Bab 12 : Pengadilan
Setelah bersama-sama mendengarkan nyanyian tukang pantun itu, para bangsawan muda membuat perjanjian lagi. Mereka merencanakan acara mengail di danau yang berada tidak jauh dari Puri Anggadipati, dan malam itu juga perbekalan disiapkan. Mang Ogel yang tertarik oleh acara itu bersedia pula untuk menggabungkan diri dengan anak-anak muda itu. Akan tetapi, esok harinya, pagi-pagi sekali suatu perintah datang dari Pakuan Pajajaran, meminta agar Pangeran Muda segera kembali ke Padepokan Tajimalela.
Pesan ini sangat mengejutkan dan merisaukan hati Pangeran Muda. Bukan saja baru dua hari Pangeran Muda berada di tengah-tengah keluarganya, tetapi datangnya perintah dari Pakuan Pajajaran dan dari bangsawan yang tidak dikenalnya sungguh menimbulkan kecemasannya. Akan tetapi, karena tidak ada pilihan lain, setelah menggagalkan segala rencana, hari itu juga Pangeran Muda dan Mang Ogel berangkat meninggalkan Puri Anggadipati.
"Janganlah berkecil hati, Anom. Tak ada kesalahan yang kaulakukan," kata Mang Ogel. "Saya berlindung pada Sunan Ambu dan Sang Hiang Tunggal yang Maha Mengetahui.
Seandainya memang saya akan diadili karena kejadian di Kuta Kiara itu, saya merasa bahwa saya sudah cukup berusaha menahan diri, Mang."
'Anom, mungkinkah di antara mereka ada yang meninggal karena pukulan-pukulanmu?" tanya Mang Ogel.
"Saya kira tidak, Mang. Saya tidak pernah memukul mereka dalam arti yang sebenarnya.
Mereka rubuh dan terpukul oleh tenaga mereka sendiri. Akan tetapi, saya tidak yakin, apakah di antara mereka ada yang terluka parah atau tidak. Yang saya yakin, saya telah mengendalikan anggota-anggota badan saya sebaik-baiknya."
"Mudah-mudahan saja tidak ada yang tewas di antara mereka itu," kata Mang Ogel. "Kalau sampai ada yang meninggal, sukar bagi kita untuk mempertahankan diri di muka pengadilan, Anom."
"Pernahkah ada peristiwa seperti yang kita alami, Mang?" "Selama Emang ada di padepokan, baru dua kali." "Apakah ada yang dipecat dari kedudukan sebagai calon?" "Selama Emang di padepokan belum ada, tetapi sebelumnya pernah ada yang dipecat dan dibunuh karena terpaksa. Namanya menurut kabar Raden Jaya."
Pangeran Muda tidak mengatakan apa-apa lagi, dan perjalanan yang panjang dan sepi pun dilanjutkan, hingga pada hari keempat sampailah mereka di Padepokan Tajimalela.
SEJAK saat pertama Pangeran Muda memijakkan kaki kembali di padepokan, terasa bahwa seluruh padepokan bersuasana murung. Dari Eyang Resi hingga ke para panakawan kelihatan bersedih dan cemas. Di samping suasana murung itu dalam lingkungan padepokan itu terdapat hal yang tidak biasa, yaitu kehadiran tiga orang puragabaya yang sengaja datang dari Pakuan Pajajaran. Mereka itu adalah Rangga Sena, Girang Pinji, dan Geger Malela. Mereka mendapat tugas untuk melakukan acara pengadilan terhadap Pangeran Muda.
Malam itu, dalam ruangan tertutup dan hanya berdua dengan Eyang Resi, Pangeran Muda menjelaskan apa-apa yang terjadi. Tak ada satu hal pun yang disembunyikan atau dipalsukan. Pangeran Muda memberikan segala kisah kejadian dari permulaan ke akhirnya selengkap- lengkapnya.
"Baiklah, marilah sekarang kita bersembahyang bersama, mudah-mudahan Sunan Ambu melindungi kita. Eyang yakin, kau tidak bersalah. Eyang kenal kepadamu."
Kemudian mereka pun pergilah ke dalam candi dan dalam kesunyian malam itu, guru dan murid melakukan sembahyang yang khusyuk.
Keesokan harinya acara pengadilan pun dilaksanakan. Seluruh isi padepokan diperintahkan untuk hadir dalam ruangan besar yang biasa dipergunakan untuk belajar atau latihan. Para calon duduk berjajar bersaf-saf, dan Pangeran Muda dipersilakan duduk paling depan, didampingi oleh Mang Ogel yang bertindak sebagai salah seorang saksi.
Berjajar menghadapi meja panjang dan menghadap pada para calon duduklah empat orang anggota peradilan, yaitu Eyang Resi Tajimalela, puragabaya Geger Malela, Rangga Sena, dan Girang Pinji. Setelah doa-doa dipanjatkan dan ruangan hening kembali. Puragabaya Geger Malela menjelaskan secara resmi maksud kedatangan mereka ke padepokan. Ia menjelaskan bahwa atas dasar pengaduan dari Tumenggung Wiratanu, penguasa Kuta Kiara, ketiga puragabaya itu ditugaskan oleh sang Prabu untuk melakukan pemeriksaan dan langsung melakukan pengadilan kalau segalanya menjadi jelas. Setelah memberikan penjelasan demikian, mulailah Geger Malela mengeluarkan kotak lontar yang kemudian diserahkan kepada Rangga Sena untuk membacanya.
Rangga Sena mulai mengambil beberapa helai lontar, kemudian ia mulai berkata, 'Akan saya bacakan keterangan tertulis dari Tumenggung Wiratanu, sebagai pengantar bagi pengaduannya. Keterangan tersebut adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari ke Kuta Kiara datang seorang calon puragabaya dengan seorang panakawannya. Calon puragabaya itu berbadan lampai berisi dengan rambut tebal agak ikal, terurai hingga ke pundaknya. Pada ikat kepalanya yang berwarna gading diikatkan pula serangkai mutiara, menandakan bahwa ia seorang putra bangsawan tinggi. Pakaian calon puragabaya yang berwarna putih dilindunginya dengan pakaian berwarna hitam. Pakaian luar ini dikancingkannya dengan rapat, hingga sukar bagi orang yang melihatnya untuk mengetahui bahwa ia adalah seorang calon puragabaya.
Calon ini bersama panakawannya datang ke Kuta Kiara dengan cara memacu kuda mereka, hingga banyak pedagang yang tumpah dagangannya dan bahkan ada anak yang luka karena jatuh tersenggol oleh orang-orang yang ketakutan.
Pada malam harinya kedua orang pendatang ikut menyaksikan upacara mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri di lapangan kota. Kedua orang ini ikut menari, minum tuak, dan mabuk-mabuk.
Setelah kelelahan menari, mereka menggabungkan diri dengan bangsawan-bangsawan muda Kuta Kiara, dan di tempat mereka berkumpul itu sang calon telah berusaha menarik perhatian seorang putri bangsawan setempat. Karena kecakapannya bermain kata-kata, putri itu tertarik kepadanya, walaupun telah lama berkenalan dengan seorang putra bangsawan setempat. Beberapa orang pemuda setempat memperingatkan dengan isyarat bahwa tingkah laku calon puragabaya itu kurang senonoh dan dapat menyebabkan kemarahan dari bangsawan-bangsawan muda setempat. Akan tetapi, calon itu tidak memedulikan peringatan itu, bahkan secara sengaja menyelipkan bunga di kepalanya yang didapatnya dari putri yang telah dicumbunya itu.
Tingkah laku calon puragabaya tersebut dengan sendirinya sangat menyinggung perasaan bangsawan-bangsawan muda setempat yang kemudian menahannya dan membawanya ke suatu tempat dengan maksud memberinya pelajaran sopan-santun setempat. Karena hari telah larut dan penjelasan-penjelasan yang perlu diberikan masih banyak, para bangsawan bermaksud memberikan penjelasan-penjelasannya keesokan harinya, dan untuk malam hari itu memutuskan untuk menahan calon di tempat tahanan setempat.
Kemudian ternyata panakawannya, dengan mempergunakan linggis dan kapak, merusak palang pintu tempat tahanan yang terbuat dari jati. Mereka pun melarikan diri dan bersembunyi di suatu sumber air di tengah-tengah padang yang terbentang antara Kuta Kiara dan Kutabarang.
Para bangsawan muda Kuta Kiara yang kehilangan tahanannya pagi itu juga mencari kedua orang itu, dan sekira waktu hangat-berjemur mereka mendapatkan kedua orang itu sudah bersiap-siap menyergap mereka. Walaupun dengan gagah berani bangsawan-bangsawan muda berusaha menangkap kedua orang yang harus dihadapkan ke pengadilan Kuta Kiara, mereka gagal dan hanya dua orang yang selamat tanpa mendapat cedera. Yang delapan orang semuanya cedera, bahkan mungkin ada yang akan cacat seumur hidup. Di antara yang cedera itu adalah:
• Seorang rusak mukanya karena dibantingkan ke dalam semak-semak duri kemudian ditenggelamkan di mata air, dan kalau tidak ditolong oleh kedua temannya mungkin jiwanya tidak tertolong.
• Dua orang terkilir pergelangan tangannya.
• Seorang patah rusuknya.
• Seorang terkilir tulang lehernya.
• Yang seorang patah tulang selangkanya, akibat diadukan dengan kepala kawannya yang kehilangan gigi depannya.
• Sisanya babak belur dan memar karena dibanting ke atas tanah dan semak-semak.
• Semua korban ditinggalkan begitu saja di dekat mata air itu tanpa tanggung jawab sedikit pun."
Setelah membacakan keterangan itu, Rangga Sena menarik napas panjang, lalu berkata, "Berdasarkan kejadian-kejadian yang dilukiskan di atas, Tumenggung Wiratanu dengan dukungan penuh seluruh bangsawan Kuta Kiara memohon keadilan kepada sang Prabu, dalam surat beliau yang dibawa oleh para utusan. Demikian bunyinya:
Paduka Yang Mulia, yang disembah di seluruh Pajajaran, Kami yang bertanda tangan atas nama rakyat Kuta Kiara yang juga dapat dianggap mewakili seluruh rakyat Pajajaran, dengan ini menyatakan keprihatinan dan kecemasan kami oleh adanya kejadianyang sangat bertentangan dengan apa-apayang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang beradab,yaitu dengan terjadinya penganiayaan terhadap orang baik-baik yang dilakukan oleh pihak tertentu.
Seandainya penganiayaan itu dilakukan oleh perampok atau mereka yang dianggap hina dalam masyarakat kita, kami tidak akan terlalu berkecil hati. Akan tetapi, dalam peristiwa penganiayaan tersebut, seorang calon puragabaya telah menjadi pelakunya. Dalam peristiwa itu, orang yang seharusnya menjadi pelindung rakyat yang lemah, justru melakukan tindakan yang hanya dapat diperbuat oleh seorang perampok atau penjahat.
Seandainya peristiwa itu berlalu tanpa peradilan, kami sangat cemas, masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan penghargaan pada lembaga kepuragabayaan yang selama ini menjadi lambang kehalusan budi dan keperkasaan, dan menjadi kebanggaan rakyat Pajajaran. Didorong oleh keprihatinan dan kecemasan itulah kami menjerit dan memohon agar orang yang menodai kesucian kepuragabayaan itu mendapat hukuman yang setimpal.
"Demikian isi surat pengaduan itu, yang ditandatangani oleh berpuluh-puluh bangsawan dan saudagar serta rakyat biasa dari Kuta Kiara," kata puragabaya Rangga Sena sambil meletakkan kotak-lontar di atas meja di hadapannya. Kemudian ia duduk, sementara puragabaya Geger Malela bangkit kembali.
"Selain keterangan dan surat pengaduan resmi, sang Prabu dan kami telah pula mendengarkan keterangan lisan dari para utusan yang dipimpin oleh Tumenggung Wiratanu sendiri. Dari keterangan-keterangan lisan itu kami menarik kesimpulan bahwa peristiwa itu melibatkan kita semua ke dalam suatu masalah yang sungguh-sungguh dan harus segera mendapat penyelesaiannya. Kami mengharapkan agar tertuduh Anggadipati dan saksi Ogel memberikan penjelasan yang sebenarnya, hingga kami tidak usah diperlambat dalam menetapkan keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela memandang kepada Pangeran Muda, lalu berkata, "Bangkit dan berkatalah."
Pangeran Muda bangkit, lalu menjelaskan apa-apa yang terjadi sesuai dengan yang dialaminya. Setelah diceritakannya apa-apa yang terjadi sejak mereka menghadiri upacara hingga perkelahian, ia pun duduk kembali.
Begitu ia duduk, Mang Ogel bangkit dan berkata, "Ada yang terlewat, Eyang Resi." "Katakan," kata Geger Malela.
"Waktu kami datang, kami tidak menaiki kuda kami. Waktu kami meninggalkan Kuta Kiara memang kami memacu kuda karena kami takut dikejar oleh bangsawan-bangsawan muda yang menyekap Anom," kata Mang Ogel.
"Baik," kata Geger Malela sambil memberi isyarat kepada Girang Pinji untuk melakukan pencatatan-pencatatan.
"Masih ada tambahan lain?" tanya Geger Malela pula.
"Bukan tambahan, tetapi usul, Kakanda Geger Malela," kata Pangeran Muda seraya bangkit.
Geger Malela memberi isyarat agar Pangeran Muda mengajukan usulnya. Pangeran Muda pun berkatalah kembali, "Eyang Resi, Kakanda para puragabaya, sebenarnya hamba tidak dapat memberikan penjelasan yang selengkap-lengkapnya karena sebagian dari keseluruhan peristiwa yang telah menyangkut hamba secara langsung tidak hamba saksikan. Hamba tidak, mengetahui apa yang terjadi ketika hamba berada dalam terongko, dan hamba pun tidak tahu apa yang dilihat dan dibicarakan oleh Mang Ogel dengan Putri Mayang Cinde dalam usaha menolong hamba itu.
Berdasarkan hal-hal itu hamba mengusulkan untuk menjelaskan persoalan dan sebelum menetapkan keputusan, saksi ditambah dengan Putri Mayang Cinde."
"Adikku Anggadipati, apa yang kauusulkan telah menjadi pertimbangan kami sebelum kami berangkat ke Padepokan Tajimalela, dan sekarang seorang di antara kami, yaitu Rangga Gempol sedang berada di Kuta Kiara; pertama, untuk meneliti pemuda-pemuda dengan siapa kau terlibat dalam perkelahian; kedua, untuk secara langsung mendapat penjelasan-penjelasan lisan dari Putri Mayang Cinde."
"Eyang Resi, Kakanda para puragabaya, hamba beranggapan bahwa para bangsawan muda itu akan memberikan keterangan yang memberatkan hamba. Apakah pengaduan Tumenggung Wiratanu belum dianggap cukup sebagai tuduhan terhadap hamba?"
Geger Malela segera menjawab pertanyaan Pangeran Muda yang salah mengerti, "Adikku, Rangga Gempol tidak akan bertanya secara langsung kepada bangsawan-bangsawan muda itu. Ia hanya akan meminta keterangan lisan dari Putri Mayang Cinde. Sedang mengenai bangsawan- bangsawan muda itu, justru Rangga Gempol akan mencari keterangan dari rakyat biasa. Rangga Gempol akari menyelidiki apakah mereka itu tergolong pemuda-pemuda yang tahu sopan santun, suka akan ketertiban, dan taat pada asas-asas kesatriaan. Seandainya mereka demikian, hal itu akan memberatkanmu, sebaliknya, seandainya keterangan yang didapat oleh Rangga Gempol tidak demikian, hal itu akan meringankanmu."
"Tapi apakah jaminan bahwa Juragan Rangga Gempol akan bertanya kepada rakyat yang tidak memihak?" tiba-tiba Mang Ogel bertanya dan tidak dapat menahan dirinya.
"Tentu saja Rangga Gempol akan berusaha mendapatkan keterangan yang benar. Ia pun tidak akan menunjukkan dirinya sebagai puragabaya. Ia akan menyamar sebagai pengembara yang sedang singgah," demikian Geger Malela. Kemudian setelah menyadarinya bahwa tidak ada lagi orang yang akan berkata, Geger Malela menarik napas panjang, lalu berkata, "Dari pembicaraan kita, dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan-keterangan yang diperlukan belum terkumpul semuanya. Oleh karena itu, keputusan pun tidak akan dapat diberikan sekarang. Kita akan menunggu keterangan-keterangan yang didapat oleh Rangga Gempol dan kita akan mengadakan acara sekali lagi sebelum menjatuhkan keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela mempersilakan Eyang Resi untuk memberikan petuah, tetapi Eyang Resi tidak berkenan. Beliau malah mengajak seluruh hadirin untuk bersembahyang bersama untuk memohon petunjuk pada Sang Hiang Tunggal, agar keputusan yang akan ditetapkan sesuai dengan tuntutan keadilan. Maka seluruh hadirin pun pergilah ke candi dan dengan khusyuk mengadakan sembahyang bersama di sana.
KEESOKAN harinya acara-acara latihan dan pelajaran rohani mulai diadakan lagi. Para calon melanjutkan kembali pelajaran-pelajaran ketangkasan, meniru ular dan bajing, mengarungi arus sungai, melompati jurang-jurang, mendaki tebing yang curam dan menuruninya, dengan mempergunakan tambang atau tidak. Akan tetapi, sebagai orang yang masih ada dalam persoalan, Pangeran Muda tidak ikut serta. Dengan ditemani oleh Mang Ogel, Pangeran Muda hanya menyaksikan apa-apa yang dilakukan oleh kawan-kawannya di bawah pimpinan Pamanda Rakean, Anapaken, dan Pamanda Minda.
Dengan melihat latihan itu, makin tergugahlah hasrat Pangeran Muda untuk menguasai ilmu yang berbahaya tetapi suci itu. Akan tetapi, kesadarannya bahwa ia sedang dipersoalkan segera mengecutkan hatinya. Pangeran Muda sangat menyesal, mengapa ia tidak dapat menghindarkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan itu. Padahal untuk melarikan diri sebenarnya mudah sekali.
Sebenarnya dengan mudah Pangeran Muda dapat meloloskan diri dari bangsawan-bangsawan muda itu, yaitu ketika ia dengan Mang Ogel disergap sekembali dari upacara mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri di Kuta Kiara itu. Sayang sekali keterkejutan dan kebingungan menyebabkannya telah terlibat dalam kedudukan yang sulit, di mana ia disekap dalam terongko. Pangeran Muda pun menyesal, mengapa ia memberikan minum pada kuda-kuda mereka, padahal secara samar-samar ia punya firasat bahwa mata air itu berada dalam jangkauan pengejar-pengejar, sedang tapak kaki kuda mereka jelas sekali terlukis di jalan pasir yang menghubungkan Kuta Kiara dengan Kutabarang, tempat mereka tuju sebelum Puri Anggadipati. Di sampingku, Pangeran Muda pun sangat menyesal, mengapa mereka tidak merawat para korban sebelum pergi. Akan tetapi, segalanya sudah berlalu dan sekarang Pangeran Muda hanya dapat berdoa, mudah-mudahan Sang Hiang Tunggal menetapkan yang sebaik-baiknya bagi semua.
'Jangan terlalu berkecil hati, Anom. Apa pun yang terjadi kau masih sangat muda," kata Mang Ogel membesarkan hati Pangeran Muda yang termenung di sampingnya sambil memerhatikan kawan-kawannya melakukan latihan.
"Saya telah menyerahkan semuanya kepada Sang Hiang Tunggal, Mang," kata Pangeran Muda sambil tersenyum, lalu mengikuti calon-calon lain yang setelah selesai melakukan perkelahian menuju tempat lain.
MALAM itu juga acara peradilan dilanjutkan, tetapi tidak langsung dengan penjelasan- penjelasan tambahan oleh puragabaya Rangga Gempol yang sudah tiba. Para puragabaya dengan Eyang Resi melakukan rapat khusus terlebih dahulu, yang tidak dihadiri oleh para calon, tetapi hanya dihadiri oleh para pelatih. Para calon sendiri berkumpul seperti biasa di ruang belajar.
Mereka tidak banyak bercakap-cakap, semuanya tampak merasa cemas akan nasib Pangeran Muda. Sikap para calon lain itu sungguh-sungguh mengharukan Pangeran Muda dan secara tulus tergugahlah rasa terima kasih yang tidak diucapkan kepada mereka itu.
Tak lama kemudian pintu dari ruangan kecil tempat Eyang Resi dan para puragabaya berunding pun terbukalah. Maka heninglah semua calon dan panakawan-panakawan yang hadir. Setiap orang memerhatikan pembesar-pembesar kepu-ragabayaan yang mengambil tempat duduk masing-masing di ruangan besar. Pangeran Muda dengan saksama memerhatikan air muka mereka, tetapi sukar sekali dibaca, apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Umumnya air muka mereka memperlihatkan ketenangan, kedamaian yang biasa memancar dari air muka para pendeta dan puragabaya.
Kemudian Geger Malela mulai berkata, menjelaskan bahwa bahan-bahan baru telah didapat oleh Rangga Gempol yang dua hari dua malam berada di Kuta Kiara untuk mencarinya. Setelah itu, ia memberikan isyarat kepada Rangga Sena untuk membuka kotak lontar dan membacakan keputusan pengadilan puragabaya itu. Rangga Sena pun mulai mengambil beberapa helai lontar dari kotaknya, dan setelah dijajarkan di atas meja panjang, ia mulai mengambil sehelai dari yang paling kanan, diikuti oleh pandangan mata seluruh calon yang dengan tegang memerhatikan perbuatannya. Kemudian mulailah Rangga Sena membaca.
"Lembaga Kepuragabayaan sejak pendiriannya yang diresmikan oleh Yang Mulia Prabu Niskalawastu suwargi tetap berpegang pada asas-asas dan tujuan serta cita-cita yang sama, yaitu agar anak negeri Kerajaan Pajajaran mendapat jaminan yang pasti dan dapat diandalkan dalam mencapai kebahagiaannya.
Setiap puragabaya adalah pribadi-pribadi yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi jaminan agar anak negeri kerajaan merasa aman, tenteram, tertib, terbebas dari rasa cemas, takut dan tertekan dalam mencari kebahagiaannya. Oleh karena itu, menjadi seorang puragabaya berarti menjalani kehidupan yang penuh pengorbanan yang dilakukan dengan tulus ikhlas karena yakin bahwa berkorban bagi sesama hidup adalah perbuatan yang mulia.
Berdasarkan asas-asas di atas, maka setiap perbuatan yang bertentangan dengan tujuan Lembaga Kepuragabayaan dan bertentangan dengan sifat-sifat seorang puragabaya, dikutuk sekeras-kerasnya dan harus dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, kalau perbuatan-perbuatan yang demikian dibiarkan, akan berarti bahwa anak negeri Kerajaan Pajajaran kehilangan jaminan yang tertinggi untuk mendapat kebahagiaan dalam hidup mereka.
Maka dengan selalu memohon petunjuk Sang Hiang Tunggal dan berpegang pada asas-asas kepuragabayaan, kami anggota-anggota Peradilan Puragabaya yang terdiri dari lima orang, yaitu Resi Tajimalela, puragabaya Geger Malela, puragabaya Rangga Sena, puragabaya Girang Pinji, dan puragabaya Rangga Gempol, setelah melakukan perundingan dengan saksama dan memeriksa segala bahan lisan dan tulisan yang dapat dikumpulkan sebelum, selama, dan sesudah acara pengadilan, menetapkan hukuman terhadap Pangeran Anggadipati, kedudukan sebagai calon puragabaya, yaitu dengan mengharuskan terhukum melakukan tugas-tugas kepanakawanan di padepokan, yaitu dalam bentuk-bentuk pekerjaan mencari kayu bakar, membersihkan ruangan belajar dan kamar-kamar para calon, membersihkan senjata dan membantu pekerjaan-pekerjaan dapur, serta mengurus kuda. Perbuatan-perbuatan itu diharapkan akan mendidiknya untuk lebih berendah hati kepada rakyat Pajajaran yang menjadi majikannya, dan menyebabkan menyesali apa-apa yang telah diperbuatnya yang tercela ditinjau dari asas-asas kepuragabayaan.
Sebelum Rangga Sena selesai membaca, beberapa orang calon yang duduk berdekatan dengan Pangeran Muda merangkulnya karena tidak dapat menahan rasa gembiranya setelah jelas bahwa Pangeran Muda tidak dipecat sebagai calon. Pangeran Muda sendiri berulang-ulang mengucapkan syukur di dalam hati dan dua titik air mata menghangati pipinya.
Setelah ruangan tenang kembali, Rangga Sena melanjutkan pembacaan keputusan itu.
"Keputusan hukuman itu dijatuhkan di antaranya berdasarkan pula hal-hal yang memberatkan terhukum, yaitu:
Perbuatannya membahayakan wibawa dan kehormatan Lembaga Kepuragabayaan dan puragabaya-puragabaya secara pribadi.
Perbuatannya dapat menimbulkan kecemasan dan keti-daktenteraman hati anak negeri Kerajaan Pajajaran.
Perbuatannya telah menyebabkan beberapa orang menderita cedera, di antaranya cedera yang akan menyebabkan si korban tidak dapat melakukan pekerjaan sebaik sebelum cedera itu diderita.
"Hal-hal yang meringankan terhukum adalah:
Terhukum adalah seorang yang patuh dan hormat pada pelatih dan Pimpinan Padepokan, dapat bergaul dengan calon-calon lain dan mau membantu dalam pekerjaan-pekerjaan yang baik, yang dapat memperlancar rencana-rencana di padepokan.
Perbuatannya dilakukan untuk pertama kalinya dan atas perbuatannya, terhukum sudah menyatakan penyesalannya.
Perbuatan itu dilakukannya setelah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghindarkannya.
"Demikianlah keputusan kami," kata Rangga Sena, kemudian ia membaca beberapa perkataan lain yang lenyap ditelan oleh gemuruhnya kegembiraan para calon. Setelah upacara selesai dan setiap orang mengucapkan selamat kepada Pangeran Muda, sembahyang bersama dilakukan kembali di candi. Setelah selesai, karena malam sudah larut, para calon langsung menuju pemondokan masing-masing.
Selagi berjalan menuju pemondokan dengan beberapa calon lain, Pangeran Muda mendengar langkah orang yang mengikuti. Ternyata puragabaya Rangga Gempol menyusulnya, kemudian berjalan di sampingnya.
"Anggadipati, gadis itu titip pesan kepadaku, ia minta maaf akan perbuatannya yang menyusahkanmu itu," katanya.
"Terima kasih akan jerih-payah Kakanda," ujar Pangeran Muda.
'Adakah pesan dari Raden Bagus Wiratanu, Kakanda?" kata Rangga yang suka berlelucon. "Wah, sayang saya tidak sempat berbincang-bincang dengannya. Saya hanya memerhatikannya
dari jauh. Mungkin dia akan titip tinju bagimu, Anggadipati, seandainya dia tahu saya akan berkunjung ke sini," jawab Rangga Gempol yang suka pula berlelucon. Akan tetapi, ia bersungguh- sungguh kembali, lalu berkata, "Saya bertanya kepada mereka, tetapi dari gerak-geriknya dan dari keterangan yang diberikan oleh berpuluh-puluh rakyat tentang bangsawan muda itu, saya yakin anak muda itu kurang baik kelakuannya. Dari keterangan rakyat, saya mendapat kesan perkelahian-perkelahian dengan orang asing juga dengan bangsawan-bangsawan muda dari kota- kota lain sering dilakukan oleh gerombolan Raden Bagus Wiratanu itu. Di samping itu, dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana bangsawan-bangsawan muda itu dengan seenaknya saja melarikan kuda mereka di tengah-tengah rakyat yang sedang sibuk."
"Eh, Anggadipati, ia akan dendam kepadamu karena perbuatanmu telah menyebabkan mukanya rusak dan pasti oleh karena itu, Putri Mayang Cinde makin tidak senang kepadanya. Bahkan, orangtua Putri Mayang Cinde sekarang sudah memutuskan untuk pindah ke Kutabarang, tidak tahan lagi ia hidup di Kuta Kiara setelah kejadian itu. Kau perlu minta maaf kepada orangtua yang menjadi repot itu, Anggadipati," katanya sambil tersenyum.
Pangeran Muda tidak berkata apa-apa. Kemudian Rang-ga-lah yang menyela.
"Kalau perlu, Anom bersedia menambah hukumannya, Kakanda Rangga Gempol," katanya sambil tertawa.
"Menambah bagaimana?" tanya Rangga Gempol sungguh-sungguh.
"Di samping membersihkan lantai asrama, candi, dan ruang belajar, Anggadipati bersedia mencuci kaki Mayang Cinde setiap pagi dan sore, demikian tadi katanya kepada saya," kata Rangga sambil tertawa.
Semua tertawa, dan mereka pun tibalah di tempat pemondokan.