Nagabumi Eps 26: Pertarunganku yang Pertama

Eps 26: Pertarunganku yang Pertama

ENAM pisau terbang melaju ke enam titik mematikan pada tubuhku yang sedang begitu cepatnya melesat ke depan. Enam pisau terbang ini bisa kutangkis atau kutangkap, tetapi tidak bisa kuhindarkan karena aku tak akan sempat mengubah arah meluncurnya diriku sendiri. Itu berarti apapun yang kulakukan maka pukulannya akan tetap mengenaiku, dengan tenaga hasil jejakan kakinya pada dinding batu menjulang yang kokoh kuat itu.

Maka berlangsunglah kejadian yang sangat cepat dan begitu cepat sehingga tidak bisa diikuti oleh mata. Kuusahakan tangkisan yang mengembalikan pisau-pisau itu ke arahnya, tetapi terpaksa kuterima pukulannya pada tubuhku sampai pedangku terlepas.

"Uuughhh!"

Suara ini keluar dari mulut kami berdua. Kami bertumbukan di udara. Aku berusaha meminjam tenaga pukulannnya di dadaku untuk melenting dan berputar tiga kali ke atas, tetapi karena ilmuku masih berada pada tingkat dasar, pukulannya membuatku sesak nafas. Sementara itu enam pisau yang sebisa mungkin kutangkis balik, ternyata hanya satu yang mengenainya, itu pun bukan di tempat yang mematikan.

Akibat tumbukan itu ia jatuh berguling-guling di tanah dengan pisau tertancap di bahunya. Ia segera meloncat berdiri dan menyerangku yang sedang melayang turun. Kami bertukar pukulan dengan sangat cepat ketika bertemu di udara. Tiga pukulanku mengenai dadanya dan tiga pukulannya mengenaiku pula. Namun ketika mendarat di tanah ia jatuh terguling sekali lagi sementara aku masih tetap berdiri. I lmu silat kami rupanya sama-sama masih rendah, karena dalam pertarungan silat tingkat tinggi, jangankan sebuah pukulan, bahkan sentuhan jari pun sudah cukup untuk memuntahkan darah.

(Oo-dwkz-oO)

IA cepat berdiri. Bahkan mencabut pisau yang tertancap pada bahunya. Dalam keremangan malam kulihat wajahnya yang sengaja disamarkan dengan lumpur. Aku tidak dapat melakukan dugaan apa pun dengan samaran seperti itu, hanya matanya yang serasa menyelidik dengan tajam. Mungkin karena tidak menduga ada seseorang di Balinawan yang dapat mengimbanginya. Diakah yang selama ini menaruh mayat-mayat bergelimpangan di Balinawan? Napasnya terengah, begitu pula aku. Kulihat pedangku tergeletak di tanah. "Bocah ingusan...," desisnya. Aku tidak menjawab, karena memang tidak tahu harus menjawab apa.

Ia mencabut pisau yang menancap di bahunya itu pelan- pelan sambil menyeringai. Namun tiba-tiba dilemparkannya padaku. Untunglah aku sudah sangat sering dilatih oleh pasangan pendekar yang mengasuhku untuk mengatasi berbagai serangan gelap.

"Dunia persilatan adalah dunia para pendekar yang penuh dengan gagasan tentang keberanian dan kejujuran, tetapi banyak orang mempelajari ilmu silat hanya untuk mengabdi kemenangan melalui kelicikan. Itulah yang akan lebih sering kau hadapi jika dikau hidup dalam dunia persilatan, anakku..," ujar ibuku, seperti tahu bahwa dunia persilatan jualah yang akan menjadi duniaku.

Maka menghadapi serangan macam itu aku cukup memiringkan tubuh dan menjatuhkan diri untuk meraih pedangku, karena kutahu ia akan melanjutkannya dengan serangan bertubi-tubi. Meskipun dugaanku ternyata salah karena ia lantas melesat cepat ke arah dinding batu yang penuh tetumbuhan rambat yang menjalar ke sana kemari. Ia telah kembali mengerahkan Ilmu Berlari di Atas Awan yang membuatnya melesat dengan cepat ke arah dinding batu yang curam dan penuh tonjolan serta cuatan batang-batang pohon yang tumbuh di sela-sela batu.

Aku mengejarnya dengan Jurus Naga Berlari di Atas Langit. Dengan cepat aku telah berada di belakangnya dan hanya sesak napas karena pukulannya di dadaku tadi yang menghalangiku berlari lebih cepat lagi. Aku tinggal mengayunkan pedang dan membelah punggungnya ketika tiba-tiba ia melenting ke atas, dan mulai meloncat dengan pijakan seadanya terus menerus semakin ke atas. Aku segera menyusulnya dengan mencari pijakan lain untuk mencegatnya. Ia mencabut pedangnya dan menyerangku. "Bocah ingusan, mengapa dikau sudi diperalat orang-orang desa bodoh ini? Dikau berilmu tinggi, tetapi dikau telah diperalat mereka demi kepentingannya. Dikau telah membuang tenaga sia-sia!"

"Mengapa kamu buang mayat-mayat di Desa Balinawan?

Mengapa tidak kamu buang di desamu sendiri?"

"Dasar bocah ingusan, kamu tidak tahu apa-apa tentang permainan kekuasaan."

Begitulah kami bertarung seperti dua burung elang yang saling menyambar di udara. Setiap kali kedua pedang kami beradu terlihatlah lentik api dan bunyi dentang yang dipantulkan dinding sampai ke tepi kali. Kami bertarung sembari me lenting ke sana kemari dengan hanya menjejak tonjolan batu, cuatan batang pohon, dan bila terjatuh karena sepak segera berpegangan pada akar-akar pohon merambat yang ada di mana-mana. Demikianlah kami bertarung dengan mengandalkan tenaga dalam demi keringanan tubuh, tetapi masih bercampur tenaga kasar ketika saling mengayunkan pedang, yang membuat kami segera bermandi keringat di udara pagi yang dingin.

Kami bertarung sambar menyambar makin lama makin ke atas. Kulihat di bawah orang-orang desa membawa obor mencoba melihat kami, tetapi tentunya hanya suara pedang berdentang-dentang yang terdengar beradu dan mengeluarkan lentik api, yang makin lama makin tinggi.

Di ufuk timur warna langit mulai berubah.

"Mereka mendekati pertapaan!" ujar mereka, dan mulai mencari jalan ke atas dengan panik.

Jika mayat sembarang orang yang tergeletak begitu saja di desa mereka telah membuat mereka didenda, maka apalah lagi yang akan menimpa mereka jika terjadi sesuatu dengan para pertapa itu, yang keselamatannya akan dianggap merupakan tanggungjawab Desa Balinawan? Namun mendaki jalan terjal dan memutar seperti itu, kapan pula mereka akan sampai kemari? Adapun aku sembari bertarung dalam ketinggian ini saja bisa menyaksikan laut di balik bukit nun di kejauhan sana.

MATAHARI memang sudah muncul. Dataran di atas tebing sudah terlihat tepiannya. Para biarawan, para pertapa itu, tentu sudah bangun dan menjalankan upacara keagamaan mereka. Kami masih bertarung, melenting dari dahan ke dahan dan saling menyerang bagai tanpa kesudahan.

Sepintas lalu kuperhatikan, ilmu pedangnya kukira adalah Ilmu Pedang Naga Hitam yang termasyhur, tetapi dalam tingkat yang masih awal sekali, dan tidak didukung oleh tenaga dalam yang memadai, sehingga menjadi tidak terlalu berbahaya bagi mereka yang tingkat ilmu silatnya masih sederhana seperti aku.

"Menyerahlah," kataku, "nyawamu akan selamat jika dikau menyerah!"

Ia tertawa mendengar usahaku menggertak.

"Aku tidak begitu bodoh untuk menyerah, diadili, dan menerima hukuman mati," katanya, "sebaiknya kita berdamai dan kau lepaskan aku."

"Kenapa aku harus melepaskan kamu, jika jelas dikau meninggalkan mayat orang-orang yang dikau bunuh entah di mana di desa kami?"

"Eh, bocah ingusan! Tidak tahukah kamu bahwa mayat- mayat itu adalah mayat para penjahat yang selalu membegal di jalan keluar dari Desa Balinawan ini? Aku sebenarnya telah membantu keamanan desa ini!"

"Bagaimana itu kamu sebut membantu, jika karena mayat- mayat itu maka tanah desa ini justru menjadi s ima, dan secara halus menjadi milik negara, yang hanya berarti milik raja?" Kami nyaris mencapai dataran di atas tebing, ketika para penghuni pertapaan bermunculan dan menengok ke bawah karena mendengar dentang pedang kami yang beradu. Mereka tentu juga telah mendengar percakapan kami.

"Dengar bocah ingusan! Begal-begal itu adalah begundal para raja kecil yang ditundukkan Rakai Panamkaran! Mereka dibiarkan mengganggu desa ini supaya orang-orang desa tetap tergantung kepada perlindungan istana!"

"Tapi setelah tanah mereka dijadikan sima, kenapa keamanan tidak kunjung tiba?"

"Karena begal-begal itu rupanya kuat juga! Aku diperintahkan raja untuk membasminya!"

"Kalau begitu, kenapa mayat-mayat harus dibuang begitu rupa?"

"Dasar ingusan! Tentu supaya orang desa tergantung kepada perlindungan istana selama-lamanya!"

"Aku tidak percaya! Kukira dikau ada di pihak begal, karena yang mati selalu penduduk desa tetangga, sampai kedua desa nyaris tawuran karenanya. Lain kali dikau akan membunuh penduduk desa ini dan meletakkannya di desa tetangga, dikau seorang pengadu domba. Lebih buruk dari begal, meski dirimu bukan begal. Siapa dikau? Katakan sebelum kubuka kedokmu!"

"Hahahahahaha!"

Saat itu ia sudah berada di atas dan dalam waktu yang bersamaan aku juga sudah berada di hadapannya. Aku segera menggulungnya dengan Ilmu Pedang Naga Kembar yang telah kukuasai dengan seadanya. Bertarung di tanah datar jauh lebih memungkinkan bagiku yang ilmu silatnya belum terlalu tinggi untuk mengembangkan kemampuan, selain aku lebih percaya diri mengingat ilmu silat lawanku yang juga belum terlalu tinggi. Ia tidak tinggal diam dan mengeluarkan I lmu Pedang Naga Hitam. Demikianlah kami terus bertarung ketika matahari merambat naik dan para biarawan dengan jubah mereka yang serba kuning mengelilingi dan menonton kami. Karena ilmu silat kami belum terlalu tinggi, mata mereka masih mampu mengikuti setiap gerakan kami, dan tampaknya menjadi selingan yang mengasyikkan dalam kehidupan mereka yang sunyi.

Ilmu Pedang Naga Hitam diciptakan oleh Pendekar Naga Hitam, seorang penguasa wilayah persilatan Kubu Utara yang sangat dihormati, tetapi yang kemudian diketahui melakukan persekutuan dengan berbagai kelompok yang berkepentingan dengan kekuasaan. Ayahku pernah bercerita tentang Pendekar Naga Hitam, yang semula merupakan seorang pendekar golongan merdeka, yang memang menjadi termasyhur oleh penemuan Ilmu Pedang Naga Hitam. Dengan ilmu pedang itulah lambat laun ia menguasai Kubu Utara. Menurut ayahku, dunia persilatan Yawabumi masa itu terbagi dalam lima wilayah kekuasaan.

(Oo-dwkz-oO)

JIKA Naga Hitam menguasai Kubu Utara, maka Naga Kuning menguasai Kubu Barat, Naga Putih menguasai Kubu Timur, Naga Merah menguasai Kubu Selatan, dan Kubu Tengah menjadi arena perebutan segala macam pendekar yang akan mendapat julukan, atau menamakan diri mereka sendiri, dengan sebutan naga atas berbagai macam warna.1)

Naga adalah lambang kemegahan dan kekuasaan, tetapi lebih dari itu naga adalah lambang kewibawaan. Maka gelar dengan nama naga biasanya diberikan oleh kalangan persilatan sebagai pengakuan dan pengukuhan atas wibawa yang didapat oleh keunggulan ilmu silatnya; atau jika seseorang menamakan dirinya sendiri dengan naga maka ia harus merebut dan meminta pengakuan sampai dunia persilatan mengakuinya. Dengan cara itulah Naga Hitam mendapatkan gelarnya, pertanda ia bukanlah seorang pendekar yang rendah hati, meski tetap diakui tidak terkalahkan di wilayah Kubu Utara. Perimbangan kekuasaan yang tidak resmi ini akan diperhatikan oleh para penguasa yang resmi, yang akan memanfaatkan perimbangan tersebut demi kepentingan mereka sendiri. Naga Hitam adalah pihak yang tergoda dan terbujuk untuk berpihak kepada mereka yang ingin menggulingkan kekuasaan, dan masih selalu mempertahankan cita-citanya meski penguasa yang semula dimusuhinya telah berganti. Dulu ia memusuhi Sanjaya, dan rupanya masih menyimpan impiannya setelah Rakai Panamkaran berkuasa.

Sementara itu, perimbangan kekuasaan dalam perebutan gelar naga di dunia persilatan juga berkembang, karena muncul pula empat naga baru di wilayah baru pula yang merebut wibawa wilayah-wilayah lama. Mereka adalah Naga Hijau yang menyatakan diri menguasai Kubu Barat Laut, Naga Biru sebagai penguasa yang mendapat pengakuan di Kubu Timur Laut, Naga Jingga yang dalam kenyataannya dipuja- puja Kubu Barat Daya, dan Naga Dadu, lelaki pendekar yang sangat termasyhur kecantikannya, diakui dunia persilatan Kubu Tenggara. Waktu aku mendengar semua cerita ini tentu aku tidak mengira suatu ketika akan bentrok dengan seseorang yang memainkan Ilmu Pedang Naga Hitam.

Tentu saja ilmu pedang itu sangat hebat, tetapi Ilmu Pedang Naga Kembar diciptakan untuk menghadapi ilmu pedang semua kubu, yang telah dilatihkan kepadaku agar bisa memainkannya seperti terdapatnya dua pendekar berpasangan, dengan jumlah keseluruhan sebagai permainan empat pedang. Dalam usia 15 tahun, kuakui ilmu silatku masih sangat dangkal, tetapi ternyata dengan baru mengenal saja, dan belum menguasai sepenuhnya Ilmu Pedang Naga Kembar, aku mampu menahan kedahsyatan Ilmu Pedang Naga Hitam. Bahkan sedikit demi sedikit aku mulai menekan dan mendesaknya. Ciri Ilmu Pedang Naga Hitam adalah gerak tipunya yang menyesatkan. Ibarat kita merasa terancam oleh mulut naga yang menganga dan memusatkan perhatian kepada kepala naga itu, ternyata adalah ekornya yang menggasak dan melumpuhkan kita dari arah yang tidak terduga. Namun berhadapan dengan Ilmu Pedang Naga Kembar yang diciptakan untuk menghadapi ilmu pedang para naga maka Ilmu Pedang Naga Hitam itu hanya bisa bertahan. Ibarat menghadapi empat pedang, hanya mampu mampu menahan serangan satu pedang, tetapi takkuasa menangkis serbuan angin putting beliung tiga pedang yang lain. Aku mendesaknya terus sampai ia terguling-guling.

"Cepat katakan   siapa   yang   menyuruhmu!   Katakan!

Katakan! Katakan!"

"Diam kau bocah ingusan! Diam ka.   Agh!"

Telah kulumpuhkan dia sebelum usai kata-katanya. Seluruh tubuhnya tersayat luka goresan. Ia terbanting karena pukulanku pada tengkuknya. Kini terkapar kuinjak dadanya. Kuangkat pedangku.

"Katakan sekarang atau kubunuh dikau sekarang!"

Ia memandangku dengan bergeming. Tersenyum di antara nafasnya yang memburu. Pukulanku terlalu keras. Itulah akibat ilmuku yang belum terlalu tinggi. Tengkuknya patah. Luar biasa bahwa ia belum binasa.

"Guruku akan mencarimu" "Gurumu? Naga Hitam?"

Ia hanya tersenyum sebelum nyawanya pergi. Kuangkat kakiku yang menginjak dadanya. Kupandang pedangku yang bersimbah darah. Ia memang mati bukan karena pedangku, melainkan karena pukulan tanganku. Sama saja.

IKA tak karena pukulan tangan itu, berapa lama lagi ia masih bisa hidup dengan segala luka itu. Aku menghela napas. Inilah pertarunganku yang pertama dan untuk yang pertama ini telah kulenyapkan sebuah nyawa.

Benarkah jiwa manusia tiada artinya dibandingkan kematian? Para pendekar dalam dunia persilatan selalu merasa lebih terhormat mati dalam pertarungan daripada hidup menanggung malu karena pernah dikalahkan. Kekalahan harus selalu berarti kematian dan itulah kematian yang penuh dengan kehormatan.

Benarkah demikian? Benarkah begitu tiada artinya kehidupan dibandingkan kehormatan dalam kematian? Aku memandang pedangku, mengusapkan darahnya ke kain baju orang yang terbunuh itu.

Ia seorang yang menjalankan tugas. Jadi aku berhadapan dengan suatu tatanan yang menjadikan pembunuhan sebagai bagian dari tujuannya. Aku mencoba berkepala dingin menyadari keterlibatanku dalam suatu persoalan besar.

Aku menoleh ke sekelilingku. Cahaya matahari menyemarakkan tanaman bunga. Para pertapa menggumamkan puja sambil menangkupkan tangannya. Mereka memandangiku dengan pandangan mata yang sangat amat berduka.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar