Nagabumi Eps 167: Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur

Eps 167: Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur

Dengan Jurus Impian Kupu-kupu yang mendasarkan dirinya kepada pengolahan filsafat Zhuangzi yang paling dikenal: Apakah aku Zhuangzi yang bermimpi menjadi kupu-kupu, ataukah aku kupu-kupu yang bermimpi menjadi Zhuangz i? Para murid Perguruan Kupu-kupu tanpa membuang waktu langsung menyerang tanpa tantangan dan peringatan.

Namun jika perguruan ini memilih untuk datang menyerangku, dan tidak menunggu diriku meninggalkan Celah Dinding Berlian untuk me lewati wilayah mereka, tentulah terdapat sesuatu yang mereka andalkan, lebih daripada yang diandalkan murid uta-ma mereka, yakni Pendekar Kupu-kupu.

Begitulah mereka berkelebatan dengan kecepatan cahaya, yang membuatku hanya bisa mengatasinya dengan Jurus Tanpa Bentuk, yang sebenarnyalah hanya bisa kugunakan jika sekali lagi memecahkan persoalan filsafatnya. Padahal jelas dengan kedudukan penyerangan seribu orang yang datang berselancar melalui titian-titian cahaya, dengan lebih dari satu jenis senjata, dasar filsafat mereka, meski masih mengacu kepada Zhuangzi, pastilah telah berkembang pula. Jurus Impian Kupu-kupu dalam permainan satu orang tentu berbeda dibanding penerapannya dalam serbuan seribu orang di atas langit Celah Dinding Berlian yang berkilauan.

Namun kecepatan cahaya rupanya bisa mengimbangi bahkan melebihi kecepatan pikiran. Maka jangankan memecahkan persoalan filsafat, karena bahkan mengingat kembali ujaran-ujaran Zhuangzi pun adalah persoalan bagiku. Bukan sekadar karena bahasa Negeri Atap Langit yang kukuasai sangat terbatas, tetapi terdapat kekaburan antara ujaran-ujaran Zhuangzi sendiri maupun ujaran-ujaran orang lain tentang Zhuangzi dalam Kitab Zhuangzi. Perguruan ini bisa menggunakan hanya ujaran Zhuangzi, tetapi bisa juga mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan Zhuang-z i. Dalam Kitab Zhuangzi juga dikatakan:

terdapat batas bagi kehidupan kita, tetapi tiada batas bagi pengetahuan. dengan apa yang terbatas

untuk dikejar,

setelah apa yang takterbatas adalah sesuatu yang berbahaya; dan setelah mengetahuinya,

kita masih berusaha mengembangkan pengetahuan kita, bahaya itu tidak dapat dihindari. jangan melakukan yang baik dengan pikiran menjadi terkenal, atau yang jahat

dengan perkiraan demi hukuman: berhubungan dengan Pusat Semesta adalah cara yang wajar

untuk menjaga tubuh, memelihara kehidupan, merawat harapan orangtua,

dan melengkapi jatah kehidupan kita

Ini berarti aku tidak bisa sekadar memegang pendekatanku terhadap Jurus Impian Kupu-kupu seperti yang diperlihatkan Pendekar Kupu-kupu, meskipun tahu betapa filsafat keraguan merupakan pemikiran yang tidak akan ditinggalkan: Manusia atau kupu-kupu? Cahaya atau bayangan? Namun aku tidak bisa berpikir terlalu lama. Menghadapi seribu sosok yang berkelebat menyerang dari segala jurusan, dalam keadaan tanpa busana di udara terbuka karena masih memberlangsungkan O lahgerak Kera ketika mendadak diserang, secara naluriah kutekuk kedua kaki sampai kedua paha menempel dada, dan kupeluk kedua lututku dengan kedua lengan, rapat erat bagai mulut yang terbungkam, sehingga diriku bagaikan bongkahan batu yang melayang- layang. Lantas sementara melayang-layang kian kemari menghindari sambaran senjata berkelebatan, kuputar-putar diriku dengan begitu cepatnya, yang membuat setiap usaha menatapku dengan tegas akan mengalami kegagalan.

Itulah Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur yang baru kali pertama kugunakan. Meskipun langit penuh tarian maut dari cahaya berkelebatan, dan segalanya tiada dapat diikuti mata orang awam, bagiku semuanya tetap jelas karena kecepatan kutingkatkan berdasarkan pemahaman. Sebenarnyalah jika bergerak dalam kecepatan cahaya tubuh manusia akan hancur lebur berantakan, karena itulah ilm u silat menerjemahkan dirinya dalam kesusastraan, agar pengertian dapat disampaikan dalam pembahasaan. Demikianlah kelebat dalam kecepatan cahaya para murid Perguruan Kupu-kupu yang penuh hawa pembunuhan bagaikan keindahan gerak kupu- kupu bagiku, itu pun yang geraknya dilambatkan. Menjadi jelas sekarang, betapa mereka manfaatkan suatu jurus tipuan dalam pembayangan.

Wajahku terbenam di balik lututku, segala senjata memapas, membacok, dan membabat di atas di bawah di samping kiri dan kananku, karena dalam Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur ini segenap daya serangan justru terubahkan menjadi daya penghindaran. Jadi serangan macam apapun, selama terdapat daya dalam kandungannya, hanya membuat diriku yang telah menjadi gumpalan berputar-putar dan melayang-layang dalam penghindaran seribu bacokan dari segala jurusan akan terselamatkan. Dalam kecepatanku, kulihat mereka bergerak dalam tarian lamban. Segera terlihat jurus tipuan yang membuat seribu orang menjadi dua ribu orang. Memang jumlah itu tidak pernah bertambah, tetapi pada saat mendekatiku dari set iap sosok muncul sosok kembaran, yang akan membabat bersamaan, dan jika mengenai sasaran tetap mengakibatkan kematian. Begitulah aku melayang-layang bagai gumpalan batu di langit di antara seribu orang yang berkelebatan. Setiap kali dibacok aku melenting dalam putaran, justru karena terdorong angin serangan. Para murid Perguruan Kupu-kupu telah menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, sehingga mereka bisa mengarahkan tubuhnya ke mana-mana tanpa menjejak apapun lagi, begitu ringan seperti kupu-kupu. Pagi semakin menguning, kabut menipis, pantulan cahaya matahari dari dinding raksasa yang berkilauan seperti berlian itu lambat laun menghadirkan keadaan serba menyilaukan, sehingga pandangan mata tiada lagi bisa diandalkan.

Dalam pengamatan aku bertanya-tanya, setelah pendekar utama mereka terkalahkan oleh Jurus Naga Kembar Tujuh, jurus apalagikah kiranya yang masih akan mereka keluarkan? Jika filsafat Zhuangzi bisa terkembangkan menjadi Kitab Zhuangzi, mengapa pula Jurus Impian Kupu-kupu tidak bisa berkembang menjadi sesuatu yang sangat berbeda? Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur memang sangat kuperlukan untuk menyelamatkan, tetapi apakah kiranya yang bisa kulakukan untuk menyelesaikan pertarungan. Aku merasa curiga karena sampai saat ini serangan mereka dapat kuhindarkan dengan terlalu mudah.

Pengertianku tentang yang mudah ini tentu saja bisa salah, karena dalam salah satu perbincangan Kitab Zhuangzi disebutkan istilah memiliki bukan pengetahuan, sehingga orang yang berani sebetulnya bukan berani, melainkan tidak mengetahui adanya rasa takut. Para pembahasnya memang menunjuk ini sebagai ketidakmampuan membedakan antara yang begitu pintarnya sehingga bersikap segala sesuatu tidak ada bedanya, dengan mereka yang tidak tahu menahu betapa segala sesuatu itu memang berbeda. Namun bukankah dengan begitu bisa saja keadaan ini diciptakan untuk menciptakan kekaburan? SALAH seorang di antara mereka kemudian mendekati, tetapi tidak se-gera menyerangku, dan keadaan se-ma-cam ini justru menyulitkan di-riku, ka-rena dengan perputaran tubuh yang le-bih cepat dari cepat seperti ini, sikap diam takbergerak merupakan lawan yang lebih dari sulit untuk diatas i. Ku-ingat ujaran dalam Kitab Zhuangzi tadi yang lebih sulit lagi untuk dime-ngerti: dengan apa yang terbatas, untuk dikejar, setelah apa yang takterbatas, ada-lah sesuatu yang berbahaya/ dan setelah mengetahui-nya, kita masih berusaha me-ngem- bangkan pengetahuan kita, bahaya itu tidak dapat dihindari.

Bahasa filsafat yang rumit seperti ini membuat aku tidak bisa memecahkan masalah dengan cepat. Jadi mendadak kuluncurkan dulu diriku jatuh seperti batu, yang membuat mereka semua, seribu murid Perguru-an Kupu-kupu itu, terpaksa berkelebat mengejar dengan serabutan. Bahkan ada kalanya saling bertabrakan. Se-mentara aku berputar pelan, masih da-lam Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur, meluncur ke bawah sambil masih memeluk lu-tut-ku, menembus segalanya langsung ke dasar jurang. Aku meluncur dari tempat mega-mega tersangkut di puncak-puncak gunung batu yang menjulang ke langit, jadi tentunya masih lama aku sampai ke dasar jika memang terdapat dasar, tetapi betapapun sebelum tiba di sana, persoalan itu sudah harus kupecahkan, karena aku memang taktahu apakah di dasar jurang itu terdapat sungai deras dan dalam yang menyelamatkan, ataukah batu-batu besar yang keras dan meruncing tajam.

Ujaran itu memberi kesempatan Jurus Impian Kupu-kupu dikembangkan, tetapi tidak melebihi batas tertentu, sementara akan membiarkan diriku mencapai batas-batasku, bah-kan melebihinya, agar diriku berada dal-am keadaan yang tidak bisa kukuasai lagi.

Aku tahu kalimat dari Kitab Zhuang-zi itu dapat ditafsirkan dengan segala cara, tetapi bagiku yang sedang meluncur ke bawah seperti batu ini hanya itulah yang dapat kuingat. Be-ta- pa-pun ujaran itu tidak memberi ke-pas-tian maupun pemecahan apapun, ka--rena aku hanya bisa menghu-bung- kan-nya dengan kemungkinan pe-ngem-bangan Jurus Impian Kupu-kupu, tetapi bukan jurus-jurus yang telah dikembangkan itu sendiri, yang sebetulnya belum digunakan kepadaku.

Aku pun sadar, mungkin aku hanya berpikir terlalu jauh! Mungkin sebetulnya tidak berlangsung pengembangan apapun. Mungkin ini hanya orang-orang marah yang menyerbu serentak, karena murid utama mereka terbunuh dengan tujuh pedang menancap pada tubuhnya, bahkan mereka tidak me-nungguku melewati daerah mereka.

Jika memang demikian, mengapa aku harus membuang waktu seperti ini? Masalahnya, bukankah aku me-mang sebaiknya berhati-hati? Dalam ilmu silat, yang tampak lemah belum tentu lemah, yang tampak kuat belum tentu kuat. Maka apakah yang harus kulakukan?

Di kiri kanan dinding-dinding jurang yang gelap berkelebatan. Aku sudah mencapai tempat cahaya taktembus lagi. Kuangkat kepalaku sedikit dan para pengejarku masih memburu dengan tangan yang memegang senjata terjulur lurus ke depan. Mereka berlomba untuk menembusi tubuhku dalam kesempatan pertama. Tepian jurang semakin rimbun dan aku harus mengambil keputusan, karena tidak merasa harus menunggu sampai tercebur ke sungai untuk menyelesaikan persoalan.

Ujaran Zhuangzu jua merang-sangku untuk menghadapi bahaya meski tiada kejelasan.

manusia yang bekerja di laut tiada mengerut

karena bertemu hiu dan paus itulah keberanian nelayan manusia yang bekerja di bumi tiada jeri

karena bertemu badak dan macan itulah keberanian pemburu hutan jika manusia melihat senjata tajam membabat di depannya

dan melihat kematian sekadar jalan pulang itulah keberanian seorang prajurit

Teringat kata-kata senjata tajam itu pun mataku terbuka. Bukankah aku se lalu penasaran untuk melihat bagaimana senjata yang belum kukenal dima inkan? Betapapun karena terlanjur menempuh jalan sungai telaga, setiap pertarungan harus kuhadapi dengan riang. 

TIDAK semua bisa dipikirkan dan dipecahkan sebelum menghadapinya, kecenderunganku untuk se lalu me-mikirkan segala sesuatu sebelum ber-gerak dalam dunia persilatan tidak se-lalu bisa dijalankan. Adakalanya biar-lah tubuh bergerak dengan sendiri-nya menjawab setiap serangan. Menghin-dar, menangkis, atau membalas serangan, biarlah tubuh menjawabnya langsung tanpa pikiran seperti kehidupan alam. Teringat ujaran dari Kitab Zhuangzi, inikah yang dimaksud berhubungan dengan Pusat Semesta?

Namun aku tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Mendadak kuputar tubuh seribu kali lebih cepat hanya untuk melenting kembali ke atas menyambut para pemburu. Seribu murid Perguru-an Kupu-kupu yang memburuku itu tidak lagi berada dalam kedudukan menge-pung seperti semula yang penuh perhitungan. Setiap orang bagaikan ingin menjadi orang pertama yang menghabisi aku dengan senjata mereka yang bermacam-macam. Maka orang pertama yang terkejut karena aku mendadak berada di hadapannya dengan kece-patan kilat segera kurebut senjatanya, lantas kutotok ja-lan darah di tengkuk-nya, sehingga il-mu meringankan tubuhnya hilang be- gitu saja, dan tubuhnya meluncur se-per-ti karung berisi batu- batu berat ke bawah.

Terdengar gema teriakan panjang dari seseorang yang sadar betapa tubuhnya akan menjadi begitu remuk dan redam. Belum berakhir teriakannya aku sudah menghadapi pemburu ke-dua. Sekilas kulihat senjata yang kurebut, meski baru kali ini kulihat segera kuketahui cara menggunakannya.

Itulah yang dalam bahasa Negeri Atap Langit disebut hudie shuang dao atau pedang kupu-kupu, tampaknya memang dikembangkan secara tersen-diri oleh Perguruan Kupu-kupu. Pe-dang itu sepanjang lengan manusia, merupakan dua pedang dengan satu gagang, dengan pelindung bagi tangan yang memegang. Menilik bentuknya, jelas pedang kupu-kupu ini sangat berguna untuk mengunci dan merebut senjata lawan, setidaknya melepas senjata dari pegangan penyerang. Be-gitu dadao atau kelewang yang dipe-gang dua tangan membabat dari atas bagai mau membelah tubuhku menjadi dua dari kepala sampai ke bawah, se-gera kujaga dengan pedang kupu-ku-pu ini dan dengan sekali putar saja langsung berpindah ke tanganku. Jus-tru dengan tangan kiriku saja kelewang itu membuat bekas tuannya terbelah menjadi dua ketika meluncur ke bawah.

Demikianlah pertarungan ini sebetulnya berlangsung begitu cepat sehingga tidak dapat dilihat mata orang biasa, tetapi bagiku setiap gerakan mereka cukup lamban untuk setiap kali dapat kutangkis senjatanya yang bermacam-macam itu dengan pedang kupu-kupu di tangan kananku yang mengunci, se-hingga sambaran kelewang di tangan kiriku tidak tertahankan lagi. Begitulah setiap kali aku selesai dengan satu orang, aku naik lagi ke atas bagai menjadikan banyak korban tewas sebagai anak tangga pendakian. Namun gerakanku sebetulnya sangat amat cepat menyambut serbuan tiada henti-hentinya dari atas. Dengan kelewang di tangan kiri aku membabat kian kemari seperti mengusir lalat, tetapi dalam setiap sapuan, nyawa dapat dipastikan melayang.

Semakin ke atas cahaya semakin menyilaukan, pantulan dinding berlian raksasa berkeredap-keredap mengecoh pandangan. Tidak kuberi kesempatan siapa pun dari murid- murid Perguruan Kupu-kupu ini untuk memperagakan Jurus Impian Kupu-kupu mereka yang indah tetapi mematikan, apalagi jika mengeluarkam jurus-jurus di luar dugaan. Dari balik cahaya putih berkilau-kilau aku melejit dan me lesat tanpa terlihat, memanfaatkan titik lemah yang terbuka dari setiap serangan pertama. Setelah korban yang kelimaratus, aku tidak lagi menunggu serangan. Ku-buang kedua senjataku dan kurebut senjata lain yang menarik m inatku, yakni liuxing chui atau godam cirit bintang.

Senjata ini adalah seutas tali dengan panjang secukupnya, yang pada kedua ujungnya terdapat bandul besi. Talinya terbuat dari kulit badak yang telah dicelup ramuan pengawet sementara bandul besinya pun meruapkan hawa racun. Sebetulnya aku ingin menjauhi perma inan mengingat daya meru-sak-nya kepada tubuh yang sangat mengerikan, tetapi aku tidak bisa memeriksa terlebih dahulu senjata itu sebelum kurebut. Segalanya berlangsung lebih cepat dari cepat meski bagiku itu berarti lebih lambat dari lambat. Seperti selendang penari, kedua bandul itu berayun di sekitar tubuhku bagaikan memiliki mata sendiri. Menangkis dan menjirat segala senjata yang menyerang, lantas me-nyentaknya lepas dari pegangan, hanya untuk kembali sete lah membuang senjata itu, dengan kebutan mematikan.

Memang dengan aku naik membubung kembali berarti telah kule-paskan Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur, dan ketika tadi sempat kukembalikan Jurus Impian Kupu-Kupu melalui Jurus Bayangan Cer-min, kini dengan menjadikan godam cirit bintang ini se lendang bagi tarian berarti sedang kumainkan Jurus Naga Berjoged di Atas Awan. Namanya saja berjoged, seperti tari pergaulan, tetapi set iap kali selendang mengibas di kiri dan kanan, tidak sekadar satu atau dua nyawa melayang.

KECEPATAN para penyerbu yang sangat tinggi ketika meluncur memburuku ke bawah dengan dua tangan me-me- gang gagang dao, dadao, maupun jian

lurus ke depan agar langsung meng-hunjam itu membuat Jurus Naga Ber-joged di Atas Awan akan mengibaskan selendang dengan kecepatan yang sa-ma. Namun yang disebut mengibas ada-lah mematuk dan meski jurus berjoged mengandaikan selendang, inilah senjata godam cirit bintang dengan bandul besi beracun yang bermata tajam menari-nari di kiri dan kanan. Da-lam sekejap bisa dua puluh sampai em- pat puluh nyawa langsung melayang.

Mereka yang meluncur dari atas ke bawah berebutan menyerbuku itu seperti mengantarkan diri untuk mati. Sekilas sempat kubayangkan betapa dalam kecepatan begitu tinggi seperti ini, seseorang tidak akan sempat me-nya-dari ketika sudah berpindah alam betapa dirinya sudah mati dan meski te-rus meluncur sudah tak bertubuh lagi...

Dalam beberapa kejap aku sudah hampir mencapai kembali ketinggian Celah Dinding Berlian. Para penyerbu yang berjumlah seribu sudah hampir habis hanya karena terlalu bernafsu memburuku tanpa menerapkan Jurus Impian Kupu- Kupu. Begitulah aku berkelebat membubung ke atas sembari mengayunkan kedua bandul besi beracun di kiri dan kanan sementara beratus-ratus murid Perguruan Kupu-kupu berkelebat ke bawah tak terbendung lagi. Seperti Pendekar Kupu-kupu, busana mereka berwarni-warni seperti kupu-kupu, sehingga bagi yang tidak mengikuti kecepatan ilmu persilatan, dari jurang ke langit terbentuk tiang cahaya pelangi warna- warni menjulang sepanjang wilayah pertarungan. Tiang cahaya pelangi yang kadang ternodai cipratan darah dari patukan bandul besi ke kepala lawan dengan kejam. Bukan maksudku tentu untuk bersikap kejam. Namun di dalam dunia persilatan, kematian dalam pertarungan telah menjadi pilihan, meski tiada pilihan bagi bentuk kematian macam apa yang akan menimpa dalam kekalahan. Apakah terkapar memuntahkan darah segar karena pukulan Telapak Darah, apakah kepala terpenggal dalam sambaran jian yang amat tajam, ataukah tertotok jalan darah dan hanya terdiam tanpa menyadari betapa nyawa sudah melayang. Maka tiadalah perlu pula kupersalahkan diriku betapa godam cirit bintang yang kurebut menerbangkan banyak sekali dengan sempurna, yakni betapa patukan langsung ke kepala yang melumpuhkan itu memberikan kematian tanpa penderitaan.

Ketika kemudian langit tampak cerah terbuka dengan kilau pantulan cahaya berkeredapan, murid-murid Perguruan Kupu- Kupu itu tinggal lima orang, dan tampaknya merupakan murid-murid pilihan. Kelima murid yang mungkin tingkat ilmunya hanya sedikit di bawah ilmu Pendekar Kupu-Kupu itu menggunakan lima senjata yang berbeda. Sembari berkelebat melayang-layang menghindari segenap serangan mematikan, kupelajari kelima senjata yang mereka pegang itu.

Murid pertama, sebut saja begitu, menggunakan senjata yang disebut sekop pendeta atau yueyachan, yang sebenarnya berarti sekop gigi bulan. Disebut sekop pendeta karena banyak digunakan para rahib Perguruan Shaolin, perguruan silat paling ternama di Negeri Atap Langit, dan karena itu juga disebut sekop Shaolin. Sekop dalam kehidupan sehari-hari adalah alat untuk menggali tanah, tetapi sekop pendeta ini kegunaannya lebih dari itu. Sekop pendeta adalah suatu galah atau tongkat panjang dengan sekop pipih seperti belati, atau tepatnya belati pipih seperti sekop di satu ujung dan seperti bulan sabit berujung tajam di ujung lain. Di Negeri Atap Langit, sejak lama para bhiksu selalu membawa sekop seperti ini dalam pengembaraannya. Adapun gunanya, selain menggali tanah untuk menguburkan mayat yang terlantar di tepi jalan, agar manusia yang meninggal itu disempurnakan dengan upacara Buddha, juga terutama sebagai senjata beladiri melawan para penyamun. Dari waktu ke waktu akhirnya sekop yang mereka bawa itu terus menerus dise- suaikan bentuknya, sampai kini dikenal sebagai sekop pendeta atau sekop gigi bulan, yang maksudnya tentu taring bulan nan mengancam.

Murid kedua membawa kapak silang atau yang disebut ge. Bentuknya sama sekali tidak seperti kapak, melainkan seperti belati yang bersilangan dengan belati lain tetapi berbentuk sabit. Senjata ini tua sekali usianya, sudah digunakan semenjak masa pemerintahan Wangsa Shang sampai setidaknya pemerintahan Wangsa Han. Pada umumnya adalah Wangsa Qin yang dianggap telah memanfaatkan sebesar- besarnya senjata ini, mengingat pembuatannya secara besar- besaran di masa itu.

SEBAGAI benda upacara akan terbuat dari batu giok, tetapi sebagai senjata terbuat dari perunggu, dan kemudian besi. Hilang-nya senjata ini karena kemendataran kedua be-lati yang berhubungan itu bisa ditambah-kan saja kepada tombak, demi lebih termanfaatkannya lengan yang memegang galah tombak itu. Justru karena ge atau ko ini sudah sa-ngat jarang terlihat lagi, jurus-jurusnya menjadi tidak dikenali dan menjadi berbahaya sekali.

Murid ketiga membawa sheng biao atau anak panah bertali. Adapun anak panah itu lebih berujud mata tombak. Sebuah senjata yang gunanya bermacam-macam dalam ilmu silat di Negeri Atap Langit. Talinya yang panjang itu berujung anak panah atau mata tombak logam, tidak hanya berguna senjata, melainkan untuk berayun, memanjat, mengikat, dan banyak lagi. Tali biasanya dipegang tangan kiri dan tali yang beranak panah dipegang dan dimainkan tangan kanan. Aku pernah menyaksikan seorang bhiksu penjaga keamanan Kuil Pengabdian Sejati memperagakan penggunaan sheng biao ini, dan memang sangat enak dipandang melihat mata anak panah mematuk seperti ular lewat bawah kaki, lewat samping leher, dari jarak jauh secara mendadak.

Murid keempat membawa sepasang lujiao dao atau pisau tanduk rusa yang berbentuk bulan sabit dan dipegang dengan satu tangan pada bagian tengahnya. Ini membuatnya bagaikan pisau bermata empat, dan apabila ia berpasangan pada kedua tangan, mengakibatkan satu gerakan saja bagaikan telah menjadi delapan serangan. Banyaknya mata tajam yang membuatnya disebut pisau tanduk rusa tersebut, sebetulnya lebih ditujukan untuk memerangkap, mematahkan, atau melepaskan senjata la-wan daripada menyerang, sebagai apa yang disebut cara lembut seni beladiri Bau-gazhang, yang dikenal melahirkan berbagai senjata berbeda. Senjata seperti ini terutama digunakan dalam pertarungan jarak dekat, justru untuk lawan bersenjata jarak jauh, yang tidak akan bisa menggunakan panah atau lembing misa lnya dalam jarak dekat.

Murid kelima menggunakan tangan kosong, tetapi kutahu akan sama berbahaya seperti keempat murid Perguruan Kupu- kupu lain yang memegang berbagai macam senjata itu. Menurut Iblis Suci Peremuk Tulang, latihan menggunakan senjata dalam perguruan silat di Negeri Atap Langit, sebetulnya adalah bagian dari pelajaran tentang cara-cara bertarung tanpa senjata. Artinya, senjata dianggap sebagai kelanjutan tangan. Seperti itulah sebenarnya ilmu silat telah diajarkan se lama berabad-abad di Negeri Atap Langit. Segenap gerakan, siasat, dan pendekatan dalam pengembangan ke arah kematangan memainkan senjata, segalanya teracu kepada jurus-jurus tangan kosong, karena setiap jenis senjata menuntut suatu keberdayaan tertentu dari tangan.

Mengingat itu, jika setelah mempelajari segala senjata seseorang kembali mengandalkan tangan kosong, tentulah antara lain telah diatas inya segala jurus bersenjata itu, tentu seperti yang telah dikenalnya. Maka sembari masih terus berkelebat menghindari serangan seribu bayang-bayang yang tampak merupakan pengembangan Jurus Impian Kupu-kupu, kujaga diriku untuk tidak sekadar menganggap murid kelima yang hanya mengandalkan tangan kosong sebagai saIah satu dari lima sumber serangan mematikan. Seribu bayang-bayang timbul tenggelam di antara keredap pantulan cahaya serba berkilau yang membutakan.

Keberadaan murid kelima yang bertangan kosong itu memang bisa sangat mengecoh, karena di antara ancaman maut empat senjata hebat seolah-olah menjadi kurang berbahaya di banding lainnya. Padahal aku tahu justru serangan-serangan tangan kosong itulah yang akan sangat menentukan. Serangan-serangan yang terpadu ini sulit dipisahkan, sementara supaya dapat memusatkan perhatian kepada murid kelima yang bertangan kosong, aku harus melum-puhkan, setidaknya memisahkan paduan ke-empat serangan lainnya. Sedangkan me-misahkan keterpaduan Jurus Impian Kupu-kupu sesungguhnyalah sesulit memisahkan persambungan siang dan malam.

Jurus Impian Kupu-kupu mengandalkan pengandaian bahwa impian dan kenyataan tidak mungkin dipisahkan, yakni betapa kenyataan itu seperti impian dan impian itu seperti kenyataan. Adapun artinya betapa kita tidak akan pernah mengetahui dari seribu bayang-bayang yang terlahirkan dari keterpaduan serangan lima murid Perguruan Kupu-kupu ini, tubuh yang menjadikan bayang-bayang tertentu manakah yang harus dibunuh, sementara serangan tubuh yang semu pun dapat membunuh. Seperti sihir tetapi bukan sihir, dan berbeda dari bayangan semu yang dilahirkan kecepatan tinggi, maka Jurus Impian Kupu-kupu menampilkan ketergandaan memang karena suatu pedoman dalam filsafatnya, bahwa impian adalah bagian yang sah dari kenyataan itu sendiri, tetapi yang tidak dapat dipastikan meski sete lah dapat diuraikan, yang mana kenyataan dan yang mana mimpi, seperti keraguan seorang Zhuangzi.

JADI aku hanya berpegang berdasarkan pedoman itu pula, bahwa ada kenyataan dan ada mimpi, dan adalah kenyataan yang harus kulumpuhkan untuk melenyapkan mimpi itu. Masalahnya, justru keraguan untuk membedakan mana kenyataan mana mimpi itulah yang akan dialam i setiap lawan ketika berhadapan dengan Jurus Impian Kupu-kupu.

Kuingat ujaran Laozi tentang pertarungan dan pertempuran.

senjata, betapapun indahnya, adalah alat-alat penanda iblis, harus disebut sebagai kebencian kepada semua makhluk

senjata-senjata tajam ini bukanlah alat manusia perkasa ia menggunakannya

hanya jika dipaksa kebutuhan ketenangan dan kesabaran adalah senjata sejatinya sementara kemenangan dengan kekuatan senjata adalah usaha menyiksa

mempertimbangkan betapa senjata diinginkan akan menyenangkan

dalam pembantaian manusia; dan siapa menjadi senang dalam pembantaian

tiada akan mendapatkan kehendak sejatinya di dunia

ia yang membunuh banyak manusia mesti menangis bagi mereka

dalam sepahitnya kesedihan Maka kulepaskan liuxing cui atau godam cirit bintang yang kupegang, dan kembali kutekuk kedua ke dada dan kupeluk erat dengan kedua tangan untuk segera berputar dalam Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur. Namun dalam penggunaan yang kedua kalinya, meski aku tetap berputar dan melayang- layang tiadalah sama sekali menghindarkan diri dari serangan, karena dalam lanjutannya kali ini diriku bagaikan diliputi oleh putih telur yang kenyal luar biasa. Senjata apa pun yang membacok, menusuk, atau menjiratku bagaikan menyentuh lapisan mahalicin yang langsung menggelincirkan dengan akibat di luar dugaan.

Jika serangan dalam jurus tertentu ditangkis atau berhasil dihindarkan, biasanya sudah terdapat jurus susulan, tetapi daya lapisan putih telur dalam Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur dengan kemahalicinan tak terlawan ini tidak memungkinkan jurus susulan dilangsungkan, karena keterpelesetan dalam serangan sangat mengacaukan keseimbangan. Pilihan atas kugunakannya jurus ini adalah karena diriku tidak mungkin menyerang dalam ketiadapastian perbedaan antara impian dan kenyataan dalam Jurus Impian Kupu-Kupu yang sungguh menawan. Biarlah mereka menyerangku dan kuambil peluang dalam hilangnya mereka punya keseimbangan.

Demikianlah pemegang senjata yueyachan atau sekop pendeta itu menyerangku dengan sepasang tangan di tengah- tengah galah, sehingga aku tidak akan diserang oleh ujung sekop ataukah ujung bulan sabit, bahkan tidak mustahil justru sepasang kakinya yang terkatup lurus dalam kedudukan terbang melayang dan menyerang itulah akan menyasar diriku. Namun serangan dengan titik tajam sasaran yang mana pun tidaklah harus kuperhatikan, karena telah kusalurkan daya kelicinan dalam arus udara berputar yang dibentuk oleh perputaran tubuhku, bagaikan putih telur yang melindungi kuning telur, tentu dengan tenaga dalam yang mutlak dibutuhkan untuk itu. Maka gerak tipu yang mana pun tiada gunanya karena serangan apa pun menjerumuskan setiap penyerang dalam kelemahan.

SEPERTI terjadi dengan penyerang yang tiba pertama ini, yang ternyata memang tidak menyambarkan salah satu dari kedua ujung senjatanya, melainkan kedua kakinya yang berkelebat terayun dari bawah dengan kedua tangannya berpegang pada galah seperti anak kecil bermain ayunan. Kelicinan lapisan daya putih telur membuat jejakan kedua kakinya melesat terus sehingga membuat ia berputar sendiri. Semua ini berlangsung dengan amat sangat cepat, tentu jauh lebih cepat dari susunan kata-kataku yang menceritakannya, dan karena itu memang diperlukan pembayangan yang agak lebih diperlambat untuk mengikutinya, seperti bahwa dalam waktu nyaris bersamaan ketiga murid berikutnya telah tiba dengan serangannya pula.

Para penyerang berikutnya ini tentu tiada mengira, betapa murid pertama bersenjata sekop pendeta tadi telah berputar sendiri di udara, karena tendangan sepasang kaki terkatupnya menggelincir di tempat diriku seharusnya berada. Begitulah aku seharusnya berada di sana dalam kelemahan terbuka saat menghindari gerak tipu serangan yueyachan itu; terajam oleh hantaman kapak silang yang juga disebut ge atau ko dalam kelebat sambaran penyerang kedua; terjirat tali sheng biao atau anak panah bertali pada leherku sementara mata anak panahnya mematuk kepa-laku, menancap langsung tembus di ke-ningku dalam kelebat bayangan pe-nyerang ketiga; masih ditambah pe-nyerang keempat mendekat dengan pencacahan secepat kilat sepasang lujiao dao atau belati tanduk rusa yang membentuk sekaligus delapan serangan dari satu penyerang keempat.

Serangan mereka cepat seperti kilat. Namun adalah saudara seperguruan mereka sendiri yang berada di tempat diriku seharusnya sudah terajam habis. Dalam sekejap senjata-senjata tajam itu menancap di tubuh penyerang dengan sekop pendeta yang tendangannya menggelincir tersebut, tepat seperti yang dimaksudkan untuk diriku. Aku tidak membuang waktu terlalu lama. Belum sempat ketiga penyerang itu menyadari dan menyesali betapa senjata dan serangan mereka yang dahsyat bukan alang kepalang telah membunuh saudara seperguruan mereka yang malang itu, mereka telah kehilangan nyawa pula di tanganku, karena telah kulepaskan pelukan kedua tangan atas kedua lututku, lantas berkelebat menepuk ubun-ubun ketiga penyerang sasaran tersebut. Begitulah Laozi pun te lah berkata:

mereka yang menyerang dengan titik tajam sendirinya tiada akan selamat berkepanjangan

Namun aku tidak sempat menyaksikan keempat tubuh yang dihubungkan senjata-senjata tertancap dalam tubuh itu melayang ke bawah tanpa daya ditelan kedalaman jurang, karena di antara kilau pantulan cahaya dinding berlian yang berkeredapan telah me lesat serangan tangan kosong yang lebih berbahaya dari senjata manapun di dunia.

Namun aku tidak sempat menyaksikan keempat tubuh yang dihubungkan senjata-senjata tertancap dalam tubuh itu melayang ke bawah tanpa daya ditelan kedalaman jurang, karena di antara kilau pantulan cahaya dinding berlian yang berkeredapan telah me lesat serangan tangan kosong yang lebih berbahaya dari senjata manapun di dunia.

Di antara kilau cahaya yang membutakan ia meluncur dengan dua cakar menyala keperakan. Seperti kupu-kupu ia tidak meluncur lurus seperti cahaya melainkan naik turun dan serong kiri kanan seperti kupu-kupu tetapi dengan kecepatan amat sangat tinggi, begitu rupa sehingga ketika terpandang sebetulnya ia sudah tidak berada di tempatnya. Ini membuat penampakannya berganda-ganda, masih ditambah kemampuan Jurus Impian Kupu-Kupu pada tahap manapun yang bukan karena kecepatan dapat membingungkan lawan oleh keraguan pembedaan antara kenyataan dan impian. Ia melesat dengan Jurus Impian Kupu-Kupu tahap akhir, tetapi kutahu cakarnya terkembang dalam Jurus Cakar Logam Menguak Pelangi. Adapun cahaya pelangi itu terbentuk oleh ekor cahaya yang ditimbulkan busana bak kupu-kupu warna- warni yang melesat sepanjang langit itu. Tanpa perlu dan memang tanpa sempat melihatnya lagi, betapapun aku hanya bisa menyambutnya, tetapi aku tidak ingin menyambutnya seperti tenaga dalam akan beradu dengan tenaga dalam. Memang aku sangat mungkin menyambutnya dengan pukulan Telapak Darah, yang tentu harus kulambari pula dengan Jurus Cakar Naga Menangkap Bola mengingat ia pun telah menggabungkan dua ilmu dalam satu pukulan. Namun Jurus Cakar Naga Menangkap Bola adalah jurus yang menyambut pukulan, sama sekali tidaklah mengadu tenaga, bahkan sebaliknya menyerap daya pukulan lawan.

AKU belum memiliki ilm u ini ketika dahulu berhadapan dengan Pendekar Melati, dan baru mempelajarinya kemudian dalam pengembaraan, sebelum memperdalamnya secara lebih bersungguh di Kuil Pengabdian Sejati, hanya dengan ingatan kepada kitab-kitab yang kutinggalkan kepada Harini di Desa Balingawan. Tidak ada yang dapat kupikirkan selain menyambut pukulannya dengan Jurus Cakar Naga Menangkap Bola itu, yang membuat tubuhku terdorong begitu rupa sehingga aku berputar ke bawah dan muncul di belakang punggungnya. Kudorong punggungnya dengan sentuhan ringan, tetapi lebih dari cukup baginya untuk terjerembab turun memuntahkan darah segar.

Sebelum nyawanya hilang ia masih mengambang seperti ikan pingsan di permukaan kolam, tetapi setelah ilmu meringankan tubuhnya ikut meninggalkan dunia, tubuhnya jatuh seperti karung penuh barang, menyalip muntahan darahnya yang masih melayang.

Habis sudah semuanya seribu penyerang. Apakah Perguruan Kupu-kupu masih akan menuntut balas kepadaku? Jika murid-muridnya bisa bertarung di udara dengan ringan selincah kupu-kupu begitu bagaimanakah pula kesaktian gurunya jika suatu hari akan mencegatku pula untuk balas dendam?

Aku meragukan betapa gurunya berada di tempat ketika seluruh muridnya keluar untuk ramai-ramai membunuhku dengan bernafsu. Guru yang bijak, setelah melihat murid utamanya tewas, akan melarang siapa pun yang tingkat ilmu silatnya lebih rendah maju menantang pembunuhnya, karena dalam dunia persilatan mengantarkan nyawa sebetulnya tidak dianjurkan. Kemungkinan besar ia akan mempelajari lebih dahulu apa yang menjadi penyebab kekalahan, sedangkan jika memutuskan bertarung pun ia akan maju sendiri dengan pesan agar jika kalah maka dendam tidak perlu diteruskan. Aku merasa sedih untuk mahaguru Perguruan Kupu-kupu itu nanti, jika menemukan perguruannya kosong dan murid- muridnya tiada tertinggal satu pun lagi. Membangun perguruan sampai bermurid seribu orang, di tempat terpencil pula, membutuhkan waktu tidak sedikit...

(Oo-dwkz-oO)

AKU mengarahkan tubuhku yang masih seringan bulu ke arah gua di dinding berlian dengan cahayanya yang masih berkeredapan. Di dalam gua kukenakan kembali pakaianku yang semula kubuka karena Olahgerak Kera yang membuat manusia seolah-olah gila itu. Baru terasa betapa lelahnya aku seusai pertarungan melawan seribu murid Perguruan Kupu- kupu di udara yang penuh pengerahan tenaga dalam demi ilmu meringankan tubuh agar tidak jatuh ke bawah.

Kutengok ke arah Harimau Perang mestinya masih berjalan. Kulihat ia masih bersusah payah di atas kudanya dalam pendakian. Aku bersuit memanggil kuda Uighur yang menungguku.

Nun di bawah gua ia muncul sambil meringkik dan mengibaskan ekornya. Aku masih punya waktu beristirahat. Namun sebelum tidur aku ingin menyelesaikan pembacaanku tentang orang-orang kebiri itu...

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar