Prabarini Bab 7 : Nirwikana

 
Bab 7 : Nirwikana

(kesatuan antara atman (tubuh) dan brahman (sukma))

Tak pernah membosankan! Meski terus berulang. Bola bumi bergulir tanpa henti di tengah antariksa. Melintas balantika bintang-gemintang dan semesta alam. Menghasilkan perubahan waktu dari hari ke hari. Menghasilkan perubahan panorama di mana-mana, di tiap. sisir belahan bumi. Dan tiap hari melahirkan kekaguman tanpa tepi. Ada orang yang mengatakan bahwa semua itu dikerjakan oleh seorang dewa: Bathara Kala! Tak pernah ada yang bisa membayangkan wajah dan perawakan Bathara Kala, kecuali para dalang wayang purwa. Dewa perkasa yang mampu menyorong dan menggelindingkan bola bumi. Lebih luar biasa, sang Kala pulalah yang memusnahkan kekekalan!

Dengan menambahkan usia pada tiap makhluk, setiap hari ia menggerogoti kekuatan, ketampanan, kecantikan, dan keperkasaan. Pendek kata, menggerogoti semua dan segala! Lahir, tumbuh, dewasa, dan akhirnya lapuk. Demikian pula Jayabhaya! Ketuaan membuat ia makin sering jatuh gering. Untung putranya, Rakai Holu Sirikan, sudah terlatih tampil di depan umum untuk mewakilinya di balairung sari. Tapi rasanya Jayabhaya selalu ingin menguatkan diri. Apalagi jika pergi ke taman Prabarini. Rasanya ingin menjadi lebih muda dari semua pemuda yang mana pun di muka bumi ini.

Begitulah pagi ini. Ia telah siap dengan pakaian kebesarannya untuk tampil di balairung, setelannya akan menjumpai Paramesywari di taman. Ia ingin menanyakan hasil perjumpaannya dengan Sedah, walau sebenarnya ia belum sembuh benar. Namun sebelum ia melangkah keluar, tampak Prabarini bersimpuh di ambang pintu.

"Istrinda, dirgahayu!"

"Sembah untuk Yang Maha Mulia." Prabarini masih bersimpuh di tempatnya sambil mene-langkupkan kedua telapak tangan lalu mengangkatnya ke depan hidung.

"Jagad Dewa! Tentu ada sesuatu yang penting, maka Adinda menghadap tanpa dipanggil."

"Hamba, Yang Maha Mulia." "Marilah, Istrinda! Mari kita duduk!" Jayabhaya mendekati istrinya.

"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia. Hamba cukup di sini.

Gembira sekali setelah melihat Yang Maha Mulia sehat kembali."

"Jagad Dewa!" Jayabhaya tertawa. Alisnya sebelah kanan terangkat naik. Ia merasa bahagia.

Ia datangi istrinya. Tiba-tiba semangatnya memuncak.

Seperti orang haus ia angkat tubuh istrinya, lalu diciuminya, namun Prabarini menampik dengan sopan. "Mengapa?"

"Yang Maha Mulia lupa? Beginilah harus terjadi pada tiap wanita pada setiap bulannya..."

"Oh!" Jayabhaya tampak kecewa. Namun Prabarini seolah tak peduli. Lalu berkata lagi,

"Hamba ingin mempersembahkan hasil kunjungan hamba pada Mpu Sedah," suara Prabarini dingin.

"Kenapa dengan Sedah?" "Yang Maha Mulia lupa?"

"Ya! Ya! Tak lupa. Ah, maafkan! Kemarin memang kepalaku masih pening. Sudah bersua Sedah?"

"Sudah."

"Apa katanya?"

"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia! Sedah sedang sakit." "Apa kata Istrinda?" Jayabhaya terhenyak.

Prabarini memandangnya tajam. Ingin ia men-jajagi hatinya.

"Sedah sedang tergolek karena sakit. Barangkali terlalu lelah. Atau kecewa karena tak menemukan apa yang dicarinya." "Jagad Dewa!"

"Kala hamba masuk ia tergolek di ruang kerjanya. Tangan kirinya masih menggenggam lontar." Prabarini diam sebentar. "Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia, karena tanpa seizin siapa pun hamba mencoba membaca lontar-lontarnya yang berserakan. Ternyata ia sedang menyelesaikan Karnaparwa"

"Mpu muda itu terlalu keras. Kemauannya tak terbendung. Mengapa itu bisa terjadi...?" Jayabhaya berkata seperti pada diri sendiri. Kini ia tampak berdekap tangan. Menghela napas panjang.

Prabarini menyahut lagi. Pelan. Dan hati-hati.

"Rupanya kekerasannya telah membuat tubuhnya menjadi makin rapuh. Tidakkah Yang Maha Mulia melihat bahwa ia tampak kurus?"

"Ya!" Jayabhaya menghadap istrinya. Wajahnya nampak sungguh-sungguh.

"Yang Maha Mulia kurang memperhatikan kesehatannya. Barangkali ia tidak pernah memperhatikan makannya. Tak hamba lihat orang yang mengurusnya."

"Jagad Dewa! Jangan-jangan..." Jayabhaya seperti menyesal. "Hemh... aku akan tengok dia! Mari, Istrinda!"

Kereta segera dipersiapkan. Dengan kawalan seperlunya saja Jayabhaya menuju ke tempat Sedah. Sebentar-sebentar mendung menutup sinar mentari pagi. Tiap orang yang berpapasan jalan segera menjatuhkan diri. Menyembah sambil berjongkok. Tak terampunkan debu menimpa tubuh mereka. Tapi tak apa. Karena banyak orang mengajar, jika terkena aniaya oleh karena Jayabhaya, tentu akan menerima pahala. Lebih dari itu seandainya mati, asal di tangan Jayabhaya, tentu akan langsung masuk ke alam nirwana.

"Bisa tertunda pekerjaannya." Jayabhaya bergumam di sela derak keretanya. Kusir di depannya tak berani menoleh. Sama seperti kuda penarik kereta itu: tak berani menoleh. " "Jika Yang Maha Mulia berkenan, hamba bisa membantu Mpu Sedah menerjemahkan bahagian yang tidak terlalu rumit. Dan yang lebih penting dari itu, kesehatan Sedah harus dipelihara. Dijaga! Demi Hyang Maha Mulia, Demi Hyang Maha Dewa, hamba akan kerjakan jika ada titah..."

Jayabhaya memandang wajah istrinya. Mulutnya terkatup rapat. Prabarini berdebar. Seribu doa ia baca dengan suara tak kedengaran.

"Kau?"

"Tergantung titah Yang Maha Mulia." "Sanggup mengerjakan pekerjaan berat itu?" "Inilah hamba, Yang Maha Mulia."

Kembali Jayabhaya terdiam.

Prabarini sudah memberanikan diri. Kapan lagi? Sedah sudah tiba sekarang. Jadi, ia harus membuktikan kepada Sedah bahwa sebenarnyalah ia sangat mencintai pemuda itu. Dan untuk itu perlu pengorbanan. Meski begitu ia kembali berdoa.

"Setidaknya selama ia sakit. Barangkali ia bisa mengucapkan apa yang harus hamba tulis, sementara dia berbaring saja."

"Begitu lemahkah keadaannya?" "Sangat lemah. Antara sadar dan tidak."

Kereta sampai di depan rumah panggung Sedah. Jodeh tergopoh-gopoh berlari ke gerbang. Llu menjatuhkan diri di kaki Sri Jayabhaya.

"Bagaimana kabar tuanmu?" Jayabhaya bertanya.

Kemudian bergesa masuk ke halaman.

"Tadi pagi kembali tak sadar, Yang Maha Mulia." "Sudah panggil tabib? Hei?" "Ampun, Yang Maha Mulia, belum."

Jayabhaya menaiki tangga dengan geram. Jodeh dan Sontoh jadi sasaran makian. Prabarini mengikut di belakangnya, sementara Jodeh dan Sontoh saling pandang. Selamanya orang kecil tidak pernah benar. Hampir tak pernah mendapat pujian, tapi paling sering jadi sasaran makian.

Sedah masih tampak berbaring lemah di samping lontar- lontar yang berserakan. Wajahnya pucat. Matanya terkatup rapat. Pelahan Jayabhaya mendekati. Dada Sedah naik-turun: tanda masih bernapas. Jayabhaya berjongkok. Ia raba. Kepala Sedah terasa panas. Sedah membuka matanya. Sesaat ia pandang Jayabhaya. Tapi kemudian ia pejamkan matanya, seakan tak ingin menyapa. Prabarini mengawasi Jayabhaya dengan debar.

"Ia tidak sakit, tapi sangat lelah, Yang Maha Mulia... Lelah tenaganya, pikirannya, juga hatinya," Prabarini menerangkan, dan kembali menyembah.

Kembali Jayabhaya memandang Sedah yang tergeletak tanpa daya. Mungkin saja Sedah sangat terguncang jiwanya karena tidak menemukan wanita yang bisa dia gambarkan sebagai Setyawati. Itulah tanggung jawab.

"Istrinda, aku terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Ia sangat kita butuhkan! Barangkali kau lebih pantas untuk mengurusnya. Panggillah tabib jika itu memang perlu.

Ambillah kebijakan demi namaku."

"Mudah-mudahan hamba dapat melakukannya, karena hamba cuma brahmani dungu."

Keduanya meninggalkan tempat itu. Pulang ke taman.

Sudah lama ia tidak makan pagi bersama Prabarini. Dan kini ia ingin merasakannya, walau tak mungkin memesrainya harini. Perasaan Prabarini bertolak belakang dari Jayabhaya.

Walau sudah mendapat keleluasaan, tapi belum tentu ia dapat memulihkan hati Sedah. Dan jika usahanya gagal, tak ada lain yang dipikirkannya kecuali mengakhiri semua-mua. Tapi bagi Prabarini, inilah memang saat yang tepat untuk mempersembahkan segala dharmanya buat kekasihnya.

Membuktikan bahwa keinginan untuk memenuhi sumpahnya tetap ada.

Itulah yang mendorongnya segera kembali ke rumah panggung Sedah setelah Jayabhaya meninggalkan wismanya. Ia telah memerintahkan Nyi Rumbi untuk membuatkan air kunyit yang dicampur dengan madu. Dengan membawa bekal makanan ia naik ke rumah panggung Sedah. Pada Jodeh dan Sontoh ia perintahkan supaya tubuh Sedah diangkat ke kamar tidurnya. Cukup besar sebenarnya kamar itu. Ada dua jendela besar yang mengalirkan angin segar kapan saja dikehendaki. Tapi kamar itu tak teratur. Bumbung tempat penyimpan lontar terserak di mana-mana. Permadani alas tempat tidur itu pun sudah beberapa waktu tidak dibersihkan. Debu menempeli semua benda yang ada. Prabarini geleng kepala. Betapa jauh perbedaan rumah Sedah dengan taman sarinya. Lalu apa saja kerja Jodeh dan Sontoh?

Ia mengambil kain lalu dibasahinya untuk kemudian ditempelkan pada dahi Sedah. Sementara itu ia berusaha membersihkan ruangan. Mengatur kembali bumbung- bumbung. Sedah membuka mata: heran ada di kamar tidur. Lebih heran ada kain basah di dahinya. Matanya menyapu isi ruangan. Matanya beradu dengan Prabarini yang sedang menata bumbung-bumbung.

"Sudah kubilang, pulanglah ke tamanmu! Kenapa masih di sini?'* Sedah memperdengarkan suaranya. Parau. Lemah.

"Itu kemarin, Yang Suci. Kini hamba kembali." Prabarini tidak menghentikan kegiatannya. Terus saja membenahi semua benda yang semrawut. "Kenapa kau kembali?"

Prabarini sudah usai. Sedah belum mampu bergerak. Cepat wanita itu mendekati.

"Yang Suci masih sakit. Seorang yang sakit tubuhnya, sakit pula pikirannya. Nanti saja jika Yang Suci sembuh kita selesaikan persoalan kita," katanya sambil mengambilkan air kunyit. Sedah tidak mau menerimanya. Namun Prabarini me- nyuapkannya lembut, sambil mengangkat kepala

Sedah dengan tangan kirinya. Cangkir tembikar menempel di bibir Sedah. Cangkir buatan China. Tentu tak akan dimiliki oleh kawula buat selama hidupnya. Entah apa sebab, kini Sedah meneguknya.

"Habiskan, Yang Suci. Jalan di depan kita masih jauh." Ragu. Tapi menurut.

Dengan hati-hati Prabarini meletakkan kembali kepala Sedah. Demi Hyang Maha Dewa, Prabarini merasa bahagia. Ia merasa tak pernah melakukannya untuk orang lain. Senyum kecil tersungging samar. Sedah tak menangkapnya. Tidak!

Kanda, hamba tak pernah melakukan buat Jayabhaya. Tidak akan pernah! Prabarini meninggalkan ruangan itu diikuti pandang Sedah. Tapi beberapa saat kemudian ia masuk kembali sambil membawa sepiring nasi. Sedah meliriknya.

Kawula tak pernah punya piring sebagus ini. Tentu buatan China. Betul! Mata Sedah masih bisa melihat itu. Kawula makan beralas daun jati atau pisang, atau piring yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, bukan dari keramik. Kini Prabarini duduk di pembaringannya kembali.

"Makan, Kanda. Hamba sendiri yang memasaknya."

"Tak pernah ada Paramesywari memasak sendiri." "Tidak untuk Jayabhaya. Tapi untuk Kanda... Tidak

percaya? Tanyakan pada Jodeh dan Sontoh! Mereka yang menyediakan kayunya." Tanpa menunggu jawab Sedah, ia menyuapkan nasi dengan lauk pecel ikan lele. Sengaja Prabarini menyediakan makanan seperti itu, karena demikianlah dulu makanan mereka kala akan berpisah. Sedah pun menelan suap demi suap yang dijejalkan Prabarini ke mulutnya. Bagai anak kecil yang disuapi ibunya. Diam-diam angannya mengembara pada saat-saat lampau. Entah, sepuluh atau dua puluh suap, tapi yang jelas nasi di piring itu tidak habis. Sedah menghentikan tangan Prabarini. Kembali Prabarini mengangkat kepalanya, lalu meminumkan air kelapa muda. Selesai itu, Prabarini sendiri menyuapkan nasi sisa makanan Sedah ke dalam mulutnya. Sedah seperti tersentak memandang itu. Hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya.

"Jagad Dewa!" ia berdesah. "Kanda... Lupakanlah dulu beban itu. Hamba cuma boleh di sini sampai mentari di batas cakrawala barat."

Sedah tak pernah menghalangi Prabarini kembali ke taman sarinya. Tidak juga bisa menghalangi gadis itu membantunya dalam banyak pekerjaan pada hari-hari berikut. Kesehatannya berangsur pulih. Wajahnya menjadi tidak pucat lagi. Jodeh dan Sontoh pun ikut gembira. Ia segera memberitahukan kepada kawan-kawannya bahwa Mpu Sedah sudah sembuh. Dan semua orang yang menjadi sahabat Sedah gembira.

Kiriman datang mengalir. Ada yang mengirim setandan pisang, ada yang mengirim sekeranjang pepaya, jambu, mangga, dan macam-macam lauk-pauk. Prabarini takjub menyaksikan semua itu.

"Dari mana saja semua ini, Yang Suci?" ia bertanya suatu pagi.

"Dari kawula. Mereka mengira aku tidak ada yang memberi makan. Mereka pun takut aku kelaparan." Sedah tersenyum.

Hati Prabarini pun berbunga. Mungkin saja Sedah lupa bahwa ia harus menyimpan senyumnya di depan Prabarini. Tapi tidak, ia tidak pernah berpura-pura. "Begitu banyak orang mencintai Yang Suci. Lalu mengapa Yang Suci akan meninggalkan mereka?" Kini Prabarini duduk di samping Sedah. Bau harum tubuhnya merambat pelahan ke hidung Sedah. Dada $edah berdesir.

"Hidup seperti lembah yang amat panjang. Kematian adalah ujungnya, sedang kelahiran adalah awalnya." Sedah masih memperhatikan karyanya. Telah beberapa hari Prabarini yang menulisnya. Namun kini Sedah sudah duduk di lantai bersama kumpulan lontar-lontar.

"Selama kita hidup, kita akan menjalaninya. Lembah berbatu-batu atau berlumpur semua terhampar di depan kita, bukan?" tanya Prabarini.

"Ya." Sedah belum menoleh. Tapi kini tangan Prabarini menumpang di punggungnya. Bahkan kepalanya bersandar di bahu Sedah.

"Jika ya, kenapa Kanda marah jika hamba tersandung?" Diam sebentar. Sedah menoleh. Kini Prabarini menggunakan tangan kirinya untuk membelai rambut Sedah yang terurai. Mpu Sedah menembuskan pandang ke mata Prabarini yang basah.

"Karena kau brahmani!"

"Jadi brahmani tak boleh salah? Tak bisa salah?"

Sedah meletakkan alat tulisnya. Prabarini mendesak maju. "Bisa. Bisa salah. Tapi harus berusaha agar tidak salah!"

Entah apa yang mendorongnya, Sedah tiba-tiba memeluk tubuh Prabarini yang duduk di depannya. Prabarini pun. Makin lama makin erat. Rasanya enggan berpisah lagi. Beberapa saat kemudian Sedah merenggangkan pelukannya. Ia hapus air mata Prabarini. Tindakan Sedah itu memberikan arti lain.

Seolah memberikan damai yang melampaui segala akal dan pikiran Prabarini. Ia tatap mata Sedah. Masih saja seperti mata rajawali. Tak pudar oleh aniaya yang dialaminya. Prabarini malu sendiri.

"Kanda telah salah melihat hamba. Hamba memang bukan brahmani, bukan pula satria..."

"Ya! Kau adalah anak Palagantara!" "Jagad Bathara!"

"Ibumu juga pernah diperistri oleh suamimu! Kendati cuma selir. Palagantara telah menjualnya kepada Jayabhaya."

"Hyang Dewa Ratu..." Prabarini merasa tak pantas lagi berhadapan dengan Sedah. Sedah ternyata telah mengetahui semua-mua.

"Lalu... apakah artinya lagi hamba ini bagi Yang Suci?" "Kau adalah bidadariku, kau adalah napasku, kau adalah

permata hatiku..." "Oh, Yang Suci."

Kembali keduanya berpelukan.

"Kau tak tahu betapa lama aku menunggu supaya Jayabhaya menyerahkan kau seperti ini. Prabarini, masihkah kau takut?"

"Bersama Kanda ketakutan sirna... Kanda sudah siap?" "Aku akan membayar harganya, Prabarini. Berapa pun!"

"Harga seorang Paramesywari adalah nyawa." Prabarini memeluk lagi. Seolah ia ragu mengatakannya, tapi telah terloncat keluar.

"Ya! Di bumi ini kita akan mati. Tapi tidak di hati manusia yang mencintai keadilan. Mencintai hak-hak..."

"Kanda..." Prabarini merangkul lebih erat. Bahkan mencium pipi pemuda idamannya itu. Prabarini merasakan betapa Sedah gemetar. Keringat dingin bermanik-manik tersembul di pori dahinya. Prabarini menyekanya dengan telapak tangannya.

"Kanda... mentariku, dewa dan kehidupanku..." Sedah membalasnya dengan ciuman.

"Masih ragu? Masih takut?" Prabarini merebahkan diri di paha Sedah.

Sedah mendengus mendengar pertanyaan itu. Hati menjadi tidak menentu.

"Kemarin aku mengirimkan lontar ke Widya Trisnapala. Aku beritahukan mereka tentang semua yang aku alami.

Seseorang menyediakan diri untuk menyampaikan lontarku pada Mpu Dewaprana."

"Oh, Hyang Dewa Ratu." Prabarini makin mantap. Ia tarik jubah Sedah agar pemuda itu pun berbaring di sebelahnya. Prabarini tak peduli lagi apakah ruangan itu masih belum disapu. Gelora berkecamuk di dada dua muda-mudi, membuat mereka melupakan semua dan segala.

"Hyang Dewa Ratu. Kanda, betapa pahitnya hati memendam semua aniaya dan kerinduan. Kanda " bisik

Prabarini.

Hawa panas mengalir ke seluruh tubuh muda Sedah. Tak disadarinya, pelan-pelan ia pun melepas jubahnya. Jubah kebrahmanaan. Sebagai gantinya Ah, ternyata pending

Prabarini sudah sejak tadi terlepas. Juga kainnya juga

kutang emasnya...

0ooo0dw0ooo0

Prabarini telah mempersembahkan Karnaparwa kepada Sri Prabu. Sedah sendiri tidak bisa menghadap karena sedang mengerjakan Salyaparwa. Dan karena itu Prabarini harus segera ke rumah panggung Sedah, supaya Salyaparwa cepat selesai.

Sri Prabu membaca Karnaparwa dengan hati gembira.

Betapa tidak? Sedah telah menyusunnya begitu rupa, sehingga Sri Prabu merasa seolah diri sendirilah Harjuna, atau mungkin Kresna yang selalu memberi nasihat agar Pandawa selalu unggul dalam peperangan.

"Coba, Yang Tersuci! Baca ini! Belum pernah ada karya seindah ini!" kata Sri Prabu pada Panuluh.

"Sedah telah mencurahkan sepenuh hatinya pada karya tersebut, Yang Maha Mulia." Panuluh belum membaca, tapi ikut gembira dengan pujian yang dikeluarkan Sri Prabu terhadap Sedah. Walau beberapa anak buahnya menilai Sedah masih terlalu muda untuk menerima sanjungan dan pujian.

Mereka khawatir Sedah akan tersandung karena segala sanjungan itu. Jayabhaya tidak mampu menyelesaikan bacaan itu dalam sehari. Matanya sudah terlalu tua untuk dapat diajak membaca cepat, bahkan sering mengantuk kala membaca.

Prabarini sering tersenyum sendiri jika melihat Jayabhaya sedang membaca dan mengantuk di wisma kaputrennya. Membaca sambil mulutnya komat-kamit. Bukan mengeluarkan kata-kata yang tersurat di lontar Sedah, tapi keletuk-keletuk suara gigi beradu. Pernah ia memperhatikan, ternyata dalam usia lanjut, tanpa sadar .Jayabhaya menggerak-gerakkan rahangnya seperti sapi memamah biak. Itu sebabnya mengeluarkan suara keletuk-keletuk. Mungkin juga aku akan seperti itu kelak.

Salyaparwa pun selesai setelah dua bulan Sedah bersama Prabarini mengerjakannya sepanjang hari. Pendek kata hampir setiap hari Prabarini keluar taman.

"Yang Mulia, berhati-hatilah! Jangan lupa bahwa sebaik- baik para pengawal, mereka tetaplah manusia biasa. Mereka juga bisa iri, bisa dengki. Hal ini akan semakin berbahaya jika sampai ke telinga para selir," Nyi Rumbi berulang memperingatkan tuannya.

Tapi Prabarini tak punya pilihan lain. Ia harus mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya selagi ada. Saatnya akan tiba, kesempatan itu tertutup sama sekali. Tertutup! Maka ia tak menggubris peringatan Nyi Rumbi. Dengan hati sedih wanita tua itu terus berdoa. Berdoa untuk keselamatan Prabarini. Karena keselamatan Prabarini, berarti keselamatannya juga. Hemh... orang tua itu berdesah. Cinta memang gila!

"Adinda...," kata Sedah suatu pagi, "saatnya telah tiba, bahwa semua yang kita lakukan selama ini harus berhenti."

"Kanda..." Prabarini memeluk Sedah. Keduanya berciuman. "Bacalah! Periksalah! Barangkali masih ada yang harus

diperbaiki."

Keduanya kemudian duduk di tempat kerja Sedah. Prabarini mulai mengoleskan Ijiibukan kapur pada lontar-lontar itu.

Gulung demi gulung. Kemudian ia menyandarkan kepalanya pada paha Sedah sambil mulai membaca. Sementara Sedah berulang membelai rambut kekasihnya, sambil sesekali mencium keningnya. Sementara Jodeh dan Sontoh berjaga di luar. Keduanya siap memberitahu jika sewaktu-waktu Sri Jayabhaya berkunjung seperti yang terjadi lima belas hari yang lalu.

Kisah Salyaparwa diawali dari masa muda Salya, Raja Negeri Mandaraka. Saat itu ia bernama Narasoma. Karena akan dinobatkan menjadi raja, Narasoma harus kawin terlebih dulu. Tak pantas seorang raja tanpa paramesywari. Tapi Narasoma enggan menerima pilihan ayahnya. Dan ia melarikan diri dari rumah.

Sementara itu di suatu pertapaan, ada seorang rsi atau pendeta yang diam bersama anak perempuannya. Pujawati nama anak pendeta itu, sedang ayahnya adalah Rsi Bagaspati. Sungguh anak anugerah Hyang Maha Dewa sendiri. Lahir tanpa ibu. Ia hasil daya cipta Bagaspati sendiri yang meminta anugerah dari Hyang Maha Dewa. Sungguh luar biasa! Putri yang tiada duanya di muka bumi ini.

Prabarini berhenti sebentar kala membaca tentang Pujawati. Ia tahu bahwa dialah yang digambarkan oleh Sedah sebagai Pujawati. Hatinya tersibak oleh kebahagiaan. Tapi juga berdebar. Setitik ketakutan mencuat di sudut hati lainnya. Sedah tersenyum kala memperhatikan kegelisahan kekasihnya.

"Perlu aku hapus?"

Prabarini tersenyum lalu melanjutkan pembacaannya.

Saat itu Pujawati sedang dirundung sedih. Ia jatuh hati pada seorang pemuda bernama Narasoma, yang dilihatnya dalam mimpi. Ia menangis dan meminta agar ayahnya berangkat mencari pemuda idaman hatinya itu.:

"Beruntung Pujawati, punya ayah yang mengasihinya." Prabarini memandang mata Sedah. "Berbeda dengan Prabarini yang tak punya siapa-siapa, sehingga terjerumus ke tangan orang yang tak pernah dicintainya."

"Sekarang kan sudah bersama..." Sedah memijit hidungnya beberapa saat.

"Aih, Kanda..." Prabarini mencubit paha Sedah. Dan Sedah melepas pijitannya sambil meringis. Membaca lagi.

Bagaspati mencari Narasoma. Bersua di tengah rimba.

Narasoma menjelaskan bahwa ia akan pergi ke Mandura untuk melamar Kunthi, yang konon kabarnya mengadakan sayembara: barangsiapa jadi pemenang akan dipersandingkan dengan Kunthi. Tapi Bagaspati saat itu memaksa Narasoma untuk datang ke pertapaannya. Bukan main terkejutnya Narasoma setelah sampai di pertapa? an, ternyata anak Bagaspati wajahnya amat bertolak belakang dengan ayahnya. Bagaspati berwajah jelek karena memang digambarkan sebagai raksasa, sedang anaknya bak bidadari.

"Laki-laki senangnya yang cantik saja! Lalu yang jelek ikut siapa?" Prabarini menggoda lagi.

"Ah, biar ikut ibu-bapaknya sendiri!"

"Kalau ibu-bapaknya tidak mau seperti hamba ini, bagaimana?"

"Aku tak tahu ayah macam apa seperti itu!"

Segera bayangan Palagantara muncul di benak Prabarini maupun Sedah.

"Kau suka memindahkan cerita dalam bayangmu sendiri." Sedah berbisik. "Jadi ingat ayahmu..."

"Kanda..." Prabarini meletakkan lontar itu. Lalu memeluk paha Sedah yang satu lagi. "Cuma Kanda milikku satu- satunya." Prabarini terisak lagi. "Jangan tinggalkan hamba, Kanda..."

"Kita telah bersatu. Seperti nirwikana. Bersatunya brahman dengan atman. Sukma dan badan wa-dag! Cuma kematian yang bisa memisahkan kita."

"Tidak! Kanda... kematian pun tidak!" "Adinda..."

Keduanya menyatu dalam pelukan. Seakan tak ingin dipisahkan lagi. "Hamba sudah..."

"Sudah apa?" Sedah bertanya dalam bisik. Mengandung..." Mata Prabarini basah. "Anak satria itu?"

"Hamba bunuh benih bandit itu tiap kali akan tumbuh dalam rahim ini. Hampir empat bulan ini tak ada waktu baginya untuk meniduri hamba." "Jagad Dewa! Sudah berapa..." "Baru satu bulan, Kanda."

"Oh, anakku?" "Ya! Anak kita!"

Suasana menjadi hening sesaat. Keduanya tercenung, sekalipun masih saling berpelukan. Jika anakku, ia tidak boleh lahir di istana. Tidak! Sebab kelak akan menimbulkan hal yang tidak menyenangkan.

"Saatnya memang telah tiba, Dinda. Kita harus memperjuangkan pembebasan kita sendiri." "Caranya?"

"Pulanglah ke taman. Dan jangan kemari lagi? Aku akan menghadap Jayabhaya. Dan akan menyerahkan Salyaparwa ini. Jika ia mengerti maka ia akan tahu tentang kita."

"Kanda... kita menghadap bersama." Prabarini mempererat pelukannya. "Ke ujung dunia pun aku ikut." Manja.

"Ah..." Sedah tak berkutik. "Jika demikian... mari!"

Keduanya bangkit. Bergandengan mereka menuruni tangga. Di bawah Sontoh terkejut melihat tuannya bergandengan dengan Paramesywari. Berjalan berjajar seperti Kamajaya dan Ratih. Ia menyembah. Sementara Jodeh jauh di depan gerbang. Kiri-kanan jalan menuju gerbang tumbuh rimbun bunga melati. Tiba-tiba Sedah menghentikan langkahnya. Ia teringat Salya pada saat akan mancal bertempur mengenakan pakaian serba putih dan untaian melati.

"Kita memetik kembang-kembang itu!" Tanpa menunggu jawaban Prabarini, ia telah melangkah untuk memetik kembang melati itu. Tidak sedikit.

"Untuk apa, Kanda?" "Aku akan mengenakan untaian melati sebagai kalung.

Melati lambang kasih suci kita. Lambang keharuman cinta dan citaku!"

"Jagad Bathara!" Prabarini makin berdebar. Namun ia juga ikut memetik sebanyak-banyaknya. Sontoh terheran-heran.

Tidak biasanya Sedah memperhatikan bunga-bunga, apalagi memetiknya. Dan sepasang muda-mudi itu kembali meniti tangga naik ke rumah panggung.

"Tak ada pekerjaan lagi!" Sedah tersenyum. "Aku akan meronce bunga ini."

"Hamba yang meronce buat Kanda..."

"Jika demikian aku buat untuk kau, Adinda..."

"Aku akan menghadap dengan mengenakan jubah putih. Karena demikianlah, Salya ketika mancal berperang, Adinda."

"Jika demikian, izinkanlah hamba mengambil kain putih hamba..."

"Pergilah, Adinda..."

Prabarini bergesa menuju taman. Ia sama sekali tidak tahu, bahwa sepeninggalnya Sedah pun bergegas menuju istana.

Kebetulan sekali Sri Prabu sudah akan beranjak ke taman Prabarini. Ia sudah lama tidak bermesra dengan Paramesywari. Ia amat terkejut melihat Sedah tidak seperti biasa. Jubahnya tidak hitam, namun putih bersih. Kalungnya bukan medali bergambar teratai, tapi untaian melati. Maka bau harum segera menusuk hidungnya.

"Salyaparwa usai, Yang Termulia. Karena ini bahagian kudus, maka hamba mengenakan demikian. Jangan heran." Sedah terus minta diri. Makin heran Jayabhaya. Sedah tidak memerlukan berbincang atau mendengar pujian. Dalam keheranannya itu Sri Prabu memutuskan akan membaca Salyaparwa di wisma taman sari Prabarini. Tapi apa yang didapatinya di taman? Prabarini baru saja naik dari kolam pemandiannya. Mandi jamas seperti layaknya para wanita yang usai bersetubuh dengan suaminya. Dan nampak sangat terkejut waktu melihat Jayabhaya masuk.

Wanita muda itu berlari kecil menuju wismanya, kemudian menutup pintu rapat-rapat. Jayabhaya tersenyum. Istrinya kembali seperti seorang gadis kecil yang malu dilihat pria kala usai mandi. Hal yang demikian tentu makin mengundang birahi lelaki. Tapi ia tidak masuk ke wisma. Ia duduk di tengah taman sambil mulai membaca-baca sambil terkantuk-kantuk.

Prabarini terhenyak di sudut kamar. Hatinya tak menentu.

Tentu Jayabhaya yang arif itu tahu bahwa aku baru saja berenang di samodra asmara dengan Sedah. Tubuhnya gemetar. Sesudah mengenakan kain sutera putih sebagai pembalut tubuh bahagian bawah ia mengenakan pending emasnya. Lalu lain-lain perhiasan. Dan matanya kini menatap untaian melati yang tergantung di dinding kayu. Ia bangkit dan meraba. Tangannya gemetar. Kau takut? Bukankah kau sendiri yang mengajari Sedah untuk tidak takut menciummu? Bermesra denganmu? Dan hidup adalah timbal-balik. Setiap kenikmatan yang kau terima dari Sedah harus juga kaubayar. Bukan cuma Sedah yang harus membayar.

Tapi sudut hati yang lain memerintahkan agar ia menunda niatnya. Toh sebentar lagi Jayabhaya yang tua itu akan mati. Kenapa tidak bisa bersabar barang sedikit pun. Dan Prabarini kembali terduduk. Tapi agak lama pintu tak diketuk.

"Ke mana dia?" bisiknya dalam tanya kepada Nyi Rumbi. "Duduk di tengah taman. Rupanya membaca sambil

terkantuk-kantuk."

"Ah... ada tugas untukmu. Menyelinaplah ke rumah Sedah dan katakan padanya, aku akan naik ke pura di tengah taman dulu, karena Jayabhaya sedang di taman."

"Yang Mulia..." "Sudahlah, Bibi! Biarkan aku sekarang memilih jalanku."

Wanita tua itu menyelinap pergi. Kini Prabarini memberanikan diri meraih untaian bunga melati di dinding kayu dekat tempat tidurnya. Susunya naik turun, seirama tarikan napasnya yang dalam. Lalu pelan-pelan ia keluar dari wismanya, menuju pura. Seperti kucing yang sedang mengendap-endap karena memburu tikus, Prabarini berjalan hati-hati. Setiap kali Jayabhaya bergerak ia berhenti.

Selendang sutera putih yang panjangnya dua setengah kali panjang tubuhnya itu bahagian tengahnya melilit leher jenjangnya. Sedangkan kedua ujungnya meluncur ke bawah melewati belakang punggungnya sampai ke tanah. Jika Prabarini berjalan, tak ayal ujungnya akan menyapu jalan.

Sri Prabu benar-benar jatuh dalam kantuk. Dia bergerak hanya kalau ada lalat yang mencoba memasuki mulutnya atau merubung air liur di sudut-sudut bibirnya. Prabarini memang perlu naik ke pura. Perlu menenangkan jiwa. Perlu mengumpulkan keberanian untuk dapat menyatakan sikapnya kepada Jayabhaya. Bau kemenyan mulai memenuhi taman.

Prabarini telah memasuki yoga semadinya. Memasuki alam lain. Bau yang juga merambat ke hidung Sri Prabu dan membuatnya bersin Berkali. Untuk kemudian terbangun.

Bingung. Mencari sesuatu dengan memeriksa sekelilingnya.

Bangkit. Rupanya sudah lama aku tertidur. Mentari telah condong ke barat. Bau kemenyan dan dupa makin menyengat. Tersaruk ia menuju wisma Prabarini. Tak ada air kembang di depan pintu. Hatinya tersibak. Pintu tertutup. Emban tua bersimpuh di dekat pintu mematung setelah menyembah.

"Ke mana Paramesywari?"

"Beliau takut membangunkan Sri Prabu. Beliau sedang ada di pura."

Jayabhaya mengangguk-angguk. Bibirnya mengatup.

Berbulan Prabarini tidak dijamahnya. Kini pun tidak mungkin dapat diganggunya. Ia tahu persis, Prabarini betah berdoa. Pernah ia menyertai istrinya berdoa semacam itu. Dua hari dua malam Prabarini bisa tidak turun dari pura. Entah apa saja yang dia doakan. Menyanyikan kidung, menyembah, menangis. Dan ia menjadi tidak tahan. Ia tidak terlatih berdoa seperti itu. Memang ia bukan brahmana. Maka Jayabhaya mencoba menengok ke pura. Hatinya berdesir.

Dari kejauhan ia melihat, Nyi Rumbi menyalakan lampu- lampu kecil. Dan Prabarini diam mematung dengan dua tangan berada di depan susunya. Ia memutuskan akan membaca Salyaparwa lebih dulu, setelah itu akan menjumpai Prabarini.

Malam kian larut. Semua orang telah jatuh dalam kantuknya, namun Sedah tetap tak mampu memejamkan matanya. Apa pun, Prabarini adalah miliknya! Brahmana muda itu berkali terusik oleh bayang-bayang Prabarini, maka sering terjaga dan menengok keluar. Tiada bintang. Angin bertiup menawarkan hawa dingin mencekam buat semua orang.

Lidah-lidah api nampak sesekali di langit kelam. Hiasan alam yang mengerikan. Gelegar suara guruh seolah mampu membelah bumi. Keresahan Sedah makin tiada tertahan.

Barangkali saja kekasihnya telah terkulai mati oleh tangan Jayabhaya. Gila!

Tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang menyorongnya, ia turun dari beranda. Satu demi satu anak tangga ia turuni. Dan kakinya melangkah. Melewati gerbang. Menoleh kiri dan kanan. Gulita! Menyeberang jalan. Mengendap. Menoleh kiri dan kanan lagi. Menajamkan telinga. Lolong anjing hutan di kejauhan. Katak dan jengkerik tidak berani bersuara. Angin kencang menawarkan hujan. Mencoba menaiki pagar batu bata, melewati pohon kenanga. Semut merah terusik dan marah. Menyerbu. Sedah mengumpat dalam hati. Memeriksa keadaan lagi. Laskar wanita yang berjaga di gardu sana pada tertidur. Ia melompat. Jatuh di rerumputan. Mencari dari mana datangnya bau kemenyan. Merangkak ke sana. Sesekali berlindung di balik pohon.

Nyi Rumbi tak dapat menahan kantuknya. Tertidur di lantai pura. Sedah merangkak dan akhirnya sampai di dekat kekasihnya. Ia meniup semua lampu-lampu kecil yang ada.

Menyapa kekasihnya dalam bisik setelah ia duduk di sampingnya. Hampir saja Prabarini terpekik ketika Sedah menyentuh bahunya. Tapi Sedah cepat mendekatkan mukanya.

"Sssts! Jangan berteriak!" bisiknya.

"Hyang Dewa Ratu! Kanda?" Prabarini heran luar biasa. "Kita berdoa bersama dulu!" Sedah menahan diri. Kembali

ia mengatur napasnya yang tak teratur lagi. Setelahnya mereka berdua menyelinap ke dalam wisma Prabarini. Nyi Rumbi mereka tinggalkan. Walau rintik hujan mulai turun, gelegar geledek yang disusul oleh guruh berkepanjangan makin membuat tiap orang tenggelam dalam selimutnya.

0ooo0dw0ooo0

Keindahan tulisan Sedah makin mempesona, apalagi waktu Jayabhaya membaca bahagian terakhir Salyaparwa. Suatu kisah cinta yang tak ternilai indahnya. Berulang dan berulang Jayabhaya tenggelam dalam bacaan itu. Dan membawa dia pada alam andai-andai. Ya, andaikan istriku adalah Pujawati...

Pujawati telah bertekad! kata Sedah dalam tulisan itu.

Seluruh kesetiaan hanya untuk Narasoma. "Sungguh?" Narasoma mengais lebih dalam. "Ya, Kakang."

"Jika demikian, mau kau menolong aku?" "Apa?"

"Aku punya teka-teki yang tak terjawab. Barangkali cuma ayahmu yang bisa."

"Katakan, Kakang." Pujawati menyandarkan kepalanya pada bahu Narasoma.

Jayabhaya membayangkan Prabarini. Tapi Prabarini tak pernah bermanja macam ini. Ia cuma melihat ketakutan pada wajah Prabarini. Ah... Jayabhaya mengeluh sendiri.

"Di suatu taman ada bunga yang luar biasa indahnya. Lalu seorang putra raja datang, ingin memetik bunga tersebut.

Tapi sayang, bunga tersebut dijaga oleh seekor buaya yang amat galak dan busuk baunya." Narasoma terdiam.

Pujawati juga terdiam. Hatinya gundah setelah melihat suaminya bermendung. Maka ia bergesa ke tempat ayahnya bersemadi. Ia menangis sambil menjelaskan teka-teki Narasoma. Mendadak ayahnya terkejut. Mukanya berubah. Gelap. Lalu bertanya setelah mengambil napas panjang,

"Pujawati, Anakku... apakah kau mencintai suamimu?" "Dengan sepenuh hatiku, Bapa."

"Bagus." Kinipandita raksasa itu tersenyum. Ia angkat anaknya tinggi-tinggi. "Seorang istri memang harus sungguh- sungguh mencintai suaminya. Sepenuh hati. Dan orang..." Bagaspati berhenti sebentar.

"Kenapa, Bapa?" Pujawati tidak mengerti. "Barangsiapa sudah terikat jadi suami-istri, ia harus

meninggalkan ibu-bapanya, untuk menyatu..."

"Bapa!" Pujawati terpekik.

"Jangan terkejut! Kau mencintainya sepenuh hati. Dan hati itu tak bisa dibelah-belah. Engkau harus memilih mana yang harus menjadi panutanmu: ayahmu, atau suamimu." "Jagad Dewa!"

"Inilah kehidupan. Nah, kau akan setia pada suamimu?" "Sepanjang hidup aku akan setia."

"Walau suatu ketika suamimu kawin dengan orang lain?

Karena memang sebelum mengawini-mu Narasoma berniat ke Mandura untuk melamar Kunthi."

"Hamba akan tetap setia."

"Jagad Dewa! Begitu mulia hatimu, Anakku! Karena itu, sejak sekarang kau akan bernama Setyawati seperti sikapmu dan pendirianmu yang setiawan itu."

"Setyawati?"

"Ya, Setyawati. Nah, sekarang panggil suamimu kemari.

Dan kau tinggal di luar."

Setyawati keluar. Sebagai gantinya Narasoma masuk.

Bagaspati menceritakan semua permintaan Pujawati. Juga ia ceritakan bahwa nama Pujawati sudah diubah menjadi Setyawati.

"Karena itu, jangan sia-siakan dia, Yang Mulia." "Hamba, Yang Suci," janji Narasoma.

"Sebelumnya, aku akan memberimu seorang teman, selain Setyawati. Dia bernama Candra-bhirawa! Ia tak nampak di mata. Ia akan masuk ke dalam tubuhmu, dan kau akan bisa memanggilnya saat kau memerlukannya. Mari kita bersemadi!"

Keduanya bersemadi. Dan Candrabhirawa segera berpindah dari tubuh Bagaspati ke dalam tubuh Narasoma. Makhluk yang bisa memecah dirinya menjadi banyak seperti jamur. Itulah Candrabhirawa. Raksasa kecil, tapi bisa menjadi banyak sekali.

"Sekarang, aku tebak teka-tekimu itu. Kembang yang kaumaksudkan tak lain adalah Setyawati sendiri, sedang buaya itu adalah aku. Kau malu punya mertua sejelek aku, tapi kau suka pada anakku karena cantik. Nah, memang keindahan menyenangkan buat selamanya." Berhenti sebentar sambil menelan ludah. Lalu bangkit mengambil sebilah pedang. Dan melemparkannya ke kaki Narasoma. Sambil tersenyum ia berkata, "Raja Mandaraka yang bijak, singkirkanlah buaya itu!"

Gemetarlah tangan dan seluruh tubuh Narasoma. Namun ia calon raja besar di Mandaraka. Tak boleh malu. Juga tak boleh dipermalukan oleh siapa pun, kendati oleh mertua sendiri.

Maka dengan sekali gerakan pandita itu rubuh dengan darah membasahi bumi.

Jayabhaya berhenti sebentar membaca kisah itu. Betapa kejamnya Salya! Cinta Setyawati harus dibayar dengan nyawa ayahnya. Walau kemudian Salya disumpahi, akan terbunuh oleh seorang yang berdarah putih, yang selama hidupnya tak pernah berperang. Sedang di akhir kakawin itu Sedah menceritakan betapa besarnya cinta Setyawati. Wanita yang tetap awet muda karena memang tidak pernah lahir dari rahim perempuan itu tertidur setelah bersenggama dengan suaminya. Kemudian ia terbangun. Suaminya tak ada di sampingnya, la tahu bahwa suaminya sengaja menipunya. Ia buat supaya Setyawati pulas dan kemudian ia sendiri berangkat ke medan tempur Kurusetra. Bergesa Setyawati menyusul, namun terlambat. Langkahnya tidak secepat lari rata (kereta perang) suaminya yang ditarik oleh dua ekor kuda terpilih.

Senja menyambutnya di Kurusetra. Semua orang sudah lelah berperang. Hatinya tak menentu. Suara burung hantu mendorongnya untuk mencari ke tengah padang Kurusetra. Terdengar suara rintih kesakitan di sana-sini, dari prajurit atau satria yang belum mati. Keringat Setyawati mengucur dari setiap pori tubuhnya. Bangkai demi bangkai ia langkahi. Ia periksa satu-satu. Air matanya meleleh. Darah membanjir.

Kakinya basah oleh cairan merah berbau anyit itu. Tapi tetap saja ia cari dan cari. Tanpa sadar ia menerjang pedang ternganga karena jepitan mayat satu dengan lainnya. Kainnya terkoyak. Tapi Setyawati tak menggubrisnya. Makin berge-sa. makin terkoyak. Paha mulus makin terbuka. Andaikata mayat- mayat itu bisa hidup kembali, mereka akan dapat melihat, betapa seluruh tubuh Setyawati memang tanpa cela, kecuali tahi lalat hitam pada pangkal pahanya. Justru tahi lalat itulah yang sering dipermain-mainkan oleh Salya setiap kali...

"Jagad Dewa!" Jayabhaya tersentak. Dadanya berdegup keras. "Apa aku salah baca?" Maka ia mengulang. Tetap sama... kecuali tahi lalat hitam pada pangkal pahanya.

Justru...

"Drubiksa! Caraka! Panggil Mpu Panuluh!" Jayabhaya segera mengenakan pakaian kebesarannya. Segera ia ke balairung sari. Mendung kelabu menaungi sebahagian kota siang itu, namun masih saja mentari menerobos membuat kegerahan luar biasa. Semua orang berkeringat. Panuluh berdebar karena panggilan yang amat mendadak itu.

"Baca ini!" perintah Jayabhaya tanpa senyum seperti biasanya.

"Yang mana, Yang Maha Mulia?" Panuluh gugup. "Yang itu!" Jayabhaya menggunakan telunjuknya. Panuluh menajamkan matanya. "Baca keras-keras!"

"Makin terkoyak. Paha mulus makin terbuka. Andaikata mayat-mayat itu bisa hidup kembali, mereka akan dapat melihat, betapa seluruh tubuh Setyawati memang tanpa cela, kecuali tahi lalat hitam di pangkal pahanya. Justru..."

"Berhenti!" Jayabhaya geram. "Apa pendapat-mu?

Bahagian depan ia tak menceritakan seperti ini. Coba lihat waktu ia menceritakan kecantikan Setyawati itu!"

Panuluh yang belum mengerti apa-apa itu membaca, "Rambutnya hitam dan tebal, ikal. Jika tak berkondai atau tidak disanggul, maka rambut itu akan menggapai tanah.

Mukanya bulat telur dengan alis seperti bulan tanggal satu yang dipotong pada sebelah ujungnya. Matanya lebih mirip bintang timur saat mengerjap, dan membuat Narasoma terpesona. Hidungnya lancip dan bibirnya mungil tipis, bila tersenyum menciptakan lesung pipit pada pipi montok tanpa cela. Lehernya bergaris-garis samar dalam bentuk jenjang..."

"Yang Tersuci! Yang dia gambarkan di situ adalah istriku, Prabarini! Ya, aku tak keberatan karena aku memang memperkenankannya. Tapi... dengan ia telah melihat bahagian terlarang itu, apa artinya?"

Panuluh tertunduk. Hatinya berdebar. Jayabhaya diamuk cemburu. Matanya kini merali padam. Seperti mata kerbau gila.

"Kau jadi saksi! Jadi saksi! Sedah harus diadili! Karena itu panggil semua anggota Dewan Cerdik Pandai. Kita adili dia besok!"

"Hamba, Yang Maha Mulia!"

"Caraka! Kerahkan laskar! Tangkap Sedah! Masukkan dia dalam kurungan!"

Jayabhaya kemudian memanggil pemimpin laskar wanita supaya membawa Prabarini masuk ke istana. Kendati sudah tua, namun mukanya masih*, merah padam. Hatinya berdebar keras. Kemarahan makin memuncak kala Prabarini masuk ke gedong kuning dengan kain putih serta selendang putih, dan untaian melati sebagai kalungnya. Ia melambaikan tangan pada pengawal wanita itu, mengisyaratkan agar pergi meninggalkan mereka berdua saja. Prabarini menatapnya tajam, tanpa menyembah lagi.

"Bagus! Tak perlu kutanya pun kau sudah menunjukkan." Jayabhaya bangkit berdiri dan mendekati Prabarini. Berdebar. Tapi matanya tak bergeming. "Sundal!" geramnya.

"Aku tidak pernah bersundal! Tapi kau sendiri telah menciptakan persundalan di seluruh negeri ini!" Prabarini menyemburkan dendamnya.

"Kaupamerkan pahamu pada Sedah..."

"Aku sudah mencintainya sebelum kau menculikku! Apa salahnya kami saling melimpahkan kasih kami? Dan Kau? Tak pernah merasa berdosa dengan menjadikan istri ibu dan anak sekaligus! Di mana letak peradabanmu?"

"Aku tak pernah melakukannya!" Jayabhaya kini terkejut, seperti ditampar geledek.

"Kau ingat pada Ratrini? Istri Palagantara? Beliau adalah ibuku! Kauperistrikan dia. Heh, tidak malu kau...?"

Jayabhaya terdiam. Tapi hatinya bergelora. Tanpa tertahan tangannya melayang. Pipi montok Prabarini tertampar.

Tubuhnya terhuyung ke belakang. Jayabhaya sendiri kaget. Tapi Prabarini tegak kembali. Hatinya malah meluap.

"Genaplah sudah kejahatanmu. Mengancam, menakut- nakuti dan menyiksa. Kalau perlu membunuh!" Mata Prabarini menyala. Air matanya sudah kering. Sepanjang pagi ia menangis di pura. Memang tubuhnya lunglai, karena sepanjang malam waktunya dihabiskan bersama kekasihnya, Sedah.

"Ya! Memang Sedah akan mati!"

"Memang Sedah akan mati. Mati di bumi ini, tapi tidak di hatiku!"

"Drubiksa!" Jayabhaya maju lagi. Dengan sekali sentak saja untaian melati itu putus. Kemudian melatinya berhamburan di lantai. Diseretnya Prabarini masuk ke bilik agung, lalu didorongnya dengan kasar ke pembaringan. Napas Jayabhaya makin memburu. Ia banting pintu. Maju lagi. Ditariknya kain Prabarini keras-keras. Pendingnya putus terpental. Bugil!

"Setelah ini, kau akan jadi umpan budak-budak!" geramnya.

"Sekarang saja!" Prabarini bangkit. "Biar kandungan dalam rahim ini ikut punah! Sekarang! Biarlah dunia makin tahu, bahwa Raja Besar Yang Maha Mulia itu ternyata cuma pandai membunuh orang-orang tak berdaya yang tidak pernah melawan. Juga bayi-bayi yang belum pernah menangis!"

"Jagad Dewa! Kau mengandung?"

"Ya! Ibuku juga mati waktu mengandung! Mengandungkan benihmu! Ayo! Kenapa diam?! Seret aku ke tengah budak buas sebuas binatang sekalipun."

Jayabhaya bergetar. Persendiannya loyo. Ia pandangi perut halus Prabarini. Agak membuncit memang. Mungkin karena pandai merawat diri, jadi tak tampak ia mengandung.

Kemudian menunduk. Anak siapa itu? Sedah... atau anakku ' yang kuharapkan akan lahir perempuan? Kembali kepalanya menjadi pening. Ia sama sekali tak mengerti, kenapa Prabarini menjadi demikian berani. Dari mana datangnya keberaniannya ini?

Pelan-pelan ia keluar. Ditutupnya bilik itu dari luar. Dan pelan-pelan Prabarini menghampiri kainnya. Ia kenakan. Selanjutnya ia tak tahu apa-apa lagi". Tak ada yang mengiriminya makanan. Malam tiba, bilik itu pun dibiarkan gelap. Berjuta tanya ia bawa dalam semadi.

Sementara itu, di balai persidangan Dewan Cerdik Pandai terjadi perdebatan yang amat sengit. Beberapa mpu bertekad membela Sedah. Sedah telah berbuat segala-galanya demi seni.

Demi masa depan. Demi keabadian dan kemanusiaan. Jika terjadi perzinahan, itu bukan salah Sedah. Bukan! Dan Panuluh memang mengetahui bahwa Sedah dan Prabarini sama-sama pernah berguru di Widya Trisnapala.

"Titah Raja di atas segala-galanya. Seni bukan untuk seni itu sendiri, tapi harus mengabdi pada kepentingan negara. Karena itu kita harus mengusut Sedah di bawah kuasa Baginda."

"Tidak bisa!" Mpu Sakramara membantah keras. "Seni sepenuhnya mempunyai hak untuk menentukan pilihan pada siapa ia mengabdi. Ia punya tujuan sendiri. Dan pembelokan dengan memaksa adalah pemerkosaan. Itu berarti kita menciptakan persundalan dalam seni."

Perdebatan tidak mencapai kata sepakat, namun keputusan Jayabhaya harus dilaksanakan. Demikianlah keesokan harinya Sedah dibawa ke hadapan sidang Dewan Cerdik Pandai. Dyah Pawac,i, Sri Jayabhaya, dan para adyaksa ikut hadir. Panuluh menyerahkan tuduhan pada adyaksa yang berwenang. Dan orang tinggi besar berkumis bapang itu mulai mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sedah.

"Apa sangkamu aku ini penyamun maka aku harus dituntut, diperiksa, bahkan ditangkap beramai-ramai oleh laskar bersenjata?" Sedah membetulkan letak roncean kembang melatinya. Jubah sutera putihnya tampak kusut-masai.

Para adyaksa saling pandang.

"Kami mendapat perintah untuk memeriksa Yang Suci, karena Yang Suci dituduh merusak nama baik Sri Prabu."

"Nama baik? Ha... ha... ha..." Sedah memperdengarkan tawa berkepanjangan.

Sampai adyaksa terpaksa menggebrak meja. Jayabhaya menjadi amat tersinggung. Sementara itu, di luar balai persidangan kawula berkumpul mengepung balai. Hiruk-pikuk suara mereka membuat Dyah Pawagi memerintahkan Kuda Amiraga agar mengerahkan laskar untuk menenangkan mereka.

"Apa yang kalian maksudkan mencemarkan nama baik? Apa kalian belum pernah mendengar aku menerjemahkan Mahabharata demi Sri Prabu?" Sedah kini memandang adyaksa tajam-tajam. "Apakah selama aku diambil tenaga dan pikiranku, maka aku-dibebaskan berbuat semau-mau? Tapi jika saatnya telah dianggap habis dan tidak diperlukan lagi, maka aku harus disingkirkan seperti sampah tanpa arti? Jika demikian, maka hal sama akan terjadi pada semua pembesar negeri. Selama ia masih diperlukan oleh Raja, menjadi menteri, atau apa saja, ia disanjung. Tapi pada ketikanya akan dilempar seperti sampah,"

"Melingkar!"

Tiba-tiba Sedah mendengar Jayabhaya membentak. Semua orang terdiam. Menunduk. Kecuali Sedah.

"Kau telah memaksa istriku membuka kainnya di hadapanmu. Itu penghinaan!"

"Jika demikian maka Prabarini perlu didatangkan sebagai saksi. Harus kalian ketahui, bahwa sebelum menjadi Paramesywari, Prabarini adalah calon istriku. Kami sudah bersumpah di hadapan Hyang Maha Dewa dan orangtua kami."

"Bohong!"

"Bukan kebiasaan brahmana berbohong, karena kami tak pernah punya kepentingan untuk berbohong. Kami tidak pernah menginginkan orang lain takluk dan menyembah pada kami. Kami tidak memerlukan kekayaan untuk dapat mempengaruhi orang lain seperti halnya pedagang. Tidak!

Yang kami kerjakan tiada lain ialah membuka mata manusia untuk memperoleh peradaban yang lebih maju dari sekarang. Dan berbicara soal Prabarini, jika Sri Prabu mau jujur, siapakah yang lebih berhak? Tentu Prabarini yang lebih tahu. Karena selamanya ia tak pernah mencintai Sri Prabu. Salahkah orang yang datang mengambil kembali haknya? Salahkah pula Hyang Maha Dewa yang telah menganugerahkan kasih di hati, sehingga membuat cinta bersemi di hati manusia? Jika demikian, beranak-pinaklah drubiksa dengan semua pengikutnya!"

Semua orang terdiam. Jayabhaya juga. Lidah Sedah setajam pedang. Hiruk-pikuk di luar balai persidangan makin ramai. Sayup-sayup terdengar orang-orang berteriak,

"Dirgahayu Mpu Sedah! Dirgahayu!"

Bahkan terdengar pula ratap memilukan kaum wanita sambil memanggil-manggil nama Sedah di sela bentakan- bentakan beringas laskar Penjalu.

"Kami akan mengambil keputusan untuk menghukum Yang Suci, demi keadilan, demi hukum, demi yama dan gama!" Adyaksa makin berkeringat, sebab ia sendiri merasa terjepit antara ketakutan dan kebenaran.

"Demi keadilan?" Sedah bertanya. Lalu, "Jika benar atau jujur kalian mengatasnamakan diri demi keadilan, maka seharusnya bukan aku yang diadili. Sri Jayabhaya telah menerima persembahan dari Kuda Amiraga yang membunuh keponakannya sendiri, demi mendapatkan kedudukan sebagai menteri mukha, sebagai pemimpin laskar Penjalu. Bukankah dia dulunya pemimpin laskar berkuda yang ditempatkan di Ngantang? Anak buahnya pun menculik dan mempersembahkan Prabarini padanya untuk mencari muka padanya. Nah, siapa yang harus diadili? Tentu mulai dari prajurit, Kuda Amiraga, sampai Sri Prabu sendiri. Semua harus diadili dengan tuduhan bersekongkol melakukan penculikan wanita!"

"Jagad Dewa!" Jayabhaya untuk sekian kalinya terhenyak.

Tersudut. "Yang Suci tidak hati-hati dalam berkata-kata!" adyaksa menegur.

"Selama tirani bandit berkuasa, cepat atau lambat semua putra-putra terbaik Penjalu akan dibantai, dengan segala macam alasan. Tapi penculikan kaum lemah yang dikirim sebagai budak ke luar negeri, sebagai budak di tambang- tambang emas, di taman-taman para pembesar negeri sebagai pemuas..."

"Drubiksa!" Jayabhaya berteriak, tidak tahan mendengarnya.

"Yang Termulia tidak pernah belajar mendengar. Itu sebabnya tidak bersedia mendengar hamba!"

"Adyaksa! Hukuman mati bagi Sedah!" putusnya dengan hati membara. Badannya gemetar menahan marah. Tapi di luar dugaan, beberapa anggota Dewan Cerdik Pandai berdiri. Sekitar empat belas orang. Dan Samirana Guna mewakili mereka menyatakan pendapat:

"Ampunkan kami, Yang Maha Mulia. Kami tidak setuju pada keputusan ini. Sedah berjasa begitu banyak buat peradaban dan kebudayaan umat manusia. Dan jika keputusan itu tidak dicabut, kami sekarang juga mohon diri. Kami akan mengundurkan diri dari Dewan Cerdik Pandai."

"Jagad Dewa!"

Belum pernah Jayabhaya dihadapkan pada penentangan terhadap keputusannya. Ia terdiam. Semua orang menantikan keputusannya. Dan, satu-satu, anggota Dewan Cerdik Pandai meninggalkan tempat. Ternyata bukan empat belas. Malah sekarang tinggal tiga orang saja. Panuluh tetap tinggal. Ia segera berdiri. Dengan kaki berat ia meninggalkan persidangan. Maka dengan kata lain, keputusannya tetap.

Sedah tetap tersenyum. Tak seorang pun tahu apa makna senyumnya itu. Kala digiring ke bilik penahanan, barisan orang-orang di luar gedung itu makin ramai.

"Dirgahayu Mpu Sedah!" Dan Sedah membalas dengan lambaian tangan. Makin rarrtai. Tangis kaum wanita makin melengking. Sekilas Sedah melihat ratusan orang dari Widya Trisnapala dan para siswa Perguruan Tinggi Daha sendiri. Para pengawal dengan ketat menggiring Sedah, walau sudah mulai ada yang melempar batu pada mereka. Dan sepanjang siang serta sore, bahkan malam hari pun, mereka berkumpul di

alun-alun tanpa menggubris lagi larangan menginjak rumput alun-alun.

Teriakan-teriakan mereka sampai juga ke telinga Jayabhaya. Dan itu membuatnya tidak bisa tidur. Apalagi ketika ia masuk ke bilik agung, Prabarini telah mengenakan kembali kain putihnya. Tampak lebih anggun dalam busana seperti itu. Matanya makin menusuk hatinya. Baik! Tapi lihat besok! Semua orang akan tahu, Sedah akan menjadi contoh bagi semua orang yang menentangku. Aku harus didengar oleh semua-mua! Aku raja!

Tidak seperti biasa, pagi ini dada Palagantara berdebar hebat. Kala menerima perintah bahwa ia harus memenggal kepala Sedah hatinya gundah luar biasa. Apalagi persoalannya menyangkut Prabarini, wanita yang wajahnya mirip sekali dengan istrinya yang tua. Ah, Ratrini. Mungkin... Ya, pasti anakku. Ia menangis malam itu. Kapan aku pernah membahagiakan anakku itu? Kini ia harus menghadapi kekecewaan lagi. Kekasihnya akan mati di tanganku...

Ia sudah bersiap menenteng pedang sebesar paha, mengkilap 'memantulkan mentari pagi. Tinggi besar, kumis bapang dengan rambut disanggul. Beberapa temannya juga mengenakan busana sama. Cuma kain yang lebar dengan cara mengenakan seperti cawat. Pahanya juga memamerkan otot perkasa. Sementara itu, di panggung kehormatan semua pembesar sudah duduk. Debu mengepul di seputar lapangan tak berumput itu karena kawula yang berdesak di pinggir-pinggir lapangan itu. Semua orang Daha diharuskan hadir. Mereka harus melihat! Supaya jadi peringatan, bahwa Raja di atas segala-galanya. Siapa pun yang berani menentang, akan mati! Yang membuat degup jantung Palagantara lebih keras justru sikap para penonton. Mereka dengan berani mencacinya.

"Kau juga harus mati Palagantara! Haus darah! Pembunuh istri sendiri! Pembunuh menantu! Biadab!"

Para prajurit makin banyak saja yang mengawal tempat itu. Penonton menjadi lebih hiruk kala Sri. Jayabhaya tiba. Tangan kirinya menggenggam lengan Prabarini erat-erat. Dan nampak sering menyeret-nyeret lengan itu. Lalu duduk di kursi terdepan. Prabarini dipaksa duduk di sampingnya.

Kembali penonton ribut berdesak maju. Prajurit pengawal mendorong mereka mundur. Beberapa orang terjengkang. Makian kotor terlontar! Anak petani yang jadi lintah bagi petani sendiri!

Lalu batu-batu melayang ke arah mereka. Segera pasukan berkuda dan barisan pemanah jitu dihadirkan untuk mengatasi pembangkangan itu. Dan benar: penonton pun diam. Yang bercawat, maupun yang berjubah.

Beberapa saat kemudian Sedah digiring keluar dari bilik penahanan. Doa lokananta dan mantra pelebur bala dibaca oleh para brahmana yang menonton. Dada Prabarini berdegup keras. Dalam hati ia berdoa. "Berani! Beranikanlah dirimu, Kanda!"

Tampak sekali ketenangan pemuda yang masih berusia dua puluh tiga tahun itu. Senyumnya tersungging. Taburan kembang mawar, melati, kenanga, kantil berhamburan di depannya. Sempat ia berhenti untuk memperhatikan para wanita yang menangis dan menjatuhkan diri di pelataran berdebu itu.

"Mengapa kalian bersedih karenaku? Tidakkah kalian harus bersedih karena ketidakadilan? Dan akan terus bersedih sebelum berhasil merebut kebebasan kalian! Pertahankan anak-anak kalian, yang akan dijual untuk menjadi budak!

Menjadi pemuas nafsu binatang para satria!"

Pengawal di belakangnya langsung mendorongnya dengan kasar. Sedah terhuyung lalu jatuh tersungkur. Namun

pelahan-lahan ia bangkit lagi. Hidungnya berdarah. Menetes di jubahnya yang putih. Debu membedaki wajahnya, namun bibirnya tersenyum. Kumisnya yang hitam menjelma merah.

Dan senyumnya seolah menyapa Palagantara. Mata Palagantara meredup. Pelahan ia balik kanan. Kemudian maju beberapa langkah, menyembah Sri Prabu yang tampak termangu. Belum pernah ia menyaksikan seorang terhukum setenang itu. Menolak diikat. Menolak ditutup matanya.

Bahkan menghadapi kematiannya dengan senyum.

"Suruh dia menghadap!" Jayabhaya ragu. "Aku akan memberikan pengampunan jika ia memohonnya." Tampak ia bergetar.

Semua orang heran. Terutama para pembesar. Bahkan Putra Mahkota sendiri. Dan Palagantara juga. Tapi ia sampaikan juga.

Hati Prabarini tersibak ketika ternyata Sedah maju. Mata Sedah menatapnya tajam. Berganti-ganti pada Jayabhaya. Senyum. Prabarini membalas dengan senyum. Dan Jayabhaya makin berdebar. Lama Sedah menatap Jayabhaya. Tajam.

Keringat dingin membasahi tangan Jayabhaya. Prabarini merasa genggaman Jayabhaya menjadi kendor. Tentu orang ini gundah. Namun Sedah tetap tak berkata-kata. Beberapa saat. Tegang. Sampai Jayabhaya bersabda, "Bicaralah!" Ia memaksudkan supaya Sedah menyembah dan memohon pengampunan. Namun yang didengarnya sungguh menyentakkan hatinya. Karena tiap brahmana yang ikut hadir di situ, kecuali yang tersisa dalam Dewan Cerdik Pandai bertepuk meriah.

"Buat selama-lamanya, Prabarini adalah milikku! Hanya karena aku bukan seorang raja, bukan seorang penguasa, maka tidak dapat mempertahankannya..."

Bersahut-sahutan mereka yang mendengar, "Dirgahayu Sedah! Bebaskan Mpu Sedah! Kembalikan Prabarini!"

Jayabhaya gemetar. Menahan marah. Menahan takut. Hati Prabarini berbunga mendengarnya. Semangatnya bagai disulut. Tapi kala Sedah balik kanan dan membelakangi Raja, Palagantara mendengar perintah untuk memenggal kepala Sedah. Tapi ia sendiri tidak menyadari, entah bagaimana awalnya, mendadak ia mengayunkan pedangnya. Tanpa ampun kepala Sedah terpental dan menggelinding di bumi.

Namun tubuhnya masih melangkah sampai lima langkah. Kemudian terjungkal seperti batang pisang yang roboh. Jerit memilukan terdengar dari semua arah. Para pemuda mendorong maju. Pasukan pemanah tidak memberi ampun. Panah datang bagai hujan. Puluhan ikut roboh.

Jayabhaya seperti tidak sadar. Dan ia tergagap kala Prabarini terlepas dari genggamannya. Menjerit sambil melompat. Mendekati tubuh Sedah yang terbujur. Mata Palagantara nanar. Ia tak melihat bahwa yang melintas di sampingnya adalah Prabarini. Ia mengira bahwa seorang dari kaum brahmana yang datang menyerangnya. Dan... brett... suatu gerakan kilat membuat Prabarini terbanting. Jatuh tepat di atas tubuh Sedah. Perutnya robek. Ia rangkul erat-erat tubuh Sedah. Kemudian ia pandang Palagantara.

"Pembunuh!" Suaranya tersendat. "Kau bunuh ibuku! Kini anak dan menantumu! Manusia macam apa kau?!" Makin lemah. Punah tenaga Prabarini. Darahnya habis. Palagantara terhuyung mendekatinya. "Anakku..." Parau. Di antara tangis dan penyesalan. "Oh, anakku."

"Kau bunuh pula cucumu..." Suara penghabisan Prabarini. "Cucuku?" Mata Palagantara kemudian menatap

seputarnya. Debu mengampak-ampak. Jerit tak terkendali. Di panggung kehormatan Jayabhaya tampak lunglai. Palagantara bangkit, mengambil pedangnya. Matanya jadi beringas.

Mengumpat Jayabhaya. Melangkah mendekati. Tapi puluhan anak panah membuatnya terjerembab...

0ooo0dw0ooo0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar