Bab 11 : Ramalan
Ketika matahari hampir condong ke barat, kedua penunggang kuda itu telah dapat melihat menara-menara benteng Anggadipati dari jauh. Si Gambir seperti masih ingat tempat kelahirannya, ia berlari melonjak-lonjak sambil kadang-kadang meringkik. Kuda Mang Ogel yang pendek dan gemuk dengan susah payah mengejar dari belakang Pangeran Muda tidak memedulikan Mang Ogel yang berteriak-teriak minta ditunggu, dipacunya si Gambir hingga seperti terbang larinya. Baru setelah tiba di bawah bayangan salah satu menara, Pangeran Muda mengekang kendali. Tak lama kemudian telah berdiri pula kuda Mang Ogel di sampingnya.
Sementara Pangeran Muda memandang dengan penuh kerinduan pada benteng tempat kelahirannya, tiba-tiba dari atas menara berteriaklah seorang gulang-gulang kepada temannya.
"Anom datang! Anom datang!" katanya sambil berlari-lari turun dari atas menara. Kawan- kawannya yang melihat
Pangeran Muda ikut berteriak-teriak, kemudian tukang trompet meniup trompet tiramnya keras- keras, dan terheran-heran-lah rakyat yang sedang berada di pasar dalam benteng itu. Setelah mereka tahu apa yang terjadi, berlarianlah rakyat, laki-laki perempuan, orang tua, dan anak-anak bersama gulang-gulang menghambur dari gerbang benteng mengelu-elukan Pangeran Muda yang baru datang.
Dalam sekejap, kedua pendatang itu sudah dikerumuni oleh rakyat dan para gulang-gulang yang dengan gembira bersorak sorai karena pangerannya yang telah dua tahun meninggalkan benteng sekarang sudah ada di tengah-tengah mereka. Sambil berebutan menjabat tangan Pangeran Muda atau memegang kendali si Gambir, tak henti-henti mereka bercakap-cakap satu sama lain sambil memandang Pangeran Muda. Mereka keheranan, betapa dalam dua tahun Pangeran Muda sudah begitu berubah. Kalau waktu meninggalkan Benteng Anggadipati baru seorang anak, sekarang sudah seorang pemuda yang berbadan kukuh dan lampai.
Pangeran Muda sendiri berusaha menjabat tangan rakyat yang banyak dikenalnya. Yang jauh dari kuda dilambainya, anak-anak kecil diusapnya. Akan tetapi, Pangeran Muda tidak turun dari kuda, ia takut rakyat akan melihat bekas-bekas darah lawan-lawannya pada kemeja putih di balik pakaian perjalanannya. Di samping itu, kalau Pangeran Muda turun, mungkin orang-orang akan menahannya untuk tinggal beberapa lama di tengah-tengah mereka. Maka tetaplah Pangeran Muda duduk di pelana, sambil menyuruh si Gambir berjalan perlahan-lahan dalam rombongan yang bergerak menuju ke arah pendapa, yang berada tidak jauh dari lapangan benteng dan pasar itu.
Sambil duduk di atas pelana dan tak henti-hentinya menyambut tangan rakyat yang memberinya salam atau melambai mereka yang berdesak-desak dari pintu dan tingkap rumah, Pangeran Muda memandang kembali dengan saksama bangunan-bangunan, lapangan, dan orang- orang yang telah begitu akrab dikenalnya. Kecintaannya akan tempat kelahirannya tergugah kembali dan bersama perasaan itu terbit pula rasa bangganya. Pangeran Muda bangga karena walaupun kecil, kotanya merupakan salah satu tempat yang paling beradab di daerah kerajaan.
Orang-orangnya ramah-tamah dan rajin-rajin, suka akan pengetahuan dan keindahan. Jalan- jalannya teratur dan bersih, sementara masyarakat hidup dengan tertib. Tidak pernah Pangeran Muda melihat bangsawan-bangsawan muda memacu kuda dalam kota dan menakutkan para pedagang atau pejalan kaki, seperti beberapa kali dilihatnya dalam Kuta Kiara yang baru saja dikunjunginya. Demikian juga, di daerah kekuasaan Wangsa Anggadipati, Pangeran Muda tidak dapat membayangkan adanya gerombolan pemuda seperti dipimpin oleh Raden Bagus Wiratanu.
Rupanya Mang Ogel melihat juga perbedaan yang sangat mencolok antara Benteng Anggadipati dengan Kuta Kiara.
"Ayahanda adalah seorang besar, Anom. Hanya orang besar yang dapat memimpin kotanya menjadi begini menyenangkan."
"Ayahanda sangat cinta pada kota iya, Mang. Setelah putra-putrinya, maka yang menjadi bahan renungannya adalah bagaimana agar kotanya baik dan menyenangkan bagi penghuninya. Itulah sebabnya kota ini menarik begitu banyak pendatang, hingga Ayahanda meluaskannya. Mang Ogel tadi melihat dinding benteng yang masih baru. Itu khusus didirikan untuk menampung warga kota yang berlebihan. Demikian juga halnya kampung-kampung di sekeliling benteng yang termasuk kekuasaan Ayahanda. Kampung-kampung ini banyak dijadikan tempat tinggal oleh orang-orang yang datang dari daerah-daerah kerajaan yang jauh-jauh. Mereka senang tinggal di kampung- kampung itu karena keamanan kampung terjaga dengan baik. Perampok tidak berani menyentuh kampung-kampung itu bukan karena rakyatnya bersenjata, tetapi para gulang-gulang dan jagabaya setiap malam berkeliling di atas kuda. Mang Ogel dapat melihat, bagaimana jalan-jalan padang itu terang benderang oleh obor-obor mereka."
"Saya senang dengan Ayahanda, Anom."
"Beliau juga menyatakan senang kepadamu, Mang." "Beliau orang yang sangat dalam."
"Apa maksud Emang?" tanya Pangeran Muda.
"Beliau banyak menguasai ilmu-ilmu mulia, dan itu dengan mudah dapat kita lihat dari sinar mata, tutur kata, dan tingkah laku beliau."
"Mungkin, Mang. Saya tidak banyak membanding-bandingkan Ayahanda dengan orang lain," jawab Pangeran Muda sambil tersenyum. Sementara bercakap-cakap demikian, tak henti-hentinya Pangeran Muda melambaikan tangan atau memberi salam pada tangan-tangan yang diulurkan oleh rakyat dan gulang-gulang yang mengelu-elukannya.
Tak lama kemudian tampaklah pendapa dan para keluarga yang siap mengelu-elukan kedatangan Pangeran Muda di sana. Si Gambir dipercepat jalannya, kemudian Pangeran Muda turun dari pelana untuk menghormati orang tua dan para anggota keluarga lainnya. Setiba di hadapan mereka, Pangeran Muda pun menghaturkan sembah. Ayahanda merangkulnya, sementara Ibunda menitikkan air mata kegembiraan. Ayunda memegang tangannya dan memandangnya keheranan.
"Adikku, kau jauh lebih tinggi dari Ayahanda sekarang, padahal umurmu...” "Tujuh belas, Ayunda," kata Pangeran Muda sambil tersenyum.
Mang Ogel yang sedang bercakap-cakap dengan Ayahanda berpaling dulu dan berkata, "Latihan-latihan dan makanan padepokan sangat sehat dan mempercepat tumbuhnya rohani maupun jasmani, Tuan Putri."
Sambil memasuki ruangan dalam istana, di mana Pangeran Muda disambut oleh isi istana—para gulang-gulang, panakawan, dan para emban—mereka terus bercakap-cakap. Setelah mereka duduk untuk beberapa lama di ruangan tengah istana, dan setelah air sejuk dikelilingkan dengan berbagai macam buah-buahan, para bangsawan bersantaplah. Pangeran Muda duduk diapit oleh Ibunda dan Ayahanda, sedang Mang Ogel duduk dekat Ayunda. Ketika itulah Ayahanda menyampaikan kabar gembira, yaitu bahwa Ayunda telah dipinang oleh Pangeran Rangga Wesi, masih keponakan sang Prabu. Ayahanda menjelaskan, mereka bertemu ketika putra Mahkota berkenan berkunjung ke Benteng Anggadipati.
"Pernahkah Putra Mahkota datang?" tanya Pangeran Muda dengan penuh perhatian. "Ya, anakku. Beliau berkenan dengan kota kita ini. Beliau pun mengetahui bahwa engkau
menjadi calon puragabaya. Begitu banyak pengetahuan beliau tentang semua bangsawan, hingga nama kudamu pun diketahui beliau."
Mendengar penjelasan itu, heran dan kagumlah Pangeran Muda. Ingin sekali Pangeran Muda bertemu dan bertanya, bagaimana sampai Putra Mahkota mengetahui nama si Gambir.
"Dari mana mereka tahu tentang hamba, Ayahanda?"
"Itulah yang mengherankanku, tetapi tentu saja seorang Putra Mahkota yang mendapat pendidikan sebaik-baiknya akan memiliki kemampuan yang sebaik-baiknya pula dalam banyak hal. Beliau sangat ramah dan "menyenangkan. Kita tahu, anakku, banyak putra-putra bangsawan yang berandal dan menjadi pengganggu ketenteraman masyarakat. Mereka seharusnya malu oleh kehalusan perangai Putra Mahkota."
"Hamba pun ingin sekali berkenalan dengan Pangeran Rangga Wesi, Ayahanda."
"Ia anak muda yang halus, anakku. Ia pun sangat ingin bertemu dengan engkau, bahkan berpesan kepada kakakmu, agar—kalau sempat —kau berkunjung ke Pakuan Pajajaran untuk menemuinya." "Sayang sekali, hamba sangat sibuk, bahkan libur sekarang pun hanya sepuluh hari lamanya, empat hari terambil oleh perjalanan. Tapi tak apalah karena seperti sering Ayahanda katakan, bukan mencari ilmu namanya kalau tidak prihatin," kata Pangeran Muda.
"Anakku, janganlah terganggu makanmu. Kakanda, jangan ganggu dia. Dia tentu kelelahan dan harus banyak makan."
"Hamba makan sangat rakus, Ibunda. Ini sudah piring ketiga," kata Pangeran Muda sambil memegang tangan Ibunda yang ketika itu mulai lagi bercakap-cakap dengan Mang Ogel tentang Padepokan Tajimalcla.
"Bagaimana pelajaranmu, anakku?"
"Rata-rata, Ayahanda. Banyak calon yang lebih baik daripada hamba, tetapi hamba yakin hamba tidak akan ketinggalan benar."
"Aku percaya padamu, anakku."
Selesai bersantap dan ketika isi istana mengundurkan diri untuk beristirahat, datanglah lima orang bangsawan muda, sahabat-sahabat Pangeran Muda yang telah lama ditinggalkannya.
"Apa kabar, Ginggi? Bagaimana lukamu dulu itu Galih? Nah, ini dia tukang sihir kita, mana batu cincinmu?"
"Selamat datang, Anom. Selamat datang puragabaya!" kata mereka memberi salam. Mereka pun bercakap-cakap tentang berbagai hal dengan gembira, hingga akhirnya mereka membuat perjanjian bahwa esok harinya, pagi-pagi benar mereka akan berangkat ke padang perburuan, untuk menggembirakan Pangeran Muda.
Keesokan harinya, setelah mohon diri kepada orangtua-nya, Pangeran Muda pun berangkatlah dengan lima bangsawan muda itu, diiringi oleh lima belas pencalang dan beberapa puluh ekor anjing
PADANG perburuan terletak antara huma dan ladang palawija penduduk dengan rimba raya yang terbentang seperti tidak habis-habisnya. Dengan melalui jalan kampung, rombongan melewati perhumaan, kemudian masuk ke dalam padang rumput dan alang-alang yang diselang- seling oleh semak-semak. Karena adanya peraturan Ayahanda yang mewajibkan para pemburu membunuh babi hutan sebelum memburu binatang-binatang lain, perburuan babak pertama dilaksanakan terhadap binatang hama ini. Rakyat petani sangat bersenang hati dengan adanya perburuan besar-besaran itu, dan dari kampung-kampung itu pun berbondong-bondonglah mereka membawa senjata masing-masing sambil menuntun dua atau tiga ekor anjing setiap orangnya.
Maka rombongan pun gemuruhlah, seakan-akan hendak pergi berperang layaknya.
Setelah berpuluh-puluh babi hutan dapat dibunuh, dan setelah binatang-binatang itu disembelih dan dikumpulkan di suatu tempat, pergilah rombongan menuju padang yang lebih dekat ke dalam rimba, di mana kijang, menjangan, banteng, dan badak berada. Pangeran Muda melarikan si Gambir pelan-pelan, sambil berusaha agar berjalan menentang arah angin. Matanya nyalang mengawasi padang yang seolah-olah berbatasan dengan kaki langit. Tiba-tiba seorang pencalang melarikan kudanya mendekati Pangeran Muda lalu menunjuk ke suatu tempat di tepi langit.
Karena sudah biasa, mata Pangeran Muda dapat melihat sekelompok besar menjangan dan kijang sedang beristirahat. Para bangsawan dan pencalang pun berundinglah mengatur pengepungan, kemudian dibagi-bagi-lah rombongan yang akan menghalau binatang-binatang itu ke daerah semak-semak supaya mudah dikepung. Setelah perundingan selesai, para pemburu yang berkuda pun berangkatlah, sedang yang tidak berkuda berjalan atau berlari-lari mengikuti.
Tak berapa lama kemudian kelompok menjangan itu pun telah terkurung oleh kepungan pemburu yang berbentuk setengah lingkaran. Binatang-binatang ini digiring ke arah semak-semak rambat, agar kuda-kuda mudah mengejarnya dan para pemburu dapat menombak atau memanahnya. Semua anjing sementara ditahan, agar tidak terlalu cepat menakutkan binatang yang mulai kebingungan. Kemudian, setelah lingkaran cukup kecil, dilepaslah anjing-anjing itu.
Ramailah salak mereka menghalaukan binatang-binatang yang ketakutan itu ke arah hutan rambat. Tidak berapa lama para pemburu telah melepaskan anak panah dan tombak mereka.
Dalam keributan itu, Pangeran Muda melihat rusa yang besar sekali. Tanduknya sangat panjang. Pangeran Muda memacu si Gambir ke arah binatang yang sedang mencoba melarikan diri itu. Akan tetapi, karena si Gambir—seperti juga menjangan itu—mendapat kesukaran dalam melintasi hutan tumbuhan rambat itu, jarak antara pemburu dengan yang diburu tidak banyak berubah. Kedua-duanya makin lama makin jauh ke tengah hutan rambat dan menuju rimba raya yang menjulang di hadapan mereka.
Karena takut kehilangan binatang buruannya, Pangeran Muda memacu si Gambir sambil berseru-seru memberikan semangat kepada beberapa ekor anjing yang dengan susah payah mengikuti dari belakang. Akan tetapi, si Gambir yang telah berusaha keras itu kakinya tersangkut tumbuhan rambat dan jatuh, dengan terlebih dahulu melemparkan Pangeran Muda berguling- guling ke depan. Karena menganggap bahwa di atas pelana kuda lebih sukar daripada berlari, Pangeran Muda tidak berpaling lagi pada si Gambir. Pangeran Muda terus berlari, melompat- lompat, makin lama makin dekat ke arah binatangyang kelelahan itu. Dalam suatu jarak jangkauan tombak, Pangeran Muda berhenti, lalu melontarkan senjatanya. Rusa yang sedang kebingungan tiba-tiba dikejutkan oleh tusukan senjata itu di dekat lehernya. Karena terkejut dan kesakitan ia melompat dan berhasil melintasi rumpun tumbuhan rambat yang sangat tinggi.
Pangeran Muda dengan memindahkan tombak-tombak lain dari tangan kiri ke tangan kanannya, terus berlari melompat-lompat; semangatnya naik, karena yakin, binatang yang bertanduk indah itu akan didapatnya. Ia terus berlari dan bertari, hingga akhirnya binatang itu masuk ke dalam rimba. Pangeran Muda makin bersemangat, karena yakin, akhirnya binatang itu akan tersesat di antara pohon-pohon rimba yang lebat itu.
Akan tetapi, ternyata hutan yang dimasukinya tidak terlalu lebat, bahkan seperti sebuah taman yang besar ditumbuhi oleh pohon-pohonan besar yang indah. Di bawah pohon-pohonan terhampar lumut hijau atau keemasan yang tebal dan lembut di bawah telapak kaki.
Dengan dituntun oleh bekas jejak rusa di atas lumut itu, dan dengan melihat binatang itu berkelebatan di antara pohon-pohon yang besar, Pangeran Muda terus berlari dengan tombak siap di tangan kanan, sedang di tangan kiri tiga batang lagi sebagai persediaan. Akan tetapi, tiba-tiba Pangeran Muda terhenti, di hadapannya terbentang sebuah danau yang besar dan airnya jernih sedang rusa itu tidak tampak lagi, mungkin telah rubuh dan terbaring di dalam semak di tepi danau itu.
Pangeran Muda menajamkan matanya melihat ke dalam semak-semak, yang samar-samar tampaknya karena kabut kebetulan meliputi bagian hutan itu. Berulang-ulang Pangeran Muda menengadah ke langit, merasa kesal karena kabut mengganggu usahanya dalam mencari binatang buruannya. Dalam pada itu tampak oleh Pangeran Muda bianglala yang sangat indah, seolah-olah turun ke permukaan danau yang ada di hadapannya. Ketika itu bertiuplah angin semilir dan ketika kabut yang tergantung di permukaan danau itu tersibak, Pangeran Muda melihat pemandangan yang memesonakan.
Di tengah-tengah danau itu terdapat sebatang pohon yang terapung. Di atas batang pohon besar yang terapung itu duduklah tiga orang putri yang cantik, sedang di ujung batang itu, tidak jauh dari mereka berdirilah seorang kesatria yang sangat tampan, memegang galah yang menjadi pendayung. Mereka berlayar di atas batang pohon itu, putri-putri bernyanyi kecil sambil mencelupkan kaki mereka yang indah ke dalam air yang jernih. Sementara itu, di seberang danau, di semak-semak yang berbunga-bunga seperti sebuah taman, tampak pula beberapa putri cantik dengan beberapa kesatria sedang bercengkerama. Melihat pemandangan yang sangat cantik itu hampir tidak dapat dikejapkan mata Pangeran Muda.
Pangeran Muda memerhatikan satu per satu putri-putri dan kesatria-kesatria itu. Putri-putri itu mengenakan pakaian yang tidak pernah ditemukan macamnya di daerah mana pun. Kain yang dipakai mereka begitu halusnya, hingga seolah-olah tidak ditenun dari kapas atau sutra, tetapi dari awan yang diwarnai oleh cahaya bianglala. Para kesatrianya berpakaian gagah pula, dengan kain- kain putih, ikat-ikat pinggang keemasan atau keperak-perakan, sementara ikat kepala mereka tidak pernah ditemukan pula macamnya.
Selagi Pangeran Muda terbelalak memerhatikan mereka, salah seorang putri yang sedang berlayar melihat ke arahnya. Tampak putri itu terkejut dan berseru, "Manusia!" Dalam sekejap, kabut menutupi mereka dan ketika angin bertiup menghalau kabut itu dan memperlihatkan danau kembali, para kesatria dan putri-putri itu gaib dari sana. Sadarlah Pangeran Muda bahwa makhluk- makhluk yang baru dilihatnya bukan manusia, tetapi para bujangga dan pohaci yang turun dari Buana Padang dan bercengkerama di hutan larangan yang telah dimasuki dengan tidak sengaja.
Sadar akan hal itu Pangeran Muda pun terpukaulah. Kemudian sayup-sayup terdengar olehnya salak anjing-anjing pemburu, dan tak berapa lama kemudian terdengarlah para pemburu lain dengan cemas berseru-seru, "Pangeran! Anom! Ahooooooy! Huuuuuuuuuh! Anom!"
Dengan gontai, Pangeran Muda melangkah kembali dari tepi danau itu, berjalan ke arah suara kawan-kawannya. Tak lama kemudian bermunculanlah mereka dan dengan gembira berlari ke arah Pangeran Muda. Akan tetapi, ketika sudah dekat, tertegun dan memandang ke dalam mata Pangeran Muda dengan penuh pertanyaan, "Apa yang terjadi, Anom?"
Sambil berpegang pada bahu Ginggi karena kedua lututnya gemetar seolah-olah tak mampu mengusung berat badannya, Pangeran Muda berkata, "Ginggi, saya melihat makhluk-makhluk suci."
"Pangeran, di mana?"
"Di atas danau itu." Ginggi melihat ke atas danau yang lengang.
"Mereka sudah tiada. Saya telah mengusik mereka dengan tidak sengaja, Ginggi," kata Pangeran Muda. "Sekarang, marilah kita pulang."
Kelima bangsawan muda dengan Pangeran Muda di tengah-tengah mereka, melangkah tanpa bercakap-cakap dari hutan yang indah dan hening itu.
"Hutan ini suci," bisik Girang.
"Marilah segera kita keluar." Mereka pun melangkah tergesa-gesa, tapi berusaha tidak berisik. Setiba di tepi hutan itu, para pemburu berjingkrak-jingkrak dengan gembira di suatu tempat.
"Ada apa?"
"Rusa besar ini, Anom telah menombaknya!"
Ternyata rusa besar itu rubuh, tetapi di tempat yang sangat tidak disangka-sangka, yaitu di tepi hutan larangan itu. Barangkali binatang memiliki pancaindra yang lebih halus, hingga mereka tidak berani memasuki atau mati di hutan yang suci itu. Walaupun Pangeran Muda gembira dengan ditemukannya binatang itu, kegembiraannya diseliputi perasaan yang aneh, perasaan yang digugah oleh pengalamannya yang luar biasa itu.
MALAM harinya para pemburu mengadakan pesta. Acara makan besar dan minum tuak dilakukan dengan segala bunyi-bunyian dan tari-tarian di gelanggang. Pangeran Muda sendiri tidak menggabungkan diri dengan rakyat yang bersukaria itu, tetapi bersama bangsawan-bangsawan muda lainnya mengerumuni seorang tukang pantun buta yang biasa menghibur isi istana.
Ketika babak pertama dari acara pantun itu selesai dan tukang pantun sedang beristirahat sambil makan hidangan yang disajikan untuknya, Pangeran Muda bertanya, "Bagaimana musim ini, Mang Wentar? Banyakkah orang yang mengundangmu untuk bernyanyi?"
"Banyak sekali, Anom, hingga kadang-kadang Emang kewalahan." "Kalau begitu, Emang akan cepat kaya, Mang Wentar."
"Kekayaan akan membuat Emang malas dan mungkin besar kepala, Anom. Hanya menyanyilah yang akan membuat Emang bahagia dan awet muda."
"Jadi, dengan banyaknya yang mengundang Emang sangat berbahagia dan akan awet muda, Mang?" tanya Pangeran Muda.
"Saya dengar Mang Wentar baru saja kawin lagi, Anom, padahal baru satu tahun ditinggalkan oleh bibinya," ujar Ginggi.
"Anom, belum tentu banyak menyanyi menyebabkan Emang berbahagia. Emang hanya berbahagia kalau Emang menyanyikan cerita-cerita yang baik. Sayangnya sekarang banyak sekali orang kaya dan bangsawan-bangsawan yang meminta cerita-cerita yang jelek, kasar bahkan kurang ajar."
Mendengar penjelasan itu, keherananlah bangsawan-bangsawan muda yang berbaring sambil makan buah-buahan di sekeliling tukang pantun buta itu.
"Cerita-cerita kurang ajar bagaimana, Mang?" tanya seorang di antara mereka.
"Begini, Juragan-juragan. Ada cerita-cerita yang baik, yang menarik bagi orang-orang yang halus budinya, misalnya cerita Munding Laya Dikusumah, Lutung Kasarung, dan sebagainya. Tapi banyak pula cerita-cerita yang jelek, yang Emang tidak mau menyebutkannya. Dalam cerita-cerita ini banyak terjadi adegan-adegan perkelahian, adegan-adegan tidak senonoh, lelucon-lelucon kasar. Dan sialnya, justru bagian-bagian yang jelek inilah yang menarik kebanyakan pendengar sekarang, sedang hal-hal yang lebih halus dan lebih berharga untuk mendapat perhatian, tidak mereka pedulikan. Itulah sebabnya uban Emang tumbuh di kepala," kata orang buta itu sambil tersenyum.
"Eh, Mang Wentar," kata Ginggi, "pernahkah Emang menyanyikan kisah di mana ada tokoh yang bertemu dengan bujangga dan pohaci?"
"Pernah, beberapa kali. Nah, tokoh yang bertemu dengan makhluk-makhluk suci ini biasanya nasibnya aneh. Ia mendapatkan sesuatu yang terbaik di dunia ini, tetapi sekaligus juga mendapatkan yang terjelek. Kadang-kadang Emang berpikir, apakah kita harus kasihan kepada tokoh itu atau harus turut gembira. Sungguh aneh," katanya.
Mendengar cerita orang tua itu para bangsawan muda melihat pada Pangeran Muda yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Apakah Emang suka meramalkan nasib seseorang, Mang?" tanya salah seorang sahabat Pangeran Muda, lalu melanjutkan, "bagaimana nasib salah seorang dari kamu yang bertemu dengan bujangga dan pohaci, apakah juga akan mendapatkan hal terbaik dan terjelek sekaligus?"
"Tidak tahu, Emang bukan tukang ramal atau nujum, apalagi tukang sulap atau sihir. Emang adalah tukang pantun yang cuma bisa bernyanyi dan memetik kecapi."
Kemudian orang tua itu menjentik kawat-kawat kecapi dengan jari-jarinya yang lincah-terampil, dan menyanyilah ia dengan merdunya tentang kerajaan zaman dahulu kala, tentang putri cantik jelita dan pangeran cendekia.