Jilid 20
Setelah mengucapkan terimakasih, segera Manahan dan Handaka berjalan ke arah orang bertubuh pendek itu. Dan kemudian dengan hormatnya Manahan bertanya, “Adakah Bapak ini Lurah dari pedukuhan ini?”
Orang itu menggelengkan kepalanya, sambil menjawab,
“Bukan Ki Sanak, aku bukan lurah di sini. Adakah kau punya keperluan dengan lurahku?”
Manahan menganggukkan kepalanya. “Demikianlah, aku mempunyai sedikit keperluan.”
“Apakah keperluan itu?” tanya orang yang bertubuh pendek.
Tiba-tiba saja setelah mengalami peristiwa itu, timbullah keinginan Manahan untuk mengetahui lebih banyak hal lagi. Karena itu timbul pula keinginan untuk bermalam.
Maka kemudian kata Manahan,
“Sebenarnya keperluanku hanyalah akan mohon izin untuk bermalam barang semalam dua, setelah aku berjalan beberapa hari terus-menerus tanpa beristirahat.”
Orang yang bertubuh pendek itu mengernyitkan keningnya. Kemudian ia bertanya pula, “Siapakah kau berdua?”
“Aku adalah seorang perantau dan bernama Manahan. Sedang anak ini adalah anakku,” bernama Handaka, jawab Manahan memperkenalkan diri.
Dengan seksama orang itu mengamat-amati mereka berdua. Baru sesaat kemudian ia berkata, Saat ini lurah kami sedang menerima beberapa orang tamu. Karena itu mungkin tak ada tempat lagi bagi kalian untuk bermalam di rumah lurah kami.
“Kalaupun tempat itu ada, pastilah lurah kami dengan terpaksa tidak akan mengizinkan kalian bermalam di sana.”
Manahan mengangguk perlahan-lahan. Ia menjadi semakin ingin untuk mengetahui lebih banyak lagi. Karena itu katanya,
“Bukan maksudku untuk bermalam di rumah Pak Lurah. Meskipun aku ditempatkan di kandang kuda sekalipun, asal aku diizinkan bermalam untuk melepaskan lelah barang semalam dua malam, aku akan mengucapkan terimakasih.”
Orang yang bertubuh pendek serta bermata jernih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian setelah berpikir sejenak ia menjawab,
“Menilik wajah-wajah kalian yang merah hitam terbakar terik matahari, serta menilik pakaian kalian maka aku percaya bahwa kalian telah menempuh jarak yang sangat jauh. Maka adalah kewajiban kami untuk memberikan sekadar tempat melepaskan lelah bagi kalian berdua. Karena itu maka kalian akan aku bawa pulang ke rumahku, di sana kalian dapat bermalam. Sebab selain Lurah di pedukuhan ini, aku pun termasuk orang yang harus membantu pekerjaannya.”
Jawaban itu membuat hati Manahan menjadi gembira. Karena itu segera ia mengangguk hormat.
“Alangkah besar hati kami berdua atas izin sekaligus tempat yang disediakan untuk kami berdua. Tetapi hendaknya kehadiran kami janganlah menambah kesibukan,” katanya.
Orang itu tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Aku memang selalu sibuk,” katanya. “Jadi kehadiran Ki Sanak sama sekali tak mempengaruhi kesibukan itu.”
Memang sejak semula Manahan sudah mengira bahwa orang itu pasti seorang yang baik hati serta ramah, ditilik dari sinar matanya yang jernih. Apalagi setelah Manahan bercakap-cakap sejenak, makin pastilah ia bahwa orang itu orang yang berbudi.
“Marilah Ki Sanak,” kata orang itu, “Ikutlah ke pondokku. Dan kalian dapat beristirahat sepuas-puasnya.”
Maka kemudian ikutlah Manahan serta Bagus Handaka ke rumah orang yang bertubuh pendek bermata jernih itu. Dan kemudian ketika mereka bercakap-cakap di sepanjang jalan, tahulah Manahan bahwa orang itu adalah tangan kanan dari lurah mereka, namanya Wiradapa.
Sebagai seorang kepercayaan kepala pedukuhan, rumah Wiradapa tidaklah begitu jauh dengan rumah lurahnya. Halamannya cukup luas ditumbuhi berbagai macam pepohonan serta dipagari oleh deretan pohon nyiur yang berpuluh-puluh jumlahnya. Di pedukuhan yang kecil itu, rumah Wiradapa merupakan rumah yang cukup baik meskipun tidak begitu besar. Beratap ijuk dan bertulang-tulang kayu.
Di rumah itu pun Manahan mengalami pelayanan yang baik, meskipun bagi Manahan dan Handaka hanya disediakan ruangan di bagian belakang rumah. Sebab menurut tangkapan Wiradapa, Manahan tidaklah lebih dari dua ayah-beranak yang pergi merantau untuk mencari penghidupan yang baik.
Tetapi kemudian sejak Manahan serta Handaka dipersilakan di ruang yang diperuntukkan bagi mereka, maka mereka tidak lagi bertemu dan bercakap-cakap dengan Wiradapa sampai malam, karena Wiradapa harus pergi ke lurahnya.
Manahan dan Handaka yang setelah beberapa lama selalu tidur di tempat-tempat yang sama sekali tak menentu, dan sekarang mendapat tempat pembaringan yang selayaknya, segera membaringkan diri sejak gelap mulai turun. Tempat pembaringan yang tidak lebih dari sebuah bale-bale bambu serta tikar pandan yang dibentangkan di atas galar. Bagi Manahan serta Handaka, pada saat itu dirasakan sebagai suatu pembaringan yang sangat baik. Karena itu pula maka belum lagi malam sampai seperempat bagian, mereka telah tertidur nyenyak.
Tetapi meskipun bagaimana nyenyaknya mereka tidur, namun telinga Manahan adalah telinga yang terlatih baik. Itulah sebabnya meskipun suara itu sangat perlahan-lahan tetapi sudah cukup untuk membangunkannya.
Manahan menjadi terkejut ketika mendengar seseorang berkata perlahan, “Di mana mereka tidur...?”
“Di ruang sebelah belakang, Tuan,” jawab yang lain, yang oleh Manahan suara itu dikenalnya, yaitu suara Wiradapa.
Kemudian terdengarlah beberapa orang melangkah mendekat ke ruang tidurnya. Mendengar langkah-langkah itu, segera Manahan curiga. Karena itu ia pun segera bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tetapi sampai sedemikian ia merasa masih belum perlu untuk membangunkan muridnya yang masih tidur dengan nyenyaknya.
Sampai di muka pintu, terdengarlah langkah-langkah itu berhenti, dan terdengarlah seseorang berbisik, “Kau yakin bahwa orang itu tak berbahaya...?”
“Tidak, Kakang Lurah, aku yakin bahwa orang itu hanyalah bagian dari orang-orang yang hidup berpindah-pindah seperti burung yang selalu mencari tempat dimana ada makanan.” Terdengar Wiradapa menjawab.
“Aku akan melihatnya ” Terdengar suara lain lagi.
“Silakan Tuan,” jawab Wiradapa.
“Aku akan dapat mengetahui apakah dia orang berbahaya atau benar-benar orang-orang malas yang kerjanya mondar-mandir dari desa yang satu ke desa yang lain. Terdengar lagi suara itu. Sebab aku tidak mau ada orang yang dapat mengganggu usahaku.”
Kembali terdengar Wiradapa menjawab, “Apa saja yang baik bagi Tuan.”
Kemudian terdengarlah langkah-langkah mereka semakin dekat dan dengan sekali dorong pintu itu sudah terbuka.
Dengan tangkasnya salah seorang dari mereka meloncat masuk dan tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam sebilah pedang. Dalam sinar pelita yang remang-remang, berkilat-kilatlah cahayanya menyilaukan. Dengan suara yang keras orang itu membentak, “He, perantau malang, aku bunuh kau.”
Berbareng dengan itu melekatlah ujung pedangnya di dada Manahan yang masih saja berbaring di bale-bale bambu.
Mendengar orang itu berteriak, Bagus Handaka menjadi terkejut. Cepat ia dapat menguasai kesadarannya karena latihan-latihan berat yang pernah dijalani. Tetapi demikian ia akan bergerak, terasalah pergelangannya dipijat oleh gurunya, yang berbaring di sampingnya. Sehingga dengan demikian ia mengurungkan niatnya, meskipun ia sama sekali tidak tahu maksudnya. Bahkan kemudian ia melihat gurunya menggigil ketakutan dan dengan suara gemetar berkata,
“Tuan... jangan aku Tuan bunuh. Ampunilah aku yang tidak berdosa.”
Untuk beberapa saat beberapa pasang mata memandanginya dengan seksama. Mereka terdiri seorang anak sebaya dengan Bagus Handaka, yang kira-kira baru berumur 16 tahun. Dialah yang dengan geraknya yang lincah mengancam Manahan dengan pedangnya. Kemudian di sampingnya sebelah-menyebelah berdiri dua orang yang lain lagi terdiri Wiradapa dan seorang lagi yang disebutnya Kakang Lurah.
Dialah kepala daerah Pedukuhan Gedangan.
Kemudian terdengarlah anak yang memegang pedang itu berkata dengan nyaring, “Menyebutlah nama nenek moyangmu, sebab saat kematianmu telah datang.”
Handaka tidak tahu siapakah yang telah mengancam gurunya, juga orang-orang yang berdiri di dalam ruangan itu. Ia tidak habis herannya melihat sikap gurunya.
Baginya lebih baik mati dengan tangan terentang daripada mati seperti seekor cacing yang sama sekali tak berdaya. Bukankah gurunya telah menuntunnya demikian dalam menghadapi lawan-lawannya ...? Tetapi sekarang gurunya sendiri bersikap sebagai seorang pengecut. Karena perasaan-perasaan yang berdesakan itulah Handaka menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi karena pergolakan dadanya yang tak tertahan.
Hampir Handaka tak dapat menguasai dirinya ketka sekali lagi ia mendengar Manahan menjawab,
“Ampun Tuan, ampun Apakah dosaku maka Tuan akan membunuhku?”
Melihat sikap Manahan itu Wiradapa memandangi wajah anak muda yang memegang pedang itu dengan sikap meminta untuk membebaskannya. Tetapi anak muda itu agaknya sama sekali tidak menaruh belas kasihan. Namun kemudian terdengarlah ia tertawa sambil berseru, “Apakah kerjamu berdua di sini?”
Manahan nampak gugup mendengar pertanyaan itu. Maka jawabnya gemetar, “Aku tidak apa-apa, Tuan. Sungguh aku tidak apa-apa.”
Sekali lagi anak muda itu tertawa menyeringai. Sedang ujung pedangnya masih saja melekat di dada Manahan. Sesaat kemudian terdengarlah ia berkata,
“Kau datang pada saat yang tidak menguntungkan bagimu.” Setelah itu ia merenung sejenak, dan kemudian melanjutkan. “Kenapa kau pilih desa ini untuk bermalam...?”
“Aku tidak tahu” jawab Manahan gugup.
Anak muda itu menarik nafas panjang mendengar jawaban Manahan yang ketakutan itu. Kemudian tangannya yang memegang pedang itu mengendor. Dan dengan nada yang merendahkan ia berkata,
“Kalau di dunia ini dipenuhi oleh orang-orang macam itu, maka manusia ini tak ada bedanya dengan binatang-binatang melata yang mengais makanan dari dalam tanah tanpa dapat berbuat apa-apa.”
Kemudian ia membentak, “He orang-orang malang. Kau harus menggerakkan tanganmu kalau kau ingin mengisi perutmu. Selama kau berada di sini kau harus bekerja keras. Aku menjadi muak melihat kau menjual belas kasihan untuk mendapat makan. Karena itu besok pada saat matahari terbit, kau sudah harus datang ke rumah bapak lurah untuk menerima pekerjaan yang harus kau lakukan besok.”
Sesudah berkata demikian anak muda itu segera menyarungkan pedangnya kembali, dan sekali lagi dengan pandangan yang menghina ia menggerutu,
“Seharusnya orang-orang macam itu wajib dimusnahkan, supaya dunia kita tidak kekurangan makan.”
Setelah itu segera ia pun melangkah pergi, diikuti oleh kedua orang yang bertubuh kokoh kuat berwajah seram, serta lurah pedukuhan itu. Tinggallah Wiradapa yang memandangi Manahan dengan perasaan welas. Tetapi ketika ia akan berkata sesuatu, terdengarlah suara di luar, “He Wiradapa, apa yang kau kerjakan?”
Wiradapa mengurungkan niatnya, lalu dengan cepatnya ia melangkah keluar. Sebentar kemudian hilanglah langlah-langkah mereka ditelan oleh bunyi binatang-binatang malam.
Demikian langkah mereka menghilang, melentinglah Bagus Handaka dari tempat tidurnya, dan dengan kecepatan yang luar biasa ia sudah tegak berdiri di hadapan gurunya, seolah-olah ia ingin memperlihatkan ketangkasannya. Dengan mata yang memancarkan kemarahan dan gigi yang gemeretak terdengar ia menggeram, “Bapak...”
Setelah itu bibirnya sajalah yang gemetar, tetapi tak ada kata-katanya yang meluncur keluar. Meskipun di dalam dadanya berdesak-desakkan berbagai macam perasaan yang akan dilahirkan, namun hanya satu kata itulah yang berhasil diucapkan.
Tetapi ia bertambah bingung dan tidak mengerti ketika dilihatnya gurunya masih saja berbaring dengan bibir yang tersenyum-senyum. Baru ketika ia melihat Handaka gemetar di hadapannya, ia berkata “Duduklah Handaka.”
Tetapi Handaka masih saja tegak seperti patung, suara gurunya itu tidak terdengar oleh telinganya yang seperti mendesing-desing, sehingga Manahan terpaksa mengulangi lagi, “Duduklah Handaka.”
Dengan perasaan yang dipenuhi oleh teka-teki, Handaka kemudian duduk di samping gurunya. Namun terasa bahwa dadanya masih bergetar keras.
“Tenanglah Handaka. Tak ada yang perlu kau khawatirkan,” sambung Manahan kemudian.
“Tetapi...” sahut Handaka tergagap. “Tetapi kenapa demikian?”
Handaka menjadi semakin bingung ketika gurunya kemudian tertawa panjang, meskipun perlahan-lahan, supaya tidak menimbulkan suara riuh.
“Apa yang demikian...?” tanya Manahan sambil tertawa.
Handaka menjadi semakin bingung, meskipun demikian ia menjawab,
“Kenapa Bapak tadi menjadi sedemikian takut? Kalau Bapak tidak menahan aku, barangkali aku sanggup berbuat sesuatu untuk mengusir mereka. Ataupun kalau mereka adalah orang-orang sakti, bukankah lebih baik binasa daripada mereka hinakan sedemikian?”
“Bagus, memang sedemikianlah seharusnya,” potong Manahan.
“Tetapi kenapa aku tidak boleh berbuat demikian?” sambung Handaka yang merasa mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaannya. Maka mengalirlah kata-katanya seperti hujan yang dicurahkan dari langit.
“Dan kenapa Bapak sama sekali tidak melakukan perlawanan. Malahan bapak minta ampun kepada orang yang sama sekali tidak kenal. Bukankah kami tidak pernah berbuat kesalahan terhadap mereka? Sebab kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan...”
“Sudahlah Handaka,” potong Manahan. Tenanglah, dan dengarkanlah kata-kataku seterusnya.
Handaka menjadi terdiam. Ia mencoba untuk mendengarkan kata-kata gurunya dengan baik.
“Handaka...” kata Manahan kemudian.
“Aku percaya bahwa apa yang kau katakan itu dapat kau lakukan. Memang harusnya kita berbuat demikian. Tetapi untuk kali ini aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan pikiran yang kadang-kadang bertentangan dengan perasaan. Sebagai seorang laki-laki yang berhati jantan, seharusnya kita lawan setiap serangan dengan dada tengadah. Apalagi penghinaan. Namun demikian ada kalanya keadaan menuntut tanggapan yang lain atas penghinaan yang kita terima itu. Karena pertimbangan- pertimbangan itulah maka aku tidak melawan sama sekali ketika anak muda itu mengancamku dengan pedangnya.”
“Tetapi ia tidak sekadar mengancam,” sahut Bagus Handaka. “Bagaimana kalau pedang itu benar-benar ditusukkan kepada Bapak?”
"Bukankah ia tidak berbuat demikian?” jawab Manahan sambil tersenyum.
“Dan hal itu aku ketahui dengan pasti. Ia hanya akan menggertak untuk mengetahui apakah aku memiliki kemampuan untuk melawan atau tidak. Ia hanya ingin mengetahui apakah kita memiliki ilmu tataperkelahian atau tidak. Sekarang ternyata bahwa ia telah mendapat kesan bahwa kita adalah orang-orang yang malas, yang merantau dari satu desa ke lain desa untuk sekadar mendapat makan. Bukankah dengan demikian kita mendapat keuntungan?”
Setelah diam sejenak, Manahan kemudian meneruskan,
“Handaka... sebenarnya aku ingin mengetahui apa yang mereka lakukan di sini, tanpa kecurigaan apapun.”
Mendengar penjelasan itu Handaka menundukkan kepalanya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri atas ketergesa-gesaannya. Apalagi ia telah telanjur seolah-olah mengajari gurunya. Ternyata apa yang dilakukan gurunya adalah suatu cara untuk maksud-maksud tertentu.
“Sudahkah kau jelas Handaka?” tanya Manahan.
Handaka mengangguk perlahan. Sadarlah ia sekarang, betapa banyak persoalan yang sama sekali tidak dipikirkannya, yang ternyata perlu untuk diketahuinya. Ternyata bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan kekuatan dan kekerasan, tetapi dapat diambil cara yang lain. Dengan demikian ternyata bahwa pandangan gurunya sangat jauh mendahuluinya. “Nah, Handaka... marilah kita tidur kembali. Hari masih malam. Tutuplah pintu itu,” ajak Manahan sambil membaringkan dirinya kembali.
Perlahan-lahan Handaka pun bangkit menutup pintu, dan kemudian merebahkan dirinya di samping Manahan. Pikirannya sibuk menduga-duga siapakah orang-orang yang telah datang menjenguk nya tadi. Dalam remang-remang cahaya pelita ia tidak dapat memandang wajah mereka dengan jelas.
“Handaka...” kata Manahan pelan, “Mulai besok kita akan mendapat pekerjaan baru. Aku tidak tahu apakah kira-kira yang harus kita kerjakan. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan mengetahui siapakah mereka dan apakah maksud kedatangan mereka kemari.”
“Tetapi alangkah sombongnya anak muda itu, Bapak,” gerutu Handaka.
Manahan tertawa pendek, lalu jawabnya, “Bukankah itu persoalan biasa? Anak-anak sebaya dengan kau memang sedang dalam taraf pergolakan. Mereka senang menunjukkan ketangkasan serta kelebihannya.”
Handaka tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa sebagian jawaban gurunya ditujukan kepadanya pula. Sesaat kemudian terdengarlah Manahan meneruskan,
“Karena itu, jiwa yang bergolak itu harus mendapat saluran yang sebaik-baiknya. Untuk itu perlu kesadaran. Kesadaran akan keadaan diri sendiri serta keadaan yang melingkupinya.”
“Seperti biasa, Handaka selalu mendengarkan nasihat gurunya baik-baik. Ia berjanji dalam hati bahwa ia akan berusaha untuk mentaatinya sejauh-jauh mungkin.”
Setelah itu Manahan tidak berkata-kata lagi. Kantuknya telah mulai menyerangnya kembali. Dan sesaat kemudian ia pun telah tertidur pula. Demikian pula Bagus Handaka. Ketika ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, kesadarannya pun mulai tenggelam. Dan ia pun tertidur kembali dengan penuh angan-angan di kepala.
Pagi-pagi benar Manahan telah bangun. Segera Handaka dibangunkannya pula. Sebab pada saat matahari terbit mereka harus sudah sampai di halaman kalurahan untuk menerima tugas-tugas yang akan diberikan oleh anak muda yang datang semalam.
Ketika mereka keluar dari ruang itu mereka melihat Wiradapa sudah berdiri di pagar halaman. Agaknya ia pun baru bangun. Maka ketika ia melihat Manahan mendekati, ia pun berkata mengingatkan,
“Ki Sanak, bukankah kau diwajibkan datang ke kalurahan pagi ini?” Manahan mengangguk hormat sambil menjawab, “Benar Tuan, dan aku akan segera pergi.”
Baik Ki Sanak, bersiap-siaplah. Nanti kita pergi bersama.
“Sekarang mandilah, aku pun akan membersihkan diri pula,” kata Wiradapa sambil melangkah pergi.
Manahan dan Handaka pun segera pergi ke sumur di belakang rumah untuk membersihkan diri. Setelah itu mereka menghangatkan diri dengan air panas dan gula kelapa yang sudah disediakan untuk mereka. Sementara itu Manahan selalu menasihati Handaka untuk tidak bertindak tergesa-gesa dalam segala hal. Ia harus menyesuaikan diri dengan kedudukannya sebagai seorang yang dianggap tak berdaya. Hanya apabila jiwanya benar-benar terancam, barulah boleh bertindak untuk melindungi dirinya.
Beberapa saat kemudian Wiradapa pun telah siap. Bertiga mereka berjalan bersama- sama ke kalurahan.
Ketika mereka sampai ke halaman kalurahan, ternyata di pendapa telah banyak orang. Dari pakaian mereka segera dapat diketahui bahwa beberapa orang diantaranya bukanlah orang dari padukuhan itu. Orang-orang asing itu berpakaian lebih baik dan lengkap daripada orang pedukuhan itu sendiri, serta pada umumnya di pinggang mereka terselip sebilah keris atau senjata-senjata yang lain.
Melihat Wiradapa datang, segera mereka mempersilahkannya. Dan lurah mereka sendiri memanggilnya untuk duduk di sampingnya. Sedang Manahan dan Handaka, mereka suruh duduk di lantai di tangga pendapa itu. Tampaklah di wajah Handaka perasaan tidak senang, namun Manahan sendiri, wajahnya sama sekali tidak berkesan apa-apa.
Sebentar kemudian muncullah dari ruang dalam seorang pemuda sebaya dengan Bagus Handaka. Wajahnya memancar cerah dan pakaiannya pun lebih baik dari pakaian mereka semua yang hadir di pendapa itu. Di sampingnya sebelah menyebelah, berdirilah orang- orang yang bertubuh gagah tegap dengan wajah-wajahnya yang seram. Mereka itulah yang tadi malam datang melihat Manahan di tempatnya menginap.
Pada saat itu, sinar matahari yang baru saja naik, mulai menembus dedaunan dan jatuh di tanah-tanah lembab. Embun malam yang melekat di rerumputan perlahan-lahan mulai mengering menimbulkan asap putih yang melapisi cahaya pagi. Sedangkan tetesan- tetesan embun yang tersangkut di dedaunan, tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang masih kemerah-merahan, seperti butiran-butiran permata yang cemerlang.
Dengan semakin cerahnya cahaya matahari, semakin jelas pulalah wajah-wajah yang berada di dalam pendapa kalurahan. Mulai dari wajah yang sudah dikenalnya dengan baik, yaitu Wiradapa, sampai wajah lurah pedukuhan itu. Juga wajah orang-orang asing itu satu demi satu mulai dapat dikenal. Manahan dan Bagus Handaka yang duduk agak jauh dari mereka, mulai memperhatikan wajah-wajah itu pula. Satu demi satu. Namun Manahan tak dapat mengenal seorang pun dari mereka. Mereka bagi Manahan benar-benar orang asing yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Karena itu Manahan sama sekali tidak lagi menaruh banyak perhatian, kecuali menanti pekerjaan apakah yang akan diberikan kepadanya, dan seterusnya menyelidiki apakah yang mereka kerjakan di situ.
“Mudah-mudahan mereka tidak berbuat keributan,” pikirnya.
Lalu setelah itu mulailah perhatiannya beredar ke sudut-sudut halaman rumah kepala pedukuhan itu. Sejak dari pagar batu yang mengelilingi setinggi orang, sampai pada pohon-pohon liar yang tumbuh tidak begitu teratur bertebaran di sana-sini.
Tetapi tiba-tiba Manahan terkejut karena gemeretak gigi Handaka. Ketika ia menoleh, dilihatnya wajah Handaka yang merah padam, sedang nafasnya mengalir cepat. Manahan menjadi agak terkejut. Sadarlah ia bahwa pasti ada sesuatu di hati anak itu. Untunglah bahwa Manahan cepat dapat menggamit Bagus Handaka yang hampir saja melompat berdiri.
“Handaka...” bisik Manahan, “Ada apa?”
Mata Bagus Handaka menjadi merah menyala. Tubuhnya gemetar karena menahan diri. “Bapak, biarkan aku kali ini membuat perhitungan,” desisnya.
Manahan menjadi keheran-heranan. “Kau kenapa Handaka?” tanya Manahan.
“Aku tidak mau melepaskan anak itu pergi,” jawabnya.
Manahan menjadi semakin heran. Karena itu ia segera berusaha menenangkan hati Bagus Handaka.
Dengan perlahan-lahan ia berkata,
“Tenanglah Handaka, jangan kau biarkan perasaanmu meluap-luap. Ada apakah sebenarnya dengan anak itu?”
“Bapak, belumkah Bapak kenal dia?” tanya Handaka. Manahan menggelengkan kepalanya.
“Semalam aku agak kurang dapat melihat wajah anak muda itu. Juga barangkali setelah tiga tahun aku tidak bertemu, maka baru setelah aku mengingat-ingat agak lama, aku kenal ia kembali,” sambung Bagus Handaka. “Siapakah dia?” desak Manahan ingin tahu.
“Sawung Sariti, putra Paman Lembu Sora,” jawab Handaka.
Berdesirlah dada Manahan mendengar jawaban itu. Memang sebelumnya ia belum pernah melihat anak itu. Tetapi bagaimanapun, Manahan tidak ingin maksudnya gagal.
Apalagi setelah ia mengetahui bahwa anak itu adalah anak Lembu Sora, keinginannya untuk mengetahui maksud kedatangannya di pedukuhan itu semakin mendesak. Maka itu segera ia berkata, “Bagus Handaka, cobalah kuasai perasaanmu. Dengan bertindak tergesa-gesa barangkali, tidak banyak keuntungannya."
"Sudah aku katakan bahwa aku ingin mengetahui apakah kedatangannya kemari. Agaknya ia sudah tidak mengenal kau kembali setelah kau menjadi anak sawah dan anak laut. Barangkali kulitmu telah hitam terbakar matahari dan tersiram ombak lautan. Hal itu adalah suatu keuntungan bagimu sehingga usaha kita tidak lekas dapat diketahui. Dengan mengetahui lebih banyak tentang Sawung Sariti itu, bukankah jalanmu menjadi semakin licin...?”
Handaka menekan giginya kuat-kuat. Ia sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Seperti biasa ia tidak pernah berani melanggar perintah dan nasehat gurunya, bagaimanapun nasehat atau perintah itu bertentangan dengan kehendaknya.
“Handaka...” sambung Manahan, “Barangkali permintaanku ini mengecewakan engkau, tetapi dengan sangat aku harapkan bahwa kau dapat memenuhinya.”
Handaka menundukkan kepalanya. Dengan penuh ketaatan ia menjawab, “Baiklah Bapak, aku selalu berusaha untuk dapat memenuhi nasehat Bapak.”
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Sambil tersenyum ia berkata pula, “Nah, sekarang nikmatilah permainan ini. Ingat, kita adalah perantau yang tak berharga. Dua orang ayah-beranak yang malas, yang pergi dari satu tempat, ke lain tempat untuk menuntut belas kasihan orang.”
Handaka menganggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab. Terkilaslah di dalam otaknya permainan-permainan aneh yang pernah dilakukan oleh gurunya, yang kadang kadang sangat membingungkannya. Kemudian teringat pulalah keanehan orang yang tak dikenal, yang bahkan gurunya pun tak mengenalnya, yang mengajarkannya dengan cara yang sama sekali tak diduga-duganya. Enam malam berturut-turut menyerangnya dengan cara yang berbeda-beda menurut urutan yang teratur.
“Apakah setiap orang sakti itu mempunyai cara-cara yang tidak menurut kebiasaan orang-orang lumrah...?” pikirnya. Tetapi ia tidak menanyakan hal itu kepada gurunya.
Sementara itu terjadi pulalah berbagai pembicaraan diantara orang-orang yang berada di pendapa. Pembicaraan mereka mula-mula berkisar pada persoalan-persoalan yang berarti. Tentang sawah, air dan tentang kebiasaan-kebiasaan penduduk pedukuhan itu. Diantara mereka terdengarlah seorang yang tampaknya berasal dari Pamingit, yang bersama-sama dengan Sawung Sariti memberikan beberapa petunjuk mengenai cara-cara mengolah sawah.
Tiba-tiba kemudian terdengarlah anak muda yang ternyata adalah Sawung Sariti itu berkata nyaring,
“He, Paman Lurah, siapakah dua orang yang duduk di sana itu?”
Mendengar sapa itu, semua mata kemudian tertuju kepada Manahan dan Handaka, yang kemudian kepalanya menjadi semakin tunduk. Dadanya terasa bergelora hebat, namun ia sama sekali tidak berani melanggar pesan gurunya.
Sesaat kemudian terdengarlah Wiradapa menjawab,
“Mereka adalah Manahan dan Bagus Handaka, yang semalam bermalam di rumahku, Tuan.”
“Oo...” sahut Sawung Sariti. “Untuk apa mereka datang kemari?” “Bukankah Tuan yang memerintahkannya?” jawab Wiradapa pula. Terdengarlah Sawung Sariti tertawa. Suaranya terdengar melengking tinggi.
“Benar Paman, memang aku yang menyuruhnya kemari. Aku sama sekali tidak senang melihat orang bermalas-malas seperti kedua orang itu.”
Mendengar percakapan itu dada Handaka serasa akan pecah terdesak oleh gelora perasaannya. Ia belum pernah mengalami tanggapan yang sangat menyakitkan hati seperti itu. Ia menjalani semua pahit getir penghidupan dengan senang hati, tetapi tidak untuk direndahkan sedemikian.
Namun dengan tabah ia menelan segala kepahitan itu, sebagai suatu kewajiban.
Karena itu mukanya menjadi merah pengab. Dadanya seolah-olah berdentang dentang oleh pukulan detak jantungnya. Manahan melihat keadaan Handaka itu dengan penuh pengertian. Sebenarnya ia merasa kasihan kepada anak itu, namun ia harus mengajarinya menahan diri.
Maka dengan lembut ia berbisik, “Di dalam perjalanan hidupmu kelak Handaka, banyaklah tekanan-tekanan batin yang lebih dahsyat daripada permainan ini. Karena itu anggaplah kali ini sebagai latihanmu yang masih terlalu ringan.”
Kata-kata Manahan itu ternyata besar pengaruhnya. Memang latihan selamanya terasa hebat. Karena itu ia menjadi agak tenang dan menerapkan dirinya dalam suatu keadaan latihan.
“Paman Lurah...” kembali terdengar suara Sawung Sariti, “Pekerjaan apakah yang dapat diberikan kepada orang-orang malas itu?”
Lurah Gedangan yang sama sekali tidak mempunyai rencana apapun menjadi agak bingung, maka jawabnya,
“Terserahlah Tuan, sebab aku tidak memerlukan mereka berdua.”
Kembali terdengar Sawung Sariti tertawa nyaring. Tetapi kemudian tampak wajahnya berkerut. Agaknya ia teringat sesuatu yang sangat penting. Tiba-tiba ia berdiri dan mendekati salah seorang pengiringnya. Untuk beberapa saat mereka saling berbisik-bisik. Setelah itu kemudian dengan tersenyum-senyum Sawung Sariti berkata,
“He orang-orang malas, siapakah namamu?”
Manahan memutar duduknya, dan sambil membungkuk hormat ia menjawab, “Namaku Manahan, Tuan... dan ini anakku bernama Bagus Handaka.”
“Nama-nama yang bagus,” sahutnya, kemudian ia meneruskan, “Apakah yang dapat kau kerjakan?”
Manahan mengangkat mukanya.
“Apa saja yang Tuan perintahkan, aku akan mencoba melakukannya.” Sawung Sariti mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Besok aku mempunyai pekerjaan penting untukmu berdua. Sekarang belum. Tetapi ingat, jangan coba-coba meninggalkan pedukuhan ini. Sebab menurut pikiranku tak ada orang lain yang dapat melakukannya kecuali kalian berdua. Kalau kalian mencoba dengan diam-diam pergi dari pedukuhan ini, maka pasti orang-orangku akan menemukan kalian dan memenggal leher kalian. Mengerti...?”
Manahan memandangi wajah anak muda itu dengan penuh pertanyaan. Dengan nada bertanya-tanya ia menjawab, “Pekerjaan apakah yang akan Tuan berikan itu. Dan adakah aku mampu melaksanakan?” “Kau pasti dapat melakukan,” jawabnya bersungguh-sungguh lalu ia meneruskan,
“Karena kalian akan melakukan pekerjaan yang penting itu, maka sekarang kalian boleh beristirahat, tidur untuk sehari penuh. Dan jangan takut kelaparan untuk sehari ini. Paman Wiradapa akan memberimu makan sebanyak-banyaknya.”
Sekali lagi dada Handaka berguncang. Apalagi kalau diingatnya bahwa orang yang mengucapkan kata-kata itu adalah anak pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya.
Tetapi kemudian Bagus Handaka telah dapat menempatkan perasaannya sebaik baiknya, sehingga karena itu hanya suatu tarikan nafas yang dalam yang terdengar.
“Nah, orang-orang malas...” sambung Sawung Sariti, “Sekarang kau boleh pergi. Kau boleh berjalan kemana kau suka, tetapi ingat jangan tinggalkan pedukuhan ini.”
“Baiklah Tuan,” jawab Manahan penuh hormat. Dan kemudian bersama-sama dengan Bagus Handaka mereka meninggalkan halaman kalurahan.
Mereka berjalan begitu saja sepanjang jalan desa tanpa tujuan. Manahan berjalan di depan dengan kepala tunduk, sedang di belakangnya Bagus Handaka mengikutinya dengan kepala yang dipenuhi teka-teki.
“Kemana kita pergi Bapak?” tanya Handaka kemudian.
Manahan menoleh, dan kemudian memperlambat jalannya sampai Handaka berjalan di sisinya. Kemudian ia menjawab, “Asal kita berjalan Handaka. Melihat sawah-sawah, ladang serta lereng-lereng pegunungan.”
“Apakah kira-kira yang harus kita kerjakan besok pagi?” tanya Handaka pula. “Entahlah,” jawab Manahan. “Agaknya bukan pekerjaan yang menyenangkan.”
Setelah itu mereka berdua bersama-sama berdiam diri. Tetapi kaki mereka melangkah terus sepanjang jalan yang kemudian sampai ke daerah persawahan. Batang-batang jagung yang sudah setinggi lutut, tampak hijau segar di bawah sinar matahari pagi.
Burung liar terbang bertebaran mencari mangsanya. Dan di sana sini beberapa orang telah mulai mengerjakan sawahnya. Menyiangi tanamannya dan mengalirkan air dari parit-parit. Meskipun apa yang mereka lakukan adalah cara-cara yang sederhana sekali, namun karena tanah yang subur maka tanaman mereka tampak subur pula.
Manahan dan Handaka berjalan saja berkeliling tanpa tujuan. Ketika kemudian matahari semakin tinggi, mereka berdua beristirahat di bawah pohon rindang di simpang jalan. Selama itu tidak juga banyak yang mereka percakapan, karena pikiran mereka masing- masing dipenuhi oleh berbagai masalah yang melingkar-lingkar.
Matahari merayap-rayap semakin tinggi di kaki langit. Manahan dan Handaka melihat iring-iringan orang berkuda keluar dari pedukuhan. Mereka adalah Sawung Sariti dengan tiga atau empat pengawalnya, Pak Lurah dan beberapa orang lagi. Agaknya mereka akan menempuh suatu perjalanan yang agak jauh, meskipun pasti pada hari itu juga mereka akan kembali ke pedukuhan itu.
“Wiradapa tidak ikut dengan mereka”, bisik Manahan.
Handaka menganggukkan kepalanya. Tetapi, ia tidak menjawab. Manahan pun tidak melanjutkan kata-katanya pula. Kembali mereka tenggelam dalam angan-angan mereka masing-masing.
Tetapi sejenak kemudian mereka melihat Wiradapa berjalan keluar lewat sudut desanya. Sebentar ia berhenti sambil memperhatikan titik-titik yang semakin lama semakin jauh sambil meninggalkan hamburan debu putih.
Kemudian setelah titik-titik itu hilang di kelokan jalan, kembali Wiradapa memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya terhenti pada Manahan dan Handaka yang masih duduk di bawah pohon di simpang jalan. Tampaklah orang itu tersenyum dan kemudian ia melangkah mendekat.
“Tuan tidak ikut serta dengan rombongan itu?” tanya Manahan sambil menghormat. Wiradapa menggelengkan kepala sambil menjawab,
“Tidak Ki Sanak, aku lebih senang tinggal di rumah.” “Kemanakah mereka pergi?” tanya Manahan pula.
“Entahlah,” jawab Wiradapa. Tetapi di balik kata-katanya itu Manahan menangkap sesuatu yang tidak wajar. Namun ia sama sekali tidak mendesaknya.
“Siapakah mereka itu Tuan?” tanya Manahan mengalihkan persoalan.
:Adakah mereka bukan penduduk pedukuhan ini?”
“Bukan Ki Sanak,” jawab Wiradapa sambil duduk di sisi Manahan.
“Mereka bukan penduduk pedukuhan ini. Menurut keterangan mereka, mereka datang dari Banyubiru. Anak muda itu adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit, yang menurut keterangan mereka, adalah bekas daerah Pangrantunan lama.”
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ekor matanya ia melihat wajah Handaka yang berubah menjadi merah. Untunglah bahwa anak itu menundukkan wajahnya sehingga perubahan itu tidaklah begitu nampak.
“Anak muda itu bernama Sawung Sariti,” lanjut Wiradapa, “Dan orang-orang itu adalah pengawal-pengawal mereka dari Pamingit.”
Apakah keperluan mereka datang kemari? tanya Manahan pula. Wiradapa tersenyum. Ia memandang Manahan dengan wajah yang lucu.
“Suatu keperluan yang penting bagi orang-orang yang punya cita-cita,” jawabnya.
Manahan menarik nafas. Ia sadar akan permainannya. Memang bagi orang yang pekerjaaannya merantau dari satu desa ke desa yang lain, pertanyaannya agak terlampau maju. Meskipun demikian, terdorong oleh keinginan untuk mengetahui lebih lanjut, ia bertanya pula, “Tuan, apakah cita-cita seseorang yang telah menjabat sebagai kepala daerah perdikan?”
Kembali Wiradapa tersenyum.
“Banyak juga yang ingin kau ketahui Ki Sanak. Memang barangkali bagimu apa yang telah kau capai hari ini telah cukup tanpa memikirkan masa depan. Tetapi justru bagi orang-orang yang semakin tinggi pangkatnya, semakin tinggi cita-citanya. Demikian juga Anakmas Sawung Sariti. Bukankah diatas kepala perdikan masih banyak jabatan penting? Jabatan-jabatan istana, misalnya. Sedang jabatan istana yang paling tinggi adalah raja.”
“Raja...?” ulang Manahan. “Menurut pendengaranku, raja adalah jabatan turun- temurun.”
”He, kau tahu juga tentang raja?” potong Wiradapa, kemudian ia melanjutkan, “Tetapi tidak selamanya demikian.”
Manahan mendengarkan kata-kata Wiradapa dengan sungguh sungguh. Ia mengharap agar dengan demikian Wiradapa sampai pada keterangan yang sejauh-jauhnya.
“Tuan..., adakah orang yang lain kecuali keturunannya boleh menjadi raja?” tanya Manahan pula.
Wiradapa tertawa geli. “Memang dapat terjadi demikian.” “Adakah Ki Sanak ingin menjadi raja?”
Manahan tertawa pula.
“Siapakah yang tidak mau menjadi raja? Apapun yang dikehendaki selalu ada. Makanan lezat serta minuman segar. Pakaian gemerlapan serta perhiasan yang cemerlang.” Wiradapa tidak dapat menahan tertawanya, sampai tubuhnya berguncang-guncang. “Memang barangkali kepentinganmu, apabila kau menjadi raja, adalah makanan lezat serta minuman segar. Tetapi kau tidak pernah berpikir tentang pekerjaan serta kewajibannya.”
“Apakah pekerjaan raja?” tanya Manahan. “Banyak sekali,” jawab Wiradapa.
“Banyak sekali dan tidak menyenangkan. Meskipun demikian banyak orang yang ingin menjabatnya. Termasuk Anakmas Sawung Sariti.”
“Tetapi kenapa Tuan muda yang ingin menjadi raja itu datang kemari. Adakah ia ingin menjadi raja di sini?” sahut Manahan.
Sekali lagi Wiradapa tertawa.
“Baiklah aku ceriterakan kepadamu, barangkali perlu kau ceriterakan kelak buat anak cucumu sebagai pengetahuan. Mungkin anak cucumu kelak tidak lagi menjadi perantau seperti Ki Sanak ini. Untuk menjadi raja kadang-kadang diperlukan benda-benda pusaka sebagai sipat kandel, atau sebagai wadah untuk menerima wahyu keraton. Dengan memiliki pusaka-pusaka tertentu, orang menjadi kuat menerima wahyu. Tanpa pusaka itu, mungkin seseorang yang tidak kuat menerima wahyu keraton, malahan dapat menjadi gila. Misalnya, setelah ia menjadi raja, mempergunakan kekuasaannya sewenang- wenang, atau menghambur-hamburkan uang perbendaharaan, sehingga akhirnya ia jatuh dari jabatannya itu dengan berbagai cara. Nah, sekarang Anakmas Sawung Sariti sedang bersiap-siap untuk mendapatkan pusaka istana yang akan menjadi sipat kandel. Pusaka itu berupa dua keris yang maha sakti, yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Mendengar keterangan itu sesuatu terasa berdesir di dada Manahan, dan kemudian jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Juga Bagus Handaka terkejut sampai ia mengangkat mukanya. Untunglah bahwa Manahan masih dapat mengendalikan diri, sehingga perasaannya tidak berkesan pada wajahnya. Demikian juga Bagus Handaka, cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.
“Jadi kedatangan mereka kemari, adalah dalam usaha mereka menemukan pusaka pusaka itu,” sambung Wiradapa.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sikap yang bodoh ia bertanya, “Adakah kedua keris itu di sini?”
Wiradapa menggelengkan kepala, lalu jawabnya
“Tak seorangpun diantara kami di sini yang pernah melihat keris-keris itu, bahkan mendengar namanya pun baru kali ini.”
Melihat cara mengatakannya, Manahan percaya bahwa Wiradapa telah berkata sebenarnya.
Karena itu ia menjadi kecewa, sebab ia mengharapkan setidak-tidaknya petunjuk di mana kira-kira kedua keris itu sekarang.
“Tetapi...” sambung Wiradapa, “Di sebelah selatan, ada sebuah padepokan yang disebut orang Padepokan Karang Tumaritis atau disebut juga Karangdempel. Di sana tinggal seorang tua yang saleh. Yang suka menolong sesama. Bahkan ia terkenal dengan kepandaiannya mengobati segala macam penyakit. Ke sanalah Anakmas Sawung Sariti tadi pergi, menghadap orang tua yang menamakan dirinya Panembahan Ismoyo. Konon orang percaya bahwa orang tua itu titisan Dewa Ismoyo yang ditugaskan untuk menunggui pertapaannya. Kemudian seperti kepada diri sendiri ia meneruskan, Tetapi mudah-mudahan seandainya beliau tahu, janganlah beliau memberitahukan kepadanya.”
Kata-kata yang terakhir itu justru menyentuh perasaan Manahan serta meninggalkan kesan yang aneh. Kalau sampai orang seperti Wiradapa yang baik hati itu mengucapkan kata-kata yang demikian, pastilah ada sebabnya yang cukup penting.
Dan tiba-tiba tanpa sadar ia bertanya, “Kenapa demikian Tuan?”
Wiradapa tersadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu. Segera ia mencoba memperbaiki kesalahannya, katanya sambil tersenyum hambar, “Eh, mudah-mudahan kepadakulah Panembahan Ismoyo kelak memberitahukan.”
Manahan sadar sesadar-sadarnya, bahwa Wiradapa ingin bergurau untuk menyembunyikan keterlanjurannya. Dan karena itu iapun segera menyesuaikan diri untuk menyenangkan hati Wiradapa.
Sambil tertawa-tawa Manahan menyahut,
“Kalau Tuan kelak mendapatkan pusaka-pusaka itu, serta kemudian menjadi raja, bukankah Tuan akan sudi mengambil kami berdua sebagai pekatik?”
Mendengar kata-kata Manahan, Wiradapa tertawa, lalu jawabnya, “Bukankah kau mau berdoa untukku?”
“Tentu, Tuan..., tentu!” jawab Manahan.
Wiradapa menarik nafas panjang. Mendadak saja dahinya tampak berkerut, katanya perlahan-lahan,
“Aku tidak boleh mimpi demikian, asal desa ini dapat aku selamatkan dari noda, aku telah merasa senang.”
Sekali lagi perasaan Manahan tersentuh. Namun ia tidak bertanya apa-apa. Sehingga kemudian Wiradapa berdiri sambil berkata,
“Ah, lebih baik aku pergi dahulu Ki Sanak, untuk menengok sawah. Kalau Ki Sanak sudah lelah duduk-duduk di sini, pulanglah. Ki Sanak dapat beristirahat di rumah, bukankah besok Ki Sanak akan mendapat pekerjaan penting?”
Karena itu pula maka Manahan teringat untuk menanyakan pekerjaan apakah kira-kira yang akan dilakukannya besok. “Tuan..., apakah yang harus aku kerjakan besok?”
Wiradapa menggelengkan kepalanya,
“Entahlah. Dan setelah itu ia pun segera melangkah pergi.”
Dari percakapan pendek itu Manahan dapat mengambil banyak kesimpulan. Pasti terjadi sesuatu yang kurang wajar di pedukuhan kecil dan sepi ini. Mungkin pula telah terjadi beberapa pertentangan pendapat diantara mereka.
Setelah Wiradapa agak jauh, berkatalah Manahan kepada Handaka, “Handaka..., bukankah dengan permainan ini banyak yang dapat kita ketahui?” Handaka mengangguk, dan sambil tersenyum ia menjawab,
“Permainan yang sulit, Bapak.”
Manahan tertawa mendengar jawaban Handaka, katanya melanjutkan,
“Semakin sulit permainan ini, semakin banyak hal yang kita dengar. Apalagi besok. Mungkin kita akan mendapat pekerjaan yang menyenangkan sekali.”
“Mudah-mudahan Bapak, mudah-mudahan bukan pekerjaan yang sulit,” jawab Handaka.
“Karena itu...” sahut Manahan, “Marilah kita beristirahat untuk menyiapkan diri menghadapi pekerjaan kita besok.”
Handaka tidak menjawab, dan ketika kemudian Manahan berdiri dan melangkah, Handaka pun mengikutinya. Mereka dengan perlahan-lahan, tepat seperti dua orang pemalas, berjalan di sepanjang jalan yang membujur diantara persawahan, dimana tampak banyak orang laki-laki perempuan bekerja keras untuk makan mereka sehari-hari.
Beberapa pasang mata memandang Manahan dan Handaka dengan pandangan yang aneh. Tetapi Handaka dan Manahan sama sekali tidak menghiraukan lagi. Pikiran mereka sedang dicengkam oleh pertanyaan yang melingkar di seputar hari besok. Apakah kira- kira yang harus dikerjakan.
Siang hari itu, Manahan dan Handaka duduk-duduk saja di dalam ruangan mereka. Hanya ketika matahari condong tanpa ada yang menyuruhnya, Handaka mengambil air untuk mengisi jeding dan padasan.
Setelah sholat Isya, kembali mereka menyekap diri sambil bermain macanan.
Sesaat kemudian setelah malam semakin dalam, Manahan dan Handaka pun segera menutup pintu ruangnya. Mereka sama sekali tidak bernafsu untuk keluar.
Dalam kesempatan yang demikian Handaka lebih senang belajar berbagai-bagai ilmu dari gurunya, yang mengajarinya membaca dan menulis pula. Kadang-kadang Handaka minta gurunya berceritera mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang mungkin akan sangat berguna kelak.
Demikian juga malam itu, Manahan menceriterakan berbagai hal dari lontar-lontar yang pernah dibacanya sehingga tidak terasa malam menjadi semakin jauh menukik ke pusatnya.
Tetapi tiba-tiba mereka terganggu oleh suara telapak-telapak kaki memasuki halaman. Kemudian terdengar suara memanggil dari halaman.
“Adi Wiradapa..., sudahkah Adi tidur?”
Kemudian terdengar jawaban dari dalam, “Belum Kakang, marilah, silahkan.”
Agaknya Lurah pedukuhan itu dengan pengiringnya datang berkunjung. Setelah rombongan itu masuk dan dipersilahkan duduk, terdengarlah mereka bercakap-cakap. Mula-mula perlahan-lahan tetapi lama kelamaan menjadi semakin keras. Manahan dan
Bagus Handaka segera ikut memperhatikan percakapan itu pula.
“Kakang Lurah....” Terdengar suara Wiradapa. “Aku tidak akan turut mempertanggungjawabkan perbuatan terkutuk itu.”
“Adi Wiradapa...” jawab lurah itu, “Sudah berpuluh tahun kita bekerja bersama-sama. Sekarang kenapa Adi mau mengubah naluri itu?”
“Aku hanya mau bekerja sewajarnya”, jawab Wiradapa.
“Tetapi dengan pekerjaan itu, kita akan mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi kaya raya,” sahut lurah pedukuhan itu.
“Hem....” Wiradapa menggeram, “Aku tidak mau pedukuhan ini ternoda. Pedukuhan yang sudah berpuluh-puluh tahun kita bina, sekarang akan kita korbankan untuk keperluan yang sesat.”
“Jangan berlagak seperti malaikat. Apakah kesalahan itu dapat ditimpakan kepada kita? Kalau aku mengajak Adi Wiradapa untuk turut serta dalam pekerjaan ini, adalah karena Adi Wiradapa akan banyak memperingan pekerjaan kami dan akan kami bagi hadiah yang kita terima bersama-sama. Sebab aku tidak ingin untuk mendapatkannya sendiri.”
“Aku tidak mimpi untuk menerima hadiah, Kakang,” potong Wiradapa.
“Hem, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Aku telah menyiapkan orang-orangku sendiri. Tanpa Adi, pekerjaan ini akan selesai dengan baik. Tetapi jangan coba menghalangi aku.”
“Jangan menakut-nakuti aku dengan ancaman,” sahut Widarapa.
“Aku sudah mengenal Kakang Lurah, dan Kakang Lurah sudah lama pula mengenal aku.”
Lurah pedukuhan itu tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram marah. Kemudian terdengar langkahnya pergi disusul oleh langkah menjauhi.
Percakapan itu sangat menarik perhatian Manahan dan Bagus Handaka. Tetapi sayang bahwa dari percakapan itu, tak ada yang menunjukkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh lurah itu.
“Apakah yang akan mereka lakukan Bapak?” tanya Bagus Handaka berbisik. Manahan menggelengkan kepala.
“Entahlah,” jawabnya.
“Adakah lurah itu akan menyerang Sawung Sariti?” tanya Handaka seterusnya.
“Pasti tidak,” jawab Manahan. “Kalau demikian dari siapa lurah itu mengharapkan hadiah?”
Handaka mengangguk-angguk. Tetapi pikirannya menjadi bertambah kalut.
“Mungkin pekerjaan kita besok ada hubungannya dengan peristiwa ini,” kata Manahan kemudian.
“Ya, mungkin demikian Bapak,” sahut Handaka.
Setelah itu kembali mereka berdiam diri, mereka-reka dan menebak-nebak apakah yang kira-kira akan terjadi. Dalam pada itu terdengarlah Wiradapa menutup pintu dan kemudian terdengar ia berkata kepada istrinya,
“Nyai, tidurlah di ruang belakang. Jangan pedulikan apa yang terjadi.
Ada apakah sebenarnya Kakang? Dan kenapa Kakang tidak mau bekerja sama dengan Kakang Lurah?” tanya istrinya.
“Tak ada apa-apa. Tetapi sekali lagi, jangan pedulikan apa yang terjadi,” jawab Wiradapa.
”Tetapi...?” Terdengar istrinya masih akan bertanya.
“Sudahlah Nyai,” potong suaminya, “Tak ada apa-apa yang terjadi.”
Kemudian istri Wiradapa tidak berkata apa-apa lagi. Kemudian terdengar ia pergi ke ruang belakang, dekat dengan ruang Manahan.
Setelah itu terdengar gemerincing senjata. Agaknya Wiradapa bersiap-siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Manahan dan Handaka menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati. Begitu penting agaknya persoalan yang dihadapi oleh Wiradapa, sehingga ia terpaksa menyiapkan senjata, untuk menghadapi orang yang telah berpuluh tahun bekerja bersama-sama.
Kemudian kembali malam ditelan sepi. Yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan angkup nangka bercuit-cuit. Tetapi dalam setiap dada orang-orang di dalam rumah itu, berdeburan dengan riuhnya, kekhawatiran kecemasan dan keinginan tahu tentang apa yang bakal terjadi.
Sampai tengah malam, kesepian malam berjalan tanpa terganggu. Manahan dan Handaka sudah berbaring di pembaringan mereka. Namun mereka sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan. Meskipun mereka tidak berjanji, namun di dalam hati mereka masing- masing tersimpan suatu keinginan untuk membantu Wiradapa kalau kemudian terjadi sesuatu, apabila dianggap perlu. Dengan diam-diam Manahan meraba-raba dinding. Kalau terpaksa dinding kayu dan bambu itu harus dijebolnya untuk dapat dengan segera sampai di ruang dalam.
Baru ketika tengah malam itu telah lewat, terjadilah sesuatu. Beberapa orang terdengar hilir-mudik di halaman, bahkan beberapa diantaranya telah berada di halaman belakang.
Hati Manahan dan Handaka kemudian berdebar-debar pula. Karena itu, meskipun mereka masih tetap berbaring, tetapi siap untuk melakukan setiap gerakan yang perlu. Apalagi ketika dengan telinga yang tajam mereka mendengar ada nafas orang dekat di muka pintu ruang, malahan mereka melihat pula dinding ruang itu bergerak-gerak. Pastilah bahwa ada orang yang sedang mengintip. Namun demikian mereka masih tetap berbaring, sehingga tidak menimbulkan suatu kecurigaan.
Tetapi sampai beberapa lama, mereka sama sekali tak mengalami sesuatu. Meskipun langkah-langkah di halaman masih saja terdengar, namun agaknya mereka, yang hilir- mudik itu tak berbuat lain kecuali berjalan kesana-kemari. Sehingga dengan demikian Manahan menduga bahwa orang-orang itu hanyalah ditugaskan untuk mengawasi Wiradapa. Sedang Wiradapa agaknya tidak mau membuat perkara. Ia masih tetap di dalam rumahnya, meskipun masih juga kadang-kadang terdengar suara senjatanya yang agaknya tak lepas dari tangannya.
Dengan demikian rumah itu diliputi oleh ketegangan yang semakin memuncak.
Manahan dan Bagus Handaka sama sekali tidak mencemaskan keadaan mereka, karena mereka merasa cukup mampu untuk menjaga diri. Tetapi mereka menjadi tegang pula, karena teka-teki yang mengetuk-ngetuk perasaan mereka terus-menerus sejak siang tadi. Mereka ingin teka-teki itu segera terpecahkan.
Tetapi ketika malam sudah semakin dalam, terdengarlah hiruk-pikuk di kejauhan.
Segera Manahan dan Bagus Handaka bangkit untuk memperhatikan suara-suara itu, yang semakin lama terdengar semakin riuh. Dengan pengetahuannya yang tinggi, Manahan segera mengetahui bahwa keributan itu adalah keributan pertempuran. Tetapi ia tidak dapat menebak pihak-pihak manakah yang sedang bertempur itu. Mungkin pihak penduduk pedukuhan itu di bawah pimpinan lurah mereka sedang menyerang Sawung Sariti dengan para pengikutnya.
Kalau demikian, maka besar kemungkinannya laskar Gedangan akan dimusnahkan. Tetapi kalau demikian halnya, lalu siapakah yang berdiri di belakang lurah Gedangan itu, yang menjanjikan hadiah besar?
Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar Wiradapa menggeram, lalu berteriak, “Siapakah di luar...?”
Terdengar suara tertawa pendek. Kemudian jawabnya, “Kau tak perlu mengenal aku, Wiradapa.”
“Baik, aku tak perlu mengenal kau,” sahut Wiradapa. “Tapi hentikan pengkhianatan itu.”
Manahan dan Bagus Handaka berdebar-debar dan cemas mendengar percakapan itu, tetapi juga terkejut.
Ternyata yang berada di halaman bukanlah laskar Gedangan. Dan karena kekalutan itu Manahan dan Bagus Handaka menjadi ragu-ragu untuk berpihak.
“Kalau kalian tak mau menghentikan pengkhianatan itu, aku yang akan berbuat,” terdengar kembali Wiradapa berteriak.
Dan kembali terdengar tawa menyeramkan di halaman.
“Kau jangan berlagak Wiradapa. Seandainya kau memiliki kesaktian sekalipun kau tak akan memenangkan kami berenam. Karena itu, tetaplah kau di rumahmu sampai ada keputusan hukuman apa yang harus kau jalani besok.”
“Gila...!” potong Wiradapa. “Kau kira aku sebangsa cacing yang tak mampu berbuat apa-apa. Cobalah kalian, meskipun berenam memasuki rumahku ini. Jangan harap dapat keluar lagi dengan selamat.”
“Luar biasa,” teriak orang lain dari halaman. “Sayang kami tak mendapat perintah untuk memasukinya.”
Wiradapa tidak menjawab. Tetapi ia menggeram penuh kemarahan. Kemudian terdengar langkahnya hilir-mudik di dalam rumahnya.
Kegelisahan di rumah itu tidak saja mencengkam hati Wiradapa, tetapi juga merayap- rayap di kepala Manahan dan Bagus Handaka. Sehingga tanpa disengaja Manahanpun kemudian bangkit dan berjalan pula hilir mudik di dalam ruangan, sedang Bagus Handaka menjadi asik bermain-main dengan ujung tombaknya yang keramat, Kyai Bancak.
Ternyata pertempuran yang hiruk pikuk itu tak berlangsung lama. Sesaat kemudian suara itu telah lenyap. Tetapi justru karena itu Manahan jadi curiga. Ia mendapat firasat bahwa ada suatu permainan yang kotor di balik segala peristiwa ini.
Ia kemudian teringat akan kelicikan Lembu Sora. Tidaklah mustahil bahwa anaknya pun akan berbuat demikian.
Belum lagi Manahan mendapat suatu perkiraan apa-apa, terdengarlah beberapa ekor kuda berderap memasuki halaman, langsung mengepung rumah. Lamat-lamat terdengar suara Wiradapa marah.
“Setan. Orang itu benar-benar cari perkara.”
Kemudian disusul sebuah teriakan di halaman, “Masih adakah tikus itu di dalam? Masih, Tuan,” jawab yang lain dari halaman pula.
“Bagus, ia harus bertanggungjawab atas peristiwa itu,” sahut yang tadi. Lalu terdengarlah beberapa orang berloncatan turun, disusul oleh ketukan pada pintu rumah Wiradapa.
“He, Wiradapa. Bukalah pintu.”
“Siapakah kau?” teriak Wiradapa dari dalam.
“Apa pedulimu. Tak ada kesempatan untuk bermanis-manis dan sapa-menyapa. Buka pintu dan ikuti aku menghadap Anakmas Sawung Sariti,” jawab yang di luar.
“Aku bukan pegawainya. Buat apa aku menghadap?” sahut Wiradapa dengan beraninya.
Mendengar jawaban itu Manahan dan Bagus Handaka saling berpandangan. Agaknya Wiradapa tidak berdiri di pihak Sawung Sariti. Tiba-tiba perasaan mereka jadi lega. Kalau sampai mereka terpaksa melibatkan diri, mereka tidak perlu segan-segan. Sebab mereka itu pasti tidak akan membantu anak Lembu Sora itu.
Sementara itu terdengarlah beberapa orang tertawa berderai. Dan kembali terdengar seseorang berkata,
“Kau terlalu sombong Wiradapa, apakah kau kira pintu rumahmu berlapis baja? Dan kau sendiri bertulang besi, sehingga berani membantah perintah ini?”
“Aku kira kau juga belum bertulang besi,” jawab Wiradapa dengan beraninya. “Karena itu buat apa aku takut? Cobalah pecahkan pintu. Aku ingin melihat kalau kau berani.”
Agaknya yang di luar pun jadi ragu. Terdengarlah ia mengumpat dan kemudian berkata, Wiradapa, “kalau kau jantan, keluarlah.”
Sekarang terdengar suara Wiradapa menghina,
“Jangan bicara tentang kejantanan. Kalau kau datang sendiri sebagai jantan sejati, akan aku sambut di halaman dengan penuh kejantanan.”
Kembali terdengar orang itu mengumpat-umpat. Kemudian berkatalah ia kepada anak buahnya, Biarlah ia hidup sampai esok pagi. Jagalah jangan sampai lolos. Juga orang- orang malas yang tidur di ruang belakang. Ada kerja buat mereka esok.
“Baik Kakang,” jawab yang lain.
Setelah itu terdengar derap kuda menjauh.
Tetapi tidak beberapa lama kemudian terdengar derap itu mendekat kembali. Bahkan lebih banyak lagi. Ketika kuda itu telah berhenti di halaman, terdengar suara yang sudah dikenal oleh Manahan dan Bagus Handaka. Yaitu suara Sawung Sariti. “Wiradapa, kau benar-benar tidak mau keluar? Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Kau mengkhianati kami, sehingga beberapa orang kami jadi korban.”
“Jangan coba putar-balikkan keadaan,” bantah Wiradapa dari dalam.
“Bagus, kalau kau tak mau keluar, aku suruh bakar rumahmu ini” ancam Sawung Sariti, “maka musnahlah Wiradapa sekeluarga.”
“Gila!” teriak Wiradapa.
“Begitukah cara putra kepala daerah perdikan yang besar memaksakan kehendaknya kepada orang lain?”
Terdengar Sawung Sariti tertawa dengan nada yang tinggi. Kemudian katanya,
“Aku tidak perduli. Keluarlah. Rumah dan keluargamu akan selamat. Mungkin kau juga akan selamat kalau ternyata kau tak bersalah. Juga suruh orang-orang malas peliharaanmu itu pergi bersama kau. Ada pekerjaan untuknya.”
Kemudian suasana dicengkam oleh kesepian. Bagus Handaka memandang Manahan dengan penuh pertanyaan. Hal itu diketahui oleh Manahan, sehingga terdengar ia berbisik,
“Kita ikuti mereka Handaka, Jaga dirimu baik-baik. Agaknya pada suatu saat kita harus bertindak.”
Handaka mengangguk, ketika bersamaan dengan itu terdengar langkah menuju ke ruangan itu. Sesaat kemudian terdengar orang membentak-bentak,
“Ayo keluar! Keluar...!”
Sekali lagi Handaka memandang wajah Manahan yang tetap tenang, seperti air di telaga yang dilindungi oleh gunung-gunung dari gangguan angin. Ketika Manahan menganggukkan kepalanya, Handakapun berdiri, lalu bersama-sama melangkah ke arah pintu. Demikian pintu terbuka, menyerbulah beberapa orang masuk. Manahan dan Handaka segera didorong keluar dengan bentakan-bentakan yang kasar.
Di luar, gelap malam masih membalut seluruh pedukuhan kecil yang sepi itu. Namun saat itu digemparkan oleh kedatangan tamu-tamu dari Banyubiru yang agaknya membuat keributan.
Kemudian mereka digiring ke halaman depan, dan di sana ternyata Wiradapa pun terpaksa keluar rumah pula. Ia masih memperhitungkan keselamatan keluarganya, sehingga ketika rumahnya diancam akan dibakar, terpaksa ia mengambil keputusan lain.
Dengan dikawal kuat, mereka bertiga segera dibawa ke kalurahan. Sawung Sariti, dengan naik kuda, berlari mendahului.
Sampai di pendapa kelurahan, Manahan melihat beberapa orang bersenjata siap berjaga- jaga. Nampaknya mereka adalah gabungan dari laskar pedukuhan itu bersama-sama dengan Laskar Pamingit. Sedang diantara mereka tidak tampak seorang pun dari Banyubiru. Manahan yang tajam pandangannya, segera memperhitungkan keadaan itu.
Wiradapa kemudian sebagai seorang pesakitan dihadapkan kepada Sawung Sariti yang duduk di samping lurah pedukuhan itu.
“Wiradapa..” kata Sawung Sariti dengan lagak seorang hakim. “Sadarkah kau akan segala perbuatanmu?”
Wiradapa memandang Sawung Sariti dengan penuh kebencian.
“Aku berbuat dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab untuk kebaikan nama pedukuhan yang telah aku bina berpuluh tahun.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sawung Sariti, “Jangan coba berkata yang bukan-bukan. Aku bertanya dan minta pertanggungjawabanmu atas kematian orangku yang paling baik. Bukankah kau telah membuat gerombolan untuk merampok kami?”
Wiradapa menggeram marah.
“Setan pun tak akan percaya ocehanmu,” jawabnya.
Sawung Sariti menjadi marah sekali. Dengan nada yang tinggi ia berkata hampir menjerit,
“Widarapa. Kau telah menghina rombongan kami. Apakah kau kira bahwa kami tak mampu bertindak? Dengarlah baik-baik. Rombongan kami dengan kekuatan cukup akan dapat memusnahkan seluruh pedukuhan ini. Tetapi kami tidak akan berbuat demikian. Kami tahu bahwa tidak seluruh penduduk ini bersalah, ternyata bahkan ada beberapa orang yang membantu kami. Dan aku akan berterima kasih kepada mereka itu. Sekarang katakan kepada kami siapakah yang turut dalam penyerbuan itu. Atau batangkali kau minta bantuan kepada salah satu gerombolan di sekitar daerah ini? Malahan mungkin dua orang yang kau sebut perantau malas itu adalah anggota gerombolan pula”
Mata Wiradapa menjadi menyala-nyala. Dengan gigi gemeretak ia menyahut,
“Jangan banyak bicara. Apakah sebenarnya maksudmu? Membunuh aku atas permintaan lurah pengecut itu, supaya aku tidak selalu membayanginya? Aku menolak turut dalam permainan gila-gilaan itu, tetapi agaknya lurah yang tamak itu takut aku membuka rahasia.” “Diam!” bentak lurah yang sejak tadi berdiam diri.
“Kau mau menyeret orang lain masuk ke jurang yang telah kau gali sendiri?” Wiradapa tertawa rendah, “Pengecut!”
“Kau pengecut,” sahut Sawung Sariti. “Nah rakyat Gedangan.... Pedukuhanmu telah dinodai oleh Wiradapa. Untunglah bahwa aku tidak memusnahkan kalian. Tetapi aku menuntut kesetiaan kalian pada pedukuhanmu ini. Apakah yang dapat kau lakukan untuk membuktikan itu? Sedang sekarang di hadapanmu berdiri seorang pengkhianat.”
Akibat kata-kata Sawung Sariti itu dalam sekali. Segera, semua mata orang yang hadir di pendapa tertuju kepada Wiradapa. Wajah-wajah itu kemudian menjadi semakin tegang, semakin tegang, disusul kata-kata lurah mereka,
“Atas nama pimpinanmu, bertindaklah.”
Kata-kata itu merupakan aba-aba yang serentak menggerakkan orang-orang Gedangan yang berdiri di pendapa itu. Segera mereka melangkah maju dengan senjata di tangan siap untuk membunuh Wiradapa.
Manahan terkejut menyaksikan peristiwa itu. Segera ia teringat bagaimana ia sendiri pernah mengalami fitnah yang dituduhkan oleh Lembu Sora di Banyubiru. Untunglah pada saat itu Gajah Sora sempat mencegahnya. Tetapi kali ini, pimpinan mereka justru berdiri di pihak Sawung Sariti. Maka segera ia menggamit Bagus Handaka yang segera dapat menanggapi.
Maka berbisiklah Manahan,
“Handaka, kita bebaskan Wiradapa. Tetapi aku tetap ingin mengetahui siapakah yang terbunuh diantara rombongan Sawung Sariti. Karena itu marilah kita menarik perhatian mereka dengan melarikan diri. Tetapi ingat, kita harus tertangkap.”
“Lalu apakah mereka tidak akan membunuh kita?” tanya Handaka.
“Tidak, sebab ada sesuatu yang harus kita lakukan. Mungkin sesuatu yang sangat rahasia. Baru sesudah itu kita akan dibunuh,” jawab Manahan.
Bagus Handaka menarik nafas. Tugas itu sebenarnya sangat berat dan berbahaya. Manahan dapat membaca perasaan Handaka itu, namun ia hanya tersenyum. Ketika orang-orang di pendapa sudah semakin ribut, tiba-tiba meloncatlah Manahan melarikan diri diikuti oleh Bagus Handaka. Tetapi mereka sama sekali tidak berusaha untuk bersembunyi. Dengan ketolol-tololan mereka berlari sepanjang jalan pedukuhan.
Melihat Manahan dan Bagus Handaka lari, beberapa orang berteriak-teriak memanggil, dan beberapa orang yang cepat berpikir segera mengejarnya. Perhatian seluruh isi pendapa kemudian terpusat kepada Manahan dan anaknya yang sedang berusaha melarikan diri.
“Tangkap mereka...” teriak Sawung Sariti.
Tetapi agaknya ia tidak begitu percaya kepada anak buahnya, sehingga ia sendiri kemudian melompat dengan tangkasnya, dan seperti anak panah ia terbang mendahului orang-orang yang telah lebih dahulu mengejar Manahan dan Handaka.
Manahan dan Handaka yang memang tidak benar-benar akan melarikan diri, sengaja memperlambat langkah mereka, setelah cukup jarak yang mereka tempuh untuk memberi kesempatan kepada Wiradapa melenyapkan dirinya. Tetapi telinga Manahan segera menangkap langkah yang sangat cekatan menyusulnya. Dengan agak terkejut Manahan menoleh. Dan dengan kagum ia melihat Sawung Sariti menghambur ke arahnya.
“Berhenti!” teriak anak muda itu.
Manahan dan Bagus Handaka masih berpura-pura lari. Namun dalam hati Manahan dihinggapi oleh suatu pertanyaan baru. Alangkah hebatnya anak itu. Menilik gerak serta langkahnya, agaknya Sawung Sariti telah memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Sebentar kemudian anak muda itu telah dapat menyusul Manahan. Tangannya segera menyambar baju perantau yang malang itu, sedang tangannya yang lain terayun deras ke arah rahang Manahan. Manahan sama sekali tidak berusaha mengelak ketika sebuah pukulan yang keras mengenainya. Dengan keras ia terlontar ke belakang dan akhirnya ia jatuh berguling-guling sambil berteriak-teriak,
“Ampun Tuan Muda..., ampun.”
Tetapi dalam pada itu ia dapat mengukur sampai dimana kekuatan Sawung Sariti, yang benar-benar membuatnya heran. Tenaga anak muda itu benar-benar mengagumkan. Untunglah bahwa yang dikenainya adalah Manahan. Kalau saja Manahan benar-benar seorang perantau, maka Sawung Sariti telah membuat suatu kesalahan, sebab kepala perantau itu pasti akan retak dibuatnya.
Sesaat ia telah mencoba-coba membanding-bandingkan anak itu dengan Bagus Handaka. Apakah Handaka juga memiliki kekuatan sebesar itu? Namun agaknya ia tidak perlu mencemaskan muridnya, meskipun ia belum yakin benar bahwa Handaka dapat melebihi kekuatan Sawung Sariti.
“Kau mencoba untuk melarikan diri he...?” Kemudian terdengar Sawung Sariti membentak-bentak marah. Sementara itu orang-orang yang lain berdatangan pula.
Tidak Tuan Muda, tidak, rintih Manahan, sedang Handaka berdiri tidak jauh darinya dengan gigi yang terkatub rapat.
“Apa kau bilang?” teriak Sawung Sariti. “Dengan berbuat begitu kau masih ingkar bahwa kau akan melarikan diri?”
“Tidak Tuan Muda, aku tidak akan melarikan diri. Tetapi aku takut” jawab Manahan. “Takut? Apa yang kau takutkan?” potong anak muda itu.
“Aku takut melihat pembunuhan”, sambung Manahan dengan suara gemetar.
Tanya jawab itu kemudian terhenti ketika kemudian datang pula beberapa orang berlari- lari.
“Ada apa kalian menyusul?” tanya Sawung Sariti marah. “Wiradapa melarikan diri, Tuan,” jawab orang itu.
“He, apa kau bilang?” Mata Sawung Sariti kemudian menyala-nyala, dengan suara yang gemetar ia meneruskan, “Kau bilang Wiradapa melarikan diri?”
“Ya, Tuan,” jawab orang itu ketakutan.
Tiba-tiba semuanya dikejutkan oleh gerakan Sawung Sariti yang hampir tak terlihat kecepatannya, disusul oleh teriakan ngeri. Orang yang berdiri di hadapannya itu terlempar beberapa langkah dan kemudian terjatuh sambil mengerang kesakitan.
“Setan...!” gerutunya.
“Apakah yang kalian kerjakan...? Dan buat apa aku mengupah kalian? Menjaga seekor tikus sakit-sakitan saja kalian tidak mampu. Ayo cari sampai ketemu. Kalau tidak, kalian jadi gantinya.”
Beberapa orang berdiri bingung, sampai terdengar Sawung Sariti berteriak, “Pergi, pergi monyet...!”
Dan bubarlah orang-orang itu berlari bertebaran untuk mencari Wiradapa.
Setelah orang-orang itu pergi, Sawung Sariti memandang Manahan dan Handaka dengan geramnya. Dengan menahan kemarahan ia berdesis,
“Orang-orang gila inilah yang telah merusak rencanaku.” Kemudian katanya kepada salah seorang pengikutnya, “Bawa mereka kembali ke kelurahan.”
Beberapa orang segera bergerak menangkap tangan Manahan dan Handaka. Dengan kasarnya mereka didorong-dorong, bahkan kadang-kadang ditendang-tendang untuk pergi kembali ke pendapa kelurahan.
Sampai di pendapa kalurahan, Sawung Sariti membentak-bentak tak habis-habisnya. Beberapa buah tempat duduk dibanting-bantingnya hingga pecah berderak-derak. Semuanya memandang anak muda yang perkasa itu dengan ketakutan. Tetapi diantara segenap mata yang kecemasan itu, memancarlah keriangan di mata Handaka. Ia melihat kegesitan sikap Sawung Sariti. Dengan demikian ia menjadi gembira. Mudah-mudahan ia mendapat kesempatan yang baik.
“Bapak...” bisik Handaka perlahan-lahan, “Anak muda itu hebat sekali. Mudah-mudahan aku mendapat kawan berlatih yang cukup baik.”
Mendengar bisik muridnya, Manahan tersenyum, namun ditahannya. “Hati-hatilah. Agaknya ia pun memiliki ilmu yang cukup.”
Handaka masih akan berkata lagi, tetapi tidak jadi, karena terdengar Sawung Sariti berteriak, “Paman Lurah Gedangan. Aku tidak mau rencanaku gagal sama sekali. Karena itu pekerjaan pemalas-pemalas itu tidak dapat ditunda sampai besok.”
Lurah Gedangan yang ketakutan pula segera menjawab, “Terserah Tuan. “
“Perintahkan pada orang-orang itu semua untuk berjaga-jaga di luar. Besok mereka harus mengubur orang-orangku yang gugur. Tak seorang pun boleh meninggalkan pendapa,” perintah Sawung Sariti lantang.
Segera Lurah Gedangan itu menirukan perintah Sawung Sariti, bahkan sampai pada kata-katanya pun ia tidak berani mengubahnya.
“He Manahan dan Handaka...”Terdengar Sawung Sariti memanggil. “Aku mempunyai pekerjaan untukmu berdua. Aku tidak bisa menunggu sampai besok karena kau telah mencoba melarikan diri.”
Manahan dan Handaka pun segera berdiri sambil mengangguk hormat. Jawab Manahan, “Apapun yang diperintahkan kepada kami, selama kami mampu melakukannya, pasti akan kami junjung tinggi.”
“Diam!” bentak Sawung Sariti.
“Mau atau tidak mau bukanlah urusanku. Tetapi pekerjaan itu harus kau selesaikan. Mari ikuti aku.” Manahan jadi ragu sebentar, tetapi kemudian segera ia naik ke pendapa diikuti oleh Handaka. Tetapi langkah mereka terhenti ketika terjadi ribut-ribut di luar. Ketika mereka menoleh, tampaklah Wiradapa digiring ke pendapa. Dari pelipisnya mengalir darah segar. Sedang dua tiga orang yang menangkapnya menderita luka-luka pula. Agaknya Wiradapa telah melawan dengan gagah berani.
“Monyet itu tertangkap pula,” teriak Sawung Sariti.
“Ya, Tuan Muda,” jawab salah seorang diantaranya dengan bangga.
“Bagus.... Nah, kau akan aku ikutsertakan dengan para pemalas sahabat-sahabatmu ini. Ayo ikuti aku,” perintahnya pula kepada Wiradapa.
Kemudian beberapa orang mendorong Wiradapa dengan kuatnya sehingga hampir saja ia tertelungkup.
“Kalau kau tidak mencoba lari, hidupmu masih mungkin aku pertimbangkan,” gerutu Sawung Sariti.
Kemudian Manahan, Handaka dan Wiradapa segera dibawa masuk oleh Sawung Sariti dengan hanya diikuti oleh lurah Gedangan dan pengawalnya. Sampai di ruang dalam, mereka melihat tiga sosok mayat terbujur di lantai. Sambil menyeringai Sawung Sariti berkata, “Lihat tiga diantara para korbanmu.”
Wiradapa tidak menjawab, hanya wajahnya yang menegang.
“Sekali pukul aku sanggup memecahkan kepala kalian bertiga,” katanya.
Setelah berkata demikian, Sawung Sariti membawa ketiga orang tawanan itu ke ruang yang lain. Mereka jadi terkejut pula ketika samar-samar di bawah sinar lampu mereka melihat pula sesosok tubuh terbaring diam.
“Itulah pekerjaan kalian,” katanya.
“Kalian harus membawa mayat itu ke tempat yang akan ditunjukkan oleh Pak Lurah.”
Wiradapa memandang lurahnya dengan mata yang memancarkan perasaan dendam tiada taranya. Sehingga dari mulutnya meluncurlah umpatan yang kasar,
“Kakang Lurah, kelakuanmu lebih rendah dari anjing. Dan sekarang kau mau mencuci bekas-bekasnya dengan melenyapkan aku.”
Melihat sikap Wiradapa yang demikian, Sawung Sariti menjadi semakin marah. “Wiradapa, lebih baik kau mempergunakan saat terakhirmu sebaik-baiknya. Atas kemurahan hatiku, sesudah kau bertiga mengubur mayat itu, kalian boleh memilih cara yang kau anggap baik untuk membunuh kalian, dengan demikian kalian tidak akan membuka rahasia tempat pemakaman nanti.”
Mendengar kata-kata itu, hati Manahan berdesir hebat. Inilah agaknya permainan yang dilakukan oleh Sawung Sariti. Sampai sekian, beberapa hal telah dapat diduga oleh Manahan.
Agaknya Sawung Sariti telah bersekutu dengan lurah Gedangan. Lurah itu harus berhubungan dengan orang-orang yang harus menyerang mereka. Beberapa korban harus jatuh, dan diantaranya terdapat seorang yang penting. Orang itu pasti merupakan bayangan yang menakutkan bagi Sawung Sariti, sehingga harus disingkirkan dengan tidak meninggalkan kesan. Sampai kuburannya pun harus dirahasiakan pula.
Kalau kemudian ternyata diketahui, bahwa orang itu terbunuh, Sawung Sariti pun dapat cuci tangan. Pembunuhan itu dilakukan oleh gerombolan perampok yang akan merampok rombongan mereka, dan mayatnya tidak diketahui. Tetapi apabila mungkin orang itu hanya akan dinyatakan hilang, pergi tidak pamit dan sebagainya.
Dalam kesibukannya Manahan dikejutkan oleh bentakan Sawung Sariti,
“Ayo cepat, apa yang kalian tunggu lagi? Kalau kalian sampai berbuat aneh-aneh, maka akulah yang akan menentukan jalan kematian yang harus kau tempuh. Aku dapat berbuat apa saja yang mungkin tidak kalian duga-duga.”
Agaknya Wiradapa berkeberatan dengan persetujuan itu. Ia lebih baik mati di tempat daripada harus menurut perintah gila-gilaan itu. Tetapi Manahan yang mula-mula melangkah maju disusul oleh Handaka. Wiradapa memandang Manahan dan Handaka dengan mata yang kecewa dan menghina.
“Kalian mau melakukan perbuatan itu. Pengecut. Matilah sebagai seorang jantan...”
Sekali lagi kata Wiradapa terputus oleh sebuah pukulan yang keras. Tetapi kali ini ia mengelak. Bahkan ia membalas menyerang pula. Kembali Manahan kagum melihat kejantanan orang itu, meskipun ia yakin bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya.
Dan itu ternyata dalam beberapa saat yang pendek saja. Dengan cepatnya Sawung Sariti berhasil menangkap tangan Wiradapa, dan sekali putar Wiradapa terpental menubruk dinding. Meskipun Sawung Sariti tidak mengerahkan segenap kekuatannya, namun telah cukup menjadikan mata Wiradapa berkunang-kunang. Tetapi Manahan kagum akan ketetapan hatinya. Meskipun dengan susah payah ia bangkit namun wajahnya masih memancarkan dendam dan kebencian. Ia sama sekali tidak takut menghadapi segala macam bencana yang akan dialami.
“Orang gila!” geram Sawung Sariti, dan kemudian katanya kepada Manahan, “Kau akan mendapat pekerjaan baru nanti. Mengubur orang ini hidup-hidup.”
Hati Manahan dan Handaka terlonjak mendengar perintah itu. Namun hal itu lebih baik. Sebab dengan demikian ada kesempatan baginya untuk menolong orang itu.
Kemudian justru Manahan dan Handaka yang tidak sabar lagi. Segera ia ingin mengetahui siapakah yang terbaring di hadapannya itu. Maka ketika ia sudah berdiri di samping mayat itu, cepat tangannya bergerak menarik kerudungnya.
“He...” teriak Sawung Sariti terkejut.“Apa yang kau lakukan itu...? Apakah kau juga ingin mendapat hukuman yang sama dengan orang ini?”
Tetapi Manahan sama sekali tak mempedulikan teriakan Sawung Sariti itu, sehingga akhirnya terbukalah kerudung mayat itu. Dengan demikian, di bawah sinar lampu yang samar-samar, yang seolah ikut serta berduka atas kematian beberapa orang yang tak berdosa, Manahan dan Handaka dapat melihat siapakah yang terbaring tak bergerak di hadapannya dengan wajah putih pucat serta membayangkan ketulusan hatinya. Melihat wajah yang pucat itu Manahan dan Handaka terlonjak. Hatinya bergelora seperti akan memecahkan dadanya, sehingga kemudian tubuhnya menggigil hebat.
Sementara itu terdengarlah Sawung Sariti menghardik penuh kemarahan,
“He, pemalas-pemalas yang tak tahu diri. Apa urusanmu dengan mayat itu, sehingga kau berani membuka kerudungnya? Ingat, bahwa aku dapat membunuhmu dengan cara yang lebih hebat daripada dikubur hidup-hidup.”
Tetapi Manahan dan Handaka tidak mendengar suara itu. Mereka sedang berjuang untuk menguasai perasaannya. Namun agaknya Handaka sudah tidak kuasa lagi menahan dirinya. Seperti kilat ia meloncat dan sekejap kemudian ia sudah berdiri di hadapan Sawung Sariti.
Sawung Sariti, Lurah Gedangan, Wiradapa dan dua orang pengawal Sawung Sariti terkejut melihat gerakan itu. Apalagi ketika dengan gigi gemeretak Handaka berteriak nyaring,
“Sawung Sariti, kau benar-benar biadab. Apakah keuntunganmu dengan membunuh Paman Sawungrana? Mungkin kau takut bahwa pada suatu ketika orang mengetahui bahwa kau sama sekali tak berhak mengaku diri putra kepala tanah perdikan Banyubiru. Karena itu kau menganggap perlu untuk menyingkirkan orang yang paling mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
Karena terkejut, untuk beberapa lama Sawung Sariti berdiri seperti patung. Tetapi kemudian tiba-tiba dengan tidak berkata apapun, ia langsung menyerang Handaka dengan hebatnya. Tangannya dengan keras mengarah ke rahang, sedang tangannya yang lain menyambar leher. Ia bermaksud melumpuhkan lawannya dengan sekali gerak. Tetapi ternyata anak perantau malas yang berdiri di hadapannya itu benar-benar telah membingungkan benaknya.
Dengan gerak yang tangkas Handaka menggeser tubuhnya sehingga serangan Sawung Sariti tidak mengenai sasarannya. Kembali Sawung Sariti terpaku. Tetapi hanya sesaat. Ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan dirinya ketika Handaka membalas menyerangnya.
Sehingga sekejap kemudian terjadilah pertempuran diantara kedua anak muda itu. Namun sampai sekian Sawung Sariti masih sangat merendahkan lawannya.
Ketika para pengawalnya akan bertindak, ia berteriak dengan sombongnya, “Biarkan anak yang sombong itu mengenal aku dengan baik. Jangan diganggu.”
Maka berlangsunglah kemudian perkelahian yang sengit. Karena Sawung Sariti bertempur seorang diri, Manahan pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah tiba- tiba timbul keinginannya untuk mengetahui sampai di mana perbandingan ilmu yang dimiliki oleh kedua anak muda itu.
Beberapa saat kemudian, Sawung Sariti segera diganggu oleh kerisauan hatinya. Karena sama sekali ia tidak menduga bahwa anak perantau malas itu mampu melawannya sampai beberapa lama. Karena itu semakin mendidihlah darahnya. Timbullah berbagai dugaan mengenai anak itu. Sehingga sambil bertempur berteriaklah ia,
“Hei anak gila, apakah kau belum pernah mendengar nama Sawung Sariti dengan baik? Atau barangkali kau baru sekarat. Nah katakan kepadaku siapakah sebenarnya kau ini. Mungkin benar dugaanku bahwa kau adalah salah seorang dari gerombolan perampok, menilik ketangkasanmu. Tetapi jangan mimpi dapat meluputkan diri dari hukumanku atas kelancanganmu ini.”
Handaka memberi kesempatan Sawung Sariti sampai habis berbicara, tetapi setelah itu seperti angin ribut ia menyerang dengan dahsyatnya. Sekali lagi Sawung Sariti terkejut. Dengan agak sibuk ia berusaha membebaskan dirinya. Untunglah bahwa ia pun memiliki kepandaian yang cukup sehingga dengan suatu gerakan melingkar dan meloncat ia dapat menghindari serangan Handaka.
Kemudian pertempuran itu menjadi semakin sengit. Sedang Sawung Sariti menjadi semakin heran pula melihat tandang lawannya. Tetapi Manahan yang menyaksikan pertempuran itu tidak pula kalah herannya. Ia melihat Sawung Sariti dapat mengimbangi muridnya. Ia tahu pasti bahwa seandainya ilmu yang diterimanya khusus dari ayahnya, maka mustahil bahwa dalam waktu yang singkat itu Sawung Sariti telah memiliki ilmu yang sedemikian tinggi.
Akhirnya Manahan sampai pada suatu kesimpulan yang sangat menggelisahkan, bahkan menyedihkan hatinya. Ia menduga bahwa sepeninggalnya, Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke Banyubiru, dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.