Jilid 30
DEMIKIAN Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat bayangan itu, segera mereka mengerti bahwa yang bergerak-gerak itu pastilah Arya Salaka dan Uling Kuning yang sedang bertempur di dalam air. Untuk sesaat Mahesa Jenar tertegun. Ia menjadi cemas melihat pertempuran di dalam air itu. Apalagi Kebo Kanigara. Sebab mereka tahu bahwa hampir sepanjang hidupnya Uling Kuning berada di sekitar tanah yang berawa-rawa, sehingga baginya, air merupakan tempat berlindung yang terbaik.
Kemudian Widuri pun melihat perkelahian itu, namun baginya tidaklah demikian jelas, apakah yang terjadi.
Sementara itu, Arya Salaka yang tidak mau melepaskan Uling Kuning, terpaksa mengejarnya pula terjun ke dalam telaga. Ia sadar bahwa Uling Kuning berharap, lewat telaga itu ia akan mampu melepaskan dirinya. Atau kalau terpaksa ia terlibat di dalam perkelahian, maka perkelahian di dalam air akan banyak memberinya keuntungan. Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Arya tidak peduli lagi apa yang akan terjadi, meskipun ia terpaksa berkelahi di dalam air. Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Disamping mereka harus berjuang untuk tidak terbinasakan oleh lawan, mereka juga harus menjaga diri mereka supaya tidak tenggelam.
Uling Kuning adalah seorang yang seolah-olah dapat hidup di dalam air. Tangan dan kakinya benar-benar dapat dipergunakan dengan baik seperti itik mempergunakan sayap serta kakinya, atau binatang air mempergunakan sirip-siripnya. Karena itu, ia dapat dengan lincahnya bertempur.
Namun sayang bahwa perasaan muak dan nyeri di dalam perutnya tidak juga mau hilang. Apalagi yang dihadapi adalah Arya Salaka. Uling Kuning tidak pernah mimpi bahwa anak itu pernah hidup sebagai anak nelayan di pantai Tegal Arang. Bahkan meskipun tidak begitu lama, namun Arya telah memiliki pengalaman yang cukup untuk menaklukan air. Tidak hanya air setenang air telaga itu, tetapi air yang sedang murka sekalipun.
Arya Salaka pernah terjun ke dalam gelombang yang ganas untuk menyelamatkan alat- alat penangkap ikannya bersama-sama kawan-kawannya. Bahkan darah pelaut yang mengalir di dalam tubuh ayahnya, ternyata mengalir pula di dalam tubuhnya. Pada masa kanak-kanaknya ia telah berani berkelahi dengan seekor uling yang cukup besar di dalam rawa. Sedang pada saat ia menginjak dewasa, ia menerjunkan diri dalam dunia kehidupan nelayan.
Karena itu, dengan tidak diduga oleh Uling Kuning, Arya Salaka pun dengan dahsyatnya berhasil menyerang lawannya dari arah yang membingungkan. Sekali-kali ia melenyapkan diri dari permukaan air, kemudian muncullah ia di tempat yang tak terduga- duga. Seandainya musuhnya bukan seorang yang memang sejak kecil hidup bergulat dengan air, maka Arya pasti akan dengan mudahnya dapat membinasakan. Tetapi sekarang ia menemukan lawan yang seimbang.
Maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Air di sekitar tempat itu menjadi seolah-olah mendidih. Buih-buih yang putih bergolak dengan hebatnya diantara bayangan hitam yang timbul-tenggelam bersama-sama. Bahkan kedua bayangan itu akhirnya seolah-olah berpadu menjadi satu dan bergolak bukan main hebatnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Endang Widuri yang berdiri di tepi telaga menjadi cemas. Apalagi ketika tiba-tiba bayangan yang hitam itu lenyap seperti ditelan putaran air yang melingkar-lingkar.
Mahesa Jenar kemudian menjadi tidak sabar lagi menunggui saja di tepi telaga. Karena itu segera ia melepas baju serta kainnya. Hanya dengan celana saja Mahesa Jenar meloncat pula ke dalam air, dan berenang cepat-cepat ke arah kedua bayangan itu tenggelam.
Sementara itu Arya berjuang mati-matian melawan maut. Uling Kuning benar-benar tangguh bertempur di dalam air. Tangannya benar-benar dapat melilit seperti seekor Uling yang melilit korbannya.
Untunglah bahwa Arya memiliki tenaga raksasa, sehingga dengan pukulan-pukulan yang keras, ia selalu dapat membebaskan diri dari belitan Uling Kuning. Namun akhirnya usaha Uling Kuning itu berhasil.
Seperti gila ia tidak menghiraukan sama sekali pukulan-pukulan terakhir yang dilontarkan oleh Arya Salaka yang tenaganya semakin lama semakin kendor. Bahkan tiba-tiba terasa sesuatu menjerat di lehernya.
Ternyata Uling Kuning telah berhasil mengurai cambuk lemasnya, dan berhasil membelit leher Arya dengan senjatanya itu. Dengan demikian seolah-olah nafas Arya menjadi tersumbat. Ia meronta sekuat tenaga, namun tenaga Uling Kuning itu semakin erat menarik belitan cambuknya pada leher Arya. Dalam keadaan demikian Arya menjadi marah bukan buatan dan mengamuk sejadi-jadinya.
Dengan kakinya ia menangkap tubuh Uling Kuning dan tidak mau melepaskannya lagi. Sedang kedua tangannya berusaha untuk mencekik leher lawannya. Namun sayang ia tidak berhasil. Meskipun demikian kakinya menjadi seperti terkunci dan dengan kerasnya membelit perut lawannya.
Perasaan muak dan nyeri pada perut Uling Kuning menjadi semakin hebat. Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk menahan perasaan itu. Sebab pada hematnya, sebentar lagi Arya pasti sudah tidak akan dapat bernafas dan dengan demikian ia akan bebas. Dalam keadaan yang demikian itulah mereka bersama-sama berputar-putar dan akhirnya bersama-sama tenggelam. Bagi Arya tidak ada jalan lain kecuali mati bersama-sama daripada mati seorang diri. Itulah sebabnya, ketika terasa senjata Uling Kuning membelit lehernya semakin keras, kakinya pun menjadi semakin keras menekan perut lawannya itu, supaya Uling Kuning ikut serta terseret ke dalam air. Sedang tangannya berusaha untuk mengurangi tekanan lilitan cambuk di lehernya.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ia teringat bahwa pada saat ia menerjunkan diri ke dalam air. Kiai Bancak telah disarungkannya.
TEPAT pada saat-saat terakhir, dengan sisa tenaga yang ada Arya menarik tombak pusaka kebesaran Banyubiru, dan dengan sepenuh nafsu kemarahannya ditekankan ujung tombak itu ke dalam perut lawannya. Terdengarlah suara menggelegak sesaat. Setelah itu terasa tarikan cambuk yang membelit lehernya menjadi semakin kendor. Sadarlah Arya bahwa ia berhasil membunuh Uling Kuning dengan tombaknya. Karena itu dilepaskannya belitan kakinya, dan setelah air di sekitarnya dipenuhi dengan merahnya darah, ia berusaha untuk berenang ke permukaan air. Namun tenaganya sudah sedemikian lemahnya. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi pada saat ia berhasil menegakkan kepalanya ke permukaan air terasa bahwa matanya menjadi berkunang- kunang.
Ketika Arya mencoba memandang bintang-bintang yang gemerlapan di langit, maka yang tampak seolah-olah mendung yang tebal menggantung di udara. Hitam dan kelam. Yang diingatnya pada saat terakhir adalah menyarungkan tombaknya yang baginya sama harganya dengan kepalanya, kembali ke dalam sarungnya. Sesudah itu semuanya seperti lenyap dari ingatannya.
Ketika ia tersadar, terasa seolah-olah sebuah mimpi yang indah membayang di hadapannya. Meskipun tubuhnya masih terasa dingin oleh pakaiannya yang basah, namun dilihatnya beberapa orang duduk di sekitarnya, pada sebuah balai-balai besar. Sebuah lampu minyak yang terang, menyala-nyala dengan riangnya, seolah-olah ikut serta bergembira untuk keselamatan Arya Salaka.
Ketika ia sempat mengamat-amati wajah-wajah di sekitarnya, tampaklah gurunya yang sedang merenunginya dengan seksama. Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, Wiradapa dan beberapa orang lagi yang dikenalnya sebagai orang-orang Gedangan.
Demikian ia mulai menggerakkan matanya, tampaklah keriangan membersit di wajah- wajah mereka yang dengan kecemasan menungguinya. Apalagi Mahesa Jenar. Dengan tergopoh-gopoh ia bergerak maju dan dengan hati-hati ditempelkannya kupingnya pada dada Arya untuk mendengarkan detak jantung anak itu.
"Arya..." bisiknya.
Arya mencoba tersenyum, namun kulit wajahnya serasa membeku.
"Kakang Wiradapa..." kata Mahesa Jenar perlahan-lahan. Pinjamilah anak ini pakaian kering.
Dengan tergesa-gesa Wiradapa bangkit, dan sesaat kemudian ia telah kembali dengan pakaian-pakaian kering. Dengan kain panjang, tubuh Arya diselimuti rapat-rapat, dan kemudian dilepaskannya pakaian-pakaiannya yang basah. Sesaat kemudian terasa tubuhnya menjadi agak hangat. Tetapi dalam pada itu, ingatannya masih belum pulih benar. Ia masih belum mengerti dimana ia berada. Dinding-dinding ruangan itu nampaknya masih kabur serta dilapisi selaput yang buram.
Dengan susah payah akhirnya terdengar ia berdesis, "Di manakah aku sekarang...?"
"Kau berada di Kelurahan Gedangan, Arya. Tenangkan pikiranmu. Semuanya sudah selesai," sahut Mahesa Jenar.
"Uling Kuning...?" bisiknya perlahan.
"Ia tidak akan mengganggumu lagi," jawab Mahesa Jenar. "Jadi, aku berhasil...?" sambungnya. "Ya, kau berhasil," jawab Mahesa Jenar pula.
Arya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengarlah ia bergumam, " Allah Maha Besar."
Yang mendengar gumaman Arya itu menjadi terharu. Mereka semakin yakin bahwa anak itu tidak saja akan menjadi seorang yang berjiwa besar, tetapi ia juga akan menjadi seorang pemimpin yang saleh. Seorang pemimpin yang akan membawa rakyatnya berjalan sepanjang jalan Allah.
Dalam usianya yang semuda itu, sudah tampaklah sifat-sifat Arya Salaka yang cemerlang. Jauh dari kesombongan dan nafsu membalas dendam. Cinta kepada manusia dan kemanusiaan, serta memandang alam ini dengan penuh cinta kasih pula.
Demikianlah setelah mengucapkan kata-kata itu hati Arya menjadi tenteram. Tetapi bersamaan dengan perasaan itu, tubuhnya mulai berasa betapa penat dan sakitnya. Tulang-tulangnya serasa berderak-derak patah, serta sendi-sendinya seperti terlepas. Luka di lengan serta lambungnya menjadi pedih sekali. Cambuk Uling itu telah menyobek kulitnya. Disamping itu, lehernyapun terasa nyeri. bekas-bekas cambuk Uling Kuning masih meninggalkan bekas-bekas goresan merah. Meskipun demikian Arya Salaka berusaha untuk melupakan semua sakit-sakit yang dideritanya.
Tetapi suatu pekerjaan yang berat, bahkan sangat berat telah diselesaikan. Melenyapkan Uling Putih dan Uling Kuning sekaligus. Kemudian tahulah ia, bahwa Mahesa Jenarlah yang telah menolongnya, ketika ia pingsan di tengah-tengah telaga, setelah ia berkelahi melawan Uling Kuning. Gurunya itu datang tepat pada saatnya, yang kemudian menyambarnya dan menariknya ke tepi. Kalau saja Mahesa Jenar terlambat beberapa saat saja, mungkin iapun telah binasa seperti Uling Kuning.
Ketika orang-orang yang mengerumuninya mengetahui bahwa keadaannya telah berangsur baik, maka satu demi satu mereka meninggalkan tempat itu. Yang tinggal kemudian hanya beberapa orang saja. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta dan Wiradapa.
Dengan pertolongan beberapa orang, Kebo Kanigara mendapatkan beberapa macam daun-daunan serta akar-akar yang diperlukan untuk mengobati luka Arya. Untunglah bahwa dalam beberapa hal Kebo Kanigara telah belajar pada Panembahan Ismaya, sehingga dengan cekatan ia dapat mengobati luka-luka itu.
Beberapa saat kemudian tampaklah keadaan Arya Salaka berangsur baik. Bahkan kemudian ia sudah dapat tidur. Dengan demikian ia dapat beristirahat lahir dan batin.
DEMIKIANLAH, untuk beberapa hari Arya perlu beristirahat benar-benar untuk menyembuhkan luka-lukanya serta memulihkan tenaganya. Sebab setelah ia bertempur mati-matian, terasa seolah - olah tenaganya telah terhisap habis. Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berusaha menjadikan orang- orang Gedangan lebih masak lagi. Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara akan dapat berada di tempat itu. Meskipun menurut perhitungan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, musuh tidak akan datang kembali. Orang- orang yang berkepentingan langsung dengan daerah Gedangan telah binasa. Sedangkan laskar Pamingitpun menurut dugaan Mahesa Jenar tidak akan segera kembali. Mereka pasti harus mempertimbangkan kekuatan yang ada di daerah kecil ini.
Mereka pada saat-saat yang lalu pasti tidak akan menduga bahwa di daerah ini ada orang-orang seperti Kebo Kanigara dan bahkan orang yang berjubah abu-abu, yang tanpa diduga-duga datang menolong.
Setelah Arya sudah pulih kembali kesehatan serta tenaganya, maka mulailah mereka mempertimbangkan apa yang akan dilakukan seterusnya. Menurut pertimbangan Kebo Kanigara, maka yang sebaik baiknya adalah menghadap Panembahan Ismaya dan melaporkan apa yang telah terjadi serta menyatakan keselamatan diri.
Demikianlah kemudian mereka terpaksa minta diri kepada orang-orang Gedangan, setelah mereka mengalami suka duka bersama, berjuang bersama. Tentu saja orang-orang Gedangan menjadi kecewa atas perpisahan itu. Tetapi perpisahan itu harus terjadi, sebagaimana matahari akan tenggelam pada senja hari setelah sehari penuh sinarnya memancari permukaan bumi. Demikianlah pula setiap pertemuan pasti akan diikuti dengan perpisahan. Cepat atau lambat. Karena tak ada sesuatu yang kekal di muka bumi ini. Setiap kali selalu ada perubahan-perubahan dan putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya bola bumi itu sendiri. Sekali sebagian wajahnya menjadi terang benderang karena cahaya matahari tetapi sekali menjadi gelap oleh bayangannya sendiri.
Kepada orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba untuk menjelaskan hal itu. Kemudian katanya mengakhiri karena itu selagi kita berada ditempat yang terang. janganlah kita bersombong diri. Janganlah kita menganggap bahwa di sana ada dunia yang gelap, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berhak menikmati terangnya sinar matari. Tetapi dalam keadaan demikian, kita justru harus mengucapkan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, bahwa kita masih berkesempatan untuk memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang lain, kitapun akan sampai pada daerah yang kelam. Pada saat yang demikian kita harus berdoa, semoga Allah SWT selalu menerangi hati kita menjelang masa depan yang cerah.
Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas pergi, meskipun dengan berat hati. Meskipun demikian, mereka berkesempatan untuk mengadakan sekedar selamatan perpisahan, meskipun sederhana.
Demikianlah ketika cerahnya matahari pagi sedang memercik di atas dedaunan, berjalanlah sebuah rombongan yang kecil meninggalkan desa Gedangan menuju ke pebukitan Karang Tumaritis. Di sepanjang jalan tidaklah banyak yang mereka percakapkan, sebab kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh kenangan-kenangan atas peristiwa yang baru saja terjadi.
Tetapi tidaklah demikian dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Selain kenangan- kenangan yang sekali-sekali membayang di dalam ingatannya, mereka juga berangan- angan tentang masa depan. Tentang Sawung Sariti beserta ayahnya Ki Ageng Lembu Sora. Tentang daerah perdikan Banyubiru. Dan yang tidak kalah pentingnya, tentang pusaka-pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan diketemukannya kedua keris itu, maka banyak hal yang sekaligus dapat diurai. Sebab keadaan Ki Ageng Gajah Sora pun sebagian tergantung pada keris-keris itu.
Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa Jenar adalah cara penyelesaian yang secepat- cepatnya mengenai Banyubiru. Tidaklah sepantasnya kalau Arya Salaka masih harus menyembunyikan diri terus-menerus. Karena itu bagi Mahesa Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang datang ke Banyubiru, dan dengan berterus terang menyatakan diri sebagai pengganti ayahnya, kepala daerah perdikan Banyubiru.
Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah diolah semasak-masaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan akibat yang sama sekali tidak diharapkan.
Demikianlah rombongan kecil itu berjalan menyusur jalan-jalan pegunungan dengan tenangnya. Sekali-kali mereka harus meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan dengan demikian mereka telah mengejutkan burung-burung liar yang sedang bertengger di atas karang-karang terjal yang menjorok di tebing-tebing pegunungan.
Pada saat rombongan kecil, yang terdiri dari Kebo Kanigara beserta putrinya Endang Widuri. Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Wanamerta sampai di Padepokan Karang Tumaritis, mereka melihat Panembahan Ismaya sedang duduk dikerumuni beberapa orang cantrik. Agaknya Panembahan itu sedang bercakap-cakap atau berceritera tentang suatu hal yang sangat menarik. Sebab tidaklah lazim Panembahan Ismaya memberi wejangan dan pelajaran dengan cara yang demikian.
Ketika salah seorang cantrik melihat kedatangan rombongan itu, serta memberitahukan kepada Panembahan Ismaya, maka dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu berdiri dan menyambut. Dipersilahkannya rombongan itu duduk pula bersama-sama dengan para cantrik.
Yang pertama-tama ditanyakan adalah keselamatan mereka yang baru saja datang menghadap.
Kebo Kanigaralah yang mewakili menjawab setiap pertanyaan Panembahan Ismaya, serta menyampaikan bakti mereka bersama-sama.
PANEMBAHAN Ismaya mendengarkan semua ceritera Kebo Kanigara dengan penuh perhatian. Kata demi kata seolah-olah dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat menangkap saripatinya. "Syukurlah kalau kalian selamat," katanya kemudian, namun wajahnya tampak muram. "Karena pangestu Panembahan," jawab Kebo Kanigara.
"Sebenarnya aku telah mendengar apa yang terjadi di Gedangan, dari tembang-rawat- rawat bakul sinambi wara. Juga seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan hasil pertanian kami, mendengar pula ceritera tentang pertempuran yang terjadi di Gedangan."
Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Wajahnya yang muram itu menatap dengan tajam ke arah mata Kebo Kanigara yang kemudian menundukkan kepalanya.
"Dan aku mendengar pula..." sambung Panembahan Ismaya, "Bahwa pada kedua belah pihak jatuh korban."
"Ya." jawab Kanigara pendek sambil masih menekurkan kepalanya.
"Dalam setiap perselisihan dan kekerasan akan jatuh korban," sambung Panembahan Ismaya bergumam seperti kepada dirinya sendiri. "Besar atau kecil, seperti apa yang baru saja terjadi."
Sekali lagi Panembahan tua itu berhenti, menelan ludahnya. Lalu kemudian ia berkata kepada salah seorang cantrik, "Kenapa belum kalian sajikan minuman untuk para tamu ini?"
Seorang cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman bagi rombongan yang memang kehausan itu. Setelah mengucapkan kata-kata itu. Panembahan Ismaya tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian tampaklah ia menundukkan wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.
Yang melihat hal itu, tak seorangpun yang berani mengucapkan sepatah katapun. Meskipun hati mereka diliputi oleh berbagai pertanyaan namun mulut mereka terkatub rapat.
Baru beberapa saat kemudian Panembahan tua itu berkata,
"Anak-anakku semua. Baru saja aku memperkatakan angger Arya Salaka. Aku dengar bahwa angger mengalami peristiwa yang hampir menyeretnya kedalam kesulitan."
Arya Salaka membungkukkan badannya, dan dengan hormatnya ia menjawab, "Benar Panembahan. Tetapi Allah telah membebaskan aku dari cengkeraman maut."
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lirih, "Angger, baru saja memperkatakan angger dengan para cantrik. Peristiwa seperti apa yang terjadi atas daerah Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali terjadi. Dalam lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang lebih kecil. Pertentangan yang terjadi diantara keluarga sendiri."
Panembahan Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah hendak menunggu sampai kata-katanya meresap kedalam otak bocah itu. Kemudian ia meneruskan,
"Baru saja aku berceritera kepada para cantrik. Ceritera tentang masa-masa lalu, yang pernah aku dengar dari mulut ke mulut, atau yang pernah aku baca dari lontar-lontar. Keretakan demi keretakan, perselisihan demi perselisihan dan pertempuran demi pertempuran telah berulang kali menusuk jantung kita sendiri. Usaha yang telah dikerjakan dengan bekerja keras dan penuh keprihatinan, akhirnya dihancurkan oleh ketamakan dan pemanjaan nafsu."
"Kisah tentang kebesaran Baginda Erlangga di Jawa Timur adalah satu diantaranya. Dengan susah payah baginda Erlangga berusaha untuk membina persatuan dari seluruh kerajaannya."
Dibekali dengan sakit dan lapar. Dengan mesu raga disepanjang bukit dan hutan. Sehingga oleh Empu Kanwa Baginda dipersamakan dengan Arjuna dalam Kakawin Arjunawiwaha. Tetapi yang kemudian terpaksa membagi daerah yang dengan susah payah disatukan itu menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang paling menyedihkan didalam hidupnya. Tetapi lebih daripada itu pewaris-pewarisnya ternyata telah menyobek-nyobek dada sendiri. Terutama Janggala, yang semakin lama menjadi semakin surut. Dan akhirnya lenyap dari percaturan sejarah. Sedang Kediri agaknya masih dapat bertahan lebih lama lagi. Namun negara inipun mengalami peristiwa yang sama."
"Baginda Jayabaya terpaksa harus berperang melawan kadang sendiri, yaitu Jayasaba. Tetapi apa yang mereka dapatkan dari perselisihan-perselisihan itu? Kediri pun semakin lama semakin surut. Dan hanyutlah Kediri pada jaman Baginda Kertajaya, dilanda oleh kekuatan yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat diketahui."
"Ken Arok, yang kemudian bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Tetapi kekuatan inipun kemudian terpecah belah. Pertengkaran-pertengkaran timbul. Golongan yang satu melawan golongan yang lain. Pengikut-pengikut Anusapati dari darah Tunggul Ametung melawan golongan Tohjaya dari darah Sang Amurwabhumi dengan isterinya yang kedua Ken Umang. Juga mereka tidak mendapatkan sesuatu dari pertengkaran ini kecuali kelemahan dan mendorong diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika golongan- golongan itu telah tidak lagi saling berdesak-desakan, datanglah Kertanegara. Tetapi tanpa disangka-sangka, di dalam tubuh kekuasaan Kertanegara terdapatlah Ardaraja, yang membantu kekuatan dari luar untuk menghancurkan Singasari. Juga Singasari kemudian runtuh. Setelah itu lahirlah Majapahit dengan megahnya."
"Kesatuan dan persatuan dapat dibina dengan cucuran keringat Sang Maha Patih Gajah Mada. Karena itulah Majapahit menjadi mercusuar dari negara-negara yang terserak- serak dari Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah lagi. Juga dengan negara-negara tetangga Syangka, Darmanegari, Campa, Kamboja dan masih banyak lagi."
Sekali lagi Panembahan Ismaya berhenti untuk sesaat. Arya mendengar ceritera Panembahan Ismaya itu dengan penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah didengarnya dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya ceritera itu lebih meresap daripada yang pernah didengarnya.
PANEMBAHAN Ismaya meneruskan, "Tetapi Majapahit pun kemudian menjadi surut. Sepeninggal Gajah Mada dan Baginda Hayam Wuruk, Majapahit seolah-olah kehilangan alas. Perang yang timbul diantara keluarga sendiri semakin mempercepat kehancurannya. Perang Saudara yang menyedihkan terjadi, ketika Blambangan tidak mau tunduk lagi. Sebab Adipati Blambangan merasa berhak pula atas tahta Majapahit. Akibat perang saudara yang disebut Perang Paregreg inilah maka Majapahit benar-benar telah menghancurkan dirinya sendiri. Sebab setelah itu Kerajaan Besar yang telah mengalami perang saudara selama 5 tahun itu benar-benar telah lumpuh dan tidak mampu mengembangkan sayapnya kembali. Raja-raja yang ada kemudian sama sekali tidak berarti. Adipati-adipati dan Bupati-bupati kemudian lebih senang memisahkan diri dan mendirikan negara-negara kecil yang terpecah belah."
"Dalam pada itu, bangkitlah kemudian kerajaan Demak. Nah, dalam hal ini anakmas Mahesa Jenar akan lebih banyak tahu daripada aku. Namun satu hal yang sekarangs angat mencemaskan. Kebesaran Demakpun agaknya terganggu. Dua garis keturunan yang aku dengar sekarang ini sedang dalam keadaan yang kurang menyenangkan. Garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen."
Panembahan Ismaya mengakhiri ceriteranya. Pandangan matanya yang lunak beredar dari wajah yang satu ke wajah yang lain. Sedangkan mereka yang mendegarkan ceritera itu, dengan cermatnya mengikuti setiap persoalan. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Mereka tidak mendengar kisah itu sebagai kisah melulu. Kisah yang harus disesali bahwa hal-hal yang menyedihkan itu telah terjadi.
Tetapi lebih daripada itu, masa yang lampau itu hendaknya menjadi cermin atas masa datang perpecahan demi perpecahan, perselisihan demi perselisihan antara keluarga sendiri. Dan itu terjadi sekarang. Ya, sekarang ini. Dan ini mengancam keselamatan kerajaan Demak.
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara sebagai seorang bangsawan cucu dari salah seorang yang pernah merajai Majapahit, hatinya tersentuh pula.
Arya Salaka yang tidak mengerti terlalu jauh tentang ceritera itu berusaha untuk menghubungkan dengan peristiwa di daerahnya, Banyubiru. Setiap kali ia merasa, bahwa memang hal yang serupa telah terjadi. Dalam lingkungan yang kecil, Tanah Perdikan Banyubiru. Namun demikian ia tidak tahu, bagaimana seharusnya ia memecahkan masalah yang dihadapinya. Tetapi ia tidak perlu bingung. Sebab nanti akan dapat menanyakan itu kepada gurunya.
Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar Panembahan Ismaya berkata dengan nada yang berbeda,
"Nah anak-anak sekalian. Aku terlalu tergesa-gesa untuk berceritera, sampai aku lupa bahwa kalian sedang lelah dan perlu beristirahat. Karena itu, silahkan kalian membersihkan diri, dan kemudian biarlah para cantrik melayani kalian makan bersama. Akupun perlu beristirahat setelah terlalu lama bermain-main dengan para cantrik."
Kemudian ditinggalkannya Kebo Kanigara beserta rombongannya oleh Panembahan Ismaya untuk mengaso di dalam sanggarnya.
Demikianlah kemudian merekapun segera menempati tempat mereka masing-masing seperti pada saat mereka berada di tempat itu. Dan untuk waktu-waktu seterusnya, kembalilah mereka menjadi bagian dari masyarakat kecil di atas bukit Karang Tumaritis.
Kebo Kanigara kembali dalam kedudukannya sebagai seorang Putut bersama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Wilis dan Widuri pun kembali pula hidup diantara para Endang di padukuhan itu.
Tetapi dalam pada itu, ada yang selalu menyentuh-nyentuh perasaan Mahesa Jenar. Ceritera Panembahan Ismaya tentang keadaan Demak sekarang sangat menarik perhatiannya. Ia selalu menghubung-hubungkan ceritera itu dengan pusaka-pusaka Demak yang hilang. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Apakah kalau pusaka itu diketemukan, dan kemudian dimiliki oleh salah seorang dari garis keturunan itu, keadaan lalu jadi tenang?
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang berjubah abu-abu, yang pernah datang ke Banyubiru dan mengambil kedua keris itu. Lebih daripada itu. Mahesa Jenar teringat dengan gamblangnya seorang yang berjubah abu-abu pula, yang dijumpainya di perjalanannya pada saat ia sedang kehilangan akal. Pada saat hatinya seolah-olah pecah karena hubungannya dengan Rara Wilis yang pada saat itu diantarkan oleh Sarayuda. Pada saat ia meninggalkan Arya Salaka di perjalanan dan berusaha untuk melupakan anak itu. Pada saat itu dijumpainya orang yang berjubah abu-abu itu. Teringat dengan jelasnya orang itu berkata kepadanya, ketika ia bertanya di mana kedua keris itu berada. Katanya, Mahesa Jenar, kedua keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu. Lalu orang berjubah itu meneruskan, Hati-hatilah kelak kau memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak memiliki keris itu. Keturunan Trenggana dan Keturunan Sekar Seda Lepen.
“Pilihlah siapa diantara mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat serta kesejahteraan negara. Kepadanya keris itu kau serahkan.” SUARA itu seolah-olah kini terngiang kembali dalam telinganya. Suara orang yang berjubah abu-abu. Tiba-tiba ia menghubungkan pesan orang berjubah abu-abu itu dengan ceritera Panembahan Ismaya.
Dua garis keturunan yang diam-diam mengandung pertentangan, garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen.
Hati Mahesa Jenar kemudian menjadi berdebar-debar. Apakah hubungannya antara ceritera Panembahan Ismaya dan orang yang berjubah abu-abu itu. Dan apakah sebabnya maka orang yang berjubah abu-abu itu tiba-tiba saja muncul di dalam pertempuran yang terjadi beberapa saat yang lalu, ketika pasukannya sedang dalam keadaan yang sangat berbahaya? Persoalan-persoalan itu selalu melingkar-lingkar di dalam relung dada Mahesa Jenar, bahkan kemudian telah mendorongnya untuk menilai setiap keadaan paling kecilpun dalam usahanya untuk menemukan jawaban teka-teki yang selalu mengganggu otaknya itu. Malahan lebih daripada itu, ia sudah bertekad untuk menemukan suatu kepastian, bahwa orang yang berjubah abu-abu dan orang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya pastilah ada tali yang menghubungkan mereka itu. Dalam usahanya itu mula-mula Mahesa Jenar tidak ingin berkata kepada seorangpun. Untuk sementara ia ingin bekerja sendiri.
Dihubung-hubungkannya semua yang pernah dilihat dan didengarnya, yang pernah dialami dan pernah dihayati selama ini. Meskipun dalam beberapa hari kemudian tak ada sesuatu yang menjelaskan dugaannya, namun dengan sabarnya ia bekerja terus. Sebab apabila hal itu bisa dipecahkan, akan terbukalah beberapa masalah sekaligus. Tetapi akhirnya kepada Kebo Kanigara, seorang yang telah banyak memberi bantuan kepadanya dalam pencapaiannya atas taraf peresapan ilmunya lebih sempurna lagi, Mahesa Jenar ternyata tidak dapat berahasia.
Kepada Kebo Kanigara diceriterakannya semua yang pernah dialami dan semua dugaan yang tersimpan di dalam dadanya. Mendengar semuanya itu, Kanigara mengerutkan keningnya tinggi-tinggi. Wajahnya berubah menjadi tegang. Dan dengan hati-hati ia menjawab,
"Mahesa Jenar, meskipun aku telah agak lama tinggal di padepokan ini, namun banyak hal yang tidak aku ketahui tentang Panembahan Ismaya. Yang aku ketahui adalah, Panembahan Ismaya memang sering meninggalkan padepokan ini. Seterusnya aku tidak tahu."
Mahesa Jenar dapat mempercayai kata-kata Kebo Kanigara itu. Sebab orang yang berjubah abu-abu itu pasti tidak menginginkan seorangpun mengetahui keadaan sebenarnya. Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar mendapatkan suatu pikiran yang barangkali akan dapat memperjelas persoalan. Dan ketika pikirannya itu disampaikan kepada Kanigara, ia menjadi tersenyum dan menjawab,
"Mahesa Jenar, otakmu benar-benar terang. Dan beruntunglah semua pengalaman yang pernah kau alami dapat kau pergunakan sebaik-baiknya. Aku sependapat dengan rencanamu, dan aku akan membantumu."
Kemudian bersepakatlah mereka untuk mencoba memecahkan teka-teki yang rumit itu. Kali ini mereka akan menempuh jalan yang sedikit berbahaya. Namun apabila jalan yang dilewatinya benar, akan terpecahkanlah persoalan itu.
Demikianlah pada suatu malam, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Kepada Rara Wilis dan Endang Widuri, mereka berpesan bahwa mereka akan menempuh suatu perjalanan yang agak panjang, untuk menyelesaikan banyak persoalan, sehingga mereka tidak perlu ikut. Sedang kepada Arya Salaka, dipesankan untuk menyampaikan kepergian mereka besok pagi, langsung kepada Panembahan Ismaya, tidak kepada orang lain. Juga tidak kepada Rara Wilis dan Endang Widuri.
Ketika pada pagi harinya Arya Salaka menyampaikan pesan itu kepada Panembahan Ismaya, panembahan tua itu tiba-tiba mengerutkan keningnya.
Wajahnya berubah membayangkan kecemasan. Kepada Arya, ia bertanya, "Arya... kapankah mereka berangkat?"
"Semalam Panembahan," jawab Arya.
"Kenapa mereka tidak mengatakan keperluannya itu kepadaku?"
"Kedua paman itu takut kalau Panembahan tidak mengijinkan. Sebab Panembahan selalu tidak memperkenankan paman-paman itu untuk melakukan kekerasan untuk mencapai maksudnya, apabila tidak terpaksa sekali."
Kembali Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Namun karena kebijaksanaannya, Arya tidak dapat mengerti tanggapan apa yang menjalar dalam dada orang tua itu.
"Arya..." kata Panembahan pula, "Adakah paman-pamanmu itu yakin bahwa mereka akan menemukan apa yang dicarinya?"
"Ya Eyang... kedua paman itu yakin bahwa yang dicarinya itu ada di sana," jawab Arya.
"Seharusnya mereka minta ijin dulu kepadaku," gumamnya, lalu katanya meneruskan, "Tetapi semuanya sudah terlanjur. Kaulah sekarang yang harus menggantikan kedua pamanmu menuntun para cantrik dan semua penghuni padepokan ini."
Demikianlah Panembahan tua itu menyesali perbuatan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dalam hal ini, Arya Salaka pun menjadi heran. Apakah salahnya kalau kedua pamannya minta ijin lebih dulu? Kalau masalahnya benar-benar penting, apalagi menyangkut kedua keris pusaka Demak itu, pasti Panembahan Ismaya akan mengijinkan. Tetapi Arya Salaka tidak mau berpikir terlalu panjang. Kalau kedua pamannya itu berbuat demikian, pastilah ada hal yang memaksa mereka melakukan itu.
SEMENTARA itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah jauh meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Mereka pergi ke arah timur dan kadang-kadang mereka mengarah ke utara, dengan tujuan Banyubiru.
Perjalanan itu memang agak jauh. Lewat tanah-tanah yang berbatu-batu tajam dan kadang-kadang mereka harus mendaki lereng-lereng terjal. Untunglah bahwa sebelum mereka menempuh perjalanan itu mereka sempat singgah di Gedangan untuk mendapatkan dua ekor kuda yang baik.
Dengan kuda itulah mereka menempuh perjalanan. Diiringi oleh derap kaki-kaki kuda mereka yang berirama menyentuh batu-batu padas di bawah sinar matahari pagi, setelah mereka beristirahat beberapa lama. Burung-burung yang hinggap di batang-batang pohon liar memandang kedua penunggang kuda itu dengan kagumnya. Seolah-olah mereka sudah mengenalnya dengan baik, bahwa kedua orang itu adalah dua orang perkasa yang sedang dalam perjalanan yang berbahaya.
Namun demikian, wajah-wajah mereka itu tampak betapa cerahnya secerah matahari pagi, yang memandang jalan yang terbentang di hadapannya dengan penuh keyakinan. Meskipun batu-batu padas menjorok menghadang perjalanan mereka, mereka sama sekali tidak mempedulikannya.
Demikianlah kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan sedang. Beberapa saat kemudian mereka menyusup hutan-hutan yang tidak begitu lebat. Tetapi semakin mereka menyusup ke jantung hutan itu, terasa bahwa hutan itu menjadi semakin padat. Meskipun demikian perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Kuda-kuda mereka pun seolah-olah terpengaruh oleh kebesaran tekad para penunggangnya.
Ketika matahari menjadi terik, seakan-akan ingin membakar hutan itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menghentikan perjalanan mereka, pada saat mereka menjumpai air. Mereka segera membiarkan kuda-kuda mereka minum, sedang mereka berduapun beristirahat pula. Setelah puas, barulah mereka meneruskan perjalanan kembali.
Tujuan mereka yang sebenarnya bukanlah kota Banyubiru. Banyubiru bagi Mahesa Jenar hanyalah merupakan ancar-ancar ke arah tujuannya. Karena beberapa orang Banyubiru telah mengenalnya, maka ia sengaja memasuki kota itu, setelah malam menjadi gelap.
Dari Banyubiru, Mahesa Jenar menyusup ke utara. Melewati hutan-hutan yang tidak begitu lebat untuk kemudian membelok ke arah Timur. Mendaki lambung Bukit Gajahmungkur dan seterusnya menyusur sepanjang lerengnya ke utara.
Pada sebuah puncak kecil dari bukit-bukit yang merentang membujur ke utara itu Mahesa Jenar berhenti.
”Kakang Kanigara, di sini aku pernah berkelahi melawan orang-orang dari golongan hitam hampir seluruhnya,” kata Mahesa Jenar.
”Siapa saja?” tanya Kebo Kanigara.
”Sima Rodra muda suami istri, sepasang Uling, Lawa Idjo dan Lembu Sora,” jawab Mahesa Jenar.
”Jaka Soka...?” tanya Kanigara pula.
”Tidak. Ia sedang bertengkar dengan Lembu Sora saat itu,” jawab Mahesa Jenar pula. ”Dapatkah kau mengatasi keadaan?”
”Tidak. Aku hampir saja mati. Untunglah aku terperosok ke dalam jurang karena pertolongan seseorang.”
”Bagaimana ia menolongmu?”
”Ia adalah orang yang cukup sakti untuk meruntuhkan tebing dimana pada saat itu aku sedang terdesak.”
Kanigara tersenyum. Hebat juga orang yang telah menolongnya itu. ”Siapakah dia?”
Dialah yang aku sebut-sebut bernama Radite.”
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, ”Jadi... orang yang sebenarnya berhak menamakan diri Pasingsingan itukah?”
”Ya.”
Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat. Angin malam berhembus perlahan mengusap wajah-wajah yang segar itu. Kanigara memandang berkeliling. Di sebelah Barat tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan, permukaan air Rawa Pening yang tenang seperti kaca. Sedikit ke arah barat tampaklah seperti gelombang hitam, batang- batang padi yang bergerak-gerak tersentuh angin.
”Inikah daerah yang harus dipimpin oleh Arya Salaka kelak?” tanya Kebo Kanigara.
”Ya. Membujur ke barat dan menjorok ke utara sepanjang tepi Rawa Pening,” jawab Mahesa Jenar. Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi. Memang Banyubiru adalah tanah yang patut diperebutkan. Daerah yang subur dan memiliki sungai-sungai yang cukup, sehingga sawah ladangnya tidak saja selalu tergantung pada jatuhnya hujan.
Sesaat kemudian kembali mereka meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai di sebuah hutan kecil, mereka berhenti untuk melepaskan lelah.
Ketika matahari pagi mulai menerangi punggung-punggung bukit, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mulai dengan perjalanannya kembali. Kuda-kuda mereka nampaknya menjadi segar dan berlari-lari dengan riangnya. Hutan-hutan di daerah ini bukanlah merupakan hutan-hutan yang lebat. Sebab hampir setiap hari daerah ini dirambah oleh orang-orang yang mencari kayu.
Kaki-kaki kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terdengar berderap-derap dalam irama angin pagi. Debu yang putih tipis mengepul-ngepul dilemparkan oleh kaki-kaki kuda itu. Tetapi sesaat kemudian telah lenyap terhambur oleh hembusan angin.
Demikianlah mereka menempuh perjalanan pada hari terakhir. Mereka mengharap bahwa malam nanti mereka telah sampai pada arah yang harus mereka tuju.
DI daerah ini perjalanan mereka tidaklah dapat begitu lancar. Karena Mahesa Jenar masih harus mengingat-ingat jalan manakah yang pernah ditempuhnya dahulu. Sebab baru sekali ia pernah ke tempat yang ditujunya sekarang. Itu saja pada arah yang berlawanan. Untunglah bahwa ketajaman ingatannya cukup terlatih untuk mengenal daerah-daerah baru. Sebagai seorang prajurit, hal yang sedemikian adalah sangat berguna.
Mereka sampai ke tempat tujuan ketika matahari masih tampak tergantung di langit sebelah barat. Meskipun sinarnya sudah tidak begitu kuat, namun pantulan cahaya ujung- ujung dedaunan nampak berkilat-kilat. Alangkah segarnya alam.
Karena itu mereka masih harus beristirahat kembali sambil menunggu matahari itu membenamkan diri, sebelum mereka memasuki daerah yang disebut oleh penghuninya Pudak Pungkuran.
Demikianlah, sambil beristirahat mereka memperbincangkan apakah yang kira-kira akan terjadi. Mereka mengharap bahwa mereka menempuh jalan yang benar. Dalam pada itu merekapun masih harus menilai-nilai diri. Terutama Mahesa Jenar. Apakah dalam tingkatannya yang sekarang ia sudah dapat menempatkan dirinya sejajar dengan angkatan gurunya.
”Mahesa Jenar...” kata Kebo Kanigara, ”Menurut pendapatku, kau benar-benar sudah mencapai tingkatan ayah Pengging Sepuh. Bahkan andaikata ayah Pengging Sepuh itu masih ada sekarang, belum tentu ayah dapat menang bertempur melawanmu. Sebab tenagamu masih penuh, disamping pengalamanmu yang aneh-aneh yang barangkali tidak terlalu banyak orang lain mengalami. Kesenanganmu bersama muridmu mengamat-amati gerak-gerik binatang adalah sangat berguna bagi ilmumu. Dan bukankah kau telah pernah membuktikannya pula untuk melawan Sima Rodra tua.
Kekalahan Sima Rodra adalah karena ia hanya mengagumi ketangkasan dan kekuatan seekor harimau. Sedang kau tidak. Kau mengagumi ketangkasan harimau tetapi kau mengagumi pula kelincahan seekor kijang, bahkan seekor kelinci sekalipun.”
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Jawabnya,
”Terima kasih Kakang. Dan bukankah itu berkat hadirnya seorang Mahesa Jenar palsu di kaki bukit Karang Tumaritis?”
Kanigara tersenyum pula.
”Aku hanya merupakan lantaran supaya kau sudi sedikit membuang waktu untuk mendalami ilmumu. Tidak saja berjalan dari satu daerah ke daerah yang lain, meskipun kehadiranmu di daerah-daerah itu ternyata sangat berguna pula.”
Sementara itu langit telah bertambah buram. Dan sesaat kemudian lenyaplah cahaya matahari yang terakhir. Meskipun kemudian bulan muncul pula di langit, namun sinarnya tidaklah terlalu cerah.
Pada saat yang demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara meneruskan perjalanan mereka, memasuki sebuah pedukuhan kecil yang masih belum banyak mengalami perubahan seperti empat atau lima tahun yang lalu.
Ketika mereka sampai di depan sebuah rumah di ujung pedukuhan kecil itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat turun dan kemudian menambatkan tali kudanya pada sebatang pohon.
Mereka sama sekali tidak memperdulikan wajah-wajah yang terheran-heran mengintip dari sela-sela daun pintu hampir dari setiap rumah, ketika penduduk di pedukuhan terpencil itu mendengar derap dua ekor kuda di jalan-jalan mereka. Hal yang demikian adalah jarang sekali, bahkan hampir belum pernah terjadi.
Ketika penghuni rumah di ujung jalan itu mendengar langkah kuda di halaman, maka segera tampaklah ia membuka pintu rumahnya. Sebuah wajah yang telah meninggalkan usia pertengahan menjelang saat-saat senja dalam edaran hidupnya, menjenguk keluar. Mula-mula tampak keningnya berkerut. Lalu kemudian membayanginya sebuah senyuman yang jernih.
Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Wajah yang ditandai oleh dahi yang lebar, bibir yang tebal, dan hidung yang besar, serta rambut yang mulai memutih, namun dari bawah dahinya memancarkan sinar matanya yang bersih lembut.
Ketika orang itu dengan tergopoh-gopoh datang menyongsongnya, Mahesa Jenar membungkuk hormat serta berkata,
”Assalamualaikum Kiai. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan Kiai.”
”Wa’alaikumsalam, tidak Angger. Aku senang kau sudi menjenguk aku kembali,” jawabnya.
Kemudian Mahesa Jenar memperkenalkan Kebo Kanigara sebagai seorang Putut dari Padepokan Karang Tumaritis dan bernama Putut Karang Jati.
”Marilah Angger berdua, marilah masuk,” ajaknya.
Kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengikuti orang tua itu memasuki rumahnya. Belum lagi mereka mulai dengan sebuah percakapan, tiba-tiba sebuah tubuh yang tinggi kekurus-kurusan berkulit merah tembaga terbakar oleh teriknya matahari, namun bermata terang seterang bintang-bintang di langit, telah berdiri di muka pintu. Dengan sebuah tawa yang memancar langsung dari dadanya ia menyambut kedatangan Mahesa jenar. Katanya,
”Aku tidak mimpi apapun malam tadi, serta siang tadi burung-burung prenjak tidak berkicau. Tetapi tiba-tiba membayanglah teja di langit.”
Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula kepada orang itu. Demikian pula Kebo kanigara. Melihat kedua orang itu, segera Kebo Kanigara mengetahui, bahwa meskipun mereka berpakaian petani seperti kebanyakan petani, namun kedua orang itu pasti bukanlah sembarang petani. Karena itu segera ia dapat menebak, bahwa kedua orang itulah yang oleh Mahesa Jenar dimaksud bernama Paniling dan Darba, atau yang bernama sebenarnya Radite dan Anggara.
DARBA selanjutnya meneruskan, ”Ketika aku mendengar derap kuda, aku bertanya- tanya dalam hati, siapakah orang yang terperosok ke pedukuhan kecil ini? Tetapi beberapa orang yang sempat mengintip dari celah-celah pintu berkata kepadaku, bahwa orang berkuda itu menuju ke rumah Kakang Paniling. Karena itulah aku segera datang kemari. Dan dugaanku benar. Bahwa pasti orang yang datang dari jauhlah yang telah mengunjungi rumah ini.”
”Demikianlah Paman...” jawab Mahesa Jenar. Dan kepada Darba pun Mahesa Jenar memperkenalkan Putut Karang Jati.
Demikianlah mereka setelah masing-masing mengucapkan salam selamat, mulailah Paniling dan Darba bertanya-tanya mengenai keadaan Mahesa Jenar selama ini tanpa prasangka apapun. Namun Mahesa Jenar hanya berusaha menjawab beberapa hal saja.
Akhirnya Paniling dan Darba merasa bahwa sikap Mahesa Jenar agaknya kurang wajar. Karena itu kemudian Paniling bertanya ”Angger, aku sangka kedatangan Angger mengandung suatu keperluan yang penting, yang barangkali agak tergesa-gesa. Nah, angger. Katakanlah. Kalau saja kami berdua dapat menolong kesulitan angger, biarlah kami berusaha untuk menolongnya.”
Sesaat Mahesa Jenar menjadi ragu-ragu. Beberapa kali ia memandang kepada Kebo Kanigara. Tetapi karena Kebo Kanigara sedang menundukkan mukanya, merenungi lantai, maka ia tidak melihatnya.
Akhirnya Mahesa Jenar memutuskan untuk melaksanakan rencananya. Meskipun dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi ia berdoa agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan baik.
Maka kemudian berkatalah ia, ”Paman berdua... benarlah dugaan Paman. Aku datang dengan suatu keperluan yang penting. Meskipun dengan berat hati, namun terpaksalah aku akan melakukan kewajibanku, kewajiban kepada negara dan rakyat.”
Paniling dan Darba bersama-sama mengerutkan keningnya. Mereka menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh Mahesa Jenar berdasarkan atas kewajibannya kepada negara dan rakyat?
”Paman...” Mahesa Jenar meneruskan, ”Setelah beberapa tahun aku berkeliling hampir seluruh sudut negeri ini untuk mencari kedua keris Demak yang lenyap seperti yang pernah aku katakan dahulu, dan sama sekali aku tidak menemukan jejaknya, maka berdasarkan pengamatanku, atas seseorang yang mengambil keris itu langsung dari Banyubiru, akhirnya aku berkesimpulan, bahwa tidak ada orang lain yang demikian saktinya, melampaui kesaktian Pasingsingan, serta berjubah abu-abu seperti Pasingsingan pula, selain salah seorang dari kedua paman ini. Paman Radite atau Paman Anggara.”
Perkataan Mahesa Jenar yang diucapkan kata demi kata dengan jelasnya itu, bagi Paniling dan Darba, seolah-olah menggelegarnya berpuluh-puluh guntur bersama-sama diatas kepala mereka. Sehingga dengan demikian, malahan seolah-olah tidak sepatah katapun yang dapat mereka tangkap dengan jelas. Karena itu dengan agak ragu-ragu pada pendengarannya, Paniling bertanya,
”Angger, apakah yang Angger katakan itu?”
”Maafkanlah aku Paman,” Mahesa Jenar menjelaskan, ”Bahwa aku akhirnya berkesimpulan. Keris -keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten agaknya berada di tangan paman salah seorang atau kedua-duanya.”
Paniling dan Darba bersama-sama menarik nafas panjang. Untunglah bahwa umur mereka yang telah lanjut, menyebabkan mereka dapat mengendapkan setiap perasaan yang paling pedih sekalipun.
Dengan sareh terdengar Paniling menjawab,
”Angger, beberapa tahun yang lampau telah aku katakan, bahwa akupun ikut merasa sedih atas lenyapnya kedua keris itu. Tetapi orang yang berjubah abu-abu itu bukanlah salah seorang diantara kami. Apakah pamrih kami dengan menyimpan kedua keris itu...? Kami telah merasa berbahagia hidup di padepokan ini bersama-sama dengan para petani. Sebab mereka adalah orang-orang yang berhati terbuka. Demikian yang dikatakan, demikian pulalah yang dipikirkan. Di sini aku merasa bahwa hidup kami telah penuh dengan arti.”
”Paman...” jawab Mahesa Jenar, ”Sekali lagi aku mohon maaf. Tetapi sayang Paman, bahwa aku tidak dapat berkesimpulan lain daripada itu.”
Darba menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mata yang suram ia berkata,
”Bagaimana aku dapat menduga yang demikian Angger. Kami sama sekali tidak melihat adanya suatu keuntungan apapun dengan menyimpan kedua keris itu. Sedang kami tahu, bahwa orang lain sangat memerlukannya. Seandainya kedua keris itu ada pada kami, maka dengan senang hati akan kami serahkan kepada Angger Mahesa Jenar.”
”Paman, aku tidak tahu siapakah yang berdiri di belakang Paman. Aku juga tidak tahu, apakah Paman mempunyai seorang calon untuk merebut tahta.”
Kembali Paniling dan Darba terkejut bukan buatan. Perlahan-lahan tanpa disadarinya mereka mengelus dada. Katanya,
”Oo... Ngger.... Jangan berpikiran demikian. Aku berdua sama sekali tidak mempunyai seorang muridpun. Juga kami berdua tidak mempunyai anak keturunan. Apalagi membayangkan seseorang untuk menduduki tahta kerajaan. Sungguh Ngger, mimpi pun aku tidak berani.”
Mahesa Jenar tertawa dingin. Sahutnya,
”Aku sudah bertanya kepada lebih dari seratus orang. Semuanya menjawab seperti jawaban Paman berdua itu. Apalagi Paman berdua adalah dua orang sakti yang hampir tak ada bandingnya di dunia ini.”
Sekali lagi Paniling dan Darba menarik nafas dalam-dalam. Terdengarlah Darba menjawab dengan nada sedih,
”Angger Rangga Tohjaya... Angger seharusnya bijaksana. Seandainya kami berdua benar-benar sakti seperti apa yang Angger sebutkan. Namun mustahillah bahwa kami berdua akan dapat menguasai seluruh prajurit dan pengawal kerajaan, meskipun kami menyimpan sipat kandel Demak. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
MAHESA JENAR tertawa semakin keras. ”Hampir setiap anak kecilpun mengetahui, bahwa dengan berpegangan pada kedua sipat kandel itu Paman berdua mengharapkan seluruh istana akan tunduk dengan sendirinya tanpa kekerasan.” ”Angger...” potong Paniling, ”Pandanglah wajah-wajah kami yang telah mulai berkeriput ini. Apakah terbayang nafsu duniawi yang berlebih-lebihan? Kalau demikian maka kami adalah orang-orang tua yang paling berdosa di dunia ini. Kami yang telah bertekad untuk meninggalkan segala nafsu duniawi dan berusaha untuk menenteramkan diri serta mendekatkan diri pada sesembahan kami yang langgeng. Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Dengan tajam ia memandang Paniling dan Darba berganti -ganti. Lalu katanya dengan lantang,
”Aku tidak percaya, bahwa kalian sudah tidak mempunyai pamrih duniawi lagi. Dan ketahuilah, bahwa pada wajah kalian memang terbayang nafsu yang berlebih-lebihan.”
Paniling dan Darba tersentak mendengar jawaban itu. Beberapa saat wajah mereka menjadi tegang. Tetapi sesaat kemudian wajah-wajah itu menjadi semakin sayu. Dengan nada yang sedih terdengar Paniling menjawab,
”Jadi, adakah Angger Mahesa Jenar tetap pada pendirian Angger, menyangka bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada pada kami...?”
”Ya,” jawab Mahesa Jenar tegas.
”Kalau demikian, lalu apakah yang akan Angger lakukan?” lanjut Paniling. ”Serahkanlah keris-keris itu kepadaku.” Suara Mahesa Jenar menjadi semakin tegas.
”Sayang, kami tidak dapat melakukan karena tidak ada yang dapat kami serahkan,” jawab Paniling pula.
”Aku akan membuktikan bahwa keris itu berada di tempat ini,” potong Mahesa Jenar.
Paniling dan Darba menggeleng-gelengkan kepala. Untuk beberapa lama mereka saling berpandangan. Sampai akhirnya terdengarlah Paniling menjawab dengan suara yang agak dalam,
”Kalau Angger ingin membuktikan, kami persilakan dengan senang hati.”
Mahesa Jenar menjadi tidak sabar lagi. Ia ingin Paniniling dan Darba menjadi marah. Karena itu ia membentak seperti membentak pesakitan,
”Hai paman berdua, jangan coba berputar-putar lagi. Aku dapat bertindak lunak. Tetapi aku juga dapat berbuat kasar. Jangan membantah lagi. Berdirilah dan tunjukkan kedua keris itu, di mana kau sembunyikan.”
Dahi Paniling dan Darba menjadi bertambah berkerut. Akhirnya dengan lemah terdengar Paniling menjawab, ”Angger... barangkali Angger benar. Bahwa aku telah berbuat diluar tahuku sendiri. Kalau demikian terserahlah kepada Angger. Kalau Angger ingin menghukum kami berdua, hukumlah. Lakukanlah yang Angger anggap paling benar dan adil. Kami tidak akan ingkar. Kalau Angger menganggap bahwa kami sepantasnya dihukum mati, dipancung atau digantung, lakukanlah itu. Kami akan menjalani penuh keiklasan dan kami akan tersenyum pada saat akhir kami.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Demikian agaknya Kebo Kanigara. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa kedua orang itu sudah demikian iklasnya menghadapi maut sekalipun, untuk membuktikan betapa bersih mereka.
Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata ia tidak berhasil membuat kedua orang itu marah dan menantangnya berkelahi. Bahkan kemudian Mahesa Jenar menjadi terharu sehingga terpaksa menundukkan kepala.
Apalagi ketika terdengar Darba melanjutkan kata-kata Paniling,
”Anakmas agaknya mempunyai wewenang untuk bertindak. Baik sebagai seorang yang setia pada keyakinannya atau bahkan barangkali Anakmas sekarang benar-benar sedang mengemban tugas sebagai seorang prajurit. Kalau dengan menjalani tindak kekerasan, kami dapat melapangkan tugas Angger maka kami akan merasa bahagia karenanya.”
Mahesa Jenar kemudian tidak mengerti lagi apa yang harus dilakukan. Ia sudah berusaha untuk memancing kemarahan kedua orang itu, namun ternyata sia-sia.
Dalam pada itu Kebo Kanigara yang sebenarnya terharu pula atas keiklasan kedua orang itu untuk pasrah diri, tiba-tiba tertawa nyaring.
”Hai orang-orang yang berjiwa kerdil... buat apa kami membunuh kalian? Ketahuilah bahwa sebenarnya aku adalah seorang petugas dari Istana. Akulah yang bernama Tumenggung Surajaya. Kalau kalian tidak mau menyerahkan kedua keris itu sekarang, maka kalian akan kami bawa menghadap ke Istana Demak. Aku berwenang untuk menghukum kalian, dan hukuman yang aku rencanakan adalah mengikat leher kalian, serta menggiring kalian keliling kota. Setiap orang yang berpapasan harus mengucapkan kata-kata penghinaan terhadap kalian. Perempuan dan anak-anak harus melempari kalian dengan batu. Sedang laki-laki dapat berbuat sekehendaknya atas kalian.”
Mahesa Jenar sendiri terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga tanpa disengaja ia mengawasi Kebo Kanigara dengan tajamnya. Namun Kanigara masih saja tertawa, malahan semakin keras.
BAGAIMANAPUN jernihnya hati yang tersimpan di dalam dada Paniling dan Darba, namun mereka adalah manusia juga. Manusia yang memiliki kesadaran diri atas derajadnya sebagai manusia. Karena itu, ketika mereka mendengar kata-kata hinaan tamunya, dada mereka terasa bergetar juga. Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih muda daripada Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu mereka sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin cepat beredar, beberapa kali ia menelan ludahnya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan diri supaya ia tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori diri mereka.
Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk hormat Darba berkata,
”Tuan... maafkanlah kami. Kalau kami tidak mengetahui sebelumnya bahwa yang sudi datang ke pondok kami adalah seorang tumenggung. Karena itu terimalah sembah bekti kami berdua.”
Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya,
”Aku sama sekali tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak berarti itu. Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang jauh lebih besar daripada salam yang akan menyenangkan hatiku.”
”Bukan itulah maksud kami,” potong Darba yang nafasnya semakin berdesakan di dalam rongga dadanya. ”Tetapi memang seharusnyalah kami menghormati Tuan. Hanya sayanglah bahwa Tuan telah menjalankan pekerjaan agak kurang bijaksana.”
”Apa...?” bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan mata. ”Kau bilang aku kurang bijaksana...? Hai orang-orang yang tak berarti, berjongkoklah dan cium telapak kakiku sambil mengucapkan permohonan maaf atas kelancangan mulutmu.”
Paniling yang berdada luas lautan pun kemudian menjadi tidak senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap bahwa Kebo Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun Mahesa Jenar sadar, kalau tidak demikian maka kedua orang itu pasti tidak akan dapat marah.
”Baiklah, aku mohon maaf,” sahut Darba, ”Namun biarlah aku tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan. Sebab barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.”
Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak.
”Patuhi perintah, hai orang tua yang tak malu,” teriaknya. ”Sekarang aku menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang bernama Radite dan Anggara. Sebab kalian tidak lebih daripada sisa-sisa orang paria yang berkeliaran sejak zaman pemerintahan Majapahit. Kalian tidak pantas mendapat pelayanan sebagaimana aku menjadi manusia yang paling hina sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra.”
Sekarang Darba sudah tidak dapat membiarkan dirinya dihina lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya nama Radite dan Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan untuk tidak dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya menjadi bercahaya kembali. Cahaya yang memancar kemerah-merahan karena marah yang terpendam di dalam dada. Kemudian katanya, ”Terserahlah kepada Tuan. Namun sayang bahwa aku tidak ingin berbuat seperti yang Tuan maksudkan.”
Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar menjadi merah. Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling yang duduk di hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba yang berada di depan pintu, ia berteriak,
”Hai kau tua bangka, suruh adikmu melakukan perintahku.”
Perlahan-lahan Paniling menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih namun terasa betapa getaran kemarahan melontar hampir tak terkendali.
”Tidak, Tuan. Aku tidak dapat menyuruhnya berbuat demikian.”
”Lakukan perintahku,” ulang Kebo Kanigara. ”Atau aku harus datang kepadamu dengan membawa seorang perempuan seperti yang dilakukan Umbaran untuk memaksamu?”
Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh luka yang paling dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala macam kata hinaan. Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling telah tegak berdiri. Matanya memancar merah serta nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang hidungnya yang besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya bergetar. Kata-kata seorang jantan yang pernah bergelar Pasingsingan. Yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamalkan kebajikan. Karena itulah maka kata kata-kata itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa atas Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar.
”Angger berdua... aku sudah mengatakan apa yang aku ketahui dan apa yang iklaskan. Tetapi Angger berdua minta terlalu banyak dariku. Karena itu biarlah aku berikan yang paling berharga yang ada padaku, yaitu namaku Radite. Tetapi nama itu agak berbeda dengan nama Paniling, seorang petani yang tidak berharga. Tuan boleh berbuat sekehendak Tuan atas seorang petani yang bernama Paniling dan Darba. Tetapi tidak demikian atas nama Radite dan Anggara. Nah, Tuan... apakah yang tuan-tuan kehendaki sekarang, ambillah. Tetapi jangan mengharap Tuan dapat mengambilnya begitu saja. Nama itu adalah sama berharganya dengan nyawa kami.”
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat sikap Paniling dan Darba yang tiba-tiba telah berubah. Sikapnya kemudian benar-benar meyakinkan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti yang jarang dicari bandingannya.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti pula. Seorang yang masih cukup muda untuk berkembang terus, namun yang telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki Ageng Pengging Sepuh. Sedangkan Mahesa Jenar telah menemukan inti ilmu Perguruan Pengging. Apalagi mereka telah melakukan semuanya itu dengan sengaja. Sengaja memancing pertengkaran dan pertempuran dengan orang yang bernama Radite dan Darba, murid terpercaya dari Pasingsingan Sepuh. Demikianlah kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo Kanigara berkata,
”Bagus... bagus.... Begitulah seharusnya orang yang bernama Radite berkata. Aku, Tumenggung Surajaya, kepercayaan Sultan Demak, serta Adi Rangga Tohjaya pasti akan melakukan tugasnya dengan baik. Nah, keluarlah. Biar aku renggut nama kebanggaanmu dengan usaha seorang laki-laki.”
KEBO Kanigara tidak menunggu Paniling menjawab kata-katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu, diikuti oleh Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi ragu pula ketika dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik pintu, terjun ke dalam gelapnya malam. Sekali lagi tangannya menekan dadanya untuk mencoba mencari kembali pikirannya yang bening. Namun akhirnya ketika dilihatnya Darba telah meloncat pula keluar pintu, dengan ragu iapun keluar.
Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan demikian ia melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara berteriak,
”Hati-hatilah, hai orang yang bernama Radite. Aku datang untuk membunuhmu.”
Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam, tampaklah tubuh Kanigara dengan garangnya melayang menyerang Ki Paniling.
Paniling yang sebenarnya bernama Radite terkejut sekali mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan luar biasa kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa sakti lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan dalam dirinya, tentang orang yang mengaku bernama Tumenggung Surajaya.
Tetapi ia sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera harus melayaninya.
Maka segera terjadilah perkelahian yang dahsyat. Perkelahian antara dua orang sakti yang sukar dicari bandingnya. Dalam pada itu segera terasa oleh Kebo Kanigara bahwa Radite benar-benar seorang yang benar-benar sakti. Seorang yang telah mencapai tingkatan yang sangat tinggi dalam meresapi ilmunya.
Meskipun orangtua itu tidak tampak terlalu banyak bergerak, namun setiap gerakannya mengandung unsur-unsur yang sangat berbahaya.
Sebaliknya setelah mereka bertempur beberapa saat, Radite pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda itu. Dalam usia yang baru menjelang pertengahan abad telah memiliki ilmu yang sedemikian sempurna. Bahkan kadang-kadang sangat membingungkan. Apalagi ketika Radite melihat beberapa unsur gerak yang dikenalnya dengan baik. Unsur-unsur gerak dari sahabatnya almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun dalam beberapa hal telah banyak mengalami perubahan, namun unsur-unsur pokok masih jelas sebagaimana pernah dilihatnya dahulu.
Demikianlah kemudian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Dua orang yang sakti, yang dengan ilmu-ilmunya sedang berjuang untuk menguasai lawannya. Karena Kanigara masih belum berkenalan sebelumnya maka ia dapat bertempur dengan baik tanpa segan-segan. Dan karena itu pula, pertempuran itu pun menjadi seru sekali.
Darba dan Mahesa Jenar melihat pertempuran itu dengan kagumnya. Bahkan Darba pun akhirnya melihat pula persamaan antara orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itu dengan Ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya, siapakah orang itu dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh serta Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia menjadi sangat heran, bahwa Mahesa Jenar berkeras hati menyangka bahwa keris-keris pusaka Demak berada di tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba menyangka bahwa orang itu pasti mempunyai garis keturunan ilmu dengan Mahesa Jenar, dan orang itu sengaja diajaknya untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau untuk menjadi penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang diharapkan akan memecahkan beberapa persoalan yang penting dalam hidupnya dan masa depannya. Karena itu ketika Darba sedang asik memperhatikan pertempuran antara Radite dan Kebo Kanigara, berteriaklah Mahesa Jenar,
”Paman Anggara... karena Paman Anggara ikut pula dalam usaha menyembunyikan pusaka-pusaka Istana itu, maka Paman pun harus menerima hukumannya.”
Anggara yang sehari-hari menamakan dirinya Darba, terkejut. Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar...? Dan ketika ia melihat Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi bertambah heran. Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang itu. Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan dengan ilmunya. Meskipun Anggara tak pernah merendahkan orang lain, namun terhadap Mahesa Jenar tidaklah sewajarnya kalau ia terpaksa bertempur.
Karena itu Darba pun menjawab,
”Angger Mahesa Jenar... biarlah pamanmu Radite mempertahankan nama baiknya sekaligus namaku. Sebaiknya kita tidak usah ikut serta dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau juga mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti Tumenggung Surajaya itu pula, Mahesa Jenar... namun biarlah pertempuran mereka itu yang menentukan nasibmu. Kalau Kakang Radite binasa karena benar-benar berdosa terhadap negara, biarlah nanti aku kau binasakan pula. Tetapi kalau ternyata Kakang Radite tidak bersalah, aku harap kau menerima pula kenyataan itu. Dan untuk seterusnya kau tidak lagi menganggap kami menyembunyikan pusaka-pusaka itu.”
Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar menjadi ragu. tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo Kanigara dan Radite menjadi bertambah seru dan berbahaya, ia tidak mau tinggal diam. Dengan ikut sertanya dalam pertempuran itu ia mengharap segala sesuatunya akan menjadi jelas pula. Apakah ia telah menempuh jalan yang benar atau tidak. Karena itu sekali lagi ia berteriak,
”Paman Anggara terserahlah kepadamu. tetapi Rangga Tohjaya wajib melakukan kewajibannya.”
Selesai dengan kata-katanya, segera Mahesa Jenar meloncat dan langsung menyerang dada Anggara dengan kecepatan luar biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar, Anggara mau tidak mau secara naluriah terpaksa meloncat mengelak.
Sebenarnya Anggara masih ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian Mahesa Jenar gagal dengan serangan pertamanya, langsung ia berputar dan meluncurkan kakinya ke arah lambung Anggara dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini benar-benar tidak disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak dengan kecepatan penuh. Sebenarnya maksudnya hanya untuk meyakinkan Anggara bahwa dalam tingkatannya yang sekarang, ia telah cukup dewasa untuk bertempur melawannya. Tetapi tanpa disengaja, serangannya itu benar-benar telah membahayakan lawannya, sehingga ia menjadi terkejut sendiri ketika melihat Anggara benar-benar tidak sempat menghindar.
ANGGARA yang tidak menduga sebelumnya, bahwa Mahesa Jenar mampu bergerak secepat itu, benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk menghindar. Karena itu, segera ia menekuk kakinya, sedikit merendahkan tubuhnya, sambil melindungi lambungnya dengan sikunya untuk menangkis serangan Mahesa Jenar. Dengan demikian maka terjadilah benturan yang sengit antara kaki Mahesa Jenar dengan siku Anggara. Akibatnya mengejutkan. Bahkan tidak diduga-duga oleh Mahesa Jenar dan juga oleh Anggara. Dalam benturan yang terjadi, Anggara dan Mahesa Jenar masing-masing terdorong surut.
Bagi Mahesa Jenar yang sejak semula mengagumi kesaktian kedua tokoh murid Pasingsingan itu, menjadi heran bahwa kekuatan yang ada pada dirinya, setelah ia bekerja keras untuk menemukan inti sari dari ilmunya, dapat mengimbangi kekuatan Anggara. Sedangkan Anggara menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hati, siapakah yang telah mengubah Mahesa Jenar dalam waktu-waktu terakhir ini menjadi seorang yang demikian kuatnya. Tetapi karena itulah maka akhirnya Anggara menjadi sadar, bahwa Mahesa Jenar benar-benar telah memiliki bekal untuk melakukan tugasnya. Dengan demikian. Anggara kemudian benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar menyerang dengan cepatnya. Tetapi kali ini Anggara telah dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun lalu, ketika bersama-sama dengan Mantingan, Wiraraga, Gajah Alit dan Paningron bertempur melawan Sima Rodra tua dari Lodaya dan Pasingsingan. Ketika itu Mahesa Jenar berlima tidak lebih daripada lima ekor tikus melawan dua ekor kucing yang ganas. Tetapi tikus itu kini telah berubah tidak saja sebagai seekor kucing yang ganas, namun benar-benar telah berubah menjadi seekor harimau yang garang. Karena itulah maka Anggara pun menyambut serangan Mahesa Jenar dengan penuh kewaspadaan. Kewaspadaan seorang sakti yang mempunyai perbendaharaan pengalaman seluas lautan.
Demikianlah di ujung padukuhan kecil yang sepi itu terjadilah dua lingkaran pertempuran yang sengit. Dua pasang orang-orang sakti. Namun karena kepercayaan mereka pada diri sendiri, serta sifat-sifat kejantanan yang mereka miliki, maka pertempuran itu tidak banyak menimbulkan keributan. Masing-masing bertempur dengan berdiam diri. Hidup atau mati mereka sepenuhnya mereka percayakan kepada sumber hidup mereka.
Tetapi pertempuran itu sendiri merupakan pertempuran yang dahsyat tiada taranya. Kebo Kanigara memiliki ketangguhan seperti seekor banteng yang kuat tiada taranya. Sepasang kakinya yang kokoh telah membawakan tubuhnya pada keadaan-keadaan yang menguntungkan. Kadang-kadang kedua kaki itu tampak seolah-olah tertancap dalam- dalam membenam di tanah tempatnya berpijak, seperti batu karang yang kokoh kuat berdiri dengan tegaknya. Namun kemudian kakinya itu pula dapat berloncatan dengan lincah dan kecepatan yang mengagumkan.
Sebaliknya, Radite pun mempunyai keistimewaan yang sukar ada bandingnya. Meskipun kadang-kadang seakan-akan ia hanya bergeser setapak demi setapak, namun kadang- kadang seakan-akan kakinya seakan-akan tidak berpijak di atas tanah. Dengan tangan yang mengembang ia berloncatan kesana kemari, seperti seekor Garuda yang dengan garangnya bertempur mati-matian, mempertahankan serangannya.
Di tempat lain, tampak Mahesa Jenar dengan gigihnya bertempur melawan Anggara, murid Pasingsingan yang termuda. Namun murid termuda inipun memiliki ilmu yang luar biasa tingginya. Sebagai seekor naga yang bersayap, ia menyerang Mahesa Jenar dari segala jurusan. Menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tangan dan kakinya seolah- olah telah berubah menjadi sayap menyebar angin maut.
Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang luar biasa pula. Dengan mesu dhiri serta meraga-sukma tanpa seorang penuntun langsung ia berhasil menemukan intisari dari ilmu perguruan Pengging. Ditambah dengan kecerdasan otaknya yang cemerlang seperti bintang di langit, serta usahanya untuk menyesuaikan diri dengan alam, telah menjadikan ilmu dari perguruan Pengging itu suatu ilmu yang tiada bandingnya. Dengan demikian, maka iapun telah berusaha secermat-cermatnya, menyesuaikan diri untuk melawan Anggara yang bertempur sebagai seekor naga bersayap.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha pula untuk dapat mengimbangi lawannya. Sebagai seekor burung rajawali ia berjuang dengan dahsyatnya. Tangannya yang hanya sepasang itu seolah-olah berubah menjadi puluhan bahkan ratusan pasang sayap yang mengibas bersama-sama, menimbulkan desing angin yang menderu-deru, disamping kaki-kakinya yang menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh lawannya. Ternyata, ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa lama, kekuatan mereka tampak berimbang. Kebo Kanigara benar-benar dapat mengimbangi kesaktian murid Pasingsingan yang pernah mendapat kepercayaan untuk mempergunakan topeng yang terkenal sebagai wajah Pasingsingan, pernah memiliki pula jubah abu-abu serta akik kelabang sayuta beserta sebuah pisau belati panjang kuning gemerlapan, yang bernama Kyai Suluh.
Radite bukan seorang yang sombong, yang menganggap kesaktiannya tanpa tanding. Namun terhadap orang ini, yang menamakan diri Tumenggung Surajaya, ia menjadi heran. Ilmu orang itu pasti bersumber pada ilmu seketurunan dengan sahabatnya Pengging Sepuh. Namun ia menjadi heran, bahwa orang ini benar-benar dapat menguasainya dengan baik, bahkan memiliki perkembangan-perkembangan yang mengagumkan.
Menurut pengertiannya, Ki Ageng Pengging Sepuh hanya mempunyai seorang murid, yang bernama Mahesa Jenar, dan bergelar Rangga Tohjaya. Dalam pada itu, keheranannya, dalam pengamatannya yang hanya sepintas, tidak segera dapat menguasai Mahesa Jenar yang menyerangnya. Bahkan dalam beberapa lama, pertempuran mereka masih tetap dalam keadaan seimbang.
TAPI justru karena itulah, maka akhirnya mereka benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga serta kemampuan mereka. Pertempuran itu benar-benar telah menjadi semakin seru dan dahsyat. Bahkan yang tampak kemudian hanyalah bayangan-bayangan hitam di dalam gelapnya malam, yang berloncat-loncatan, berputar-putar semakin lama semakin cepat. Yang akhirnya menjadi seolah-olah dua pasang Wisnu dalam bentuknya yang hitam cemani, menari-nari dengan lincahnya, mengungkapkan sebuah tarian maut yang mengerikan.
Sementara itu, malam menjadi semakin dalam. Orang-orang di pedukuhan kecil yang sepi itu, yang mula-mula mengintip dari balik pintu-pintu mereka, ketika mereka tidak mendengar apapun lagi, maka mereka sama sekali tidak merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dua orang berkuda yang menyusur jalan-jalan sempit di padepokan mereka. Mereka hanya mengira, bahwa kedua orang itu adalah perantau-perantau yang memasuki mulut lorong dari satu arah dan keluar dari mulut lorong di arah lain. Mereka berhenti di ujung padepokan mereka, dan kemudian bertempur mati-matian dengan orang cikal bakal pedukuhan itu.
Kalau saja mereka mengetahui hal itu, apapun yang terjadi, pastilah mereka akan membantunya. Namun kalau mereka sempat menyaksikan pertempuran itu, mereka akan menjadi keheran-heranan, bahwa orang-orang yang setiap hari mereka panggil Ki Paniling dan Ki Darba, yang hanya mereka kenal sebagai seorang petani yang rajin, mampu bertempur sedemikian dahsyatnya, bahkan pasti diluar kemampuan pengamatan mereka, atau malahan mereka akan jatuh pingsan karenanya.
Demikianlah pertempuran itu masih belum tampak akan berakhir. Masing-masing sudah berjuang dengan sepenuh tenaga, namun seolah-olah mereka bertempur melawan hantu yang tak dapat disentuhnya.
Dalam saat-saat yang demikian itulah, terlintas di dalam otak masing-masing, suatu cara penyelesaian yang lebih cepat. Sudah pasti mereka mengerti bahwa setiap orang sakti memiliki ilmu-ilmu simpanan yang tak akan dipergunakan dalam sembarang waktu. Bagi Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, dalam hal yang demikian tidaklah sewajarnya mempergunakan ilmu-ilmu pamungkas mereka. Sebaliknya, Radite dan Anggara pun tak terlintas di dalam otak mereka untuk mengakhiri pertempuran dengan ilmu terakhir.
Karena itu, mereka telah mempersiapkan diri mereka untuk mengadakan pertempuran yang lama. Sebab mereka tidak dapat mengandalkan kekuatan maupun kecepatan bergerak serta unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawan-lawan mereka, sebab ternyata apa yang mereka lakukan selalu dapat diimbangi oleh setiap pihak. Meskipun demikian pertempuran itu masih tetap berlangsung dengan sengitnya. Sebab bagaimanapun juga mereka tetap berusaha untuk setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh lawan masing-masing. Tetapi justru dalam hal yang demikian itulah kadang-kadang orang terpaksa untuk berpikir lebih banyak. Dan dalam keadaan yang terpaksa demikian itulah kadang-kadang muncul kesanggupan-kesanggupan yang tidak pernah dirasakan ada di dalam dirinya. Kesanggupan yang malahan dapat mengejutkan diri sendiri.