Nagabumi Eps 87: Samudragni

Eps 87: Samudragni

DARAHKU naik ke kepala. Ingin kuselesa ikan riwayat

pemimpin bajak laut yang belum kuketahui namanya ini sekarang juga. Namun aku juga tahu bahwa jika aku melakukan sesuatu tanpa perhitungan, aku dapat mengacaukan jalan cerita yang barangkali saja bisa menjadi lebih menarik jika aku tidak melakukannya.

Jadi, di balik tong-tong air di dalam lambung kapal, aku berusaha menahan diri.

Saat itulah Putri Asoka meludahi wajah sang pemimpin bajak laut.

"Cuh!"

Seketika itu pula dua belas tamparan telah mendarat di wajah Putri Asoka. memimpin bajak laut itu melompat berdiri.

"Anak bodoh tak tahu diuntung! Dikau telah meludahi wajah Samudragni!"

Aku terkesiap. Inilah sebuah nama yang sangat ditakuti. Begitu ditakuti sehingga bahkan mengucapkan namanya orang tidak berani, karena baru memikirkannya pun konon banyak orang sudah gemetar. Tiada pelaut yang tidak mengenal nama Samudragni yang berarti Samudera Api, sebuah nama yang didapatnya karena selalu membakar kapal-kapal korbannya, berikut dengan para awak dan penumpang kapal yang masih hidup di dalamnya! Jadi, hanya karena kami datang, sedangkan tugasnya merupakan rahasia, maka ia kabur tanpa sempat membakar kapal itu, yang ternyata kami bakar juga, meski dengan tujuan yang sangat berbeda.

IA masih berbicara.

"Jika dikau tidak begitu malang telah dilahirkan sebagai anak para pemberontak, dikau sudah lama jadi makanan ikan! Ketahuilah betapa dikau sunggguh tak berarti sama sekali bagiku, kecuali sebagai pemancing rajabrana orang-orang Srivijaya! Begitu hal itu kudapat, wahai puteri tak tahu diuntung, daku janjikan kematian perlahan yang tak mungkin dikau tahankan! Dikau akan digantung di buritan dengan setengah badan terendam di air, lantas daku lempar daging- daging mentah di perairan hiu, tempat ikan-ikan ganas itu akan menyobek-nyobek tubuh dikau!"

Lantas ia melenting ke atas dengan ringan, keluar dari lambung kapal.

"Nikmatilah kegelapan ini!" Brak!

Papan yang menutup jalan masuk terpasang kembali.

Sebetulnya jalan masuk itu biasanya terbuka, tetapi mungkin karena ada tawanan rahasia, maka kini tertutup.

Kegelapan kembali mencekam.

Kudengar isak tangis. Aku mendekat dan berbisik. "Putri..."

Tangisan itu berhenti.

"Tuan..., tolonglah sahaya, bebaskan sahaya!" Aku berusaha menenangkannya. "Putri, Putri telah berlaku dengan luar biasa dan berani, tabahlah dan tenanglah, sahaya akan menyelamatkan Putri..."

"Apa yang akan Tuan lakukan?"

"Sahaya ingin mengetahui siapa yang telah menyewa jasa Samudragni yang kejam ini untuk membantai seluruh keluarga Putri. Sampai saat ia membayarnya, Putri akan tetap hidup, percayalah. Samudragni sudah membunuh Putri sejak tadi jika tidak menghendaki uang dan harta benda, yang tentu dikehendakinya dalam jumlah yang besar sekali."

"Sampai kapan Tuan? Berapa lama lagi? Sahaya takut sekali!"

"Tenanglah Putri, percayalah sahaya akan menyelamatkan dan membawa Putri ke tempat yang aman."

Aku mengucapkan semua itu untuk menenangkan Putri Asoka, tetapi sebetulnya aku sungguh tidak tahu apa yang masih akan terjadi. Bahkan tidak kusangka sama sekali bahwa kapal ini kemudian tiba-tiba bergerak. Seseorang di atas memberi aba-aba kepada para pendayung di kiri dan kanan pada cadik. Kapal ini tampaknya berangkat keluar dari teluk. Kuperiksa, tong-tong air ini penuh, jadi mereka memang siap berlayar. Mau ke manakah mereka?

Aku merasa gamang. Baru beberapa hari berlayar dan lepas dari Javadvipa, sudah terlibat peristiwa yang belum kutahu kapan akan berakhirnya. Namun tentu saja ini suatu akibat yang tidak perlu kuhindari, karena aku memang tidak akan pernah tahu ke manakah riwayat hidup ini akan membawaku.

Apa yang bisa kulakukan sekarang? Aku mencoba berpikir dalam kegelapan. Samudragni jelas ingin mendapat tambahan uang atau benda berharga apapun atas pembunuhan Putri Asoka. Ia sungguh pandai memeras, karena dalam hal ini ancaman untuk tidak membunuhnya tampak jauh lebih mengerikan bagi yang diancamnya, dibandingkan dengan pembunuhan itu sendiri. Menunda pembunuhan Putri Asoka bukanlah soal besar bagi Samudragni, sedangkan membunuhnya pun hanya seperti membalik tangan. Garis keturunan pewaris kerajaan Jambi Malayu harus diputus, karena rakyat Muara Jambi masih akan terus mengakui garis keturunan itu, yang membuat minggatnya para bangsawan Jambi Malayu itu mendapat tanggapan begitu keras, yakni dengan melakukan pembantaian kepada mereka.

Semula para bangsawan ini ibarat dipelihara dan dibiarkan hidup demi menjaga ketenangan dalam pemerintahan, dengan pikiran bahwa setelah seratus tahun mereka akan meleburkan dirinya dalam kedatuan Sriv ijaya. Namun karena hal itu tidak terjadi, karena kemurnian darah sangat dijaga, bahkan kini memisahkan diri pula, suatu tindakan keras rupanya tidak ditahan-tahan lagi. Keadaan ini membuat pemerasan Samudragni, yang ternyata entah darimana telah mengetahui kedudukan Putri Asoka dalam kebijakan istana untuk membantai itu, menjadi pemerasan yang sangat berarti. Namun, kini tentu saja ia harus memberi tahu pihak yang akan diperasnya itu, bahwa ia hanya akan melanjutkan pembantaian dengan membunuh Putri Asoka, jika upahnya ditambah!

KUDENGAR dayung menyibak permukaan laut di kiri kanan badan kapal. Apakah mereka akan langsung menuju ke kotaraja, ataukah berlabuh di tempat tersembunyi dan mengirimkan pemberitahuan? Yang terakhir itu tentu saja lebih aman. Namun benarkah pihak yang akan dihubunginya berada di kotaraja? Aku sadar betapa semua dugaanku hanya berdasarkan pengetahuan yang sangat terbatas. Maka kutekankan kepada diriku sendiri, bahwa keselamatan Putri Asoka dalam segala kemungkinan harus kuutamakan, meski sekarang ternyata aku tidak bisa begitu saja membawanya pergi. Selain tidak terlalu mudah bertarung di atas kapal sembari melindungi sang puteri, jika mereka semua bisa kulumpuhkan belum  berarti masalah puteri itu selesai. Aku tentu tidak berharap bahwa setelah tertolong dan perjalanan kulanjutkan, maka seseorang yang lain akan membunuhnya.

"Putri, apakah Putri menginginkan sesuatu?"

Putri Asoka terisak kembali, kini lebih tersedu dan tersedan, karena meskipun aku hanya menanyakan keperluannya saat ini, ternyata mengingatkan keadaannya yang sebatang kara dengan cara begitu rupa.

"Sahaya ingin pergi dari s ini, ingin pulang..."

Tenggorokanku tersekat, tidak ada sesuatu pun yang dapat kugunakan untuk menjawabnya. Lagipula, terlalu banyak berbicara dalam keadaan seperti ini sangat berbahaya, meskipun telah dilakukan dengan berbisik-bisik.

"Tapi sahaya harus pulang ke mana? Sahaya tidak memiliki siapa pun juga..."

Lantas tangisnya menghambur lagi tanpa bisa ditahan lebih lama. Agaknya ia telah memendam perasaan ini begitu lama, dan kini barangkali dianggapnya ada seseorang yang layak mendengar perasaannya. Aku sangat khawatir suaranya akan memancing orang untuk turun ke bawah, makanya kuperdengarkan suara tertentu untuk berjaga-jaga jika ada yang mendengarnya. Kuperdengarkan suara tikus berlari kian kemari. Aku tak bisa me lakukan apa pun untuk meredam kesedihan atas nasib malang seperti itu, nasib malang seorang gadis yang masih berusia 12 tahun dan seluruh keluarga besarnya terbantai habis tanpa sisa di depan mata.

"Layar!" Kudengar teriakan Samudragni.

Dengan ilmu pendengaran Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang dapat kuketahui betapa di kiri kanan lambung kapal para awak kapal berhenti mendayung, dan melangkah berlompatan dengan gesit dari atas cadik menuju ke selasar untuk menyimpan dayungnya. Sementara itu awak yang lain telah memanjat dengan ringan ke atas, membuka tali yang menggulung layar. Segera layar terkembang dan menampung angin yang sangat kuat dari arah selatan. Kapal meluncur dan melaju melewati mulut teluk, menyusur lincah di antara pulau- pulau karang, dan sebentar kemudian sudah lepas ke lautan bebas. Sayang sekali, karena segala sesuatunya melalui pendengaran, tidak bisa kuceritakan warna langit yang barangkali biru maupun permukaan laut yang kehijau-hijauan.

(Oo-dwkz-oO)

KUBAYANGKAN kawan-kawanku yang masih tertinggal di Kota Kapur. Kapal ini meninggalkan Pulau Wanka. Jika menuju ke kotaraja kedatuan Sriv ijaya yang terdapat di Samudradvipa atawa Suvarnabhumi, berarti kapal ini hanya menyeberangi selat, lantas menyusuri muara sebelum tiba di sana. Naga Laut jelas masih sangat berkepentingan dengan keselamatan Putri Asoka. Peristiwa ini seperti memberi kesempatan, bahkan seperti menuntut, agar ia menunjukkan siapa dirinya, bahwa bajak laut yang satu dibanding bajak laut yang sama sekali tidaklah sama, karena setiap pihak memiliki kepentingannya sendiri.

Begitulah, lautan luas yang bagaikan takberbatas ternyata menjadi wilayah pertarungan kuasa demi berbagai kepentingan. Kedatuan Srivijaya dalam dua ratus tahun ini telah tumbuh sebagai kekuatan bahari, karena kemampuan para pemimpinnya menghimpun kapal-kapal liar dari sembarang perkampungan sepanjang pesisir dan pulau-pulau sekitar Suvarnabhumi, yang sering mengambil kesempatan membajak kapal-kapal dagang, menjadi semacam armada yang pada gilirannya menguasai jalur perdagangan itu secara resmi. Namun seperti yang telah kupelajari dengan muncul Naga Laut dan Samudragni dalam perjalanan ini, jaringan kuasa Srivijaya mendapat perlawanan, baik oleh pihak yang menjadi bajak laut karena taksudi berbagi; maupun pihak yang menjalankan peran bajak laut, sama sekali tidak untuk menguasai harta benda duniawi, melainkan atas nama perlawanan terhadap Sriv ijaya itu sendiri. Dengan yang pertama, Sriv ijaya masih dapat melakukan kesepakatan, tentu dengan bayaran; tetapi dengan yang kedua, kesepakatan berdasarkan bayaran tidak dimungkinkan, kecuali mengubah kebijakan atas kekuasaan, yang bagi Sriv ijaya tentu tak dimungkinkan.

Keadaan semacam ini membuat bajak laut seperti Samudragni tidak pernah merasa menjadi rekan sejawat bajak laut seperti Naga Laut, meski bagi raja-raja Sriv ijaya keduanya sama-sama mengganggu, karena keduanya memang merongrong kewibawaan kedatuan mereka. Kini menjadi jelas bahwa menyingkirnya kapal Samudragni setelah melihat kapal Naga Laut mendekat ternyata memiliki penyebab yang panjang.

Namun di manakah Naga Laut kini? Bahkan ketika aku meninggalkan para awak kapalnya di rumah panjang itu, ketika para kawan Jambi Ma layu diajak masuk para awak kapal Naga Laut itu, ia sendiri masih bersama isterinya yang berasal dari Champa. Masih perlu waktu lama bagi Daski, Markis, Darmas, Pangkar, dan kawan-kawan lainnya untuk menyadari bahwa aku telah menghilang. Kuharapkan Daski masih percaya aku memang mengikuti pelaut yang menjadi mata-mata Samudragni itu, yang nyatanya memang membawaku sampai ke kapal ini. Namun bagaimana jika mereka mengira aku sekadar lari saja, seperti mungkin terjadi dengan para penumpang yang tidak terbiasa dengan kehidupan di atas kapal, dan memilih turun di mana pun karena tidak tahan lagi?

Tentu saja aku berharap mereka percaya kepadaku, artinya cukup percaya untuk menduga bahwa set idak-tidaknya aku telah menemukan jejak yang takbisa kutinggalkan lagi. Namun apakah kiranya yang akan membuat mereka mungkin melakukan dugaan seperti itu? Pada malam hari nanti, aku sudah akan seperti ditelan bum i, karena sesiang ini saja aku sudah berada di tengah lautan bebas. Kurasakan kapal yang naik turun mengarungi gelombang, kudengar angin kencang menerpa layar dan membuat kapal melaju. Kudengar Samudragni memegang sendiri kemudi dan dengan tenaga besarnya mengarahkan kapal sesuka hati. Ia berteriak riang menikmati angin kencang ini.

Dalam kegelapan di lambung kapal yang ternyata masih banyak menyisakan ruang kosong, kudekati Putri Asoka dan kupegang tangannya. Kusalurkan tenaga prana kepadanya agar ia mendapat ketenangan. Mataku masih terpejam, kudengar kesibukan di atas, kaki-kaki yang bergedebukan pada papan. Kesibukan mengarahkan kapal belum selesai. Beberapa kali kudengar awak kapal masih naik dan turun sepanjang tiang, karena bentangan layar harus disesuaikan dengan kecepatan tiupan. Nanti setelah kapal berlayar dengan lurus, dan kecepatannnya tidak menimbulkan persoalan, suatu ketenangan bisa diharapkan.

Saat itu memang akhirnya tiba. Beberapa awak turun ke ruang tidur di atas lambung kapal, dan percakapan mereka yang berbisik-bisik pun dapat kudengar dengan jelas.

"Dikau masih ingat tempat persembunyian harta itu?" "Bagaimana bisa ingat kalau mata kita ditutup seperti itu."

"Tutup mataku tadi terlalu ke atas mengikatnya, jadi daku memperhatikan tanda-tanda."

"Jadi dikau bisa menemukan kembali tempat persembunyian harta karun itu?"

"Bisa."

"Tapi apa yang bisa dikau lakukan dengan pengetahuan itu? Jika nakhoda mendengar apa yang dikau katakan ini saja, pasti dikau akan jadi makanan ikan hiu." Hening sejenak. Kudengar pisau dicabut dari sarungnya. Mungkin orang yang mengetahui persembunyian harta itu mengancam.

"Nakhoda tidak akan dan tidak perlu tahu, karena jika diketahuinya sesuatu tentang diriku dalam hubungannya dengan harta itu, pastilah itu darimu. Jika hal itu terjadi, wahai sobat, dirimulah yang nanti menjadi makanan ikan hiu!"

Tak ada suara lagi. Jadi hampir seluruh isi kapal, yang kuperkirakan sekitar 25 orang, telah dikerahkan untuk mengangkut harta tersebut, entah dalam karung entah dalam peti, sampai ke suatu jarak tertentu dari pantai tempat kapal ini tadi berlabuh. Makanya ketika aku menyelinap ke dalam kapal, hanya terdapat dua orang penjaga bermain dam- daman. Mereka lantas ditutup matanya dengan kain, sementara tangan mereka tetap harus memikul harta benda itu di se la-sela dinding karang yang membentuk jalan berliku. Setiba di tempat, tanpa membuka tutup mata itu, mereka harus meletakkan pikulan-pikulan tersebut, dan hanyalah Samudragni yang mengangkut entah karung entah peti itu ke tempat yang lebih tersembunyi lagi. Orang yang membongkar rahasia tadi mengenali tempat itu sebagai goa di dalam bukit karang, tempat air laut pasang surut masuk ke dalamnya, membentuk lorong-lorong dan sungai di dalam gua, sehingga hanya saat-saat tertentu manusia bisa masuk ke dalamnya.

Tampaknya Samudragni ingin menguasai harta karun itu sendirian saja, meski ia berhasil meyakinkan anak buahnya bahwa ia menyimpan rahasia itu agar tidak seorangpun dari anak buahnya itu tergoda mencurinya. Sebagian memang percaya, tetapi yang kudengar bercerita tadi tampaknya tidak. Aku belum tahu seberapa jauh kenyataan semacam ini akan berkembang jika diriku tidak berada di sini, kini, di dalam lambung kapal yang gelap dan mengetahui rahasia mereka, dengan kepentingan yang sangat jelas: Menyelamatkan Putri Asoka. Namun aku tidak sekadar ingin menyelamatkan Putri Asoka dari keadaannya sekarang ini, melainkan dengan jaminan bahwa tidak seorangpun mempunyai alasan untuk membunuhnya, sampai maut sendiri merenggutnya tanpa melalui pembunuhan.

Aku memikirkan kawan-kawanku. Untuk pertama kalinya aku kembali merasakan diriku menjadi bagian sebuah keluarga.

TAMPAKNYA Samudragni ingin menguasai harta karun itu sendirian saja, meski ia berhasil meyakinkan anak buahnya bahwa ia menyimpan rahasia itu agar tidak seorangpun dari anak buahnya itu tergoda mencurinya. Sebagian memang percaya, tetapi yang kudengar bercerita tadi tampaknya tidak. Aku belum tahu seberapa jauh kenyataan semacam ini akan berkembang jika diriku tidak berada di sini, kini, di dalam lambung kapal yang gelap dan mengetahui rahasia mereka, dengan kepentingan yang sangat jelas: Menyelamatkan Putri Asoka. Namun aku tidak sekadar ingin menyelamatkan Putri Asoka dari keadaannya sekarang ini, melainkan dengan jaminan bahwa tidak seorangpun mempunyai alasan untuk membunuhnya, sampai maut sendiri merenggutnya tanpa melalui pembunuhan.

Aku memikirkan kawan-kawanku. Untuk pertama kalinya aku kembali merasakan diriku menjadi bagian sebuah keluarga.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar