Nagabumi Eps 51: Hutan Mayat

Eps 51: Hutan Mayat

SUATU ketika dalam perjalananku tibalah aku di Hutan Mayat. Barangkali aku tersesat, tetapi barangkali juga aku sedang tidak peduli berjalan ke mana selama itu menjauhi jalanan umum, karena di tempat seperti itu akan selalu terdapat seseorang yang mencegat dan melibatkan aku ke dalam pertarungan. Padahal, bagi seseorang yang hidup dalam dunia persilatan, setiap tantangan harus dilayani, karena diandaikan sebagai jalan menuju kesempurnaan.

Maka kuhindari jalanan, kuhindari keramaian, kuhindari keadaan apa pun yang sekiranya akan melibatkan aku ke dalam pertarungan. Bukan karena aku takut dikalahkan, sebaliknya karena aku terlalu yakin akan mendapatkan kemenangan, yang juga berarti lawanku akan kutewaskan. Tentu aku sangat menghormati keberanian lawan-lawanku dan melayaninya dengan sebuah pertarungan adalah cara terbaik untuk menunjukkan penghormatan tersebut, tetapi jika lawan yang kuhadapi tidak se imbang, dalam arti jauh berada di bawah kemampuan, kuanggap pertarungan adalah kesia- siaan, karena kematian sudah dipastikan.

Pertarungan yang terbaik bagiku adalah pertarungan dengan lawan yang begitu tinggi ilmu silatnya, sehingga kita tidak dapat menduga kemampuannya begitu saja kecuali mengujinya dalam suatu pertarungan. Namun meski kesempurnaan ilmu silat hanya dapat diuji dalam pertarungan, adalah suatu kesia-siaan jika suatu pertarungan yang tidak seimbang dipaksakan, dan tetap dilakukan juga ketika siapa yang tewas sudah dapat dipastikan. Makna ujian atas kesempurnaan dalam ilmu persilatan adalah terdapatnya penemuan tak terduga dalam pertarungan. Dari pertarungan satu ke pertarungan lain dengan kematian sebagai kemungkinan, para pendekar terus menerus menyempurnakan diri dengan berbagai penemuan dari setiap pertarungan. Dari penemuan demi penemuan itu seorang pendekar mendalami dan mengembangkan ilmu silatnya untuk mencapai kesempurnaan.

Dalam pertarungan setiap pendekar mengerahkan segenap kemampuannya, dalam arti mengerahkan ilmu silatnya dalam pencapaian yang paling sempurna, sehingga jika ia tertewaskan maka ia akan tewas dalam pencapaian kesempurnaan; sedangkan yang mengalahkannya masih harus mempelajari penemuan dalam pertarungan itu untuk menuju kesempurnaan. Suatu penemuan hanya akan terdapat dalam pertarungan yang penuh dengan ketakterdugaan; itulah sebabnya dalam pertarungan yang tak seimbang tidak akan terdapat suatu penemuan, karena dalam pertarungan yang tidak seimbang segalanya sudah terpastikan, dan pertarungan menjadi suatu kesia-siaan, karena tidak menyumbangkan apa pun dalam pencapaian kesempurnaan. Ini berarti pertarungan yang tidak seimbang harus dihindarkan.

Maka bukan hanya jalan yang dilalui banyak orang yang kuhindari, dalam kenyataannya aku bahkan menghindari jalanan itu sendiri. Berkelebat secepat kilat dari tempat ke tempat tanpa harus terlihat telah menjadi cara hidup seorang pendekar dari saat ke saat. Dengan Jurus Naga Berlari di Atas Langit aku melangkah ringan ketika berlari dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti mata di atas pucuk-pucuk padi. Anak- anak yang menjaga padi menguning dari serangan burung- burung pipit dengan menggerakkan tali hantu sawah, hanya akan merasakan adanya bayangan berkelebat tanpa menyadari bahwa seseorang telah berlari di atas pucuk-pucuk padi.

Dengan cara melakukan perjalanan seperti itu, memang hanya para pendekar dengan tingkat ilmu s ilat yang tinggi bisa melihatnya dan ada kalanya mereka memutuskan untuk segera menyerang saat itu juga. Demikianlah suatu ketika saat sedang berlari di atas pucuk-pucuk padi seperti itu, karena menjelang musim panen pedesaaan Yawabumi adalah bentangan padi menguning yang bagaikan tanpa tepi, di sampingku tiba-tiba terdapat seseorang yang berlari dengan kecepatan sama tinggi dan langsung menyerangku.

Aku tidak memperlambat lariku, bahkan mempercepatnya, dan karena itu ia menyerangku terus sembari tetap sama- sama berlari. Tidak mudah untuk menyerang dan bertarung dalam keadaan lari berdampingan dengan kecepatan tinggi seperti itu, tetapi bagi para pendekar yang sudah sangat tinggi ilmunya, segala keadaan harus bisa diatasi.

Pendekar ini sangat gagah dan busananya sangat mewah, bahkan ia mengenakan alas kaki yang disebut sepatu. Ia mengenakan wdihan ganjar patra sisi atau kain bergambar sulur-suluran di bagian tepinya dari pinggang ke bawah, dari pinggang ke atas ia tak berbaju, tetapi kedua lengannya yang kekar bergelang tembaga. Rambutnya yang hitam berkilat digulung ketat sehingga tampak kalung kulitnya yang berkantung jimat. Ia tampak sangat tampan dengan kumis tipis melintang. Sembari berlari kencang mendampingiku, ia memutar pedang yang tajam di kedua sisinya itu seperti baling-ba-ling. Dari pergeseran pedang dengan udara, aku segera tahu ketajaman pedang itu memang luar biasa. Inilah jenis pedang yang dapat membelah ketebalan benang (ingat, ketebalannya, dan bukan panjangnya) menjadi dua. Diputar seperti baling-baling di sampingku tanpa menoleh sambil berlari dengan kecepatan tinggi seperti itu, aku bisa mendadak kehilangan lengan.

Aku menggeser lariku ke kanan menjauhinya, tetapi ia terus memburuku tanpa memberi kesempatan sama sekali. Serangan tanpa tantangan adalah suatu hal yang belakangan lebih sering kualami, yang kuperkirakan berasal dari dua hal: pertama, barangkali basa-basi memang dianggap tak perlu lagi dalam pertarungan menuju kematian; kedua, kenyataan bahwa aku belum pernah terkalahkan betapapun membuat penantangku waswas dan ingin mendapat peluang untuk menang dengan serangan mengejutkan.

Karena aku terus bergeser ke kanan dan ia terus memburuku, maka kami terus berputar-putar dalam suatu lingkaran besar. Dari pucuk padi aku mengendap ke bawah sehingga pada sawah tersebut terbentuk lingkaran dari pucuk- pucuk padi yang terpotong berputar seperti baling-baling itu. Aku memang tidak membawa senjata, tidak pernah lagi membawa senjata, karena bahkan ketika belajar Ilmu Pedang Naga Kembar pun kedua pendekar yang mengasuhku berkata bahwa kesempurnaan ilmu silat t idak boleh tergantung kepada senjata. Kesempurnaan ilmu s ilat t idak tergantung kepada ada atau tidak adanya senjata, dan tentu juga sangat tidak tergantung kepada senjata macam apa yang dipakainya, karena diandaikan seorang pendekar dengan tingkat ilmu sempurna harus mampu menggunakan apa pun yang mungkin diraihnya sebagai senjata, di samping tentu harus tetap mampu bertarung tanpa senjata. Kuingat kata-kata pasangan pendekar yang telah menyelamatkan aku dari nasib tak jelas itu, betapa senjata pusaka dan senjata mustika macam apa pun tidak menjadi penentu kesempurnaan ilmu dalam dunia persilatan.

Masalahnya dengan pertarungan ini, di tengah lingkaran yang terbentuk oleh pengejaran diriku oleh pendekar bersepatu dan berbusana mewah itu terdapatlah seorang anak yang sedang menarik-narik tali untuk menggerak-gerakkan hantu sawah. Burung-burung pipit, yang tentu lebih peka daripada manusia telah beterbangan pergi. Anak berumur sepuluh tahun yang hanya berkancut ini berdendang sendiri sembari menggerak-gerakkan tali, tidak menyadari dirinya berada di tengah suatu pertarungan antara hidup dan mati. Padahal aku tidak ingin anak ini melihat mayat dengan kepala terpenggal dalam usia terlalu dini. Maka kuberikan tambahan tenaga dalam kepada Jurus Naga Berlari di Atas Langit dan meninggalkan pendekar itu dengan kecepatan yang melebihi kilat. Pendekar yang hanya mampu bergerak secepat kilat itu menjadi tertinggal, tetapi dengan penasaran tetap memburuku yang sengaja menantikannya di tepi hutan yang sunyi.

Saat kulihat pendekar itu mendatang dengan kecepatan tinggi, aku menyambut kedatangannya masih dengan kecepatan melebihi kilat, sehingga bagiku ia tampak bergerak amat lamban. Dengan sangat mudah aku kemudian mengambil pedang yang kutahu ketajamannya luar biasa itu dari tangannya, nyaris tanpa sempat disadarinya, lantas kubabatkan pedang itu ke tengkuknya.

Untuk sesaat tubuhnya yang sudah tanpa kepala itu masih seperti berlari, sebelum akhirnya meluncur jatuh menyelusup ke balik semak-semak. Kuperhatikan dua sisi mata pedang itu, tiada bercak darah sama sekali. Setidaknya pendekar itu harus bersyukur memiliki pedang seperti ini, yang telah membuat kematiannya dia alami tanpa penderitaan sama sekali.

MEMANDANG pedang yang ternyata pada kedua sisinya berukir itu, ukiran bergambar kilat menyambar, aku teringat sebuah nama yang terhubungkan dengan ukiran tersebut, yakni Pendekar Pedang Kilat. Dari cerita yang pada sebuah kedai, kudengar kemampuan pedang itu untuk membelah ketebalan sebuah benang menjadi dua, bukan membelah kepanjangannya, pertanda ketajaman yang sungguh luar biasa.

Sayang sekali, kemampuan bergerak secepat kilat jauh dari cukup untuk mengimbangi kecepatan bergerak melebihi kilat seperti yang telah kuperagakan tadi. Namun ia boleh lega atas pertarungan yang dilakukannya, karena menemui ajal dalam pencapaian tertinggi ilm u silatnya, sehingga kematiannya menjadi titik kesempurnaan hidupnya.

(Oo-dwkz-oO)

KUTANCAPKAN pedang itu ke tanah, karena aku tidak tertarik menggunakannya, lantas melihat ke sekeliling hutan. Barulah kusadari sekarang, ternyata aku berada di Hutan Mayat. Ini sebuah hutan yang tidak terlalu lebat, tetapi nyaris pada setiap pohon, di antara cabang dan ranting-rantingnya tergeletaklah sesosok mayat! Ada mayat yang masih baru, ada mayat yang sudah tak berbentuk, dan ada pula yang sudah tinggal kerangka. Tak terhitung mayat-mayat itu, bagaikan terdapat pada setiap cabang dan rantingO

Aku sudah lama mendengar tentang Hutan Mayat. Ini bukan sebuah nama, melainkan suatu istilah, bagi masyarakat yang tidak menganut jalan Mahayana maupun memuja Siwa, karena sebelum agama-agama itu datang bersama kapal-kapal dagang di pantai utara, mereka adalah pemuja arwah para leluhur, bahkan sejak masa yang jauh lebih silam juga memuja pohon besar, batu besar, sungai besar, halilintar, rembulan dan matahari, dan apapun yang mereka andaikan sebagai sesuatu yang dahsyat, yang tidak pernah cukup mereka percaya hanya sebagai gejala-gejala alam. Adapun bagi mereka ini, apabila ada orang mati, mereka percaya nyawanya masih berada di tubuhnya, dan hanya akan melayang secara sempurna ke sebuah dunia secara utuh setelah menjadi kerangka. Mereka letakkan mayat-mayat ini di atas pohon, agar membusuk dan mencair dengan sendirinya, atau agar dimakan binatangO

Hari masih siang, tapi hutan ini terasa lembab dan kelam. Rupa-rupanya pertarungan sambil berlari dengan kecepatan sangat tinggi itu telah membawa kami ke tempat terpencil yang jauh sekali. Aku pernah mendengar cerita tentang peradaban nenekmoyang sebelum dewa-dewa Hindu dikenal di Yawabumi, dan cara memperlakukan orang mati seperti ini jauh lebih tua jika dibandingkan dengan cara-cara masyarakat penyembah leluhur lain yang juga pernah kudengar di Yawabumi. Bahkan cara-cara meletakkan mayat di atas pohon itu belum pernah kudengar terdapat di Yawabumi. Sebegitu jauh kudengar memang berlangsung pada masa sebelum dewa-dewa turun ke bumi, tetapi bukan di Yawabumi, melainkan di Jambhudwipa. Namun kini aku berada di Hutan Mayat, dan sudah jelas kini aku berada di Yawabumi. Berarti masih banyak hal yang belum kuketahui dengan pasti perihal masa lalu Yawabumi, dan untuk mengetahui se luk beluk nenek moyang pemuja leluhur ini tentu lebih sulit lagi, karena para nenekmoyang tidak mengenal dan dengan sendirinya tidak meninggalkan tulisan apa punO

Namun itu tidak berarti mereka tidak meninggalkan apa pun. Sebaliknya, dari perjalanan yang kulakukan bersama ayah ibuku pada masa lalu ketika aku masih kecil, samar- samar kuingat kami menemukan tempat masyarakat purba melaksanakan upacara keagamaannya. Seperti kubur batu besar yang panjang, dengan gambar-gambar purba pada dinding dalamnya, seperti garis-garis lurus dan lengkung, maupun gambar-gambar sederhana tetapi indah tentang lingkungan hidup mereka, seperti gambar manusia dan binatang. Pernah juga kami memasuki gua yang dindingnya terpoles dan tampak terbentuk oleh sentuhan tangan manusia. Kadang kami temukan batu-batu besar yang tampak seperti kotak persegi panjang, dalam keadaan berdiri, ditidurkan, atau saling bertumpu. Semua itu sebetulnya dapat dibaca sebagai bahasa yang ingin disampaikan kepada setiap orang. Nenek moyang orang-orang Yawabumi barangkali tidak punya aksara, tetapi mereka memang berbahasa dan menulis dengan cara berbeda.

DARI keadaan semacam itu ayah dan ibuku menimba gagasan bagi penyempurnaan ilmu bagi dunia persilatan, tetapi apa yang kutemukan di Hutan Mayat sekarang ini membuat aku berpikir tentang suatu keadaan sebelum Hindu dan Buddha tiba di Yawabumi dari Jambhudwipa.

Aku belum sempat mengolah gagasan apa pun, ketika sesosok bayangan berkelebat cepat, kali ini melebihi kilat, sehingga aku harus mengerahkan segenap tenaga dalamku untuk menambah kecepatan kepada ilmu meringankan tubuhku, agar terhindar dari jurus-jurus serangannya yang membingungkan. Namun setiap kali aku bergerak lebih cepat, dengan mudahnya ia juga menambah kecepatan, sehingga di dalam hutan itu hanya angin dari gerakan kami berkesiur dahsyat menerbangkan daun-daun dan menggoyangkan pepohonan.

Gerakannya aneh sekali, tetapi jelas sangat mampu mengimbangiku. Sangat berbahaya, karena aku tak dapat menegaskan sosoknya! Berarti ia memang memiliki tenaga dalam dan daya kecepatan yang tinggi sekali! Sebegitu jauh aku memang dapat mengimbanginya, tetapi untuk pertama kalinya aku tidak merasa terlalu pasti, apakah akan bisa mengalahkannya, terutama karena gerakannya yang aneh, tetapi juga lugas dan tanpa pernik kerincian gerak yang sering diperagakan dalam ilmu silat. Pernah kuceritakan tentang berbagai aliran ilmu silat yang menimba gagasan dari gerak- gerik binatang dalam pertarungan. Sosok yang menerjangku kali ini tampak jelas memanfaatkan berbagai gerakan binatang, tetapi gerakannya sama sekali berbeda dari berbagai aliran dalam ilmu silat yang meniru gerak binatang. Bahkan aku berani mengatakan sebetulnya boleh dikatakan bukan ilmu s ilat sama sekali.

Ia menanduk seperti banteng, memagut seperti ular, mencakar seperti macan, mematil seperti lele, melayang seperti kupu-kupu, menyeruduk seperti badak, menggasak seperti gajah, menyengat seperti lebah, menyambar seperti elang, bertahan seperti kura-kura, menjepit seperti kalajengking, mengganggu seperti nyamuk, mengelak seperti cicak, menjerat seperti laba-laba, menerkam seperti kucing, memperdaya seperti bunglon, dan bahkan menggigit seperti buaya! Semua itu dilakukannya dengan tenaga dalam dan kecepatan sangat tinggi, seperti yang sudah kukatakan tadi, kecepatan yang bahkan melebihi kilat. Jika setidaknya aku takmampu bergerak dengan sama cepatnya, mungkin sudah sejak tadi nyawaku melayang dengan tubuh hancur lebur.

Bayangan yang bergerak sangat cepat ini sulit ditundukkan justru karena tampaknya ia tidak mengenal jurus-jurus silat sama sekali. Sebaliknya, sedikit demi sedikit ia bahkan telah mengulang kembali jurus-jurus yang sempat kukeluarkan untuk menyerangku! Aku bagaikan berhadapan dengan seseorang yang menggunakan Jurus Bayangan Cermin! Bedanya, ia tidak menggunakan Jurus Bayangan Cermin yang memang merupakan jurus untuk menyerap dan mengembalikan jurus-jurus, melainkan betul-betul seperti sedang mempelajari sesuatu untuk dimanfaatkan sebaik- baiknya. Begitulah dalam kecepatan yang sangat tinggi jurus- jurus yang kukeluarkan berbalik kembali menyerang diriku. Memang mudah menghindarinya, tetapi keadaan ini sangat memusingkan, apalagi ketika ia segera mahir menggunakannya berselang-seling dengan gerak-gerik binatang yang tidak seperti jurus-jurus silat itu.

DALAM pertarungan dengan kecepatan melebihi kilat ini, setelah pukulan-pukulan Telapak Darah selalu berhasil dihindarkannya, aku memaksa diriku berpikir keras. Bayangan yang bergerak begitu cepat sehingga tak juga dapat kutegaskan sosoknya ini tidak mungkin disiasati dengan suatu jurus dari ilmu silat, karena ia ternyata tidak mengenal ilmu silat apa pun. Ia telah menyerangku dengan suatu ilmu pertarungan, katakanlah begitu, yang tidak ada hubungannya dengan ilmu silat sama sekali. Maka jika aku pun tak akan dapat menerapkan jurus semacam Jurus Penjerat Naga kepada lawan seperti ini, tepatnya jurus apa pun selama itu masih merupakan jurus ilmu silat, memang kiranya jurus apa pun takkan mempan menundukkannya.

Dalam keadaan seperti ini lawan harus ditundukkan tanpa ilmu silat. Adapun untuk menundukkan siapa pun tanpa ilmu silat, artinya harus digunakan suatu akal, dan akal apa pun yang akan digunakan haruslah berdasarkan pengenalan atas orangnya. Masalahnya, jangankan mengenal orangnya, sedangkan untuk menegaskan sosoknya saja tidak kunjung bisa kulakukan! Kecepatan kami bertarung melebihi kecepatan kilat. Sebetulnya tidak ada waktu untuk berpikir lagi. Namun dalam sepuluh tahun ini aku telah belajar membuka ruang seluas-luasnya dalam celah waktu sesempit apa pun. Adapun ketika ruang telah menjadi begitu luas, sebegitu leluasa pula waktu dapat memenuhi ruangnya.

Satu hal penting telah kupikirkan dalam keluasan ruang yang kudapatkan di antara celah waktu. Jika ia tidak mengenal satu pun jurus ilmu silat, maka pastilah ia bukan seorang pendekar, dan jika ia bukan seorang pendekar maka tentunya ia menyerang bukan karena sedang menguji kemampuan untuk menuju kesempurnaan. Karena itu, meskipun tingkat pertarungan ini sangat tinggi nilainya, tidak harus menjadi pertarungan antara hidup dan mati. Aku tidak harus membunuhnya dan dia tidak harus membunuhku.

Menjelang senja tiba, di Hutan Mayat itu, kami masih terus bertarung.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar