Serial Nagabumi Bab 037

 
Eps 37: Serigala Putih dan Naga Dadu

KETIKA umurku memasuki empat tahun, yakni tahun 775, seorang pendekar mendatangi pondok kami di Celah K ledung. Tidak jelas bagiku saat itu siapa dia dan apakah kiranya yang dibicarakan dengan kedua orangtuaku, tetapi sekarang aku mulai meraba betapa kedatangannya tentu berhubungan dengan pembebasan tanah. Tahun itu memang saat pembangunan Kamulan Bhumisambhara tahap pertama, tentu di atas tanah yang dalam prasasti te lah menjadi s ima. Namun dalam kenyataan, ceritanya berbeda. Pendekar itu telah datang dengan cerita seperti berikut, seperti yang kemudian diceritakan pasangan pendekar itu kepadaku.

"Mereka mendatangkan orang-orang golongan hitam untuk mengusir penduduk yang bertahan di atas tanahnya untuk pergi, yang jika tidak dituruti tentu berakhir dengan kematian, atau petaka mengerikan yang lebih menakutkan daripada kematian. Penduduk semula melawan, tetapi apa yang dapat dilakukan orang awam terhadap golongan hitam? Tentara Rakai Panamkaran yang seharusnya membela mereka bagaikan lenyap ditelan bumi ketika dibutuhkan. 'Apakah para pendekar akan tetap berdiam terhadap nasib sesama dalam penderitaan?', demikianlah pendekar itu membawa kabar tentang kemalangan dan ketidakadilan yang berlangsung.

"'Sepasang Naga dari Celah Kledung telah lama dikenal bersikap tanpa ampun kepada golongan hitam. Mengapakah kini keduanya berdiam diri dan berpangku tangan terhadap ketidak adilan di sekitarnya?' Begitulah pendekar itu terus menggugah rasa keadilan kami, dan tentu saja kami menjadi geram, terutama setelah pendekar itu menceritakan, bahwa dalam suatu bentrokan, apa yang semula dikiranya sebagai golongan hitam ternyata adalah tentara Rakai Panamkaran itu sendiri! Begitulah ia menyampaikan persoalan ini kepada kami, karena jumlah tentara itu terlalu banyak untuk dihadapinya sendirian; pun ia mempunyai gagasan bahwa ibarat ular mengapa bukan kepalanya saja yang dipukul untuk menyelesaikan persoalan.

"MASALAHNYA ini bukanlah sekadar perkara terdapatnya seekor ular, tetapi ular dengan banyak kepala yang tidak kita ketahui keberadaannya, karena berada di balik topeng kehidupan sehari-hari. Jadi, hanya para perusuh yang mengusir penduduk itu saja lah, yang mengaku sebagai golongan hitam padahal tentara, yang untuk sementara jelas keberadaannya."

Sambil berjalan aku teringat lanjutan kisah itu. Bahwa pasangan pendekar itu berangkat menuju tempat yang kemudian disebut Kamulan Bhumisambhara, dan membantai para golongan hitam gadungan yang bercokol di sana. Tidak usah diceritakan lagi betapa ganasnya Sepasang Naga dari Celah Kledung itu menghapus segenap pasukan yang menyaru tersebut dari muka bum i, menyisakan genangan darah yang bau amisnya belum akan hilang setelah berhari-hari. Cerita yang lebih seru adalah betapa ketika pasangan pendekar itu kembali ke Celah Kledung, pendekar yang telah mereka minta menjagaku selama mereka pergi, ternyata telah raib bersama diriku!

"Sulit kami ceritakan kembali perasaan yang kami alami anakku, kami telah empat tahun merawatmu dan kini lenyap bersama pendekar yang kami kenal sebagai Pendekar Serigala Putih itu. Dalam empat tahun itu, tidak pernah secara bersama-sama kami meninggalkanmu. Kini sekali dititipkan, terjadi peristiwa seperti ini. Namun kami tidak saling mengeluarkan sesal berkepanjangan. Tak sampai sehari kami pergi dan bertarung, karena mengerahkan kecepatan Jurus Naga Berlari di Atas Langit, tetapi tentu lebih dari cukup baginya untuk segera melarikan kamu! Masih ingatkah dikau akan peristiwa itu anakku?"

Dalam kacamata seorang anak berusia empat tahun yang periang, aku hanya teringat betapa senangnya berada di atas bahunya, sementara Serigala Putih itu berkelebat dari pohon ke pohon. Aku merasa bagaikan terbang, seperti jika aku berada di bahu ayah atau ibuku. Aku tertawa-tawa riang gembira, tiada sadar sedang berada dalam penculikan. Aku hanya teringat bahwa di sebuah kedai, aku boleh memilih makanan apa saja yang tersedia di meja. Lantas setelah itu pada sebuah kota kami terbang dari atap ke atap, sebelum akhirnya melesat masuk ke sebuah tandu yang berada di atas seekor gajah. Kalau tidak salah Serigala Putih membunuh seseorang yang berada di dalam tandu itu, meski aku tidak menyadarinya, sehingga ketika aku tertidur karena punggung gajah yang berayun-ayun itu, sebetulnya di sebelahku tergolek manusia dengan leher yang patah. Ketika aku terbangun, aku hanya tahu sudah berada dalam gendongan ibuku dan tandu itu sudah hancur. Kami berada di atas punggung gajah dan di kejauhan kulihat ayahku sedang mendesak Serigala Putih ke tepi sebuah jurang. "Serigala busuk! Alangkah beraninya dikau menipu dan menculik anak Sepasang Naga. Dikau tentu mengerti apa yang selayaknya dikau lakukan sekarang, mati karena pedangku atau kau bunuh dirimu dengan senjatamu sendiri!"

"Salah alamat membunuhku, wahai Naga, lagipula anak ini bukan di sana tempatnya!"

Saat itu toya Serigala Putih sudah terpental, dan aku hanya teringat pedang ayahku meluncur ke lehernya. Ibuku membalikkan tubuh supaya aku tidak melihatnya. Tak ada yang kuingat lagi sebagai anak berumur empat tahun setelah itu. Hanya ibuku yang mempersoalkannya kemudian setelah aku lebih dewasa.

"Kami tidak pernah tahu apa hubungan antara pembebasan tanah yang tiada semena-mena itu dengan penculikanmu oleh Serigala Putih. Apakah itu sekadar cara mengalihkan karena berencana menculikmu, ataukah memang berkepentingan dengan kedua-duanya. Kami hanya tahu bahwa suatu garis lurus memanjang yang menyeberangi dua sungai dan satu bukit sedang dibebaskan tanahnya, demi pembangunan tiga kuil Mahayana dalam satu garis lurus agar memungkinkan perziarahan dalam upacara Waisak. Memang banyak tanah kosong, tetapi tanah yang memenuhi syarat Manasara- Silpasastra dan Silpaprakasa kebetulan se lalu menjadi tempat pemukiman. Tidak semua desa yang dilewati garis ini penduduknya memeluk Siwa atau Mahayana, sehingga kepentingan agama negara itu tidak selalu mereka rasakan wajib untuk dimaklumi. Tidak kusangka Serigala Putih itu, yang sebetulnya sudah kita kenal lama sekali. Aku berprasangka baik bahwa ada suatu kekuasaan yang menekannya, tetapi tentu ia sudah tahu kemungkinannya. Menculik anak Sepasang Naga dari Celah Kledung sama dengan mencari kematian."

Waktu itu ibuku belum mengungkap riwayatku yang sebenarnya, sehingga sampai sekarang aku tidak mempunyai nama. Namun kalimat Serigala Putih, "Anak ini bukan di sana tempatnya," sempat kudengar meski tiada pernah kutanyakan pula.

KINI ketika, aku menulis catatan ini dalam umur 100 tahun, aku tahu betapa tidak semua pertanyaan akan mendapatkan jawab. Kita hanya bisa menjalani kehidupan kita, suka maupun tidak suka, tanpa kepastian mendapat jawaban paling benar atas pertanyaan-pertanyaan kecil maupun besar. Pertanyaan kecil, misa lnya anak siapakah aku sebenarnya; pertanyaan besar, misalnya kenapa pula dunia dan kita semua harus ada. Kita memang dapat menggali dan memperbincangkan jawaban-jawaban mana yang paling dapat diterima dan siapa tahu benar. Namun agaknya kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa dipertanyakan, dengan jawaban yang menjamin kepastian.

Kudorong terus pedatiku dalam gelombang jalanan melewati malam. Kuseret hatiku yang letih dengan begitu banyak pertanyaan.

(Oo-dwkz-oO)

PARA pendekar seperti Serigala Putih itu bisa bertukar peran menjadi seorang petualang. Mereka menjual gagasan kepada penguasa dan melaksanakannya. Atau mereka bergabung dengan pasukan kerajaan, atau menjadi pengawal istana, yang rahasia maupun terbuka, sehingga dengan ilmu silat di atas rata-rata mereka mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mencapai kedudukan yang tinggi. Mereka yang tidak memiliki jaringan di sekitar istana kemungkinan besar bergabung dengan kelompok perlawanan, dan juga mereguk keuntungan. Kedudukan tinggi, gemerincing inmas, dan daya pikat asmara mewarnai permainan kekuasaan, tempat siapa pun, termasuk para pendekar, berminat memainkan peran di dalamnya. Namun para pendekar yang tergiur kemapanan duniawi seperti ini, lebih banyak perannya dipermainkan daripada memainkan peran. Ilmu silat mereka yang tinggi kurang berguna dalam permainan licin di sekitar kekuasaan, bahkan ilmu silat itu kemudian hanya menjadi semacam alat bagi tukang pukul dan tidak lagi memberi sumbangan dalam perburuan kesempurnaan.

Pendekar Serigala Putih tidak berasal dari Yawabumi, ia datang dari negeri tempat banyak serigala menguasai hutan, gunung, dan padang rumputnya. Ia disebut Serigala Putih karena selalu mengenakan rompi kulit serigala berwarna putih yang kebal senjata tajam. Ia datang bersama rombongan kapal dagang yang berlabuh di pantai utara. Mula-mula sebagai pengawal, tetapi kemudian memisahkan diri. Wajahnya tampan, selalu tersenyum, dan penguasaan bahasanya pun cepat sekali. Rambutnya yang hitam berkilat dan panjang sampai menutupi punggung sering mengundang kekaguman perempuan. Setidaknya itulah cerita ibuku.

"Siapa yang tidak akan percaya kepada Serigala Putih itu," katanya, "perbincangannya selalu menarik dan kepribadiannya sangat mandiri. Pasti terdapat pengaruh yang luar biasa kepadanya, sampai tega menjadi seorang penculik anak."

Seorang pendekar yang memisahkan diri biasanya mempunyai tujuan untuk belajar ilmu s ilat dari para mahaguru terkemuka. Seperti Naga Emas yang datang bersama I-t'sing, tingkat ilmu silat Serigala Putih tentu juga sudah tinggi sekali. Namun bagi seorang pendekar yang melalui ilmu silat berusaha menggapai kesempurnaan hidup, tiada ilmu silat yang terlalu rendah untuk dipelajari. Apalagi ilmu silat dari Yawabumi. Adapun para pendeta dari negerinya yang besar, yang dikenal sebagai Negeri Atap Langit saja datang belajar ilmu-ilmu persiapan ke Sriwijaya sebelum berangkat ke Nalanda; mengapa pula para pendekarnya tidak harus belajar ilmu-ilmu silat dari para mahaguru silat ternama di Yawabumi?

DALAM perbincangan di sebuah kedai jauh di kemudian, cerita tentang Serigala Putih mencuri anak kecil dan mati terbunuh oleh ayah dari anak kecil itu, salah seorang dari Sepasang Naga dari Celah Kledung, rupanya telah menjadi dongeng.

Alkisah, dalam perburuannya mencari ilmu dari guru ke guru, sampailah Serigala Putih ke hadapan Naga Dadu, penguasa dunia persilatan Kubu Tenggara, seorang lelaki pendekar yang sangat termasyhur kecantikannya dan seolah- olah tidak pernah bertambah tua. Apakah kecantikan Naga Dadu adalah kecantikan seorang perempuan? Sama sekali tidak. Kecantikannya adalah kecantikan seorang lelaki, tetapi yang sungguh-sungguh cantik jelita tiada tara. Sebaliknya, memang naga yang hebat ini seorang pendekar silat sakti mandraguna, tetapi segala jurus silat untuk senjata Kipas Kencana yang dim ilikinya ternyata lemah gemulai seperti tarian halus wanita.

Serigala Putih segera menempur Naga Dadu, karena untuk menyerahkan diri sebagai murid, biasanya ia menempur pendekar terkenal yang telah ia dengar kedahsyatannya. Dari pertarungan itulah akan dinilainya apakah ia perlu belajar ilmu silat atau tidak kepada lawannya tersebut. Jika keputusannya tidak, tentu karena ia sudah mampu membunuhnya. Jika ia merasa perlu belajar karena lawan tak bisa dikalahkannya, maka ia akan membungkuk dalam-dalam, kalau perlu bersujud dengan dahi menyentuh tanah, untuk segera menjura dan memohon kepada lawannya agar sudi menerima dirinya sebagai murid. Biasanya pula lawannya tersebut akan sangat tersanjung dan tidak ragu-ragu menurunkan rahasia ilmunya kepada murid baru yang tangguh tersebut. Namun desas- desus mengatakan bahwa kemudian Serigala Putih akan membunuh gurunya tersebut jika rahas ia ilmu silatnya sudah dia kuasa i. Maka, nama Serigala Putih memang berembus di sungai telaga dunia persilatan Yawabumi, tetapi dengan tidak terlalu harum.

Senjata toya putih milik Serigala Putih terbuat dari campuran logam yang dilebur jadi satu dan tidak terpatahkan. Kerasnya luar biasa, batu pun remuk meski hanya terserempet, di samping tenaga dalamnya yang memang sangat tinggi. Barangsiapa lengah dan tergebuk oleh toya itu niscaya remuk redam tulang-tulangnya dan tewas dengan kesakitan luar biasa. Gaya bertempur Serigala Putih pun mencengangkan. Toya putihnya bagaikan baling-baling tempat ia beterbangan kian kemari. Maka apabila toyanya itu sudah berputar, tiada seorang lawan pun dengan senjata apa pun dapat menembus dan menyentuhnya. Namun jika ia pun ta kmampu menyentuh apalagi me lumpuhkan lawan, saat itulah ia akan merendahkan diri begitu rupa agar diterima menjadi muridnya.

Naga Dadu, naga dunia persilatan Kubu Tenggara yang ditantang bertarung di hadapan murid-muridnya ketika sedang bercengkerama sembari menikmati petikan kecapi tampak sangat terganggu, meski keanggunannya membuat ia berusaha keras tidak memperlihatkan itu. Naga Dadu terkenal karena dandanan busananya yang luar biasa. Meski ia seorang lelaki, ia mengenakan ken berbunga-bunga untuk perempuan yang menutupi se luruh tubuhnya. Lengan baju sutranya sangatlah lebar, bersambung tanpa potongan yang jatuhnya terhampar lebar dan longgar sampai mata kaki. Kakinya beralas sandal yang menutupi seluruh jari kakinya, sedikit kulitnya yang terlihat tampak putih dan halus seperti kaki perempuan.

Wajah cantik jelitanya yang terkenal, bahkan melebihi kecantikan seorang perempuan, nyaris seperti bidadari meski jelas seorang lelaki. Rias wajahnya begitu halus, tetapi tegas dan meyakinkan dengan lengkungan alis, celak mata, dan pemerah pipi yang membuatnya bagaikan sebuah topeng, tetapi topeng yang jelita dan penuh pesona. Seperti juga Serigala Putih, rambut Naga Dadu sangat hitam dan panjang, tetapi jauh lebih terawat dan berkilat. Terpotong rapi ujung- ujungnya, melingkar rata di sekitar bahunya. Dengan senjata Kipas Kencana berwarna emas, Naga Dadu bertarung seperti penari yang gerakannya pelan sekali. Tentu saja itulah Jurus Kipas Maut yang tak terkalahkan itu, bahwa kelambanannya lebih cepat dari yang tercepat. Maka mesti gerakannya seperti terlalu lamban, sangatlah bisa mengimbangi, bahkan kemudian mendesak toya Serigala Putih. Sangatlah aneh pemandangan itu, bahwa meski Naga Dadu menari dengan sangat lamban, toya putih yang berputar seperti baling-baling itu tidak pernah mengenainya.

Kemudian terdengar tampelan mendadak kipas itu pada toya putih yang mengepung seperti baling-baling dan mendadak saja Serigala Putih sudah jatuh terkapar dengan kaki bersendal Naga Dadu yang telah menginjak dada. Toya putihnya yang terpental menancap pada sebuah pohon besar.

NAGA Dadu menggunakan Kipas Kencana berwarna emas itu untuk mengipasi dirinya.

"Serigala Putih namamu, dan tantanganmu sangat mengganggu. Sudah selayaknyalah membunuhmu."

"Aku menantangmu untuk jadi muridmu. Terimalah aku." "Serigala Putih, jangan kau sangka aku tidak pernah

mendengar kabar tentang seorang pendekar bangsa Tartar

yang selalu membunuh gurunya setelah mewarisi rahas ia ilmunya."

Serigala Putih mencoba bangun, tetapi kaki Naga Dadu terus menekannya.

"Guru! Itu   hanyalah   bualan   kosong   para   pemimpi!

Percayalah kata-kataku!"

Naga Dadu membentak, tetapi dengan nada yang sangat tertata, sesuai dengan rias wajahnya sebagai topeng yang sempurna.

"Guru! Guru! Jangan panggil aku guru sebelum dikau penuhi syaratku!" Naga Dadu mengangkat kakinya dari dada Serigala Putih, lantas berbalik memunggungi Serigala Putih yang segera bangkit.

"Apakah syarat itu Guru!" Naga Dadu mengerutkan dahi.

"Dikau masih memanggilku Guru?"

"Maafkan diriku Yang Mulia Naga Dadu, mohon katakanlah persyaratanmu, aku pasti akan memenuhinya!"

Naga Dadu tersenyum tanpa diketahui Serigala Putih. "Menculik anak Sepasang Naga dari Celah Kledung." Serigala Putih tersentak.

"Ah! Mereka adalah sahabatku!"

Naga Dadu melenggang pergi sembari mengipas-ipas. "Itu bukan urusanku. Tapi itulah persyaratanku."

(Oo-dwkz-oO)

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar