Pandaya Sriwijaya Bab 09 : Lelaki Gila dengan Guratan Peta di punggungnya

Bab 09 : Lelaki Gila dengan Guratan Peta di punggungnya

Dapunta Mawaseya tengah memandang lautan di depannya ketika penasihatnya, Pu Punja Supa, mendekatinya.

"Dapunta," ujarnya, "Sepertinya pencarian itu sia-sia "

Dapunta Mawaseya hanya bisa mengangguk pelan. Sejak kedatangannya ke kediaman Panglima Samudra Jara Sinya dua purnama yang lalu, mereka sama sekali belum menemukan tempat persembunyian Bajak Laut Semenanjung Karang. Walaupun Panglima Samudra Jara Sinya telah mengerahkan pasukannya secara maksimal, meronda di setiap titik penting di lautan, tetapi sama sekali tak ada tanda-tanda kehadiran bajak laut itu.

"Mereka sepertinya telah tahu bila kita begitu mengincarnya," ujar Pu Punja Supa lagi. Dapunta Mawaseya menghela napasnya. Semua yang diucapkan penasihatnya itu benar adanya. Sejak pencarian itu, Bajak Laut Semenanjung Karang memang seakan hilang ditelan bumi.

"Namun, setidaknya," ia menoleh kepada Pu Punja Supa, "pekerjaan kita menjadi lebih ringan. Bukankah dua purnama ini hampir tak pernah terjadi pembajakan di perairan kita?"

Muara Air Gala merupakan tanah yang terbentuk dari salah satu muara Sungai Musi. Dulunya tempat ini merupakan daerah rawa yang telah mengering. Beberapa keluarga dari selatan kemudian mencoba meninggalinya dan bercocok tanam di situ. Puluhan tahun kemudian keadaan Muara Air Gala pun perlahan-lahan berubah hingga kini menjadi tanah yang ramai dan cukup maju.

Satu ciri khas dari Muara Air Gala ini adalah buah- buahannya yang melimpah. Di pasar yang ada di pusat datu, banyak pedagang menggelar dagangan buah. Posisinya yang terlihat dari arah pantai membuat beberapa orang yang tengah melintas kemudian menyambanginya. Inilah yang kemudian membuat pasar Muara Air Gala menjadi pasar teramai di sepanjang Pantai Timur Sriwijaya.

Para pedagang biasanya akan menggunakan semacam kain yang telah usang sebagai alas dagangan mereka. Walau kepeng emas dan kepeng perak telah berlaku di sana, tetapi penjualan dan pembelian dengan cara tukar-menukar barang masih sangat lazim terjadi.

Maka itulah, baru beberapa purnama lalu, Kedatuan Sriwijaya di Telaga Batu, kemudian memilihnya sebagai salah satu daerah perdatuan Sriwijaya.

Setiap hari keramaian yang dimulai jauh sebelum matahari muncul semakin bertambah dan terus bertambah. Seperti pagi ini, beberapa pedagang sudah mulai terlihat sibuk menurunkah barang-barang dagangan mereka di tepi pantai. Akan tetapi, ada yang berbeda di hari ini. Para pedagang yang datang paling pagi dikejutkan oleh kemunculan seorang lelaki tanpa pakaian. Lelaki itu hanya diam duduk di dekat undak-undakan batu yang menjadi tempat sesembahan para pagan. Tak ada yang tahu dari mana orang itu muncul. Sehari sebelumnya belum ada seorang pun penduduk yang melihatnya.

Seiring dengan munculnya sinar matahari, penduduk mulai bisa mengamati dengan jelas lelaki asing itu. Tampaklah rambutnya yang panjang dan tampak tak terawat. Tubuhnya begitu kotor dan sangat kurus hingga tulang-tulang iganya begitu jelas terlihat. Lelaki itu sama sekali tak mengganggu. Ia hanya duduk diam sambil menutup matanya dalam posisi bersila.

Melihat cara duduknya, orang-orang semula menyangka lelaki itu sedang melakukan meditasi. Namun, melihat kctelanjangannya, mereka pun menyimpulkan kalau orang ini adalah orang gila!

Beberapa orang kemudian berusaha mengusirnya. Namun, orang gila itu sama sekali tak bergeser sedikit pun. Ia tetap duduk di situ sambil memejamkan mata, tak hirau akan apa pun.

Akhirnya, seseorang berinisiatif memanggil beberapa prajurit yang ada di perdatuan mereka.

Tak lama kemudian dua orang prajurit dengan tombak di tangan segera mendekatinya.

"Minggir!" seorang prajurit mendorong lelaki itu dengan kakinya.

Akan tetapi, lelaki gila itu tetap bergeming. "MINGGIR!" prajurit itu berteriak makin keras, diiringi

lendangannya yang penuh tenaga. Kali ini lelaki gila itu terdorong. Ia jatuh dan matanya pun terbuka. Tiba-tiba dirinya yang semula tenang, mendadak terlihat begitu ketakutan. Tubuhnya terlihat menggigil. Giginya bergemeretak sedemikian kerasnya hingga beberapa penduduk yang ada di situ pun dapat mendengarnya. Perlahan ia menggeser tubuhnya, mundur menjauhi dua prajurit itu.

Sesaat dua prajurit dan para penduduk di situ hanya bisa memperhatikannya. Namun, prajurit yang tadi menendangnya kembali mendekatinya.

"Pergi dari sini!" ujarnya sambil kembali mendorong dengan kakinya.

Orang gila itu kembali terjatuh dengan cukup keras hingga tubuhnya tengkurap di tanah. Dan, ketika prajurit itu akan kembali mendorongnya, rekannya yang sejak tadi diam, menghentikan gerakannya.

Tiba-tiba ia melangkah dan duduk di dekat tubuh lelaki gila yang telungkup itu. Matanya seakan melihat sesuatu di punggung lelaki gila itu. Namun, kotoran yang memenuhi punggung itu mengaburkannya.

"Ada apa?" temannya ikut mendekat dengan tak mengerti. 'Ambilkan air!" prajurit itu malah berteriak.

Seorang penduduk yang berdiri sambil memegang tempat air dari ruas bambu segera menyodorkannya. Prajurit itu pun segera mengguyur punggung lelaki gila itu. Lalu, ia segera menyapunya dengan telapak tangannya ....

"Ini... seperti sebuah peta ," temannya berucap tak yakin.

Prajurit itu kembali memperhatikan dengan saksama. Matanya memicing. Sebuah kata kemudian terbaca oleh matanya: Bajak Laut. Lalu, sebuah kata panjang, sama sekali tak terbaca. Namun, satu kata terakhir dapat dibacanya kembali: Karang. Ia menelan ludah, "Bajak Laut... Karang?" ia berpikir mencoba mencari kata yang ada di tengah.

Akan tetapi, detik itu, matanya membulat. Jelas sekali ia teringat akan sesuatu.

"Bajak Laut... Semenanjung... Karang?" desisnya tak percaya.

---ooo0dw0ooo---

Namanya bukanlah sesuatu yang penting, seperti juga keberadaannya yang tidaklah penting.

Ketika lelaki gila itu dibawa berkeliling desa, tak ada seorang pun yang mengenalinya. Ia seakan terlupa bila pernah dilahirkan di Bhumi ini.

Akan tetapi, andai dirinya yang selalu memandang penuh ketakutan itu bisa bercerita, ia pastilah akan bercerita tentang ketakutannya akan malam itu. Saat itu, secara mengejutkan sembilan atau sepuluh buah perahu yang entah datang dari mana, tiba-tiba telah mengepung sambau tuannya.

Ia bukan prajurit di kapal itu. Seumur hidupnya ia bahkan tak pernah memegang pedang. Yang dilakukannya hanya melayani tuannya yang menjadi panglima muda di kapal itu.

Lalu, kegaduhan pun terjadi saat orang-orang di perahu- perahu kecil itu berusaha naik ke sambau tuannya. Ke- lakutannya memuncak. Ia mencoba bersembunyi di balik kotak-kotak kayu milik tuannya. Namun, itu sama sekali tak menghilangkan ketakutannya. Kegaduhan malah makin lerasa dekat.

Ia bisa merasakan orang-orang dari perahu-perahu itu lelah berada di kapal tuannya. Ia juga merasakan teriakan-teriakan kematian, juga siut angin dari ayunan puluhan pedang Sungguh, ia bisa merasakan itu semua. Akan tetapi, yang membuatnya semakin ketakutan adalah bau darah yang begitu tajam hingga mengalahkan bau laut yang sudah begitu diakrabinya hari-hari terakhir ini. Ia pun terkencing-kencing karena ketakutan Kapal tuannya tiba-

tiba terbakar. Namun, sampai lama u tetap bersembunyi di situ, tanpa bergerak dan hanya bernapas sependek dan sehalus mungkin. Ia khawatir bunyi napasnya dapat terdengar orang-orang di sekelilingnya. Sampai lama seperti itu.

Saat api mulai membesar dan suara-suara kegaduhan mi lak lagi terdengar, ia pun kemudian menguatkan hatinya untuk keluar dari tempat persembunyiannya.

Ia keluar dengan tangis tanpa henti. Langkahnya begitu ketakutan. Beberapa kali ia terjatuh, tersandung oleh tubuh- tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Dan, saat tengah merangkak pelan-pelan itulah, tiba-tiba kakinya dipegang oleh seseorang. Ia berteriak histeris sambil terus meronta-ronta.

Namun, pegangan itu begitu kuat. Ia pun mencoba berbalik, memandang siapa yang menarik kakinya. Namun, ia tak bisa melihat siapa itu. Wajah lelaki itu telah tertutup sepenuhnya oleh rambutnya dan juga darah.

Tuannyakah itu? Sempat ia berpikir. Atau salah satu anak buah tuannya? Ia sama sekali tak bisa menjawabnya. Ia tak lagi punya keberanian untuk terus menatap mata yang ada di antara uraian rambut itu.

Lalu, dirasakannya tubuhnya yang kecil itu ditarik. Ia sama sekali tak bisa lagi memberontak. Ia juga tak bisa menahan ketika tangan kukuh lelaki itu meraih tubuhnya, merobek bajunya, dan mulai menggores punggungnya dengan siwar di tangannya.

Ia hanya bisa berteriak-teriak histeris. Entah teriakan ketakutan atau teriakan kesakitan. Namun, suaranya seakan tertelan oleh bunyi kobaran api yang makin membesar. Ia sama sekali tak tahu apa yang digoreskan pada punggungnya. Ia hanya merasakan keperihan yang dalam dan ketakutan yang menulang. Ia tak bisa menangis lagi dan tak bisa ter- kencing lagi. Ia hampir tak merasakan ketika lelaki itu kembali mengangkat tubuhnya ke tepi kapal, lalu menyodorkan sebatang kayu untuk dipeluknya, sebelum akhirnya mengangkatnya dan melemparnya ke tengah lautan.

Saat itu, ketakutannya telah mencapai puncaknya! Dan, ia jatuh di laut sambil memegang papan itu. Segera keperihan kembali dirasakannya. Begitu perih punggungnya saat air laut membasahinya. Namun, ia tak lagi berteriak. Matanya mendadak sayu dan seakan tak mampu lagi bergerak. Ia hanya melihat dengan tatapan kosong kapal di depannya yang semakin terbakar dan terbakar ....

Lalu ia tak mengingat apa-apa lagi. Mungkin ketakutan telah merusak seluruh sel di otaknya atau mungkin ketakutan telah membunuh otaknya. Ia hanya bisa terus bergidik dengan gigi yang terus bergemeretakan. Bahkan, ketika beberapa nelayan kemudian berhasil menolongnya, ia tak lagi bisa mengingat apa-apa ....

Dunia seakan telah terhenti baginya ....

---ooo0dw0ooo---

Laporan tentang ditemukannya peta Bajak Laut Semenanjung Karang segera sampai kepada Panglima Samudra Jara Sinya.

Tak berselang lama, Panglima Samudra Jara Sinya segera memanggil beberapa panglima mudanya. Beberapa yang lain memang sengaja tak diundang karena tengah berpatroli jauh dari Telaga Batu. Selain para panglima muda, Panglima Samudra Jara Sinya juga mengundang dua putranya yang selama ini selalu menjadi kaki tangannya, Lu-wantrasima dan Sanggatrasima. Kini mereka semua duduk di ruangan pertemuan di kediaman Panglima Samudra Jara Sinya di Telaga Batu. Mereka duduk membentuk lingkaran dalam posisi yang sama tinggi. Berbeda dengan pu lainnya, Panglima Samudra Jara Sinya merupakan sosok yang lebih longgar dalam hal birokrasi kerajaan. Ia membina hubungan yang lebih dekat dengan semua bawahannya, tanpa terkecuali.

Kini semua yang hadir sudah bisa menduga ke arah mana pembicaraan ini. Walau bagaimanapun, kematian Panglima Muda Sru Suja di tangan para Bajak Laut Semenanjung Karang merupakan pukulan telak bagi Kedatuan Si iwijaya. Beberapa bahkan menganggap kejadian itu sangat memalukan dan haruslah segera dibalas!

"Mungkin ini terdengar berlebihan," Panglima Samudra Jara Sinya membuka percakapan. "Sebenarnya, mengurusi bajak laut bukanlah tugas kita. Namun, atas berbagai pertimbangan, tidak hanya karena kcmatian Sru Suja dan juga permintaan Dapunta Mawaseya penguasa Muara Manan, aku terpaksa menangani ini lebih serius."

Panglima Muda Patakanandra menyembah untuk memohon izin bicara, "Panglima, hamba pikir sebaiknya kita memang lebih serius menghadapi Bajak Laut Semenanjung Karang.

Dengan berhasil mengalahkan Panglima Muda Sru Suja, hamba pikir mereka bukanlah bajak laut biasa. Bila kita terlalu lama diam, hamba takut, mereka akan semakin besar dan semakin sulit dikalahkan!"

"Betul, Panglima," Panglima Muda Mandrasiya menyahut. "Hamba setuju dengan pendapat Panglima Muda Patakanandra. Kita harus segera menumpasnya. Apalagi kita telah berhasil mendapatkan peta tempat bajak laut itu berada. Hamba pikir tak perlu membuang waktu lebih lama lagi untuk menghancurkan mereka!"

Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk-angguk. Hampir semua panglima mudanya adalah para lelaki muda usia yang darah dan jiwanya masih penuh gejolak. Mereka pasti akan berpendapat seperti itu. Di antara mereka semua, mungkin hanya Panglima Muda Kra Dawang yang cukup dewasa.

Panglima Samudra Jara Sinya menarik napas panjang. "Sebenarnya aku mengundang kalian kemari, bukanlah untuk membahas soal itu," ujarnya sambil menyapukan pandangannya kepada semua yang hadir. "Bukan, bukan, aku hanya ingin melakukan pergeseran tugas "

Para panglima muda yang hadir saling berpandangan. 'Aku akan pergi beberapa hari ini," ujar Panglima Samudra

Jara Sinya lagi. "Dan, kupikir Panglima Kra Dawang akan kutunjuk untuk menggantikanku untuk sementara."

Luwantrasima, putra pertama Panglima Jara Sinya tak bisa menutupi keingintahuannya. Ia segera menyembah dan berucap, "Panglima, sebenarnya hendak ke mana?"

Walau Panglima Samudra Jara Sinya merupakan ayahandanya, bila berada dalam lingkungan kerajaan, ia dan adiknya memang selalu menggunakan sebutan "panglima" untuk ayah mereka, seperti yang lainnya.

Panglima Samudra Jara Sinya membuang pandangannya ke hamparan tanah di luar ruangannya, 'Aku tak yakin kalian sudah mendengarnya ataupun belum," ujarnya. "Ada banyak kabar di muara besar yang mengatakan bila Bajak Laut Semenanjung Karang adalah bekas pasukan Dapunta Abdibawasepa "

Semuanya saling berpandangan. Sebagian dari mereka mungkin pernah mendengar cerita itu. Cerita tentang pengkhianatan Dapunta Abdibawasepa yang dulu merupakan penguasa Datu Muara Jambi, sang pengobar PerangMerah di Minanga Tamwa hampir dua puluh lima tahun yang lalu.

Pemberontakannya saat itu memang cukup menghebohkan. I

)an, jatuhnya hukuman mati terhadap seluruh keluarga bukanlah hukuman yang sering terjadi. Namun, karena sudah terjadi lebih dari lima belas tahun yang lalu, tak banyak yang benar-benar bisa mengingatnya.

"Akan tetapi, bukankah kabar itu belum tentu benar, Panglima?" dengan suara halus Panglima Kra Dawang men-i nba mengingatkan.

"Ya, mungkin belum tentu benar," jawab Panglima Samudra Jara Sinya. "Namun, semua tanda seakan menunjuk ke arah itu. Coba kalian pikir, apakah ada bajak laut yang secara terang-terangan menyerang sambau-sambau kita?

Mencarii masalah dengan kita? Tentu tak ada. Baru Bajak Laut Semenanjung Karang yang melakukannya!"

Panglima Samudra Jara Sinya melanjutkan, "Lalu, coba kirkan, bila mereka hanyalah bajak laut biasa, bisakah mereka mendekati sambau kita dan mengalahkannya begitu saja? Ia tahu kelemahan sambau kita. Ia juga tahu bagaimana menyergap sambau kita. Kupikir hanya orang-orang yang punya pengalaman tinggi di sini saja yang bisa melakukan itu. Dan, Dapunta Abdibawascpa, yang pernah menjadi Panglima Bhumi sekian lama, adalah orang yang paling mungkin melakukan ini

Semuanya terdiam.

Panglima Samudra Jara Sinya menghela napas panjang, "Aku akan mendatanginya dan mencoba mengajaknya bicara," ujarnya. "Kupikir bila kudatangi dengan baik-baik, ia akan menerimaku dengan baik-baik pula."

Tak ada yang membantah.

"Akan tetapi, hamba pikir, ini tetap saja mengandung risiko yang besar, Panglima," ujar Panglima Muda Kra Dawang setelah beberapa saat terdiam. "Bukankah tetap ada kemungkinan bila bajak laut itu bukanlah bekas pasukan Dapunta Abdibawascpa?" Panglima Jara Sinya mengangguk pelan, "Ya, kemungkinan itu tetap saja ada. Namun, entah mengapa, kali ini aku begitu yakin ... sangat yakin

Ia menyapukan pandangannya kepada semua yang hadir, "Namun, bila ternyata aku salah, aku sudah siap menerima apa pun risikonya. Dan, kau, Kra Dawang, tahu apa yang harus kaulakukan, bukan?" Panglima Samudra Jara Sinya menatap Panglima Muda Kra Dawang yang kemudian hanya menganggukkan kepalanya dengan perlahan.

Melihat itu, Luwantrasima segera saja membungkuk, "Panglima, biar hamba ikut bersama denganmu "

Akan tetapi, Panglima Samudra Jara Sinya menggeleng, "Tidak, tidak. Kau dibutuhkan di sini, Luwa! Biar adikmu saja, Sanggatrasima dan Panglima Muda Patakanandra yang menemaniku ke sana "

---ooo0dw0ooo---

Panglima Samudra Jara Sinya terpekur di ruangannya yang temaram. Sengaja ia tak membuka jendelanya, tak membiarkan sinar matahari masuk ke dalam. Ia tengah mengelap pedangnya, Pedang Wangga, dengan gerakan perlahan. Ia memang menikmati saat-saat seperti ini dalam keremangan. Sejak dulu, ia menyukai pantulan yang ada pada pedangnya dan kemilau yang mengenai benda-benda di ruangannya yang temaram ....

Sepertinya sudah begitu lama, dalam had Panglima Samudra Jara Sinya berujar. Perang terakhir sepertinya sudah berlalu hampir setahun. Dan, selama itu, ia seakan tak pernah menggunakan pedang ini lagi, selain sekadar untuk berlatih.

Pedang yang ukurannya hampir dua kali lipat pedang biasa ini memanglah pedang yang istimewa. Sudah puluhan tahun pedang ini menemaninya. Dulu, ia mendapatkannya dari seorang petapa yang tak sengaja ditemuinya di salah satu perjalanan perangnya. Ia tak tahu siapa petapa itu, ia hanya melihatnya duduk bermeditasi di sebuah batang pohon besar yang tak henti-hentinya menggugurkan daun-daun. Saat itu ia dan pasukannya hanya akan melewati petapa itu, tetapi petapa itu tiba-tiba saja membuka matanya dan beranjak menuju dirinya sambil menyerahkan pedang itu.

"Ia memilih dirimu," ujarnya dengan suara pelan. Lalu, sebelum dirinya berucap, petapa itu sudah berbalik dan kembali dalam posisi meditasinya.

Ia pun meneruskan perjalanan sambil tak henti bertanya- tanya. Sekali ia mencoba menolehkan kepalanya ke belakang, baru disadarinya bahwa petapa itu tak lagi terlihat di sana

Pohon besar itu pun sudah tak lagi menggugurkan daun- daunnya ....

Sejak itulah ia memakai pedang itu. Dan, sejak itu pula keberuntungan seakan selalu datang kepadanya. Ia merasa i.ik pernah lagi kalah sejak memegang pedang ini.

Kini di saat ia tengah mempersiapkan keberangkatannya esok hari, ia merasa tetap begitu bersemangat. Walau usianya kini tak lagi muda, tetapi semangat itu sepertinya tak juga hilang dari dirinya.

Sekilas ia teringat kedatangannya kepada Sri Maharaja Balaputradewa sehari sebelum pertemuannya dengan para panglima mudanya. Ia datang ketika matahari akan menepi. Duduk di undakan kedua hingga dapat begitu dekat dengan Sri Maharaja.

Panglima Samudra Jara Sinya masih ingat dulu saat dirinya masih menjadi panglima muda, ia harus duduk jauh di undakan keenam. Saat itu untuk melihat wajah Dapunta pun begitu sulit, bahkan kadang untuk berbicara pun seorang pengawal kerajaan harus membantunya. Di kedatangannya itu ia mengungkapkan keinginannya untuk mendatangi Pulau Karang. Ia menceritakan semua kisah yang berhubungan dengan Bajak Laut Pulau Karang, dari kabar angin yang mengatakan bahwa bajak laut itu adalah bekas pasukan Dapunta Abdibawasepa sampai dengan guratan peta di punggung seorang lelaki gila yang kemungkinan besar adalah salah satu pelayan Panglima Muda Sru Suja.

Ia juga tak lupa menceritakan tentang pengkhianatan yang dituduhkan kepada Dapunta Abdibawasepa hampir lima belas tahun yang lalu. Juga jasa-jasa Dapunta Abdibawasepa selama ini, terutama saat ia berhasil merebut kembali Minanga Tamwa untuk Sriwijaya. Semuanya ia ceritakan dengan terperinci.

Sri Maharaja Balaputradewa mendengarkan dengan saksama sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Masalah ini tampaknya begitu berat," ujarnya.

Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa mengangguk dalam, "Namun, hamba pikir kesalahan lima belas tahun yang lalu, apa tidak sebaiknya kita lupakan? Kalau selama ini ia terus berusaha keras membalas kita, hamba pikir mungkin ... ia benar-benar tak bersalah ketika itu Sri Maharaja Balaputradewa terdiam. "Tentu saja itu hanya perkiraan hamba saja," ujar Panglima Samudra Jara Sinya menambahkan.

Sri Maharaja Balaputradewa mengangguk pelan, "Perkiraanmu bisa dimengerti," ujarnya.

Panglima Samudra Jara Sinya melanjutkan ucapannya, "Apalagi saat ini, Dapunta Abdibawasepa pastilah telah begitu tua. Begitu juga bekas pasukannya. Hamba pikir, ia tak lagi bisa melakukan hal-hal yang berlebihan "

"Ya, aku mengerti, aku mengerti. " Panglima Samudra Jara Sinya kembali berucap, "Maka itulah, tujuan hamba kemari adalah meminta izin kepada Sri Maharaja untuk mengajak Bajak Laut Semenanjung Karang bergabung bersama kita”

Ucapan kali ini tentu saja membuat mata Sri Maharaja lialaputradewa terbelalak. Namun, sebelum ia berucap, Pang- lima Samudra Jara Sinya sudah kembali melanjutkan ucapannya, "Sri Maharaja, bila mereka sudah bisa mengalahkan salah satu sambau kita, itu artinya mereka cukup kuat. Bukankah kita tengah membutuhkan banyak orang seperti iiu untuk armada kita? Untuk menjaga keamanan daerah utara, juga untuk ... mungkin, menyerang Bhumijawa?"

Sri Maharaja Balaputradewa terdiam. Ucapan terakhir Panglima Samudra Jara Sinya begitu menggugahnya, "Namun, bukankah itu sama artinya kita memelihara harimau, Panglima?"

"Tidak, tidak sampai begitu jauh, Sri Maharaja," Panglima Samudra Jara Sinya berucap cepat. "Kita hanya menggunakannya sebagai pasukan terdepan kita. Kita tentu saja t.ik akan memberi jalan bagi mereka ke Telaga Batu.

Hamba I ukir dengan bergabungnya mereka, sedikit banyak akan urnguntungkan pasukan kita

Akan tetapi, lamunan Panglima Samudra Jara Sinya pada saat itu terkoyak ketika seseorang masuk ke ruangannya.

"Abah," putra keduanya, Sanggatrasima, mendekat. "Semua sudah kusiapkan. Besok pagi, sebelum matahari terbit, kita sudah bisa berangkat."

Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk.

"Jangan lupa, siapkan juga pedangmu," ujarnya kemudian. "Tentu saja, Abah," Sanggatrasima mengangguk. Setelah itu, ia berbalik meninggalkan ruangan, tetapi sampai di ambang pintu, ia kembali menoleh.

"Ada apa?" tanya Panglima Samudra Jara Sinya.

"Tidak ada apa-apa, Abah," Sanggatrasima menelan ludah. "Aku hanya berpikir, apa tindakan Abah tak terlalu ... berisiko?"

Panglima Samudra Jara Sinya tertawa lepas, "Anakku," ujarnya di akhir gelaknya, "Segala sesuatu yang besar, tentu saja selalu memiliki risiko yang besar juga "

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar