Pandaya Sriwijaya Bab 30 : Cinta dengan Selaput Dendam

Bab 30 : Cinta dengan Selaput Dendam

Dan, apa yang telah kaujejaki, Sahabat? Sebuah kisah tentang diriku? Atau... kematianku?

Masih di bawah guyuran hujan, Tunggasamudra membawa tubuh itu menjauh dari Kedatuan Muara Jambi. Semula beberapa prajurit mencoba mendekat untuk menghalanginya, tetapi tatapan Panglima Samudra Jara Sinya di kejauhan membuat mereka semua kemudian melangkah mundur untuk memberi jalan kepada Tunggasamudra.

Hanya hujan yang menemaninya sepanjang setapak. Tunggasamudra terus melangkah semakin jauh hingga tubuhnya perlahan hilang tertelan guyuran air hujan yang semakin deras.

Keesokan harinya, saat hujan akhirnya berhenti dan pelangi muncul begitu jelasnya di pagi yang terasa sendu, Tunggasamudra membakar jenazah Kara Baday.

Ini seperti perulangan episode hidupnya saat lalu, waktu ia membakar jenazah gurunya, Biksu Wang Hou, di tepi Danau Toba. Kala itu api terbentuk menaburkan aroma abu yang menusuk. Ia masih begitu hafal bunyi api yang me-ranggas pada kayu-kayu, juga tariannya yang meliuk-liuk tak tertebak. Sungguh, semuanya seperti baru terjadi kemarin. Dan kini, hari seakan tercipta sama seperti kala itu atau ... hanya perasaan hatinya saja yang sama?

Tunggasamudra tak habisnya memandang geliat api di depannya. Seiring api yang mulai menggerogoti jenazah Kara Baday, semua kenangannya bersama pemuda itu seakan terulang....

Akan tetapi, maaf saja, gayamu dengan mengikat ketiga pedangmu di punggungmu seperti itu, sungguh mengingatkanku kepada kepada penjual pedang!

Aku heran, baru bertemu denganmu beberapa kali saja, aku seperti sudah mengenalmu sangat lama .... Aku tak mau mempersulit dirimu, Tungga. Setidaknya aku gembira, bisa mati oleh pedangmu ....

Saat itulah, tiba-tiba sesosok bayangan melayang mendekat kepadanya. Gerakannya yang ringan menandakan penguasaan yang tinggi pada ilmu meringankan tubuhnya. Namun, tanpa menoleh pun Tunggasamudra segera bisa menebak siapa yang datang.

Sangda Alin melangkah ke sampingnya tanpa suara. "Dapunta Cahyadawasuna mencemaskanmu," ujarnya sambil ikut menatap kobaran api.

Tunggasamudra tak menyahut. Ia hanya melirik sekilas kepada Sangda Alin. Suara Sangda Alin tadi memanglah didengarnya dengan jelas, tetapi entah mengapa, yang bergema di hatinya tetaplah suara-suara Kara Baday.

Diam-diam Tunggasamudra mengeluh dalam hati sambil menggenggam erat kalung kerang yang diberikan Kara Baday sebelum kepergiannya.

Nanti, serahkan kalung ini kepada ia

Ia ...yang ada ... di Pulau Karang itu, sepertiyang hampir

kuceritakan kepadamu....

Tunggasamudra kembali tercekat. Ia memejamkan matanya kuat-kuat, seakan tak menyadari kehadiran Sangda Alin di sampingnya. Seiring dengan itu, ia teringat pada gumaman Biksu Wang yang kerap didengarnya ....

Sadhu ... sadhu ... sadhu ....

-ooo0dw0ooo-

Menjelang tengah hari, Sangda Alin datang ke ruangan Dapunta Cahyadawasuna.

"Aku sudah menjumpainya," ujarnya melaporkan. Dapunta Cahyadawasuna menoleh. "Bagaimana ia?" suaranya tampak terdengar khawatir.

"Ia tak banyak bicara, Dapunta..”

Dapunta Cahyadawasuna menarik napas panjang. "Sungguh, ini memang menyedihkan," Dapunta

Cahyadawasuna menggeleng kepalanya. "Semoga ia bisa

tetap berpikir jernih. Karena... yang membuatku lebih takut adalah ... bila ia tak bisa mengendalikan dirinya!"

Dapunta Cahyadawasuna menggeleng-geleng kepalanya, "Walau bagaimanapun, Panglima Samudra Jara Sinya sama sekali bukan orang yang bisa dilawan!"

Sangda Alin mengangguk, walau dalam hatinya ia merasa ucapan Dapunta Cahyadawasuna terlalu jauh. Ia yakin Tunggasamudra bukanlah sosok yang dapat dengan mudah berbuat tanpa pertimbangan.

Dapunta Cahyadawasuna menghela napasnya, "Pikiranku begitu tak enak," ujarnya. "Maukah kau menemaniku berjalan- jalan, Sangda?"

Sangda Alin hanya bisa mengangguk pelan. Keduanya pun segera berjalan ke luar kedatuan. Datu Muara Jambi memang sebuah datu yang cukup ramai dan sangat luas. Begitu keluar dari pelataran kedatuan, akan langsung ditemui rumah-rumah berderet panjang di beberapa sudut. Sebuah pasar yang sangat ramai akan langsung menyita perhatian siapa saja yang tengah berjalan di sekitarnya.

"Kau tahu setiap melihat keramaian ini, aku selalu teringat Datu Talang Bantas, datu tempatku memimpin dulu," ujar Dapunta Cahyadawasuna. "Namun, bukan karena keramaian seperti ini yang mengingatkan, tetapi karena ... keheningannya "

"Ya, keheningannyaDapunta Cahyadawasuna menoleh kepada Sangda Alin. "Dulu saat mengitari setapaknya, aku selalu ditemani oleh seorang pu yang sudah sangat tua. Ia adalah orang paling setia yang aku kenal. Kami bahkan telah mengenalnya sejak ayahku memimpin datu itu

Dapunta Cahyadawasuna berhenti di sebuah penjual kura- kura sungai. Diambilnya seekor, lalu diperhatikannya kura- kura yang mencoba merangkak di dalam pegangan tangannya. Ia tersenyum sambil meletakkan kembali kura- kura itu.

"Dulu, setiap aku menemukan sesuatu hal yang mengganjal hatiku, aku cukup menanyakan kepadanya. Dan, Pu Mula Suma, demikian namanya, akan selalu menjawab semua pertanyaanku. Terus seperti itu selama bertahun-tahun. Tak ada yang tak bisa dijawabnya. Aku sampai berpikir bahwa ia terbuat dari otak," Dapunta Cahyadawasuna tersenyum.

"Namun, tahukah engkau apa yang paling sering kutanyakan kepadanya?"

Sangda Alin menggeleng.

Dapunta Cahyadawasuna menarik napasnya. "Bila tengah melewati setapak yang sangat hening di sana, aku akan selalu bertanya, Apakah dulu Datu Talang Bantas ini juga sesepi ini?'" ia mengucapkan dengan perlahan pertanyaan itu. "Ya, selalu seperti itu pertanyaanku."

Kening Sangda Alin berkerut, 'Apakah... memang datu itu begitu sepinya?"

Dapunta Cahyadawasuna mengangguk. Saat itu keduanya tanpa sadar telah berjalan jauh meninggalkan keramaian pasar. Tak ada orang-orang lagi di sekitar mereka. Hanya beberapa puluh langkah saja, mereka akan memasuki tepi hutan bambu.

Dapunta Cahyadawasuna memperhatikan sekelilingnya, "Mungkin ... keadaannya seperti ini," gumamnya. "Ya, seperti di sini Sangda Alin ikut memandang sekitarnya, mencoba mc- rasakannya.

Dapunta Cahyadawasuna menoleh, "Kau baru bisa merasakan keheningannya bila kau memejamkan matu, Sangda ujarnya lagi.

Dan, Sangda Alin mulai memejamkan matanya. Dicobanya untuk merasakan keheningan yang ada di sekitar nya. Suara- suara serangga di kejauhan, suara-suara gesekan daun-daun, juga suara-suara tarikan dan embusan napasnya. Semuanya seakan menyatu begitu halusnya.

Saat Sangda Alin membuka matanya, didapatinya Da punta Cahyadawasuna telah berdiri begitu dekat di depannya.

Keterkejutannya seakan hendak membuatnya mundur selangkah. Namun, kelembutan tatapan itu kemudian membuatnya menahan langkah tadi.

"Sangda..”

Sangda Alin hanya bisa terdiam, membiarkan tubuhnya sedemikian dekat dengan Dapunta Cahyadawasuna.

"Baru kusadari, bila aku ... ternyata begitu terpesona olehmu suara Dapunta Cahyadawasuna terdengar lagi dengan nada begitu lembut.

Dapunta Cahyadawasuna perlahan menyentuh jemari Sangda Alin dalam genggamannya, 'Aku ingin ... bila tiba waktunya nanti, engkau mau menjadi pendampingku ....

Sangda Alin terpana. Ia benar-benar tak percaya at.is apa yang baru saja didengarnya. Satu sisi dalam dirinya segera menyangkalnya dengan keras, tetapi perasaan lembut yang tiba-tiba bersemayam di hatinyalah yang kemudian menyadarkannya.

Perasaannya menjadi terasa begitu nyaman. Namun, entah mengapa, kenyamanan itu hanya sekejap saja berlahan di hatinya. Hanya beberapa saat kemudian, perasaan itu berangsur hilang. Sebentuk bayangan lain, seakan tiba-tiba iur nyerobot ruang pikirannya. Bayangan sesosok lelaki lain ....

Bayangan Magra Sekta!

Ah, bagaimana mungkin wajahnya yang kuingat di saat seperti ini? Sangda Alin mencoba menepisnya kuat-kuat. Namun, wajah itu tetap menggantung di pelupuk matanya, berputar-putar, dan menggemakan kata-kata yang kerap diucapkannya ....

Selama ini aku mencarimu, Agiriya Sejak hari itu, saat

kau jatuh di jurang itu, aku... terus mencarimu....

Saat itu, aku... aku hanya ingin... menyelamatkanmu ....

Sungguh, Sangda Alin sama sekali tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kesungguhan wajah Dapunta Cahyadawasuna dan sentuhan lembut jemarinya saat memegang tangannya, seakan dapat kembali menenangkan hatinya ....

Jauh, jauh dari atas bukit yang ada di selatan gerbang masuk perdatuan Muara Jambi, Tunggasamudra yang baru saja hendak kembali, mengatupkan rahangnya kuat-kuat, melihat kejadian itu.

Ia hanya bisa segera membuang pandangannya jauh-jauh.

-ooo0dw0ooo-

Tak jauh dari Kedatuan Muara Jambi, sepasang suami istri baru saja membenahi dagangannya. Mereka adalah pedagang ubi daun. Ubi daun adalah sejenis makanan dari ubi yang dipotong tipis-tipis dan dicampur dengan daun-daunan penyedap rasa terutama jahe dan cabai, kemudian dibungkus dengan daun pisang dan dibakar hingga matang ....

Biasanya penjual ubi daun menjual dagangannya di malam hari. Namun, pada pagi hari pun, di keramaian pasar, tak susah menemukan pedagang yang berjualan makanan ini. Bila ada penjual ubi daun di sekitar gerbang kedatuan, seperti pedagang suami istri ini, pelanggan mereka pastilah para prajurit kedatuan yang tengah beristirahat.

"Hari-hari belakangan ini, tak banyak keping yang kita dapat," ujar istrinya tanpa bermaksud mengeluh.

Sang suami hanya menghela napas panjang. Ini memang saat yang berat bagi keduanya. Sejak Datu Muara Jambi ini kembali direbut Kerajaan Sriwijaya, keadaannya memang lebih sulit dibandingkan saat kepemimpinan sebelumnya, Dapunta Ih Yatra.

Kini pasukan diawasi dengan begitu ketat, tak banyak prajurit yang dapat berseliweran tanpa tujuan. Hal ini semakin menjadi-jadi saat kedatangan armada samudra yang akan berperang melawan Minanga Tamwa. Walau secara jumlah tampak jelas jauh lebih banyak, tetapi tak ada pasukan yang terlihat keluar dari pelataran kedatuan, selain pasukan yang tengah berjaga.

Suami istri itu memang tak bisa berbuat apa-apa lagi, selain pasrah. Di tengah kegalauan mereka itulah, tiba-tiba tampak seekor kuda berderap kencang memecah keheningan.

Awalnya mereka sedikit berharap, pembeli datang, tetapi ternyata penunggang kuda itu hanya melewati mereka, dan memasuki gerbang kedatuan.

Ia jelaslah seorang prajurit dengan pangkat tinggi.

Beberapa penjaga gerbang langsung membiarkan dirinya masuk tanpa pemeriksaan.

Dengan langkah tergesa, ia segera berlari masuk ke dalam. "Aku ingin menjumpai Panglima Samudra Jara Sinya," ujarnya.

Prajurit penjaga segera menyilakan dirinya masuk. Kini dengan langkah lebih lebar, ia memasuki ruangan

Panglima Samudra Jara Sinya berada. Dan, begitu dirinya datang, pasukan penjaga pintu segera menutup pintu rapat- rapat. Ia ternyata adalah salah satu pasukan rahasia milik Panglima Samudra Jara Sinya.

"Apa yang kaudapatkan, Rahan Suja?" tanya Panglima Samudra Jara Sinya tanpa basa-basi lagi.

"Sebuah informasi yang amat penting, Panglima," ujarnya sembari mendekat. "Ini menyangkut langsung tentang ... pemimpin Rahasia Wangseya, Wantra Santra!"

Panglima Samudra Jara Sinya tersenyum samar. Ini adalah bagian yang ditunggu-tunggu. Sejak kecurigaannya saat itu, diam-diam ia memang menyuruh beberapa pasukannya untuk lebih mengamati Wantra Santra. Ia bahkan menyuruh beberapa orang untuk mencari informasi masa lalu pemimpin Pasukan Rahasia Wangseya yang selama ini tak banyak diketahui orang.

"Hamba telah menemukan orangtua angkatnya," lanjut Rahan Suja.

Kali ini kening Panglima Samudra Jara Sinya terangkat, "Benarkah?"

Rahan Suja mengangguk, "Orangtua angkat Wantra Santra ternyata adalah... Dapunta Mahak Ilir. Ia merupakan pemberontak di Minanga Tamwa puluhan tahun lalu, yang mengobarkan Perang Merah melawan Dapunta Abdibawase- pa. Bahkan, hamba juga mendapat kabar bila moyang Dapunta Mahak Ilir merupakan keturunan langsung dari pemberontak Kandra Kayet!"

Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa terpana mendengar penjelasan panjang dari Rahan Suja. Ini sungguh mengejutkan baginya. Dapunta Mahak Ilir adalah keturunan langsung Kerajaan Malaya yang diangkat oleh Sriwijaya untuk memimpin Minanga Tamwa, sebagai upaya untuk membina hubungan yang lebih baik antara Sriwijaya dan Malaya.

Namun, kebaikan ini malah dijadikan Dapunta Mahak Ilir untuk mengumpulkan pasukan dan memberontak pada Sriwijaya. Untunglah kemudian pemimpin Datu Muara Jambi, Dapunta Abdibawasepa, melakukan serangan mendadak menyerang Minanga Tamwa, sebelum seluruh pasukan Minanga Tamwa benar-benar berkumpul. Perang itulah yang kemudian dikenal dengan nama Perang Merah ....

"Kau yakin?" tanya Panglima Samudra Jara Sinya

sekadar meyakinkan.

"Hamba yakin, Panglima," jawab Rahan Suja tegas. "Informasi ini sudah hamba dalami hingga ke tanah Wantra Santra dilahirkan. Beberapa orang tua di sana masih mengingat dengan jelas tentang kisah seorang bayi yang selamat dari letusan gunung berapi dan kemudian diangkat anak oleh Dapunta Mahak Ilir "

Pandangan Panglima Samudra Jara Sinya menerawang. Hatinya terus menduga-duga. Ah, ada apa ini? Ia membatin, Wantra Santra merupakan anak angkat dari Dapunta Mahak Ilir penyebab Perang Merah, yang juga sebagai keturunan langsung sebagai pemberontak terbesar di Sriwijaya?

Ah, apa ini ada hubungannya dengan informasi-informasi yang tak sampai pada kedatuan di Telaga Batu?

-ooo0dw0ooo-

Kedatangan utusan dari Panglima Bhumi Cangga Tayu membuat pertemuan kembali diadakan di Kedatuan Muara Jambi. Kali ini Pasukan Bhumi mengutus Panglima Muda Tatasandwa, yang merupakan panglima paling muda di pasukannya.

"Salam sejahtera bagi Panglima Samudra Jara Sinya," ia membungkuk di depan Panglima Samudra Jara Sinya. "Kami sekadar ingin melaporkan kepada Panglima, bila kami telah menempatkan pasukan di beberapa titik. Tiga titik tepat di sebelah selatan dan sebuah lagi di sebelah barat " Panglima Samudra Jara Sinya menatap kagum. "Bagus, bagus. Gerakan kalian benar-benar cepat," ujarnya tanpa bisa menutupi senyumnya. "Kalau kalian sudah ada di barat, itu artinya kalian sudah melewati Batang Palepat?"

Panglima muda Tatasandwa mengangguk. Beberapa hari yang lalu dua ratus Pasukan Bhumi memang telah melewati salah satu anakan Batanghari. Pasukan itulah yang kini ada di sebelah barat Minanga Tamwa.

"Hanya saja," tambahnya, "kami masih berpikir bahwa penyerangan ini sesuatu yang sulit. Kami benar-benar tak mengetahui secara pasti mana datu-datu yang mendukung mereka ataupun yang mendukung kita "

Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk-angguk, "Ya, kupikir itu wajar

Tiba-tiba Luwantrasima muncul di ambang pintu. Ia segera melangkah mendekat. "Panglima," ia berbisik di telinga Panglima Samudra Jara Sinya, "Wantra Santra datang

Panglima Samudra Jara Sinya segera bangkit, ia berpaling kepada Panglima Muda Tatasandwa. "Wantra Santra ternyata datang kemari," ujarnya.

Tak lama setelah ucapan itu, sesosok tubuh berjubah hitam tiba-tiba saja sudah muncul di ambang pintu. Dengan gerakan pelan, ia mulai melangkah ke depan, ke arah Panglima Samudra Jara Sinya.

"Lama tak berjumpa denganmu,Jara," ujarnya dengan nada dingin sambil melirik sekilas kepada Panglima Muda Tatasandwa.

'Aku sengaja datang kemari untuk membantumu," ujarnya lagi. Dan, sebelum Panglima Samudra Jara Sinya menyahut ucapan itu, telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar suara gemuruh derap ratusan kuda di kejauhan yang semakin mendekati pelataran kedatuan ....

Ia yakin sekali kalau itu adalah pasukan Wantra Santra!

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar