Nagabumi Eps 172: Tubuh yang Diciptakan Jiwa

Eps 172: Tubuh yang Diciptakan Jiwa

Desah napasnya yang berat, sungguh terasa berat bagiku bagaikan terdapat beban seberat gunung. Aku terkesiap. Kukira beginilah caranya seseorang menjadi gila, atau lebih tepat terkacaukan daya pertimbangannya dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, karena beban yang berat itu bukan suatu khayalan, memang beban batin yang terpindahkan oleh desah napas yang amat sangat berat. Lantas kudengar apa yang dimaksudkan dengan kata-kata tidak membentuk makna seperti penceracauan itu. Meskipun perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Negeri Atap Langit yang kuketahui sangat terbatas, aku mencoba menyimaknya juga.

''Kita...jiwa.....dari...cipta....adalah...kita...tubuh ''

''Jiwa...dari...cipta...adalah...kita...tubuh...kita. ''

''Dari...cipta...adalah...kita...tubuh...kita...jiwa. ''

''Cipta...adalah...kita...tubuh...kita... jiwa...dari ''

''Adalah...kita...tubuh...kita...jiwa...dari...cipta. ''

''Kita...tubuh...kita...jiwa...dari...cipta...adalah. ''

''Tubuh...kita...jiwa...dari...cipta...adalah...kita. ''

''Kita...jiwa...dari...cipta...adalah...kita...tubuh ''

Ternyata dengan menyimaknya aku tahu betapa sebetulnya terdapat suatu keteraturan dalam kata-kata yang lebih terdengar seperti gumam orang tidur itu. Adapun kata-kata itu sebenarnya adalah urutan yang se lalu berulang dari kita jiwa dari c ipta adalah kita tubuh.

Ia yang telah menghilang dari peradaban selama dua puluh tahun ini sedang menyampaikan sesuatu! Selama ini barangkali ia memang selalu menyampaikan sesuatu tetapi tiada seorang pun memahaminya. Apakah aku akan bisa memahaminya? Kita jiwa dari cipta adalah kita tubuh adalah kata-kata yang urutannya tidak dapat membentuk kalimat yang bisa kumengerti.

Apakah maksudnya?

Ia masih terus meneracau. Kudaku mendengus, tetapi tidak melangkah maju. Ia berhenti sejenak mendengar dengusan itu. Mengetahui kuda itu diam, ia meneracau lagi dengan lambat sekali.

Bagiku ini sangat menegangkan, dalam keterpejamanku cahaya redup di sekujur tubuhnya tampak berubah warna menjadi biru, seperti siapa pun lawan yang siap menyerang. Aku merasa, ia tidak menginginkan diriku pergi, dan jika kubiarkan kudaku beranjak ia tidak akan berhenti menempurku sampai aku mati. Namun bahkan kuda Uighur ini pun tahu apa artinya cahaya biru yang meliputi tubuhnya itu. Aku baru dapat melihat cahaya itu dalam keterpejaman ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, tetapi kuda tidak memerlukan ilmu apa pun, karena pelatihan suku Uighur telah mengembangkan segenap daya yang akan membuatnya menjadi kuda unggul.

Kuselusuri ruang yang tidak akan terlihat jika mataku terbuka. Jika ia menyerang, kecuali kugunakan Jurus Tanpa Bentuk, aku belum tahu bagaimana caranya bertarung di tempat seperti ini. Padahal sebagai pendekar, tidak mungkin belum dilatihnya suatu penemuan jurus baru selama bermukim di tempat ini.

Ia tidak gila dalam pengertian tiada dapat mengenali dirinya lagi. Kurasa ia masih terus bertahan justru karena memiliki tujuan, dan karena itu sangat memahami apa yang dikehendakinya; tetapi kehendaknya itulah yang sepenuhnya berada di dunianya sendiri, sehingga tidak mungkin dimengerti.

Jika ia memang menyampaikan sesuatu, aku harus memahaminya berdasarkan caranya berpikir.

kita jiwa dari c ipta adalah kita tubuh

KATA-KATA itu tidak membentuk kalimat, tetapi karena telah terus diulang, kucoba membacanya dengan cara lain.

tubuh kita adalah cipta dari jiwa kita

Tentu lebih jelas maksudnya setelah kuluruskan sedikit: tubuh kita adalah ciptaan jiwa kita Aku pun mengucapkannya dalam bahasa Negeri Atap Langit.

''Tubuh kita adalah ciptaan jiwa kita...''

Kudengar suara tertawa yang aneh, seperti datang dari dunia orang mati. Namun kurasakan bahwa ini bukan suara tawa dengan maksud menertawakan, atau mengejek, apalagi menghina, melainkan suara tertawa bahagia yang membuatku merasa aman. Suara tertawa itu merayap berpantul-pantulan dalam udara celah, mungkinkah itu yang membuatnya bagaikan berasal dari dunia orang mati?

Aku masih memejamkan mata, melihatnya masih diam, tetapi kemudian terlihat tubuhnya melepaskan diri dari dinding, tidak untuk jatuh, me lainkan untuk membubung ke atas dengan tubuh lurus, kaki merapat dan tangan merapat di samping tubuh. Nyaris tanpa gerakan ia dapat membubung ke atas. Tentulah ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat amat tinggi. Ia bagaikan manusia yang bisa terbang, meski manusia tentu saja tidak terbang. Namun bahkan udara saja sebetulnya tidak tersedia dalam jum lah yang cukup untuk dijejaknya di celah yang amat sangat sempit ini. Kukira udara tipis itu pun berpeluang besar menjadikan siapapun tidak bisa memisahkan bayangan dalam kepala dan penglihatan mata, yang membuat mereka terguncang daya pertimbangannya, untuk kemudian disebut gila.

Ia membubung, membubung, dan membubung tinggi sekali, sampai hanya menjadi noktah cahaya redup dalam keterpejamanku, untuk kemudian menghilang sama sekali. Apakah aku harus mengejarnya? Namun aku tidak mempunyai kepentingan apapun dengan pendekar sakti yang malang itu. Lagipula aku harus mengejar Harimau Perang secepatnya. Bagaimanakah caranya membubung tinggi tanpa menjejak udara seperti itu? Ia telah mendapat daya luncur yang cukup hanya dengan mengembuskan napasnya, itu pun hanya sekali, untuk selanjutnya ia bernapas melalui pori-pori sahaja seperti yang dilakukan murid-murid seni ki kung, karena kulihat cahaya keabu-abuan dilepaskan tubuhnya.

Bagaimanakah caranya ia hidup di sini? Hanya dengan udara melalui pernapasan pori-pori? Namun pertanyaanku bukanlah bagaimana ia bisa tetap hidup, melainkan apakah kiranya yang berada dalam kepalanya, sehingga ia masih ingin tetap hidup. Jika pikirannya diluruskan, apakah kiranya tujuan hidupnya?

Dari apa yang bisa kutangkap dari ceracauannya, ia ingin dimengerti bahwa keberadaannya seperti sekarang mempunyai suatu sebab. Keberadaan yang mana? Bahwa rambutnya gimbal dan seluruh tubuhnya diliputi tanah? Bahwa ia berlaku seperti hantu yang membuat orang-orang lewat ketakutan dan menjadi gila? Ataukah betapa ia masih berada di sini setelah lebih dari dua puluh tahun dan itu juga mempunyai tujuannya sendiri?

IA tidak menyerangku meski kedudukanku lemah sekali. Jika kami bertarung, ia memiliki kelebihan atas penguasaan ruang, hasil pengenalannya selama dua puluh tahun. Ia pergi meninggalkan diriku sendiri lagi di ce lah sempit ini, karena aku dianggapnya mengerti, bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengannya mempunyai sebab dalam pengalamannya, dalam riwayat hidupnya, dalam jiwanya. Tubuh kita adalah ciptaan jiwa kita. Namun aku menganggap bukan pesan itu yang ingin disampaikannya, melainkan bahwa melalui pesan itu ia menyampaikan betapa terdapat alasan atas keberadaannya.

Apakah alasannya itu? Bagiku hanya satu, yakni bahwa kekasihnya yang hilang itu belum ketemu. Bahwa ia t idak mencari dan hanya menunggu, kukira itulah bagian dari keterguncangan jiwanya, tetapi bahwa tujuan hidupnya jelas dan pasti, yakni menunggu kekasihnya di tempat ia menghilang, membuat ia dapat bertahan hidup lama sekali. Tujuan adalah api dalam kegelapan hidup setelah kehilangan kekasihnya.

Bukankah aku juga telah berpikir betapa hilangnya sang kekasih merupakan lubang dalam bangunan dongeng yang kukuh itu, karena tidak jelas ia menjadi gila, menjadi mayat, atau pergi entah ke mana? Lubang dalam cerita adalah sisa yang bisa berkembang menjadi cerita baru.

Apakah yang telah terjadi dengan gadis calon pengantin itu dua puluh tahun lalu? Pembuat baju yang menurut Iblis Suci Peremuk Tulang juga sudah meninggal, bahkan melihatnya sendiri memasuki celah kembali untuk pulang ke permukimannya. Jika ia menjadi gila atau mati, penduduk yang mencari pasti akan menemukannya, karena hanya para pengembara dan perantau lata saja, yang akan mati tanpa ada yang mencari, dan tetap tinggal di dalam celah sampai menjadi kerangka. Adapun mereka yang menjadi gila, akan berkeliaran sebentar sebelum akhirnya termenung-menung, lantas menjatuhkan diri ke dalam jurang. Mereka yang tidak menjatuhkan diri ke dalam jurang, sebagai orang asing yang tidak mengenal jalan, dalam keguncangannya pun akan terpeleset masuk jurang.

Maka jika gadis calon pengantin itu tidak pernah ditemukan sebagai mayat atau orang gila, masih terdapat ruang kosong bagi kepast ian, bahwa meskipun hilang, ia tidaklah menjadi gila atau mengalami kematian.

Selama dua puluh tahun ini, ke manakah kiranya dia pergi? Dalam keterguncangan jiwa, kekasihnya hanya bisa menanti, dari tahun ke tahun, sampai duapuluh tahun. Benarkah dia gila? Aku hanya berpikir, betapa cinta memang menuntut pengorbanan. Setelah mendengar kekasihnya menghilang, ia masuk menyusulnya meski orang sekampung sudah berusaha menghalanginya.

Benarkah ia menjadi korban kegamangan seperti s iapa pun yang berada di dalam celah sempit, gelap, dan tinggi menjulang? Jadi teringat ujaran Mengzi:

akhir termegah dari pembelajaran tiada lain selain

mencari jiwa yang hilang

Kudaku melangkah maju, aku membuka mata dan mendongak ke atas. Kulihat ia berada di antara dua celah di puncak sana, dan dengan ringan menghilang. Mendadak kusadari betapa celah yang amat sempit ini tidak lagi gelap, karena dari balik awan yang berpendar muncul rembulan, bagaikan terjepit dinding-dinding celah, seolah akan jatuh ke bawah setiap saat jika celah itu merekah.

Dinding-dinding langsung memantulkan cahaya lembut keperakan, sehingga segala gurat di dinding batu itu dapat terlihat. Aku meraba dinding, dan setelah mengarungi celah sejauh ini, kuketahui bahwa dinding-dinding batu di daerah ini tidak lagi sekeras berlian.

Begitulah kudaku melangkah pelahan karena celah yang memang masih sempit dan menjulang. Dalam cahaya rembulan, celah sempit ini tidak terlalu menyebabkan sesak napas lagi, yang agaknya telah ikut mendorong kepanikan orang-orang yang menjadi terguncang jiwanya dan tidak pernah kembali seperti semula.

Aku menghela napas sekali lagi. Meskipun tidak berlangsung pertarungan, ketegangannya melelahkan diriku. Sepintas kubayangkan pertarungan jika ia menyerang. Ilmu silat macam apakah yang telah ditekuninya, dengan cara berpikirnya yang tentu berbeda, bahkan dibentuk oleh jiwanya yang terguncang karena kehilangan calon isterinya? Ia tidak mati dalam dua puluh tahun di celah sempit ini, hanya mungkin dilakukan manusia dengan jiwa yang sangat membara di dalam dirinya. Ruang dan waktu hilang dalam pemusatan perhatian. Aku merasa Jurus Tanpa Bentuk yang masih terus kuolah dan kupikirkan ulang belum mendapat lawan, tetapi betapapun aku merasa penasaran.

PEMANDANGAN menjadi sangat lain dari biasa karena rembulan seolah-olah menggantung dalam jepitan bibir-bibir celah itu. Memandang ke atas seluruh dinding raksasa pada kedua sisi ini tampak putih kebiru-biruan, sementara langit yang hanya tampak selebar pedang lurus panjang karena sempitnya celah, berwarna biru tua bagaikan bulan memang jatuh di bumi sehingga langit malam terlalu jauh untuk disinarinya. Memandang ke depan, lorong panjang yang semula tidak terlihat karena gelap, kini menjadi jelas begitu memanjang bagai tiada habisnya, dengan cahaya putih lembut sepanjang dinding, tetapi yang tidak terlalu kebiru-biruan. Namun dari titik man apun di depanku, jika aku menatap ke atas, seluruh dinding ce lah kembali kebiru-biruan.

Adapun lantai lorong berbatu yang juga sempit lurus dan panjang, justru tanpa cahaya putih dan hanya kebiru-biruan. Aku bagaikan berada di dunia lain. Sedangkan ketika aku ingin tahu keadaan di belakang, pemandangannya hampir sama dengan pemandangan di depan, yakni lorong sempit lurus panjang, yang juga bercahaya putih lembut dinding- dindingnya, tanpa cahaya kebiru-biruan. Terasa bagaikan terjebak dalam dunia serba sempit, yang justru sulit dibayangkan dalam pekatnya kegelapan. Aku mendapat kesempatan lebih baik untuk membayangkan dunia calon pengantin ma lang yang hidup di sini se lama duapuluh tahun itu.

Masihkah yang sempit terasa sempit, yang gelap terasa gelap, yang kebiru-bi-ruan terpandang kebiru-biruan? Masih- kah celah menjadi celah, lorong menjadi lorong, dan dinding menjadi dinding?

Kudaku masih melangkah. Ketika aku meraba dinding lagi dalam kesempitan luar biasa sehingga aku harus turun dari kuda, terpegang lagi olehku beberapa helai rambut Harimau Perang.

Tentu bulan belum berada di atas celah itu ketika ia melewati tempat ini, sehingga capingnya yang lebar tepiannya menyentuh kedua sisi dinding, dan karena itu harus dibukanya.

Kulihat banyak sekali tulang-tulang sisa kerangka yang sudah remuk terinjak-injak. Tengkorak yang tidak utuh lagi berserakan di mana-mana, dengan mulut seolah-olah seperti sedang tertawa. Dari jejak yang masih dapat dilacak, kuduga bahkan kepalanya terantuk dinding, karena masih berada di atas kuda ketika seharusnya turun karena celah menyempit begitu rupa hanya selebar tubuh kuda. Saat itulah beberapa helai rambut panjangnya tertinggal pada permukaan dinding yang kasar.

Kupegang sebentar helai-helai rambut itu, bahkan tanpa kusadari telah kuangkat ke hidungku dan menciumnya, dan baunya ternyata harum sekali. Ha-rimau Perang itu ternyata seorang peso-lek. Bahkan di tengah alam yang hanya cuacanya saja bisa membunuh, dalam perjalanan yang berat dan melelahkan, rambutnya masih meruapkan dunia kecantikan. Apakah Harimau Perang seorang perempuan? Telah kudengar bagaimana ia bergumam dan berbicara setelah membantai kedua belas penga-walnya sendiri, dan aku tidak mendapatkan kesan bahwa ia seorang perempuan.

(Oo-dwkz-oO)

KULEPASKAN rambut itu, karena kemudian perhatianku tertarik kepada guratan yang terdapat pada dinding batu. Dengan segera aku mengira guratan tersebut merupakan gambar jurus-jurus silat. Dunia persilatan penuh dengan cerita tentang para pendekar yang jatuh ke jurang tetapi tidak mati, dan dalam keadaan luka parah merayap ke sebuah gua, untuk menemukan kitab ilmu silat, yang setelah dipelajarinya membuat ia menjadi pendekar mahahebat. Aku pun bukan tidak ingin menjadi bagian dari cerita semacam itu, dan harapanku membuat aku mengira segala guratan itu adalah jurus ilmu s ilat.

Kuhentikan kudaku di sini, karena jika tidak tentu ia berjalan terus. Namun dengan berjalan terus berarti kuda Uighur ini tidak merasakan adanya bahaya. Tidak mungkin bagi kuda itu untuk memaklumi pula kebutuhanku, bahwa barangkali saja guratan pada dinding batu itu adalah jurus- jurus ilmu s ilat.

Lorong ini masih saja amat sangat sempit, meski tidaklah begitu sempitnya sehingga harus turun dari kuda. Agak sulit menduga apakah guratan itu gambar atau huruf, karena meskipun aku sudah turun dari kuda dan menempelkan tubuhku pada tembok, letak guratan-guratan itu begitu tingginya sehingga tidak dapat ditatap sesuai dengan bentuk seperti yang dimaksudnya.

Namun adalah penting bagiku bahwa guratan-guratan pada dinding batu itu dibuat manusia. Sepintas lalu seperti coretan saja, tetapi siapakah dia orangnya yang dengan tingkat kesulitan begitu tinggi bersusah payah hanya ingin membuat coretan sahaja? Bagaimanakah caranya seseorang membuat guratan-guratan itu? Di bagian ini, meski celah tetap sempit, belumlah memungkinkan seseorang untuk dapat menempelkan punggungnya di dinding bagian atas dengan kaki lurus ke depan, menekan dinding di depannya agar tidak jatuh; tetapi juga tidak cukup luas sehingga apapun yang diguratkannya dapat terpandang dari suatu jarak.

BARANGKALI coretan macam apa pun dapat dilakukan sambil bergantung pada sebuah tali, tetapi dengan alasan apakah seseorang sengaja datang dengan segala peralatan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dapat disaksikan?

Saat memandang ke atas sambil menduga-duga itu aku merasa cahaya perlahan-lahan menjadi semakin suram. Tentu saja rembulan yang seperti terjepit bibir-bibir celah itu tidak akan bertahan di sana selamanya!

Aku pun melesat ke atas agar sempat melihat guratan- guratan itu seutuhnya. Aku bertahan selama mungkin di udara agar dapat mengamati guratan tersebut, dan jika kemudian tubuhku harus kembali turun ke bum i, itu pun sebisa mungkin amat sangat pelahan.

Kuperhatikan guratan itu ternyata sudah sangat tua, karena lumut di atasnya membuat warna guratan sama saja dengan warna permukaan batu. Aku beruntung telah melihatnya dalam cahaya rembulan, sehingga arah pantulannya yang berbeda karena permukaan yang dibentuk guratan, membuat guratan-guratan itu bagiku jelas terlihat. Jika tidak tentu aku pun hanya akan melewatinya saja. Lebih beruntung karena juga dapat kuketahui, betapa tidak sembarang cahaya akan membuat guratan-guratan itu tampak dari kedudukanku tadi.

Sepintas lalu guratan-guratan itu memang tidak ada artinya, karena dalam penatapan sepintas lalu memang tidak membentuk huruf maupun gambar orang bersilat yang kuharapkan itu. Namun setelah turun naik beberapa kali, karena guratan itu se lain terdapat dari atas ke bawah, juga menyamping dan mendatar sehingga memenuhi dinding, aku berpikir benarkah ini semua hanya coretan, dan bukannya huruf yang tidak kukenal?

Betapapun aku menduga, tentunya ada sesuatu yang dianggap perlu untuk diungkapkan segala guratan yang tampaknya sembarang dan asal dicorat-coretkan itu. Ketika kuraba, kuketahui bahwa guratan itu tidak mungkin dipahat dalam waktu yang lama, melainkan sekali gores oleh benda tajam yang kuduga merupakan pedang mestika. Memang hanya pedang mestika tentunya, yang dapat membuat dinding batu seolah-olah begitu lunaknya seperti tofu. Mengingat panjang, lebar, dan luasnya dinding tempat terdapatnya guratan-guratan itu, dapat kubayangkan bagaimana seseorang telah melenting ke atas dan ketika turun segera memainkan pedang mestikanya sehingga terbentuk guratan dari atas ke bawah. Begitulah ia lakukan seterusnya, sampai dinding ini penuh dengan guratan.

Adapun mengingat pori-pori yang terbentuk pada permukaan guratan, peristiwa itu sudah berlangsung jauh, jauh pada masa lalu. Jauh sebelum wilayah ini menjadi permukiman tersembunyi para pemberontak, dari masa pemerintahan wangsa yang satu ke wangsa yang lain; jauh sebelum para penyamun yang berasal dari penjahat kambuhan malang melintang di sepanjang lautan kelabu gunung batu; jauh, jauh sebelum semakin sering orang melewati Celah Dinding Berlian dan tidak sedikit di antaranya menjadi gila. Berarti bukan ia yang desah napasnya begitu sarat dengan duka sehingga menjelma benda padat menggelinding sepanjang lorong dengan suara berdentang- dentang itulah yang telah membuatnya

Ketika cahaya makin suram, aku merasa sedih, karena tahu tidak akan pernah bisa mengamati lagi guratan-guratan itu.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar