Nagabumi Eps 53: Benih Aksara dan Piring Matahari

Eps 53: Benih Aksara dan Piring Matahari

SETELAH sepuluh tahun menghilang karena mendalami ilmu silat, aku baru menyadari betapa waktu yang semula terasa pendek bagiku, bisa berarti sangat banyak bagi orang- orang awam, yang bahkan tidak pernah menyadari betapa dunia persilatan itu ada.

Selama lima tahun beribu-ribu orang dikerahkan mengangkut batu-batu besar dari berbagai penjuru dan pada tahun-tahun berikutnya batu-batu itu diratakan pada empat sisinya dalam berbagai ukuran, lantas setelah itu disusun seperti teras mengitari sebuah bukit dengan bentuk empat persegi. Dari sini memang terbayang, bahwa jika batu-batu empat persegi itu disusun terus ke atas, maka bukit itu akan tertutup sama sekali dan terbentuklah suatu bangunan batu raksasa. Namun pada tahun 796, belum ada yang dapat dibayangkan dari sana, kecuali bahwa letaknya yang terdapat di antara empat gunung, dan mata rantai perbukitan menunjukkan betapa keberadaannya di tempat tersebut sangatlah diperhitungkan. Berdiri di puncak bukit yang belum tertutup batu, bukit-bukit itu tampak seperti manusia merebahkan diri di punggung bukit. Hidung, bibir, dan dahinya terbentuk dengan jelas, yang kurasa tak mungkin tiada terlihat oleh para perancang bangunan batu besar ini.

"Perancang bangunan itu bernama Gunadharma, tetapi sahaya belum pernah melihatnya, karena jika ia datang melakukan pengawasan, kepala kami harus tunduk dan tetap bekerja," ujar tukang pedati itu semalam.

Ketika tiba di sana, memang begitu banyak terlihat batu- batu besar yang sudah terbelah, tentu untuk mempermudah pengangkutannya, yang jika diambil dari kedua sungai di sekitar bukit tersebut, tidaklah memanfaatkan pedati melainkan beribu-ribu manusia yang mengungkit batu-batu besar itu dengan batang-batang kayu, setapak demi setapak, sampai tiba di sekeliling bukit tersebut. Batu-batu yang lebih kecil, baik pecahan batu besar maupun memang ukurannya kecil, tetapi masih berat juga, diangkut dengan pikulan. Satu batu dipikul oleh dua orang. Artinya seribu batu memerlukan dua ribu pemikul, sedangkan di sekitar bukit itu setidaknya lima ribu orang dikerahkan untuk mengangkut batu kali berkali-kali set iap hari. Ketika batu-batu di tepi kedua sungai itu masih tidak mencukupi, batu-batu tetap didatangkan dari tempat yang lebih jauh.

Seluruh pekerjaan ini memengaruhi kehidupan sehari-hari di Yawabumi; membahagiakan mereka yang menyerahkan hidup dan matinya untuk agama; tetapi mengacaukan kehidupan mereka yang menolak meski wajib menyerahkan jiwa dan raganya. Ketika Rakai Panamkaran yang naik tahta tahun 746 memberikan tanah di Kalasan untuk sebuah candi Buddha, pengaruh Siwa sebetulnya masih sangat kuat. Kini limapuluh tahun sudah berlalu, candi-candi Siwa yang masih setengah jalan terhenti pembangunannya, dan hanya berlanjut dengan pengalihan sebagai candi Buddha.

Meski hampir set iap prasasti menunjukkan kebijakan agar kedua agama dapat hidup bersama, di bawah permukaan berlangsung perseteruan diam-diam maupun terus terang. Hampir pasti, meski atas nama agama, bukanlah demi kepentingan agama itu sendiri. Perseteruan antarmanusia hampir selalu merupakan perseteruan kepentingan kekuasaan. Tak harus kekuasaan atas wilayah, tetapi juga dan terutama kekuasaan atas makna kebenaran.

PADAHAL setiap orang selalu memberi makna kebenaran sesuai dengan kepentingannya sendiri. Dalam kemelut berbagai kepentingan inilah kehidupan telah tergerakkan. Di sini, di puncak bukit yang kelak akan menjadi puncak candi terbesar ini, kulihat punggung-punggung tembaga yang berkilat dalam cahaya matahari. Di puncak bukit aku berpikir, jika agama apa pun membebaskan jiwa manusia, seberapa besar manusia-manusia yang mengangkut batu-batu itu, dan setengah mati meratakannya sampai dianggap sempurna, memiliki kemerdekaannya sendiri?

Para pembangun kuil raksasa, seberapa jauh mereka pelajari agama? Kutatap langit di atasku. Cahaya putih berkilauan menggulung diriku.

dalam jantungnya sendiri orang harus membayangkan matahari dalam bentuk piring di atasnya

tempatkan benih dalam bentuk aksara

orang harus memusatkan perhatian kepada pikirannya sendiri

yang telah disempurnakan hakekatnya dilambangkan sebagai dewa pelindungnya ista devata

yang muncul dari benih-aksara

yang terletak di atas piring-matahari di dalam jantungnya

Di sekitar bukit terdengar gemerisik daun-daun kelapa tertiup angin, kulihat tupai me lompat dari daun ke daun. Di bawah pohon-pohon kelapa itu terlihat atap-atap gubuk sementara yang dibangun oleh para pekerja dan di antara gubuk-gubuk kadang terlihat para bhiksu dengan kepala tanpa rambut dan berjubah kuning, berjalan membawa tongkat dan batok kelapa. Pada sebagian besar gubuk yang tanpa dinding itu bergelimpangan para pekerja yang sakit, sementara di luar gubuk, terik matahari menyapu punggung-punggung dengan keringat berkilat memantul bagaikan lesatan cahaya. Kadang- kadang di antara mereka yang sakit melemparkan sisa nasi, tetapi seperti dengan sengaja supaya tidak masuk ke mangkuk melainkan ke arah badan, bahkan kepala para bhiksu. Namun para bhiksu itu tampaknya memang memiliki kesabaran luar biasa.

Terdapat celah suatu lembah di antara perbukitan dan di sanalah terlihat anak sungai yang suara gemericiknya bergema dibawa angin sampai kemari. Angin itulah yang membawa suara berdentang-dentang seperti logam menyentuh batu. Aku mengamati lagi, tidak semua mengangkut batu, melainkan sebagian sudah mulai menatah pada dinding teras paling bawah. Sekitar 160 orang menatah di hadapan batu-batu yang sudah halus di hadapan mereka. Aku melesat ke bawah, dan bergerak sangat cepat tanpa mereka ketahui betapa aku berada di sekitar mereka.

Kulihat petunjuk tentang apa yang harus digambarkan pada dinding teras tersebut. Sebagian gambar memang belum terpahat dengan baik, tetapi bisa kuikuti sedikit gerak-gerak gambar-gambar tersebut. Misalnya terlihat orang-orang sibuk bergunjing, seperti dalam kehidupan sehari-hari. . Orang- orang menari, seperti tarian orang-orang Jambhudvipa yang pernah kulihat suatu kali. Orang-orang yang menikmati kehidupan dengan bercakap-cakap sembari makan dan minum. Seseorang yang memainkan seruling, dan seorang lelaki berkumis yang sedang memeluk pinggang seorang perempuan, dan perempuan itu seperti bergerak-gerak antara menolak dan pura-pura menolak. Di belakang perempuan itu, seorang pelayan dengan telinga berlubang besar tampak menawarkan kendi arak dan dua orang di belakangnya lagi memperhatikan, seperti ikut menikmati bagaimana lelaki berkumis tersebut bermain-main dengan perempuan itu.

'BUKANKAH semuanya sudah diperhitungkan dengan matang, sematang-matangnya?''

''Tentu mereka menggunakan Kitab Manasara-Silpasastra dan Silpaprakasa, tetapi kita juga tahu para pembangun stupa dan kuil-kuil tidak selalu setia dan sering menyimpang dari ketentuannya. Masalahnya, belum pernah ada bangunan sebesar ini sebelumnya.''

''Aku tidak mengerti satu hal, bagaimana rancang bangun suatu bentuk harus diikatkan dengan igama tertentu. Tahu kan isi prasasti di selatan itu?''

''Yah, itu sangat menyusahkan, untung kita tidak harus membongkar dasar yang sudah dibangun.''

Mereka berbincang di tengah suara pemahatan yang berdentang-dentang. Pecahan batu bertebaran di bawah dan debunya membuat kulit mereka bagaikan dilumuri serbuk. Berbagai gambaran terbentuk menjadi nyata, selain ketiga penari dan pemain seruling tadi, terlihat pula seseorang memukul tetabuhan, seperti kendang, sembari menandak- nandak. Cerita gambar ini belum selesai, bagaimana jadinya nanti jika gambar-gambar sudah selesai dan melingkari seluruh bukit ini?

Tentang Maha Karmawibhangga, belum pernah kubaca kitabnya, tetapi pernah kudengar tentang isinya sebagai ajaran Mahayana tentang alur atau gelombang kehidupan manusia, bahwa baik buruknya nasib ditentukan oleh perbuatan atau karma. Karena wibhangga berarti gelombang, dan hukum karma berarti hukum sebab akibat, maka ditunjukkan betapa gelombang kehidupan manusia sebagai gelombang sebab dan akibat perbuatan manusia sendiri. Jika candi ini te lah berdiri nanti, maka seluruh cerita bergambar ini tidak akan berkesinambungan, melainkan terputus-putus di sekeliling candi, dan hanya bisa diurutkan melalui pradaksina, pemutaran ke kanan, yang berawal dari sudut tenggara, berputar ke sudut barat daya, barat laut, dan berakhir ke timur laut dan sisi timur. Tiada terbayangkan olehku akan seberapa besarnya bangunan ini nanti!

Cerita gambar adalah kehidupan sehari-hari manusia. Dari lima bingkai yang sedang dikerjakan di sudut tenggara itu telah kutafsirkan sesuatu, tetapi dari susunan keseluruhan 160 bingkainya nanti harus diperhatikan bahwa dalam menggambarkan hukum karma, bagian kanan bingkai merupakan sebab, dan bagian kiri adalah akibatnya. Maka bingkai pertama sampai ke 117 nanti menggambarkan satu macam perbuatan dengan akibatnya; lantas bingkai ke 118 sampai ke 160 nanti bercerita tentang berbagai akibat yang timbul karena satu macam perbuatan. Kukira dalam penggambaran kehidupan sehari-hari inilah, para pemahat Yawabumi akan mendapat peluang untuk menawarkan tafsiran mereka sendiri terhadap segala cerita yang datang dari Jambhudvipa, karena kehidupan sehari-hari yang mereka kenal tentu adalah kehidupan sehari-hari di Yawabumi.

Maka telah kudengar para pemahat ini berbincang tentang gambar petak sawah padi, ladang yang harus jelas terlihat ditanami padi gaga, dan betapa tikus adalah musuh para petani. Begitu pula gambar mata pencarian penduduk Yawabumi yang lain, seperti menangkap ikan, berburu, beternak, berjualan buah, yang akan diwujudkan me lalui penggambaran orang menjala, menggotong ikan tambra, pemburu mengikat dan membunuh babi hutan, orang memelihara ayam dan babi, maupun beternak ikan di kolam. Dalam kehidupan sehari-hari itu tentu tidak ketinggalan adanya para penari, dari istana maupun jalanan dengan para pengiringnya, pengemis, dukun beranak, dan perampok. Mereka berbicara betapa harus tergambarkan kehidupan Yawabumi sampai kepada orang menyalakan tungku, memasak di kuali, merawat orang sakit, cara mengurus jenazah, bahkan juga cara duduk yang tidak resmi dengan kedua kaki di atas tempat duduk.

Begitu pula busana tokoh maupun orang-orang biasa. Mulai dari busana lengkap dengan perhiasannya, seperti perempuan berdada terbuka yang mengenakan kain panjang sebatas mata kaki, ikat pinggang susun dan ikat pinggul berhias permata yang tentu harus tampak serasi dengan uncal. BEGITU juga dengan gelang kaki dan tangan, kelat bahu polos atau berhias, tali penanda kasta yang disebut upawita, selendang, subang dan berbagai perhiasan yang melengkapi busananya. Rambut tentu harus diperlihatkan yang dihiasi jamang dan mahkota, yakni jata-makuta atawa rambut yang dipintal bersusun ke atas, atau mahkota berbentuk bakul yang disebut karanda-makuta, yang selama ini menandai golongan raja, bangsawan, dan orang-orang kaya.

Aku mengikuti terus perbincangan mereka, karena memang sangat menarik. Mereka perbincangkan bahwa betapapun sulit tugas mereka sebagai pemahat yang tidak dibayar, tetap harus terlihat bagaimana lelaki Yawabumi se lain mengenakan ikat dada, memakai busana yang sama dengan perempuan, hanya kainnya kadang sebatas lutut, dan perhiasan rambutnya tidak jauh berbeda. Adapun rambutnya dapat berhiaskan kirita-makuta, yakni mahkota tinggi seperti kerucut dipenggal. Para bangsawan menurut mereka nanti akan tampak duduk ditempat yang ditinggikan, tentu saja dalam bangunan yang tampak megah, tampak dihormati mereka yang lebih rendah kedudukannya, seperti dayang-dayang yang menyembah. Begitu rinci pembicaraannya, sampai kepada bagaimana membedakan orang kaya, bangsawan, dan raja, yang busananya sama saja, melalui sikap ketika orang kaya tersebut menghadap raja.

Perbedaan tingkat berbagai golongan masyarakat, lelaki maupun perempuan, menurut mereka juga harus diperlihatkan dengan jelas. Perempuan dari kalangan jelata akan digambarkan berbusana kain sebatas lutut dibelit di pinggang, lelakinya mengenakan kain pendek yang dilipat, dipahatkan ketika sedang masak, mengobati orang sakit, berjualan, atau duduk. Busana pendeta tentunya jubah panjang, dengan membiarkan pundak kanan terbuka. Berkepala gundul, berambut pendek, dan tanpa jenggot, jika dimaksudkan sebagai bhiksu; dan tentu bersanggul dan berjenggot jika maksudnya adalah pertapa yang disebut sramana. ''Bagaimana dengan peristiwa keagamaan?''

Terdengar salah seorang bertanya, dan dijawab dengan sebuah rancangan seperti berikut.

''Kita akan menggambarkan adegan berguru dan adegan bertukar pikiran, baik dengan bhiksu maupun sramana, misalnya gambaran seorang pendeta memberi wejangan tentang isi pustaka.''

''Bagaimana dengan caitya?'' ''Tentu itu juga!''

Caitya adalah upacara pemujaan di muka candi. Pemahat yang ditanya tadi menyambung.

''Kita akan menggambarkan orang memuja arca di suatu bangunan suci, adegan orang mempersembahkan benda persajian, orang duduk bersila dengan tangan memuja...''

''Dan itu disambung ke sini kukira.''

Kulihat ia hampir se lesai memahat adegan empat orang membawa panji-panji, dengan perintah tertulis pataka di atasnya. Dalam Maha Karmavibhangga memang disebutkan, seperti yang pernah kudengar, jika seseorang mempersembahkan pataka, maka ia akan mencapai parinirwana.

Aku tercenung mendengar perbincangan dan semangat orang-orang yang bagi dunia persilatan hanya orang-orang awam. Aku merasa sangat miskin dan ketinggalan. Aku memang masih muda, baru berumur 25, tetapi mendadak saja telah membuang waktu begitu banyak. Sepuluh tahun aku tenggelam menekuni ilm u persilatan yang tak pernah kurasakan sebagai lama, dalam kenyataannya kini aku merasa terasing dari dunia.

''He, siapa kamu!'' Seorang pengawas tiba-tiba menegurku. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih melibat pinggangnya.

''Berdiri melamun tidak bekerja! Kamu orang mana?''

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar