Nagabumi Eps 31: Pendekar Satu Jurus

Eps 31: Pendekar Satu Jurus

HARINI membaca sebuah kitab, untukku atau untuk dirinya aku tak tahu lagi karena kami sudah begitu saling mengerti tentang apa yang berguna dan takberguna untuk hidup kami. Entah kenapa yang dibacanya adalah Riwayat Pendekar Satu Jurus yang selama ini kitabnya kupelajari. Namun kitab itu tidak jelas siapa penulisnya. Hanya saja memang jelas, bahwa kitab ini tentang Pendekar Satu Jurus yang ditulis oleh orang lain, dan bukan oleh Pendekar Satu Jurus itu sendiri. Adapun penulisnya seperti menghindar, bukan saja untuk diketahui namanya, tetapi juga menghindarkan kesan yang akan membuat pembacanya memikirkan siapa yang menulis.

Ini berbeda dengan kebanyakan kitab yang ditulis pada masa itu, yang akan selalu memperkenalkan diri penulisnya, di awal dan akhir kitabnya, meski dengan cara tidak langsung, atau dengan nama samaran, bahkan kemudian merendah- rendah pula. Aku memang pernah memikirkan kebiasaan para penulis merendah-rendahkan diri semacam itu. Aku percaya sepenuhnya para penulis ini tidaklah rendah diri sama sekali.

Meskipun biasanya mereka sambil merendah-rendahkan diri juga memuja-muja riwayat raja yang mereka tulis sebagai dewa, kurasakan betapa sebetulnya mereka ingin menunjukkan kepada pembacanya betapa kemuliaan sang raja sangat tergantung kepada kemampuan penulisan mereka.

Ini terlihat dari cara mereka merendah-rendah yang begitu penuh dengan kepiawaian, yang secara terselubung kadang- kadang seperti ingin menunjukkan, setidaknya mengundang pertanyaan, apakah rajanya sendiri yang begitu mulia, memiliki tingkat pengetahuan dan kebijakan yang setara dengan penulis riwayat hidupnya.

Dalam kitab ini, tidak tertulis sesuatu pun tentang penulisnya, kecuali suatu candrasengkala yang menyatakan waktu penulisan, bahwa kitab ini ditulis setelah Pendekar Satu Jurus meninggal dunia. Jadi, hanya menunjukkan bahwa memang bukan Pendekar Satu Jurus yang menulis kitab tersebut.

(Oo-dwkz-oO)

IA mendapatkan namanya karena selalu mengalahkan lawannya dalam sekejap mata dan hanya dalam satu gerakan. Namun siapapun lawannya, satu jurus yang akan mematikan itu selalu hanya keluar setelah lawannya bergerak. Berapapun lamanya, ia akan selalu menunggu lawannya bergerak, dan baru setelah itu, dalam waktu tersingkat di dunia dalam kecepatan takterukur, ia juga akan bergerak, dan gerakannya selalu merupakan jurus mematikan yang menyelesaikan riwayat lawannya. Siapapun lawannya, apapun ilmunya, berapapun jumlahnya, selalu dikalahkan dan dibunuhnya semua hanya dalam satu gebrakan saja.

"Pendekar Satu Jurus, ayo seranglah aku!"

Begitulah seorang lawannya pernah memancingnya, tetapi Pendekar Satu Jurus tidak bergerak, bahkan juga tidak berbicara sama sekali. Ia tidak bisu dan ia bukannya tiada pandai berkata-kata, tetapi ketika menghadapi pertarungan ia tidak akan bersuara sama sekali. Setelah berhadapan dengan lawannya ketika sebuah pertarungan tiba waktunya, ia akan memasang kuda-kuda dan menanti serangan. Selalu hanya menanti, dan tiada lain se lain menanti, meskipun itu bisa sampai sehari semalam lamanya.

Apabila lawannya membuka serangan untuk memancing gerakan, maka saat itu pula nyawanya melayang ke alam baka. Sejumlah pendekar tingkat tinggi, ketika mengetahui bahwa Pendekar Satu Jurus hanya akan menyerang, dan serangan itu akan mematikan, setelah dirinya diserang, meski belum mengetahui kunci penalaran dari jurusnya itu, mencoba tidak menyerang selama mungkin. Namun bagaimana mungkin sebuah pertarungan ilmu silat akan berlangsung tanpa serangan sama sekali? Lawan yang telah meminta Pendekar Satu Jurus menyerangnya itu juga tidak pernah membuka serangan. Demikian rupa mereka saling menunggu serangan, sehingga mereka berdua hanya berdiri saja dengan sikap sangat amat waspada, sampai sehari semalam lamanya.

PADA pagi berikutnya mereka masih berhadapan tanpa bergeser sama sekali. Apakah ini bukan suatu pertarungan? Tentu saja ini suatu pertarungan yang berat sekali, suatu ujian kesabaran yang nyaris tidak tertahankan, karena dalam riwayat dari mulut ke mulut dunia persilatan di Yawabumi, tidak pernah disebutkan Pendejar Satu Jurus terkalahkan dalam pertarungan. Betapa tidak akan menguji kesabaran, jika disadari betapapun Pendekar Satu Jurus juga mampu menyerang lawannya dengan mematikan, tanpa harus menunggu serangan lawannya itu.

Ia memang tidak pernah melakukannya, sejauh diketahui dan diingat orang, sekalipun tidak pernah menyerang lebih dahulu, tetapi itu bukan jaminan ia tidak akan pernah menyerang terlebih dahulu sama sekali, jika keadaan menuntutnya begitu. Memang belum pernah, tapi s iapa berani menjamin tidak akan bukan? Apalagi dengan akibat kematian.

Ini berarti tiada pendekar yang berani melepaskan kewaspadaan meskipun Pendekar Satu Jurus tidak pernah menyerang. Pertarungan seperti ini sangat menuntut ketahanan urat syaraf. Jika menyerang, belum pernah diketahui Pendekar Satu Jurus takberhasil dalam serangan satu jurusnya yang kecepatannya tiada terukukur; jika tidak menyerang, tidak pernah diketahui sampai berapa lama mereka akan diam mematung dengan penuh kewaspadaan menegangkan seperti. Kebanyakan pendekar menjadi kehilangan kewaspadaan setelah begitu banyak waktu berlalu, lantas menyerang, dan seketika itu juga tewas bermandi darah. Serangan Pendekar Satu Jurus selalu telak, dan mengenai sasaran hanya dalam ratusan belahan kejap setelah lawannya menyerang.

Demikianlah terceritera betapa seorang lawan yang disebut Pendekar Lautan Tombak telah mengadu kekuatan urat syarafnya dari pagi sampai malam dan sampai pagi lagi. Selama waktu itu para penonton adu ilmu silat tersebut telah menanti pertarungan sejak malam sebelumnya, di sebuah tempat bernama Telaga Darah, yang diberi nama demikian karena para pendekar sering menggunakannya sebagai tempat bertarung sampai salah satu tewas karena dikalahkan.

Tiada telaga sama sekali di tempat itu, hanya sebuah dataran luas di puncak bukit, yang memang tampak sesuai untuk sebuah pertarungan yang tidak terganggu oleh keadaan alam, sehingga ilmu silat masing-masing bisa dikeluarkan seluruhnya sampai habis tanpa sisa. Pada saat semua jurus telah dikerahkan sampai habis, akan tibalah saat penentuan yang berakhir dengan kematian. Tidak jarang para pendekar itu mati bersama di sana, sampyuh, jika kekuatan mereka memang sungguh berimbang.

Pertarungan itu juga mempunyai kebiasaan berlangsung di malam bulan purnama, saat rembulan tampak begitu penuh, indah, dan sangat memesona di balik pucuk-pucuk cemara, entah kenapa. Tidak selalu demikian memang. Ada yang lebih suka memilih pertarungan pada dini hari sebelum matahari terbit, ada yang begitu suka bertarung dalam keremangan senja ketika langit menjadi merah, tetapi pertarungan pada malam bulan purnama merupakan peristiwa yang dianggap penting. Seolah-olah menang atau mati pada malam bulan purnama jauh lebih terhormat dibanding dengan jika berlangsung pada saat-saat lain. Namun satu hal pasti, bulan purnama yang cahaya keperakannya menyapu bumi, membuat pertarungan silat yang terindah menjadi sangat menarik ditonton, tentu jika mereka yang bersemangat datang dari berbagai penjuru Yawabumi untuk menyaksikannya dapat mengikuti gerakan para pendekar itu.

Seperti te lah diketahui, gerakan para pendekar silat t ingkat tinggi sangat sulit diikuti mata orang biasa, dan ini berarti bahwa pertarungan silat t ingkat tinggi hanya dapat diikuti oleh mereka yang sedikit banyak memahami seluk beluk ilmu silat, yakni para pendekar itu juga. Dalam pertarungan ilmu silat tingkat tinggi, para pendekar tidak sekadar bergerak ketika bersilat, melainkan berkelebat, dan tidak sekadar berkelebat, melainkan berkelebat seperti bayangan.

Sehingga kemampuan untuk mengamati pertarungan memang sangat ditentukan oleh kemampuan penontonnya. Makin berilm u penontonnya sebagai pendekar, makin banyak yang dapat dinikmatinya dalam pertarungan ilmu silat tingkat tinggi,

Para penonton berilmu inilah, yang sedikit banyak akan membicarakan sebuah pertarungan dari api unggun ke api unggun dan dari kedai ke kedai, yang akan terdengar di telinga orang awam sebagai dongeng, yang tidak selalu mereka yakini harus ditanggapi seperti apa.

Apakah para pendekar ini tidak pernah bekerja seperti orang biasa? Bagaimanakah caranya mereka menghidupi diri mereka sendiri? Mengapa begitu penting bagi mereka untuk menguji kemampuan diri dengan mengadu jiwa dalam pertarungan di malam bulan purnama?"

Orang awam akan segera terserap ke dalam kehidupan mereka sehari-hari, tapi orang-orang yang mengembara di sungai telaga dunia persilatan tak akan pernah berhenti mengasah ilmu maupun pedang mereka, untuk sebuah pertarungan yang setiap saat bisa menjadi pertarungan terakhir dalam hidup mereka. Memang tidak setiap kekalahan sudah pasti berarti kematian, tetapi hidup dengan suatu catatan pernah terkalahkan, yang akan tersebar beritanya dari kedai ke kedai di rumba hijau, pada umumnya diterima sebagai lebih buruk dari kematian.

Pada malam bulan purnama itu, belum ada satu gerakan pun dari kedua pendekar tersebut. Pendekar Lautan Tombak dan Pendekar Satu Jurus telah berdiri berhadapan sejak dini hari ketika matahari masih bersembunyi di balik langit.

Pendekar Satu Jurus tidak menyerang sebelum lawannya menyerang lebih dulu, sedangkan Pendekar Lautan Tombak tidak menyerang karena Pendekar Satu Jurus mendapatkan gelarnya dari kenyataan bahwa ia selalu berhasil membunuh lawannya tepat pada saat lawannya menyerang. Siapa pun lawannya, apakah ilmunya masih rendah atau sudah sangat tinggi, dan karenanya menjadi sangat terkenal, siapa pun dia asal berhadapan dengan Pendekar Sau Jurus dan menyerang terlebih dahulu, langsung tewas tanpa ampun hanya dalam sate jurus.

Maka satu-satunya cara yang belum dilakukan adalah tidak menyerang. Namun bagaimanakah suatu pertarungan akan berlangsung, jika t iada seorang pun dari kedua pendekar yang saling berhadapan itu memulai menyerang, Mereka telah berdiri berhadapan, tidak saling menyerang, semenjak hari masih gelap, matahari muncul, perlahan-lahan, begitu perlahan, tetapi dengan penuh kepastian, mengubah yang remang-remang menjadi terang.

Permkimam bumi berubah, bulan purnama menghilang, langit menjadi ungu, tetapi segera memudar, menguning, memutih, dan menjadi pagi yang riuh dengan suit, kicau burung. Bisakah dibayangkan betapa kedua pendekar berdiri seperti patung, tetapi bukan mematung, melainkan saling mengawasi dengan tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi?

Pertarungan seperti itu sungguh mahaberat bagi mereka yang tidak pernah mengalami dan tidak pernah melatihnya, karena dalam hal melawan Pendekar Satu Jurus, ia hanya membutuhkan sedikit gerakan dari lawan untuk menghabisinya. Seringkali, ia tidak perlu menunggu sampai jurus pertama lawan itu se lesai digerakkan, karena sebelum jurus itu se lesai, jurus serangan yang ia balaskan segera telah mengenai lawannya dengan tepat dan mematikan.

Bagi Pendekar Satu Jurus, dengan andalan serangan yang menunggu serangan lawan, terlebih dahulu, sikap menanti dan menunggu ini telah dihayati dan dilatihnya sampai kepada titik yang paling mungkin dilakukan. Ia telah melatih dirinya untuk tetap menanti dan menanti dengan tingkat kewaspadaan dan kepekaan yang sangat tinggi, seberapa lama pun lawannya itu akan bertahan.

Sangatlah tidak mudah untuk bertahan tidak menyerang dalam penantian yang mencekam seperti itu, tetapi Pendekar Satu Jurus telah melatih dirinya, karena jurus yang diandalkannya bagaikan secara mutlak menuntut serangan lawan terlebih dahulu. Namun bagaimana jika tidak? Mereka yang ilmu silatnya tidak berhubungan dengan kemutlakan seperti itu akan sulit bersikap, meskipun jika mereka mengetahui betapa setiap serangan mereka sangat mungkin berakibat kematian bagi diri mereka sendiri.

Setelah menunggu sampai terik natahari membara, sampai matahari tenggelam di barat dan sore menjelma senja, sampai malam berlalu dan pagi keesokan harinya tiba, masihkah mereka akan berhadapan saling mewaspadai dan tidak saling menyerang juga?

Pendekar Lautan Tombak dikenal karena kecepatannya memainkan tombak yang sangat luar biasa. Ia mendapatkan namanya karena ujung tombak yang dima inkannya dalam pertarungan akan segera menjadi selaksa serta menyerang lawannya dari segala arah dan jurusan. Dengan senjata apa pun lawan-lawan nya akan kebingungan, mereka mengira menangkis dan terserang, ternyata itu hanya bayangan hanya bayangan. Selaksa ujung tombak menyerang leher, tapi hanya satu yang merupakan ancaman. Ketika selaksa ujung tombak menyerang bersamaan, manakah kiranya yang harus ditangkis dan dipunahkan?

Pertarungan ilmu silat tingkat tinggi tidak memberi kesempatan untuk berpikir panjang. Segala kejadian terandaikan pernah dilatih, dipelajari, dan dipahami. Pada waktu pertarungan, hanya bayangan berkelebat dan sedikit saja kelengahan berakibat nyawa melayang.

Demikianlah agaknya Pendekar Lautan Tombak mengandalkan kecepatan untuk menghadapi Pendekar Satu Jurus. Barangkali telah dipelajarinya,bahwa serangan balasan mendadak yang selama ini menjadi ciri ilm u Pendekar Satu Jurus mengandalkan keberhasilannya kepada kecepatannya yang takterukur.

Pendekar Satu Jurus bukan hanya mengandalkan kecepatan sebetulnya,tetapi tentu juga tenaga dalam yang berdaya sangat tinggi, karena ia hanya bertangan kosong. Mereka yang bertangan kosong, tetapi tidak berilmu Tangan Besi, tentu mengandalkan tenaga dalam untuk mendorong angin, dan membuat angin itu bisa menohok dan melumpuhkan.

Agaknya, Pendekar Lautan Tombak mengandaikan dirinya bisa bergerak lebih cepat dari Pendekar Satu Jurus, sehingga ia bisa melumpuhkannya lebih dahulu sebelum pendekar itu bisa membalas serangannya. Bukankah masuk akal jika kecepatan lebih tinggilah yang akan melumpuhkan Pendekar Satu Jurus sebelum ia sempat balas menyerang?

Namun sebenarnyalah Pendekar Lautan Tombak itu bukanlah sembarang pendekar. Meskipun ia merasa kecepatannya bisa mengungguli kecepatan Pendekar Satu Jurus, ia t idak sembarangan menyerang lebih dahulu. Ia sadar memang akan menyerang lebih dahulu, tetapi ia ingin menyerang dalam keadaan yang paling menguntungkan baginya, yakni ketika Pendekar Satu Jurus berada dalam keadaan lengah, dan Pendekar Lautan Tombak hanya membutuhkan sekejap kelengahan agar ujung tombaknya menancap di tempat yang paling mematikan. Inilah yang membuat pertarungan itu, meskipun belum juga berlangsung setelah pagi menjadi malam dan menjadi pagi lagi, tetap saja sangat menegangkan.

Tidak banyak penonton yang menyaksikan pertarungan itu, tetapi inilah para penonton yang mengerti seni ilm u silat dalam makna di luar yang kasat mata. Mengikuti yang bertarung, mereka juga tidak tidur, menghayati pertarungan kewaspadaan antara kedua pendekar yang sebetulnyalah sangat menentukan. Apakah yang tidak lebih menegangkan selain menanti sedikit kelengahan yang akan membuat nyawa melayang?

Pendekar Lautan Tombak bertubuh tinggi dan langsing. Ia mengenakan wpm,' yang barangkali dibeli atau dirampasnya dari orang-orang as ing dari Negeri Atap Langit yang turun di pantai utara. Kumis dan jenggotnya mulai beruban dan rambutnya yang panjang dan mulai memutih tertutup oleh semacam serban dari kain yang tipis. Busananya terbuat dari kulit binatang yang seperti merekat di badan, dengan sabuk kulit saling bersilang dari bahu kanan ke pinggangkiri dan dari bahu kiri ke pinggang kanan, yang penuh dengan kantong peralatan bagi senjatanya. Selain kantong racun bagi ujung tombaknya, ia juga memilki berbagai mata tombak dalam kantong lainnya, karena ia biasa rnengganti-ganti mata tombak sesuai keperluannya. Mulai dari mata tombak yang sekadar lurus tajam, mata tombak yang berombak dan bergerigi, maupun yang berkait sehingga bisa menggaet keluar seluruh isi perut lawan. Kini ia memegang tombak pendek dengan mata tombak yang lurus panjang. Matanya menatap tajam ke arah Pendekar Satu Jurus dengan penuh kewaspadaan.

Pendekar Satu Jurus berpakaian putih-putih seperti seorang pedanda Siva, tetapi ia bukanlah pendeta yang mengagungkan agama, ia seorang pelajar ilmu silat yang menekuni ilmunya sampai senja usia. Ia tidak mengenakan alas kaki. Seluruh rambutnya sudah putih, digelung ke atas dengan rangkaian, manik-manik biji saga. Busananya adalah jubah putih sehingga menimbulkan pertanyaan dengan busana seperti itu bagaimanakah kiranya ia akan bertarung?

Tubuhnya agak pendek, tetapi tegap dan kukuh, tak seorang pun akan berani memandangnya sebelah mata. Busana seperti itu dikenakannya tanpa perlu terganggu, karena bukankah selama ini ia hanya memerlukan satu jurus saja untuk menyelesaikan pertarungan? Seluruh kum is dan janggutnya sudah memutih, alis tebal di atas matanya juga putih. Matanya menatap tajam dengan penuh kewaspadaan ke arah Pendekar Lautan Tombak.

Mereka telah berhadapan sehari semalam. Semesta alam telah beredar dan kembali ke tempatnya semula, tetapi kedua manusia itu belum bergerak sama sekali. Pertarungan ini berlangsung dalam kediaman. Pertarungan daya tahan dan kewaspadaan karena saling menunggu kelengahan. Hanya diperlukan kelengahan sekejap mata untuk memenangkan pertarungan. Betapa besar daya tahan kejiwaan dibutuhkan untuk bertahan dalam kediaman yang penuh kewaspadaan. Seberapa lamakah kiranya mereka berdua akan terus-menerus bertahan dalam diam menunggu kelengahan? Sampai kapankah mereka akan bisa bertahan?

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar