Jilid III
GERAKAN Wisata tampak gesit dan setiap serangannya mengandung tenaga yang kuat. Sebaliknya gerakan Bajul Sengara lincah dan setiap serangan lawan selalu dapat digagalkan ditengah jalan. Lama-lama Wisata 98 menjadi kebingungan melihat gerakan yang gesit dari lawannya. Ia seakan- akan menghadapi bayangan yang sukar diikuti.
Tetapi tiba-tiba Wisata merubah cara penyerangannya. Kali ini kerisnya mengikuti saja kemana gerakan lawannya. Semakin cepat Bajul Sengara bergerak semakin cepat pula Wisata mengikutinya. Keduanya bertempur dengan tak menghiraukan keadaan sekelilingnya.
“Hebat, hebat, murid siapakah Wisata itu? Masih muda sudah hebat. Aku menjadi teringat kepada Joko Seno. Hai orang alim, dimanakah muridmu?” tanya Sancaka pada Panembahan Jatikusumo.
“Karena dia maka aku turun gunung. Ibunya selalu mengkhawatirkannya. Maka aku berusaha mencarinya. Tetapi usahaku sia- sia saja. Akhirnya aku mendengar berita tentang pertemuan tokoh-tokoh persilatan dipuncak Merbabu ini. Maka aku lalu mencarinya kemari. Eh, mengapa kau tahu kalau Seno itu muridku? Pernahkah kau menjumpainya?” kata Panembahan Jatikusumo.
“Memang dahulu aku pernah berjumpa dengannya.”
Lalu Sancaka menceritakan pertemuannya dengan Joko Seno.
Panembahan Jatikusumo mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Eh, apakah muridmu itu pergi dengan membawa pedang Nogo Biru? Dan dapat memainkan ilmu dari Pengemis busuk ini?” tanya Widati menyela pembicaraan Sancaka.
“Betul,” jawab Panembahan Jatikusumo dan Sancaka bersama. “Sayang, sayang, kalian tak akan menemuinya lagi sebab ia telah mati
masuk jurang kena pukulanku waktu ia menculik anak dari Lurah Kepanjen.” Kini giliran Widati yang bercerita.
“Mati? Kau yang membunuhnya?” seru Panembahan Jatikusumo kaget. “Tak mungkin........ tak mungkin ia menjadi penculik. Sebab aku tahu kalau dia adalah seorang pemuda yang jujur,” kata Sancaka membantah
pula.
Retnosari yang mendengar pembicaraan ini makin tak puas melihat tindakan gurunya dahulu. Didalam hatinya ia memihak Sancaka dan Panembahan Jatikusumo. Memang cinta itu mengalahkan segala-galanya.
Tiba-tiba terdengar teriakan : “Celaka!”
Ternyata ikat kepala Bajul Sengara tersontek jatuh oleh sambaran keris Wisata.
“Bagus, Wisata.” Puji Bajul Sengara sambil menghunus pedangnya. Kembali pertempuran dimulai lagi. Pedang Bajul Sengara menyambar- nyambar kearah tubuh Wisata. Tetapi keris Wisata dapat menangkis setiap serangan pedangnya. Namun lama-kelamaan terdesak juga Wisata menghadapi amukan Bajul Sengara. Makin lama pertahanan Wisata semakin lemah. Dan tiba-tiba..... cress..... pedang Bajul Sengara telah menembus dada lawannya.
“Huah..... Wisata mati gara-gara perjanjianku. Ayo Barata, lekas kau hadapi Bajul Sengara!” perintah Singopati pada muridnya. Mendapat perintah ini cepat-cepat Barata masuk ke gelanggang. 99 “Ha..... haa...... haa...... Singopati mengapa kau mengajukan muridmu? Lebih baik kau saja yang maju!” tantang Bajul Sengara. Mendengar ini Barata menjadi amat marah. Segera ia mencabut kerisnya Kyai Blarak Sinebet.
“Tak usah banyak cakap, Bajul Sengara!” Bentak Barata sambil memutar kerisnya. Seketika itu hilanglah tubuh Barata ditelan sinar kuning dari senjata kerisnya. Inilah ilmu keris Wanara Sakti ciptaan dari Singopati. Kini kedua belah pihak sudah saling bergebrak. Masing-masing mengakui akan ketangguhan lawannya. Tiba-tiba Barata membentak dan melancarkan serangan tipuan yang mengarah dada Bajul Sengara. Tetapi tiba-tiba serangannya telah dirubah menjadi mengarah kepala. Bajul Sengara yang memang tak mau memandang rendah lawannya ini segera menyambut serangan tersebut. Hingga kedua senjata mereka saling beradu. Kedua belah pihak saling tersurut kebelakang satu tindak. Setelah itu masing-masing maju lagi dengan sikap saling menantang. Keduanya ini mengerti bahwa kekuatan mereka berimbang. Kembali pedang dan keris saling berada. Kali ini lebih hebat dari yang pertama. Kini mereka saling mundur dua langkah.
Selanjutnya pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Jurus demi jurus telah mereka lewati. Pertempuran telah berlangsung lebih dari limapuluh jurus. Kini keduanya sudah menjadi lemah. Dari mulut mereka keluar darah yang menetes. Badan mereka terhuyung-huyung kebelakang. Nampaknya mereka akan rubuh bersama-sama. Dan ketika jurus selanjutnya mendadak terdengar keluhan dari kedua belah pihak. Dan masing-masing kehabisan tenaga. Hanya mata masing-masing yang tetap memandang lawan. Tetap sebentar saja keduanya telah berdiri lagi. Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara bentakan yang nyaring :
“Huh, orang lemah menjual lagak!” Dan bersama dengan itu kedua jago yang sedang akan bertempur lagi itu merasakan adanya tenaga yang mendorong mereka. Hingga mereka terlempar keluar dari arena pertempuran. Setelah itu tampaklah Arya Cempaka ditengah-tengah gelanggang.
“Hai Singo gila, Pengemis busuk, dan kau Wanita setan! Majulah untuk menerima kematianmu!” seru Arya Cempaka menantang.
“He.... he.... he Iblis bangkotan, apakah kau sudah gila? Datang-datang
mau menyebar maut!” Balas Sancaka mengejek.
“Ingatlah perbuatan kalian yang secara pengecut telah mengeroyok Iblis Merah!” bentak Arya Cempaka.
“Hai masih hidupkah Iblis Merah?” seru mereka bertiga dengan kaget. Maka terkenanglah mereka ketika masih muda. Mereka pernah menggempur seorang tokoh hitam bersama-sama didekat Candi Prambanan. Demi mendengar kata-kata Arya Cempaka ini maka marahlah Widati.
“Hai Iblis kudisan, apamukah Iblis Merah itu?” “Aku adalah muridnya!” balas Arya Cempaka. 100 “Bagus, bagus. Majulah kau Arya Cempaka!” seru Widati sambil melolos cambuknya. Setelah kedua jago itu berpandangan sebentar maka meloncatlah Widati menerjang Arya Cempaka dengan lecutan cambuknya. Gerakannya gesit dan menakjubkan. Cambuknya menyerupai sinar hitam kecoklat-coklatan. Dengan kecepatan yang luar biasa sudah menghantam dada lawan. Tetapi dengan gerakan yang lincah Arya Cempaka menghindari serangan cambuk itu. Melihat serangannya gagal maka cepat Widati menyapu kaki lawan. Kali ini Widati tak mau memandang rendah kepada Iblis Pencabut Nyawa lagi. Sebab ia sudah mengetahui sampai dimana kehebatan lawannya ini. Maka setiap kali ia menyerang ia selalu menggunakan seluruh tenaganya. Sehingga begitu cambuknya menyambar-nyambar maka terbitlah angin dingin disekitarnya. Dengan wajah yang angker Widati memegangi cambuknya. Mendadak senjatanya digerakan dengan hebat sekali. Cambuk bercabang lima itu menyambar- nyambar mengurung tubuh lawannya.
Inilah ilmu yang paling diandalkan oleh Widati. Tetapi Arya Cempaka adalah seorang jago silat yang tangguh juga. Walaupun dengan susah payah dapat pula ia menghindarkan serangan lawannya. Diam-diam Arya Cempaka kagum akan ketangguhan lawannya. Untung in telah memiliki ilmu kepandaian dari kitab peninggalan Iblis Merah. Andaikata ia belum menguasainya maka belum tentu ia dapat mengimbangi permainan cambuk Widati. Dan pada saat bahaya seperti itu Arya Cempaka mengeluarkan senjatanya yang berupa sebuah penggada. Dan tiba-tiba terjadilah benturan tenaga antara Widati dan Arya Cempaka. Cepat Arya Cempaka mencelat ke udara dan bagaikan burung elang irt menebruk punggung Widati sambil menotok jalan darah dibagian lambung. Jalan darah lambung adalah jalan darah kematian. Walaupun sangnt sakti dan berkepandaian sangat tinggi tetapi kalau terkena totokan pada jalan darah tersebut tentu ia akan tewas seketika. Maka begitu mendengar sambaran angin dibelakangnya dengan cepat ia miringkan tubuhnya. Tetapi apa mau dikata? Gerakan Arya Cempaka cepat luar biasa. Begitu ia tak berhasil menotok jalan darah pada lambung lawannya dengan segera in menggeserkan jarinya lalu menyambar jalan darah pada dada. Dengan perubahan yang tak tersangka-sangka tadi walaupun Widati sangat sakti tetapi ia menjadi repot juga.
Dengan sedikit menekuk kakinya berhasil menghindarkan serangan Arya Cempaka. Tapi dengan cepat Arya Cempaka telah memutar senjatanya dengan dahsyat.
Melihat ini terkejutlah hati para penonton, hati Retnosari. Ingin ia membantu gurunya tapi bukankah ini berarti memecahkan perhatian Widati? Tiba-tiba terdengarlah suara jeritan. Ternyata dada Widati kena pukulan Kilat Buana dari Arya Cempaka. Tapi sekonyong-konyong berkelebatlah suatu bayangan menyambar tubuh Widati. Inilah bayangan dari Singopati. Ia merasa tak sampai hati melihat bekas kekasihnya terluka. Setelah ia meletakkan tubuh Widati ia segera mencabut Kyai Blarak 101 Sinebet yang ia ambil waktu Barata jatuh tadi. Dengan Kyai Blarak Sinebet ini ia menghampiri Arya Cempaka. Dengan senjata sama-sama ditangan kedua musuh ini saling menggeser maju. Detik demi detik penuh ketegangan keduanya sama-sama mendekat, makin lama makin menjadi dekat. Dari mulut Singopati keluar suatu bentakan keras dan hebat. Tubuhnya seperti terbang melesat kearah lawan. Bersamaan dengan itu keris ditangannya ditusukkan kemuka, Arya Cempaka cepat meloncat kesamping menghindarkan serangan itu. Keduanya berhadapan kembali, jurus selanjutnya juga Singopati yang membukanya. Kerisnya menyambar dada lawan, tapi Arya Cempaka memiringkan tubuhnya dan tangan kirinya meluncur untuk memukul sambungan siku Singopati yang memegang senjata. Singopati cepat mengangkat tangannya dan senjatanya kembali menyambar pinggang. Dengan penggadanya Arya Cempaka menangkis senjata lawan. Bunga api berpijar dan akibatnya Singopati tersurut tiga langkah.
Tiba-tiba terdengarlah auman Singopati yang dahsyat itu. dengan terdengarnya auman ini maka banyaklah pengunjung yang menutup kedua belah telinganya. Tapi auman ini hanya sebentar saja mempengaruhi Arya Cempaka. Semakin lama semakin hebat pula auman Singopati. Keris Singopati menyambar kearah yang mematikan.
Tranggg....... kembali penggada beradu dengan keris. Dari benturan ini tahulah Singopati kalau tenaga dalamnya kalah setingkat dengan tenaga lawan. Ini menjadikan keheranan Singopati, sebab dahulu waktu ia bergebrak dengan Arya Cempaka digunung Kidul tenaga mereka berimbang. Masakah waktu yang singkat ini Arya Cempaka mendapat kemajuan yang pesat. Singopati tak tahu kalau ini adalah berkat latihan Arya Cempaka digua dekat Kota Gede didalam Candi Prambanan. Namun ini bukan soal bagi Singopati, ia memperhebat permainan kerisnya dan auman Aji Senggara Singo. Dengan mengandalkan kedua kedua ilmu ini ia berharap supaya dapat melayani Arya Cempaka dengan baik.
Jurus demi jurus dengan berlalu dengan serunya. Keris Singopati berkelebatan sinarnya bergulung-gulung, sambaran anginnya berkesiuran. Sibuklah Arya Cempaka kini. Tubuhnya berkelebatan kesana-kemari menghindarkan serangan lawan dan penggadanya bergerak menangkis keris Singopati. Tetapi kesemuanya ini dilakukan dengan ketenangan yang mengagumkan. Walaupun permainan keris dan dahsyatnya auman lawan sangat hebat namun Arya Cempaka dapat mengimbanginya. Ia dapat pula membendung setiap serangan lawan. Bahkan kini tampaklah ia telah memberikan serangan-serangan balasan. Keris dan penggada berputar bagaikan kitiran mengeluarkan angin yang berkesiuran. Bentakan- bentakan Aji Senggara Singo dari Singopati benar-benar bagaikan lagu maut. Kini setelah lebih dari lima puluh jurus maka kelihatanlah bahwa Singopati berada dibawah angin. Setiap serangan yang dilontarkan oleh Arya Cempaka selalu dihitungkan dulu masak-masak. Hingga Singopati terus bermain mundur. Akhirnya ia meloncat pada sebuah batu. Diatas 102 batu ini Singopati melancarkan serangan-serangan balasan terhadap lawannya yang berada dibawah. Meskipun Singopati brrada ditempat yang tinggi dan merupakan suatu posisi yang menguntungkan. Namun yang dihadapi ialah lawan yang benar-benar tangguh. Serangannya dibalas pula dengan serangan.
Tiba-tiba penggada Arya Cempaka menyambar lambungnya. Cepat Singopati menyilangkan kerisnya untuk menangkis, tapi Arya Cempaka menarik serangannya dan menyerangkan penggadanya kearah kaki Singopati. Tokoh dari selatan ini terpaksa turun dari batu. Melihat kejadian ini berdebarlah para tokoh yang menyaksikan. Panembahan Jatikusumo dan Sancaka mengkhwatirkan keadaan Singopati. Tapi untuk turun tangan membantu mereka merasa malu. Dan lagi akan menyinggung perasaan Singopati. Pada detik Singopati mendarat ditanah Arya Cempaka telah menyerang kembali dengan hebat. Melihat ini cepat Singopati membuang tubuhnya kebelakang. Karena itu serangan Arya Cempaka lewat mengenai tempat kosong. Arya Cempaka terhuyung-huyung kemuka, sebab ia telah menggunakan tenaga penuh. Pada saat yang baik itu tak disia-siakan oleh Singopati, cepat ia menggempurnya dengan pukulan Tapak Guntur.
Darrr..... akibatnya terlemparlah tubuh Iblis Pencabut Nyawa itu. Tapi dengan segera Arya Cempaka bangun kembali. Inilah berkat aji kekebalannya Bandung Bandawasa. Melihat ini betapa terkejutnya tokoh guntung Kidul ini. Berkali-kali mereka mengadu pukulan Tapak Guntur dan aji Kilat Buana. Tapi hasilnya selalu sama-sama tersurut beberapa tindak.
Karena marahnya maka kini Arya Cempaka memusatkan ajinya yang ia dapat dari kitab peninggalan Iblis Merah yaitu aji Sapujagat. Setelah keduanya siap dengan ilmunya masing-masing maka tiba-tiba..... darrr.....
dan terlemparlah tubuh Singopati dan memuntahkan darah segar. Tapi cepat Arya Cempaka mengejarnya dan mengayunkan penggadanya kearah kepala Singopati.
Tapi tiba-tiba..... trangg..... tongkat Sancaka dan pedang tipis Jayaningrat menangkis senjata Arya Cempaka. Namun biarpun senjata Sancaka dan Jayaningrat menangkis penggada Arya Cempaka tapi tetap saja penggada itu dapat menghantam pundak Singopati. Dan akibatnya Singopati tewas seketika itu juga. Melihat tewasnya Singopati cepat Widati dan Barata menyerang Arya Cempaka dengan nekad. Mereka berdua telah melupakan rasa sakitnya masing-masing. Melihat ini segera Retnosari bergerak membantu gurunya.
“Bagus, bagus, majulah semua, supaya lekas aku membereskannya!” seru Arya Cempaka. Tapi cepat Iblis Pencabut Nyawa melompat kesamping untuk menghindarkan lecutan cambuk Widati.
Disamping itu ia telah pula dihantam oleh Barata yang telah mengetrapkan Ajinya Tapak Guntur. Darr.... bukan Arya Cempaka yang terpental roboh melainkan Barata sendiri yang termakan pentalan ajinya. Robohlah Barata dalam keadaan pingsan. Tapi cepat ia disambut oleh Wulandari, lalu dibawahnya keluar arena. Melihat ini makin bingunglah 103 hati Pengemis Sakti, Tabib Dewa dan Panembahan Jatikusumo. Kalau mereka akan ikut mengeroyok maka akan ditertawakan oleh para pendekar diseluruh dunia persilatan. Kini tinggallah Widati dan muridnya yang melawan Arya Cempaka. Tapi tiba-tiba terdengarlah suara Widati :
“Sari, mundurlah kau.” “Tapi ibu. ”
“Tak ada tapi, cepat sebelum terlambat!” Setelah melihat muridnya mundur cepat Widati memainkan cambuknya. Ditangan kirinya ia telah mengetrapkan Ajinya Klabang Sayuto. Kembali pertempuran menjadi semakin hebat. Tetapi lama-kelamaan Widati kelihatan lemah dan akhirnya robohlah ia kehabisan tenaga. Sebelum Arya Cempaka sempat membunuh Widati, Sancaka telah memasuki lapangan untuk menggantikan Setan dari utara itu.
“Ha.... ha.... ha.... Pengemis Busuk terimalah sekarang kematianmu!” Setelah ia berkata demikian maka langsunglah ia memukulkan penggadanya kearah lawan. Namun dengan gesit Sancaka dapat menghindarkan. Hanya terasalah bahwa angin sambaran pukulan Arya Cempaka sangat kuat. Lama kedua jago ini saling bergebrak. Pukul- memukul hindar-menghindar silih berganti.
“Kupecah kepalamu Pengemis Busuk!” teriak Arya Cempaka. Senjatanya berkelebat meninggalkan angin yang kuat. Serangan ini dengan mudah dapat dihindarkan oleh Sancaka dengan gerakan yang gesit.
“Awas!” teriak Sancaka memperingatkan. Sambil tubuhnya melompat keatas, tongkat bambunya membabat deras kearah kepala Arya Cempaka. Dengan cepat Arya Cempaka menundukkan kepala untuk mengelakkan babatan tadi. Serangan lewat, namun kembali lagi dengan lebih cepat. Kini ganti Arya Cempaka yang meloncat keudara untuk mengelakkan serangan Sancaka. Dan Arya Cempakapun memberikan serangan balasan menuju kebahu Sancaka. Sancaka memiringkan kepalanya kekanan dan langsung akan merampas senjata lawan. Tapi cepat Arya Cempaka melayangkan kakinya kearah kepala Sancaka. Pengemis sakti itu mau tak mau harus mengurungkan maksudnya. Dan ia segera menundukkan kepalanya supaya terhindar dari gempuran kaki lawan.
“Bagus! Awas sambaran!” seru Sancaka sambil menusukkan tongkatnya kearah dada lawan. Tapi dengan gerakan yang indah Arya Cempaka menggeserkan tubuhnya kearah samping kanan hingga tongkat Sancaka tak mengenai sasaran yang tepat. Setelah Sancaka mengeluarkan ilmu simpanannya maka sibuklah Arya Cempaka untuk mengelak dan menangkis. Namun setelah Arya Cempaka menggunakan aji Kilat Buana ditangan kirinya dan ilmu kekebalan Bandung Bandawasa pada tubuhnya maka lama-lama dapatlah ia mendesak Sancaka. Kini giliran Sancaka yang harus mengelak. Tiba-tiba Sancaka menusukkan tongkat kearah lambung. Melihat serangan yang mendadak ini terkejutlah Arya Cempaka. Cepat ia mengayunkan tangan kirinya untuk menangkis serangan lawan.
....krakk patahlah tongkat Sancaka kena gempuran Aji Kilat Buana. 104 “Ha... ha... ha... menyerahlah kau Sancaka!” seru Arya Cempaka dengan sombong.
“Menyerah? Aku belum kalah Iblis Bangkotan! Mari kita teruskan permainan kita!” Balas Sancaka sambil menyerang dengan tangan kosong. Kembali mereka bertempur lagi dengan dahsyatnya. Menyambar- nyambarlah angin pukulan mereka. Setelah beberapa saat kelihatanlah bahwa napas Sancaka telah memburu.
“Celaka...!” teriak Sancaka ketika ia melihat datangnya pukulan lawan yang mengarah kedada. Bersama dengan teriakan itu terlemparlah tubuh Sancaka dalam keadaan luka. Tapi cepat ia bangun dan langsung bersamadi untuk mengatur pernapasannya. Lama-lama terasalah agak ringan rasa sesak didadanya. Inilah berkat ajinya yang bernama Lembu Sakilan. Hingga Sancaka tak mati kena pukulan Sapujagad dari Arya Cempaka. Setelah ia membuka matanya tampaklah bahwa Jayaningrat telah bertempur menggantikannya. Dengan memakai ilmu silat Mayang Seto pedang tipis Jayaningrat menyambar-nyambar kearah bagian-bagian yang mematikan. Mereka saling serang-menyerang hingga puluhan jurus. Memang dapat kita puji keuletan napas Arya Cempaka. Ia telah melayani tokoh-tokoh terkenal didunia persilatan tapi napasnya masih kelihatan kuat. Bahkan badannyapun masih kelihatan segar bugar. Sekarang ia menghadapi Jayaningrat dengan semangat yang menyala-nyala. Dan lagi ia yakin bahwa kemenangan akan berada dipihaknya. Tetapi didalam hatinya ia masih kecewa sebab ia belum berhasil membunuh dua orang musuh dari Iblis Merah. Maka itu serangannya diperhebat. Gerakannya semakin mantap, langsung menggempur pertahanan Jayaningrat. Tiba-tiba berkelebatlah ia menerjang kearah Jayaningrat. Tapi dengan sebat Jayaningrat menyabatkan pedangnya kearah dada lawan. Bukanlah iblis kalau Arya Cempaka tak dapat menghindarkan serangan yang mendadak ini. Dengan hanya memiringkan tubuh sedikit saja maka berhasillah ia mengelakkan pedang Jayaningrat.
Tiba-tiba terdengarlah suara Jayaningrat mengaduh. Dan terlemparlah tubuhnya karena mendapat tendangan diperutnya. Dan seketika itu robohlah Tabib Dewa dan nyawanya melayang.
“Hemmm.... Arya Cempaka makin tersesat, lekas kau pergi sebelum aku marah!” seru Jatikusumo.
“Ha.... ha.... ha.... kaupun harus mati panembahan gila, supaya dunia persilatan hanya ada satu tokoh saja dan akulah tokoh yang tak terkalahkan itu!” Seru Arya Cempaka sambil menyerang Panembahan Jatikusumo. Sancaka dan Widati sangat terkejut melihat kematian Jayaningrat. Sekarang harapannya tinggal pada Jatikusumo seorang. Namun Jatikusumo jarang mau bertempur. Tapi kini setelah mereka melihat bahwa Panembahan Jatikusumo sudah bertempur melawan Arya Cempaka maka agak tenanglah hati mereka. Pertarungan kedua tokoh ini tetap memakai tangan kosong tapi ramainya tak kalah kalau memakai senjata. Cengkeraman Arya Cempaka menghujani seluruh tubuh 105 Panembahan Jatikusumo. Tapi sebaliknya tokoh dari timur ini bergerak dengan gesit, dan berhasil menghindarkan setiap serangan lawannya. Tiba- tiba terdengarlah suatu gerungan yang datangnya dari luar lapangan. Suara ini pelan-pelan makin lama makin menjadi keras. Gerungan ini membuat para pengunjung yang berkepandaian kurang tinggi akan menjadi sakit telinganya. Suara inipun terdengar pula oleh dua orang tokoh yang saling gebrak itu. Seperti sudah berjanji mereka sama-sama menoleh keluar gelanggang. Tampaklah kalau Barata sedang melepaskan Ajinya Senggoro Singo setelah sadar dari pingsannya. Dengan jalan inilah ia melepaskan rasa marahnya. Tapi gerungan Barata ini tak mempengaruhi kedua jago yang sedang mengadu kepandaian ini. Kembali Arya Cempaka mengulangi cengkeramannya sambil bergulung-gulung menyerang kaki lawan. Namun Jatikusumo telah waspada mendapat serangan yang seperti ini maka ia berloncatan kasana-kemari dengan lincah ia menghindarkan serangan. Arya Cempaka yang seakan-akan tak memberi kesempatan kepadanya untuk menginjak tanah. Pertarungan terus berjalan dengan dahsyatnya. Disela-sela pertempuran ini masih terdengar gerungan Barata yang menyayat hati. Sancaka dan Widati melihat pertandingan ini dengan hati yang berdebar-debat. Andaikata Jatikusumo dapat dikalahkan Arya Cempaka tentu dengan mudah Iblis Pencabut Nyawa itu dapat membunuh mereka dengan mudah, ini bukan berarti bahwa kedua tokoh ini takut mati, tapi mereka tak mau kalau mati konyol seperti itu.
Maka didalam hati mereka berdoa supaya Jatikusumo yang menang. Tapi lain halnya dengan jalan pikiran tokoh dari timur ini. Ia merasa kualahan untuk melawan iblis dari barat. Biarpun Panembahan Jatikusumo telah menguras habis kepandaiannya tapi belum juga dapat merobohkan lawannya, jangan lagi merobohkan, mendesak saja belum! Arya Cempakapun sangat marah melihat serangannya dapat digagalkan lawannya. Kini ia merobah cara penyerangannya. Bukan lagi ia mencengkeram tetapi ia memukul dan menendang lawannya kearah bagian yang mematikan. Namun Jatikusumo bukanlah seorang yang lemah. Ia adalah tokoh dari timur, maka dari itu datangnya serangan Arya Cempaka ia tak menjadi gugup. Bahkan ia masih sempat pula membalas serangan lawan. Dari pertempuran ini dapatlah dilihat bahwa gerakan Panembahan Jatikusumo lebih gesit dari Arya Cempaka. Tapi ketenangan dan kedahsyatan berada dipihak Arya Cempaka.
Tiba-tiba Panembahan Jatikusumo melihat Arya Cempaka menggosekkan tangannya. Maka cepat ia mengetrapkan Ajinya Bledek Mangampar. Setelah itu beradulah dua tenaga raksasa.... Darr... akhirnya keduanya terhuyung-huyung kebelakang. Tapi Arya Cempaka masih tetap pada keadaan kuda-kudanya, sedang panembahan Jatikusumo telah tergempur kuda-kudanya. Keduanya masih belum merasa puas. Kembali mereka mengadu Aji Kilat Buana dengan Aji Bledek Mangampar. Keduanya memusatkan tenaga penuh. Akibatnya lebih dahsyat. Kini kedua-duanya terdorong mundur. Tahulah kini Panembahan Jatikusumo bahwa 106 tenaganya masih kalah setingkat dengan lawannya. Maka sekarang ia melayani lawan dengan kegesitan. Berubahlah cara bertempur mereka. Arya Cempaka menyerang bagaikan harimau lapar sedang Jatikusumo menghindar bagaikan burung garuda. Serang-menyerang terjadi dengan sengitnya.
Tapi serangan Arya Cempaka semakin lama semakin kuat. Melihat ini terkejutlah hati Panembahan Jatikusumo. Ia makin mempercepat gerakannya untuk menghindarkan serangan-serangan Arya Cempaka. Syarttt tiba-tiba Panembahan Jatikusumo mencabut pedangnya,
“Iblis Barat keluarkanlah senjatamu!”
“Baik-baik, marilah kita main-main dengan senjata.” Jawab Arya Cempaka sambil mengeluarkan senjatanya.
“Awas pedang!” seru Panembahan Jatikusumo sambil menggerakkan pedangnya kearah tenggorokan lawan. Tapi dengan cepat Arya Cempaka menundukkan kepalanya dan melancarkan serangan balasan, dengan memukulkan penggadanya kearah kaki lawan.
Melihat ini tokoh timur mengenjotkan tubuhnya keudara langsung menusukkan pedangnya kearah kepala Iblis Pencabut Nyawa dengan gerakan Garuda Nglayang, dari ilmu pedang Segoro Manangkep. Arya Cempaka adalah tokoh nomor satu dari barat. Maka tahu kepalanya terancam bahaya cepat ia memutar penggadanya untuk menangkis serangan lawan. Tapi betapa terkejutnya hati tokoh dari barat itu, ketika melihat datangnya pukulan jarak jauh dari Panembahan Jatikusumo. Untuk mengelak ia tak sempat sedang waktu bersamaan dangan itu ia harus menangkis pedang lawan. Maka tak ada jalan lain kecuali menerima pukulan lawan dengan mengerahkan ajinya Bandung Bandawasa. Akibatnya Arya Cempaka hanya terlempar beberapa tindak kebelakang. Tapi segera siap kembali menghadapi musuhnya. Melihat ini bukan main herannya Panembahan Jatikusumo. Apakah tenagaku sudah demikian lemah? pikir Panembahan Jatikusumo. Hingga Arya Cempaka mampu menerima pukulanku yang kulambari Aji Bledek Mangampar dengan tak menderita luka sedikitpun.
Kembali Panembahan Jatikusumo mengetrapkan Ajinya Bledek Mangampar lalu dihantamkan kepada batu gunung sebesar anak lembu. Dan akibatnya Prakkk hancurlah batu itu. Melihat kejadian ini tahulah ia
bahwa bukan tenaganya yang kurang melainkan kepandaian Arya Cempaka yang bertambah maju. Mau tak mau ia harus mengagumi kekebalan lawan. Bagi para penontonpun sangat heran menyaksikan kejadian ini. Rata-rata mereka sudah mendengar akan keampuhan tenaga pukulan tokoh dari timur ini. Tapi mereka tak dapat mengagumi lebih lama lagi sebab keduanya kini sudah bertempur lagi dengan serunya. Pedang dan penggada sambar-menyambar. Berkali-kali kelihatan bunga api berpijar, apabila kedua senjata tadi beradu.
Cepat Arya Cempaka memukulkan penggadanya kearah kepala Panembahan Jatikusumo. Namun dengan gesit Panembahan Jatikusumo 107 melompat kesamping hingga ia dapat mematahkan serangan lawan. Tahu kalau serangannya gagal kembali Arya Cempaka mengerahkan penggadanya menuju kepinggang lawan.... Tranggg.... kembali bunga api berpijar, karena Panembahan Jatikusumo menangkis penggada Arya Cempaka dengan pedangnya.
Hal ini membuat marahnya tokoh dari barat. Cepat ia menyerang kembali dengan dahsyatnya. Tiba-tiba........ Tranggg........ pedang Jatikusumo patah menjadi dua potong. Bukan main malunya tokoh dari timur ini melihat kejadian yang menyakitkan hatinya. Tapi segera ia memakai potongan pedangnya untuk menghadapi lawannya. Kembali mereka bertempur dengan dahsyatnya.
Sekonyong-konyong terlihatlah tangan kiri Arya Cempaka terayun dan menyambarlah senjata rahasia menghujani tubuh Panembahan Jatikusumo.
“Celaka. !” seru Sancaka dan Widati bersama.
“Curang!” tiba-tiba terdengar suatu bentakan dan berkesiuran kerikil- kerikil menghantam jatuh semua senjata rahasia Arya Cempaka. Tak antara lama dari kejadian itu berkelebatlah sesosok tubuh memasuki lapangan sambil berseru :
“Mundurlah eyang biar aku yang menghadapinya.”
Betapa terkejutnya hati Arya Cempaka ketika melihat kalau senjata rahasianya jatuh terpukul hanya dengan kerikil. Bagi Panembahan Jatikusumopun tak kalah terkejutnya. Betulkah yang menolong jiwanya ini adalah Joko Seno muridnya?
Tiba-tiba terdengarlah teriakan Barata : “Pendekar Budiman?”
“Hai apa katamu? Pendekar Budiman? Manakah dia?” tanya Sancaka penuh harapan.
“Itulah paman, yang memasuki lapangan, dialah Pendekar Budiman.” Jawab Barata yakin.
Widati dan Retnosaripun pernah melihat wajah ini tapi dimana mereka telah lupa. Andaikata Joko Seno tak sekotor dan pakaiannya tak compang-camping seperti itu mungkin Retnosari tak akan lupa wajah itu.
“Hai engkaukah yang memunahkan senjata rahasiaku tadi?” Tanya Arya Cempaka dengan heran.
“Betul aku yang menggagalkan maksud licikmu!” “Siapa kau?”
“Sudah lupakah kau padaku Iblis?” “Lekas katakan!” bentak Arya Cempaka.
“Aku adalah Joko Seno yang dahulu bersamamu berobat pada paman Jayaningrat! Dan sekarang orang menyebutku dengan Pendekar Budiman.” “Apa maksuduu menghalang-halangi pertempuranku dengan
Jatikusumo?”
“Sebelum kau dapat mengalahkan muridnya jangan harap kau dapat melawan Eyang Jatikusumo!” Jawabnya dingin.
108 “Eh..... Seno benarkah kau yang disebut Pendekar Budiman itu?” tanya Panembahan Jatikusumo.
“Betul eyang.”
“Bagaimana mungkin itu, Seno?”
“Ceritanya sangat panjang eyang, nanti saja saya ceritakan setelah saya membunuh iblis keparat ini.”
“Tapi kau bukan lawannya, Seno, biar eyang saja yang menghadapinya!”
“Memang eyang, Joko Seno bukan lawan Arya Cempaka. Tapi sekarang yang menghadapinya adalah Pendekar Budiman.” Jawab Joko Seno sambil menghantam Arya Cempaka.
“Bagus, kau sendiri yang cari mampus!” seru Arya Cempaka sambil mengelak dan melontarkan serangan balasan mengarah kedada lawan. Tapi dengan gerakan yang lincah lagi indah dipandang mata Joko Seno menggenjot tubuhnya keangkasa. Dengan gerakan ini ia berhasil menghindarkan serangan lawan. Tapi Arya Cempaka tak mau sudah sampai disitu saja. Cepat ia memukulkan penggadanya kearah kaki lawan yang masih berada diangkasa.
Biarpun Joko Seno dalam posisi yang tak menguntungkan, tapi segera ia memukulkan tangannya kearah penggada lawan. Dan ia berhasil membelokkan arah pukulan lawan hingga mengenai tempat kosong. Betapa kagumnya hati orang-orang yang menyaksikan cara memunahkan serangan itu. Terlebih-lebih Panembahan Jatikusumo. Dari manakah ia mendapatkan gerakan itu? Tapi segera ia teringat akan cerita Sancaka tadi. Diam-diam Panembahan Jatikusumo sangat berterima kasih pada Sancaka. Pertempuran makin lama makin seru. Bahkan sekarang Joko Seno telah memegang senjatanya pedang Nogo Biru. Segera ia menggunakan ilmu ajaran Sancaka yang disebut Ilmu Pedang Pembasmi Kejahatan.
Pertempuran ini demikian hebatnya hingga tiap kali senjata mereka beradu tergetarlah tangan Arya Cempaka. Kagumlah ia dengan musuhnya yang muda ini. Cepat dilawan cepat. Sebentar saja hilanglah tubuh mereka tertutup oleh sinar senjata masing-masing yang kelihatan hanyalah sinar biru dan sinar kehitam-hitaman. Bagi mereka yang kurang tinggi ilmu silatnya akanlah merasa pening kalau terus-menerus mengikuti gerakan- gerakan Arya Cempaka dan Joko Seno. Kadang-kadang Joko Seno dan Arya Cempaka bertempur dengan pelan-pelan hingga mudah diikuti. Tapi dengan serangan-serangan seperti ini malah yang membahayakan, sebab masing-masing mengerahkan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba Joko Seno mengubah cara bertempurnya. Gerakannya cepat dahsyat dan pedangnya menyambar-nyambar bagaikan amukan gelombang laut. Inilah ilmu pedang Segoro Manangkep ciptaan dari gurunya. Melihat permainan pedang Joko Seno senanglah hati Arya Cempaka sebab ia tahu kalau ilmu ini adalah ihmu pedang ciptaan Jatikusumo yang baru saja ia hadapi.
109 Trang.... Trang.... Trang.... pedang dan penggada berkali-kali beradu. Akibatnya Bunga api berpijaran. Bersama dengan beradunya senjata ini Arya Cempaka melemparkan senjata rahasianya. Tapi dengan sekali mengibaskan tangannya maka jatuhlah senjata rahasia Arya Cempaka.
“Bagus... bagus kau licik dan curang, murid Dendopati!” Betapa terkejutnya tokoh-tokoh yang mendengar kata-kata Joko Seno tadi. Masakan anak muda ini tahu kalau Arya Cempaka adalah murid Dendopati yang telah lama meninggal sebelum Joko Seno muncul di dunia persilatan.
“Hai, kau telah tahu nama guruku mengapa tak lekas pergi!” bentak Arya Cempaka dengan heran.
“Pergi??... ha... ha... ha... jangan mimpi iblis gila!” Seru Joko Seno sambil memukul dada lawan. Tapi cepat Arya Cempaka melompat kesamping. Dan kembali pertempuran berjalan dengan serunya. Kini Joko Seno telah mengubah lagi cara bertempurnya dengan ilmu pedang Naga Angkasa ciptaan dari Pacar Biru. Gerakannya tenang, tenaganya dahsyat dan serangannya meyakinkan. Jurus demi jurus mereka lewatkan dengan penuh ketegangan. Pada jurus delapan dari ilmu Naga Angkasa mulailah Joko Seno dapat mendesak permainan lawan. Melihat ilmu pedang yang dahsyat ini makin kagumlah Arya Cempaka kepada lawannya yang masih muda itu. Bahkan Sancaka, Widati dan Panembahan Jatikusumo sendiri menjadi heran.
Mereka sendiri belum mampu mendesak tokoh dari barat itu. Mengapa sekarang kelihatannya dengan enak saja Joko Seno dapat mendesak Arya Cempaka.
Tiba-tiba terdengarlah suara... dugg... dari arah medan laga. Inilah akibat dari beradunya ilmu pukulan jarak jauh Sapujagad dan ilmu pukulan Bledek Mangampar, keduanya masih sama-sama berdiri tegak. Padahal Arya Cempaka sudah menggunakan delapan bagian tenaganya. Sedang Joko Seno baru enam saja.
Kembali mereka mempersiapkan ajinya masing-masing dan.... darr....
akibatnya Arya Cempaka terpental mundur, kurang lebih tiga meter. Sedang Joko Seno masih tetap pada kuda-kudanya. Tapi cepat Arya Cempaka siap menyerang. Inilah berkat aji kekebalan Bandung Bandawasa, yang ia terima melalui kitab peninggalan Iblis Merah. Berkali-kali mereka mengadu tenaga, namun Joko Seno belum juga dapat menghancurkan Arya Cempaka. Biarpun tak jarang Arya Cempaka jatuh bangun oleh pukulan Pendekar Budiman. Angin pukulan mereka menderu-deru disekitar arena. Hingga banyak jago-jago silat yang kurang tinggi kepandaiannya merasa sesak untuk bernapas. Cepat-cepatlah mereka menjauhi lapangan.
Joko Senopun merasa jengkel juga melihat kekebalan lawannya. Tapi lama-kelamaan ia dapat pula melihat kelemahan-kelemahan lawannya. Joko Seno menjadi curiga mengapa setiap kali mereka mengadu tenaga, Arya Cempaka selalu melindungi kepalanya. Tahulah kini bahwa kepala Arya Cempaka tak dapat dilindungi oleh ilmu kekebalannya. Secepat kilat Pendekar Budiman mengirimkan pukulan yang dilambari Aji Bledek 110 Mangampar dengan tenaga penuh kearah kepala Arya Cempaka. Melihat pukulan yang mengarah kekepala maka terkejutlah hati Iblis Pencabut Nyawa. Cepat-cepat ia menjatuhkan tubuhnya ketanah. Tapi Joko Seno terus melancarkan serangan-serangannya. Sambil bergulung-gulung ditanah Arya Cempaka menghindarkan setiap serangan-serangan lawan. Melihat pukulan yang mengarah kekepala maka terkejutlah hati Iblis Pencabut Nyawa. Cepat-cepat ia menjatuhkan tubuhnya ketanah........
“Apakah selama ini eyang Panembahan sudah mendengar berita tentang tempat kediaman kita?” tanya Joko Seno memecah kesunyian.
“Belum Seno, sebab sudah lama aku turun gunung untuk mencarimu.
Karena ini atas permintaan ibumu,” Jawab Panembahan Jatikusumo. “Ah, eyang,” kata Joko Seno tertunduk.
“Mengapa kau, Seno? Tegakkanlah kepalamu. Tunjukkanlah sikap murid Semeru.” Mendengar kata-kata eyangnya ini tergugahlah semangat dan jiwa satrianya yang telah bertahun-tahun ditanamkan oleh gurunya didadanya. Seketika itu ia mengangkat wajahnya. “Eyang.... Baru-baru ini aku kepadepokan. Tapi disana... ah... aku tak dapat bertemu lagi dengan ibu. Sebab ibu telah meninggal...”
“Meninggal?” tanya Jatikusumo kaget.
“Betul eyang, ibu meninggal karena keganasan Candraloka.” “Candraloka? kembali Jatikusumo kaget.
“Candraloka” pergi ke Semeru untuk mencariku. Tapi ia disana tak menjumpaiku. Maka dengan kesalnya ia membunuh penghuni padepokan dan akhirnya membakar tempat kediaman kita.” Jawab Joko Seno sedih. Seketika itu keadaan menjadi sunyi, mereka saling sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Bibi, bukankah kau dahulu yang menyangkaku sebagai penculik bukan?” tanya Joko Seno.
“Memang waktu itu aku menyangka bahwa engkaulah penculiknya. Tapi bukankah kau dulu terlempar masuk jurang?” kembali Widati bertanya.
“Betul bibi, tapi aku dapat ditolong oleh kakek penghuni jurang itu.” “Siapakah orang itu?” tanya Sancaka yang sejak tadi diam saja.
Tapi Joko Seno diam saja sebab ia teringat akan pesan dari Pacar Biru dulu, ia tak boleh bercerita kepada siapapun. Dan sementara ketiga tokoh tua itu berbicara sendiri.
“Ah, sungguh hebat sekarang kepandaian muridmu, orang alim,” kata Sancaka.
“He, bukankah ini karena jasa-jasamu? kulihat tadi tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya maju dengan pesat. Lagi pula yang terakhir tadi ia memainkan suatu ilmu pedang yang sangat dahsyat.” Kata Jatikusumo.
“Memang aku yang tua menjadi kagum akan kesanggupannya,” sela Widati dengan kagum.
“Eh... bukankah tadi dia sendiri mengaku bahwa dialah sebetulnya Pendekar Budiman itu? Ah, untung aku pernah ikut andil membentuknya.” Seru Sancaka.
“Betul, tadi waktu kutanya dia menjawabnya bahwa memang dialah Pendekar Budiman itu.” Jawab Jatikusumo dengan bangga.
“Tapi dulu waktu aku berjumpa didesa Kepanjen, Joko Seno adalah seorang, pemuda yang gagah tapi kepandaiannya belum sehebat ini.”
“Memang dulu adalah seorang yang gagah tapi sekarang entahlah mengapa jadi begitu. Tapi mungkin karena kesedihannya atas kematian ibunya. Dan tentang kepandaiannya adalah berkat gemblengan Sancaka.”
“Eee..... eee..... tidak...... tidak, aku sendiri tadi kagum atas kemajuan yang telah dicapainya selama ini. Tapi bukankah tadi ia mengatakan kalau ia ditolong oleh seorang kakek didalam jurang? Apakah tak mungkin kalau dia digembleng oleh orang itu?” Jawab Sancaka. Mendengar percakapan ketiga orang tua ini berdebarlah hati Joko Seno.
“Ah betul-betul mungkin dia diambil murid oleh penolongnya,” seru Widati penuh keyakinan. 112 “Mungkin, baiklah kita tanyakan padanya,” jawab Jatikusumo.
“Seno, tadi kau menyebutkan bahwa kau pernah ditolong oleh seorang kakek waktu terjatuh kedalam jurang. Siapakah kakek itu?” tanya Panembahan Jatikusumo.
“Eyang, memang aku pernah ditolongnya tapi beliau melarangku untuk menceritakan keadaan beliau kepada siapapun,” jawab Joko Seno.
“Tapi tidakkah kau percaya kepada kami?” Seru Sancaka.
“Bukan begitu kakek Sancaka, tapi aku hanya memenuhi permintaan beliau.”
“Dan kau tentu sudah diambil murid dengannya, bukan?” Tanya Panembahan Jatikusumo.
“Betul eyang, beliau telah berkenan menurunkan beberapa ilmunya kepada hamba,” jawab Joko Seno.
“Bagus, sekarang setelah kau mendapat guru baru kau tak mengindahkan kata-kataku lagi!” Bentak Jatikusumo. Baru kali inilah ia menerima bentakan dari eyangnya. Maka ini dirasanya sangat menusuk hatinya dan seketika itu ia menjadi sedih. Akhirnya ia mengambil keputusan kalau akan berterus terang saja pada mereka. Bukankah mereka itu pendekar-pendekar yang boleh dipercaya.
“Baiklah eyang aku akan mengatakannya tapi hendaknya berita ini jangan dibocorkan.”
“Tidakkah kau percaya kepada kami. Kami lebih mengutamakan janji dari pada nyawa!” Bentak Widati.
“Baik bibi. Yang menolongku adalah Pacar Biru.” “Pacar Biru?” Seru mereka serempak.
“Betul!” Jawab Joko Seno lemah.
“Oh ngger, sungguh beruntung kau dapat bertemu dengan beliau. Makanya kau begitu hebat. Kalau ingin tahu siapakah Pacar Biru, dia adalah tokoh sakti pada jaman guruku masih hidup.” Seru Sancaka terharu.
“Beruntunglah kau cucuku!” desis Jatikusumo.
“Makanya dia hebat sekali tak tahunya kalau murid Pacar Biru. Ah, jangan lagi baru Arya Cempaka mungkin Dendopati sendiri belum tentu sanggup menjatuhkanmu, anak muda!” Seru Widati dengan kagum.
“Nah Seno, sekarang kau boleh meninggalkan kami,” kata Panembahan Jatikusumo.
“Baik guru,” jawab Joko Seno, lalu pergi. Dipihak lain kita lihat Barata, Retnosari dan ketiga murid Jayaningrat sedang bercakap-cakap.
“Adi Barata, kaukah murid paman Singopati yang dulu diceritakan oleh Arya Cempaka telah bergebrak dengan Urang Watang?” tanya Pandan Kuning.
“Betul kakang! Memang murid guruku hanyalah aku seorang. Kakang, sebelumnya aku sudah lama ingin bertemu dengan guru kalian, sebab menurut bapa Singopati paman Jayaningrat adalah seorang yang baik hati. Sayangnya sekarang beliau telah gugur bersama-sama guruku.”
113 Mendengar kata-kata Barata ini seketika itu keadaan menjadi hening. Hingga andaikata ada sebatang jarum jatuh akan keraslah bunyinya. Tiba- tiba kesunyian itu dipecahkan dengan datangnya Joko Seno.
“Mari-mari, adi Seno, kita bercakap-cakap disini.” Seru Wulandari dengan ramah. Melihat keramahan ini diam-diam hati Retnosari menjadi cemburu.
“Oh, apa kabar kakang Pandan Kuning dan kakang Gagak Rimang? Tak lupa aku ikut berduka-cita atas meninggalnya paman Jayaningrat. Dan begitu pula pada kakang Barata akupun ikut berbela-sungkawa atas meninggalnya paman Singopati.”
“Terima kasih,” sahut Pandan Kuning dan Barata bersama-sama.
“E.... adi Seno kita baru berpisah beberapa tahun saja tapi kepandaianmu sudah demikian maju dengan pesatnya,” tegur Gagak Rimang.
“Ah, kakang terlalu memujiku.” Jawab Joko Seno.
“Adi Seno, belum lama kita berpisah tapi sekarang keadaanmu telah jauh berbeda. Dahulu waktu kau datang ke gua bersama paman Sancaka kau adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan. Kenapa sekarang kelihatannya kau tak mengurusi keadaanmu lagi?” tanya Pandan Kuning.
Mendengar pertanyaan Pandan Kuning ini cepat-cepat Retnosari memasang telinganya. Memang didalam hatinya sendiri juga timbul pertanyaan semacam ini. Cuma ia malu kalau akan menanyakan.
“Kakang Pandan Kuning, ini semua terjadi karena kesedihanku ditinggal mati ibu, hingga aku lupa mengurusi keadaanku.” Jawab Joko Seno sedih.
“Hai, ibumu terbunuh?” Seru Wulandari.
“Siapakah yang membunuh ibumu, kakang?” tanya Retnosari. “Ibuku terbunuh oleh kepala perampok dari pulau Nusa Barung.”
“Bukankah dia itu Candraloka?” desis Retnosari. Joko Seno hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya.
“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Barata.
Maka Joko Seno menceritakan kejadian yang menimpa ibunya dipadepokan Semeru.
“Kasihan kau adi, bukankah sudah sejak dulu kuanjurkan supaya segera saja kau mencari musuh besarmu itu. Dan sekali lagi adi, aku siap membantu usahamu untuk menumpas perampok jahat itu.” Kata Gagak Rimang dengan penuh semangat.
“Akupun bersedia membantumu!” Teriak Wulandari dan Retnosari serentak.
“Adi Joko Seno, akupun ingin ikut menumpas para perampok itu,” kata Barata dengan tenang.
“Ah terima kasih.... terima kasih atas kesediaan kalian tapi aku harus minta ijin Eyang Jatikusumo dulu.” Sahut Joko Seno terharu. Waktu mereka asyik bercakap-cakap tiba-tiba terdengarlah suara Widati memanggil.
114 “Hai anak-anak muda kemarilah kalian!” setelah mereka berkerumun didekat tokoh-tokoh tua, segera Widati melanjutkan kata-katanya :
“Begini anak-anak, karena hari hampir gelap maka baiklah kita buat tenda disini. Dan bagi kalian Pandan Kuning, Gagak Rimang, Barata dan Joko Seno, buatlah tenda sekedar dapat kita pergunakan untuk bermalam nanti. Dan kalian Wulandari dan Sari, pergilah turun gunung dan belilah bahan-bahan makanan untuk kita makan nanti.”
Setelah itu pergilah mereka mengerjakan tugas masing-masing. Joko Seno, Barata, Pandan Kuning dan Gagak Rimang seperti berlomba-lomba untuk menumbangkan pohon. Mereka bekerja dengan giat. Maka sebentar saja jadilah tiga buah tenda yang agak besar. Begitupun Retnosari dan Wulandari. Setelah mereka mendapatkan bahan-bahan lalu cepat dimasak untuk segera disiapkan untuk makan malam nanti.
“Pandan Kuning, nanti setelah makan malam aku minta supaya kau mau memeriksaku.” Seru Sancaka.
“Baik paman, semoga saja aku dapat mengobati luka paman,” Jawab Pandan Kuniag.
“Ehh... Wulandari, kaupun harus memeriksa keadaanku. Sayang guru kalian sudah mati. Tapi bukankah kau bersedia bukan?” Tanya Widati.
“Aku bersedia bibi, memang aku ingin meneruskan cita-cita mendiang guru.”
“Rimang, karena keadaanmu sendiri terluka maka cobalah kau obati dan nanti biar Pandan Kuning membantumu setelah memeriksa keadaanku,” kata Sancaka.
Setelah mereka habis makan maka mulailah mereka dengan tugasnya masing-masing. Bagi Retnosari ia segera membersihkan tempat yang baru saja mereka pergunakan untuk makan. Setelah tugasnya selesai maka duduklah ia dibawah pohon beringin sambil memandang indahnya bulan purnama. Lama ia duduk termenung.
“Ah, sungguh kasihan nasibnya. Ayah ibunya mati terbunuh oleh Candraloka. Ah, betapa senangnya hatiku apabila guru mengijinkan aku ikut serta pergi ke Nusa Barung untuk membalaskan dendam ayah ibunya. Tapi... Ah mengapa ia kelihatan begitu dingin sikapnya terhadapku? Mungkinkah ia telah mempunyai pilihan sendiri? Kakang... kakang Seno, apakah kau tak tahu akan perasaanku. Ah, mengapa kau kelihatannya begitu akrab dengan ayu Wulan?” tiba-tiba buyarlah semua angan- angannya, ketika mendengar teguran Joko Seno yang menuju kearahnya.
“Adi Retnosari, mengapa kau melamun sendiri? Bolehkah aku duduk disini?”
“Silahkan, kakang,” jawab Retnosari gugup. Tapi didalam hati ia mengeluh : “Kakang apakah kau tak tahu kalau aku sedang melamunkan dirimu. Haruskah aku menyatakan dulu? Ah... tidak... aku seorang wanita. Aku harus menjaga harga diriku. Biarpun untuk itu aku harus menanggung rindu.” Keadaan menjadi sepi sebab kedua-duanya membisu.
“Adi Retnosari,” tiba-tiba suara Joko Seno memecah kesunyian. 115 “Apa kakang?” Jawab Retnosari masih tetap menundukkan kepalanya. “Adi, masih ingatkah adi waktu bertempur denganku didaerah
Kepanjen dulu?”
“Masih, kakang. Ada apakah kau mengingatkan hal itu? Atau masih dendamkah kau padaku?” Balas Retnosari berdebar-debar.
“Tidak tidak adi!” Jawab Joko Seno cepat.
“Habis mengapa?”
“Adi, aku akan memulangkan senjatamu yang sejak dulu itu menemaniku dalam perantauan.” Jawab Joko Seno sambil mengangsurkan tangannya yang memegang cambuk.
“Terima kasih, kakang,” desis Retnosari sambil menerima cambuk itu. Lama mereka berpandangan tapi tak satupun yang mengeluarkan kata- katanya. Mulut membisu tapi hati mereka mengatakan akan perasaannya masing-masing. Tiba terdengarlah kata Joko Seno menanya :
“Adi, mengapakah kau melamun sendirian?”
“Oh...... eh...... tidak kakang! Bukankah ada kakang didekatku?” jawab Retnosari sambil tersenyum untuk menutupi getaran batinnya.
“He. bukan itu maksudku! Tapi waktu aku belum datang itu?”
“Ah, tidak kakang, aku baru menikmati terang bulan ini. Apakah kakang tak ingin menikmati pula?”
“Tentu adi, tentu! Apalagi bersama seorang gadis manis.” Mendengar jawab Joko Seno ini berbedarlah hati Retno. Betapa bangganya ia mendapat pujian dari pemuda idamannya, tapi segera ia dapat menguasai keadaannya.
“Kakang tentu sering ya menikmati malam terang bulan bersama gadis idaman kakang?” tanya Retnosari penuh selidik.
“Oh..... tentu, waktu aku masih berada dipadepokan Semeru tiap malam terang bulan tentu aku menikmatinya bersama wanita yang kucinta.”
“Tentunya dia seorang yang cantik bukan?” tanya Retnosari dengan cemburu.
“Memang dia adalah wanita yang cantik lagi pula baik budi.” Jawab Joko Seno sambil tersenyum.
“Kekasihmukah dia, kakang?” “Melebihi dari seorang kekasih!” “Ah, kalau begitu isterimu bukan?”
“Eh, mengapa kau menanyakan terus-menerus?” Seru Joko Seno menggoda.
Mendengar perkataan Joko Seno ini merahlah muka Retnosari. Tapi cepat ia menjawab :
“Ti tidak apa-apa, bolehkah aku mengetahuinya?”
“Ha.... ha.... ha.... Boleh-boleh, adi. Wanita itu adalah mendiang ibuku.” Teringat akan ibunya maka kembali Joko Seno menjadi sedih. Tapi segera ia meneruskan katanya : “Tapi aku sekarang tak dapat lagi mengulangi peristiwa itu.” Mendengar kata-kata Joko Seno ini Retnosari ikut sedih. 116 “Kakang Seno, tidakkah kau segera mencari musuhmu?”
“Memang aku ingin segera mencarinya, bahkan aku bermaksud mendatangi sarangnya di Nusa Barung!”
“Bagus, kakang! Bolehkah aku ikut?”
“Boleh asal kau mau, tapi kau harus ingat adi Sari, bahwa pergi kesana berarti memasuki kandang harimau.”
“Aku tak takut, kakang!” Jawab Retnosari tegas.
“Bagus adi! Pantas kau menjadi murid dari bibi Widati. Dan lagi aku sangat senang dapat berdekatan denganmu, adi Sari.”
“Eh.... apakah maksudmu, kakang?” tanya Retnosari dengan penuh pengharapan.
“Ah, maafkanlah kata-kataku tadi.” Jawab Joko Seno terkejut karena telah kelepasan omong.
“Teruskanlah kakang, aku tak merasa tersinggung.” Melihat kepolosan hati Retnosari maka timbullah keberaniannya untuk menyatakan perasaannya yang telah lama terpendam didalam hatinya.
“Adi Retnosari, apakah kau tak marah kalau aku bicara terus terang kepadamu?”
“Tidak kakang, sebab aku lebih suka pada orang yang suka berterus terang dari pada yang main sembunyi-sembunyi.”
“Adi, sebetulnya....” terdiamlah Joko Seno tak dapat melanjutkan katanya.
“Sebetulnya apa kakang?” tanya Retnosari sambil tunduk.
“Ah, sukar aku mengatakannya adi. Sebetulnya telah lama aku men....
mencintaimu, adi. Apakah cintaku ini dapat kau terima?”
Merahlah muka Retnosari mendengar pengakuan Joko Seno tadi. Namun diam-diam hatinya merasa bahagia. Tapi bagi seorang wanita ia harus menjaga harga dirinya. Biarpun hatinya bersorak tetapi sikapnya haruslah tetap tenang. Tiba-tiba ia bertanya :
“Kakang Seno, coba ulangi lagi apakah aku tadi salah mendengarnya.” “Betul adi aku mencintaimu.”
“Oh kakang, sudah lama aku menanti saat yang seperti ini tapi baru sekarang aku mendengar pernyataanmu. Sebab akupun sejak pertama bertemu denganmu diam-diam aku sudah mencintaimu, dan waktu kau jatuh kedalam jurang bukan main pedih hatiku.” Kata Retnosari sambil menundukkan kepalanya.
“Akupun demikian adi. Setinp saat aku selalu teringat padamu. Dan waktu itu aku belum mengetahui siapa namamu. Aku hanya tahu kalau kau adalah murid bibi Widati. Tapi rinduku agak terhibur setelah aku membelai cambukmu ini. Ah, Tuhan Maha Adil, akhirnya aku dipertemukan juga denganmu,” kata Joko Seno.
“Lihat kakang, kelihatannya bulan itu tersenyum pada kita.” Seru Retnosari sambil memandang bulan.
“Memang adi, bulan itulah saksi utama akan terpadunya kasih kita.” Jawab Joko Seno. 117 “Tapi kakang Seno, kau harus pergi keutara untuk meminangku kepada Ibu Widati.”
“Mengapa keutara? Kenapa tidak langsung kepada orang tuamu saja?” “Kakang Seno, kita sudah sama-sama tak punya orang tua. Orang tuaku
sekarang adalah guruku.”
“Baiklah, aku akan minta supaya Eyang Jatikusumo segera meminangmu. Tapi ini setelah aku berhasil membunuh Candraloka.”
“Tentu akupun bersedia membantumu. Untuk tanda baktiku kepada calon suami dan mertua yang telah tiada. Tapi tidakkah kakang kecewa mendapatkan aku? Aku anak bndoh tak punya kepandaian yang berarti.”
“Adi, percayalah padaku aku tak akan kecewa. Bahkan aku bangga mendapat balasan cintamu.”
“Tapi bukankah ayu Wulandari juga mencintaimu?”
“Apa?? Ayu Wulan? Tidak adi. Memang dia baik sekali padaku. Sebab dulu waktu aku terluka oleh Jalak Item aku dibawa kegua Melati oleh paman Sancaka. Dan disanalah aku berkenalan dengan ketiga murid paman Jayaningrat. Bahkan hubungan kami satu sama lain hanya terbatas pada persahabatan saja.” Mendengar uraian Joko Seno ini maka hilanglah rasa cemburu Retnosari pada Wulandari.
“Adi, marilah kita jalan-jalan kesebelah kemah sana,” ajak Joko Seno. Kita tinggalkan dulu Joko Seno dan Retnosari yang baru berjalan-jalan.
mengikat janji. Marilah sekarang kita lihat yang berada diperkemahan. “Paman Sancaka, coba kulihat dada paman. Apakah paman Sancaka
merasa sesak kalau bernapas?” Tanya Pandan Kuning setelah memeriksa dada Sancaka.
“Betul Kuning, memang agak sesak juga kalau bernapas dan lagi kakiku ini agak nyeri rasanya.”
“Eh, betul paman dan kelihatan agak bengkak.” Setelah itu cepat Pandan Kuning memijat-mijat kaki Sancaka.
“Ah paman, ini hanya terkilir saja. Ada lagikah yang paman rasakan kurang enak?”
“Sudah Pandan Kuning, kurasa lainnya tak ada lagi.” Setelah memeriksa keadaan Sancaka cepatlah Pandan Kuning meramu obatnya. Untuk mengobati kaki Sancaka maka diambilnya kencur, ragi dau tepung beras. Setelah kencur dan ragi ditumbuk dan diberi tepung beras lalu diberi air sedikit. Setelah itu lalu diparamkan pada kaki Sancaka yang membengkak. Dan sebagai pembalutnya ialah daun talas yang dilumuri minyak lalu dipanggang sampai layu. Sedang untuk mengobati dadanya, Pandan Kuning mengambil daun ketumbar, digiling sampai halus lalu diberi air sedikit. Setelah diperas maka Sancaka disuruhnya untuk meminum air perasan itu.
“Pantas-pantas kau menjadi murid Jayaningrat. Begitu aku minum obatmu terasa segar kembali badanku.”
“Ah, paman terlalu memuji. Nah sekarang pakailah untuk istirahat, mungkin besok lebih baik lagi.” 118 “Terima kasih, Pandan Kuning.” Dipihak lain terdengarlah suara Widati :
“Eh, bagaimanakah Wulan?”
“Coba aku periksanya bekas pukulan Arya Cempaka tadi.” “Lekaslah!”
“Ah, ternyata dada bibi keracunan. Jahat sekali Iblis itu. Pukulannya saja mengandung racun. Untung sebelum berangkat kemari kami telah membawa bahan-bahan pengobatan. Bibi, apakah bibi merasa kalau tubuh bibi gemetar?”
“Eh betul... betul memang tubuhku agak gemetar.”
“Ternyata bibi kekurangan darah, nah tunggulah sebentar akan kubuatkan dulu obatnya.” Untuk mengobati dada Widati yang keracunan itu maka Wulandari segera mengambil daun telasih, daun lidah ular dan akar ilalang. Setelah ramuan itu ditumbuk maka bubukannya dicampur dengan air kelapa hijau. Setelah diaduk disuruhnya Widati minum.
Sedang bagi penambah darah maka Wulandari mengambil daun bayam, telur ayam, madu, lada. Daun bayam digiling sampai halus kemudian disaring airnya. I.alu air daun bayam, telur ayam, madu dan bubukan lada diaduk menjadi satu. Setelah itu diberikan kepada Widati supaya diminum. Setelah Widati minum ramuan itu disuruhnya pula makan buah tomat.
“Hebat-hebat, kau Wulan. Sudah, sekarang aku merasa hidup kembali. Nah Wulan sebagai rasa terima kasihku maka mulai sekarang kau ikutilah aku untuk menjadi muridku. Maukah kau?”
“Sebelumnya nku mengucapkan banyak-banyak terimakasih. Tapi aku harus minta ijin kakang Pandan Kuning dan kakang Gagak Rimang dulu. Sebab setelah guru tak ada lagi merekalah yang menjadi penggantinya.”
“Bagus-bagus, nanti aku yang memintamu kepada mereka. Tapi sanggupkah kau mengikutiku?” Tanya Widati.
“Kalau kedua kakang telah mengijinkan, maka aku sanggup menjadi muridmu bibi. Nah ijinkanlah sekarang aku beristirahat dulu.” Setelah mendapat ijin dari Widati maka keluarlah ia menghirup udara segar gunung Merbabu. Tiba-tiba ia ingin mengunjungi makam gurunya yang tak seberapa jauh dari situ. Tapi betapa terkejutnya hati Wulandari sebab disana ia melihat Barata juga baru duduk tepekur dihadapan makam Singopati. Setelah Barata tahu kalau Wulandari datang maka cepat ia bangkit dan mempersilahkan Wulandari untuk duduk dibatu yang baru saja ia pakai duduk.
“Mari adi, silahkan duduk.”
Dengan perasaan malu-malu maka duduklah Wulandari didekat Barata.
“Eh kakang, aku mengganggumu bukan?”
“Ah, tidak adi, aku hanya duduk-duduk sambil mendoakan supaya arwah guruku diterima disamping Tuhan Yang Maha Kuasa. Sudah
119 selesaikah kau memeriksa bibi Widati? Dan manakah kakang Pandan Kuning dan kakang Gagak Rimang?”
“Sudah, dan kakang Kuning dan kakang Rimang baru bercakap-cakap dengan paman Sancaka. Akupun ingin berdoa untuk arwah guruku. Tapi tak tahunya kakang Barata berada disini.”
“Ah kalau begitu silahkan adi!” Setelah itu cepatlah Wulandari menghadap kearah makam Jayaningrat sambil berdoa. Ia tak menyangka kalau Barata memandangnya dengan penuh kekaguman. Tapi Wulandaripun kelihatan tak tenang waktu itu. Masakan orang berdoa duduknya kelihatan gelisah? Memanglah sebetulnya hati Wulandari telah tercuri oleh pemuda cakap dari gunung Kidul itu.
Diam-diam ia merasa bahagia dapat duduk berduaan dengan pemuda idamannya dibawah terang bulan itu. Makanya hatinya tak tenang. Tapi setelah itu cepat ia mengakhiri doanya. Dan betapa terkejutnya ketika ia melihat kalau Barata nnemandangnya dengan sayu.
“Kakang, mengapa kau memandangku sedemikian rupa?” tanya Wulandari sambil menundukkan muka. Mendapat pertanyaan semacam ini guguplah Barata untuk menjawab.
“Ti tidak adi aku hanya kasihan melihatmu.”
“Kasihan? Apa yang perlu kakang kasihani?”
“Ka..... karena kematian gurumu maka kau kelihatan sedih.” Jawab Barata sekenanya.
“Kematian guru? Hi..... hi..... lucu..... lucu. kakang, kau jangan mencoba
menipuku. Apakah kau tak sedih ditinggal mati paman Singopati?” kata Wulandari sambil tertawa. Mendengar ini makin guguplah hati Barata.
“Sudah tentu aku sedih, adi.”
“Kenapa kau kasihan kepadaku? Sedang kau sendiri baru sedih.
Betulkah kau merasa kasihan?” “Betul, adi!”
“Bohong! Aku tak percaya,” potong Wulandari. “Eh mengapa bohong?”
Mendapat pertanyaan seperti ini ganti Wulandari yang menjadi gelagapan.
“Mengapa kau diam saja, adi Wulan? Apakah sebabnya kau mengatakan aku bohong?”
“Kakang, sinar matamu tadi...... ah. ” desis Wulandari.
Seketika itu keadaan menjadi hening. Masing-masing tenggelam pada pikirannya masing-masing. Tapi lain halnya dengan mata mereka. Mata mereka saling mengatakan perasaannya masing-masing. Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh kata. Wulandari.
“Kakang, masih sakitkah tubuhmu yang kena dorong dari Iblis Pencabut Nyawa ini?”
“Ah tidak adi, inilah berkat pertolongan yang adi berikan. Apalagi yang mengobatinya adalah murid paman Jayaningrat yang tercantik.” Seru Barata sambil tersenyum menggoda. 120 “Ah kakang ini ada-ada saja,” seru Wulandari sambil mencubit Barata. “Aduh..... aduh. sakit adi.” Teriak Barata.
“Makanya jangan suka menggoda orang kalau tak ingin dicubit lagi.” “Apa akan kau cubit lagi? Boleh... boleh... sesukamu. Biarpun merasa
sakit tapi enak juga cubitanmu itu.” Sahut Barata sambil tertawa. Mendengar ini bukan main malunya hati Wulandari. Ah, mengapa tadi aku kelepasan tangan, pikirnya.
“Eh, adi mengapa kau diam saja? Tidak jadikah kau mencubitku?”
“Ah... eh... tidak, aku baru memandang keindahan bulan.” Sahut Wulandari sekenanya.
“Memandang keindahan bulan? Ah, adi, kalau aku lebih senang memandangmu.”
“Mengapa begitu?” tanya Wulandari heran. “Sebab kau lebih cantik dari pada bulan.”
“Ah, kakang, kau terlalu menghinaku,” seru Wulandari sambil bangkit dari duduknya.
“Eh... eh... mau kemanakah kau?” tanya Barata sambil memegang tangan Wulandari.
“Lepaskan lepaskan,” desis Wulandari.
“Maaf adi!” Jawab Barata sambil melepaskan pegangannya. Mereka saling menundukkan mukanya. Satu sama lain tak berani memandang wajah yang berada dimukanya.
“Maaf adi, bukan maksudku untuk berbuat kurangajar. Tapi ini semuanya karena terdorong oleh getaran hatiku.” Kata Barata memecah kesunyian.
“Tak apa kakang, hanya saja kau terlalu menghinaku. Masakan kau katakan wajahku lebih indah dari pada bulan. Untung tak ada yang mendengarnya. Misalkan ada yang mendengarnya kemanakah aku menyembunyikan mukaku?”
“Ah, itukah sebabnya? Adi, terus terang saja aku menjunjungmu karena aku cinta padamu.” Betapa gembiranya hati Wulandari mendengar kata-kata Barata ini. tiba-tiba terdengarlah tawa riang dari belakang mereka.
“Ha... ha.... ha. memang wajah ayu Wulan lebih cantik dari pada bulan
itu.” Seru Joko Seno dan Retnosari yang muncul dari arah belakang mereka. “Hai, kalian mendengarkan pembicaraan kami tadi?” seru Wulandari
sambil menutupi wajahnya karena malu.
“Joko Seno dan kau Retnosari, ternyata kalian hanyalah orang-orang rendah yang sukanya mencuri dengar percakapan orang lain!” Bentak Barata dengan agak marah.
“Eh, sabar-sabar, kakang Barata! Kami tak mencuri dengar percakapan kalian tapi tadi hanya kebetulan kami lewat...
“Bohong!! Cabutlah senjatamu! Jangan kau kira Barata takut kepadamu. Orang lain boleh takut oleh kepandaianmu, tapi aku tidak.
121 Huh... kepandaian tinggi hanya untuk mencuri dengar pembicaraan orang, apa gunanya?” Seru Barata dengan marah yang meluap-luap.
“Betul kakang Barata, kami tak mencuri dengar.” Seru Retnosari membela kekasihnya.
“Joko Seno, ternyata kau adalah orang yang tak tahu budi, kau ditolong oleh guruku, tapi sekarang kau balas dengan penghinaan yang demikian ini!” Bentak Wulandari dengan kesal.
“Ayu Wulan, percayalah bahwa kami tak bermaksud menghinamu.
Tapi aku tadi juga baru memadu kasih dengan adi Retnosari.”
Mendengar perkataan Joko Seno ini, makin marahlah hati murid mendiang Singopati ini. Ia merasa tersindir dengan perkataan ini. Tiba-tiba ia mencabut Kyai Blarak Sinebet dan langsung menyerang Joko Seno.
“Awas serangan!!” teriak Retnosari memperingatkan kekasihnya. “Kakang Barata, apakah kau sudah gila?” bentak Pendekar Budiman
sambil menghindar.
Tapi bukannya berhenti Barata menyerang, melainkan ia tambah memperhebat serangannya. Keris ditangan Barata merupakan maut yang mengintai bagi Joko Seno. Sinar kuning membungkus tubuh Barata yang memainkan ilmu keris Wanara Sakti. Gerakannya lincah bagaikan seekor kera yang marah. Namun lawannya adalah Joko Seno, pemuda sakti gemblengan dari Pacar Biru. Maka dengan mudah saja ia dapat mengelakkan semua serangan lawan. Cepat Barata menusukkan kerisnya kearah lambung Joko Seno. Namun Pendekar Budiman cepat meloncat kesamping. Tapi rupanya serangan Barata tadi hanyalah merupakan sebuah tipuan belaka, secepat kilat ia mengubah arah senjatanya menuju leher. Tapi dengan tenang Joko Seno menundukkan kepalanya dan tangannya menyambar pergelangan tangan Barata. Melihat bahaya mengancam tangannya, maka cepat murid Singopati mengayunkan kakinya kearah perut lawan. Tak dapatlah ia menggemparkan dunia persilatan kalau Pendekar Budiman gugup mendapat serangan yang mendadak itu. Cepat Joko Seno meloncat keudara, hingga ia terbebas dari tendangan lawan. Makin lama Barata makin kalap. Kalau diperhatikan sungguh- sungguh maka akan tampaklah bahwa pertarungan Joko Seno melawan Barata ini tidak dapat dikatakan pertempuran. Sebab dari tadi Joko Seno hanya berusaha menghindarkan saja. Tak pernah Joko Seno balas menyerang.
Tapi rupa-rupanya ini tidak diketahui oleh Barata. Retnosaripun melihat kejadian ini dengan heran. Mengapa Joko Seno tak mau balas menyerang? Hal inipun diketahui pula oleh Wulandari. Maka didalam hatinya timbullah suatu pendapat bahwa benar-benar Joko Seno tak sengaja mendengar percakapan itu. Kalau saja Joko Seno benar-benar ingin mencari gara-gara dan mendengarkan percakapan mereka tadi bukankah ia takkan muncul dan dapat pula dengan mudah menjatuhkan Barata? Tiba-tiba Wulandari, bertanya kepada Retnosari :
122 “Adi Retnosari, betulkah kalian tadi tak sengaja mendengar percakapan kami tadi?”
“Betul, ayu Wulan.”
“Mengapa kalian, sampai disini?”
Mendengar pertanyaan ini serba salahlah Retnosari menjawabnya.
Akan mengaku ia malu. Tiba-tiba terdengarlah bentakan Wulandari : “Mengapa kau diam saja?”
“Ayu! Kalau kau membentak-bentak jangan harap mendapat jawaban.
Kau kira aku takut melawan?” Balas Retnosari marah.
“Adi Sari, aku tak ingin soal ini menjadi berlarut-larut. Lekaslah jawab.” Seru Wulandari lemah. Melihat ini ibalah hati Retnosari. Seketika itu ia segera mengajak Wulandari untuk menjauhi pertempuran. Setelah agak jauh maka berkatalah Retnosari :
“Ayu Wulan, sebelum aku menjawab pertanyaanmu maukah kau berjanji bahwa kau tak akan memberitahukan hal ini kepada siapapun?”
“Baik adi Sari, aku berjanji lekaslah kau jawab mengapa kau sampai kesini.”
“Ah belum tahukah kau ayu?”
“Katakanlah adi! Jangan kau berteka-teki.”
“Sabar, ayu Wulan. Aku dan kakang Joko Seno memang tak sengaja mendengarkan percakapan kalian. Karena tujuan kami kemari adalah untuk jalan-jalan sambil memadu janji. Akupun seperti kalian. Memang sudah lama kami saling mencinta tapi baru malam ini kakang Joko Seno menyatakan cintanya. Bukankah ini menggembirakan hati kami? Dan waktu kami berjalan-jalan sampai disini kami melihat kalian dan kebetulan kami mendengar pengakuan kakang Barata tadi. Lalu kami muncul dan menggodamu. Tapi tak tahunya ini menjadikan kakang Barata menjadi marah.”
Mendengar perkataan Retnosari ini lenyaplah rasa marah Wulandari.
Dan seketika itu ia memeluk Retnosari, dan berkata :
“Maafkan kami, adi! Tadi aku sudah mengatakan yang bukan-bukan kepada kalian. Apalagi kepada adi Joko Seno.” Keluh Wulandari sambil menangis.
“Sudah-sudah, ayu! Bukankah hari ini adalah hari yang bahagia bagi kita?”
“Benar adi, eh hampir lupa aku memberitahu kepadamu bahwa aku tadi diminta supaya mau menjadi murid bibi Widati. Bukankah ini berarti kalau kita masih saudara seperguruan?”
“Ah betulkah ini ayu? Betapa senangnya hatiku mempunyai saudara seperguruan seperti kau ayu.”
“Adi, marilah kita lerai dulu mereka.”
“Oh, ya hampir aku lupa.” Maka berlarilah mereka kearah medan pertempuran.
“Kakang Barata berhenti!”
“Kakang Seno mundurlah kau!” Teriak Retnosari. 123 Mendengar teriakan ini, maka meloncatlah Joko Seno keluar gelanggang. Tapi Barata tak mau menyudahinya. Dengan gerakan yang gesit ia mengejar lawannya, namun tiba-tiba berkelebatlah Wulandari menghadangnya.
“Eh adi Walan apakah maksudmu?”
“Kakang berhentilah dulu.” Setelah Barata berhenti, maka berceritalah Wulandari tentang asal mulanya Joko Seno dan Retnosari sampai disitu.
Mendengar ini terkejutlah Barata dan buru-buru ia minta maaf kepada Joko Seno dan Retnosari.
“Eh.......... adi berdua maafkanlah kekurangajaranku tadi.” Serunya dengan kemalu-maluan.
“Tak mengapa kakang!” Jawab Joko Seno.
“Hem, adi aku mengucapkan selamat kepadamu berdua,” seru Barata.
Mendengar ini tersipu-sipulah mereka.
“Kamipun mengucapkan demikian, kakang Barata.” Balas Joko Seno sambil tersenyum.
“Ha..... ha...... ha..... aku belum mendapat jawaban adi,” sahut Barata sambil melirik Wulandari.
“Hik..... hik..... hik...... kakang Barata, tadi ayu Wulan telah mengatakan kepadaku kalau iapun amat mencintamu kakang,” seru Retnoari.
“Ah kau ini ada-ada saja adi Sari,” seru Wulandari dengan muka merah bagaikan kepiting direbus. Maka berguraulah mereka berempat hingga jauh malam baru kembali kekemahnya masing-masing.
Keesokan harinya, pada pagi harinya waktu kabut masih turun dengan derasnya tampaklah mereka berkumpul dalam kemah. Untuk menghangatkan badan mereka minum wedang jahe. Ah.... dapat kita bayangkan betapa nikmatnya minum wedang jahe diwaktu udara dingin. Tiba-tiba terdengarlah suara Joko Seno memecah kesunyian :
“Eyang. Sekaraug ijinkanlah saya pergi ke Nusa Barung untuk menumpas para perampok yang ganas itu. Dan lagi saya sudah tak sabar lagi menanti saat pembalasan dendam atas terbunuhnya kedua orang tuaku.”
“Seno, maksudmu untuk pergi ke Nusa Barung itu kurasa sangat berbahaya. Sebab kau belum tahu seluk-beluk tempat kediaman Candraloka.”
“Paman panembahan, biar aku turut kakang Joko Seno, untuk membasmi kejahatan.” Seru Retnosari.
“Eh. Sari! Apa maksudmu?” Potong Widati.
“Ibu, biarkanlah sekali ini aku pergi ikut kakang Seno untuk menumpas kejahatan. Bukankah ibu sering mengatakan bahwa nanti setelah aku punya kepandaian haruslah diamalkan untuk membantu si lemah dan membasmi kejahatan?” Seru Retnosari membeladiri.
“Bibi, semua perkataan adi Sari itu betul belaka, memang kemarin kami anak-anak muda sudah bersepakat untuk pergi kesana semua.” Kata Pandan Kuning membela Retnosari. 124 “Jadi kalian semua akan pergi kesana!” tanya Panembahan Jatikusumo. “Betul eyang, kami ingin menempuh bahaya bersama-sama dan lagi menambah eratnya persahabatan kita.” Jawab Joko Seno membenarkan
perkataan Pandan Kuning.
“Betul.... betul.... bukankah ini suatu persatuan yang baik? Dan biarkanlah mereka pergi. Bukankah Joko Seno dapat melindunginya? Perlu apalagi yang kita kuatirkan?” seru Sancaka yang sejak tadi diam saja.
“Kau pengemis busuk, enak saja berkata. Sebab kau tak punya murid! Coba mereka mendapat kesukaran maka kau tak akan ikut merasakannya.” Kata Widati dengan marah.
“Ha.... ha.... ha.... memang aku tak punya murid. Tapi kukira tak ada jeleknya kalau mereka pergi untuk mencari pengalaman dan mengamalkan kebajikan. Kalau nama mereka terkenal sebagai nama pendekar kebajikan apakah kalian tak ikut bangga? Misalnya seperti Joko Seno sekarang terkenal dengan nama Pendekar Budiman, apakah Jatikusumo tak bangga?” Kembali Sancaka menguraikan pendapatnya.
“Betul paman, dan lagi sudah sejak dulu kami menyanggupi untuk membantu adi Seno kalau akan membalaskan dendam orang tuanya,” kata Gagak Rimang.
“Yah, terserahlah kalau itu sudah menjadi kehendak kalian, hanya saja hati-hatilah kalian disana. Sebab kalian pergi ke Nusa Barung itu sama saja dengan memasuki sarang naga.” Kata Panembahan Jatikusumo memberi nasehat kepada mereka.
“Betul anak-anak, kalian harus hati-hati dan selalu waspada, mungkin disana banyak jebakan-jebakan,” Seru Widati.
“Baik bibi, semua pesan bibi akan kami indahkan.” Jawab Pandan Kuning mewakili mereka.
“Eh, Wulandari! Bagaimanakah jawabanmu? Apakah kau sudah minta ijin kepada kedua saudara seperguruanmu?” Tanya Widati.
“Belum bibi,” jawab Wulandari singkat.
“Pandan Kuning dan kau Gagak Rimang! Bolehkah kalau Wulandari kuambil sebagai murid?”
“Bibi, kami tak dapat memaksanya. Sebab adi Wulan kini sudah dewasa dan tentu mempunyai kehendak sendiri. Andaikata adi Wulan mau, tentu kami tak dapat menghalang-halangi dan begitu sebaliknya.” Jawab Gagak Rimang.
“Dan kau Pandan Kuning, bagaimanakah jawabmu?” “Sama dengan adi Rimang, bibi.”
“Nah, sekarang bagaimanakah jawabanmu Wulan? Maukah kau menjadi muridku?”
“Ibu, ayu Wulan mau menjadi muridmu tapi setelah pulang dari Nusa Barung.” Potong Retnosari.
“Sari, diam kau. Aku bertanya kepada Wulandari bukan kepadamu!” Bentak Widati.
125 “Betul ibu, sebab kemarin ayu Wulan sudah mengatakan kepadaku.
Bukankah begitu ayu Wulan?”
“Memang begitulah jawabanku, bibi.”
“Eyang, apakah eyang panembahan tak memerlukan senjata?” “Apa maksudmu Seno?” tanya Jatikusumo heran.
“Eyang, sekarang kami mempunyai dua belah pedang pusaka, maka silahkan eyang memilih salah satu,” kata Joko Seno sambil mengulurkan pedang Naga Biru dan pedang Besi Merah.
“Hai... pedang Besi Merah!” seru ketiga tokoh tua itu dengan serempak. “Betul, inilah pedang Besi Merah yang kami terima dari Pacar Biru.
Nah, eyang silahkan memilihnya.”
“Tidak... tidak... Seno. Biarlah kedua pedang itu menemanimu dalam perantauan.” Seru Jatikusumo.
“Ah, sungguh beruntung kau Seno. Sudah mewarisi kepandaian Pacar Biru masih pula menerima pedang Besi Merah, yang dulu menjadi rebutan para satria-satria Tanah Jawa baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Bahkan guruku dulu juga ikut mencari pedang ini. Tapi yang beruntung mendapatkannya adalah paman Pacar Biru. Sebab paman Pacar Birulah yang berhasil menemukan peta letak pedang Besi Merah itu. Dan menurut cerita yang kudengar, paman Pacar Birupun mendapatkan sebagian dari kitab peninggalan Pendekar Bayu Sakti. Apakah kau juga menerima warisan ilmu-ilmu dari kitab itu?” Tanya Sancaka.
“Betul, kakek. Pacar Biru telah berkenan menurunkan ilmu yang telah beliau warisi dari kitab itu. Ilmu itu merupakan ilmu pedang yang bernama Naga Angkasa. Dan yang tadi saya pergunakan untuk melawan Arya Cempaka. Selain itu akupun digembleng dalam ilmu samadi, memusatkan tenaga dalam, meringankan tubuh dan ilmu melemparkan senjata rahasia.
“Hebat.... hebat ” desis Widati kagum.
“Seno, kalau kau dapat memainkan ilmu pedang Segoro Manangkep dan ilmu pedang Pembasmi Kejahatan maka akan bertambah hebatlah kepandaianmu.”
“Memang kakek, untuk itu aku mengharapkan petunjuk dari kakek Sancaka dan Eyang Panembahan.”
“Baik-baik. Seno, kami akan berusaha membimbingmu.” Jawab Sancaka dan Panembahan Jatikusumo bersama.
“Seno, sekarang cobalah kau hadapi cambukku!” Seru Widati sambil mengeluarkan cambuk bercabang lima.
“Maaf bibi, mana berani aku kurang ajar untuk melawan bibi?” Jawab Joko Seno terkejut.
“Anak bodoh! Bukan maksudku untuk bertempur, melainkan hanya mengajakmu latihan saja. Nah, cobalah kau pergunakan pedang Naga Biru ditangan kanan untuk memainkan ilmu pedang ajaran Jatikusumo dan pedang Besi Merah ditangan kiri sambil memainkan ilmu ajaran Sancaka. Nah, marilah kita mulai,” kata Widati menasehati.
126 “Betul Seno, nanti kami yang memberi petunjuk-petunjuk kepadamu.” Jawab Sancaka gembira.
“Nah sekarang siaplah!” Widati berseru keras dan cambuk cabang lima itu berubah menjadi segumpal sinar kecoklat-coklatan.
Joko Seno maklum akan kesaktian Widati maka dia tak sungkan- sungkan lagi. Segera menggerakkan kedua pedangnya. Dan kedua pedang itu berlainan gerakannya. Kedua gerakan ini adalah ilmu silat tinggi ciptaan tokoh dari tengah dan tokoh dari timur. Sinar biru dan merah bergulung- gulung melindungi tubuhnya. Berkali-kali kedua senjata Joko Seno terbelit cambuk lawan. Namun dengan mudah ia dapat mematahkan tiap serangan Widati. Bagi orang-orang yang melihat disitu akan kagumlah melihat kehebatan Joko Seno. Mereka semuanya tahu siapa adanya Setan utara itu. Seorang tokoh sakti yang malang-melintang disebelah utara. Tapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja. Berganti dengan kekaguman terhadap keuletan Widati. Sebab mereka tahu kalau ilmu yang dimainkan Joko Seno itu adalah ciptaan dari tokoh timur dan tokoh tengah, maka sama saja kalau Widati dikeroyok dua tokoh itu. Maka hal ini sudah biasalah kalau Joko Seno dapat mengimbangi permainan cambuk Widati yang hebat itu. Kiranya kalau Joko Seno mau mengeluarkan ilmu pedang Naga Angkasa maka akan lebih mudahlah untuk mendesak lawannya.
Pertandingan itu berjalan dengan serunya. Sehingga gerakan-gerakan mereka sukar diikuti dengan pandangan mata. Yang tampak hanyalah sinar coklat dari cambuk bercabang lima dan sinar biru dan merah dari pedang Naga Biru serta pedang Besi Merah. Biarpun usianya sudah lanjut namun Widati tak kalah gesitnya. Dahulu waktu pertama kali Widati bertemu dengan Joko Seno memanglah sudah ingin mencoba kepandaiannya. Namun sayang pemuda itu jatuh kedalam jurang kena gempuran tenaga saktinya. Tapi kini setelah pemuda ini mendapat gemblengan dari Pacar Biru sukarlah baginya untuk mendesak. Bahkan kini kepandaian Joko Seno telah melampaui kepandaiannya sendiri. Tar... tar... tar... cambuk Widati mengancam tubuh Joko Seno ditempat-tempat yang mematikan. Namun kelincahan Joko Seno sangat mengagumkan. Dengan sekali enjot melayanglah tubuhnya keudara, dan ujung-ujung cambuk Widati dipapakinya. Melihat kejadian ini makin kagumlah hati yang menyaksikan. Lebih-lebih Retnosari ia amat bangga mempunyai kekasih yang tampan lagi gagah perkasa. Namun makin lama cambuk Widati makin ganas. Setiap sambaran ujung cambuknya merupakan intaian maut yang mengerikan.
Tar..... tar..... tar..... tiba-tiba ujung cambuk Widati menyambar dada, perut, mata, leher, dan lambung Joko Seno. Namun aneh, dengan sekali menusukkan pedang Naga Biru kearah lambung dan meloncat kesamping sambil berjumpalitan kebelakang maka terbebaslah ia dari ancaman maut yang dilancarkan kepada Widati.
“Hebat.... hebat aku yang tua mengaku kalah.”
“Ah. bibi! Maafkan kekurangajaranku tadi.”
127 “Tak mengapa, aku marasa bagaikan menghadapi keroyokan panembahan alim dan pengemis busuk itu.” Seru Widati dengan kagum.
“Bagus, bagus. Seno, ternyata kau telah dapat mempergunakan kedua ilmu tadi secara bersama.” Puji Sancaka dengan girang.
“Setelah kau dapat menggunakan seluruh ilmu-ilmu yang kau pelajari itu aku dapat melepasmu dengan tenang.” Seru Panembahan Jatikusumo dengan tersenyum puas.
Pendekar-pendekar muda inipun kagum melihat keperkasaan Joko Seno.
“Sari, ternyata kau pandai memilih jodoh. Aku setuju sekali kalau bermenantukan bekas penculik itu,” seru Widati sambil tertawa.
“Ah, ibu ini ada-ada saja.” Teriak Retnosari tunduk karena malu.
“Eh..... Setan utara enak saja kau menangkap jodoh!” Seru Sancaka dengan riang.
“Pengemis busuk tutuplah mulutmu.” Seru Widati. Tapi setelah itu lalu ia menceritakan perubahan-perubahan Retnosari setelah bertemu dengan Joko Seno didekat desa Kepanjen dulu. Mendengar cerita ini meledaklah tawa riuh riang dari para pendekar yang hadir disitu. Retnosari makin menundukkan kepalanya. Bagi Joko Seno ini adalah suatu kelakaran belaka. Namun diam-diam Panembahan Jatikusumo girang mendengar kabar ini. Bukankah dengan jalan ini ia dapat mengurangi rasa sedih yang diderita Joko Seno selama ditinggal mati ibunya? Tiba-tiba terdengarlah suara panembahan itu.
“Seno, bagaimanakah tanggapanmu terhadap cerita Widati.” Tak pernah ia sangka kalau akan mendapat pertanyaan semacam ini dari eyangnya. Segera ia menjawab :
“Eyang! Karena ayah dan ibu telah tiada, maka hal ini terserah akan kebijaksanaan eyang. Andaikan eyang setuju akupun sanggup menjalaninya.”
Kembali terdengar tawa riang dari mereka setelah mendengar jawaban Joko Seno ini. Memang sepintas lalu saja Joko Seno menyerahkan hal ini kepada gurunya, tapi kalau kita perhatikan jawabannya yang terakhir maka tampaklah bahwa sebetulnya Joko Seno telah menerima cinta Retnosari tadi. Memang begitulah kenyataannya. Tiba-tiba terdengarlah suara Retnosari yang sejak tadi diam saja :
“Paman Sancaka, aku harap supaya paman mau jadi wali dari kakang Barata untuk meminang ayu Wulan.” Lalu berceritalah Retnosari tentang pertemuannya tadi malam. Mendengar ini kembali meledaklah tawa riang mereka. Kini giliran Barata dan Wulandari yang menjadi bahan pembicaraan mereka.
“Bagus... bagus aku setuju,” jawab Sancaka girang.
“Ah, makanya mereka berkeras kepala untuk pergi bersama-sama, tak tahunya... Hem...” Seru Widati dengan tersenyum. Maka teringatlah ia akan masa mudanya dulu, waktu ia masih berkasih-kasihan dengan Singopati. Tapi sayang, kasih yang mereka jalin selama itu putus ditengah jalan. Maka 128 sekarang ia berdoa semoga kasih sayang Retnosari dan Joko Seno dapat kudus selamanya.Sampai pada jenjang perkawinan. Seketika keadaan menjadi hening.
“Eyang, kami akan berangkat besok pagi!” Kata Joko Seno.
“Baiklah Seno, pergilah bersama doaku.” Jawab Jatikusumo dengan terharu.”
“Tapi dimanakah aku akan menemui eyang lagi? Apakah eyang akan terus pulang ke Semeru?”
“Betul Seno, aku akan pulang ke Semeru dan akan membangun kembali padepokan kita yang dirusak Candraloka.”
“Baik eyang, aku segera kembali kalau urusan telah selesai.”
*
* *
Keesokan harinya setelah ayam jantan berkokok, tanda fajar telah menyingsing berangkatlah keenam pendekar muda itu dengan samangat yang menyala-nyala. Mereka berloncatan antara jurang dengan jurang menuruni gunung Merbabu. Gesit bagaikan anak kijang berkejar-kejaran. Mereka menempuh perjalanan sangat jauh. Tapi perjalanan ini adalah perjalanan yang menggembirakan. Kadang-kadang diselingi pula oleh senda-gurau dan humor sehat. Berhari-hari bahkan hampir dua bulan mereka mengadakan itu. Akhirnya sampailah mereka didesa Kalung Pitung.
“Adi Seno, apakah kita langsung pergi kesana?” tanya Pandan Kuning.” “Kakang, lebih baik kalau kita pergi kesana malam nanti. Sebab kalau
kita pergi kesana sekarang mudahlah mereka mengetahuinya, bukannya kita takut untuk menghadapinya secara terang-terangan tapi kukira lebih baik kalau diam-diam kita selidiki dulu. Setujukah kalian?”
“Kalau kami sih setuju saja apa kehendak adi, sobat, bukankah kita kesini ini dibawah pimpinanmu?” Seru Gagak Rimang.
“Nah kakang marilah kita menuju hutan sebelah desa Kalung Pitung.” “Kakang Kuning persediaan makanan kita sudah habis. Maka
ijinkanlah aku berburu dulu.” Seru Wulandari.
“Baiklah adi, pergilah berburu bersama adi Barata dan adi Gagak Rimang. Sedang aku, adi Seno dan adi Retno akan membicarakan rencana kita nanti malam.” Setelah ketiga pendekar muda itu berangkat maka kembalilah Pandan Kuning dan Joko Seno melanjutkan pembicaraannya.
“Adi, bagaimanakah rencana kita nanti?”
“Begini kakang nanti kita pergi kesana dulu untuk melihat tempat sarang perampok itu. Setelah kita mengetahui pusatnya maka keesokan harinya barulah kita hancurkan.”
“Mengapa harus menunggu sampai besok?” Seru Retno. “Begini adi Sari, kalau kita gempur sekarang maka akibatnya akan lebih besar. Bukankah mungkin mereka memasang jebakan-jebakan yang tak kita ketahui!”
“Lalu bagaimana caranya?” tanya Pandan Kuning.
“Makanya nanti malam kita harus dapat menculik salah seorang anak buah perampok itu. Dan kita paksa untuk menunjukkan tempat kediaman mereka.” Setelah sesaat mereka berbicara datanglah Gagak Rimang, Barata dan Wulandari.
“Ah kakang Kuning sial benar kita! Dihutan sini tak ada binatang buruan.” Seru Gagak Rimang.
“Betul kakang, sejak tadi kita hanya mendapat seekor burung saja.” kata Barata sambil meletakkan hasilnya.
“Memang kakang, kelihatannya hutan ini sepi akan binatang buruan. Tapi kukira burung-burung itu dapat kita makan bukan?” Tanya Joko Seno. “Dimakan sih dapat, tapi menangkapnya yang sukar.” Sela Retnosari
sambil tersenyum.
“Cukupkah kalau seorang dua ekor, adi?”
“Ah, kakang Seno! Masakan tidak cukup apakah perut kita ini perut karet? Entah kalau perutmu.”
“Adi Sari, tolong ambilkan burung-burung itu.” Seru Joko Seno sambil menyambitkan dua belas kerikil kearah burung-burung yang berterbangan.
Wess..... buk..... buk..... buk terdengarlah bunyi gedebukan jatuhnya burung-burung yang disambit Joko Seno dengan ilmu memakai senjata rahasia ajaran Pacar Biru.
“Ah..... hebat.....” Seru mereka dengan kagum. Retnosari yang melongo terheran-heran.
“Eh adi Sari, mengapa tak lekas kau ambil burung-burung itu?” Seru Joko Seno sambil tersenyum manis.
“Ah kakang, aku sungguh kagum dengan kemampuanmu itu.” Seru Retnosari dengan menggeleng-gelengkan kepala. Setelah itu segeralah mereka membakar burung-burung itu seorang dua ekor.
*
* *
Pada malam harinya tampaklah mereka mulai pergi ke Nusa Barung, sarang dari perampok Candraloka. Didalam perahu yang meluncur dengan cepat itu tampaklah Joko Seno berdiri dimuka haluan. Malam sunyi hanya bintang yang menerangi kegelapan jagat raya ini. Angin laut meniup sepoi- sepoi basa. Namun mata Joko Seno lurus memandang Nusa Barung dengan memancarkan kemarahan yang meluap-luap. Seakan-akan hatinya ingin sampai disana, langsung melabrak pembunuh ayah ibunya. Tapi segera gelora hatinya dapat ditekan dan disabar-sabarkan kalau mengingat calon
130 korban yang akan dilabraknya. Dan kalau ia tergesa-gesa dan gagal maka akan sia-sialah perjalanannya ini.
“Adi Seno, hati-hatilah kau jangan sampai kehilangan kewaspadaan.” Seru Barata mengkhawatirkan keadaan Joko Seno.
“Baik kakang.” Jawabnya tanpa bergerak. Retnosaripun menjadi sedih melihat kedukaan kekasihnya ini.
Perahu makin cepat meluncurnya. Gelombang laut mengombang- ambingkan perahu mereka. Namun Joko Seno masih berdiri tegak dengan hati yang menegang.
Kita tinggalkan dahulu perjalanan mereka menuju ke Nusa Barung.
Marilah kita melihat yang berada disarang perampok itu.
Pada waktu itu Candraloka sedang menanti kedatangan rombongan Joko Seno. Sebab Candraloka sudah menerima laporan dari mata-matanya yang berada di desa Kalung Pitung. Memanglah Candraloka menyebar banyak mata-matanya dimana-mana. Dengan jalan inilah Candraloka menyelamatkan diri.
“Klabang Abang, apakah tua bangka Jatikusumo ikut juga dalam rombongan itu?”
“Tidak, ki lurah, mereka hanyalah terdiri dari anak-anak muda yang berjumlah enam orang. Dan yang dua adalah wanita.”
“Bagus mereka dapat datang kemari tapi harus tak dapat keluar lagi
dari sarang kita ini!”
“Ki lurah, bagaimana cara kita menyambutnya?” tanya Rangsang. “Ha.... haa.... haa.... kau Rangsang, Cebol, Klabang Abang, Klabang Ungu
dan Wrekso, siapkan anak buahmu! Dan nanti kalau perahu mereka telah mendekat maka hujanilah dengan anak panah! Nah marilah kita berangkat menuju ke pantai!”
Tak lama kemudian berpuluh-puluh anak buah perampok Candraloka berdiri disekitar pantai. yang paling depan adalah regu pemanah. Ditengah-tengah para perampok itu berdirilah Candraloka dengan angkuhnya.
“Ki lurah, lihatlah, rupa-rupanya perahu mereka mulai datang!” “Ah benar. Hai, regu pemanah mulailah bersiap-siap.”
Makin lama perahu itu makin tampak. Keenam pendekar muda itu tak menyangka kalau gerak-gerik mereka itu diperhatikan oleh berpuluh- puluh pasang mata. Perahu meluncur dengan lajunya. Tiba-tiba mata Joko Seno melihat suatu yang mencurigakannya.
“Awas, aku melihat bayangan orang disana! Seru Joko Seno.
Sekonyong-konyong terdengarlah teriakan dari arah pulau. “Lepaskan anak panah!!”
“Wesss..... beratus-ratus anak panah menyambar dan menghujani perahu.
“Ah... celaka!” seru Joko Seno sambil memutar pedangnya untuk memukul jatuh anak panah itu.
131 “Hayo anak-anak kita perhebat serangan kita ini.” Seru Candraloka dengan girang. Tarr... tarr... tarr.... tarr... tiba-tiba Retnosari memutar cambuknya untuk menahan serangan.
“Adi Sari, hentikanlah gerakanmu supaya perahu kita tak bagitu oleng!” Seru Joko Seno sambil memperhebat putaran pedangnya.
“Bangsat curang!” desis Barata menahan marah. Makin lama makin dekatlah perahu mereka didarat.
“Kawan-kawan marilah kita siapkan senjata kita. Dan kita melompat kedarat sambil berpencaran!” Seru Joko Seno. Setelah sampai ditepian maka berloncatanlah mereka melabrak musuh.
Kini terbagilah anak buah Candraloka menjadi enam. Seorang dari rombongan Joko Seno menghadapi paling sedikit lima belas orang. Joko Seno mendapat lawan Rangsang dan anak buahnya.
“Heh, anak muda, apakah maksudmu datang kemari?” “Membunuh kalian!” Desis Joko Seno.
“Ha... ha... ha... cobalah kalau kau dapat. Lihatlah kau dan kawan- kawanmu telah terkurung. Lebih baik menyerah saja.” Hanya dengan melirik tahulah Joko Seno kalau pihaknya benar-benar telah terkurung. Namun segeralah ia bertindak. Syaaartt..... kini kedua pedangnya telah terhunus.
“Nah, majulah kalian yang ingin mampus!” desisnya. “Awas pedang!”
Trangg..... aduh..... tiba-tiba ada salah seorang anak buah perampok yang menyerangnya. Maka hanya dengan sekali tangkis dan pedang yang lain ditusukkan matilah perampok malang itu. Lalu dengan secepat kilat Joko Seno memutar kedua pedangnya. Sinar biru dan merah menyambar- nyambar dan dibarengi oleh teriakan-teriakan orang mengaduh. Lama- lama makin kalaplah Joko Seno. Amukannya bagaikan utusan malaikat untuk mencabut nyawa para perampok itu.
Trangg..... Aduh...... Ampun. Crakk Dalam waktu yang singkat saja ia
berhasil membunuh tiga belas lawannya. Melihat kejadian ini hilanglah keberanian Rangsang. Namun dipaksanya untuk melabrak lawannya. Ciat..... Trangg..... Prakk..... Patahlah senjata Rangsang dan terlepas dari tangannya. Pucatlah wajahnya dan segera ia mengambil langkah seribu. Namun dengan sekali loncat dapatlah Joko Seno menyusul dan langsung membabat leher lawan.
Takk.... tamatlah riwayat Rangsang seketika itu juga. Setelah itu kembalilah Joko Seno kepada musuh-musuhnya tadi. Tapi segeralah mereka membuang senjatanya.
“Ampunkan nyawa kami, pendekar!” seru salah seorang. “Huh pengecut!”
“Aduh!” pecahlah kepala-kepala orang itu, kena hantam senjata rahasia yang dilemparkan oleh kawannya sendiri yang menghadapi Barata.
“Bangsat kejam!” Seru Joko Seno sambil membantu Barata.
132 “Adi Seno, biarlah tikus-tikus ini kuhadapi sendiri bantulah kakang Rimang yang terdesak itu.”
“Ah, benarlah kelihatannya Gagak Rimang terdesak oleh keroyokan musuh.” Segera Joko Seno melompat kearah pertarungan itu.
“Marilah kakang, kubantu kau!”
“Ha.... ha.... ha.... mari-mari, kita berlomba-lomba untuk membunuh coro-coro ini!” Jawab Gagak Rimang dengan semangat. Cepat bagaikan kilat pedang Gagak Rimang menangkis dan menyerang musuh. Namun musuh Gagak Rimang adalah Klabang Ungu. Ia adalah perampok yang telah banyak pengalamannya. Dan lagi Klabang Ungu dibantu oleh puluhan perampok yang berkepandaian lumayan. Tapi setelah mendapat bantuan dari Joko Seno berubahlah keadaannya. Kini banyaklah nyawa melayang ditangan Joko Seno. Melihat mayat-mayat bergelimpangan sadarlah hati Pendekar Budiman bahwa mereka itu adalah alat saja sedang otaknya ialah Candraloka. Segera ia menyarungkan kedua pedangnya.
“Hai, Seno kenapa kau sarungkan pedangmu?”
“Kakang, tak ada gunanya kita membunuh mereka ini, lebih baik kalau kucari pemimpinnya dulu.” Sehabis berkata demikian maka berkelebatlah Joko Seno menyambar tubuh seorang perampok. Bukan main takutnya perampok yang dipegang Joko Seno tadi.
“Aduh.... aduh.... ampun tuan!” Seru perampok itu dengan meringis kesakitan.
“Masih ingin hidupkah kau?” Bentak Joko Seno. “Be.... be. tul tuan,” jawabnya gugup.
“Kau akan kuampuni asal kau beritahu aku dimanakah pemimpinmu berada.”
“Siapakah yang tuan maksudkan?” “Candraloka!!”
“I.... tu.... itu. ki lurah yang bertempur dengan wanita berpedang.”
Tar... tar... tar... cambuk Retnosari menyambar-nyambar. Tiap kali cambuknya menyambar maka robohlah lima orang pengeroyok. Begitupun Wulandari dan Pandan Kuning. Mereka mengamuk bagaikan harimau lapar.
Tiba-tiba berkelebatlah Joko Seno kearah pengeroyok Wulandari. “Candraloka, kalau kau memang laki-laki sejati hadapilah aku Joko
Seno!”
“Huah... hah... hah... kaukah Joko Seno yang telah membunuh Jalak Item, Karjoleo dan Wiro? Mari-mari anak muda kita main-main sebentar!”
“Tutup mulutmu, Candraloka!” Bentak Joko Seno sambil mencabut kedua pedangnya.
“Majulah, anak muda!” Kedua orang itu segera memasang kuda- kudanya masing-masing. Maklumlah musuh yang mereka hadapi adalah lawan yang tangguh. Mata mereka berpandangan satu sama lain. Candraloka mengangkat pedangnya diatas kepala, sikapnya tegap kokoh bagaikan seekor banteng. 133 Sedang Joko Senopun telah siap tangan kanannya memegang pedang Naga Biru yang disilangkan didepan dadanya. Sedang tangan kirinya memegang pedang Besi Merah. Lama mereka berpandangan satu sama lain. Masing-masing sedang mengira-ira kekuatan lawan. Tiba-tiba terdengarlah tawa Candraloka lalu bergerak memukulkan penggadanya dengan dahsyat. Debu-debu berterbangan kena sambaran angin puku;an senjata Candraloka.
Weess..... penggada itu menyambar kepala Joko Seno. Tapi bersama datangnya serangan ini cepat Pendekar Badiman menggerakkan tangan kanannya untuk menangkis, pedang Besi Merah ditangan kirinya bergerak menuju lambung. Tapi dengan gerakan yang cepat kepala perampok Nusa Barung dapat menghindarkan diri. Melihat serangannya gagal maka Joko Seno berteriak dan tubuhnya bergerak kedepan, sepasang pedang berubah menjadi gulungan sinar biru dan merah saling menyambar-nyambar. Biarpun kedua pedang Joko Seno menyambar-nyambar, namun Candraloka dapat menghindarkannya dengan gerakan yang lincah maupun dengan tangkisan penggadanya yang diputar hingga menimbulkan angin dingin yang menyambar-nyambar dan sinar hitam bergulung-gulung. Tiba-tiba penggada Candraloka menyambar kearah perut Pendekar Budiman. Tapi cepat Joko Seno menggenjotkan tubuhnya keudara hingga bebaslah murid Pacar Biru ini dari babatan senjata lawan. Dan dari atas Joko Seno meluncur turun dari atas sambil menusukkan pedang Naga Biru kearah leher lawan. Ketika Candraloka menangkis dengan penggadanya, cepat Joko Seno menggerakkan pedang Besi Merahnya menuju ke lambung. Dahsyat sekali gerakan Joko Seno ini sehingga Candraloka harus menguras habis kepandaiannya untuk menghindarkan.
Candraloka adalah murid kedua dari Dendopati. Biarpun kepandaiannya belum dapat disamakan dengan Arya Cempaka. Sebab jarak antara Candraloka dan kakak seperguruannya berguru kepada Dendopati adalah kurang lebih 10 tahun hingga keduanya tidak pernah berkumpul untuk bersama-sama menerima ilmu dari gurunya. Biarpun begitu kepandaian Candraloka sudahlah hebat. Namun sekarang ia harus berhadapan dengan Joko Seno murid tunggal dari Pacar Biru, dan pemuda gemblengan Sancaka dan Panembahan Jatikusumo. Lagi pula ia telah berhasil membunuh Arya Cempaka yang menjadi kakak seperguruan dari Candraloka. Maka itu lama-kelamaan Candraloka menjadi terdesak. Kini tampaklah bahwa Candraloka hanya dapat bertahan saja. Betapa marahnya hati Candraloka melihat kejadian ini. Segera ia mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Candraloka bergerak cepat bagaikan garuda menyambar- nyambar. Namun Joko Seno segera memperhebat serangannya. Tangan kirinya memainkan ilmu pedang Pembasmi kejahatan dan tangan kanannya memainkan ilmu pedang Segoro Manangkep. Melihat permainan lawannya ini makin bingunglah hati Candraloka. Pedang Joko Seno menyerang dari empat penjuru. Berputar-putar bagaikan angin puyuh menyerang Candraloka. 134 “Celaka!” seru Candraloka tertahan. Baru kali ini ia melihat daya serang yang sedahsyat ini dan aneh. Ia berusaha menangkis pedang- pedang lawan dengan penggadanya.
Trangg.... dukk.... terdengarlah beradunya senjata dan akibatnya terlepaslah penggada Candraloka dari tangan. Dan... Craaaatt!... putus leher Candraloka terbabat pedang Joko Seno.
“Huah... hah... hah... ibu! Ayah! tenteramkanlah hatimu disana. Lihatlah apa yang kubawa ini?” Joko Seno sambil memegang kepala Candraloka. Mendengar teriakan Joko Seno ini berdentamlah jantung para perampok itu. Lebih-lebih ketika melihat bahwa pemimpinnya telah tewas. Segera mereka membuang senjatanya.
“Ampun kami, pendekar. Kami menyerah kalah.”
“Berjanjilah kalian akan meninggalkan pekerjaan ini dan akan menjadi manusia-manusia berguna!” Seru Joko Seno.
“Kami berjanji!” Seru mereka serempak.
“Awas, kalau kalian melanggarnya, dan kalau kami masih mendengar kalian merampok lagi maka kami tak segan-segan untuk membunuhmu!” Seru Retnosari lantang.
“Nah, sekarang pulanglah kerumahmu masing-masing dan pergunakanlah kekayaan kalian untuk modal memperbaiki jalan hidup kalian!” Seru Pandan Kuning dengan sabar. Setelah itu pergilah mereka meninggalkan rombongan Joko Seno. Keesokan harinya pulanglah mereka dengan hati penuh kegembiraan. Dan setelah sampai didesa Kalung Pitung maka berpisahlah mereka.
“Adi Seno, kita berpisah disini saja,” kata Pandan Kuning dan Gagak Rimang.
“Kakang, aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kakang berdua.” Jawab Joko Seno terharu.
“Wulan, baik-baiklah kau membawa diri. Besok pada hari pernikahan kalian kami akan datang,” kata Gagak Rimang.
“Sudah Wulan, kami hendak kembali ke gua Melati,” kata Pandan Kuning minta diri.
“Kakang, besok setelah persoalanku beres semua, aku akan mengunjungi kalian, kakang.” Jawab Wulandari sambil menghapus air matanya. Setelah itu pergilah Pandan Kuning dan Gagak Rimang. Sedang Joko Seno, Barata, Wulandari dan Retnosari segera menemui Widati untuk membicarakan soal pribadinya.
*
* *
Malam hari.... Waktu itu keadaan desa Jalitunda digunung Tangkuban Prau kelihatan sunyi. Dimana-mana hanya tampak kelap-kelip yang menerangi pondok didesa itu. rumah-rumah tertutup rapat, keadaannya sunyi tenang 135 bagaikan ditelan keheningan malam. Padahal malam itu belumlah larut. Namun desa Jalitunda telah sesunyi kuburan. Ditengah-tengah sekitar itu hanya terdengar suara jangkrik, walang dan kadang-kadang suara burung hantu. Pada waktu itu adalah musim kemarau, hingga udara dingin menyusup tulang. Apa lagi angin bertiup sepoi-sepoi basah. Hingga menambah dinginnya keadaan itu. Makin lama makin jelaslah suara jangkrik, walang dan burung hantu. Sehingga menambah seramnya desa Jalitunda diwaktu malam.
Bagi orang yang belum mengenal desa ini akan bergidik dan meremanglah bulu kuduknya, karena takut. Tapi keadaan seperti ini telah biasa penduduk desa Jalitunda sendiri. Memang sudah menjadi kebiasaan bagi penduduk, sebab setelah matahari tenggelam tentu para penduduk masuk rumah dan istirahat. Maka disana-sini yang tampak hanya rumah- rumah yang tertutup. Tapi diatas desa itu tampaklah sebuah rumah yang masih terbuka pintunya. Lagi pula yang punya rumah masih duduk-duduk diluar. Rupa-rupanya udara yang dingin itu tak dapat mempengaruhi kedua orang itu. Mereka kelihatan sedang bercakap-cakap.
“Kakang, mengapa sampai begini malam Ariyani belum juga datang? Jangan-jangan ia mendapat kesukaran dijalan!” Tanya wanita itu dengan cemas.
Sudahlah, adi. Sebentar lagi tentu ia datang. Bukankah Ariyani dapat menjaga diri?” Jawab laki-laki yang diajak bicara.
“Tapi kakang, keadaan sekarang ini benar-benar gawat. Patroli Belanda saring lewat dibawah gunung ini.”
“Ah.... memang kejam Belanda-Belanda itu. Ada. saja alasan yang mereka pergunakan untuk menyiksa, membunuh dan memperkosa rakyat. Apa lagi Belanda-Belanda yang berkulit hitam. Adi, ingin rasanya aku menggabungkan diri pada Gusti Sultan Agurg di Banten, untuk menggempur musuh.” Seru laki-laki yang sedang bicara itu dengan penuh semangat.
“Akupun demikian, kakang! Akan kusumbangkan seluruh tenaga dan jiwa ragaku untuk jayanya Nusantara dan terusirnya penjajah.”
“Ha.... haa.... haa.... ternyata semangatmu masih bernyala-nyala seperti dulu, adi! Marilah kita mempersatukan tenaga kita untuk menggempur musuh. Tapi lebih baik lagi kalau kita dapat mempersatukan seluruh tenaga kaum ksatria diseluruh Tanah Jawa ini.”
“Betul kakang, pertama-tama kita harus menghubungi adi Joko Seno atau si Pendekar Budiman. Asal adi Joko Seno mau tentu lebih mudah lagi usaha kita untuk mempersatukan tenaga-tenaga seluruh ksatria Tanah Jawa ini.”
Siapakah suami-isteri itu? Mereka adalah Barata dan Wulandari yang sekarang telah menjadi suami-isteri yang bahagia. Malahan sudah berputera seorang. Barata adalah murid dari Singopati tokoh besar dari selatan. Dan Wulandari adalah murid dari Jayaningrat si Tabib Dewa.
136 Sewaktu mereka sedang asyik bercakap-cakap datanglah Ariyani yang sejak tadi mereka tunggu-tunggu.
“Ayah.... ibu. sedang membicarakan apakah kalian?”
“Ariyani kau bocah nakal! Dari manakah kau?” tegur Barata.
“Ayah, aku tadi hanya turun gunung sebentar dan melihat barisan Kumpeni yang lewat dibawah gunung ini,” jawab Ariyani manja.
“Yani, besok lagi kau tak boleh melihat barisan anjing penjajah itu. Tak tahukah kau, salah-salah kau dapat disiksa atau dibunuhnya?” tegur Wulandari dengan kuatir.
Seketika itu keadaan menjadi hening. Masing-masing baru tenggelam dalam perasaannya sendiri-sendiri.
Ariyani adalah seorang gadis lincah, bersikap aneh, cerdik cantik dan kepandaiannya tinggi. Dia adalah anak satu-satunya dari Barata dan Wulandari. Maka tak mengherankan kalau ia menjadi gadis manis dan berkepandaian tinggi. Sebab sejak kecil telah menerima gemblengan- gemblengan silat dari ayah dan ibunya.
“Ayah.... ibu.... telah lama aku ingin merantau, kapankah aku diijinkan pergi merantau?” tanya Ariyani memecah kesunyian.
“Ariyani anakku, janganlah kau tergesa-gesa untuk turun gunung. Kalau kau memang ingin turun gunung baiklah kau besok ikut kami pergi ke Semeru untuk menemui pamanmu Joko Seno dan isterinya yang bernama Retnosari,” Seru Barata kepada anak tunggalnya.
“Apakah paman Seno dan bibi Retnosari yang sering ayah ibu ceritakan itu?” Tanya Ariyani.
“Betul anakku. Bahkan kita akan mengunjungi kedua uwa gurumu digunung Muria.” Sambung Wulandari.
“Baik..... baik aku akan ikut kalian!” Jawab Ariyani dengan girang.
“Adi Wulan dan kau Yani sekarang istirahatlah dulu. Besok kalau tak ada aral melintang kita berangkat.” Seru Barata sambil masuk rumah.
Keesokan harinya sebelum fajar menyingsing pergilah mereka ketimur. Tujuan yang pertama ialah akan mengunjungi kedua kakak seperguruan dari Wulandari yang bernama Pandan Kuning dan Gagak Rimang. Keduanya ini tinggal di gua Melati Gunung Muria.
Tapi sekarang kedua kakak seperguruan Wulandari ini telah menjadi pendeta. Pandan Kuning bergelar Pendeta Kertopengalasan, dan Gagak Rimang bergelar Pendeta Kalinggopati.
“Ayah..... bukankah itu para perajurit Belanda?” Tanya Ariyani ketika berjumpa dengan patroli tentara Belanda.
“Sssttt ! diamlah Yani!” Jawab ayahnya memperingatkan.
Berkali-kali mereka berjumpa dengan patroli Belanda, namun Barata seanak isteri selalu menghindarkan diri dari kecurigaan mereka. Lama- lama sampailah mereka dikota Semarang.
Kota Semarang adalah kota pusat Kumpeni di Jawa Tengah. Maka dari itu makin hati-hatilah mereka dikota ini. Sebab sekali saja mereka dicurigai akan sukarlah untuk keluar dari sarang penjajah ini. Disana-sini yang 137 tampak hanyalah serdadu-serdadu Belanda. Setelah mereka sampai dialun- alun maka berserulah Ariyani :
“Ayah, marilah kita melihat perdagangan budak itu!” Kata Ariyani sambil lari kearah orang-orang yang berkerumun ditengah-tengah alun- alun itu.
“Hem..... anak manja tak tahu akan bahaya.” Gumam Barata sambil mengikuti dari belakang.
Setelah sampai disana maka tampaklah berderet-deret orang yang diperdagangkan.
“Mari-mari tuan silahkan pilih! Mereka ini masih muda-muda dan baik sekali untuk budak tuan-tuan!” Seru pedagang budak itu setelah mengetahui kalau banyak orang yang berkerumun disitu.
Tiba-tiba datanglah serombongan serdadu-serdadu Kumpeni.
“Hai yang ini kau jual berapa?” Tanya seorang Opsir Kumpeni yang bernama Herman de Wilde.
“Ah. ini si Parlan, murah saja tuan, hanya 50 Ringgit.”
“Mahal benar! Lagi pula orangnya kurus. Nih 25 Ringgit saja.” Seru Herman de Wilde sambil menyerahkan sebuah pundi-pundi.
“Ah, belum dapat tuan. Tambah sedikit lagi.” Seru pedagang itu. Tapi setelah ditambah 10 Ringgit lagi Parlanpun dikasihkan.
“Mari-mari tuan, siapa lagi yang akan membeli?” Teriak penjual budak
itu.
“Ayah, betapa kasihannya para budak itu. Manusia dijual oleh manusia.
Sungguh kejam orang itu.” Seru Ariyani sambil memegang gagang kerisnya. “Yani, akan apa kau?” Tegur ayah dan ibunya serentak.
“Ini tidak adil, maka dari itu kita harus memberantasnya.” Seru Ariyani sambil meloncat ketengah-tengah dan langsung menghadapi penjual budak itu. Betapa terkejutnya hati Batara dan Wulandari ketika melihat kenekatan anaknya ini.
“Hai, orang kejam lekas kau bebaskan orang-orang ini!” Seru Ariyani sambil menunjuk kepada para budak-budak itu.
“Apakah kau sudah gila?” Seru pedagang budak itu dengan heran. “Memang aku bisa menjadi gila kalau melihat kejadian ini.” Seru
Ariyani sambil menghunus kerisnya terus bergerak membebaskan para budak itu dengan jalan memutuskan tali pengikat tangan dan kakinya.
Betapa marahnya pedagang budak itu ketika melihat kejadian ini.
Segera ia mencabut goloknya.
“Anak gila terimalah golokku ini!” Teriak si penjual budak itu sambil mengayunkan goloknya kearah leher Ariyani.
Melihat anaknya terancam bahaya maka Barata dan Wulandari segera menolongnya. Tiba-tiba... tarr... tarr... tarr... terpentallah golok si pedagang budak itu. Dan terdengarlah suara orang ketawa.
“Ha... ha... ha... Teruskan pekerjaanmu itu, adik kecil!” Seru pemuda yang memegang sebuah cambuk. 138 “Bangsat, siapa kau?” Bentak pedagang itu dengan marah yang meluap-luap.
“Ha... ha... ha... cacing busuk, tadi kau memanggil adik kecil itu dengan sebutan gila, maka sekarang panggilah aku dengan Linglung saja.”
Mendengar perkataan pemuda bercambuk ini makin marahlah hati pedagang budak itu. Segera ia mengambil goloknya yang jatuh tadi dan langsung menerjang kearah pemuda bercambuk tadi.
Sementara itu keadaan alun-alun menjadi gempar. Bagi mereka yang tak mempunyai kepandaian cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Tapi bagi mereka yang mempunyai kepandaian tentu saja mereka ingin menyaksikan jalannya partempuran itu. Terutama sekali para serdadu Belanda.
Wesssttt... tarr... tarr... tarr... angin sambaran golok dan cambuk saling ganti-berganti, menyambar lawan. Wutt... golok pedagang budak itu menyambar dada pemuda bercambuk itu. Tapi segera pemuda bercambuk itu meloncat kebelakang hingga serangan pedagang budak itu dapat dipatahkan. Sambaran golok itu sangat kuat dan gerakan-gerakan dari pedagang budak itu sangatlah kacau. Hingga mudah saja bagi pemuda bercambuk itu untuk mendesaknya.
Memang kelihatannya pedagang budak itu tak tahu akan ilmu silat, ia hanya mengandalkan tenaganya yang besar dan kuat saja. Sedang lawannya adalah seorang pemuda yang mempunyai gerakan gesit, dan kelihatan kalau mempunyai ilmu silat tinggi.
Trang... tarr... tarr... aduh... tiba-tiba pemuda itu memperhebat serangannya dan ia berhasil pula merebut golok lawan, selagi lawannya sedang sempoyongan cepat ia menendang perut pedagang budak itu. Dengan tak ampun lagi jatuhlah pedagang budak itu sambil memegangi perutnya... darah segar mengalir dan sesaat kemudian nyawanyapun melayang.
Terkejutlah mereka yang melihat pembunuhan secara terang-terangan ini. Tiba-tiba terdengarlah seruan pemuda itu :
“Hai, kalian anjing-anjing penjajahpun harus mampus!” Sambil menerjang rombongan serdadu-serdadu Belanda yang berdiri disitu. Tarr... tarr... tarr... sebentar saja cambuknya telah merenggut tiga nyawa serdadu Belanda.
Melihat kejadian ini segera serdadu-serdadu yang lainnya mencabut pedangnya, untuk mengeroyok pemuda yang mengaku sebagai si Linglung tadi.
“Hai... kau berani membunuh serdadu Belanda? Tahukah kau akan hukumannya?” Bentak seorang opsir Belanda.
“Siapa kau bangsat!” Teriak yang lain.
“Jangan banyak omong. Hayo kalian hadapi aku, hai, anjing-anjing penjajah! Biar aku si Linglung akan melayani kalian.” Seru pemuda itu sambil memutar cambuknya.
139 Sebentar saja cambuk pemuda itu telah mematuk-matuk kearah lawannya. Gerakannya lincah dan dibarengi oleh pukulan-pukulan tangan kiri serta tendangan-tendangan kakinya. Ternyata kepandaian pemuda bercambuk tadi telah mencapai tingkat tinggi. Hingga serdadu-serdadu Belanda ini belum berarti apa-apa baginya... Tarr... Wahhh... Aduhhh... tiap sambaran cambuknya tentu ada yang menjerit kesakitan.
“Hi... hik... hik... bagus-bagus kakang Linglung, hajar terus mereka itu,” seru Ariyani.
Barata dan Wulandaripun kagum melihat permainan pemuda ini. Mereka sedang sibuk menebak-nebak siapakah sebenarnya pemuda ini? Dan murid siapa pula dia ini?
Tarr... tarr... tarr... Haa... haa... haa... mampus kau anjing buduk!” Seru pemuda itu sambil mengayunkan cambuknya hingga jatuh beberapa korban.
Melihat kegagahan dan kesaktian pemuda bercambuk ini melayanglah keberanian dan kegarangan para serdadu-serdadu Belanda. Dengan cepat mereka melarikan diri. Memang begitulah sifat licik mereka. Mereka tak mempunyai rasa tanggung jawab dan rasa setia kawan. Mereka bekerja hanya untuk mencari uang, pangkat dan derajat.
Tapi dengan cepat pemuda itu mengambil segenggam batu kerikil lalu dilemparkan kearah larinya para serdadu-serdadu tadi. Tiba-tiba terdengarlah jeritan dan gedebugan jatuhnya tubuh mereka dalam keadaan tak bernyawa.
“Hebat... hebat... siapakah namamu anak muda? Dan siapa pula gurumu?” tanya Barata dengan kagum.
“Paman, apa perlunya kau menanyakan namaku dan nama guruku?
Panggil saja aku Linglung.” Jawab pemuda itu.
“Hai Linglung, jangan kau kurang ajar terhadap ayah!” Bentak Ariyani. “Adik gila, segeralah kalian pergi, mungkin sebentar lagi mereka
datang bersama balabantuannya. Nah, selamat tinggal.” Seru pemuda itu terus berkelebat pergi.
“Penakut.... aku tidak ”
“Yani, mari kita segera pergi! Memang betul juga kata-kata si Pendekar Linglung tadi.” Seru Barata.
Betullah perkataan Pendekar Linglung tadi, setelah sesaat mereka pergi maka alun-alun telah dikepung oleh serdadu-serdadu Belanda. Kasihan mereka yang tak tahu apa-apa itu. Mereka inilah yang kejatuhan abu hangat dan menjadi sasaran kemarahan para serdadu Belanda.
“Hayo lekas katakan kemana perginya para pemberontak tadi?” Seru seorang tentara Belanda kepada seorang kakek.
“Sa.... sa saya tidak tahu tuan.” Jawabnya.
“Bohong!”
Plak !
“Lekas katakan kalau tak ingin kutampar lagi!”
140 “Betul tuan aku sungguh-sungguh tak tahu kemana perginya mereka tadi.”
Dukk....
“Memang ini yang kau pinta!” Seru serdadu itu sambil menendang perut kakek itu, hingga roboh pingsan.
“Bah.... manusia tak berguna perlu apa diberi hidup.” Seru serdadu Belanda itu dengan mengayunkan pedangnya.
Tiba-tiba.... Aduh.... Bummm.... aneh bukan kakek itu yang mengaduh tetapi malah serdadu Belanda itulah yang mengaduh kesakitan. Dan tak antara lama lagi nyawanya melayang. Melihat peristiwa ini makin kalaplah para serdadu Belanda lainnya.
“Bangsat siapa yang berani main gila disini?”
“Ha... haa... haa.... kunyuk-kunyuk penjajah marilah kuantar kalian keneraka!” Seru seorang pemuda yang bercambuk.
“Hai inilah pemuda yang mengacau tadi!” Teriak serdadu yang lain. Seperti sudah berjanji lebih dahulu maka mereka langsung mengurung pemuda bercambuk itu.
“Monyet menyerahlah! Lihat kau telah terkepung!” Bentak salah seorang serdadu yang mengepungnya.
Memanglah sangat tak menguntungkan sekali kedudukan anak muda ini. Sebab dua puluh orang lebih telah mengurungnya. Melihat kejadian ini segera pemuda itu mencabut pedangnya. Hingga kini tampaklah kalau pemuda itu telah siap dengan pedang ditangan kirinya dan cambuk ditangan kanannya.
Tarr.... tarr.... tarr.... Wesss..... segera pemuda itu memainkan kedua senjatanya dan berseru dengan lantang : “Ha.... haa.... haa.... aku Linglung pantang manyerah kepada kaum penjajah!” Sebentar saja hilanglah tubuhnya terbungkus oleh kedua sinar senjatanya. Gerakannya gesit, lincah bagaikan burung layang-layang mencari mangsa. Trangg.... wess Aduh!
Banyak pedang musuh yang berterbangan setelah bertemu dengan kedua senjata Pendekar Linglung tadi. Trakk... bukk... tarr... tarr... Aduh. Bunyi
beradunya senjata dan jerit kesakitan para serdadu saling susul menyusul dengan tiada henti-hentinya. Tanah sekitar pertempuran itu menjadi merah warnanya. Makin lama makin serulah jalannya pertandingan itu. Kurang lebih sepuluh orang telah mati terbunuh oleh pemuda Linglung itu. Tiba-tiba terdengarlah seorang berteriak : “Tahan!” Bersama dengan lenyapnya suara itu berkelebatlah seorang tinggi besar yang memegang
penggada memasuki lapangan.
“Hai, anak liar siapa kau?” Bentak pendatang itu.
“Ha.... ha.... haa. rupa-rupanya kaupun sebangsa anjing penjilat pantat
penjajah pula.” Seru pemuda itu sambil mengejek.
“Bangsat! Aku bertanya kau tak menjawabnya! Nih terimalah perkenalan dari Urang Watang!” Sehabis berkata demikian itu segeralah ia mengayunkan penggadanya kearah kepala Linglung. Tapi cepat pemuda bercambuk itu menggerakkan pedangnya untuk menangkis dan 141 cambuknya untuk menyerang leher lawan. Trang... tarr... terdengarlah suara letusan cambuk diudara dan beradunya senjata. Sebab sebelum ujung cambuk Pendekar Linglung menemui sasaran yang tepat Urang Watang telah melemparkan dirinya kebelakang hingga ia selamat dari ancaman cambuk lawannya.
“Bagus, rupa-rupanya kau mempunyai sedikit kapandaian juga.” Seru Urang Watang dengan jumawa.
“Jangan banyak mulut! Mari kita mengadu kepandaian untuk menentukan siapakah yang lebih gagah dari pada kita. Anjing Belanda ataukah Anti Belanda.” Seru Pendekar Linglung.
“Bangsat! Bocah tak tahu diuntung! Kau kira aku takut kepadamu?” Bentak Urang Watang.
Kembali keduanya saling berpandangan. Tak lama kemudian keduanya telah saling serang-menyerang. Urang Watang memutar penggadanya dengan hebat. Debu-debu berterbangan kena sambaran angin penggada itu. Gerakannya tangkas dan kuat serta meyakinkan.
Sedang gerakan Pendekar Linglung adalah gesit, lincah dan setiap serangannya marupakan maut yang mengintai bagi Urang Watang. Keduanya bertempur bagaikan harimau melawan garuda. Wess Urang
Watang mengayunkan penggadanya dengan kacepatan yang luar biasa. Ia telah yakin kalau serangannya ini pasti akan membobolkan dada lawannya. Tapi betapa terkejutnya hati Urang Watang ketika melihat penggadanya hanya mengenai tempat kosong belaka. Sebab Pendekar Linglung telah lebih dahulu melompat kebelakang dan bergulingan ditanah.
Betapa kagumnya hati Urang Watang melihat kegesitan lawannya dalam bergulingan diatas tanah. Licin bagaikan belut. Cepat bagai kilat Pendekar Linglung kembali meloncat dan berdiri lagi. Tapi Urang Watang cepat-cepat menyerangnya lagi.
Kembali Pendekar Linglung memperlihatkan ketangguhannya. Cepat tangan kirinya menangkis penggada Urang Watang. Trangg betapa
terkejutnya hati antek Belanda itu ketika melihat datangnya cambuk yang dipegang oleh tangan kanan Pendekar Linglung.
Namun Urang Watang adalah murid tokoh sakti dari barat. Bertahun- tahun ia digembleng oleh Arya Cempaka dipulau Sempu. Karena kekalahannya oleh Barata murid Singopati, maka Arya Cempaka yang bergelar Iblis Pencabut Nyawa pergi melabrak ke gunung Kidul. Dan dalam kepergiannya itu Arya Campaka menemukan kitab pelajaran silat yang ditinggalkan oleh Iblis Merah. Tapi akhirnya Arya Cempaka mati terbunuh oleh Joko Seno yang bergelar Pendekar Budiman disuatu pertandingan besar antara tokoh-tokoh di puncak Merbabu bertahun-tahun yang lalu. Untunglah Urang Watang segera jongkok hingga ujung cambuk Pendekar Linglung hanya mengenai tempat kosong belaka. Andaikata gerakannya tadi agak lambat sedikit saja, maka nyawanya akan melayang akibat totokan jalan darath dilehernya. Setelah Urang Watang dapat memperbaiki kedudukannya, maka segera ia memutar penggadanya kembali. Dan 142 dengan hebat ia menyerang Pendekar Linglung. Penggada itu berputar bagaikan angin dingin menyambar-nyambar cepat sekali karena penggada itu digerakkan oleh tenaga yang kuat. Tapi gerakan pemuda yang gesit ini dapat menyelamatkan dirinya dari setiap serangan penggada lawannya.
Tiba-tiba tarr..... tarr..... Cepp..... Aduhh. terdengarlah lecutan cambuk
ditangan kanan Pendekar Linglung yang bergerak dengan cepat hingga pedang yang dipegang ditangan kirinya berhasil menusuk lambung Urang Watang. Dan akibatnya melayanglah nyawa Urang Watang ditangan Pendekar Linglung.
“Ha..... ha..... ha..... siapa lagi yang ingin mati majulah!” Seru Pendekar Linglung dengan lantang.
Tiba-tiba..... Darr..... Aduhh..... Jatuhlah si Pendekar Linglung karena punggungnya kena tembak Serdadu Belanda yang berada dibelakangnya.
“Mari kawan-kawan kita ringkus saja pemberontak ini!” Teriak seorang serdadu Belanda.
“Apakah tidak lebih baik kalau kita bunuh sekarang saja?” Tanya yang lain. “Jangan, kita bawa saja ketangsi!” Seru penembak tadi.
Sebentar saja kaki dan tangan Pendekar Linglung telah terikat dengan erat. Tapi dari kesekian pasang mata hanyalah ada sepasang mata saja yang selalu memperhatikan keadaan Pendekar Linglung itu. Dengan diam- diam orang itu mengikuti kemana saja Pendekar Linglung dibawa. Ternyata orang yang telah memperhatikan Pendekar Linglung itu adalah seorang kakek. Kalau dari gerak-geriknya, maka akan tampaklah kala kakek itu adalah seorang jago silat. Sebab gerakannya gesit dan lincah bagaikan gerakan seekor kera. Kakek itu terus mengikuti dari belakang. Setelah para serdadu itu sampai disebuah tingkungan,maka kakek itu melompat dan menyambar tubuh Pendekar Linglung dari pondongan serdadu Belanda.
Wess.....
“Bangsat! Tawanan kita diserobot orang!” Teriak serdadu yang membopong tadi.
“Kejar penculik itu!” Seru mereka serempak. Tapi gerakan kakek itu amatlah hebat dan cepat, hingga sebentar saja mereka telah kehilangan jejak. Disana-sini terdengarlah keluhan dan gerutu para serdadu Belanda.
“Mari kita pulang dulu ketangsi dan kita laporkan kejadian kepada Letnan Van Boerg.” Seru Blouwer yang memimpin serdadu-serdadu itu. Setelah itu maka pergilah mereka meneruskan perjalanannya menuju ketangsi. *
* *
Siapakah kakek penolong Pendekar Linglung itu? Dan siapa pulakah pemuda yang sakti itu? Sabarlah sebentar anda menanti. 143 Lama tubuh Pendekar Lingluag dibawa lari oleh kakek itu. Makin lama makin cepat lari kakek itu. Akhirnya bagaikan terbang saja kakek itu berlari kearah selatan. Setelah sampai didaerah Ungaran segera kakek itu memperlambat larinya. Tapi setelah mulai mendaki gunung Ungaran segera kakek itu jalan biasa, menuju kepondok.
Dipondok inilah kakek itu mulai mengobati luka Pendekar Linglung dengan sabar dan telaten. Akhirnya setelah menginjak pada hari yang keenam maka mulailah Pendekar Linglung dapat diajak bercakap-cakap.
“Kakek, berada dimanakah aku ini sekarang?” Tanya Pendekar Linglung kepada penolongnya.
“Tenanglah angger, kau berada dipondokku. Dan pondokku ini berada dipuncak gunung Ungaran.”
“Ungaran? Bukankah baru saja aku menghadapi anjing-anjing Belanda di alun-alun Semarang?”
“Benar angger, enam hari yang lalu kau bertempur dengan serdadu Belanda. Dan akhirnya kau kena tembak dan lalu ditawan oleh serdadu- serdadu Belanda itu.” Mka berceritalah kakek itu kepada Pendekar Linglung tentang kejadian yang menimpa Pendekar Linglung.
“Ah kakek, aku sangat berterima kasih atas pertolongan yang telah kakek berikan kepadaku. Dan bolehkah aku mengetahui nama besar kakek yang baik?” Tanya Pendekar Linglung.
“Namaku adalah Jayasengara! Dan siapakah namamu anak muda?” “Ugrasena. Dan orang memanggilku sebagai Linglung.”
“Kalau aku tak salah lihat, bukankah kau tadi memainkan ilmu pedang Naga Angkasa sewaktu melawan musuh-musuhmu itu?” tanya Jayasengara. “Ah..... sungguh-sungguh tajam mata kakek. Memang waktu itu aku memainkan ilmu pedang Naga Angkasa untuk melawan para pengeroyok.”
Jawab Ugrasena.
“Tapi dari manakah kau dapat memainkan ilmu pedang itu?” “Ilmu pedang ini kuterima dari ayahku.” Jawab Ugrasena.
“Dan bolehkah aku mengetahui nama ayahmu?” kembali Jayasengara bertanya.
“Maaf kakek yang baik, sekali ini aku tak dapat mengatakan siapa sebenarnya ayahku itu.” Jawab Ugrasena.
“Apakah ayahmu sendiri yang menyuruhmu supaya kau merahasiakan namanya?” Tanya Jayasengara.
“Betul, kakek.”
“Ha.... ha.... haa.... tak mengapa angger! Sungguh amat hati-hati sikap ayahmu itu, angger. Tapi aku yakin tentu ayahmu seorang pendekar juga.
Maka setelah lenyap suara Jayasengara tadi keadaan menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tiba-tiba terdengarlah suara Ugrasena memecah kesunyian.
“Kakek, apakah kau tinggal disini sendirian?”
144 “Betul angger, setelah kedua muridku turun gunung kini tinggalah aku sendirian ditempat yang sunyi ini.” Jawab Jayasengara. Setelah berhenti sejenak segera Jayasengara meneruskan perkataannya.
“Muridku yang tertua adalah Sindung Laut dan yang lainnya Undung Kalayaksa. Kedua orang itu adalah orang-orang yang patuh dan tekun mempelajari segala ilmu yang kuturunkan kepada mereka. Tapi betapa sedih hatiku ketika mendengar kabar kalau kedua muridku itu telah membantu Belanda. Maka dari itu aku segera turun gunung untuk membuktikan apakah berita yang kudengar itu benar? Tapi di Semarang aku telah mendapat kabar yang dapat dipercaya kalau kedua muridku ini memang benar-benar telah bekerja sama dengan Belanda. Bahkan mereka sekarang berada di Batavia. Maka untuk menghibur hatiku yang sedang susah itu aku segera pergi kealun-alun dan disana aku melihat sepak- terjangmu yang mengagumkan. Dan akhirnya aku berhasil menolongmu dari tangan para penjajah itu angger!” Seru Jayasengara dengan sedih.
“Ah sungguh kasihan sekali paman Sindung Laut dan paman Undung Kalayaksa yang telah tersesat jauh itu. Apakah kedua paman itu belum mengetahui kekejaman Belanda?” Tanya Pendekar Linglung.
“Memang angger, mereka itu buta akan hal ini. Untung aku belum menurunkan pedang Naga Angkasa kepada mereka.”
“Apa, ilmu pedang Naga Angkasa? Apakah kakekpun dapat memainkan pula ilmu pedang itu?” Tanya Ugrasena dengan kaget.
“Betul, angger.” Jawab Jayasengara sambil menganggukkan kepalanya. “Mungkin sebelum ayahmu dapat memainkan ilmu pedang itu aku telah dapat. Sebab didunia ini hanya ada dua orang saja dapat memainkannya.” Jawab Jayasengara.
“Dari mana kakek mempelajarinya?” Tanya Ugrasena setengah tak percaya.
“Panjang angger, ceritanya! Apakah kau tak bosan mendengarkannya?” Tanya Jayasengara.
“Tidak kakek, bahkan aku akan sangat senang mendengarnya.” “Dahulu kira-kira tujuhpuluh tahun yang lalu didunia persilatan hanya
terdapat dua orang saja yang dapat memainkan ilmu pedang Naga Angkasa. Adapun orang-orang itu ialah aku dan kakang Baskara, kakak seperguruanku. Dan kuakui kalau aku dapatnya memainkan ilmu pedang itu karena kakang Baskara yang mengajarinya. Karena ilmu pedang Naga Angkasa itu adalah ilmu pedang tingkat tinggi. Bahkan peninggalan pendekar sakti Bayu Sakti. Maka kami berdua dapat merajai dunia persilatan. Hampir tak ada ilmu pedang yang dapat menandingi kehebatan ilmu pedang Naga Angkasa ini. Tapi mana ada sesuatu didunia ini yang kekal? Akhirnya kakak seperguruanku mati terbunuh oleh Dendopati dan Aswotunggal.”
“Bukankah Eyang Baskara itu terjatuh didalam jurang dekat desa Kepanjen?” Tanya Ugrasena.
“He. mengapa kau tahu?” Seru Jayasengara dengan heran. 145 “Dan Eyang Baskara itu dulu bergelar Pacar Biru?” potong Ugrasena. “Betul,” Seru Jayasengara bertambah heran.
“Oh.... Eyang Jayasengara maafkanlah kekurangajaranku selama ini. Tak kusangka kalau aku akan dapat bertemu dengan eyang.” Seru Ugrasena dengan penuh hormat.
Melihat kejadian ini makiin bertambah heranlah hati Jayasengara. Tapi seketika itu juga bertambahlah rasa simpati dan suka Jayasengara kepada Ugrasena.
“Apakah yang menyebabkan kau menjadi terkejut angger Ugrasena?” Tanya Jayasengara.
“Eyang Jayasengara, sebetulnya ayahku adalah murid tunggal dari Eyang Pacar Biru.” Maka berceritalah Ugrasena tentang ayahnya yang diambil murid oleh Pacar Biru.
“Ah.... jadi ayahmu itu murid kakang Baskara? Dan kakang Baskara belum meninggal? Tuhan Maha Pengasih!” Desis Jayasengara dengan perasaan terharu. Kembali keadaan menjadi hening.