Nagabumi Eps 180: Menulis Seperti Bersilat

Eps 180: Menulis Seperti Bersilat

LEMPIR-LEMPIR lontar berserakan di atas tikar, hari sudah sangat terang, rupa-rupanya aku sudah tertidur. Kulihat baris terakhir yang kutulis. Aku menghela napas panjang. Dalam lempir terakhir pun aku belum memasuki Chang'an. Tanpa kusadari kegeleng-gelengkan kepalaku sendiri mengingat segenap pengalamanku di Negeri Atap Langit. Alangkah berbedanya negeri itu dengan Mataram, baik dulu maupun sekarang. Kini pada 872, ketika di sana lembaran yang bernama kertas tersedia untuk dibeli di setiap sudut kota, dan kertas bertulisan dapat digandakan dengan suatu cara, sehingga lebih banyak orang terlibat dalam pembacaan, di sini setiap kali masih harus kuolah lempir-lempir lontarku sendiri, sebelum aku bisa menulis di atasnya dengan guratan-guratan pengutik yang sangat membutuhkan kesabaran.

Maka jika seperti pernah kusaksikan di Negeri Atap Langit betapa aksara bisa dituliskan di atas kertas dengan tinta seperti memainkan pedang, maka sulitlah kiranya untuk melakukan yang serupa menggunakan pengutik pada lempiran lontar. Menghadapi lempiran lontar untuk menuliskan aksara di atasnya, artinya aku harus duduk tenang dan menulis pelahan, karena menulis di sini adalah mengguratkan aksara di atas lempiran lontar tersebut. Jika pengguratan tidak berlangsung cermat, aksara menjadi tidak jelas dan tidak bisa dibaca. Adapun di Negeri Atap Langit, alat tulisnya lemah gemulai seperti sekumpulan rambut yang dicelupkan ke dalam tinta. Seseorang tinggal memegang gagangnya dan menggerakkannya di atas kertas. Masih bisa kuingat kesanku ketika kali pertama melihat tangan menulis di atas kertas itu, kadang seperti menari, kadang seperti memainkan pedang.

Itu juga berarti mereka bisa menulis dengan cepat sekali. Kuingat cerita tentang penyair Li Bai, yang sambil duduk di punggung kuda menulis di atas kertas dengan sangat cepat dan setiap kali penuh atau selesai melemparkannya, untuk segera mengambil kertas baru dari sebuah kantong di leher kudanya. KONON di belakangnya seorang budak harus berlari-lari mengumpulkan kertas-kertas bertebaran itu. Meskipun barangkali cerita semacam ini dilebih-lebihkan, tetapi menunjukkan betapa menulis itu mungkin untuk dilakukan dengan cepat, bahkan cepat sekali. Apakah itu berarti dalam menulis di Negeri Atap Langit orang tidak merenung dan berpikir? Tentu siapa pun ketika menulis dengan sendirinya merenungkan dan memikirkan sesuatu, dan itu juga berarti bahwa merenung dan berpikir sembari menulis dapat dilakukan dengan cepat sekali.

Dengan demikian, di Negeri Atap Langit menulis itu tidak jauh bedanya dari bermain pedang, atau tepatnya ilmu penulisan dapat selalu dihubungkan dengan ilmu persilatan. Bukankah sering kuceritakan tentang bagaimana jurus silat dapat dima inkan secepat pikiran, bahkan lebih cepat dari pikiran itu sendiri? Lebih cepat dari pikiran sebetulnya berarti antara pikiran dan gerakan sudah menyatu tanpa jarak lagi, tepatnya melebur tidak terpisahkan, tiada persilatan tiada pikiran, tiada pikiran tiada penulisan, hanya kehidupan; seperti ombak dengan gerakan, seperti angin dengan desisan, seperti cahaya dengan kilauan...

Maka apakah yang bisa dikatakan dengan penulisan yang menggunakan pengutik untuk menggurat di atas lempir-lempir lontar secara sangat perlahan-lahan? Aku berpikir bahwa dalam pemikiran, dalam pengertian sebagai pemikiran yang tidak berjarak dari kehidupan, kelambanan maupun kecepatan tidak lagi menjadi ukuran yang membedakan, karena memang tiada lagi ukuran ketika bentuk meleburkan dirinya ke dalam ketiadaan. Maka Jurus Tanpa Bentuk akhirnya memang menjadi sama dengan Tulisan Tanpa Aksara maupun Puisi Tanpa Kata. Jelas hanyalah dengan pikiran yang mengatasi kebiasaan dan peraturan maka semua itu dapat terjelmakan dalam suatu pencapaian. Pemikiran semacam inikah yang membuat seseorang di balik tembok istana berpikir bahwa diriku telah mengalami ketersesatan? Tentu jika seseorang itu memahami pikiranku, dia akan menemukan bahwa pemikiran ini dapat sampai kepada kemungkinan seperti Dewa Tanpa Kekuasaan, Agama Tanpa Doa, maupun Buddha Tanpa Semesta, karena segala sesuatu menyatu termasuk melenyap leburkan pikiran, seperti Ada yang tidak memisahkan dirinya dari Tiada. Padahal para penguasa sangat membutuhkan wibawa sebuah kekuasaan, demi berbagai macam kepentingan.

Bukan hanya diriku kemudian yang disebutkan tersesat, melainkan betapa diriku ini telah menyebarkan aliran sesat, sehingga membuat diriku begitu layak ditiadakan, meski sudah jelas mustahil melenyapkan seseorang begitu saja tanpa bekas selama pikirannya telah berada dalam pikiran lain orang. Ia tidak perlu dikenal, tidak perlu terkenal, bahkan sebetulnya juga tidak perlu ada, karena jaringan pemikiran terbentuk dari mulut ke mulut dari zaman ke zaman dalam berbagai penanggapan, sehingga usaha melenyapkannya sebaliknya menjadi tindak yang justru akan mengabadikan.

Seberapa berbahayakah pikiran bagi kekuasaan? Tidakkah kekuasaan itu memiliki begitu banyak alat dan perangkat untuk memaksakan kepentingan? Justru agaknya para pemikir di balik tembok istana itu sangat mengerti, bahwa meskipun seseorang itu ditangkap, dipenjarakan, atau bahkan diberikan hukuman penggal, tiadalah mungkin menghalangi kemerdekaan berpikirnya yang juga berada di dalam kepala setiap orang. Makanya tujuan menangkap dan menghukum mati seseorang tidaklah sekadar bertujuan membunuh pelaku dalam penyebaran pemikiran, melainkan terutama sebagai lambang pemikiran itu sendiri.

Dengan kematian pelaku, diharapkan mati pula pemikirannya yang sudah tersebar di dalam kepala orang banyak. Apabila suatu pemikiran yang dianggap berbahaya tersebar dan menggelisahkan kekuasaan, dalam arti kuasa pemerintahan maupun kuasa pemikiran, maka dicarikanlah seseorang yang kiranya dianggap cocok sebagai pelaku penyebaran, untuk dibunuh dalam usaha mematikan pemikiran yang dianggap berbahaya tersebut. 

Ketika seseorang dan banyak orang akhirnya memang dibunuh, dalam pengertian sengaja dibunuh untuk membunuh pemikiran, sangat mungkin memang orang-orang menjadi takut dibunuh, tetapi betapapun tiada berdaya menolak untuk memikirkan dan memandang dunia dengan cara yang telah disepakati oleh dirinya sendiri. Pemikiran tidaklah pernah memaksakan dirinya selain untuk disepakati, disanggah, atau ditolak dalam perbincangan seseorang dengan dirinya sendiri, yang jika akan menerimanya, maka penerimaan itu sebetulnya adalah pembermaknaan yang juga berasal dari dirinya. Jadi, dalam pemikiran, seseorang itu sebetulnya tidak menerima, melainkan menghasilkan, karena berpikir itu membuka kesadaran, dan kesadaran itulah yang memberi makna kehidupan.

ADAPUN kesadaran disebut sebagai kesadaran, karena susunan dalam penalarannya yang penuh peny ingkapan, seperti penyusunan sebuah tulisan untuk menyampaikan gagasan. Demikianlah sebuah tulisan bagaikan cermin suatu gagasan, yang ketika menjadi bagian ingatan dalam kepala, dengan segala pengayaan yang diberikan sang empunya kepala, merupakan olah pemikiran yang mustahil dibunuh dan dihilangkan. Penindasan dan pembunuhan hanya membuat orang memikirkannya kembali, kembali, dan kembali; dan ketika ditemukan kelemahan dalam pemikiran itu seseorang sangat mungkin memperbarui atau menyesuaikannya berdasarkan sudut pandang dan kepentingannya.

"Kakek!"

Kulihat Nawa melambai ketika digandeng ibunya menuju ke sungai. Ibunya mengangguk, aku pun mengangguk dan tersenyum, meski kemudian senyumku hilang melihat lempir- lempir lontarku yang tersebar tidak berurutan. Mungkin aku telah menjatuhkan tumpukannya ketika tertidur. Damar sudah lama mati. Aku pun tentunya harus membersihkan diri ke sungai.

Namun kini aku harus membereskan lempir-lempir lontar ini terlebih dahulu. Kukira aku memang harus mengikatnya dalam urutan, dan menyimpannya dalam bentuk tumpukan keropak. Aku bermaksud menyimpannya di dalam bilik, dan seperti baru menyadari bahwa sudah tinggi juga tumpukan keropak itu, terbersit suatu gambaran, bagaimana kalau keropak-keropak lontar ini suatu hari hilang? Jika pernah ada usaha untuk mencurinya, tidak ada alasan untuk terulang kembali. Lagipula jika para tetangga mungkin mengetahuinya, mungkin mereka akan curiga. Pengusaha lempir yang selalu membawa lempir- lempir buatanku ke istana pernah bertanya diriku sedang menulis apa, dan sudah kujawab menuliskan kenanganku sendiri, tetapi jika sempat diketahui bahwa tumpukan keropak sudah setinggi ini, apakah seseorang tidak akan setidaknya bertanya-tanya?

Begitulah, umurku dalam penulisan riwayat hidupku itu baru sampai umur 26 tahun, tetapi aku tidak mungkin melewati setiap rincian begitu saja dalam tujuan penulisanku ini. Aku sudah melompati masa sepuluh tahun, ketika dari tahun 786 sampai 796 berkubang memperdalam ilmu silat dalam gua sejak usia 15 tahun. Sebetulnya bukan tidak ada yang layak ditulis selama berada di dalamnya, bahkan jika kuingat kembali banyak juga yang menarik dan penting, terutama dalam perenungan ruang dan waktu. Namun aku merasa dapat melompatinya, karena selama sepuluh tahun berada di dalam gua diriku memang tidak pernah bertemu manusia, sehingga kuanggap tidak ada sesuatupun yang akan berhubungan dengan pengumuman resmi kerajaan untuk memburu diriku. Jika dalam hal ini diriku keliru, tentu saja akibatnya besar sekali, karena meskipun ruang-waktu terhayati secara lain dalam samadhi, betapapun dalam sepuluh tahun tiada mustahil ada juga sesuatu yang secara tidak langsung berhubungan dengan masalahku ini terjadi.

(Oo-dwkz-oO)

KURAPIKAN dan kubawa lempir-lempir lontar ini ke dalam bilik. Kupikir aku akan mengikatnya nanti setelah kembali dari sungai. Namun saat itulah telingaku yang masih sangat amat tajam meski tanpa merapal ilm u Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, menangkap gerakan banyak orang yang mengendap-endap. Aku terkesiap. Apakah mereka mengepungku? Jika memang begitu, tentu saja agak di luar kebiasaan jika tindak pengepungan ini dilakukan siang hari. Jika mereka anggota Kalapasa, dan jika mereka bukan anggota Kalapasa tetapi adalah pemburu hadiah maupun seorang tikshna atau pembunuh bayaran, maka mengepung seseorang di hari terang seperti ini adalah di luar kebiasaan. Kecuali, tentu, jika ini bukan serangan gelap seperti yang akan dilakukan golongan hitam, melainkan suatu penangkapan resmi!

Benarkah tempat persembunyianku ini sudah diketahui orang? Jika memang demikian halnya bagiku ini tentu sangat menyulitkan. Bukanlah karena aku merasa jiwaku terancam, karena bagiku mereka yang masih merasa pengepungan adalah jalan terbaik untuk menangkap buronan, ilmu silatnya besar kemungkinan tidak terlalu tinggi. Ibarat kata sekali berkelebat, aku sudah akan bisa meloloskan diri dari kepungan. Namun aku tidak akan bisa berkelebat begitu saja dan pergi, karena aku harus mempedulikan lempiran lontar yang sudah bertumpuk-tumpuk itu.

Setelah berjuang dari hari ke hari dan dari ma lam ke malam menuliskannya, sedangkan ini barulah permulaannya sahaja, akan sangat tidak mungkin bagiku untuk meninggalkannya, tetapi justru membawanya itulah yang akan mengakibatkan persoalan besar, meskipun m isalnya tidak seorang di dunia ini yang tertarik untuk memperhatikan.

PADAHAL, mungkinkah kiranya di dunia yang penuh bahaya ini, tempat orang-orang di luar kotaraja meradang penuh dendam karena merasa disingkirkan kerajaan, miskin, kurang makan, dan tidak mempunyai tempat tinggal untuk tidur dengan nyaman, tidak akan penasaran melihat seorang tua membawa banyak beban, baik dalam gerobak ataupun karung di punggungnya?

Adapun jika mereka sudah tertarik perhatiannya, tidak ada jaminan untuk tidak ingin mengetahui isinya, bahkan sudah berharap isinya mungkin berharga dan barangkali bisa dirampok pula. Meskipun aku masih terus menyamar, tetap saja banyak orang melihatku sebagai orang yang sudah tua, dan membayangkan bahwa orang tua biasanya kurang berdaya, mereka yang berpikiran jahat dan berkeliaran di jalanan tentulah akan sangat amat tergoda untuk merampoknya.

Tidak berarti jika seseorang mengetahui bahwa isi karung yang dipanggul atau tergolek di dalam gerobak itu bukanlah intan berlian melainkan lempir-lempir lontar, lantas seseorang itu tidak akan tertarik untuk merampasnya pula. Mereka yang mengerti bahwa aksara tersusun jadi kata, kata-kata membentuk kalimat, dan kalimat demi kalimat membentuk wacana, tentulah akan menjadi penasaran untuk mengetahuinya pula, begitu rupa sehingga bukan tidak mungkin berusaha mencurinya. Apalagi, seperti yang pernah kukatakan, jika seseorang itu adalah pendekar pengembara pula, yang sangat mungkin akan mempertimbangkan, bahwa lempir-lempir lontar ini adalah sejumlah kitab ilmu silat yang sangat langka.

''Pendekar Tanpa Nama!''

Mendadak terdengar teriakan menggelegar. ''Keluarlah dari tempat persembunyianmu! Dikau sudah terkepung! T idak ada gunanya melawan! Menyerahlah!''

Suara itu memang keras, tetapi ada sesuatu yang rasanya janggal. Aku pun mengintip lewat celah dinding bambu. Kulihat sekitar lima puluh prajurit dengan senjata terhunus. Mereka membawa tombak dan pedang, tetapi tidak membawa perisa i, yang memang hanya digunakan dalam pertempuran melawan suatu pasukan pula. Pemimpinnya bersenjata cambuk dan terbedakan dari lainnya karena ken dan perangkat hiasan yang dikenakannya, sejak dari sadangan warna kuny it, ikat pinggang emas dengan hiasan intan, hiasan rambut kulit penyu pada rambutnya yang terikat ke atas, maupun kelat pada bahunya. Wajah orang ini tampak seram karena penuh dengan bulu.

Namun yang penting, ternyata mereka tidak sedang mengepung pondokku, melainkan pondok Rangga!

Mereka keliru! Atau seseorang telah menyesatkan mereka! Aku sungguh tidak mengerti dengan keadaanku ini, yang tampaknya saja tenang dan tersembunyi, tetapi bagaikan begitu banyak orang yang ternyata mengetahui.

Betapapun mereka telah keliru, dan itu berarti mereka tidak tahu. Namun setidaknya ada seseorang yang telah membuat limapuluh anggota pengawal raja mencariku ke dalam puri yang tanahnya disewa-sewakan ini. Meskipun begitu, jelas terdapat mata rantai yang terputus, sehingga keterangan bisa terbelokkan dan pondok orang tua yang suka meniup seruling itulah yang dikepung dan bukan pondokku.

Terdengar suara ledakan dahsyat. Ternyata berasal dari cambuk itu. Ia melecutkan cambuknya berkali-kali sehingga terdengar ledakan keras beruntun yang menggetarkan.

''Keluarlah orang tua! Jangan sampai kami terpaksa membakar dirimu di rumahmu sendiri! Keluarlah! Tiada lagi tempat bagimu untuk bersembunyi! Janganlah melawan pasukan pengawal raja!''

Aku menahan nafas. Ternyata terdapat juga mamanah, atau anggota pasukan panah, yang baru terlihat olehku sekarang di antara mereka, setidaknya sepuluh orang, yang ujung anak panahnya telah berbalut kain menyala-nyala, siap membakar atap ijuk dan dinding bambu yang serba mudah terbakar itu. Apa yang akan terjadi dengan Rangga Tua jika ia muncul dari balik pintu? Apakah pasukan pengawal raja ini akan menangkapnya?

Tutup pintu yang terbuat dari bambu itu terjatuh ketika Rangga Tua yang sudah berusia 80 tahun muncul di pintu. Ia melangkah tertatih dan tampak belum menyadari apa yang terjadi, ketika begitu keluar cahaya matahari pagi yang menembus dedaunan langsung menerpa matanya.

Pemimpin pasukan itu melecutkan cambuknya. Terdengar ledakan dahsyat.

''Serbuuuuuu!''

Teriakannya keras membahana, dan limapuluh anak buahnya bergerak serentak. Meskipun sudah 101 tahun umurku, darahku masih bisa naik ke kepala.

BUKANKAH pemimpin pasukan ini memintanya menyerah? Semula, karena kupikir pasukan pengawal raja ini akan menggunakan aturan, setidaknya hanya menangkap Rangga Tua dan tidak membunuhnya, akan kubiarkan saja mereka menangkap Rangga Tua, untuk kemudian menyadari kekeliruan lantas melepaskannya. Namun yang terjadi justru pembantaian terencana!

Aku sudah memutuskan untuk bergerak menyelamatkan Rangga Tua yang selalu kunikmati suara serulingnya pada malam sunyi, ketika suatu bayangan berkelebat. Para mamanah langsung terpental dan terjungkal muntah darah, sedangkan anak panahnya yang berapi langsung berpindah tangan, menjadi senjata yang digunakan untuk menyapu para manalah atau pasukan tombak. Delapan anak panah menancap ke tubuh delapan manalah dalam keadaan masih berapi yang menimbulkan jeritan-jeritan panjang, sementara dua anak dipegang dan menjadi senjata yang berputar seperti baling-baling menangkis serangan seluruh pasukan.

Baling-baling api berkelebat di antara gerak pengeroyokan pasukan. Meski hari sudah terang, pepohonan di dalam puri ini cukup rimbun untuk memperlihatkan cahaya api yang melesat-lesat kian kemari dan dalam setiap arahnya menelan korban. Semua ini terjadi cepat sekali, tetapi dapat kubaca dari gerak api itu sebuah jurus yang belum pernah muncul di dunia persilatan, meski pernah kupelajari dari Kitab Jurus- Jurus Langka yang Hampir Punah. Sejauh yang bisa kuingat, jurus itu disebut Jurus Naga Api, yang memang memanfaatkan unsur api sebagai bagian penting dari jurusnya. Dalam bentuknya yang terbaik, demikian katanya dalam kitab yang pernah kubaca itu, tubuh lawannya dapat terbungkus api dan menyala sampai lawannya tewas terpanggang menjadi arang.

Namun bayangan yang berkelebat itu tampaknya tidak bermaksud membuat para anggota pasukan pengawal raja ini menjadi arang ataupun menjadi dendeng, meski memang tidak biasanya jika pucuk panah berapi itu menembus tubuh, ketika dicabut kembali apinya masih menyala. Kukira pemegangnya menyalurkan tenaga dalam yang membuat apinya bukan saja tetap menyala, tetapi juga bahwa ujung logam mata anak panahnya merah membara.

Dalam sekejap semua anggota pasukan sudah tergeletak tak bergerak-gerak dan takbersuara. Pemimpin pasukan bertarung sebentar dikurung Jurus Naga Api. Rupanya kepada pemimpin pasukan inilah penyelamat Rangga Tua itu mengirimkan hukuman dan pesan kebersalahan. Hanya sebentar cambuk andalannya meledak-ledak membahana, karena sebentar kemudian terdengar jeritan panjang, tetapi yang kemudian berhenti untuk selama-lamanya. Begitu mata anak panah itu tertancap ke dadanya, warna merah bara dari mata anak panah itu merayap ke seluruh tubuhnya, membuat seluruh tubuh itu juga menjadi merah, seperti bara yang menyala!

(Oo-dwkz-oO)

TANAH di halaman sudah bersih dari darah yang mengalir. Mayat-mayat sudah diangkut dengan gerobak. Para anggota pasukan pengawal raja itu masih dihormati karena menjalankan tugas negara, dan karena itu mayatnya tidak ditumpuk-tumpuk. Asal sudah penuh oleh mayat tiga atau empat mayat berdampingan, segeralah gerobak dibawa pergi. Gerobak ini tidak dihela oleh sapi, melainkan budak-budak yang mengendalikan di depan maupun mendorong dari belakang. Mayat kepala pasukan itu paling sulit diangkut karena sudah menjadi kaku seperti patung. Tubuhnya yang tadi menyala kini hanya hitam seperti batu, tetapi yang sebetulnya sangatlah rapuh seperti arang.

Warga setempat yang mau membantu dilarang. Bahkan tadi tempat pertempuran dan mayat-mayat tergeletak dijaga, supaya segala petunjuk yang mengarah kepada Pendekar Tanpa Nama tidak terhapus. T idak seorangpun dapat melihat gerak bayangan yang berkelebat itu. Memang benar warga yang saat pengepungan masih berada di pondoknya masing- masing mengerti duduk perkaranya, bahwa pasukan pengawal raja telah keliru menyangka Rangga Tua sebagai Pendekar Tanpa Nama. Namun tidak seorangpun sebenarnya mengetahui, bahwa bayangan berkelebat yang telah menewaskan lima puluh pasukan pengawal raja, masih ditambah dengan kepala pasukannya, bukanlah Pendekar Tanpa Nama.

Bayangan itu berkelebat begitu cepat seperti kilat. Segenap peristiwa yang kuceritakan tadi dalam arti sebenarnyalah hanya berlangsung sekejap mata. Orang awam yang menganggap dunia persilatan hanya dongeng, tidak mungkin dapat melihat gerak dengan kecepatan seperti itu, apalagi mengetahuinya sebagai Jurus Naga Api, meski barangkali bisa saja membayangkannya. Bukankah orang awam juga kiranya yang suka menceritakan kembali dunia persilatan ini begitu rupa, sehingga lebih m irip dongeng tidak masuk akal yang bisa dipercaya? Betapapun memang tidak seorangpun yang mengetahui makna peristiwa ini, kecuali, ya kecuali seseorang cukup waspada dengan kenyataan bahwa semula yang disangka Pendekar Tanpa Nama adalah Rangga Tua.

TELAH kusebutkan kemungkinan terputusnya mata rantai pesan, sehingga yang seharusnya mengepung pondokku, beralih menjadi kepungan atas pondok Rangga Tua, yang sampai sekarang belum juga menyadari betapa dirinya nyaris menjadi korban. Namun aku memikirkan kemungkinan lain lagi sekarang, karena pasukan pengawal raja kukira tidaklah mungkin tertipu begitu saja. Dengan dukungan pengawal rahasia istana, semestinya sekali mereka menyelidiki, tiada alasan untuk tidak sampai ke arah yang tepat; tetapi bukan saja mereka belum berhasil, bahkan segenap mata-matanya juga sudah ditewaskan.

Memang dari ketiga orang berkuda hitam yang tewas waktu itu, belum dapat dipastikan apakah mereka bekerja demi kepentingan pengawal rahasia istana, karena jaringan rahasia Cakrawarti yang merasuk ke segala lapisan, kupertimbangkan telah menyelundupkan sejumlah anggota Kalapasa sebagai pengawal rahasia istana. Namun jika pertimbanganku keliru, tetap saja jalan yang menunjukkan keberadaanku masuk akal kukatakan sudah tertutup. Sebab jika tidak, tentu sudah terlalu banyak tantangan maupun serangan gelap yang harus kulayani.

Hanya satu orang yang kukira berusaha keras mengetahui keberadaanku maupun siapa diriku. Ia sudah berada di arah yang tepat, seperti diceritakan Nawa, bahwa ia te lah bertanya- tanya adakah di kampung ini seorang pendekar yang disebut Pendekar Tanpa Nama, tetapi aku tidak pernah menunjukkan tanda-tanda yang membenarkannya. Bahkan juga setelah diketahuinya betapa aku telah menulis dan menyimpan keropak lontar yang cukup banyak di pondokku. Ia memilih untuk mengamatiku dari kejauhan, siang dan malam, seperti pernah kukatakan, dan bukannya diriku tiada mengetahuinya.

Aku berpikir, mungkinkah kini dirinya ingin menarik perhatianku? Dialah satu-satunya manusia yang mengetahui diriku berada di sini. Sangatlah mungkin baginya untuk menyampaikan pesan terpercaya, yang dengan dungu akan diikuti pula, karena memang bukan pengawal rahas ia istana yang dipancingnya!

Namun jika perhitunganku ini tidak terlalu keliru, tidakkah berarti ia sebetulnya kejam sekali? Karena para anggota pasukan pengawal raja itu telah dijebaknya dalam jerat tipu daya, dengan kesadaran penuh bahwa mereka semua akan dibunuhnya sendiri!

Aku menghela napas panjang. Apakah yang diinginkannya dariku?

Di halaman masih terdengar teriakan riuh rendah para budak.

"Awas! Awas! Jangan lewat tempat berbatu itu!"

Namun agaknya budak yang menghela di depan sudah telanjur berjalan di atas batu. Ini gerobak yang membawa kepala pasukan membatu, tetapi yang sebetulnya rapuh seperti arang itu. Bagaikan patung yang berdiri di atas gerobak, mengacungkan cambuk yang tampak begitu siap untuk melecut.

"Awaaaass!!" Gerobak itu melonjak, mayat kepala pasukan yang kaku beku itu terpental.

"Aaaaahhhh!"

Orang banyak berteriak melihatnya, karena tubuh yang mematung serapuh arang ini jatuh berdebum di atas tanah dalam keadaan terpisah-pisah. Tangannya yang memegang cambuk lepas, kepalanya menggelinding, dan tubuhnya pun patah terbagi antara pinggang ke atas dan pinggang ke bawah.

Aku masih berada di dalam bilik. Menyadari sepenuhnya betapa setiap orang yang mengenalku di sini mengetahui aku tidak mempunyai nama. Namun kurasa dunia persilatan masih terlalu berjarak dari dunia orang awam, sehingga tidak mungkinlah siapapun di sini akan menghubungkan diriku dengan Pendekar Tanpa Nama yang nyawanya dihargai

10.000 inmas tersebut.

Betapapun aku merasa masih aman untuk menulis terus di sini. Ya, menuliskan segala sesuatunya seperti bersilat, tentu bersilat seperti berpikir, dan berpikir seperti menulis!

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar