Eps 155: Jurus Naga Kembar Tujuh
DENGAN diriku menjadi tujuh penyoren pedang yang setiap orangnya bergerak begitu cepat bagaikan terdapat seribu orang bergerak serentak, maka Pendekar Kupu-Kupu itu bagaikan menghadapi lawan ta kkurang dari 7.000 orang, tetapi hanya perlu satu diriku untuk memburunya sementara 6.999 lainnya bertarung melawan kupu-kupu beracun tak terhitung.
Kupusatkan diriku yang satu untuk menghadapi dan melumpuhkan Pendekar Kupu-Kupu yang bukan hanya busananya berwarna-warni seperti kupu-kupu sehingga begitu sulit dilacak dan diikuti, melainkan juga pergerakannya yang sangat ringan dan cepat sekali. Dengan begitu memang tak pernah dapat kulihat sosoknya secara tegas, hanya kelebat sosok warnap-warni seperti sayap kupu-kupu, yang membuatnya begitu baur dan hablur di tengah hamburan selaksa sayap-sayap beracun di sekitarku. Setiap kali pedangku menetak ia menghilang, tetapi setiap kali menghilang itulah pedangnya menetakku. Tetak menetak sambar menyambar kejar mengejar tangkis menangkis kini membuat suara benturan logam berdentang-dentang dan bergema dan memantul dari lembah ke lembah dari tebing ke tebing dari jurang ke jurang. Jurus Impian Kupu-Kupu yang tidak pernah memberi kepastian mana sosok sebenarnya mana bayangan memang paling tepat dihadapi dengan Jurus Naga Kembar Tujuh yang membuat sosok sebenarnya dihadapi dengan sosok sebenarnya dan bayangan dihadapi dengan bayangan, termasuk juga ketika tiada pernah dapat dipastikan karena memang dikaburkan mana sosok sebenarnya dan mana bayangan. Ketika Jurus Impian Kupu-Kupu dihadapi dengan Jurus Naga Kembar Tujuh sebenarnya yang berlangsung adalah pertarungan kekaburan me lawan kekaburan dalam wujud bayangan warna-warni melesat-lesat saling menghindar dan saling menyerang dengan bayangan kelabu yang terbungkus cahaya putih tujuh pedang yang berputar seperti baling-baling.
DALAM tabir bayangan kabur yang melesat-lesat tak terlihat maut bagaikan merayap dengan pelahan menuju urat leher tanpa kepastian apakah dapat dihindari. Bagiku maupun baginya maut hanya seujung rambut jaraknya bagaikan tiada yang lebih tipis lagi dalam jarak antara kehidupan dan kematian. Seperti kupu-kupu gerakannya begitu tak terduga dan seperti gerakan sayap kupu-kupu serangan pedangnya yang tak dapat sekadar ditangkis dan dihindari dengan sembarang jurus biasa. Denting benturan pedang terdengar sebagai rentetan ribuan dentang dalam sekejap mata bersamaan dengan semburatnya ribuan pijar cahaya nyaris seketika. Ia dapat menyerang sekaligus ke kiri dan ke kanan bagai ingin membuntungkan tangan, sehingga mesti kumiringkan tubuhku sembari menggerakkan pedang ke atas dalam lingkaran yang jika tidak berhasil dihindarinya tentu tubuhnya akan terbelah menjadi dua bagian. Dalam kekaburan bayangan berlesatan maut mengancam dari segala penjuru.
Diriku yang 6999 telah berhasil mengurangi jum lah kupu- kupu yang senyatanya adalah senjata rahasia dan bukan bayangan sihir palsu. Bahwa senjata rahasia itu berwujud seperti kupu-kupu ataukah merupakan kupu-kupu yang memang sebenarnyalah hidup tiada kutahu, karena Jurus Impian Kupu-Kupu tidak memungkinkan lawan untuk mengetahui. Namun memang seekor demi seekor kupu-kupu beracun itu oleh 6999 bayangan diriku yang adalah diriku dan bukan bayangan sihir palsu karena bergerak amat sangat cepatnya, bahkan lebih cepat dari kilat maupun pikiran, berhasil dilumpuhkan dengan cara membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Selama masih punya sayap berpasangan kupu-kupu itu masih dapat mengepak-ngepak dan melayang- layang terbawa angin sama seperti ketika masih hidup. Jadi memang mesti dibelah dua, karena dengan sebelah sayap tiada lagi yang dapat dilakukan kupu-kupu itu dalam kenyataan maupun dalam impian.
Setiap bayangan dari yang 6999 itu bergerak dengan cepat di antara celah sempit hamburan kupu-kupu beterbangan yang menyerang. Tiada lagi yang dapat dilakukan terhadap segenap kupu-kupu yang indah itu selain pembunuhan dalam pembelahan, karena jika tidak maka segenap pesona keindahan hanya akan memberikan kematian mengerikan. Meski seiring pembelajaranku terhadap filsafat Nagarjuna maka ilmu racun yang terwariskan dari Raja Pembantai dari Selatan dalam diriku menyusut, tetapi pengetahuan tentang racun itu tidak akan pernah hilang, sehingga kuketahui bahwa dalam kerumunan kupu-kupu sebanyak ini adalah pantang bagi siapapun yang tak ingin teracuni untuk bersentuhan. Maka bisa dimaklumi seberapa banyak kecepatan dibutuhkan, agar dapat bergerak lebih cepat dari kepungan kupu-kupu dan memberlangsungkan pemusnahan.
Kemudian Pendekar Kupu-Kupu itu menyerang dengan dua pedang. Luar biasa serangannya karena meski tangannya memegang dua pedang masih berhamburan senjata rahasia jarum-jarum beracun ke arahku, entah bagaimana cara mengambil dan menghamburkannya ke arahku dengan seketika. Namun tentu saja Jurus Naga Kembar Tujuh yang membuatku bagaikan terpecah menjadi tujuh orang dan setiap orangnya dapat bergerak bagaikan terdapat seribu orang bergerak nyaris bersamaan, membuat diriku tidak usah terlalu khawatir dengan serangan seperti ini. Sesosok bayangan, yang tak lain adalah diriku sendiri, merontokkan seluruh jarum beracun itu cukup dengan sisi lebar pedangnya, sementara pedangku sendiri bergerak secepat kilat menggulungnya dengan cahaya keperakan. Meskipun begitu masih juga Pendekar Kupu-Kupu itu mampu melejit ke luar dari gulungan cahaya pedang dan bahkan menyerang. Ditetak ke sini melesat ke sana, disambar di sana menyambar kemari. Suara pedang berbenturan terdengar terus menerus dan meledak- ledak semakin keras karena pengerahan tenaga dalam yang semakin lama tingkatnya semakin tinggi.
Jurus Impian Kupu-Kupu bukan hanya dahsyat tetapi sangat indah. Pendekar Kupu-Kupu me layang-layang dengan ringan bagaikan sedang menari dengan riang betul-betul seperti merasa dirinya seekor kupu.
Apakah aku Zhuangzi yang bermimpi jadi kupu-kupu ataukah aku kupu-kupu yang bermimpi jadi Zhuangzi bagaikan pertanyaan yang terwujudkan dalam segenap gerakan Pendekar Kupu-Kupu, yang seolah berada di mana-mana dalam ruang waktu yang sama seketika padahal satu jua orangnya. Aku merasa sedih harus berpikir untuk memunahkan keindahan yang sepintas lalu begitu rapuh serapuh sayap kupu-kupu, meski kutahu gerakan ringan seperti itu sangatlah amat menipu.
SEMBARI berkelebat menghindari serangan dahsyat sepasang pedang tipis yang arahnya tak pernah bisa diduga, bagaikan baru kusadari hari ini betapa pesona keindahan memang semu dan dapat menjadi berbahaya. Adapun bahaya itu dapat berarti kita lupa keindahan hanyalah sesuatu yang semu, tetapi juga berarti bahaya karena merupakan bagian dari gerak pembunuhan!
Kuingat ketujuh penyoren pedang yang sedang bersujud ketika terbunuh itu. Bersujud dan terbunuh ketika memohon agar diterima sebagai muridku.
Sepasang pedang tipis lagi-lagi ingin membuat kedua tanganku buntung sejak pangkal lengan. Namun kupu-kupu sudah banyak sekali berkurang setelah Jurus Naga Kembar Tujuh seolah menghadapinya dengan 6999 orang yang menggunakan pedangnya seperti penampel lalat. Setiap kali seekor kupu-kupu terpental dan menggelepar di udara karena tampelan, saat itu pula tubuhnya terbelah jadi dua oleh sambaran cahaya.
Semua itu hanyalah gerakan satu orang yang dijelmakan langsung dari dalam pikiran, yang kecepatannya sama sekali tiada berkurang setelah jum lah kupu-kupu menyusut, karena penyusutan itu sama sekali bukanlah penunjuk bahwa bahaya sudah berkurang. Dalam Jurus Impian Kupu-Kupu apa pun yang terlihat tiada dapat dipercaya, dan karenanya suatu gerak pemusnahan harus dilakukan tanpa keraguan dan tanpa ampun.
Tidak kukurangi sama sekali kecepatanku, tetapi kujaga agar cukup tujuh bayangan yang membawa tujuh pedang mereka yang terbunuh itu terus menerus berkelebat menggempur Jurus Impian Kupu-Kupu tersebut. Memang tujuh pedang, tetapi hanya satu manusia sebenarnya, yakni diriku jua yang bergerak lebih cepat dari cepat menyambar pedang yang semuanya berada di udara bergantian dalam setiap kali serangan.
Betapapun Jurus Naga Kembar Tujuh sebagai bagian dari Ilmu Pedang Naga Kembar adalah jurus yang tepat untuk mengatasi Jurus Impian Kupu-Kupu. Kuselingi sebentar Ilmu Pedang Naga Kembar ini dengan Jurus Bayangan Cermin untuk menyerap Jurus Impian Kupu-Kupu tersebut sebagai milikku, lantas kutancap kembali Jurus Naga Kembar Tujuh yang menggunakan tujuh pedang para korban itu.
Tujuh diriku mengepungnya dan menyerang satu persatu dari segala arah dengan kecepatan pikiran yang tak tertangkis lagi. Dalam sekelebat tujuh pedang berturut-turut menancap di tubuhnya.
"Ini pedang korbanmu yang pertama!"
Kuharap ia berasal dan mengenal bahasa Negeri Atap Langit yang kuucapkan tanpa kuketahui benar salahnya itu, tetapi kalau pun ia takberasal dari sana, sudah semestinyalah di wilayah perbatasan ini setiap orang mengenal serbasedikit bahasa Negeri Atap Langit.
"Ini pedang korbanmu yang kedua!" "Ini pedang korbanmu yang ketiga!" "Ini pedang korbanmu yang keempat!" "Ini pedang korbanmu yang kelima!" "Ini pedang korbanmu yang keenam!" "Ini pedang korbanmu yang ketujuh!"
Ketujuh pedang itu menancap takterelakkan dalam waktu
nyaris bersamaan. Aku sudah tidak memegang apa-apa lagi ketika kusaksikan tubuh yang bersimbah darah itu masih berdiri, dengan pedang yang menancap saling menyilang, menembus tubuh dari segala arah.
Busananya yang ketat melibat dan semula berwarna-warni, kini merah karena darah. Pendekar Kupu-Kupu itu kemudian ambruk dengan ketujuh pedang dari ketujuh orang yang dibunuhnya ketika sedang bersujud. Kurasakan betapa cara kematiannya itu setimpal dengan cara yang dilakukannya untuk mengajakku bertarung. Rupa-rupanya Pendekar Kupu- Kupu itu sangat khawatir bahwa diriku tiada akan bersedia diajaknya bertarung. Tampaknya ia telah mengamati kecenderunganku jauh sebelumnya. Barangkali telah disamarkannya dirinya di antara para penyamun yang mengendap-endap di balik batu, karena dengan menguasai Jurus Impian Kupu-Kupu sudah pasti dikuasainya juga ilmu meringankan tubuh luar biasa yang dapat membuat tubuhnya berkelebat seringan kupu-kupu.
Bersama dengan ambruknya tubuh yang ditembus pedang dari segala arah itu, hilang pula segala sesuatu yang muncul bersama datangnya kupu-kupu. Cahaya matahari melenyap dan menyurut ditelan kabut yang pelahan tetapi pasti membuat dunia kembali menjadi kelabu. Puncak-puncak gunung batu dengan jalan melingkar-lingkar di pinggangnya yang sempat berkilauan sejenak keemas-emasan kembali menjulang dalam diam, menembus kabut dan mega-mega kekelabuan yang setiap saat siap berubah menjadi hujan. Namun tidak se lalu mega-mega yang ditembus akan menjadi hujan, tidak jarang dalam sapuan mega-mega tubuhku hanya menjadi basah, tetapi bukan basah kuyup, melainkan sekadar basah karena titik-titik air yang begitu ringan mengambang sebagai kabut yang berjalan-jalan.
KUTINGGALKAN mayat-mayat bergelimpangan dunia persilatan yang memang sudah menjadi pilihan. Bukankah di sungai telaga persilatan kematian bisa datang mendadak setiap saat karena serangan gelap? Demi sebuah pertarungan tidak selalu diperlukan tantangan, karena langsung menyerang secara gelap maupun berterang-terang tidaklah ditabukan sebagai bagian dari pilihan, sehingga serangan dengan senjata rahasia tidaklah harus dianggap serangan gelap kaum penjahat, melainkan memang serangan bersifat rahasia, serangan terbaik untuk menguji tingkat ilmu silat seorang pendekar. Jika bahkan hanya langkah seorang pendekar begitu jelas menunjukkan ketinggian ilmunya, dan karena itu membuat seseorang berminat mengadu ilmunya sendiri, bukankah itu memang berarti maut bagaikan debu beterbangan dalam kehidupan seorang pendekar? Sembari melangkah menuju kedai di tepi jurang yang kembali muncul dan hi-lang dan muncul lagi dalam kabut, kembali pula segala persoalan yang bagiku masih jauh dari selesai, bahkan yang menunjukkan kecenderungan secara taklangsung berhubungan denganku!
Memang tidak kuketahui maksud dan tujuan perjalanan kedelapan penyoren pedang itu, tetapi telah diakui betapa saudara seperguruan mereka yang malang itu memang seorang mata-mata yang bekerja untuk suku Uighur. Adapun ketika delapan penyoren pedang itu berangkat dengan keledai beban mereka yang lamban, apakah perjalanan mereka terhubungkan dengan tugas saudara seperguruannya atau tidak? Mungkin pertanyaan ini bisa dijawab oleh isi keranjang beban yang mereka angkut dengan susah payah mendaki lautan kelabu gunung batu, tetapi apakah diriku berhak membukanya?
Sesampai di kedai, bapak pemilik kedai, sambil membereskan kedai masih seperti tidak terjadi suatu apa, berkata kepadaku.
''Tuan, ketujuh orang itu telah mengaku guru kepada Tuan, kini setelah mereka ma-ti, harta bendanya sah menjadi milik Tuan.''
Tujuh, bukan delapan, karena satu orang bunuh diri. ''Namun saya kira harta dari yang mati bunuh diri itu lantas
menjadi milik saudara-saudaranya, Tuan, jadi berhak juga
menjadi milik Tuan.''
Bukanlah masalah warisan dari orang-orang yang mati terbunuh ini tentunya yang menjadi perhatianku. Melainkan bagai-mana caranya aku mengetahui sesuatu supaya aku dapat membaca keadaan, karena perjalananku kali ini pun adalah suatu perjalanan dalam tugas rahasia. Pertama, aku ingin mendapatkan kejelasan tentang siapa yang bertanggung jawab atas kematian Amrita, dan itulah sebabnya aku harus menunggu untuk mengikuti Harimau Perang dengan diam- diam dari Celah Din-ding Berlian. Kedua, jika benar Hari-mau Perang dipanggil atas kemampuannya dalam membangun jaringan mata-mata un-tuk mengatasi pemberontakan, maka tugas yang dihadapinya tentu berhubungan dengan kebijakan perimbangan kekuasaan, dalam siasat Wangsa Tang menghadapi Kerajaan Tibet di perbatasan timur maupun suku- suku pengembara, termasuk Uighur, di sebelah utara Gurun Gobi, yang mungkin saja terhubungkan dengan urusan para murid perguruan ilmu pedang yang semuanya sudah mati terbunuh ini.
Aku mengembara bukan untuk melibatkan diri ke dalam banyak persoalan, tetapi dalam urusanku yang sederhana ini, agaknya banyak persoalan harus dipertim-bang-kan untuk mendapat kejelasan. La-gipula, belum juga dapat kupastikan, apa-kah Harimau Perang itu memang suatu sos-ok, atau suatu jaringan. Kuketahui serba-sedikit tentang perma inan dunia mata-mata yang penuh rahasia dan tipu daya, bahwa tiada sesuatu pun yang sepintas lalu tampak-nya tidak perlu dipertanyakan lagi, da-pat diterima begitu sebagai sesuatu yang pasti.
Kupandang delapan kuda Uighur serba bagus yang sedang makan rumput itu, di dekatnya sekitar dua puluh keledai juga makan rumput dengan beban yang masih berada di punggungnya.
Bapak kedai itu menyela.
''Tuan telah membunuh Pendekar Kupu-Kupu, hati-hatilah. Setelah melewati Celah Dinding Berlian nanti, itulah wilayah kekuasaan Perguruan Kupu-Kupu.''
''Perguruan Kupu-Kupu?''
''Ya, mereka mengembangkan ilmu silat berdasarkan pendalaman atas Kitab Zhuangzi.'' Aku mengerti. Kitab Zhuangzi adalah sebuah nama yang tidak harus berarti merupakan pemikiran Zhuangzi, melainkan segala sesuatu yang dihimpun oleh Kuo Hsiang, seorang pengulas pemikiran Zhuangzi yang hidup seribu tahun lalu, dan karena itu takdapat dipastikan bagian kitab mana saja yang ditulis Zhuangzi sendiri. Namun sudah jelas betapa kitab itu berisi pemikiran Kaum Dao, baik dari tahap pertama, kedua, maupun ketiga. Hanya pe-mikiran yang dianggap sebagai tahap ketiga disebut merupakan pemikiran Zhuangzi sendiri, tetapi yang betapapun telah ditulis ulang oleh para pengikutnya.
Tampaknya menarik sekali mengikuti cara belajar Perguruan Kupu-Kupu itu, tetapi perhatianku masih tercurahkan kepada keranjang-keranjang beban pada punggung keledai tersebut. Benarkah aku berhak membukanya? Aku tahu bahwa dengan membukanya aku harus menerima kemungkinan untuk terlibat ke dalam suatu percabangan cerita yang baru. Jalan hidup bisa dibelokkan oleh sebutir kerikil di tengah jalan. Bukankah perjalanan semacam itu pula yang telah kualami se lama ini? Jika aku sudah memilih untuk hidup mengembara, bukan berarti aku hanya akan berjalan menuruti langkah kaki, melainkan juga rela terlibat persoalan yang menyeretku. Meski aku sudah bersepakat dengan diriku sendiri bahwa sebaiknya aku menghindari persoalan apapun, rupa-rupanya mengembara tanpa persoalan di dunia persilatan adalah suatu kemewahan. Apa pun persoalan yang dihindarinya, seorang pendekar tak boleh menghindar untuk membela mereka yang lemah dan tertindas.
Aku telah berada di depan sebuah keranjang yang masih terpasang di punggung seekor keledai. Agaknya kedelapan murid perguruan ilmu pedang itu memang tidak bermaksud berhenti terlalu lama. Namun mereka ternyata berhenti di sini untuk selama-lamanya. Apakah kiranya isi karung dalam keranjang itu? (Oo-dwkz-oO)