Bab 13 : Putra Mahkota
Semenjak pengadilan selesai. Latihan-latihan dan pendidikan rohani dijalankan kembali seperti biasa. Pangeran Muda, di samping belajar, juga membantu pekerjaan para panakawan, sesuai dengan keputusan pengadilan puragabaya itu. Hukuman itu dilaksanakan bukan saja dengan tabah, tetapi bahkan dengan kegembiraan.
Pertama, karena di masa kanak-kanak sering sekali Pangeran Muda ingin membantu panakawan-panakawan di Puri Anggadipati, walaupun hal itu tidak pernah terpenuhi berhubung terlarang bagi seorang bangsawan melakukan pekerjaan-pekerjaan jasmani, selain berburu dan berperang. Kedua, ternyata hukuman macam itu memperkaya rohaninya karena dengan bergaul lebih dekat dengan para panakawan, Pangeran Muda jadi lebih mengenal mereka. Pangeran Muda merasakan apa yang menjadi perasaan mereka, ikut memikirkan apa yang menjadi masalah mereka, ikut berhasrat membantu mencapai cita-cita mereka. Sebelumnya rakyat kecil adalah orang asing bagi Pangeran Muda, padahal menurut perintah agama maupun perintah kerajaan, mereka ini dititipkan oleh Sang Hiang Tunggal dan sang Prabu kepada para bangsawan.
Bagaimana para bangsawan dapat melayani orang-orang kecil ini seandainya mereka tidak kenal pada suka-duka mereka? Sekarang barulah Pangeran Muda menyadari bahwa cerita-cerita tentang bagaimana sang Prabu sering menyamar dan hidup beberapa waktu di antara rakyat bukanlah khayalan. Sang Prabu yang bijaksana tentu menyadari bahwa hidup di tengah-tengah masyarakat kecil merupakan sesuatu yang berharga bagi beliau sebagai raja yang harus menjadi bapak mereka. Sedang bagi seorang raja, mengenal anak negerinya adalah kewajiban yang dibebankan oleh Sang Hiang Tunggal. Itulah sebabnya Pangeran Muda bersyukur karena telah dihukum. Maka selama enam bulan Pangeran Muda menjalankan hukuman itu dengan tabah dan gembira.
Pada suatu hari, setelah latihan perkelahian, pengeroyokan, dan ketangkasan, para calon dikumpulkan di lapangan, dan Eyang Resi yang tidak biasa hadir, hari itu keluar dari dalam candi dan langsung berbicara kepada mereka,
"Anak-anakku, latihan di padepokan untuk gelombang pertama sudah dianggap selesai. Kalian sudah diperlengkapi dengan ketangkasan dalam mengatasi rintangan-rintangan alam, seperti sungai-sungai, jurang-jurang, hutan-hutan, dan rawa-rawa. Yang lebih penting lagi, kalian sudah dilengkapi dengan penguasaan gerak dengan berbagai polanya, hingga kalian akan menjadi prajurit-prajurit yang sukar dikalahkan. Kalian akan ditakuti oleh mereka yangjahat, tetapi kalian pun adalah calon-calon pendeta yang akan menjadi sumber kedamaian bagi anak negeri kerajaan. Akan tetapi, segala ilmu yang kalian dapat selama ini belumlah benar-benar kalian kuasai karena kalian belum menghayati penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari di dunia luas. Seperti juga keharusan yang dijalani oleh calon-calon yang terdahulu, kalian akan dilepaskan ke dunia luas untuk waktu tiga tahun lamanya, sebelum kalian dipanggil kembali, untuk melanjutkan pendidikan tingkat yang lebih tinggi di padepokan ini.
"Minggu depan upacara akan dilakukan, dan kalau Sang Hiang Tunggal menghendaki, Putra Mahkota akan hadir menyaksikan upacara pelepasan kalian."
Demikian penjelasan Eyang Resi yang diterima dengan gembira oleh para calon kecuali Jante.
Pangeran Muda yang keheranan bertanya kepada Jante, mengapa berita itu menyebabkannya berkecil hati. Akan tetapi, Jante tidak memberikan penjelasan. Ia hanya mengatakan bahwa Pangeran Muda tidak akan dapat membantu menyelesaikan masalahnya. Pangeran Muda tidak mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan karena Pangeran Muda tahu, Jante adalah orang yang sangat tertutup. Jadi, Pangeran Muda membiarkannya murung seorang diri.
Pada hari yang ditetapkan datanglah rombongan Putra Mahkota ke padepokan. Rombongan terdiri dari Putra Mahkota dikawal oleh empat orang puragabaya yang mereka kenal, yaitu puragabaya Geger Malela, Rangga Sena, Girang Pinji, dan Rangga Gempol. Di samping itu, datang pula beberapa orang bangsawan muda dan beberapa panglima jagabaya serta prajurit-prajurit.
Mereka disambut dengan upacara sederhana oleh seluruh isi padepokan.
Selama itu, perhatian Pangeran Muda tertuju pada Putra Mahkota, yang ternyata sangat jauh dari apa yang dibayangkannya. Putra Mahkota yang sebaya dengannya adalah pemuda yang ramah dan sangat sederhana. Dalam pakaian maupun tindak-tanduk tidaklah tampak ia berbeda dengan pangeran-pangeran lain yang menemaninya. Satu hal saja yang membedakannya dengan mereka, yaitu senjata kecil yang disandang di pinggangnya, yang dikenal dengan nama Kiai Tulang Tong-gong Pajajaran, sebuah badik indah yang sarungnya terbuat dari kayu berukir emas.
Setelah upacara sederhana itu, Putra Mahkota bergaul dengan bebas dengan para calon. Pada kesempatan mengobrol, Pangeran Muda sempat bertanya, apakah Pangeran Rangga Wesi, calon iparnya ikut serta?
"Rangga Wesi yang mana? Sahabat saya yang bernama Rangga Wesi dengan menyesal tidak dapat menggabungkan diri karena ia seorang murid yang baik dan harus menyelesaikan pelajarannya sebagai calon pejabat kerajaan. Oh, iya, ia menitipkan salam kepada seorang yang bernama Anggadipati, seorang calon puragabaya," kata Putra Mahkota. "Hambalah Anggadipati, Yang Mulia," ujar Pangeran Muda.
"Kalau begitu, saya berhadapan dengan orang yang berkepentingan, syukurlah, ia ingin sekali bertemu dengan Saudara."
"Saya pun sangat ingin bertemu dengannya, Yang Mulia."
"Ia anak yang baik, Anggadipati. Ia mengemban kebangsawanannya dengan tabah, dan orang- orang tua berkata baik tentangnya," kata Putra Mahkota.
"Hamba senang sekali mendengar hal itu, Yang Mulia, karena ia adalah calon ipar hamba. Ia bertunangan dengan Ayunda Ringgit Sari."
"Oh, iya, hampir saya lupa. Jadi, kau adik Ayunda Ringgit Sari? Maaf saya lupa, maklum banyak sekali bangsawan yang harus dikunjungi dan karena banyaknya, sering tertukar satu sama lain.
Saya pun harus menyampaikan salam kepada ayahanda Anggadipati. Beliau sangat bijaksana," kata Putra Mahkota, lalu beliau melanjutkan percakapan beliau tentang Pangeran Rangga Wesi.
"Bagaimanapun kebangsawanan adalah beban bagi kita semua, Anggadipati. Kiranya kau pun telah merasakannya sekarang. Semula saya menyangka seorang bangsawan adalah seorang yang memiliki hak istimewa dalam masyarakat. Ia terhormat, berwibawa, dimuliakan. Ya. Akan tetapi ternyata kemudian, segala kemuliaan yang diberikan oleh masyarakat kepada bangsawan tidaklah diberikan cuma-cuma. Sang Hiang Tunggal memilih sekelompok kecil manusia yang disebut bangsawan untuk mengabdi kepada masyarakat yang banyak itu. Dan pelaksanaan pengabdian ini bukanlah suatu tugas yang ringan. Saya pun mendengar, tiga orang bangsawan muda telah menjadi korban dalam latihan-latihan di sini. Baru dalam melatih diri sudah jatuh sebagai korban, apalagi kalau sudah melaksanakan tugas yang sebenarnya.
"Akan tetapi, sebagai orang yang beriman kepada Sang Hiang Tunggal, kita usung beban kebangsawanan kita ini dengan tabah, gembira, dan rasa syukur. Karena dengan kebangsawanan kita itulah, kita akan menyumbangkan hal-hal yang baik bagi kehidupan ini. Bayangkan, kalau kita bukan seorang bangsawan, saya yakin, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kita yang hanya biasa mempergunakan otak serta senjata tidak mungkin dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh rakyat banyak, seperti bercocok tanam, membuat kerajinan yang indah- indah dan sebagainya. Anggadipati, arti hidup kita terletak pada pengabdian kita kepada masyarakat, dan hal itu kita lakukan sebagai seorang bangsawan, yaitu golongan yang harus menguasai ilmu kenegaraan dan ilmu kepanglimaan. Akan tetapi, sebagai puragabaya tugasmu lain dengan bangsawan-bangsawan lain. Engkau harus menjadi seorang pahlawan dan pendeta sekaligus. Itu adalah tugas yang sangat berat dan oleh karena itu, saya menaruh hormat kepada kalian. Dan marilah, kalau kau sudah lulus dari pendidikan ini, kita bahu-membahu melaksanakan tugas kita, memberi arti kepada hidup kita yang sebenarnya sangat singkat ini," kata Putra Mahkota sambil tersenyum.
Mendengar obrolan Putra Mahkota itu, terpukaulah Pa-' ngeran Muda. Putra Mahkota sebaya dengannya, tetapi jelas pengetahuannya tentang berbagai hal jauh melebihinya. Rasa hormat Pangeran Muda makin tinggi juga, sementara itu kera-mahtamahan dan kesederhanaan Putra Mahkota tidak mengilhamkan perasaan lain, kecuali perasaan cinta dan keinginan mengabdi.
Pangeran Muda berkesimpulan, Sang Hiang Tunggal telah memberikan cahaya lain ke dalam mata Putra Mahkota, hingga dengan pandangannya yang lembut dan ramah itu menjadi lembutlah hati mereka yang berhadapan dengannya.
Rupanya demikian juga kesan calon-calon puragabaya yang lain terhadap Putra Mahkota, yang kehadirannya di padepokan menjadi buah bibir mereka untuk beberapa lama.
MALAM itu juga upacara selesainya latihan gelombang pertama dilakukan dengan disaksikan rombongan Putra Mahkota. Sore itu para panakawan dan para calon dengan dipimpin oleh keempat puragabaya mempersiapkan gelanggang untuk upacara itu.
Gelanggang itu dibuat di tengah-tengah lapangan yang dikelilingi oleh candi dan bangunan- bangunan lain di padepokan. Gelanggang itu berbentuk lingkaran kecil yang bergaris tengah kira- kira tujuh langkah. Di luar lingkaran itu diletakkan kayu-kayu bakar banyak sekali, yang telah diperciki dengan minyak kelapa. Hanya di suatu tempat dibuat celah kecil untuk jalan keluar atau masuk ke dalam lingkaran itu. Ketika malam turun, dan setelah sembahyang bersama dilakukan, kedua belas orang calon diperintahkan untuk duduk di sekeliling lapangan, bersama-sama dengan rombongan Putra Mahkota. Setelah segalanya siap, Eyang Resi maju ke muka, lalu berkata, "Putra Mahkota yang kami muliakan, para bangsawan dan rombongan para calon, suatu saat yang penting dalam pendidikan akan segera kita lalui, yaitu di mana para calon akan memperlihatkan hasil didikan yang mereka dapatkan di padepokan ini. Satu per satu calon akan dimasukkan ke dalam gelanggang. Mereka harus berusaha keluar dari gelanggang secepat mungkin, setelah dapat meloloskan diri dari puragabaya yang akan bergiliran menjadi penghalang mereka. Dalam usahanya tersebut, setiap calon diperkenankan mempergunakan segala ilmu yang didapatnya di padepokan, termasuk pukulan-pukulan atau tendangan-tendangan yang mematikan." Setelah berkata demikian, Eyang Resi mengundurkan diri dan duduk di samping Putra Mahkota.
Maka terdengarlah Pamanda Anapaken berseru, "Rangga!"
Majulah Rangga ke depan, bersamaan dengan itu berdiri pula puragabaya Rangga Gempol. Rangga diperintahkan untuk memasuki gelanggang, demikian juga puragabaya Rangga Gempol dipersilakan. Setelah mereka berada di dalam lingkaran itu, mereka memberi hormat kepada Putra Mahkota dan Eyang Resi. Tak lama kemudian Pamanda Anapaken berseru kepada Mang Ogel yang segera datang membawa obor. Dengan obor yang berkobar-kobar, Mang Ogel berjalan di depan para hadirin, kemudian setelah memberi hormat kepada Putra Mahkota dan Eyang Resi, ia berjalan dengan obor itu ke arah gelanggang Kayu bakar yang bertumpuk-tumpuk mengelilingi gelanggang itu disulutnya, dan dalam sekejap berko-bar-kobarlah api dari kayu kering yang telah disiram minyak kelapa. Rangga dan puragabaya Rangga Gempol yang berada di tengah-tengah gelanggang hanya dari pundak ke atas saja tampak di antara lidah-lidah api yang keemasan dan merah itu. Mereka berhadapan di sana, dan setelah mendengar seruan Pamanda Anapaken, "Mulai!" Rangga pun mulailah dengan serangan, dalam usahanya keluar dari lingkaran api itu, melalui celah yang kecil di mana tidak ada api menyala.
Perkelahian yang singkat tapi seru itu diakhiri dengan loncatan Rangga keluar gelanggang dengan melalui celah itu. Para hadirin bertepuk, sementara Rangga terduduk kelelahan.
Kemudian berturut-turut calon-calon dipanggil, dan setelah melalui perkelahian yang menegangkan, mereka umumnya berhasil keluar dari gelanggang yang dikelilingi api itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Kemudian terdengarlah Pamanda Anapaken berseru, "Anom!"
Pangeran Muda pun memasuki gelanggang melalui celah yang tidak berapi. Ketika itu puragabaya Geger Malela digantikan oleh puragabaya Rangga Sena yang mengikuti Pangeran Muda memasuki gelanggang itu. Setiba di dalam, mereka bersiap-siap, kemudian seruan "Mulai!" terdengar dari luar. Maka bersiap-siaplah Pangeran Muda.
Ternyata puragabaya Rangga Sena tidak berdiri di muka celah tempat meloloskan diri.
Puragabaya itu berdiri di suatu tempat dekat celah itu, seolah-olah mempersilakan Pangeran Muda untuk melompat keluar dari lingkaran api itu. Pangeran-Muda segera menyadari bahwa itu hanyalah pancingan, dan karena itu tidak mempergunakan kesempatan yang berbahaya itu, tetapi langsung mendekati puragabaya itu dari samping dan menyerangnya dengan gerakan mendorongnya ke dalam api. Akan tetapi, begitu tangan Pangeran Muda terjulur, tangan itu ditangkap dan ditarik hingga tubuh Pangeran Mudalah yang hampir terlempar ke dalam api.
Untung Pangeran Muda waspada, berat badannya dibelokkan dan diarahkan ke tubuh puragabaya itu. Pangeran Muda maju menyerang mempergunakan tarikan tangan puragabaya itu.
Lawan yang waspada sedikit mundur dan menepuk sikut itu dalam rangka menjatuhkan Pangeran Muda. Dengan tepukan itu, Pangeran Muda terdorong dekat sekali ke dalam api. Panas api menjilat-jilat pipinya. Sementara itu, dengan cepat puragabaya Rangga Sena menyerangnya dari muka, dengan gerakan melebar, tidak memberi kesempatan pada Pangeran Muda untuk meloloskan diri ke tengah-tengah gelanggang kembali. Diserang demikian Pangeran Muda tidaklah gugup. Diperlihatkannya gerakan-gerakan seolah-olah ia sedang kebingungan. Gerakan-gerakan ini menyebabkan puragabaya Rangga Sena lebih bersemangat menyerangnya dan mulai melakukan gerakan yang tujuannya menjatuhkan Pangeran Muda ke dalam api. Serangan yang bersemangat ini merupakan kelemahan, dan dengan serudukan lurus, gerakan-gerakan yang menghalangi dan mengurung dari puragabaya Rangga Sena dapat ditembus. Karena serudukan lurus tidak akan dapat ditahan, Rangga Sena terpaksa menghindar dengan menangkap tangan Pangeran Muda serta membantingnya. Akan tetapi, bantingan ini dilakukannya di tengah-tengah gelanggang, hingga Pangeran Muda bebas menghadapi celah tempat keluar.
Akan tetapi, segera Rangga Sena menyadari kesalahannya, dan dengan lompatan sudah berada dekat Pangeran Muda dan berusaha mengisi tempat antara Pangeran Muda dengan celah itu.
Sekarang Pangeran Mudalah yang melakukan gerakan-gerakan menghalangi. Ternyata, usaha keluar tidak menjadi lebih mudah, walaupun Pangeran Muda sekarang berdiri membelakangi celah tempat lolos itu. Setiap gerakan meloloskan diri akan memberi kesempatan pada Rangga Sena untuk melakukan serangan yang tidak akan dapat dihindarkan kecuali dengan masuk ke dalam api. Maka berpikirlah Pangeran Muda dengan keras.
Akhirnya, diputuskanlah untuk melakukan serangan kembali, dengan tujuan mendesak Rangga Sena ke suatu tempat di samping celah itu. Pangeran Muda melakukan serangan lurus, yang dihindarkan dengan lompatan ke samping oleh Rangga Sena. Ia kemudian berusaha mendekati celah itu. Pangeran Muda yang sudah meramalkan hal itu segera menutupnya. Sekarang mereka berhadap-hadapan kembali, tetapi Pangeran Muda sekarang berdiri dengan celah itu di sampingnya. Rangga Sena sadari telah terpancing, ia mulai bergerak ke tengah-tengah gelanggang agar dapat menghadapi Pangeran Muda yang terpaksa akan membelakangi celah itu kembali. Akan tetapi, baru saja ia melangkah satu langkah, dengan secepat kilat Pangeran Muda melompat, meloloskan diri ke luar gelanggang.
Seperti juga sebelumnya, para hadirin bertepuk, sementara Pangeran Muda kelelahan di luar gelanggang. Rangga Sena keluar dari gelanggang, mengulurkan tangan dan ketika mereka bersalaman puragabaya itu berkata dengan tulus, "Kau licin sekali, Anggadipati."
"Terima kasih atas pujian itu, Kakanda."
"Saya tidak memuji, hanya mengatakan yang sebenarnya." "Tetap saja saya berterima kasih."
Upacara itu pun dilanjutkan, dan para calon keluar masuk gelanggang, kadang-kadang keluar dengan pakaian yang terbakar, kadang-kadang dengan rambut yang hangus, tetapi semua dapat mengatasi rintangan dalam waktu yang singkat.