Nagabumi Eps 34: Para Mabhasana

 
Eps 34: Para Mabhasana

APAKAH Naga Hitam memang mencariku? Namun ia sudah mengirimkan seorang muridnya, berarti ia sudah mengetahui keberadaanku. Apabila kemudian akan didengarnya bahwa muridnya itu perlaya, maka keberadaanku tentu akan semakin mengganggunya. Jika diperkirakannnya betapa murid yang dikirimkannya itu kurang sakti, maka tentulah akan ditugaskannya murid lain yang lebih tinggi kepandaiannya untuk membunuhku. Aku menduga Naga Hitam sudah mendengar bahwa aku hanya seorang remaja 15 tahun yang tidak punya nama dalam dunia persilatan. Tidak jelas bagiku apakah ia te lah mengetahui bahwa aku bahkan memang tidak punya nama, meskipun hal itu tidak akan mengubah apa-apa. Belum punya nama maupun tidak bernama, tetaplah aku harus dilenyapkannya, karena tewasnya murid, bahkan dua murid pula, jika tidak ditebus dengan pembunuhan balasan merupakan suatu noda bagi namanya.

BEGITULAH, dalam dunia persilatan tidak hanya berlaku nilai kehormatan yang terletak pada kematian dalam pertarungan, tetapi juga kemenangan dalam pembunuhan. Tiada jalan lain bagiku, kecuali meyakinkan diriku bahwa aku akan siap menghadapi serangan yang manapun, baik murid- muridnya, baik Naga Hitam sendiri, maupun serangan dan tantangan siapapun jua. Apalah artinya hidup dalam dunia persilatan tanpa pertarungan bukan? Meskipun aku tidak mempunyai minat untuk mencari nama dalam dunia persilatan, sekali terlibat pertarungan dengan orang-orang persilatan, bahkan menewaskannya pula, tak akan dengan mudah melepaskan diri dari matarantai dendam yang berkepanjangan. Justru matarantai dendam itulah agaknya yang telah membentuk riwayat panjang dunia persilatan dari zaman ke zaman.

Ini berarti aku tidak dapat menunda diriku untuk menimba ilmu, dengan sasaran harus mampu menghadapi Naga Hitam. Aku merasa bahwa segala ilmu silat yang kukenal dan kukuasai, mulai dari I lmu Pedang Naga Kembar sampai Jurus Penjerat Naga seharusnya sangat cukup menghadapi Ilmu Pedang Naga Hitam. Bahkan aku telah menggabung dan meleburkan keduanya, sehingga menurut perhitunganku, seandainya saja kecepatan dan tenaga dalamku setingkat dengan Naga Hitam, maka tak ada kemungkinan lain betapa ia bisa kukalahkan. Namun itulah masalahnya. Tenaga  dalam dan kecepatan Naga Hitam masih terlalu jauh di atasku, dan dalam hal itu tiada jalan pintas dalam ilmu persilatan. Itulah sebabnya aku merasa perlu menghilang, bukan karena takut mati, tetapi karena tidak mau mati konyol karena kekurangan ilmu. Kalaupun aku harus mati di tangan Naga Hitam, aku ingin mati setelah memberi perlawanan yang sepadan.

"Bocah, hati-hatilah, jalan di depanmu berbatu-batu."

Teguran mabhasana atau penjual pakaian itu menyadarkan aku dari lamunan. Aku mendorong pedati yang mendaki itu dengan tenaga kasar, karena jika aku menggunakan tenaga dalam, akan tampak terlalu ringan, dan tentu saja mengundang kecurigaan. Sehingga aku pun tampak betul- betul berkeringat dan kelelahan. Jalan mendaki ini bukanlah jalan yang sebenarnya, hanyalah semacam jalan yang barangkali dibuat beberapa tahun lalu menggunakan pekerja paksa, yang sekarang sudah hancur, berlubang-lubang dan berbatu-batu. Hujan sepanjang musim telah menghancurkannya dan setelah kemarau tiba tiada pula yang berusaha membetulkan.

Perjalanan menjadi sangat lambat. Kadang aku bukan sekadar mendorong, melainkan mengangkat pedati itu. Roda mereka terkadang rusak atau bahkan kerbau mereka bermasalah, tak mau berjalan maju. Entah kenapa mereka tidak menggunakan sapi saja. Namun tenaga kerbau memang besar, apalagi untuk jalanan yang berat bagi pedati. Untung semua orang mau bekerja sama, begitu yang sebetulnya hanya bertugas mengawal saja.

Beban pedati itu terlalu berat jika dianggap hanya berisi kain. Kemudian akupun tahu, bahwa kelengkapan busana tidak hanya berurusan dengan kain, melainkan juga perhiasannya seperti cincin emas, anting-anting, kalung, gelang tangan dan kaki, maupun kelat bahu. Tentu saja siapa yang memakai akan menentukan apa yang dipakainya. Adapun yang kami angkut  ke wilayah Ratawun ini adalah ratusan pasang wdihan atau pakaian untuk laki-laki maupun kain atau ken, atau juga tapih, pakaian untuk perempuan.3)

BEGITU banyak pakaian ini, ratusan yugala banyaknya, karena akan digunakan bagi upacara penyerahan lahan menjadi sima, wilayah yang dibebaskan dari pajak. Kain-kain ini diletakkan dalam keranjang pakaian, sehingga aku bisa mengukur bahwa jumlah yugala-nya tidak sesuai dengan brat- nya. Rupanya mereka juga mengangkut inmas, uang emas pengganti wdihan. Tentu ini upacara yang akan dihadiri banyak pejabat, karena hanya orang-orang penting yang mungkin tak terdapat wdihan baginya, sehingga harus diganti inmas.

Wdihan membuat laki-laki Yawabumi tidak kalah semarak berbusana dibanding kaum perempuan, karena selain wdihan putih atau kain dengan dasar putih, terdapat juga wdihan kalyaga atau kain dengan dasar merah; wdihan sulas ih atau kain dengan gambar bunga pohon sulasih; wdihan ambay- ambay atau kain dengan gambar bunga-bungaan; wdihan rangga atau kain dengan gambar bunga lili; wdihan ganjar patra sisi atau kain dengan gambar sulur-suluran di bagian tepinya; wdihan ronparibu atau kain dengan gambar hiasan daun-daunan; wdihan ayami him i him i atau kain dengan hiasan bunga kapuk dan kerang-kerangan. Tentu saja siapa memakai apa ini tergantung juga kepada siapakah dia dalam catur warna atau kasta, dan juga apakah kedudukannya dalam pemerintahan, yakni apakah dia pejabat tinggi, pejabat menengah, pejabat rendahan, atau rakyat biasa. Adapun rakyat biasa di luar kasta, biasanya mengenakan wdihan maupun kain lusuh tanpa gambar apa pun.

Tentu terdapat pula kain atau ken bagi perempuan seperti kain jaro, kain kalyaga, kain pinilai, ken bwat wetan, ken bwat lor, kain pangkat, kain buat ingulu, kain halangpakan, ken Atmaraksa, kain laki, ken putih, kain rangga dan tidak ketinggalan ken kalamwatan.  Tidak kurang beragam  warna dan hiasan kain-kain ini, sehingga mengingatkan aku kepada Harini. Kuteringat Harini, yang akan menyanggul atau membiarkan rambutnya terurai, tergantung dari kain yang dipakainya, yang kadang menutupi tubuhnya dari dada, tetapi takjarang juga hanya dikenakannya dari pinggang ke bawah, sehingga dadanya terbuka. Aku menghela napas teringat Balinawan. Suatu ketika kelak aku harus kembali ke sana.

Namun adalah perhiasan yang kami angkut dalam banyak karung yang kurasa telah membuat pedati kami menjadi berat. Cincin emas, gelang tangan dan kaki, dan juga inmas, uang emas itu, tidak dapat kuduga berapa masa nilainya, kukira mencapai ribuan masa banyaknya. Sembari mendorong dan mengangkat pedati, aku terus berpikir, barang-barang yang diangkut ini semestinya dikawal oleh makuda atau pasukan berkuda, setidaknya lebih dari sekadar dua pengawal bersenjata sewaan seperti sekarang. Angkutan mereka terlalu berharga. Lagipula upacara peresmian sima merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan negara. Pengadaan dan pengangkutan bisa diserahkan kepada usaha jasa, tetapi muatan barang senilai yang diangkut pedati tersebut layak dijaga pasukan bersenjata kerajaan.

Bagaimana jika rombongan ini dibegal kelompok bersenjata yang memusuhi Rakai Panunggalan? Kuperhatikan dua pengawal bersenjata pedang itu. Seberapa jauh mereka dapat diandalkan? Aku mempertimbangkan kemungkinan, bahwa kemampuan keduanya diandalkan sebagai pengganti satu pasukan bersenjata. Satu pasukan, bukan sekadar satu regu, mengingat yang kami bawa ini menurutku sungguh merupakan harta karun yang sesungguhnya. Sungguh terlalu banyak bagi peresmian sima biasa.

Jalanan kini kembali rata. Di kiri dan kanan persawahan menguning. Namun hari telah mendekati ma lam. Tampaknya kepala rombongan yang telah menawarkan kepadaku pekerjaan ini ingin berma lam di desa tempat para pemilik sawah ini.

"Kita akan bermalam di sana," katanya, "bocah, sampai di desa itu, kuanggap utangmu sudah lunas, dan dikau boleh pergi dengan pakaianmu itu."

Aku mengangguk.

"Aku juga akan bermalam dulu di sini, Bapak, terima kasih telah memberi aku busana kebesaran ini."

Aku mengatakannya begitu, karena wdihan yang kukenakan tampaknya memang mahal, karena tidak ada busana untuk rakyat biasa dalam pengangkutan ini.

TENTU ada suatu peristiwa besar. Kalau peresmian sima yang biasa, tidaklah perlu membagi hadiah sebanyak ini. Aku telah salah menduga, mengira para mabhasana ini akan menjual barang dagangan dari kota ke desa. Adapun yang terjadi, seluruh barang ini sudah dibeli negara, dan kini mereka harus membawanya ke Ratawun, tempat akan berlangsungnya peresmian sima. Betapapun, aku tetap merasa pengawalannya tidak sepadan, mengingat ribuan inmas, mata uang emas, yang juga diangkut mereka. Dalam upacara peresmian sima, mata uang emas adalah pengganti wdihan bagi pejabat, tetapi jika kulihat sendiri wdihan yang dibawa tak kurang banyaknya dalam keranjang-keranjang yang disebut kban, seperti memang akan diperdagangkan, untuk apa lagi uang emas itu?

(Oo-dwkz-oO)

KAMI semua tidur di balai desa yang luas dan berlantai kayu. Dengan segera kami semua tertidur karena perjalanan yang memang sangat melelahkan. Menjelang dini hari, aku merasakan lantai kayu bergoyang pelahan dan segera membuka mata. Sebuah sosok sedang mengendap-endap melangkahi kami, menuju keluar, ke arah pedati-pedati berisi keranjang itu. Dalam kegelapan aku mengawasinya. Salah seorang pengawal itu mengambil sebuah keranjang dan berjingkat- jingkat pergi. Aku beranjak dan berkelebat mengikutinya. Kulihat ia membawa keranjang itu ke sebuah pondok tempat seseorang telah menunggunya. Ternyata pengawal yang lain telah berada di sana dan segera menerima serta menyembunyikannya. Tentu ini sangat mudah. Pengawal mencuri barang-barang yang harus dikawalnya sendiri.

Mereka terus mengambil barang-barang dari dalam pedati, keranjang demi keranjang, sampai pedati itu kosong sama sekali dan pondok itu kini penuh dengan harta karun. Aku terus mengawasinya sembari bertanya-tanya dalam hati. Apakah yang akan mereka lakukan se lanjutnya? Aku ditelan kebimbangan antara memberi tahu pedagang yang telah memintaku ikut rombongan ini, ataukah mengikuti terus masalah ini untuk mengetahui bagaimana akan berakhir. Namun kusadari aku sendiri mempunyai banyak persoalan, sementara masalah ini pasti juga akan berkembang tanpa kuketahui bagaimana akan selesai. Jika melibatkan diri, tidakkah hidupku akan menjadi lebih rumit? Padahal aku taktahu menahu persoalan di balik barang-barang berharga ini. Dengan kesadaran atas segala kerumitan, masihkah aku harus bersikap mengikuti saja arus ke mana pun sungai kehidupan membawaku? Tidak bisakah kiranya aku bersikap untuk membiarkan mereka dengan segala urusannya?

Mereka berdua tidak saling berkata-kata. Bahkan berbisik pun tidak sama sekali. Tentu saling pengertian antara mereka sudah sangat kuat, atau rencana mereka memang sudah begitu matang. Aku tidak tahu seberapa jauh diriku harus terlibat, karena aku tidak apa yang sedang terjadi. Siapa yang kiranya boleh dianggap benar dan siapa kiranya boleh dianggap salah? Setidaknya aku harus mengenali persoalan dan tahu bagaimana menempatkan diriku di dalamnya. Mereka kemudian mengendap-endap kembali ke balai desa. Apa yang akan mereka pikir jika melihatku tak ada? Aku segera berkelebat ke belakang balai desa itu tanpa mereka ketahui. Apabila besok terjadi kegemparan karena barang itu hilang, dan kedua pengawal itu tahu betapa aku berkemungkinan mengetahui kosongnya tikar mereka, nyawaku berada dalam bahaya.

Meski memejamkan mata, aku tahu mereka mengawasi semua yang tidur satu persatu. Setelah mereka yakin tiada seorang pun yang mengetahui perbuatan mereka, maka mereka pun merebahkan diri pada tikar masing-masing. Sebentar kemudian mereka pun tidur mendengkur. Agaknya mereka belum tidur sama sekali dan sepanjang malam hanya pura-pura tidur agar dapat menjalankan rencananya.

Mendadak aku mendapat gagasan. Maka aku pun bangkit dan keluar lagi tanpa seorang pun menyadarinya. T idak juga kedua pengawal yang te lah mencuri itu. Di luar, kulihat pedati yang kosong. T idak bisa kubayangkan penderitaan yang akan dialam i para pedagang ini, jika mereka tiba di tempat upacara tanpa barang-barang ini. Aku merasa para mabhasana ini adalah orang-orang yang baik. Jika pedagang lain, melihatku berdiri di tengah jalan hanya untuk berutang pakaian, pastilah sudah menyuruh para pengawal itu mengusirku. Namun ia memberiku kesempatan untuk berbusana layak tanpa harus berutang. Aku menghargainya meski mendorong pedati di jalan yang berlubang-lubang dan mendaki juga bukan pekerjaan ringan. Betapapun ia seorang pedagang.

AKU melangkah cepat ke arah pondok tempat barang- barang mahal itu disembunyikan. Aku baru mengetahui belakangan bahwa terdapat juga gerabah, peralatan masak dan makan, seperti mangkuk dan bejana, yang dilapisi jerami supaya tidak pecah. Mangkuk-mangkuk porselin berwarna putih yang dihias i gambar-gambar belum bisa dibuat di Yawabumi. Barang-barang ini datang dari negeri yang jauh, diangkut dengan kapal yang belum pernah kulihat. Kukira aku harus melihatnya suatu ketika, dan kenapa tidak menaiki kapal itu atau kapal yang mana pun menuju negeri-negeri yang jauh? Jika begitu jauhnya aku mengembara, sehingga bahkan tidak mungkin lagi untuk kembali, aku pun tidak keberatan pula. Bukankah hanya satu tujuan hidup yang telah kutetapkan dan itu hanyalah menjadi seorang pengembara?

Kumasuki pondok, kudorong pintunya, tiada seorang pun menjaganya. Namun siapakah yang telah menyediakannya dengan begitu kebetulan di depan balai desa? Kulihat keranjang-keranjang bertumpuk sampai nyaris mengenai atap. Segera kuambil satu persatu dan dengan mengerahkan tenaga dalam sedikit saja kupindahkan semuanya kembali ke dalam pedati. Dengan tenaga dalam artinya segala beban dari barang-barang itu menjadi tiada artinya dan aku dapat memindahkannya dengan cepat tanpa suara. Bahkan jejak kakiku di tanah pun tiada karena aku te lah menggunakan ilmu meringankan tubuh juga. Keranjang-keranjang berisi wdihan, inmas, dan gerabah langka dari negeri manca itu akhirnya kembali ke tempatnya semula, bagaikan tiada seorang pun yang sempat memindahkannya. Hanya para kerbau menjadi saksi semua kejadian ini. Namun apalah yang bisa dikatakan para kerbau?

Aku tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi. Langit mulai menyembunyikan rembulan. Di dalam balai desa mereka pasti masih tertidur, semuanya karena kelelahan, begitu juga kedua orang yang seharusnya mengawal tetapi mencuri itu, yang masih mendengkur karena baru saja tidur. Aku masuk dan mencoba tidur. Namun aku tidak bisa berhenti berpikir. Siapakah kiranya yang telah menyediakan pondok di depan balai desa itu? Kubayangkan terdapatnya suatu jaringan yang mampu menggerogoti perbendaharaan istana dengan perhitungan yang cermat. Aku terkejut sendiri ketika membayangkan kemungkinan, bahwa mungkin saja upacara penyerahan lahan menjadi sima itu ternyata sekadar cerita, yang memperdayakan Rakai Panunggalan di istana! Jika benar, tentu ini merupakan penipuan yang canggih!

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar