Nagabumi Eps 85: Tuan Putri Asoka

Eps 85: Tuan Putri Asoka

SUITAN Daski, seperti juga suitan nakhoda yang kudengar di kapal, agaknya merupakan penanda khusus bagi awak kapal Naga Laut, karena dari rumah panggung satu ke rumah panggung lain, muncul para awak kapal yang sudah memegang senjata masing-masing. Ada yang melalui pintu, langsung dengan cara menendangnya, ada yang melejit melalui jendela yang memang sudah terbuka, tidak semuanya dengan busana yang sudah siap tempur. Kemudian di belakang mereka, muncul pula perempuan-perempuan yang masih mengikatkan kainnya ke pinggang dengan rambut terurai tak beraturan.

Kelima orang itu, dua orang yang menghadapiku dan tiga orang yang menghadapi Daski, tertegun. Mereka segera mencabut badik, dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Suasana mencekam, tetapi persoalan belum terlalu jelas bagi para awak kapal yang mengepung.

"Apa yang terjadi Daski, sampai kami harus menghentikan keasyik masyukan asmara kami secara mendadak begini?"

"Ya, apakah yang begitu gawat Daski, sehingga percintaaan harus diganti tawuran di siang hari bolong seperti ini?" "Daski, Daski, kenapa kami se lalu mengganggu kami?

Carilah istri dan tidur saja bersama kami."

Mendapat rentetan pertanyaan seperti itu, Daski menggeleng-gelengkan kepala, menunjuk para penguntit itu dengan pisau belatinya yang melengkung.

"Tanyakanlah kepada mereka, Darmas! Adakah tujuan yang lebih baik se lain membunuh dengan cara menguntit seperti itu!"

Mereka kembali menatap kelima orang yang telah dengan diam-diam menguntit kami. Tanpa ditanya mereka menjelaskan dirinya sendiri.

"Kami adalah para abdi Tuan Putri Asoka, ingin bertemu Yang Mulia Naga Laut yang menjadi sahabat negeri Muara Jambi, untuk mengetahui kebenaran desas-desus yang simpang siur sampai ke telinga kami."

Kami saling berpandangan. Orang itu berkata lagi.

"Jika sudah jelas kita t idak bermusuhan, bisakah kita bicara tanpa senjata di tangan?"

Aku baru sadar sudah begitu banyak orang berkerumun. Sejumlah orang berhadapan dan berteriak-teriak dengan senjata di tangan, tentu saja akan menarik perhatian banyak orang. Jika aku sendirian, aku akan membekuk kelima orang ini diam-diam sebagai cara mengorek keterangan. Namun selain aku harus menyesuaikan diri dengan cara berpikir yang berbeda, ternyata memang tindakan itu tidak perlu. Mereka telah mengenal siapa Naga Laut, terutama dalam hubungannya dengan pembantaian keluarga bangsawan di tengah laut itu. Barangkali mereka bahkan terhubungkan lebih dekat daripada sekadar dugaan kami.

Kutengok sekeliling. Bagaimana mungkin pembicaraan dirahasiakan di tengah orang banyak seperti ini. Namun Daski rupanya cepat tanggap dan memberi isyarat. Hampir bersamaan kami memasukkan kembali senjata ke sarungnya. Kusapu sekali lagi orang-orang yang berkerumun itu, dan memang aku menemukan sesuatu! Seseorang yang meskipun busananya tak jauh berbeda, tetapi tampak sekali bukan bagian dari orang banyak ini, yang kubaca dari ungkapan wajahnya, jelas berada di sini untuk memata-matai, bahkan sangat mungkin telah mengikuti kami, atau orang-orang yang membuntuti kami, tanpa kami ketahui. Hmm. Urusan di tengah laut itu masih terus berlanjut di sini.

"Mari kita bicara di dalam," ujar Daski, yang telah kuberi isyarat dengan pandangan, bahwa orang itu akan kuikuti, "biarlah nanti Naga Laut mendengar sendiri apa pun yang akan kalian pertanyakan."

Ketika semua orang memasuki rumah panggung yang terpanjang di sana, dan orang-orang kembali ke pekerjaannya masing-masing, aku telah menyelinap dan berkelebat begitu rupa sehingga tidak diketahui orang itu. Ia masih berdiri beberapa saat di luar, ketika orang-orang Muara Jambi dan para awak kapal tak tampak lagi, karena memang sudah masuk semua.

Kemudian ia berjalan cepat, meninggalkan perkampungan nelayan dan kembali ke bandar. Dalam keriuhan bandar, aku masih dapat mengikutinya dari belakang dengan mudah. Ia berhenti satu kali di depan penjual juadah yang dibakar, membeli satu, lantas berjalan lagi sambil memakannya. Aku masih mengikutinya ketika keluar dari bandar, dan ia melangkah sepanjang jalan setapak. Jalan ini sepi, sehingga ini agak menyulitkan, karena dengan sekali toleh saja tentu aku akan terlihat olehnya.

MAKA aku melenting ke atas pohon yang tinggi, dan berkelebat dari pohon ke pohon tanpa suara, itu pun dari jarak yang cukup jauh, untuk terus mengikutinya. Jika ia waspada, sebetulnya ia dapat menandai suara burung-burung yang beterbangan, maupun siamang yang berteriak-teriak menyingkir karena terkejut ketika aku berkelebat melewatinya.

Ternyata ia berjalan cepat tanpa menoleh-noleh lagi. Dari jalan setapak yang merupakan jalan umum, ia berbelok ke jalan setapak untuk pencari kayu. Ia berjalan cepat, seperti tidak ada waktu lagi untuk menunda berita yang ingin disampaikannya. Dari jalan setapak untuk pencari kayu, ia berbelok lagi ke suatu jalan yang agaknya merupakan jalan rahasia, karena memang tidak tampak seperti jalan sama sekali. Ia menerabas semak-semak, termasuk yang beronak duri, seperti berjalan asal menabrak; tetapi dapat kulihat tanda-tanda yang menunjukkan jalan kepadanya, yakni ranting atau batang pohon kecil yang dipatahkan, yang ditekuk untuk menunjukkan arah jalan. Bagi yang waspada, hal itu bukan rahasia sama sekali, karena cara patahnya jelas menunjukkan telah dilakukan oleh manusia.

Lelaki yang berdestar itu tidak mengenakan baju dan hanya berkancut. Ada juga kain yang biasa dipakai untuk menahan dingin, tetapi ia hanya mengikatnya di atas pinggang, karena udara memang sangat panas. Maka aku heran dengan ketahanan kulit tubuhnya yang menembus semak-semak berduri bagaikan tiada terasa sama sekali. Ia terus menerabas dan menerabas tanpa sekalipun menoleh. Aku masih mengikutinya dari atas pohon, berkelebat dari batang ke batang tanpa terlihat, dengan rasa ingin tahu yang semakin lama semakin bertambah menggoda. Ke manakah kiranya tujuan orang ini? Bagiku keadaannya kadang menyulitkan, karena pohon-pohon tinggi besar ini hanya terdapat di dalam hutan. Begitu keluar dari hutan dan naik ke atas bukit, hanya terdapat padang terbuka. Apa akal? Untunglah alang-alangnya cukup tinggi, setidaknya setinggi pinggang, sehingga aku dapat menghindarkan diri dari pandangannya apabila ia menoleh ke belakang. Begitulah aku memanfaatkan ilmu pendengaran Mendengar Semut Berbisik di Dalam Lubang supaya bisa mengikuti langkah kakinya tanpa harus melihat sendiri ke mana arah langkahnya. Aku berjalan merunduk, kadang bahkan bertiarap ketika alang-alang itu menjadi sangat pendek, tetapi melaju seperti seekor biawak yang lincah. Dari puncak bukit, jalan menurun lagi dan di sini bahkan terdengar ia berlari. Sambil berlari itu ia bersuit. Pengalamanku dengan suitan-suitan itu belakangan ini membuat aku sempat terhenyak mendengarnya. Apakah ia ternyata tahu dirinya dikuntit dan bersuit untuk memanggil kawan-kawannya untuk mengepungku?

Aku tak berani mengangkat kepala lebih tinggi dari rumput dan karena itu kupertajam saja wilayah pendengaranku dengan ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Lubang itu. Maka kudengar kecipak air di bawah sana. Ah! Sebuah perahu! Perahu itu sebuah perahu sampan yang tertambat di tepi sungai. Jadi di bawah bukit ini terdapat anak sungai yang tersembunyi! Lantas kudengar pula pergerakan manusia di atas pohon-pohon sekitar sungai itu. Pergerakan dua orang yang semula tidur atau duduk di atas batang-batang pohon yang besar tetapi miring di atas sungai, dan karena itu nyaman untuk tidur, yang kemudian melompat ke bawah dan langsung berteriak.

"Lama sekali dikau!"

"Tidak ada yang terlalu lama! Terlalu banyak peristiwa hari ini! Kita harus cepat ke kapal!"

Kedua orang yang rupanya memang bertugas menunggu itu, segera bersiap di depan dan belakang perahu sampan itu dengan dayungnya.

"Ayo! Cepat! Cepat!"

Mereka pun bergerak. Bagaimanakah caraku mengikutinya? Aku pun harus bergerak cepat tanpa mereka ketahui, dan ini tentu saja tidak mudah. Anak sungai kecil yang merupakan jalan rahasia itu sebentar kemudian sudah dinaungi segala macam pohon di atasnya, dengan tinggi yang nyaris mengenai kepala orang mendayung di atas sampan. Pohon-pohon ini dahannya saling menjalar begitu rapat, sehingga tidak ada kemungkinan aku bergerak di antaranya tanpa menimbulkan suara yang akan membuat mereka menoleh ke atas. Adapun jika aku mengikuti dengan cara melenting-lenting di atasnya, meski mungkin kulakukan tanpa suara, tetap saja sulit melihat ke bawah menembus kerapatan daun-daunnya. Memang benar aku dapat menggunakan ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Lubang untuk melacak arah perahu, tetapi ini tidak akan ada gunanya jika perahu mencapai tempat yang belum bisa kuduga di mana, tempat tubuhku tak bisa mencapainya.

MAKA dari atas bukit aku pun berkelebat cepat ke tepi sungai dengan ilmu Naga Berlari di Atas Langit sembari menyambar dan mematahkan sebatang buluh. Aku langsung menyelam dan menyusul perahu itu tanpa suara di dalam air. Begitu sampai di dekat perahu, aku bergerak ke bawah dasarnya, dan segera memegang lunas yang terendam dalam air dengan sangat hati-hati, sementara tubuhku kuringankan begitu rupa sehingga tidak menambah beban bagi yang mendayung sama sekali. Meski mereka tergesa, agaknya mereka pun tak bisa melaju dengan cepat karena rapatnya tumbuh-tumbuhan yang menutupi anak sungai ini dari pandangan. Bahkan kadang dayung harus mereka letakkan, dan cukup tangan mereka memegang batang-batang yang menjalar di atas mereka, untuk menarik diri mereka sendiri bersama perahu ke depan.

Di bawah dasar perahu, aku memegang lunas dan bernapas melalui saluran udara di dalam buluh. Anak sungai ini berkelak-kelok menuju ke arah laut, tetapi tidak menjadi semakin lebar. Sebaliknya, dasar sungai yang semakin dangkal membuat air semakin jernih, dan aku dengan mudah tentu akan terlihat. Untunglah bahwa arah sungai ini ternyata memasuki gua di dalam bukit-bukit karang di tepi laut. Ini berarti pilihanku untuk tidak mengikutinya dari atas tidak keliru, karena jika hal itu kulakukan tentu ketika perahu memasuki gua, maka aku akan tertahan oleh dinding karang.

Di dalam gua, sungai menyempit, dan meskipun airnya jernih, di dalam gua itu nyaris tidak ada cahaya, sehingga lebih sedikit lagi kemungkinannya bahwa aku akan terlihat. Mereka mendayung tanpa suara, air terasa makin dingin bagiku. Ke manakah perahu akan menuju? Bukit-bukit karang tempat terdapat rongga-rongga gua bersungai di dalamnya itu, bagaikan benteng yang melindungi teluk yang nyaris tertutup di sebaliknya dari hempasan gelombang. Aku baru akan mengetahuinya kemudian, ketika setelah perahu keluar dari gua, tahu-tahu sudah berada di atas laut dalam teluk yang nyaris tertutup itu.

Mereka langsung mendayung ke arah sebuah kapal. Kutahu inilah saatnya untuk mengikuti mereka dengan cara yang lain. Aku segera bergerak mendahului mereka dengan berenang seperti ikan lumba-lumba di dalam air, tentu setelah melepaskan buluh yang kugunakan untuk bernapas terlebih dahulu. Kujaga agar mereka yang berada di perahu sampan tidak melihat buluh itu, karena siapapun kiranya yang pernah mempelajari ilmu penyusupan akan paham, bahwa buluh yang terlihat sengaja dipotong itu telah digunakan seseorang untuk menyusup melalui bawah air.

Aku segera tiba di sekitar kapal yang berlabuh di tempat tersembunyi ini. Apakah mereka juga menyembunyikan banyak hal lain di sini? Aku muncul di bawah kapal, tepatnya di bawah selasar, pada bagian yang tidak terlihat oleh perahu sampan yang sedang mendatang. Seorang pelaut ternyata sedang buang hajat! Kurang ajar! Hampir saja kepalaku terkenai olehnya jika tak segera menyelam dan muncul lagi di bagian lain. Air laut di teluk yang terlindungi bukit karang ini cukup jernih, sehingga keberadaanku di dalam air ini sungguh sangat berbahaya untuk diriku. Kuputuskan segera naik ke atas kapal. Semakin cepat kuketahui segala sesuatu tentang kapal dan awak kapal, justru semakin bagus, agar kupahami apa yang akan terjadi nanti.

Maka setelah meluncur di dalam air seperti ikan lumba- lumba, sampai di dekat kapal aku melejit seperti ikan terbang, tetapi yang segera menempel di dinding luar lambung kapal seperti cicak, dan agar tidak mudah terpergok jika ada yang kebetulan melihat, kugunakan ilmu bunglon, sehingga kulitku menjadi sama warnanya dengan dinding luar lambung kapal itu. Aku merayap dengan cepat, muncul dari arah selasar tanpa terdengar oleh awak kapal yang sedang asyik buang hajat itu. Aku bergulir masuk tanpa suara melalui dinding kapal. Di geladak kapal terlihat dua awak kapal sedang terlibat sebuah permainan dam-daman yang menggunakan batu-batu putih, dengan garis-garis yang membentuk kotak-kotak di atas sebuah papan.

Kapal itu sepi. Aku menyelinap masuk melalui palka di bawah ruang kemudi ke ruang tidur awak kapal. Tidak ada siapa-siapa di situ. Ke mana awak kapal pergi? Kuselidiki ruang tidur ini, bahkan nyaris kugeledah, tetapi takketemu sesuatu yang menunjukkan tanda-tanda sebagai sesuatu yang mungkin saja ada hubungannya dengan kecurigaanku. Maka aku pun membuka papan yang menutupi lubang masuk ke lambung kapal. Begitu terbuka, cahaya menerangi keadaan di dalam, tetapi begitu masuk aku segera menutupnya lagi.

SEKETIKA keadaan menjadi sangat gelap. Kupejamkan mata dan kupasang ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Lubang. Tercium oleh hidungku bau kayu manis yang harum, tetapi lambung kapal ini tidak mempunyai muatan berarti. Berarti mereka semula membawa kayu manis, tetapi telah menurunkannya. Artinya mereka datang dari tempat yang jauh dan baru saja kembali, karena jika memuatnya itu hanya berarti mereka berangkat ke tempat-tempat yang sangat jauh. Segera kudengar seseorang menangis terhisak-hisak di balik tong-tong besar air tawar. Aku segera menyelinap, karena pastilah telah mendengar aku masuk dan telah terbiasa dengan keadaan gelap.

Sudah jelas ini suara tangis seorang perempuan, yang masih sangat remaja, karena memang hanya mereka yang tidak siap hidup di dunia, dengan segala peristiwa yang tidak mungkin terduga, akan menangis dengan sangat memilukan seperti itu.

Aku membuka mata, membiasakan diri dengan kegelapan.

Lantas bertanya.

"Asoka, Asoka, dikaukah yang disebut Tuan Putri Asoka?"

Tangisannya langsung terhenti, meski tetap terdengar isakannya.

"Ya," katanya tersendat, "siapakah Tuan?"

"Sahaya seorang kawan, sahabat kawan-kawan dari Muara Jambi, tenanglah Tuan Putri dan percayalah kepada sahaya. Tahukah Tuan Putri siapa kiranya yang menculik Tuan Putri?"

Dalam kegelapan ia menggeleng dan menangis lagi. Kuduga ia tak tahu apa pun, juga bahwa dirinya masih hidup pun tentu tidak ia ketahui sebabnya.

"Nanti Tuan Putri akan sahaya bebaskan, tetapi itu nanti, setelah sahaya mendengar banyak perbincangan. Pahamkah Tuan Putri akan maksud sahaya?"

Terdengar suara pelan di tengah isaknya yang masih tersendat.

"Iya..."

Nada suaranya menunjukkan rasa tertekan yang berat. Apalah yang dapat diharapkan dari seseorang yang menyaksikan seluruh keluarganya dibantai dan kaum perempuannya diperkosa di depan mata? Bahkan nasib Asoka sendiri, yang kuperkirakan tidak lebih dari 12 tahun ini, tidaklah berani kubayangkan.

"Sahaya ingin mendengar banyak keterangan, siapakah mereka, dari mana asalnya, dan siapakah kiranya yang berada di belakang mereka. Dapatkah kiranya Tuan Putri membantu sahaya?"

Di ce lah isak tangis kutangkap kata-katanya. "Tapi bagaimana caranya?"

Aku belum sempat menjawab ketika tiba-tiba saja penutup lubang masuk dibuka. Cahaya memasuki ruang. Terlihat Putri Asoka yang masih sangat muda itu tangannya terikat ke belakang. Aku berkelebat menyembunyikan diri di sebuah sudut yang masih gelap.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar