Nagabumi Eps 97: Jika Hidup Berjalan

Eps 97: Jika Hidup Berjalan

Laut dan langit tidak selalu biru dan tidak selalu jelas batasnya pada cakrawala itu. Laut dan langit takjarang begitu kelabu dan kabut yang meliputi kapal tidak memberikan pemandangan apa pun selain kekelabuan kabut dalam dunia abu-abu.

Hanya desir angin dingin yang begitu as in dan bunyi kecipak ombak saja yang menyadarkan keberadaanku di tengah lautan yang sunyi.

Naga Laut telah mengambil keputusan untuk tidak meneruskan perjalanan ke kotaraja, tempat ibu kota Sriv ijaya berada.

"Kita akan menjual rempah-rempah yang kita bawa seperti rencana semula, sebelum bertemu dengan kapal malang itu," katanya.

Aku pun menyadari betapa cerita yang telah berlalu itu tidaklah sepenuhnya merupakan urusan kami, bahkan Naga Laut yang masih memiliki keterikatan sejarah juga tidak ingin terlibat lebih jauh lagi.

KEMATIAN Putri Asoka agaknya telah dirasakan sangat memukul, dan memupus semangat yang barangkali saja masih tersisa dalam penantian turun-temurun, lebih dari seratus tahun...

"Jika hidup berjalan tidak seperti yang kita inginkan," katanya, "apa pula salahnya?"

Kutelusuri lagi apa yang telah terjadi. Ketika berlabuh di pantai utara Javadvipa, mereka baru tiba dari wilayah timur Suvarnadvipa, tempat semua rempah-rempah yang ditunggu seluruh dunia berasal. Tidak seberapa lama setelah mengangkat sauh, yakni keberangkatan dengan diriku di dalamnya, tujuan yang semula menuju Negeri Campa, begitulah yang kemudian kudengar, berbelok ke Kota Kapur karena perjumpaan dengan kapal yang dibantai gerombolan Samudragni.

Di Kota Kapur, lanjutannya telah kusampaikan, dan mereka berangkat kembali sebetulnya untuk menuju ke arah kotaraja, memburu kapal Samudragni yang diduga menahanku, maupun Putri Asoka. Kini, masih perlukah mencari pengirim merpati kepada mata-mata Samudragni di Pulau Kapur itu? Sebenarnya salah satu merpati yang jika dilepaskan akan kembali kepada pemiliknya telah dibawa dan masih ada. Aku sanggup mengikutinya dari bawah dan melihat siapakah kiranya yang telah mengirim merpati itu. Akan sangat menarik bagiku untuk hal itu, mengikuti dan membekuk, untuk kemudian membongkar jaringan dalam istana itu. Seberapa jauhkah kalangan istana mengetahui akan hal ini? Kuketahui betapa bisa rumit jaringan ini, jika berita pemberontakan itu datang dari Mataram, yang bisa berarti melibatkan pula jaringan rahasia Cakrawarti.

"Kawan-kawan daku yang paling setia telah pergi, tidaklah terlalu penting apakah Jambi Malayu akan kembali berdiri atau tidak pernah terdengar lagi, selamanya daku bernegeri Muara Jambi," ujar Naga Laut, lagi.

Naga Laut telah membuktikan pengabdiannya, dengan menghancurkan kapal-kapal Sriv ijaya mana pun yang ditemuinya, tetapi menuju kotaraja sebetulnyalah juga bukan soal yang mudah. Masalahnya, kehilangan kawan-kawan setianya itu, seperti Pangkar, Markis, Darmas, Daski, dan masih beberapa lagi, telah memupus minatnya sama sekali.

"Kita tidak memiliki kepentingan langsung dengan urusan ini," kata Naga Laut, "apalagi mereka yang telah pergi itu. Aku telah menyeret mereka kepada sesuatu yang bukan urusannya, dan untuk itu mereka kehilangan nyawa."

Namun kuingat saat dirinya tercenung di depan perempuan bangsawan menjelang kematiannya di kapal itu. Ia tidak sekadar menemukan korban, melainkan telah mengenalinya. Sudah semestinyalah Naga Laut memburu pembunuh yang sebenarnya, dan bukan hanya orang-orang yang dibayar untuk itu.

"Bapak," kataku kemudian, "tugaskanlah sahaya untuk mengikuti merpati itu, dan biarlah Bapak meneruskan perjalanan ke Campa."

"Anak, dikau memang berkepandaian tinggi, dan karena dikau kita semua selamat dari pembantaian Taring Kala, bahkan anak telah membunuh Kalamurti maupun Kalarudra. Tetapi kukatakan sungguh kepadamu Anak, jika kita berusaha menemukan pengirim merpati-merpati itu, ketika menemukannya kita hanya akan terjerat ke dalam suatu jaringan rahasia ruwet yang tidak mungkin kita uraikan lagi. Percayalah kepadaku Anak, daku tidak melepaskan masalah ini, tetapi setelah kita tenggelamkan tiga kapal Sriv ijaya, bukanlah hal yang bijak dengan seluruh awak kapal mendekati kotaraja.

Aku tidak bisa memaksanya tentu, apalagi jika ia sudah memegang janji seperti itu. Apabila Naga Laut yang menjadi bagian dari sejarah negerinya sendiri telah mengambil kebijakan seperti itu, apalah pula yang bisa kulakukan sebagai orang luar yang sebetulnya tidak terlibat sama sekali? Tentu karena kematian Putri Asoka di tangan Kalarudra, dan bahwa aku telah berada bersama-sama Putri Asoka terapung-apung di laut sekian lamanya itulah, yang membuat aku merasa terlibat di dalamnya.

Mungkin itulah sebabnya kami semua lebih banyak termenung selama pelayaran ini.

(Oo-dwkz-oO)

Kami telah keluar dari perairan Suvarnadvipa.

JIKA angin bertahan seperti, demikian kata para awak kapal, dalam sepuluh hari kami sudah akan memasuki muara Sungai Siemreap dan menyusurinya sampai ke Indrapura. Naga Laut sengaja tidak singgah ke berbagai kota pelabuhan yang biasa disinggahinya untuk menurunkan dan mengambil barang dagangan, seperti Langkasuka, Ligor, dan Chaiya, karena bahkan dari Yawabhumipala bagian tengah melalui kotaraja, Muara Jambi, dan seterusnya ke kota-kota itulah terbentuk poros pusat-pusat kekuatan Srivijaya.

Wilayah kekuasaan Sriv ijaya memang sengaja membentuk kerangka suatu mandala, yakni terdapatnya suatu pusat penuh daya dikelilingi lingkaran yang lebih rendah kekuasaannya. Penguasaan mutlak Maharaja berlangsung hanya di dalam lingkup istana dan kotaraja. Dalam jaringan sungai-sungai yang melingkari kotaraja, kekuasaan itu dibagikan kepada para datu di wilayahnya masing-masing. Mandala yang lebih kecil di luar wilayah inti bertempat di lembah-lembah sungai Samudradvipa, pulau-pulau lain, dan Semenanjung Malayu. Pada masa ketika aku berada di kapal Naga Laut itu, yakni tahun 796, garis yang membentuk poros itu nyaris tak pernah terputus, bersambung terus dari bagian tengah Yawabhumipala sampai Chaiya, membentuk lintas cukai yang mengawasi jalur dari semua kapal pengangkut barang antara Negeri Atap Langit, Jambhudvipa, maupun negeri-negeri yang berada di utara kedua negeri itu. Jarak antara mandala-mandala yang melingkari dan kotaraja, seperti juga jumlah dari mandala-mandala ini, mewajibkan Maharaja Sriv ijaya untuk lebih mengandalkan kesetiaan daripada penaklukan untuk mempertahankan kesatuan wilayahnya. Dalam hal ini, menyusul pengiriman pasukan untuk menundukkan dan membawahkan penguasa setempat, mandala yang terkalahkan tidak pernah secara ketatanegaraan terleburkan dengan Srivijaya. Sebaliknya, penguasa setempat itu diangkat kembali sebagai kepala resmi dari pemerintahan swatantra yang kesejahteraannya mandiri, terikat melalui kesetiaan kepada Srivijaya. Ini membuat mandala kekuasaan Sriv ijaya sama sekali berbeda dengan pusat-pusat kekuasaan lainnya, yang akan mengandalkan pengerahan kekuatan tempur secara terus menerus.

Sebagai ganti kesetiaan yang dipaksakan, pengikat yang mempersatukan Srivijaya tampaknya diamankan oleh jaringan ruwet pertalian keluarga dan kuasa antara Maharaja dengan pengikut-pengikutnya, maupun antara pengikut-pengikutnya itu sendiri, yang semuanya berbagi kepentingan yang sama dalam pengawasan dan penyediaan sarana perdagangannya. Pertukaran para datu dan perkawinan antara mereka membangun ikatan keluarga dan keagamaan yang kuat dengan pusat kekuasaan, yang bertempat di kotaraja. Kudengar pula bahwa para datu pengikut ini bekerjasama untuk meningkatkan terpandangnya mandala mereka dengan menundukkan kota-kota di sekitarnya yang tidak memperlihatkan kesetiaan kepada Srivijaya.

Aku menatap berkeliling, garis lingkar cakrawala mengelilingi kami, tetapi para pelaut ini tidak pernah tersesat dalam keluasan terbentang. Pada malam hari, mereka selalu dapat memastikan arah pelayaran berdasarkan susunan bintang. Aku masih selalu terkagum-kgum, betapa bintang- bintang yang bagiku porak poranda bagi mereka hanyalah penunjuk jalan yang begitu jelas pengarahannya. Begitu pulakah caranya mereka bayangkan keluasan wilayah kekuasaan Sriv ijaya?

KUTATAP samudera luas terbentang. Tentu tidaklah terlalu mudah membuat penggambaran, seolah samudera ini hanya sebesar kolam ikan, dan di sana terdapat tanah tanah tanah yang begitu luasnya, sehingga Javadvipa hanya tampak sebagai noktah saja, di dalam dunia yang bagiku belum terlalu jelas batasnya. Namun para pelaut, bahkan bajak laut yang tidak dapat membaca pun, dengan menatap langit malam mendapatkan suatu penggambaran tertentu tentang dunia.

"Sampai di manakah laut ini akan berakhir, Bapak?" Naga Laut menghela napas.

"Itulah pertanyaan semua orang yang kali pertama berlayar, Anak. Pertanyaan itu juga sama dengan pertanyaanku tentang langit. Apakah langit juga ada batasnya?"

Aku menyadari kembali keberhinggaan manusia dalam memandang dan berpikir tentang dunia. Mereka yang berpengetahuan akan berpikir lebih jauh tentang dunia daripada mereka yang agak kurang berpengetahuan. Isi kepala yang tidak mungkin sama dan sebangun pada setiap orang mengakibatkan perbedaan pandangan yang tidak jarang takdapat didamaikan. Bukankah perbedaan pandangan itu, yang diakibatkan perbedaan pengetahuan dan pengalaman, yang telah mengakibatkan timbulnya seribusatu aliran keigamaan, tempat yang satu akan selalu merasa lebih benar dari yang lain? Namun orang yang bijak akan menerima segala bentuk perbedaan pandangan sebagai kekayaan, karena keseragaman pikiran memang sungguh-sungguh akan memiskinkan kemanusiaan. Hmm. Manusia di dalam dunia, bagaimana ia dapat memandang dunia jika berada di dalamnya? Maka aku terperangah oleh kenyataan betapa mustahilnya pengetahuan yang kami miliki, karena keberhinggaannya kepada pengetahuan manusia di dalam dunia sahaja, tanpa kemungkinan melihat dari luarnya.

"Bahkan setelah mati, jika kita masih bisa berpikir sebagai pribadi kita sekarang, tetap saja pemikiran kita terduniakan dalam pemikiran manusiawi. Kita tidak bisa keluar dari dunia dan melihat kita sendiri berada di dalamnya," ujar Naga Laut lagi.

Apakah ia berpikir seperti itu karena selalu melihat cakrawala sepanjang hidupnya? Cakrawala yang selalu ada, tidak mungkin dilompati, karena setiap kali garis batas terlampaui tetap terpandang cakrawala baru. Itulah yang kupikirkan ketika memandang cakrawala itu sekarang: Batas bisa dilampaui, tetapi keberhinggaan menunjukkan bahwa suatu cakrawala akan se lalu ada. Manusia tidak bisa dibatasi, karena setiap batas dapat dilampauinya. Manusia tidak terbatas melainkan berhingga, karena setiap kali me lewati suatu batas pandangannya selalu terbentur cakrawala yang belum dilewatinya.

"Namun pikirkanlah sesuatu Anak..." "Apakah itu Bapak?"

"Jika dikau berada di pantai dan memandang cakrawala, maka bukankah kapal yang muncul dari balik cakrawala itu selalu terlihat tiangnya terlebih dahulu?"

Aku mencoba berpikir.

"Apakah itu berarti laut melengkung, Bapak?"

"Tidakkah mestinya begitu? Laut itu permukaannya melengkung, melengkung, dan melengkung terus, di laut mana pun yang telah dicapai kapal ini."

"Bapak pernah mencoba untuk terus menerus mengikutinya?" "Itulah. Daku ragu apakah pertanyaan-pertanyaan itu memerlukan jawaban, ketika semua orang yang disebut bijak sudah punya jawabannya."

"Apakah jawaban mereka itu Bapak?" Naga Laut tertawa.

"Bahwa semesta ini berada di atas punggung kura-kura raksasa! Huahahahahaha!"

Aku juga pernah mendengar cerita itu, terutama ketika terjadi gempa bumi yang juga terasa di Celah Kledung. Katanya kura-kura raksasa yang menjadi penyangga dunia ini bergerak, sehingga terjadilah gempa.

"Benarkah itu Ibu?"

Ibuku pun menjawab, bahwa segala cerita tentang asal usul segala sesuatu adalah usaha manusia untuk menjelaskan dunia, dengan segala perbendaharaan bahasa dan pengertian yang saat itu mereka miliki.

"Janganlah terlalu cepat menertawakan cerita orang-orang tua anakku," kata ibuku lagi, "karena cerita yang manapun akan berguna jika kita pandai menafsirkannya. Sudah jelas anak kecil pun tahu dunia tidak berdiri di atas punggung kura- kura."

KEPADA Naga Laut aku pun berkata.

"Mungkinkah itu sekadar peringatan bahwa kemungkinan gempa selalu ada, Bapak?"

"Tentu, tentu, kami semua juga menafsirkannya begitu. Tapi orang-orang tua yang menceritakan itu sungguh lucu! Huahahahahahaha!"

Begitulah Naga Laut tertawa terbahak-bahak, dan suasana kapal pun menjadi ceria sete lah hari-hari panjang yang diisi kesunyian dan duka berlarat-larat. Kapal melaju dengan layar terkembang megah. Aku memandang cakrawala, bagaikan ingin menembus ke sebaliknya. Teringat cerita salah satu awak kapal tentang negeri yang sedang kami datangi. Dia sebutkan bahwa pada saat ini, kekuasaan Sriv ijaya atas negeri itu sebetulnya terdesak oleh raja-raja wangsa Shailendra yang mendirikan kerajaan Mataram di pedalaman, tetapi mampu menyerang langsung pantai Champa pada tahun 774, membakar tempat ibadat Po Nagar di Nha Trang, dan sekali lagi pada 787, ketika membakar tempat pemujaan di Phan- rang. Dari Yawabhumipala bagian tengah, pasukan dinasti Shailendra ini juga telah mendarat di Tonkin pada 767, tetapi serbuan ini tidak pernah terdengar dianggap sebagai keberhasilan.

Peranan wangsa Shailendra di tanah Champa memang termasuk menjatuhkan raja terakhir kerajaan Tchen-la yang sedang memudar, tetapi yang membuatnya seperti diterima adalah gerakan budaya yang diperkenalkannya, yang meski bersumber dari wangsa Pala di Jambhudvipa, tetapi disebarkan dengan penafsiran baru di Javadvipa.

Bersamaan dengan dibangunnya Kamulan Bhum isambhara, muncul pula arca gaya Srivijaya di Semenanjung Malayu sebagai salah satu kebangkitan kembali seni patung Mahayana, maupun dalam patung-patung gaya Prei Kmeng. Pengaruh Shailendra takhanya di sana, karena sekitar empatpuluh tahun yang lalu di Chaiya yang berada jauh di utara Champa, telah dibangun dua patung Avalokitesvara yang menurut awak kapal itu sungguh luar biasa bagusnya. Arca Avalokitesvara yang juga disebut-sebut sebagai sangat indah, dibuat juga di Perak, di Semenanjung Malayu, yang menunjukkan pengaruh seni arca dari Javadvipa maupun Pala.

Pelaut itu bercerita tentang pengaruh wangsa Shailendra di mana-mana.

"Di Sungai Batu Pahat, Perak Utara, dibangun sebuah candi kecil yang pada dasarnya diletakkan kotak-kotak batu berisi lambang-lambang agama Siva dari emas, yang sangat mirip kotak-kotak benda keramat beruang sembilan di Javadvipa. Jadi bukan kebudayaan Jambhudvipa yang terlihat pengaruhnya di kerajaan Angkor, tetapi juga tata upacara kerajaan Shailendra, seperti gelar Raja Gunung, pemujaan raja-raja yang telah meninggal, dan pemujaan kepada lingga sebagai lambang kekuasaan. Bagi Tchen-la, wangsa Shailendra menjadi contoh, lengkap dengan kesenian taktertandingi dari suatu peradaban besar yang memberi tumpuan kepada kekuasaan Raja," ujarnya.

Dhawa, demikian nama pelaut itu, ternyata sekitar enam tahun lalu, yakni menjelang tahun 790, berada di kapal yang sama dengan Jayawarman II, raja yang mempunyai hubungan keluarga agak jauh dengan wangsa-wangsa Kamboja terdahulu, yang pernah hidup di Javadvipa, entah sebagai tahanan atau murid yang patuh, dan tinggal di istana wangsa Shailendra.

"Ia sangat dipengaruhi budaya yang dikenalnya di Javadvipa dan tampaknya pulang dengan keinginan menirunya," ujar Dhawa, "dan perlu dikau ketahui, wahai Pendekar Tanpa Nama, kepulangannya itu bertepatan dengan saat melemahnya kekuasaan raja-raja Javadvipa, dan mungkin merupakan sebabnya."

Disebutkan betapa raja baru itu mulai mempersatukan wilayah Tchen-la yang terpecah-pecah. Tahapan penaklukkannya mengambil wujud sebanyak kotaraja yang didirikannya. Mula-mula Indrapura, di sebelah timur Kompong Cham, lalu menuju wilayah-wilayah sebelah utara danau- danau, yang tidak ditinggalkannya lagi karena menjadi pusat kekuasaannya.

PERTAMA-TAMA ia bertempat tinggal di Kuti, di wilayah Angkor sendiri, kemudian di Hariharalaya, di Amarendrapura, dan ini bukanlah yang terakhir karena ia memang masih akan memperluas wilayah kekuasaannya. "Jayavarman II adalah pendiri kekuasaan Angkor, bukan hanya dalam kekuasaan duniawi, tetapi juga pembangun keigamaan," ujar Dhawa, "bukan saja ia membebaskan negerinya dari kekuasaan Shailendra, yang agaknya demikian mencekam, sehingga perlu diputuskan oleh suatu prasasti, tetapi juga mendasari kekuasaannya atas dasar igama, mensahkan peranan raja dengan meningkatkannya sebagai utusan Dewa."

Aku teringat berbagai cerita mereka yang ikut menyerbu ke negeri itu.

"Apakah tidak ada masalah jika kita menampakkan diri di sana?" tanyaku kepada Dhawa.

Ia menepuk bahuku.

"Para raja boleh bermusuhan," katanya, "atas nama igama atau apapun yang menjadi kepentingan. Namun bagi para pedagang, tiada sesuatu pun yang perlu menghalangi hubungan yang saling menguntungkan bukan?"

Lantas ia pun beranjak, sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Aku beranjak ke haluan, memandang cakrawala di kejauhan sambil bertanya-tanya, apalagikah kiranya yang akan kualami dalam perjalanan hidupku.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar