Nagabumi Eps 57: Kebudayaan dan Darah

Eps 57: Kebudayaan dan Darah

AKU   berjalan   dalam   hujan.   Sudah   beberapa   hari

kutinggalkan bukit yang kelak akan menjelma candi raksasa itu. Tidak bisa kubayangkan kapan pekerjaan besar itu akan selesai. Mengumpulkan batu dan menjadikannya kotak-kotak persegi panjang dalam ukuran-ukuran tertentu saja sudah memakan waktu lima tahun, dan itu baru dapat digunakan untuk mulai membangun dasar bangunan. Dari dasar itu akan terbentuk dinding, pada dinding itulah sedang dipahatkan cerita Maha Karmawibhangga yang bagiku terasa sangat mengesankan, karena bagiku adalah luar biasa bahwa batu- batu yang dingin dapat menggambarkan hangatnya kehidupan.

Namun semua itu harus kutinggalkan, karena aku memang ingin me lanjutkan perjalanan. Para pengawal rahasia istana telah kembali hari itu juga karena berita datangnya pembunuh segera tersebar ke mana-mana. Begitu kulihat mereka datang, aku segera menghilang. Telah kutinggalkan lembaran lontar dengan tulisan di atasnya:

carilah petinggi istana

yang berhubungan dengan Cakrawarti dan membuat perjanjian

dengan Naga Hitam

agar anak buahnya menyebarkan kematian

Mereka tidak akan segera mengerti permainan kekuasaan yang berlangsung, tetapi tentu akan mampu menyelidikinya sendiri. Aku tidak ingin berperan lebih jauh di luar batas ini. Aku hanyalah seorang pengembara, berusaha memperdalam ilmu silat dalam perjalanan, dan tidak tertarik sama sekali untuk mengabdi kerajaan. Kutinggalkan pemberitahuan itu bukan karena bermaksud ikut campur dalam permainan, melainkan karena kurasakan ketidakadilan. Para pembunuh berkepandaian tinggi merajalela tanpa lawan adalah keadaan yang mengenaskan. Biarlah para pengawal rahasia istana kini mendapat pekerjaan dan mengerahkan segala kemampuan. Mereka harus memburu dan mengobrak-abrik jaringan kejahatan Naga Hitam!

Aku berjalan dalam hujan. Kubiarkan tetes-tetes hujan dari langit membasah kuyupi seluruh badan. Aku berjalan lurus ke utara karena aku ingin segera mencapai lautan. Namun aku sengaja tidak berlari kencang menggunakan Jurus Naga Berlari di Atas Langit karena ingin menikmati perjalanan. Penggambaran Maha Karmawibhangga pada dinding batu telah membuat aku tertarik untuk melakukan pengamatan terhadap lingkungan. Apakah yang telah diperhatikan oleh para jurupahat itu sehingga kehidupan sehari-hari yang juga kukenal dapat tergambarkan kembali dengan cara takterbayangkan?

Kuperhatikan saat mereka bekerja, sebetulnya memang telah terdapat suatu rancangan keseluruhan yang menjamin keseragaman bentuk penggambaran, dengan cara menempatkan seorang pengawas pada setiap kelompok pemahat yang mengerjakan sepotong cerita. Setiap pengawas ini harus menjamin agar pengerjaan bagiannya akan menjamin ketepatannya sebagian bagian dari rancangan keseluruhan, begitu terus berlapis-lapis ke atas, sampai tinggal satu orang yang bertanggungjawab atas keutuhan rancangan; yang terkecil adalah bagian yang terbesar, tetapi yang terbesar adalah paduan segala hal sampai yang terkecil. Candi raksasa ini nanti akan menjadi sebuah pesan tentang kebesaran.

Namun aku sekarang tertarik kepada yang terkecil. Begitulah sepanjang jalan kuperhatikan segala sesuatu yang telah dipahatkan sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Apabila aku berjalan melewati pemukiman, segera kucari sesuatu yang juga telah dipahatkan, misalnya bentuk sebuah jembatan yang digunakan untuk menyeberangi sungai.

Pada sebuah desa kulihat sebuah jembatan terbuat dari bambu dengan susun-bentuk yang sederhana, tetapi terlihat ramping, kuat, dan indah. Hanya terdapat satu bentuk jembatan nanti yang terdapat pada pahatan di dinding candi, yakni pada lantai keempat.

JEMBATAN itu terikat kepada pancangan tiang bambu yang saling bertemu ujungnya sehingga berbentuk segitiga di kiri dan kanan jembatan, tempat jembatan itu tergantung. Ini sebuah jembatan gantung yang biasa terdapat di berbagai pemukiman dalam perjalananku, tetapi menyadarinya sebagai yang satu-satunya dalam pahatan di seluruh candi, membuat aku bertanya-tanya: Bagaimanakah kelak jembatan itu akan berbicara?

Bahkan pagar-pagar halaman bagiku tampak menarik hanya setelah melihatnya sebagai pahatan, dan memang hanya setelah melihat pahatan itulah aku kini mengamati pagar halaman yang sudah terlalu sering kulihat, tetapi tanpa makna seperti sekarang. Pagar yang dimaksud sebagai pembatas suatu halaman dengan halaman lain itu diungkapkan pada candi sebagai balok-balok batu atau kayu, yang ditanam atau disusun berjajar sepanjang batas halaman. Banyak sekali bentuk balok atau tiang pagar yang berencana mereka pahatkan pada dinding candi, hanya sebagian kecil yang sudah kulihat. Semuanya terbagi dalam berbagai jenis yang berhubungan dengan macam halaman tempat pagar itu ditancapkan.

Kemudian tentu juga terdapat berbagai bangunan, yang dalam rancangan keseluruhan bahkan telah dihitung bahwa akan terdapat 147 gambar pahatan bangunan batu, 254 gambar pahatan bangunan kayu, enam gambar pahatan bangunan yang menggunakan logam, dan seperti telah diungkap, satu gambar pahatan jembatan bambu, selain juga

463 bangunan bentuk hiasan. Sebetulnya terdapat juga bangunan stupa, jumlahnya 31 gambar pahatan, tetapi aku sedang tertarik dengan berbagai bangunan dalam kehidupan sehari-hari, sesuatu yang begitu jauh bagiku yang dibesarkan dalam keterasingan, baik se lama 15 tahun di Celah Kledung maupun sepuluh tahun dalam pengasingan diri di tempat terpencil ketika mendalami ilmu persilatan.

Kuperhatikan bahwa bangunan kayu mempunyai susunan utama berupa rangka dari bahan kayu, tempat atap dan dinding-dindingnya dise lesaikan dengan bahan kayu atau bambu, berdiri langsung di atas tanah atau di atas sebuah batur dari bahan batu. Bangunan yang pada rencana candi terdapat 248 buah ini, merupakan susunan rangka yang mempunyai kolong atap miring dengan teritisan yang lebar, suatu bentuk bangunan yang menanggapi kelembaban. Bangunan-bangunan kayu ini terbedakan dalam pengelompokan berdasarkan atapnya, ada yang beratap pelana, ada yang beratap limasan, ada yang beratap limasan lengkung, ada yang beratap tajuk, ada pula yang beratap susun.7) Demikianlah sambil berjalan aku memperhatikan, mengamati, menghitung, dan mengelompokkan, dan terutama membayangkan bagaimana manusia memikirkan untuk akhirnya mendirikan semua itu sebagai bagian kehidupan mereka, lantas para pemahat memindahkannya. Mengetahui semua itu membuat diriku merasa penuh dengan semangat. Perjalanan menuju pengetahuan ternyata adalah perjalanan yang sangat membahagiakan!

Atas dasar apakah para perancang gambar pahatan yang akan melingkari candi sampai empat tingkat ini menentukan isi penggambaran di dalamnya?

APAKAH mereka membicarakannya bersama menghadapi gambaran keseluruhan rancangan, dan berkata, ''Masukkan rumah-rumah itu!'', ataukah seseorang telah menggambarkannya begitu saja dari dalam hati dan benaknya, dan baru kemudian dipertimbangkan bersama? Tentu ini bukan pekerjaan satu orang, tetapi tentu ada seseorang yang mempunyai peran menentukan, jika memang keadaannya demikian. Aku tidak cukup lama berada di sana untuk dapat mengetahui semuanya, tetapi aku masih dapat menggali pengetahuan dengan caraku sendiri.

Maka kini aku memperhatikan bangunan yang menggunakan bahan logam. Bangunan berbahan logam adalah bangunan yang susunan utamanya rangka terbuat dari bahan logam, tempat bagian atapnya diselesaikan dengan bahan kayu. Pada gambar pahatan, bangunan bahan logam ini ditunjukkan dengan penyelesaian tiang-tiang kecil, yang bila dibandingkan dengan bagian yang disangganya, hanya dapat dibuat dengan rangka yang menggunakan bahan logam atau bambu. Kelompok ini bangunannya kecil-kecil, biasanya hanya memiliki empat tiang penyangga dengan atap pelana atau limasan. Bagian kaki dari bangunan ini dise lesaikan dengan berbeda-beda. Ada bangunan yang berdiri di atas sebuah batur dari batu,8) ada pula bangunan-bangunan yang lantainya tidak langsung di atas tanah atau batur, tempat penyelesaian bagian kakinya merupakan panggung.9) Pada gambar pahatan, bangunan-bangunan ini semuanya diungkapkan dengan terdapatnya orang-orang yang sedang duduk di sekitarnya.

Gambar-gambar pahatan itu terbayangkan kembali olehku pada saat melihat pemandangan yang digambarkannya, yakni orang-orang yang sedang duduk di sekitarnya itu. Dalam gambar pahatan batu, tentu kita tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi sekarang aku dapat bergabung dengan orang-orang yang sedang duduk ini.

Hujan telah lama berhenti, tetapi aku basah kuyup. Semula aku ragu-ragu bergabung karena merasa asing, tetapi seseorang dengan ramah mengajak aku duduk di dekatnya.

''Pengembara sunyi, istirahatlah di sini, dengarkanlah cerita Bapak Tua ini, sambil makan pisang,'' katanya.

Aku pun mendekat, tetapi hanya berdiri di belakang, mengambil ses isir pisang, karena kainku yang masih basah kuyup. Tentu bisa kukeringkan segera dengan tenaga dalam yang kupancarkan dari tubuhku, tetapi itu akan terlalu menarik perhatian, meski perhatian semua orang sedang tertuju kepada orang yang bercerita.

''Ya, aku ikut dalam serangan seribu kapal kita tahun 767 ke negeri Champa yang mengerikan itu.11) Seribu kapal mengarungi lautan se lama duapuluh hari. Hujan angin dan badai gemuruh kami tembus dengan bernyali, meski banyak di antara kami yang baru pertama kali berlayar dan mabuk laut dengan muntahan yang takbisa ditahan lagi. Kami memasuki sebuah teluk dan melayari sungai masuk ke pedalaman, langsung menyerbu istana ketika rajanya taksadar sama sekali akan terdapat suatu serangan. Di sana kita telah menjadi orang-orang yang ganas. Penduduk setempat menyebut orang-orang Yawabhumipala sebagai orang-orang berkulit gelap yang lebih menakutkan dari kelelawar penghisap darah, yang kejam dan buas seperti Yama, datang dengan kapal- kapal, membawa pergi Mukhalingga dari Dewa, dan membakar kediaman Dewa bagaikan pasukan bersenjata Daitya melakukannya di surga.

''BERIBU-RIBU pemakan daging manusia datang dari negeri-negeri jauh dengan kapal-kapal dan menghancurkan arca serta gambar-gambar pahatan. Kita menyerang mereka lagi pada tahun 787 dan membakar kuil Bhadradhipsatisvara.13) Jangan heran jika siapapun dari kita yang pergi ke sana akan menerima sikap bermusuhan.''

''Apakah mereka akan menunjukkannya?''

''Mereka akan menunjukkannya bila sudah merasa kuat, dan kurasa mereka sedang menggalang kekuatan untuk itu. Namun lebih berbahaya tentu sikap bermusuhan yang tidak ditunjukkan, karena saat itulah kita akan ditusuk dari belakang. Jadi kulepaskan kalian jika ingin mencari pengalaman maupun berdagang, tetapi hati-hatilah. Ketahuilah bahwa setiap bangsa juga ingin merdeka, bebas dari penjajahan bangsa manapun jua.''

Aku tertegun dan mendadak kembali merasa rendah diri dengan sempitnya wawasanku. Banyak orang telah berlayar dan berperang menyerbu negeri-negeri yang jauh, tetapi aku masih sibuk berkecimpung dalam dunia persilatan sahaja. Rasanya rela aku melepaskan segenap ilmu silatku, tetapi digantikan dengan kesempatan mengembara sejauh-jauhnya, nun jauh ke balik cakrawala, yang tidak dapat kulakukan karena riwayat hidupku bagai selalu terlibat dengan urusan Naga Hitam. Itulah yang selalu membuat aku ragu, tidakkah sebaiknya aku menyelesaikan urusanku dengan Naga Hitam dan menantangnya bertarung untuk suatu penentuan siapa akan terus hidup dan siapa sebaiknya mati? Ataukah kubiarkan saja Naga Hitam terhukum oleh pengkhianatan atas kependekarannya sendiri, dengan membuat jaringannya dimusnahkan para pengawal rahasia istana seperti yang telah kulakukan?

Aku mencoba mengatasi rasa rendah diri itu dengan sikap rendah hati. Siapakah aku sebenarnya yang harus mengetahui dan mengalami segala hal bagaikan seorang prajurit utama sekaligus orang terpelajar, sehingga harus merasa begitu bodoh karena tidak mengetahui segala sesuatu yang dianggap penting di dunia ini? K iranya aku harus merasa tidak ada pusat dunia, supaya aku yang berada jauh darinya tidak merasa berada jauh dari segalanya. Sebaliknya mungkin lebih baik aku merasa, bahwa di mana pun tempat aku berdiri, di situlah pusat dunia berada. Kenapa tidak? Bukankah adanya dunia ini bagi kita dapat dan memang telah ditentukan oleh sudut pandang kita? Aku tidak harus meminjam mata orang lain untuk memandang dunia, dan akupun tidak harus meminjam kata-kata siapapun jua di dunia ini untuk merumuskan dunia.

''Kita harus menjadi diri kita sendiri,'' ujar orang yang disebut Bapak Tua itu yang terasa tiba-tiba, tentu saja karena sementara tenggelam dalam pemikiranku sendiri tidak kuikuti perbincangannya.

(Oo-dwkz-oO)

AKU melanjutkan perjalananku dan suatu ketika melewati bangunan-bangunan batu. Banyak sekali bangunan batu yang sudah ambruk dan tidak dipergunakan lagi, begitu juga bangunan batu yang masih dapat dipergunakan tetapi ditinggalkan dan tidak dihuni. Kuperhatikan bangunan- bangunan batu itu juga banyak terdapat dalam gambar pahatan. Mulai dari yang bisa kita sebut sebagai bangunan satu bilik, yang terbagi lagi menjadi yang tanpa bilik pintu dan yang dengan bilik pintu; bangunan satu bilik dengan bilik pintu tanpa pelipit bawah, bangunan satu bilik dengan tiga relung kecil dan bilik pintu, bangunan satu bilik dengan tiga relung besar dan bilik pintu, bangunan satu bilik dengan tiga relung besar dan bilik pintu dengan emper tertutup, bangunan satu bilik dengan pelipit yang disangga oleh tiang tanpa bilik pintu; sampai bangunan tiga bilik yang terbagi sebagai bangunan tiga bilik tanpa bilik pintu dan bangunan tiga bilik dengan bilik- bilik tambahan pada kedua samping bangunannya tanpa bilik pintu.15)

INI belum semua, masih terdapat bangunan bertingkat dua dengan enam bilik, yang jenisnya terbagi masing-masing bangunan bertingkat dua dengan enam bilik tanpa bilik pintu, bangunan bertingkat dua dengan enam bilik dan bilik pintu bertingkat yang terbuka, bangunan bertingkat dua dengan enam bilik dan bilik pintu yang bertingkat, maupun juga bangunan yang tidak berbilik. Terakhir, terdapat juga bangunan satu bilik dengan denah segi enam tanpa bilik pintu.

Semakin jauh aku berjalan, semakin banyak yang kutemukan dan kuendapkan, semakin penuh kepalaku dengan gagasan berkelebatan. Apakah aku harus berhenti berjalan, tekun dalam pembacaan, dan meninggalkan dunia persilatan? Namun aku sudah terlanjur dibesarkan dalam asuhan sepasang pendekar, yang meskipun sangat menghargai ilmu pengetahuan yang manapun, dan selalu mempelajarinya dalam setiap kesempatan, seperti mereka ingin memberi contoh padaku, tetaplah jalan kependekaran yang mereka tempuh sebagai jalan kehidupannya. Semua manusia harus mati dan seorang pendekar mendapatkan kesempurnaan dalam kematian melalui pertarungan. Inikah yang membuat aku menjadi jauh dari ilmu pengetahuan? Sempat kukenal bahwa dunia ilmu pengetahuan adalah dunia yang dingin dan sepi, dalam usaha keras perenungan manusia demi penemuan dan penjelajahan bagi peningkatan kemanusiaan. Aku berada di depan sebuah bangunan tanpa bilik, dan sedang berpikir untuk berhenti dan merenung, ketika sebuah angin pukulan dahsyat menyerang dari belakang.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar