Prabarini Bab 4 : Mahabharata

 
Bab 4 : Mahabharata

Mentari baru saja menguak garba bumi. Kemudian mengintip di balik mega-mega kelabu yang berbaris menutup cakrawala. Namun ibukota Penjalu, Daha, sudah sibuk.

Terutama di dermaga serta di sepanjang pinggir sungai Brantas. Bukan seperti biasa. Harini yang sibuk bukan kuli-kuli yang menaikkan hasil bumi Penjalu, untuk dijual ke luar negeri. Juga bukan menurunkan barang-barang dari jung-jung milik para saudagar. Bukan! Harini jung-jung para saudagar tidak diperkenankan merapat ke dermaga. Mereka bersauh jauh di bawah, karena harini dermaga dipakai untuk upacara pesta air. Pesta yang diadakan sekali dalam setahun.

Perahu-perahu berhias aneka macam gambar dan kain berwarna-warni sudah dipenuhi oleh para penumpang yang akan memeriahkan pesta air. Juga ada sebuah panggung besar yang terapung di hadapan dermaga. Sedang di atasnya sudah siap para penari terpilih, yang terdiri dari enam gadis pilihan juga. Semua sudah siap.

Pandija istana, Mpu Panuluh, juga sudah membakar kemenyan dan dupa. Asapnya membubung. Putih, menguak kepadatan udara pagi, untuk kemudian terbang ke istana dewa-dewa di balik awan sana.'

Namun harini tidak seperti biasanya. Raja terlambat datang. Tentu hal itu menggusur kesabaran sejumlah orang yang datang dari luar kota. Juga tamu-tamu asing yang memang ingin sekali menyaksikan dan jika perlu ikut dalam pesta air itu.

"Barangkali Baginda kesiangan. Kebanyakan semalam! Maklum Paramesywari kita masih belia sih!" ujar seorang pemuda yang geregetan. "Yah, tenaga tua..." yang lain ikut tertawa.

"Hus! Tua-tua kelapa. Makin banyak santannya! Ha... ha... ha..." Seorang lagi nimbrung.

"Sssttth! Jaga mulut kalian! Jika mereka mendengar..." Seorang teman mereka menunjuk para penjaga yang berjaga di tepi sungai, "bisa-bisa kita jadi budak kerja paksa..."

"Bergidik yang lain mendengar itu. Tapi dasar rombongan pemuda, mulut tetap saja usil, walau kini cuma dalam bisik. Tapi memang beralasan ketidaksabaran mereka, karena sebenarnyalah Prabarini enggan menghadiri upacara pesta air tahun ini. Kekuatannya belum pulih. Belum lama ini ia telah menggugurkan kandungannya.

Prabarini menjadi amat panik kala tabib wanita, Nyi Lembini, memberitahu bahwa ia mengandung dua bulan. Melewati pergumulan panjang ia sebelum memutuskan untuk membunuh benih Jayabhaya yang tertanam dalam rahimnya. Sekalipun tidak menghendaki, namun ia sadar bahwa kelak benih itu akan tumbuh menjadi anaknya. Anaknya! Melalui doa yang panjang ia bertimbang. Jika dibiarkan hidup, toh kelak anak ini akan dibunuh oleh Rakai Holu Pikatan. Karena dia adalah Putra Mahkota sah. Anaknya tentu juga akan menuntut, dengan mengaku bahwa ia juga anak Paramesywari yang sah. Dengan lahirnya anak ini tentu istri Rakai Holu Pikatan akan makin membencinya. Sekarang pun sudah bersikap seperti itu. Maka tidak boleh tidak! Jika anaknya hidup dan bertumbuh menjadi manusia perkasa, akan menimbulkan bencana. Bencana yang lebih besar. Perang saudara!

Demi kemanusiaan, ia harus merelakan anaknya mati!

Daripada kelak membunuh ribuan manusia, maka sebaiknyalah ia mati sekarang.

"Ini anak Jayabhaya!" putusnya. "Yang Mulia!" Nyi Lembini terkejut mendengar keputusan wanita muda itu.

"Wanita sekadar alat untuk melahirkan anak bagi lelaki!

Pada kenyataannya, kita tak pernah berhak apa pun atas anak kita sendiri."

"Sama sekali salah pandangan itu, Yang Mulia." "Aku seorang brahmani yang telah kehilangan

kebrahmanian. Dan anakku tidak akan pernah disebut sebagai brahmani. Dia akan menjadi seorang satria pembunuh! Aku tidak akan melahirkan anak seorang pembunuh!"

"Hyang Dewa Ratu!" Nyi Lembini terkejut. Ternyata Prabarini seorang wanita keras. Namun Nyi Rumbi memaklumi. Dan karenanya ia menerangkan pada Nyi Lembini.

"Meski begitu, meski Yang Mulia tidak suka pada bapak anak ini, namun ini dalam rahim yang Mulia. Gumpalan darah dan serpihan daging Yang Mulia sendiri..."

"Cukup!" Prabarini menutup wajahnya. Terisak ia di tempat tidurnya. "Aku tak ingin melahirkan calon pembunuh...," keluhnya. Dan tidak terlalu sukar baginya untuk melumatkan janin yang baru berumur dua bulan itu. Nyi Rumbi meramu buah durian dicampur arak Bali. Jika belum mau punah, maka nenas muda bercampur arak hitam buatan China pun telah siap. Dan tabib yang mendapat perintah untuk menjaga kesehatan Prabarini itu melapor pada Baginda bahwa Paramesywari sakit. Baginda tak diperkenankan menyusul ke pagulingan (tempat tidur yang hanya cukup buat satu orang) jika menghendaki Prabarini selamat.

Itu sebabnya Baginda sama sekali tidak mengerti akan sakit istrinya. Ia tidak ingin kehilangan istrinya. Karenanya, ia tak berani melanggar pantangan tabib wanitanya. Baru setelah lima hari diperkenankan menengok, tapi pantang menjamah. Sepuluh hari kemudian Prabarini baru bisa berjalan pelan- pelan. Harini adalah yang kedua puluh. Dan ia mengajak Prabarini hadir pada pesta air.

"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia," sembah Prabarini. "Kawula menunggumu!"

Prabarini tersentak. Setengah tersinggung. "Apakah hamba barang pameran?"

"Istrinda... jangan marah! Mereka mencintaimu. Karenanya ingin sering mendapat kesempatan bersemuka denganmu." Jayabhaya menahan hati sambil tersenyum.

"Tapi hamba masih sakit..." Kini Prabarini menunduk, memberi kesan bahwa ia memang sakit.

"Kita pelan-pelan, Istrinda." Hanya air mata menjawabnya. Jayabhaya membujuk lagi.

"Kita tidak lama di sana, Istrinda. Segera pulang setelah pembukaan, dan kau menaburkan uang ke sungai, menaburkan kembang. Setelahnya kita pulang. Barangkali Istrinda bisa sedikit berhibur di sana. Nah, berdandanlah."

Sengaja memang ia berlama-lama dalam berdandan. Walau dibantu oleh dayang istimewa, juru rias. Dan Jayabhaya mondar-mandir menunggu. Jengkel. Berkali mengepal tangan. Berkali menengok ke arah jalan yang akan dilewati Prabarini nanti. Bosan. Ingin menyusul, tapi ia harus memaklumi istrinya sakit dan baru saja sembuh. Namun akhirnya muncul juga. Kereta kebesaran dan para pengawal pun siap, setelah kaki kuda berkali-kali terangkat sebelah. Entah karena mengusir lalat atau karena tidak sabar. Kuda pun bisa tidak sabar.

Mentari merangkak pelan. Dua orang pemayung berkuda pada kiri dan kanan kereta kehormatan. Ratusan pengawal berkuda di depan, muka, dan lebih banyak lagi yang di belakang. Jayabhaya menebar senyum ke kiri dan kanan. Senyum yang dibuat-buat, menurut Prabarini. Sebenarnyalah dalam hati orang ini takut kalau-kalau di sela pepohonan yang berderet di tepi jalan raya yang mereka lewati itu akan meluncur tombak lempar atau anak panah yang melesat cepat. Mungkin ini pula yang menyebabkannya makin cepat beruban. Makin merata saja warna putih di kepala Jayabhaya j padahal sejumlah tabib yang selalu menjaga kesehatan Sri Prabu. Bukan cuma itu, Baginda sendiri selalu berlatih olah kanuragan pada tiap pagi.

"Kok diam saja?" Hanya Jayabhaya yang sejak tadi sibuk memikirkan istrinya.

Tetap membisu. "Masih sakit?"

Mengangguk. Tanpa menoleh. Menatap jauh ke depan. Ke sela punggung-punggung para pengawal depan. Tubuh bergoyang-goyang dalam kereta yang berderak-derak. Hati Sri Prabu berdesir.

"Sebenarnya sakit apa? Tampaknya sangat membahayakan jiwa."

"Ya. Sangat membahayakan." Prabarini berusaha menjajagi hati Raja.

"Jagad Dewa! Adakah penyakit yang lebih berbahaya dari wanita melahirkan?"

Prabarini sedikit berdesir. Sebenarnyalah Sri Prabu menebak hampir tepat.

"Barangkali hamba terlalu muda untuk melahirkan." Ia mencoba.

"Kurasa tidak. Kau sudah layak. Ya! Sudah layak." "Yang Maha Mulia..." "Mengapa selalu kau memanggilku Yang Maha Mulia?

Tidakkah seharusnya Suaminda?" Prabarini terdiam. Menunduk lagi. Jayabhaya mengerutkan keningnya.

"Kenapa? Pertanyaanku mengusik hatimu?"

Hati Prabarini berdebar. Keberanian, kebrah-manaan, dan ketakutan bertarung dalam kalbu. Tapi ia memutuskan akan mencoba nanti jika pulang dari pesta air.

"Ya. Mengusik." Tiba-tiba terlompat kaif-katanya. Prabarini sendiri terkejut. Karena selama ini ia selalu menahan diri.

Bahkan menjadikan diri sebagai boneka. Jika tidak ditanya tidak menjawab. Jika tidak dipanggil tidak menghadap. Dan ia tidak pernah menyediakan apa-apa untuk Jayabhaya. Bahkan mencuci kaki Jayabhaya dengan air kembang kala Raja ingin naik ke tilamsarinya jfiga atas perintah dayang kepala. Kini Jayabhaya menatapnya tajam. Prabarini sedikit gemetar. Tapi ia berusaha menguatkan hatinya.

"Apa yang salah?"

"Ampunkan hamba, Yang Mulia, dermaga sudah dekat.

Lihat kawula tak sabar menanti."

Jayabhaya kini menatap ke depan. Benar! Dermaga sudah dekat. Semua orang berjongkok.

Bahkan sujud dengan wajah mencium tanah. Jayabhaya mengangkat tubuh istrinya yang semampai itu seolah mengangkat boneka. Setelannya mereka berjalan lambat- lambat menuju tempat yang telah disediakan: Panggung kehormatan. Tapi tak satu orang pun yang ditoleh, oleh Jayabhaya. Dengan senyum dan lambaian tangan ia membalas penghormatan semua ponggawanya. Juga kepada kawulanya. Namun para penjaga tiba-tiba dikejutkan oleh seorang pemuda yang sejak tadi tidak mau berjongkok. Sampai Sri Prabu sudah lewat pun ia tidak mau berjongkok. Sekali pun teman di sampingnya berkali menarik jubah hitamnya untuk berjongkok, namun pemuda itu tetap saja berdiri sambil menatap tajam pada penguasa yang agung binatara bersama istrinya yang anggun dan jelita.

"Jongkok!" bentak seorang pengawal sambil mendelik pada Sedah. Tapi sebagai jawabnya Sedah cuma menatap perwira itu dengan mata tajam. Mpu Samirana Guna melihat kejadian itu dari panggung di mana ia duduk bersama para pembesar negeri. Hatinya mendadak berdebar. Ia menyesal tidak memperingatkan Sedah tadi sebelum berangkat: bahwa di sini tidak berlaku peraturan seperti yang tertera di Weda secara mutlak. Karena ternyata satria jauh lebih berkuasa. Dan ingin menguasai semua-mua: bumi dan manusia! Semua harus tunduk kepada satria. Barangsiapa mencoba tidak menghormat Raja, berlaku hukuman berat baginya! Bisa dilempar menjadi budak di tambang emas. Atau jika perlu: hukuman mati!

"Berani mati!" perwira itu merampas tombak seorang prajurit yang sedang berdiri di sebelahnya dan mendorong Sedah dengan pangkal tombak itu.

"Jagad Dewa!" Sedah terdorong mundur, tapi di belakangnya sedang bersujud seorang kawula. Akibatnya Sedah terjengkang. Dengan susah-payah Sedah berusaha bangkit. Ingin rasanya memukul kepala perwira yang mendorongnya tadi dengan tongkatnya. Dan kala ia berhasil bangkit, Jayabhaya sudah sangat dekat. Perwira yang tadi mendorongnya kini berusaha menutup Sedah dari pandangan Jayabhaya. Tapi terlambat. Sri Prabu sempat terhenyak melihat brahmana muda yang berdiri tegak tanpa memberikan penghormatan. Bahkan memandangnya tajam. Yang lebih terkejut adalah Prabarini. Hampir ia memekik.

Namun dengan sekuat tenaga ia bertahan. Berkali ia menggosok matanya. Benar! Hatinya berdebar keras. Wajahnya memucat. Tangannya yang berada dalam bimbingan Jayabhaya mendadak gemetar. Keringat dingin tersembul dari tiap lubang halus pada kulitnya. Beberapa saat kemudian jalannya menjadi gontai. Jayabhaya sangat terkejut. Perhatiannya atas Sedah segera pudar. Cepat ia memegang kuat-kuat lengan Prabarini.

"Ada apa?" bisiknya. Tapi tanpa jawab. Prabarini menunduk. Makin erat Jayabhaya memapah. Untuk menjaga agar Prabarini tetap berdiri.

Sebenarnyalah Prabarini tidak sakit. Tapi ia terkejut amat sangat. Seperti melihat Hyang Kamajaya dalam kemuliaannya, ketika ia bertatap pandang dengan Sedah. Dan ia mengerti benar, bahwa Jayabhaya amat marah ketika brahmana muda itu tidak memberikan penghormatan kepadanya. Jika tidak oleh karena perhatiannya tertuju pada Prabarini, maka nasib Sedah sudah bisa ditentukan. Mati! Tapi bagi Prabarini sendiri, munculnya Sedah yang begitu mendadak...

Kini kala duduk di samping Jayabhaya, di kursi kehormatan, pandangannya semakin nanar. Berkali ia melirik ke arah Sedah. Pemuda itu bergerak pelan-pelan mendekati panggung. Meli-pir lewat tepian sungai. Makin dekat saja di tengah khusuknya orang-orang lain berdoa, karena upacara doa sudah dipimpin oleh Panuluh setelah Jayabhaya mengizinkan p raj angkara memulai upacara dengan anggukan. Doa selesai. Sedah sudah berdiri di dekat panggung kehormatan. Untung orang-orang yang lain juga sudah diperkenankan berdiri. Kendati mencuri-curi, Prabarini berulang beradu pandang. Dalam mata ia menyiratkan permohonan ampun yang tersembul dari sukmanya. Dan kala prajangkara mempersilakan Jayabhaya serta Paramesywari untuk turun ke perahu yang sudah disediakan supaya pesta air segera di mulai, Prabarini menggeleng. Jayabhaya mengerutkan dahi sambil memandangnya tajam. Tapi ia melihat bibir Prabarini gemetar, seperti sangat ketakutan.

"Sakit lagi?"

Tiada berjawab. Cuma air mata tersembul dari sela jajaran bulu mata yang lentik. -

"Jika demikian, mari lemparkan saja kepingan uang emas dan perak itu, setelahnya kita pulang."

Jayabhaya memberi isyarat pada prajangkara agar menghadap. Kemudian Raja berbisik-bisik, memberi petunjuk. Beberapa saat. Dan itu membuat suasana jadi tegang. Dari kejauhan mulai terdengar orang berbisik-bisik. Seperti suara lebah, sehingga tidak jelas apa saja kata-kata mereka, yang terang karena ketidaksabaran.

Mendadak gemelan berbunyi keras. Para penari diperkenankan mulai menunjukkan kebolehannya. Namun cuma sebentar, karena Sri Prabu-segera berdiri dan memotong tumpeng yang tersedia di sisi lain panggung kehormatan. Tepat pada ujungnya. Lalu melemparkannya ke dalam air. Beberapa saat kemudian Prabarini dipapah menuju ke tempat uajig perak yang sudah disediakan untuk dilempar ke dalam air. Ada seratus uang perak dan sepuluh uang emas. Itu hadiah Raja kepada kawula. Tapi mereka harus berebut terjun ke dalam air sungai yang jernih di musim kemarau itu. Melihat itu, Sedah bersiap untuk melompat. Prabarini tak memperhatikan. Ketika ia melempar, suara tepuk-tangan riuh menyambut pelemparan oleh tangan-tangan mungil dan jari- jari runcingnya. Makin lama makin menggemuruh seolah tumpukan batu-bata yang roboh. Kelebat bayangan hitam mengejutkannya. Debur air meninggalkan riak. Prabarini mencoba menoleh. Sedah tak ada di tempat. Lemparan berikut tenaganya makin lemah. Mendadak hatinya tersibak.

Sedah muncul tepat di hadapannya dari dalam air. Cuma kepala dan tangan yang memegang dua keping emas. Lalu tangan Sedah terulur ke geladak. Uang emas diletakkannya tepat di hadapan ujung jari kaki Prabarini. Dan kepalanya kembali menghilang. Prabarini ingin memungut uang itu, tapi takut. Mata Jayabhaya seolah melekat di tubuhnya. Ia lirik.

Merah muka Jayabhaya. Juga semua pembesar negeri memandangnya. Juga semua perwira, bahkan semua kawula, yang tidak ikut menceburkan diri ke sungai.

Jayabhaya tahu, belum habis uang perak yang di bakul. Tapi tampaknya Prabarini makin tak kuasa menahan diri. Karena itu ia segera mendekati. Dan dayang-dayang melihat betapa Para--mesywari tidak sabar lagi untuk melempar satu demi satu. Sisa di- bakul semua dilempar bersamaan.

Kemudian menjatuhkan diri.

Jayabhaya memutuskan membawa pulang istrinya. Semua terkejut. Peristiwa yang jarang terjadi. Nyi Rumbi dayang setia yang mengerti benar apa makna semua itu, segera memungut dan menyembunyikan uang emas di balik kainnya. Suara- suara seperti lebah bubar sarang kembali terdengar.

"Tampaknya lemah sekali," bisik seorang perempuan. "Ah, barangkali Baginda keterlaluan. Mentang-mentang

wajahnya cantik. Lihat, sampai kehabisan darah”

"Hih! Kau!" sebelahnya lagi memperingatkan. Mesem- mesem.

"Tapi siapa pemuda, eh, brahmana tadi?" "Berani amat mendekati panggung kehormatan."

"Iya! Para pengawal tampaknya seperti terkena sirep. Jika lain orang tentu sudah dilempar tombak atau panah."

"Wajahnya? Kau lihat tadi?"

Berganti-ganti mereka yang ada di kerumunan lain mengeluarkan kata-kata.

"Ah, sang Putri pingsan karena melihat wajahnya." "Masak istri raja agung binatara masih bisa kasmaran?"

"Bidadari dari kahyangan pun ada yang turun ke bumi untuk mempersundalkan diri. Lihat cerita bidadari Wilutama, yang jadi sundal di tepi Sungai Gangga dan akhirnya diperistri Pandir Drona!"

"Ah, kau! Seperti brahmana saja tahu cerita dari negeri Jambudwipa!"

"Ya, cuma katanya."

"Lihat! Itu! Prajangkara diperintahkan melanjutkan pesta! Biar saja! Paramesywari pingsan, kek. Kehabisan darah, kek! Apalagi? Kasmaran! Bukan urusan kita! Kita ikuti pesta saja!"

Berebut orang menyerbu perahu-perahu yang masih kosong. Riuh suara tawa gadis-gadis dan perjaka. Tua dan muda. Laki-perempuan. Semua seolah melupakan jatuhnya Prabarini. Tenggelam dalam sukacita. Dan melupakan Sedah yang kini menjauh. Pulang ke rumah pamannya.

0ooo0dw0ooo0

Beberapa hari dan malam Prabarini tak suka makan.

Jayabhaya tak berani menjamah istrinya, yang kini ditempatkannya di taman sari tersendiri. Ia khawatir sakitnya akan sukar disembuhkan. Dan yang menjadi sasaran kepanikannya adalah tabib wanita, Nyi Lembini.

"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia," Nyi Lembini menyembah dengan muka mencium tanah. Para pengawal taman yang terdiri dari pasukan wanita tampak berjaga-jaga di beberapa jarak. Memang tiap taman milik raja Penjalu itu, - selalu dijaga oleh laskar wanita yang terpilih. Bukan hanya karena mereka terampil dalam latihan berperang, tapi juga terpilih karena mereka masih perawan dan wajah mereka cantik. "Apakah benar ia kekurangan darah?" Jayabhaya mencoba. "Hamba belum jelas, Yang Maha Mulia. Tapi sekarang

sudah mulai berjalan-jalan, walaupun belum suka bercakap-

cakap."

"Hyang Bathara!"

"Hamba akan berusaha terus, Yang Maha Mulia!" '

Setelah Nyi Lembini pergi, Jayabhaya duduk dalam wismanya di tamansari milik Prabarini itu. Ia mencoba mengingat-ingat beberapa kejadian yang beruntun mendatanginya. Sejak awal ia memerawaninya belum pernah satu kali pun Prabarini menunjukkan bahwa ia membalas cintanya. Dalam penilaiannya, semua yang dilakukan Prabarini selama ini adalah lebih dikarenakan takut. Mengapa takut?

Mengapa? Dan ia mendesak mengapa Prabarini selalu memanggilnya Yang Maha Mulia? Bukankah itu tidak lazim sebagai seorang Paramesywari?

"Bukankah begitu semua orang menyebut Baginda?" jawab istrinya.

"Tapi Istrinda adalah Paramesywari. Tidak seharusnya menyebut seperti mereka. Itu merusak tatanan yang sudah berlaku. Dan harus dipatuhi oleh siapa pun. Sampai kapan pun."

"Merusak tatanan?" kembali memerah wajah Prabarini.

Jauh di sudut hatinya ada gejolak yang mendidih. "Ya!" tegas Jayabhaya.

"Hyang Dewa Ratu! Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia!

Sungguh-sungguh tertutupkah hati Yang Maha Mulia akan kebenaran? Sehingga sendiri merusak tatanan, tapi menuding orang?"

"Jagad Bathara!" Jayabhaya terkejut. Inilah yang pertama dalam hidupnya ada orang yang berani menuduhnya merusak tatanan. "Bagaimana mungkin? Prabarini, tidakkah kau tahu bahwa aku adalah pemegang purbawasesa atas semua roda kehidupan di bumi Penjalu? Juga di semua negeri yang sujud kepadaku?" mata Jayabhaya menyipit, sementara alisnya terangkat sebelah.

Hati Prabarini sedikit berdesir. Namun tidak seperti biasa.

Rupanya kedatangan Sedah telah memberikan semangat baru. Juga keberanian Sedah menolak berjongkok seperti katak.

"Bumi berisikan berlaksa-laksa kemungkinan. Semua yang dulunya hamba anggap tidak mungkin, ternyata bisa menjadi suatu kenyataan. Sebuah impian yang teramat buruk, jika seorang brahmani dilanggar kesuciannya oleh seorang satria. Tapi bukankah ini kenyataan?"

"Jagad Dewa! Seorang Madhusudanawata tak berhak menjamah brahmani? Tidakkah kau percaya bahwa segala gama (peraturan) yang diciptakan oleh Hyang Maha Dewa telah dipercayakannya kepada Madhusudanawata?"

"Andaikan Yang Maha Mulia tidak menjadi Raja di Penjalu, maka itu tidak akan terjadi. Karena Yang Maha Mulia berkuasa, Raja, maka semua harus mengiakan kehendak Yang Maha Mulia! Sekalipun salah! Lihat kebenaran ini, bahwasanya tak ada gama dan yama yang diciptakan oleh Hyang Maha Dewa! Semuanya adalah bikinan manusia yang merasa dirinya berbudi dan ingin mengatur yang kurang berbudi. Inilah kebenaran! Tapi salah-kaprah telah berkembang luas di seluruh muka bumi, suatu anggapan bahwa gama dan yama adalah ciptaan Hyang Maha Dewa!"

"Jagad Bathara! Bagaimana dengan kitab-kitab?"

"Semua kitab juga ditulis oleh tangan manusia!" "Lalu kenapa Mpu Panuluh tidak pernah

memberitahukannya padaku?" Jayabhaya mendekati istrinya. Tapi wanita muda itu cuma memandangnya tajam.

Menghunjam, seolah ingin merogoh semua pendalaman Jayabhaya.

"Yang Maha Mulia adalah seorang adiluhung menurut anggapan banyak orang. Dan sebagai seorang brahmana, Panuluh harus menjaganya. Menjaga kewibawaan Raja junjungannya. Selebihnya adalah dikarenakan ketakutan."

"Jagad Dewa!" berhadap-hadapan mereka kini. Barangkali cuma selebar telapak tangan jarak mereka. "Tiadakah kau sudi membuka hatimu? Sehingga menyatu dengan kodratmu?

Menyatu dengan kehendak alam? Dalam hati yang menyatu dengan alam tidak akan ada ketakutan, karena yang ada adalah kedamaian. Yang ada adalah kasih. Sedang dari caramu memanggil aku, semua orang tahu bahwa kau tidak pernah mempersembahkan cintamu. Dan kau telah..."

"Betapa indahnya perkataan Yang Maha Mulia ini.

Menunjukkan betapa bijaknya Yang Maha Mulia. Tapi hal itu akan lebih indah lagi jika Yang Maha Mulia bisa menerima kembali andaikan dia

terpulang kepada Yang Maha Mulia sendiri. Karena menurut hemat hamba, jika kita menyatu dengan alam, tak akan ada kekerasan. Tak akan ada paksaan! Yang ada adalah kedamaian atau kasih. Takkan ada peperangan! Takkan ada pembunuhan! Takkan ada larangan untuk mengeluarkan pendapat. Takkan..."

"Kau mulai bicara siasat kekuasaan! Kau menunjukkan keaslianmu sebagai brahmana."

"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia. Inilah kenyataan.

Siasat kekuasaan ada di mana-mana, di setiap segi kehidupan manusia. Itulah sebabnya manusia memburu anugerah yang tertinggi dari Hyang Maha Dewa, yaitu anugerah untuk menaklukkan, mempengaruhi, bahkan menguasai manusia lainnya." Jayabhaya terdiam. Baru sekarang ia melihat bibir tipis Prabarini berkicau seperti kutilang. Merdu memang, tapi mendebarkan hati.

"Larangan mengeluarkan pendapat bagi sudra di seluruh bumi adalah siasat kaum yang lebih tinggi untuk menguasai dan mempengaruhi mereka. Siasat kekuasaan! Pada mulanya kasta brahmana mengungguli semua-mua. Karena pengetahuan adalah kekuatan yang maha dahsyat. Tapi setelah hamba pelajari, brahmana keenakan, sehingga lupa bahwa roda kehidupan berkembang, dan terus merayap maju meninggalkan hari-hari kemarin. Pengetahuan saja ternyata tidak mampu membuat orang menerima anugerah tertinggi dari Hyang Maha Dewa. Anugerah untuk menguasai dan mempengaruhi makhluk lainnya. Pada perkembangannya, manusia harus menyertakan senjata sebagai kekuatan untuk mempengaruhi dan menguasai makhluk lainnya." .

"Jagad Bathara! Kau membenci aku? Membenci satria?" "Hamba menyadari bahwa hamba adalah wayang

kehidupan. Mengapa harus ada benci? Tapi bukankah sewajarnya bila hamba ini, karena pernah belajar sebagai brahmani, mengeluarkan pendapat? Dan hamba masih meramalkan, akan datang waktunya, dengan pengetahuan dan senjata pun belum lengkap. Saatnya akan tiba, bahwa semuanya tidak akan berarti tanpa uang. Uang adalah suatu benda buatan manusia. Tapi ia kelak akan menjelma... yah... menjelma menjadi benda yang mahasakti! Dia akan mengalahkan semua dan segala!"

"Jagad Dewa!" Kini Jayabhaya terkejut. "Pengetahuan yang belum pernah aku ketahui." Tanpa sadar ia membimbing istrinya ke sebuah tempat duduk. Lantai permadani merah yang amat tua melambari kaki mereka. Tiang-tiang berukir dari kayu timanga, berdiri kokoh menyangga sirap atap wisma Prabarini. Tempat duduknya berlapis emas dan bertatahkan mutiara dan permata. Luar biasa pemanjaan terhadap Prabarini ini. Tak ada benda murah yang menempel pada tubuh Prabarini. Membuat wajahnya makin gilang-gemilang kendati kesehatannya masih amat rapuh.

Jayabhaya mengangkat tubuh lunglai itu ke pangkuannya.

Itu merupakan petunjuk bahwa ia tidak marah, tapi justru ingin lebih tahu pengetahuan yang ada di kepala istrinya.

"Katakan padaku! Bagaimana bisa uang menjelma menjadi...?"

"Uang yang sekarang terbuat dari emas dan perak itu, kelak akan mampu memerintah manusia yang menciptakannya sendiri. Karena ia akan menjadi modal, dan modal itu akan berkembang menjadi suatu kekuatan yang dahsyat! Melebihi semua senjata yang ada di muka bumi.

Bahkan senjata dewa-dewa sekali pun akan takluk bersimpuh di hadapannya."

"Jagad Dewa!"

"Hidup adalah timbal-balik. Dan kelak alat untuk menghargai sesuatu adalah uang. Apa saja! Yama, gama, kekuasaan, kenikmatan, kecantikan, pendek kata semua dan segala akan dihargai dengan uang."

"Jagad Dewa!" Jayabhaya berulang menyebut. "Zaman dahulu manusia bisa berperang cuma karena

wanita. Tapi sekarang, peperangan bukan soal kehormatan.

Uang! Kekayaan!"

"Aku berperang untuk mempersatukan kembali Kahuripan dan membasmi kejahatan. Seperti halnya Pandawa yang menghancurkan Kurawa dalam Mahabharata."

"Setiap orang di Jawa ini pasti melambangkan dirinya sebagai Pandawa. Tak ada orang yang secara jujur mengatakan diri sebagai Kurawa. Tapi hakikatnya, raja menaklukkan raja lain ialah demi upeti! Harta! Uang! Dengan uang Yang Maha Mulia menerima kehormatan. Uang bisa menjadi mulia di tangan orang berbudi. Tapi barangsiapa cinta akan uang, ia akan menjadi penjahat!"

"Jagad Dewa!" Jayabhaya merapatkan tubuh Prabarini ke tubuhnya. Pelukannya makin erat. Bau harum rambut dan tubuh wanita muda itu melunturkan semua kemarahannya.

"Cinta uang adalah sumber dari semua kejahatan!" "Adinda... istriku, aku cinta kau!" bisik Jayabhaya. Ia cium

istrinya pada ubun-ubun. Seperti anak kecil. Setelah itu mengangkat tubuh itu ke pembaringan. Dengan mesra ia membaringkan tubuh Prabarini. Sutera yang paling halus menjadi alasnya. "Kau sakit, Istrinda?"

Kini mata Prabarini menjadi sayu. Dengan lemah ia mengangguk. Dan Jayabhaya menjadi iba. Kembali ia cium pipi istrinya. Prabarini merasa betapa dingin pipi Jayabhaya.

Semakin tua saja. i

"Istirahatlah dengan tenang, Istrinda!" Dan ia meninggalkan Prabarini. Sampai harini ternyata Prabarini belum sembuh. Padahal sudah lebih sepuluh hari.

Sebenarnyalah \a ingin bertanya tentang pemuda yang meletakkan uang di hadapan kaki Prabarini saat pesta air beberapa hari lalu. Tiba-tiba saja kecemburuan itu kini terkikis oleh kekaguman atas pengetahuan yang tinggal dalam kepala wanita jelita itu.

"Semua akan bisa dibeli dengan uang," desis Prabarini pelahan setelah Jayabhaya selesai menciumnya. "Semua!" Lagi, ia seperti bicara pada diri sendiri. Memandang langit- langit. Ada penyesalan yang dalam. Jayabhaya tidak tahu, apa yang sedang disesalinya. 

Tidak! Sebenarnyalah ia sekarang sudah dijauhkan dari segala penyesalan, kendati ia belum bisa membuka hati bagi suaminya sendiri. Ia telah berusaha menyatukan diri dengan alam di taman itu. Dengan burung-burung kecil yang didatangi kan dari pelbagai penjuru. Ada miri yang bulunya berwarna merah, ada betet yang berwarna hijau, kakaktua yang putih. Ketiga macam ini memiliki ?paruh yang hampir sama. Dan untuk mereka tak diperlukan sangkar. Cukup dirantai kaki mereka pada pijakan besi kecil. Tidak sama nasibnya dengan kutilang yang suka berkicau. Walau bulunya cuma berwarna hitam dan di dadanya ada sedikit putih bercampur kuning.

Besar badannya tak ada sekepal. Namun Prabarini sering terhibur oleh kicaunya. Burung jalak juga mengisi keindahan taman pada sangkarnya yang besar bersama burung-burung lain, sehingga ia bisa terbang kian-kemari walau sebatas sangkar besar itu. Ah, warna hitam dan putih jalak itu sangat tegas. Cucakrawa. Aduh. Wajahnya tak indah seperti kepodang yang kuning bersih. Tapi suaranya? Kicaunya?

Menggugah semua kerinduan. Walau tidak seperti beo di sarang istimewa dekat pintu masuk wisma Prabarini. Burung itu memberikan hiburan tersendiri karena bisa diajak bercakap-cakap. Walau terbatas cuma beberapa'kata saja. Yang paling bebas dari semua burung itu adalah merpati.

Cukup banyak jumlah mereka dalam taman Prabarini. Mereka lepas terbang ke angkasa lalu kembali ke taman itu. Tidak merasakan penjara seperti burung lainnya. Karena mereka jinak dan tulus. Dan itu menjadi pelajaran tersendiri bagi Prabarini. Barangsiapa yang dengan tulus menerima keadaannya, ia akan menerima kedamaian. Dengan kata lain, kedamaian hanya ada pada hati yang tulus. Prabarini tersipu malu.

Tapi aku manusia! Aku bukan merpati! Bantah sudut hatinya yang lain.

Ya! Tapi kau sekarang juga berada dalam sangkar. Sangkar emas! Lihat! Lihat! Apa bedanya kau dengan burung-burung itu! Makin galak burung itu, makin kuat ia dirantai. Tapi makin jinak, makin bebaslah ia.

Tak ada yang galak! Mereka semua burung yang lemah. , Tapi lihat! Tak ada rajawali di sini! Prabarini berdebar jika ingat rajawali. Rajawali! Bukankah seperti itu kekasihnya digambarkan? Bermata tajam.

Langkahnya bebas. Lepas! Enggan diikat oleh siapa pun. Ah, rambut ikal serta kumis kecil yang mulai menerawang tumbuh. Masihkah ia seperti itu?

Dan pertemuan singkat tanpa kata itu membuktikan bahwa Sedah masih seperti dulu. Ia tidak sudi berjongkok seperti brahmana lainnya yang sudah mengakui kewibawaan Raja.

Tidak! Brahmana hanya boleh menyembah Hyang Maha Dewa saja! Tidak boleh menyembah manusia! Sedah juga tidak menggubris pengawal yang siap dengan tombak-tombak mereka. Ia tetap nekat, dengan caranya sendiri mendekati dan mengamati wajah kekasihnya. Itulah yang menumbuhkan gunung kekaguman di hati Prabarini. Ah, betapa aku tak layak baginya! Tentu pemuda itu tidak pernah ternoda oleh apa dan siapa pun. Pendiriannya begitu kokoh. Prabarini malu pada diri yang tiada berdaya. Bukankah ketidakberdayaan merupakan aniaya? Ya! Aniaya bagi diri sendiri.

Masih bersyukur ia pada Hyang Maha Dewa, karena Nyi Rumbi sempat memungut dua keping emas yang ditinggalkan oleh Sedah di depan kakinya. Dalam kesendiriannya ia pandang dan timang-timang dua keping emas itu. Bahkan diciuminya, seolah Sedah sendiri. Berkali ia menyebut. Dan berkali ia harus menghapus air mata yang melaju lamban di permukaan pipinya.

Tak bisa tiada! Burung-burung, desiran angin, bergoyangnya dedaunan, bahkan harum bunga-bunga tak lagi menjadi penghibur hatinya, tapi lebih menjadi aniaya. Nyi Rumbi sudah tahu akan itu. Ia mengerti benar pendalaman Prabarini. Tapi Nyi Lembini, si tabib ahli wanita itu, kendati ia sangat iba pada Prabarini, namun tetap saja ia manusia bayaran. Manusia bayaran yang harus mengabdi pada pembayarnya. Harus! Tak ayal jika sering membujuk-bujuk agar Prabarini mau menjaga kesehatannya. "Rugi sendiri! Yang Mulia masih muda. Berapa lama lagi usia Sri Prabu? Percayalah, Yang Mulia masih akan belia pada saat Sri Prabu mangkat nanti."

"Hati-hatilah, Nyi! Kau sendiri berkata padaku, dinding ini bertelinga."

Gugup juga Nyi Lembini mendengar peringatan itu. Maka ia memperlahan suaranya.

"Tapi... sungguh lho! Jaga dengan obat-obat kuat agar tahan hidup sampai Yang Maha Mulia...!

Prabarini berpendapat, bahwa benar juga perkataan itu. Ia sudah sering mendengar nasihat ini dari Nyi Rumbi. Tapi perjumpaan yang tak terduga ini amat mengguncangkan hatinya.

"Hamba sudah berkali-kali menipu Yang Maha Mulia dengan mengatakan bahwa Yang Mulia sakit. Padahal... Ah, apa sih sebenarnya yang menyebabkan Yang Mulia jadi patah semangat?"

Prabarini mengerutkan kening buat sesaat. Ia pandangi orang itu. Mengibakan! Justru orang semacam inilah yang membuat aku jadi lemah, pikirnya.

"Relakah Yang Mulia melihat hamba terhukum jika nantinya Sri Jayabhaya mendapati bahwa sebenarnya Yang Mulia tidak sakit?" Masih tercenung. Bukankah kau yang memberikan padaku ramuan perangsang supaya aku birahi jika Jayabhaya datang? kutuknya dalam hati. Kau memang dibayar untuk itu! Drubiksa kau! Biar dilempar ke tempat perbudakan!

"Atau hamba akan berterus-terang pada Yang Maha Mulia?" tiba-tiba wanita itu mengancam.

Dan mendadak Prabarini gemetar seperti disambar geledek. "Jadi?" "Lama-lama ketahuan, sakit Yang Mulia itu hanya sekadar kepura-puraan. Apalagi jika ketahuan karena Yang Mulia telah menggugurkan kandungan. Pembunuhan atas putra Baginda!"

"Nyi Lembini!"

"Apa yang bisa hamba kerjakan jika terpaksa?"

"Hyang Dewa Ratu!" Prabarini mengeluh. "Baiklah! Aku mau makan lagi. Tapi usahakanlah agar Sri Jayabhaya jangan dekat-dekat padaku dulu. Hatiku masih gundah."

"Itu yang hamba ingin tahu."

"Berjanjilah bahwa kau tak akan menyampaikan ini pada Jayabhaya."

"Demi Hyang Maha Dewa!"

"Aku telah bermimpi," Prabarini mengarang cerita. "Mimpi bisa mengganggu Yang Mulia? Mengganggu

seorang brahmani? Tentu bukan sembarang mimpi."

"Ya. Bukan sembarang mimpi." "Mimpi apa?" Nyi Lembini tertarik.

Bahkan Nyi Rumbi yang tahu bahwa itu cuma sandiwara, tertarik untuk tahu. Cerita apa yang akan dikarang oleh tuannya.

"Seingatku dalam mimpi itu sedang dalam keadaan hujan.

Lebat sekali. Tiba-tiba ada seorang pemuda berteduh di pinggir taman ini. Aku menjadi iba. Ia kedinginan. Lalu aku suruh masuk."

"Masuk ke rumah ini? Wisma ini?" Nyi Lembini menyela. "Ya, karena aku iba."

"Bagaimana dengan penjaga-penjaga itu?"

"Ah, namanya dalam mimpi. Mereka tidak nampak." "Oh, iya. Lalu?"

"Karena basah-kuyup, aku minta dia mengganti kainnya.

Aku pinjami dia kainku. Tapi anehnya, dia menolak." "Menolak?"

"Ya. Dia mau ganti jika dipinjami kain yang sedang kupakai."

"Drubiksa! Pemuda itu berani kurang ajar pada istri Raja.

Apakah wajahnya tampan?"

"Sangat tampan. Bahkan aku tak pernah melihatnya di antara para perwira muda di seluruh Penjalu ini..."

"Lha, itu... bahaya." "Cuma dalam mimpi, kan?"

"Lalu Yang Mulia juga menuruti kehendaknya?" "Karena iba, seperti kena sihir saja, aku menurutinya."

"Benar-benar putri yang pengasih..." Nyi Lembini kini mesem.

"Lalu?"

"Karena kedinginan aku menawarinya kinang supaya segera terbebas dari kedinginannya. Tapi ini pun ditolaknya. Dia mau makan kinang asal aku mau menolongnya mengunyahkan kinang itu."

"Yang Mulia juga mau?"

"Namanya saja dalam mimpi." Ketiganya cekikikan. "Jadi mau?"

"Karena iba, aku rela mengunyahkan kinang buat dia. Tapi setelah aku berikan, dia masih tetap menolak juga. Aku sempat jengkel."

"Menolak?" Kini Nyi Rumbi yang ikut jengkel. "Dia minta supaya jangan diberikan dengan tangan..." "Lalu?" Kedua pendengarnya tersentak.

"Minta dengan bibir."

"Aih... dan Yang Mulia menurutinya?" "Itulah, Nyi! Aku menurutinya. Lalu...?"

"Tentu... Ah, siapa nama pemuda itu? Kok berani kurang ajar?"

"Sedah. Aku ingat betul dia adalah Sedah! Karena itu aku suka pada perbuatannya itu. Nyi Lembini... tolonglah aku..."

Ketiganya mesem. Tapi tiba-tiba mata Prabarini berkaca- kaca.

"Jangan sedih, Yang Mulia. Hamba dengar dari Mpu Samirana Guna bahwa dia sekarang ada di rumahnya."

"Apa katamu?" Prabarini tersentak seketika. Ia dekati wanita yang selalu menjadi tabib pribadinya itu, lalu mengguncang-guncangkan tubuhnya.

"Ya. Dia menginap di rumah Mpu Samirana Guna. Hamba sangat dekat dengan keluarga itu. Hamba berjanji, demi Hyang Maha Dewa, pen-cipta segala umat manusia!

Selayaknyalah Yang Mulia menjadi istri Sedah. Namun demikian, hendaknya bersabar terlebih dahulu. Jangan melawan dengan kekerasan. Kekerasan tak akan menghasilkan apa-apa kecuali aniaya. Hamba sanggup menjadi pengantara, asal nasihat hamba didengar baik-baik."

Prabarini memeluk Nyi Lembini sampai-sampai hampir jatuh ke belakang, sebagai ungkapan rasa terima kasih yang mendalam. Meski begitu ia tidak cepat-cepat percaya, sebab kehidupan istana ternyata penuh pancingan, penuh fitnah.

Saling menjatuhkan satu dengan lainnya, demi keenakan pribadi. Saling cari muka di depan Raja, demi keenakan pribadi. Tapi setidaknya setelah itu hati Prabarini menjadi sedikit berbunga.

"Hamba pikir pendapat Nyi Lembini benar, Yang Mulia. Kita harus mengulur waktu sampai Sri Jayabhaya mangkat.

Sekarang juga sudah sering sakit," Nyi Rumbi kembali menasihati.

"Jika demikian, kita perlu membicarakannya dengan Kanda Sedah. Bukankah begitu, Bibi?"

"Harus dicari jalan agar dapat berhubungan dengan beliau dalam waktu singkat ini."

"Tolonglah aku..." "Percayalah."

"Baiklah! Sekarang ini memang nilai kejujuran telah pudar.

Pudar! Dan manusia lebih banyak hidup dari ketidakjujurannya." Prabarini berkata pada diri sendiri. Dan itu sebabnya ia merasa perlu mengebaskan semua kebodohan hatinya. Jika aku terombang-ambing oleh perasaanku, maka aku menjadi sedungu-dungunya orang. Dan kembali kesehatannya menjadi pulih. Bahkan tubuhnya makin nampak padat saja. Yang kumiliki sekarang hanyalah keperempuanan. Ya! Ini saja modalku! Kecerdikan! Ah, mudah-mudahan Kanda Sedah masih bersedia menerimaku!

. Bukan salahku jika semua ini terjadi, putusnya. Hidup lebih utama. Dan untuk itu, hidup harus dipertahankan. Maka kini Jayabhaya melihat adanya perubahan dalam diri Paramesyawari. Ada senyum jika menyambut kehadirannya di taman. Apalagi taman itu tidak dihuni oleh istri-istri selir.

Prabarini memiliki kekuasaan mutlak atas taman itu. Semua menara yang sembilan buah itu sudah -berdiri megah. Dan kolam renang dengan ubin berwarna hijau melengkapi keindahan taman itu. Cuma yang tidak disukainya adalah penjaga-penjaga wanita. Ada di antara mereka yang sikapnya seperti lelaki. Kendati susunya juga menonjol seperti kebanyakan wanita, namun matanya menatap lahap jika ia sedang mandi di pemandian atau sedang berenang di kolam renang yang dilengkapi pancuran itu. Senyumnya pun tampak nakal seperti lelaki.

"Memang dia itu..."

"Dia bagaimana?" tanya Prabarini pada seorang dayang. "Ampun, Yang Mulia. Dia memang seperti lelaki. Ia suka

pada perempuan. Sering mencolek kami-kami ini." "Drubiksa!" desis Prabarini.

"Namanya Gandini. Dulu waktu bertugas menjaga taman selir-selir, banyak selir yang suka tidur dengannya."

"Ah, masa?"

"Sungguh!" Dayang itu tak ragu. "Maklum Sri fPrabu sudah tua. Tak mungkin bisa sebulan sekali menggilir mereka.

Apalagi sekarang ada Yang Mulia..." Dayang itu mesem.

Tak urung sebuah cubitan lirih mendarat di pahanya. Sebenarnya hati Prabarini sebal mendengar gurauan itu. Namun ada baiknya ia kadang bergurau dengan mereka, untuk menumbuhkan kasih sayang. Sebab ia merasa perlu berbuat demikian. Siapa tahu kelak membutuhkan bantuan mereka dalam hubungannya dengan Sedah?

"Kau pernah tidur dengan Gandini?" tiba-tiba saja Prabarini menjajagi.

"Ah..." Dayang yang bernama Centil itu jadi kikuk. "Pernah, kan? Tubuhmu sintal begini, tentu ia jadi gila" "Ampunkan hamba... Yang Mulia. Habis dia memaksa. Di

tengah malam yang hujan."

"Kau suka?" Prabarini terus mengorek. "Ah, sebenarnya tidak. Tapi jika sudah di tempat tidur... ah... ia dahsyat melebihi lelaki biasa..."

"Jagad Dewa! Dengan kata lain kau tidak ingin kehilangan dia?"

"Maksud Yang Mulia?"

"Kau lihat matanya jika menatap aku, Centil. Itu mata kurang ajar! Aku akan sampaikan ini pada Hyang Maha Mulia..."

"Yang Mulia memaksudkan supaya ia dihukum mati?

Menjadi umpan pedang Palagantara?"

"Palagantara?" Prabarini tersentak dari tempat duduknya. Mendadak dadanya yang montok itu naik-turun. Gandini yang memperhatikan darf kejauhan menelan air liur.

"Ia adalah kepala mertalulut (algojo) di Penjalu ini." "Jagad Dewa! Kepala mertalulut?"

"Hamba tak tahu lagi, berapa jumlah orang mati di tangannya, Yang Mulia. Biarkanlah Gandini hidup. Kasihanilah dia!"

"Hehmh..." Prabarini mendengus. Bukan karena jengkel pada permohonan Centil, tapi karena nama Palagantara disebut-sebut. Ya, Palagantara. Bukankah itu nama bapaknya? Nama yang disebut-sebut oleh ibu angkatnya, Nyi Dewaprana? Ya, Palagantara.

"Tidak! Baiklah! Aku tidak akan mengapa-apakan dia. Tapi peringatkan dia, agar selalu menjauh dariku. Dan jangan boleh memandangku dengan cara seperti itu."

"Hamba, Yang Mulia."

"Nah, jika ia masih mengulanginya, aku atau dia yang punah." Untuk pertama kali Prabarini menggunakan wibawanya sebagai Paramesywari. "Ingat-ingat! Aku bukan seorang selir yang boleh dipermainkan dan dikurangajari."

"Hamba, Yang Mulia."

Diam beberapa saat. Suasana seolah beku. Tapi beberapa saat kemudian Prabarini tersenyum kembali.

"Kau belum pergi untuk memperingatkannya?" "Sekarang, Yang Mulia?"

"Eh, tidak bijak jika pergi padanya sekarang. Kau kenal Palagantara?"

"Ampun, Yang Mulia. Tidak. Tapi tahu rumahnya." "Di mana?"

”Di sudut jalan yang akan menuju Jenggala."

Dua nama yang dicarinya kini ada sekota dengannya.

Sekarang saatnya mengatur siasat untuk mencari jalan agar dapat bersua dengan mereka berdua. Dan sejak saat itu ia lebih sering tampil di depan umum. Bahkan sering mengikuti Sri Prabu beranjangkarya ke barak-barak laskar, ke tempat- tempat kerja para menteri. Juga ikut dalam pertemuan dengan tamu-tamu dari negeri asing maupun dari dalam negeri; dengan pedagang-pedagang, baik orang-orang Jambudwipa, China, maupun bangsa Moor. Kini Sri Prabu melihat, betapa Prabarini sebenarnya juga cakap dalam ketatanegaraan.

Tapi Prabarini tidak ingin menciptakan kecemburuan dalam hati Putra Mahkota. Karena itu, ia berusaha mendekatinya.

Untuk itu ia mohon perkenan Sri Prabu agar diberi keleluasaan mengunjungi istana Putra Mahkota. Untuk mendekatkan diri pada istri Putra Mahkota.

"Hamba berjanji, Yang Mulia Putri," kata Prabarini pada menantu tirinya, "jika Yang Maha Mulia mangkat, hamba akan keluar dari istana..." "Jagad Dewa!" Rakai Holu Sirikan bersama istrinya menyebut berbareng.

"Jangan terkejut, Yang Mulia." Prabarini tersenyum. "Hamba seorang brahmani. Tak ada kebahagiaan lain bagi seorang brahmani, kecuali mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Bukan haus kekuasaan di istana."

"Jagad Dewa..." Kembali keduanya kagum terhadap sikap ibu tiri mereka.

"Dirgahayu, Yang Mulia Rakai Holu! Dirgahayu Yang Mulia Putri, calon Paramesywari."

"Terima kasih, Yang Mulia..." Kini putri itu menyembah, dengan tulus. Air matanya tak terbendung. Bahkan Rakai Sirikan pun terharu.

"Bagaimana dengan putra...?"

"Jangan kuatir. Sri Maha Prabu sudah terlalu tua untuk dapat menaburkan benih."

"Jagad Dewa!" Sirikan menelan ludahnya. Ah, ibu tirinya lebih muda dari istrinya sendiri. Lebih cantik. Lebih... Tapi ia terkejut atas pemberitaan bahwa ayahnya sudah terlalu tua untuk menaburkan benih. Padahal dua hari lalu seorang selir ayahnya melahirkan anak. Lalu anak siapa? Jika bukan anak beliau, tentu selir itu akan menerima hukuman. Mati! Tapi ia tidak. Atau... itu merupakan isyarat bahwa Prabarini tidak ingin punya anak? Sirikan segera menanyakan pada Prabarini tentang kecurigaan hatinya.

"Demi Yang Mulia Rakai Holu dan istri, hamba akan menjaga agar tidak melahirkan anak. Hamba tak ingin menjadi bencana yang maha dahsyat kelak. Yang akan melibatkan kawula tidak berdosa, mati seperti anjing kurap tanpa harga."

"Oh, Hyang Maha Dewa!" Suami-istri itu segera menundukkan kepala. "Betapa mulia hati Yang Mulia Ibunda..." Akhirnya Rakai Holu Sirikan pun menyembah. Tak bisa tidak! Kekaguman merambati relung-relung sukmanya. Bukan cuma jelita dan menggiurkan, tapi juga berbudi luhur. Bertekad untuk tidak berputra demi kebahagiaan orang lain. Dan Rakai Holu terdiam dengan hati mengandai-andai.

Sirnalah kecurigaan. Sirnalah iri. Sebagai gantinya, rasa iba dan kasih dalam hati kedua suami-istri itu.

Tekad Prabarini menemui Palagantara akhirnya tersampai jua. Kala Sri Prabu terkena pilek dan sedikit batuk-batuk, maka dia mewakilinya. Bersama Rakai Holu Sirikan ia tampil memimpin kerajaan. Tapi ia beranjangkarya mengelilingi Daha sendiri. Tentu dalam kawalan prajurit wanita terpercaya. Dan sejak beberapa lama ia sudah memerintahkan Gandini pindah ke taman para selir. Bergidik bulu Prabarini setiap kali diawasinya. Kini semua prajurit wanita yang menyertainya sudah bergaul akrab dengannya, dan selalu mengiakan apa yang diperintahkannya.

Dari jarak yang agak jauh mereka mengawasi Prabarini memasuki halaman rumah Palagantara. Cukup luas. Pohon kelapa dan pisang, mangga dan jambu banyak tumbuh di halamannya. Prabarini tak merasa perlu memperhatikan tanaman lainnya. Dengan hati berdebar ia menaiki titian pendapa. Agak lengang. Sampai beberapa kali beruluk salam barulah ada langkah kaki seperti diseret. Seorang lelaki tinggi besar muncul. Alisnya jarang, matanya agak sipit. Otot- ototnya tampak kekar. Giginya merah karena kinang. Kulitnya sawomatang. Dengan suara parau ia menyapa,

"Dirgahayu, Yang Mulia..." Lelaki setengah baya itu menyembah.

Seperti ada seleret hawa dingin menusuk dada Prabarini.

Palagantara melirik ke seputarnya. Para pengawal jauh di belakang. Dalam jongkoknya Palagantara sedikit berdebar. Kunjungan yang tidak terduga. Ada apa?

"Dirgahayu!" Prabarini memaksakan diri menjawab. "Adakah perintah Baginda sehingga Yang Mulia berkenan datang ke..."

"Tak ada, Palagantara," Prabarini mencoba. Benarkah ini manusia yang mengukir jiwa raganya?

"Mana istrimu?"

"Ada di sawah bersama anak-anak hamba, Yang Mulia." "Jagad Dewa!" Prabarini terkejut. Istri di sawah berselimut

lumpur, sementara dia sendiri tidur. Manusia macam apa Palagantara ini? Bapaknya ini?

"Kebun di seputar rumahmu ini juga istrimu yang mengerjakan?"

"Be... betul, Yang Mulia..."

"Lalu apa kerjamu?" Prabarini mengerutkan kening. Sayup bau tuak merambat dari dalam rumah Palagantara.

"Ampun, Yang Mulia... bukankah hamba adalah salah satu narapraja. Hamba takut jika ada panggilan sewaktu-waktu dari Baginda, hamba sedang tidak ada di tempat."

Mereka diam sesaat. Prabarini mengangguk-angguk. Dan kala Palagantara mempersilakannya duduk di sebuah kayu bundar, ia menolak. Rasa hatinya tak menentu. Apakah yang sedang bekerja di sawah itu ibunya?

"Berapa istrimu, Palagantara?"

"Tiga, Yang Mulia. Anak hamba enam orang." "Tiga? Hem... berapa anak perempuanmu?" "Tidak ada, Yang Mulia..."

"Tidak ada? Ulang jawabmu itu!"

”I... ya... tidak ada..." Palagantara agak gugup. Kendati baru kali ini ia bersemuka dengan Paramesywari, tapi ia cukup mendapat banyak berita bahwa Paramesywari seorang cerdas. Sebagai titisan Sri Lakhsmi, tentu punya syakti dari para dewa.

"Kau tidak salah ingat?" Prabarini mencoba menekan.

Bapaknya memang pantas menjadi seorang jagal. Tapi, ah... jagal manusia! Walau demi apa pun ia tetap tidak suka bapaknya menjadi jagal manusia. Ini pertemuan yang sulit. Karena itu dia harus meyakinkan, apakah benar-benar Palagantara adalah bapaknya.

"Kuberi waktu berpikir, sebelum menjawab. Hemh... hati- hatilah kau, Palagantara! Kau tahu siapa aku, bukan? Kau akan bisa kehilangan pekerjaanmu sebagai mertalulut atau salah seorang narapraja jika aku tahu kau menipu aku."

Palagantara menjadi gugup. Angin apa yang membawa Paramesywari datang tiba-tiba. Dan membawa kesulitan. Ingin rasanya ia melompat dan mencekik sang Putri. Tapi... tak berani. Cuma matanya nampak berkilat. Memantulkan nafsu dalam dadanya. Nafsu membunuh. Cuma beberapa saat memang, namun Prabarini mampu menangkap kilatan matanya.

"Ampunkan hamba, Yang Mulia... memang pernah punya anak perempuan. Dulu. Hampir terlupakan..."

"Benihmu sendiri kaulupakan? Siapa nama istrimu? Maksudku, ibu anakmu yang perempuan itu?" Prabarini menahan gejolak dalam kalbunya sendiri. Juga menahan air matanya.

Mendadak wajah Palagantara tampak gelap. Seperti diselimuti mendung tebal. Ingatannya melayang pada beberapa tahun silam. Entah berapa lama dia sudah lupa. Dan berkali ia memandang wajah Prabarini. Berkali angannya mengingatkannya pada seseorang. Hatinya bergetar.

Kekuatannya seolah pupus. Seperti Rsi Bisma yang sedang berhadapan dengan Srikandhi dalam Bharathayuddha. Saat itu Bisma gugup. Kekuatannya, keperkasaannya saat menghadapi panglima-panglima Pandawa kemarin, punah. Karena setiap kali ia memandang wajah Srikandhi, yang tampak adalah wajah Dewi Ambikha yang dibunuhnya beberapa tahun silam. Padahal Ambikha sangat mencintainya.

Berkali Palagantara menggosok matanya. Berkali wajah itu tampak sangat jelas. Ni Ratrini.

"Ampunkan hamba, Yang Maha Dewi..." Palagantara mengeluh. Kini ia menyembah dan mukanya ia benamkan di bumi. "Kisahnya amat panjang. Nama istri hamba itu Ni Ratrini."

"Ni Ratrini?"

"Ya. Barangkali saja tidak ada bidadari Kahyangan yang' kecantikannya mengungguli dia. Tidak ada! Suaranya begitu lembut."

"Ke mana dia sekarang?"

"Ampunkan hamba, Yang Mulia..." Palagantara makin sukar bicara. Suaranya makin parau.

"Di mana pula anak perempuanmu itu?"

"Oh, baiklah, Yang Mulia..." Dan mulailah ia bercerita. Pertemuan dengan Ratrini yang pertama di Kemal Pandak.

Ia masih belia. Ratrini sedang menyusur Kali Brantas dengan suaminya, seorang brahmana dari Jambudwipa. Palagantara sebagai seorang pemimpin perampok, saat itu juga membajak banyak perahu yang berlayar di Kali Brantas. Demikianlah ia bersama anak buahnya membajak perahu yang ditumpangi Ratrini dengan suaminya. Tanpa ampun semua penumpang ditumpas, kecuali Ratrini. Palagantara kemudian membawa Ratrini yang saat itu dalam keadaan tak sadar ke rumahnya di tengah hutan dekat Adilu-wih. Sangat jauh memang.

Memakan waktu berhari-hari. Setiap kali Ratrini sadar, setiap kali melihat wajah Palagantara, langsung pingsan lagi. Sesampai di rumah, Palagantara merawat Ratrini baik-baik.

Emas dan perak ia berikan. Dan semua kekayaan hasil rampokan bertahun-tahun dipersembahkannya buat Ratrini. Ia bersumpah akan bertobat jika Ratrini mau menjadi istrinya.

Namun Ratrini menolak. Berhari-hari ia perlakukan Ratrini baik-baik, tapi tetap saja Ratrini berkukuh. Sampai hilang sabar Palagantara.

Pemerkosaan demi pemerkosaan terjadi. Semula Ratrini berniat bunuh diri, namun Palagantara selalu menjaganya. Dengan kasar ia menjejalkan makanan ke mulut Ratrini.

Termasuk di antaranya ramuan-ramuan perangsang. Sampai hamillah Ratrini. Menyadari kehamilannya itu, Ratrini berhenti da'ri niatnya untuk bunuh diri. Ia bertekad menghidupi anak dalam kandungannya itu. Dan lahirlah seorang anak gadis mungil.

Semua tak ada yang tidak sama dengan Ratrini. Hampir tak ada setitik pun wajah Palagantara melekat pada dirinya.

"Tak layak anak ini menjadi anakku. Dia akan menjadi bidadari yang mulia," kata Palagantara pada Ratrini. "Ia harus dididik dengan baik. Harus mengerti Weda. Harus.

Sepantasnyalah ia menjadi seorang brahmani."

"Jagad Dewa! Aku sanggup mendidiknya sendiri. Aku bisa membaca lontar."

"Ratrini, kau tidak akan punya banyak waktu untuk mendidiknya, karena aku harus bekerja supaya persediaan kita tidak habis."

"Kau akan merampok lagi?" Ratrini mendelik.

"Aku tak bisa bekerja lainnya. Bercocok tanam bukan pekerjaanku." „

"Jagad Dewa! Berangkatlah jika begitu! Biar aku mendidik dan membesarkan anakku." Ratrini sebal. Tapi jawaban Palagantara sangat mengejutkannya. Direbutnya anak bayi kecil itu dari tangan Ratrini. Lalu dibawanya berlari.

Sambil mengumpat dan menangis serta mengutuk, Ratrini mengejar Palagantara, walau rasa sakit di seluruh tubuhnya karena melahirkan belum lagi sembuh.

Anak mereka kemudian diserahkan pada Mpu Dewaprana. Setelah itu Palagantara menyeret Ratrini pergi dari hadapan Mpu Dewaprana, yang tak kuasa menolak di bawah ancaman pedang Palagantara. Mereka berjalan ke Daha. Saat itu Daha baru saja dibangun, dan dermaganya berkembang pesat.

Palagantara berniat melakukan perampokan di sana. Namun akhirnya Ratrini tak tahan. Ia jatuh sakit.

Sebelum memasuki Daha, Palagantara membawa Ratrini ke rumah seorang tabib bernama Tanumaya. Tapi tanpa terduga begitu memasuki halaman rumah Tanumaya, Palagantara dikepung 'oleh laskar Sri Jayabhaya. Palagantara tak kuasa melawan. Lari pun tidak. Tapi Sri Jayabhaya yang saat itu baru saja marak menjadi Sri Maha Prabu, berkenan mengampuninya, asal Palagantara rela menyerahkan Ratrini.

Bukan cuma diampuni, tapi Palagantara juga diangkat menjadi salah seorang anggota laskar Penjalu.

"Jadi, istrimu kemudian diperistri oleh Sri Maha Prabu?" "Benar, Yang Mulia. Namun sayang, barangkali cuma tiga

bulan saja ia menjadi salah seorang selir. Karena setelah itu ia

kedapatan..."

"Kenapa? Tidak setia? Atau..."

"Tidak. Entahlah apa sebabnya? Tapi hamba dengar ia mati."

"Hyang Dewa Ratu! Ibunda!" Prabarini tak sadar. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Palagantara terkejut. Ibunda? ulangnya dalam hati. Jadi ini anakku? Anakku dari Ratrini? Perlahan ia bangkit berdiri. Prabarini terisak. Dadanya sesak. "Anakku?" desis Palagantara pelahan.

Prabarini tersentak mendengar itu. Segera ia menghapus air matanya. Dan ia mundur beberapa langkah.

"Berdiri kau di tempatmu!" perintah tegas dari bibir mungilnya. Ia pandang tajam-tajam Palagantara. "Pembunuh!" geram Prabarini menyembur dari mulutnya.

"Ampun..."

"Pada telormu sendiri engkau tak tahu namanya! Masihkah kau merasa patut minta ampun? Kau telah ambil kebahagiaan ibuku dengan paksa! Kemudian membunuhnya. Huh!" Prabarini membalikkan badan.

"Anakku..."

"Kau menculik! Sekarang aku diculik!" Prabarini menghentikan langkahnya buat sesaat. "Hukum karma telah menimpa diriku. Sekarang kau jadi mertalulut! Masih berapa lagi nyawa akan musnah di tanganmu? Jangan sentuh aku! Tak layak tangan berbau anyir begitu ..." Prabarini tak sanggup melanjutkan.

Dalam keretanya ia terus termenung. Mengapa aku harus menerima karma karena ayahku? Ayahku merampas. Aku juga dirampas! Hyang Dewa Ratu! Ampuni hamba! Para pengawal membisu. Tak berani mereka bertanya. Siapa tahu Paramesy- wari sedang memerintahkan sesuatu pada Palagantara? Walau rahasia, tapi para prajurit pasti tahu bahwa sebenarnyalah Palagantara kepala mertalulut. Memang anggotanya berganti- ganti, karena tidak ada yang tahan lama menjadi mertalulut.

Sampai di taman ia menyempatkan diri menengok Sri Prabu. Masih mendusin di biliknya. Makin nampak tua. Rambutnya semua sudah putih. Walau masih tebal, pipinya sudah nampak menggelandot ke bawah. Ia tak masuk bilik. Cuma melihatnya dari jarak yang agak jauh. Para biti perwara istana menjaga di luar bilik. Mereka menjelaskan bahwa napas Sri Prabu sudah baik.

Senyum tipis tersungging di bibirnya sebagai jawaban pada para biti perwara itu. Itu pun sudah membuat mereka sejuk. Seolah mereka dapat melupakan kesesakan di rumah tangga mereka masing-masing. Seperti tersiram air yang tersimpan selama sewindu saja. Dan kain merah tua yang melilit ketat pada tubuh bahagian bawah Prabarini meninggalkan suara yang mendebarkan jantung, sehingga dagu mereka tertarik untuk memperhatikan lenggang tubuh padat berisi yang makin menjauh untuk memasuki wismanya. Warna kulit punggungnya yang kuning langsat tak mudah menghilang dari impian tiap pria. Ah, wanginya masih juga tinggal kendati tubuh Prabarini sudah hilang ditelan belokan.

Nyi Rumbi dan Nyi Lembini menyambutnya.

"Ah, lama amat, Yang Mulia. Dari mana saja? Kami resah." "Apa yang kalian resahkan?" Prabarini melepas perhiasan di

kepala dan dahi serta lengannya. Gemerincing emas beradu

saat benda-benda itu berjatuhan di tempat tidur.

"Eh, hamba membawa lontar..." Nyi Lembini mendekatkan mulut ke telinga Prabarini untuk • berbisik. Dan Prabarini mengawasinya tajam-tajam. Curiga.

"Tidak percaya, Yang Mulia? Bukankah Hyang Maha Dewa..."

"Lontar apa?" Prabarini duduk di tempat tidurnya. "Dari Yang Suci Sedah."

"Ha?"

"Mengapa terkejut?" Nyi Lembini kemudian menoleh pada Nyi Rumbi, menyuruhnya berjaga-jaga di pintu. Setelahnya ia mengeluarkan segu-lung lontar dari balik jubahnya. Bergesa Prabarini menaburkan bubukan kapur kinangan pada lontar yang kini sudah dibukanya. Kemudian mengoleskan jari-jarinya yang runcing. Benar! Sebuah surat. Sedah yang menulisnya. Nyi Rumbi dan Nyi Lembini segera berjaga-jaga di luar bilik. Sementara Prabarini membacanya.

"Dirgahayu! Prabarini!'3 Prabarini berdebar. Ia sudah tahu namaku. Ah, tidak menggunakan sebutan Yang Mulia. Inilah ciri Sedah yang mengagumkan. Tak suka menggubris tatacara umum.

"Tersaruk aku mencari. Terbang menjelajah bumi, setelah aku mendengar pengakuan Nyi Dewaprana. Tapi aku tak mampu menelusuri jejakmu. Ternyata engkau sekarang ini berada di istana dewata! Tentu sukar menjamahmu. Jangan menjamahmu. Hanya seorang yang memiliki sayap kuat, hati herani dan cakar perkasa yang mampu merampasmu dari tangan Sri Jayabhaya. Aku jadi mengandai-andai.

Berbahagialah seekor rajawali yang mampu terbang tinggi menembusi awan-awan dan membawamu meniti pelangi. Tapi aku?

"Itulah sebabnya aku akan segera meninggalkan Daha, seandainya aku tak mungkin bersatu kembali denganmu. Tak perlu tahu ke mana. Yang penting saat ini aku menunggu jawabmu. Aku ingin, sebelum dua pekan ini kau memberikan ketegasan. Sehingga aku bisa tahu, milik siapakah Prabarini sebenarnya. Milikku? Atau memang benar-benar milik Sri Jayabhaya, junjungan setiap umat di Penjalu dan bumi jajahannya?

. "Akhirnya, aku sampaikan sejahtera dan dirgahayulah kau!"

Sedah tidak menceritakan pengalamannya. Tidak menceritakan bagaimana kecewa waktu datang ke Adiluwih dan dia tiada. Tiada keindahan dalam surat itu, bahkan boleh dikata kasar. Tapi tersirat sebuah tuntutan yang tegas.

Maka'segera ia menulis balasannya. Tidak mungkin tidak dibalas. Sebab jika tidak, punahlah harapan untuk bersua kembali dengan Sedah. Air matanya tak berhenti mengalir waktu menulis jawaban. Ia tidak menggunakan lontar, sebab tak punya lontar. Maka ia menggunakan kain sutera putih sebagai lambang kesucian hatinya. Namun sengaja ia menggores ujung jari kakinya untuk mengeluarkan percikan darah, dan dipercikkannya pada sutera itu, untuk menyatakan sikap hatinya. Dengan hati-hati ia menulis:

"Mentari bergulir lambat ke arah barat kala hamba menulis ini, Kanda. Sungguh pun amat singkat, namun surat Kanda tak ubahnya air hujan yang jatuh di kemarau panjang.

"Ampuni hamba, yang tetap memberanikan diri menyebut seorang Maha Rsi Suci dengan sebutan Kanda. Barangkali tak layak, karena hamba seorang yang ternoda oleh ketidakkokoh- an hati sendiri. Kerapuhan. Atau memang kodrat hamba adalah rapuh? Hamba tidak tahu. Lagi, sebesar-besar permohonan ampun hamba sertakan di sutera ini. Percikan darah di sela tinta China ini sebagai bukti ketulusan permohonan hamba. Seandainya ampun itu tak datang jua, maka itulah hukuman mati bagi Prabarini yang hina dina ini.

"Kakanda,

"Tak ubahnya burung gelatik kecil, atau pipit yang tiada daya, hamba sekarang ini ditangkap dan dimasukkan sangkar. Apa yang bisa hamba kerjakan selain tekun dalam doa, dan bersabar menunggu uluran tangan Hyang Maha Dewa? Hari kemarin berlalu dan akan terus pergi, tanpa % kembali.

Sementara esok hamba nanti dengan penuh pengharapan. Barangkali seperti inilah Sinta yang sedang berada dalam cengkeraman

Rahwana. Tapi apalah artinya mengandai-andai? Namun demikian, bukankah Sinta tetap jadi milik Sri Rama setelah kekuasaan Rahwana ditumbangkan ? "Hamba menyadari bahwa kita bukan Sinta dan Rama.

Meskipun begitu, keinginan hati tetaplah menjadi milik seorang kekasih tercinta. Kebahagiaan hamba bukan terletak pada padatnya taman dengan beraneka bunga dan burung, bukan pula pada gemerlapnya emas permata yang bertimbun di seputar hamba, tapi terletak pada kerelaan Kanda untuk membuka hati kembali menerima hamba dalam keadaan sekarang ini. Keadaan yang tidak suci lagi karena ternoda oleh kerakusan manusia yang ingin memanjakan nafsu pribadi.

Sebagai penghujungnya, tak mau mendengar jerit tangis batin yang teraniaya.

"Kanda,

"Pada akhirnya, gunung-gemunung harapan hamba pendam dalam kalbu, agar Kanda rela bersabar menanti kesudahan. Hamba percaya bahwa jika kita bersabar dan tekun berdoa, waktunya akan segera tiba." ~

Kembali cap jari dengan darah sebagai penutup kalimat.

Dan setelah menyerahkan jawaban itu pada Nyi Lembini, maka ia bangkit untuk masuk pura. Di sanalah, pada kekuatan gaib, kekuatan yang tak pernah dikenalnya, bahkan tak pernah dilihatnya, Prabarini menggayutkan semua harapannya. Kemenyan dibakar bersama dupa. Asap putih memenuhi ruangan pura. Bahkan menerobos keluar sampai ke awan. Bau kemenyan itu merangsang ke mana-mana. Tidak luput masuk ke ruangan Jayabhaya yang sudah mendusin.

Prabarini tidak menyangka bahwa Jayabhaya akan bangun dan kemudian melangkahkan kaki ke wismanya. Namun dengan sabar Sri Prabu menunggu di depan puri. Ia merasa bahwa istrinya sedang berdoa untuk keselamatannya.

Perkiraan yang menggunakan perasaan sering tidak benar.

Prabarini benar-benar terkejut kala turun dari semadinya Sri Prabu sudah duduk di depan wismanya.

"Sembah untuk Yang Maha Mulia," sapanya untuk menutupi kegugupannya. "Terima kasih, Istrinda. Kau telah berdoa untuk aku. Dan Hyang Maha Dewa mendengar doamu itu. Aku merasa sehat."

Makin berdebar.

Jayabhaya bangkit berdiri menyongsong, kemudian membimbing istrinya. Bahkan dengan mesra, seperti masih remaja Jayabhaya meletakkan tangan ke pundak Prabarini sambil berjalan menuju bilik Prabarini. Ah, aku ingin jadi merpati. Jinak tapi berkesempatan terbang ke mana pun ia berkehendak. Sekarang ada pohon di mana merpati itu boleh hinggap. Mengapa harus tolol? Toh dia cuma mendapat tubuhku? Tidak hatiku?

"Tampaknya ada kekuatan gaib yang membangunkan Yang Mulia..."

"Ya. Barangkali saja karena doamu itu. Tapi ada yang lebih penting dari itu, karena aku diganggu oleh mimpi buruk."

Lagi, Prabarini berdebar. Keningnya mengkerut. Alisnya hampir beradu. Membuat wajahnya makin manis. Justru wajah ini yang membuat hampir setiap lelaki tergila-gila.

"Mimpi apa?"

"Di antara dua puluh tiga cerdik-pandai istana di bawah Pandita istana Mpu Panuluh, ternyata tidak satu pun yang berani menerjemahkan Ma-habharata ke dalam Jawa. Padahal aku sudah memerintahkan sejak tiga bulan lalu, supaya menjadi peringatan atas Penjalu Jayanti (kemenangan Panjalu) waktu perang melawan Kanda Hemabhupati."

Lega Prabarini. Ternyata tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan yang dihadapinya sendiri. Dan ingatannya segera melayang kepada Sedah. Tentu cuma dia yang mampu menerjemahkan dengan baik. Gaya bahasanya lugas dan mudah dimengerti. "Memang banyak orang bisa bercakap dalam Sansekerta, Yang Maha Mulia, namun jarang yang bisa menyusun kata- kata bagus untuk menerjemahkan sebuah kakawin," katanya.

"Istrinda sendiri bagaimana?"

"Bahasa Sansekerta adalah bahasa dewa-dewa!" Dalam hati Prabarini ingin mengejek Sri Prabu. Ternyata walau kau raja bijak yang terkenal di seluruh muka bumi sebagai seorang luar biasa karena bisa mempersatukan kembali Kahuripan, sebenarnya jika tanpa rombongan cerdik-pandai yang berjumlah dua puluh tiga orang brahmana itu, kau adalah sedungu-dungunya orang. "Karena itu, hamba cuma sanggup membaca, berkata-kata, tapi tak sanggup menuangkan dalam tulftan. Apalagi sekarang. Sebagai seorang Paramesywari yang harus sering tampil di balai agung atau ikut Sri Prabu menemui tamu-tamu negeri, kapan akan selesai? Syair yang berjumlah dua puluh empati ribu sloka tidaklah sedikit, Yang Maha Mulia. Ampunkan hamba..."

"Istrinda pernah membaca?"

"Mungkin setiap brahmana sudah pernah membacanya."

Jayabhaya berbinar. Ia cium istrinya. Ada harapan. Jika terpaksa ia akan membebaskan Prabarini dari tugas-tugas kenegaraan untuk menerjemahkan kakawin Mahabharata itu. Tapi ia ingin tahu pendapat istrinya, bagaimana caranya agar kitab Mahabharata ini digubah dalam Jawa.

"Jika memang harus diterjemahkan..." Prabarini kini melepaskan diri dari pelukan, dan mondar-mandir di depan Jayabhaya sambil seolah mengingat-ingat. Jayabhaya memperhatikannya. Ah, 'susu istrinya belum juga nampak melorot. Terjaga rapi. Rupanya Prabarini memang telah menyadari keadaan. Bahwa bukan kecendekiawanannya yang dibutuhkan, tapi keperempuanannya. Dan itu sebabnya ia harus menjaga diri agar tetapi mempesona. Suara binggalnya bergemerincing. Disertai gerakan pinggul yang naik-turun sebelah-me-nyebelah, setiap kali melangkah. Rambut tersanggul ke atas sehingga leher dan tengkuknya sering mengundang lamunan tersendiri. Belum lagi bau harum melati sebagai aroma yang dikeluarkan tiap pori di kulit kuning langsat yang selalu dicuci dengan air bunga itu.

"Barangkali ada baiknya jika kita mengadakan sayembara." Tiba-tiba Prabarini mengeluarkan pendapat.

Jayabhaya tersentak. "Sayembara?"

"Ya. Sayembara. Barangkali masih banyak brahmana yang lebih pandai dari kedua puluh tiga rombongan brahmana istana itu."

"Lebih pandai dari kaum brahmana di istana? Bagaimana bisa?"

"Mengapa tidak? Brahmana istana hidup di batasi oleh dinding-dinding berkubu. Tembok-tembok benteng. Karena itu, pengetahuan mereka tidak pernah bertambah. Dan kerja mereka? Tidak lebih dari melaksanakan kebijakan istana.

Padahal pengetahuan itu laksana samodra luas tanpa batas. Dan dia akan berkembang terus sampai mampu menjala bintang-gemintang, atau mengorek dasar laut dan mengaduk- aduk perut bumi..."

"Istrinda! Kau melecehkan kebijakanku?" Jayabhaya tersinggung.

"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia." Prabarini memperbaiki suasana. "Bukan maksud hamba demikian. Tapi inilah kebenaran. Barangkali saja Yang Maha Mulia tak menyadari atau melihat. Mereka ternina bobok oleh rumah- rumah mewah, kereta-kereta indah yang tak pernah dimiliki oleh kawula atau brahmana yang tinggal jauh dari istana. Otak mereka tersumpal oleh uang dan wanita molek. Yang Maha Mulia, lihatlah, menerjemahkan Mahabharata saja mereka tak sanggup! Jika Yang Maha Mulia mencintai hamba,' tentunya akan mengerti mengapa hamba menyayangkan semua tindakan mereka. Mereka selama ini tak pernah bisa melahirkan karya yang bermanfaat bagi kemanusiaan, karena karya yang mereka lahirkan hanyalah sanjungan terhadap semua kebijakan Yang Maha Mulia. Tak pernah menggambarkan kenyataan." "Jagad Dewa!"

"Demi Yang Maha Mulia sendiri hamba katakan ini." Prabarini maju sambil berbisik. Kemudian mencium pipi Jayabhaya. Ini tak pernah dilakukan sebelumnya. Setelahnya mengalungkan kedua tangannya pada leher Jayabhaya. Punah api murka di dada Jayabhaya yang disulut oleh ucapan Prabarini itu. Seolah tersiram air surgawi yang amat sejuk.

"Dengan kata lain..."

"Ya, ini sekadar pendapat, Yang Maha Mulia. Boleh kan sesekali mengeluarkan pendapat. Ah, sesekali memohon kebebasan untuk berpendapat?"

Jayabhaya menggeragap. Hangatnya susu Prabarini yang tertempel di bahagian bawah dadanya terasa berbeda dengan biasanya. Memberikan gairah seperti masa mudanya.

"Ya. Iya..."

"Tanpa kebebasan berpendapat kaum brahmana tak ubahnya pemakan gaji dan persembahan tanpa karya apa-apa yang harus dipersembahkan kepada kehidupan dan kemanusiaan. Itu merupakan kejahatan. Brahmana tanpa karya bagi kehidupan dan kemanusiaan adalah penjahat!"

"Jagad Bathara! Baiklah besok aku umumkan sayembara..." Jayabhaya tidak tahan lagi. Napasnya memburu. Ia angkat tubuh Prabarini dan dibopongnya ke peraduan. Tapi tubuhnya masih amat lemah. Dan keduanya jatuh bergulingan di permadani. Prabarini mengeluh lirih. Jayabhaya minta maaf. Ketika akan bangkit kepalanya masih berat, bahkan pandangannya seolah dikelilingi seribu bintang. Prabarini berbisik lirih di telinganya, "Lain kali saja jika sudah sembuh benar..."

0ooo0dw0ooo0

Ratusan Brahmana dari seluruh Penjalu sudah maju untuk diuji oleh Dewan Cerdik Pandai Penjalu yang dipimpin oleh Mpu Panuluh. Namun semua mengecewakan Jayabhaya, karena belum satu pun yang lulus. Jayabhaya hampir putus asa, dan hampir saja menurunkan perintah agar Mpu Panuluh sendiri yang menerjemahkannya. Walau kurang bagus mungkin, tapi itu lebih baik daripada tak dapat dibaca sama sekali.

"Masih banyak brahmana pintar yang belum muncul, Yang Maha Mulia. Tentu dengan pertimbangan-pertimbangan tersendiri." Prabarini masih berusaha. Sebenarnyalah ia ingin memancing Sedah. Namun ia sendiri menjadi jengkel, karena setelah beberapa hari dari ujian yang diselenggarakan oleh Dewan Cerdik Pandai Sedah tidak juga muncul. Maka segera ia menulis lagi kepada Sedah agar kekasihnya ikut sayembara.

Namun dengan tegas Sedah menolak. "Kebrahmanaanku bukan untuk diperdagangkan. Bukan

untuk diabdikan pada Raja!"

"Tapi..."

"Aku tidak bisa!"

Nyi Lembini membawa berita yang menyedihkan ini pada Prabarini. Namun Prabarini tidak nampak terkejut. Ia sudah menduga sebelumnya. Namun tanpa rasa putus asa, ia menjatuhkan lontar lagi. . "Kanda, hamba tahu, bahwa Kanda tidak akan menyetujui usul hamba itu" katanya dalam lontar, "tapi, tidakkah kita dapat menggunakan pikiran yang jernih? Bahwa untuk mencapai tujuan tidak selalu harus menggunakan kekerasan? Juga tidak selalu dengan kejujuran? Semakin tua usia zaman, semakin punah nilai kejujuran itu. Ingatlah bahwa Jayabhaya memiliki segala dan semua. Kekuasaan, uang, dan laskar. Kita cuma memiliki akal! Dan Jayabhaya sanggup membayar banyak brahmana untuk melawan akal kita. Jadi saat ini, pengetahuan pun dibayar dengan uang untuk melawan pengetahuan lainnya. Karena itu, jika Kanda ingin dan masih mencintai hamba, seharusnyalah Kanda memasuki sayembara ini. Hamba tahu Kanda tidak akan gagal. Siapa tahu, Hyang Maha Dewa membuka jalan untuk perjumpaan kita di hari mendatang? Nah, dirgahayulah Kanda. Selamat menapaki jalan baru di tangga istana..."

Berdebar Sedah membacanya. Dengan kata lain, Prabarini memintanya masuk dalam alam ketidakjujuran: Memasuki nilai lain dari kehidupan yang semestinya harus dilakukan oleh seorang brahmana. Tapi pertanyaan itu terjawab oleh baris- baris berikutnya dalam lontar Prabarini,

"Mengapa itu tak boleh kita lakukan? Lihat Jayabhaya, dalam menjangkau puncak keemasannya, tangannya bermandi darah l Barangkali Kanda belum pernah dengar bahwa banyak satria tertumpah darahnya untuk menjadi rabuk ? Atau Kanda tidak tahu bahwa penjara-penjara di Penjalu ini penuh sesak dengan tawanan perang atau orang- orang yang dicurigai melawan kebijakan Jayabhaya? Lalu mengapa kita berdiam dalam keterpatrian pada yama dan gama yang sebenarnya sudah diinjak-injak oleh penguasanya sendiri? Mungkin Kanda masih ingat akan Bathar a Erlangga sorga? Bukankah untuk mencapai gelar Bathara ia harus menipu kawula, seolah ia melakukan karya besar menyudet Kali Brantas. Tapi siapakah sebenarnya yang menjadi pemiliknya? Tentu Mpu Bharadah. Dan siapa yang mengerjakannya? Siapa yang mayatnya bergelimpangan dimakan binatang-binatang buas dalam belantara? Tidak lain dari tawanan perang dari Sriwijaya dan Lwaram! Selebihnya adalah kawula yang tanpa daya, yang tak mampu membayar pajak, dan siapa saja yang dianggap menentang kebijakan Sang Agung Erlangga. Isi dunia adalah menguasai dan dikuasai. Sekarang kita dalam kekuasaan Jayabhaya. Kanda, relakah membiarkan hamba tetap dalam genggamannya?

Hamba percaya, Kanda pasti bisa menerjemahkan kehendak hamba ini."

Lagi! Sedah berayun-ayun dalam pertimbangan. Aku harus menerjemahkan Mahabharata bagi Jayabhaya? Orang yang merampas kekasihku? Yang melindas saudaranya sendiri, Raja Jenggala demi kebesaran pribadinya sendiri? Ah... Prabarini takut pada lembing prajurit Penjalu, sehingga tak berani melarikan diri.

"Tidak! Bukan itu." Nyi Lembini menegaskan. "Tapi ada hukuman yang lebih mengerikan bagi tiap wanita yang berani menolak atau menghina Sri Prabu."

"Apa itu? Hukuman yang lebih mengerikan dari hukuman mati?" Sedah heran.

"Ya. Dilempar ke tengah budak-budak penambang emas milik Sri Prabu. Budak-budak yang sudah begitu lama tidak bersua perempuan itu mendapat perkenan memperkosa mereka berganti-ganti."

"Jagad Dewa Pramudita!" gigi Sedah berkerut. Ia menarik napas dalam-dalam. Agak lama berdiam diri. Lalu memerintahkan Nyi Lembini meninggalkannya. Tanpa jawab apa pun.

Namun keesokan harinya, Jayabhaya yang baru bangun dikejutkan oleh menghadapnya seorang caraka. Ia tidur di istananya sendiri.

"Ada apa?" Orang itu menyembah. Bahkan mukanya mencium ubin berwarna kuning di hadapannya. (Dari kitab Ling Wai Tai Ta karya Chou K'u Fei (1178) kita tahu bahwa rumah-rumah di Daha bersih dan rapi, lantainya dari ubin hijau dan kuning. Penduduk memelihara ulat sutera dan para wanitanya mengenakan kain sampai di bawah lutut. Rambutnya terurai. Di samping itu buku itu juga menceritakan keadaan pemerintahan)

" Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia, para anggota Dewan Cerdik Pandai telah siap di Pendapa agung untuk menguji seorang brahmana muda..."

"Apa katamu? Brahmana muda? Yang tua-tua saja gagal, apalagi yang masih ingusan!" Jayabhaya bangkit dan mandi.

Caraka itu pergi setelah Sri Jayabhaya hilang di balik dinding batu. Mungkin saja sudah tenggelam dalam pelukan para selir. Mengapa bukan aku yang jadi raja, pikirnya.

Mpu Panuluh terkejut mendengar laporan caraka itu. Buat sesaat ia tak mengertiapa yang dikehendaki Sri Prabu. Namun ia bersabar. Kemudian meminta prajangkara agar ia diizinkan menghadap.

Prajangkara terpaksa menghadap dan memohonkan izin bagi Mpu Panuluh.

"Tunggu! Aku masih makan pagi!"

Sebenarnyalah jawaban itu tidak menyenangkan Panuluh. Namun ia harus menyadari dan bersabar. Memang dengan cara itulah orang-orang yang merasa derajatnya lebih tinggi menanamkan kewibawaan. Seolah dirinya adalah dewa-dewa yang sulit dijamah oleh siapa pun dan sukar dipandang oleh semua makhluk.

Yang lebih jengkel sebenarnya adalah Sedah, yang terpaksa harus menunggu di gardu penjagaan. Itu masih untung karena ia menolak disuruh menunggu di bawah pohon beringin kembar di tengah alun-alun itu. Sedah berjalan mondar-mandir di depan gardu penjagaan. Para penjaga tak berani menegurnya, karena tadi waktu disuruh menunggu, di tengah alun-alun, Sedah menjawab dengan hardikan.

"Kebiasaan di sini memang demikian. Kendati brahmana harus..."

"Pintar kalian ngomong harus! Harus! Memang itu yang dijejalkan di kepala kalian! Selebihnya melarang dan melarang! Tapi jangan itu dikenakan padaku!"

Semula kepala regu penjagaan yang perwira itu jadi tersinggung, tapi pandangan mata Sedah melindasnya. Seperti sepasang mata dewa. Perwira itu mengerti benar bahwa orang demikian tak pernah gentar pada apa dan siapa pun, walau usianya masih amat belia.

Setelah hampir habis kesabaran Sedah, barulah ia mendapat perkenan menghadap ke istana. Di mana para anggota Dewan cerdik Pandai sudah siap menantinya. Juga Sri Jayabhaya duduk di singgasana yang disediakan untuk menyaksikan ujian itu. Sedah segera menyapu isi ruangan pendapa itu dengan pandangnya. Tak ia lihat Prabarini. Cuma dua selir yang membawa kipas besar di samping kiri dan kanan Jayabhaya. Agak berbeda dengan raja-raja £iwa, maka api kehidupan tidak di sebelah kanan singgasana, tapi di sebelah kirinya.

Para anggota Dewan Cerdik Pandai berbaris di kiri kanan Raja, dengan tempat duduk yang lebih rendah, sehingga membentuk gambar telapak kuda memanjang. Singgasana Raja sebagai ujung lengkungnya. Sehingga dengan demikian Sri Jayabhaya bisa melihat jelas, mulai saat Sedah menaiki titian pendapa agung. Jayabhaya mengernyitkan keningnya. Siapa pemuda ini? seperti telah pernah melihatnya. Agak lupa. Tapi ia melihat, betapa tenangnya brahmana muda ini.

Matanya menatap tajam ke arah Raja tanpa senyum ataupun penghormatan. Hati Jayabhaya berdesir. Tongkat di tangan kirinya sepanjang tombak dengan pangkal terbuat dari emas, demikian pula ujungnya. Tubuh tongkat itu sendiri terbuat dari kayu timanga hitam. Kalung emas panjang tergantung dengan medali sebesar telapak tangan tepat di pusarnya. Gambarnya teratai. Berjubah hitam menambah keanggunannya, karena kulitnya kuning langsat. Tubuhnya boleh dikatakan kurus. Kumisnya menerawang hitam, dengan ujung-ujung jatuh ke samping kiri kanan mulut yang mengatup rapat. Bibirnya tipis, mirip bibir wanita.

Rahangnya agak menonjol ke samping sehingga memberi kesan kaku dan wajahnya tidak bulat telor. Namun hidungnya mancung kendati tidak lancip. Alis matanya tebal. Hampir seperti gambar sepasang golok hitam. Lehernya jenjang.

Kakinya terbungkus kasut yang terbuat dari pelepah nipah, sementara kaum brahmana lainnya mengenakan sepatu kulit kambing, bahkan ada juga yang membelinya dari daratan Cina.

Namun Sedah tidak nampak seperti siput. Dan... Gila!

Menaiki titian pendapa tanpa menyembah! Matanya! Menatap! Jayabhaya berdebar.

"Dirgahayu semua!" Anak muda itu menyapa. Lagi! Tidak menyembah.

Mpu Samirana Guna terkejut melihat kehadiran Sedah yang tidak memberitahukan rencananya ikut sayembara. Padahal sudah beberapa lama ia menawari, tapi selalu menolak. Angin apa yang membawa keponakannya itu kemari?

"Hamba menghadap Dewan Cerdik Pandai sebagai penguji brahmana yang mengikuti sayembara." Sedah berbicara lagi. "Hormat bagi semuanya."

Mpu Panuluh bisa mengerti sikap Sedah sebagai seorang Maha Rsi. Dia tidak akan menyembah siapa pun kecuali Hyang Maha Dewa sendiri. Jayabhaya sendiri tampaknya menahan hati. Kendati demikian, rahangnya nampak menegang. Mungkin saja menggeretakkan giginya. Panuluh maju dan menyembah sambil berdiri.

"Apakah brahmana ini mendapat perkenan Baginda?" alisnya sudah seputih jenggotnya. Maka wajahnya nampak pucat laksana kapas.

"Siapa dia?" bibir Jayabhaya terbuka cuma sedikit.

Dan Panuluh mundur satu langkah. Sedah mulai sebal melihat sikap Panuluh. Juga melihat sikap dua puluh tiga brahmana yang berhamba-hamba, bahkan bergerak pun seakan tidak berani. Ah, brahmana berjiwa budak! Apa saja yang disumpalkan ke mulut mereka sehingga mereka tak lebih dari siput-siput raksasa? Sedah terus bicara sendiri dalam hati. Juga sempat ia melirik pamannya. Orang itu buru-buru menunduk. Apa artinya mereka belajar bertahun-tahun selama ini? Cuma menjadikan kepala mereka gudang? Dan pengetahuan yang ada di kepala mereka menjadi barang rongsokan?

"Atas nama Bathara Jayabhaya, penguasa bumi Penjalu, aku diperkenankan menanyakan namamu, Anak muda..."

"Hyang Bathara! Jagad Pramudita!" Sedah menyebut. "Yang Tersuci sudah melupakan hamba? Seorang yang pernah dilantiknya sendiri bisa dilupakan? Belum lama, bukan? Dua tahun lalu..."

"Jagad Dewa! Ini tatacara kerajaan, Yang Suci!" Panuluh sedikit bergetar mendengar jawaban Sedah.

"Jawablah apa yang telah pernah Yang Tersuci ketahui tentang hamba." Sedah menatap langsung pada Jayabhaya. Semua orang menjadi takut. Tak ada izin dari siapa pun menatap wajah penguasa tertinggi bumi Penjalu itu dengan cara sedemikian.

Dan Jayabhaya memang tersentak melihat sikap Sedah. Ingin ia mengangkat telunjuknya pada para penjaga. Dan akan tamatlah riwayat Sedah. Ia melihat Panuluh dalam kesulitan. Tatakrama yang berlaku di kerajaan ini telah diinjak- injak oleh Sedah. Sambil menahan marah Jayabhaya bangkit berdiri, namun mata Sedah tetap menatapnya tajam. Mau tidak mau Jayabhaya mengakui ada wibawa dalam rmata itu. Sebenarnyalah ia lebih layak menjadi pandita istana dari pada Panuluh, katanya dalam hati. Namun ia tersinggung oleh sikapnya yang menolak menyembah itu. Kini semua anggota Dewan Cerdik Pandai tertunduk takut. Sementara Sedah tetap berdiri di tempatnya. Barangkali saja hatinya berdebar keras. Tapi itu tidak nampak dalam penampilannya.

"Siapkah yang telah berani menyejajarkan diri denganku ini?" Suara Jayabhaya bergetar. Dengan begitu makin jelas bahwa ia kurang bisa mengucapkan kata er...

"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia! Sedah yang berdiri di sini bukan untuk menyejajari Yang Maha Mulia sebagai penguasa Penjalu. Hanya memenuhi panggilan kemanusiaan, untuk menerjemahkan Mahabharata ke dalam Jawa."

"Yang Suci tidak menyembah..."

"Itu bukan berarti tidak menghormati Raja, tapi mendudukkan gama yang tertulis dalam Rg Weda, Attarwa Weda, Samma Weda, serta Yajur Weda di tempat yang semestinya."

"Tidakkah Yang Suci tahu bahwa Raja adalah wakil Hyang Maha Dewa di bumi?"

"Jagad Dewa! Siapa yang telah menjejalkan ajaran itu pada Yang Maha Mulia?" Sedah kini tersenyum. Ternyata giginya tidak rata. "Brahmana sesat yang mengajar seperti itu! Mereka hanya ingin uang dan kehormatan dan karena itu meninabo- bokkan Yang Maha Mulia dengan berbagai gelar."

"Hyang Bathara!" Kini Jayabhaya menyebut. Sementara itu para anggota Dewan Cerdik Pandai makin menciut. Sedah telah bermulut lancang. Jayabhaya samar-samar ingat, mungkin anak muda inilah yang enggan berjongkok waktu rombongannya melewati jalan dekat dermaga itu.

"Baiklah!" Jayabhaya kemudian memerintahkan Panuluh meneruskan pertanyaannya. Dan ia duduk kembali. Lega, para anggota Dewan Cerdik Pandai. Jayabhaya tidak memarahi mereka.

"Umur berapa?" "Dua puluh tiga." "Baik. Sudah siap?" "Sudah."

"Jika Yang Suci gagal dalam ujian ini, maka Yang Suci pulang tanpa raga!" Tiba-tiba Jayabhaya menyahut dari tempat duduknya. "Karena Yang Suci telah melanggar semua peraturan di Keraton Daha ini."

"Mati adalah keberuntungan bagiku! Sebab, dengan demikian aku telah sampai pada kewajiban terakhirku!" Sedah tersenyum.

Kekaguman kembali mekar di hati Jayabhaya. Walaupun munculnya bersamaan dengan kebencian. Dan kini ia mendengarkan dengan baik dan teliti. Ah, sayang dalam keadaan begini ia tak sempat mampir di taman Prabarini. Jika istrinya itu ikut menyaksikan ujian atas pemuda ini, tentu ia akan bersukacita.

"Pernahkah Yang Suci membaca Mahabharata?" Mpu Panuluh memulai.

"Ya. Pernah." Sedah tetap berdiri di antara tempat duduk para Dewan Cerdik Pandai yang berbentuk tapal kuda itu.

"Berapa parwa...?"

"Ada delapan belas parwa dalam kitab Mahabharata." Sedah tidak memberi kesempatan pada Panuluh untuk menyelesaikan pertanyaannya. "Parwa-parwa ini digubah dalam bentuk syair. Jumlahnya seratus ribu sloka. Sebenarnya cerita pokoknya cuma terdiri dari dua puluh empat ribu sloka. Karena banyaknya cerita selingan, maka jumlah sloka-sloka itu membengkak menjadi seratus ribu sloka."

Jayabhaya berdecak kagum. Luar biasa pengetahuan pemuda ini. Demikian pula para anggota Dewan Cerdik Pandai. Bahkan pamannya sendiri pun berdecak kagum.

"Baik!" Mpu Panuluh mengangguk-angguk. Dia pun bangkit. Kemudian berjalan kian-kemari sambil meletakkan kedua tangannya di belakang tubuhnya. Kadang-kadang ia mengelus jenggot.

"Apa inti isi kitab Mahabharata?" tanyanya.

"Cerita inti Mahabharata adalah perang saudara selama delapan belas hari antara dua keluarga besar yang masih sedarah. Yaitu berdarah Bharata. Pihak yang satu terdiri dari lima bersaudara yang dinamakan kelompok Pandawa.

Keturunan Bharata lainnya adalah Kurawa yang terdiri dari seratus orang. Itu sebabnya Sri Jayabhaya memerintahkan Dewan Cerdik Pandai menerjemahkannya untuk memperingati kemenangan Penjalu atas Jenggala."

Jayabhaya terlonjak dalam duduknya. Anak muda ini bisa menebak secara tepat. Bahkan langsung berani menyatakannya. Tapi Sedah melanjutkan lagi, tanpa mau tahu apa yang bergejolak di hati Jayabhaya,

"Perang itu sendiri dinamakan Bharatayudha! Perang delapan belas hari namun memakan korban sembilan juta lima ratus tiga puluh sembilan ribu lima puluh jiwa di pihak Kurawa saja! Belum ditambah dari pihak Pandawa! Kita bisa membayangkan betapa kejamnya perang! Apa pun namanya! Perang tetaplah kejam. Pembunuhan atas manusia yang tak berdosa! Kawula yang tiada pernah merasakan keenakan Pandawa maupun Kurawa, digiring ke medan laga Kurusetra untuk ditumpas seperti ayam."

"Jagad Dewa!" Jayabhaya tak mampu membendung kekagumannya. Tidak saja anak muda ini mampu menerjemahkan, bahkan mampu menunjukkan sikap.

"Baik! Apakah Yang Suci bisa menceritakan secara ringkas tiap-tiap parwa yang ada?" Panuluh masih mengajukan pertanyaan untuk mewakili anggota lainnya setelah mereka berunding sebentar.

"Parwa pertama diberi judul Adiparwa oleh pengarangnya, Mpu Vyasa Krsna Dvipayana. Mpu Vyasa menceritakan tentang asal-usul Pandawa dan Kurawa, dan masa kecil mereka.

Begitu hebatnya sang Maha Mpu ini, sehingga setiap pembaca akan merasa dirinya terlibat dalam cerita ini. Dan tentu tiap orang akan memihak Pandawa. Bahkan tidak jarang orang Jawa yang selalu merasa diri sebagai pihak Pandawa. Luar Biasa indahnya. Sedah menarik napas sebentar. Lalu melihat pada Sri Prabu. Tampaknya orang itu makin tertarik.

Hari merangkak makin siang kala Sedah menceritakan parwa kedua, yaitu Sabhaparwa.

"Bahagian ini menceritakan Kurawa dan Pandawa sudah meningkat dewasa. Mereka membangun Negeri Amarta dengan istana yang luar biasa indahnya, menyamai istana dewa-dewa, yang mereka beri nama Istana Indraprastha. Hal ini membuat para Kurawa iri. Karena itu mereka merencanakan suatu tipu muslihat untuk menyingkirkan Pandawa dari istananya. Lebih dari itu supaya Pandawa tidak menuntut haknya atas tahta Hastina yang sekarang ini mereka duduki. Lalu diajaklah mereka berjudi. Karena Pandawa kalah, maka Pandawa dipermalukan.

"Istri Yudhistira, putra tertua dari pihak Pandawa, yang bernama Drupadi sempat dipermalukan sebelum mereka terusir dari istana mereka. Dursa-sana, putra kedua pihak Kurawa dengan kasar menjambak kondainya sampai sanggulnya terlepas. Rambutnya terurai. Drupadi marah luar biasa, tapi Pandawa diam saja. Masih kurang puas, Dursasana bahkan mempermalukannya dengan cara menelanjanginya di depan mata Pandawa. Bima dan Harjuna cuma mampu menggertakkan gigi. Kekalahan memang pahit. Dan itu sebabnya Drupadi bersumpah, tak akan menyanggul kembali rambutnya yang panjangnya sampai menyentuh tanah jika ia berjalan, jika belum dikeramasi dengan darah Dursasana.

Setelah peristiwa itu Pandawa harus menjalani masa pembuangan dalam hutan selama tiga belas tahun. Dan parwa kedua selesai."

"Harini cukup!" Mpu Panuluh menghentikan ujian itu. Karena hari telah siang benar. Bahkan mentari tampak condong ke barat.

"Para Yang Suci, kita naik dahulu ke ruang bojana andrawina (ruang makan kerajaan), terlebih dahulu., sebelum istirahat." Jayabhaya mengundang mereka. Itu tidak dilakukannya terhadap para pengikut ujian sebelumnya. Ini sudah menunjukkan bahwa Sedah dianggap lulus. Walau orang tentu tahu bahwa ada sikap Sedah yang tidak disukai oleh Maha Raja. Keheranan menelusupi hati para cerdik- pandai istana itu. Sebelumnya mereka sudah khawatir bahwa sikap Sedah yang melanggar tatakrama kerajaan itu akan membuahkan pembalasan bagi semua kaum brahmana.

Mungkinkah karena usia Sri Prabu yang telah menua ini? Atau mungkin saja karena istrinya saat ini seorang brahmani, sehingga mampu mengubah pendirian suaminya?

Sedah melangkah sambil memperhatikan setiap orang yang dilewatinya. Luar biasa! Pilar-pilar yang menyangga atap keraton adalah kayu hitam berpelipit emas. Tidak mengherankan karena Jayabhaya menguasai tambang emas di mata air Kali Brantas dan Kali Kanta. Belum lagi yang berada di Jambi, atau daerah lain yang termasuk jajahan Penjalu. Selirnya juga dari banyak bangsa. Ada Jawa, Swarnadwipa, Jambudwipa, China. Tapi yang terbanyak memang Jawa. Sedah melirik selir-selir yang bertugas mempersiapkan makan buat mereka. Tak ada kekasihnya di antara mereka.

Ruangan bojana andrawina itu cukup besar. Dindingnya dari kayu timanga berukir dengan aneka macam gambar. Ubin ruangan berwarna kuning membuat ruangan selalu nampak bersih. Pinggir meja besar itu juga berpelipit emas serta perak. Rupa-rupanya di sini tamu-tamu negara mendapat jamuan yang disebut gembul bojana andrawina itu (santap bersama). Hiasan lambang garudha mukha serta narasingha menghias empat dinding kayu. Yang lebih menarik bagi Sedah adalah patung Erlangga naik garudha mukha yang terbuat dari emas. Ini menunjukkan bahwa Jayabhaya sangat menghormati Erlangga. Atau bisa juga dikatakan ia menyamakan diri dengan Erlangga yang disebut sebagai titisan Wisnu.

Seusai makan Sedah langsung minta diri. Ia tidak merasa perlu bersantai-santai menikmati keindahan istana. Ia merasa tidak selayaknya. Suatu kemegahan yang bersimbah darah.

Istana yang tentunya dibangun oleh kawula dalam jumlah yang tidak sedikit. Mereka dipekerjakan siang dan malam. Dan tidak sedikit dari mereka mati karena sakit demam yang disebabkan oleh gigitan nyamuk. Juga tak sedikit yang mati karena mencret-mencret. Tidak! Aku. tak pernah merasa damai di atas aniaya orang lain.

Ia tidak merasa perlu menunggu pamannya yang berpura- pura tidak mengenalnya di hadapan Jayabhaya dan kawan- kawannya itu. Ia juga tidak ingin memenangkan ujian ini dengan pertolongan orang lain. Tapi dengan diizinkannya ia- pulang, ia merasa kemenangan sudah ada di tangan. Jika gagal tentu tali gantungan telah terlilit di lehernya.

Berbahagialah kau, Kekasih! desisnya dalam hati. Sebahagian besar langkahku ini hanya untukmu! Ya, Prabarini! Para cendekiawan pun tak perlu berunding panjang. Karena sebelum meninggalkan mereka untuk pergi ke taman Prabarini, Sri Jayabhaya telah meninggalkan perintah kepada Panuluh,

"Bapa Yang Tersuci, suruh orang membuat prasasti penganugerahan gelar Mpu pada Sedah. Sekalipun masih muda, kita sudah melihat kebisa-annya. Besok seusai ujian lanjutan, langsung kita adakan upacara wisudha. Bukankah ia telah menyelesaikan separdh mata ujian?"

"Hamba, Yang Termulia."

"Bahkan menurut pengamatanku, belum satu pun di antara brahmana-brahmana terdahulu yang mampu menceritakan sebanyak itu. Tentu ia telah menguasai cerita seluruhnya."

"Hamba, Yang Termulia."

Mereka kemudian bubar tanpa melanjutkan perundingan.

Hasilnya sudah pasti. Ujian besok sekadar menyaksikan pameran kepintaran Sedah dan upacara saja.

"Ini ajaib...," bisik seseorang pada lainnya. "Keanehan."

"Perkecualian."

"Memang nasibnya baik."

Dan masih banyak lagi yang mereka perbincangkan sambil menuju rumah masing-masing. Dan mereka tidak tahu bahwa sebenarnya sepeninggal mereka Jayabhaya memanggil Prajangkara. Ia perintahkan orang itu untuk memanggil pelaksana tatakota untuk membangunkan rumah panggung bagi Sedah. Rumah itu di tempatkan berhadapan dengan taman sari milik Prabarini. Dalam satu minggu harus sudah selesai, sebab Sedah harus segera bekerja. Mau tidak mau orang itu mengerahkan sangat banyak tenaga ahli bangunan untuk mengerjakannya. Prabarini menahan hatinya yang melonjak-lonjak kala Sri Jayabhaya menceritakan tentang Sedah.

"Luar biasa anak itu. Tapi dia harus diajar adat-istiadat. Dia rupanya tak sudi menyembah padaku."

"Kita wajib bersabar, Yang Maha Mulia. Barangkali ia seorang yang kokoh berpijak dalam kepribadiannya sebagai brahmana."

"Tapi ia nampak sombong. Congkak! Melebihi semua satria di Penjalu. Sama seperti Adinda yang congkak..."

"Yang Maha Mulia tidak pernah melihat seseorang dari pendalamannya, karena itu yang tampil dalam angan Yang Maha Mulia: kesan. Menurut hemat hamba, kesan sering- sering salah."

"Salah?"

"Ya, salah. Dan kesalahan itu berbahaya, karena akan membawa kita pada kesesatan yang tiada taranya."

Jayabhaya mengangguk-angguk. Alis matanya sebelah kanan terangkat. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tidak tahu apa yang menyebabkan Prabarini tampak berbinar. Pikirnya Prabrini sudah semakin berubah.

"Esok ujian terakhir bagi Sedah. Barangkali akan menyenangkan jika istrinda menyaksikannya.

Prabarini tersentak. Jangan-jangan ini merupakan pancingan dari Sri Jayabhaya yang telah curiga saat melihat Sedah muncul dari dalam air sambil menyerahkan dua keping uang emas di kaki Prabarini waktu pesta air beberapa waktu lalu. Ia pandang wajah Sri Prabu dalam-dalam, seakan ingin mengoyak hatinya.

"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia. Hamba kurang enak badan, sehingga tidak mungkin bisa menghadiri..."

"Lho masih sakit?" "Bukan. Tapi sedang tidak suci..." Prabarini tersenyum- senyum. "Yah, beginilah kodratnya wanita..."

"Oh?" Dengan sedikit kecewa Jayabhaya meninggalkannya.

Tidak! Prabarini tidak sedang kotor. Dia mencari-cari alasan agar diperkenankan tidak menghadiri ujian yang tentunya amat menarik untuk diamati. Ia tidak ingin Sedah terpancing menyatakan sikap di hadapan Jayabhaya. Ia rasa hal itu akan membahayakan. Palagantara tentu akan memperoleh pekerjaan baru. Ia merasa bijak tidak menjumpai kekasihnya saat seperti itu.

Namun malam itu ia tidak mampu memejamkan mata.

Bayangan Sedah menari-nari di pelupuk mata. Sesuatu yang disadarinya takkan kembali dalam kekiniannya mengusiknya untuk berandai-andai. Tak berguna semua ini. Yang harus dikerjakannya adalah perencanaan untuk masa mendatang. Ah, bagaimana mungkin Sedah mau menerimanya? Mau memperistrikan seorang tercela oleh kerakusan orang lain? Itu sebabnya ia masuk ke pura dan berdoa semalam-malaman.

Berdoa bagi masa depannya. Dan berdoa bagi keselamatan Sedah. Di dalam angan, di dalam doa, ia merasa Sedah duduk di sampingnya.

Ia tak melihat sendiri kala mentari telah mengusir kabut dari bumi Daha, dan memancar membangunkan semua dedaunan, semua burung, ternak, manusia, Sedali dengan gagah menapaki jalan-jalan raya kota Daha menuju keraton. Semua orang menyimpang memberinya jalan ketika berpapasan dengannya. Petani maupun pedagang, wanita maupun pria, semua memandangnya dengan kesan mereka masing-masing. Brahmana muda yang mengagumkan.

Namun Sedah tidak menggubris semua itu. Ia tak merasa memiliki hubungan dengan mereka. Yang dia pentingkan sekarang adalah pemusatan semua pikiran dan perhatiannya pada ujian pagi ini. Semua pengawal istana kini memberikan penghormatan padanya. Seperti pada para pembesar negeri yang akan menghadap Raja. Tidak seperti kemarin, harus menunggu berlama-lama untuk bisa menaiki titian pendapa agung. Barisan pohon kenanga dan kantil putih serta kuning merimbuni kiri-kanan jalan yang dia lalui, dari gerbang ke pendapa. Kicau burung-burung kecil ikut menyejukkan hatinya. Ia merasa makin mantap tiap kali melangkah.

Sepercik kekecewaan memuncrat dari sudut hatinya. Sri Prabu masih sama seperti kemarin. Tidak disertai Paramesywari. Ia mulai sibuk menebak-nebak. Kenapa gerangan? Apakah malu? Atau takut? Semua hal bisa terjadi. Baiklah! Aku akan buktikan, bahwa aku memenuhi permintaan kekasihku. Dan aku mampu. Setelah itu akulah yang akan menuntut. Benarkah dia masih milikku seperti Sintha yang tetap milik Rama, kendati bertahun-tahun hidup dalam taman sari milik Rahwana?

"Dirgahayu semua. Hormat kepada Sri Prabu," Sedah menutup kepahitan hatinya.

Semua membalas penghormatan itu dengan mengangguk. Cukup mengangguk! Desis Sedah dalam hati sambil menatap Jayabhaya. Tapi kawula kau suruh merangkak mencium ujung jari kakimu!

Mpu Panuluh segera bertanya, apakah Sedah sudah siap?

Ia mengangguk sambil tersenyum. Kembali Jayabhaya berdesir melihat sikap itu. Semuda ini berani melecehkan persoalan berat yang sedang dihadapinya. Persoalan nyawanya. Atau dia sudah tahu bahwa ia pasti lulus? Seperti dia sendiri kala sudah yakin memenangkan suatu pertempuran.

"Apakah Yang Suci masih bisa melengkapi uraian tentang Mahabharata kemarin?"

"Sebenarnyalah Mahabharata sudah pernah diterjemahkan ke dalam Jawa..." "Apa kata Yang Suci?" Hampir semua anggota Dewan Cerdik Pandai berseru. Jayabhaya pun tak kurang-kurang terkejutnya. Sampai-sampai ia mencoba menggeser tempat duduknya. Tapi terlalu berat. Karena itu ia cuma menggeser pantatnya. Mengerutkan dahi dan menajamkan pendengarannya.

"Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama-tunggadewa anumerta telah pernah memerintahkan seorang brahmana menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa. Hal ini bisa kita temui dalam kitab Wirataparwa yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Ada tertulis nama Sri Dharmawangsa serta petunjuk tahun, yaitu tahun sembilan ratus delapan saka (tahun sembilan ratus semilan puluh enam). Hamba tidak tahu pasti berapa lama waktu yang telah dihabiskan untuk menerjemahkan kitab itu. Juga tak tahu pasti siapa saja yang telah menerjemahkannya, karena memang tak ada perintah untuk menuliskan nama Mpu penerjemahnya. Jika itu merupakan larangan, maka kita sudah tahu apa tujuannya.

Ternyata yang sudah selesai baru sembilan parwa. Padahal melihat tahun penerjemahan Wirataparwa, dan gugurnya Sri Dharmawangsa, terpaut tiga puluh tahun. Kita semua bisa mengi-ra-ira dengan cara kita dan pandangan kita masing- masing, mengapa cuma sembilan parwa."

Sedah berhenti sebentar. Ia mengawasi semua pendengarnya yang menjadi amat kagum. Mereka belum pernah tahu sebelumnya. Jayabhaya juga termangu-mangu.

"Adakah Yang Suci pernah membaca semua terjemahan itu?"

"Hamba dilahirkan di timur. Hampir dekat dengan kota Watan yang tua itu (ibukota kerajaan Medang di zaman Dharmawangsa), sehingga hamba sudah membaca. Bahkan tidaklah berlebihan jika hamba juga memiliki salinannya."

"Jagad Dewa!" Jayabhaya tidak dapat menahan rasa girangnya. "Kitab apa saja yang sudah diterjemahkan?" Tak sabar ia menunggu Dewan Cerdik Pandai mengajukan pertanyaan.

"Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Bhis-maparwa, Udyogaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwciy Mahaprasthanikaparwa, Swarga-rohanaparwa. Itulah kesembilan parwa yang sudah diterjemahkan dalam Jawa."

"Sanggupkah Yang Suci menerjemahkan sisanya?"

"Demi Hyang Maha Dewa, demi kemanusiaan, akan hamba coba mengerjakannya."

"Bersumpahlah, demi kejayaan Sri Prabu dan negara. Yang Suci akan kami percaya menerjemahkannya. Yang Suci akan lulus dari ujian kami." Mpu Panuluh melirik Sri Prabu, karena sudah menjadi kebiasaan di Penjalu, bahwa semua orang harus menyerahkan karya dan dharmanya untuk negara dan Raja.

"Jika itu merupakan salah satu persyaratan dalam mengikuti sayembara ini, mengapa tidak dicantumkan dalam pengumuman?"

"Apakah Yang Suci keberatan?" Panuluh berdebar mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya sendiri. Hal itu bisa membahayakan nyawa Sedah. Betapa besar dosanya jika seorang brahmana dipancung karena pertanyaannya. Dan ia menjadi lebih terperanjat demi mendengar ketegasan Sedah yang terlontar dengan cepatnya.

"Ya! Hamba keberatan."

Jawaban yang juga mengejutkan semua orang. Di hadapan Jayabhaya, Raja Diraja Penjalu, ia berani berkata sepolos itu. Jayabhaya tersentak. . Telinganya menjadi merah seketika.

Namun sebelum darahnya memuncak kekepala, Panuluh memperdengarkan suaranya lagi.

"Kami sangat tidak mengerti terhadap sikap Yang Suci.

Adakah alasan yang layak kami pertimbangkan... ?" "Sekali lagi, Yang Tersuci! Bukanlah kesalahan hamba jika hamba harus meninggalkan pendapa agung ini dengan bebas..."

"Jangan main-main!" Jayabhaya terlonjak. "Berikan alasan, Yang Suci!"

"Hamba tahu, tak ada yang memiliki nilai lebih baik dari hamba selama sayembara ini. Dengan kata lain hamba layak menerima kepercayaan menerjemahkannya. Tapi jika dianggap tidak lulus, maka kesalahan bukan pada hamba. Jika hamba tahu sebelumnya bahwa karya dan dharma ini diperuntukkan bagi cuma negara dan Sri Prabu, maka hamba tidak akan mengikuti sayembara ini. Tak seorang pun boleh memaksa hamba. Yama dan gama harus kita hormati. Hamba tidak tahu lagi jika kitab undang-undang Siwasasana sekarang ini cuma dijadikan penghias bibir supaya pemerintahan ini tampak indah. Namun sebenarnya, undang-undang pun telah dijadikan selubung untuk melanggengkan penindasan, menutupi ke-sewenang-wenangan!"

"Hentikan itu! Yang Suci menuduh kami?" "Belum ada jawaban terhadap semua pertanyaan hamba. Jika Siwasasana masih berlaku di bumi Penjalu, maka hamba terbebas dari kematian, karena sebenarnya hamba telah lulus. Kegagalan bukan dari pihak hamba. Hanya dari peraturan yang tidak hamba ketahui sebelumnya. Hamba memang tak akan berbuat sesuatu demi negara. Karena sudah banyak satria yang melakukannya. Juga demi Raja. Karena hamba tidak akan mem-perhambakan diri pada siapa pun. Hamba tidak suka orang lain kembung karena karya dan dharma hamba.

Kembung karena mengisap keringat dari darah hamba. Ini saja! Selamat tinggal dan ampunkan hamba."

Sedah memutar tubuhnya. Ia merasa sudah melakukan semua permintaan kekasihnya mun kala ia akan melangkah terdengar Sri Jayabhaya berkata keras. "Tunggu! Yang Suci! Apakah selamanya Yang Suci tak pernah menghargai pandangan orang lain? Tak pernah menerima pendapat orang lain? Sehingga berkukuh dalam keakuan yang sebenarnya rapuh?"

Sedah berbalik lagi untuk menghadapi Jayabhaya.

Tersenyum ramah, tapi matanya tajam.

"Menerima pandangan orang lain bukan berarti harus mencampakkan sikap pribadi ke atas ong-gokan sampah! Berbahagialah setiap orang yang kepalanya terbuka untuk dapat menerima pandangan orang lain, tapi tetap memelihara kepribadiannya sebagai suatu sikap." 

"Jagad Bathara! memang baru kali ini daku melihat brahmana seberani Yang Suci. Tapi baiklah. Yang Tersuci, benarkah Yang Suci Sedah lulus dari ujian pengetahuan?" Jayabhaya kini berpaling pada Dewan Cerdik Pandai.

-Dengan bisik mereka berunding. Tapi tidak lama kemudian Panuluh bersembah,

"Hamba, Yang Maha Mulia. Dia lulus dengan nilai tertinggi. Tapi tentang sikap hati yang seperti itu, segala purbawasesa terletak di tangan Yang Maha Mulia."

"Baiklah! Aku memerlukannya. Dan saat ini juga aku menganugerahkannya gelar Mpu. Karena dia layak untuk itu!"

Seperti gelegar geledeg yang gemuruh rasanya keputusan itu terdengar di telinga anggota Dewan

Cerdik Pandai. Sungguh suatu kejutan. Dalam kemarahan Jayabhaya malah menganugerahkan gelar Mpu pada Sedah. Dan seperti tak percaya saja mereka menyaksikan Sri Prabu mengalungkan untaian bunga melati ke leher Sedah, brahmana muda yang dianggap kurang ajar itu. Bukan cuma itu, Jayabhaya bahkan memerintahkan para menteri, para perwira tinggi, hadir menyaksikan wisudha pengangkatan Sedah menjadi Mpu. Mpu Panuluh menganggap ini suatu mujizat. Yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Semua dilakukan begitu mendadak. Begitu cepat. Semua terkesima. Dan pengumuman pengangkatan Sedah sebagai salah seorang brahmana yang menerima gelar Mpu secara istimewa, disebar ke seluruh pelosok Penjalu. Juga ke seluruh perguruan, termasuk Perguruan Tinggi Widya Trisnapala.

0ooo0dw0ooo0 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar