Putri Borong Mini Eps 07 : Api Berkibar Di Bukit Setan

Eps 07 : Api Berkibar Di Bukit Setan

1

Siang itu, matahari berdiri tegak lurus di cakrawala. Panasnya garang melecut bumi. Memaksa  banyak orang yang berjalan di siang itu mengenakan caping pelindung, tak kuat menahan sengatan terik matahari.

Tanpa mempedulikan deraan panas yang terasa hendak melepuhkan kulit, sepasang anak muda tam- pak sedang bercengkerama melepas rindu di Bukit Tengkorak. Sebuah bukit yang berdampingan dengan Bukit Setan. Sepasang remaja itu tidak lain Bong Mini dan Baladewa. Mereka sengaja beristirahat di bukit itu sambil melepaskan rindu sebelum menuju Bukit  Se- tan, tempat tujuan mereka.

Beberapa saat Bong Mini dan Baladewa hanya ber- diri termangu. Keduanya berhadapan dengan mata berbinar-binar, penuh kerinduan dan gejolak cinta. Apalagi sepasang anak muda itu baru mencapai  usia dua puluh tahun, saat mereka baru mengenal cinta. Sehingga begitu bertemu, sinar mata mereka meman- carkan kehangatan yang luar biasa.

Entah disadari atau tidak, tiba-tiba bibir Baladewa mendekat pada bibir merah Bong Mini yang mungil. Bibir merah yang mungil itu disentuh oleh bibir Bala- dewa. Begitu mesra dan penuh perasaan.

Karena Bong Mini baru mengalami pacaran, maka ketika bibirnya dilumat oleh bibir Baladewa, ia hanya dapat memejamkan matanya tanpa membalas lumatan bibir pemuda di hadapannya.

Ketika merasakan tubuhnya panas dingin disertai jantung yang berdegup kencang, Bong Mini segera me- narik bibirnya. Kemudian sambil menghela napas, ia berjalan beberapa langkah dan duduk di atas rumput. Diikuti oleh Baladewa yang duduk satu meter di sam- pingnya. Sedangkan matanya memandang Bong Mini dengan sinar mata yang memancarkan kasih sayang.

“Kau marah?” tanya Baladewa dengan suara berge- tar karena masih diburu nafsu birahi.

Bong Mini menggeleng lemah. Tatap matanya yang kosong tertuju pada serakan dedaunan kering di atas rumput di depannya.

“Lalu kenapa?” tanya Baladewa lagi, ingin mengeta- hui perubahan sikap Bong Mini yang tiba-tiba itu.

Bong Mini menoleh pada Baladewa dengan wajah dan sinar mata yang sendu. “Aku takut!”

“Takut kenapa?” tanya Baladewa kurang paham. “Aku takut kita lupa diri karena kenikmatan sesa-

at,” desah Bong Mini. Tatapan matanya masih sendu. Baladewa  terdiam  merenungi  ucapan  Bong  Mini.

Satu ucapan pendek yang mengandung nilai kebena- ran.

“Kau benar! Tidak seharusnya kita mengumbar naf- su birahi sebelum kita terikat tali perkawinan,” ucap Baladewa membenarkan.

Nafsu birahi memang sesuatu yang dimiliki setiap manusia, karena merupakan satu hal penting bagi per- kembangbiakannya. Namun bukan berarti nafsu birahi yang dimiliki dapat diumbar begitu saja!

“Terima kasih atas pengertianmu, Baladewa!” sam- but Bong Mini gembira.

Baladewa tersenyum sambil menggeser tubuhnya lebih dekat lagi dengan Bong Mini, putri Tiongkok yang telah membuatnya mabuk kepayang.

“Aku sangat berbahagia sekali dapat memilikimu!” bisik Baladewa kemudian.

“Begitu pula aku. Karena kau selalu bersikap jujur dan mau menerima pendapatku. Kau tahu? Andaikata kita terseret untuk melakukan pelanggaran karena ti- dak mampu mempertahankan diri dari godaan nafsu, aku pasti sangat membenci diriku sendiri, termasuk membenci dirimu!”

“Mudah-mudahan itu tidak terjadi. Aku sangat mencintai, menghargai, dan menghormatimu sebagai seorang gadis!” tutur Baladewa bersama tarikan napas, mengusir gejolak nafsu yang masih memburu di dada- nya. “Karena itu,” lanjut Baladewa, “setelah tugas kita membasmi orang-orang Perguruan Topeng Hitam usai, aku akan mengurung diri beberapa waktu!”

“Untuk apa?” tanya Bong Mini dengan wajah terke- jut.

“Untuk mengekang nafsuku agar tidak liar!”

“Hi hi hi!” tawa Bong Mini kontan berderai ketika mendengar ucapan Baladewa.

“Kenapa tertawa?” tanya Baladewa heran.

“Kenapa kau harus mengurung diri segala, Bala- dewa?” tanya Bong Mini dengan nada bergurau. Sete- lah tawanya benar-benar reda, ia kembali melanjutkan ucapannya. “Sebagai manusia, kita memang diharus- kan untuk menguasai nafsu agar tidak liar.  Tapi  bu- kan berarti harus mengekang dan menyiksa diri. Me- ngekang nafsu dengan cara seperti itu ibarat api dalam sekam. Nafsu yang berhasil kita kekang itu,  suatu waktu akan menyala lagi!”

Baladewa mengangguk-angguk, memahami kata- kata kekasihnya.

“Menurutmu, bagaimana cara yang terbaik?”

“Kalau menurut pendapatku, menguasai nafsu lebih baik dengan cara pengamatan diri yang sewajarnya serta penuh kesadaran. Dengan cara begitu, mudah- mudahan nafsu liar akan  kehilangan  kekuasaannya dan berganti dengan keinginan yang menuntut kebai- kan-kebaikan!” papar Bong Mini, memberi pendapat. Dan pendapat itu telah ia jalankan ketika Baladewa mencium bibirnya. Andai saja dia tidak cepat-cepat sa- dar, tentu ia akan dikuasai oleh nafsu liarnya dan ter- jadilah perbuatan yang menjijikkan.

Baladewa mendengarkan pendapat Bong Mini pe- nuh kekaguman.

“Aku sangat bangga dan kagum dapat memilikimu, Bong Mini,” cetus Baladewa, mengemukakan kekagu- mannya. “Selain pandai bersilat, kau pandai pula men- gisi hati manusia berbatin lemah seperti aku!”

Mendapat pujian itu, Bong Mini hanya tersenyum seraya berdiri. Sedangkan kedua matanya dipicingkan ke atas, menatap sinar matahari yang bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan.

“Hari sudah semakin siang!” gumam Bong Mini, mengingatkan kekasihnya. Karena keduanya sudah begitu lama beristirahat di tempat itu. Sejak matahari berdiri sepenggalan di ufuk timur.

Baladewa terhenyak dari kegembiraannya. Dia lang- sung ingat pada rencana mereka semula.

“Untung kau segera mengingatkan!” cetus Baladewa seraya bangkit.

“Makanya, kalau lagi tugas jangan terlalu asyik de- ngan nafsu!” gurau Bong Mini seraya tertawa renyah.

Baladewa hanya membalas gurauan Bong Mini de- ngan senyum. Saat itu pikirannya sendiri tertuju pada rencana untuk membawa Putri Bong Mini ke hadapan Kidarga, Ketua Perguruan Topeng Hitam.

“Kau sudah siap melanjutkan rencana kita?” tanya Baladewa.

“Sejak tadi aku sudah siap!” balas Bong Mini, masih dengan sikap bercanda.

“Termasuk bila aku menyakitimu?” “Maksudmu?” Bong Mini balik bertanya.

“Agar aku benar-benar dipercaya telah menangkap- mu, aku harus menghentikan jalan darahmu!” kata Baladewa. Bong Mini mengembangkan senyum.

“Lakukanlah!” kata Bong Mini. “Tapi gunakan ilmu ‘Pembeku Tenaga’ agar aku bisa memulihkannya sen- diri lewat ilmu ‘Pembangkit Tenaga’.”

“Baiklah!” ucap Baladewa. Kemudian ia menempel- kan telapak tangan kanannya ke punggung Bong Mini. Sedangkan tangan kirinya merengkuh pinggang gadis itu. Agar tubuh Bong Mini tidak jatuh ke tanah  pada saat tenaganya membeku.

“Oh...!” Bong Mini mengeluh pendek ketika merasa- kan tenaganya mulai membeku akibat serangan hawa dingin yang keluar dari telapak tangan Baladewa. Ke- mudian tubuhnya perlahan-lahan lemas sampai akhir- nya tak dapat melakukan apa-apa lagi. Kecuali berke- dip, mendengar dan berkata dengan suara yang amat lemah. Persis seperti orang yang meninggalkan pesan ketika hendak mati.

Setelah tubuh Bong Mini benar-benar dalam keada- an lumpuh, Baladewa langsung merangkul tubuh mu- ngil itu dengan cara menyandarkan kepala gadis itu di pundaknya. Setelah itu, ia segera membawa Bong Mini menuju Perguruan Topeng Hitam. Ilmu peringan tu- buhnya yang hampir sempurna dikerahkan. Sehingga tubuhnya melesat seperti angin.

***

Sementara itu, Pendekar Mata Dewa dan Pendekar Teluk Naga telah sampai di pesisir Selat  Malaka.  Di sana mereka langsung bertemu dengan Bongkap dan pasukannya.

Ketika melihat kedatangan enam pendekar yang menyertai Bong Mini, Bongkap dan para pengikutnya langsung terkejut. Mereka segera menghampiri.

“Apa yang terjadi dengan kalian? Kenapa tidak ber- sama putriku?” tanya Bongkap dengan perasaan was- was, khawatir terjadi sesuatu terhadap putrinya.

“Kami baru saja bertempur dengan pasukan Pergu- ruan Topeng Hitam yang dipimpin oleh Baladewa, pu- tra Prabu Jalatunda,” lapor Kao Cin Liong, Ketua Pen- dekar Mata Dewa.

“Lalu bagaimana dengan putriku?” cecar Bongkap yang sejak tadi merisaukan keadaan putrinya.

“Putri Bong Mini bersama Baladewa pergi menuju Perguruan Topeng Hitam!” jelas Kao Cin Liong lagi.

“Jadi, putraku yang jadi pengkhianat itu berhasil merobohkan Putri Bong Mini dan membawanya ke Per- guruan Topeng Hitam?” celetuk Ningrum dengan wajah terkejut bercampur geram.

Kao Cin Liong tersenyum melihat perubahan wajah wanita itu.

“Baladewa bukan seorang pengkhianat, Nyi Ning- rum!” ujar Kao Cin Liong.

Ningrum, Bongkap, dan Prabu Jalatunda saling ber- pandangan. Wajah ketiganya menunjukkan kebingu- ngan.

“Bicaralah yang benar!” bentak Bongkap agak ma- rah.

“Maafkan kami, Tuanku!” ucap Kao Cin Liong. “Se- sungguhnya, Baladewa bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam hanya siasat  saja.  Dengan  cara  begitu, ia bisa melihat para pendekar tangguh yang bersekutu dengan perguruan itu!” lanjut Kao Cin Liong.

“Benarkah apa yang kau katakan itu?” tanya Ning- rum.

“Begitulah menurut pengakuan Baladewa!” sahut Kao Cin Liong.

Wajah Prabu Jalatunda dan Ningrum tampak ber- seri-seri saat mendengar laporan bahwa anaknya tidak terlibat persekutuan dengan Perguruan Topeng Hitam. Malah kegeraman mereka sirna seketika. Berubah menjadi rasa gembira.

“Apakah ada hal lain yang ingin kau  laporkan?” tanya Bongkap kepada Kao Cin Liong.

“Ada, Tuanku!” sahut Kao Cin Liong cepat. “Katakanlah!”

“Baladewa dan Bong Mini berpesan agar semua pa- sukan langsung menyerbu Bukit Setan!”

“Bagaimana mungkin? Prajurit Kerajaan Manchuria akan tiba di sini besok pagi!” sergah Bongkap.

“Menurut Baladewa, musuh yang kita hadapi seka- rang adalah Perguruan Topeng Hitam. Jadi yang harus kita serang terlebih dahulu adalah Perguruan Topeng Hitam berikut pemimpinnya, Kidarga,” kata Kao Cin Liong menjelaskan.

Bongkap mengangguk-angguk sambil berpikir seje- nak.

“Kedatangan kita ke sana juga untuk menjaga ke- mungkinan terbongkarnya rahasia Baladewa dan Bong Mini. Dengan begitu kita bisa membantunya!” kata Kok Thai Ki menambahkan.

Bongkap kembali mengangguk-angguk, menyetujui pendapat Baladewa dan putrinya. Saat itu juga, dia bersama pasukannya segera bergerak menuju Bukit Setan.

***

2

Matahari telah condong ke arah barat. Kabut yang sejak siang tadi menyingkir karena terpaan sinar mata- hari, kini mulai turun menutupi Bukit Setan. Bentuk pepohonan yang tumbuh di sekitar bukit itu perlahan menjadi samar. Dalam suasana alam yang mulai gelap itu,  Bala- dewa telah sampai di Perguruan Topeng Hitam. Sebuah perguruan luas yang berdiri kokoh dengan penjagaan ketat.

Setelah empat penjaga membuka pintu gerbang, Ba- ladewa langsung membawa Putri Bong Mini menuju ruangan yang luasnya sekitar lima belas meter.

Ruangan yang dinding-dindingnya terbuat dari bilik itu tampak begitu kumal, sumpek, dan seram seperti menyimpan misteri. Hiasan-hiasan kepala manusia terpampang di sana. Sedangkan di setiap sudut rua- ngan mengepul asap pedupaan hingga menimbulkan suasana tegang bagi mereka yang baru menginjakkan kaki di ruangan itu. Itulah ruangan pribadi Ketua Per- guruan Topeng Hitam. Sedangkan pedupaan yang te- rus mengepulkan asap itu merupakan syarat yang te- lah disepakati antara Kidarga dengan iblis marakayan- gan yang selama ini telah memberikan ilmu-ilmu ke- saktian.

“Inikah gadis yang selama ini melakukan pemberon- takan terhadap Perguruan Topeng Hitam?” tanya Ki- darga. Matanya terus mengawasi Bong Mini.

“Benar, Ketua!” sahut Baladewa. “Dia memang seo- rang gadis berilmu tinggi. Seluruh pasukan yang kupe- rintahkan untuk mengepung dia tewas. Dan dia baru roboh saat aku menghadapinya!” lanjut Baladewa.

Kidarga mengangguk-angguk kagum pada Balade- wa.

“Tidak sia-sia aku memilihmu sebagai wakil keper- cayaanku!”

Baladewa tersenyum mendapat pujian itu.

Setelah bercakap-cakap dengan Baladewa, Kidarga memalingkan pandangannya ke arah Bong Mini seraya menyeringai.

“Berlutut di depanku!” bentaknya. Bong Mini diam. Hatinya tak tergerak sedikit pun untuk mengikuti kehendak lelaki tua yang duduk po- ngah di hadapannya. Malah hatinya mendadak panas. Ingin diterjangnya lelaki itu dan menghantam wajah- nya. Tapi karena ia sadar berada di tempat yang mem- bahayakan, maka keinginan itu segera ditahannya. Ia harus berhati-hati dalam bertindak. Sekali saja ber- buat gegabah, maka jiwanya akan terancam. Termasuk Baladewa yang berpura-pura menjadi sekutu Perguru- an Topeng Hitam.

“Hm..., kau benar-benar seorang gadis yang keras kepala!” kata Kidarga agak geram. Kemudian tangan- nya mengambil sebatang tongkat yang bersandar di lengan kursi sebelah kanan. Kemudian tongkat sepan- jang satu setengah meter itu diayunkan ke kaki Bong Mini dengan keras.

Wut!

Sambaran tongkat Kidarga yang cepat dan penuh tenaga itu segera dielakkan Bong Mini dengan cara mengangkat kedua kakinya. Serangan tongkat yang menimbulkan desiran angin itu luput dari sasaran.

Kidarga terbelalak kagum melihat cara Bong Mini mengelak serangannya secara tiba-tiba. “Pantas gadis ini mampu mengalahkan pasukanku,” begitu pikir Ki- darga yang baru menyaksikan kepandaian Bong Mini walau baru sekali gebrakan.

“Kau memang seorang gadis yang memiliki kepan- daian tinggi. Tapi sayang, kepandaian itu kau pergu- nakan percuma!” kata Kidarga sambil menarik kembali tongkatnya.

Bong Mini mengerutkan kening. Dia tidak paham maksud ucapan Ketua Perguruan Topeng Hitam itu.

“Kau gunakan kepandaianmu itu untuk  kepenti- ngan rakyat. Tapi apa yang kau peroleh jika berhasil membela mereka? Dan apa yang akan mereka perbuat jika kau menderita kekalahan dan ditangkap seperti sekarang ini? Apakah mereka akan menolong membe- baskanmu?” lanjut Kidarga. Matanya tetap meman- dang Bong Mini lekat-lekat.

Bong Mini masih diam. Ia ingin mendengar kelanju- tan ucapan tokoh sesat di depannya itu.

“Andai saja sebelumnya kau  tidak  memberontak dan membunuh orang-orangku, tentu kau akan men- dapatkan jabatan atau kedudukan yang baik dariku!” lanjut Kidarga. “Tapi sayang, kau telah banyak mem- bunuh orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Aku ti- dak bisa lagi mengampunimu. Termasuk orangtuamu yang bernama Bongkap itu!”

Bong Mini menanggapi ucapan Kidarga itu dengan senyum sinis. Kemudian ia menimpali, “Memang ada beberapa hal yang mendorong seseorang untuk menja- di pejuang. Salah satunya seperti yang kau sebutkan tadi. Berjuang untuk mencari kedudukan dan kemu- liaan! Tapi perjuanganku bukan untuk itu. Aku ber- juang untuk mengabdi kepada bangsa dan negara tempatku berpijak. Tanpa menuntut imbalan apa-apa!” tutur Bong Mini mantap.

“Walaupun ajalmu sudah dekat seperti  sekarang ini?” pancing Kidarga.

“Aku tidak takut pada kematian kalau memang Tu- han menghendaki!” sahut Bong Mini gagah.

“Hua ha ha...!” Kidarga tertawa terbahak-bahak, memecahkan kesunyian ruangan itu.

Bong Mini terkejut mendengar tawa Kidarga tadi. Karena pada saat itu ia merasakan kedua kakinya ber- getar, akibat tenaga dalam ‘Tawa Geledek’ yang dike- rahkan Kidarga. Dengan begitu, ia semakin sadar  ka- lau Ketua Perguruan Topeng Hitam itu memiliki kepan- daian yang  amat tinggi. Kalau dibiarkan hidup, tentu dia akan mengancam ketenteraman penduduk negeri Selat Malaka.

“Kau tidak takut mati karena memang tidak ada pi- lihan lain buatmu untuk hidup!” lanjut Kidarga seraya bangkit dari duduknya. Lalu kakinya melangkah men- dekati Putri Bong Mini.

“Tapi sebelum aku menghabisi nyawamu, ada sesu- atu yang ingin kutanyakan padamu!” kata Kidarga de- ngan mata mencorong pada Bong Mini yang berdiri se- kitar satu meter darinya.

Bong Mini merasakan jantungnya berdebar-debar hebat ketika Ketua Perguruan Topeng Hitam itu telah mendekati dirinya. Bukan  karena  takut,  melainkan akibat pengaruh dari  sepasang  mata  merah  Kidarga yang menyoroti kedua matanya. Meski dia juga tengah memandang tajam pada Kidarga. “Benar-benar luar  bi- asa  kesaktian  orangtua  sesat  ini,”  begitu  kata   hati Bong Mini sambil mengerahkan ilmu ‘Sinar Mata Ma- laikat’  agar  dapat  menangkis  tatapan  mata  Kidarga yang mengandung hawa panas.

Kidarga yang tadinya merasa bangga dapat melu- luhkan sorotan mata Bong Mini menjadi terhenyak ka- get. Karena ilmu ‘Sepasang Mata Iblis’ yang dikerah- kannya tidak menimbulkan akibat apa-apa terhadap mata lawan. Sebaliknya, kedua matanya yang meman- carkan panas itu berubah menjadi dingin seperti ter- kena tetesan air es.

“Bangsat! Ilmu gadis ini benar-benar luar biasa! Dia langsung mengetahui serangan kedua mataku sekali- gus menangkisnya!” geram Kidarga dalam hati. Menya- dari kesaktian ‘Mata Iblis’-nya dapat dikalahkan oleh ilmu ‘Sinar Mata Malaikat’ milik Bong Mini, hatinya semakin geram. Dengan wajah bengis, ia bertanya ke- pada Bong Mini.

“Kaukah yang tempo hari berhadapan dengan istri- ku, Nyi Genit?” “Ya!” jawab Bong Mini singkat.

“Sekarang di mana istriku berada?” tanya Kidarga lagi, makin geram.

“Istrimu yang binal itu mati bunuh diri di sebuah jurang!”  sahut  Bong  Mini  tanpa  rasa  gentar   sedikit pun.

Plakkk, plakkk!

Tangan kanan Kidarga mendarat di kedua pipi Bong Mini yang tidak sempat mengelak. Darah segar lang- sung keluar dari mulut  mungil itu.  Bersamaan itu pu- la, tubuh Bong Mini roboh tanpa dapat bangkit lagi. Kecuali matanya saja yang berkedip-kedip memandang Kidarga penuh sinar kebencian. Saat melayangkan ta- ngan kanannya itu, Kidarga memang langsung menge- rahkan ilmu ‘Tangan Iblis’. Sebuah ilmu pukulan yang langsung dapat melumpuhkan tulang.

Baladewa yang sejak tadi berdiri di samping Bong Mini tersentak melihat gadisnya terjatuh lumpuh. Ke- mudian dengan wajah geram serta sorot mata menya- la-nyala, Baladewa memandang Kidarga.

“Kenapa Ketua melakukan kekerasan seperti ini?” Kidarga memicingkan mata. Dipandangnya Bala-

dewa lekat.

“Kau tidak suka?”

“Maaf, Ketua! Ketua telah mengangkat aku untuk menjadi wakil Ketua. Segala peraturan di perguruan ini telah Ketua serahkan padaku.  Karena  itu,  kuminta agar aku yang menghukum gadis ini tanpa campur tangan Ketua!” kata Baladewa.

Hening.

Kemudian Kidarga menghampiri Baladewa dua langkah dengan mata yang tak lepas memandang Bala- dewa.

“Aku memang telah mengangkatmu sebagai wakil- ku. Tapi bukan berarti kau mutlak memegang wewe- nang itu. Terutama hal-hal yang penting seperti gadis ini. Aku yang langsung menanganinya!” kata Kidarga. Pelan namun bertenaga, sehingga terdengar berwiba- wa.

Baladewa kembali tersentak mendengar ucapan Ki- darga. Tadinya ia mengira kalau hukuman untuk Bong Mini diserahkan kepadanya. Tapi ketika ia mendengar kalau Kidarga sendiri yang akan melaksanakan huku- man itu, hati Baladewa menjadi gusar. Dia khawatir ti- dak mampu menyelamatkan jiwa kekasihnya.

“Masukkan gadis itu ke dalam tahanan! Aku akan menghukumnya setelah orangtuanya yang bernama Bongkap berhasil kita tangkap!” perintah Kidarga pada Baladewa. Sengaja dia memerintah anak muda itu. Ki- darga khawatir kalau prajurit lain membawanya, gadis itu akan melepaskan totokan dan memberontak. Dia berpikir, “Bisa saja totokan yang dikerahkannya dapat dipulihkan Bong Mini.”

Hati Baladewa lega. Dengan demikian, ia mempu- nyai waktu beberapa hari untuk melaksanakan ak- sinya bersama Bong Mini.

Baladewa membawa tubuh Bong Mini yang masih lemas itu menuju ruang tahanan. Diikuti pandangan puas Kidarga.

***

“Kau tidak apa-apa?” bisik Baladewa ketika hendak memasuki kamar tahanan.

“Aku tidak apa-apa!” bisik Bong Mini lemah. “Aku bisa memulihkannya sendiri!”

Hati Baladewa gembira mendengar jawaban Bong Mini. Kemudian ia masuk  ke  dalam  kamar  tahanan dan membaringkan tubuh Bong Mini di atas lantai ber- alas tikar. Pada saat itulah muncul empat anak buah Perguruan Topeng Hitam. Mereka datang ke situ sete- lah mendapat perintah dari Kidarga untuk menjaga ka- mar tahanan.

“Mau apa kalian ke sini?” tanya Baladewa dengan wajah kurang senang.

“Maaf! Kami hanya mendapat perintah dari ketua untuk menjaga tahanan!” jawab salah seorang dari ke- empat orang itu.

Baladewa menghela napas. Tanpa banyak cakap la- gi, ia meninggalkan ruang tahanan. Kini tinggal Bong Mini yang berada dalam kamar tahanan yang dijaga oleh empat anak buah Kidarga.

***

Malam semakin larut. Suasana sepi mencekam ka- mar tahanan Bong Mini.

Putri Bong Mini yang masih  terbaring di lantai bera- las tikar itu, melirik ke arah  empat  penjaga  pintu.  Di sana ia melihat keempat orang itu tengah duduk ber- sandar di jeruji pintu kamar tahanan sambil sesekali melirik Bong Mini.

Bong Mini mengalihkan pandangannya kembali pa- da langit-langit kamar tahanan. Ditariknya napas per- lahan sebanyak tiga kali sambil memejamkan mata. Sedangkan pikiran dan hatinya terpusat pada kekua- saan Tuhan. Dia sedang mencoba mengerahkan ilmu ‘Pembangkit Tenaga’. Sebuah ilmu pemberian Kanjeng Rahmat Suci untuk memulihkan tenaganya kembali dengan cara meditasi dan memusatkan pikiran dan hatinya kepada sang Pencipta.

Setelah beberapa saat melakukan semadi, ia mera- sakan udara dingin yang datang entah dari mana me- nyusup ke dalam tubuhnya. Selanjutnya, tubuh yang semula terasa lemas, perlahan-lahan segar kembali. Malah ujung-ujung jari kaki dan tangannya yang se- mula mati, kini telah dapat digerakkan kembali. Bong Mini tersenyum sambil membuka matanya kembali. Lalu menoleh pada empat penjaga pintu yang masih duduk mengawasinya.

“Hm..., aku harus melakukan cara agar  dapat  ke- luar dari kamar tahanan ini!” gumam hati Bong Mini. Tiba-tiba ia memberikan senyum pada keempat penja- ga yang kebetulan memandang ke arahnya.

Mendapat senyuman lembut dari gadis cantik itu, keempat penjaga pintu itu senang bukan main. Mata mereka yang semula mengantuk, berubah menjadi se- gar kembali.

Bong Mini semakin mengembangkan senyumnya ketika keempat lelaki itu memandangnya dengan pe- nuh nafsu birahi. Malah ditambah dengan kerlingan matanya, membuat jantung mereka berdegup keras. Lalu keempatnya saling berpandangan seperti meng- adakan kesepakatan.

“Bagaimana?” tanya Ocit yang berhidung mancung dan memiliki nafsu birahi tinggi.

“Aku tidak berani!” sahut Baung yang memiliki ma- ta seperti mengantuk sambil menggelengkan kepala- nya.

“Kenapa?” tanya Ocit.

“Aku khawatir dia menjebak kita,” sahut Baung. “Benar. Kalau kita sampai terjebak dan dia melari-

kan diri, kita berempat akan dihukum mati!” sela Idal, menambahkan.

“Kalian jangan khawatir! Tenaga gadis itu sudah di- lumpuhkan oleh pemimpin kita. Dia tidak mungkin bi- sa melarikan diri!” kilah Ocit penuh semangat.

“Benarkah?” tanya ketiga temannya serentak. Ocit mengangguk meyakinkan.

“Kalau begitu, mari kita sama-sama nikmati tubuh gadis cantik itu!” kata Baung yang nafsu  birahinya mulai menggebu-gebu. Kemudian ia segera membuka gembok pintu jeruji besi. Setelah terbuka, dia menga- jak masuk ketiga temannya dan mendekati Bong Mini.

Merasa pancingannya mengena, Bong Mini bersiap- siap untuk menyambut kedatangan keempat penjaga pintu tahanan itu. Dengan bibir yang masih  terse- nyum, ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Seolah-olah menantang dalam kepasrahan.

Keempat lelaki itu segera mendekati Bong Mini. Dua di sebelah kanan dan dua orang lagi sebelah kiri. Keti- ka mereka membungkuk hendak menyentuh tubuh gadis yang dikelilingi, tiba-tiba kedua  tangan  Bong Mini mencengkeram kepala dua lelaki yang membung- kuk di dekat wajahnya. Sedangkan kedua kakinya di- hentakkan ke kepala dua lelaki yang membungkuk di dekat lututnya.

“Hihhh!” Dukkk! “Aaakh! Aaakh” “Aaakh! Aaakh”

Keempat lelaki itu terpekik tertahan manakala wa- jah mereka mencium lantai dengan keras. Saat itu juga darah mengalir dari hidung dan mulut mereka. Belum sempat keempatnya bangkit, Bong Mini menotok leher mereka lewat ilmu ‘Pembeku Tenaga’.

Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!

Keempat lelaki penjaga pintu kamar tahanan itu langsung roboh tanpa dapat berkutik lagi. Hanya mata mereka saja yang berkedip-kedip.

Bong Mini berdiri tegak sambil tersenyum meman- dangi keempat penjaga pintu kamar tahanan yang ter- baring tanpa daya.

“Tidurlah kalian di sini biar nyenyak!” ejek Bong Mini. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan ruang tahanan itu. Lalu terus menyusuri lorong menu- ju ruang depan.

Ketika ia hendak keluar pintu lorong tahanan itu, Bong Mini melihat empat penjaga pintu berbaju koko dan bercelana pangsi hitam-hitam sedang berjalan mondar- mandir, lengkap dengan senjata masing-masing.

Bong Mini tercenung beberapa saat, memikirkan bagaimana cara keluar pintu lorong itu. Untuk bisa ke- luar, ia harus berhadapan langsung dengan keempat penjaga pintu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Bong Mini memutuskan untuk melakukan penyera- ngan terhadap empat penjaga pintu lorong itu.

“Hiaaat!”

Bong Mini melompat ke depan sambil mengerahkan tendangan lurus ke arah dua orang yang sedang berja- lan mondar-mandir itu.

Dukkk! Dukkk!

Tendangan kaki Bong Mini yang begitu keras lang- sung mendarat di punggung dan leher dua penjaga pintu lorong. Membuat kedua orang yang tidak menge- tahui serangan mendadak itu langsung terhuyung dan jatuh ke lantai. Sedangkan dua temannya yang lain langsung bergerak menyerang Bong Mini.

Wut! Wut!

Dua pukulan tangan dari arah kanan dan kirinya menyambar leher dan perut Bong Mini dengan cepat. Bong Mini menangkap tangan lawan yang memukul lehernya dengan tangan kiri. Sedangkan kaki kanan- nya digunakan untuk menendang satu lawan lain yang berada di depannya.

Plakkk! Dukkk!

Tendangan cepat Bong Mini langsung mengenai wa- jah lawan di depannya, hingga lelaki itu terjungkal ke belakang. Sedangkan tangan kanan lawan yang lain berhasil ditangkap oleh tangan kiri Bong Mini dan langsung dihentakkan sedikit ke dekatnya. Disusul kemudian oleh pukulan tangan kanan yang bergerak cepat ke dada lawan. Membuat lawan terhuyung de- ngan tangan mendekap dadanya yang terasa sakit dan sesak. Belum sempat mereka menarik napas, dua jari Bong Mini yang telah dialiri ilmu ‘Pembeku Tenaga’ mendarat di punggung keduanya.

Tuk! Tuk!

Dua penjaga pintu lorong itu ambruk seketika saat dua jari Bong Mini mengenai punggung mereka.

Sementara itu, dua penjaga pintu lorong yang per- tama kali terkena tendangan Bong Mini telah bangkit kembali. Kini mereka mengeroyok gadis bertubuh mu- ngil itu dengan golok masing-masing. Kemudian de- ngan nafsu yang memburu, kedua orang itu menerjang Bong Mini seraya menyambar-nyambarkan golok.

Wut! Wut!

Dua golok lawan menyambar bagian leher dan. pe- rut gadis itu. Namun dengan mudah Bong Mini memi- ringkan kepalanya sedikit ke belakang. Sedangkan ta- ngan kirinya menangkap tangan kanan lawan  yang akan membacok lehernya.

“Hep!” Crokkk! “Aaakh!”

Bong Mini menarik lengan seorang lawannya yang berhasil ditangkap ke depan tubuhnya. Ketika lawan yang lain menyabetkan golok ke perut Bong Mini, sen- jata itu justru memangsa temannya sendiri hingga pe- rutnya menganga lebar disertai simbahan darah dan buraian isi perutnya keluar. Orang itu terpekik, lalu roboh tanpa nyawa.

Melihat temannya roboh oleh sabetan goloknya sen- diri, lelaki penjaga pintu lorong itu semakin geram. Dia menerjang dan menyambar-nyambarkan goloknya ke arah Bong Mini dengan membabi buta. Sing sing Singngng!

Dengan cepat golok lawan menyerang gadis itu. Te- tapi dengan cepat pula tubuh Bong Mini melompat menghindar. Ketika turun, kedua kakinya menjulur lu- rus ke arah lawan yang belum siap membalikkan tu- buhnya.

Bukkk! Krekkk! “Aaakh!”

Kedua kaki Bong Mini mendarat keras di leher la- wan hingga tubuhnya jatuh tengkurap. Sebelum sem- pat bangun, Bong Mini telah menjejakkan kakinya kembali ke leher lawannya hingga tewas.

Setelah semua penjaga pintu lorong tewas,  Bong Mini segera meninggalkan tempat itu untuk mencari Baladewa.

***

Pada waktu yang bersamaan, Baladewa pun kemba- li melakukan aksi seperti yang pernah dilakukannya beberapa hari lalu, yaitu melakukan pembunuhan ter- hadap para pendekar tangguh yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam. Namun kali ini, Baladewa hendak langsung membunuh Kidarga yang berada di kamarnya.

Baladewa berjalan mengendap-endap menuju ka- mar Kidarga. Namun lima puluh meter dari kamar Ki- darga, enam anak buah Perguruan Topeng Hitam te- ngah berjaga di pintu lorong kamar. Sedangkan dua di antara mereka tampak tertidur pulas.

Baladewa merubah sikap dengan jalan seperti biasa, tanpa mengendap-endap.

“Wah, tampaknya Anda belum tidur, Wakil Ketua!” sapa seorang penjaga pintu lorong kamar Kidarga ke- tika melihat kedatangan Baladewa.

“Aku sendiri heran! Malam ini kedua mataku benar- benar tidak bisa dipejamkan!” sahut Baladewa, penuh keramahan.

“Mungkin hati dan pikiran Anda belum tenang!” ka- ta Iyong.

“Begitulah! Aku selalu memikirkan gadis tawanan itu!”

“Apakah Anda tertarik dengan kecantikannya?” ta- nya Iyong menggoda.

Baladewa tersenyum.

“Sebagaimana perasaan lelaki lain yang melihat ke- cantikan wanita, tentu aku pun mengalami  perasaan itu. Tapi yang kupikirkan justru bukan kecantikannya, melainkan kepandaiannya. Aku khawatir dia mampu keluar dari tahanan itu!” kata Baladewa.

“Bukankah di sana sudah ada delapan penjaga?” ta- nya Iyong.

“Memang! Tapi aku tetap khawatir.  Maklumlah! Yang namanya wanita selalu punya banyak cara untuk meloloskan diri dari sarang macan. Apalagi dia memi- liki wajah cantik!”

“Maksud Anda, tawanan wanita itu akan memper- gunakan kecantikannya untuk menggoda para penja- ga?”

“Kenapa tidak?”

Empat penjaga pintu lorong yang bercakap-cakap de- ngan Baladewa tampak mengangguk-anggukkan kepala. “Aku akan melihat tawanan itu sebentar. Tapi aku minta, dua di antara kalian menyertaiku ke sana!” kata

Baladewa.

“Kalau begitu, biar aku dan Gingsul yang menyertai Anda ke sana!” ujar Iyong yang memang ingin sekali melihat kecantikan Putri Bong Mini.

“Baik. Ayo kita ke sana!” ajak Baladewa sambil me- langkah menuju ruang tahanan bersama Iyong dan Gingsul. Namun sebelum sampai di tempat tujuan, ti- ba-tiba kedua tangan Baladewa yang sudah dialiri ilmu ‘Pembeku Tenaga’ segera didaratkan di  punggung Iyong dan Gingsul yang berjalan di samping kiri dan kanannya. Dalam sekejap, kedua orang itu roboh di lantai. Setelah itu, ia pun kembali melangkah tenang menuju tempat semula.

“Hei, cepat sekali Anda kembali!” tegur Maing ketika melihat Baladewa kembali.

“Biarlah Iyong dan Gingsul yang melihat tawanan wanita itu,” kata Baladewa dengan sikap wajar. Namun ketika sudah dekat dengan kedua orang itu, tangannya langsung mencengkeram leher mereka dengan keras.

“Aaakh...! Aaakh...!”

Kedua orang itu mengeluarkan suara tertahan sam- bil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Bala- dewa. Tapi usaha itu sia-sia belaka. Karena kedua ta- ngan Baladewa telah dialiri ilmu ‘Pembeku Tenaga’. Seketika itu juga tenaga mereka membeku dan lang- sung tewas akibat cekikan tangan Baladewa yang de- mikian keras.

Pada saat itu, dua penjaga pintu lorong kamar yang tadi tertidur, kini telah terbangun. Mereka langsung terperanjat ketika melihat dua temannya mati di ta- ngan Baladewa.

“Pembunuh!” seru kedua orang itu bersamaan.

Mendengar suara itu, Baladewa langsung melesat keluar ruangan. Sedangkan kedua orang tadi menyu- sul mengejarnya.

“Tangkap dia! Dia pembunuh!” teriak kedua orang itu ketika Baladewa telah sampai di dekat pintu gerbang.

Empat penjaga pintu gerbang luar segera berlonca- tan mengepung Baladewa.

“Bangsat! Ternyata kau musuh dalam selimut!” de- ngus seorang penjaga pintu gerbang. Tanpa menunggu lebih lama lagi, mereka langsung menerjang Baladewa dengan pedang di tangannya masing-masing.

Mendapat serangan yang datang dari berbagai arah, Baladewa langsung mencabut pedangnya untuk me- layani gempuran lawan.

Trang trang trangngng!

Serangan pedang lawan yang tertangkis oleh pedang Baladewa menimbulkan pijaran api yang sangat te- rang. Disusul dengan berloncatannya enam lawan ke belakang karena merasakan tangannya ngilu dan perih saat senjata mereka beradu dengan pedang Baladewa. Tidak lama kemudian mereka kembali menyerangnya dengan buas. Enam pedang yang menyerang tubuh Baladewa menjadi terlihat banyak ketika serangan me- reka bertambah gencar dan cepat.

Trang trang trangngng!

Walaupun Baladewa mampu menangkis semua se- rangan lawan, namun untuk serangan berikutnya ia lebih baik bersalto ke belakang dan bergulingan. Ka- rena serangan keenam orang yang menjadi lawannya itu begitu cepat dan penuh tenaga.

Ketika bangkit kembali, ia langsung mengerahkan ilmu ‘Angin Badai Menghempas’.

Wesss!

Serangan ilmu ‘Angin Badai Menghembus’ yang di- kerahkan Baladewa bukan main dahsyatnya. Sehingga dua penyerangnya terpelanting ke belakang saat ter- kena hembusan angin dari kedua telapak tangan Bala- dewa.

Bukkk! Bukkk! “Aaakh!”

“Aaakh!”

Dua orang yang terpelanting itu terpekik tertahan saat tubuh mereka membentur keras tembok benteng. Saat itu juga keduanya tewas dengan kepala pecah.

Melihat mereka mati dengan kepala pecah, tiga te- mannya semakin geram menyerang Baladewa. Sedang- kan seorang lagi berlari ke dalam untuk memukul ken- tongan sebagai tanda bahaya.

“Banguuun! Banguuun! Ada pembunuhan!” teriak orang itu sambil memukul kentongannya.

Baladewa tersentak mendengar teriakan dan bunyi kentongan itu. Dia harus menyelesaikan  pertarungan itu secepat mungkin agar dapat menyelinap ke kamar tahanan dan membebaskan Bong Mini. Tidak mungkin ia melanjutkan siasatnya lagi setelah kedoknya di per- guruan itu terbongkar akibat tindakan cerobohnya sendiri.

“Hiaaat!”

Tiba-tiba Baladewa meneriakkan lengkingan tinggi disertai lompatan tubuhnya yang mencapai ketinggian tiga meter. Sedangkan kedua tangannya merentang le- bar seperti sayap burung. Itulah jurus ‘Burung Camar Terbang di Awan’, membuat tubuhnya dapat melayang di udara seperti burung.

Melihat tubuh lawannya melompat indah di atas kepala, tiga lawannya segera membuat posisi segitiga disertai serangan ke arah kedua kaki Baladewa yang mulai melayang turun.

“Aaakh!”

“Aaakh!”

“Aaakh!”

Belum sempat mereka melakukan gerakan menye- rang ke arah Baladewa yang masih berada di atas ke- pala mereka, tiba-tiba ketiga orang itu menjerit tinggi akibat luka sayatan di perut dan leher mereka.

Ternyata Putri Bong Mini yang melakukan serangan mendadak itu. Dia langsung lari ke tempat tersebut se- telah mendengar bunyi kentongan yang dipukul seo- rang penjaga gerbang.

“Kita harus  segera  meninggalkan  tempat  ini  dan bertempur di luar agar tidak terdesak!” seru Bong Mini kepada Baladewa sambil terus melesat keluar, melewa- ti benteng setinggi lima meter.

Baladewa yang masih terheran-heran melihat Bong Mini mampu keluar dari kamar tahanan segera mele- sat mengikuti saran Bong Mini.

Bersamaan dengan menghilangnya sepasang pen- dekar muda itu, Kidarga dan puluhan pendekar lain terbangun. Mereka segera menghampiri Gembil, orang yang tadi memukul kentongan.

“Ada apa, Gembil?” tanya Kidarga berang. Wajahnya menyimpan kemarahan karena merasa tidurnya ter- ganggu.

“Ada mata-mata yang masuk ke perguruan ini dan melakukan pembunuhan!” lapor Gembil gugup.

“Bangsat!” geram Kidarga dengan gigi bergemeletuk. Kemudian matanya menyebar pada para  pendekar yang hadir di sekitarnya. “Mana Baladewa?” lanjutnya ketika matanya tidak melihat Baladewa.

“Dia menghilang, Ketua! Dialah yang melakukan pembunuhan terhadap para pengawal itu!” kata Gem- bil menjelaskan.

Mendengar keterangan itu, Kidarga semakin murka. Dia berdiri tegang dengan mata  memandang  dua mayat yang tergeletak di depan pintu kamarnya.

“Jahanam! Jadi dia yang selama ini melakukan pembunuhan di tempat ini!” geram Kidarga. Kemudian pandangannya beralih pada para pendekar yang berdi- ri di sekelilingnya.

“Tangkap Baladewa hidup atau mati dan jaga ketat tawanan wanita bernama Bong Mini!” perintah Kidar- ga.

Puluhan pendekar serentak melesat ke segenap penjuru ruangan. Sedangkan sebagian lain bergerak menuju ruang tahanan. ***

3

Kidarga berdiri tegang. Urat-urat di keningnya me- nonjol. Giginya bergemeletuk ketika melihat kamar ta- wanannya diisi oleh empat penjaga yang tidak berdaya oleh totokan Putri Bong  Mini.  Sedangkan  Putri  Bong Mini sendiri sudah hilang dari kamar tahanan itu.

“Itulah akibatnya kalau kalian mudah tergoda oleh wanita cantik!” hardik Kidarga dengan geram. Kemu- dian keempat penjaga yang tidak mampu bergerak itu diinjaknya dengan keras, tepat pada lehernya. Dalam sekejap, keempat penjaga kamar tahanan itu tewas de- ngan mata membelalak lebar. Sedangkan lidah keem- patnya menjulur seperti tercekik.

Beberapa orang anak buahnya yang berada di seki- tar ruangan itu tampak bergidik melihat kematian ke- empat temannya.

“Mereka mati akibat perbuatan ceroboh mereka sen- diri!” kata Kidarga sambil terus memandangi seorang anak buahnya yang masih dalam injakan kakinya.

Hening.

Para pendekar yang berada di situ tampak berdiri tegang tanpa berani memandang Kidarga, seperti me- nunggu perintah selanjutnya.

“Tunggu apa lagi kalian?” tanya Kidarga, dingin dan datar. “Wanita tawanan itu pasti pergi bersama Bala- dewa!”

Tanpa menunggu perintah Kidarga selanjutnya, pa- ra pendekar itu terus menghambur keluar untuk men- cari Baladewa dan Putri Bong Mini.

Ketika Baladewa dan Bong Mini sampai di luar, me- reka langsung disambut oleh Prabu Jalatunda, Ning- rum, Bongkap, dan para pendekar lain.

“Putraku!” sambut Ningrum seraya merentangkan kedua tangannya. Lalu dipeluknya Baladewa erat-erat, penuh kerinduan. Sedangkan Bong Mini mendapat pe- lukan dari papanya. Disaksikan oleh para pendekar lainnya. Mereka yang baru melihat rupa Baladewa ter- kagum-kagum memandang penampilan pemuda gagah itu.

“Rencana kalian telah gagal rupanya!” duga Bong- kap sambil memandang Bong Mini dan Baladewa ber- gantian.

“Ya. Aku sempat ketahuan oleh seorang penjaga ke- tika hendak memasuki kamar Kidarga,” sahut Bala- dewa. “Dan sekarang, mereka sedang mengejar kami!” lanjutnya.

Baru saja Baladewa selesai berkata, tiba-tiba para pendekar yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam berhamburan dari pintu gerbang.

Bongkap yang sempat menyaksikan pasukan Kidar- ga, langsung memberikan komando kepada pengikut- nya.

“Serbuuu...!”

Para pendekar yang berada di pihak Bongkap seren- tak menyerang sekutu Perguruan Topeng Hitam yang tampak simpang-siur mengatur posisi ketika mende- ngar teriakan Bongkap. Seketika itu juga, suasana ma- lam di Bukit Setan yang biasanya sepi dan angker ber- ubah menjadi hingar-bingar.

“Hiaaat!”

Trang trang trangngng!

Pekik kematian serta dentang senjata berbaur men- jadi satu, memecahkan keheningan.

Para pengikut Bongkap tampak mati-matian mela- kukan tangkisan dan serangan pengikut Perguruan To- peng Hitam. Begitu pula dengan Baladewa yang tengah berhadapan dengan tiga pendekar yang menamakan diri Tiga Pendekar Naga Biru. Mereka adalah para pen- dekar muda yang usianya sekitar tiga puluh tahun. Datang dari negeri Manchuria sebagai utusan Kaisar Thiang Tok.

Sama halnya dengan Putri Bong Mini. Dia sedang berhadapan dengan tiga lelaki berkepala botak yang tergabung dalam perkumpulan Tiga Siluman Ular Be- lang. Mereka berumur tiga puluh tahun dan  berasal dari negeri Manchuria, salah satu perkumpulan yang menjadi andalan Kidarga untuk membantu Perguruan Topeng Hitam. Sebab mereka adalah para pendekar yang paling tinggi kepandaiannya di antara pendekar- pendekar lain. Selain itu mereka juga  terkenal  buas dan sadis.

“Mampuslah kau!” bentak Sim Lie King, seorang da- ri Tiga Siluman Ular Belang sambil melakukan gerakan melompat dan menerkam seperti seekor serigala me- nerkam mangsa. Tangan kirinya mencengkeram ke ha- ti lawan, sedangkan tangan kanannya yang terkem- bang melakukan gerakan membacok ke dada kiri. Itu- lah jurus ‘Cakar Serigala Lapar’.

Plak! Desss!

Bong Mini cepat menangkis serangan maut itu de- ngan kedua tangannya yang sudah dialiri ilmu ‘Tenaga Besi’. Membuat tubuh Sim Lie King terdorong dan ter- huyung-huyung ke belakang.

Sim Lie King terkejut. Dia tidak mengira kalau gadis bertubuh mungil yang dihadapinya itu berhasil me- nangkis serangannya. Bahkan membuatnya terdorong. Kini dia tahu kenapa gadis  bertubuh mungil dan ma- sih hijau itu menjadi musuh terberat bagi Perguruan Topeng Hitam, khususnya Kidarga. Rupanya dia me- mang memiliki kepandaian ilmu silat yang luar biasa.

Menyadari kalau lawannya berilmu tinggi, Sim Lie King cepat menarik pedang dan memainkannya.

Sing sing singngng!

Pedang yang dimainkan Sim Lie King dengan jurus ‘Pedang Iblis Mata Biru’ berdesing keras. Kemudian putaran pedang yang menimbulkan desingan itu ber- ubah menjadi gulungan sinar biru. Sedangkan desi- ngan tadi semakin keras terdengar.

Sambil memutar-mutarkan  pedangnya,  Sim  Lie King melakukan serangan dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang terkembang. Pukulan-pukulan tangan kirinya bukan pukulan sembarangan. Tapi sebuah pu- kulan yang sudah dialiri tenaga dalam ‘Angin Setan’. Ilmu yang menyebabkan hawa panas yang amat kuat setiap kali tangannya bergerak memukul.

Wut wut wuttt!

Setiap pukulan tangan kiri atau sabetan pedang bi- ru Sim Lie King selalu memapas angin. Karena setiap kali serangannya menghujam, tiap kali pula gadis yang menjadi lawannya berkelit lincah.

“Bangsat!” gerutu Sim Lie King geram ketika menya- dari serangannya selalu gagal. Dengan penuh nafsu serta napas terengah-engah, ia kembali menyerang Bong Mini.

Wut!

Plakkk! Desss!

Pedang yang menyambar gadis bertubuh mungil itu terhenti saat tangan Bong Mini yang sudah dialiri ilmu ‘Tenaga Besi’ berhasil memukul lengan lawan, hingga pedang di genggaman Sim Lie King terlepas dan  jatuh ke atas tanah.

Melihat Sim Lie King kewalahan menghadapi gadis berumur dua puluh tahun itu, kedua temannya yang sejak tadi hanya menyaksikan pertempuran segera da- tang membantu. Diserangnya Bong Mini dengan pe- dang di tangannya masing-masing. “Heiiit!”

Sing sing singngng!

Pedang Chiang Su Kiat segera menyambar ke leher Bong Mini disertai lengkingan tinggi. Sedangkan pe- dang Ji Sun Bi menyambarnya pula ke perutnya.

“Huppp!”

Bong Mini melakukan gerakan melompat ke bela- kang sejauh empat tombak.  Namun  tanpa  disadari, Sim Lie King melakukan serangan dari belakang lewat pedang biru yang tadi terlepas.

Desss!

Bong Mini membalikkan badan dan langsung me- nangkis tangan Sim Lie King. Sehingga pedang biru itu terpental jauh dan lenyap ke dalam semak-semak.

“Heiiit!”

Chiang Su Kiat kembali meloncat ke depan seperti seekor burung elang terbang menyambar mangsa di- sertai sinar pedang yang bergulung-gulung.

Wut wut wut!

Bong Mini mengelakkan serangan pedang itu. Dilan- jutkan dengan serangan tangan kirinya yang menotok pergelangan tangan kanan Chiang Su Kiat.

“Eittt!”

Chiang Su Kiat kembali menarik pedangnya ketika mengetahui serangan tangan Bong Mini yang hendak menotok pergelangan tangannya. Setelah itu ia pun melanjutkan serangan bertubi-tubinya kembali dengan jurus ‘Pedang Halilintar’. Pedang di tangannya itu ber- gerak luar biasa dan mengeluarkan hawa panas yang menyusupi tubuh lawan walaupun jarak antara tubuh lawan dengan pedang Chiang Su Kiat masih berjarak cukup jauh.

Menghadapi serangan yang demikian gencar dan dahsyat, Bong Mini tidak berani lagi melawannya de- ngan tangan kosong. Dicabutnya Pedang Teratai Merah yang sejak tadi tersandang di punggungnya.

Sreset! Sing sing sing!

Sinar merah berbentuk bunga teratai memancar te- rang ketika pedang itu ditarik dari sarungnya. Suasana gelap di sekitar bukit itu berubah menjadi terang ka- rena cahaya Pedang Teratai Merah.

Tiga Pendekar Siluman Ular Belang terperangah ke- tika melihat sinar merah dari pedang Bong Mini. Sinar berbentuk bunga teratai merah yang tak pernah dimi- liki oleh para pendekar mana pun. Keterkejutan juga melanda para pendekar dan anak buah Perguruan To- peng Hitam yang lain. Mereka tersentak ketika menda- pati sinar merah menerangi sekitar tempat pertempu- ran. Keterkejutan itu berubah menjadi kekaguman ke- tika mengetahui sinar merah berbentuk bunga teratai itu datang dari pedang Putri Bong Mini.

Keterkejutan dan rasa kagum para sekutu Pergu- ruan Topeng Hitam itu dimanfaatkan pasukan Bong- kap untuk melakukan serangan gencar kepada lawan yang memang berjumlah lebih banyak. Sehingga ba- nyak di antara sekutu Perguruan Topeng Hitam yang tewas.

“Hiaaat!”

Trang trang trang!

Serangan pedang yang dilancarkan Chiang Su Kiat segera ditangkis Bong Mini dengan pedangnya. Karena kerasnya benturan dua senjata tersebut, pedang Chi- ang Su Kiat terbagi dua. Bahkan pedang yang tinggal sepotong itu terlepas pula dari gagangnya.

Chiang Su Kiat terkejut. Sebelum ia melakukan ge- rakan menghindar, tiba-tiba pedang Bong Mini me- nyambar kepalanya dengan gerakan membacok.

Crokkk! “Aaakh!”

Kepala Chiang  Su  Kiat  terbelah  dua  dan  bergan- tung-gantung di lehernya. Selanjutnya, tubuh yang berdiri limbung itu ambruk tanpa dapat berkutik lagi.

Melihat Chiang Su Kiat mati, kedua temannya lang- sung menerjang Bong Mini dengan ganas.

Wut wut!

Dua pedang lawan menyambar-nyambar di sekitar tubuh Bong Mini dengan dahsyat. Namun dengan ce- pat pula Bong Mini menghindar. Tubuhnya melompat di atas kepala lawan sambil mengerahkan ilmu ‘Pedang Samber Nyawa’ yang diperoleh dari Bongkap ketika ia berusia sebelas tahun. Ketika melompat, tubuhnya berputar cepat seperti gangsing. Dan saat melayang tu- run, pedangnya telah menyambar bahu kanan Sim Lie King.

Crokkk! Bret!

Pedang Bong Mini membelah bahu Sim Lie King sampai sebatas pusar. Membuat Sim Lie King terpekik.

“Aaakh!”

Pedang di genggaman Sim Lie King  terlepas  ke  ta- nah. Sedangkan  tubuhnya  sendiri  ambruk  berman- dikan darah. Itulah salah satu kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam Pedang Teratai Merah. Walaupun Bong Mini membabat tubuh lawannya hanya sekali, te- tapi pedang itu mampu bergerak sendiri dan merobek perut lawan tanpa ampun. Dengan begitu, setiap lawan yang tersentuh pedang Bong Mini tidak akan mungkin dapat hidup. Mereka akan mati dengan tubuh menge- rikan seperti yang  dialami oleh  Chiang Su Kiat dan Sim Lie King.

Ji Sun Bi terkejut melihat dua saudara sepergu- ruannya tewas dalam keadaan yang mengerikan. Ke- mudian matanya memandang Bong Mini dengan pera- saan gentar. “Kalau Chiang Su Kiat sebagai pemimpin kami mudah dirobohkan, bagaimana pula dengan diri- ku yang hanya melawan seorang diri?” begitu pikirnya. Tapi karena ia berpikir pula kalau nyawa kedua sauda- ra seperguruannya harus ditebus, maka Ji Sun Bi pun segera mengusir rasa gentarnya dengan mengeluarkan lengkingan tinggi berbareng terjangan ke arah Bong Mini dengan pedang di tangan kanannya.

“Hiaaat!”

Sing sing sing!

Pedang Ji Sun Bi berkelebat cepat mengarah pada bagian mematikan di tubuh Bong Mini. Sedangkan pa- da setiap gerakan pedangnya selalu terkandung tenaga dalam yang amat dahsyat, yang disebut jurus ‘Pedang Sinar Matahari’. Kehebatan jurus itu membuat setiap gerakan pedangnya menimbulkan hawa panas yang amat sangat. Dan kalau saja bukan Bong Mini yang menjadi lawannya, tentu dalam waktu singkat dapat dirobohkan. Namun yang dihadapi kini adalah seorang pendekar wanita muda yang mempunyai kepandaian silat serta kesaktian yang luar biasa. Bagaimanapun dahsyatnya serangan Ji Sun Bi, tetap tidak bisa men- jamah tubuh lawan.

Wut wut wut!

Pedang Ji Sun Bi kembali menyambar leher Bong Mini dalam kecepatan amat tinggi. Tapi dengan cepat Bong Mini melompat ke belakang untuk mengelak. Kemudian ia memutar pedang teratai merahnya, se- hingga terdengarlah lengkingan tinggi. Ketika Ji Sun Bi memutar pedangnya kembali untuk menyambar leher Bong Mini, gadis itu melakukan tangkisan dari sam- ping.

Trangngng!

Dua pedang yang berlainan arah itu bertemu. Ke- duanya terdorong mundur dua tindak. Namun dengan cepat Ji Sun Bi kembali melakukan serangan dengan penuh nafsu.

“Hiaaat!” Sing sing sing!

Pedang Ji Sun Bi mendadak lenyap. Berganti de- ngan gulungan sinar perak yang menyelimuti tubuh- nya. Dan bagai roda perak yang berputar cepat, gulu- ngan sinar itu bergerak maju ke arah Putri Bong Mini, disertai desingan keras memekakkan telinga. Angin yang ditimbulkan gulungan sinar pedang itu pun me- nyambar-nyambar tubuh Putri Bong Mini, walaupun jarak antara mereka masih sekitar tiga meter. Inilah jurus ‘Pedang Samber Nyawa’ yang hampir sempurna.

Bong Mini tampak begitu hati-hati menghadapi se- rangan kali ini. Ia amat tahu bagaimana kedahsyatan jurus pedang tersebut. Karena ia sendiri memiliki jurus ‘Pedang Samber Nyawa’ dari papanya sejak berumur sebelas tahun. Sehingga ketika Ji Sun Bi mengelua- rkan jurus itu pada taraf yang hampir mencapai ke- sempurnaan, Bong Mini segera menggunakan ilmu ‘Halimun Sakti’.

Sing sing sing!

‘Pedang Samber Nyawa’ yang mengarah kepada Bong Mini berhasil dielakkan dengan baik dengan ilmu ‘Halimun Sakti’-nya. Karena sesungguhnya yang dise- rang oleh Ji Sun Bi itu hanyalah bayangan Bong Mini belaka. Sedangkan Bong Mini sendiri sudah mengelak dan berada di belakang Ji Sun Bi. Bahkan ketika men- gelak, ia sempat pula membalas serangan lawan. Se- hingga menciptakan perkelahian yang sangat hebat sekali. Daun pepohonan, dan pasir berhamburan. Se- dangkan debu mengepul di sekitar tempat pertempu- ran.

Singngng...! Wesss!

Sambaran angin yang berputar-putar itu terkadang terdengar mendesing dan terkadang mengaung. Suara- nya amat memekakkan telinga. Bukan saja bagi mere- ka berdua, tetapi juga mempengaruhi pendekar-pende- kar lain yang bertarung di sekitar tempat itu. Banyak di antara mereka yang menghentikan serangannya ka- rena tersapu kepulan angin dan debu yang menghala- ngi pandangan.

Setelah itu, para pendekar yang bergabung dengan Bong Mini kembali melanjutkan pertarungannya de- ngan pasukan Perguruan Topeng Hitam setelah bebe- rapa saat terhenti karena terhalang kepulan debu. Pa- da kelanjutan pertempuran itu, ternyata pasukan di pihak Bong Mini lebih banyak menewaskan lawan.

“Hiaaat!”

Trang trang trang!

Ji Sun Bi tiba-tiba memekik tinggi disertai serangan pedangnya ke muka lawan. Namun dengan cepat pula Bong Mini menarik mukanya sedikit ke belakang sam- bil melakukan tangkisan. Sambil melakukan tangki- san, disalurkannya ilmu ‘Penyerap Tenaga’ melalui pe- dangnya. Sehingga pedang Ji Sun Bi tampak melekat kuat pada Pedang Teratai Merah milik Bong Mini. Seo- lah-olah pedang Bong Mini memiliki daya lekat yang amat kuat. Sedangkan Ji Sun Bi sendiri berusaha un- tuk melepaskan pedangnya dengan cara mendorong dan menarik. Tapi betapa terkejutnya ia karena kekua- tan tenaganya tidak berhasil memisahkan pedangnya dengan pedang lawan.

“Hiyyy!”

Tiba-tiba Ji Sun Bi menggerakkan tangan kirinya untuk memukul dada Bong Mini dengan telapak ta- ngan kirinya yang terkembang. Itulah yang disebut de- ngan ilmu ‘Telapak Tangan Setan’. Sebuah ilmu sesat yang didapat ketika ia bertapa di Gunung Ular, Man- churia.

Sebagai gadis belia yang sudah banyak makan asam garam dunia persilatan, Bong Mini sangat tahu kalau serangan lawan berbahaya. Dengan cepat disambutnya serangan tangan kiri lawan dengan telapak tangan ka- nan yang terkembang.

Plekkk!

Dua telapak tangan bertemu dan saling menempel. Begitu kuat! Sangat sulit bagi keduanya untuk mele- paskan diri. Karena saat menyambut serangan telapak tangan lawan, Bong Mini sendiri sudah mengerahkan ilmu ‘Penyerap Tenaga’. Sehingga saat telapak tangan- nya menempel, ia mampu menghalau ilmu ‘Telapak Ta- ngan Setan’ Ji Sun Bi yang mengeluarkan hawa panas. Bahkan dengan ilmu ‘Penyerap Tenaga’ itu, Bong Mini berhasil menyerap tenaga lawan sedikit demi sedikit.

“Uhhh...!”

Ji Sun Bi mengeluh ketika merasakan tenaganya tersedot demikian rupa. Pada akhirnya ia tidak punya kekuatan lagi untuk menggerakkan telapak tangannya yang menempel kuat di telapak tangan Bong Mini.

“Kau harus mampus menyusul dua temanmu itu!” usai berkata begitu, Bong Mini langsung melepaskan pedangnya yang masih menempel dengan pedang la- wan dan langsung ditebaskan ke tubuh Ji Sun Bi.

Crokkk! Bret! “Aaakh!”

Ji Sun Bi memekik tertahan ketika pedang Bong Mini menebas tubuhnya menjadi dua bagian. Sedetik kemudian, setengah badan bagian bawah roboh ke ta- nah. Sedangkan bagian atas badannya masih tetap bergantung karena tangan kirinya masih menempel kuat pada telapak tangan kanan Bong Mini. Ketika na- pasnya telah terputus, barulah tubuh lelaki itu jatuh ke tanah dengan darah masih bercucuran.

Bong Mini terpaku memandangi tiga lawannya yang tewas bersimbah darah. Sesungguhnya Bong Mini sen- diri tidak sampai hati membunuh ketiga pendekar ber- kepala botak itu. Namun karena ketiganya adalah orang-orang sesat, terpaksa mereka dibunuh demi ke- tenteraman orang banyak.

Bong Mini memasukkan pedangnya ke dalam sa- rung. Kemudian pandangannya menyebar pada para pendekar lain yang juga telah menyelesaikan pertaru- ngan. Kini mereka tengah menyaksikan pertempuran antara Baladewa dengan dua prajurit Kerajaan Man- churia.

“Hiyaaat!”

Baladewa mengeluarkan lengkingan tinggi. Sedetik kemudian tubuhnya berkelebat sambil menyabet-nya- betkan pedang ke arah dua lawannya.

Bret!

Pedang Baladewa menyambar leher seorang prajurit hingga putus. Sesaat tubuh prajurit yang tanpa kepala itu tegak tanpa gerak. Lalu akhirnya jatuh tertelung- kup.

Melihat temannya mati, prajurit yang masih hidup menjadi gentar. Wajahnya pucat. Sebelum ia sempat memikirkan tindakan selanjutnya, Baladewa telah mengarahkan kaki kanannya ke dada prajurit itu.

Bukkk!

Prajurit itu terhenyak ke belakang dan jatuh telen- tang. Sebelum sempat bangkit, Baladewa menerkam- nya. Kepalan tangannya dihujamkan bertubi-tubi ke muka lawan, hingga kedua biji mata prajurit itu lepas dari ceruknya. Belum puas melihat penderitaan lawan, Baladewa kembali melanjutkan pukulannya sebanyak tiga kali ke kening lawan.

Prakkk! “Aaakh!”

Prajurit itu mengeluh tertahan. Saat itu pula ia te- was dengan kepala terbelah, memperlihatkan isinya.

*** 4

Pertempuran sengit antara pasukan Bong Mini de- ngan pasukan Perguruan Topeng Hitam telah reda de- ngan kemenangan di pihak Bong Mini. Namun yang membuat Bong Mini dan pengikutnya heran, sejak aw- al sampai akhir pertempuran, mereka tidak melihat kehadiran Kidarga, datuk sesat Perguruan Topeng Hi- tam.

“Apakah dia tidak mendengar hiruk-pikuk pertem- puran yang terjadi di luar markasnya?” tanya Kui Lok, seorang dari Pendekar Mata Dewa.

“Mana mungkin dia tidak mendengar. Kecuali dia seorang datuk sesat yang bodoh dan tuli!” kata Bong Mini dengan nada ketus karena masih menahan geram terhadap datuk sesat Perguruan Topeng Hitam yang belum menampakkan diri. “Kita harus mencari  akal agar raja iblis itu keluar dari sarangnya!” lanjut Bong Mini.

“Dengan cara bagaimana?” tanya Kao Cin Liong, Ke- tua Pendekar Mata Dewa.

“Kita bakar sekeliling markas ini!” cetus Bong Mini.

Para pendekar yang mendengar gagasan Bong Mini tampak mengangguk setuju. Kemudian mereka seren- tak mengatur posisi, mengelilingi markas Perguruan Topeng Hitam. Sebagian di antara mereka ada yang menaburkan minyak di sekeliling markas  perguruan itu. Sedangkan sebagian lain segera menyalakan kayu dan membakar tempat yang tadi telah disiram minyak. Dalam sekejap, sekeliling Bukit Setan diterangi jilatan api yang melahap markas Perguruan Topeng Hitam.

“Kidarga! Keluar kau!” pekik Bong Mini di sela-sela gemeretak kayu-kayu yang terbakar.

Tak ada  sahutan.  Kecuali  gema  suara  Bong  Mini sendiri yang terdengar susul-menyusul, memecahkan keheningan malam.

“Kidarga pengecut! Keluarlah! Hadapi aku!” lantang Bong Mini lagi. Namun, walaupun suaranya keras me- lengking, merambahi seluruh Bukit Setan, tetap tidak ada sahutan. Hanya terdengar suara gemeretak kayu dan ranting pepohonan yang terbakar.

Bong Mini, Bongkap, dan para pendekar lain berdiri tegak memandang pintu gerbang benteng Perguruan Topeng Hitam yang telah habis terbakar. Mereka me- nunggu Kidarga keluar dengan harap-harap cemas. Cemas karena merasa khawatir kalau tokoh sesat itu sempat meloloskan diri saat mereka menghadapi pa- sukannya.

Sebenarnya Kidarga tidak  melarikan  diri.  Malah saat pertempuran antara pasukannya dengan pasukan Bong Mini berlangsung, ia sempat menyaksikan dari atas pohon yang tumbuh di dalam benteng. Ketika ia mengetahui kalau para pengikutnya terdesak dan ba- nyak yang tewas, ia segera turun dan masuk ke dalam ruang tapanya yang berada dalam goa kecil, di ling- kungan benteng itu. Di dalam goa itu dia duduk bersila di atas batu, menghadap sebuah pedupaan yang selalu mengepulkan asap kemenyan. Di situlah ia mengum- pulkan seluruh kekuatan ilmu setan yang dimilikinya melalui mantera-mantera yang dibacanya dengan ke- dua mata terpejam. Setelah seluruh kekuatan  setan- nya terkumpul, barulah ia keluar meninggalkan goa menuju tempat para musuhnya menunggu.

Api semakin berkobar. Bukan saja membakar mar- kas Perguruan Topeng Hitam, tetapi juga membakar semua pepohonan yang tumbuh di sekitar tempat itu. Sehingga Bong Mini dan pasukannya mundur bebe- rapa tindak menghindari hawa panas dan  bara  api yang berterbangan. “Kidarga, keluar kau! Hadapilah aku jika kau seo- rang yang gagah!” tantang Bong Mini lagi penuh ke- jengkelan. Karena orang yang selama ini membuat hu- ru-hara di negeri Selat Malaka belum juga menampak- kan diri.

“Mungkin datuk sesat itu telah melarikan diri!” gu- mam Prabu Jalatunda dengan  nada  kecewa.  Begitu pula dengan yang lain. Mereka berdiri menghadap ko- baran api yang membakar markas Perguruan Topeng Hitam dengan wajah kecewa.

Di saat mereka diliputi rasa kecewa, tiba-tiba ter- dengar gema tawa yang memecahkan keheningan ma- lam. Bahkan menggetarkan jantung para  pendekar yang berada di sekitar tempat itu.  Termasuk  Bong Mini. Tapi untunglah mereka telah memiliki ilmu tena- ga dalam cukup tinggi, sehingga mampu menolak ke- kuatan tawa yang demikian dahsyat menyerang me- reka. Kalau tidak, tentu mereka akan tewas. Paling ti- dak mereka akan pingsan karena getaran tawa yang mempengaruhi jantung mereka.

Sebelum Bong Mini dan para pendekar mengetahui arah suara itu, tiba-tiba muncul sosok tubuh Kidarga di atas kobaran api yang menjilati tubuhnya. Namun demikian, datuk sesat  itu kelihatan tenang-tenang sa- ja. Malah dia tertawa-tawa, seolah-olah tidak mera- sakan panas. Itulah ilmu ‘Iblis Penolak Api’.  Sebuah ilmu kesaktian yang dimilikinya saat pertama kali ber- tapa di Bukit Setan. Ilmu yang membuatnya dapat me- layang di udara dan mampu menaklukkan api di seki- tarnya hingga tak terbakar atau merasa panas.

Bong Mini, Bongkap, dan para pendekar lainnya tampak terkejut melihat kesaktian Kidarga. Dari sikap Kidarga yang menunjukkan kebolehannya itu, mereka semakin sadar kalau datuk sesat itu bukan orang yang bisa ditandingi oleh sembarang orang. Sebagaimana mereka menghadapi para sekutunya.

“Ha ha ha..., kenapa kalian termangu seperti sapi ompong! Bukankah kedatangan kalian ke sini hendak menantangku!” ejek Kidarga ketika melihat para pen- dekar itu termangu menyaksikan kesaktiannya. Mem- buat hatinya semakin pongah terhadap kepandaiannya sendiri. Sebelum para pendekar itu ada yang berbicara, tiba-tiba Kidarga melompat dari atas kobaran api.

Tanpa suara, tubuh Kidarga meluncur ke dekat  pa- ra pendekar dan menjejakkan kakinya di tanah dengan ringan.

Bong Mini, Bongkap, dan para pendekar lain mun- dur dua tindak ketika tubuh lelaki tua itu telah berdiri gagah di dekat mereka. Sedangkan mata mereka terus mencorong, memperhatikan datuk sesat yang akan menjadi lawan mereka itu. Mulai dari rambutnya yang panjang tergerai sampai ke bahu, wajahnya yang hitam kumal, sampai pada jubah hitam yang terjumbai- jumbai menyapu rumput. Sedangkan tangan kanannya memegang tongkat hitam berkepala ular yang pan- jangnya sekitar satu setengah meter.

“Siapa di antara kalian yang ingin maju melawan- ku!” tantang Kidarga sambil menudingkan tongkat hi- tamnya ke arah para pendekar. Namun matanya tak lepas menyorot Putri Bong Mini. Seolah-olah menan- tang keberanian Bong Mini. Namun sebelum Bong Mini terpancing emosinya, Baladewa telah maju setindak, membelakangi Bong Mini dan pendekar lainnya.

“Akulah orang pertama yang akan menghadapimu, Datuk Sesat!” kata Baladewa dengan tatapan penuh kebencian terhadap lelaki berjubah hitam di hadapan- nya.

Melihat Baladewa maju, Ashiong dan Sang Piao pun bergerak ke depan mendampingi Baladewa. Mereka sa- dar kalau datuk sesat itu tidak bisa dilawan seorang diri. Bahkan mereka bertiga pun belum tentu mampu menandinginya. Apalagi untuk merobohkannya. Tapi karena mereka sadar kalau yang hendak mereka laku- kan merupakan tugas mulia, demi ketenteraman rak- yat negeri Selat Malaka, maka dengan keberanian serta bekal kepandaian silat yang dimiliki, ketiga pendekar itu pun tidak ragu-ragu lagi untuk menghadapi Kidar- ga. Meski nyawa taruhan mereka.

“Ha ha ha...!” Kidarga tertawa terbahak melihat ke- hadiran tiga pendekar yang masih muda itu. “Apakah kalian sudah memiliki ilmu kesaktian yang ampuh se- hingga mau bertarung denganku!” ejek Kidarga lagi de- ngan pandangan meremehkan.

“Tak usahlah kau banyak cakap, Datuk Sesat! Demi Tuhan! Tak setapak pun aku berniat mundur mengha- dapimu, walaupun kesaktianmu lebih tinggi!” seru Ashiong dengan kemarahan yang meletup-letup.

Mendengar ucapan Ashiong, Kidarga kembali terba- hak. Sikap dan pandangannya semakin tampak mere- mehkan.

“He he he! Majulah kalian jika sudah bertekad hen- dak menyerahkan nyawa padaku!” tantang Kidarga de- ngan suara ringan.

Sing sing singngng!

Sinar putih keperakan membersit ketika ketiga pen- dekar muda itu mencabut dan menggerakkan pedang- nya bersamaan. Kemudian ketika pendekar itu berge- rak, membuat kurungan segitiga.

“He he he! Anak muda seperti kalian memang he- bat-hebat. Tapi sayang, ilmu kalian  masih  mentah!” ejek Kidarga lagi amat tenang, tak tampak hendak me- layani tiga pendekar muda tersebut.

“Basmi datuk sesat itu!” Baladewa berteriak. Kemu- dian ketiga pendekar itu bergerak maju untuk me- nerjang tubuh Kidarga dengan bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat.

Sing sing sing...! Wut!

Trang trang trang!

Gulungan sinar pedang yang menyambar tubuh da- tuk sesat itu dapat ditangkis oleh gulungan sinar tong- kat hitam yang telah diputar oleh Kidarga dengan ce- pat.

Tiga pendekar itu terkejut dan menarik pedangnya kembali ketika merasakan telapak tangan mereka pa- nas dan nyeri saat terjadi adu senjata tadi. Ini menun- jukkan kalau datuk sesat yang menjadi Ketua Pergu- ruan Topeng Hitam itu benar-benar memiliki tenaga sakti yang luar biasa. Tenaga sakti yang diperolehnya dari para iblis dan setan yang selama ini disembahnya. Bahkan tongkat hitam yang hanya terbuat  dari  kayu jati itu mampu menahan ketajaman pedang ketiga pen- dekar itu. Bahkan mampu menimbulkan getaran hebat yang mampu mendera tulang ketiga penyerangnya. Mereka tidak tahu bahwa tongkat hitam di genggaman Kidarga itu telah dialirkan ilmu ‘Tongkat Tangan Iblis’. Membuat tongkat yang terbuat dari kayu jati itu dapat keras seperti baja dan mampu menggetarkan tulang- tulang lawannya.

“He he he, ilmu pedang kalian tidak seberapa.  Ma- sih mentah!” ejek Kidarga sambil menggerakkan tong- kat hitamnya, menangkis setiap  sambaran  pedang yang mengancam tubuhnya.

Baladewa, Ashiong, dan Sang Piao bukan main ma- rahnya mendapat ejekan datuk sesat itu. Namun sebe- lum mereka melanjutkan serangannya, tiga Pendekar Mata Dewa telah melesat ke arah pertempuran dan berhadapan dengan Kidarga.

Baladewa, Ashiong, dan Sang Piao mundur bebe- rapa langkah untuk memberikan kesempatan ketiga pendekar itu bertarung dengan Kidarga.

“Bentuk segitiga kerucut!” teriak Kao Cin Liong, langsung memberikan aba-aba pada kedua temannya. Kemudian ketiga pendekar itu membentuk serangan segitiga kerucut. Dengan serangan ini, tugas mereka terbagi menjadi tiga bagian. Yang berhadapan dengan Kidarga menyerang bagian wajah dan dada, sedangkan yang berdiri di sebelah kanan Kidarga menyerang da- tuk sesat itu pada bagian perut dan kakinya. Sisanya menyerang pada bagian kepala Kidarga dengan cara melompat di atas kepala datuk sesat itu.

Sing sing singngng!

Gulungan sinar pedang Tiga Pendekar Mata Dewa menyambar datuk sesat itu dari berbagai arah. Atas, tengah, dan bawah. Membuat Kidarga terkejut dan ke- walahan. Kalau serangan pertama yang dilakukan oleh Baladewa, Ashiong, dan Sang Piao mampu ditangkis karena serangan itu datangnya dari tempat tertentu, sehingga dengan mudah ia dapat menangkisnya de- ngan tongkat hitamnya, maka serangan Tiga Pendekar Mata Dewa datang dari berbagai arah dengan kecepa- tan yang lebih dahsyat lagi. Terutama serangan yang datang dari atas kepalanya. Lengah sedikit, maka sa- lah satu pedang itu pasti akan menyayat tubuhnya.

Wajah Kidarga tiba-tiba merah seketika. Darahnya bergejolak panas terbakar kemarahannya. Sikapnya yang tadi tenang serta meremehkan tiga lawannya, kini berubah tegang dan angker. Dia mulai sungguh- sungguh menghadapi tiga pengeroyoknya.

“Hiaaat!”

Kidarga mengeluarkan lengkingan tinggi bersama putaran tubuhnya dari atas ke bawah. Begitu pula de- ngan tongkat hitamnya yang diputar dengan kecepatan tinggi ke arah dua lawannya yang menyerangnya dari depan dan samping. Sedangkan kedua kakinya yang lurus ke atas, bergerak menendang  seorang  lawan yang berada di atas kepalanya.

Trakkk! Dukkk!

Tongkat hitam Kidarga berhasil menahan kedua pe- dang lawan yang menyerang ke arah leher dan perut- nya. Saat itu pula, pedang Kao Cin Liong  dan  pedang Kui Lok patah dua. Sedangkan kedua kakinya yang lu- rus ke atas berhasil menjejak selangkangan Sin Hong cukup keras.

“Aaakh...!”

Sin Hong terpekik nyeri. Pedangnya terlepas dan ja- tuh menancap di tanah. Sedangkan kedua tangannya mendekap selangkangan yang terkena tendangan. Ke- mudian tubuhnya yang tadi bergerak lincah di udara, jatuh membentur tanah dengan keras. Seketika itu ju- ga tubuh Sin Hong tidak dapat bergerak lagi. Bukan karena benturan dengan tanah yang menyebabkan kematiannya, melainkan karena tendangan Kidarga yang mengandung hawa panas luar biasa. Seolah-olah membakar seluruh tulang-tulang dan isi perutnya. Itu- lah jurus tendangan ‘Kaki Iblis’. Sebuah jurus tenda- ngan yang sangat dahsyat dan mematikan!

Melihat kematian seorang dari Tiga Pendekar Mata Dewa, sebelas orang pendekar lain yang menyaksikan pertarungan, kini berloncatan mengepung Ketua Per- guruan Topeng Hitam itu. Mereka adalah Sang Piao, Ashiong, Prabu Jalatunda, Ningrum, Thong Mey, Ratih Purbasari, Ong Lie, Seyton dan tiga Pendekar Teluk Naga yang masing-masing bernama Kok Thai Ki,  Cu Han Bu, dan Hong Tan Tosu. Sedangkan Bongkap dan Bong Mini tetap berdiri tegang menyaksikan pertempu- ran itu. Saat menyaksikan pertempuran itulah, diam- diam Bong Mini mempelajari jurus-jurus atau ilmu- ilmu kesaktian yang dimiliki Kidarga.

Kidarga menyebarkan pandangannya ke sekeliling. Mengamati tiga belas pendekar yang berdiri gagah me- ngurungnya. Dan tiba-tiba Saja Kidarga tertawa terba- hak-bahak. Keras dan menyeramkan! Memantul ke se- luruh penjuru Bukit Setan hingga menimbulkan gema yang menyambut tawanya. Bersamaan dengan tawa- nya itu, angin besar bergulung dari segala arah.  Na- mun angin itu tidak memberikan kesejukan. Sebalik- nya justru menimbulkan udara yang panas luar biasa. Seolah-olah para pendekar itu, termasuk  Bong  Mini dan Bongkap berada dalam lingkaran api yang siap menjilati tubuh mereka. Seketika itu juga tubuh me- reka basah bermandikan keringat.

Sebenarnya tawa yang dilakukan Kidarga tadi bu- kan tawa sembarangan. Tawa tadi merupakan isyarat bagi iblis, setan, dan roh-roh jahat agar datang mem- berikan kesaktian kepada dirinya. Pada saat tawanya menggema ke seluruh penjuru bukit, semua makhluk- makhluk yang selama ini disembahnya datang berge- rombol membantu Kidarga.

Sesungguhnya, iblis, setan, dan roh-roh jahat yang selama ini disembah dan dipertuhankan oleh Kidarga bukanlah takluk kepadanya. Apalagi diperintah! Seba- liknya, malah Kidarga yang menjadi budak mereka. Karena untuk memperoleh ilmu sesat atau ilmu hitam, Kidarga harus melakukan pekerjaan yang amat berat dan mengerikan! Seperti bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan dan  minum (mati geni). Karena di dalam ilmu ini terkandung keku- asaan yang cuma dikenal oleh mereka yang memuja iblis, setan, dan roh-roh jahat yang mereka yakini.

Sesaat sebelum melaksanakan tapanya, Kidarga ter- lebih dahulu harus menyiapkan pedupaan yang berisi kemenyan sebanyak mungkin sampai masa tapanya berakhir. Pedupaan berisi kemenyan yang sudah diba- kar itu akan mempercepat datangnya setan, iblis atau roh-roh jahat yang dikehendakinya.

Setelah Kidarga memperoleh ilmu kesaktian, ia pun harus menyanggupi beberapa persyaratan. Di antara- nya harus mengisap darah, sumsum, dan otak anak perempuan di bawah umur sepuluh tahun. Sedangkan perempuan berumur dua puluh lima tahun ke bawah, cukup mengisap darahnya saja agar kesaktiannya ti- dak pudar dan terus bertambah. Sedangkan persyara- tan kedua, ilmu yang sudah diperoleh itu harus digu- nakan ke jalan yang sesat dan menyebarkannya ke masyarakat sebanyak mungkin agar mereka percaya terhadap kekuatan iblis, setan, atau roh-roh jahat. Ka- lau salah satu persyaratan ini tidak dilaksanakan, ma- ka nyawa Kidarga sendiri yang akan melayang diceng- keram oleh makhluk-makhluk marakayangan yang disembahnya itu.

Hawa panas di sekitar tempat pertempuran itu, ten- tu saja mengganggu konsentrasi para pendekar yang akan melakukan penyerangan. Setiap saat peluh me- reka bercucuran dan menghalangi pandangan mereka. Tidak henti-hentinya mereka menghapus keringat yang menghalangi pandangan dengan tangan mereka. Begi- tu pula dengan Bong Mini. Namun sejak dia diserang oleh angin panas yang aneh dan bergulung-gulung itu, Bong Mini berusaha mengerahkan seluruh kekuatan ilmunya untuk menahan hawa panas yang luar  biasa itu. Dia berdiri tegak dengan menempelkan kedua tela- pak tangannya di depan dada. Sedangkan kedua ma- tanya tampak terpejam, penuh konsentrasi.

“Ya, Tuhan! Berikan kekuatan pada diriku dan pa- sukanku! Berikan pula kekuatan dan kelebihan pada kedua mataku agar mampu melihat sesuatu yang tidak tersingkap!” batin Bong Mini berdoa, meminta lang- sung kepada Tuhan yang telah menciptakan  langit, bumi beserta isinya. Setelah beberapa saat berdoa, Bong Mini menarik napas dalam, menahannya sejenak, dan menghem- buskannya sambil membuka kedua matanya perlahan- lahan.

Bong Mini hampir saja terpekik kaget ketika kedua matanya terbuka lebar. Karena matanya melihat bola api menyala-nyala di sekitar para pendekar yang me- ngepung Kidarga. Begitu pula di sekitar tempatnya berdiri bersama Bongkap. Penuh dengan bola api yang menjilat-jilat tubuh mereka. “Pantas sejak kedatangan angin yang bergulung-gulung itu, udara di sekitar tempat itu terasa panas luar biasa. Melebihi panasnya sinar matahari yang setiap hari memancar,” begitu pi- kir Bong Mini ketika kedua matanya mampu menem- bus alam gaib dan melihat angin panas yang sebe- narnya bola-bola api yang mengelilingi tubuh mereka masing-masing agar konsentrasi mereka buta dan tak dapat melakukan penyerangan.

Menyadari keadaan yang sesungguhnya, Bong Mini cepat-cepat mengerahkan ilmu ‘Sinar Mata Malaikat’. Salah satu ilmu yang terdapat pada ilmu ‘Pancaran Si- nar Sakti’, warisan Putri Teratai Merah.

Bong Mini memandang tajam pada bola-bola api di sekitar Bongkap dan dirinya. Kemudian dari sinar ma- tanya itu menyembur kekuatan hawa dingin melebihi salju yang menyerang bola-bola api itu. Dalam waktu sekejap, bola api yang berada di sekitarnya lenyap en- tah ke mana.

Setelah keadaan di sekeliling kembali seperti sedia- kala, Bong Mini mengalihkan pandangannya ke arah Baladewa, Prabu Jalatunda, Ningrum, dan para pen- dekar yang masih tersiksa panas. Dengan sorot mata tajam tanpa berkedip, Bong Mini memandang bola-bola api itu bersama kekuatan ‘Sinar Mata Malaikat’-nya.

Wes wes wesss! Seperti ketakutan, bola-bola api yang berpijar men- jilat-jilat tubuh para pendekar itu bergerak naik ke udara dan hilang entah ke mana. Kini semua pendekar tampak kembali tenang dan dapat memusatkan piki- ran kembali ke arah lawan.

Kidarga terkejut bukan main melihat  iblis,  setan, dan roh-roh jahat yang menyerupai bola-bola api itu menghilang. Keterkejutan itu berganti dengan kemara- han ketika mengetahui kalau orang yang mengusir ib- lis, setan, dan roh-roh jahat berbentuk bola api itu adalah Putri Bong Mini.

Hanya ia sendiri yang tahu kalau Bong Mini telah melakukan penyerangan terhadap bola-bola api tadi. Karena kedua mata Kidarga memang mampu menem- bus alam gaib dan melihat kedatangan iblis, setan, dan roh-roh jahat yang membantunya. Sedangkan para pendekar lain termasuk Bongkap tidak mengetahui, apalagi melihat bola-bola api itu. Juga tidak mengeta- hui kalau udara panas yang mendadak menghilang itu akibat serangan Bong Mini dengan ‘Sinar Mata Malai- kat’-nya.

“Gadis kecil keparat itu benar-benar memiliki ke- saktian luar biasa, hingga  mampu  melihat  rahasia alam gaib!” rutuk hati Kidarga dengan sorot mata ta- jam, memandang Bong Mini. Sedangkan orang yang dipandang justru tersenyum-senyum. Dan  senyuman itu dirasakan oleh Kidarga sebagai ejekan yang amat menyakitkan.

***

5

Waktu terus berputar tanpa terasa. Kegelapan yang sejak semalam menyelimuti bumi, menyingkir di batas cakrawala. Karena matahari yang sejak sore kemarin bersembunyi, kembali menampakkan dirinya di ufuk timur. Bersama sinar kuning kemilau, memancar ke seluruh kaki langit.

Bukit Setan yang biasanya selalu memberikan uda- ra sejuk setiap pagi menjelang, kini menjadi tak bersa- habat. Udara terasa panas. Bukan karena pengaruh si- nar matahari pagi yang memancar terang, tetapi dis- ebabkan oleh jalaran api yang membakar pohon-pohon di sekitar bukit itu. Sementara bau anyir darah me- rayap bersama hembusan angin. Dan lengkingan per- tarungan antara pasukan Bong Mini dengan Kidarga masih berlangsung.

Sing sing sing!

Kilatan pedang berkilauan ketika para pendekar yang mengepung datuk sesat itu bergerak mengatur posisi setelah beberapa saat lamanya terganggu oleh udara panas di sekitar tempat itu. Dan  hal  ini  tentu saja mengejutkan Kidarga yang sedang memandang Bong Mini dengan penuh kemarahan.

“Hm!” dengus Kidarga sambil memandang para pen- dekar yang mengelilinginya. “Apakah kalian sudah bo- san hidup sehingga berani berhadapan denganku?”

“Jangan  banyak  omong,  Iblis  Peot!  Hari  ini   juga akan kuantar kau ke pintu neraka!” geram Baladewa dengan mata mencorong tajam ke arah Kidarga.

“Hua ha ha..., mana  bisa!  Mana  bisa!  Aku  tidak akan pernah mati karena kesaktianku! Apalagi yang berhadapan denganku cecunguk-cecunguk seperti ka- lian!” sergah Kidarga seraya menepuk dada dengan pongah. Sebelum para pendekar menyambut keponga- hannya, datuk sesat itu telah berteriak sambil mela- kukan gerakan melompat.

“Hiaaat!” Tubuh Kidarga melesat ke udara setinggi tiga meter. Di udara dengan tenang dia bersila memandang para pendekar yang terpana menyaksikan kesaktiannya. Benar-benar ilmu kesaktian yang luar biasa!

“Nah, sebelum kalian berhadapan denganku. Hada- pilah anak buahku yang sudah mati itu!” kata Kidarga. Kemudian dalam keadaan masih bersila di udara, Ki- darga menunjukkan tongkat hitamnya ke arah mayat- mayat anak buahnya.

“Wahai, seluruh makhluk setan dan roh-roh jahat di pegunungan dan lautan. Datanglah! Dan masuklah ke dalam jasad anak buahku. Bangkitkan mereka dan hadapilah orang-orang yang akan menjadi santapan kalian itu!” seusai berkata begitu, tiba-tiba terdengar gemuruh petir menyambar anak buah Kidarga yang sudah tergeletak menjadi mayat beberapa kali.

Srat srat srat! Duarrr!

Setelah beberapa kali petir menyambar puluhan mayat itu, tiba-tiba terdengar ledakan yang amat dah- syat. Menimbulkan getaran yang amat hebat di sekitar Bukit Setan.

Bong Mini dan para pendekar lain berdiri terhuyung akibat getaran bumi itu.  Setelah cahaya kilat  dan su- ara ledakan berhenti, tiba-tiba dua puluh di antara se- rakan mayat itu bangkit berdiri dan berjalan mende- kati sebelas pendekar yang berdiri termangu meman- dang mayat-mayat hidup itu.

Bong Mini sempat terkejut melihat keanehan itu. Namun tiba-tiba ia tersadar dan berteriak lantang ke- pada para pendekar yang masih termangu memandan- gi mayat-mayat hidup yang berjalan kian dekat ke arah mereka.

“Minggir kalian semua! Biar kubasmi setan  jahat ini!”

Sebelas pendekar yang tadi termangu-mangu tam- pak tersentak sadar, kemudian mereka bergerak meng- hindar, mengikuti seruan Bong Mini.

“Hati-hati, Putriku!” Bongkap memperingatkan Bong Mini. Sedangkan ia sendiri tetap berdiri di tempat. Ti- dak tahu bagaimana caranya menghadapi mayat-ma- yat hidup itu.

Bong Mini menoleh pada papanya sekejap dan mengangguk. Kemudian meloncat ke depan sejauh dua tindak sambil mencabut Pedang Teratai Merahnya.

Sreset! Cuat cuat cuat!

Pedang yang dikeluarkan dari sarungnya itu lang- sung memancarkan sinar merah berbentuk bunga te- ratai. Begitu terang dan penuh daya tarik bagi  siapa saja yang melihatnya. Walaupun para pendekar di pi- hak Bong Mini sudah mengetahui.

Kidarga yang baru melihat sinar pesona yang di- pancarkan oleh pedang Bong Mini tampak tersentak kagum. Kedua matanya bahkan sempat silau ketika cahaya pedang Bong Mini menghalangi matanya.

Bong Mini berdiri tegak. Pedang Teratai Merah dile- takkan di depan dada dengan bagian tengah pedang menyentuh bibirnya.

“Tuhan. Jika di dalam pusaka ini menyimpan keku- atan yang Engkau berikan serta berguna untuk mem- basmi segala macam kejahatan di muka bumi ini,  ma- ka perlihatkanlah padaku! Sesungguhnya aku tidak mengetahui bagaimana caranya membunuh mayat- mayat hidup yang digerakkan oleh roh jahat itu!” bisik hati Bong Mini berdoa. Kemudian ujung pedang itu di- tudingkan ke arah dua puluh mayat yang tinggal lima langkah lagi ke arahnya.

Sret! Cuat cuat cuat!

Pedang yang digenggam Bong Mini tiba-tiba berge- rak dan melepaskan diri dari cekalan  tangan  Bong Mini. Kemudian pedang itu melayang lurus ke satu mayat yang berjalan tepat di depan pedang itu.

Creb!

Ujung pedang itu langsung menusuk perut satu mayat di dekatnya. Pedang itu terus menusuk sampai menembus punggung mayat itu. Tanpa mengeluarkan rintihan mayat hidup yang terkena tusukan langsung roboh dan tidak berkutik lagi. Kemudian dari jasadnya melesat asap putih yang langsung raib di udara. Se- mentara mayat itu sendiri, tiba-tiba berubah menjadi tengkorak manusia yang hangus seperti terbakar.

Para pendekar terkejut kagum melihat kesaktian yang dimiliki pedang Putri Bong Mini. Karena Pedang Teratai Merah tidak asal bergerak, melainkan bergerak mantap seperti dikendalikan oleh tangan seorang pen- dekar. Dalam waktu singkat, dua  puluh  mayat  hidup itu mati di ujung Pedang Teratai Merah.

Melihat mayat-mayat hidupnya mati dan berubah menjadi rangka manusia yang hangus seperti terbakar, Kidarga menjadi marah. Ia melesat turun sambil meng- gerakkan tongkat hitam ke kepala Bong Mini.

Wut!

Bong Mini langsung melompat ke belakang ketika mengetahui serangan mendadak Kidarga.

Melihat Kidarga sudah berdiri di atas tanah dan langsung berhadapan dengan Bong Mini, sebelas pen- dekar lain kembali bergerak mengepung datuk  sesat itu.

Merasa keinginannya untuk langsung berhadapan dengan Bong Mini terhalang oleh tindakan para pen- dekar, Kidarga menjadi bertambah marah.

“Kalian memang orang-orang yang perlu diberi pela- jaran!” geram Kidarga dengan sorot mata merah me- nyala. “Nah, hadapilah serangan tongkatku ini!” lanjut Kidarga seraya melemparkan tongkat  hitamnya  ke arah Baladewa. Sedangkan ia sendiri melompat, meng- hindari kepungan.

Trakkk!

Tongkat hitam Kidarga berhasil ditangkis Baladewa dengan pedangnya. Namun saat dua senjata tersebut bertemu, tongkat hitam Kidarga berubah menjadi see- kor ular hitam berbisa. Dari mulut ular jejadian itu menyembur lidah api sejauh setengah meter.

“Hihhh!”

Baladewa membanting pedang yang dililit ular hi- tam ke tanah dengan keras. Sehingga  bagian  badan ular itu ada yang sempat tergores. Anehnya, tak ada darah sedikit pun yang terlihat dari goresan di tu- buhnya. Sedangkan Baladewa sendiri mundur bebe- rapa langkah, menghindar dari semburan api  mulut ular itu.

Melihat ular hasil sihiran Kidarga, Prabu Jalatunda segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Dengan tangkas ia segera melakukan serangan gencar.

“Hosss! Hosss!”

Ular hitam hasil sihiran itu terus menyembur-nyem- burkan jilatan api untuk menghalangi golok Prabu Ja- latunda yang mengancam tubuhnya. Membuat setiap serangan Prabu Jalatunda selalu luput dari sasaran.

Kidarga tertawa terbahak-bahak melihat kehebatan ular ciptaannya. Namun tawa berderainya mendadak terputus setelah tubuhnya terpental oleh hembusan angin yang demikian keras.

“Manusia licik!” maki Bong Mini. Tiba-tiba dia su- dah berdiri gagah di hadapan Kidarga.

Datuk sesat itu bangkit. Matanya memandang  ta- jam pada gadis bertubuh mungil yang berdiri gagah di hadapannya. Wajahnya merah penuh kemarahan.

“Hm, rupanya kau yang tadi melakukan serangan!” geram Kidarga. Lalu kedua tangannya bergerak lurus ke depan disertai hentakkan suara yang keras. “Hah!”

Kidarga mengerahkan ilmu ‘Angin Topan’ melalui kedua telapak tangannya yang terkembang. Namun de- ngan cepat, Bong Mini menghindar dengan bersalto ke belakang. Dan mendarat tepat di dekat Prabu Jalatun- da yang sedang berusaha melepaskan lilitan ular.

“Heppp!”

Bong Mini menolong Prabu Jalatunda yang hampir tidak berdaya itu dengan cara mencekik leher ular de- ngan ilmu ‘Telapak Tangan Hangus’.

“Hosss!”

Ular itu mendengus dan berkelit kepanasan. Lili- tannya terlepas dari tubuh Prabu Jalatunda. Ular jeja- dian itu meronta-ronta di cengkeraman tangan Bong Mini yang terasa panas membakar tubuhnya.

Setelah beberapa saat meronta-ronta, tiba-tiba tena- ganya melemah. Api yang tadi menyembur-nyembur dari mulutnya mendadak padam.

“Huhhh!”

Bong Mini melemparkan bangkai ular itu ke arah Kidarga yang sejak tadi termangu-mangu menyaksikan kehebatan Bong Mini dalam menaklukkan ular sihi- rannya.

“Hup!”

Dengan tangkas Kidarga menangkap ular yang di- lemparkan Bong Mini tadi. Seketika itu juga binatang jejadian itu berubah menjadi sebatang tongkat hitam kembali.

Semua mata memandang penuh ketercengangan pada keajaiban itu. Benar-benar sebuah  ilmu  sesat yang mencapai kesempurnaan. Sedangkan di lain pi- hak, Kidarga sendiri merasa kagum pada kehebatan ilmu kesaktian Bong Mini.

“Kelinci kecil ini benar-benar tidak bisa dipandang remeh!” geram hati Kidarga. Sebelum ia bertindak lebih lanjut, Bong Mini dan Bongkap telah meloncat dan berdiri di dekatnya. Disusul pula dengan kehadiran Baladewa. Sehingga Kidarga berhadapan dengan tiga pendekar tangguh.

Tanpa banyak cakap lagi, ketiga pendekar itu lang- sung menyerang datuk sesat yang berdiri angkuh di hadapan mereka.

Wut wut wut!

Bongkap yang selalu bernafsu bila menghadapi mu- suh langsung menyerang Kidarga dengan jurus kungfu ‘Tanpa Bayangan’. Sedangkan ujung lengan bajunya yang menutupi tangan kirinya yang buntung bergerak keras dan melemas serta bergerak lincah ke sana ke- mari seperti ketika tangannya masih utuh.

Begitu pula dengan Bong Mini. Gadis itu menyerang dengan jurus ‘Walet Terbang Rendah’ yang digabung dengan pukulan beracun. Menyebabkan gerakannya terlihat aneh. Sedangkan dari kedua telapak  tangan- nya keluar asap putih. Tubuhnya yang begitu ringan berlompatan ke sana kemari seperti burung walet.

Jurus-jurus hebat yang memukau bukan saja dila- kukan oleh sepasang pendekar bapak-beranak itu, te- tapi dilakukan juga oleh Baladewa yang mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan kesaktian Ki- darga. Permainan pedangnya begitu cepat, gagah, dan tangkas. Sesuai dengan nama jurusnya, ‘Pedang Sera- tus Kilat’ yang dikuasai sepenuhnya ketika ia berguru pada Kanjeng Rahmat Suci di Gunung Muda. Membuat gerakan pedangnya terlihat bagai serbuan kilat yang menyambar tubuh lawan.

“Hiaaat!”

Wing wing wingngng!

Tiba-tiba Kidarga mengeluarkan lengkingan tinggi ketika mendapat serangan dahsyat dari tiga pendekar tangguh tersebut. Tubuhnya berputar seperti gangsing. Dari tubuhnya yang berputar cepat itu, tercipta desi- ngan angin. Inilah yang disebut ilmu ‘Angin Ribut Ber- gulung’. Sebuah ilmu yang hanya digunakan untuk menghalau rasa gentarnya terhadap serangan lawan. Menyaksikan kesaktian Bong Mini dan pedangnya saja dia sudah terkejut, apalagi ditambah dengan dua pen- dekar lain. Rasa gentar, sedikit banyak pasti menyeli- muti datuk sesat tersebut. Untuk  menyembunyikan rasa gentarnya itu, ia mengeluarkan jurus ‘Angin Ribut Bergulung’.

Sing sing singngng!

Kilatan pedang berwarna putih yang memanjang mencoba menyambar leher Kidarga. Kemudian seperti meluncur turun, kilatan pedang  itu  menyambar  pula ke perut Kidarga yang masih berputar. Tapi, meski si- nar pedang Baladewa begitu cepat menyambar tubuh lawan, Kidarga ternyata dapat menghindari serangan dengan cara mengelak. Namun elakan itu berakhir de- ngan keterkejutan manakala tangan kanan Bongkap bergerak hendak mencengkeram lehernya.

Bukkk!

Kidarga cepat menangkis dengan tangan kanannya pula. Terjadilah benturan sepasang tangan berisi tena- ga dalam penuh.

Benturan tangan itu membuat tubuh Kidarga terge- tar, hingga menghentikan perputaran tubuhnya.

Di lain sisi, Bongkap terhuyung beberapa langkah. Tapi ia cepat memantapkan kuda-kuda kembali dan langsung menyerang Kidarga dengan ujung lengan ba- ju sebelah kiri.

Wut!

Ujung lengan baju Bongkap melecut ke mata Kidar- ga. Dengan cepat datuk sesat itu menarik tubuhnya ke belakang.

“Uhhh!” Bongkap semakin bernafsu. Ujung lengan bajunya yang tadi lemas berubah menjadi kaku. Kemudian de- ngan cepat lengan baju yang berubah kaku itu mela- kukan gerakan menotok ke pinggang Kidarga.

“Uhhh!”

Totokan maut yang nyaris mengenai sasarannya dapat segera dihindari Kidarga dengan cara membuang diri ke samping dan bergulingan.

Saat tubuh Kidarga bergulingan, Baladewa segera menggunakan kesempatan untuk menerjangnya.

Sing sing singngng!

Sinar pedang menyambar tubuh datuk sesat yang bergulingan itu. Namun dengan cepat Kidarga menang- kis dengan tongkat hitamnya.

Trakkk!

Tangkisan tongkat hitam yang diayunkan Kidarga begitu cepat dan kuat. Membuat Baladewa  terhenyak ke belakang karena merasakan hawa panas dan geta- ran pada tulang-tulang tubuhnya. Pedang yang di- genggamnya pun terpental keras dan jatuh entah di mana.

Prabu Jalatunda, Ningrum, dan para pendekar lain terkejut kagum menyaksikan kehebatan Kidarga. Da- lam keadaan bergulingan, ternyata dia masih mampu menangkis pedang Baladewa yang menyambar secepat kilat. Bahkan membuat tubuh lawannya terpental. Na- mun demikian, tubuhnya tetap bergulingan di tanah tanpa mempunyai kesempatan untuk mengambil po- sisi lebih baik. Sebab pada  saat itu  pula, Bongkap te- lah menyerangnya dengan sebilah pedang.

Singngng...!

Sinar pedang Bongkap berkelebat menyambar leher Kidarga yang masih dalam keadaan bergulingan.

Menghadapi serangan yang demikian cepat, Kidarga terkejut setengah mati. Sebab dia tidak punya kesem- patan untuk menangkis dengan tongkat hitamnya. Ter- paksa ia menangkis pedang yang hampir menyambar lehernya itu dengan tangan kirinya.

Crokkk! “Aaakh!”

Kidarga memekik tertahan manakala pedang Bong- kap membabat tangan kirinya hingga buntung sebatas siku. Sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat, tangan kanannya yang masih memegang tongkat hitam bergerak cepat menotok jalan darah di pangkal le- ngannya agar darah dari lukanya tak mengalir terus. Kemudian dia cepat bangkit menghadap Bongkap de- ngan kemarahan meluap. Tubuhnya terasa panas luar biasa. Sedangkan kedua matanya berubah merah  ba- gai nyala api.

“Monyet buntung! Rasakan pembalasanku!” usai berkata begitu, Kidarga langsung melemparkan tong- kat hitamnya ke arah Bongkap.

Wing wing wing!

Tongkat hitam  itu  berputar  cepat  bagai  baling- baling kapal. Seperti memiliki kekuatan gaib, tongkat hitam itu terus berputar mengelilingi tubuh Bongkap. Membuat lelaki itu kewalahan.

Bong Mini yang menyaksikan kejadian itu langsung melepaskan selendang kuning yang melilit pinggang- nya. Kemudian selendang kuning yang panjang itu disabetkan ke arah tongkat yang menyerang papanya.

Wet!

Selendang kuningnya tampak terulur seperti be- nang layangan yang terbang tinggi. Sedangkan ujung selendang itu bergerak menyerang tongkat hitam milik Kidarga yang masih berputar mengelilingi Bongkap. Ketika ujung selendang  kuning ini berhasil menempel di ujung tongkat hitam, langsung bergerak melilit. Ke- cepatan gerak selendang Bong Mini membuat senjata itu terlihat seperti sinar kuning memanjang.

Selendang kuning Bong Mini terus bergerak dan melilit kuat-kuat tongkat hitam Kidarga. Seakan hen- dak menahan setiap gerakan yang ditimbulkan oleh tongkat hitam itu. Ketika gerakan tongkat lawan dapat dikuasai, selendang Bong Mini cepat mematahkan tongkat hitam yang dibelitnya.

Trakkk!

Tongkat hitam Kidarga yang mengandung kekuatan sakti itu patah dua. Karena tongkat tersebut masih da- lam lilitan selendang, maka patahannya yang me- lengkung seperti bentuk huruf f bergerak ke tempat Kidarga berdiri. Di ujung selendang,  patahan tongkat itu menari-nari di depan Kidarga, seolah membayangi pandangannya.

Bong Mini yang memegangi ujung selendang yang lain tampak tersenyum-senyum. Tangannya mengikuti gerak ujung selendang yang membelit patahan tongkat hitam. Persis seperti seorang yang bermain layang- layang. Itulah selendang sakti yang diberi nama Selen- dang Sakti Tangan Malaikat.

“Selendang sialan!” gerutu Kidarga, merasa panda- ngannya terhalangi. Kemudian tangan kanannya men- coba menepis selendang yang membelit patahan tong- katnya.

Dukkk! “Auhhh!”

Kidarga meringis kesakitan sambil menarik tangan kanannya kembali. Dia merasa seperti baru saja meng- hantam baja.

“Hi hi hi..., orang sakti kalah dengan selendang lem- but ini!” ejek Bong Mini diselingi tawa karena tak ta- han melihat Kidarga meringis-ringis menahan sakit. Begitu pula dengan pendekar lain yang sejak tadi ha- nya menonton pertarungan itu. Tawa mereka menda- dak meledak.

“Monyet buduk!” rutuk Kidarga. Ringisannya dihen- tikan sambil berusaha berdiri tegak, walaupun tangan- nya masih terasa berdenyut dan mulai membengkak.

“Rupanya hanya sebatas itu kesaktian yang dimiliki datuk sesat Perguruan Topeng Hitam!” ejek Bong Mini dengan jari-jari yang terus memainkan selendang ku- ningnya dengan lincah.

“Kelinci betina tengik! Akan kuisap otak, sumsum, dan darahmu!” geram Kidarga dengan kemarahan yang sudah memuncak. Seumur hidup, baru kali ini dia di- permainkan lawan yang usianya jauh lebih muda.

Bong Mini yang semula tersenyum mengejek, men- dadak berubah tegang dan penuh kengerian. Karena saat Kidarga marah seperti itu, dia melihat satu peru- bahan terjadi pada diri Kidarga. Sosok tubuh datuk se- sat tadi berganti dengan tubuh hitam kebiru-biruan. Matanya merah seperti sinar api. Sedangkan di mulut- nya terlihat empat caling sepanjang empat senti. Selu- bung api tampak di sekitar tubuhnya yang hitam kebi- ru-biruan. Itulah iblis marakayangan yang selama ini disembah oleh Kidarga agar memperoleh ilmu-ilmu ke- saktian. Dia hadir di tempat pertempuran dan lang- sung masuk ke dalam tubuh Kidarga tanpa terlihat oleh mata pendekar di sekitar tempat itu. Lain halnya bagi Bong Mini, tirai penghalang matanya yang sudah tersingkap, membuat dia dapat memandang alam gaib. Kidarga yang dilihat oleh Bong Mini telah berubah jasadnya menjadi iblis marakayangan itu, segera ber- gerak ke depan menyerang ujung selendang Bong Mini

yang masih membelit patahan tongkatnya. “Hep!”

Ujung selendang Bong Mini berhasil dipegang Ki- darga. Saat itu juga, Bong Mini mengerahkan tenaga dalam yang disebut ilmu ‘Kontak Batin’ melalui selen- dang kuningnya. “Heg!” Bukkk!

Tubuh Kidarga terjungkal ke belakang dan melepas- kan pegangan pada selendang. Tubuhnya terdorong deras sejauh dua tombak lalu membentur tanah de- ngan keras.

“Hi hi hi..., ada babi bengkak jatuh!” Bong Mini mengejek Kidarga sambil tertawa kecil.

Kidarga bangkit bersama dengusan keras dari hi- dungnya. Ia benar-benar marah karena kesaktiannya dapat ditandingi oleh gadis yang masih muda belia.

Bongkap dan Baladewa yang tadi turut menyerang datuk sesat itu mundur ke belakang dan bergabung dengan para pendekar lain. Mereka memutuskan un- tuk menonton pertarungan dua tokoh sakti itu sambil memulihkan tenaga kembali. “Kalau Bong Mini keha- bisan tenaga saat melawan datuk sesat itu, kami akan langsung menggantikannya.” Begitu pikir keduanya.

Dengan wajah berang, Kidarga segera berdiri tegak menghadap lawan. Dia siap merangsek Bong Mini kembali. Namun sebelum datuk sesat itu melakukan serangan, Bong Mini segera mendahuluinya dengan menghentakkan selendang ke arah lawan. Patahan tongkat hitam di ujungnya terlepas, lalu meluncur da- lam kecepatan tinggi.

“Uhhh!”

Kidarga menangkap potongan tongkatnya dengan cepat. Kemudian tubuhnya segera melompat ke bela- kang, lalu berdiri tegak kembali. Dipandanginya Bong Mini sekilas. Sesaat kemudian tangannya melempar- kan potongan tongkat itu ke arah Bong Mini.

Wut!

Dengan tangkas gadis bertubuh mungil itu menang- kap potongan tongkat hitam itu dan mengembalikan- nya ke arah Kidarga.

Wut! Creb!

Potongan yang dilemparkan Bong Mini itu dapat se- gera dihindari Kidarga dan menancap pada sebatang pohon.

Krekkk! Bummm!

Batang pohon yang tertancap potongan tongkat hi- tam patah. Patahannya menuju tanah, mengeluarkan suara berdebum keras.

Bongkap dan para pendekar yang menyaksikan ke- jadian itu terkagum-kagum pada Bong Mini. Karena kalau tongkat tadi sampai mengenai sasaran, tentu bagian tubuh Kidarga akan terpisah pula.

“Majulah kau, Iblis Busuk! Kita bertarung sampai mampus!” tantang Bong Mini.

Iblis marakayangan yang masuk ke dalam jasad Ki- darga terlihat murka mendengar tantangan Bong Mini. Langsung diterjangnya gadis yang berdiri kokoh di ha- dapannya itu.

“Hiaaat!” Bukkk!

Bong Mini mengelakkan serangan tangan Kidarga yang hendak mencekik lehernya, disertai pukulan ta- ngan kanannya yang tepat mengenai perut lawan. Tapi iblis marakayangan yang meminjam tubuh Kidarga itu tidak mengeluh sakit sedikit pun. Malah ketika kedua kakinya menginjak tanah kembali, ia melanjutkan se- rangannya dengan melakukan tendangan ke dada ga- dis mungil itu.

“Uts!”

Tendangan kaki Kidarga berhasil dielakkan Bong Mini dengan manis. Dia mengelak serangan itu dengan cara membungkukkan badannya. Dilanjutkan dengan memutarkan tubuhnya untuk melakukan serangan balik ke arah lawan.

Dukkk!

Tendangan kaki kanan Bong Mini telak mengenai pantat lawan. Tubuh Kidarga terhuyung dan kehila- ngan keseimbangan.

Bukkk!

Kidarga kembali terjatuh. Namun dengan cepat ia membalikkan badan dan berdiri menghadap Bong Mini kembali. Keduanya saling memandang tajam dan sa- ling menilai.

Walaupun masih muda, Bong Mini tidak bisa diang- gap enteng. Kecepatan dan kedahsyatan jurus-jurus kungfunya serta kesaktian ilmunya yang hampir sem- purna, membuat ia mampu mengimbangi lawan seperti Kidarga. Kedua bola matanya yang terisi sinar gaib membuat pandangannya sanggup melihat wujud Ki- darga yang telah ditumpangi oleh iblis marakayangan.

Pada pihak lain, lawannya pun tidak bisa diremeh- kan. Tapanya di dalam Bukit Setan, telah membuat Kidarga sakti karena bantuan  iblis,  setan,  dan  para roh jahat yang selama ini disembahnya. Dan kesak- tiannya itu bukan saja dapat merubah tongkat menjadi ular, atau mengirimkan roh jahat ke jasad anak buah- nya yang sudah mati, tetapi juga mampu  memanggil raja setan yang bernama iblis marakayangan, hingga dapat masuk ke dalam tubuhnya seperti yang dihadapi Bong Mini sekarang ini.

“Demi iblis dan roh-roh jahat, aku tidak akan mem- biarkanmu hidup, Bocah Sialan!” geram Kidarga sam- bil melancarkan serangan tenaga dalam ‘Angin Maut Berhembus’.

Wut!

Bong Mini meloncat menghindar. Tapi kemudian Ki- darga menyusulkan serangan dahsyat beruntun. Mem- buat Bong Mini harus berputaran di udara, menghin- dari serangan. Tanpa disadari Kidarga, sambil tubuh- nya berputar, Bong Mini sempat melancarkan sera- ngannya pula lewat jurus ‘Badai Mengamuk’.

Wesss!

Kidarga tersentak kaget dan langsung melompat menghindar. Sehingga tenaga dalam ‘Badai Mengamuk’ milik Bong Mini luput dari sasaran dan menghentak tanah tempat datuk sesat itu berdiri.

Busss!

Tanah yang terkena pukulan jarak jauh itu lang- sung berlubang cukup dalam.

Kidarga terperangah menyaksikan lubang di tanah akibat hantaman jarak jauh lawannya. Kalau  saja  ti- dak cepat mengelak, tentu tubuhnya akan ikut ter- kubur ke dalam tanah yang berlubang itu.

***

Pertarungan antara Bong Mini dan Kidarga berlang- sung sengit. Keduanya mengerahkan kesaktian tingkat tinggi masing-masing. Sehingga pertarungan itu bukan saja terjadi di daratan, tetapi juga berlangsung di uda- ra. Membuat Bongkap, Prabu Jalatunda, dan pendekar lain yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu mundur beberapa tombak. Mereka jelas tidak turut menyerang. Selain melihat Bong Mini masih kuat ber- tahan, juga karena ilmu kesaktian  Kidarga  sangat tinggi. Sedangkan Bongkap, Ashiong, Sang Piao, dan para pendekar lain tidak memiliki kesaktian apa pun kecuali jurus-jurus kungfu.

Begitu pula dengan Baladewa. Walaupun ia satu perguruan dengan Bong Mini dan memiliki ilmu kesak- tian, namun kesaktiannya itu masih jauh  di  bawah Bong Mini. Hal ini karena kemalasannya untuk mela- kukan puasa mutih  dan  bertapa.  Sedangkan  Bong Mini, selain kuat bertapa dan puasa mutih, juga sudah bertemu dengan Putri Teratai Merah. Seorang ratu silat pembela kebenaran yang pernah hidup ratusan tahun lampau. Hanya Putri Teratai Merah yang memiliki ber- bagai jenis jurus silat dan ilmu kesaktian. Dan dia pun seorang wanita yang pernah menguasai dunia persila- tan. Sehingga semua pendekar tunduk kepadanya. Se- dangkan kematiannya bukan karena pertempuran, melainkan karena takdir yang sudah digariskan. Dia mati saat mengasingkan diri dari dunia keramaian dan bertapa di Gunung Muda, tempat Bong Mini bertapa ketika berguru pada Kanjeng Rahmat Suci. Maka tidak heran jika Bong Mini memiliki kesaktian yang luar bi- asa. Walaupun belum sempurna benar. Karena semua ilmu yang dimiliki Putri Teratai Merah telah diwariskan kepadanya saat bertemu di alam gaib.

Kini kedua orang sakti itu saling berhadapan de- ngan sorot mata tajam memandang lawan masing-ma- sing. Tiba-tiba, Kidarga melompat setinggi sepuluh me- ter. Begitu pula dengan Bong Mini yang mengimbangi ketinggian ilmu lawannya.

Wut!

Kidarga menghentakkan kedua tangannya ke arah lawan dengan telapak tangan terkembang. Dia me- ngerahkan ilmu kesaktiannya yang diberi nama ‘Kebu- tan Tangan Iblis’. Gumpalan api sebesar bola kaki me- nyerang Bong Mini pada saat kedua tangannya dihen- takkan ke depan. Tetapi dengan cepat pula Bong Mini menangkis gumpalan api yang menyala itu dengan pe- dangnya.

Wut! Duarrr!

Bentrokan antara pedang Bong Mini dengan gumpa- lan api itu menimbulkan ledakan yang amat dahsyat. Gumpalan api itu hancur berkeping-keping menyeru- pai manik-manik.

Kidarga bertambah geram melihat lawannya mampu menangkis serangan ilmunya yang  terkenal  dahsyat itu. Membuat ia makin bernafsu dalam melakukan se- rangan bertubi-tubi.

Bong Mini terdesak dan hanya mampu bergulingan di udara. Tapi pada kesempatan lain, ketika Kidarga hendak melakukan serangannya yang kelima,  Bong Mini pun berhasil mengimbanginya dengan melakukan serangan dengan jurus ‘Tangan  Malaikat  Pencegah Api’.

Sing sing sing! Duarrr!

Gumpalan api milik Kidarga dan gumpalan sinar putih keperakan milik Bong Mini beradu hingga me- nimbulkan suara ledakan yang lebih dahsyat dari se- belumnya. Sedangkan tubuh kedua orang yang ber- tarung itu sama-sama terhentak ke belakang.

“Aaakh!” Dukkk!

Dua tubuh yang tadi bertempur di udara itu ter- banting ke tanah dengan keras. Ketika keduanya bangkit, mulut mereka mengeluarkan darah.

Begitulah pengaruh ilmu kesaktian. Bila masing- masing lawan saling mengerahkan kesaktian lewat hempasan-hempasan cahaya dan saling beradu hingga hancur, maka kedua tubuh pemiliknya pun akan ikut terbanting. Malah akan menimbulkan luka di dalam tubuh mereka. Sebab hancurnya dua sinar yang ber- temu itu akan menimbulkan kontak batin yang sangat hebat. Dan ada di antara mereka lebih unggul, tentu seorang dari mereka ada yang tewas. Untungnya, Bong Mini dan Kidarga mempunyai daya tahan tubuh yang kuat, hingga goncangan batin itu hanya mengaki- batkan keduanya muntah darah.

Melihat darah yang begitu banyak keluar dari mulut Bong Mini, Bongkap dan pendekar lain terkejut bukan main. Apalagi Baladewa. Pada saat itu pula darahnya menggelegak naik sampai ke kepala dan langsung ber- gerak untuk menyerang Kidarga bersama-sama Bong- kap dan para pendekar lain.  Namun  dengan  cepat Bong Mini mencegahnya.

“Jangan! Biarkan aku sendiri yang menghadapi iblis keparat ini. Aku ingin mengukur sampai di mana ke- saktian iblis yang merasuki datuk sesat itu!” seru Bong Mini dengan kalimat yang kurang jelas karena terha- lang oleh darah yang masih mengalir dari mulutnya.

Bongkap dan pendekar lainnya menurut, walaupun perasaan mereka masih dicekam penuh kecemasan.

“Majulah iblis jelek! Biar aku cepat-cepat mengan- tarmu ke pintu neraka!” tantang Bong Mini  penuh emosi dan ejekan.

Datuk sesat yang memang sudah murka itu tidak menanggapi ucapan Bong Mini. Langsung diterjangnya lawan dengan kedua tangan mencengkeram ke arah leher gadis yang berdiri di hadapannya.

“Hiyyy!” Tep! Tep!

Bong Mini menyambut serangan tangan Kidarga itu dengan kedua telapak tangannya yang terkembang. Tangan keduanya melekat erat. Saat itulah mereka kembali mengadu kesaktian pamungkas.

“Aaakh!”

Kidarga memekik panjang ketika merasakan tubuh- nya panas luar biasa. Matanya mendelik. Sedangkan dari pori-pori tubuhnya keluar darah kental kehitam- hitaman. Tidak berapa lama kemudian, tubuhnya ro- boh dalam keadaan yang mengerikan. Tubuhnya yang mengeluarkan darah dari pori-pori itu berubah hangus seperti terbakar.

Duarrr!

Dari ubun-ubun Kidarga terdengar ledakan, disertai kepulan asap putih. Sedangkan ubun-ubun yang me- ngeluarkan ledakan itu terlihat berlubang. Hal itu ter- jadi karena iblis marakayangan yang masuk ke dalam tubuh Kidarga merasa kepanasan dan tidak tahan me- lawan ajian ‘Sepasang Tangan Malaikat’ yang dikerah- kan Bong Mini. Ia pergi meninggalkan raga Kidarga le- wat ubun-ubunnya. Itu pun hanya terlihat oleh Bong Mini. Sedangkan yang lain hanya melihat ubun-ubun Kidarga menganga lebar.

Para pendekar bergerak cepat menghampiri tubuh Kidarga yang sudah mati mengerikan itu. Sedangkan Bongkap langsung menghampiri Bong Mini yang meng- alami luka parah.  Dipeluknya  erat-erat  tubuh  gadis itu. Saat dipeluk, tubuh Bong Mini langsung jatuh le- mas tanpa bergerak lagi.

***

6

Api terus berkobar. Bukan saja membakar markas Perguruan Topeng Hitam yang sudah berubah menjadi arang, tetapi juga membakar pepohonan di sekitar Bu- kit Setan. Bukit yang semula menghijau oleh  hampa- ran rumput dan pepohonan, berubah menjadi gersang. Penuh dengan reruntuhan pohon yang sudah menjadi arang.

Setelah menyaksikan kematian Kidarga yang me- ngerikan di tangan Bong Mini, pasukan Bongkap ber- gerak meninggalkan Bukit Setan menuju Bukit Teng- korak. Mereka diam di tempat itu untuk beberapa wak- tu sambil menunggu Bong Mini siuman

“Bong Mini. Bong Mini sayang...?” bisik Ningrum de- ngan perasaan khawatir melihat keadaan Putri Bong Mini. Namun tubuh gadis yang rebah di pangkuannya itu tidak bergerak sedikit pun. Apalagi menyahut. “Bagaimana dengan Putri Bong Mini?” cemas Ning-

rum sambil memandang Bongkap dan Prabu Jalatun- da yang duduk di hadapannya.

“Dia tidak apa-apa. Dia hanya kekurangan tenaga ketika mengadu kesaktian dengan Kidarga tadi!” sahut Bongkap menenangkan. Padahal sebenarnya ia sendiri cemas terhadap keselamatan putrinya. Baik Bongkap atau pendekar lain, tidak ada yang bisa memulihkan keadaan Bong Mini. Begitu pula dengan Baladewa. Ka- rena ilmu yang digunakan Bong Mini saat melawan Ki- darga merupakan ilmu kesaktian tingkat tinggi yang tidak dimiliki pendekar mana pun.

Di pihak lain, Bong Mini sendiri sebenarnya men- dengar keluhan Ningrum. Bahkan ia sendiri sadar ka- lau sekarang ini ia tengah terbaring di pangkuan wa- nita itu. Saat mendengar keluhan Ningrum tadi, ia sen- diri sebenarnya sudah berkata dengan suara keras ka- lau dirinya baik-baik saja. Namun bagaimanapun  ke- ras ia berkata, baik Ningrum maupun para pendekar yang berada di situ tetap tak dapat mendengar suara- nya. Meski tubuh Bong Mini berada di pangkuan Ning- rum, sesungguhnya sukma gadis itu sudah lepas dari raganya.

Bong Mini terbangun dari pangkuan Ningrum dan berdiri. Dia tersenyum pada Bongkap, Ningrum, dan Prabu Jalatunda. Anehnya, ketiga orang tersayang itu tidak melihat ke arahnya. Mereka malah menunduk dalam-dalam. Sedangkan Ningrum terdengar menahan isak tangis.

Bong Mini melangkah satu tindak menghampiri Bongkap dan memeluknya.

“Papa. Papa jangan sedih. Aku tidak apa-apa, kok!

Lihatlah!” kata Bong Mini.

Bongkap diam.  Ia  tidak  merasakan  pelukan  Bong Mini. Apalagi mendengar suaranya. Kenyataan itu ten- tu saja sangat mengejutkan Bong Mini.

“Papa! Papa tidak merasakan pelukanku?” tanya Bong Mini tergugu.

Bongkap tetap diam.

Melihat papanya diam saja, Bong Mini bangkit de- ngan wajah sedih. Ia mengira kalau Bongkap sudah ti- dak mengenalinya lagi. Hingga akhirnya ia lari mening- galkan Bongkap dan pasangan suami-istri itu.  Dia te- rus berlari berlinang air mata. Namun sebelum ia jauh meninggalkan tempat itu, tiba-tiba pandangannya ter- tumbuk pada seorang wanita cantik dan seorang lelaki tua berpakaian putih-putih yang melangkah ke arah- nya. Puluhan lelaki muda dan gagah serta wanita- wanita cantik mengiring di belakang mereka. Pakaian- nya pun sama. Puluhan laki-laki berjubah panjang warna putih. Sedangkan kaum wanitanya bergaun panjang seperti pengantin. Namun terlihat lebih indah dan mahal.

Bong Mini terkejut bercampur girang ketika kedua orang yang dikawal itu berdiri di hadapannya sambil mengembangkan senyum. Karena wanita cantik ber- gaun putih panjang serta lelaki tua berjubah itu sangat ia kenal. Mereka adalah Putri Teratai Merah dan Kan- jeng Rahmat Suci. Namun yang membuatnya terkejut itu, kenapa Kanjeng Rahmat Suci mengenal Putri Te- ratai Merah, begitu pula sebaliknya. Padahal seingat- nya, Putri Teratai Merah hidup ratusan tahun yang lampau. Sedangkan Kanjeng Rahmat Suci hidup di zaman sekarang. Bahkan orang tua yang menjadi gu- runya di Gunung Muda itu masih hidup.

“Selamat, Putriku!” hatur Kanjeng Rahmat Suci se- raya mengulurkan tangannya. Begitu pula dengan Pu- tri Teratai Merah. Mereka menjabat tangan Bong Mini dengan bibir tersenyum dan wajah berseri. Bong Mini termangu. Ia tidak tahu maksud ucapan selamat yang diucapkan kedua gurunya itu.

“Kau jangan bingung, Putriku! Aku mengucapkan selamat karena kau berhasil  menumpas  kesesatan yang terjadi di negeri Selat Malaka!” kata Putri Teratai Merah sambil melingkarkan tangannya yang putih mu- lus di bahu Bong Mini.

“Kau tahu tentang pertempuran itu?” tanya Bong Mini heran. Karena seingatnya, ketika ia bertarung me- lawan Kidarga, Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rah- mat Suci tidak ada di sana. Kecuali papanya dan bebe- rapa pendekar.

Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci ter- senyum penuh wibawa pada Bong Mini.

“Tentu saja aku dan Kanjeng Rahmat Suci tahu. Ka- rena kau muridku!” kata Kanjeng Rahmat Suci.

“Selain itu, aku pun melihat keadaan Kidarga yang telah mati di tanganmu!” kata Putri Teratai Merah me- nambahkan.

“Kidarga!” desis Bong Mini dengan wajah geram. “Kenapa, Putriku?” tanya Putri Teratai Merah.

“Aku ingin sekali melihat keadaannya. Karena pada saat ia mati, aku tidak sempat menyaksikannya!”  sa- hut Putri Bong Mini.

“Boleh. Kau boleh melihat keadaannya. Mari kuan- tar!” ajak Putri Teratai Merah sambil melangkah mem- bimbing tangan Putri Bong Mini. Diikuti oleh puluhan pengawalnya.

Bong Mini mengikuti langkah Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci dengan langkah ringan. Ba- ru beberapa langkah Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci berhenti.

“Itulah Kidarga! Datuk sesat yang telah kau kalah- kan!” kata Putri Teratai Merah sambil menunjukkan ke tempat yang agak jauh darinya. “Hahhh?” Bong Mini terkejut bukan main melihat keadaan Kidarga. Dia terkejut karena melihat Kidarga hidup di antara ular-ular besar serta makhluk-makh- luk yang menyeramkan.

“Aku ingin melihat keadaannya lebih dekat lagi!” ka- ta Bong Mini seraya bergerak hendak melangkah.

Putri Teratai Merah menarik lengan Bong Mini. “Jangan ke sana!” cegah Putri Teratai Merah. “Kenapa?” tanya Bong Mini heran.

“Itu bukan tempatmu!”

“Bukan tempatku?” Bong Mini terpaku. Putri Teratai Merah tersenyum.

“Sudahlah! Bukankah kau ingin melihat keadaan Kidarga?”

Bong Mini mengangguk manis. Lalu kembali me- mandang Kidarga. Di sana matanya melihat Kidarga tengah duduk bersama ular-ular hitam besar yang se- lalu mengeluarkan lidah api dari mulut lebarnya.

“Puas?” tanya Putri Teratai Merah, setelah beberapa saat Bong Mini mengamati keadaan lawannya.

Bong Mini mengangguk.

“Kalau sudah, aku dan gurumu,  Kanjeng  Rahmat Suci akan pergi lagi. Karena waktu yang diberikan pa- da kami untuk berjumpa denganmu hanya sedikit!” ucap Putri Teratai Merah.

“Tidak bisakah kau menambah waktu lagi untuk bercakap-cakap denganku?” tanya Bong Mini. Dia ma- sih merasa rindu pada Putri Teratai Merah dan Kan- jeng Rahmat Suci.

Lagi-lagi Putri Teratai Merah tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“Kenapa? Bukankah kau seorang ratu yang ber- kuasa di Istana Putri?” tanya Bong Mini heran.

“Kau benar! Tapi ingat, masih ada yang lebih ber- kuasa terhadap diri kita!” jawab Putri Teratai Merah. Bong Mini mengangguk-angguk kecil. Dia tahu apa yang dimaksud ucapan Putri Teratai Merah tadi. Tidak ada siapa pun yang paling berkuasa kecuali Tuhan.

“Kalau begitu, biarlah aku ikut bersama kalian ber- dua,” usul Bong Mini seraya memandang Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci bergantian. Kemu- dian keduanya menggelengkan kepala.

Bong Mini bersungut. Dia melangkah kesal dua tin- dak dengan sikap manja. Kemudian duduk berpeluk lutut.

Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci sa- ling berpandangan sambil menggeleng-geleng. Bibir keduanya tersenyum. Kemudian Putri Teratai Merah melangkah menghampiri Bong Mini. Lalu ia memegang jari-jemari tangan Bong Mini dan membantu Bong Mini untuk berdiri.

Dengan wajah yang masih bersungut-sungut, Bong Mini bangkit berdiri. Wajahnya menunduk penuh ke- kesalan.

“Sikapmu masih saja manja!” ucap Putri Teratai Me- rah. Disentuhnya kedua bahu Bong Mini. “Dengar ya, Anak Manis!” lanjut Putri Teratai Merah. “Sebenarnya aku dan kanjeng pun ingin membawamu ke tempat kami agar kita bisa selalu bersama-sama selamanya. Tapi untuk sekarang ini, jelas tidak bisa. Kau belum waktunya berkumpul denganku dan Kanjeng Rahmat Suci!”

Bong Mini mengangkat wajahnya dan memandang Putri Teratai Merah dengan wajah tak mengerti.

“Aku tidak mengerti maksudmu?” tanya Bong Mini. “Kau  masih  dibutuhkan  oleh  papamu  dan  semua

rakyat banyak. Terutama oleh kekasihmu, Baladewa!” Bong Mini terhenyak kaget. Wajahnya bersemu me-

rah. Dia tidak mengira kalau Putri Teratai Merah me- ngetahui  pula  hubungannya  dengan  Baladewa.  Papa- nya sendiri tidak mengetahui hubungan itu  secara pasti.

Sebenarnya Bong Mini ingin menanyakan, dari ma- na Putri Teratai Merah mengetahui hubungannya de- ngan Baladewa. Namun keinginannya itu tertahan oleh ucapan Putri Teratai Merah selanjutnya.

“Kau tidak usah bertanya mengapa aku mengetahui hubunganmu dengan Baladewa!” kata Putri Teratai Merah, seolah mengetahui isi hatinya. “Terus terang! Aku gembira sekali dengan pemuda yang menjadi pili- hanmu itu. Kuharap, kau dapat mempertahankan hu- bunganmu itu sebaik mungkin. Jangan kau kotori cin- ta kasih kalian itu oleh perbuatan hina.”

Bong Mini pun mengangguk-angguk. Dia tampak sungguh-sungguh mendengarkan nasihat yang diberi- kan Putri Teratai Merah.

“Satu hal yang perlu kau ingat! Jangan sekali-sekali merasa lebih berkuasa dan merendahkan kekasihmu lantaran kau memiliki ilmu yang lebih tinggi. Tetap hargailah dia sebagai lelaki sejati yang dapat melin- dungimu kelak bila sudah menjadi pasangan suami- istri!” lanjut Putri Teratai Merah.

Bong Mini kembali mengangguk-angguk mengerti. “Nah, sudah waktunya kita berpisah. Kembalilah

kau kepada orang-orang yang menyayangimu. Bukan- kah kau sendiri masih punya tugas untuk membantu rakyat negeri Manchuria?”

Lagi-lagi Bong Mini tersentak. Dia heran kalau Putri Teratai Merah mengetahui semua tingkah laku dan rencananya. Namun untuk kali ini, dia tidak ingin mengajukan pertanyaan lagi. Selain dia maklum de- ngan ketajaman mata hati Putri Teratai Merah, juga karena kerinduannya terhadap papanya. Karena itu, ketika Putri Teratai Merah mengingatkannya,  Bong Mini langsung mengajukan keinginan untuk kembali pada papanya.

Putri Teratai Merah, Kanjeng Rahmat Suci, dan pu- luhan pengawal mengantar kepulangan Bong Mini me- nuju tempat di mana Bongkap dan pengikut lainnya berada. Tidak berapa lama kemudian, mereka pun sampai di tempat tujuan.

“Lihatlah! Mereka masih bersedih menunggu keper- gianmu yang begitu lama!” kata Putri Teratai Merah ketika mereka berdiri di belakang orang-orang yang mengerumuni tubuh Bong Mini.

Bong Mini memandangi orang-orang yang dicintai- nya itu satu persatu. Mulai dari papanya, Prabu Jala- tunda, Baladewa, dan Ningrum yang tengah  terisak- isak menangisi kepergiannya.

“Kembalilah cepat pada mereka!” ujar Putri Teratai Merah.

“Baik, Ratu!” ucap Bong Mini seraya mengangguk. Lalu keduanya berpelukan sebagai tanda perpisahan.

Setelah beberapa saat keduanya berpelukan hangat, Bong Mini beralih pada Kanjeng Rahmat Suci,  gu- runya. Dia mencium tangan serta merebahkan kepala- nya dalam pelukan lelaki tua yang selalu memancar- kan sinar di wajahnya itu.

Kanjeng Rahmat Suci membalas pelukan muridnya dan mengusap-usap kepalanya dengan lembut.

“Kudoakan, semoga kau berhasil menumpas keja- hatan!” kata Kanjeng Rahmat Suci. “Tapi ingat! Sebe- lum kau berangkat ke negeri Manchuria, tengoklah aku di Gunung Muda!”

“Baik, Kanjeng!” desah Bong Mini dengan air mata yang mulai berlinang membasahi kedua pipinya. Dia merasa berat berpisah dengan orang yang pernah membimbing dan memberikan ilmu kepadanya. Di lain sisi, ia pun tidak ingin berpisah dengan papanya ter- cinta. Setelah melepas kerinduannya yang terakhir, Bong Mini segera melangkah dan masuk kembali ke dalam jasadnya yang terbaring di pangkuan Ningrum. Se- dangkan Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci kembali ke tempatnya bersama puluhan pengawalnya.

***

“Ah...!” Bong Mini mengeluh sambil menggerakkan kepalanya. Kedua matanya yang tadi terpejam, perla- han-lahan terbuka. Dipandangnya Ningrum yang ma- sih sesenggukan menangisinya.

“Bibi...,” panggil Bong Mini lirih.

Ningrum yang sedang tenggelam dalam kesedihan- nya tampak tersentak kaget. Diusapnya air mata yang sudah membasahi kedua pipinya sambil memandang Bong Mini.

“Oh..., Anakku!” keluh Ningrum.  Dirangkulnya  ga- dis mungil yang sudah dianggap sebagai anak sendiri itu.

Bong Mini membalas rangkulannya dengan gerakan tangan yang masih lemah. Sedangkan bibirnya tampak tersenyum. Penuh haru dan suka cita.

Setelah keduanya berangkulan, Bong Mini beralih memeluk papanya.

“Papa!” keluh Bong Mini. Kedua bola matanya ber- kaca-kaca menahan haru.

“Kau tidak mengalami luka berat, Sayang?” tanya Bongkap, lembut. Dibalasnya pelukan Bong Mini erat- erat.

“Tidak, Papa!” sahut Bong Mini manja.

“Syukurlah! Terus terang,  Papa  sangat  khawatir saat kau pingsan tadi!”

“Tapi sekarang kekhawatiran Papa telah hilang, kan?” tanya Bong Mini sambil melepas pelukannya.

Bongkap tersenyum. Hatinya berbunga melihat  si- kap putrinya yang tetap manja dan ceria.

Setelah kedua bapak-beranak itu saling berpelukan dan tertawa gembira, Bong Mini mengalihkan panda- ngan pada para pendekar yang berdiri gagah di dekat- nya. Kemudian matanya tertumbuk pada Baladewa yang memandangnya penuh kerinduan yang mengge- bu-gebu. Begitu pula dengan Bong Mini. Tapi karena ia sadar kalau selama ini hubungannya dengan Baladewa belum diketahui oleh kedua orangtua mereka masing- masing, maka Bong Mini pun segera mengubah sikap seperti biasa. Seolah-olah di antara mereka tidak per- nah terjadi hubungan batin.

“Bagaimana dengan rencana kita selanjutnya, Pa- pa?” tanya Bong Mini. Dialihkannya pandangan pada Bongkap.

“Kita akan tetap di sini, menunggu kedatangan para prajurit Kerajaan Manchuria!” sahut Bongkap.

“Apakah tidak sebaiknya kita menghadang prajurit kerajaan itu sambil melakukan perjalanan pulang?” Bong Mini mengajukan usul.

“Itu pun baik kalau semua menyetujui!” tanggap Bongkap. Sebelum lelaki itu berucap lebih jauh lang- sung disetujui oleh para pendekar lain. Termasuk Pra- bu Jalatunda dan Ningrum.

“Wah, Papa kalah  dukungan!”  kelakar  Bongkap yang disambut gelak tawa para pendekar.

“Kalah pun tidak apa-apa jika bersaing dengan pu- trinya sendiri!” celetuk Ningrum sambil melingkarkan tangan kanannya di pundak Bong Mini.

“Benar, Bongkap!” sela Prabu Jalatunda pula seraya mendekati Bongkap. “Bukankah dengan  begitu  dia akan menjadi cikal bakal penggantimu sebagai ‘Singa Perang’!”

“Wah, aku tidak mau kalau putriku jadi ‘Singa Pe- rang’ sepertiku!” sergah Bongkap dengan wajah sung- guh-sungguh.

“Kenapa begitu? Bukankah itu satu kebanggaan orangtua?” tanya Prabu Jalatunda pula, tak kalah sungguh-sungguh.

“Betul! Tapi aku takut kalau putriku jadi ‘Singa Pe- rang’, kecantikannya akan luntur,” sahut Bongkap di- iringi tawa lepas para pendekar. Sedangkan Bong Mini tampak tersipu-sipu sambil melirik pada  Baladewa yang juga tengah tersenyum kecil menyambut gurauan Bongkap.

Tiba-tiba, tawa mereka terhenti manakala terdengar riuh gelak tawa dari bawah bukit.

“Itu pasti suara para prajurit Kerajaan Manchuria!” duga Bongkap. Tanpa menunggu perintah lagi, semua pendekar bergerak menuju mulut bukit. Di sana, me- reka melihat tiga puluh prajurit Kerajaan Manchuria tengah berjalan mendaki Bukit Tengkorak, di mana Bongkap, Bong Mini, dan pengikutnya berada.

Mereka mengenakan seragam prajurit. Bercelana hi- tam ketat sebatas betis. Sepatu karet dengan tali pan- jang yang melilit silang sampai ke betis. Bajunya pun berwarna hitam sebatas paha. Sedangkan kedua le- ngan baju mereka model rompi. Kemudian di pinggang masing-masing membelit ikat pinggang. Pada belitan ikat pinggang itu terselip pedang panjang di sebelah ki- ri. Begitu pula dengan panglima pasukannya. Hanya bedanya, pada bagian dalam rompinya dilapisi kaos lengan panjang berwarna hitam.

Pasukan Kerajaan Manchuria terus melangkah ga- gah mendaki Bukit Tengkorak. Namun ketika tinggal seratus meter lagi hendak mencapai puncak bukit, ti- ba-tiba langkah mereka terhenti. Karena tak jauh di hadapan mereka telah berdiri tujuh belas orang gagah menghadang mereka yang tidak lain Bongkap, Bong Mini, dan para pendekar lain. “Apakah kalian para prajurit yang datang dari Kera- jaan Manchuria?” tanya Bongkap dengan pandangan tajam penuh selidik.

“Kami memang para prajurit Kerajaan Manchuria. Lalu siapa kalian?!” ujar Yang Ting Hoo, panglima pa- sukan Kerajaan Manchuria.

“Namaku Bongkap, orang yang selama ini dicari kaisar kalian!” sahut Bongkap. Tegas dan penuh wiba- wa.

Yang Ting Hoo dan prajurit lain tampak terkejut mendengar nama itu. Selama ini mereka mengenal nama Bongkap hanya dari mulut Thiang Tok, kaisar mereka. Sedangkan pada waktu Bongkap dan pengi- kutnya melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Manchuria, Panglima Yang Ting Hoo dan para prajurit yang berada di situ belum bekerja pada Kaisar Thiang Tok. Kini, ketika lelaki gagah bertangan buntung itu menyebut namanya, mereka pun menjadi terkejut bu- kan main. Sebab kedatangan mereka ke negeri Selat Malaka, justru hendak membantu Perguruan Topeng Hitam agar dapat secepatnya menangkap dan memba- wa Bongkap ke hadapan kaisar mereka di Manchuria.

***

7

“Ha ha ha!” tiba-tiba Panglima Yang Ting Hoo yang berumur sekitar tiga puluh tahun ini terbahak. “Kalau kau benar yang bernama Bongkap, sungguh sangat kebetulan! Aku tidak perlu susah payah lagi menca- rimu!” kata Panglima Yang Ting Hoo pongah.

Bongkap tersenyum sinis. “Tangkaplah, jika kalian punya kepandaian tinggi!” tantang Bongkap tak kalah pongah.

Wajah Panglima Yang Ting Hoo langsung merah pa- dam mendengar ucapan bernada ejekan itu.

Sreret!

Panglima Yang Ting Hoo mencabut pedang yang ter- sampir di pinggang kirinya.

“Seraaang!”

Serentak tiga puluh prajurit Kerajaan Manchuria bergerak menyerang Bongkap dan pengikutnya.

Singngng! Trang trang trang!

Berpuluh kelebatan pedang yang menghambur ke arah pasukan Bongkap. Dengan segera serbuan  mas- sal itu dapat mereka tangkis dengan tangkas.

Pertempuran sengit antara pasukan Kerajaan Man- churia dengan pasukan Bongkap segera terjadi. Prabu Jalatunda dan istrinya, Ningrum berhadapan dengan tujuh prajurit. Mereka melakukan perlawanan dengan tubuh saling membelakangi untuk melindungi satu sa- ma lain. Dan terkadang punggung mereka saling ber- sentuhan,

Trang trang trang!

Pedang Prabu Jalatunda dan pedang Ningrum ber- temu dengan senjata lawan. Begitu keras dan penuh tenaga. Sehingga setiap kali pedang mereka bertemu, lawan selalu menderita rasa perih dan getaran yang amat hebat.

Di lain pihak, Baladewa, Sang Piao, dan Ashiong pun tampak begitu tangkas menghadapi serangan dua belas prajurit Kerajaan Manchuria. Mereka melakukan tangkisan atau serangan susul-menyusul.

Bret! “Aaakh!”

Seorang prajurit terpekik dan langsung tewas saat pedang Baladewa menyambar perutnya dengan dah- syat. Membuat prajurit lain mundur dua tapak untuk mengatur serangan selanjutnya.

Sementara itu, Bong Mini pun tidak kalah sengit menghadapi para pengeroyoknya. Ia terus melakukan tangkisan sambil sesekali melakukan serangan ke arah lawan.

“Hiaaat!”

Tiba-tiba muncul Bong Mini mengeluarkan lengki- ngan tinggi. Sementara tubuhnya berkelebat ke arah lawan.

Bret! Bret!

Jurus ‘Pedang Samber Nyawa’ yang dimainkan Bong Mini langsung membabat leher dua prajurit Kerajaan Manchuria. Saat Itu juga kepala mereka terlepas dari badan. Keduanya berdiri limbung sebentar, lalu am- bruk tanpa nyawa.

“Mampus!”

Tiba-tiba dua ujung tombak lawan menyambar pe- rut dan kepala Bong Mini. Dengan tangkas, gadis ber- tubuh mungil itu menangkis serangan serempak la- wan.

“Hep!” Trakkk!

Tangan kiri Bong Mini menangkap gagang tombak yang menyambar kepalanya, sedangkan pedangnya menangkis tombak yang mengarah ke perutnya dengan gerakan membacok. Sehingga tombak yang tertangkis Pedang Teratai Merah itu langsung patah.

“Hiyyy!”

Tongkat yang digenggam tangan kiri Bong Mini  se- gera ditarik ke arahnya, Memaksa tubuh lawan ter- huyung ke depan. Bersamaan dengan itu, pedangnya segera berkelebat menyambar perut lawan.

Bret!

Pedang Bong Mini membelah tubuh lawan dengan ganas. Prajurit itu langsung roboh tanpa sempat me- mekik.

Ketangkasan dan keganasan Bong Mini dalam menghadapi prajurit Kerajaan Manchuria, terlihat pula pada diri papanya, Bongkap. Lelaki bertangan satu itu lebih sadis dalam memainkan ilmu ‘Pedang Samber Nyawa’ dan jurus ‘Tanpa  Bayangan’.  Dengan  jurus yang telah ia kuasai tersebut, Bongkap semakin sadis menghabisi nyawa lawan-lawannya. Julukan ‘Singa Pe- rang’ yang disandangnya kembali terlihat.

Sing sing sing!

Tubuh dan pedang Bongkap tampak berputar ken- cang. Kini yang tampak hanya sinar putih yang bergu- lung-gulung menyambar lima prajurit kerajaan yang mengeroyok.

Bret bret bret! Crokkk! “Aaakh!”

Lima orang yang mengepung Bongkap langsung mengerang kesakitan ketika sinar pedang yang bergu- lung itu menyambar mereka. Kemudian mereka roboh dengan tubuh mengerikan.

Melihat kesadisan Bongkap dalam membunuh lima prajuritnya sekaligus, Panglima Yang Ting Hoo menjadi terkejut dan marah bukan main. Kemudian ia mener- jang Bongkap dengan pedangnya yang sejak tadi di- genggamnya.

“Hiaaat!”

Sing sing sing!

Sinar pedang Panglima Yang Ting Hoo berkelebat cepat menyambar kepala, leher dan perut Bongkap. Tapi dengan tangkas, Bongkap menghindari serangan yang cepat dan dahsyat itu dengan cara mengelak dan melompat mundur.

“Bangsat! Dia benar-benar seorang pemberontak Kerajaan Manchuria yang gagah dan lihai luar biasa!” rutuk hati Panglima Yang Ting Hoo setelah menghenti- kan serangan sejenak.

“Heh! Kenapa berhenti? Tidak baik seorang pangli- ma kerajaan cepat gentar menghadapi lawan. Apalagi lawannya bertangan buntung!” tegur Bongkap meng- ejek.

“Monyet buntung!” dengus Panglima Yang Ting Hoo. Kemarahannya kembali terpancing ketika mendengar ejekan Bongkap. Kemudian dengan darah yang bergo- lak, tubuhnya mencelat untuk menyerang lawan kem- bali.

Sing sing singngng!

Sinar pedang Panglima Yang Ting Hoo kembali menggulung, menyambut tubuh lawan dengan cepat dan dahsyat. Tetapi dengan cepat dan tangkas pula Bongkap menghindari serangan itu. Dan ketika pedang Panglima Yang Ting Hoo bergerak ke arahnya lagi, Bongkap segera menangkis dengan pedangnya.

Trangngng!

Pedang Bongkap yang sudah dialiri ilmu tenaga da- lam ‘Tangan Besi’, segera menangkis pedang Panglima Yang Ting Hoo yang mencoba membabat lehernya. Ke- mudian Bongkap menindih dan menekan pedang la- wan dengan pedangnya.

“Uhhh!”

Panglima Yang Ting Hoo berusaha menarik pedang- nya yang melekat pada pedang lawan. Tapi betapa ka- getnya ia ketika mengetahui pedangnya  menempel kuat. Sekali lagi dia berusaha untuk membetot pe- dangnya dengan mengerahkan tenaga dalam ‘Baja Sakti’. Tetapi semakin ditarik kuat, tekanan lawan te- rasa kian berat. Kalau dia memaksakan diri untuk menarik pedangnya kembali, tentu senjata lawan akan mengancamnya.

Di saat keduanya mengadu tenaga lewat pedangnya yang saling menekan, tiba-tiba lengan baju sebelah kiri Bongkap bergerak menyambar muka Panglima Yang Ting Hoo.

Takkk!

Dalam keterkejutan. Panglima Yang Ting Hoo me- nangkis serangan lengan baju Bongkap dengan tangan kirinya. Namun kembali ia terkejut. Karena pada saat menangkis lengan baju Bongkap, ia merasakan tulang- tulangnya ngilu luar biasa. Layaknya membentur de- ngan besi. Selanjutnya ujung lengan baju itu pun ber- gerak melingkari pergelangan tangannya dengan kuat.

“Aaakh!”

Panglima Yang Ting Hoo memekik tertahan ketika merasakan sakit luar biasa, akibat cengkeraman ujung lengan baju lawan yang melingkar di pergelangan ta- ngannya.

“Hiyyy!”

Bongkap menarik pedangnya yang sedang  beradu itu ke arahnya. Membuat tubuh Panglima Yang  Ting Hoo ikut terhuyung ke depan. Saat itulah, Bongkap langsung menarik pedangnya lurus ke atas. Lalu de- ngan bengis, pedang itu dibabatkan ke punggung Panglima Yang Ting Hoo,

Crokkk! “Aaakh!”

Panglima Yang Ting Hoo terpekik pendek. Tubuhnya terbelah akibat babatan pedang Bongkap yang terkenal sadis. Sehingga setengah badan bagian kakinya am- bruk, sedangkan setengah badan bagian atas bergan- tung-gantung bersama cucuran darah segar. Karena ujung lengan baju Bongkap masih membelit pergela- ngan tangan kiri lawan.

“Wahai, prajurit Kerajaan Manchuria! Lihatlah ke sini!” seru Bongkap lantang.

Prajurit kerajaan yang tinggal sepuluh orang itu menghentikan pertarungannya dan menoleh ke arah Bongkap. Begitu pula dengan para pendekar dari pihak Bongkap, termasuk Bong Mini. Mereka terkejut ketika melihat setengah tubuh Panglima Yang Ting Hoo ber- gantung pada ujung lengan baju Bongkap.

“Bagaimana? Apakah kalian tetap ingin menjadi bu- dak Kaisar Thiang Tok dengan nasib seperti ini?” an- cam Bongkap kepada sepuluh prajurit Kerajaan Man- churia.

“Monyet buduk! Kau pikir aku gentar padamu!” de- ngus Tan Goan Kok, seorang pemuda berumur tiga pu- luh tahun sambil menerjang Bongkap. Diikuti oleh dua temannya.

“Hiaaat!” Crokkk!

Bongkap yang melihat Tan Goan Kok menyerang de- ngan penuh nafsu segera melemparkan tubuh Pang- lima Yang Ting Hoo ke arah lawan. Pedang Tan Goan Kok yang hendak menghujam Bongkap malah memba- bat tubuh panglimanya yang tinggal setengah itu.

“Bangsat!” geram Tan Goan Kok sambil menarik ujung pedangnya dari dada Panglima Yang Ting Hoo. Kemudian ia melanjutkan serangannya kembali.

Trang trang trang!

Serangan pedang Tan Goan Kok dan seorang te- mannya mendadak tertahan oleh kelebatan sinar me- rah. Ternyata Putri Bong Mini telah menangkis sera- ngan itu. Sehingga kedua orang itu pun beralih menye- rang Bong Mini. Sedangkan Bongkap dan Pendekar Te- luk Naga serta Pendekar Mata Dewa berhadapan de- ngan tujuh prajurit lain.

Singngng!  Trangngng!

Tan Goan Kok dan temannya terhuyung ke bela- kang manakala pedangnya kembali tertangkis oleh pe- dang Bong Mini. Saat itu tangan mereka terasa amat panas. Hampir saja senjata mereka terlepas. “Hi hi hi!” Bong Mini tertawa geli melihat dua lawan- nya terhuyung-huyung ke belakang sambil meringis, menahan perih pada telapak tangannya.

“Perempuan tengik!” maki Tan Goan Kok sambil mengatur posisinya kembali. Kemudian kedua  orang itu pun menyerang Bong Mini dari arah kiri dan kanan dengan ganas.

Trangngng!

Bong Mini menangkis serangan pedang Tan Goan Kok. Dia memang selalu mendahulukan tangkisannya terhadap pedang Tan Goan Kok. Karena dia tahu kalau ujung pedang Tan Goan Kok mengandung racun yang sangat mematikan. Sedangkan pedang lawan yang lain tidak memiliki pengaruh apa-apa.

Sejak Tan Goan Kok hendak menyerang Bongkap, ia memang sudah mengerahkan ilmu ‘Pedang Setan Me- rah Beracun’ melalui pedangnya. Sedikit saja pedang- nya berhasil menggores, tubuh lawan akan roboh dan tak dapat berkutik lagi.

Menyadari hal itu, Bong Mini menangkis pedang la- wannya dengan mengerahkan ilmu ‘Penawar Racun’. Sehingga saat pedangnya menangkis, racun di pedang Tan Goan Kok langsung membeku.

Sementara itu, Bongkap, Pendekar Mata Dewa dan Pendekar Teluk Naga telah berhasil membabat habis lawan-lawannya. Kini mereka bergabung dengan Prabu Jalatunda, Ningrum, Baladewa, dan pendekar lain un- tuk menyaksikan pertarungan antara Bong Mini dan dua prajurit Kerajaan Manchuria.

Sambil tersenyum tipis, Bong Mini memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung dan menghadapi kedua lawannya itu dengan tangan kosong.

Tan Goan Kok dan temannya geram melihat sikap Bong Mini yang benar-benar meremehkan. Apalagi se- telah menyadari kalau prajurit lain telah tewas semua. Tanpa menunggu lebih lama, keduanya bergerak me- nerjang Bong Mini kembali. Tan Goan Kok menyerang ke arah dada, sedangkan temannya menyambar lutut Bong Mini.

Sing sing singngng!

Dua pedang yang berkelebat sangat cepat itu dapat dielakkan Bong Mini dengan cara melompat ke atas. Selanjutnya ia berputar ke arah belakang dua lawan- nya sambil melancarkan pukulan ‘Telapak Tangan Hangus’.

Bukkk! “Aaakh!”

“Aaakh!”

Dua prajurit itu terpekik, tubuh mereka terhuyung ke depan. Lalu keduanya roboh dan menggeliat-geliat di tanah seperti dua ekor ayam yang disembelih. Selan- jutnya kedua prajurit itu mati dengan tubuh hangus bagai terbakar.

Bongkap dan para pendekar lain melangkah men- dekati Bong Mini yang masih berdiri tegak memandan- gi dua mayat lawan yang baru saja terkapar.

“Kau memang hebat, Putriku!” puji Bongkap seraya mendekap kepala putrinya erat-erat.

“Papa!” keluh Bong Mini perlahan. Direbahkan ke- palanya dalam pelukan Bongkap sambil tersenyum gembira.

***

Matahari tersungkur lelah di sudut sebelah barat. Sinarnya yang semula panas membakar, berubah ha- ngat. Bayang-bayang pepohonan memanjang di permu- kaan tanah dalam siraman cahaya yang belum juga redup.

Bongkap, Bong Mini, dan para pendekar lain masih berdiri tegak memandangi serakan mayat prajurit Ke- rajaan Manchuria. Wajah mereka tampak berseri-seri. Puas karena telah berhasil mengikis habis orang-orang sesat yang selama ini meresahkan rakyat negeri Selat Malaka.

Pendekar Mata Dewa dan Pendekar Teluk Naga me- langkah gagah mendekati Bongkap dan Bong Mini. Me- reka langsung berdiri menghormat dengan kedua tela- pak tangan dipertemukan di depan dada.

“Ada apa dengan kalian?” tanya Bongkap dengan kening berkerut. Begitu pula dengan Bong Mini. Me- reka heran dengan sikap orang-orang Pendekar Teluk Naga dan Pendekar Mata Dewa.

“Maaf, Tuanku Bongkap! Ada sesuatu yang hendak kami sampaikan kepada Tuanku!” kata Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Mata Dewa.

“Katakanlah, apa yang hendak kau sampaikan itu, Kao Cin Liong!” tanggap Bongkap, ingin segera menge- tahui.

“Begini, Tuanku!” ucap Kao Cin Liong sambil meng- ubah cara berdirinya agar lebih enak berbicara. “Tugas kita membasmi datuk sesat, Kidarga dan antek-antek- nya telah selesai. Begitu pula dengan prajurit Kerajaan Manchuria. Oleh karena itu, izinkanlah kami bertiga kembali ke negeri Manchuria untuk membantu rakyat di sana dalam melakukan pemberontakan terhadap ke- laliman Kaisar Thiang Tok!” lanjut Kao Cin Liong.

“Begitu pula dengan kami!” cetus Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga menyambung ucapan Kao Cin Liong. “Karena kami berasal dari Kerajaan Manchuria, kami pun akan turut bersama-sama Pendekar Mata Dewa untuk membasmi kesewenang-wenangan Kaisar Thiang Tok!”

Bongkap mengangguk-angguk. Diliriknya Bong Mini yang juga tengah memandangnya, seolah-olah me- nunggu jawaban Bongkap. “Bagaimana dengan pendapatmu, Putriku?” tanya Bongkap. Memancing pendapat Bong Mini mengenai keinginan enam pendekar yang ingin kembali ke nege- rinya.

“Kok, Papa tanya sama aku, sih?” Bong Mini balik bertanya dengan sikap yang manja.

Bongkap tersenyum dan melingkarkan tangan ka- nannya di pundak Bong Mini.

“Pendekar Teluk Naga dan Pendekar Mata Dewa bi- sa berkumpul dengan kita karena kau yang memper- temukan. Sekarang mereka hendak kembali ke negeri- nya, maka aku pun meminta pendapatmu!” kata Bong- kap. Sesungguhnya ia sendiri sudah mendapat kepu- tusan yang baik mengenai kepulangan Pendekar Mata Dewa dan Pendekar Teluk Naga.

Bong Mini tercenung sambil memainkan bola mata- nya yang indah. Membayangkan gadis itu yang tam- paknya tengah berpikir.

“Sebenarnya aku sendiri tidak melarang kalian pu- lang. Apalagi kepulangan kalian untuk berjuang mem- bela rakyat Manchuria!” tutur Bong Mini. Kakinya me- langkah perlahan. Dia berhenti tepat di dekat mayat Panglima Yang Ting Hoo yang tinggal setengah badan. “Tapi aku menyarankan, alangkah baiknya kepergian kalian ditunda dua sampai tiga hari lagi.  Setelah  itu, kita sama-sama berangkat dan membasmi Thiang Tok dan prajuritnya yang selama ini berbuat sewenang-we- nang terhadap rakyat Manchuria!” lanjut Bong Mini menyampaikan pendapatnya.

Para pendekar yang terdiri dari dua perkumpulan itu tampak mengangguk. Mereka saling memandang, seolah-olah meminta pertimbangan masing-masing.

“Apa yang dikatakan putriku memang benar. Kare- na sebenarnya aku sendiri sudah berjanji terhadap di- riku bila telah selesai tugas ini, aku akan membantu rakyat Manchuria. Karena bagaimanapun juga, pende- ritaan yang dialami rakyat Manchuria akibat ulahku yang melakukan pemberontakan dan melarikan diri ke negeri ini!” papar Bongkap yang berpendapat sama de- ngan Bong Mini.

Prabu Jalatunda yang sejak tadi mendengarkan per- cakapan mereka segera melangkah menghampiri.

“Aku sangat setuju dengan pendapat Bongkap dan Putri Bong Mini. Kalian datang ke sini tidak lain untuk membantu perjuangan kami. Maka sudah selayaknya, kami pun turut membantu perjuangan kalian di negeri Manchuria. Oleh karena itu, sebaiknya kita kembali berkumpul di rumahku sambil membicarakan lang- kah-langkah apa yang akan kita lakukan dalam penye- rangan nanti!” usul Prabu Jalatunda.

Kao Cin Liong dan Kok Thai Ki hanya tersenyum. “Kalau memang demikian, baiklah. Kami menerima

saran Anda bertiga!” putus Kao Cin Liong.

“Kami juga bersyukur karena Anda bertiga bersedia membantu perjuangan kami!” timpal Kok Thai Ki.

“Sudah merupakan kewajiban kalau aku dan putri- ku membantu perjuangan kalian.  Karena  aku  dan Bong Mini pun lahir dan lama tinggal di negeri Man- churia!” sahut Bongkap. “Lagi pula, sebagai manusia, kita punya kewajiban untuk saling membantu agar mencapai kedamaian dan kesejahteraan!”

Para pendekar yang berada di situ tampak meng- angguk-angguk. Mereka begitu kagum terhadap kea- gungan jiwa Bongkap. Begitu pula Bong Mini. Mem- buat ia semakin sayang saja terhadap papanya.

“Nah, kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke ru- mah. Kita rayakan kemenangan yang gemilang ini!” ka- ta Prabu Jalatunda, mengajak para pendekar untuk berkumpul di rumahnya.

Dengan wajah penuh  kemenangan,  para  pendekar itu berangkat menuju rumah Prabu Jalatunda yang terletak di Desa Padomorang.

***

8

Malam telah tiba.

Purnama tampak bergayut di atas dahan. Meman- car terang, menjangkau sudut-sudut wajah bumi.

Rumah Prabu Jalatunda yang terletak di Desa Pa- domorang, tampak begitu ramai. Bukan saja banyak dikunjungi oleh para pendekar atau pesilat, tetapi juga dikunjungi oleh rakyat biasa dari kaum papa. Tua- muda, lelaki-perempuan, pemuda dan anak-anak, se- mua berbondong menuju rumah Prabu Jalatunda.

Malam itu, atas kesepakatan Prabu Jalatunda dan Bongkap, mereka merayakan kemenangan terhadap orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang selama ini mengganggu ketenteraman rakyat Selat Malaka. Dan dalam perayaan itu, mereka mengundang seluruh rak- yat Manchuria yang tinggal berdekatan dengan Desa Padomorang. Sedangkan bagi mereka yang letaknya berjauhan dikirimi dana melalui kepala desanya ma- sing-masing. Sehingga pada malam itu, tidak satu desa pun yang tak gembira.

“Saudara-saudara, rakyat Selat Malaka!” Bongkap membuka sambutan di hadapan rakyatnya. “Malam ini sungguh merupakan malam yang penuh kegembiraan untuk kita semua. Karena mulai malam ini, kesesatan dan kebiadaban yang selama ini dilakukan oleh orang- orang Perguruan Topeng Hitam telah sirna. Mereka te- lah mati akibat perbuatannya sendiri!” lanjut Bongkap. “Horeee! Hidup Bongkap! Hidup Prabu Jalatunda! Hidup Putri Bong Mini!” sambut orang-orang penuh kegembiraan meluap-luap. Mereka menyebutkan nama Bongkap dan Bong Mini berkali-kali, sebagai pendekar yang telah membantu mereka menghancurkan orang- orang Perguruan Topeng Hitam. Karena selama ini me- reka hanya tahu kalau Bongkap dan Bong Mini yang berjuang keras dalam menumpas segala macam keja- hatan di negeri Selat Malaka.

“Pesta yang kita adakan malam ini, bukanlah satu pemborosan. Kita hanya ingin menunjukkan rasa syu- kur kepada Tuhan Semesta Alam yang telah mem- bimbing dan melindungi kita, hingga mencapai keme- nangan!” lanjut Bongkap dengan semangat meletup- letup. Dan entah kenapa, setiap kali mulutnya menye- butkan kata Tuhan, tubuhnya selalu bergetar. Mem- buat ia tak kuasa untuk melanjutkan  sambutannya lebih lama lagi.

“Nah! Sebagai akhir sambutan, aku mengajak  ka- lian, untuk menikmati pesta kemenangan ini dengan penuh kegembiraan!” ajak Bongkap. Kemudian gelas berisi anggur yang sejak tadi digenggamnya diperte- mukan dengan gelas Prabu  Jalatunda.  Diikuti  oleh Bong Mini, Baladewa serta para pendekar lain. Begitu pula dengan rakyat negeri Selat Malaka yang hadir. Mereka menikmati pesta kemenangan itu dengan ke- gembiraan yang meledak-ledak. Malah sebagian di an- tara mereka ada yang berjoget berpasang-pasangan, mengikuti irama gamelan.

Kegembiraan yang dialami rakyat negeri Selat Ma- laka pada malam itu memang sangat beralasan. Sela- ma ini, mereka belum pernah menikmati malam indah seperti saat itu. Jangankan untuk berjoget dan  terta- wa, untuk berangkat tidur saja mereka selalu dihing- gapi rasa was-was. Khawatir disatroni oleh orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Sekarang kekhawatiran itu sudah tidak ada lagi. Se- telah Bong Mini dan pengikutnya berhasil menghan- curkan mereka. Bukan saja menewaskan Kidarga, Nyi Genit dan pengikutnya, tetapi juga membakar habis markas mereka di Bukit Setan.

Bong Mini tersenyum haru menyaksikan kegembi- raan orang-orang itu. Matanya yang bening tampak berkaca-kaca. Bahkan dua butir air matanya sempat membasahi pipinya.

“Kau menangis?” bisik Baladewa yang berdiri di samping Bong Mini.

Bong Mini tersenyum sambil mengusap sepasang pipinya dengan punggung jari telunjuk.

“Aku hanya terharu melihat kegembiraan mereka,” sahut Bong Mini. Matanya terus memandang kerumu- nan rakyat yang sedang berjoget.

“Bagaimana kalau kita pun turut bergembira seperti mereka?” kata Baladewa sambil tersenyum kecil.

“Berjoget seperti mereka?” Baladewa mengangguk.

“Ngaco!” sentak Bong Mini. Dicubitnya pinggang Ba- ladewa. Kemudian keduanya tertawa senang sambil melangkah menuju taman bunga di samping rumah.

Bongkap, Prabu Jalatunda, dan Ningrum yang sejak tadi mengawasi kegembiraan dua sejoli itu tampak ter- senyum senang. Kemudian Prabu Jalatunda mengajak Bongkap dan istrinya menuju ruang peranginan. Se- buah ruangan khusus jika Prabu Jalatunda dan  istri- nya hendak beristirahat sambil menikmati desiran a- ngin atau sinar rembulan seperti malam itu.

“Bagaimana menurut pendapatmu mengenai ke- akraban putrimu dengan anakku?” tanya Prabu Jala- tunda ketika ketiganya sudah duduk di bangku yang sudah tersedia di ruangan itu.

“Mereka cukup  baik!”  sahut  Bongkap.  Dia  sudah dapat menebak arah pembicaraan Prabu Jalatunda. “Aku rasa mereka sudah saling tertarik!” cetus Pra-

bu Jalatunda, langsung pada pokok pembicaraan. “Bagaimana  kau  bisa  berpendapat  begitu?”  tanya

Ningrum, istrinya.

“Lihat saja sikap mereka tadi. Baru kenal mereka sudah demikian akrab!” jawab Prabu Jalatunda.

“Itu kan biasa. Namanya juga anak muda!” kata Ningrum. Sesungguhnya dia sendiri berharap  agar Bong Mini dan Baladewa saling tertarik. Sehingga me- reka bisa melanjutkan hubungan itu ke jenjang perka- winan sebagaimana harapannya selama ini, selama mengenal Bong Mini.

“Kalau mereka tidak saling suka, mana mungkin bi- sa akrab seperti itu,” tukas Prabu Jalatunda memper- tahankan pendapatnya. “Bukan begitu, Bongkap?” lan- jut Prabu Jalatunda bertanya kepada sahabatnya.

“Ya. Ya. Aku kira juga begitu!” timpal Bongkap cepat sambil tersenyum. Karena sesungguhnya  ia sudah ta- hu sejak kapan Bong Mini dan Baladewa saling menge- nal. Hal itu ia ketahui ketika Bong Mini menangis saat mendengar Baladewa menjadi sekutu Perguruan To- peng Hitam (untuk lebih jelasnya, baca episode 6: ‘Ra- hasia Pengkhianatan Baladewa’).

“Lalu bagaimana tanggapanmu?” pancing Prabu Ja- latunda.

“Maksudmu?” Bongkap pura-pura tidak tahu. “Maksudku, bagaimana kalau mereka kita jodohkan

saja!” sahut Prabu Jalatunda.

Bongkap tertawa kecil.

“Kenapa kau tertawa?” Prabu Jalatunda menatap heran.

“Kau ini lucu, Prabu!” kata Bongkap di sela tawanya. “Lucu bagaimana?” Prabu Jalatunda semakin bingung. “Kenapa kita harus menjodohkan segala?” kata Bongkap. “Kalau mereka sudah saling tertarik, mereka pasti akan meminta kepada kita untuk segera me- ngawinkan!”

“Ah, betul juga pendapatmu!” seru Prabu Jalatunda.

Kemudian ketiganya pun tertawa senang.

***

Di hamparan cakrawala malam, bulan penuh masih saja bersinar. Malah semakin terang. Membuat malam itu benar-benar indah. Bukan saja bagi mereka yang masih menikmati suasana pesta semalam suntuk, te- tapi juga bagi Bong Mini dan Baladewa yang tengah asyik duduk di kursi taman.

“Apa rencanamu setelah tugas kita selesai?” tanya Baladewa sambil memandangi wajah Bong Mini di sampingnya. Karena suasana di tempat itu temaram oleh cahaya sinar rembulan, Baladewa semakin terpe- sona saja terhadap kecantikan gadis idamannya itu.

“Aku tidak punya rencana apa-apa!” desah Bong Mini. Matanya menatap rembulan yang mengintip di balik dahan. Baru kali ini ia dapat menyaksikan dan menikmati keindahan malam bulan purnama di sam- ping seorang pemuda yang dicintainya.

“Apakah kau tidak punya keinginan untuk segera menikah denganku?”

“Menikah?” tanya Bong Mini di sela derai tawa. “Hm, tawamu indah sekali!” puji Baladewa.

“Ada juga keindahan dalam tawa?” tanya Bong Mini bersama tatapan ke wajah Baladewa.

“Tentu. Tawa yang serak-serak basah tentu terde- ngar indah!”

“Dan, indah itu seni!” timpal Bong Mini.

“Ya!” sahut Baladewa cepat. “Maukah kau tertawa lagi seperti tadi untukku?”

“Ha ha ha!” Bong Mini kembali tertawa sambil men- cubit lengan Baladewa. Dan, Baladewa pun beraduh- aduh dengan mesra.

“Bong Mini!” ucap Baladewa setelah keduanya menghentikan tawa.

“Hm?” kepala Bong Mini menengadah sedikit untuk memandang wajah Baladewa.

“Kenapa kau tadi tertawa ketika mendengar ajakan- ku untuk menikah?”

Bong Mini tersenyum kecil. Pandangannya dialih- kan pada setangkai bunga mawar merah yang tumbuh di dekatnya.

“Aku masih kecil. Belum pantas untuk menikah,” jawab Bong Mini, setengah menggoda.

“Tubuhmu memang mungil. Tapi usiamu sudah cu- kup untuk melangkah ke sana!” tukas Baladewa yang mengetahui kalau umur Bong Mini  sudah  mencapai dua puluh tahun.

“Kenapa itu yang kau tanyakan, sih?” tanya Bong Mini malu-malu. Ditutupi wajahnya yang tersipu-sipu.

Baladewa ikut tersipu-sipu. Dia diam,  tanpa  tahu apa yang harus dikatakan.

Bong Mini mengetahui kalau pemuda di samping- nya itu tersipu malu saat mendengar pertanyaannya. Maka dengan cepat ia tersenyum lembut untuk menu- tupi rasa malu kekasihnya itu, kemudian keduanya berjalan sambil memandang keadaan di sekelilingnya.

“Perjuangan kita masih panjang. Besok kita harus berangkat ke negeri Manchuria untuk membantu pen- deritaan rakyat,” kata Bong Mini. “Nah, kalau masalah itu kita bicarakan sekarang, kemudian dalam pertem- puran nanti salah satu di antara kita mati, apakah ti- dak akan mempengaruhi semangat hidup kita?”

Baladewa terdongak memandang Bong Mini. “Kenapa kau berpikir seperti itu?”

Lagi-lagi Bong Mini tersenyum. “Kita ini manusia. Hidup dan mati kita berada di tangan Tuhan!” tutur Bong Mini setengah menggurui. “Mungkin saja kemarin kita mampu mengalahkan Ki- darga dan pasukannya. Tapi siapa tahu besok kita ka- lah atau mati oleh seorang prajurit dungu!”

Baladewa tertegun mendengar ucapan Bong Mini. Dia baru sadar bahwa kehidupan manusia bukan di- tentukan oleh kegagahan dan kepandaiannya, melain- kan dari nasib yang telah digariskan Tuhan.

“Kau benar-benar seorang gadis luar biasa!” puji Baladewa sambil menggenggam telapak tangan Bong Mini.

“Ah, sudahlah! Kau memujiku terlalu berlebihan!” elak Bong Mini, berusaha tidak mendengar pujian itu. Ia memang selalu berusaha untuk tidak menanggapi setiap pujian yang ditujukan kepadanya. Ia khawatir pujian akan membuatnya lupa diri dan berbuat po- ngah. Karena menurut penglihatannya sendiri, tidak sedikit orang yang bersikap angkuh dan saling menin- das sesama hanya karena pujian.

“Sebenarnya ada sesuatu yang hendak kusampai- kan padamu!” lanjut Bong Mini, mengalihkan pembica- raan.

“Tentang apa?” tanya Baladewa cepat

“Tentang kerinduanku pada Kanjeng Rahmat Suci.” “Kau ini ada-ada saja!” kata Baladewa tersenyum

kecil.

“Memangnya kenapa?” tanya Bong Mini terkejut. “Apakah aku tidak boleh merindukan seseorang yang selama ini telah kuanggap sebagai orangtuaku?”

“Bukan begitu!” bantah Baladewa cepat.

“Lalu apa?” tanya Bong Mini dengan sorot mata ta- jam.

Baladewa tersenyum kecil. Dia tahu  kalau  Putri Bong Mini tersinggung dengan ucapannya yang meng- anggap remeh kerinduannya terhadap Kanjeng Rahmat Suci.

“Kerinduanmu terhadap Kanjeng Rahmat Suci sungguh kurang tepat untuk dinyatakan pada malam ini,” kata Baladewa.

Bong Mini menghela napas. Pandangannya dialih- kan pada sekuntum mawar yang tumbuh di depannya. “Aku pun berperasaan sama denganmu. Tapi kalau kerinduan itu dinyatakan sekarang, sama halnya me- rusak kegembiraan yang tercipta pada malam ini,” lan-

jut Baladewa.

“Aku tidak bermaksud merusak kegembiraan ma- lam ini. Aku hanya ingin kau tahu bahwa selain aku gembira pada malam ini, perasaanku pun digayuti ke- rinduan terhadap kanjeng!” ketus Bong Mini sambil te- rus berlalu meninggalkan Baladewa.

Baladewa menghela napas kesal. Karena suasana gembira dan syahdu tadi telah rusak oleh pertenta- ngan pendapat yang sepele.

***

Sampai di kamar, Bong Mini langsung merebahkan diri di atas ranjang. Pandangan matanya tertuju ke langit-langit kamar. Sedangkan pikirannya terus meng- ingat-ingat peristiwa pertemuannya dengan Putri Te- ratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci saat ia tak sa- darkan diri. Ia tidak habis pikir, kenapa Kanjeng Rah- mat Suci bisa bersama Putri Teratai Merah. Padahal mereka hidup di alam yang berbeda. Lebih heran lagi ketika Putri Teratai Merah melarang saat dia hendak ikut ke tempat mereka. Alasannya, Bong Mini belum waktunya untuk ikut bersama mereka. Apa yang di- maksud dengan belum waktunya? Dan kenapa  tiba- tiba Kanjeng Rahmat Suci menyuruhnya untuk ber- kunjung ke tempat tinggalnya? Inilah dua tanda tanya yang belum dapat ia pecahkan.

Sebenarnya, ketika ia membicarakan masalah itu dengan Baladewa tadi, Bong Mini ingin mengajak pe- muda itu untuk bersama-sama menengok Kanjeng Rahmat Suci di Gunung Muda. Lantaran Baladewa menunjukkan sikap kurang suka dengan pembicaraan itu, maka keinginan untuk mengajak Baladewa pun segera diurungkan. Bahkan keinginannya untuk men- ceritakan tentang pengalamannya di alam gaib kepada Baladewa sirna seketika.

Bong Mini sendiri tidak dapat menyalahkan Bala- dewa yang kurang senang menanggapi pernyataan ke- rinduannya terhadap Kanjeng Rahmat Suci. Karena pernyataannya tadi kurang tepat diutarakan dalam suasana suka cita seperti malam itu.

“Ah...,” Bong Mini mengeluh sambil bangkit dan du- duk di atas ranjang dengan kedua tangan memeluk lu- tut.

Malam semakin larut dan dingin. Angin pun ber- hembus sepoi-sepoi basah. Membuat udara dingin itu benar-benar menusuk sampai ke tulang sumsum. Na- mun demikian, keceriaan masih tetap terlihat pada wa- jah semua orang. Baik yang memenuhi halaman  ru- mah Prabu Jalatunda maupun yang berada di sekitar tanah lapang. Semakin dingin udara malam, semakin ramai pula suasana di sekitar tempat itu. Hampir se- mua orang di tempat itu menari-nari, mengikuti suara gamelan yang mengalun merdu. Ditabuh oleh para na- yaga yang duduk berjajar di tanah lapang.

Baladewa berdiri tegak menyaksikan orang-orang yang sedang menari. Namun wajahnya tak sedikit membersitkan kegembiraan. Sedangkan ingatannya te- rus tertuju kepada Bong Mini yang disangkanya ber- ada dalam kamar.

“Hei, kenapa sendirian di sini?” tegur Bongkap yang diam-diam berjalan menghampiri Baladewa bersama Prabu Jalatunda dan Ningrum.

Baladewa tersentak mendengar teguran itu. Sebe- lum ia sempat menutupi kegugupannya, Prabu Jala- tunda segera menyambung teguran Bongkap.

“Bong Mini mana?”

“Dia baru saja ke dalam!” sahut Baladewa cepat. Bongkap, Prabu Jalatunda, dan Ningrum saling ber-

pandangan.

“Dia memang masih letih dan  harus  beristirahat agar besok pagi bisa bangun segar!” lanjut Baladewa, berusaha menutupi keadaan yang sebenarnya.

Ketiga orang itu mengangguk-angguk beriring se- nyum. Mereka kagum terhadap sikap Baladewa yang dapat memaklumi keadaan Bong Mini.

“Kalau begitu, mari kita duduk di ruang dalam. Biar kami bertiga yang menemanimu!” kata Prabu Jalatun- da sambil melingkarkan tangannya ke pundak Bala- dewa. Kemudian mereka berempat segera melangkah menuju  ruangan  tengah.  Sebuah  ruangan  khusus yang disediakan untuk para tamu kehormatan.

“Kalian ngobrol-ngobrol saja di sini. Aku akan ke kamar Bong Mini,” ujar Ningrum. Tanpa menunggu ja- waban, kakinya langsung melangkah menuju kamar Bong Mini.

“Bong Mini!” panggil Ningrum sambil mengetuk-nge- tuk pintu kamar. Tapi yang dipanggil tidak memberi sahutan.

“Bong Mini!” panggil Ningrum lagi penasaran sambil merapatkan telinganya ke daun pintu yang masih ter- tutup. “Kau sudah tidur, Sayang?”

Masih tak ada sahutan. Kecuali suara gamelan yang terdengar sayup-sayup.

Ningrum semakin penasaran. Walaupun Bong Mini tidur lelap, biasanya ia selalu bangun manakala men- dengar namanya dipanggil. Dengan hati-hati, Ningrum membuka pintu kamar perlahan.

Ketika ia melongok ke dalam, matanya tidak mene- mukan Bong Mini. Ningrum penasaran. Ia melangkah masuk seraya memanggil-manggil Bong Mini. Sedang- kan pandangannya menyebar ke seluruh ruangan ka- mar. Kosong. Ia tak melihat siapa-siapa di dalam. Ke- cuali seprai kusut yang menunjukkan kalau tadi Bong Mini memang ada di dalam kamar.

“Ke mana lagi anak itu? Selalu saja bikin cemas orang!” gumam Ningrum. Kemudian ia kembali menu- tup kamar dan mencari Bong Mini ke taman bunga. Pikirnya, “Siapa tahu gadis itu berada di sana.” Di ta- man bunga Bong Mini tak ditemukan.  Kecuali  Sang Piao yang tengah bermesraan dengan Thong Mey atau Ashiong yang sedang bercanda ria dengan Ratih Pur- basari.

Dari taman bunga, Ningrum melanjutkan langkah- nya ke halaman rumah, di mana para penduduk  te- ngah asyik menari mengikuti irama gamelan. Tapi di sana pun matanya tidak melihat Bong Mini.

Saat itu pula timbul perasaan was-was dalam ha- tinya. Khawatir terjadi sesuatu terhadap Putri Bong Mini. Bergegas ia menuju ruangan di mana Prabu Jala- tunda, Bongkap, dan Baladewa berada.

Tiga lelaki gagah yang tengah bercakap-cakap itu terhenyak dari duduknya dan berdiri heran meman- dang Ningrum yang berlari tergesa ke arah mereka.

“Ada apa, Rayi?” tegur Prabu Jalatunda dengan wa- jah heran.

Ningrum tidak segera menyahut. Kecuali matanya saja yang memandang tajam pada  Baladewa.  Seolah ada sesuatu yang hendak diucapkan.

“Kau bertengkar dengan Putri Bong Mini?” tanya Ningrum dengan raut wajah yang menyimpan kemara- han.

“Tidak!” sahut Baladewa. Wajahnya menunjukkan kebingungan mendapat tuduhan tadi.

“Jawab yang jujur!” bentak Ningrum.

“Su..., sungguh, Bu!” sahut Baladewa semakin tidak mengerti dengan sikap ibunya yang mendadak marah kepadanya.

“Kenapa tiba-tiba kau memarahi putramu, Rayi? Ada apa dengan Putri Bong Mini?” tanya Prabu Jala- tunda. Suaranya terdengar lunak, penuh kesabaran.

“Bong Mini tidak ada di kamar!” jawab Ningrum. Tiga lelaki gagah itu tersentak dan saling berpan-

dangan. Kemudian tanpa menunggu lebih lama, me- reka bergegas menuju kamar Bong Mini.

Bongkap, Prabu Jalatunda, dan Baladewa tertegun ketika pintu kamar dibuka. Apa yang dikatakan Ning- rum benar. Kamar itu kosong, tanpa Bong Mini.

“Kita segera cari, Bongkap!” kata Prabu Jalatunda menyarankan.

“Tidak usah!” sahut Bongkap. “Aku yakin, tidak ter- jadi apa-apa pada putriku.”

“Bagaimana kalau besok Bong Mini belum juga kembali, padahal kita harus segera berangkat ke negeri Manchuria?” tanya Prabu Jalatunda.

Bongkap tercenung. Sebelum ia mengambil tinda- kan lebih lanjut, tiba-tiba datang Kao Cin Liong yang langsung membungkuk hormat pada Bongkap.

“Ada apa, Kao Cin Liong?” tanya Bongkap.

“Maaf, Tuanku! Aku hendak menyampaikan pesan Putri Bong Mini!” kata Kao Cin Liong.

Keempat orang yang memang tengah kasak-kusuk memperbincangkan kepergian Bong Mini itu menjadi tersentak.

“Katakanlah, Kao Cin Liong!” desak Bongkap.

“Tadi Putri  Bong  Mini  keluar  dan  berpesan  kepa- daku agar Tuanku tidak perlu khawatir atau mencari ke mana Putri Bong Mini pergi. Dia bilang padaku ka- lau kepergiannya hanya sebentar,”  tutur  Kao  Cin Liong, menyampaikan pesan Putri Bong Mini.

Baladewa tersentak mendengar laporan Kao Cin Liong. “Pasti Bong Mini marah,” pikirnya. Mengingat Bong Mini begitu ketus ketika meninggalkannya di ta- man bunga tadi.

“Putriku bilang hendak pergi ke mana?” tanya Bong- kap.

“Putri Bong Mini justru menyembunyikan tempat tujuannya, Tuanku. Malah ketika aku menawarkan  di- ri untuk mengawalnya, dia menolak!” sahut Kao Cin Liong.

Bongkap mengangguk-angguk. Keningnya berker- nyit. Dia mencoba mengira-ngira tempat yang menjadi tujuan putrinya.

“Dia juga berpesan, kalau besok berangkat ke negeri Manchuria, kita diminta menunggunya di Selat Ma- laka!” tambah Kao Cin Liong.

Bongkap menghela napas lega.

“Kalau demikian kita tidak perlu khawatir lagi. Ka- rena putriku sendiri sudah menyampaikan pesannya pada Kao Cin Liong!” kata Bongkap seraya memandang Prabu Jalatunda dan istrinya.

“Tapi perasaanku tidak enak. Takut terjadi apa-apa dengan Bong Mini!” ucap Ningrum perlahan, masih mencemaskan keselamatan Putri Bong Mini.

Bongkap tersenyum. Dia mengerti perasaan Ning- rum, yang umumnya sama dengan perempuan lain.

“Itu hanya perasaanmu saja. Percayalah!” hibur Bongkap pada istri Prabu Jalatunda. Kemudian kaki- nya melangkah ke halaman rumah untuk melihat para penduduk yang masih bersenang-senang dalam pera- yaan hari kebebasannya dari kebiadaban orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Diikuti pula oleh Kao Cin Liong. Sedangkan Prabu Jalatunda dan Baladewa mengantar Ningrum menuju kamarnya.

***

9

Langit tampak mendung di Gunung Muda siang itu. Gerombolan awan gelap tampak berarak ke arah sela- tan. Membuat sinar matahari tidak sampai ke bumi. Ditambah dengan turunnya kabut, membuat bukit itu benar-benar gelap.

Seorang gadis mungil berpakaian merah ketat, tam- pak melangkah menuju sebuah gubuk yang berdiri di Gunung Muda.

Tok tok tok!

“Kanjeng!” panggil gadis itu ketika sampai di depan pintu gubuk yang terbuat dari bilik.

Hening.

“Kanjeng! Muridmu datang!” ucap gadis itu lagi se- telah beberapa saat ia berdiri menunggu sahutan. Na- mun, walaupun suaranya agak dikeraskan, tetap  tak ada sahutan dari dalam gubuk.

Gadis berpakaian merah ketat itu semakin penasa- ran. Kemudian dicobanya membuka pintu gubuk yang ternyata tidak dikunci. Ketika pintu terbuka, dia meli- hat sosok gurunya, Kanjeng Rahmat Suci tengah ter- baring di atas dipan. Matanya terpejam seperti tertidur lelap.

Gadis tadi menghampiri gurunya yang tengah ter- baring dan berdiri di samping dipan. Sejenak diperha- tikannya tubuh yang terbaring lelap itu. Mulai  dari  wa- jah sampai ke ujung kakinya. Tiba-tiba gadis itu tersentak manakala melihat dada gurunya tidak bergerak layaknya orang bernapas. Lalu dia berlutut dan memperhatikan dada gurunya lebih dekat lagi. Namun tetap saja dada lelaki itu tidak me- ngembang-kempis.

Mengetahui gurunya tidak bernapas lagi, gadis tadi menangis terisak-isak. Air matanya meleleh di kedua pipinya. Ia merasa yakin kalau gurunya, Kanjeng Rah- mat Suci telah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta.

Dugaan gadis itu memang benar. Kanjeng Rahmat Suci sudah meninggal enam hari yang lalu. Ia  mati tanpa sebab saat tertidur.

Gadis bertubuh mungil yang sedang menangis itu tidak lain Putri Bong Mini. Semalam ia keluar dari ka- mar rumah Prabu Jalatunda dan langsung menuju Gunung Muda. Hal itu dilakukan karena hatinya dice- kam rasa penasaran oleh peristiwa pertemuannya de- ngan Kanjeng Rahmat Suci dan Putri Teratai Merah di alam gaib.

Rasa penasaran untuk segera mendatangi Gunung Muda ternyata beralasan. Kanjeng Rahmat Suci ter- nyata telah tiada.

“Kenapa secepat ini guru meninggalkanku?” ratap Bong Mini di sela isak tangisnya. Kedua matanya mem- bengkak, karena sejak semalam ia terus menangis.

“Inikah maksud Kanjeng kenapa aku disuruh ber- kunjung ke sini?” tanya Bong Mini lagi pada mayat gu- runya. Sedangkan tangannya menyentuh wajah Kan- jeng Rahmat Suci.

Aneh! Ketika tangan Bong Mini menyentuh tubuh gurunya itu, ia merasakan kehangatan sebagaimana hangatnya orang yang masih hidup. Padahal tubuh orang yang sudah mati biasanya akan terasa dingin. Tapi mayat Kanjeng Rahmat Suci justru sebaliknya. Bahkan dari jasadnya menyebarkan aroma yang amat wangi. Tidak seperti mayat lain yang selalu menyebar- kan bau busuk walaupun baru satu hari. Inilah salah satu ciri yang menunjukkan seseorang berilmu tinggi.

Setelah puas menumpahkan segala  ganjalan  hati dan tangisnya, Bong Mini bangkit dan melangkah ke- luar. Dia berdiri tercenung sambil menyebarkan pan- dangannya pada tanah sekeliling. Kemudian  tangan- nya bergerak mencabut pedang. Setelah berjongkok, mulailah ia menggali tanah dengan ujung pedangnya.

Dengan tangkas tangan Bong Mini menggali lubang untuk tempat peristirahatan terakhir Kanjeng Rahmat Suci.

Selesai membuat lubang berkedalaman sekitar satu setengah kaki. Bong Mini kembali melangkah ke dalam gubuk. Diangkatnya perlahan-lahan jenazah sang  gu- ru, lalu dibawanya untuk dikuburkan ke dalam lubang yang dibuatnya. Setelah diletakkan di dasar lubang, Bong Mini menimbun lubang dengan galian tanah tadi. “Semoga   kau   istirahat   dengan   damai,   Kanjeng Guru. Dan diterima di sisi Tuhan!” doa Bong Mini ber- sama linangan air mata. Saking tak kuatnya menahan sedih, Bong Mini memeluk gundukan tanah makam

gurunya itu dan menangis sepuas-puasnya.

Gerimis mulai turun rintik-rintik, menambah kela- bunya suasana di sekitar tempat itu. Alam di sekitar bukit itu seolah-olah turut berduka atas kepergian Kanjeng Rahmat Suci menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Wajah sendu gadis bertubuh mungil yang berdiri di dekat pemakaman itu, segelap awan men- dung yang menyelimuti langit.

Selesai menguburkan gurunya, Bong Mini berjalan gontai meninggalkan makam itu. Hatinya masih sedih mengenang kematian Kanjeng Rahmat Suci.

*** Sementara itu, Bongkap dan pengikutnya telah sampai di Bukit Roban. Salah satu bukit yang letaknya berdekatan dengan Selat Malaka. Di ketinggian  bukit itu, Bongkap dan pengikutnya dapat melihat kapal mi- lik Kerajaan Manchuria yang tertambat di selat itu.

“Kita akan gunakan kapal milik Kerajaan  Manchu- ria itu!” kata Bongkap dengan mata yang terus menga- rah pada kapal berukuran sedang yang mampu me- nampung sekitar seratus prajurit.

Para pendekar mengangguk-angguk. Lalu mereka melangkah menuju kapal yang dimaksud Bongkap ta- di.

Tidak lama berjalan, sampailah mereka di pesisir Selat Malaka. Ketika tinggal beberapa langkah lagi hendak mencapai kapal milik pasukan Kerajaan Man- churia yang sudah tewas saat melawan pasukan Bongkap di Bukit Tengkorak, tiba-tiba puluhan praju- rit berlompatan dari dalam kapal tadi dan langsung mengepung pasukan Bongkap. Lengkap dengan pe- dang masing-masing. Mereka adalah pasukan kedua Kerajaan Manchuria yang baru tiba kemarin  di  selat itu. Tujuan mereka tidak lain untuk membantu pasu- kan pertama yang sudah sampai di negeri itu. Namun ketika mereka mengetahui kalau Perguruan Topeng Hi- tam telah musnah bersama prajurit Kerajaan Manchu- ria yang datang lebih dulu, maka pasukan kedua se- gera kembali ke Selat Malaka. Kemudian dua orang di antara mereka diperintahkan membawa kapal yang mereka tumpangi tadi ke negeri Manchuria. Sedangkan Liu Hen Hui, pemimpin pasukan kedua bersama praju- rit lain menunggu di dalam kapal yang ditumpangi pra- jurit pertama yang sudah tewas.

Bongkap dan pasukannya menyebarkan pandangan pada seluruh prajurit Kerajaan Manchuria yang me- ngepung mereka. Jumlah mereka kurang lebih lima puluh orang. Dengan pakaian prajurit kerajaan, rompi panjang berwarna merah dengan terusan celana pan- jang ketat berwarna hitam. Sedangkan rambut mereka yang rata-rata panjang itu diikat di pertengahan ke- pala.

“Kalian pasti orang-orang yang bersekutu dengan Bongkap!” ucap Liu Hen Hui, seorang prajurit Kerajaan Manchuria yang ditugaskan menjadi ketua pasukan.

“Ha ha ha...,” Bongkap tertawa berderai menyambut ucapannya. “Bagaimana mungkin kalian akan berhasil menangkap Bongkap. Sedangkan rupanya saja tidak kalian kenal!” cemooh Bongkap.

“Aku memang belum berjumpa dengan orang yang bernama Bongkap. Tapi aku yakin, kaulah orang yang bernama Bongkap!” terka Liu Hen Hui. Dia langsung berpikir seperti itu, karena orang yang lantang berbica- ra biasanya adalah orang yang dimaksud. Apalagi keti- ka lelaki berlengan satu di hadapannya tadi berkata dengan sikap tenang, maka dia semakin yakin terha- dap dugaannya.

Bongkap tersenyum sinis.

“Rupanya kau pandai menebak juga!”

Liu Hen Hui tersenyum. Senyum yang menggambar- kan sifat kejinya.

“Bukan cuma pandai menebak, karena sebentar lagi aku pun akan membawa kepalamu ke hadapan Kaisar Manchuria!” ujar Liu Hen Hui sambil tersenyum po- ngah.

“Hm!” dengus Bongkap. “Kepongahanmu menarik sekali untuk didengar. Tapi  aku  lebih  senang  kalau kau dapat membuktikannya!” lanjut Bongkap dengan sikap menantang.

Sing sing sing!

Sinar putih tampak bergulung manakala Sang Piao dan Ashiong menarik pedang dari balik punggung. Be- gitu pula dengan pendekar lain. Termasuk Thong Mey dan Ratih Purbasari yang sudah mahir bermain pe- dang.

Melihat ketangkasan pengikut Bongkap dalam me- narik pedang, Liu Hen Hui kembali tersenyum.

“Kalian tidak perlu ikut campur. Kedatanganku ke sini cuma ingin menangkap lelaki bertangan buntung itu!” kata Liu Hen Hui dengan gagah.

Ashiong dan Sang Piao memandang Bongkap. Begi- tu pula dengan pendekar lain, seolah-olah meminta persetujuannya.

Bongkap balas menatap dan mengangguk pada para pengikutnya. Dengan serentak mereka memasukkan pedang ke dalam sarungnya kembali. Kemudian me- reka mundur sejauh tiga tombak. Begitu pula dengan prajurit Kerajaan Manchuria.

Bongkap dan Liu Hen Hui saling berhadapan de- ngan gagah. Mirip dua ekor singa jantan yang hendak bertarung. Mereka sama-sama mengamati lawan de- ngan tajam dan penuh penilaian.

Mata Bongkap menangkap lawannya tersenyum ti- pis ke arahnya. Sedangkan sorot matanya yang tajam menggambarkan seseorang yang berwatak beringas dan sadis. Sehingga timbullah sikap hati-hatinya  da- lam menghadapi lelaki yang berdiri di hadapannya. Begitu pula dengan Liu Hen Hui. Matanya menemukan sorot mata Bongkap yang memancarkan sinar kebija- kan. Tapi di balik itu justru memiliki kesadisan yang luar biasa. Sehingga ia pun merasa harus sungguh- sungguh dalam menghadapi lawan yang satu itu.

Liu Hen Hui adalah seorang pendekar dari Bukit Naga Merah yang letaknya masih berada dalam ling- kungan Kerajaan Manchuria. Ketika tinggal di Bukit Naga Merah, ia mendapat julukan sebagai ‘Pendekar Sadis’. Sesuai dengan sifatnya yang tak pernah mem- biarkan lawan hidup, walaupun sudah meminta am- pun. Setiap lawan yang dihadapi selalu mati dengan tubuh mengerikan. Kalau tidak perutnya robek, maka kepalanya terpisah dari badan.

Kesadisan lelaki berumur empat puluh tahun itu ternyata sangat dikagumi oleh para saudagar keji atau para lintah darat. Sehingga ia selalu mendapat panggi- lan untuk menjadi pembunuh bayaran. Bila ada sau- dagar kaya yang menyimpan dendam pada saudagar lain, dialah yang diperintah untuk membunuhnya de- ngan imbalan yang cukup tinggi.

Masuknya Liu Hen Hui menjadi prajurit Kerajaan Manchuria pun bukan kehendak sendiri. Ia justru mendapat panggilan dari Kaisar Thiang Tok untuk me- nangkap Bongkap dengan dukungan puluhan prajurit sebagai pengawalnya. Kalau dia berhasil menangkap Bongkap dan putrinya, baik hidup maupun mati,  ia akan mendapat kedudukan sebagai panglima perang.

“Ha ha ha...! Baru kali ini aku mendapatkan kesem- patan untuk bertarung dengan ‘Singa Perang’ yang menjadi buronan Kaisar Manchuria!” kata Liu Hen Hui disertai tawanya.

“Jangan banyak bicara, Penjilat! Segeralah berta- rung!” dengus Bongkap yang memang selalu tak sabar jika sudah berhadapan dengan musuhnya. Apalagi musuh yang menurut penilaiannya memiliki kepan- daian tinggi.

Liu Hen Hui tersenyum mengejek.

“Baiklah, Monyet Buntung! Bersiaplah menghadapi seranganku!” ejek Lie Hen Hui sambil membuka sera- ngan dengan jurus ‘Setan Mabuk Memukul Nyamuk’.

Wajah Bongkap menjadi merah padam mendengar ejekan tadi. Darahnya berdesir panas ke seluruh tu- buh. Namun, sebelum ia melepas kemarahan, tubuh lawan telah melesat cepat ke arahnya. Wut!

Tamparan tangan lawan terlihat pelan. Namun di dalam tamparan itu tersimpan tenaga yang mampu menimbulkan angin dahsyat.

“Uh!”

Bongkap cepat mengelakkan tamparan tangan la- wan yang menyambar punggungnya dengan cara me- miringkan tubuhnya ke samping. Namun serangan Liu Hen Hui semakin gencar, seolah-olah tidak memberi- kan kesempatan kepadanya untuk melakukan sera- ngan balik. Bahkan tamparan yang tadi mengarah ke punggung, kini meluncur ke arah lehernya. Dan sera- ngan kali ini lebih berbahaya dari yang pertama.

“Uts!”

Bongkap menjatuhkan diri dalam posisi telentang untuk menghindari serangan. Sambil menjatuhkan di- ri, Bongkap mengirim tendangan kaki kanan ke arah perut lawan.

Wut! “Uh!”

Tangan Liu Hen Hui yang tadi hendak menyambar leher lawan segera ditarik dan digunakan untuk me- mapak kaki Bongkap yang mengarah ke perutnya de- ngan gerakan membacok. Tapi dengan cepat, Bongkap menarik kakinya. Lalu tubuhnya  bergulingan. Sehing- ga tangan lawan yang berusaha membacok kakinya hanya menebas angin.

Para pendekar di pihak Bongkap tampak terkagum- kagum melihat kepandaian silat yang dimainkan oleh Liu Hen Hui. Mereka membayangkan, kalau saja  bu- kan Bongkap yang menjadi lawannya, tentu dalam waktu singkat pertarungan itu dapat diselesaikan de- ngan kemenangan berada di tangan Liu Hen Hui.

“Hiaaat!”

“Hiaaat!” Tubuh Liu Hen Hui melayang ke atas dengan jurus tendangan kaki ‘Panah Setan’. Sebuah  tendangan  lu- rus ke depan. Dengan cepat Bongkap pun melakukan gerakan yang sama dan  menangkis  tendangan  lurus itu dengan kaki yang menjulur lurus pula.

Desss!

Telapak kaki mereka bertemu di udara dalam satu benturan tenaga yang amat hebat. Memaksa tubuh ke- duanya terpelanting. Kalau Bongkap tidak cepat-cepat berjungkir balik mematahkan luncuran badannya, ten- tu dia akan membentur pasir pantai dengan keras.

Bongkap dan Liu Hen Hui telah berdiri gagah kem- bali. Mereka saling berhadapan dalam jarak sekitar ti- ga tombak. Sedangkan tubuh mereka sudah dibanjiri keringat.

Sreset!

Liu Hen Hui mencabut pedangnya. Dalam sekejap selarik sinar putih keperakan mencuat dari pedang itu karena terpaan sinar matahari.

Melihat lawannya mengeluarkan pedang, Bongkap pun tidak kalah siap. Segera dicabutnya pedang de- ngan tangkas. Dia sudah tidak ingin lebih lama lagi bertarung dengan lawannya yang terlihat sadis itu.

“Hiyaaat!”

Liu Hen Hui mengeluarkan pekikan panjang bersa- ma terjangan tubuhnya ke arah lawan.

Trang!

Bongkap menangkis ujung pedang lawan yang mengarah dadanya dengan pedangnya pula. Sehingga pedang di genggaman lawannya terpental akibat ‘Ajian Sukma’ yang disalurkan lewat pedang Bongkap.

Liu Hen Hui tersentak kaget saat menyadari pe- dangnya terlepas. Tapi dengan cepat pula, Liu Hen Hui menyerang lawannya kembali dengan kedua tangan di- rentangkan ke depan. Dan dari kedua tangan itulah mencuat jarum-jarum hitam beracun menyerang Bong- kap.

Wut wut wuttt!

Tubuh Bongkap dengan cepat bersalto sambil me- nangkis jarum-jarum hitam beracun yang menyambar tubuhnya dengan deras dan tak henti-hentinya.

“Hiyaaat!”

Didahului sinar pedangnya, tiba-tiba tubuh Bong- kap meluncur ke depan. Kemudian sinar pedang itu membabat kanan dan kiri tubuh lawan. Sedangkan ujung lengan bajunya yang semula lemas kini bergerak kaku ke kepala Liu Hen Hui. Membuat lawan tidak me- miliki kesempatan untuk mengelak lagi.

“Hiaaah!”

Mulut Liu Hen Hui mengeluarkan lengkingan nya- ring berbareng gerakan tangan yang mengambil sesua- tu dari balik bajunya. Ternyata sebuah cambuk hitam sepanjang sekitar tiga meter.

Wut!

Ujung cambuk itu menyambar ujung lengan baju lawan yang mengarah ke kepalanya.

“Uh!”

Bongkap menarik ujung lengan baju bersama lom- patan ke belakang, menghindari  serangan  cambuk yang mengeluarkan hembusan angin dahsyat. Itulah Cambuk Lidah Naga yang didapat Liu Hen Hui ketika bertapa di Goa Naga  Merah.  Sebuah  cambuk  sakti yang dapat menggetarkan bahkan melumpuhkan tu- lang jika mendarat di tubuh lawan.

Melihat lawannya mundur ke belakang, Liu Hen Hui segera mengejar penuh nafsu. Sedangkan cambuk hi- tam yang tergenggam di tangan kanannya terus berge- rak-gerak menyambar tubuh Bongkap.

Tar tar tar!

Cambuk hitam  itu  terus  memburu  Bongkap  yang bergulingan di pasir. Begitu cepat serangan itu, hingga Bongkap mengalami kesulitan untuk melakukan tang- kisan. Apalagi menyerang.

Tarrr! “Aaakh!”

Bongkap memekik tertahan manakala ujung cam- buk lawannya sempat mendarat di punggungnya. Se- ketika itu juga tubuh Bongkap terasa perih dan panas. Sedangkan tulang-tulang di sekujur badannya pun te- rasa ngilu-ngilu. Membuat pedangnya terlepas begitu saja.

Para pendekar yang berada di pihak Bongkap tam- pak berdiri tegak melihat pemimpin mereka berguli- ngan dengan kedua tangan meraba punggungnya yang terkena pecutan ujung cambuk lawan. Mereka ingin menolong, tapi jelas tidak mungkin. Sebab di pihak la- wan, prajurit kerajaan yang berjumlah lima  puluh orang itu pun sudah siap dengan pedang masing- masing. Menjaga kemungkinan kalau pasukan Bong- kap menyerang secara tiba-tiba.

“Ha ha ha...!” Liu Hen Hui tertawa terbahak melihat Bongkap merintih-rintih kesakitan. “Cukup sampai di sini kau dapat melihat sinar matahari!” lanjutnya sam- bil menggerakkan cambuknya kembali ke tubuh  la- wan. Tapi sebelum cambuk itu mengenai sasaran, tiba- tiba sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tu- buh Bongkap dan membawanya ke tempat yang agak aman.

Siapakah sosok bayangan yang telah menyela- matkan jiwa Bongkap dari ancaman cambuk  hitam maut itu? Mampukah Liu Hen Hui menandingi kepan- daian ilmunya? Dan bagaimana dengan Bong Mini? Apakah sudah sampai juga di tempat itu? Bagaimana pula dengan rencana penyerbuan ke Kerajaan Man- churia? Berhasilkah mereka mengadakan penyerbuan, atau mereka dapat dikalahkan pasukan Liu Hen Hui? Silakan ikuti kelanjutan kisah Bong Mini dalam epi- sode: ‘Runtuhnya Kerajaan Manchuria’

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar