Putri Borong Mini Eps 06 : Rahasia Pengkhianatan Baladewa

Eps 06 : Rahasia Pengkhianatan Baladewa

1

Matahari telah bergeser ke arah barat. Sinarnya yang siang tadi terasa menyengat, kini berubah redup dan hangat. Pertanda malam akan segera turun.

Halaman Rumah Makan Hin-Hin, satu-satunya ru- mah makan di Kota Girik, tampak banyak dikunjungi para pendekar yang datang dari berbagai negeri. Mere- ka datang ke rumah makan itu bukan hendak menik- mati hidangan, melainkan menyaksikan pertempuran seorang wanita cantik dengan gadis bertubuh mungil.

Wanita cantik yang mengaku bernama Nyi Genit itu tampak terkejut ketika mengetahui siapa gadis mungil yang berdiri di hadapannya. Gadis itulah yang meng- gagalkan niatnya untuk mengisap darah enam pemuda itu di Bukit Buncit (untuk jelasnya, baca serial Putri Bong Mini dalam episode: ‘Sengketa Darah Para Tum- bal’). Dan sekarang, gadis itu pula yang kembali meng- halangi niatnya untuk mengisap darah Tiga Pendekar Mata Dewa yang berhasil dilumpuhkan.

Kegemaran Nyi Genit mengisap darah pemuda dan bayi merupakan satu syarat untuk menambah kesak- tiannya. Apalagi jika ia berhasil mengisap darah, sum- sum, dan otak bayi yang baru lahir, maka dalam seke- jap penampilannya akan berubah muda seperti seka- rang.

Saat ini, ketika ia hendak mencengkeram tiga pe- muda, niatnya terhalang oleh kehadiran gadis bertu- buh mungil. Nyi Genit menjadi lebih marah lagi mana- kala teringat kalau gadis itu pula yang telah memotong rambut kesayangannya ketika bertanding di Bukit Buncit.

“Kalau aku tahu kau bernama Nyi Genit, kau sudah kubikin mampus ketika bertanding di Bukit Buncit!” geram Bong Mini. Matanya berkilat-kilat ketika mena- tap tajam pada lawannya.

“Phuih! Kau pikir akan menang berhadapan de- nganku?” dengus Nyi Genit pula, tak kalah geram.

“Kalau kau merasa menang, kenapa lari ketika ber- tanding di Bukit Buncit?” kilah Bong Mini.

“Aku lari karena tidak ingin menyakitimu!” Nyi Ge- nit berdalih.

“Kalau begitu, sekarang saja kita adu nyawa, Nenek Peot!” tantang Bong Mini dengan darah mendidih di se- kujur tubuhnya.

Mendengar sebutan nenek peot, Nyi Genit tertawa cekikikan.

“Sayang sekali. Usiamu masih muda dan cantik tapi ternyata matamu rabun. Tubuh muda, indah, dan can- tik seperti ini dibilang nenek peot!” kata Nyi Genit sam- bil melenggak-lenggokkan tubuhnya.

“Phuih! Nenek peot tidak tahu diri!” ketus Bong Mi- ni. Kemudian matanya menyebar pada dua puluh pen- dekar yang hadir di situ. Di antaranya Lima Pendekar Teluk Naga dan lima belas orang dari Perkumpulan Pengemis Sakti.

“Tahukah para pendekar sekalian bahwa kecanti- kan yang dimiliki wanita ini hanyalah tipu daya belaka. Sebenarnya dia seorang nenek yang umurnya menca- pai enam puluh tahun. Tapi karena dia sering minum darah pemuda, sumsum, dan otak bayi maka ia men- jelma menjadi muda seperti ini. Oleh karena itu dia sangat bernafsu terhadap tiga pemuda yang tidak ber- daya ini untuk diisap darahnya agar dapat menambah kecantikan dan kesaktian ilmu ‘Hitam Pesona Darah’ yang dimilikinya!” celoteh Bong Mini tanpa rasa gentar sedikit pun.

Dua puluh pendekar yang terdiri dua perkumpulan yang hadir di tempat ini tampak terkejut mendengar penuturan lantang Bong Mini. Terutama Lima Pende- kar Teluk Naga. Mereka geram atas kelakuan Nyi Genit yang dipaparkan Bong Mini tadi.

Nyi Genit sangat murka mendengar ucapan Bong Mini yang dianggapnya kurang ajar telah membongkar rahasia kecantikannya, termasuk perbuatan mengisap darah lelaki muda.

“Bocah sundal! Kali ini mulutmu harus kurobek agar tidak nyinyir lagi!” geram Nyi Genit disertai ter- jangan setinggi satu meter ke arah lawan.

“Hiaaat!” Desss!

Kaki kanan Nyi Genit yang melakukan tendangan ke wajah Bong Mini disambut oleh Kok Thai Ki yang cepat menghadang di depan Bong Mini dan memukul telapak kaki Nyi Genit dengan tangan kanannya.

Nyi Genit tersentak sambil menarik kakinya kemba-

li.

“Perempuan jalang yang tak tahu diri! Beraninya

hanya pada seorang anak kecil!” ejek Kok Thai Ki, Ke- tua Pendekar Teluk Naga sambil mencabut pedangnya. “Bedebah! Majulah kalian berlima jika ingin meng- antarkan nyawa padaku!” geram Nyi Genit. Nafsunya sudah tak dapat dibendung lagi. Sehingga sepasang matanya yang tadi bekerjap-kerjap mengandung bira-

hi, berubah merah menyala. “Serbuuu...!”

Kok Thai Ki memberi aba-aba pada empat temannya yang masing-masing bernama Hong Tan Tosu, Tang Hu, Cu Han Bu, dan Cu Seng Bu. Mereka bergerak se- rempak menyerang lawan. Pedang para pendekar dari daerah di sebelah barat Tiongkok itu tampak me- mancarkan sinar berkilau ketika bergerak menyambar- nyambar tubuh Nyi Genit. Jurus ‘Pedang Seratus De- wa’ yang dilancarkan Lima Pendekar Teluk Naga berge- rak sangat cepat dan dahsyat. Membuat para pendekar lain yang menyaksikan pertempuran itu berdiri tegang.

Siuuut...! Trakkk...! Crattt! Crattt! Crattt!

Gulungan sinar pedang dari Lima Pendekar Teluk Naga dapat ditangkis dengan gulungan sinar tongkat hitam, hingga menimbulkan rasa panas dan nyeri di tangan Lima Pendekar Teluk Naga. Karena pedang me- reka selalu bergetar keras setiap menyentuh tongkat hitam milik Nyi Genit yang diputar dengan kecepatan tinggi, hingga menimbulkan bayang-bayang tongkat- nya saja.

Betapa terkejutnya mereka ketika mengetahui kalau tongkat Nyi Genit ternyata terbuat dari selendang hi- tam yang digunakan untuk membelit Tiga Pendekar Mata Dewa (baca episode 5: ‘Sengketa Darah Para Tumbal’). Selendang itu dibelit-belit hingga panjangnya mencapai dua meter.

Melihat kenyataan itu, sadarlah Lima Pendekar Te- luk Naga kalau wanita yang mereka hadapi benar- benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Sehingga se- lendang yang ukurannya mencapai dua meter itu da- pat menegang kuat bagai tongkat kayu. Malah tongkat dari selendang hitam itu lebih berbahaya lagi. Karena pada kesempatan tertentu ujungnya dapat membeng- kok seperti lengkungan gagang payung, hingga bisa menjerat leher lawan.

Lima Pendekar Teluk Naga melompat ke belakang, lalu berdiri gagah mengepung Nyi Genit. Benak mereka terus berpikir untuk mencari serangan lain setelah se- rangan pertama gagal.

“Bentuk serangan ‘Pedang Berantai’!” Kok Thai Ki memberi aba-aba.Seketika itu juga keempat temannya bergerak mengepung lawan lebih dekat lagi. Namun kepungan kali ini tidak tetap di tempat, melainkan ber- lari-lari kecil mengelilingi lawan. Sedangkan pedang di genggaman tangan mereka terus menyambar-nyambar tubuh Nyi Genit.

Nyi Genit terkejut melihat serangan aneh itu. Piki- rannya bingung melihat serangan berantai yang datang susul-menyusul dari berbagai arah. Apalagi gerak lari mereka yang semakin cepat, membuat kepala Nyi Ge- nit agak pusing. Namun dalam keadaan begitu, mulut Nyi Genit tiba-tiba mengeluarkan tawa aneh. Tawa yang membuat orang ketakutan.

“Hi hi hi...!”

Tawa Nyi Genit bagai orang digelitik, keras dan me- nyeramkan! Menimbulkan gema susul-menyusul, se- akan semua iblis dan setan yang selama ini dipujanya berdatangan membantu Nyi Genit. Begitu tawanya berhenti, berhenti pula gerak tubuh Lima Pendekar Te- luk Naga. Mereka diam mematung seperti terkena si- hir. Dan pada saat itu Nyi Genit melompat keluar dari kurungan lawan sambil melakukan serangan menotok. “Sadarkan diri kalian! Jangan terpengaruh oleh ira- ma tawa iblis jalang itu!” tiba-tiba Bong Mini berteriak keras menyadarkan Lima Pendekar Teluk Naga. Dia tahu kalau tawa yang keluar dari mulut Nyi Genit me- rupakan tawa yang disertai kekuatan tenaga iblis. Itu- lah salah satu kehebatan dari ilmu ‘Hitam Pesona Da-

rah’ yang dimiliki Nyi Genit

Teriakan Bong Mini berhasil menyadarkan Lima Pendekar Teluk Naga. Namun sebelum mereka sempat membentuk posisi kembali, Nyi Genit telah menda- ratkan totokan pada dua orang pengepungnya.

Tuk! Tuk!

Dua orang yang terkena totokan ‘Lampah Lumpuh’ langsung roboh dalam keadaan lumpuh. Hanya dua matanya saja yang berkedip-kedip seperti meminta pertolongan. “Mundurlah kalian! Bebaskan dua temanmu dan Tiga Pendekar Mata Dewa itu dari pengaruh totokan. Biar kulayani nenek peot ini!” cetus Bong Mini seraya melompat ke tengah pertempuran.

Tiga orang Pendekar Teluk Naga terkejut dan hen- dak menahan Bong Mini agar tidak turut bertempur. Tapi terlambat. Bong Mini telah menerjang Nyi Genit, sehingga mereka hanya dapat berdiri tertegun menyak- sikan pertempuran antara Nyi Genit dengan gadis ber- tubuh mungil itu.

“Iblis hina! Hari ini akan kutamatkan riwayatmu!” geram Bong Mini sambil menerjang Nyi Genit dengan tendangan di udara setinggi dua meter.

“Uts!”

Tendangan kaki kanan Bong Mini yang lurus ke muka Nyi Genit segera dielakkan oleh lawannya de- ngan memiringkan tubuh sedikit ke belakang. Sedang- kan tangan kirinya menyilang di depan dada dan ta- ngan kanannya bergerak ke atas untuk menangkap kaki kanan Bong Mini.

“Hup!”

Bong Mini menarik kaki kanannya kembali ketika mengetahui tangan kanan lawan mencoba menyambar. “Tikus kecil! Rasakan pukulanku!” geram Nyi Genit.

Dengan telapak terkembang ia menghentakkan kedua tangannya ke arah Bong Mini, disertai pengerahan il- mu ‘Pukulan Tangan Iblis’.

Wuttt!

Angin keras yang bergulung-gulung dari telapak ta- ngan Nyi Genit bergerak menghantam Bong Mini. Na- mun dengan lincah Bong Mini menghindari serangan itu dengan cara melompat setinggi dua meter.

“Hiaaat!” Brakkk! Bummm! Angin dahsyat yang dikerahkan Nyi Genit menghan- tam sebuah pohon besar hingga tumbang.

Para pendekar yang menyaksikan pertandingan itu tampak tercengang melihat pengerahan ilmu Nyi Genit. Mereka membayangkan kalau pukulan itu mengenai sasarannya, tentu tubuh gadis itu akan terpental ke- ras. Sedangkan mereka yang menonton saja dapat me- rasakan desiran angin yang cepat dan keras ketika Nyi Genit mengerahkan ilmu ‘Pukulan Tangan Iblis’.

Bong Mini yang tadi melompat menghindari sera- ngan, kini telah kembali berdiri gagah menghadap Nyi Genit. Ia benar-benar waspada dan bersikap hati-hati menghadapi musuh yang satu ini. Pertempuran bebe- rapa waktu lalu di Bukit Buncit belum bisa dijadikan pegangan untuk mengukur kesaktian Nyi Genit. Ia me- rasa yakin bahwa saat itu Nyi Genit tidak sepenuhnya mengeluarkan ilmu andalannya. Terbukti dari se- rangan-serangannya tadi. Begitu dahsyat dan memati- kan!

Kini keduanya sudah saling berhadapan. Sepasang mata mereka saling mencorong, penuh ledakan kema- rahan. Tiba-tiba saja Nyi Genit melompat menerjang Bong Mini disertai lengkingan tinggi.

“Hiyaaat...!” Plekkk!

Telapak tangan Nyi Genit yang hendak mencengke- ram kepala Bong Mini berhasil dielakkannya dengan cara menggeserkan tubuh ke samping. Sedangkan ta- ngan kanannya menyambut tangan Nyi Genit. Terlihat- lah dua telapak tangan yang halus mulus bertemu di- sertai pengerahan ilmu kebatinan masing-masing. Nyi Genit mengerahkan ilmu kebatinan ‘Sinar Mata Iblis’ yang diperolehnya ketika bertapa di Bukit Setan. Se- dangkan Bong Mini mengerahkan ilmu ‘Sinar Mata Ha- lilintar’ yang didapat ketika bertapa di Gunung Muda. Setelah beberapa saat telapak tangan mereka me- nempel, tiba-tiba mulut keduanya mengeluarkan leng- kingan tinggi disertai tarikan tangan yang cukup ke- ras.

“Hiyaaa...!” Dukkk!

Kedua tubuh itu melompat dengan ketinggian men- capai lima meter. Kemudian tubuh mereka berputar cukup deras ke belakang, lalu meluncur turun dengan posisi duduk.

Kini kedua wanita itu duduk bersila di atas tanah dengan jarak sekitar enam meter. Mereka saling me- mandang tajam dengan pemusatan pikiran.

Cuat cuat cuat!

Tiba-tiba sepasang mata mereka mengeluarkan ca- haya berbentuk bulat sebesar telur ayam. Kemudian kedua cahaya itu bergerak ke arah lawan masing-ma- sing. Tepat pada pertengahan jarak antara Bong Mini dan Nyi Genit, kedua cahaya itu bertemu. Cahaya hi- jau yang keluar dari mata Bong Mini mendorong ca- haya merah yang keluar dari mata Nyi Genit. Begitu pula sebaliknya. Sehingga kedua cahaya itu bergerak saling mendorong. Sedangkan Bong Mini dan Nyi Genit memandang cahaya milik mereka masing-masing, se- akan memberi kekuatan pada masing-masing cahaya yang dikerahkannya. Inilah puncak ilmu kekuatan ba- tin ‘Sinar Mata Iblis’ dan ‘Sinar Mata Halilintar’.

Para pendekar yang sejak tadi menyaksikan pertem- puran tampak tercengang dan takjub melihat dua wa- nita sakti yang sedang mengadu kekuatan itu. Dan ke- kaguman mereka lebih ditonjolkan kepada Putri Bong Mini. Karena meski masih berusia muda dan bertubuh mungil, namun dia mampu menandingi kekuatan la- wan. Dari peristiwa tersebut mereka sadar kalau wa- nita bertubuh mungil itu tidak bisa dianggap remeh dalam hal ilmu kesaktian atau jurus-jurus silat.

Lima Pendekar Teluk Naga yang semula mengkha- watirkan keselamatan Bong Mini, kini berubah kagum pada kedigdayaan gadis itu.

Duarrr!

Dua cahaya berbeda yang sedang mengadu kekua- tan, tiba-tiba menimbulkan ledakan yang demikian ke- ras. Kemudian dua cahaya berbentuk bulat telur itu pecah berhamburan bagai manik-manik. Sebelum me- nyentuh tanah, manik-manik cahaya itu lenyap entah ke mana.

Bersamaan dengan terdengarnya ledakan, tubuh Bong Mini dan Nyi Genit terhentak keras ke belakang.

Duk! Duk!

Tubuh mereka membentur tanah cukup keras. Na- mun tidak lama kemudian keduanya kembali berdiri dan saling berhadapan, tanpa memberikan kesan luka atau sakit sedikit pun juga.

Beberapa saat keduanya hanya berdiri tegak diser- tai tatapan tajam. Mereka mengagumi kekuatan lawan masing-masing. Karena kalau bukan pendekar sakti, tentu satu di antara mereka sudah tewas akibat leda- kan tadi.

“Kepandaian dan kehebatanmu memang sangat me- ngagumkan! Tapi jangan dulu merasa bangga. Kau be- lum tahu ilmu-ilmuku yang lain!” dengus Nyi Genit. Kemudian kedua tangannya membuka selendang yang membelit pinggangnya. Kemudian selendang berwarna hitam itu dilipat dan diputar-putar. Dalam waktu seke- jap, selendang tersebut berubah menjadi sebuah tong- kat sepanjang dua meter.

Dengan tongkat buatan itu, Nyi Genit langsung me- nyerang Bong Mini disertai ilmu ‘Tangan Iblis Samber Nyawa’. Sebuah ilmu kesaktian yang luar biasa. Ka- rena dengan ilmu tersebut, tongkat dari selendang Nyi Genit dapat menjulur lurus dan dapat pula membelok seperti lengan manusia yang hendak melakukan gera- kan menotok.

Menyadari tongkat buatan itu mengandung tenaga sakti yang luar biasa, Bong Mini pun segera mencabut Pedang Teratai Merah yang sejak tadi tersandang di punggungnya.

Sreset!

Cuat cuat cuat!

Sinar merah berbentuk bunga teratai berkelip-kelip ketika Bong Mini menarik pedang dari sarungnya.

“Pedang Teratai Merah!” cetus para pendekar yang menyaksikan pertempuran itu dengan wajah kagum dan tak henti-hentinya memandangi Pedang Teratai Merah yang masih memancarkan sinar. Mereka me- ngetahui nama pedang itu lewat sinar yang dipancar- kannya.

Nyi Genit yang sejak tadi sudah siap dengan tongkat buatannya tampak tercengang melihat pedang di ta- ngan Bong Mini. Baru kali ini matanya melihat pedang yang memancarkan sinar menakjubkan! Tapi segera ia tersadar dan langsung menyerang Bong Mini ke arah kepala dan kakinya.

Wut wut wut!

Bong Mini mengelak dan melompat ke belakang ke- tika tongkat buatan itu menyambar tubuhnya. Sambil meloncat, tangannya memutar Pedang Teratai Merah, sehingga terdengar desingan melengking.

Wing wing wing! Trakkk!

Pedang yang diputar Bong Mini menyambar ke leher lawan. Tapi dengan cepat, Nyi Genit menangkis dengan tongkat buatannya. Akibatnya pedang dan tongkat bu- atan itu bertumbukan hebat.

“Hup!” Kedua lawan tadi melompat dua langkah ke bela- kang sambil mengagumi kesaktian dan ketangguhan lawan masing-masing.

Beberapa detik mereka terdiam dan menghela na- pas. Kemudian Nyi Genit kembali menerjang ke depan. Tongkat buatannya berubah menjadi selendang hitam kembali. Lalu selendang itu disampirkan di kedua ba- hunya. Menakjubkan! Selendang yang disampirkan itu berubah menjadi cahaya merah yang menyelimuti tu- buhnya. Itulah ilmu ‘Tipuan Mata Iblis’.

Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu menjadi berdebar. Mereka sangat mengkhawatirkan keselamatan Bong Mini.

“Bagaimanapun hebatnya gadis itu, tidak mungkin mengungguli Nyi Genit,” pikir mereka. Karena Nyi Ge- nit telah berusia matang dan penuh pengalaman. Me- reka lupa kalau umur tidak jadi ukuran kekuatan ilmu bela diri seseorang.

Sambil memberikan penilaian terhadap dua wanita sakti yang bertempur itu, para pendekar tadi melang- kah mundur sejauh sepuluh meter. Maksudnya untuk menjaga keselamatan jiwa masing-masing agar terhin- dar dari serangan nyasar yang ditimbulkan oleh perta- rungan dua orang sakti itu.

Para pendekar kembali terkejut melihat pertarungan dahsyat tersebut. Apalagi ketika menyadari hawa pa- nas yang datang dari kancah pertempuran menyambar pula ke arah mereka. Mereka mundur kembali dua tin- dak dengan perasaan was-was, khawatir terhadap ke- selamatan Bong Mini.

“Hiyaaa!”

Cuat cuat cuat!

Tubuh Nyi Genit yang bermandikan cahaya mener- jang lawan sambil menghujamkan tendangan dan pu- kulan ke dada dan wajah Bong Mini. Wut wut wut!

Pukulan dan tendangan Nyi Genit hanya menim- bulkan angin saja. Sebab ketika ia menerjang, Bong Mini telah menggunakan ilmu ‘Halimun Sakti’. Sehing- ga pada saat Nyi Genit menendang dan memukul, tu- buh Bong Mini hanya berupa bayangan. Dengan ilmu ‘Halimun Sakti’, Bong Mini dapat melakukan serangan balik berupa totokan dua jarinya yang diberi nama ju- rus ‘Totok Besi’.

Tuk! Tuk!

Jurus ‘Totok Besi’ yang dilancarkan Bong Mini tepat mengenai pundak lawan. Namun totokan itu tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap tubuh Nyi Genit. Malah dianggapnya sebagai colekan belaka. Dan ketika Nyi Genit membalikkan tubuhnya, ia langsung melan- carkan serangan gencar dengan ‘Pukulan Tangan Iblis’.

Wes wes wes!

Gulungan angin menyerang tubuh Bong Mini susul- menyusul. Gadis mungil itu terus mengelak, meloncat, dan bersalto. Membuat pasir dan tanah halus di seki- tar pertempuran mengepul bagai asap. Termasuk daun-daun pepohonan yang jatuh berguguran akibat hembusan angin pukulan Nyi Genit.

Para pendekar yang menyaksikan pertarungan se- ngit itu terpaksa mundur beberapa langkah, menghin- dari kepulan debu.

***

2

Pertarungan antara Bong Mini dengan Nyi Genit te- rus berlangsung. Setiap serangan yang mereka lancar- kan menciptakan perkelahian yang amat seru dan dahsyat, tanpa ada tanda-tanda kekalahan di antara mereka.

Para pendekar, termasuk Ong Lie dan Seyton, yang menyaksikan pertarungan itu tidak sedikit pun me- nunjukkan rasa jenuh. Mereka malah terlihat berse- mangat setiap melihat jurus yang dikeluarkan oleh Bong Mini atau Nyi Genit.

Nyi Genit dan Bong Mini kini sama-sama berdiri te- gak. Dan tiba-tiba Nyi Genit melakukan serangan de- ngan melecutkan selendang yang masih memancarkan sinar merah ke arah Bong Mini.

Wuttt!

Trak trak trakkk!

Lecutan selendang lawan segera disambut pedang Bong Mini. Pertemuan antara selendang yang meman- carkan sinar merah dengan Pedang Teratai Merah menjadikan pertarungan semakin tampak mempesona. Karena pertemuan kedua senjata yang masing-masing mengandung tenaga sakti itu menciptakan pijaran api tiada henti, serta menimbulkan hawa panas di sekitar mereka berdua, hingga tubuh keduanya bermandikan peluh.

“Hup!”

“Hait!”

Nyi Genit dan Bong Mini menarik senjata saktinya masing-masing.

Crat crat crat!

Pijaran api terlihat berlompatan ketika mereka me- narik senjata masing-masing. Kemudian tubuh kedua wanita yang sedang mengadu kesaktian itu terpental keras ke belakang.

Buk buk bukkk! “Oekkk!”

Nyi Genit langsung memuntahkan darah segar keti- ka tubuhnya yang padat berisi itu membentur sebuah batu besar. Begitu pula dengan Bong Mini. Namun ka- rena ia hanya membentur tanah, maka lukanya tidak separah Nyi Genit.

Dengan mulut bersimbah darah serta tenaga yang mulai berkurang, kedua wanita tangguh itu kembali bangkit terhuyung-huyung. Namun begitu, sinar mata keduanya tetap memancarkan kemarahan yang ter- amat sangat.

Nyi Genit yang tadinya merasa yakin akan menang dalam pertarungan itu menjadi kecewa dan murka bu- kan main ketika melihat lawan bau kencurnya masih sanggup meneruskan pertarungan. Ketika melihat da- rah mengucur dari mulut Bong Mini, ia semakin ber- nafsu untuk menghabiskan nyawa gadis bertubuh mu- ngil itu. Sehingga pada saat tubuhnya dapat berdiri te- gak, Nyi Genit langsung mengeluarkan lengkingan tinggi yang amat panjang.

“Hiaaat...!” Wuttt!

Nyi Genit menyabetkan selendang hitam yang su- dah tidak memancarkan cahaya ke arah lawan.

Mendapat serangan selendang hitam itu, Bong Mini tampak tetap tenang. Karena ia telah tahu cara me- nangkis dan membalikkan serangan lawan.

Wut wut wut!

Bong Mini membiarkan ujung selendang Nyi Genit membelit dan menarik tubuhnya mendekati pemilik- nya. Namun ketika sampai pertengahan selendang, ia langsung merobeknya dengan pedang yang masih ter- genggam di tangan.

Bret!

Selendang hitam yang membelit tubuh Bong Mini terputus menjadi dua.

Nyi Genit terkejut bukan main melihat selendang kesayangannya putus. Sebelum sadar dari keterkeju- tannya, Bong Mini menyusulkan serangannya.

Plakkk! “Hegh!”

Tubuh Nyi Genit terhenyak dan langsung jatuh te- lentang ketika telapak tangan kanan Bong Mini men- darat di dada kiri Nyi Genit yang membusung. Bagian baju yang terkena pukulan robek seketika, memperli- hatkan buah dadanya yang besar.

Menyadari pakaian di bagian dadanya terkoyak, Nyi Genit langsung melesat meninggalkan kancah perta- rungan.

“Heh, Iblis! Hendak lari ke mana kau!” bentak Bong Mini seraya bergerak hendak mengejarnya. Namun be- lum sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba lima belas pendekar yang sejak tadi menyaksikan pertempuran segera menghadang.

“Siapa kalian!” bentak Bong Mini. Napasnya masih turun naik karena begitu bernafsu hendak menghabisi nyawa Nyi Genit

“Kami dari Perkumpulan Pengemis Sakti!” sahut Siangkoan Kun Hok yang menjadi pemimpin perkum- pulan itu. Tubuhnya tinggi kurus, berpakaian com- pang-camping dan kumal hingga menimbulkan bau yang kurang sedap. Sedangkan rambutnya yang pan- jang tak terurus digelung kecil. Mereka berasal dari negeri Manchuria. Datang ke negeri Selat Malaka ka- rena diutus oleh Thiang Tok, Raja Manchuria untuk membantu gerakan Perguruan Topeng Hitam.

“Apa tujuanmu menghalangiku!” ketus Bong Mini lagi.

Siangkoan Kun Hok tersenyum.

“Menangkapmu dan mempersembahkan kepada Ke- tua Perguruan Topeng Hitam. Baik hidup maupun ma- ti!” tegas Siangkoan Kun Hok.

Bong Mini tersentak. Ia tidak mengira kalau lima belas orang berpakaian pengemis yang sejak tadi me- nyaksikan pertarungannya dengan Nyi Genit justru in- gin bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.

“Aku memang belum bertemu dengan Ketua Pergu- ruan Topeng Hitam kecuali dari pertempuran tadi. Tapi sebagai orang yang hendak bersekutu dengan mereka, aku harus memperlihatkan bakti dan kesetiaan. Nah, bersiaplah!” usai berkata begitu, lima belas orang tadi langsung mengepung Bong Mini dengan memperguna- kan pedang dan tongkat masing-masing.

Menyadari Bong Mini masih letih karena pertaru- ngan dengan Nyi Genit, Ong Lie dan Seyton segera menjura pada Bong Mini.

“Kejarlah wanita yang bernama Nyi Genit tadi. Biar kunyuk-kunyuk ini kami yang hadapi!” kata Ong Lie.

Bong Mini setuju. Lalu ia segera melompat setinggi dua meter dan melesat meninggalkan arena pertaru- ngan dengan melampaui kepala para pengepungnya. Sedangkan Ong Lie dan Seyton segera melancarkan se- rangan ke arah lima belas pengemis. Dibantu pula oleh Lima Pendekar Teluk Naga dan Tiga Pendekar Mata Dewa.

***

Bong Mini sudah jauh meninggalkan tempat per- tempuran tadi, namun wanita sesat yang dikejarnya ti- dak berhasil ditemukan. Padahal dia sudah menge- rahkan ilmu ‘Halimun Sakti’, sebuah ilmu yang mem- buat larinya secepat angin.

Dengan perasaan jengkel, Bong Mini kembali ke tempat semula. Di sana para pendekar tengah berta- rung melawan lima belas orang Pengemis Sakti.

Ketika Bong Mini hendak kembali ke tempat semu- la, tiba-tiba sepasang matanya melihat seorang wanita berpakaian kuning tengah tersuruk-suruk di sebuah bukit.

“Hm..., itu dia!” gumam Bong Mini ketika yakin ka- lau wanita yang berjalan tersuruk-suruk itu orang yang sedang dicarinya, Nyi Genit. Tanpa membuang waktu lagi, Bong Mini segera melesat ke atas Bukit Me- rapi untuk menghadangnya.

“Heh, Nenek Peot! Mau ke mana kau!” bentak Bong Mini. Dia berdiri dalam jarak lima meter dari wanita tadi.

Wanita yang dibentak terkejut bukan main men- dengar suara Bong Mini yang demikian keras. Apalagi ketika mengetahui kalau orang yang memanggil ter- nyata gadis lawan bertarungnya tadi.

“Kau tak akan dapat menyelamatkan diri, Iblis Peot! Hari ini juga aku akan mengirim nyawamu untuk san- tapan para iblis yang selama ini kau puja!” geram Bong Mini lagi.

“Bocah tengik! Akan kupotong lidahmu yang lan- cang itu!” geram Nyi Genit.

“Hup!”

Nyi Genit menghentakkan selendang hitamnya yang tinggal satu meter. Dalam waktu sekejap, selendang itu berubah menjadi sebilah pedang berwarna hitam. Ru- panya pada saat menghentakkan selendang tadi, ia te- lah mengerahkan ajian ‘Tipu Daya Setan’. Sebuah ilmu sesat yang mengandung kekuatan sihir.

Melihat pedang hitam yang mengeluarkan sinar me- nyeramkan itu, Bong Mini terkejut sekali. Namun dia tetap berusaha tenang. Bahkan bibirnya tersenyum mengejek, memancing kemarahan Nyi Genit.

“Huh! Pedang warna jelek begitu dibanggakan!” “Tikus jelek, makanlah pedangku ini!” bentak Nyi

Genit setelah mendengar penghinaan itu. Kemudian ia membacok ke bahu Bong Mini dengan gerakan menyi- lang. Wut!

Bong Mini mengelak serangan pedang itu dengan memiringkan tubuh ke belakang. Kemudian tangan kanannya yang sudah memegang Pedang Teratai Me- rah bergerak, menangkis pedang hitam milik Nyi Genit.

Cringngng...! Trangngng...!

Nyi Genit terkejut bukan main ketika kedua ta- ngannya terasa tergetar keras saat pedangnya bertemu dengan pedang Bong Mini. Ia segera menarik pedang- nya dan kembali menyerang Bong Mini dengan jurus ‘Ekor Naga Membelit Mangsa’. Pedangnya menyambar- nyambar dahsyat ke seluruh bagian tubuh Bong Mini. Mirip gerakan ekor naga yang ganas menyerang lawan.

Wut wut wut! Sing sing singngng...!

Sambaran-sambaran pedang Nyi Genit tak sekali- pun dapat menyentuh bagian tubuh Bong Mini. Karena setiap serangan gencar yang mematikan itu selalu ber- hasil dielakkan Bong Mini begitu cepat dengan ilmu peringan tubuh yang sudah hampir mencapai kesem- purnaan. Tubuhnya yang mungil itu dengan lincah bergerak ke sana kemari, menghindari serangan. Sam- bil menghindar, Bong Mini segera mengerahkan ilmu ‘Pedang Samber Nyawa’ dan jurus ‘Walet Terbang Ren- dah’ pemberian papanya ketika ia berumur sebelas ta- hun. Tubuhnya yang mungil dan ringan berkelebat di seputar lawan mencari pertahanan lawan yang lowong. Nyi Genit agak terkejut melihat serangan lawan yang demikian cepat dan lincah berputar-putar di atas kepalanya. Membuatnya sulit untuk mengawasi gera-

kan lawan secara cermat. “Hiyaaat..!”

Mulut Nyi Genit tiba-tiba mengeluarkan lengkingan panjang. Kemudian pedangnya diputar sedemikian ru- pa, hingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya sendiri. Kemudian dari gulungan sinar itu mencuat sa- tu sinar menyambar ke dada Bong Mini yang sudah menginjakkan kakinya di tanah.

“Uts!”

Dengan tenang Bong Mini meloncat ke belakang. Ketika Nyi Genit mengejar, Bong Mini segera memba- bat pedangnya.

Wut! Trangngng!

Selarik sinar pedang menyambar leher lawan. Nyi Genit yang tadi meloncat ke depan mengejar Bong Mini terpaksa menangkis dengan pedangnya.

Sing sing singngng...!

Bong Mini yang mengetahui pedangnya akan di- tangkis, segera menarik kembali. Kemudian dilancar- kannya serangan pedang kembali ke atas dan kiri tu- buh lawan.

Nyi Genit kaget. Terpaksa ia memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang untuk menangkis.

Trangngng! Trangngng!

Dentang nyaring terdengar dua kali. Kemudian pe- dang Nyi Genit terlepas dan terlempar sejauh tiga me- ter. Sedangkan tangannya terasa panas dan perih saat menangkis pedang Bong Mini.

Tanpa banyak cakap lagi tubuhnya meloncat ke be- lakang dan melarikan diri. Nyi Genit sadar kalau bocah perempuan yang menjadi lawannya itu mempunyai ke- pandaian yang melebihi kemampuannya. Kalau ia me- lanjutkan pertarungan, tentu ia akan kalah dan tewas di tangan lawan yang amat tangguh!

“Hei, Iblis Betina Pengecut! Hendak lari ke mana kau!” maki Bong Mini sambil mengejar. Karena saat mengejar Bong Mini mengerahkan ilmu peringan tu- buh, maka dalam waktu singkat ia dapat menyusul Nyi Genit yang tengah berlari ketakutan.

“Hep!”

Nyi Genit menghentikan gerakan kakinya, ketika di depannya menganga sebuah jurang terjal dan amat da- lam. Kemudian kepalanya menengok ke belakang, ter- nyata Bong Mini makin dekat ke arahnya, membuat wanita itu bingung.

“Hi hi hi, Nyi Genit, Nyi Genit! Mau lari ke mana lagi kau?” ejek Bong Mini saat melihat wajah Nyi Genit di- cekam ketakutan.

Nyi Genit sadar kalau dirinya kini tidak bisa lolos dari kejaran lawan yang siap menghabisi nyawanya. Dalam ketakutannya, ia menjadi nekat dan meloncat ke depan.

Siuttt...!

Tubuh Nyi Genit meluncur deras ke jurang.

“Eh, jangan nekat!” seru Bong Mini, sambil melon- cat ke bibir jurang. Di sana matanya sempat melihat tubuh Nyi Genit yang meluncur deras ke bawah.

Bong Mini menarik napas panjang sambil menya- rungkan kembali pedangnya.

“Iblis setan itu tak mungkin hidup. Tubuhnya pasti hancur terbentur batu-batu terjal!” gumam Bong Mini. Kemudian tubuhnya melesat pergi menuju tempat di mana kedua temannya, Ong Lie dan Seyton serta pen- dekar dari dua perkumpulan tengah bertempur mela- wan lima belas orang dari Perkumpulan Pengemis Sak- ti.

***

Sampai di tempat, Bong Mini melihat gejolak per- tempuran sudah mulai menurun. Dari masing-masing pihak sudah ada yang mati atau terluka. Dua pemuda dari Lima Pendekar Teluk Naga terlihat tergeletak de- ngan tubuh berlubang akibat tusukan pedang lawan. Sedangkan dari pihak Pengemis Sakti sudah terkapar tujuh orang dengan tubuh bersimbah darah.

“Hiyaaat!” Trang trang trang!

Senjata kedua belah pihak kembali beradu keras, hingga menimbulkan denting nyaring disertai pijaran api yang cukup terang.

“Aaakh...!”

“Aaakh...!”

“Aaakh...!”

Tiga di antara delapan orang dari Perkumpulan Pengemis Sakti mengerang panjang saat pedang Hong Tan Tosu dan Kok Thai Ki dari Lima Pendekar Teluk Naga menebas perut dan lehernya. Mereka terhuyung sebentar, lalu roboh tanpa dapat berkutik lagi.

“Haiiit..!”

Kao Cin Liong dan Kui Lok memekik tinggi sambil menghujamkan pedang ke arah lawan masing-masing dengan gerakan menusuk.

Creb! Creb! “Aaakh!”

“Aaakh!”

Dua orang dari Perkumpulan Pengemis Sakti roboh ketika ujung pedang Kao Cin Liong dan Kui Lok dari Pendekar Mata Dewa menusuk perut mereka.

Siangkoan Kun Hok terkejut ketika menyadari te- mannya banyak yang tewas dan hanya tersisa dua orang yang masih gigih menghadapi lawan-lawannya. Dengan licik, ia segera melompat dan melesat mening- galkan tempat pertempuran itu.

Dua temannya yang sedang gigih menghadapi Ong Lie dan Seyton terperanjat kaget melihat temannya lari dari pertempuran. Keterkejutan mereka segera diman- faatkan oleh Seyton dan Ong Lie untuk membabatkan pedangnya ke arah lawan.

Crokkk! “Aaakh!”

“Aaakh!” Dengan sadis pedang Ong Lie dan Seyton membabat leher lawan, hingga kepala dua lawan mereka terlepas dari badan masing-masing. Keduanya terhuyung se- bentar, lalu roboh.

Tiga Pendekar Mata Dewa, Tiga Pendekar Teluk Na- ga serta Ong Lie dan Seyton menghela napas ketika mata mereka menatap mayat-mayat lawan. Kemudian mereka memasukkan pedang ke sarungnya masing- masing sambil melangkah menghampiri Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan pertarungan mereka.

“Terima kasih atas bantuan kalian yang telah mem- bantuku dalam membasmi orang-orang sesat itu!” u- cap Bong Mini, menyambut kedatangan para pendekar gagah yang umurnya rata-rata sekitar tiga puluh ta- hun.

“Seharusnya kami yang mengucapkan terima kasih kepada Nona, karena telah menghindari kami dari ke- kejaman wanita sesat tadi!” kata Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga. Dia bertubuh sedang dengan ju- bah kuning tua. Rambut panjangnya digelung di atas kepala. Begitu pula dengan dua temannya.

“Apa yang dikatakan Saudara...!”

“Kok Thai Ki!” kata Ketua Pendekar Teluk Naga itu, memperkenalkan diri.

“Ya. Bila tidak ada Nona, tentu darah kami sudah habis diisap wanita iblis itu!” sela Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Mata Dewa. Lelaki itu berpakaian putih sete- ngah jubah dengan lukisan sepasang merpati memba- wa tiga butir padi di bagian dadanya. Begitu pula de- ngan kedua temannya.

Bong Mini tersenyum ramah menyambut ucapan Kao Cin Liong.

“Tak ada kelebihan yang kuperbuat. Apa yang kula- kukan tadi hanya satu kewajiban kita sebagai manusia yang harus hidup tolong-menolong!” kata Bong Mini merendah. Sepasang matanya berpijar-pijar meman- dang enam pemuda gagah yang berdiri di hadapannya. “Aku sangat kagum melihat pertempuran tadi!” puji Kok Thai Ki. “Sebagai gadis muda belia, kau sanggup menghadapi dan mengimbangi kesaktian wanita iblis

itu!”

Bong Mini tersipu-sipu mendapat pujian barusan. Tak ada yang bisa diucapkannya untuk menanggapi pujian Kok Thai Ki, kecuali tersenyum seraya menun- duk.

“Kalau boleh aku tahu, dari mana sebenarnya Sau- dara-saudara ini?” tanya Bong Mini, mengalihkan per- cakapan.

“Kami Pendekar Teluk Naga. Berasal dari negeri Jenghoa, sebelah barat Tiongkok!” ujar Kok Thai Ki. “Kedua temanku ini bernama Hong Tan Tosu dan Cu Han Bu!”

Dua teman Kok Thai Ki membungkuk hormat sam- bil tersenyum pada Bong Mini.

Bong Mini mengangguk-angguk sambil tersenyum. Kemudian dia memalingkan pandangannya pada tiga pendekar lain. Sebelum ia bertanya, salah seorang dari mereka telah mendahului dengan menyebutkan nama perkumpulannya.

“Kami Pendekar Mata Dewa berasal dari negeri Manchuria. Namaku Kao Cin Liong dan kedua teman- ku ini bernama Sin Hong dan Kui Lok!”

Mendengar nama negeri Manchuria, Bong Mini jadi tertegun. Ingatannya langsung terlempar pada negeri kelahirannya.

“Nama Nona sendiri siapa dan kenapa tiba-tiba ter- cenung?” Kao Cin Liong balik bertanya.

Bong Mini terhenyak dari ketertegunannya. Kemu- dian ia merubah sikap dengan mengembangkan se- nyum terpaksa. “Namaku Bong Mini!” sahut Bong Mini memperke- nalkan namanya. “Aku tertegun karena teringat negeri kelahiranku, Manchuria.”

“Nona Mini berasal dari negeri Manchuria?” tanya Kao Cin Liong ganti terkejut.

“Begitulah. Bagaimana keadaan rakyat di sana? Apakah mereka masih hidup menderita?” tanya Bong Mini.

“Nona Mini tahu juga penderitaan rakyat di sana?” Kao Cin Liong balik bertanya.

“Aku mengetahuinya dari seorang pendekar berna- ma Khian Liong!”

“Khian Liong?” tanya Tiga Pendekar Mata Dewa se- rentak. Sedangkan wajah mereka menunjukkan keter- kejutan.

“Hei, kenapa kalian terkejut seperti itu?” Bong Mini tak mengerti melihat perubahan wajah Tiga Pendekar Mata Dewa.

“Ketahuilah, Non Mini. Kedatangan kami ke sini ju- stru hendak mencari dia dan membunuhnya!” kata Kao Cin Liong, penuh tekanan.

“Apa salahnya?” tanya Bong Mini masih dalam ke- heranan.

“Dia orang kepercayaan Raja Liang Tok yang ditu- gaskan untuk memungut upeti rakyat Manchuria. Dua tahun yang lalu dia ditugaskan Raja Liang Tok untuk menangkap bekas panglimanya yang melarikan diri ke negeri ini dengan menjalankan siasat yang terencana. Dia berpura-pura meminta bantuan Kapten Kang un- tuk menyelamatkan penderitaan rakyat negeri Man- churia. Dengan demikian, pihak kerajaan akan mela- kukan penangkapan terhadap Kapten Kang. Karena sebagian prajurit kerajaan telah dikirim ke sini untuk melakukan penangkapan bila berhasil membawa Kap- ten Kang ke dalam kapal yang dibawa Khian Liong. Se- karang para prajurit kerajaan itu berada di markas Perguruan Topeng Hitam. Karena perguruan tersebut mempunyai hubungan dekat dengan Kerajaan Man- churia,” tutur Kao Cin Liong menjelaskan.

“Bangsat! Aku tidak menyangka kalau dia utusan dari pihak kerajaan!” geram Bong Mini. Matanya berki- lat-kilat menahan marah. Kemudian ia berpaling pada Seyton. “Rupanya benar apa yang kau laporkan tempo hari kalau Khian Liong bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!”

Seyton membalas ucapan itu dengan mengangguk- kan kepala. Begitu pula dengan Ong Lie.

“Tahukah kalian, siapa Kapten Kang itu sebenar- nya?” tanya Bong Mini kepada Tiga Pendekar Mata Dewa. “Dia adalah papaku sendiri yang sekarang me- rubah namanya dengan sebutan Bongkap!”

Tiga Pendekar Mata Dewa terkejut mendengar pen- jelasan Bong Mini. Ketiganya tidak mengira kalau gadis di hadapan mereka adalah putri seorang mantan Pang- lima Kerajaan Manchuria yang terkenal dengan julu- kan ‘Singa Perang’ itu. “Pantas kalau tadi ia begitu ga- gah berhadapan dengan Nyi Genit,” begitu pikir Tiga Pendekar Mata Dewa.

“Jika memang tahu kalau Khian Liong mata-mata Raja Manchuria dan bersekutu dengan Perguruan To- peng Hitam, kenapa baru sekarang kalian datang men- carinya?” tanya Bong Mini ingin tahu.

“Kami baru mengetahuinya saat Raja Manchuria mencari para pendekar untuk dikirim ke Perguruan Topeng Hitam dan membantu gerakannya di negeri ini. Oleh karena itu kami pura-pura bersedia bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam agar bisa memper- oleh biaya untuk menginjak negeri ini!” kata Kao Cin Liong menjelaskan.

Bong Mini mengangguk-angguk. “Begitu pula dengan kami. Tatkala mendengar Raja Manchuria mencari para pendekar, kami langsung menyatakan diri untuk bersekutu dengan pihaknya. Lalu aku dikirim ke sini!” celetuk Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga.

“Lalu sebenarnya apa tujuanmu datang ke negeri ini?” tanya Bong Mini.

“Sama dengan Tiga Pendekar Mata Dewa. Aku ingin membantu rakyat negeri ini dari kebiadaban orang- orang sesat seperti yang dilakukan Perguruan Topeng Hitam!” sahut Kok Thai Ki.

Bong Mini kembali mengangguk-angguk.

“Kalau begitu, sekarang kita berangkat menemui papaku. Kita bicarakan persoalan ini dengannya!” kata Bong Mini, mengajak para pendekar yang berpihak ke- padanya itu.

Dua perkumpulan tersebut langsung menyetujui. Dan tidak lama kemudian mereka pun berangkat me- nuju Kampung Dukuh, tempat tinggal Bongkap dan pengikutnya.

***

3

Waktu telah merangkak dalam denyut malam. Bu- lan tampak bagai di atas dahan, menampakkan dirinya setengah badan. Disemarakkan oleh kumpulan bin- tang di sekelilingnya, membuat alam tampak remang. Bentuk pepohonan dan rumah-rumah penduduk yang biasanya tak terlihat saat malam turun, kini tampak walau hanya samar-samar.

Meskipun malam itu terasa indah, para penduduk Kampung Dukuh tampaknya malas untuk keluar. Su- asana malam itu di Kampung Dukuh terasa sunyi dan mencekam. Terlihat dari jalan-jalan yang lengang.

Dalam suasana yang remang itu, dua puluh lima penunggang kuda memasuki Kampung Dukuh dari arah utara. Mereka adalah pasukan Perguruan Topeng Hitam yang mendapat perintah dari Kidarga untuk me- lakukan pembakaran rumah-rumah penduduk di seki- tar tempat tinggal Bongkap, sekaligus menangkap lela- ki itu baik hidup atau mati.

Sebelumnya Kidarga memang telah menyerahkan persoalan penangkapan Bongkap kepada Khian Liong. Berhubung cara kerja Khian Liong memakan waktu lama karena harus melakukan pendekatan secara baik-baik, maka ia pun memutuskan untuk menye- rang dan menangkap Bongkap secara terang-terangan. Dia sudah tidak ingin membiarkan Bongkap dan peng- ikutnya hidup lebih lama. Apalagi ambisinya untuk menguasai negeri Selat Malaka secara mutlak terus berkobar-kobar. Sehingga menghilangkan pikiran jer- nihnya untuk melakukan taktik jitu dalam upaya me- lakukan penangkapan terhadap Bongkap.

“Berhenti!” ucap Khian Liong tiba-tiba dengan suara setengah berbisik.

Mendengar aba-aba itu, teman-temannya serentak menghentikan langkah kuda mereka.

“Giwang,” ujar Khian Liong kepada pemimpin pasu- kan berkuda yang berada di sebelahnya. “Aku mengan- tarmu bersama pasukan sampai di sini. Selanjutnya, kau bersama pasukanmu yang akan melakukan pe- nyerangan terhadap Bongkap dan pengikutnya. Letak- nya seratus meter dari sini,” lanjut Khian Liong.

“Kau sendiri hendak ke mana?” tanya Giwang.

“Aku akan melakukan penangkapan terhadap Putri Bong Mini dengan caraku sendiri,” sahut Khian Liong menjelaskan. Giwang mengangguk-angguk.

“Baiklah kalau begitu. Semoga berhasil!” ucap Gi- wang.

“Selamat berjuang!” balas Khian Liong. Lalu ia me- macu kuda melewati jalan yang tadi dilaluinya.

“Lanjutkan perjalanan!” perintah Giwang kepada pasukan yang dipimpinnya. Seketika itu juga, derap kaki kuda mereka terdengar memecah kesunyian ma- lam. Namun baru lima puluh meter mereka memacu kuda, Giwang kembali memberi aba-aba kepada pasu- kannya untuk berhenti.

“Lima orang di antara kalian bergerak ke sana!” pe- rintah Giwang seraya menunjuk ke arah jajaran ru- mah-rumah penduduk. “Lakukan apa yang telah di- rencanakan!” lanjut Giwang.

Lima orang bertopeng hitam segera turun dari kuda. Tubuh mereka melesat ke arah rumah-rumah pendu- duk dengan membawa kaleng minyak yang sejak tadi dipersiapkan di atas punggung kuda. Sedangkan dua puluh orang lain tetap duduk di atas punggung kuda, menunggu perintah selanjutnya.

Malam semakin hening. Suara jangkrik ramai ber- sahutan, seolah bernyanyi tiada henti.

Kelima orang bertopeng hitam yang menuju rumah- rumah penduduk tadi telah selesai menyiramkan mi- nyak ke sekeliling rumah di sekitar tempat itu. Selan- jutnya, mereka menyalakan api pada tempat yang te- lah diberi minyak. Dalam sekejap, terlihatlah kobaran api yang menjilat-jilat rumah penduduk. Kemudian ke- lima orang tadi segera kembali ke tempat di mana Gi- wang dan teman-temannya menyaksikan kobaran api dari jarak lima puluh meter.

“Api! Api! Kebakaran!”

Teriakan nyaring penduduk terdengar. Mereka ba- ngun dari tidurnya ketika merasakan udara panas di sekitar tempat mereka. Ketika melihat api, mereka pun segera berteriak-teriak sambil menyelamatkan diri ma- sing-masing. Ada pula yang berlari keluar sambil menggendong anak mereka yang masih kecil. Sedang- kan sebagian penduduk lain ada yang mati tertimpa reruntuhan rumah dan terbakar api saat berusaha menyelamatkan hartanya.

Bongkap dan pengikutnya terbangun pula dari ti- durnya. Kemudian mereka meloncat ke luar saat meli- hat api berkobar di sekeliling tempat tinggal mereka.

“Seraaang!” tiba-tiba Giwang memberi perintah pada pasukannya. Pasukan berkuda yang terdiri dari orang- orang bertopeng hitam itu segera bergerak ke tengah hiruk-pikuk warga yang sedang menyelamatkan diri.

“Sang Piao, selamatkan Ratih dan Thong Mey dari tempat ini!” perintah Bongkap saat melihat pasukan berkuda mengarah kepadanya.

Tanpa berkata lagi, Sang Piao segera naik ke pung- gung kuda. Diikuti oleh Thong Mey dan Ratih Purbasa- ri. Mereka turut naik ke punggung kuda yang ditung- gangi Sang Piao. Dan setelah tangan mereka saling berpegangan, Sang Piao segera memacu kudanya de- ngan cepat.

Sementara itu, Bongkap dan Ashiong serta empat orang Perguruan Topeng Hitam yang telah sadar dan menjadi pengikut Bongkap (baca episode 4: ‘Iblis Pulau Neraka’), sibuk menghadapi serangan dua puluh lima orang berkuda. Sehingga malam di Kampung Dukuh menjadi penuh dengan ringkik kuda, jerit kematian, darah, dan kobaran api yang membakar seluruh ru- mah penduduk.

Trang trang trang! Bret!

“Aaakh!”

Denting pedang berbaur dengan pekik kematian yang susul-menyusul.

Para penduduk yang sebelumnya tunggang-lang- gang menyelamatkan diri dan barang-barangnya, turut membantu pihak Bongkap melawan pasukan Pergu- ruan Topeng Hitam. Dengan parang maupun kayu pe- mukul, mereka menyerang membabi-buta. Penuh api kebencian dan kemarahan yang meledak-ledak.

Trang trang trang!

Benturan senjata yang datang dari arah berlawanan menimbulkan pijaran api yang cukup terang. Kemu- dian disusul dengan teriakan-teriakan kematian dari kedua belah pihak.

Sementara itu, dengan ganas Bongkap memutar- mutar pedang lewat jurus ‘Pedang Samber Nyawa’. Pe- dangnya begitu cepat berputar bagai baling-baling kapal. Saking cepatnya, pedang itu hanya meninggal- kan cahaya dan desing angin.

Sing sing singngng! “Aaakh!”

“Aaakh!”

“Aaakh!”

Tiga orang bertopeng memekik tertahan ketika pe- dang Bongkap yang berputar itu membabat mereka. Dalam sekejap, ketiganya jatuh dari punggung kuda dan tak dapat bangkit kembali.

“Hiaaat...!”

Sebuah lengkingan panjang tiba-tiba datang dari kejauhan. Disusul dengan derap kaki kuda menuju tempat pertempuran.

Sing sing sing...!

Pedang panjang yang diputar oleh penunggang kuda itu menimbulkan suara desingan yang menggidikkan.

Sret sret sret! “Aaakh!”

“Aaakh!” “Aaakh!”

Pekik kematian kembali terdengar dari mulut tiga orang bertopeng. Disusul dengan robohnya tubuh keti- ga orang itu dari punggung kuda. Mereka mati di ujung pedang Sang Piao yang baru datang ke tengah pertempuran setelah membawa Ratih Purbasari dan Thong Mey ke tempat yang lebih aman. Dan ketika kembali, dia langsung memacu kuda ke tengah per- tempuran seraya memutar-mutar pedangnya di atas kepala dan langsung menghujam tiga orang bertopeng dengan ganas.

Melihat kedatangan tiba-tiba Sang Piao dengan per- mainan jurus ‘Pedang Samber Nyawa’ yang demikian dahsyat, orang-orang bertopeng tampak terkejut hing- ga serangan mereka menjadi tak karuan. Keadaan itu dimanfaatkan oleh Bongkap, Ashiong, dan pengikut lainnya untuk mendesak mereka dengan gencar.

Wut wut wuttt...! Sreset Bret!

Angin yang ditimbulkan senjata pedang yang di- arahkan ke tubuh lawan, terdengar mendesing di seki- tar tempat pertempuran. Kemudian disusul dengan ro- beknya perut dan leher lawan.

“Aaakh!”

Lima orang dari pasukan bertopeng terlempar dari punggung kuda dengan perut dan leher bersimbah da- rah, terkena sabetan pedang atau parang yang diayun- kan lawan ke arahnya. Belum lagi yang mengalami lu- ka-luka.

Melihat pasukannya banyak yang mati dan terluka, Giwang yang sejak tadi hanya menonton dari pung- gung kuda segera menggebah kudanya untuk maju ke depan dengan pedang di tangan. Dia langsung menye- rang Bongkap dengan jurus ‘Pedang Iblis Mencabut Nyawa’. Bongkap mengetahui serangan itu. Dia langsung menyambut dengan jurus ‘Pedang Samber Nyawa’.

Trang trang trangngng...!

Benturan senjata mereka menimbulkan pijaran te- rang. Giwang membalikkan kudanya dan menyerang Bongkap kembali.

Wut! Trang!

Senjata mereka kembali bertemu. Tetapi kali ini Gi- wang hampir terjatuh dari punggung kudanya, karena tenaga Bongkap ternyata lebih besar. Dia tidak tahu kalau setiap menyerang dan menangkis, Bongkap sela- lu menyertakan ilmu andalannya yang disebut ilmu ‘Pembangkit Tenaga’.

“Masih muda tenagamu sudah payah!” ejek Bong- kap sambil menangkis serangan lawan.

“Monyet buntung! Rasakan seranganku!” usai ber- kata begitu, ia langsung mengeluarkan cambuk sepan- jang tiga meter dari balik bajunya, lalu memecut Bong- kap.

Ctar ctar ctar!

Serangan cambuk Giwang begitu dahsyat diarahkan ke tubuh lawan, hingga Bongkap terpaksa menghinda- ri serangan itu dengan cara bersalto dan bergulingan di tanah.

“Ha ha ha...! Mampuslah kau hari ini, Bongkap!” Gi- wang tertawa terbahak melihat lawan kewalahan menghindari serangan dahsyat cambuknya. Serangan itu terus beruntun tiada henti, karena Giwang mengi- tari tubuh lawannya di atas kuda tunggangannya.

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba Bongkap yang bergulingan di atas tanah melakukan terjangan ke arah Giwang. Ditubruknya lawan hingga terjungkal.

Desss! “Aaakh!” Tubuh Giwang terlempar dari punggung kuda. Se- dangkan cemetinya terlepas pula dari tangannya ka- rena kaget mendapat serangan yang tak terduga itu.

Bongkap yang sudah kalap tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia langsung menghujamkan tenda- ngan dahsyatnya lewat jurus kungfu ‘Tanpa Baya- ngan’.

“Hiaaat...!”

Duk duk dukkk!

Tendangan kaki Bongkap begitu cepat mendarat di wajah Giwang yang sedang berusaha bangkit. Tatkala mendapat tendangan itu, ia kembali terpental ke bela- kang.

“Aaakh...!” Bukkk!

Giwang jatuh dengan mulut berlumur darah. Dan saat itu pula Bongkap mengejar dan menjejakkan kaki- nya ke dada lawan dengan keras.

“Hiaaat!”

“Hegh!”

Giwang mengeluarkan suara tertahan. Bersamaan dengan itu tubuhnya terkulai tak berdaya dengan mu- lut dipenuhi darah dan mata mendelik.

Melihat pemimpinnya tewas di tangan Bongkap, tiga orang Perguruan Topeng Hitam yang masih hidup langsung menjadi gentar. Ketiganya berusaha melari- kan diri. Namun dua di antara mereka berhasil ter- tangkap penduduk yang turut bertempur. Kemudian keduanya dihajar beramai-ramai dengan kayu pemu- kul, hingga mereka mati dengan bentuk wajah yang tak jelas lagi. Begitulah keadaan masyarakat yang su- dah dibakar api amarah. Mereka bisa lebih buas dari harimau. Apalagi jika teringat pada tempat tinggal me- reka yang habis dibakar oleh orang-orang bertopeng tadi. Setelah puas menghabisi nyawa Ketua Pasukan Per- guruan Topeng Hitam, Bongkap melangkah mengham- piri kerumunan penduduk yang terlihat bingung. Me- reka bingung karena tidak tahu lagi di mana harus tinggal. Karena rumah mereka telah habis terbakar. Yang tersisa hanya potongan-potongan arang di antara rambahan kepulan asap tebal.

Bongkap terdiam beberapa saat. Sepasang mata si- pitnya memandang para penduduk satu persatu. Ha- tinya terenyuh melihat wajah-wajah penduduk yang demikian memelas seperti menggantungkan harapan kepadanya.

“Apa rencana kalian selanjutnya?” tanya Bongkap dengan suara bergetar karena menahan haru. Ia me- mang terkenal sadis terhadap lawan dan menjadi ‘Sin- ga Perang’ dalam pertempuran, namun jika melihat wajah-wajah derita seperti itu hatinya langsung tersen- tuh.

“Kami tidak tahu, Tuan. Untuk tidur malam ini pun kami tidak tahu entah di mana!” sahut seorang pendu- duk bertubuh tinggi kurus serta wajah pipih. Umurnya sekitar lima puluh tahun. Dia dan penduduk lainnya tidak tahu kalau orang di hadapannya adalah rajanya sendiri. Karena selama ini, Bongkap memang selalu menyamar sebagai penduduk biasa agar dapat akrab dan leluasa bercakap-cakap dengan para penduduk tanpa merasa risih. Baik bagi diri Bongkap maupun penduduk yang diajak bicara.

Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Bongkap teringat akan sahabatnya, Prabu Jalatunda yang tinggal di De- sa Padomorang. Pikirnya, “Hanya ke tempat Prabu Ja- latunda ia meminta perlindungan untuk penduduk yang kehilangan tempat tinggalnya itu.”

“Apakah kalian ingin ikut serta dengan kami?” ta- nya Bongkap kepada penduduk yang memperlihatkan wajah duka itu.

“Ke mana, Tuan?” tanya lelaki tua tadi.

“Ke Desa Padomorang. Di sana, selain aku punya sahabat seorang saudagar kaya, tempatnya juga agak aman dari tindakan orang-orang Perguruan Topeng Hi- tam,” kata Bongkap menjelaskan.

Untuk beberapa saat para penduduk terdiam. Me- reka tampak saling berpandangan satu dengan yang lainnya.

“Kami setuju, Tuan. Daripada hidup telantar tanpa tempat tinggal dan harta benda,” sahut lelaki tua tadi setelah mendapat kesepakatan penduduk lain.

“Kalau begitu, malam ini juga kita berangkat ke sa- na. Dan untuk mempercepat perjalan, kita gunakan kuda-kuda milik orang-orang bertopeng itu,” kata Bongkap. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah Sang Piao. “Di mana Ratih dan Thong Mey kau tem- patkan?”

“Tidak jauh dari sini. Kita bisa menjemputnya sam- bil berangkat ke Desa Padomorang!” sahut Sang Piao.

Bongkap mengangguk.

“Ayolah kita berangkat sekarang!” ajak Bongkap la- gi. Kemudian ia melangkah menuju dua puluh ekor kuda milik pasukan Perguruan Topeng Hitam. Begitu pula dengan yang lain. Mereka masing-masing naik ke atas punggung kuda. Selanjutnya, mereka segera me- narik tali kekang kuda, memacu menembus kegelapan malam.

***

Waktu terus berjalan tanpa terasa.

Bulan purnama di cakrawala masih tampak. Namun cahayanya telah pias. Pertanda kalau waktu telah menjelang pagi.

Dalam suasana pagi yang masih diselimuti kabut, delapan lelaki muda dan seorang wanita cantik berpa- kaian merah ketat, tampak berjalan gagah memasuki Kampung Dukuh dari arah timur. Wajah mereka me- nampakkan keletihan yang amat sangat. Menunjukkan kalau mereka telah melakukan perjalanan yang sangat jauh.

Sembilan orang itu tidak lain Putri Bong Mini dan pengikutnya, Ong Lie, Seyton, Pendekar Mata Dewa, dan Pendekar Teluk Naga. Sejak seharian kemarin me- reka melakukan perjalanan dari Kota Girik menuju Kampung Dukuh. Tujuannya tidak lain hendak berte- mu dengan Bongkap.

Bong Mini dan delapan pendekar lain terus melang- kah tanpa menghiraukan serangan rasa letih. “Biarlah mereka beristirahat bila sudah sampai di rumah Ratih Purbasari yang dijadikan tempat tinggal sementara Bongkap dan pengikutnya,” pikir Bong Mini. Namun betapa terkejutnya Bong Mini dan kedelapan pendekar lain ketika melihat rumah yang dituju telah berubah menjadi arang bersama rumah-rumah penduduk lain di sekitar tempat itu.

“Papa!” keluh Bong Mini sambil berlari mendekati reruntuhan rumah yang dulu dijadikan tempat tinggal papanya. Di sana ia termangu memandang reruntuhan rumahnya yang masih meninggalkan bara api. Seakan- akan ia tidak percaya terhadap penglihatannya sendiri. Begitu pula dengan delapan pendekar lain. Mereka hanya dapat berdiri terpaku tanpa tahu apa yang ha- rus diperbuat.

“Jahanam! Orang-orang Perguruan Topeng Hitam benar-benar iblis terkutuk!” maki Bong Mini dengan mata berbinar-binar ketika melihat puluhan orang ber- topeng tergeletak dengan tubuh bermandi darah.

“Pasti semalam mereka membakar rumah pendu- duk kampung ini!” geram Bong Mini sambil menga- lihkan pandangan ke arah mayat-mayat penduduk yang tak berdosa. Ditelitinya mayat-mayat itu satu persatu. Khawatir ada pengikut papanya yang terbu- nuh dalam pertempuran itu. Namun setelah semua mayat diperhatikan, ia tidak mendapatkan seorang mayat pun dari pihak papanya.

“Adakah dari mayat-mayat ini yang kau kenal?” tanya Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga.

“Mereka adalah penduduk dan orang-orang Pergu- ruan Topeng Hitam,” sahut Bong Mini.

“Pengikut papamu tak ada yang tewas?” tanya Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Mata Dewa.

Bong Mini menggeleng lemah.

“Rupanya papaku dan pengikut lainnya pergi ke tempat lain setelah berhasil menumpas iblis-iblis jaha- nam ini!” kata Bong Mini setengah geram.

“Kira-kira ke mana papamu dan pengikutnya per- gi?” tanya Kok Thai Ki.

“Entahlah! Tapi menurut perkiraanku pasti ke Desa Padomorang!”

“Ke tempat siapa?” tanya Kok Thai Ki lagi.

“Ke rumah Prabu Jalatunda, seorang pengusaha ka- ya di tempat itu!” sahut Bong Mini menjelaskan.

“Kalau begitu kita segera menyusul ke sana. Kita harus secepatnya menyusun kekuatan untuk menum- pas orang-orang Perguruan Topeng Hitam!” usul Kao Cin Liong.

“Memang itu yang menjadi rencana kita. Ayo be- rangkat!” timpal Bong Mini. Dan tanpa membuang waktu lagi mereka segera melangkah ke arah selatan, menuju Desa Padomorang, di mana Prabu Jalatunda dan istrinya berada.

*** 4

Kidarga berjalan mondar-mandir di sekitar halaman markas Perguruan Topeng Hitam di Bukit Setan yang dikelilingi benteng setinggi lima meter. Pikirannya te- rus tertuju pada istrinya, Nyi Genit yang belum juga kembali.

“Ke mana lagi istriku pergi hingga sampai saat ini belum juga kembali? Apakah di sana ia mendapat tan- tangan?” pikirannya bertanya.

“Ah, tidak mungkin! Kalaupun ada, ia pasti dapat mengatasinya dengan ilmu kesaktian yang dimilikinya. Lalu kenapa dia pergi begitu lama?” tanya hatinya lagi- Di saat ia asyik bermain-main dengan pikirannya, tiba-tiba muncul seorang anak buahnya yang berhasil meloloskan diri dari amukan penduduk Kampung Du-

kuh.

Kidarga menoleh sekilas pada anak buahnya itu, la- lu kembali melangkah perlahan sambil bertanya.

“Sudah selesai menjalankan tugas, Gembil?” “Sudah, Ketua!” sahut Gembil seraya berjalan ta-

kut-takut mengikuti langkah pemimpinnya.

“Bagus!” ucap Kidarga. Dihentikan langkahnya un- tuk memandang Gembil. “Giwang mana?”

Gembil terdiam. Wajahnya menunduk takut-takut. “Kenapa diam? Ada apa dengan Giwang?” tanya Ki-

darga seraya menatap tajam anak buahnya.

“Giwang..., tewas!” sahut Gembil terbata. Tanpa be- rani mengangkat wajahnya.

Kidarga terperanjat mendengar keterangan itu. Di- pandangnya Gembil dengan sorot mata mengandung kemarahan.

“Kalau kau telah melaksanakan tugas, kenapa Gi- wang bisa mati?” tanya Kidarga dengan amarah me- luap-luap.

“Kami memang sudah membakar rumah-rumah penduduk Kampung Dukuh, termasuk rumah Bong- kap dan pengikutnya. Namun pada saat penyerangan, Bongkap bersama pengikutnya melakukan perlawanan gigih. Bahkan tanpa diduga, para penduduk pun mem- bantu menyerang pasukan kami!” sahut Gembil menje- laskan.

“Lalu bagaimana dengan Bongkap dan pasukan- nya?”

“Mereka berhasil memenangkan pertempuran itu!” jelas Gembil.

“Goblok!” bentak Kidarga dengan suara meninggi.

Membuat tubuh Gembil tersentak kaget.

“Tak ada gunanya kalian membakar habis rumah penduduk Kampung Dukuh jika tidak berhasil mem- bawa kepala Bongkap ke sini! Kau tahu? Nyawa Bong- kap lebih berarti dibanding seratus nyawa penduduk!” lanjut Kidarga dengan sorot mata berkilat-kilat.

Di saat kemarahannya memuncak, tiba-tiba muncul Bareh, salah seorang penjaga pintu gerbang.

“Lapor, Ketua!” kata Bareh.

“Bicaralah!” ujar Kidarga dalam kemarahan.

“Ada seorang lelaki hendak bertemu dengan Ketua!” “Siapa dia?”

“Hamba lupa menanyakan namanya. Tapi dilihat dari pakaiannya, tampaknya dia seorang pengemis!” sahut Bareh.

Kidarga tercenung sesaat, mengira-ngira maksud kedatangan pengemis yang tak dikenalnya itu.

“Suruh dia masuk!” perintah Kidarga akhirnya. Bareh segera meninggalkan tempat itu untuk men-

jemput pengemis yang sedang menunggu di pintu ger- bang. Tidak lama kemudian, Bareh sudah kembali ber- sama lelaki berpakaian pengemis. Dialah Siangkoan Kun Hok, Ketua Perkumpulan Pengemis Sakti yang berhasil melarikan diri saat bertempur dengan pengi- kut Bong Mini di Kota Girik.

Beberapa saat pengemis itu diam terpaku melihat orang-orang di hadapannya.

“Kalau tidak salah duga, apakah Anda yang berna- ma Kidarga?” tanya Siangkoan Kun Hok langsung me- nebak. Karena dari tiga lelaki yang berdiri di hadapan- nya, hanya Kidarga yang terlihat berwibawa. Berbeda dengan dua orang lain yang terlihat seperti ayam kehu- janan.

“Dugaanmu benar. Lalu kau sendiri siapa?” tanya Kidarga. Ditatapnya pengemis itu.

Pengemis yang menyebarkan bau busuk dan beru- mur sekitar enam puluh tahun itu tertawa terkekeh. Giginya yang kuning kehitaman terlihat jelas, diiringi oleh hawa kurang sedap yang keluar dari mulutnya.

“Senang sekali aku dapat berjumpa dengan seorang tokoh perguruan yang namanya telah menjadi buah bibir para pendekar di seluruh negeri. Bahkan dikenal oleh para pendekar dari negeri lain seperti negeri Man- churia, tempat tinggalku!”

Kidarga diam menatap pengemis yang tengah meng- oceh itu.

“Kau bicara bertele-tele tanpa menyebutkan siapa namamu!” ujar Kidarga agak kesal.

“O, ya. Maafkan sikapku jika telah membuatmu jengkel. Tapi perlu kau ketahui kalau sikapku seperti ini dapat menghilangkan rasa ramah dan jengkel da- lam dirimu. Makanya, walaupun aku sudah tua, tapi wajahku masih terlihat muda. Hanya saja penuh di- hinggapi debu. Tapi itulah ciri khasku,” celoteh pe- ngemis busuk itu sambil tersenyum-senyum.

Sebenarnya Kidarga sangat muak melihat tingkah pengemis yang menyebarkan bau busuk dari pakai- annya itu. Namun karena ingin mengetahui maksud tujuannya, maka ia mencoba untuk bersabar.

“Sebaiknya langsung saja sebutkan namamu!” pinta Kidarga, berusaha meredam kemarahannya.

“Hm, ya. Hampir lupa,” kata pengemis itu seraya merubah sikapnya agak serius setelah melihat kema- rahan memancar dari mata dan wajah Kidarga. “Na- maku Siangkoan Kun Hok!” tambah pengemis itu, memperkenalkan diri.

“Hm..., terus terang saja. Sudah banyak kukenal orang-orang gagah di dunia persilatan. Namun belum pernah aku mengenal namamu!” ucap Kidarga. Ke- ningnya berkernyit, sedangkan sepasang matanya tak henti-hentinya memandang Siangkoan Kun Hok.

“Tentu saja, Ketua. Karena aku datang dari negeri jauh. Tepatnya dari Desa Cao. Aku diutus oleh Thiang Tok, Raja Manchuria untuk datang ke negeri ini dan bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!” sahut Siangkoan Kun Hok menjelaskan.

Kidarga mengangguk-angguk. Wajahnya tidak me- nunjukkan keterkejutan sedikit pun mendengar pe- ngemis itu utusan Raja Manchuria. Karena sebelum- nya dia telah mendapat kabar kalau Thiang Tok akan mengirimkan para pendekar dan prajurit kerajaan un- tuk membantu gerakannya.

“Baiklah, kuterima kedatanganmu di perguruan ini. Tapi sebelumnya, aku ingin mengetahui tentang ting- kat kepandaianmu,” kata Kidarga.

“Memang begitu sebaiknya agar tidak meragukan Ketua!” balas pengemis itu. Kemudian dia bersama Ki- darga melangkah menuju ruang latihan silat.

Dalam perjalanannya menuju ruang latihan silat, Siangkoan Kun Hok tampak tersenyum-senyum. Dia berpikir, “Untuk bisa diterima di perguruan itu ia ha- rus menunjukkan kepandaiannya sebaik mungkin. Termasuk ujian kesetiaan dan kesungguhan hatinya untuk bekerjasama dengan Kidarga.”

Sampai di ruang latihan, Kidarga langsung mem- perkenalkan Siangkoan Kun Hok dengan Baladewa.

“Saudara Siangkoan Kun Hok. Inilah Baladewa yang akan menguji kepandaianmu!” ucap Kidarga.

Siangkoan Kun Hok tersenyum seraya mengulurkan tangannya. Baladewa menyambut uluran tangan itu dengan bibir tersenyum serta memandang dengan so- rot mata yang tajam pada pengemis busuk yang berdiri di hadapannya.

Dalam sunggingan senyumnya, diam-diam Siang- koan Kun Hok berkeyakinan kalau dia pasti akan da- pat mengalahkan pemuda itu dalam beberapa gebra- kan saja. Keyakinannya tumbuh karena ia melihat tampang Baladewa yang masih muda, tampak mentah dalam dunia persilatan.

“Sudah siap, Saudara Siangkoan Kun Hok?” tanya Baladewa.

Siangkoan Kun Hok mengangguk sambil tersenyum. Kemudian keduanya melangkah ke ruang tengah. Tempat di mana mereka akan bertanding.

Setelah dinyatakan lulus dalam uji coba dengan Khian Liong dan diangkat menjadi pembantu Kidarga, Baladewa pun diangkat pula menggantikan kedudukan Khian Liong sebagai tenaga penguji para pendekar yang hendak bergabung dengan perguruan itu. Se- dangkan Khian Liong hanya mendapat satu tugas un- tuk memata-matai dan menangkap Bongkap serta Bong Mini.

Baladewa dan Siangkoan Kun Hok telah berdiri ber- hadapan dengan gagah. Disaksikan oleh Kidarga dan beberapa pendekar lain yang baru memasuki ruangan. Di antaranya terlihat pula Tiga Pendekar Siluman Ular Belang. Mereka datang ke tempat tersebut setelah mendapat kabar dari Gembil bahwa ada seorang pen- gemis yang hendak diuji untuk bersekutu dengan Per- guruan Topeng Hitam.

“Mulailah menyerangku, Siangkoan Kun Hok!” tan- tang Baladewa dengan sepasang mata mencorong ta- jam ke arah lawan tanding.

“Baiklah kalau itu permintaanmu!” sahut Siangkoan Kun Hok. Dia siap melakukan serangan ke arah Bala- dewa.

“Hiaaat...!” Wesss!

Tubuh Siangkoan Kun Hok berkelebat hingga me- ngeluarkan suara nyaring dengan melompat ke arah lawan setinggi dua meter. Sedangkan kedua tangannya melakukan gerakan menotok ke bahu Baladewa.

“Uts!”

Baladewa membungkukkan badannya ke depan un- tuk menghindari serangan itu. Disusul dengan gerakan tangan kanan untuk menangkis tangan lawan.

“Huppp!”

Siangkoan Kun Hok menarik tangannya kembali. Ia membatalkan niatnya untuk menotok tubuh lawan ke- tika melihat Baladewa melakukan gerakan menangkis. Kemudian tubuhnya melompat mundur sejauh dua tombak dan kembali berdiri gagah menghadap Bala- dewa.

“Hiaaat!”

Kali ini giliran Baladewa melakukan serangan de- ngan jurus ‘Tendangan Geledek’ yang menyambar wa- jah lawannya.

“Eittt!”

Siangkoan Kun Hok memiringkan tubuhnya ke samping. Namun dengan cepat Baladewa memutar tu- buhnya untuk menangkap kaki lawan yang belum sempat mengatur kuda-kuda kembali. “Uts!”

Wut wut wut!

Siangkoan Kun Hok segera melompat dan bersalto menghindari serangan yang mengandung hawa panas dari kedua tangan Baladewa saat melesat di dekat ke- dua kakinya. Itulah serangan ‘Tangan Beracun’ yang dimiliki Baladewa saat berguru pada Kanjeng Rahmat Suci. 

“Hiyaaat...!” Wet wet wet!

Baladewa kembali melompat dengan kecepatan tinggi ke arah lawan. Disertai tendangan kaki dan pu- kulan berantai, membuat lawan tandingnya terdesak tanpa dapat melakukan serangan balasan.

Dalam keadaan terdesak seperti itu, Siangkoan Kun Hok tiba-tiba menjatuhkan diri. Dilanjutkan dengan mengguling-gulingkan tubuhnya di lantai. Tatkala tu- buhnya meliuk-liuk, ia melakukan serangan pada Ba- ladewa. Itulah jurus ‘Ular Sanca Mematuk Mangsa’ yang dimiliki Siangkoan Kun Hok.

Wes wes wesss!

Suara berdesis keluar dari mulut Siangkoan Kun Hok berbareng dengan serangan gencar ke tubuh la- wan.

Kidarga dan para pendekar sesat lainnya berseru kagum menyaksikan pertandingan itu.

“Uuuh...!”

Berkali-kali seruan kagum terdengar memenuhi ruangan latihan silat. Karena pertandingan kali ini memang benar-benar menarik dan mengagumkan.

Dalam kekagumannya melihat pertandingan itu, di- am-diam Kidarga memberikan penilaian kepada Siang- koan Kun Hok. Bila dalam uji kepandaian silat itu Ba- ladewa sukar menaklukkan lawannya, lalu bagaimana nanti jika berhadapan dengan Bongkap, Bong Mini, dan musuh lainnya. Pasti sangat seru dan dia yakin Siangkoan Kun Hok dapat unggul.

“Cukup!” tiba-tiba Kidarga berseru menghentikan pertandingan yang sedang berlangsung seru itu. Kedua orang yang tengah bertempur langsung menghentikan gerakan dan menghormat kepada Kidarga.

“Bagaimana, Ketua? Apakah sudah puas?” tanya Siangkoan Kun Hok.

“Ya. Aku sudah puas. Dan aku langsung menyata- kan, kau berhak menjadi pengikutku!” sahut Kidarga dengan wajah yang masih menunjukkan kekaguman.

“Terima kasih, Ketua!” ucap Siangkoan Kun Hok gembira.

“Sekarang, marilah kita ke ruang tamu untuk me- nikmati hidangan bersama-sama sebagai tanda ke- gembiraan karena telah mendapatkan pendekar baru yang tangguh!” ucap Kidarga. Lalu kakinya melangkah menuju ruang tamu, diikuti oleh para pendekar lain.

***

Kidarga dan para pendekar lain duduk di ruang ta- mu. Mereka tampak bercakap-cakap sambil menikmati minuman anggur dan buah-buahan yang telah dis- ediakan oleh dua pelayan cantik.

“Ada yang harus kau ketahui mengenai musuh kita sebelum kalian menjalankan tugas!” ucap Kidarga membuka percakapan.

“Apa itu, Ketua?” tanya Siangkoan Kun Hok ingin segera tahu.

“Untuk menghadapi musuh yang merongrong per- guruan, kalian harus hati-hati dan jangan menganggap remeh. Sebab Bongkap dan Bong Mini merupakan ba- pak dan anak yang sangat lihai dalam hal kepandaian silat!” lanjut Kidarga menjelaskan.

Baladewa amat terkejut mendengar nama Bong Mini disebutkan. Karena nama gadis yang disebutkan Ki- darga tadi tidak lain kekasihnya sendiri. Namun demi- kian ia cepat-cepat merubah sikapnya kembali agar ke- terkejutannya tidak terbaca oleh Kidarga atau para pendekar yang hadir di situ.

“Dua pendekar inilah yang menjadi perhitungan kita sekarang ini. Karena tidak mustahil mereka mengum- pulkan para pendekar juga untuk bersekutu!” lanjut Kidarga.

Para pendekar yang hadir di situ tampak mengang- guk-angguk paham.

“Tadi aku mendapat kabar dari Gembil bahwa dua puluh lima orang yang kuutus untuk membakar dan menangkap Bongkap di Kampung Dukuh telah tewas di tangan Bongkap dan pengikutnya. Termasuk Gi- wang, pemimpin pasukan yang selama ini kubangga- kan. Ini membuktikan pada kita kalau Bongkap me- mang bukan orang sembarangan. Untuk menyingkir- kannya kita harus mengerahkan pendekar-pendekar tangguh yang kepandaiannya melebihi Giwang,” kem- bali Kidarga berkata.

Para pendekar yang hadir di ruangan itu masih di- am, menunggu kata-kata Kidarga selanjutnya.

“Namun yang menjadi beban pikiranku saat ini ada- lah istriku sendiri. Sampai hari ini ia belum juga kem- bali dari Desa Larangan. Padahal kepergiannya sudah lewat dari batas waktu yang telah ditentukan.”

Siangkoan Kun Hok terkejut. Benaknya tiba-tiba te- ringat pada Nyi Genit yang bertarung dengan seorang gadis mungil di halaman Rumah Makan Hin-Hin di Ko- ta Girik.

“Pasti wanita bernama Nyi Genit itu adalah istri Ki- darga,” pikir Siangkoan Kun Hok yakin. Sebab pada saat bertarung dengan gadis bertubuh mungil, Nyi Ge- nit menyebut dirinya sebagai Ketua Perguruan Topeng Hitam. Namun ia sendiri tidak berani menceritakannya kepada Kidarga. Kalau hal itu diungkapkan, berarti te- lah membongkar kelemahannya sendiri karena tidak mampu membantu Nyi Genit saat bertempur.

“Besok, aku minta kau dan beberapa orang pasu- kan pilihanmu pergi mencari jejak istriku. Aku yakin dia sudah pulang dari Desa Larangan!” kata Kidarga, memerintah Siangkoan Kun Hok.

Siangkoan Kun Hok terkejut mendapat perintah itu. “Kau sanggup?”

“Tentu. Tentu, Ketua!” sahut Siangkoan Kun Hok cepat, menutupi keterkejutannya. “Tapi ke mana harus mencarinya, Ketua?” lanjut Siangkoan Kun Hok pura- pura.

“Carilah di kampung-kampung sekitar negeri ini. Mungkin istriku mendapat tantangan dari orang-orang yang mengikuti jejak Bongkap dan Bong Mini!” jawab Kidarga.

“Baiklah, Ketua! Besok pagi akan kulaksanakan!” sahut Siangkoan Kun Hok.

“Kalau begitu, pertemuan hari ini sudah cukup. Kita tinggal menunggu kedatangan para prajurit kerajaan yang kabarnya satu minggu lagi akan sampai di sini. Setelah itu kita langsung bergerak ke kampung-kam- pung untuk mencari Bongkap dan putrinya!” kata Ki- darga. Lalu ia melangkah menuju kamarnya. Sedang- kan para pendekar melangkah ke tempat yang mereka sukai.

***

5

Matahari pagi bersinar cerah. Menyegarkan kembali pepohonan yang tumbuh di sekitar Desa Padomorang, setelah semalaman suntuk didera kabut dingin yang menyelimuti.

Dalam suasana pagi yang cerah itu, Bong Mini dan delapan pendekar lain telah sampai di halaman rumah Prabu Jalatunda, di Desa Padomorang. Ketika mereka hendak memasuki pintu gerbang, empat penjaga se- gera datang menghadang.

“Siapa Nona dan hendak bertemu dengan siapa?” tanya seorang penjaga pintu gerbang dengan sorot ma- ta penuh selidik. Lelaki itu berpakaian silat putih- putih, dilengkapi kain batik sebatas lutut yang diling- karkan di pinggangnya.

Bong Mini tercenung beberapa saat. Ia tidak me- nyangka jika rumah Bibi Ningrum atau Prabu Jalatun- da telah begitu jauh berbeda. Kalau dulu setiap tamu bebas masuk dan keluar tanpa penjagaan ketat, kini malah sebaliknya. Pada setiap pintu masuk, berdiri pa- ra penjaga pintu. Lengkap dengan tombak dan ta- mengnya.

“Apakah Bibi Ningrum dan Paman Prabu sudah pindah dan diganti oleh penghuni baru?” pikir Bong Mini. Sebelum ia berpikir lebih lanjut, pemimpin pen- jaga pintu gerbang tadi kembali mengajukan pertanya- an.

“Siapakah Nona dan ada keperluan apa?” tanya penjaga pintu gerbang itu kembali.

“Namaku Bong Mini. Aku hendak bertemu dengan Bibi Ningrum,” sahut Bong Mini ramah.

Mendengar nama Bong Mini, empat penjaga pintu gerbang itu terkejut bukan main. Kemudian mereka serentak membungkuk hormat.

Bukanlah hal yang mengherankan jika mereka mendadak bersikap hormat kepada Bong Mini. Karena sedikit banyak mereka sudah mendengar tentang se- pak terjang gadis itu dalam menghadapi kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang Perguruan Topeng Hitam.

“Silakan! Silakan masuk Nona!” hatur pemimpin penjaga pintu gerbang dengan hormat. Suaranya yang semula garang dan tegas, berubah lunak seperti pe- ngawal yang berhadapan dengan rajanya. Selanjutnya, pengawal itu segera ke dalam untuk memberitahukan istri Prabu Jalatunda. Sedangkan Bong Mini dan dela- pan pendekar lain duduk di ruangan tamu.

Tidak begitu lama menunggu, pengawal yang mem- beritahukan pemilik rumah itu segera kembali bersa- ma seorang wanita tinggi semampai berkulit kuning langsat. Sedangkan rambutnya yang panjang berge- lombang diikat di tengah kepala. Adapun pakaian yang dikenakannya terbuat dari bahan sutera halus ber- warna biru muda. Usianya sekitar tiga puluh lima ta- hun. Dialah wanita yang bernama Ningrum, istri Prabu Jalatunda.

Beberapa saat kedua wanita cantik yang berbeda usia itu saling berpandangan dengan sinar mata gem- bira.

“Bibi Ningrum!” pekik Bong Mini seraya mengham- bur, lalu memeluk wanita setengah baya yang masih memperlihatkan kecantikannya itu.

Ningrum yang masih terpaku memandangi gadis yang selama ini hilang dari pandangannya segera me- nyambut pelukan Bong Mini dengan penuh suka cita.

“Dari mana saja kau, Sayang? Selama ini aku me- rindukanmu!” desah Ningrum. Dipeluk dan diciuminya wajah Bong Mini berulang kali. Sementara dua butir air matanya sempat jatuh ke wajah gadis mungil yang tengah menengadah menatapnya. Dia menitikkan air mata haru karena dapat berjumpa lagi dengan gadis yang selama ini menggayuti benaknya. Bong Mini tidak segera menjawab. Ia masih asyik membenamkan kepalanya dalam pelukan Ningrum. Entah kenapa, setiap berada dalam pelukan istri Prabu Jalatunda itu, ia selalu ingin berlama-lama dan selalu teringat pada mamanya yang telah tewas beberapa ta- hun lalu. Karena itu, Bong Mini pun sempat menitik- kan air mata ketika berada dalam pelukan Ningrum.

Setelah lama saling melepas rindu, Bong Mini sege- ra merenggangkan tubuhnya dari pelukan Ningrum. Dan ia terkejut ketika menyadari penampilan Ningrum berbeda dengan penampilannya beberapa tahun lalu.

“Bibi berlatih silat?” tanya Bong Mini sendu. Ningrum tersenyum sambil mengangguk.

“Sejak setahun lalu, Paman Prabu memberikan lati- han silat. Bukan saja kepada Bibi, tetapi juga kepada para pemuda desa ini. Dan hari ini tugas Paman meng- ajar diganti oleh papamu!” tutur Ningrum menjelaskan. “Papa? Papa ada di sini?” desah Bong Mini dengan

wajah gembira. Karena dugaannya benar.

“Semalam papamu ke sini dengan membawa seba- gian penduduk Kampung Dukuh. Papamu mencerita- kan peristiwa yang menimpa penduduk kampung ter- sebut. Sehingga aku dan Paman Prabu memutuskan agar mereka tinggal di sini sekaligus ikut berlatih si- lat,” ujar Ningrum menjelaskan.

“Aku pun sempat menyaksikan sisa reruntuhan rumah yang dibakar oleh iblis-iblis Perguruan Topeng Hitam!” sambut Bong Mini. “Sekarang, di mana Papa?”

“Di belakang. Memberikan pelajaran silat!” sahut Ningrum. Dialihkannya pandangan ke arah delapan le- laki gagah yang sejak tadi berdiri menyaksikan adegan haru mereka. “Siapa mereka, Anakku?”

“O, ya. Aku hampir lupa memperkenalkan mereka kepada Bibi!” ucap Bong Mini. Dia segera memperke- nalkan nama delapan pendekar yang ikut bersamanya. “Pendekar Teluk Naga berasal dari negeri Jenghoa, sebelah barat Tiongkok sedangkan Pendekar Mata De- wa berasal dari negeri Manchuria!” kata Bong Mini menjelaskan.

Ningrum mengangguk-angguk. “Dua lagi?” tanya Ningrum.

“Mereka berasal dari Philipina, tepatnya dari negeri Lanoa!” sahut Bong Mini menjelaskan asal negeri Ong Lie dan Seyton. Sengaja ia tidak menjelaskan kalau mereka dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka. Ia tidak ingin kejahatan orang yang sudah sadar diungkit dan menjadi buah bibir masyarakat nantinya. Cukup diri- nya sendiri yang tahu siapa Ong Lie dan Seyton sebe- narnya, timbang Bong Mini.

Ningrum mengangguk-angguk puas. Setelah itu, ia pun mengajak Bong Mini dan delapan pendekar tadi menuju ruang latihan silat.

Di saat mereka berjalan menyusuri ruangan luas menuju tempat berlatih, samar-samar telinga mereka mendengar bentakan-bentakan berirama dari orang- orang yang sedang berlatih.

“Haiiit.., hah! Haiiit..., ha! Haiiit.., yaaat..!”

Berulang-ulang teriakan berirama itu terdengar di telinga Bong Mini, sebelum melihat ruangan latihan si- lat. Begitu Bong Mini, Ningrum, dan delapan pendekar lain keluar dari pintu ruang megah itu, mata mereka melihat ruang latihan silat yang cukup luas, tanpa din- ding penyekat. Sehingga bila waktu pagi, teriakan- teriakan orang yang sedang berlatih silat amat jelas terdengar sampai keluar ruangan.

Bagi penduduk Desa Padomorang sendiri, teriakan- teriakan berirama semacam itu sudah bukan sesuatu yang asing lagi. Mereka tahu kalau dalam ruangan be- lakang rumah saudagar kaya itu serombongan orang, baik tua atau muda, tengah berlatih silat. Bong Mini menatap kagum pada orang-orang yang berlatih silat itu. Mereka begitu bersemangat dan ber- sungguh-sungguh.

“Kau mau langsung menemui papamu atau mem- buat kejutan terlebih dahulu?” kata Ningrum, mena- warkan pilihan.

Bong Mini diam sejenak. Matanya menangkap sosok papanya yang nampak begitu gagah berdiri tegak me- nyaksikan serombongan orang berlatih silat. Timbul keinginan hatinya untuk menggoda keasyikan papanya itu.

“Bibi. Bisakah Bibi pinjamkan pakaian untukku?” desah Bong Mini.

“Kau mau mengganti pakaian?” tanya Ningrum. “Aku ingin menggoda keasyikan Papa!” Ningrum tersenyum.

“Aku yakin! Anak manja sepertimu selalu bikin ulah!” sahut Ningrum seraya tersenyum kemayu. Lalu ia mengajak Bong Mini ke kamarnya, meninggalkan delapan pendekar yang tampak berdiri kagum melihat orang yang berlatih silat.

Sebenarnya mereka hendak menyaksikan latihan si- lat itu lebih dekat lagi. Namun karena Bong Mini hen- dak membuat kejutan terhadap Bongkap, mereka pun tetap menyaksikan latihan itu dari kejauhan. Malah mereka menyaksikannya di dekat pintu rumah, tempat yang lebih tersembunyi lagi. Sehingga bila ada orang dari tempat berlatih menengok ke arah tersebut, me- reka bisa cepat bersembunyi di balik tembok rumah.

Sementara itu, Bong Mini telah selesai berpakaian. Karena pakaian Ningrum lebih panjang dan besar, ia tak perlu lagi melepaskan pakaiannya. Sedangkan pa- kaian Ningrum yang kepanjangan digulung hingga pas. “Aku pergi dulu, Bi!” kata Bong Mini setelah ia me- ngenakan penutup wajah dari kain. Penampilannya kali ini agak berbeda.

Di lain sisi, sekelompok orang yang sedang berlatih silat tampak semakin bersemangat mengeluarkan ju- rus-jurusnya, hingga suara yang mereka hentakkan pun bertambah tinggi pula.

Di saat mereka berlatih sungguh-sungguh, tiba-tiba seseorang melompat dari tembok pagar rumah dan langsung melakukan serangan, membuat mereka ku- car-kacir tak menentu.

“Ilmu silat kalian masih mentah!” teriak orang ber- topeng biru sambil terus melakukan serangan ke arah sepuluh orang yang mengepungnya.

“Siapa kau dan kenapa membuat huru-hara di si- ni?!” bentak seorang pengepung.

“Aku tidak ada urusan dengan kalian! Aku hanya ingin bertemu dengan Bongkap!” terdengar sahutan wanita itu yang tidak lain Putri Bong Mini.

Bongkap yang sejak tadi berdiri mengawasi murid- muridnya terhenyak kaget mendengar namanya dis- ebutkan. Setelah mampu menguasai keterkejutan, de- ngan gagah kakinya melangkah mendekati.

“Siapa kau, wanita bertopeng? Dan ada apa kau mencariku?” tegur Bongkap dengan suara berwibawa.

“Hm! Jadi kau yang bernama Bongkap? Bagus! Se- karang hadapilah seranganku!” ketus Bong Mini de- ngan suara yang sengaja dirubah kasar agar tidak di- kenali papanya.

“Nanti dulu!” cegah Bongkap tenang, berusaha ber- sabar. “Apa salahku hingga kau hendak menyerang- ku?”

“Tidak ada gunanya aku menjelaskan sekarang!” ke- tus Bong Mini. “Nah, bersiaplah!” lanjut Bong Mini sambil menahan tawa melihat Bongkap tidak menge- nali suaranya.

Sikap menantang Bong Mini tidak lain hanya ingin berlatih silat dengan papanya. Karena sejak pulang da- ri Gunung Muda, ia belum punya kesempatan untuk melakukan latihan. Pertemuannya dengan Bongkap saat itu terburu terganggu oleh kerusuhan yang dila- kukan Iblis Pulau Neraka.

Bong Mini telah membuka jurus silat yang pernah diajarkan Kanjeng Rahmat Suci di Gunung Muda.

“Hiaaat!”

Bong Mini mengeluarkan pekikan tinggi berbare- ngan dengan tendangan lurus ke depan untuk menye- rang Bongkap dengan gerakan yang begitu cepat, hing- ga menimbulkan bayang-bayang. Namun dengan cepat Bongkap mengelak ke samping. Tendangan dahsyat itu pun luput dari sasaran. Namun ketika sepasang kaki- nya telah menyentuh tanah, Bong Mini kembali mem- buat serangan.

Wut wut wut!

Tangan dan kaki Bong Mini bergerak cepat dan gen- car menyerang Bongkap, membuat Bongkap harus ber- salto ke belakang dan ke samping untuk menghindari serangan. Selanjutnya, Bongkap membuka jurus ‘Pu- kulan Berantai’. Sebuah jurus yang bergerak cepat dan dapat mengimbangi jurus dahsyat yang dipergunakan wanita bertopeng.

“Haiiit!” Debbb!

Tangan keduanya bertemu. Kemudian dengan cepat keduanya menarik kembali.

Bukkk! Bukkk!

Tubuh kedua orang yang bertanding itu terjungkal ke belakang saat menarik tangannya masing-masing.

Prabu Jalatunda dan para pesilat lain yang menyak- sikan pertandingan itu tampak terkagum-kagum. Begi- tu pula dengan Ningrum dan delapan pendekar yang dibawa Bong Mini tadi. Tanpa disadari, mereka telah maju mendekat tempat pertandingan dan berbaur de- ngan para pesilat di arena latihan.

Bongkap dan Bong Mini telah bangun kembali. Me- reka sama-sama berdiri gagah.

“Apa sebenarnya yang kau kehendaki, anak som- bong!” bentak Bongkap.

Mendapat bentakan dari Bongkap, Bong Mini jadi terkejut. Ia tidak mengira kalau papanya benar-benar telah lupa terhadap dirinya. Ketika ingat wajahnya ber- selubung topeng, ia pun jadi tersenyum. Berarti mak- sudnya hendak menggoda Bongkap berhasil.

“Akan kujelaskan maksudku menyerangmu asal kau layani lagi satu seranganku ini!” usai berkata begi- tu, Bong Mini langsung melesat ke arah papanya de- ngan cepat.

“Haiiit!”

Wut wut wut!

Jurus ‘Tendangan Berantai’ yang dilakukan Bong Mini terus mencecar bagian wajah dan perut papanya. Dengan tenang Bongkap menghindar. Pada kesempa- tan berikutnya, ia pun melancarkan serangan ke arah gadis bertopeng itu.

“Heppp!”

Tangan Bongkap yang tinggal sebelah itu segera me- nangkap kaki lawan dan memukulnya dengan cepat.

Plakkk! “Auhhh!”

Bong Mini terjatuh sambil mengaduh. Bongkap ce- pat-cepat menghampiri dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum.

“Kau benar-benar telah memiliki ilmu yang tinggi, Putriku!” ucap Bongkap tanpa melepas senyumnya. Rupanya dia telah dapat mengenali suara Bong Mini sejak tadi.

Bong Mini terkejut karena ternyata papanya telah mengenali dirinya. Dengan perasaan malu, ia bangkit dengan mengambil uluran tangan Bongkap. Dibukanya kain penutup wajahnya.

“Maafkan sikapku tadi, Pa. Habis selama ini aku ti- dak punya kesempatan berlatih dengan Papa!” ucap Bong Mini dengan sikap manja.

Bongkap tersenyum dan memeluk putrinya.

“Papa justru senang dengan sikapmu itu!” ucap Bongkap saat mendekap putrinya. “Tapi sayang...!”

“Kenapa, Pa?” tanya Bong Mini seraya melepaskan pelukannya, lalu memandang papanya.

“Walau sudah besar, sifat manjamu tidak juga ber- ubah!” kata Bongkap sambil memijit hidung putrinya yang mungil.

“Idiiih, Papa! Badan begini kecil dibilang besar!” ra- juk Bong Mini.

Bongkap tertawa terbahak. Dia senang dengan si- kap putrinya yang tetap bersikap seperti ketika di Manchuria. Lincah dan manja.

Para pesilat yang tadi diganggu latihannya oleh Bong Mini jadi tercengang. Mereka baru tahu kalau gadis bertopeng yang tadi menyerang ternyata anak Bongkap.

“Anak manja kalau datang memang selalu bikin ke- jutan!” tiba-tiba terdengar suara di antara pesilat. Dan ketika Bong Mini menoleh, ternyata Prabu Jalatunda tengah berjalan mendekatinya.

“Paman!” ucap Bong Mini seraya menghormat “Ma- afkan jika latihan tadi terganggu!” lanjut Bong Mini.

Prabu Jalatunda hanya tersenyum sambil mende- katkan kepala Bong Mini ke dadanya.

“Paman kaget sekali kepadamu!” ucap Prabu Jala- tunda. “Sudah bertemu dengan Bibi Ningrum?”

“Sudah, Paman!”

“Wah, kalau begitu kau telah berencana dengan Bibi Ningrum untuk menyerang papamu tadi!” tebak Prabu Jalatunda.

Bong Mini hanya tersenyum sambil menoleh pada Ningrum yang sudah berdiri di belakangnya. Namun ketika menoleh ke sebelah Ningrum, senyumnya jadi terhenti. Pandangannya tajam meneliti gadis cantik yang berdiri di sebelah kanan Ningrum.

“Kau? Thong... Mey!” ucap Bong Mini ragu.

“Benar, Cici Mini!” jawab gadis itu. Bibirnya mene- bar tersenyum girang karena Bong Mini masih menge- nalinya.

“Wah, kau sudah besar sekarang. Bagaimana cerita- nya hingga bisa berkumpul di sini?” tanya Bong Mini.

“Sang Piao yang telah menyelamatkan dan memba- waku ke sini!” sahut Thong Mey.

Bong Mini mengerutkan kening.

“Jadi, kau yang dibawa oleh Sang Piao ketika sakit beberapa waktu lalu?”

“Benar, Cici!”

Bong Mini mengangguk-angguk sambil matanya te- rus mengamati wajah cantik itu. Dia tidak mengira ka- lau gadis itu adalah gadis yang pernah dikenalnya dua tahun lalu, saat ia berjalan-jalan melihat keadaan penduduk (baca episode 1: ‘Sepasang Pendekar dari Selatan’).

“Sekarang, mari kita masuk ke ruang dalam. Sudah sejak tadi para pelayan menghidangkan makanan un- tuk kita!” ajak Ningrum sambil melingkarkan tangan- nya ke bahu Bong Mini. Kemudian kedua wanita can- tik yang berbeda usia ini melangkah ke dalam, diikuti oleh para pendekar lain.

Untuk beberapa saat, rumah Prabu Jalatunda yang setiap harinya dipenuhi oleh suara-suara teriakan o- rang yang berlatih silat, kini berubah menjadi suasana gembira. Karena pada hari itu juga, Ningrum langsung menyuruh dua orang pelayannya untuk membuat hi- dangan istimewa sebagai acara penyambutan keha- diran Bong Mini. Dia membuat acara syukuran yang dihadiri oleh para pesilat dan delapan pendekar yang menyertai Bong Mini.

“O ya, Papa dan Paman. Perkenalkan delapan pen- dekar yang kubawa ini!” kata Bong Mini memperkenal- kan.

Ketika Bongkap serta Prabu Jalatunda menjabat ta- ngan delapan pendekar itu, Bong Mini segera menam- bahkan ucapannya. “Mereka ini orang-orang yang akan membantu perjuangan kita!”

Bongkap dan Prabu Jalatunda mengangguk-angguk kagum pada mereka.

“Terima kasih atas kesediaan kalian yang berkenan membantu perjuangan rakyat!” ucap Bongkap ramah.

“Semua itu sudah menjadi kewajiban kami sebagai manusia yang harus hidup tolong-menolong!” kata Kao Cin Liong. Kemudian mereka pun sama-sama duduk untuk menikmati hidangan yang telah tersedia di lan- tai beralaskan tikar.

***

6

Malam dingin dan sunyi. Bong Mini rebah di atas ranjang dalam kamar tersendiri. Tapi walaupun ia be- rada di kamar yang luas, indah dan apik, ia tetap tidak bisa tidur. Hatinya gelisah. Pikirannya mengawang pa- da seorang pemuda yang sudah merebut hatinya. “Ka- sihan Baladewa”, pikirnya. Di sini ia bisa tidur di kasur empuk dengan makanan yang enak. Sedangkan Bala- dewa? Mungkin ia makan seadanya dan tidur di tem- pat sembarangan. Malam ini tentu Baladewa kedi- nginan.

“Eh, kenapa aku jadi mengingat Baladewa?” bisik- nya, tersadar dari lamunan. Kemudian dia berusaha memejamkan mata. Tapi sejauh itu usahanya sia-sia. Semakin dia berusaha memejamkan kedua matanya, semakin gelisah pula hatinya. Akhirnya ia keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju taman bunga yang terhampar di sekitar rumah mewah itu.

Ketika berada di tempat itulah perasaan yang semu- la gelisah berubah tenang. Apalagi ketika melihat bun- ga-bunga indah beraneka warna serta menikmati sa- paan angin malam yang mempermainkan anak ram- butnya, membuat hati dan pikirannya terhibur.

Di saat asyik berjalan-jalan sambil menikmati udara sejuk yang memanjakan kulit, tiba-tiba matanya meli- hat Ningrum sedang duduk di ruang tengah disertai isak tangisnya.

“Ada apa dengan Bibi Ningrum?” tanya Bong Mini. Kemudian dengan langkah hati-hati dihampirinya wa- nita setengah baya yang tengah terisak itu.

“Bibi Ningrum,” tegur Bong Mini setengah berbisik. “Mengapa menangis?”

Ningrum menghentikan isak tangisnya. Wajahnya yang suram menengadah, memandang gadis yang ber- diri di sampingnya. Dalam keadaan sedih itu, ia berdiri menghadap Bong Mini dan memeluknya. Isak tangis- nya kembali terdengar. Kali ini lebih memilukan.

Bong Mini menghela napas agar dapat menahan air matanya yang terasa hendak turut meleleh. Hatinya mudah terenyuh bila melihat orang bersedih. Apalagi orang yang sedang menangis itu berada dalam pelu- kannya seperti saat ini.

“Apa yang membuat Bibi Ningrum menangis?” bisik Bong Mini. Ningrum melepas pelukannya. Kemudian ia duduk di kursi panjang, tempatnya semula. Diikuti oleh Bong Mini yang duduk di sampingnya.

“Aku teringat putraku, Baladewa,” sahut Ningrum di sela sisa tangisnya.

Bong Mini tercenung beberapa saat. Sesungguhnya ia pun merasakan kerinduan seperti yang dialami Ningrum. Itu sebabnya ia tidak bisa memejamkan ma- ta.

“Sudah, Bi. Bibi Ningrum jangan mengingatnya te- rus-menerus!” kata Bong Mini, berusaha menghibur. Bukan dia sok pintar menasihati orang yang lebih tua. Tapi karena ia tahu kalau orang yang sedang dirun- dung kesedihan, biasanya sulit untuk berpikir jernih. Oleh karena itu Bong Mini mencoba memancing piki- ran yang kosong itu agar dapat berfungsi kembali.

“Bagaimana aku tidak sedih dan mengingatnya te- rus-menerus. Baru seminggu tinggal di sini, dia sudah pergi lagi. Tanpa tahu kapan akan kembali,” tutur Nin- grum.

“Semua orang yang dekat dengan Baladewa akan merasakan hal itu, termasuk Paman Prabu Jalatunda. Tapi bukan berarti kesedihan itu harus diikuti setiap hari. Itu hanya akan menambah kesusahan kita,” un- gkap Bong Mini, menyatakan pendapatnya.

Ningrum menghentikan tangis lalu memandang Bong Mini lamat-lamat.

“Kau berbicara seperti nenek-nenek saja. Dari buku mana kau pelajari semua itu?” tanya Ningrum, masih dengan wajah yang basah. Namun seulas senyum sempat tersembul di bibirnya.

“Itu kudapatkan bukan dari buku. Membaca buku pun tidak ada artinya bila hanya untuk dihafal dan ha- nya dijadikan perhiasan untuk menasihati orang lain, sementara jiwanya sendiri kosong,” kilah Bong Mini. “Lalu dari mana kau dapatkan?”

“Dari pengalaman yang telah kupelajari. Terutama pengalaman kematian Mama dan perpisahan dengan Papa akibat pertempuran,” sahut Bong Mini.

“Kau benar-benar seorang gadis yang pandai. Pan- tas papamu begitu murung ketika kehilanganmu,” kata Ningrum setengah memuji. Wanita setengah baya itu mulai dapat menyingkirkan kesedihannya dengan ke- hadiran Bong Mini. Disapanya sisa air mata yang me- ngambang di pelupuk matanya. Termasuk yang mem- basahi pipi wanita itu. Sesaat kemudian dia mencoba melepas senyum.

“Kepandaian itu pun datang karena pertambahan pengalaman dan usia!” sahut Bong Mini seraya me- ngulum senyum.

“Berapa sekarang usiamu?” “Dua puluh tahun!”

“O, ya? Tapi badanmu tetap kecil?” gurau Ningrum dengan wajah terkejut, tidak mengira kalau gadis di dekatnya telah beranjak menjadi gadis remaja.

“Habis, Papa memberiku nama Mini, sih! Makanya tak pernah besar-besar!” balas Bong Mini bersama ta- wa berderai. Begitu pula dengan Ningrum. Membuat suasana sepi saat itu pecah oleh tawa mereka yang berdesah.

“Kalau saja Baladewa ada di sini sekarang, tentu dia akan kagum dan terpesona padamu!” cetus Ningrum.

“Ah, Bibi. Itu kan pendapat Bibi sendiri!” kilah Bong Mini seraya tersenyum. Sengaja dia tidak memberitahu tentang hubungannya selama ini dengan Baladewa.

***

Sementara itu, Khian Liong, yang sedang mencari jejak Bong Mini telah menjejakkan kedua kakinya di Kota Girik. “Huh! Sulit juga mencari gadis itu!” keluh Khian Liong. Ia sudah hampir putus asa mencari Bong Mini.

Dengan rasa malas, Khian Liong melanjutkan lang- kahnya. Kali ini tujuannya bukan hendak mencari Bong Mini, melainkan mencari warung nasi agar dapat mengisi perutnya yang sudah lapar.

Setelah menempuh perjalanan lima ratus meter, sampailah ia di Rumah Makan Hin-Hin. Dengan wajah gembira, Khian Liong menghampiri rumah makan ter- sebut. Tapi ketika tinggal sepuluh meter lagi mencapai rumah makan itu, tiba-tiba matanya tertuju pada po- tongan selendang hitam yang tergeletak di pekarangan rumah makan. Dia langsung membungkuk dan meng- ambil potongan selendang hitam itu.

“Aku seperti mengenal pemilik selendang ini!” gu- mam Khian Liong. Terus diawasinya potongan selen- dang itu. “Hm, ya. Ini milik Nyi Genit. Istri Kidarga!” desis Khian Liong, memastikan. Kemudian ia mema- sukkan potongan selendang hitam tersebut di balik ba- junya.

Bergegas lelaki itu kembali menuju Bukit Setan dan membatalkan niatnya untuk makan di rumah makan tadi. Ia ingin cepat-cepat menemui Kidarga untuk memperlihatkan potongan selendang yang diketemu- kannya.

***

Sementara itu di Bukit Setan, Kidarga dan para pendekar yang bersekutu dengannya tampak gembira. Malam itu Kidarga mengadakan pesta tuak untuk me- nyambut kehadiran para pendekar sesat yang telah berkumpul di Bukit Setan.

“Nah, saudara-saudara sekalian! Nikmatilah pesta malam ini sepuas-puasnya. Sebentar lagi kita akan melaksanakan semua rencana yang sudah kita atur!” seru Kidarga di tengah para pendekar yang tengah ter- tawa senang dengan minumannya.

“Hidup Kidarga! Hidup Perguruan Topeng Hitam!” sambut para pendekar itu sambil mengangkat gelas minumannya tinggi-tinggi.

Dalam suasana gembira itu, tiba-tiba muncul Khian Liong yang baru pulang mencari jejak Bong Mini.

Kidarga yang mengetahui kehadiran Khian Liong segera menghampiri.

“Bagaimana? Berhasil?” tanyanya.

“Gagal!” sahut Khian Liong pendek. Wajahnya sedi- kit menunjukkan kegusaran.

“Maksudmu?” tanya Kidarga dengan wajah sung- guh-sungguh.

“Aku belum menemukan kembali jejak Bong Mini!” Kidarga tampak menghela napas. Wajahnya gusar. “Tapi masalah itu hal yang mudah, Ketua. Aku bisa

mencari Bong Mini atau Bongkap serta melakukan pendekatan di lain hari. Namun sekarang ini ada kabar yang lebih penting buat Ketua!” kata Khian Liong me- ngalihkan persoalan.

“Apa itu?” tanya Kidarga dengan kening berkerut. Khian Liong mengeluarkan sesuatu dari balik ju-

bahnya.

“Ketua tentu mengenali potongan selendang hitam ini!” lanjut Khian Liong. Diperlihatkannya potongan se- lendang hitam.

Kidarga mengamati potongan selendang hitam itu dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berubah, sedang- kan matanya memandang Khian Liong lekat-lekat.

“Ini selendang milik istriku!” sergah Kidarga dengan wajah terkejut.

“Tadi aku pun menduga demikian, Ketua. Sehingga kubawa selendang ini dan memperlihatkan kepada Ke- tua!” kata Khian Liong. “Di mana kau menemukannya?” tanya Kidarga lagi. “Aku menemukannya di Kota Girik, saat hendak

memasuki sebuah Rumah Makan Hin-Hin,” lapor Khian Liong.

Kidarga tertegun. Wajahnya gusar. Dia sudah me- nyangka kalau istrinya telah bertempur dengan seo- rang pendekar sakti dan mengalami kekalahan. Ter- bukti dari selendang saktinya yang terputus dan di- tinggalkan begitu saja.

Dalam kemarahan yang memuncak, Kidarga lang- sung membentak kepada seluruh pendekar yang se- dang asyik menikmati minuman.

“Hentikan pesta kalian! Hentikan!” geram Kidarga.

Suaranya begitu keras menggema.

Para pendekar yang tengah asyik menikmati minu- man itu langsung terdiam. Mereka serentak meman- dang Kidarga dengan wajah keheranan.

Baladewa yang sejak tadi hanya mengamati jalan- nya pesta tuak di sudut ruangan segera melangkah menghampiri Kidarga.

“Apa yang telah terjadi, Ketua?” tanya Baladewa. Kidarga memandang tegang pada wajah Baladewa. “Ada seorang pendekar sakti di negeri ini dan ber-

hasil mengalahkan kesaktian istriku!” kata Kidarga de- ngan suara berat dan bergetar.

“Bagaimana Ketua tahu kalau istri Ketua menderita kekalahan?” tanya Baladewa ingin tahu.

“Putusnya selendang sakti milik istriku ini telah me- nunjukkan kekalahannya!” sahut Kidarga seraya mem- perlihatkan selendang hitam milik Nyi Genit yang pu- tus tertebas pedang Bong Mini saat bertempur.

Baladewa mengangguk-angguk sambil memandangi selendang hitam yang panjangnya satu meter itu.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ketua?” tanya Baladewa seolah-olah siap mendapat tugas. “Menghubungi pemilik rumah makan itu dan me- nanyakan orang yang telah berhadapan dengan istri- ku. Selanjutnya, mencari jejak istriku serta pendekar yang telah mengalahkannya!” kata Kidarga dengan na- da suara yang masih menyimpan kemarahan. Dia ti- dak mengira kalau kesaktian istrinya dapat dikalahkan oleh seseorang yang belum diketahui ciri-cirinya.

Baladewa dan beberapa orang pendekar yang berdiri di dekat Kidarga tampak mengangguk-angguk.

“Khian Liong, kembalilah ke Kota Girik. Tanyakan ciri-ciri pendekar yang telah bertempur dengan istriku itu!” perintah Kidarga.

“Akan kulaksanakan, Ketua!” kata Khian Liong. “Dan kau Siangkoan Kun Hok, cari istriku sampai

dapat!” lanjut Kidarga kepada pengemis penyebar bau busuk.

“Siap, Ketua!” ujar Siangkoan Kun Hok.

“Bagaimana dengan tugasku, Ketua?” tanya Bala- dewa.

“Kau tetap di sini, menunggu tugas yang lebih be- rat!” kata Kidarga. Ia sengaja menyerahkan tugas berat kepada Baladewa sesuai dengan kepandaian yang di- milikinya.

Khian Liong diam-diam mangkel kepada Baladewa yang mendapat tugas lebih terhormat. Kebenciannya terhadap Baladewa semakin dalam.

“Khian Liong, Siangkoan Kun Hok. Jalankan tugas kalian sebaik-baiknya!” ucap Kidarga lagi.

“Baik, Ketua!” sahut Khian Liong dan Siangkoan Kun Hok berbarengan. Kemudian keduanya melang- kah keluar.

*** 7

Pagi hari, sebagaimana biasa rumah Ningrum telah ramai oleh teriakan orang-orang yang sedang berlatih silat.

“Haiiit..., hah! Haiiit..., hah! Haiiit..., yaaat!” Hentakan-hentakan berirama keras terdengar beru-

lang-ulang dan penuh tenaga.

Bong Mini yang menyaksikan latihan itu tampak tersenyum kagum. Terutama kepada Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purbasari. Walaupun mereka baru be- lajar silat, tapi gerakan tubuh mereka begitu luwes dan hampir sempurna. Hal itu karena ditunjang oleh ke- cerdasan dan daya tangkap mereka yang amat cepat. Tidak heran jika setiap jurus yang diturunkan pelatih- nya, baik Prabu Jalatunda maupun Bongkap selalu dapat dikuasai dengan baik. Apalagi Ningrum yang su- dah dua tahun berlatih silat, tentu kemahirannya su- dah bisa diandalkan. Sedangkan Thong Mey dan Ratih Purbasari juga belajar kungfu pada Sang Piao dan Ashiong, tanpa sepengetahuan Bongkap.

“Mereka orang-orang berbakat!” puji Bongkap yang berdiri di samping putrinya sambil terus mengawasi ti- ga puluh orang yang sedang berlatih silat. Mereka ter- diri dari pria dan wanita berumur sekitar dua puluh sampai empat puluh tahun.

“Kalau saja dari dulu mereka punya kesempatan untuk berlatih silat, tentu desa mereka akan aman da- ri orang-orang sesat yang mengacau ketenteraman!” kata Bong Mini.

“Semua peristiwa ada hikmahnya, Putriku. Adanya Perguruan Topeng Hitam yang mengacaukan negeri ini pun ada hikmahnya!” kata Bongkap.

Bong Mini menoleh pada Bongkap dengan wajah tak mengerti.

“Kenapa Papa berkata begitu? Padahal sudah jelas kalau Perguruan Topeng Hitam telah melakukan tin- dakan-tindakan biadab, tak berperikemanusiaan!” ce- tus Bong Mini.

Bongkap tersenyum bijak. Dia maklum dengan per- tanyaan putrinya.

“Kalau orang-orang Perguruan Topeng Hitam tidak membuat kerusuhan di negeri ini, tentu mereka tidak menyadari pentingnya ilmu bela diri,” kata Bongkap menjelaskan.

Bong Mini mengangguk-angguk mengerti. “Sebenarnya ada hal penting yang ingin kubicara-

kan pada Papa,” ucap Bong Mini. “Tentang apa?”

“Mengenai pemuda yang bernama Khian Liong,” sa- hut Bong Mini.

“Khian Liong?” ucap Bongkap seperti bertanya pada dirinya sendiri. “Hm, ya. Papa ingat. Dia pun pernah menceritakan pertemuannya denganmu ketika berkun- jung ke Kampung Dukuh!” lanjut Bongkap setelah i- ngat nama pemuda yang dimaksud putrinya. “Ada apa dengan dia?”

Bong Mini tidak segera menyahut. Dia menoleh pa- da papanya sekilas, lalu melangkah perlahan me- ninggalkan tempat berlatih. Diikuti oleh papanya.

“Kita harus hati-hati terhadap dia, Pa!” kata Bong Mini sambil terus mengayunkan langkahnya.

“Memangnya kenapa?” tanya Bongkap agak terke- jut.

Bong Mini tersenyum tipis. “Papa mau tahu siapa dia?” Bongkap diam.

“Dia mata-mata Raja Manchuria yang diutus ke sini untuk menangkap Papa!” Bongkap terkejut mendengar penjelasan putrinya.

Seolah tidak percaya pada ucapan Bong Mini. “Kamu ngomong apa, heh?”

“Aku bicara yang sebenarnya, Pa!” sahut Bong Mini meyakinkan.

“Bagaimana mungkin seorang pemuda yang bertu- tur kata lemah lembut dan sopan mau menjadi mata- mata Raja Tiongkok keparat itu?” kilah Bongkap sera- ya menghentikan langkahnya. “Lagi pula dia datang ke sini untuk meminta bantuanku menolong rakyat ne- geri Manchuria yang sedang mengalami penindasan!”

Bong Mini lagi-lagi tersenyum.

“Papa. Tidak semua orang yang sopan dan lemah lembut dalam bertutur kata memiliki hati dan niat yang baik. Papa sendiri pernah mengatakan kepadaku bahwa menilai seseorang tidak bisa dilihat dari pe- nampilannya. Karena penampilan lahiriah manusia bukan jaminan dari hati dan niat manusia itu sendiri. Papa ingat?” ungkap Bong Mini.

“Ya, Papa ingat! Memang Papa sendiri yang menga- takan itu kepadamu,” sahut papanya.

“Tapi kenapa sekarang Papa jadi tertipu oleh pe- nampilan Khian Liong?” tanya Bong Mini.

“Gerak-geriknya tak mencurigakan. Lagi pula, jika dia hendak berbuat jahat, bisa saja dia membunuh Papa dengan mudah. Apalagi perkenalanku dengan Khian Liong sudah berjalan dua tahun, sejak kau menghilang,” tutur Bongkap menyatakan alasannya.

“Manusia punya cara sendiri untuk memperdaya seseorang yang tidak disukainya. Ada yang terang- terangan, ada pula secara diam-diam. Di depan meme- luk kita penuh keakraban. Sedangkan tangannya hen- dak membunuh kita dari belakang!” kata Bong Mini mengungkapkan pendapatnya.

Bongkap tercenung mendengar kata-kata Bong Mini yang mengandung kebenaran itu.

“Dari mana kau tahu kalau Khian Liong mata-mata Raja Tiongkok?” tanya Bongkap mulai percaya.

“Dari Tiga Pendekar Mata Dewa. Mereka datang ke sini justru mencari Khian Liong,” ujar Bong Mini. “Ka- lau Papa ingin tahu jelas, Papa bisa tanyakan langsung pada mereka,” lanjut Bong Mini.

Bongkap mengangguk-angguk. Kemudian keduanya melanjutkan langkah untuk menghampiri Tiga Pen- dekar Mata Dewa yang sedang asyik menyaksikan para pesilat berlatih. Kebetulan para pesilat sudah selesai berlatih, hingga mereka pun bisa langsung bercakap- cakap di ruang pertemuan yang letaknya berdekatan dengan ruang tamu.

***

“Saudara Kao Cin Liong, apakah kau kenal betul de- ngan Khian Liong?” tanya Bongkap setelah mereka ber- kumpul di ruang pertemuan. Termasuk Prabu Jalatun- da, Ningrum serta pendekar lain yang duduk mengisi ruang pertemuan itu.

“Kami memang tidak kenal dekat dengan Khian Liong. Melihat wajahnya pun tidak pernah. Tapi me- ngenai kepergiannya ke negeri ini dan ciri-ciri orang itu kami ketahui dari seorang penduduk yang bisa diper- caya,” sahut Kao Cin Liong menjelaskan.

Bongkap mengangguk-angguk.

“Tapi apa benar-benar bisa dipercaya keterangan penduduk itu kalau Khian Liong mata-mata Kerajaan Manchuria?” tanya Bongkap lagi.

“Aku dapat membuktikannya,” sela Seyton tiba-tiba. Bongkap menoleh pada Seyton.

“Coba jelaskan!” pinta Bongkap.

“Saat kami bertempur dengan pengikut Perguruan Topeng Hitam, Khian Liong ada di antara mereka. Pada pertempuran itu, kami dapat mengalahkannya, lalu Khian Liong bersama seorang temannya memacu kuda untuk kembali ke markasnya di Bukit Setan!” tutur Seyton.

Bongkap kembali mengangguk-angguk.

“Kalau begitu, peristiwa pembakaran rumah pendu- duk di Kampung Dukuh yang dilakukan orang-orang bertopeng ada hubungannya dengan Khian Liong. Ka- rena sebelumnya ia berkunjung ke sana dan mene- muiku,” gumam Bongkap.

“Bisa jadi, Papa. Dia langsung mengutus pasukan Perguruan Topeng Hitam setelah mengetahui di mana Papa berada!” timpal Bong Mini.

“Ya, Papa pikir juga begitu,” sahut Bongkap sepen- dapat.

“Lalu, apa tindakan kita selanjutnya, Bongkap?” ta- nya Prabu Jalatunda. “Sebab bagaimanapun juga kita tidak bisa membiarkan rakyat menderita lebih lama,” lanjut Prabu Jalatunda.

“Aku punya usul!” potong Kao Cin Liong. “Katakan!”

“Kita langsung saja membentuk pasukan! Sebab dua hari lagi, prajurit kerajaan akan tiba di Selat Mala- ka,” ujar Kao Cin Liong. Kabar itu ia ketahui sehari se- belum ia berangkat ke negeri Selat Malaka. “Jadi, sebe- lum mereka sampai di Bukit Setan, ada baiknya kita menghadang dan menyerang mereka!”

“Sebuah pendapat yang baik, Papa!” cetus Bong Mini, langsung menyetujui.

Bongkap mengangguk-angguk. Ia sendiri sangat menyetujui usul yang disampaikan Kao Cin Liong.

“Bagaimana dengan yang lain? Apakah setuju de- ngan pendapat Kao Cin Liong?” tanya Bongkap sambil mengedar pandangannya ke sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh para pendekar dan pesilat. “Setuju sekali!” sahut para pendekar yang hadir se- rentak.

“Nanti dulu!” sergah Ningrum tiba-tiba, membuat semua yang hadir terpana dan memandang ke arah- nya.

“Kuminta, sebelum melakukan penyergapan terha- dap prajurit Kerajaan Manchuria, izinkanlah aku men- cari putraku, Baladewa. Aku mengkhawatirkan kese- lamatannya. Karena sekarang ini dia berjuang sendiri- an,” kata Ningrum.

Bongkap dan Prabu Jalatunda terhenyak. Apalagi Bong Mini. Harus diakui Bong Mini bahwa dalam ha- tinya sudah terpatri nama Baladewa, sekaligus sosok dan pribadinya. Tak heran kalau gadis itu merasakan getaran halus di dadanya saat nama Baladewa disebut Ningrum.

“Bibi Ningrum. Tetaplah Bibi di sini! Biar aku yang mencari putra Bibi!” kata Bong Mini, berusaha mene- nangkan perasaan Ningrum. Sesungguhnya, ia sendiri mempunyai perasaan yang sama dengan Ningrum. Bahkan semalam ia pun tidak dapat tidur karena sela- lu memikirkan Baladewa yang belum diketahui ke- adaannya.

“Betul?” tanya Ningrum dengan wajah gembira. Dia sangat setuju kalau Bong Mini yang langsung mencari putranya. Pikirnya, siapa tahu Bong Mini tertarik pada Baladewa atau sebaliknya. Karena secara diam-diam ia ingin sekali kalau Putri Bong Mini jadi menantunya.

Bong Mini mengangguk sambil tersenyum.

“Aku akan berangkat sekarang juga mencari putra Bibi,” sahut Bong Mini. Kemudian pandangannya di- alihkan pada Bongkap untuk meminta izin. “Papa. Aku berangkat dulu!” Bong Mini mencium kedua pipi Bong- kap dengan manja.

“Hati-hati!” pesan Bongkap memperingatkan. “Ya, Papa!” sahut Bong Mini. Kemudian dengan lin- cah kakinya melangkah keluar, diiringi pandangan Bongkap, Ningrum, Prabu Jalatunda, dan para pende- kar lain.

“Dia seorang gadis luar biasa yang mengagumkan!” puji Kok Thai Ki ketika tubuh Bong Mini telah menghi- lang dari pandangan mata mereka.

Bongkap tersenyum bangga mendengar pujian ter- hadap putrinya itu.

“Dalam usianya yang masih muda, dia mampu mengimbangi dan mengalahkan Nyi Genit, seorang to- koh Perguruan Topeng Hitam!” lanjut Kok Thai Ki.

Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum serta para pe- silat yang hadir di situ tampak tersentak mendengar ucapan Kok Thai Ki.

“Apa aku tidak salah dengar, Saudara Kok Thai Ki?” tanya Bongkap ragu.

“Aku melihat sendiri bagaimana gagahnya Putri Bong Mini menghadapi Nyi Genit!” tambah Kok Thai Ki. “Apa yang dikatakan Saudara Kok Thai Ki tadi me- mang benar!” Kao Cin Liong ikut menambahkan. “Nya- wa kami pun diselamatkan oleh Putri Bong Mini dari

cengkeraman Nyi Genit!” lanjut Kao Cin Liong.

Bongkap dan semua yang hadir di situ mengang- guk-angguk. Ia mulai percaya ucapan Kok Thai Ki maupun Kao Cin Liong.

“Kalau begitu, kita sekarang sudah siap melakukan penyerangan ke Bukit Setan!” ujar Prabu Jalatunda.

“Benar, Prabu. Kekalahan Nyi Genit di tangan Bong Mini, bisa dijadikan ukuran untuk melihat kepandaian Kidarga!” kata Kao Cin Liong.

Mendengar pujian beruntun terhadap Putri Bong Mini, Bongkap hanya dapat diam dengan bibir terse- nyum. Perasaan bangganya hanya terpancar dari wa- jahnya. ***

Bong Mini terus berjalan tenang di bawah hujaman terik matahari yang tegak lurus di cakrawala. Wajah- nya tampak begitu berseri, seolah tidak mempedulikan kegarangan sinar matahari yang begitu menyengat.

Sedang asyiknya ia berjalan di tengah Hutan Roban, tiba-tiba lima lelaki bertubuh tinggi besar dan bertam- pang beringas muncul dari balik semak belukar. Mere- ka langsung menghadang Bong Mini.

Bong Mini menghentikan langkahnya. Pendekar muda itu berdiri gagah dengan mata mencorong ke arah lima lelaki yang menghadangnya. Hatinya jijik melihat penampilan kelima lelaki itu. Karena selain tu- buh mereka tinggi besar dan hitam, kelima lelaki itu pun tidak mengenakan baju. Seolah-olah sengaja memperlihatkan otot-otot seperti kawat baja. Sedang- kan pada kepala botak mereka, tersisa segunduk ram- but di tengahnya. Dan segunduk rambut sepanjang li- ma belas sentimeter itu diikat buntut kuda. Sehingga penampilan kelimanya semakin seram.

“Siapa kalian berlima? Bisakah aku melanjutkan perjalanan?” tanya Bong Mini lembut. Ia mencoba ber- sikap tenang menghadapi kelima orang berumur seki- tar empat puluh tahun itu.

Sebelum kelima orang itu menjawab, tiba-tiba me- loncat seorang lelaki dari atas pohon, lalu berdiri ter- kekeh-kekeh ke arah Bong Mini.

“Nona masih mengenaliku?” tanya lelaki itu.

Bong Mini masih diam. Matanya meneliti kehadiran lelaki berpakaian pengemis itu. Ia merasa kesal de- ngannya.

“Apakah kau salah seorang dari Perkumpulan Pen- gemis Sakti?” tanya Bong Mini menebak.

Lelaki itu terkekeh kembali. “Ternyata ingatanmu tajam juga, Nona!” sahut lelaki berpakaian pengemis yang tidak lain Siangkoan Kun Hok, orang yang ditugaskan Kidarga untuk mencari je- jak Nyi Genit. Sebagai orang yang telah tahu kalau Nyi Genit menderita kekalahan ketika melawan Bong Mini, Siangkoan Kun Hok tidak melaksanakan tugasnya seo- rang diri. Dia mengajak lima pengikut Perguruan To- peng Hitam untuk sama-sama mencari jejak Nyi Genit yang belum diketahui rimbanya.

Bong Mini tersenyum mengejek pengemis yang sela- lu menyebarkan bau amis itu. Kemudian matanya be- ralih memandang lima lelaki yang bertelanjang dada.

“Apakah kalian berlima tidak salah memilih lelaki pecundang menjadi pemimpin pasukan?” sindir Bong Mini sambil tersenyum sinis.

“Phuih! Kau pikir aku takut karena kau berhasil mengalahkan Nyi Genit?!” geram Siangkoan Kun Hok. Tanpa ia sadari kalau ucapannya tadi telah menge- jutkan lima temannya.

“Saudara Siangkoan Kun Hok. Kenapa kau tidak te- rus terang kepada Kidarga kalau kau mengetahui per- tempuran antara Nyi Genit dengan gadis ini?” tanya seorang dari lima temannya agak geram. “Karena kalau Siangkoan Kun Hok berterus terang, tentu mereka ti- dak harus mencari jejak Nyi Genit,” pikirnya.

“Lelaki pecundang macam pengemis ini mana mau berterus terang di hadapan pemimpin kalian!” Bong Mini menyela, seolah sengaja memancing kemarahan Siangkoan Kun Hok.

“Bocah tengik! Kau rasakan pukulanku!” usai ber- kata begitu, Siangkoan Kun Hok langsung membuka serangan dengan pukulan ‘Tangan Geledek’ ke wajah gadis yang berdiri tenang di depannya.

Wut! Plakkk! Pukulan tangan Siangkoan Kun Hok yang mengan- dung tenaga dahsyat itu segera dielakkan Bong Mini dengan memiringkan tubuhnya sedikit ke samping. Se- dangkan tangan kirinya menangkap tangan kanan yang mengarah ke wajahnya itu. Dilanjutkan dengan pukulan tangan kanannya ke wajah lawan.

“Huppp!”

Bong Mini segera menarik tangan kanannya kemba- li ketika Siangkoan Kun Hok hendak menangkisnya. Sedangkan tangan kirinya yang masih memegangi ta- ngan kanan lawan segera dihentakkan ke bawah diser- tai tendangan lutut ke wajah lawan.

Dukkk! “Aaakh!”

Siangkoan Kun Hok terpekik ketika lutut Bong Mini menghentak wajahnya, hingga ia terdongak dari ter- huyung ke belakang. Namun demikian, dengan sikap gagah ia kembali berdiri menghadap Bong Mini yang tampak tetap tenang.

“Hiaaat!”

Siangkoan Kun Hok mengeluarkan lengkingan ting- gi bersama terjangan ke arah Bong Mini. Sedangkan kedua tangannya melakukan gerakan menotok ke ba- hu kiri dan pinggang kanan lawan.

Dengan mudah Bong Mini menyambut serangan itu. Jari-jari kedua tangannya mengerahkan jurus menotok pula. Ketika serangan lawan mendekat, kedua tangan Bong Mini segera menyambutnya.

Tuk! Tuk!

Ujung-ujung jari Siangkoan Kun Hok melekat erat pada ujung-ujung jari tangan Bong Mini. Ketika Siang- koan Kun Hok hendak menariknya, seketika itu juga ia merasakan hawa panas di sekitar ujung-ujung jari ta- ngannya. Semakin dia berusaha melepaskan jari- jarinya, semakin lekat dan semakin panas pula terasa olehnya. Hingga bibirnya terlihat meringis menahan perih yang teramat sangat.

“Hiaaat! Huhhh!”

Tiba-tiba Bong Mini menggerakkan tangan ke atas, hingga tangan Siangkoan Kun Hok yang masih me- nempel pada jari-jarinya ikut terbawa ke atas. Kemu- dian ia menariknya kembali ke bawah disertai henta- kan keras.

Bukkk! “Aaakh!”

Siangkoan Kun Hok memekik keras. Hentakan ta- ngan Bong Mini yang mengandung kekuatan dahsyat telah membuat tubuhnya tersungkur dengan wajah mencium tanah. Sedangkan jari-jarinya yang tadi me- nempel terlepas dari tangan Bong Mini.

Dengan wajah meringis menahan sakit, Siangkoan Kun Hok bangkit kembali.

“E, eh! Masih bandel! Tidak kapok, ya?” ejek Bong Mini sambil tersenyum.

“Aku belum kalah, Tikus Kecil!” dengus Siangkoan Kun Hok dengan lagak angkuh. Padahal saat itu ia me- rasakan seluruh tulangnya ngilu.

Bong Mini mencibir melihat kesombongan lawan. Padahal ia tahu kalau Siangkoan Kun Hok tengah me- rasakan sakit luar biasa. Terlihat dari wajahnya yang masih meringis-ringis.

Sebenarnya Siangkoan Kun Hok menyadari akan ketinggian ilmu lawannya. Bahkan ia merasa sudah ti- dak sanggup melanjutkan pertarungan. Namun karena takut dilecehkan oleh kelima temannya serta dikelua- rkan dari Perguruan Topeng Hitam, maka ia pun me- maksakan diri untuk melanjutkan pertarungan.

Di pihak lain, lima temannya dari Perguruan Topeng Hitam terpaku melihat Siangkoan Kun Hok dibuat ti- dak berdaya oleh seorang gadis mungil. Kenyataan itu membuat mata mereka terbuka. Tak heran kalau pe- mimpin mereka, Kidarga, kewalahan menghadapi gadis bernama Bong Mini ini. Gadis itu memang tidak bisa dianggap remeh. Apalagi telah mampu mengalahkan Nyi Genit.

Keduanya telah berhadapan kembali. Siangkoan Kun Hok telah siap dengan jurus barunya yang disebut ‘Macan Lapar Mengamuk’. Dengan jurus ini wajahnya berubah liar. Kedua tangannya terangkat dengan jari- jari merenggang seperti kuku-kuku macan yang hen- dak menerkam mangsa. Sedangkan kedua kakinya se- tengah berjongkok dengan lutut melengkung ke sam- ping. Dan kepalanya bergerak-gerak kaku, tak ubah- nya seekor macan yang hendak bertarung.

“Hauuungngng...!”

Mulut Siangkoan Kun Hok mengeluarkan erangan. Erangan yang mengandung tenaga dalam ‘Angin Sakti’ yang amat dahsyat.

Lima temannya menutup telinga mereka. Karena erangan itu sangat memekakkan telinga. Lain halnya dengan Bong Mini. Ia mengerahkan ilmu ‘Angin Laut Pengusir Suara’, salah satu ilmu ‘Pancaran Sinar Sakti’ warisan Putri Teratai Merah. Sehingga suara erangan musuhnya itu hanya terdengar sayup-sayup.

“Hauuungngng...!”

Siangkoan Kun Hok kembali mengerang disertai ter- kaman tubuhnya. Jari-jari kedua tangannya yang mi- rip cakar macan mengarah pada leher lawan. Gera- kannya begitu cepat dan kuat. Sehingga pada saat ia menyambar tubuh lawan, angin pun berputar sangat keras.

Wes wes wes!

Bong Mini terkejut merasakan sambaran angin yang demikian keras di sekitar tempatnya berdiri. Untung- lah ia memiliki ilmu ‘Pasak Bumi’. Sebuah ilmu yang membuat tubuhnya tetap berdiri kokoh, walaupun ter- serang angin yang demikian dahsyat. Sambil menge- rahkan ilmu ‘Pasak Bumi’, kedua tangannya meren- tang ke depan, menyambut sambaran tangan lawan.

Plekkk! Plekkk!

Kedua telapak tangan Bong Mini yang dikembang- kan bertemu dengan kedua tangan Siangkoan Kun Hok yang berbentuk cakar. Sedangkan masing-masing jari tangan Bong Mini menyelip pada celah-celah jari tangan lawannya dengan kuat. Begitu pula, dengan ja- ri-jari tangan lawannya. Terjadilah saling tekan dan saling dorong dari kedua belah pihak.

Lima teman Siangkoan Kun Hok menyaksikan per- tarungan itu dengan wajah tegang. Karena adu kekua- tan itu akan berakhir dengan kematian seorang dari mereka.

Ilmu ‘Telapak Tangan Sakti’ yang dimiliki Bong Mini serta ilmu ‘Lahar Panas Membelah Bumi’ yang dikerah- kan Siangkoan Kun Hok, telah menimbulkan asap putih dari kedua telapak tangan mereka. Kemudian asap pu- tih itu menyebar ke sekeliling, menghalangi pandangan lima kawan Siangkoan Kun Hok yang menyaksikan per- tarungan itu. Sesaat kemudian asap putih itu perlahan- lahan pudar, tertiup oleh hembusan angin.

“Aaakh...!”

Siangkoan Kun Hok mengeluarkan lengkingan ting- gi. Tubuhnya terkulai lemas, lalu ambruk. Sedangkan dari mulutnya keluar darah kental kehitam-hitaman. Dilanjutkan dengan kedua tangannya yang hangus terbakar. Lelaki itu pun tewas.

“Kepuuung...!”

Lima murid Perguruan Topeng Hitam segera me- ngeroyok Bong Mini dengan geram.

“Yeaaat...!” “Aaakh!” “Aaakh!”

Kedua tangan Bong Mini yang masih mengandung ilmu ‘Telapak Tangan Sakti’ segera menyambut sera- ngan itu. Dua pengeroyok yang terkena sentuhan ta- ngannya mengerang-erang kesakitan di tanah bagai ayam disembelih. Lalu keduanya tewas dengan sekujur tubuh menghitam bagai arang. Begitulah dahsyatnya ilmu ‘Telapak Tangan Sakti’ yang dimiliki Bong Mini saat berguru pada Kanjeng Rahmat Suci. Walaupun pukulannya tidak keras, tapi kalau sudah menyentuh sesuatu, maka benda yang disentuhnya akan hangus seperti terbakar.

“Majulah kalian bertiga! Biar sekalian kukirim ke neraka!” geram Bong Mini. Dia sudah tidak ingin lagi berlama-lama, bahkan untuk memberi ampun kepada orang-orang Perguruan Topeng Hitam itu.

Sret sret sret!

Lawan mencabut pedang yang sejak tadi terselip di pinggang masing-masing.

“Hiaaat!”

Tiga orang dari Perguruan Topeng Hitam segera me- nyerang Bong Mini dengan jurus ‘Seribu Tangan Iblis Menyambar Nyawa’.

Wut wut wut!

Angin sambaran tiga pedang lawan itu begitu dah- syat menderu-deru di kedua telinga Bong Mini. Bergu- lung, menyambar-nyambar dan susul-menyusul. Membuat Bong Mini harus mengelak dengan cara me- lompat, bergulingan dan bersalto.

Ketika dia berdiri kembali, pedang saktinya telah tergenggam di tangan kanannya. Dia sadar, kalau ti- dak mempergunakan senjata, pertarungan itu akan memakan waktu lama. Sedangkan ia sendiri ingin ber- gegas menemukan Baladewa. Dengan begitu bisa me- lakukan penyerangan ke Bukit Setan lebih cepat lagi. Pengeroyoknya terpaku sejenak melihat pedang Bong Mini yang memancarkan sinar merah berbentuk bunga teratai. Membuat ketiga orang itu menjadi ngeri untuk melanjutkan pertarungan. Mereka tahu kalau pedang itu memiliki kesaktian yang luar biasa. Terbuk- ti dari sinarnya yang berbeda dengan pedang lain. Apa- lagi bila dibandingkan dengan pedang mereka yang ti- dak memiliki kesaktian apa-apa.

“Lariii...!” Teriak seorang di antara mereka seraya mengambil langkah seribu. Diikuti oleh dua temannya. Pedang Bong Mini yang sudah telanjur dikeluarkan, biasanya pantang dimasukkan ke sarungnya kembali sebelum dibasahi darah lawan. Maka ketika tiga la- wannya melarikan diri, Bong Mini segera mengejarnya dengan mengerahkan ilmu ‘Halimun Sakti’. Ilmu yang membuatnya bisa melesat cepat tanpa diketahui mu-

suh.

Wesss!

Angin yang ditimbulkan oleh lesatan tubuh Bong Mini begitu keras, mampu menerbangkan debu-debu di sekitar tempat tadi.

Plekkk!

Dengan ringan Bong Mini mendaratkan kedua kaki- nya di depan dua musuh yang sedang berlari.

“Lomba lari yang kurang menarik!” ledek Bong Mini seraya tersenyum mengejek.

Dua orang Perguruan Topeng Hitam tentu saja ter- kejut melihat Bong Mini telah berdiri menghadang. De- ngan gerakan yang tak terduga, tiba-tiba mereka me- nubruk kedua kaki Bong Mini. Keduanya berlutut meminta pengampunan.

“Ampun, Nona! Ampuni kami! Kami bersedia men- jadi budak Nona jika Nona mengampuni kami!” iba ke- dua pengikut Perguruan Topeng Hitam itu.

Bong Mini yang hendak mengayunkan pedangnya untuk menghabisi nyawa kedua orang itu segera me- nariknya kembali. Matanya menatap kedua orang yang berlutut di kedua kakinya. Baru kali ini ia menyaksi- kan pemandangan seperti itu.

Gadis bertubuh mungil itu masih berdiam diri. Tak sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. Ia ma- sih termangu. Menimbang-nimbang permohonan ke- dua orang itu.

“Bong Mini!” tiba-tiba terdengar suara halus dan merdu di kedua telinganya. Namun hanya dia sendiri yang dapat mendengarnya. “Kalau Tuhan Maha Peng- ampun, alangkah baiknya kalau kau juga suka meng- ampuni orang yang telah mengakui kesalahannya di depanmu!” lanjut suara itu lagi, sampai akhirnya menghilang.

Bong Mini menghela napas. Dia berdiri tegak de- ngan wajah menengadah ke langit. Sedangkan kedua matanya terpejam, merenungi kalimat-kalimat yang dikatakan suara gaib tadi.

Setelah beberapa saat menengadah, Bong Mini kem- bali menundukkan kepala. Dipandangnya dua orang yang sedang menunggu keputusan itu.

“Bangunlah....” Suara Bong Mini terdengar lembut di telinga kedua orang itu.

Mendengar ucapan yang lembut tanpa kemarahan, kedua orang itu segera bangkit dengan wajah gembira.

“Terima kasih, Nona. Terima kasih!” ucap kedua orang itu tertunduk-tunduk, sebagaimana orang ber- salah yang bebas dari hukuman.

Bong Mini tidak menyahut. Ia memasukkan pedang- nya. Setelah itu kakinya melangkah pelan meninggal- kan kedua orang tadi.

“Tunggu, Nona!” teriak seorang dari mereka.

Bong Mini menghentikan langkah dan berbalik me- mandang kedua lelaki itu. “Ada apa?”

“Izinkan kami berdua untuk ikut bersama Nona,” pinta seorang di antara mereka.

Bong Mini menghela nafas.

“Siapa namamu?” tanya Bong Mini.

“Namaku Kudu dan temanku ini Kitu!” sahut Kudu memperkenalkan.

Bong Mini mengangguk angguk.

“Apakah Nona yang bernama Putri Bong Mini?” lan- jut Kudu bertanya.

“Ya!” sahut Bong Mini sambil mengangguk. “Sebaiknya Nona kembali!” kata Kitu ikut bicara. “Kenapa?” tanya Bong Mini. Keningnya berkerut rapat. “Orang-orang Perguruan Topeng Hitam sedang dike-

rahkan untuk mencari dan menangkap Nona Mini!” kata Kitu menjelaskan.

Bong Mini kembali mengangguk-angguk sambil ber- pikir.

“Aku harus tetap melanjutkan perjalananku untuk mencari sahabatku!” ucap Bong Mini.

“Siapa sahabat yang sedang Nona cari itu? Izinkan kami ikut mencarinya!” pinta Kudu.

“Baladewa.”

Kudu dan Kitu terkejut mendengar nama itu dis- ebutkan.

“Apakah Nona tidak salah menyebut namanya?” ta- nya Kitu dengan wajah terkejut.

“Memangnya kenapa?”

“Orang yang Nona Mini cari itu telah bersekutu de- ngan Perguruan Topeng Hitam!”

Bagai tersambar petir di siang hari bolong, Bong Mini terkejut bukan main mendengar penjelasan Kitu. Wajah dan matanya merah menahan marah.

“Kau ngomong apa?” geram Bong Mini.

“Aku bersedia mati di ujung pedang Nona Mini ka- lau berkata dusta!” kata Kitu mantap.

Bong Mini berdiri tegang. Ucapan kedua orang itu bisa ia terima. Apalagi mereka bersedia menyerahkan nyawanya andai keterangannya bohong.

“Kalian ikut aku!” cetus Bong Mini. Wajahnya masih menunjukkan kemarahan yang amat sangat.

Tanpa banyak pertanyaan lagi, keduanya mengikuti langkah Bong Mini.

***

8

Malam mulai merambah. Kegelapan kembali menye- limuti bumi. Lampu-lampu minyak yang dipasang di rumah-rumah penduduk Desa Padomorang tampak bergoyang-goyang. Tertiup semilir angin yang masuk lewat celah-celah pintu dan jendela. Bila dilihat dari kejauhan, lampu-lampu itu mirip kelap-kelip cahaya bintang.

Di ruang pertemuan rumah Prabu Jalatunda, Bong- kap, Prabu Jalatunda, Ningrum dan para pendekar lain terlihat sedang berkumpul. Selain membicarakan rencana penyerangan ke Bukit Setan, mereka sedang menunggu kedatangan Bong Mini dengan harap-harap cemas.

Ketika Bong Mini datang bersama dua lelaki tinggi besar, Kudu dan Kitu, mata mereka langsung tertuju pada Bong Mini dengan pandangan mata penuh tanda tanya. Terlebih jika melihat sikap Bong Mini yang ber- beda dari biasanya. Sikapnya yang selalu lincah, man- ja, dan penuh senyum, berubah ketus dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Seolah ada per- soalan yang menggayuti pikirannya. “Kau sudah pulang, Sayang!” Ningrum langsung memburu dan memeluk Bong Mini.

Bong Mini tampak dingin, tanpa memberikan reaksi apa-apa ketika tubuhnya dipeluk oleh Ningrum.

“Ada apa denganmu? Kok ngambek? Baladewa ma- na?” tanya Ningrum beruntun.

Bong Mini mengangkat wajahnya. Dipandangnya Ningrum dengan sorot mata yang memancarkan ke- marahan tak terhingga.

“Kalau Bibi ingin mengetahui Baladewa, tanyakan saja kepada dua orang yang menyertaiku itu,” kata Bong Mini tanpa gairah. Dilepaskannya pelukan Ning- rum, lalu melangkah menuju sudut ruangan. Gadis itu duduk di sana dengan wajah yang masih cemberut.

Ningrum tersentak melihat sikap Bong Mini yang mendadak berubah itu.

Dalam suasana yang dipenuhi tanda tanya seperti itu, tiba-tiba Gunala berdiri. Dia berseru kepada kedua orang yang menyertai Bong Mini.

“Kau? Bukankah kau bernama Kudu dan Kitu?” tanya Gunala dengan wajah terkejut.

Mendapat teguran itu, Kudu dan Kitu pun tak kalah terkejut. Mereka pun kenal pada orang yang tadi me- negur. Mereka memang sama-sama dari Perguruan Topeng Hitam. Bedanya, Gunala serta ketiga temannya Gagap, Ontohod, dan Geblek di bawah pimpinan Yang Seng yang sudah tewas di tangan Bong Mini (baca epi- sode: ‘Iblis Pulau Neraka’), sedangkan Kudu dan Kitu langsung di bawah pimpinan Kidarga dan Nyi Genit dan bermarkas di Bukit Setan. Namun demikian, me- reka sering bertemu jika ada pertemuan di Bukit Setan yang dilakukan sebulan sekali.

Melihat Gunala mengenali kedua orang yang dibawa Bong Mini tadi, Bongkap segera berdiri dan mengham- piri. “Apakah kalian berdua orang-orang dari Perguruan Topeng Hitam?” tanya Bongkap, menduga. Sebab di antara para pendekar lain, tidak ada yang mengenal kedua orang itu kecuali Gunala dan ketiga temannya.

“Dugaan Tuanku memang benar. Kami dari Pergu- ruan Topeng Hitam!” sahut Kudu terus terang.

Mendengar pengakuan itu, semua pendekar terke- jut, termasuk Prabu Jalatunda dan Ningrum. Hanya Bongkap, Ashiong, dan Sang Piao saja yang tampak bi- asa-biasa saja. Mereka sudah biasa menerima orang- orang Perguruan Topeng Hitam yang telah sadar kare- na pengaruh Putri Bong Mini.

“Siapa nama kalian?” tanya Bongkap lagi. “Namaku Kudu.”

“Namaku Kitu,” sahut Kitu pula memperkenalkan namanya.

Bongkap mengangguk-angguk.

“Apa hubungan kalian dengan Baladewa?” tanya Bongkap, langsung pada persoalan.

Kudu dan Kitu saling berpandangan. Kemudian ke- duanya mengalihkan pandangan pada Bong Mini. Tampaknya mereka ingin minta persetujuan.

“Katakanlah apa yang kau ketahui tentang Bala- dewa!” ketus Bong Mini kepada Kudu. Wajahnya masih terlipat.

Kudu mengangguk. Kemudian ia pun menceritakan tentang pertemuannya dengan Bong Mini. Mulai dari pertarungan antara Siangkoan Kun Hok sampai ke- duanya bertekuk lutut di hadapan Bong Mini. Sampai akhirnya tiba pada masalah Baladewa. Tidak lupa pula diceritakannya tentang ciri-ciri Baladewa.

“Kalau memang Baladewa itu yang dimaksud Nona Mini, dia sekarang berada di Bukit Setan dan menjadi orang kepercayaan Kidarga,” tutur Kudu mengakhiri ceritanya. “Baladewa..., Putraku!” keluh Ningrum. “Tidak ku- sangka kau menjadi pengkhianat negeri!” lanjutnya bergetar. Kemudian dengan deraian air mata, ia berlari menuju kamarnya.

Prabu Jalatunda yang mempunyai sifat pendiam, dalam menghadapi persoalan itu pun tampak tetap te- nang. Namun demikian hatinya terasa terbakar. Kalau saja Baladewa hadir di sana, tentu kedua tangannya akan menghajar putranya.

Beberapa saat setelah Ningrum masuk ke dalam kamar, Bong Mini pun menghambur ke dalam kamar- nya bersama tangis.

“Prabu!” ujar Bongkap dengan sikap tenang. “Seba- iknya kau tenangkan dulu istrimu. Biar kubujuk pu- triku!” usul Bongkap.

Tanpa menyahut, Prabu Jalatunda melangkah te- nang memasuki kamar istrinya.

“Kalian tenang-tenang saja di sini. Aku akan mem- bujuk putriku!” pamit Bongkap kepada para pendekar yang hadir di ruang pertemuan itu. Kemudian kakinya melangkah tenang menghampiri kamar putrinya.

***

Bongkap membuka pintu kamar Bong Mini. Di sa- na, ia melihat anak gadisnya sedang menelungkup di atas ranjang. Punggungnya turun naik, pertanda dia sedang menangis.

Bongkap melangkah pelan mendekati putrinya. Di- dudukinya tepi ranjang sambil mengusap-usap rambut Bong Mini.

Merasa kepalanya ada yang mengusap, Bong Mini segera menghentikan tangisnya. Dengan lesu, dia du- duk di samping papanya.

Bongkap tersenyum melihat mata sembab putrinya yang masih meneteskan air mata. “Kenapa kau menangis, Putriku?” tanya Bongkap lunak.

“Apakah Papa belum tahu penyebabnya?” tanya Bong Mini sendu.

“Karena Baladewa pengkhianat?”

Bong Mini mengangguk sambil berusaha menge- ringkan sisa-sisa air matanya dengan punggung ta- ngan.

Bongkap tersenyum. Tangannya kembali mengusap kepala Bong Mini lembut.

“Kalau dulu kau selalu bercerita pada Papa tentang segala yang kau alami, kenapa sekarang justru menu- tup diri?” ucap Bongkap. Suaranya tetap lunak.

“Aku tidak mengerti maksud Papa?” kata Bong Mini dengan sikap yang mulai tenang.

“Kau mau jujur pada Papa?”

“Apakah aku pernah membohongi Papa selama ini?” sendu Bong Mini.

“Memang tidak. Tapi pertanyaan yang akan kuaju- kan sekarang ini benar-benar membutuhkan keterbu- kaanmu,” lanjut Bongkap.

“Aku akan berusaha menjawab sesuai dengan kei- nginan Papa,” sahut Bong Mini berjanji.

Bongkap mengangguk-angguk seraya tersenyum. “Sudah berapa lama kau mengenal Baladewa?”

tanya Bongkap lagi.

Bong Mini tersentak mendapat pertanyaan yang tak diduganya itu.

“Kenapa Papa menanyakan hal itu?” tanya Bong Mini.

“Papa merasa kesedihanmu tadi bukan karena pengkhianatan Baladewa terhadap negeri ini semata. Melainkan karena sebelumnya kau dan Baladewa su- dah saling mengenal,” tutur Bongkap, langsung me- nyatakan dugaannya. Bong Mini diam menunduk sambil menggigit-gigit bibir bawahnya.

“Papa ini sudah tua, Sayang! Sudah banyak penga- laman. Sikapmu tadi tidak bisa menutupi perasaanmu yang sesungguhnya dari pandangan Papa.”

“Papa!” sergah Bong Mini. Kemudian direbahkan kepalanya di pangkuan Bongkap. “Aku memang telah lama mengenal Baladewa, Papa. Sejak aku menghilang dari sisi Papa,” lanjut Bong Mini berterus terang. Ke- mudian ia pun menceritakan awal pertemuannya de- ngan Baladewa di Gunung Muda, saat ia berguru pada Kanjeng Rahmat Suci. Malah ia pun menceritakan pula bagaimana Baladewa mengungkapkan perasaan terha- dap dirinya saat bertemu di Telaga Ungu.

“Papa sudah menduga kalau kau memang punya hubungan erat dengan Baladewa,” kata Bongkap me- rasa tenang karena dugaannya tidak meleset.

“Tapi sekarang aku benci dia, Papa! Dia tidak seper- juangan dengan kita!” maki Bong Mini kesal.

“Belum pasti, Sayang!” kata Bongkap.

“Bagaimana belum pasti? Sudah jelas dia sekarang berada di Bukit Setan dan menjadi orang kepercayaan Kidarga!” kilah Bong Mini.

“Papa tahu! Tapi mungkin ia sendiri punya rencana tersendiri, hingga harus bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!” jelas Bongkap.

Bong Mini tercenung.

“Kalaupun Baladewa benar pengkhianat, apa boleh buat. Kau harus tegar menghadapinya. Jangan kau campur-adukkan antara perasaanmu terhadap Bala- dewa dengan amanat penderitaan rakyat!” kata Bong- kap lagi, memberi semangat.

Bong Mini merasa terhibur dengan dorongan se- mangat dari papanya itu. Hatinya yang semula terasa rapuh, kini perlahan bangkit, kembali pada ketegaran. “Terima kasih, Papa!” ucap Bong Mini sambil men- cium dan memeluk papanya.

Bongkap tersenyum sambil membalas pelukan pu- trinya dengan erat. Ia gembira karena Bong Mini telah melepaskan kesedihannya.

***

Pada waktu yang bersamaan, suasana di Bukit Se- tan tampak sepi. Semua pendekar yang bersekutu de- ngan Perguruan Topeng Hitam telah tertidur pulas. Termasuk Kidarga sendiri. Kecuali sepuluh penjaga yang mendapat tugas malam itu.

Sepuluh orang itu dibagi menjadi tiga kelompok. Pintu gerbang dan pintu ruang dalam masing-masing dijaga oleh dua orang, sedangkan enam orang lainnya berjaga-jaga di sekitar benteng.

Dalam suasana hening dan sepi itu, tiba-tiba ter- dengar teriakan yang mengejutkan dari ruang tidur pa- ra pendekar.

“Pembunuhan! Pembunuhan! Bangun semuanya...! Ada pembunuhan!” teriak suara itu, membangunkan semua orang yang tertidur. Bersamaan dengan itu, se- sosok bayangan hitam bertopeng melesat dari tempat kejadian menuju salah satu ruangan. Gerakannya be- gitu cepat, hingga tak sempat terlihat oleh para penja- ga dan para pendekar yang sudah terbangun.

Mereka yang terjaga langsung berkerumun, melihat sepuluh pendekar yang tewas dengan leher berlumu- ran darah. Rupanya, sang pelaku melakukan pembu- nuhan dengan cara menusukkan ujung pedang ke leh- er korban. Terbukti dari leher korban yang berlubang dan tembus sampai ke belakang. Membuat para kor- ban tidak sempat berteriak.

“Ada apa ribut-ribut?” terdengar suara berwibawa dari pintu masuk ruangan. Ketika para pendekar menoleh, ternyata Baladewa tengah melangkah tenang. Sedangkan tiga tombak di belakang Baladewa, terlihat Kidarga sedang berjalan pula.

“Pembunuhan! Sepuluh orang pendekar telah mati dibunuh oleh orang tak dikenal!” lapor Chiang Su Kiat, Ketua Tiga Siluman Ular Belang.

“Bangsat!” geram Baladewa dengan mata menyala penuh kemarahan. “Semua ini terjadi di depan hidung- ku!”

Semua pendekar yang hadir di situ terdiam melihat kemarahan Baladewa. Termasuk Kidarga. Mereka me- mang sangat segan bila Baladewa sudah marah. Kare- na selain memiliki kepandaian ilmu silat dan kesaktian yang luar biasa, usianya juga baru mencapai dua pu- luh tahun. Tidak mustahil kalau dia memiliki tenaga luar biasa. Sedangkan Kidarga sendiri telah menyerah- kan semua persoalan yang menyangkut perguruan itu kepada Baladewa. Termasuk persoalan yang baru ter- jadi tadi.

“Aku merasa ada pengkhianatan di antara kita!” ge- ram Baladewa sambil menyebarkan pandangan pada seluruh pendekar. Sedangkan para pendekar yang mendapat tuduhan itu tampak gusar. Mereka khawatir kalau Baladewa menjatuhkan tuduhan semena-mena.

“Kalau memang ada pengkhianat di perguruan kita, siapa kira-kira orangnya?” tanya Kidarga, sama ge- ramnya dengan Baladewa. Karena sepuluh pendekar yang terbunuh adalah pendekar pilihan yang terga- bung dalam Perkumpulan Pendekar Siluman.

“Aku merasa pembunuhan ini dilakukan oleh Khian Liong!” tuduh Baladewa, membuat Kidarga dan para pendekar lain terkejut.

“Apa alasanmu menuduh dia?” tanya Kidarga. “Sejak Ketua menerima aku di perguruan ini dan menjadikan aku sebagai wakil Ketua, Khian Liong tampak tidak senang padaku!” papar Baladewa.

“Lalu, apa hubungannya dengan pembunuhan ini?” tanya Kidarga.

“Tentu saja erat hubungannya, Ketua! Agar Ketua tidak lagi mempercayai aku sebagai wakil karena tidak becus bekerja!” sahut Baladewa.

Kidarga mengangguk-angguk.

“Tapi pada saat peristiwa ini terjadi, Khian Liong sedang berada di luar!” kata Kidarga.

“Bisa saja dia pura-pura keluar untuk mencari jejak Bong Mini dan Bongkap. Tapi tanpa sepengetahuan ki- ta, dia justru melaksanakan siasat yang sudah matang direncanakan. Bagaimanapun juga pembunuhan ter- hadap sepuluh pendekar ini pasti sudah direncana- kan!” kata Baladewa.

“Lalu tindakan apa selanjutnya yang akan kau am- bil?” tanya Kidarga.

“Satu-satunya jalan aku harus menghadapi Khian Liong secara jantan!” sahut Baladewa.

Para pendekar yang hadir di situ tampak berdiri te- gang mendengar ucapan Baladewa. Karena kalau Ba- ladewa bertarung secara jantan dengan Khian Liong berarti keduanya akan bertarung sampai di antara me- reka ada yang tewas.

“Kalau tindakan itu merupakan jalan terbaik, laku- kanlah! Semua persoalan ini kuserahkan padamu,” ka- ta Kidarga memberikan kepercayaan kepada Baladewa. Sebelum Baladewa membalas ucapan Kidarga, muncul Khian Liong dan menghampiri mereka. Tanpa sempat mengajukan pertanyaan, Baladewa telah men-

dahuluinya.

“Kau datang tepat pada waktunya, Khian Liong!” ujar Baladewa dengan wajah sinis.

“Memangnya ada apa?” tanya Khian Liong, tak ka- lah sinis. Dia sendiri sudah lama menyimpan rasa ben- ci dan dendam di hati, sejak dia dikalahkan Baladewa saat uji coba.

“Begitulah sikap pengkhianat bila sudah melakukan kesalahan. Menutupi perbuatannya dengan sikap pu- ra-pura bodoh!”

“Apa maksudmu?” sergah Khian Liong sengit saat mendengar tuduhan itu.

“Kau masih juga bersikap pura-pura Khian Liong!” geram Baladewa. “Seharusnya langsung kau akui saja kalau kau melakukan pembunuhan terhadap sepuluh pendekar itu!” tuduh Baladewa.

“Monyet! Kurobek mulutmu yang suka menuduh orang tanpa bukti itu!” kalap Khian Liong.

“Lakukanlah kalau kau mampu!” tantang Baladewa dengan gagah. Membuat Kidarga dan para pendekar lain mundur sejauh lima tombak. Mereka sudah men- duga pertarungan antara Khian Liong dan Baladewa pasti terjadi.

Dugaan mereka memang benar. Setelah para pen- dekar mengambil jarak, Khian Liong langsung menye- rang Baladewa disertai lengkingan tinggi.

“Hiaaat!”

Khian Liong menerjang Baladewa dengan gerakan menubruk. Sedangkan tangan kirinya mencengkeram ubun-ubun lawan. Sementara tangan kanannya me- notok leher Baladewa. Inilah yang disebut jurus ‘Mo- nyet Liar Mencaplok Mangsa’. Sebuah jurus yang di- sertai tenaga pukulan yang amat dahsyat.

“Heiiit!” Dukkk! Plakkk!

Baladewa menangkis serangan berbahaya itu de- ngan cepat. Tangan kirinya menangkis tangan kiri la- wan yang mencengkeram ubun-ubunnya, sedangkan tangan kanan lawan yang menotok lehernya dielakkan dengan sedikit menunduk. Bahkan pada saat menang- kis dan mengelak itu, Baladewa pun berhasil memba- las serangan.

Plakkk!

Dua jari Baladewa berhasil mendarat di pergelangan tangan Khian Liong.

“Auuuh!”

Khian Liong meringis kesakitan karena pergelangan tangannya tergetar hebat saat ilmu ‘Totok Tanduk Ker- bau’ yang dikerahkan Baladewa mendarat di punggung tangannya.

Dalam keadaan meringis itu, Baladewa kembali me- lancarkan serangan berupa tendangan.

Desss!

Tubuh Khian Liong terjengkang sejauh dua tombak dan jatuh terbanting keras di lantai.

Bukkk! “Aaakh!”

Khian Liong terpekik kesakitan saat tubuhnya keras menubruk lantai. Beberapa saat kemudian ia bangun kembali sambil mencabut pedangnya. Kemudian pe- dang yang sudah tergenggam di tangan kanannya itu diputar-putar dengan gerakan yang amat cepat. Se- hingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar bi- ru.

Sing sing sing!

Gulungan sinar biru itu mengeluarkan desingan nyaring saat Khian Liong bergerak menerjang Bala- dewa.

Wut wut wut!

Serangan Pedang Naga Liar yang dilancarkan Khian Liong ke arah leher dan perut lawan hanya menimbul- kan angin keras saat tubuh lawannya bergerak lincah, menghindari serangan pedang yang demikian gencar.

Kidarga dan para pendekar berdecak-decak kagum melihat ketangkasan Baladewa dalam menghadapi se- rangan senjata lawannya. Sehingga, ke mana pun pe- dang Khian Liong menyambar, Baladewa selalu dapat mementahkannya. Pantaslah jika Kidarga memperca- yakan Baladewa sebagai wakilnya.

Menyadari serangannya selalu gagal, Khian Liong bertambah geram. Kemarahannya semakin memuncak. Diputarnya pedang lebih cepat lagi. Membuat pedang yang berputar itu hanya menyerupai gulungan sinar. Namun ketika ia hendak menerjang lawan, tiba-tiba Baladewa mengeluarkan bentakan keras.

“Lepas pedang!” Wut! Cringngng!

Pedang yang sedang berputar itu langsung terlepas dari tangan Khian Liong dan jatuh ke lantai. Ternyata bentakan Baladewa tadi disertai pengerahan ilmu ‘Kon- tak Batin’ yang didapat dari Kanjeng Rahmat Suci. Se- buah ilmu yang membuat pemiliknya mampu mengua- sai pikiran lawan.

Melihat kenyataan itu, semua pendekar dan Kidarga kembali berdecak kagum. Mereka memuji ilmu ‘Kontak Batin’ milik Baladewa. Karena ilmu yang mempunyai pengaruh kuat itu sangat jarang dimiliki oleh para pendekar. Bahkan para pendekar yang bersekutu de- ngan Perguruan Topeng Hitam pun tak memiliki ilmu yang sangat ampuh itu.

Khian Liong terkejut bukan main melihat pedang- nya tiba-tiba saja terlepas. Pada saat itu pula hatinya mulai gentar. Ia mengakui ilmu Baladewa lebih tinggi dari ilmunya. Namun karena pertarungan itu di hada- pan orang banyak, bahkan disaksikan oleh Kidarga, pemimpinnya, maka rasa gentar itu segera ditepisnya. Ia memaksakan diri untuk terus menghadapi lawan sampai salah seorang di antara mereka tewas.

“Hiaaat!” Dengan kemarahan memuncak, Khian Liong mener- jang lawan dengan tendangan kaki kanannya yang ber- usaha menjebol dada Baladewa.

Wuttt! Plak plak plakkk! “Aduuuh!”

Serangan Khian Liong kembali gagal. Sebaliknya, tubuhnya terlempar ke samping dan bergulingan. Mu- lutnya mengerang, karena telapak tangan Baladewa yang menyentak pundaknya terasa meremukkan tu- lang.

“Oekkk!”

Khian Liong langsung memuntahkan darah segar ketika tubuhnya tertelungkup di lantai. Bersamaan de- ngan itu, tubuhnya diam tak berkutik lagi. Dilanjutkan dengan perubahan tubuhnya yang mendadak hitam seperti arang, akibat pukulan ‘Telapak Tangan Sakti’ yang dilancarkan Baladewa pada pundaknya.

Kidarga dan para pendekar yang sejak tadi berada di situ tampak termangu-mangu menyaksikan kema- tian Khian Liong yang begitu mengerikan. Di samping itu, mereka juga kagum dan gembira karena dapat me- nyaksikan ilmu kesaktian Baladewa

Kidarga melangkah mendekar Baladewa dengan wa- jah gembira.

“Kau telah menjalankan tugas dengan baik!” puji Kidarga sambil menepuk-nepuk pundak Baladewa.

“Terima kasih, Ketua!” ucap Baladewa seraya terse- nyum bangga karena dapat memenangkan pertempu- ran itu.

Sementara itu, para pendekar lain pun melangkah mendekati Baladewa. Mereka berkerumun memuji- muji Baladewa yang menjadi wakil pemimpin Pergu- ruan Topeng Hitam. Sementara peristiwa pembunuhan yang menimpa sepuluh pendekar telah hilang dari piki- ran mereka. ***

9

Pagi datang beriring cahaya jingga kemilau dari ufuk timur. Kabut tebal yang sejak sore kemarin me- nyelimuti Bukit Setan, beranjak lamban di pucuk- pucuk pepohonan.

Dalam suasana pagi yang cerah itu, para pendekar yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam tam- pak sedang berlatih silat, sekadar berolah raga agar badan tetap sehat serta melancarkan gerakan.

Kidarga dan Baladewa tampak tersenyum-senyum menyaksikan mereka itu. Rasa kagum terkadang mem- bias pula di wajah kedua orang itu jika melihat keman- tapan jurus-jurus yang diperagakan beberapa pende- kar.

Di saat mereka asyik menyaksikan para pendekar berlatih, tiba-tiba muncul seorang anak buah Kidarga yang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak. Hanya bagian tengah saja yang disisakan sedikit dan dikucir. Dia datang dengan langkah tergopoh-gopoh.

Kidarga memicingkan mata melihat seorang anak buahnya melangkah tergesa-gesa ke arahnya. Ketika orang itu telah sampai dan memberi hormat kepada- nya, Kidarga langsung mengajukan pertanyaan.

“Ada apa?”

“Gawat, Ketua!” sahut orang itu dengan sikap takut- takut.

“Ngomong yang benar!” bentak Kidarga. Matanya melotot, napasnya tersengal. Pertanda kemarahannya mulai naik. Kemarahannya memang sangat mudah ter- pancing.

“Siangkoan Kun Hok dan dua temanku mati!” lapor orang itu.

Kidarga dan Baladewa saling bersitatap tegang. Da- rah panasnya menyembur ke sekujur tubuh mende- ngar kematian Siangkoan Kun Hok, pengemis sakti yang juga sangat diandalkan oleh Kidarga.

“Dengan siapa dia bertarung?” tanya Kidarga dalam kemarahan yang meluap-luap.

“Putri Bong Mini!”

Mendengar nama Bong Mini disebutkan, wajah Ki- darga langsung berubah tegang. Dia berdiri diam de- ngan gigi-gigi bergemerutuk geram. Begitu pula dengan Baladewa. Bedanya, ia terkejut karena tidak menyang- ka kalau Siangkoan Kun Hok akan berhadapan dengan Bong Mini. Hal itu pasti akan melibatkan dirinya pula sebagai wakil Kidarga untuk memimpin pasukan. Mau tidak mau dia harus berhadapan dengan Bong Mini, musuh besar Perguruan Topeng Hitam yang menjadi kekasihnya.

“Apakah hanya kau sendiri yang berhasil menyela- matkan diri?” tanya Kidarga setelah beberapa saat ter- diam menahan marah.

“Semula kami bertiga melarikan diri, Ketua! Tapi dua orang sempat dikejar oleh Bong Mini dan tidak ta- hu bagaimana nasib mereka!” tutur lelaki tinggi besar yang berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Bong Mini itu.

“Bangsat!” geram Kidarga lagi, membuat para pen- dekar yang sedang berlatih silat segera berhenti. Ke- mudian mereka melangkah gagah mendekati Ketua Perguruan Topeng Hitam itu dan memandangnya de- ngan penuh tanda tanya.

“Lalu bagaimana dengan istriku yang kalian cari?” tanya Kidarga lagi.

“Istri Ketua..., istri Ketua..., tewas!” lapor anak buah- nya dengan suara tersendat-sendat. “Kau jangan ngomong sembarangan!” bentak Kidar- ga menahan marah, sehingga kalimat yang diucapkan- nya terpatah-patah. Sedangkan tangan kanannya men- cengkeram kepala anak buahnya itu, hingga meringis- ringis kesakitan.

“Hamba tidak bohong, Ketua!” ucap anak buahnya itu di sela ketakutan.

“Kau menyaksikannya sendiri?” “Memang tidak, Ketua!”

“Lalu dari mana kau dapatkan berita itu!” bentak Kidarga seraya mengencangkan cengkeramannya.

“Hamba..., hamba mengetahuinya dari Siangkoan Kun Hok. Dia menyebut-nyebut nama Nyi Genit yang telah kalah dan lari saat bertarung dengan Bong Mini!” “Tapi orang yang melarikan diri belum tentu mati,

kan?!” geram Kidarga dengan mata merah berkilat. “Memang belum tentu,” sahut anak buah yang me-

lapor terbata-bata.

“Kau memang tidak becus melapor!” geram Kidarga. Diperkeras cengkeraman tangannya pada kepala anak buahnya itu.

“Aaakh...!”

Lelaki berkepala botak berkucir itu mengeluarkan pekikan tertahan karena menahan hawa panas di seki- tar kepalanya. Sedangkan pada bagian kepalanya yang dicengkeram jari-jari Kidarga tampak pecah-pecah di- sertai darah yang mengalir deras.

“Hihhh!”

Kidarga mendorong anak buahnya itu hingga ter- sungkur jatuh.

Anak buah Kidarga yang dicengkeram kepalanya tampak menggelepar-gelepar di tanah tanpa suara. Mi- rip seekor ayam disembelih. Kedua biji matanya melo- tot. Sedangkan lidahnya menjulur keluar. Kemudian tubuh yang menggelepar-gelepar tadi langsung berhen- ti, tanpa bergerak lagi. Ia mati dengan kepala retak se- perti tanah kering-kerontang.

Baladewa dan seluruh para pendekar yang berada di situ tampak terkejut melihat anak buah Kidarga yang mati di tangan pemimpinnya sendiri. Mati dengan cara mengenaskan akibat ‘Telapak Tangan Iblis’ yang dikerahkan Kidarga. Sebuah ilmu sesat yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

“Dia sudah tidak berharga lagi buat kita!” kata Ki- darga tatkala melihat keterkejutan para pendekarnya.

Para pendekar terdiam. Mereka masih terpaku meli- hat kematian seorang pengikut Perguruan Topeng Hi- tam itu.

“Baladewa!” kata Kidarga lagi.

“Ada apa, Ketua!” sahut Baladewa cepat.

“Pimpin pasukan dan cari Bong Mini hari ini juga. Tangkap gadis itu hidup atau mati!” perintah Kidarga.

“Siap, Ketua!” kata Baladewa. Namun hati dan piki- rannya sendiri berkecamuk. Karena dia harus menang- kap Putri Bong Mini, kekasihnya sendiri.

***

Sementara itu di Desa Padomorang, Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum, dan para pendekar tampak du- duk tegang di ruang pertemuan.

Dalam suasana tegang seperti itu, tiba-tiba Bong Mini muncul dari dalam kamarnya. Berpakaian merah ketat, lengkap dengan Pedang Teratai Merah yang ter- sandang di punggungnya.

Bongkap dan semua orang yang hadir di ruang per- temuan itu langsung mengalihkan pandangannya pada Bong Mini yang tengah melangkah menghampiri mere- ka.

“Papa!” ujar Bong Mini seraya mendekati papanya yang masih termangu-mangu memandang putrinya. Bukan memandangi penampilan Bong Mini yang me- mang selalu menarik, melainkan mengamati peruba- han sikap yang terlihat pada wajah putrinya. Wajahnya yang selalu segar berseri, kini tampak tegas berwiba- wa, tanpa sedikit pun senyum. Sehingga terlihat se- perti gadis remaja yang menginjak dewasa.

“Hari ini aku akan melakukan penyerangan ke Bu- kit Setan!” lanjut Bong Mini, menyampaikan maksud- nya.

Mendengar ucapannya, semua orang termasuk Bong- kap tampak terkejut.

“Jangan tergesa-gesa, Putriku! Sebaiknya kita men- jalankan tugas seperti rencana yang telah kita sepakati bersama!” cegah Bongkap.

“Tidak, Papa! Tanganku sudah gatal hendak meng- habisi orang-orang Perguruan Topeng Hitam serta para sekutunya. Sedangkan penyerangan terhadap prajurit Kerajaan Manchuria yang akan mendarat di pantai Se- lat Malaka, biar Papa yang memimpin!” kata Bong Mini bersikeras.

Bongkap terdiam beberapa saat, mempertimbang- kan keinginan Bong Mini. Ia tahu, keinginan putrinya untuk langsung menyerang Bukit Setan karena dipe- ngaruhi kemarahan terhadap Baladewa, putra Prabu Jalatunda.

“Papa jangan khawatir!” kata Bong Mini lagi, saat melihat keraguan terpancar dari air muka papanya. “Aku tidak pergi sendiri. Akan kuajak Pendekar Mata Dewa atau Pendekar Teluk Naga untuk menyertaiku ke sana,” lanjut Bong Mini.

Bongkap masih terdiam. Hanya pandangannya saja yang kini beralih pada Pendekar Mata Dewa dan Pen- dekar Teluk Naga.

“Kalian bersedia menyertai putriku?” tanya Bongkap kepada enam pendekar yang duduk di seberang me- janya.

“Kami bersedia, Tuanku!” sahut keenam orang itu hampir bersamaan.

“Kalau begitu, kalian semua menyertai putriku! Ka- lau ada apa-apa, kalian segera hubungi aku di pantai Selat Malaka,” pesan Bongkap.

“Baik, Tuanku!” sahut Kao Cin Liong, Ketua Pende- kar Mata Dewa. Lalu mereka bersama Pendekar Teluk Naga segera bangkit dan melangkah mendekati Putri Bong Mini.

“Papa, aku berangkat!” pamit Bong Mini sambil mencium kedua pipi Bongkap. Namun wajahnya tetap dingin, tanpa senyum.

“Aku ikut!” ujar Ningrum tiba-tiba sambil bangkit dari kursinya. Dihampirinya Bong Mini.

Bong Mini berdiri tercenung memandang wajah wa- nita setengah baya yang masih menampakkan kecan- tikannya itu.

“Sebaiknya Bibi ikut bersama-sama Papa dan Pa- man Prabu menghadang prajurit Kerajaan Manchuria di Selat Malaka!” cegah Bong Mini.

“Tidak! Aku harus ikut! Biar aku sendiri yang akan menghajar putraku itu!” sahut Bibi Ningrum agak ge- ram, mengingat putranya yang telah menjadi pengkhianat negeri.

Bong Mini menghela napas. Tak tahu apa yang ha- rus dikatakannya lagi agar Ningrum bisa mengubah keinginannya untuk ikut ke Bukit Setan. Matanya be- ralih pada Prabu Jalatunda, sebagai permohonan agar Prabu Jalatunda mau membujuk Ningrum.

Prabu Jalatunda yang memang ingin mencegah is- trinya segera bangkit dan menghampiri.

“Rayi! Biarkanlah Bong Mini bersama Pendekar Ma- ta Dewa dan Pendekar Teluk Naga yang melakukan se- rangan ke sana,” bujuk Prabu Jalatunda. “Kau tidak tahu perasaanku, Kakang! Sejak umur sebelas tahun kita mendidik dia dan menitipkannya kepada Kanjeng Rahmat Suci di Gunung Muda untuk menuntut ilmu. Setelah ia pandai, ilmu itu malah di- salahgunakan untuk kepentingan orang-orang sesat seperti Kidarga dan pengikutnya!” ucap Ningrum de- ngan suara meninggi, disertai isakan tangis. Tentu saja akibat penyesalan terhadap tindakan putra satu-satu- nya, Baladewa.

“Apa yang kau rasakan, sama dengan perasaanku saat ini. Tapi bukan berarti kita harus bertindak mem- babi-buta tanpa perhitungan. Kidarga dan pengikutnya bukan orang-orang yang bisa kita anggap remeh. Apa- lagi setiap orang yang ingin bersekutu dengannya ha- rus diuji tingkat kepandaiannya terlebih dahulu. Ini membuktikan kalau pertahanan mereka saat ini sema- kin kuat. Kita tidak boleh gegabah menyerangnya!” pa- par Prabu Jalatunda.

Ningrum tidak menyahut. Hanya isaknya saja yang terdengar semakin keras.

“Berangkatlah anakku! Semoga kau berhasil!” kata Bongkap kepada Bong Mini yang masih berdiri ter- mangu.

Bong Mini mengangguk. Kemudian bersama Pende- kar Mata Dewa dan Pendekar Teluk Naga, dia berang- kat menuju Bukit Setan.

***

Matahari semakin tinggi. Panasnya kian menyengat kulit kepala.

Dalam suasana panas seperti itu, Bong Mini, Pen- dekar Mata Dewa, dan Pendekar Teluk Naga telah sampai di Hutan Roban. Mereka terus melangkah di- sertai ilmu peringan tubuh yang mereka miliki masing- masing. Sehingga langkah mereka begitu cepat dan ri- ngan. Layaknya bulu tertiup angin.

“Berhenti!” seru Bong Mini tiba-tiba sambil meng- angkat tangan kanannya sebagai aba-aba.

Enam pendekar yang berjalan di belakangnya sege- ra menghentikan langkah.

“Kalian lihat di bawah sana! Serombongan orang te- ngah berjalan menaiki bukit ini!” kata Bong Mini ke- pada enam pendekar yang menyertainya. Pandangan- nya terus tertuju pada dua puluh orang lelaki gagah yang sedang mendaki Hutan Roban, tempat mereka berdiri.

“Pasti mereka para pendekar yang bersekutu de- ngan Perguruan Topeng Hitam,” duga Kao Cin Liong.

“Dugaanmu tepat!” sambut Bong Mini. “Karena Ba- ladewa ada di antara mereka!” lanjut Bong Mini. Ma- tanya yang hitam gemerlap mampu meneliti wajah ke- dua puluh orang yang sedang melakukan pendakian itu. Wajah Baladewa dapat dikenalinya dengan baik. Walaupun matanya melihat secara samar-samar.

“Bagaimana kalau kita langsung menyergap mere- ka?” usul Kao Cin Liong tidak sabar.

“Bagus! Jarak langkah mereka pun sudah semakin dekat!” timpal Bong Mini menyetujui. Sesungguhnya, ia pun sudah tidak sabar untuk segera berhadapan dan menghabisi para pendekar yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam itu.

“Tapi ingat! Pemuda bernama Baladewa itu jangan kita lukai sedikit pun. Beri saja peringatan atau kita tangkap lalu kita hadapkan pada Prabu Jalatunda. Bi- ar orangtuanya sendiri yang memberi hukuman!” kata Kok Thai Ki memperingatkan teman-temannya.

“Begitu pun baik!” sahut Kao Cin Liong. Hening.

Bong Mini dan keenam pendekar itu kembali meng- amati langkah dua puluh orang sekutu Perguruan To- peng Hitam yang kian dekat. Ketika mereka benar- benar telah dekat, Bong Mini dan pengikutnya lang- sung berloncatan disertai lengkingan tinggi.

“Hiat hiat hiaaat!”

Dengan tangkas dan ringan ketujuh pendekar itu melompat, kemudian berdiri menghadang Baladewa bersama sembilan belas pengikutnya dalam jarak seki- tar sepuluh tombak.

Baladewa dan pasukannya terkejut melihat tujuh orang gagah tiba-tiba menghadang mereka. Namun ke- tika matanya menemukan Bong Mini, hati Baladewa menjadi tenang kembali. Kini bibirnya malah terse- nyum pada gadis yang membuatnya kasmaran itu.

“Aku tidak menyangka, pemuda gagah dengan tutur kata yang lemah lembut sepertimu, ternyata menjadi pengikut orang-orang sesat!” geram Bong Mini. Wajah- nya merah dengan mata yang mencorong tajam ke arah Baladewa. Tak sedikit pun ada perasaan rindu menghinggapi hatinya saat itu, kecuali kemarahan dan dendam yang begitu berat menggayuti hatinya.

Sembilan belas pendekar yang menyertai Baladewa terkejut ketika mengetahui gadis itu mengenal pemim- pinnya.

Baladewa tersenyum tipis ke arah Bong Mini. Se- nyum yang disertai pandangan kerinduan. Karena se- lama ini mereka tidak pernah bertemu.

“Kalau kau mengetahui aku bersekutu dengan Per- guruan Topeng Hitam, apa yang akan kau lakukan?” tanya Baladewa tenang.

“Aku akan menangkap dan mengadilimu di hada- pan kedua orangtuamu!” lantang Bong Mini dengan mata berkilat-kilat.

“Kalau memang itu yang kau kehendaki, silakan!” tantang Baladewa dengan senyum yang tak pernah le- kang dari bibirnya. Telinga Bong Mini terasa panas mendengar ucapan Baladewa tadi. Sebuah ucapan yang jelas-jelas me- ngandung nada tantangan. Seketika itu juga, ia mem- beri aba-aba kepada enam pendekar yang menyer- tainya.

“Seraaang!”

Bong Mini dan enam pengikutnya langsung berge- rak menyerang dua puluh pendekar di hadapan mere- ka.

“Hiaaat!”

Trang trang trang!

Lengkingan tinggi serta denting senjata berbaur menjadi satu. Dalam waktu singkat, Hutan Roban yang biasanya selalu tenang, kini menjadi hingar-bingar.

Bong Mini yang sudah menaruh rasa benci terha- dap sikap Baladewa, segera mencari kesempatan agar dapat berhadapan dengan pemuda itu. Tapi di luar du- gaan, Baladewa justru selalu mengelak bila mendapat serangan Bong Mini. Saat mengelak, ia malah menghu- jamkan pedangnya ke tubuh pendekar yang menyer- tainya, hingga membingungkan Bong Mini. Padahal pendekar wanita itu sudah bernafsu menyerangnya.

Wut!

Pedang Bong Mini menyambar bagian kaki Bala- dewa. Dengan cepat Baladewa menghindar. Tubuhnya melompat setinggi dua meter. Sambil melompat, pe- dang di genggamannya menyambar kepala seorang pendekar Perguruan Topeng Hitam.

Crokkk! “Aaakh!”

Pekik menggiris hati terdengar ketika pedang Bala- dewa membelah kepala temannya sendiri. Hingga lelaki itu roboh tanpa dapat berkutik lagi.

“Gila kau! Teman sendiri dihajar!” pekik Kwan-Kwan ketika matanya sempat melihat perbuatan Baladewa. “Di Perguruan Topeng Hitam kita teman. Di luar ki- ta jadi musuh!” kata Baladewa

Mendengar jawaban itu, bukan saja para sekutu Perguruan Topeng Hitam yang terkejut. Bong Mini dan enam pendekar pengiringnya pun turut tersentak.

“Bangsat! Rupanya selama ini kau menjadi musuh dalam selimut!” geram Kwan-Kwan setelah mengetahui kalau kehadiran Baladewa di Perguruan Topeng Hitam hanya topeng belaka. Niat yang sebenarnya justru hendak memata-matai gerakan Perguruan Topeng Hi- tam lebih dekat lagi.

“Hanya orang bodoh yang mau bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!” sahut Baladewa pula sambil melakukan gerakan menangkis dan menyerang ke arah pengikut Perguruan Topeng Hitam.

“Kalau begitu, kaulah yang melakukan pembunu- han terhadap sepuluh pendekar semalam!” tuduh Ci Bun yang sedang melakukan serangan ke arah Bala- dewa bersama seorang temannya.

“Jadi kau baru tahu sekarang?” ejek Baladewa. Mendengar pengakuan itu, Ci Bun menjadi geram.

Serangan pedangnya dipercepat.

Bong Mini dan enam pendekar pengikutnya menjadi lega setelah mengetahui maksud Baladewa sebenar- nya. Kenyataan itu mendorong semangat mereka un- tuk melakukan serangan-serangan gencar dengan pe- dang di tangan masing-masing.

Trang trang trang!

Pertemuan senjata kedua belah pihak kembali ter- dengar nyaring. Bahkan setiap kali senjata mereka be- radu, selalu timbul pijaran api yang cukup terang.

“Hiaaat!”

Tiba-tiba Bong Mini mengeluarkan lengkingan ting- gi, tubuhnya menerjang cepat ke arah tiga penge- royoknya. Dengan ilmu ‘Halimun Sakti’ serta jurus ‘Pe- dang Samber Nyawa’, tubuhnya yang mungil semakin lincah menyambar-nyambarkan pedangnya ke arah lawan.

Sing sing sing!

Bret bret bret! Crokkk!

Pedang Teratai Merah yang mengandung kesaktian luar biasa berhasil membabat tiga lawan sekaligus. De- tik itu juga ketiga orang lawan yang terkena sabetan pedang Bong Mini langsung roboh dengan leher hampir putus.

Di lain sisi, Pendekar Mata Dewa, Pendekar Teluk Naga, dan Baladewa pun berhasil merobohkan lawan. Hingga dalam waktu singkat mereka berhasil mene- waskan delapan belas orang lawan. Tinggal satu orang yang masih bisa bertahan. Itu pun tidak berlangsung lama. Ketika mengetahui dirinya sendiri yang masih hi- dup, Kwan-Kwan langsung mengambil langkah seribu.

Baladewa sudah memutuskan untuk tidak mem- biarkan Kwan-Kwan lolos. Itu berbahaya. Sebab akan membongkar penyamarannya sebagai pengikut Pergu- ruan Topeng Hitam. Itu berarti akan membuyarkan se- luruh rencana penyerangan yang sudah dirancangnya dengan baik.

“Heh, Pengecut!” bentaknya. “Jangan lari! Lawanlah aku kalau kau memang lelaki!” teriak Baladewa lagi. Ia terus berlari disertai pengerahan ilmu peringan tubuh- nya yang hampir sempurna. Tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat, sambil terus meneriakkan ejekan kepa- da Kwan-Kwan, pendekar asal negeri Manchuria yang dikirim oleh Raja Tiongkok untuk bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.

Baladewa terus berlari dengan cepat dan ringan. Sepuluh langkah lagi ia dapat mencapai tubuh Kwan- Kwan yang juga berlari kencang di depannya. Tiupan angin kencang di siang itu membuat rambut Baladewa tergerai berayun-ayun tiada henti. Angin yang bertiup kencang itu terdengar bergemuruh ketika menyapu kedua telinganya.

Ketika tubuhnya sudah demikian dekat dengan la- wannya, Baladewa langsung melompat ke punggung Kwan-Kwan.

Siuttt...! Bukkk!

Dengan kuat Baladewa menubruk tubuh lawan di depannya hingga jatuh berdebum dan bergulingan. Be- lum sempat Kwan-Kwan bangkit, sebuah tinju kanan Baladewa menghujam kepalanya.

Duk duk dukkk! “Aaakh!”

Darah membasahi tangan Baladewa saat memukul kepala dan wajah lawannya. Saat itu juga tengkorak kepala Kwan-Kwan hancur berkeping-keping. Sedang- kan kedua biji matanya lepas dari ceruknya.

Tidak puas sampai di situ, Baladewa menghujam- kan kembali pukulan ‘Tangan Besi’-nya ke tubuh la- wan. Tulang-tulang rusuk yang patah pun mencuat dari kulitnya.

Baladewa menarik napas lega sambil mengamati tu- buh lawan yang sudah jadi mayat mengenaskan. De- ngan hati puas, ia kembali ke tempat di mana keka- sihnya, Bong Mini dan pengikutnya menunggu.

“Berhasil?” suara Bong Mini terdengar ketika dua puluh langkah lagi Baladewa sampai di tempat.

Walaupun Baladewa mendengar pertanyaan itu, ia tidak segera menjawab, melainkan berlari kecil ke arah Bong Mini.

“Sudah kau tangkap orang yang melarikan diri itu?” ulang Bong Mini dengan mata berpijar-pijar meman- dang wajah Baladewa.

“Bukan kutangkap lagi. Kuremukkan kepala dan tulang-tulangnya hingga hancur!” sahut Baladewa se- raya tersenyum gembira. Kegembiraannya bukan saja karena keberhasilan membabat habis dua puluh orang sekutu Perguruan Topeng Hitam. Lebih dari itu karena ia dapat berjumpa kembali dengan kekasih yang sela- ma ini mengganggu hari-harinya, Bong Mini.

“Duh, sadisnya!” gurau Bong Mini sambil mendelik- kan mata. Kedua mata yang selalu berpijar-pijar itu semakin indah dipandang mata.

Baladewa yang menyaksikan keindahan bola mata Bong Mini menjadi gemas. Kalau saja dia tidak menya- dari ada enam pendekar lain di situ, tentu kedua ta- ngannya akan merengkuh bahu Bong Mini dan men- dekap tubuh kecil itu erat-erat sebagai pelepas kerin- duannya.

“Siapa kalian berenam?” tanya Baladewa seraya mengalihkan pandangannya pada enam pendekar yang berdiri di dekat Bong Mini. Melihat penampilan serta ketampanan para pendekar muda itu, Baladewa jadi cemburu juga. “Siapa tahu satu di antara mereka ada yang jatuh hati pada Bong Mini atau sebaliknya,” pikir Baladewa saat itu.

“O, ya! Tiga pemuda ini dari Perkumpulan Pendekar Mata Dewa dan tiga orang muda ini dari Pendekar Te- luk Naga!” Bong Mini yang memperkenalkan.

Baladewa dan keenam pendekar muda itu saling mengangguk dan tersenyum ramah. Selanjutnya, me- reka saling menjabat tangan sambil menyebutkan na- ma masing-masing.

“Kenapa tidak diberitahu sebelumnya kalau kau akan menyusup dan menyelidiki keadaan Perguruan Topeng Hitam?” tanya Bong Mini setelah Baladewa dan enam pendekar itu saling memperkenalkan diri.

“Gagasan itu datang secara kebetulan. Dalam perja- lananku, tiba-tiba terlintas di benakku untuk berpura- pura menjadi sekutu orang-orang Perguruan Topeng Hitam,” sahut Baladewa menjelaskan.

“Tapi akibat tingkahmu ini, Bibi Ningrum uring-u- ringan dan marah besar kepadamu!” lapor Bong Mini.

“Ibuku?” Baladewa terkejut. “Kau sempat bertemu dengannya?”

Bong Mini mengangguk.

“Malah aku dan papaku menginap di rumahmu se- lama beberapa hari!” kata Bong Mini menambahkan.

“Bagaimana kau tahu kalau mereka orangtuaku?” tanya Baladewa heran.

Bong Mini tersenyum melihat wajah Baladewa yang menunjukkan keheranan.

“Sebelum aku bertemu denganmu di Gunung Muda, aku lebih dulu mengenal kedua orangtuamu!” jelas Bong Mini.

“Kenapa pada waktu itu kau tidak bercerita pada- ku?”

“Kalau bercerita, tentu aku tidak dapat berpura- pura marah kepadamu!” sahut Bong Mini sambil terse- nyum. Wajahnya yang tadi kusut berubah menjadi ber- seri-seri kembali. Karena kekasihnya yang semula di- duga pengkhianat, justru memata-matai dengan cara berpura-pura menjadi sekutu Perguruan Topeng Hi- tam.

“Sekarang, di mana kedua orangtuaku dan papa- mu?” tanya Baladewa lagi.

“Mereka sedang bergerak menuju Selat Malaka. Ka- rena kudengar kabar, prajurit Kerajaan Manchuria yang dikirim ke sini akan tiba besok!” kata Bong Mini menjelaskan.

“Dari mana kau dapat kabar itu?”

“Dari anak buah Kidarga yang telah menyadari ke- keliruannya dan bergabung dengan pasukan Papa!”

Baladewa mengangguk-angguk.

“Sebaiknya kita menyusul mereka untuk bergabung dan melakukan serangan ke Bukit Setan!” usul Bala- dewa.

“Lalu bagaimana dengan prajurit Kerajaan Manchu- ria yang akan tiba besok?” tanya Bong Mini.

“Sasaran utama kita bukan prajurit Kerajaan Man- churia. Biarlah mereka berlabuh di sini. Karena kalau kita berhasil mengalahkan Perguruan Topeng Hitam berikut Kidarga, prajurit itu akan berhadapan pula de- ngan kita setelah sampai di Bukit Setan,” tutur Bala- dewa, menyampaikan pendapatnya.

Bong Mini dan enam pendekar lain mengangguk- angguk setuju.

“Kalau memang begitu, biarlah kami yang akan me- nyusul mereka dan memberitahukan rencana penye- rangan ke Bukit Setan,” pinta Kok Thai Ki.

“Begitu juga bagus! Biar aku membawa Bong Mini ke Perguruan Topeng Hitam!” kata Baladewa.

Enam orang pendekar itu berdiri ragu mendengar rencana Baladewa. Mereka mengkhawatirkan kesela- matan Putri Bong Mini.

“Kalian jangan khawatir!” sergah Baladewa melihat keterkejutan para pendekar itu. “Kehadiranku sebagai mata-mata di perguruan itu belum diketahui!”

“Justru keselamatan Putri Bong Mini yang kami khawatirkan. Karena dialah yang menjadi incaran to- koh perguruan itu!” kata Kao Cin Liong.

Baladewa tersenyum.

“Masalah keselamatan Bong Mini ada di tanganku. Karena aku menjadi wakil Kidarga di Perguruan To- peng Hitam!” tutur Baladewa, menjelaskan tentang ke- dudukannya di Perguruan Topeng Hitam.

“Bagaimana menurut Nona Mini sendiri?” tanya Kao Cin Liong. Karena semua keputusan memang berada di tangan Bong Mini sebagai orang yang bersangkutan. “Kalau memang kedudukan Baladewa di Perguruan Topeng Hitam sebagai wakil Kidarga, aku tidak kebe- ratan. Sebab Baladewa yang akan diminta pertimba- ngan oleh Kidarga untuk menjatuhi hukuman buatku nanti!” sahut Bong Mini.

Enam pendekar itu tampak mengangguk-angguk. Mereka tak dapat berkata apa-apa lagi walaupun ma- sih sangsi dengan keberhasilan Baladewa. Tapi karena Bong Mini sendiri tidak keberatan, maka mereka pun terpaksa diam dan menyetujui rencana Baladewa.

“Kalau begitu kami berangkat dulu. Biar kami bisa secepatnya kembali ke Bukit Setan!” kata Kok Thai Ki.

“Baiklah!” ucap Baladewa. “Selamat jalan!”

“Selamat berjuang! Semoga berhasil!” balas Kok Thai Ki. Kemudian ia bersama lima pendekar lain me- lesat meninggalkan Baladewa dan Bong Mini.

Setelah keenam pendekar itu pergi, Baladewa dan Bong Mini pun melangkah menuju Bukit Setan, di ma- na markas Perguruan Topeng Hitam berada.

Apakah rencana Baladewa untuk melakukan pem- berontakan di dalam Perguruan Topeng Hitam berha- sil? Bagaimana sikap Kidarga setelah melihat Bong Mini berhasil ditangkap Baladewa? Apakah ia akan menyerahkan hukuman bagi Bong Mini kepada Bala- dewa? Bagaimana pula dengan pasukan Kerajaan Manchuria yang hendak membantu Perguruan Topeng Hitam? Ikutilah cerita selanjutnya dalam episode: ‘Api Berkobar di Bukit Setan’.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar