita. Selalu, ya, selalu terjadi bentrokan-bentrokan dengan wangsa lain. Bahkan, eyangmu pernah berselisih dengan Prabu Sili- wangi karena salah pengertian." Kemudian, setelah tampak ia menyadari bahwa di sampingnya ada Banyak Sumba, salah seorang dari wangsa Banyak Citra, berkatalah Kakek Misja, "Dan keluargaku, Raden, turun-temurun menjadi hamba wangsa Banyak Citra yang luar biasa ini. Engkau pun, dari cahaya matamu, potongan badanmu, apa-apa yang telah terjadi kepadamu selagi berumur begini muda, mungkin akan mengalami nasib yang luar biasa pula. Mudah-mudahan tidak," kata Kakek Misja seraya menarik napas panjang, lalu memberi isyarat agar Banyak Sumba mengikutinya masuk halaman kampung yang dilingkungi pagar yang kuat itu.
-ooo00dw00ooo-